Post on 27-Jun-2019
i
MODEL KEPEMIMPINAN PELAYANAN YESUS DALAM INJIL YOHANES 13: 1-20 SEBAGAI TELADAN KEPEMIMPINAN
PARA SUSTER CONGREGATION RELIGIOUS OF THE VIRGIN MARY DI ZAMAN SEKARANG
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik
Oleh: Maria Monika Seran
NIM: 021124002
PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
2007
iv
PERSEMBAHAN
Sripsi ini kupersembahkan kepada :
Para suster terkasih dalam Kongregasi Religious of the Virgin Mary
atas cinta dan doa serta dukungan materil maupun moril kepada saya.
Khusus buat rekan-rekan Suster komunitas Trimargo, Yogyakarta.
Sahabat, teman-teman seperjuangan
juga kepada Mama dan keempat saudaraku
atas cinta dan perhatiannya yang meneguhkan
v
MOTTO
“Cukuplah kasih karuniaKu bagimu sebab justru dalam kelemahanmulah
kasihKu menjadi sempurna.”
(2 Korintus 12: 9)
vii
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul: MODEL KEPEMIMPINAN PELAYANAN YESUS DALAM INJIL YOHANES 13:1-20 SEBAGAI TELADAN KEPEMIMPINAN PARA SUSTER CONGREGATION RELIGIOUS OF THE VIRGIN MARY DI ZAMAN SEKARANG. Tujuan penulisan skripsi ini adalah memberikan sumbangan pemikiran kepada para suster RVM khususnya bagi mereka yang menjalankan fungsi kepemimpinan dalam tarekat agar semakin memahami dan menghayati makna kepemimpinan yang sejati seturut teladan Yesus Kristus. Permasalahan pokok yang diangkat penulis dalam skripsi adalah: kepemimpinan Yesus yang bagaimanakah yang mau dihayati para suster RVM di zaman sekarang. Bertolak dari kepemimpinan Yesus, model kepemimpinan macam apa yang dicita-citakan suster RVM di zaman sekarang.
Penulis menggunakan pendekatan studi pustaka dengan mengkaji dari berbagai sumber referensi untuk menemukan jawaban atas permasalahan yang ada, yaitu bahwa kedatangan Yesus ke dunia ini adalah mengemban misi Bapa mewartakan dan menghadirkan kerajaan Allah di tengah-tengah manusia. Kuasa yang diterimanya adalah kuasa untuk melayani manusia. Ia menjalankan kepemimpinanNya sebagai hamba dalam semangat kerendahan hati dan lewat keteladanan hidupNya sendiri.
Bertolak dari kepemimpinan pelayanan Yesus, penulis mengusulkan suatu model kepemimpinan yang perlu dihidupi para suster saat ini. Model kepemimpinan yang dimaksud yaitu kepemimpinan yang transformatif. Pemimpin menjadi motivator bagi anggotanya untuk mengalami perubahan dan pembaharuan hidup ke arah yang positip. Dalam rangka mewujudkan kepemimpinan yang transformatif salah satu pendekatannya melalui kegiatan katekese model Shared Christian Praxis. Katekese sebagai pembinaan iman bertujuan mendorong para suster untuk mencapai transformasi diri.
viii
ABSTRACT
The thesis entitled THE LEADERSHIP MODEL OF THE JESUS’ SERVING IN JOHN 13: 1-20 AS LEADERSHIP MODEL FOR ALL SISTERS IN THE CONGREGATION OF THE VIRGIN MARY IN THE PRESENT DAY The purpose of this thesis writing to give opinion contribution to all Virgin Mary’s sisters. Especially for those who take the responsibility the leadership functional in the congregation in order to understand to comprehend fully the meaning of true leadership from Jesus Christ.
The mean matter which is lifted by the writer is which kind of leadership from Jesus will be experiencing for Virgin Mary’ sister in present day. Based on the leadership of Jesus, which kind of leadership model that Virgin Mary’s sister want in the present day. Writer used the approach of books study with studying from various reference source to find the answer for the existing problems, that in present of Jesus in this world is carry on the mission of God and proclaim His Kingdom among His people. The power that He had is a power to serve all man kind. He took the leadership responsibility as a servant in spirit of humility and through His own way of life.
Based on leadership of Jesus’ servicing, writer suggest this such leadership model should Virgin Mary’s sister revive in present day. Leadership model which mean by writer is transformative leadership. A leader capable to become a good motivator for all members to experience of the changing and renewing live up which is positive. In order to realizing transformative leadership of one its approach through a catechesis model of Shared Christian Praxis. Catechesis as a founding of faith to support the sisters to reach the personal transfomation.
ix
KATA PENGANTAR
Syukur dan terima kasih yang dalam kepada Bapa dan PutraNya Yesus Kristus
serta Roh Kudus atas berkat dan kasih setiaNya yang berlimpah kepada penulis mulai
dari awal perencanaan, penulisan hingga selesainya penyusunan skripsi dengan judul
“MODEL KEPEMIMPINAN PELAYANAN YESUS DALAM INJIL
YOHANES 13:1-20 SEBAGAI TELADAN KEPEMIMPINAN PARA SUSTER
CONGREGATION RELIGIOUS OF THE VIRGIN MARY DI ZAMAN
SEKARANG” . Skripsi ini diajukan untuk memberikan sumbangan pemikiran atau
gagasan untuk memperkaya wawasan dan pemahaman kepada para suster yang diberi
kepercayaan menjalankan fungsi kepemimpinan dalam kongregasi RVM khususnya
yang ada di Indonesia.
Selama dalam proses penulisan skripsi ini, dari awal hingga selesai, penulis
banyak menerima bantuan, dukungan, doa dan perhatian yang meneguhkan dan
membangun dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk
itu penulis ingin menyampaikan ungkapan terima kasih yang tulus kepada :
1. Dr. Antonius Hari Kustono, Pr., sebagai dosen pembimbing yang telah
membimbing, mengarahkan, dan mengoreksi penyusunan skrispsi ini.
2. Fransiskus Xaverius Heryatno Wono Wulung, SJ., M.Ed., sebagai panitia penguji.
3. Yoseph Kristianto, SFK., selaku dosen wali sekaligus sebagai panitia penguji.
4. Para dosen Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama
Katolik, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta yang telah memberikan banyak pengetahuan, ketrampilan, perhatian
dan cinta serta pelayanan kepada penulis selama menjalani masa studi sampai
selesai.
5. Para karyawan/ti di kampus IPPAK yang telah memberi perhatian dan dukungan
dengan caranya masing-masing.
6. Suster pimpinan kongregasi RVM khususnya distrik Indonesia yang telah
memberi kepercayaan dan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi di
Yogyakarta.
x
7. Rekan-rekan komunitas Tri margo, Yogyakarta untuk segala cinta, perhatian dan
persaudaraan yang baik selama menjalani tugas studi.
8. Teman-teman seperjuangan angkatan 2002, untuk segala persahabatan dan
kebersamaan yang penuh suka dan duka.
9. Mama dan saudara-saudara terkasih yang turut mendukung dan mendoakan
penulis.
10. Akhirnya kepada siapa saja yang tidak sempat penulis sebutkan namanya di sini
satu per satu yang telah membantu, mendukung dan berbagi pengalaman hidup
dengan penulis selama menjalani studi. Dan tidak lupa penulis menghaturkan maaf
kepada semua saja atas segala kekhilafan dan kelemahan penulis baik lewat tutur
kata, sikap maupun tindakan.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak sempurna oleh karena itu penulis
terbuka menerima kritikan, masukan atau saran yang membangun dari para pembaca.
Selanjutnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan
sumbangan ide atau gagasan baru bagi peningkatan kualitas kepemimpinan pelayan
para suster RVM di Indonesia.
Yogyakarta, 23 Februari 2007
Penulis
Maria Monika Seran
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL....................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING.............................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ..................................................................... iv
HALAMAN MOTTO .................................................................................... v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .................................. vi
ABSTRAK ...................................................................................................... vii
ABSTRACT.................................................................................................... viii
KATA PENGANTAR..................................................................................... ix
DAFTAR ISI ................................................................................................... xi
DAFTAR SINGKATAN................................................................................. xiv
BAB I. PENDAHULUAN .............................................................................. 1
A. Latar Belakang Permasalahan............................................................. 1
B. Rumusan Permasalahan ...................................................................... 5
C. Tujuan Penulisan................................................................................. 5
D. Manfaat Penulisan............................................................................... 6
E. Metode Penulisan................................................................................ 7
F. Sistematika Penulisan ......................................................................... 7
BAB II. SEKILAS TENTANG CONGREGATION RELIGIOUS OF THE VIRGIN MARY (RVM)..................................................................... 8
A. Sejarah Berdirinya Kongregasi RVM ................................................ 8
B. Spiritualitas Kongregasi RVM ........................................................... 16
C. Kekuatan dan kelemahan Kepemimpinan .......................................... 19
1. Kualitas kepemimpinan Mother Ignacia ........................................ 20
2. Kekuatan dan Kelemahan Kepemimpinan RVM ........................... 21
BAB III. TAFSIR INJIL YOHANES 13 : 1-20 ............................................. 24
A. Konteks Injil Yohanes 13:1-20 .......................................................... 26
B. Struktur Injil Yohanes 13:1-2 ............................................................. 29
C. Tafsir Injil Yohanes 13:1-20............................................................... 29
xii
D. Pesan Injil Yohanes 13:1-20 bagi para Suster Pemimpin
Kongregasi RVM ................................................................................ 34
BAB IV. SITUASI UMUM KEPEMIMPINAN RELIGIUS INDONESIA DI ZAMAN SEKARANG ....................................................................... 40
A. Pengertian Kepemimpinan.................................................................. 41
1. Kepemimpinan Menurut para Ahli ................................................. 41
2. Kepemimpinan Religius.................................................................. 42
a. Menurut KHK No. 618.............................................................. 43
b. Menurut KHK No. 619.............................................................. 45
3. Kepemimpinan dalam Kongregasi RVM........................................ 48
a. Menurut Semangat Mother Ignacia........................................... 48
b. Menurut Konstitusi RVM ......................................................... 50
B. Karakteristik kepemimpinan............................................................... 53
C. Situasi dan Tantangan Kepemimpinan Religius ................................. 59
1. Tantangan Arus Besar zaman ini .................................................... 59
2. Tantangan dari Anggota sebagai Anak Zaman ............................... 60
3. Tantangan yang berkaitan dengan Pemimpin Religius Masa Kini ........................................................................................ 62
4. Tantangan dalam Kongregasi RVM................................................ 67
D. Yesus Kristus Teladan Utama Kepemimpinan di Zaman Sekarang... 68
BAB V USULAN MODEL KEPEMIMPINAN YANG DICITA-CITAKAN KONGREGASI RVM DI ZAMAN SEKARANG ................................... 73
A. Model-model Kepemimpinan .............................................................. 74
B. Kepemimpinan Transformatif sebagai Model Kepemimpinan Kongregasi RVM................................................................................. 76
1. Kepemimpinan Transformatif ......................................................... 76
2. Kemampuan Dasar Kepemimpinan Transformatif ......................... 79
3. Spiritualitas Kepemimpinan Transformatif..................................... 81
C. Kepemimpinan Transformatif dalam Praksis di Kongregasi RVM Indonesia.................................................................................... 85
a. Transformasi Diri dari Sisi Gelap Kepemimpinan.......................... 85
b. Transformasi dalam Komunitas ...................................................... 87
c. Transformasi dalam Karya Kerasulan ............................................. 88
xiii
D. Katekese sebagai Salah Satu Upaya Mewujudkankan Pola Kepemimpinan yang Transformatif para Suster RVM ....................... 90
1. Hakikat-Tujuan dan Alasan Pemilihan Katekese sebagai Upaya Perwujudan Pola Kepemimpinan Transformatif para Suster RVM................................................................................................ 90
a. Hakikat Katekese dan Tujuan...................................................... 90
b. Alasan Pemilihan Katekese......................................................... 94
2. Pemilihan Shared Christian Praxis sebagai Model Berkatekese.... 99 a. Alasan Pemilihan Shared Christian Praxis sebagai Model
Berkatekese ................................................................................. 99
b. Tiga Komponen Shared Christian Praxis ................................... 103
c. Langkah-langkah dalam Shared Christian Praxis ...................... 106
3. Usulan Kegiatan Katekese .............................................................. 110
a. Latar belakang ............................................................................. 110
b. Tema dan Sub Tema Katekese .................................................... 112
c. Bentuk Kegiatan Katekese .......................................................... 114
4. Contoh Persiapan Katekese............................................................. 115
a. Identitas Katekese ....................................................................... 115
b. Pemikiran Dasar .......................................................................... 116
c. Pengembangan Lima Langkah Shared Christian Praxis ............ 118
BAB VI PENUTUP ........................................................................................ 129
A. Kesimpulan..................................................................................... 129
B. Saran............................................................................................... 133
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 135
LAMPIRAN.................................................................................................... 137
1. Lampiran 1: Matriks Kegiatan Katekese............................................. (1)
2. Lampiran 2: Jadwal Rekoleksi ........................................................... (4)
3. Mars RVM .......................................................................................... (5)
xiv
DAFTAR SINGKATAN
A. Singkatan Kitab Suci
Singkatan-singkatan Kitab Suci dalam Direktorat Jenderal Bimas Katolik
Departemen Agama Republik Indonesia, edisi khusus Kitab Suci Perjanjian
Lama dan Perjanjian Baru dengan pengantar dan catatan singkat (Ende:
Arnoldus 1995/1996, hal. 8).
B. Singkatan Resmi Dokumen Gereja
CT : Catechesi Tradendae
PC : Perfectae Caritatis
VC : Vita Concecrata
KHK : Kitab Hukum Kanonik
C. Singkatan Lain
OP : Ordo Dominikan
RVM : Religious of the Virgin Mary
SJ : Societas Jesu
SCP : Shared Christian Praxis
PKKI : Pertemuan Kateketik antar Keuskupan se-Indonesia
KWI : Konferensi Wali Gereja Indonesia
VCD : Video Compact Disk
LR : Latihan Rohani
NO : Nomor
Bdk : Bandingkan
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan
Dalam beberapa dekade terakhir ini bangsa Indonesia mengalami berbagai
macam krisis yang berkepanjangan, salah satunya adalah masalah krisis
kepemimpinan. Kenyataan menunjukkan bahwa kinerja dari sebagian pemimpin,
para pejabat politik bangsa ini tidak serius dalam menegakkan hukum dan keadilan,
bahkan justru mereka ada yang terlibat dalam praktik korupsi, kolusi dan nepotisme
(KKN). Perbuatan para pemimpin publik ini telah menimbulkan “luka” bagi
masyarakat Indonesia, penderitaan yang tak kunjung berakhir tanpa penyelesaian
yang berarti dan akibatnya para pejabat pemerintahan semakin kehilangan
kepercayaan dan simpati dari masyarakat Indonesia.
Para pemimpin pemerintahan atau para elite politik di negeri ini memahami
makna kepemimpinan pertama-tama dan terutama hanya sebagai sebuah jabatan
elitis dan oleh karenanya dengan segala macam cara mereka berusaha
mendapatkannya (Harefa, 2003: 29). Sebagai contoh kita bisa melihat kenyataan
yang sungguh ironi, yakni pada masa pemerintahan Orde Baru, bagaimana para
elite politik dan pejabat pemerintahan berusaha menduduki jabatan tertentu dan
mempertahankannya dengan menggunakan kekerasan senjata, intimidasi, teror dan
sebagainya (Harefa, 2003:103). Orang-orang yang dianggap vokal dan kritis dalam
menanggapi ketidakadilan ini justru menjadi korban dan dibungkam selama-
lamanya. Maka benarlah apa yang dikatakan oleh Yesus, “Kamu tahu, bahwa
pemerintah memimpin dengan tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan
2
kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu.
Barangsiapa yang ingin menjadi yang terbesar hendaklah ia menjadi pelayanmu”
(Mat.20: 25-26). Melalui ajaran ini Yesus mau menunjukkan kepada para
muridNya bahwa untuk menjadi seorang pemimpin yang berhasil bukan sebagai
diktator yang haus akan kekuasaan melainkan berperan sebagai seorang pelayan
yang rendah hati, mendahulukan kepentingan dan kesejahteraan orang banyak. Ia
harus rela meninggalkan semua ambisi dan keinginannya sendiri demi melayani
Tuhan dan sesama dengan sepenuh hati dan tanpa pamrih (Manz, 2004: 109-110).
Kata pelayan dan pelayanan telah menjadi klise di zaman ini. Istilah
tersebut hanya menjadi ungkapan yang kosong, tanpa taring, ompong melompong
apabila pelaksanaannya tidak dijiwai oleh roh kerelaan untuk mengosongkan diri,
merendahkan diri bahkan sampai mati demi orang yang dilayani. Makna pelayanan
yang sesungguhnya seperti yang digambarkan di atas juga telah hilang di
lingkungan Gereja, komunitas, bangsa dan di tempat kita bekerja (Martasudjita,
2003: 42). Pernyataan ini mengusik batin penulis untuk lebih jauh bertanya apakah
makna pelayanan yang sejati ini juga telah hilang dalam lingkungan kehidupan
religius yang pada hakikatnya menjadi “pelayan Allah”.
Tidak bisa dipungkiri bahwa dalam hidup membiara pun ada persoalan-
persoalan yang menyangkut posisi, jabatan, pangkat dan status pelayanan. Hal ini
terungkap dalam tindakan senior atau pemimpin yang sewenang-wenang terhadap
anggotanya sehingga menimbulkan ketidaknyamanan dalam hidup bersama,
akibatnya orang lebih betah dan merasa nyaman berada di luar biara. Seringkali
orang melayani dengan baik di luar biara karena merasa lebih diterima dan dihargai
daripada melayani saudara-saudaranya dalam komunitas. Dalam posisi ini
3
pemimpin menjadi sumber masalah karena cara ia memimpin yang tidak bermutu,
tidak mampu berkomunikasi dengan anggotanya dan tidak mampu membuat
komunitas menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi seluruh anggotanya
(Mulyono, 2005: 14).
Kepemimpinan dalam kongregasi RVM sejauh pengamatan penulis dan
sesuai hasil kapitel umum kongregasi RVM ke-17 di Manila, tahun 2001
ditegaskan bahwa ada keprihatinan dalam penghayatan kepemimpinan sebagai
hamba Tuhan di zaman ini, masih ada suster yang memiliki sikap kelekatan
terhadap kemapanan baik itu terhadap lingkungan, jabatan, maupun kelekatan
terhadap materi (Hasil Kapitel Umum Kongregasi RVM, 200: 10). Kelekatan ini
bisa menyebabkan orang menjadi susah untuk melayani dengan bebas bahkan sulit
untuk berkarya di tempat lain.
Sementara itu di lain pihak gaya hidup materialisme, sekularisme,
hedonisme, instan dan sebagainya telah menjadi sesuatu yang memprihatinkan
kehidupan masyarakat kita zaman ini. Penawaran gaya hidup materialisme, hedonis
dan konsumerisme juga merasuk dalam kehidupan kaum religius. Dalam
realitasnya masih ada religius yang belum berani mengatakan “cukup” untuk
membatasi diri dari kecenderungan atau keinginannya memiliki barang atau materi
yang bukan menjadi kebutuhan pokoknya (Hasil Kapitel Umum RVM, ke-17 2001:
10). Kecenderungan ini menyebabkan penghayatan akan kaul kemiskinan menjadi
kabur.
Melalui beberapa gambaran keprihatinan yang menyangkut kepemimpinan
baik itu di kalangan lembaga pemerintahan maupun dalam lingkup kepemimpinan
religius di zaman sekarang yang mulai kehilangan makna kepemimpinan yang
4
sejati yakni pemimpin yang melayani, maka perlu adanya suatu model atau gaya
kepemimpinan yang sungguh-sungguh murah hati dan menjadikan orang-orang
yang dilayaninya dapat bertumbuh dengan “sehat, bebas dan bijaksana” (Manz,
2004: 106), dan tokoh yang patut diteladani adalah Yesus dan segala
keteladananNya. Ia berada di tengah-tengah manusia sebagai pemimpin yang
melayani bukannya dilayani. Dalam amanat perpisahanNya dengan para murid
sebelum sengsaraNya Yesus menunjukkan keagunganNya lewat pelayananNya
membasuh kaki para murid. Peristiwa ini menunjukkan keseluruhan pelayanan
Yesus di dunia ini adalah pelayanan bagi Bapa di surga, dan bukannya berupaya
mencari posisi atau jabatan. Pelayanan misiNya adalah pelayanan bagi para
pengikutNya dan kepada semua orang yang Ia cintai (Wilkes, 2005: 126).
Teladan kepemimpinan pelayan Yesus harus menjadi “roh” yang
menggerakkan setiap pemimpin membantu para anggotanya mencapai kedewasaan
iman dan cinta pada Tuhan dan sesamaya serta mengalami transformasi hidup ke
arah yang positip. Dalam kepemimpinannya pemimpin tidak mengukur segala
sesuatu dengan kacamatanya sendiri tetapi ia menempatkan diri sebagai bagian
integral dari dari seluruh proses yang menghidupkan dan mengembangkan
anggotanya. Sebaliknya para anggota pun mau terbuka dan membantu
pemimpinnya dalam menjalankan tugas kepemimpinannya dengan menciptakan
suatu dialog yang sehat antar pemimpin dan anggota, dan di antara anggota sendiri
saling terbuka sehingga semangat saling melayani tumbuh dan berkembang dalam
komunitas.
Berdasarkan keprihatinan kepemimpinan di zaman sekarang dan bagaimana
upaya para suster RVM menjawab persoalan-persoalan yang muncul dalam
5
kepemimpinan tarekat maka penulis memilih judul skripsi “Model Kepemimpinan
Pelayanan Yesus dalam Injil Yohanes 13:1-20 sebagai Teladan Kepemimpinan
para Suster Congregation Religious of the Virgin Mary di Zaman Sekarang”.
B. Rumusan Permasalahan
Dari latar belakang pemilihan tema di atas maka dapat dirumuskan pokok
permasalahan sebagai berikut :
1. Model Kepemimpinan Pelayanan Yesus yang bagaimanakah yang dapat
menjadi teladan kepemimpinan bagi para Suster RVM Distrik Indonesia
dewasa ini ?
2. Gambaran atau profil pemimpin religius seperti apa yang diharapkan oleh para
suster RVM di zaman sekarang ?
3. Bagaimanakah seharusnya kepemimpinan pelayanan itu dihayati oleh para
suster RVM pada zaman ini ?
C. Tujuan Penulisan
Yang menjadi tujuan penulisan skripsi ini adalah :
1. Membantu pembaca agar semakin mengetahui dan memahami secara
mendalam model kepemimpinan pelayanan Yesus Kristus yang terdapat dalam
Yohanes 13:1-18 dan relevansinya bagi kepemimpinan Religius di zaman ini.
2. Membantu para suster RVM mewujudkan nilai-nilai kepemimpinan pelayanan
Yesus dalam kepemimpinannya sehari-hari.
6
3. Memotivasi para pembaca khususnya para suster RVM untuk mengusahakan
pembaharuan hidup pribadi, komunitas dan kongregasi ke arah yang lebih baik
sesuai dengan visi misi tarekat.
4. Penulisan skripsi dalam rangka untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan
Sarjana Strata 1 Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan
Agama Katolik, Fakultas Keguruan dan Pendidikan Universitas Sanata
Dharma, Yogyakarta.
D. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini adalah :
1. Memperkaya pemahaman penulis akan teladan kepemimpinan Pelayanan
Yesus.
2. Memberikan sumbangan pemikiran bagi para pembaca secara khusus bagi para
pemimpin dalam tarekat RVM agar menjadikan kepemimpinan pelayanan
Yesus sebagai teladan dalam menghayati tugas-tugas kepemimpinannya di
zaman sekarang.
3. Membangun kesadaran para pembaca khususnya para suster RVM untuk
menghadirkan nilai-nilai kepemimpinan Yesus dalam hidup sebagai gerakan
pembaharuan di tengah-tengah kehidupan yang dipenuhi arus budaya
sekularisme.
7
E. Metode Penulisan
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan metode deskriptif-analitis
atas sebuah studi pustaka dari berbagai buku referensi, karangan ilmiah yang
berkaitan dengan tema yang diangkat penulis.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini sebagai berikut BAB I merupakan bagian
Pendahuluan yang meliputi latar belakang, perumusan masalah, tujuan
penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan.
BAB II membahas tentang sejarah singkat, spiritualitas Kongregasi RVM, dan
kekuatan serta kelemahan kepemimpinan dalam Kongregasi RVM.
BAB III membahas tentang konteks Injil Yohanes 13:1-20, struktur Injil
Yohanes 13:1-20 serta tafsir Injil Yohanes 13:1-20, dan pesan Injil Yohnes 13:
1-20 bagi para suster RVM.
BAB IV tentang situasi umum kepemimpinan religius di zaman sekarang.
Bab ini lebih jauh akan menggali tentang pengertian kepemimpinan religius,
tantangan dan keprihatinan kepemimpinan religius zaman sekarang,
karakteristik kepemimpinan religius dan Yesus Kristus sebagai teladan utama
kepemimpinan .
BAB V tentang usulan model kepemimpinan yang dicita-citakan kongregasi
RVM di zaman sekarang yakni, kepemimpinan yang transformatif dan
sumbangan katekese bagi terwujudnya pola kepemimpinan yang transformatif.
BAB VI adalah bagian penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
8
BAB II
SEKILAS TENTANG
CONGREGATION RELIGIOUS OF THE VIRGIN MARY (RVM)
A. Sejarah Berdirinya Kongregasi RVM
Ignacia del Espiritu Santo dilahirkan di Binondo, Filipina pada tanggal 1
Februari 1663. Ia dibaptis pada tanggal 4 Maret 1663 oleh seorang misionaris
Dominikan, yakni P. Alberto Collares, OP, di Gereja Holy Kings Parian. Ayahnya
bernama Jusepe Iuco, seorang pengusaha kain yang kaya berasal dari Amoy, Cina.
Ibunya bernama Maria Jeronima asli Filipina. Ignacia memiliki tiga orang adik
yakni Rafael, Santiago dan Juana de la Conseption, namun ketiga orang saudaranya
ini kemudian meninggal ketika masih berusia balita.
Sebagai pengikut Kristus yang setia, Ignacia dididik dalam iman kristiani,
dan orang yang berperan dalam membina pertumbuhan iman Ignacia adalah Maria
Jeronima, ibunya. Ignacia belajar tentang dasar-dasar iman, doa dan keutamaan-
keutamaan kristiani yang terdapat dalam buku katekismus yang diterjemahkan
dalam bahasa China dan Tagalog. Selain belajar tentang pengetahuan iman
kristiani, Ignacia juga selalu diajak orang tuanya untuk mengikuti kegiatan doa
bersama, misalnya doa rosario, devosi kepada orang kudus, menjadi misdinar
dalam perayaan ekaristi, selalu menerima komunio kudus dan menerima sakramen
pengakuan dosa (Anicia Co, 1998:12 ).
Sejak masih dalam kandungan hingga masa kecilnya, Ignacia dan
keluarganya harus melalui kehidupan dengan penuh perjuangan. Ia dan orang
tuanya terjebak dalam suatu konflik yang rumit. Konflik tersebut bermula dari
9
tahun 1662 ketika Ia masih dalam kandungan Ibunya, para pembajak dari China
yang dipimpin oleh Koxinga menyerang Manila. Peristiwa itu menimbulkan
dampak buruk bagi orang-orang China yang berada di Manila. Di mana-mana
muncul kerusuhan anti China dan akibatnya banyak orang China yang mati
terbunuh. Gubernur Jenderal Spanyol mengeluarkan perintah untuk mengusir
orang-orang China. Hal ini membuat keluarga Jusepe mengalami penderitaan,
karena mereka termasuk yang dicari. Sebagai warga keturunan, keluarga mereka
mengalami diskriminasi rasial, dikejar-kejar dan terus diancam. Namun Tuhan
memberikan penolong, lewat para imam Jesuit mereka dilindungi dari kejaran
tentara Spanyol, dan diberi kenyamanan sehingga tetap bertahan di Manila (Anicia
Co, 1998: 8-9).
Pada tahun 1682, ketika Ignacia berusia sembilan belas tahun, Pater Paul
Klein, SJ tiba di Manila. Ia adalah seorang imam misionaris Yesuit, ahli bahasa dan
ekonom. Kehadirannya membawa angin segar bagi warga China khususnya
keluarga Jusepe. Pater Paul menjalin kerjasama dengan mereka untuk
mengembangkan perekonomian di daerah itu. Melalui Pater Paul, Ignacia belajar
tentang pengetahuan iman Kristiani terlebih ia mulai mengenal Serikat Yesus.
Ketika berumur dua puluh satu tahun Ignacia dijodohkan dengan seorang
pemuda pilihan orang tuanya namun Ignacia menolak perjodohan itu karena ia
merasa dipanggil Tuhan untuk melayani kaum miskin yang menderita dan tertindas
oleh pemerintahan Spanyol yang menjajah Filipina pada waktu itu, tahun 1684.
Berhadapan dengan keinginan orang tuanya untuk menikah, Ignacia tetap teguh
pada pendiriannya untuk memberi diri dalam pelayanan kepada sesamanya yang
menderita. Dengan keberaniannya yang kokoh dan ketekunannya berdevosi kepada
10
Bunda Maria, ia mendapat kekuatan dan peneguhan agar kehendak Tuhanlah yang
terjadi dalam hidupnya
Di tengah kemelut yang ada dalam dirinya, Ignacia memutuskan untuk
menemui Pater Paul Klein, SJ pembimbing rohaninya untuk mengungkapkan
segala keresahan hatinya antara memilih perjodohan orang tuanya ataukah
menjawab panggilan Tuhan. Akhirnya Pater Paul Klein, SJ menganjurkan agar
Ignacia mengadakan retret dengan menggunakan latihan rohani St. Ignatius dari
Loyola, agar ia mampu mengambil keputusan yang tepat sesuai dengan kehendak
Tuhan sendiri (Anicia Co, 1998: 26)
Melalui retret selama delapan hari, Ignacia kemudian mendapatkan suatu
pencerahan, yaitu keputusan untuk mengabdikan diri sepenuhnya kepada “Sang
Raja Kemuliaan Kekal”. Hidupnya hanya untuk kemuliaan Allah yang lebih besar
(Ad Maiorem Dei Gloriam). Dengan demikian Ignacia menolak keinginan orang
tuanya dan semua harta warisan yang diberikan oleh ayahnya. Ignacia kemudian
pergi meninggalkan rumahnya hanya berbekal gunting, jarum dan benang sebagai
simbol dari solidaritasnya dengan kaum miskin dan menderita. Dalam
kemiskinannya ia mau melayani mereka dengan usahanya sendiri meskipun ia tahu
bahwa orang tuanya dapat memenuhi segala kebutuhannya dan memberikan
bantuan tetapi hal itu tidak dikehendakinya (Anicia Co, 1998: 14). Di sini nampak
bahwa ia adalah pribadi yang tidak tergantung pada materi tetapi justru ia
mengandalkan kasih dan kemurahan Tuhan yang akan membuka jalan baginya
untuk bisa memenuhi kebutuhan hidupnya.
Ignacia memulai lembaran hidupnya yang baru. Ia tinggal sendirian dalam
keheningan di sebuah rumah yang diberi oleh para imam Jesuit di mana rumah
11
tersebut merupakan rumah kosong milik para suster “Mother of Congregation”
dari Jepang yang diasingkan ke Manila pada tahun 1614 (Anicia Co, 1998: 14).
Pada awal ia tinggal di rumah tersebut ia mengalami tantangan, ada orang yang
menaruh curiga dan prasangka atas cara hidup yang ia pilih ini. Tetapi Ignacia
hanya bisa berpasrah pada Tuhan dan semakin tekun berdoa dalam menghadapi
kesulitan hidupnya itu. Satelah beberapa saat hidup dalam kesendirian dan
keheningan dan berkat iman dan kesalehannya, misinya mulai membuahkan hasil.
Beberapa perempuan mulai tertarik akan cara hidup Ignacia. Orang pertama yang
bergabung dengannya adalah Christina Gonzalez, kemenakannya. Selanjutnya
jumlah anggota komunitas Ignacia ini semakin bertambah menjadi empat orang,
sembilan dan kemudian menjadi tiga puluh tiga orang sampai pada akhirnya pada
tahun 1685 komunitas ini dibentuk dan diberi nama “The Beatas de la Compañía
de Jesùs” dengan Ignacia sebagai pemimpinnya. Namun demikian komunitas ini
belum dinyatakan sebagai sebuah institusi komunitas religius yang resmi karena
belum disahkan oleh takhta Suci di Roma.
Kegiatan Ignacia dan para Beatas pada awalnya hanya terbatas di dalam
komunitas saja yakni mengikuti perayaan misa, menerima sakramen pengakuan
dosa, melakukan latihan rohani (LR. St. Ignatius), doa dan devosi (komunitas
kontemplatif). Setelah cara hidup ini berlangsung beberapa waktu. Akhirnya
Ignacia dan para beatasnya mulai berpikir untuk terbuka dengan dunia luar dan
terlibat dalam kegiatan apostolis. Di luar tembok biara begitu banyak orang yang
membutuhkan uluran tangan dan cinta dari mereka, maka langkah pertama yang
dilakukan adalah mengajak beberapa orang perempuan untuk dilatih menjahit
pakaian. Selanjutnya para beatas mengajar dan mendampingi kaum remaja putri
12
untuk mengerjakan pekerjaan harian di rumah, pengetahuan tentang membangun
hidup berkeluarga, mengajar pengetahuan iman kristiani dan memberikan latihan-
latihan rohani (LR. St.Ignatius Loyola) bagi kaum perempuan yang membutuhkan
pendampingan rohani (Anicia Co, 1998: 16,18). Usaha Ignacia dan para beatanya
ini didukung dan dibimbing oleh para imam Yesuit yang merupakan pembimbing
rohani mereka pada waktu itu.
Tahun 1697, Uskup Diego Camacho datang ke Manila dalam rangka
mengadakan visitasi kanonikal bagi komunitas-komunitas religius yang ada di
Manila. Dalam visitasi itu Uskup Diego menemukan bahwa Ignacia dan
Beaterionya belum resmi menjadi sebuah institusi yang sah, dan ia memberi
peringatan bahwa akan menggabungkan Beaterio dengan komunitas St. Potenciana
dari ordo Dominikan. Hal ini menimbulkan kebingungan bagi Ignacia dan
komunitasnya. Di satu sisi mereka bukan di bawah kuasa Jesuit tapi di di sisi lain
mereka selalu dilayani oleh Yesuit dalam hal bimbingan rohani dan sakramen
pengakuan. Di sini mereka diajak untuk berpikir mengenai masa depan komunitas,
yakni sebuah Beaterio yang independen dan punya kekhasan sebagai komunitas
religius perempuan yang sah (Anicia Co, 1998: 18-19).
Perjuangan Ignacia dan para Beatanya untuk menjadikan komunitasnya sah
sebagai sebuah institusi bukanlah hal yang mudah. Banyak tantangan dan kesulitan
menghambat mereka, di antaranya pecahnya konflik antara pemerintah dan Gereja
dalam waktu yang lama (1717-1721). Konflik belum selesai Ignacia dan para
beatas harus kehilangan pembimbing rohani mereka, Pater Paul Klein, SJ yang
meninggal dunia, padahal saat-saat seperti itu mereka sangat membutuhkan
bantuan Pater Paul.
13
Pada tahun 1723 Ignacia mulai menulis peraturan-peraturan yang mengatur
cara hidup dan kebiasaan Beaterionya. Dalam upaya penulisan ini Ignacia dibantu
oleh Pater Pedro Murillo Velarde, SJ sejarawan dan ahli hukum kanonik. Akhirnya
pada tahun 1726 konstitusi ini selesai dibuat dan disahkan oleh Uskup setempat dan
selanjutnya Beaterio ini sah menjadi sebuah institusi komunitas religius lokal.
Setelah sekian tahun memimpin komunitas Beaterio (1684-1737), pada
tahun 1737, Ignacia meletakkan jabatannya sebagai superior kepada salah satu
anggotanya. Ia memilih untuk hidup sebagai anggota biasa sampai meninggal pada
tanggal 10 September 1748 setelah menerima komuni kudus dalam perayaan
ekaristi.
Beaterio ini mengalami beberapa kali pergantian nama mulai dari “Beaterio
de la Compañía de Jesùs” pada tahun 1685, kemudian pada tahun 1902 sampai
dengan 1932 menjadi “Compañía de Beatas de la Virgen Maria” dan selanjutnya
menjadi “Congregacion de Religiosas de la Virgen Maria” yang dalam bahasa
Inggris disebut “Congregation of the Religious of the Virgin Mary” (Anicia Co,
1998: 120). Nama terakhir inilah yang digunakan hingga saat ini sebagai nama
kongregasi RVM. Pada tanggal 17 Maret tahun 1907 Paus Pius X, menetapkan
secara defenitif bahwa kongregasi RVM adalah kongregasi di bawah wewenang
Serikat Kepausan sekaligus mengesahkan konstitusinya (Ferraris, 2004: 41).
1. Pribadi Ignacia Del Espiritu Santo
Berkat pendidikan iman yang baik dari kedua orang tuanya Ignacia tumbuh
menjadi seorang pribadi yang rendah hati dan sederhana dalam hidupnya. Ignacia
tidak bersikap angkuh meskipun ia tahu bahwa orang tuanya adalah pengusaha kain
14
terkaya di kotanya (Binondo), yang tentunya hidup berkecukupan dan
berkelimpahan materi. Ignacia tidak silau oleh harta yang dimilikinya, justru
sebaliknya dengan sikap imannya yang dewasa dan didukung oleh keberaniannya
ia menunjukkan rasa solider dan empatinya yang besar kepada orang miskin
dengan meninggalkan keinginan dan semua harta warisan orang tuanya. Ia rela
menjadi seorang hamba hina Tuhan yang berjuang untuk mengangkat derajat kaum
wanita pribumi Filipina pada waktu itu.
Pribadi Ignacia yang bersahaja ini sungguh berakar dari kehidupan relasinya
yang mendalam dengan Tuhan melalui doa-doanya yang tak kunjung putus. Di
tengah kehidupannya yang sulit dan berkekurangan serta penuh tekanan dari
pemerintahan kolonial Spanyol, ia dan para susternya tetap setia melakukan mati
raga dan terus menerus berdoa dengan tiarap dan merentangkan tangan di atas
tanah untuk memohon rahmat Allah bagi penyilihan dosa-dosa umat manusia
(Anicia Co, 1998: 17)
Kisah hidup dari Ignacia dan para beaterionya dalam kongregasi adalah
sebuah kisah yang tidak lepas dari keseluruhan pengalaman hidup mereka baik itu
pertumbuhan, konflik maupun pengalaman yang bersifat ambigu. Pribadi Ignacia
dapat menjadi sumber inspirasi dan semangat bagi para perempuan maupun laki-
laki, tua maupun muda dalam hal iman maupun kesaksian hidup. Semangat
hidupnya masih sangat relevan di zaman sekarang. Dalam bukunya yang berjudul A
Lamp To Our Path, (Anicia Co, 1998: 89-94), menuliskan beberapa sikap dasar
yang menunjukkan kepribadiannya itu, yaitu sebagai berikut:
15
a. Terbuka terhadap Roh Kudus (Opennes to the Holy Spirit)
Salah satu aspek dasar dari pribadinya adalah keterbukaannya terhadap Roh
Kudus. Ia perlahan-lahan tumbuh dalam keberanian dan kepekaan hati sehingga ia
dapat melihat dan menemukan kelemahannya. Pemberian dirinya untuk dipimpin
oleh Roh Kudus membuat ia mampu menemukan makna terdalam dari setiap
pengalaman suka dan duka, pergulatan dan perjuanggan hidupnya, perjumpaannya
dengan orang lain dan alam ciptaan yang lain. Selain itu hidup dalam Roh Kudus
membuat ia semakin bertumbuh dalam iman akan Kristus dan mampu menemukan
kehendak Tuhan dalam hidupnya .
b. Merenungkan dalam Hati seperti Maria (Pondering Heart of Mary)
Ignacia sering mengalami keresahan dalam hatinya salah satunya karena ia
melihat masa depan kehidupan sosial yang tidak adil dan semena-mena. Ia
mengalami kesulitan untuk keluar dari kemelut ini, untuk itu ia berusaha meminta
saran dari seseorang yang dapat membantunya menemukan jalan keluar dari
persoalan yang sedang dihadapinya. Ia menemukan sosok yang tepat yaitu Bunda
Maria. Ignacia terinspirasi dari teladan Maria yang menyimpan segala sesuatu
dalam hatinya dan merenungkannya (Luk. 2:19, 51), dengan meneladan sikap
Maria ini, Ignacia menemukan jawaban atas segala keresahan hatinya. Ia menjadi
lebih sadar akan perasaannya dan suasana hatinya. Ignacia memupuk sikap
dicernmen sebagai usahanya memelihara semangat Maria tersebut.
c. Relasi yang Intim dengan Yesus Kristus (Intimacy With Christ)
Sikap belas kasih Ignacia berakar dari cinta Kristus sendiri. Relasinya yang
akrab dengan Kristus menjadi dasar hidupnya. Ia tidak menunggu untuk menerima,
tetapi dia bebas untuk memberi dari hatinya apa yang dimilikinya, dengan kata lain
16
ia memberi seluruh dirinya untuk orang lain. Ia tidak menunggu untuk dicintai
tetapi ia keluar untuk berbagi cinta dan perhatian kepada orang lain. Lebih dari itu
berkat keintimannya dengan Kristus membuat ia semakin menyatu denganNya, dan
lebih bersikap reflektif dalam tingkah laku dan gerak-geriknya. Kemurnian hatinya
diungkapkan dalam tutur kata yang santun dan dalam pelayanan kasihnya.
B. Spiritualitas Kongregasi RVM
Kongregasi Religious Of the Virgin Mary (RVM) berakar dari kharisma
pendiri “pelayanan yang total demi kerajaan Allah” dan spiritualitas “Hamba hina”
yang diwariskan kepada para pengikutnya turun temurun. Panggilan hidup Ignacia
berciri khas Maria dan berkarakter St. Ignatius Loyola. Ignacia menjawab
panggilan Tuhan berkat inspirasi dari pribadi Maria yang terbuka dan rendah hati
pada sapaan Allah untuk menjadi Bunda PutraNya, ia juga didorong oleh semangat
pelayanan St. Ignatius yang melakukan segala hal demi kemuliaan Allah. Dua
aspek ini dinyatakan dalam satu kesatuan yang tak terpisahkan yakni kontemplasi
dalam aksi. Dalam semangat dicernmen setiap RVM mencari dan menemukan
kehendak Allah dan menanggapiNya dengan penuh iman melalui suatu keterlibatan
yang mendalam yang berdaya kreasi dalam misi Kristus di dunia ini (Hasil Kapitel
Umum Biasa, 2001, hal.2).
Benih panggilan yang tumbuh dalam diri Ignacia menjadi nyata setelah ia
mengikuti latihan rohani St. Ignatius. Dalam retret itu Ignacia dibimbing oleh P.
Paul Klein, SJ. Ignacia diarahkan untuk menemukan kehendak Tuhan dan berani
menjawab panggilanNya untuk mengabdi kekuasaan tertinggiNya (Anicia Co,
17
1998: 26). Roh pembeda yaitu latihan rohani St. Ignatius inilah yang kemudian
menjadi bagian dari hidup kongregasi RVM hingga saat ini.
Sifat apostolik dari kongregasi yang “melakukan segala sesuatu demi
kemuliaan Tuhan” adalah bukti bahwa pengaruh semangat santo Ignatius dalam
perjalanan hidup panggilan Ignacia sangat besar. Dalam karya apostoliknya Ignacia
terus bekerja sama dengan para imam Yesuit dalam membangun dan memajukan
orang-orang pribumi khususnya kaum perempuan Filipina. Dalam pelayanan
Ignacia dan para susternya selalu mencari dan menemukan kehendak Tuhan.
Mereka melayani dengan tulus dan memberikan pendidikan iman serta ketrampilan
bagi orang-orang pribumi yang pada saat itu mengalami penderitaan akibat
penjajahan dari bangsa asing.
Bunda Maria adalah sosok pribadi yang begitu dekat dan lekat dengan
kehidupan Ignacia dan teristimewa jawaban Ignacia terhadap panggilan Tuhan
terinspirasi dari sikap keterbukaan Maria yang radikal. Keberanian Ignacia yang
secara tegas menjawab panggilan Tuhan merupakan suatu pancaran keberanian dari
Bunda Maria yang menjawab “ya” atas panggilan Allah untuk menjadi Ibu Tuhan
(Constitution of the RVM Revised, 2002, no.1)
Melalui latihan rohani St. Ignatius Loyola, Ignacia mengkontemplasikan
panggilan Tuhan dalam keheningan, dan mempersatukan diri dengan Tuhan dan
kehendak penciptaNya. Dengan mengambil Maria sebagai ibu, model dan sahabat
maka Ignacia mengenakan spiritualitas Maria sebagai hamba Tuhan yang bersedia
dan taat menerima panggilan Tuhan untuk mengambil bagian dalam karya
penyelamatan Allah di dunia ini.
18
Spiritualitas sebagai hamba Tuhan ini lalu diwariskan Ignacia kepada pengikutnya sebagaimana tercantum dalam Constitution of the RVM Revised 2002, No. 4, yakni :
Dijiwai oleh fiat Maria “aku ini hamba Tuhan”, setiap suster RVM mampu mewujudnyatakan sikap-sikap dasar dari BundaNya menurut perkembangan zaman. Seperti Bunda Maria setiap suster harus memiliki iman yang mendalam, kerendahan hati, dan taat pada Kristus sang Mempelai Ilahi Usaha dalam mengejawantahkan spritualitas Maria ini menjadi sebuah
komitmen yang harus menjadi milik setiap suster RVM dalam kehidupannya setiap
hari, karena itu para suster perlu menyadari beberapa hal sebagaimana yang
tercantum dalam konstitusi kongregasi RVM (2002: 2-3) yaitu: Pertama, menyadari
keberadaannya sebagai pribadi yang diciptakan Allah secara unik dan yang dipilih
oleh Allah untuk menjadi instrumen cinta kasihNya. Kesadaran ini menghantar
para suster untuk membuka diri secara utuh terhadap cinta Ilahi dan kemudian
dengan bebas dan rela berbagi cinta kepada sesama.
Kedua, mempunyai sumbangan kepada dunia sebagai seorang wanita
melalui kontemplasi, doa, kelembutan, kemurnian, kepekaan, kesabaran, belas
kasih dan penghormatan atas hidup. Cinta penuh pengorbanan, kesetiaan dan
melayani dengan semangat yang besar demi kerajaan Allah menjadi dasar hidup
panggilan para suster.
Ketiga, terlibat dalam tradisinya sendiri dan menghargai warisan
budayanya. Dia harus memiliki sikap hormat dan cinta akan negaranya dalam
kepedulian sosial dan budaya serta memberikan dirinya bagi perkembangan
negaranya, dengan kata lain RVM terlibat dalam memberikan suatu pandangan atau
aksi nyata demi perkembangan Gereja dan masyarakat. Dalam hal ini setiap RVM
harus meneladan pribadi Maria yang sangat menghormati tradisi Yahudi serta
19
mempersembahkan dirinya bagi orang-orang pada zamannya (bdk. Luk.1: 56).
Kelembutan dan kepekaan hati Maria serta kesetiaannya di kaki salib Yesus
Puteranya menjadi dasar bagi setiap suster RVM dalam membangun hidup pribadi,
komunitas dan karya kerasulan.
Keempat, mampu melakukan disermen dalam mencari dan menemukan
kehendak Allah serta berani melaksanakannnya. Selanjutnya secara pribadi maupun
bersama membangun persahabatan yang otentik dengan Bunda Maria sebagai
pribadi yang hidup.
C. Kekuatan dan Kelemahan Kepemimpinan RVM
Pada tanggal 3 April-20 Mei 2001 diadakan kapitel umum biasa RVM yang
ke-17 di Tagaytay, Filipina. Dalam kapitel ini para peserta mengadakan evaluasi
dan refleksi atas penghayatan hidup bakti dan perkembangan kongregasi selama
lima tahun. Salah satu pokok penting yang dibahas adalah tentang sejauh mana para
pemimpin dalam tarekat RVM telah bertumbuh dalam pemahaman, pengungkapan
dan perwujudan makna kepemimpinan yang sesuai dengan kepemimpinan Yesus
dan semangat Ignacia, yakni kepemimpinan sebagai hamba Tuhan.
Dalam evaluasi dan refleksi tersebut ditemukan beberapa kekuatan dan
kelemahan dari kepemimpinan baik secara lokal maupun internasional. Namun
sebelum memaparkan hal itu, terlebih dahulu penulis memaparkan kualitas
kepemimpinan Mother Ignacia sebagai peletak dasar kepemimpinan kongregasi
RVM.
20
1. Kualitas Kepemimpinan Mother Ignacia
Ignacia adalah perempuan yang memiliki kedalaman iman dan menaruh
kepercayaan penuh pada penyelenggaraan Ilahi. Dalam kepemimpinannya ia tidak
mengandalkan kekuatannya semata, ia mengandalkan kekuatan Kristus. Mother
Ignacia menyadari bahwa segala yang dimilikinya, bakat, talenta, hidup bahkan
seluruh dirinya adalah anugerah Tuhan yang diberikan secara cuma-cuma. Oleh
karena itu dalam rangka menjalankan tugas kepemimpinannya Ignacia
menghayatinya sebagai suatu bentuk pengabdian pada Allah dan sesama. Semua
yang dimilikinya dikembalikan kepada Allah lewat doa, pujian dan pelayanan
apostolisnya.
Cintanya akan salib Kristus dan demi keselamatan jiwa-jiwa, membuat ia
rela berbagi dan memilih hidup miskin dan sederhana dalam kesetiakawanan
dengan yang menderita. Dia teguh dan berani dalam menjawab kebutuhan
zamannya berjuang mengangkat derajat kaum perempuan yang tertindas.
Ignacia memiliki relasi yang mendalam dengan Tuhan. Sebagai pemimpin
ia selalu melakukan dicernmen demi mengetahui kehendak Tuhan dalam hidupnya.
Apapun keputusan yang diambilnya adalah yang baik di hadapan Tuhan dan
komunitasnya. Pengabdiannya sebagai pemimpin disadari sebagai suatu bentuk
penghayatan akan teladan kepemimpinan Yesus sendiri yang datang untuk
melayani bukannya dilayani. Yesus membuka tanganNya, memberikan hatiNya
untuk mencintai manusia terutama yang miskin dan tersingkir. Yesus melintasi
jarak, waktu, sekat-sekat, batas wilayah hanya untuk melayani manusia (Zaluchu,
2005: 40). Ignacia belajar dari sang Guru untuk menjadi pemimpin yang sejati, ia
mendatangi orang-orang yang dilayaninya bukan dengan kekuasaan dan kekuatan
21
tetapi dengan kerendahan hati, kelembutan dan keberadaan dirinya yang hanya
sebagai alat di tanganNya.
Popularitas dan jabatan bukan menjadi tujuan kepemimpinannya, meskipun
ia masih diharapkan oleh anggotanya untuk memimpin ia malah meletakkan
jabatannya kepada anggota yang lain. Ignacia memilih untuk memberikan
kesempatan kepada para anggotanya untuk mengalami pengalaman baru lewat
kepemimpinan orang lain. Ia memilih menjadi anggota biasa sampai akhir
hidupnya. Ia bersikap lepas bebas terhadap jabatan sebagai pemimpin, karena ia
sadar bahwa semua yang ada padanya saat ini adalah anugerah Tuhan semata, jadi
ia tidak berhak untuk menguasai semuanya itu termasuk kedudukannya sebagai
pemimpin.
2. Kekuatan dan Kelemahan Kepemimpinan para Suster RVM berdasarkan Hasil
Kapitel Umum Biasa RVM ke-17 tahun 2001.
Para suster RVM dalam kepemimpinannya menampakkan penghayatan
hidup doa yang dalam, berbelaskasih dan memiliki dedikasi yang tinggi terhadap
visi misi kongregasi. Dalam kehidupan berkomunitas mereka telah berusaha
menciptakan suasana yang fleksibel, terbuka, mengedepankan unsur dialog dan
partisipasi yang luas kepada para anggotanya dalam usaha mencapai konsensus
bersama, meskipun kadang keputusan akhir ada pada pemimpin. Namun yang
bernilai di sini adalah bahwa adanya proses disermen bersama untuk menemukan
kehendak Allah. Baik pemimpin maupun anggota meninggalkan egonya,
kepentingannya sendiri ataupun keinginan-keinginan pribadi dan berusaha
22
mendengarkan, memberi gagasan-gagasan atau pandangan yang berharga demi
menemukan keputusan yang sesuai dengan kehendak Allah.
Para pemimpin sering mengadakan kunjungan-kunjungan ke setiap
komunitas, mengadakan pertemuan-pertemuan, seminar-seminar, rekoleksi, retret
dan pembagian sirkular demi membangun persekutuan kasih dalam komunitas.
Kehadiran para pemimpin di tengah-tengah anggotanya ini dirasakan oleh setiap
suster sebagai berkat, dukungan dan kekuatan yang membangkitkan semangat
untuk semakin setia padaNya. Namun demikian dalam kunjungan tersebut
dirasakan waktunya terlalu singkat bagi pemimpin untuk mengenal lebih dalam
setiap pribadi dan mendengarkan sharing perjuangan dan pergulatan para
anggotanya.
Para pemimpin telah berusaha menghayati hidup sederhana dan mau
melayani sesama dengan tulus. Meskipun demikian masih ada pemimpin yang
tidak berani lepas bebas dari kelekatannya, dari rasa aman, dan kemapanannya
entah itu lingkungan yang menyenangkan, jabatan, atau orang-orang di sekitarnya.
Di tengah-tengah gaya hidup materialisme, konsumerisme dan hedonisme ini ada
yang tidak mampu mengatakan “cukup” untuk membatasi keinginannya (Hasil
Kapitel Umum Biasa ke-17, 2001, no.6)
Para pemimpin telah mengulurkan tangan kepada orang lain dengan
memberi yang terbaik sebagaimana nampak dalam kualitas pelayanan yang
disumbangkan, namun demikian masih ada kecenderungan yang berorientasi pada
fungsi seperti lebih fokus pada kerja dan ambisi untuk berhasil daripada
mengutamakan Kristus dan nilai-nilai Kerajaan Allah, dengan kata lain masih ada
23
keinginan kuat untuk berkuasa (Hasil Kapitel Umum Biasa RVM ke-17, 2001,
no.3).
Pada taraf tertentu, para suster telah mengalami kepemimpinan kolaboratif
dan partisipatif. Para suster dalam kepemimpinannya membagi tanggung jawab
bersama dengan tingkat kepemimpinan yang paling bawah. Namun demikian ada
beberapa di antara mereka tidak dengan sungguh-sungguh bekerjasama dan kurang
Bertanggung jawab dalam tugasnya karena kurang memahami prinsip-prinsip
kepemimpinan (Hasil Kapitel Umum Biasa ke-17, 2001: 64).
24
BAB III
TAFSIR INJIL YOHANES 13:1-20
Yohanes 13 hingga 20 lebih memusatkan perhatian pada bagaimana Yesus
akan kembali kepada BapaNya dan dampaknya bagi para murid. Bila pada bab-bab
sebelumnya Yesus sudah mengisyaratkan datangnya “saat”, kini saat itu sudah
dekat dan membawa penentuan bagi Yesus dan para muridNya. “Saat” itu
didahului dengan peristiwa perpisahan antara Yesus dengan para muridNya dan
dalam peristiwa tersebut Yesus mewariskan sebuah teladan kasih lewat
pembasuhan kaki para muridNya. Untuk lebih memahaminya maka pada Bab III
ini akan dibahas mengenai konteks, struktur, tafsir dan pesan Injil Yohanes 13:1-
20. Selanjutnya di bawah ini dikutip kisah lengkap teks tentang “Yesus Membasuh
Kaki Para MuridNya” (Yoh. 13:1-20) berdasarkan Kitab Suci Perjanjian Baru,
terbitan Lembaga Alkitab Indonesia, tahun 1995.
Teks Injil Yohanes 13:1-20 sebagai berikut :
Yesus Membasuh Kaki Para MuridNya
(Yohanes 13:1-20)
1 Sementara itu sebelum hari raya Paskah mulai, Yesus telah tahu, bahwa saatNya telah tiba untuk beralih dari dunia ini kepada Bapa. Sama seperti Ia senantiasa mengasihi Murid-muridNya demikianlah sekarang Ia mengasihi mereka sampai pada kesudahannya. 2 Mereka sedang makan bersama, dan iblis telah membisikkan rencana dalam hati Yudas Iskariot, anak Simon, untuk mengkhianati Dia. 3 Yesus tahu bahwa, BapaNya telah menyerahkan segala sesuatu kepadaNya dan bahwa Ia datang dari Allah dan kembali kepada Allah. 4 Lalu bangunlah Yesus dan menanggalkan jubahNya. Ia mengambil sehelai kain lenan dan mengikatkannya pada pada pinggangNya, 5 kemudian Ia menuangkan air ke dalam sebuah basi, dan
25
mulai membasuh kaki murid-muridNya lalu menyekanya dengan kain yang terikat pada pinggangNya itu. 6 Maka sampailah Ia kepada Simon Petrus. Kata Petrus kepadaNya: “Tuhan, Engkau hendak membasuh kakiku?” 7 Jawab Yesus kepadanya: “apa yang Kuperbuat, engkau tidak tahu sekarang, tetapi engkau akan mengertinya kelak.” 8 Kata Petrus kepadaNya: “Engkau tidak akan membasuh kakiku sampai selama-lamanya.” Jawab Yesus: “ jikalau Aku tidak membasuh engkau, engaku tidak mendapat bagian dalam Aku.” 9 Kata Simon Petrus kepadaNya: “Tuhan jangan hanya kakiku saja, tetapi juga tangan dan kepalaku!” 10 Kata Yesus kepadanya: “barangsiapa telah mandi, ia tidak usah membasuh diri lagi selain membasuh kakinya, karena ia sudah bersih seluruhnya. Juga kamu sudah bersih, hanya tidak semua.” 11 Sebab Ia tahu, siapa yang akan menyerahkan Dia. Karena itu Ia berkata: ‘tidak semua kamu bersih.” 12 Sesudah Ia membasuh kaki mereka, Ia mengenakan pakaianNya dan kembali ke tempatNya. Lalu Ia berkata kepada mereka: “mengertikah apa yang telah Kuperbuat kepadamu? 13 Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab memang Akulah Guru dan Tuhan. 14 Jadi jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamupun wajib saling membasuh kakimu; 15 sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah kuperbuat kepadamu. 16 Aku berkata kepadamu: sesungguhnya seorang hamba tidaklah lebih tinggi daripada tuannya, ataupun seorang utusan daripada dia yang mengutusnya. 17 Jikalau kamu tahu semua ini, maka berbahagialah kamu, jika kamu melakukannya. 18 Bukan tentang kamu semua Aku berkata. Aku tahu siapa yang telah Kupilih. Tetapi haruslah genap nas ini: “orang yang makan roti-Ku, telah mengangkat tumitnya terhadap Aku. 19 Aku mengatakannya kepadamu sekarang juga sebelum hal itu terjadi, supaya jika hal itu terjadi, kamu percaya, bahwa Akulah Dia. 20 Aku berkata kepadamu: “Sesungguhnya barangsiapa menerima orang yang Kuutus, ia menerima Aku, dan barangsiapa menerima Aku, ia menerima Dia yang mengutus Aku.”
26
A. Konteks Injil Yohanes 13:1-20
Penginjil Yohanes melukiskan kisah pembasuhan kaki para murid terjadi
sebelum hari raya paskah Yahudi (13:1). Menurut Yohanes hari raya Paskah
Yahudi jatuh pada hari kelima belas bulan Nisan, dimulai sejak Jumat malam pada
saat matahari terbenam; karena itu perjamuan pada hari Kamis malam dan kisah
Jumat Agung terjadi pada tanggal empat belas bulan Nisan (Brown, 1960: 66).
Tindakan yang cukup penting menyangkut pewahyuan diriNya ditempatkan
dalam latar belakang hari raya Paskah Yahudi. Pada saat hari raya tersebut, suasana
kota menjadi ramai, kegembiraan meluap-luap, kenangan akan peristiwa
pembebasan bangsa Israel pada zaman dulu dan pengharapan pada saat ini tentang
pengorbanan dan devosi yang tinggi begitu memenuhi pikiran dan hati orang-orang
Yahudi. Di tengah kesibukan orang-orang Yahudi tersebut, Yesus sang Anak
Domba Allah, mempersiapkan dengan tenang segala sesuatu untuk memenuhi
suatu perjamuan yang lain (White, 1993:115), sebuah perjamuan kasih bersama
dengan sahabat-sahabat yang dikasihiNya.
Pewahyuan diriNya ditempatkan berhadapan dengan saat-saat terakhir
kehidupanNya di dunia (12:23; 13:1). Seluruh kehidupan Yesus dan misi yang
diembanNya dari Bapa hampir selesai, dan sekarang, saat yang ditetapkan bagiNya
perlahan tapi pasti mendekati puncaknya. Yesus sadar sepenuhnya bahwa Ia akan
segera kembali kepada Bapa yang mengutusNya dan tentang ini bukanlah
kehendak manusia yang mengaturNya, melainkan kehendak Bapa sendiri yang
terjadi, dan Yesus telah siap untuk menghadapi dan menjalani rencana Bapa itu.
Pewahyuan diriNya juga ditempatkan dalam latar belakang cintaNya yang
kekal kepada para muridNya (ayat 1). Ia mencintai milikNya sama seperti dunia
27
mencintai miliknya (15:19), tetapi yang tak tergantikan ialah betapa Ia tidak
mengutamakan diriNya sendiri, sampai kapan pun, sampai kepenuhanNya.
Hubungan pribadi tersebut, yang dipenuhi oleh suasana kesedihan, semakin
menambah ketegangan dalam kisah malam itu. Tentu saja ada sebuah pengecualian
di sana: rencana pengkhianatan Yudas (ayat 2) yang sangat mengejutkan para
murid. Kesetiaan yang diimplikasikan dalam makan bersama rupanya tidak mampu
mengikat kesatuan di antara mereka semua. Setan menawarkan pikiran jahat, dan
berhasil memenangkan Yudas untuk menyetujui tindakan pengkhianatan terhadap
Sang Guru dan Tuhan yang selama ini selalu bersamanya.
Latar belakang kosmis tersebut (kontradiksi antara yang baik dan jahat
(ayat 2)), bertentangan dengan penyingkapan diri Kristus. Seraya mengelilingi meja
perjamuan di Yerusalem, beberapa isu mulai dipersoalkan. Yudas mungkin saja
menjadi agen yang memainkan peran kecil; sumber asli tentang oposisi/perlawanan
terhadap maksud Allah ialah konflik yang amat lama antara Allah dan “lawan atau
musuhNya” (satan dalam bahasa Ibrani), konflik antara terang dan gelap (1:5),
antara yang baik dan yang jahat. Dan sekarang, dalam perjamuan malam terakhir
ini, pertempuran antara dua hal tersebut berlangsung: “pemerintah”
(setan/kejahatan) dunia melawan Penyelamat dunia, dan ini tentang penghakiman
(12:31). Ia (penguasa dunia) datang dan melawan Yesus, tetapi tak berkuasa
apapun atas Yesus (14:30) (White, 1993: 115).
Pewahyuan diri Kristus ditempatkan, atau diperhadapkan dengan latar
belakang keTuhananNya atas segala sesuatu dimana Bapa telah menyerahkan
segalanya ke dalam tanganNya (ayat 3). Yesus mengetahui bahwa Bapa memiliki
kuasa terhadap seluruh misiNya di dunia, dan untuk itu apa yang menjadi karya dan
28
pewartaanNya adalah sesuai dengan kehendak Bapa. Ketika pada perjamuan
malam terakhir bersama murid-muridNya Yesus mengetahui bahwa kuasa yang
diberikan Bapa kepadaNya sebagai penyelamat dunia hampir usai. Ia telah datang
dari Bapa dan akan kembali kepada Bapa. Dan untuk mengakhiri semuanya itu Ia
akan melewatinya dengan penderitaan dan pengorbanan yang besar namun Ia tidak
gentar dan mundur sebab Bapa telah mengaruniakan kepadaNya kemampuan untuk
menghadapi semuanya itu.
Akhirnya, dan sungguh mengagumkan, pengungkapan diri Yesus pada
malam perjamuan ini ditempatkan dalam latar belakang seluruh peristiwa
penebusan yang dibawa oleh Kristus dari kemuliaan yang Ia miliki bersama Allah
sendiri sebelum dunia dijadikan. Ia masuk ke dunia dengan seluruh penghinaan,
kerendahan, penolakan dan berpuncak pada kematian (White, 1993: 116) dan pada
hari ketiga Ia bangkit dari maut. KebangkitanNya mengalahkan kuasa setan atas
manusia dan menghantar manusia kembali kepada Bapa. Dengan demikian
membawaNya kembali menuju kemuliaan bersama Bapa di surga.
Demikianlah Penginjil Yohanes menggambarkan sebuah moment yang
agung menjelang akhir misi penyelamatan Yesus dengan sebuah peristiwa yang
sederhana tapi syarat makna, kasih sampai sehabis-habisnya. Sebuah kenangan
terakhir dari Sang Guru yang sangat indah menjadi warisan teladan cinta kasih dan
kerendahan hati bagi para pengikutNya (White, 1993: 116).
29
B. Struktur Injil Yohanes 13:1-20
Injil Yohanes 13:1-20 dibagi dalam susunan sebagai berikut:
Ayat 1 dan 3 : Pengantar yang menunjukkan apa yang terjadi padaYesus.
Ayat 2 : Kisah pengkhianatan Yudas Iskariot yang juga menjadi bagian
dari kesadaran Yesus.
Ayat 4-5 : Kisah pembasuhan kaki para murid oleh Yesus.
Ayat 6-10a : Tafsiran atas kisah pembasuhan kaki serta para tokoh dalam
kisah tersebut. Soal yang diumumkan adalah soal “bersih”.
Ayat 10b-11 : Siapa yang “tidak bersih”.
Ayat 12-15 : Tafsiran dan penerapan bagi para murid (para murid harus
mengikuti teladan Yesus).
Ayat 16 : Sabda Yesus yang mirip dengan Matius 10:24; Lukas 6:40 dan
Yohanes 15:20.
Ayat 17 : Lanjutan tafsiran dengan nada ajakan.
Ayat 18 : Yesus menunjukkan pada Yudas yang “tidak melakukan”.
Ayat 19-20 : Pesan Yesus kepada para murid dan ditutup dengan sabda yang
mirip pada Matius 10:40; Markus 9:37; Lukas 9:48, 10:16
C. Tafsir Injil Yohanes 13:1-20
Lukas 22:24-28 mengungkapkan para murid yang mempersoalkan siapa
yang terbesar, dan Yesus pun mengatakan, “Biarlah yang terbesar di antara kalian
menjadi yang termuda, dan seorang pemimpin berlaku sebagai seorang yang
melayani … Aku ada di antara kalian sebagai seorang yang melayani”. Penginjil
Yohanes mengabaikan perkataan ini, namun justru ia melukiskan suatu tindakan
30
Yesus (pembasuhan kaki) yang dramatis yang memang mengungkapkan seluruh
makna dari perkataan dalam Injil Lukas tersebut.
Tindakan Yesus selama pembasuhan kaki menyimbolkan kesengsaraan dan
kematianNya kelak yang menyelamatkan dunia. Penanggalan jubahNya (13:4)
merefleksikan penanggalan seluruh hidupNya, penanggalan atas kemuliaanNya
dengan mengambil rupa seorang hamba dan yang memberikan hidupNya sendiri
demi sahabat-sahabatNya (Yoh.10:17; 15:13). Pembasuhan kaki (13:5) menunjuk
pada pembasuhan dengan air yang membuat seseorang menjadi anak Allah (Yoh.
3:5; 13:10). Bahkan lebih dari itu tindakanNya ini menjadi isyarat dari sikap patuh
dan setia pada kehendak BapaNya dan memang untuk itulah Ia datang ke dunia.
Perlu diketahui bahwa, sistem hukum Yahudi tidak menghargai seorang budak
sebagai harta milik dari seorang Yahudi, sampai sang budak menunjukkan
beberapa tindakan pelayanan pribadi bagi tuannya. Dengan demikian melalui
pembasuhan kaki para murid, Yesus menjadikan diriNya sendiri sebagai hamba
mereka yang sesungguhnya. Ia menjadi hamba mereka bukan sebagai seseorang
yang merasa rendah diri, melainkan sebagai seseorang yang berbagi kasih dengan
orang yang dilayani, dengan bebas Ia menerima semua tuntutan dan konsekuensi
dari pelayanan itu. PelayananNya itu bukanlah sebuah tindakan penghindaran diri
dari berbagai kesusahan, melainkan lahir dari komitmen serta kesadaran sebagai
seorang Mesias yang menderita demi menyelamatkan manusia dari belenggu dosa
(Wijngaards, 1986: 236).
Pembasuhan kaki oleh Yesus juga menyimbolkan ambil bagian dalam karya
keselamatan Kristus (ay. 6-11). Yesus digambarkan sebagai seorang hamba atau
abdi yang memberikan nyawaNya kepada manusia (Filipi 2:7-8) agar manusia
31
memperoleh keselamatan dan kemerdekaan sejati sebagai anak-anak Allah.
Mengambil bagian dalam karya keselamatan Kristus tidak serta merta terjadi begitu
saja namun melalui suatu proses dan perjuangan yang besar yakni melalui suatu
jalan “pertobatan atau metanoia” yang terus menerus (Darmawijaya, 988: 95).
Proses ini dapat ditemukan dalam pribadi Petrus yang terlibat dalam kisah
pembasuhan kaki pada malam perjamuan itu. Ketika tiba giliran Yesus membasuh
kakinya. Petrus mempertanyakan tindakan Yesus tersebut “Tuhan, Engkau hendak
membasuh kakiku?” (ay.6). Petrus tidak ingin Yesus melakukan pekerjaan yang
hanya boleh dilakukan oleh seorang budak pada tuannya. Yesus tidak terpengaruh
oleh reaksi Petrus, Ia mengatakan bahwa apa yang dilakukanNya saat ini tidak
dipahaminya sekarang tetapi kelak mereka akan mengerti. Jawaban Yesus ini
mengingatkan para pembaca Yohanes pada kisah lainnya, yakni perkataan Yesus
tentang kenisah ataupun perjalananNya masuk Yerusalem, para murid tidak
mengerti sampai mereka “mengingat kembali” semuanya setelah kematian dan
kebangkitanNya (2:22; 12:16) (Brown, Cs, 2000: 973).
Pada ayat 9, Petrus kembali meminta kepada Yesus untuk tidak hanya
membasuh kakinya saja melainkan tangan dan kepalanya juga, namun ayat 10
memberikan petunjuk bahwa pembasuhan penuh oleh Yesus sudah dilaksanakan
bagi para murid. Dengan demikian pembasuhan kaki oleh Yesus sebagai “tanda”
sudah cukup. Pembasuhan yang sesungguhnya dalam arti pembasuhan yang
sempurna atau penuh kiranya dimaknai dalam pembasuhan oleh darah Yesus
Kristus sang Anak Domba Allah yang dikurbankan di kayu salib (1 Yoh. 1:7).
Pandangan ini yang kemudian dirumuskan oleh Gereja awal dengan istilah
“baptisan” atau kelahiran baru (bdk. Yoh 3:1-7). Maka jawaban Yesus kepada
32
Petrus bahwa “sudah mandi” (ay.10) tidak perlu lagi dibasuh seluruhnya menunjuk
pada baptisan itu sendiri. Selanjutnya Penginjil Yohanes juga tidak begitu saja
mengabaikan kata “bersih” dari para murid. Menurut Darmawijaya (1988: 95) para
murid memang belum dibaptis, tetapi bagi Yesus mereka sudah bersih karena iman
akan sabda Yesus yang mereka dengar (Yoh. 15:3). Melalui perlawananNya atas
dosa, memikul dosa dan mati karena dosa umat manusia, Yesus telah membasuh
sampai bersih semua yang berdosa.
Baptisan yang dilambangkan dengan pembasuhan memiliki makna yang
sangat penting sebab melalui baptisan para murid mengambil bagian dalam tugas
“pengabdian” Yesus (bdk.13:8), yakni tugas pelayanan kepada sesama.
Mengambil bagian dalam misi Kristus itu, Yesus memberi catatan tersendiri bagi
Yudas “kamu sudah bersih, namun tidak semua” (ay. 10d-11). Yudas memang
menjadi bilangan dari kedua belas murid Yesus yang setiap saat selalu berada di
dekat Yesus, mendengarkan sabda Yesus, melihat karya-karya Yesus, tetapi Ia
sendiri tidak mau terlibat dalam karya Yesus bahkan ia bersekutu dengan pikiran
jahat iblis dan melakukan pengkhianatan terhadap Gurunya sendiri. Yudas
memutuskan tali persaudaraannya dengan Yesus dan para murid yang lain, ia lebih
memilih berada di pihak setan, dan menolak pewahyuan kasih Allah dalam diri
Yesus Kristus (Yoh. 6:70-71).
Yesus menyelesaikan tugasNya membasuh kaki para murid, lalu
mengenakan lagi jubahNya dan kembali ke meja perjamuan. Tak seorang pun
berani menawarkan diri untuk membasuh kakiNya. Dalam saat hening ini Yesus
bertanya kepada para muridNya “mengertikah kamu apa yang telah Kuperbuat
padamu?” (ayat 12). Mereka telah melihat, namun apakah mereka menangkap
33
maksudnya? Yesus perlahan-lahan membuka hati dan pikiran para murid akan
tugas dan misi yang akan mereka emban sesudah kematianNya, bahwa yang
pertama-tama adalah mereka harus saling melayani satu sama lain dalam kasih
(ayat 13-14). Ia telah menunjukkan teladan kasih yang sempurna sebagai seorang
pemimpin dan inilah pola tingkah laku Kristiani yang sejati yang harus dihayati
yakni melayani dalam kasih dan penuh kerendahan hati. Melalui pembasuhan ini
juga Yesus mendidik para murid bahwa yang terutama bukanlah sekedar mengikuti
Yesus secara moral, melainkan lebih dari itu mampu menerima Dia sebagai pribadi
Ilahi (bdk. 13:38) yang bersatu dengan Bapa. Mengikuti Kristus bukanlah terbatas
pada sikap dan hal-hal lahiriah tetapi lebih berlandaskan pada motivasi untuk
mengalami persatuan batiniah yang dalam dengan Allah dan ketaatan yang penuh
pada Bapa sebagaimana telah diteladankan oleh Yesus sendiri.
Setelah Yesus menjelaskan arti pembasuhan kepada para muridNya, kini
pada ayat 18-20 Yesus kembali berbicara tentang apa yang akan terjadi dengan
diriNya yakni piala penderitaan yang sesaat lagi akan diminumNya. Dengan
demikian Yesus menyiapkan para murid untuk menghadapi pengkhianatan yang
mengejutkan terhadap diriNya. Isyarat pada ayat 10 “tidak semua kamu bersih”
secara samar mempersiapkan para murid pada peringatan di ayat 18 “…orang yang
duduk dan makan bersamaKu telah bangkit melawan Aku”, sebelum kesaksianNya
pada ayat 21 “… sesungguhnya seorang dari kamu akan mengkhianati Aku”
(White, 1993: 120). Hal ini senada dengan apa yang tertulis dalam Kitab Mazmur
“Malah sahabatku yang paling karib, yang dengannya aku berbagi makan telah
mengangkat tumitnya melawan aku” (Mzm 41: 9).
34
Yesus secara jujur dan terbuka, berbicara di hadapan murid-murid bahwa Ia
sudah tahu apa yang akan menimpa diriNya pada keesokan hari (dalam jalan
salibNya). Yesus mengungkapkan bahwa pengkhianatan atas diriNya dilakukan
oleh orang terdekatNya (ayat 18, 21). Ia memilih mereka semua (ayat 18; 6:70),
dan Ia begitu mengenal mereka (2:25). Dalam memilih Yudas, Ia tidaklah membuat
suatu kesalahan, dan tentunya tidak menempatkan Yudas dalam posisi yang salah.
Yudas memang memiliki kualitas yang mungkin bisa membuatnya menjadi
seorang murid, dan kepadanya diberikan kesempatan dan keistimewaan yang sama
sebagaimana kepada para pengikutNya yang lain. Namun penyesalannya yang
terakhir setelah peristiwa pengkhianatan itu menunjukkan apakah ia layak menjadi
murid atau tidak! (White, 1993: 120).
Yudas pergi ke jalan yang salah. Ia memilih menjadi agen dari kekuatan
yang lebih hebat dari dirinya sendiri yakni terjerat dalam kuasa iblis (Mrk 14:10-
11), semua itu terjadi dengan kemauannya juga; ia merencanakan, menerima
pembayaran tiga puluh keping perak, dan ia berkhianat hanya dengan sebuah
ciuman! Kisah ini menjadi peringatan bagi mereka semua (ayat 20), bahwa untuk
menerima atau menolak Yesus sama saja dengan menerima atau menolak Allah.
Dan Yudas telah membuktikan itu bahwa penyesalannya dengan mengakhiri
hidupnya sendiri menunjukkan ia telah menolak cinta kasih Allah.
D. Pesan Injil Yohanes 13:1-20 bagi Para Suster Pemimpin dalam
Kongregasi RVM
Peristiwa pembasuhan yang dilakukan oleh Yesus sebelum perayaan Paskah
Yahudi merupakan sebuah peristiwa agung dan mulia. Tindakan pembasuhan yang
35
lazim hanya dilakukan oleh seorang hamba kepada tuannya, dengan rendah hati
dan penuh kasih dilakukan oleh Yesus kepada para muridNya. Ia yang adalah
seorang Mesias, Guru dan Tuhan rela berlutut, dan membasuh kaki para murid
yang kotor penuh debu mungkin juga aromanya tidak sedap. Tapi mengapa Yesus
mau melakukan pekerjaan yang hina itu? Yesus memang tidak sedang melakukan
sebuah sandiwara di hadapan para muridNya, melainkan Yesus menunjukkan
sebuah teladan hidup bagaimana mencintai sampai sehabis-habisnya dan sekaligus
memberi teladan bagaimana seharusnya menjadi seorang pemimpin yang sejati
(13:14-15). Peristiwa pembasuhan kaki merupakan suatu teladan sekaligus
pendidikan kepemimpinan para murid yang sangat mulia dan menyentuh hati para
murid. Yesus mau menunjukkan bahwa menjadi pemimpin yang sejati berarti
“melayani dengan penuh kasih dan ketulusan hati, kejujuran dan penuh
kebijaksanaan” (Sardi, 2005: 223).
Ketika Yesus meninggalkan meja perjamuan, menanggalkan jubah,
mengambil serbet dan baskom berisi air lalu membasuh kaki para murid, Yesus
menghadirkan sebuah realitas kehidupan dari misiNya di dunia, yakni “Aku datang
bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani” (Mark. 10:45). Sebuah
konsekuensi diterimanya dari misi tersebut, “Ia turun dari kemuliaanNya yang
setara dengan Allah ke posisi yang rendah sebagai seorang hamba sejajar dengan
turunNya Ia dari surga ke kayu salib” (Wilkes, 2005: 186). Dengan demikian Yesus
mengajak para murid untuk menemukan makna kerendahan hati sebagai pelayan
yang mengambil bagian dalam misi Kristus sebagaimana yang Ia ajarkan kepada
mereka “Barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan” (Luk. 14:11).
36
Misi Yesus adalah melaksanakan kehendak Bapa dan menjadi hamba yang
melayani. Dalam Injil banyak ditemukan kisah yang menunjukkan bahwa Yesus
mengoreksi dan meluruskan berbagai persepsi pengikutNya mengenai siapakah
Dia. Lima ribu orang yang setelah mengalami mukjizat pergandaan roti
menginginkan Dia menjadi raja mereka (bdk. Yoh. 6:14-15). Sedangkan murid
yang lainnya Yakobus dan Yohanes menginginkan Dia menjadi Mesias yang akan
membangun sebuah kerajaan duniawi dan mereka diperbolehkan mengambil
bagian di dalamnya (Mark.10:35-40). Simon orang Zelot dan para murid yang lain
bahkan menginginkan Yesus menjadi Mesias yang mampu menghalau para
penindas Romawi (Wilkes, 2005: 186). Demikianlah gambaran para pengikut
Yesus yang menginginkan Ia hadir sebagai pemimpin yang memiliki kuasa untuk
membangun sebuah pemerintahan duniawi demi memenuhi sebuah tujuan politis
tertentu. Namun Yesus secara tegas menolak ide atau keinginan banyak orang
untuk menjadikan Dia sebagai raja atau pemimpin publik.
Yesus adalah Mesias, hamba yang menderita. Misi yang diembannya dari
Bapa adalah untuk menggenapkan nubuat nabi Yesaya mengenai Mesias yang
diutus untuk membebaskan mereka yang tertawan, tertindas, menyembuhkan yang
sakit dan memberikan penghiburan bagi yang menderita (Yes 61:1-2; Luk. 4:18).
Jelas bahwa sebagai seorang Mesias Ia menjadi hamba yang datang untuk
menderita dan “sesudah kesusahan jiwaNya ia akan menemukan terang dan
memperoleh pengetahuan yang sempurna ...” (Yes, 53:11) yakni mahkota
kemuliaan kekal bersama Bapa di surga. Misi Yesus bukan untuk memenuhi
keinginan dari siapapun. Sebaliknya misiNya adalah melaksanakan kehendak
Bapa; menghadirkan kerajaan Allah di dunia ini dan membebaskan manusia dari
37
belenggu dosa melalui pengorbananNya di salib serta menghantar manusia kembali
ke dalam kesatuan dengan Bapa di surga.
Kenyataan menunjukkan bahwa seringkali para pemimpin entah itu
pemimpin pemerintahan, maupun pemimpin religius termasuk dalam kongregasi
RVM tidak sempurna dalam menjalankan misi Kristus melalui tugas yang
diembannya dari tarekat. Misi itu terkadang gagal tidak sesuai harapan banyak
orang dan tujuan tarekat karena masih ada kecenderungan berorientasi pada fungsi
dan ambisi untuk berhasil daripada mengutamakan Kristus dan nilai-nilai Kerajaan
Allah, kurang melibatkan unsur disermen komunal dalam membuat keputusan
(Hasil Kapitel Umum Biasa RVM ke-17, 2001, no.3).
Yesus adalah pribadi yang konsisten, apa yang dikatakan atau diajarkan
itulah yang dilaksanakanNya dalam hidup, dengan kata lain antara perkataan dan
perbuatan sejalan. Maka ketika Ia berkata “Aku datang untuk melayani” benar-
benar Ia tunjukkan dalam pembasuhan kaki para murid. Yesus tidak merasa
terbebani dengan pekerjaan itu karena Ia melakukannya dengan sukarela, penuh
ketulusan hati dan karena kasihNya yang besar kepada Bapa dan para murid yang
dikasihiNya, “…jangan dengan terpaksa, tetapi dengan sukarela sesuai dengan
kehendak Allah” (1 Ptr. 5:2).
Yesus mau mengajak para pemimpin agar mereka mau menunjukkan sikap
sukarela atau keikhlasan hati dalam menjalankan tugas kepemimpinanya. Untuk itu
pertama-tama yang harus disadari adalah bahwa jabatan yang diterima sebagai
seorang pemimpin religius atas tugas tertentu entah sebagai provinsial, pemimpin
pada rumah-rumah pembinaan (formatio), atau sebagai pemimpin komunitas
merupakan anugerah panggilan Tuhan untuk menjadi “abdiNya”. Dengan demikian
38
ia tidak akan merasa sombong dan berkuasa atau sebaliknya ia merasa rendah diri,
menghindar, merasa tidak mampu, dan sebagainya. Ada dua unsur penting sebagai
jalan tengah agar kedua hal tersebut tidak terjadi dalam diri pemimpin, yaitu
pertama pengosongan diri. Pemimpin harus sadar bahwa dirinya tidak berarti apa-
apa bila tanpa campur tangan Allah. Ia harus terbuka mengakui kelemahan dan
kerapuhan dirinya dan mengundang Allah untuk menopang dirinya (Soenarja,
1984: 29), hal ini senada dengan apa yang dialami oleh Paulus dalam pewartaannya
“Cukuplah kasih karuniaKu bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasaKu
menjadi sempurna” (2 Kor. 12:9). Ketika seorang pemimpin membiarkan Allah
menyempurnakan kelemahannya maka ia akan semakin bergantung pada
penyelenggaraan Allah semata dan pelayanannya akan bermakna bagi para
anggotanya juga orang lain.
Unsur yang kedua adalah sikap rendah hati. Pemimpin yang rendah hati,
berarti ia akan tampil apa adanya, bersikap wajar atau tidak dibuat-buat untuk
mendapat simpati dari orang lain atau anggotanya. Ia sadar bahwa semua bakat dan
kemampuan yang ada padanya merupakan anugerah dari Tuhan secara cuma-cuma
sehingga tidak alasan apapun untuk menyombongkan dirinya (Syukur, 2005: 58-
59). Apa yang menjadi kelebihan pada dirinya diberikan dengan senang hati demi
kemajuan orang lain sedangkan apa yang menjadi kelemahannya diperbaiki
sehingga kelemahannya tidak menghambat pelayanannya atau menjadi batu
sandungan bagi orang lain.
Para murid mengetahui dan mengenal Yesus dan karya-karyaNya tidak
hanya lewat FirmanNya yang mereka dengar, namun lebih dari itu karena mereka
melihat dan mengalami sendiri kesaksian hidupNya yang diteladankan kepada
39
mereka, “Aku memberikan suatu teladan kepadamu, supaya kamu pun berbuat
sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu” (Yoh.13:15). Pembasuhan kaki
merupakan teladan hidup yang agung dan mulia. Melalui teladan hidupNya itu
Yesus mengubah pola pikir, cara pandang yang lama dan keliru tentang seorang
pemimpin (Mesias) yang dinanti-nantikan untuk membebaskan mereka dari
penjajahan bangsa asing, melainkan mereka dibentuk oleh Yesus untuk menjadi
murid yang dewasa dan saling berbagi kasih satu sama lain melalui pelayanan yang
tulus dan membebaskan bukannya menunggu untuk dilayani.
Para pemimpin religius adalah orang-orang yang dipilih oleh Tuhan untuk
menjadi pemimpin atas anggotanya. Mereka (pemimpin) ibaratnya tukang periuk
yang diserahi tanggung jawab untuk membentuk tanah liat (anggotanya) menurut
pola yang diberikan Tuhan. Proses pembentukan dilakukan “bukan dengan
paksaan, bukan dengan penerapan peraturan yang kaku dan ketat” (Soenarja, 83:
30-31), bukan dengan teori-teori yang hebat, melainkan terutama dengan
menampilkan teladan seluruh kehidupannya. Kesaksian hidup yang diteladankan
bukan palsu, atau direkayasa tetapi sungguh lahir dari kesadaran batiniah dan
penghayatan imannya akan kasih Tuhan. Dengan demikian teladan hidupnya itu
akan membantu para anggotanya atau orang di sekitarnya, Gereja bahkan
masyarakat luas semakin menemukan kehadiran Tuhan dan bertambah dewasa
dalam iman, harap dan kasih pada Allah.
40
BAB IV
SITUASI UMUM KEPEMIMPINAN RELIGIUS INDONESIA
DI ZAMAN SEKARANG
Situasi dan kondisi zaman sekarang ini banyak mengalami perubahan dan
perkembangan yang pesat. Hal ini ditandai dengan perubahan sosial yang cepat
yang diakibatkan oleh kemajuan teknologi, dan informasi serta transportasi yang
penyebarannya ditunjang oleh derasnya arus globalisasi di berbagai aspek
kehidupan manusia menurut Darminta (2003: 233). Arus perubahan sosial ini juga
mempengaruhi gaya kepemimpinan dewasa ini. Dalam dunia bisnis berbagai
macam tuntutan harus dipenuhi oleh seorang pemimpin profan agar organisasi atau
lembaga yang dipimpinnya tetap eksis dan berkembang di tengah arus gelombang
zaman ini. Sudiarja, (2004: 2) mengungkapkan bahwa seorang pemimpin harus
berwibawa namun tetap dicintai, mampu mengelola sumber daya yang dimiliki
oleh organisasinya. Mampu mengendalikan dan mengarahkan anggotanya, ia juga
dituntut memiliki kecerdasan baik personal maupun sosial yang matang dan
ketrampilan yang mendukung, punya visi-misi yang jelas, optimistik serta mampu
menyatukan seluruh organisasinya dalam satu semangat yang besar.
Gambaran kepemimpinan profan di atas juga dituntut dalam kepemimpinan
religius saat ini, namun demikian dalam kepemimpinan religius ada kekhasan
tertentu yang membedakannya atau bahkan berlawanan dengan kepemimpinan
profan. Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah: Apakah ciri khas kepemimpinan
religius? Apakah kepemimpinan religius itu dekat dengan kepemimpinan Yesus?
Bagaimanakah profil atau gambaran kepemimpinan religius di masa kini? Apa
41
tantangan dan keprihatinan kepemimpinan religius di zaman sekarang ini? Apakah
yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin agar lembaga hidup bakti tetap
berkembang dan memenuhi tuntutan zaman ini?
Pada BAB IV ini akan diuraikan tentang arti kepemimpinan secara umum
dan arti kepemimpinan religius. Selanjutnya akan dipaparkan tentang situasi dan
keprihatinan kepemimpinan religius dewasa ini. Dan beberapa karakteristik atau
ciri-ciri kepemimpinan religius yang perlu dimiliki oleh seorang pemimpin. Pada
bagian akhir membahas tentang kepemimpinan Yesus yang merupakan perintis dan
teladan kepemimpinan (religius) di zaman modern ini.
A. Pengertian Kepemimpinan
1. Kepemimpinan menurut para Ahli
Kata pemimpin dalam bahasa Inggris, yaitu Leader. Akar katanya To Lead
yang berarti: bergerak lebih awal, berjalan ke depan, mengambil langkah pertama,
memelopori, membimbing, menuntun, dan menggerakkan orang lain melalui
pengaruhnya. Dengan demikian arti dari pemimpin adalah:
Orang yang bergerak lebih awal, berjalan di depan, mengambil langkah pertama, mengarahkan pikiran, pendapat dan tindakan orang lain. Ia membimbing, menuntun, dan menggerakkan orang lain, melalui pengaruhnya (Mangun Hardjana, 1991: 11).
Antara pemimpin dan kepemimpinan keduanya tidak dapat dipisahkan karena
saling berkaitan erat dalam kehidupan manusia. Kata kepemimpinan berkaitan
dengan fungsi atau tugas sebagai pemimpin sedangkan pemimpin adalah orang
yang menjalankan fungsi kepemimpinan. Berikut ini akan diberikan beberapa
pengertian tentang kepemimpinan menurut tiga orang ahli yang menulis tentang
42
teori kepemimpinan yang dikutip oleh Sudarwan (2004: 55-56) sebagai berikut:
Kepemimpinan menurut Pfiffner adalah “suatu proses seni mengkoordinasi dan
memberi arah kepada individu atau kelompok untuk mencapai tujuan yang
diinginkan bersama”. Farland mengemukakan bahwa Kepemimpinan adalah:
“suatu proses di mana pemimpin dilukiskan akan memberi perintah atau pengaruh,
bimbingan atau proses mempengaruhi pekerjaan orang lain dalam memilih dan
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Sedangkan arti kepemimpinan menurut
Oteng Sutisna, “Kemampuan mengambil inisiatif dalam situasi sosial untuk
menciptakan bentuk dan prosedur baru, merancang dan mengatur perbuatan,
dengan berbuat begitu pemimpin membangkitkan kerjasama ke arah tercapainya
tujuan”.
2. Kepemimpinan Religius
Kepemimpinan dalam hidup religius pada hakikatnya mengacu pada tujuan
hidup religius itu sendiri, yakni mencapai kesempurnaan hidup Injili. Dasar dari
setiap pelayanan seorang pemimpin adalah melayani Allah dan sesama, dengan
kata lain pelayanan pemimpin religius didasarkan pada kecintaannya terhadap
Allah menurut Francino (2005: 148). Dengan demikian pelayanannya dalam tugas
perutusan akan semakin manusiawi. Pemimpin religius yang manusiawi akan
terbuka dan berempati terhadap kepentingan dan kebutuhan para anggotanya juga
orang-orang yang berada di sekitarnya, sekaligus juga ia memberi ruang bagi
mereka untuk bertumbuh dan berkembang menuju kematangan hidup.
Hidup, karya dan pewartaan Kristus yang selalu ada di tengah-tengah kaum
miskin, berdosa dan tersingkir kiranya menjadi inspirasi dan semangat bagi para
43
pemimpin untuk masuk dalam suatu keprihatinan Kristus yang demikian demi
keselamatan umat manusia. Sebab fungsi kepemimpinan yang dilaksanakannya
merupakan kepemimpinan untuk melayani sesamanya terlebih bagi mereka yang
lemah dan menderita.
a. Menurut KHK Kanon 618.
Kitab Hukum Kanonik, Bab II, tentang kepemimpinan tarekat khususnya
dalam kanon 618 mengungkapkan gambaran tentang kepemimpinan religius
sebagai berikut:
Para pemimpin hendaknya melaksanakan kuasa yang diterima dari Allah lewat pelayan Gereja dalam semangat pengabdian. Maka dalam melaksanakan tugasnya hendaklah peka terhadap kehendak Allah, memimpin bawahannya selaku putera-putera Allah, serta mengusahakan ketaatan sukarela mereka dengan menghargai kepribadian manusiawi mereka, dengan senang hati mendengarkan mereka serta mengajukan peran serta mereka demi kebaikan tarekat dan Gereja, tetapi dengan tetap memelihara wewenang mereka sendiri untuk memutuskan serta memerintahkan apa-apa yang harus dilaksanakan (KHK, no. 618, 1999: 193).
Sebagaimana Kristus yang datang demi melaksanakan kehendak Bapa
demikian pula pemimpin religius dalam tugasnya sudah selayaknya menyerahkan
seluruh hidup dan karyanya dalam penyelenggaraan Ilahi karena ia menyadari
bahwa kuasa yang diembannya itu adalah kuasa dari Allah sendiri melalui
pelayanan atau pengabdian seutuhnya terhadap Gereja dan tarekat demi kemuliaan
kerajaan Allah. Kepemimpinan religius yang mengemban kuasa dari Allah
merupakan amanat suci dari Allah sehingga semua yang dilakukan dalam
kepemimpinannya harus bermuara pada kesucian menurut Sardi (2005: 96).
Apabila seorang pemimpin religius dalam tugasnya sudah mulai menyimpang dari
44
hidup religius dan tidak lagi menampakkan unsur kesucian tetapi lebih
mengutamakan hal-hal duniawi maka ia telah keliru dan berlawanan dengan
kehendak Allah.
Seorang pemimpin yang melayani hendaknya memiliki kepekaan hati untuk
melihat dan menemukan kehendak Tuhan “Dalam memimpin bawahannya
(anggota-anggotanya) selaku putera-putera Allah”. Tuntutan ini harus dilaksanakan
oleh pemimpin religius sebab kekhasan dari kepemimpinan religius adalah
mengarah pada kehendak Allah. Peka terhadap kehendak Allah berarti “mampu
membaca tanda-tanda zaman dan bisa mengartikannya dalam terang cahaya Tuhan”
(Sardi, 2005: 97).
Berhadapan dengan para anggotanya pemimpin religius harus
“mengusahakan ketaatan sukarela mereka dengan menghargai kepribadian
manusiawi mereka, dengan senang hati mendengarkan mereka serta mengajukan
peranserta mereka demi kebaikan tarekat dan Gereja, tetapi dengan tetap
memelihara wewenang mereka sendiri untuk memutuskan serta memerintahkan
apa-apa yang harus dilaksanakan”. Konteks zaman sekarang khususnya dalam
hidup membiara ketaatan sedikit banyak telah mengalami perubahan bukan lagi
ketaatan buta terhadap pemimpin melainkan suatu ketaatan yang dipenuhi dengan
unsur dialog, kesetaraan, partisipasi, dan demokrasi serta kesadaran akan hak asasi
(Oscar, 2004: 6-7) dan lebih dari itu ditopang oleh unsur descretio untuk
menemukan kehendak Tuhan.
Salah satu contoh ketaatan yang sering kali terjadi adalah ketaatan yang
menyangkut penerimaan atas sebuah tugas perutusan. Di sini baik dari pihak
pemimpin maupun anggota perlu mengadakan dialog. Dalam dialog pemimpin
45
memberi kesempatan kepada anggota untuk memberikan pertimbangan, ide-ide,
ataupun curahan hatinya secara jujur dan terbuka sedangkan pemimpin dengan
senang hati dan penuh rasa empati mendengarkan dan kemudian memberi
“pertimbangan dari berbagai segi dengan bijaksana dan adil kepada anggotanya”,
(Oscar, 2004: 6). Melalui dialog ini pula kedua belah pihak diberi ruang untuk
berdiskresi demi mencari dan menemukan kehendak Tuhan dan kemudian
melaksanakannya dalam hidup. Keduanya menghayati ketaatan religius yang mau
meneladani Kristus dan berpartisipasi dalam perutusanNya.
Para anggota diharapkan untuk berani menerima dan menanggung segala
konsekuensinya secara Bertanggung jawab. Dan hal ini butuh sebuah pengorbanan,
kerendahan hati dan kerelaan untuk melepaskan keinginan dan rencana pribadi
demi melaksanakan apa yang dikehendaki oleh Tuhan sendiri. Demikianlah dalam
Perfaecta Caritatis No. 14 yang dinyatakan bahwa “ketaatan sukarela tidak
menjadikan seorang religius berkurang martabat pribadinya, melainkan
membawanya kepada kematangan hidup karena dikembangkannya kebebasan
putera-puteri Allah”.
b. Kanon 619 dalam KHK secara tegas menyatakan apa yang menjadi tugas
pelayanan para pemimpin religius:
Para pemimpin hendaknya menunaikan tugas mereka dengan tekun dan bersama dengan anggota yang dipercayakan kepada dirinya berusaha membentuk komunitas persaudaraan dalam Kristus, di mana Allah dicari dan dicintai melebihi segala sesuatu. Maka mereka hendaknya kerapkali memberi santapan rohani kepada para anggota dengan sabda Allah dan mengajak mereka merayakan ibadat suci. Hendaknya memberi teladan kepada mereka dalam membina keutamaan-keutamaan serta dalam menaati peraturan-peraturan dan tradisi tarekatnya sendiri; membantu secara layak dalam hal kebutuhan-kebutuhan pribadi mereka, memperhatikan dan
46
mengunjungi yang sakit, menegur yang rewel, menghibur yang kecil hati, sabar terhadap semuanya (KHK, no. 619, 1991: 194). Pemimpin religius adalah orang yang dipercaya oleh tarekat untuk
mengemban tugas suci dari Allah, karena itu pemimpin hendaknya melaksanakan
tugasnya dengan sungguh-sungguh, tekun dan penuh tanggung jawab. Dalam
menjalankan tugas kepemimpinannya, ia tidak seorang diri melainkan “Bersama
dengan para anggota yang dipercayakan kepada dirinya membentuk komunitas
persaudaraan dalam Kristus, di mana Allah dicari dan dicintai melebihi segala
sesuatu”. Sardi (2005: 102) mengungkapkan bahwa pemimpin selain sebagai tali
pemersatu hidup religius, juga diharapkan mampu membangun suatu komunitas
persekutuan beriman yang berpusatkan pada Kristus. Ia menjadi satu-satunya jalan,
kebenaran dan hidup yang dituju oleh setiap orang. Bila Kristus menjadi satu-
satunya yang dicari dan menjadi andalan maka hidup berkomunitas akan menjadi
suatu komunitas yang hidup, komunitas kasih dimana para anggotanya merasakan
“kesatuan hati, pikiran dan jiwa, ada pengampunan dan cinta kasih” (Hasil Kapitel
Umum RVM ke-17, 2001: 12).
Salah satu tugas penting dari seorang pemimpin religius adalah
mengarahkan dan mendorong anggotanya untuk menjalin relasi yang intim dengan
Allah. Dalam rangka itu pemimpin hendaknya “kerapkali memberi santapan rohani
kepada para anggota dengan Sabda Allah dan mengajak mereka merayakan Ibdat
Suci”. Dalam menumbuhkan dan menyuburkan iman atau kerohanian para
anggotanya tugas ini harus dilaksanakan dengan baik. Bila suatu komunitas mau
mencapai kekudusan dan kesempurnaan hidup maka Sabda Allah haruslah
dikumandangkan dan dihayati pertama-tama oleh pemimpin sendiri. Selanjutnya
47
pemimpin mengajak anggotanya untuk mendengarkan dan menghidupi Sabda
Tuhan di dalam komunitas-komunitas di mana ia berada, selain itu anggota
diperkaya oleh ibadat suci yang dilaksanakan setiap hari sebagai ungkapan syukur
atas hidup yang dianugerahkan Tuhan kepada komunitas (Sardi, 2005: 104).
Kitab Hukum Kanonik dalam kanon 619, menganjurkan agar para
pemimpin hendaknya mampu memberi teladan kepada mereka dalam membina
keutamaan-keutamaan serta dalam menaati peraturan-peraturan dan tradisi
tarekatnya sendiri. Pemimpin religius haruslah menjadi teladan keutamaan dan
kebijaksanaan, serta ketaatan dalam menghayati tradisi warisan tarekat. Tuntutan
yang demikian ini menjadi suatu tantangan tersendiri dalam hidup religius karena
kerapkali masih ada pemimpin religius yang dari cara hidup, sikap dan tutur
katanya kurang menunjukkan keutamaan-keutamaan dan teladan hidup
spiritualitasnya sehingga para anggota kurang menaruh penghargaan dan hormat
kepada pemimpinnya karena antara perkataan dan perbuatan tidak sejalan dan
menimbulkan pertanyaan bagi anggotanya.
Seorang pemimpin religius ibaratnya sebagai seorang ibu atau ayah dalam
keluarga yang sungguh-sungguh: membantu secara layak dalam hal kebutuhan-
kebutuhan pribadi mereka, menegur yang rewel, menghibur yang kecil hati, sabar
terhadap semuanya. Perhatian dan empati yang dalam terhadap segi kemanusiaan
yang menyentuh hati dan menyemangati ini sangat penting untuk diperhatikan oleh
pemimpin religius, untuk itu seorang pemimpin perlu “mencintai seperti hati
Kristus sendiri” yang mencintai dengan lembut dan penuh kasih terhadap setiap
orang terlebih mereka yang sangat menderita dan membutuhkan pertolongannya.
Pelaksanaan tugas “ini memberi arah pedoman yang jelas bahwa hidup religius
48
sangat penting untuk mengejar kesempurnaan Injili dalam pengabdian demi
kerajaan Allah” (Sardi, 2005: 104-105).
3. Kepemimpinan dalam Kongregasi RVM
a. Menurut Semangat Mother Ignacia del Espiritu Santo
Murillo Velarde, SJ, seorang sejarawan Yesuit dalam salah satu tulisannya
tentang kepemimpinan Mother Ignacia, melukiskan bahwa Ignacia adalah seorang
pribadi yang sangat kuat yang mampu menghadapi dan mengatasi berbagai macam
tantangan dan kesulitan dalam usahanya membangun kongregasi RVM. Dikatakan
bahwa pengabdian dalam kepemimpinannya adalah tanda kerendahan hatinya yang
besar akan tugas pelayanan. Ia tidak memiliki keinginan untuk melekat pada
kekuasaan, atau keinginan untuk memerintah atau mengontrol anggotanya, sebab
keinginan yang demikian hanya akan menimbulkan penderitaan pada orang lain,
seperti “penyakit kanker yang perlahan-lahan menggerogoti tubuh manusia dan
merusak organ-organnya sehingga manusia tidak dapat berkembang dengan baik”
(Anicia Co, 1998: 23.)
Kepemimpinan yang Ignacia hayati dalam hidupnya adalah kepemimpinan
sebagai “Hamba hina Tuhan” seturut teladan Maria yang memiliki sikap terbuka
dan rendah hati terhadap kehendak Bapa “aku ini hamba Tuhan, tejadilah padaku
menurut perkataanMu” (Luk. 2:38). Melalui sikap Bunda Maria inilah, Ignacia
belajar untuk menjadi pemimpin yang peka terhadap tanda-tanda zaman. Ia selalu
mengedepankan kepemimpinan yang demokratis (Anicia Co,1998: 69) dengan
menciptakan suasana bebas penuh persaudaraan, ia memberi ruang untuk
anggotanya bisa membangun suasana komunikasi yang sehat, terbuka dan
49
mendorong mereka untuk bersikap spontan dan jujur dalam memberikan
pandangan, ide, gagasan, serta pendapat mereka demi kebaikan bersama. Ignacia
menghayati kepemimpinannya sebagai hamba yang mengabdi kepada Allah dan
kepada sesamanya.
Berdasarkan inspirasi dari kharisma kepemimpinan yang melayani dan
kehambaan yang hina dari Mother Ignacia maka hasil kapitel umum kongregasi
RVM ke-17, tahun 2001 menegaskan kembali tugas para pemimpin dalam
kongregasi, yaitu para pemimpin dipanggil untuk menjadi wanita-wanita yang
memiliki visi, berani memimpin kongregasi menuju sebuah komunitas profetis di
zaman ini. Dalam milenium ketiga ini para pemimpin harus menunjukkan secara
jelas wajah Kristus yang baru dan berani menghadapi setiap tantangan, syukur bisa
memberikan solusi baru sebagai pemecahannya sehingga membantu perkembangan
Gereja dan dunia khususnya dalam mewujudkan visi-misi kongregasi (Hasil
Kapitel Umum RVM ke-17, tahun 2001: 62).
Menjadi komunitas profetis di zaman ini berarti para suster yang telah
dipilih dan dipanggil oleh Allah dan dikaruniai Roh Kudus harus melaksanakan
pelayanan kenabian yang otentik dengan berbicara atas nama Allah kepada semua
orang. Kenabian yang sejati bersumber pada Allah, pada relasi yang intim dengan
Dia, pada sikap mendengarkan dan menghayati sabdaNya dalam setiap situasi dan
peristiwa hidup sehari-hari. Para suster sebagai pribadi maupun sebagai komunitas
perlu mewartakan sabda Allah melalui hidup, mulut, dan tindakan mereka. Sebagai
orang-orang pilihan yang mengambil bagian dalam tugas kenabian di zaman
sekarang para suster hendaknya berbicara demi perkara Allah dalam melawan
kejahatan dan dosa.
50
Kesaksian kenabian memerlukan usaha dan perjuangan yang terus menerus
dan penuh semangat mencari kehendak Allah, menyerahkan diri sepenuhnya pada
kehendak Allah, hidup dalam persekutuan dalam Gereja, melakukan penegasan
rohani, mencintai kebenaran (VC. No. 84), mengikuti dan meneladani Kristus yang
murni, miskin dan taat, yang sepenuhnya dikuduskan demi kemuliaan Allah yang
lebih besar dan demi cintakasih terhadap sesama. Hidup persaudaraan dalam
komunitas bersifat kenabian dalam masyarakat yang mempunyai kerinduan
mendalam akan persaudaraan yang sejati. Selanjutnya para suster tampil membawa
wajah Kristus harus memberikan kesaksian di mana pun juga dengan keberanian
seorang nabi yang tidak takut menghadapi resiko-resiko dan tantangan dalam
hidupnya (VC. No. 85).
b. Menurut Konstitusi RVM
Kepemimpinan menurut konstitusi RVM no. 94 (Constitution of RVM
Revised, 2002: 49) tentang kekuasaan atau kepemimpinan adalah sebagai berikut:
Kekuasaan di semua tingkatan dalam kongregasi kita jalani dalam semangat pelayanan yang sejati dan kerendahan hati seturut teladan Yesus Kristus yang datang untuk melayani dan bukan untuk dilayani. Mereka yang memegang kekuasaan dalam kongregasi kita harus menjalani tugasnya dalam semangat ini, memperhatikan prinsip-prinsip subsidiaritas, tanggung jawab, dan kepercayaan, selalu mencari dan melaksanakan kehendak Tuhan dalam segala hal. Para pemimpin hendaknya melakukan dicernmen bersama dengan para suster demi kesejahteraan bersama, kebaikan kongregasi, dan demi membangun kerajaan Allah.
Para suster yang dipercaya menjadi pemimpin baik dari tingkat tertinggi hingga
terendah dalam kongregasi harus menjalankan tugas pelayanannya seturut teladan
Kristus. Jabatannya sebagai pemimpin adalah bentuk pengabdian yang tulus kepada
dan demi kemuliaan Allah yang besar. Para pemimpin diharapkan tidak bekerja
51
sendirian dalam tugasnya tetapi hendaknya melibatkan para suster yang lain
sehingga tidak terkesan ia adalah pemimpin yang single fighter segala sesuatu
dikerjakan sendiri. Namun sebaliknya mengedepankan unsur partisipasi dan prinsip
subsidiaritas yang melibatkan anggotanya dalam mengambil keputusan untuk
kepentingan bersama.
(1) Pemimpin Umum
Konstitusi RVM, no.100 (2002: 52) tentang pemimpin umum menegaskan
tugas seorang pemimpin umum, sebagai berikut:
Pemimpin Umum memimpin kongregasi sesuai dengan hukum Gereja universal, konstitusi RVM, dan keputusan-keputusan kapitel umum. Sebagai seorang pemimpin yang setia kepada semangat pendiri, ia menyemangati, membimbing, dan mempersatukan seluruh anggota kongregasi. Ia terbuka terhadap Roh Kudus, ia berpikir bersama Gereja, ia melakukan dicernmen, dan tanggap terhadap tanda-tanda zaman dan berani menghadapi tantangan zaman”.
Pemimpin Umum ibaratnya sebagai seorang nakhoda yang memegang kendali
dalam kongregasi, maju-mundurnya kongregasi ada dalam kepemimpinannya,
karena itu dalam menjalankan tugasnya ia harus taat dan setia kepada hukum
Gereja universal, konstitusi dan keputusan kapitel. Ia hadir sebagai pribadi yang
memberi inspirasi dan memberi semangat, membimbing dan mempersatukan
semua anggota. Ia terbuka terhadap tuntunan Roh Kudus, ia ikut terlibat dalam
segala suka duka dan keprihatinan Gereja saat ini. Ia terbuka terhadap tanda-tanda
zaman dan berani menghadapi setiap tantangan arus zaman ini.
52
(2) Pemimpin Distrik
Konstitusi RVM no. 121 mengungkapkan bagaimana tugas pelayanan
seorang pemimpin Distrik, bahwa:
Pemimpin Regio/Distrik memegang pendelegasian kuasa dari pemimpin umum atas semua komunitas lokal yang berada dalam wilayah regio/distrik. Ia mengunjungi semua rumah dan memelihara komunikasi di antara para suster dengan demikian memperkuat ikatan cinta bersama dalam kesaksian akan cinta Kristus dan pelayanan dalam Gereja. Ia Bertanggung jawab dalam daya hidup rohani dan pelayanan dari regio atau distriknya. Ia menjalankan fungsinya dalam semangat pelayanan dan memberi perhatian bagi setiap suster dan menghargai keunikan kepribadiannya (Constitution of the RVM Revised 2002, no. 121). Pemimpin distrik yang bertanggung jawab dalam sebuah wilayah atau regio
tertentu dalam kepemimpinannya menjadi sosok yang cinta perdamaian dan
mempersatukan setiap komunitas yang tersebar di wilayahnya dalam ikatan kasih
dan persaudaraan. Perhatiannya menyeluruh dan menaruh penghargaan yang tinggi
terhadap setiap keunikan anggotanya.
Pemimpin umum maupun pemimpin distrik keduanya sama-sama
menjalankan sebuah tugas pengabdian kepada Allah dan sesama. Ada pun
kualifikasi yang kiranya harus dimiliki oleh keduanya dalam rangka menjalankan
tugas pengabdiannya sebagaimana yang tercantum dalam konstitusi RVM, no.101
(2002: 53), bahwa “Ia harus berkepribadian dicerning, dan tegas. Ia menjadi
teladan dalam penghayatan akan spiritualitas hamba hina dan aktif-kontemplatif,
memiliki relasi yang mendalam dengan Tuhan dalam doa dan karya, ia
menunjukkan kualitas kepemimpinan yang visioner dan profetis dari seorang
pemimpin wanita dalam Gereja. Ia berani, rendah hati, berbelaskasih, dan
bersemangat melayani, serta mampu mendengarkan dan berdialog dengan para
susternya secara jujur dan terbuka demi mencapai tujuan bersama.
53
B. Karakteristik Kepemimpinan Religius
Tuntutan-tuntutan dalam kepemimpinan religius dalam banyak hal sama
dengan apa yang menjadi tuntutan kepemimpinan profan. Namun demikian ada
hal-hal khusus dalam kepemimpinan religius yang mendasar yang menjadi
kekhasan dari kepemimpinan religius. Berikut akan diuraikan tentang karakteristik
atau ciri-ciri pelayanan pemimpin religius yang harus diberikan kepada para
anggotanya sebagaimana yang diungkap oleh Darminta (2005: 28-34), yaitu
sebagai berikut:
1. Melindungi kharisma pendiri
Pemimpin religius adalah orang yang dipercaya atau Bertanggung jawab
terhadap perkembangan tarekat religius khususnya dan Gereja pada umumnya.
Tidak dapat disangkal bahwa zaman telah berubah dan kemajuan telah memenuhi
setiap aspek kehidupan manusia. Namun dalam perkembangan itu satu hal yang
tidak boleh dilupakan atau ditinggalkan adalah “kembali kepada kharisma dan
semangat pendiri” hal ini bukan merupakan suatu langkah mundur atau kekunoan
dari hidup membiara melainkan kharisma dan semangat pendiri sebagai “api” dan
“roh” yang memberikan semangat sekaligus menjadi pedoman langkah setiap
tarekat religius. Dari sanalah mengalir semangat asli yang harus dipertahankan
dalam situasi dan kondisi apapun, supaya setiap tarekat religius tidak salah arah,
tanpa mengabaikan konteks zaman ini. Kharisma dan semangat pendiri merupakan
api yang mampu memurnikan hidup religius dan sekaligus memberi suluh
semangat bagi pengabdian kaum religius saat ini. Yang perlu diperhatikan adalah
bahwa dalam aktualisasinya para pemimpin hendaknya berusaha menerjemahkan
dan menyesuaikan kharisma dan semangat pendiri itu dengan tuntutan zaman.
54
2. Memajukan kesatuan dan persatuan
Persaudaraan dalam ikatan kasih menjadi sesuatu yang mendesak untuk
dibangun dalam penghayatan hidup bersama sebagai komunitas religius.
Persaudaraan yang dibangun hendaknya berdasar pada “kesadaran yang tinggi akan
nilai pribadi, nilai perbedaan aspirasi dan gerak-gerak batin yang hidup. Dalam
membangun persaudaraan ini pemimpin hendaknya mendorong dan mengarahkan
anggotanya untuk menciptakan suatu komunitas yang harmonis dan memberi
kesempatan kepada anggotanya untuk saling berbagi dan melengkapi bersama dari
segala kelebihan dan kekurangan rekan-rekannya yang lain.
3. Hormat terhadap pribadi
Seorang pemimpin dalam menjalankan tugas kepemimpinannya harus
mengedepankan sikap penghormatan terhadap pribadi anggota-anggotanya. Ia
memiliki tanggung jawab dalam mengembangkan kepribadian masing-masing
anggota. Hormat terhadap pribadi didasarkan pada pemahaman bahwa hak-hak
pribadi adalah sesuatu yang luhur dan mulia. Hormat terhadap pribadi juga berarti
berusaha mengenal dan menghargai ide-ide dan perasaan-perasaan orang lain,
menemukan dan memperkembangkan kualitas-kualitas atau sifat positif yang ada
pada pribadi orang lain dalam hal ini anggota yang dipimpinnya.
4. Kasih dan percaya
Salah satu ciri dari kepemimpinan religius adalah menyatakan dan
menunjukkan kasih Allah dalam hidupnya kepada para anggota. Kasih dan
kepercayaan merupakan tanda apakah relasi pribadi antara pemimpin dan anggota
benar-benar otentik atau tidak. Bila tidak ada kasih dan kepercayaan dalam suatu
relasi diantara kedua bela pihak maka hubungan antara keduanya akan ditandai
55
dengan ketakutan, hambar, kaku, penuh ketegangan dan saling curiga. Hubungan
ini hanya akan membekukan hubungan antar pribadi dan mematikan daya rasuli.
Sebaliknya jika kasih dan percaya itu diciptakan dalam relasi pemimpin dan
anggotanya maka akan nampak keharmonisan saling penghargaan dan percaya,
serta menimbulkan kedekatan dan meningkatkan semangat melayani.
5. Menafsir tanda-tanda zaman
Hidup di dunia zaman sekarang disadari bahwa tidak hanya Roh Kudus yang
berkarya saja tetapi roh-roh jahat yang merusak dunia pun turut bekerja di dunia
ini. Karena itu, seorang pemimpin religius perlu mengembangkan kemampuan
pembedaan roh dan meningkatkan kualitas relasinya dengan yang Ilahi. Sangat
penting diketahui bagaimana seorang pemimpin menemukan gejala-gejala ataupun
kecenderungan yang terjadi dalam hidup sehingga membawa ia ke dalam suatu
pengarahan yang bijaksana dan seturut kehendak Allah. Tanda-tanda zaman
memang sering bersifat mendua dan misteri, maka itu perlu diteliti dan dicermati
sehingga membawa kebaikan bagi hidup. Cara yang tepat untuk membaca tanda-
tanda zaman adalah pemimpin selalu mengarahkan hidupnya kepada Kristus dan
melihat dengan mata Kristus tanda-tanda zaman tersebut kemudian menemukan
nilai positif untuk dikembangkan dalam hidup harian.
6. Menyesuaikan unsur-unsur positif
Tidak perlu diragukan lagi bahwa tanda-tanda zaman selalu mengandung
nilai-nilai positip. Dengan kata lain mengandung janji serta undangan Allah untuk
hidup secara baru dan bernilai. Semuanya itu perlu diterjemahkan dalam hidup
sehari-hari dan dalam hidup kelembagaan. Dialog, tanggung jawab, prinsip
subsidiaritas, komunikasi antar pribadi, dan sebagainya memberi kesempatan
56
kepada komunitas dan pribadi-pribadi untuk memperoleh inspirasi serta cara-cara
baru dalam menghayati panggilan dan perutusannya.
7. Memberi inspirasi.
Pemimpin yang hidup di tengah-tengah situasi dunia yang dipenuhi dengan
ketakutan, keraguan, ketidakpastian, bahkan ketidakberdayaan yang sering
membawa kerapuhan, yang memunculkan sikap pesimistis dan putus asa perlu
memberi inspirasi dan daya hidup bagi orang di sekitarnya terutama para anggota.
Untuk itu seorang pemimpin perlu memiliki iman yang mendalam akan cinta kasih
Allah. Ia juga perlu memiliki kebesaran jiwa dan kedewasaan yang menjadikannya
benar-benar siap dan tulus menerima anggota-anggota dengan segala kelebihan dan
keterbatasannya.
Pemimpin hendaknya juga memiliki kepekaan dan keterbukaan terhadap Roh
Kudus. Dengan demikian ia akan memiliki keberanian untuk maju, visi yang luas
dan membangun, semangat dan keteguhan untuk berjuang tanpa henti melawan
berbagai macam ketakutan, ketidakpastian, kemapanan, kecemasan ataupun
kesuraman hidup.
8. Orang yang memperbaharui diri terus menerus.
Hal ini menjadi tuntutan dasar untuk menjadi pemimpin sejati di zaman
sekarang. Pada dasarnya gambaran seorang pemimpin religius adalah orang yang
selalu sadar akan terjadinya perubahan terus-menerus dalam lingkungannya. Dia
mau menerima kenyataan apapun bentuknya, bukannya merasa mapan dan puas
dengan apa yang dicapainya saat ini. Pemimpin religius adalah orang yang terbuka
dan bersedia melakukan pembaharuan terus-menerus.
57
Berikut ini beberapa hal yang menunjukkan pembaharuan dari seorang
pemimpin Religius menurut Darminta (2005: 36-44).
a. Mengatasi rutinitas
Rutinitas sering membawa kejenuhan dalam hidup maupun dalam karya.
Karena itu pemimpin perlu berjuang untuk tidak terikat dengan dengan kebiasaan-
kebiasaannya sendiri. Ia perlu memupuk semangat untuk mempersembahkan
pelayanan yang lebih dan terbuka mendengarkan pendapat orang lain ataupun
koreksi untuk memperbaharui diri.
b. Menerima resiko berbuat salah
Seorang pemimpin harus berani melakukan percobaan-percobaan atau
menempuh jalan-jalan baru dalam kepemimpinannya. Tetapi ia juga harus berani
dan siap menghadapi dan menanggung segala risikonya. Bila itu terjadi maka
pemimpin tidak takut akan adanya penilaian dan kritikan yang dilontarkan
kepadanya. Ia tidak menjadi orang yang keras kepala atau keras hati namun
sebaliknya menjadi semakin terbuka dan rendah hati mengakui segala
kelemahannya. Ia juga akan memiliki daya tahan untuk tidak menyerah dan berani
memulai lagi. Seorang pemimpin yang selalu merasa diri benar tidak akan mampu
mendorong dan mengundang kepercayaan dari anggotanya.
c. Terus-menerus mempelajari sasaran rasuli.
Pembaharuan yang memiliki dasar kuat memerlukan analisis-refleksi yang
dalam dan terus-menerus atas bidang-bidang apostolis serta tujuan yang mau
dicapai dalam kerasulan. Menentukan prioritas disertai dengan kreativitas yang
tinggi sangat diperlukan oleh pemimpin di zaman sekarang .
58
d. Menyesuaikan cara memimpin
Pembaharuan struktur organisasi yang ada dalam konstitusi harus sungguh
dipahami dan dimengerti oleh seorang pemimpin. Sebagai gerakan, jiwa dan
semangat, hidup religius hendaknya membentuk struktur-struktur baru yang lebih
manusiawi yang menopang penghayatan hidup religius dan perkembangan tarekat.
Unsur-unsur baru seperti dialog, komunikasi, prinsip subsidiaritas, dicernmen dan
sebagainya merupakan unsur-unsur penting yang perlu dalam mengembangkan
relasi horisontal antara pemimpin dengan anggotanya, sehingga nampak bahwa
relasinya tidak melulu bersifat vertikal atau atasan-bawahan. Namun sebaliknya
suatu relasi yang horisontal yang mengutamakan kesederajatan dan menjunjung
tinggi martabat sebagai makhluk yang sama-sama citra Allah.
e. Memajukan komunikasi yang sehat
Pemimpin yang sadar akan perlunya pembaharuan diri terus menerus juga
akan tahu nilai komunikasi. Komunikasi bukan sekadar saling menyampaikan
gagasan serta perasaan emosi. Lebih dalam lagi komunikasi berarti pemberian diri
dalam cinta. Tugas seorang pemimpin adalah mempermudah komunikasi antar
anggotanya, ia berusaha mengikis sekat-sekat yang menghalangi perkembangan
pribadi dan rohani anggota. Hubungan dan komunikasi yang sehat antara pemimpin
dan anggota akan menumbuhkan saling pengertian, pengakuan dan hormat satu
sama lain.
59
C. Situasi dan Tantangan Kepemimpinan Religius Zaman Sekarang
1. Tantangan Arus Besar di Zaman ini
Paus Yohanes Paulus II dalam anjuran Apostoliknya tentang Hidup Bakti
(VC. 2002, no. 89: 135) menegaskan bahwa tantangan di zaman ini adalah :
Adanya gaya hidup materialisme yang haus akan harta milik, tanpa mengindahkan keperluan-keperluan dan penderitaan-penderitaan rakyat yang paling lemah, dan tanpa kepedulian mana pun terhadap keseimbangan sumber-sumber daya alam. Gaya hidup materialisme yang tentunya tidak terpisahkan dari sekularisme
dan hedonisme sudah menjadi sesuatu yang menggejala dan bahkan merasuk dalam
hidup manusia entah itu dalam sistem nilai, mentalitas maupun gaya hidup
manusia zaman sekarang. Penawaran akan gaya hidup materialisme, sekularisme,
hedonisme, dan konsumerisme banyak dipengaruhi oleh layanan iklan di televisi,
internet, majalah atau Koran-koran, baliho-baliho di tepi jalan dan sebagainya.
Iklan-iklan tersebut menawarkan barang-barang kebutuhan hidup sehari-hari
misalnya berbagai jenis produk makanan, minuman, perumahan, tempat-tempat
rekreasi atau hiburan.
Manusia tidak perlu bekerja keras untuk mendapatkan informasinya. Cukup
hanya duduk di depan TV, membaca artikel dan mengaksesnya di program internet
maka semuanya akan dengan mudah diperoleh. Manusia bukan lagi menjadi
pemburu barang tetapi sebaliknya produk-produk itulah yang menjadi pemburu
manusia. Ke mana pun dan di mana pun sudah tersedia tawaran-tawaran itu,
sehingga terkadang membuat manusia tak berdaya untuk menolaknya meskipun
barang-barang itu bukan menjadi kebutuhan pokoknya. Manusia sudah
terperangkap di dalam gaya hidup yang demikian sehingga “ruang gerak dan
60
pilihan hidup yang bijaksana menjadi sempit” (Darminta, 2006: 3), hati nurani
menjadi tumpul dan manusia merasa tidak cukup atau puas karena tidak mampu
mengendalikan nafsu manusiawinya terhadap tawaran-tawaran yang datang silih
berganti.
2. Tantangan dari Anggota sebagai Anak Zaman
Kenyataan sehari-hari banyak ditemukan berbagai macam hal yang yang
bersifat instant, misalnya dalam produk makanan ada mie instant, kopi dan susu
instant (Darminta, 2003: 237), dan masih banyak lagi barang-barang yang
dirancang khusus oleh produsen untuk sekali pakai saja setelah itu dibuang demi
alasan agar lebih praktis dan nyaman, tidak perlu banyak mengeluarkan tenaga,
waktu ataupun biaya yang besar. Tidak dapat dipungkiri bahwa barang-barang
tersebut telah tersebar di seluruh tanah air mulai dari daerah perkotaan hingga ke
pelosok-pelosok dan siapa saja bisa menikmatinya dari anak-anak hingga orang
dewasa. Dengan kata lain orang-orang zaman sekarang hidup di alam dan iklim
yang serba instant. Mereka menjadi konsumen yang menikmati produk-produk
instant tersebut.
Dalam kehidupan membiara dewasa ini cukup banyak kaum muda yang
masuk sebagai calon anggota dalam tarekat religius tergolong dalam generasi
instant. Mereka dikatakan generasi instant. Menurut Darminta, (2003: 237) hal ini
bisa nampak dari sikap dan perilaku atau gaya hidup yang tidak memiliki
kesabaran, dan daya tahan yang kuat untuk merangkak dari bawah, maunya
langsung jadi tanpa harus bekerja keras atau mengalami rasa sakit dan
pengorbanan. Lebih lanjut Darminta mengatakan bahwa mereka memiliki banyak
61
keinginan dan harapan tetapi motivasi atau kemauan untuk mewujudkan itu
seringkali sangat kurang. Ada kecenderungan untuk cepat menyerah, putus asa bila
mengalami kesulitan dan tantangan di tengah perjalanan hidup panggilannya.
Selain itu ada cukup banyak subjek bina dalam tarekat religius masa kini
yang tergolong dalam generasi sansate atau penikmat. Banyak waktu dan
kesempatan dapat dihabiskan untuk menonton acara-acara hiburan di televisi,
misalnya sinetron, telenovela, film-film berbau mistis atau hantu dan sebagainya.
Memberi banyak waktu untuk bercanda dengan teman, rekreasi atau tidur. Secara
positip kecenderungan ini bisa membuat orang senang, ceria, optimis, penuh gairah
hidup, mudah bercanda dan ketawa. Tetapi secara negatif hal ini bisa saja
menimbulkan alergi terhadap hal-hal yang menuntut keseriusan, disiplin dan
penyangkalan diri (Darminta, 2003: 238).
Kecenderungan konsumeristik juga menggejala dalam kehidupan kaum
muda anggota religius zaman sekarang karena dorongan menikmati hidup cukup
tinggi ditambah ada banyak tawaran dari iklan yang menggiurkan; iklan shampoo,
pemutih kulit, parfum, menurunkan berat badan dan sebagainya, maka
kecenderungan untuk membeli dan mencoba produk tersebut cukup besar
meskipun barang tersebut bukanlah menjadi suatu kebutuhan yang pokok. Dengan
demikian semangat hidup sederhana dan miskin yang diikrarkan dalam kaul-kaul
kebiaraan menjadi sesuatu yang semakin sulit dihayati.
Beberapa hal di atas merupakan gambaran tentang kenyataan yang menjadi
tantangan yang perlu dihadapi dan ditanggapi oleh para pemimpin religius juga
tarekat RVM dalam menjalankan tugas pelayanannya entah itu sebagai formator di
rumah-rumah pembinaan maupun sebagai pimpinan komunitas, yakni dengan cara
62
sejak awal masa pembinaan memupuk semangat untuk membaca, menulis, mencari
dan memanfaatkan informasi yang berguna dari berbagai sumber, dari buku-buku
dan media komunikasi lainnya, belajar dari pengalaman hidup orang lain.
Anggota juga perlu dibekali dengan sikap hidup yang mengutamakan nilai-
nilai kerajaan Allah seperti kasih, kesabaran damai dan sukacita. Ketrampilan dan
kecakapan rohani perlu diberikan dan dikembangkan kepada mereka yakni dengan
melakukan penegasan rohani atau spiritual dicernment baik secara pribadi maupun
komunal demi menghadapi berbagai macam tawaran hidup yang tidak
mencerminkan penghayatan hidup religius sebagaimana seperti yang digambarkan
di atas.
3. Tantangan yang Berkaitan dengan Pemimpin Religius masa kini
a. Pemimpin Religius Pembawa Otoritas Kristus
Kata otoritas dalam bahasa Latin, yaitu, auctor (yang menumbuhkan, dari
kata augere: menumbuhkan). Dengan demikian pemimpin dengan otoritas berarti
pemimpin yang menumbuhkan baik dirinya maupun orang lain yang dipimpinnya
(Samosir, 2004: 14).
Gereja dan hidup religius pada zaman dahulu (pra konsili vatikan II)
memiliki kecenderungan kuat akan sosok dan gaya kepemimpinan pada suasana
sentralisasi dan hirarkis dimana gaya kepemimpinannya lebih menekankan
pemerintahan dengan relasi atasan-bawahan bahkan bersifat otoriter. Namun
menurut Darminta (2005: 22-23) mulai awal abad dua puluh setelah konsili vatikan
II, penghayatan kepemimpinan dalam Gereja khususnya dalam hidup religius mulai
berubah yakni peralihan dari kepemimpinan otoritas yang otoritarian menuju ke
63
otoritas yang oritatif, artinya bahwa kuasa yang ada menuntut adanya wibawa yang
tidak melulu karena jabatan tetapi terutama karena kuasa (kepemimpinan)
dilandaskan pada iman kristiani dan religius yang diharapkan tetap setia kepada
tugas pokok yakni pembawa otoritas Kristus “…Dan segala sesuatu yang kamu
lakukan dengan perkataan dan perbuatan lakukanlah semua itu dalam nama Tuhan
Yesus” (Kol. 3: 13).
Pemimpin sebagai pembawa otoritas Kristus di zaman sekarang harus
melihat bahkan menghayati otoritasnya sebagai suatu pelayanan bukan sebagai
jabatan yang berada di puncak menara gading yang tidak tersentuh. Otoritas
seorang pemimpin harus berdasarkan pada otoritas Kristus yang datang untuk
melayani bukan untuk dilayani (Mat. 20: 28), karena Aku berada di antara kamu
sebagai pelayan (Luk. 22: 27). Dalam konteks ini bukan berarti lalu membuat
seorang pemimpin menjadi budak dalam komunitasnya karena mau melayani
anggotanya dengan sebaik-baiknya ia melaksanakan semuanya sampai ke hal-hal
yang kecil. Namun yang dimaksudkan otoritas sebagai pelayan di sini lebih
menekankan pada sebuah relasi yang tidak melulu vertikal tetapi kepemimpinan
dihayati dalam kerangka relasi horisontal yang memberi tempat pada nilai
kesetaraan, partisipasi, demokrasi dan berbagi tanggung jawab (Samosir, 2004: 14).
Kepemimpinan horisontal berarti pemimpin tidak menggunakan
otoritasnya pertama-tama sebagai kuasa atas orang lain melainkan sebagai kekuatan
bersama orang lain. Pemimpin mengakui bahwa orang yang dipimpinnya juga
memiliki otoritas, ini tidak berarti bahwa pemimpin membuang otoritasnya
sebagai seorang pemimpin. Sebaliknya ia mengintegrasikan otoritas jabatannya
dengan otoritas setiap pribadi yang dipimpinnya. Demi mencapai otoritas semacam
64
itu baik pemimpin maupun anggota harus menghayati semangat kepemimpinan
dalam Kristus yaitu “pengosongan diri” dalam wujud pelayanan satu sama lain,
sebagaimana yang terdapat dalam surat St. Paulus kepada umat di Filipi 2:13 :
…Dan janganlah tiap-tiap orang dari kamu hanya memperhatikan kepentingannya sendiri-sendiri, melainkan kepentingan orang lain juga. Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai pemilik yang harus dipertahankan melainkan mengosongkan diriNya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diriNya dan taat sampai mati, bahkan mati di kayu salib.
Otoritas atau kekuatan bersama orang lain (power with), menegaskan sebuah
relasi yang dinamis sehingga baik pemimpin maupun yang dipimpin dapat
memberikan kontribusi bagi pertumbuhan dan perkembangan hidup orang lain
sesuai dengan perannya, juga kemampuannya masing-masing. Sehingga nampak
adanya relasi yang saling menghargai otoritas masing-masing yang memungkinkan
lahirnya sebuah kesadaran akan ketaatan yang bebas namun Bertanggung jawab.
Selain itu dalam konsep ini pemimpin tidak menganggap dirinya berada di atas
komunitasnya tetapi di dalam komunitasnya. Ia tidak menganggap dirinya sebagai
pribadi yang independen dari komunitas tetapi ia menempatkan dirinya sebagai
bagian integral dari seluruh proses yang menghidupkan dan mencapai konsensus
dalam kebersamaan (Samosir, 2004: 15).
Demikianlah tantangan kepemimpinan zaman sekarang adalah bagaimana
mewujudkan otoritas Kristus sebagai pelayan dalam sebuah komunitas untuk saling
mengisi sehingga bersama-sama dapat menemukan kehendak Allah dan dapat
tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang dewasa.
65
b. Unsur Keteladanan Pemimpin
Tantangan lain yang dirasakan cukup besar saat ini adalah soal keteladanan
hidup atau kesaksian hidup. Tugas kepemimpinan menjadi sulit dilaksanakan
ketika para anggota menyaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa nilai-nilai dan
sikap serta gaya hidup yang diajarkan oleh pemimpinnya kepada mereka ternyata
tidak dihayati atau dilanggar. Hal ini justru akan memperlemah semangat para
anggota yang masih muda dan dalam tahap pembinaan. Mereka bisa saja
kehilangan daya dorong dan teladan yang memberi semangat untuk berjuang
menghayati panggilan hidup ini. Akibatnya terkadang muncul apa yang oleh
Darminta (2003: 243) disebut tunnel syindrome atau sindrom selokan bawah tanah,
yakni sikap mematuhi aturan selama masih dalam masa pembinaan tetapi setelah
lepas masa pembinaan ia merasa bebas melakukan apa saja. Dengan demikian bisa
dikatakan bahwa seluruh proses pembinaan hanya berhenti pada kulit luarnya saja
tidak sampai terjadi proses internalisasi nilai dan pembentukan sikap batin yang
mendalam karena hanya sekedar melakukan sesuatu yang nampak baik di luar dan
membuat dirinya selamat atau tidak dinilai jelek oleh pimpinannya.
Berdasarkan gambaran di atas ternyata unsur keteladanan dari pemimpin
sangat diperlukan dalam hidup religius pada masa sekarang. Sebagaimana halnya
komunitas para rasul yang semakin didewasakan oleh Yesus berkat
keteladananNya, demikian halnya para pemimpin religius hendaknya menjadi
teladan hidup bagi para anggotanya dalam menghayati panggilannya.
Yesus dalam peristiwa pembasuhan kaki para murid (Yoh.1-20) telah
memberikan keteladanan bagaimana menjadi seorang pemimpin yang sejati.
Seorang pemimpin religius diharapkan selalu siap untuk melepaskan diri dari
66
kemapanan, serta kenyamanan sebagai seorang pemimpin, dan sebaliknya ia berani
mengenakan sabuk kerendahan hati untuk melayani para anggota komunitasnya
dengan tulus hati. Selain itu para pemimpin juga harus belajar dari Yesus soal
membangun “relasi hati”, relasi persaudaraan yang sampai pada sikap empati.
Ketika Ia menampakkan diri kepada para muridNya di pantai danau Tiberias (Yoh.
21: 1-14). Yesus datang tepat pada saat murid-muriNya putus asa, kelelahan, dan
membutuhkan bantuan. Di sini Yesus melihat kebutuhan dasar manusia di dalam
komunitasnya; dan perbuatan yang manusiawi ini memampukan Yohanes sanggup
untuk melihat dan mengenal Yesus. Keteladanan dapat menggugah seseorang
sampai pada sumber kebaikan, yakni Tuhan sendiri. Dalam menghayati tugas
kepemimpinan, sentuhan-sentuhan kemanusiaan berupa perhatian, sapaan,
dukungan, senyuman ataupun kehadiran dari seorang pemimpin dapat memberi
daya dan semangat hidup tersendiri bagi anggota komunitas dan dapat
menghangatkan relasi persaudaraan di antara mereka.
4. Tantangan dalam Kongregasi
Hasil kapitel umum Kongregasi RVM ke-17 di Tagaytay, Filiphina tahun
2002 mengungkapkan bahwa salah satu tantangan besar yang dihadapi oleh para
pemimpin dalam tarekat adalah soal memahami hubungan antara komunitas
perdanan dengan kehidupan kita sekarang, sebagaimana tercermin dalam hasil
kapitel, sebagai berikut:
Dalam proses meninjau, melihat, dan mengangkat kembali asal-usul kita, kita perlu memahami secara mendalam hubungan antara komunitas perdana dan kehidupan kita di zaman ini. Kita ditantang untuk mengangkat kembali unsur-unsur atau nilai dasar dari komunitas perdana dan belajar dari
67
kepemimpinan Mother Ignacia del Espiritu Santo. (Hasil Kapitel Umum Kongregasi RVM ke-17, 2002: 11). Mencermati hasil kapitel tersebut di atas benar adanya bahwa Kongregasi
RVM perlu melihat kembali sejauh mana para suster menghayati nilai-nilai luhur
dari komunitas perdana dalam kehidupan setiap hari yaitu unsur kesatuan hati,
pikiran, cinta kasih dalam perkataan dan perbuatan, pengampunan, dan memberi
perhatian kepada sesama yang miskin dan menderita. Pusat hidup persekutuan
mereka adalah Yesus Kristus sendiri yang telah mereka ikuti dan yang mereka
imani. Komunitas perdana memupuk kebersamaan dan kedalaman hidup dalam
kesetiaan melakukan devosi dan doa bersama demi menjalin relasi yang dalam
dengan Bapa.
Selain belajar dari komunitas perdana, para pemimpin perlu belajar juga
dari kualitas kepemimpinan Mother Ignacia sebagai “Hamba hina Tuhan” yang
memiliki kedalaman iman dan kepercayaan penuh pada penyelenggaraan Ilahi serta
berpusat pada Kristus. Ia taat kepada kehendak Allah dan senantiasa terbuka
terhadap setiap gerakan Roh Kudus di dalam kehidupannya.
Kedua hal di atas merupakan tantangan bagi kongregasi RVM karena dalam
situasi zaman sekarang, bagaimana para pemimpin bersama anggotanya lewat cara,
gaya hidup dan kesaksian hidup serta karya-karya pelayanannya menghadirkan
nilai-nilai atau keutamaan hidup dari komunitas perdana dan kualitas
kepemimpinan Mother Ignacia dalam situasi dan keprihatinan zaman sekarang.
68
D. Yesus Kristus Teladan Utama Kepemimpinan di Zaman Sekarang.
Yesus merupakan tokoh teladan kepemimpinan sepanjang masa.
Keteladanan kepemimpinan selama hidupNya di dunia dan yang Ia wariskan
kepada para murid tetap relevan di setiap zaman. Apa yang kiranya menarik dari
gaya kepemimpinan Yesus ini sehingga dikatakan sebagai model dan teladan
kepemimpinan (Religius) dewasa ini? Berikut akan diuraikan beberapa gaya
kepemimpinan Yesus yang kiranya menjadi model kepemimpinan pelayanan para
pemimpin zaman sekarang Sardi (2005: 219):
1. Yesus Mengemban Misi dari Bapa
Inti pewartaan Yesus di dunia adalah mewartakan Kerajaan Allah yang
nampak dalam ajaran dan karyaNya. Kepemimpinan Yesus pertama-tama adalah
berdasarkan pada amanat akan datangnya Kerajaan Allah di dunia. Yesus
menjalankan kuasaNya bukan untuk mencari popularitas diri atau untuk mencari
pendukung massa yang banyak tetapi justru Ia taat kepada kehendak Bapa untuk
membawa manusia kepada keselamatan. Ia menghadirkan situasi shaloom di
tengah dunia ini. Melalui hidup, ajaran dan karyaNya Yesus menyingkapkan
kerajaan Bapa kepada manusia dan tuntutan yang diberikan kepada manusia adalah
percaya pada Allah dan bertobat dari dosa untuk pada akhirnya kembali kepada
kesatuan dengan Allah.
2. Bukan hanya berbicara tetapi juga berbuat
Yesus mengkritik sikap orang Farisi yang hanya berbicara atau mengajar
tetapi tidak melaksanakannya dalam perbuatan. Sikap yang demikian bukanlah
sikap dari pemimpin yang sejati. Sikap pemimpin yang sejati adalah memberikan
69
contoh atau teladan hidup yang baik yaitu melaksanakan hukum kasih dalam hidup
setiap hari. Hal ini dilakukan oleh Yesus dengan peristiwa pembasuhan kaki para
murid pada malam sebelum perjamuan paskah (Yoh. 13:1-20), Yesus mendobrak
cara pandang dan kedegilan hati para muridNya tentang makna pelayanan sejati.
Yesus menunjukkan teladan sempurna bahwa menjadi seorang pemimpin adalah
menjadi teladan dalam melakukan pelayanan yang penuh kasih dan rendah hati,
bukannya menjadi pemimpin yang hanya memerintah dan menunggu dilayani dan
dihormati, atau hanya pandai merangkai kata-kata indah untuk memikat orang lain
supaya dianggap baik tetapi dalam perbuatan sama sekali kosong.
3. Pemimpin yang Adil
Sikap Yesus di dalam pewartaanNya memperlihatkan betapa Ia sungguh
berpihak pada manusia teristimewa mereka yang sakit, menderita, tersingkir dan
berdosa. Dalam hal keadilan Yesus dihadapkan pada suatu pilihan yang tegas. Ia
tidak takut dan mundur ketika mendapat ancaman dan tuduhan macam-macam dari
para ahli Taurat dan orang Farisi yang hendak menjatuhkan Dia, misalnya soal
pembayaran pajak kepada kaisar atau kepada Allah (Mark. 12:14-17). Sikap adil
yang ditunjukkan Yesus kepada para seterunya ini dilengkapi dengan dengan sikap
yang penuh kasih sehingga jawaban ataun tindakan yang diberikan Yesus bukan
sesuatu yang mematikan atau menyombongkan diri tetapi sebaliknya agar orang
menjadi sadar dan menemukan kebenaran yang sejati yang ditawarkan oleh Yesus.
70
4. Saling Melayani
Menjelang perjamuan malam terakhir, Yesus membasuh kaki para
muridNya. Yesus menunjukkan bagaimanakah menjadi pemimpin yang baik itu,
yakni harus berani saling melayani, bersedia menjadi pelayan Tuhan, mengabdi
demi kebahagiaan orang lain. Melalui pembasuhan kaki inilah Yesus mengajarkan
makna pemimpin yang dikehendaki Allah yaitu diwujudkan dalam pelayanan yang
murah hati, dan saling melayani satu sama lain tanpa memandang pangkat,
kedudukan, ras dan sebagainya. Dalam pelayanan itulah Yesus mengajarkan
ketulusan hati, kejujuran, dan kebijaksanaan yang harus diperjuangkan oleh setiap
orang zaman sekarang terlebih para pemimpin religius dewasa ini.
5. Ketabahan dan keteguhan hati Yesus
Berawal dari kisah di taman Zaitun hingga proses pengadilan Yesus sampai
dengan sengsara dan kematianNya Yesus menunjukkan bagaimana sikap hati
seorang pemimpin sejati, yakni mengenai kesabaran dan keteguhan hatiNya
menghadapi saat-saat paling mengerikan, menegangkan dan mencekam. Yesus tahu
bahwa kerajaanNya bukan dari dunia ini dan kebenaran sejati yang berasal dari
Bapa harus ditegakkan.
Keadilan dan kasih yang selama ini Ia perjuangkan telah diinjak-injak oleh
orang yang tidak suka akan kehadiran Yesus dan seluruh pewartaanNya. Siksaan
demi siksaan, hujatan, makian dan penderitaan ditanggungNya dengan penuh
kesabaran dan kepercayaan penuh pada Bapa. Ia tidak mundur selangkah pun
dengan perutusan yang telah Ia terima dari Bapa, Ia rela menanggung semuanya
supaya Kerajaan Bapa menjadi nyata di dunia ini.
71
6. Mendobrak Kemapanan
Yesus datang bukannya untuk melenyapkan hukum Taurat melainkan untuk
menggenapinya. Ia berani mendobrak segala bentuk kebiasaan dan pandangan
yang telah mapan di tengah masyarakat juga di tengah para muridNya. Yesus
mengungkapkan bahwa adat atau kebiasaan hanyalah berfungsi sebagai sarana saja
bukan tujuan dan apabila adat itu sampai menghambat orang untuk menjalin relasi
dengan Allah maka seharusnya tidak boleh diberlakukan, misalnya Yesus
melakukan pengusiran di rumah ibadat yang dijadikan pasar dan tempat berjudi.
Yesus melakukan pendobrakan ini karena pertama-tama yang diperjuangkan Yesus
adalah soal kepentingan Allah dan bukan pada kepentingan manusia karena meski
bagaimanapun kepentingan yang suci haruslah menjadi yang utama dari yang
lainnya demikian menurut Sardi (2005: 219).
Beberapa hal di atas menggambarkan sosok pribadi Yesus yang telah
memberikan teladan kepemimpinan kepada para pengikutNya hingga saat ini.
Kekuatan kepemimpinan Yesus justru terletak pada melayani dan melaksanakan
kehendak Bapa. Semuanya terpusat pada pelayanan. Gaya kepemimpinan Yesus
sungguh menampilkan dimensi pelayanan demi kerajaan Allah dan kebahagiaan
manusia. Oleh karena itu sangatlah tidak tepat bila para pemimpin religius dewasa
ini yang menyebut dirinya pengikut Kristus tidak meneladan model kepemimpinan
Kristus di atas dalam kehidupannya setiap hari. Kepemimpinan Yesus akan tetap
relevan sepanjang masa. Kepemimpinan Yesus menjadi sumber inspirasi bagi kita
untuk melayani orang-orang di sekitar kita.
72
BAB V
USULAN MODEL KEPEMIMPINAN YANG DICITA-CITAKAN
KONGREGASI RVM DI ZAMAN SEKARANG
Kepemimpinan yang melayani sangat erat kaitannya dengan pemimpin
yang transformatif. Bila seorang pemimpin adalah seorang yang mampu
menggerakkan dan mentransformasi maka pemimpin yang “melayani adalah orang
yang menggerakkan dan sekaligus mentransformasikan hidupnya juga hidup orang
lain” (Candra, 2004: 59).
Pemimpin yang transformatif hanya dapat melakukan semua tugasnya bila
ia menghayati makna perannya sebagai orang yang melayani. Ia sadar dan percaya
sebab dengan melayani anggotanya ia membuka kesempatan kepada mereka untuk
memiliki kebebasan yang lebih luas agar dapat berkembang dengan mengalami
pembaharuan dan perubahan hidup ke arah yang lebih baik. Dengan kata lain
menjadi pemimpin yang transformatif berarti, pemimpin memiliki hati yang mau
melayani sebagaimana yang diteladankan oleh Yesus sendiri yang melayani para
muridNya dengan penuh kasih dan rendah hati dalam peristiwa pembasuhan kaki
(Yoh. 13:1-20).
Memiliki hati yang melayani berarti seorang pemimpin meletakkan
kebutuhan dan minat orang lain atas minat dan kebutuhan dirinya. Seorang
pemimpin yang melayani sekaligus transformatif sangat peduli pada pertumbuhan
dan dinamika kehidupan anggotanya, dirinya serta komunitasnya sendiri. Dalam
kepemimpinannya ia akan mendahulukan kepentingan umum daripada pencapaian
73
ambisi pribadi atau pola dan keinginannya saja. Impian yang ingin ia capai adalah
agar orang-orang yang ia layani kelak menjadi pemimpin yang melayani juga.
Pada Bab V ini penulis mengusulkan sebuah model kepemimpinan yang
kiranya menurut pendapat penulis sangat relevan dan inspiratif untuk dihayati oleh
para suster RVM di zaman sekarang dalam menjalankan tugas pengabdiannya
sebagai pemimpin dalam tarekat. Model kepemimpinan yang diusulkan adalah
“Model Kepemimpinan yang Transformatif”.
Menurut hemat penulis model ini merupakan pengembangan atau penghayatan
dari model kepemimpinan pelayanan Yesus sendiri. Yesus menjadi sumber
inspirasi sekaligus teladan bagi penghayatan kepemimpinan yang transformatif.
Sebagaimana Kristus sendiri lewat teladan kepemimpinanNya telah membawa
manusia mengalami perubahan hidup secara total yakni mengalami anugerah
keselamatan atas dosa. Lewat kepemimpinanNya Yesus “mengubah manusia lama
kita menjadi manusia baru” dengan demikian teladan kepemimpinannya sebagai
hamba yang melayani telah membawa keselamatan bagi seluruh hidup manusia
yaitu manusia mengalami kemerdekaan sejati sebagai anak-anak Allah.
A. Model-model Kepemimpinan
Dewasa ini ada banyak teori yang muncul mengenai kepemimpinan. Model
atau gaya kepemimpinan sangat tergantung pada jenis atau macam orang yang
memimpin. Menurut Martasudjita (2001: 30), gaya kepemimpinan tergantung pada
tiga hal yaitu : pada jenis atau macam orang yang dipimpin, tingkat kemampuan
atau ketrampilan (skills) dan tergantung pada kemauan atau semangat hidup (etos).
74
Berikut ini ada beberapa model kepmimpinan yang sesuai dengan ketiga hal
tersebut di atas menurut Martasudjita (2001: 31) :
1. Kepemimpinan yang directing (memerintah)
Kepemimpinan ini sifatnya mengarahkan, memberi petunjuk dan perintah
secara jelas dan pasti. Model ini nampak otoriter dan mendikte tetapi model ini
juga perlu untuk diterapkan kepada para anggota yang rendah kemampuan dan
kemauannya. Gaya kepemimpinan ini tidak cocok untuk diterapkan bila
berhadapan dengan orang yang terpelajar yang memiliki kemauan dan
kemampuan yang tinggi.
2. Kepemimpinan yang coaching (melatih)
Model coaching bisa digunakan pemimpin bila menghadapi anggota yang
tinggi kemauan dan semangatnya tetapi dari segi kemampuan atau skills sangat
rendah. Kepemimpinan coaching di sini berusaha memberi kesempatan kepada
anggotanya untuk misalnya mengikuti pelatihan, kursus atau bisa menempuh
pendidikan formal untuk meningkatkan kemampuannya.
3. Kepemimpinan yang counseling (menasihati)
Bila berhadapan dengan anggota komunitas yang trampil dan pandai serta
menguasai bidang karya tertentu tetapi anggota tersebut tidak bersemangat atau
lesu bahkan hasil karyanya tidak memuaskan maka gaya konseling bisa
diterapkan yaitu dengan mengadakan pendekatan secara pribadi, mendengarkan
dengan penuh empati apa yang menjadi persoalannya. Pemimpin hadir sebagai
75
sahabat yang membangkitkan semangat atau mengarahkan anggota tersebut
untuk menemukan pencerahan menemukan solusi terbaik bagi dirinya.
4. Kepemimpinan yang delegating (memberi wewenang)
Kepemimpinan yang delegating sangat cocok untuk diterapkan kepada anggota
yang memiliki motivasi atau etos kerja yang tinggi, pandai dan menyenangkan
serta trampil. Pemimpin hendaknya memberikan delegasi atau wewenang
kepada anggotanya untuk bekerja dengan membuat keputusan sesuai dengan
bidangnya yang telah disepakati bersama. Yang penting di sini adalah bahwa
keduabelah pihak baik anggota maupun pemimpin mampu menjalin relasi dan
komunikasi yang sehat, menciptakan suasana nyaman yang membuat semua
merasa at home. Pemimpin membangun sikap percaya dan menghargai
pendapat anggota.
B. Kepemimpinan Transformatif sebagai Model Kepemimpinan yang di
harapkan Kongregasi RVM di Zaman Sekarang
1. Kepemimpinan Transformatif
a. Pengertian Transformatif
Istilah transformasi berasal dari bahasa Latin, yaitu dari kata trans yang
berarti “di seberang” atau “menyeberang” atau “melintasi” dan kata formatio (dari
kata benda forma = bentuk, rupa, wujud) yang berkaitan dengan kata kerja formare
yang berarti “memberi bentuk kepada”, “membentuk”. Dengan demikian istilah
transformasi ini memiliki arti “suatu perubahan bentuk yang selalu terjadi dalam
suatu proses” (Martasudjita, 2001: 5).
76
b. Pengertian Kepemimpinan Transformatif
Kepemimpinan transformatif menurut Darminta (2005: 50) adalah
“kepemimpinan yang mampu memotivasi untuk mengadakan pembaharuan atau
perubahan hidup secara positip”. Kepemimpinan religius merupakan salah satu
bentuk nyata dari pelayanan tarekat religius yang dalam prosesnya memerlukan
suatu perubahan terus menerus dalam menggapai cita-cita serta tujuan hidup
religius. Baik pemimpin maupun anggota harus memiliki kemauan dan
kebersamaan untuk mengambil langkah pembaharuan yang merupakan kunci
pertumbuhan, sebab tanpa ada pembaharuan maka hidup religius atau pun karya-
karya pelayanan tarekat akan mengalami kemandekan atau bahkan bisa mati.
Transformasi atau pembaharuan menurut Darminta (2005: 47) adalah “kelahiran
cara hidup baru dengan menerima gagasan serta pandangan baru, cara kerja dan
kerasulan baru ataupun juga yang dapat tumbuh dan berkembang dalam hidup
religius secara positip”. Lebih lanjut Romo Darminta menyatakan tumbuh menjadi
baru berarti bahwa “hidup religius tetap bermakna baik bagi kaum religius itu
sendiri maupun bagi orang lain yang menerima pelayanan kaum religius”.
Pemimpin yang memotivasi anggotanya, pertama-tama haruslah
mengembangkan sikap seperasaan dan sepenanggungan dengan orang yang
dipimpinnya, atau dengan kata lain pemimpin itu sehati sejiwa dengan apa yang
menjadi pergulatan dan perjuangan serta kebahagiaan anggotanya. Selain itu
pemimpin perlu mengenali apa yang menjadi kebutuhan dari kongregasi, sesuai
dengan konteks zamannya. Baik tingkat kongregasi sampai komunitas yang kecil
sudah pasti membutuhkan kejelasan arah, tujuan dan sasaran. Bagaimana semuanya
itu dicapai lewat langkah-langkah yang konkret, maka peran pemimpin dalam
77
menjalankan kepemimpinannya untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan kongregasi
menjadi sesuatu yang penting untuk dilaksanakan.
Pelayanan kepemimpinan yang transformatif tidak hanya sekedar
memelihara dan menjaga supaya anggotanya tetap setia pada panggilan tetapi juga
untuk mengembangkan panggilan bersama-sama dengan anggotanya. Untuk itu
beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh pemimpin sebagaimana yang
dikemukakan oleh Darminta (2005: 50) adalah sebagai berikut :
1) Seorang pemimpin harus mengusahakan terjadinya kepemimpinan yang
mendukung. Hal ini dicapai melalui dialog dan keterlibatan semua anggota baik
secara pribadi maupun bersama demi menemukan kekuatan yang ada pada
kelompok untuk masuk ke dalam suatu proses pembaharuan serta perubahan
dalam pelayanan kepada Tuhan dan sesama.
2) Pemimpin harus membantu atau mengajak kelompok menemukan sarana-
sarana yang mau dicapai bersama demi suatu perubahan cara hidup, atau cara
kerja, atau penciptaan karya-karya baru yang tepat guna atau sesuai kebutuhan
bahkan peningkatan karya yang sudah ada.
3) Pemimpin harus menumbuhkan keyakinan dan kemampuan anggota atau
kelompok untuk bertindak dan mengambil langkah yang tepat dan bijaksana.
Pemimpin mengajak seluruh anggotanya untuk mengusahakan suatu kemajuan
meskipun dalam prosesnya ada ketidakberdayaan, tantangan atau penderitaan
tetapi pemimpin dan anggotanya perlu memiliki keyakinan yang teguh bahwa
penderitaan dalam mencapai suatu pembaharuan itu berharga dan bermakna
oleh karena itu pemimpin dituntut untuk memiliki kesabaran dan ketegaran.
78
4) Pemimpin perlu menempatkan bakat dan ketrampilan seseorang menurut
kebutuhan sehingga mereka dapat memberikan pengaruh positip bagi
pertumbuhan dan perkembangan kongregasi ke arah yang lebih baik lagi.
5) Seorang pemimpin perlu mengembangkan team dan kerjasama dengan orang
lain yang dipercayakan untuk membantunya dalam menjalankan suatu
tanggung jawab sehingga pelayanan kepemimpinannya dapat efektif dan
efisien.
Kepemimpinan pelayanan yang transformatif dapat dikatakan sebagai
kepemimpinan yang efektif dan efisien artinya kepemimpinan yang mampu
langkah demi langkah membawa kelompok atau anggotanya untuk mengadakan
pembaharuan hidup yang sesuai dengan tuntutan zaman. Kepemimpinan membawa
ke proses reorientasi atau pertobatan terus-menerus bagi pemimpin itu sendiri
maupun bagi anggotanya.
2. Kemampuan Dasar Kepemimpinan Transformatif
Menjadi pemimpin yang membawa pembaharuan memang tidak mudah.
Pemimpin haruslah memiliki kemampuan dasar dalam dirinya yang memampukan
dia untuk berani dan siap melakukan transformasi yang perlu bagi perkembangan
tarekat. Kemampuan dasar itu antara lain yang disebutkan oleh Martasudjita (2001:
36-40) sebagai berikut :
a. Menjadi pemimpin yang belajar seumur hidup yakni belajar untuk mampu
mendengarkan, membaca, menangkap masalah, menganalisa, memilah-milah
dan mempertimbangkan berbagai mcam hal, berwawasan luas, mampu
berdialog, peka terhadap tanda-tanda zaman.
79
b. Menjadi komunikator yang baik yang mampu menyampaikan pesan dengan
jelas, bijaksana, dan mampu membangkitkan semangat anggotanya untuk giat
bekerja dan hidup baik.
c. Menjadi pemersatu, yang mampu memadukan aneka macam kekayaan dan
keunikan masing-masing angota bagi kebaikan bersama. Ia menciptakan
suasana yang harmonis, tidak berpihak pada anggota tertentu tetapi merangkul
semua anggota sehingga dalam komunitas ada rasa kesatuan dan persaudaraan.
d. Mampu membuat keputusan yang tepat dan bijaksana bagi kebaikan semua
warga komunitas dan sekaligus berani untuk menerima dan menanggung segala
akibat dari keputusannya.
e. Menjadi orang yang bersemangat dalam proses transformasi komunitas, Gereja
dan masyarakat. Proses transformasi itu juga meliputi pemberdayaan anggota
yang lain atau regenerasi kepemimpinan. Ini berarti bahwa pemimpin mampu
mengubah hidup yang terpusat dari diri sendiri kepada hidup yang altruis yaitu
hidup untuk orang lain dan terbuka kepada suka-duka kehidupan orang-orang di
sekitarnya.
f. Menjadi pemimpin pendoa. Ia memiliki kedekatan relasi dengan Tuhan dalam
doa-doanya, ia matang dalam hidup rohani, sehingga orang lain merasakan
kedamaian berada bersamanya dan bisa menemukan Tuhan dalam diri
pemimpin. Dengan kata lain buah kedalaman relasinya dengan Tuhan akan
memancar ke luar lewat sikap tutur kata dan tindakannya sehari-hari.
80
3. Spiritualitas Kepemimpinan Transformatif
Selain mengerti dan menguasai ketrampilan kepemimpinan transformatif
seorang pemimpin dalam tarekat RVM juga sangat penting memperdalam
spritualitas kepemimpinan transformatif yang menyangkut inti batin atau roh yang
menggerakkan sang pemimpin menghayati tugas kepemimpinannya. Martasudjita
(2001: 45) menguraikan bahwa kepemimpinan yang transformatif menghayati
spiritualitas kepemimpinan Injili artinya, “suatu kepemimpinan yang tidak pernah
mengganti posisi sentral Tuhan dengan dirinya sendiri”. Pemimpin rela untuk tidak
menjadi pusat perhatian tetapi dengan tulus membiarkan anggota atau orang lain
tetap hanya memiliki satu fokus perhatian yakni Tuhan sendiri. Seorang pemimpin
transfomatif menurut semangat Injil akan rela dilupakan, diabaikan tidak dianggap
penting. Yang penting baginya adalah bahwa Tuhanlah yang harus diabdi dan
dilayani. Kiranya hal ini menjadi semangat santo Yohanes Pembaptis yang berkata,
“Ia harus semakin besar, tetapi aku harus semakin kecil” (Yoh.3:30).
Ada tiga spritualitas kepemimpinan transformatif yang ditawarkan dalam
Injil menurut Martasudjita (2001: 45) yang kiranya perlu dihayati dan dimiliki para
suster RVM dalam usahanya menghayati kepemimpinan transformatif yaitu
sebagai berikut :
a. Spiritualitas sebagai Gembala
Dalam perumpamaanNya tentang gembala yang baik Yesus
mengungkapkan tentang ciri-ciri gembala yang baik di antaranya gembala yang
baik selalu mengenal domba-dombanya (Yoh. 10 :14). Gembala yang baik juga
berani menyerahkan nyawanya bagi domba-dombanya (Yoh.10:11). Dan akhirnya
gembala yang baik selalu mencari dombaNya yang tersesat; ia meninggalkan yang
81
sembilan puluh sembilan ekor untuk mencari domba yang tersesat (bdk. Luk. 15: 4-
7). Mengenal domba-dombanya dalam arti biblis berarti berkaitan dengan
“mempunyai relasi atau hubungan yang personal dan mendalam”.
Semangat kegembalaan seorang pemimpin transformatif dalam praksisnya
nampak dalam bagaimana seorang suster pemimpin menjalin hubungan yang
mendalam dan personal serta saling meneguhkan dengan para anggotanya. Segala
suka-duka anggotanya ada dalam doa dan hati pemimpin. Hal ini tentunya
mengandaikan bahwa suster tersebut telah memiliki relasi yang mendalam juga
dengan Allah sendiri sehingga memampukan ia sendiri untuk terbuka menjalin
relasi yang baik dengan sesamanya. Lalu seorang gembala juga berani
menyerahkan nyawanya bagi domba-dombanya. Pemimpin harus berani
memberikan hidupnya untuk melayani anggotanya. Seluruh tenaga, pikiran
kemampuan, bakat-bakat dicurahkan untuk memperkembangkan hidup mereka
yang dilayaninya. Sedangkan seorang gembala meninggalkan yang sembilan puluh
sembilan ekor dan mencari satu yang hilang, artinya seorang suster sebagai
pemimpin harus mencintai setiap anggotanya dengan segala kelebihan dan
kekurangannya. Ia juga mencintai anggota yang kadang menyakiti hatinya, yang
memberontak dan menentang dirinya, sebab baginya setiap anggota adalah harta
bernilai dan berharga yang dipercayakan Tuhan kepadanya yang harus dipelihara
dan dijaganya seperti biji mata (Ul. 32:10).
b. Spiritualitas Kepemimpinan sebagai Pelayan
Hamba dalam pengertian biblis ialah mereka yang menjadi budak. Budak
itu tanpa hak, statusnya rendah di mata masyarakat. Ia harus melayani majikannya,
82
ia siap sedia setiap saat bila dibutuhkan. Seorang budak tidak mempunyai kuasa
apa-apa atas hidupnya sendiri. Ia hanya sebagai pelayan yang melaksanakan
perintah tuannya. Inti spritualitas hamba ada pada hidup dan pribadi Yesus,
“…yang mengosongkan diri, menjadi hamba dan bahkan mati di salib…” (bdk.
2:5-11). Kerelaan untuk mengosongkan diri, dan merendahkan diri menjadi serupa
dengan manusia dan kemudian mati di kayu salib, inilah yang penting dalam
spiritualitas kepemimpinan seorang pelayan.
Setiap pemimpin memiliki majikan atau tuan yang utama yakni Tuhan
sendiri. Namun Tuhan juga hadir dan harus dilayani melalui diri para anggotanya.
Oleh karena itu hidup dan pengabdiannya diarahkan bagi mereka yang dilayaninya.
Sukacita, kecemasan ataupun harapan anggotanya menjadi miliknya juga, dalam
arti ia merasa hati dan sejiwa dengan apa yang dirasakan dan dialami oleh anggota
komunitasnya. Singkatnya semangat kepemimpinan pelayanan seorang pemimpin
ada dalam hatinya yang terbuka, rendah hati dalam pelayanan, dan mencintai
tugasnya, anggotanya serta tidak mencari ketenaran diri atau keuntungan diri dalam
pelayanannya.
c. Spiritualitas Kepemimpinan sebagai Pengurus Rumah Tangga
Spiritualitas kepemimpinan sebagai pengurus rumah tangga ini sangat
inspiratif dan menantang. Semangat pengurus rumah tangga ini memadukan unsur
kekuasaan dan pelayanan, wewenang dan ketergantungan. Pengurus rumah tangga
adalah orang yang mengawasi tata tertib rumah tangga, adat istiadat, aturan, dan
kesepakatan bersama. Dalam Injil Perjanjian Baru kata pengurus rumah tangga
muncul hanya dua kali yakni dalam Lukas 12:42 tentang “… jadi siapakah
83
pengurus rumah tangga yang setia dan bijaksana yang diangkat oleh tuannya
menjadi kepala atas ...” dan Lukas 16:1-2 tentang “bendahara yang tidak jujur”
dalam kedua teks ini ditampilkan dua ciri atau sifat pengurus rumah tangga, yaitu:
1) Pengurus rumah tangga bertindak sebagai pelayan bukan pemilik atau
majikan.
Seorang pemimpin sebagai pengurus rumah tangga perlu menyadari bahwa
dirinya bukanlah pemilik komunitas atau karya. Sebab semuanya itu adalah milik
Tuhan, milik kongregsi. Ia menyadari bahwa tugas ini adalah anugerah dari Tuhan
untuk itu ia sudah sepantasnya mempertanggung jawabkan kepada Tuhan sang
pemilik segalanya. Tugas itu hanya sementara dan suatu saat pasti akan diambil
alih atau dipercayakan kepada orang lain. Oleh karena itu kelekatan pada jabatan
atau posisi tertentu dalam tarekat tidak boleh ada dalam hidupnya, sebaliknya sikap
lepas bebas menjadi prinsip hidup seorang pemimpin. Ia siap sedia diganti dan
dipindah ke tempat yang lain kapan saja.
2) Kekuatan dan keutamaan pengurus rumah tangga ada pada perpaduan antara
sifat bijaksana dan bisa dipercaya, antara bisa diandalkan dan
berpengalaman.
Seorang pemimpin sebagai pengurus rumah tangga memiliki kemampuan
atau kompetensi di bidangnya sekaligus ia bisa dipercaya karena kepribadian,
kejujuran dan komitmennya. Komitmen ini menjadi api dan penggerak seluruh
aktivitas dalam hidupnya yang merupakan dorongan dari Roh Kudus sendiri.
84
3) Konteks kepemimpinan rumah tangga adalah ketidakhadiran majikan
Tuhan memberikan wewenang kepada pemimpin untuk mengambil bagian
dalam wewenangnya atas diri para anggota. Tetapi wewenang itu hanya pinzaman
dan pemberian Tuhan. Dan lagi wewenang itu menuntut tanggung jawab sang
pemimpin kepada “majikan” yaitu Tuhan sendiri, apakah tugas yang diberikan itu
dilaksanakan sesuai dengan kehendakNya atau malah dalam pelaksanaannya
menyimpang dari jalan Tuhan.
C. Kepemimpinan Transformatif dalam Praksis di Kongregasi RVM
Indonesia
1. Transformasi Diri dari Sisi Gelap Kepemimpinan
Seorang pemimpin yang transformatif adalah seseorang yang
menggerakkan dan mengubah orang lain agar rencana Tuhan terwujud, hal itu
hanya dapat dilakukan dengan efektif dan efisien bila ia sendiri mengalami
hidupnya terlebih dahulu digerakkan dan diubah oleh Allah sendiri. Transformasi
diri seorang pemimpin membutuhkan proses maka seorang pemimpin harus mau
bersabar dan terus belajar dan berubah sepanjang hidupnya selama itu
mengarahkan dirinya kepada kedewasaan dan kematangan hidup.
Ada tiga proses transformasi diri yang harus dilakukan oleh seorang
pemimpin menurut Candra (2004: 24-25) yang kiranya menurut penulis baik untuk
dikembangkan oleh para pemimpin dalam tarekat RVM demi meningkatkan
kualitas kepemimpinan pelayan yakni :
Pertama, pemimpin belajar menyempurnakan pengertian tentang siapa dirinya
sendiri, kelemahan dan kelebihannya dengan begitu ia akan semakin memahami
85
riwayat pribadinya. Selanjutnya dengan penghayatan tentang makna hidup ini, ia
akan mengalami rekonsiliasi atas luka-luka atau peristiwa yang menyakitkan dalam
hidupnya. Melalui rekonsiliasi maka ia akan menerima diri dan pengalaman
hidupnya dan mampu bersyukur atas semuanya itu.
Kedua, seorang pemimpin berubah dalam hal-hal yang pada awalnya
dianggap bernilai menurut dirinya padahal sebenarnya itu tidak bernilai. Ia
melakukan transformasi dengan hal lain yang memiliki kualitas atau nilai sejati,
sebagaimana yang ditunjukkan oleh santo Paulus “Tetapi apa yang dulu kuanggap
keuntungan bagiku kini kuanggap rugi karena Kristus … malahan segala sesuatu
kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus Tuhanku, lebih mulia dari
pada semuanya” (Filipi 3: 7, 8a).
Ketiga, akibat dari transformasi di atas, maka akan terjadi suatu perubahan
dalam membangun impian, visi-misi, atau arah dan tujuan hidupnya. Artinya,
karena seorang pemimpin mengenali dirinya berharga di hadapan Tuhan dan
merasakan kebaikan Tuhan pada dirinya, ia mampu pula memuji dan mensyukuri
semua anugerah yang diterimanya dari Tuhan. Dengan demikian ia akan tahu dan
mengerti dengan baik arah hidup yang mau ia tuju.
Integrasi dari ketiga transformasi diri tersebut akan membuahkan kesediaan
untuk menghasilkan sikap dan kemampuan kepemimpinan. Integrasi tersebut juga
membuat pemimpin akan berani menghadapi tantangan dan berani pula mengambil
risiko. Namun demikian satu hal yang perlu ditegaskan bahwa tranformasi diri dari
sisi gelap masa lalu merupakan suatu proses yang tidak mudah; membutuhkan
waktu, pengorbanan kesabaran dan usaha yang terus menerus dalam hidup dan
86
terlebih keterbukaan di hadapan Allah untuk membiarkan Allah sendiri yang dapat
merubah semua sisi gelap hidup sang pemimpin.
2. Transformasi dalam Komunitas
Seorang pemimpin yang telah mengalami suatu transformasi diri tentunya
akan menularkan kebaikan kepada orang lain, artinya ia akan mengupayakan agar
sebanyak mungkin orang lain (anggota komunitasnya) turut mengalami perubahan
(Candra, 2004: 55). Salah satu tugas pemimpin adalah membangun suatu
komunitas transformatif yaitu komunitas yang mengalami gerakan perubahan dari
komunitas yang mungkin dulunya “kacau” atau “kering” menuju suatu komunitas
yang penuh kasih. Yang menjadi esensi dari transformasi adalah “suatu pertobatan
batin dari komunitas yang diwarnai budaya kasih dengan meletakkan seluruh hidup
hanya pada Allah dan penyelenggaraanNya” (Martasudjita, 2001: 63).
Para suster RVM dalam hidup berkomunitas dipanggil untuk membangun
komunitas yang transformatif sebagaimana yang digambarkan dalam konstitusi no.
52 (2002: 26) bahwa “komunitas yang dibangun adalah komunitas yang
mengampuni saling menerima kekhilafan, membantu yang lemah untuk bangkit
dari kelemahannya”. Menjadi tanggung jawab setiap orang (tidak hanya pemimpin)
untuk saling menjaga dan mendukung kesetiaan dalam panggilan dan lain
sebagainya. Komunitas yang mau hidup dalam kasih dan pertobatan haruslah
memupuk:
Sikap saling mengampuni dengan penuh keterbukaan, kerendahan hati, dan rasa syukur kepada Tuhan, serta membawa semua persoalan yang dihadapi ke dalam rahmat dan kuasa Allah sehingga hanya Dia sendirilah yang dapat merubah seturut kehendakNya (Constitution of the RVM Revised, 2002, No. 53).
87
Salah satu tuntutan mendasar yang diberikan kepada para pemimpin dalam
kongregasi RVM untuk menanggapi situasi zaman ini adalah para suster yang
mengemban tugas sebagai pemimpin dipanggil untuk mengabdikan diri melayani
anggota dengan mengembangkan prinsip-prinsip kepemimpinan yang transformatif
sehingga dalam komunitasnya nampak ada pembaharuan yakni menjadi semakin
tanggap, kreatif, memiliki kredibilitas di hadapan Tuhan dan sesama dalam
penghayatan spiritualitas Ignacia (Hasil Kapitel Umum RVM, 2001: 15).
Berkaitan dengan pemimpin sebagai pelayan atau abdi Allah, seorang
pemimpin RVM dipanggil untuk memimpin, memberi inspirasi, dan menciptakan
sebuah komunitas cinta penuh persaudaraan dan mempermudah penghayatan
ketaatan bagi anggotanya. Dalam menjalin relasi dengan anggotanya, ia memupuk
“Rasa kepercayaan, ketulusan, kesederhanaan dan penghormatan terhadap setiap
pribadi yang dilayaninya” (Constitution of the RVM Revised, 2002, No. 50).
3. Transformasi dalam Karya kerasulan
Kepemimpinan yang transformatif adalah juga pribadi yang dinamis, ia
tidak cepat merasa puas akan apa yang dicapainya saat ini melainkan ia memiliki
semangat untuk terus berubah dan mencari peluang untuk bisa melakukan gerakan
pembaharuan di segala bidang, termasuk dalam bidang karya pelayanan apostolis.
Pemimpin tansformatif juga harus mampu membaca tanda-tanda zaman dan
segala perubahannya. Ia juga harus pandai untuk melihat kebutuhan-kebutuhan
Gereja dan masyarakat luas agar karya pelayanan tetap relevan dan kontekstual.
Visi dari kongregasi RVM sesuai hasil kapitel umum RVM ke-18, tahun
2006 adalah: “Kita, Religious of the Virgin Mary, penerus warisan Mother Ignacia
88
del Espiritu Santo, berani menempuh jalan baru dan melalui kehidupan dan
pelayanan kita menyumbangkan kepada pembaharuan masyarakat”.
Berdasarkan visi ini maka setiap suster, komunitas maupun kongregasi
RVM dipanggil untuk tidak hanya mengarahkan hidup ke dalam saja tetapi harus
mengarah ke luar. Kehadiran dan karya merupakan sebuah pewartaan, pelayanan
dan sebuah kesaksian profetis di tengah masyarakat luas yang menampakkan
kehadiran Kristus di tengah manusia terutama melayani mereka yang menderita.
Para suster yang telah mengalami suasana transformatif dalam diri juga
dalam komunitas dengan penuh kegembiraan dan sukacita membagikan buah-buah
kebaikan kepada orang di sekitarnya. Mereka menjadi garam dan terang dunia di
tengah-tengah sesamanya yang membutuhkan uluran tangan, cinta dan perhatian.
Dengan kata lain para suster membangun semangat :
Solider dengan kaum miskin, mereka yang tertindas, dilecehkan, anak-anak yang tidak diperhatikan. Terhadap mereka ini kita melihat dengan mata Kristus dan mencintai dan melayani mereka dengan hatiNya ... kita mengambil bagian dalam pembebasan manusia dari situasi yang tertekan, membela martabat mereka terutama kaum perempuan, menantang dan memberdayakan mereka … dan pada akhirnya kita melayani untuk suatu dunia yang berubah untuk menikmati kepenuhan hidup dalam Kristus (Constitution of he RVM Revised, 2002, no. 87).
Demikianlah ketiga hal di atas yakni diri pemimpin, hidup komunitas dan
karya kerasulan menjadi bagian dalam tarekat yang perlu mengalami transformasi
yang terus menerus, tanpa mengabaikan bidang-bidang yang lain karena pada
dasarnya transformasi itu harus menyeluruh di semua aspek kehidupan sebuah
kongregasi di zaman sekarang. Peran kepemimpinan transformatif sangat besar
demi membawa baik itu anggota, komunitas, bidang-bidang karya dan sebagainya
89
mengarah kepada suatu perubahan menuju kesempurnaan hidup yakni menemukan
Allah sendiri.
D. Katekese Sebagai Salah Satu Upaya Mewujudkan Pola Kepemimpinan
Yang Transformatif Para Suster RVM
1. Hakikat-Tujuan Katekese dan Alasan Pemilihan Katekese sebagai Upaya
Perwujudan Pola Kepemimpinan Transformatif para Suster RVM.
a. Hakikat dan Tujuan Katekese
Pada Pertemuan Komisi Kateketik Indonesia (PKKI) kedua tahun 1980 di
Klender, para peserta pertemuan merumuskan arti katekese umat sebagai berikut:
“Komunikasi iman atau tukar pengalaman iman antar anggota jemaat atau
kelompok. Melalui kesaksian para peserta saling membantu sedemikian rupa
sehingga iman masing-masing diteguhkan dan dihayati semakin sempurna”
(Yoseph Lalu; 2005: 5).
Dalam katekese, umat memiliki tempat yang sentral. Umat menjadi subyek
atau pelaku utama dalam katekese. Yang dimaksud umat di sini berarti semua
orang beriman yang secara pribadi memilih dan meyakini Kristus sebagai pola
hidup beriman baik secara pribadi maupun bersama. Seluruh hidup Yesus Kristus
mulai dari peristiwa inkarnasi, sabda dan karyaNya hingga puncaknya pada misteri
Paskah menjadi isi katekese yang harus disampaikan secara utuh sehingga
membantu peserta untuk semakin mengenal, mencintai dan mengikuti Kristus.
Dengan kata lain seluruh pribadi Kristus menjadi jantung katekese. Katekese perlu
mengusahakan dan membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi jemaat untuk
90
mengenal dan mencintai serta mengikuti Yesus sebab Dia yang diimani adalah
jalan, kebenaran dan hidup bagi umat manusia.
Isi katekese yang menyangkut hidup, karya, dan pewartaan Yesus Kristus
menjadi kabar gembira yang membebaskan dan menyelamatkan manusia dari
segala bentuk penderitaan akibat dosa. Dengan kata lain kabar gembira Kristus
harus menjadi inti iman, harapan dan kekuatan hidup bagi setiap jemaat, karena itu
jemaat perlu menanggapinya dengan iman dan menghayatinya dalam kehidupan
konkret setiap hari baik secara pribadi maupun komunal. Setiap jemaat harus berani
menjadi saksi pewarta kabar gembira Kristus di tengah-tengah dunia ini.
Selain berpusat pada Kristus, katekese sebagai komunikasi iman
menekankan bahwa pengalaman hidup konkret peserta menjadi awal dan tujuan
dalam proses katekese (Heryatno, 2005: 1). Pengalaman iman tersebut lahir dari
pergulatan dan perjuangan umat dalam suka maupun duka; keberhasilan,
kebahagiaan, harapan, penderitaan, sakit, atau kegagalan. Katekese membantu
peserta untuk menyadari pengalaman hidup mereka lalu merefleksikan secara kritis
dalam terang iman, selanjutnya diharapkan pengalaman-pengalaman tersebut
dimaknai dengan menemukan praksis baru yang membangkitkan semangat umat
beriman untuk semakin terlibat mewujudkan nilai-nilai kerajaan Allah dalam
kehidupan menggereja juga di tengah-tengah masyarakat luas.
Katekese yang menekankan peranan umat sebagai pelaku atau subyek
utama dalam katekese amat tepat dengan gambaran Gereja sebagai persekutuan
umat beriman yang dihidupi dan disatukan oleh Yesus Kristus, “Kristus menjadi
kepala tubuh dan Gereja adalah anggota-anggotanya”. Dengan demikian katekese
harus bertujuan bagi pembangunan hidup beriman secara pribadi dan bersama
91
berdasarkan nilai-nilai Injil. Iman yang dewasa dan sungguh dihayati dalam
kehidupan menggerakkan setiap anggota umat beriman untuk terlibat dalam
mewujudkan nilai-nilai kerajaan Allah seperti kasih, sukacita, damai, keadilan, dan
kebenaran.
Situasi dan kondisi dunia saat ini ditandai dengan munculnya hal-hal yang
memprihatinkan. Arus globalisasi yang cepat dan kuat membuat orang kadang
hanyut di dalamnya. Gaya hidup konsumerisme dan hedonisme yang menawarkan
kenikmatan sesaat membuat orang lupa akan nilai-nilai hidup yang bersifat hakiki
yang harusnya diperjuangkan. Sementara itu di mana-mana terjadi tindakan
ketidakadilan, pelanggaran atas hak-hak asasi manusia dan lain-lain (Yoseph Lalu,
2005: 25). Dalam suasana yang demikian muncul pertanyaan, “umat macam apa
yang mau dibangun atau jemaat seperti apa yang dicita-citakan saat ini”. Dalam
PKKI ke- VI di Wisma Samadi, tahun 1996, peserta pertemuan menemukan suatu
gambaran hidup umat yang dicita-citakan yaitu “Jemaat yang berorientasi pada
kerajaan Allah”, artinya sebagaimana Yesus sendiri menjadikan kerajaan Allah
sebagai pusat pewartaanNya, maka jemaat pada masa kini dipanggil untuk
menghayati dan mewujudkan nilai-nilai kerajaan Allah di tengah-tengah kehidupan
masyarakat zaman sekarang (Yoseph Lalu, 2005: 25). Dalam usaha membangun
jemaat seperti itu maka katekese mendapat tempatnya. Katekese harus bertujuan
membangun jemaat yang berorientasi pada kerajaan Allah. Setiap umat beriman
dipanggil untuk menyuarakan kebenaran, berani membela nilai-nilai kemanusiaan
yang kini seringkali dilecehkan. Jemaat juga dipanggil untuk bersikap solider
dengan mereka yang miskin, lemah, dan tertindas, dan jemaat harus mampu
membangkitkan harapan dan sukacita bagi mereka yang menderita dan sakit.
92
Keterlibatan jemaat dalam keprihatinan masyarakat merupakan wujudnyata dari
kehadiran kerajaan Allah di dunia ini. Untuk menumbuhkan nilai-nilai kerajaan
Allah tersebut jemaat dipanggil untuk mampu berdialog, berkomunikasi,
bekerjasama dengan semua pihak yang berkendak baik apa pun keyakinannya atau
budayanya (Yoseph Lalu, 2005: 25-27).
Demi kelancaran katekese dan demi tercapainya tujuan katekese, maka
proses katekese harus mengutamakan unsur dialog partisipatif dan didukung oleh
suasana nyaman dan penuh persaudaraan. Komunikasi iman tidak hanya terjadi
antara peserta dengan pendamping tetapi juga terjadi dialog iman antar peserta juga
dialog dengan “teks” dalam hal ini komunikasi peserta dengan pribadi Yesus
sebagai pola hidup dan pusat hidup jemaat beriman, sehingga peserta semakin
mengenal, mencintai dan mengikutiNya. Katekese harus disadari sebagai
“komunikasi iman antar peserta sebagai saudara seiman yang sederajat” (Yoseph
Lalu, 2005: 5).
Jemaat beriman dalam suasana persaudaraan bersaksi tentang pengalaman
penghayatan iman mereka. Baik peserta maupun pendamping menyadari kehadiran
setiap pribadi sebagai kelompok yang setia kawan dan bersaudara yang memiliki
komitmen untuk bersama berjalan menuju kepenuhan hidup dalam Kristus. Jemaat
beriman membangun relasi dari hati ke hati yang saling menghargai dan
menghormati, mendengarkan dengan empati, saling meneguhkan sehingga setiap
pribadi merasa nyaman, diterima dan berani untuk mengkomunikasikan
pengalaman imannya. Dalam katekese setiap jemaat beriman memiliki rasa
tanggung jawab untuk saling menolong memperkembangkan imannya dengan
93
saling mengkomunikasikan iman mereka pada Kristus. Dengan kata lain setiap
jemaat beriman menjadi “katekis” bagi jemaat yang lain (Heryatno, 2005:1).
Suasana yang dilandasi oleh semangat persaudaraan dan relasi kesalingan
mendorong jemaat beriman untuk tidak hanya menjalin persaudaraan di antara
mereka (relasi horisontal) saja tetapi diharapkan relasi itu dapat berkembang lebih
dalam dengan Yesus Kristus (relasi vertikal). Perjumpaan dengan pribadi Yesus
Kristus inilah yang akan memperkembangkan hidup jemaat beriman,
mempersatukan mereka dan mendorong mereka untuk menghadirkan kerajaan
Allah kepada dunia dan sesamanya yang lain (Heryatno, 2005: 8).
b. Alasan Pemilihan Katekese
Kepemimpinan yang transformatif merupakan salah satu model
kepemimpinan yang mau dicapai oleh para suster RVM dalam rangka menghayati
pola kepemimpinan Yesus yang melayani. Kepemimpinan transformatif adalah
“Suatu pola kepemimpinan yang memotivasi anggotanya untuk mengadakan
perubahan dan pembaharuan hidup secara positif” (Darminta, 2005: 50). Seorang
pemimpin dengan segala kemampuan, kekuatan serta ketrampilan yang dimilikinya
diharapkan menjadi seorang penggerak dan motivator bagi anggotanya juga orang
lain untuk mengalami suatu “kelahiran baru” atau pembaharuan hidup yang
menghasilkan buah-buah kebaikan bagi perkembangan pribadi juga orang-orang di
sekitarnya.
Kelahiran baru oleh Darminta (2005: 47) disebutkan sebagai pembaharuan
dalam menerima dan menanggapi gagasan atau pandangan baru, cara kerja dan
kerasulan baru, atau apa pun juga yang dapat tumbuh dan berkembang dalam hidup
94
religius secara positip. Kelahiran baru mengarah pada perkembangan hidup religius
secara positip yang bisa mendukung perwujudan kerajaan Allah dalam karya dan
kesaksian hidup para religius kapan saja dan di mana saja berada. Dalam rangka
mewujudkan kepemimpinan transformatif tersebut para suster belajar dan menimba
inspirasi dari pola kepemimpinan Yesus Kristus yang datang untuk melayani
manusia. Lewat hidup, sabda dan karyaNya di tengah-tengah manusia, Ia
memotivasi dan menghantar orang untuk sampai pada pengalaman transformasi
hidup. SabdaNya yang penuh daya menghidupkan, menyejukkan hati dan
membangkitkan harapan para pendengarNya untuk bertahan dalam setiap bentuk
pergulatan hidup.
Kesaksian hidupNya tentang kerajaan Bapa yang menampakkan nilai
keadilan, damai, penghargaan, dan pendekatan yang penuh empati, peduli pada
yang miskin lemah dan berdosa mampu mengerakan hati dan mengubah hidup
orang-orang disekitarNya untuk berbalik arah (bertobat) kembali kepada jalan
Allah. Pengorbanan Yesus yang terbesar berpuncak pada misteri Paskah, Ia
merendahkan diri sebagai seorang hamba bahkan mati di kayu salib demi
menyelamatkan dan membebaskan manusia dari belenggu dosa. Lewat
pengorbanan ini, manusia mengalami transformasi hidup dari anak-anak kegelapan
menjadi anak-anak terang yang “merdeka” sehingga memiliki martabat mulia
sebagai anak-anak yang dikasihi Bapa.
Yesus adalah guru terbaik yang mengajarkan pola kepemimpinan yang
sejati. KedatanganNya ke dunia yang mengemban misi Bapa mewartakan kerajaan
Allah di tengah-tengah dunia, dilakukan dengan pelayanan yang tulus dan penuh
kerendahan hati serta ketaatan penuh pada kehendak Bapa. Hal ini diteladankan
95
oleh Yesus dalam peristiwa pembasuhan kaki para murid saat perjamuan terakhir.
Dengan penuh kerendahan hati Yesus membasuh kaki para muridNya. Sebagai
Tuhan dan Guru, Yesus mengungkapkan kasih sampai sehabis-habisnya kepada
para murid dengan melayani mereka satu per satu. Inilah teladan kepemimpinan
yang diwariskan Yesus kepada para pengikutNya. Oleh karena itu setiap orang
termasuk para suster RVM di zaman sekarang hendaknya menghayati dan
menghidupi teladan Yesus tersebut dalam hidup karya dan pelayanan kepada
sesamanya.
Usaha untuk mewujudkan pola kepemimpinan yang transformatif disadari
sebagai suatu proses yang membutuhkan kesabaran dan perjuangan serta pertobatan
yang terus menerus dari para suster baik pemimpin maupun anggota untuk
mengakarkan nilai-nilai kerajaan Allah; kasih, sukacita, damai, dan sebagainya
dalam hidup sebagai kekuatan dalam menghadapi tantangan zaman. Proses
transformasi dapat dicapai melalui refleksi kritis dan kontemplasi atas semua
pengalaman atau peristiwa hidup manusia. Dalam pengolahan itu orang berjumpa
dengan Allah dan membiarkan Allah merubah dari dalam segala apa yang
menghambat pertumbuhan pribadi dan imannya.
Salah satu upaya yang mau dilakukan oleh para suster RVM adalah lewat
katekese. Menurut penulis, katekese sebagai pembinaan iman menjadi media bagi
para suster untuk bertemu, berdialog atau mengkomunikasikan pengalaman
pergulatan dan perjuangan hidupnya sehari-hari. Dalam perjumpaan itu para suster
baik secara pribadi maupun bersama saling belajar dari realitas hidup rekan-
rekannya yang lain, mereka saling memperkaya dan meneguhkan serta
96
memperkembangkan iman dan harapan masing-masing sehingga bisa menemukan
suatu pengalaman hidup baru yang membangkitkan keterlibatan baru pula.
Katekese yang berpola pada Kristus membantu para suster untuk
mempertemukan pengalaman konkretnya dengan kekayaan tradisi-tradisi iman
Gereja sehingga setiap suster dihantar untuk bertemu, bersatu dan berdialog dengan
Kristus yang merupakan pusat dan tujuan hidup setiap pribadi. Pengalaman
perjumpaan dengan Kristus ini peserta diharapkan semakin mengenal, mencintai
dan mengikuti Yesus yang telah memanggil dan memilih mereka untuk menjadi
abdiNya. Selain itu mereka juga diharapkan semakin menyerupai Kristus artinya,
berpikir seperti Kristus memandang dan menilai seperti Dia, dan bertindak seturut
perintah-perintahNya serta melakukan segala sesuatu sesuai kehendakNya” (CT,
no. 20). Mengikuti Kristus harus sampai pada menghayati sabda, karya dan hidup
Kristus dalam tindakan nyata yakni terlibat dalam memperjuangkan dan
mewujudkan nilai-nilai kerajaan Allah di dunia ini. Seorang suster pemimpin
diharapkan menjadi sabda yang hidup yang memberi sukacita dan kedamaian bagi
anggotanya, ia harus menjadi perpanjangan tangan Kristus untuk melayani dan
mencintai seperti hati Kristus sendiri. Dengan kata lain ia menjadi alter Kristus
bagi orang lain.
Dalam proses katekese suasana yang dibangun oleh peserta adalah suatu
relasi persaudaraan dan persahabatan yang saling menghargai, menghormati,
mendengarkan dengan empati, bebas tanpa paksaan untuk mengungkapkan
pengalaman hidupnya. Proses katekese yang demikian menurut penulis menjadi
pembelajaran sekaligus sebagai sumber kekuatan dan inspirasi bagi para suster
terutama bagi seorang pemimpin yang menjadi orang pertama yang dengan segala
97
cara dan dayanya berusaha untuk mengarahkan komunitasnya demi suatu
transformasi. Sebagai religius para suster RVM hidup bersama dalam sebuah
komunitas yang terdiri dari pribadi-pribadi dengan latar belakang budaya, bahasa,
karakter atau sikap yang berbeda-beda. Keunikan-keunikan ini kadang
menimbulkan gesekan-gesekan atau konflik dalam komunitas antara pemimpin
dengan anggota maupun antar anggota komunitas sehingga relasi hidup
berkomunitas menjadi tidak harmonis, beku dan kacau. Relasi dari hati ke hati
tidak terjadi dalam komunitas.
Melalui katekese para suster diajak untuk membangun hidup berkomunitas
yang bergerak dari komunitas yang awalnya kacau, tidak rukun dan tidak damai
menuju komunitas transformatif yang memiliki semangat pertobatan dan
menampakkan budaya kasih demi tercipta suatu relasi dengan ikatan persaudaraan,
relasi dari hati ke hati yang saling memperhatikan, mendukung satu sama lain.
Dalam membangun persaudaraan ini pemimpin hendaknya mendorong dan
mengarahkan anggotanya untuk menciptakan suatu komunitas yang harmonis dan
memberi kesempatan kepada anggotanya untuk saling berbagi dan melengkapi
segala kelebihan dan kekurangan rekan-rekannya yang lain.
Seorang pemimpin dalam menjalankan tugas kepemimpinannya
mengedepankan sikap penghormatan terhadap pribadi anggota-anggotanya. Ia
memiliki tanggung jawab dalam mengembangkan kepribadian masing-masing
anggota dan berusaha mengenal dan menghargai ide-ide dan perasaan-perasaan
orang lain, menemukan dan memperkembangkan kualitas-kualitas atau sifat positif
yang ada pada pribadi mereka yang dilayaninya. Pemimpin harus memiliki sikap
kasih dan kepercayaan terhadap para anggota komunitasnya. Sebab kasih dan
98
kepercayaan dalam relasi pemimpin dan anggotanya akan menciptakan
keharmonisan, saling penghargaan dan percaya, serta menimbulkan kedekatan dan
meningkatkan semangat melayani, saling menghargai dan menghormati perbedaan.
Sebagaimana diungkapkan pada pada pembahasan sebelumnya tentang
tujuan katekese yaitu membangun jemaat yang berorientasi pada kerajaan Allah
maka komunitas kasih yang dibangun oleh para suster merupakan salah satu bentuk
kesaksian hidup yang mewartakan dan menghadirkan nilai-nilai kerajaan Allah di
dunia ini. Sebagai komunitas yang hidup para suster bersatu dalam komunitas dan
saling berinteraksi dalam satu ikatan kasih persaudaraan dan bergerak menuju
kepenuhan dalam Kristus (Martasudjita, 2001: 37), sehingga menjadi nyata bahwa
keberadaan para suster menjadi tanda kebaikan Tuhan dan berkat bagi sesamanya.
2. Pemilihan Shared Christian Praxis sebagai Model Berkatekese
a. Alasan Pemilihan Shared Christian Praxis sebagai Model Berkatekese
Shared Christian Praxis (SCP) merupakan salah model berkatekese. Model
ini menggunakan pendekatan dasar teologis yang kuat, menggunakan model
pendidikan yang progresif serta bertolak dari keprihatinan pelayanan pastoral yang
aktual. Selain itu model ini juga menekankan proses berkatekese yang bersifat
dialogis partisipatif yaitu proses katekese yang menekankan relasi subyek dengan
subyek. Suatu relasi yang menuntut adanya kebersamaan dan kesederajatan. Peserta
tidak hanya diam dan mendengarkan pemandu yang berbicara menyampaikan
informasi tetapi sebaliknya dalam proses katekese ini baik peserta maupun
pendamping dapat menjadi nara sumber, artinya setiap pribadi sesuai dengan
gayanya, pengalaman hidupnya dan kepentingannya saling memberikan
99
sumbangan yang khas dan berarti bagi peserta lain. Masing-masing pribadi
dihargai, dihormati keberadaan dan perannya sebagai subyek yang unik, bebas, dan
Bertanggung jawab. Setiap peserta harus mengembangkan sikap mendengarkan
dengan empati tidak hanya dengan telinga tetapi mendengarkan dengan hati apa
yang disharingkan oleh peserta lain (Heryatno, 1997: 4).
Hubungan antar subyek yang sederajat dalam perjumpaan tersebut akan
memunculkan suatu kesadaran baru tentang pentingnya rasa solidaritas dan
kesetiakawanan karena peserta merasa “sehati sejiwa” memiliki perjuangan dan
visi yang sama. Semua peserta menjadi partner atau saudara dan saudari dalam
Kristus yang dengan segala daya dan kemampuannya aktif terlibat dan secara kritis
mengolah pengalaman konkret mereka dan pengalaman dalam masyarakat
kemudian mempertemukannya dengan tradisi kristiani. Selanjutnya dengan
kesadaran yang kritis-reflektif dan didukung oleh suasana dialogis peserta tergerak
untuk membuat suatu penegasan, penilaian, serta mengambil keputusan yang tepat
yang mendorong peserta pada keterlibatan baru yakni mewujudkan nilai-nilai
Kerajaan Allah di dunia ini (Heryatno, 1997: 4).
Perwujudan nilai-nilai kerajaan Allah dalam kehidupan pribadi, masyarakat
dan Gereja merupakan orientasi utama dari model ini. Sebab dengan keterlibatan
yang konkret dalam menghadirkan kerajaan Allah di dunia ini jemaat menghayati
imannya kepada Allah yang telah mewahyukan dirinya kepada manusia. Selain itu
mereka juga terbantu untuk semakin dekat dan bersatu dengan Allah, mengenal
kehendakNya, semakin mencintaiNya serta semakin merasakan kehadiran dan
campur tangan Allah dalam hidupnya. Keterlibatan dalam mewujudkan kerajaan
Allah mengandaikan bahwa jemaat beriman (peserta) baik pribadi maupun bersama
100
mengalami proses metanoia atau pertobatan yang terus menerus. Pertobatan ini
menghantar peserta pada integritas pribadi sebagai subyek dan mendorong mereka
untuk selalu penuh perhatian atau peka pada apa yang terjadi dalam dirinya sendiri
juga dalam kehidupan masyarakatnya sehingga dengan tegas mengambil keputusan
yang tepat demi terwujudnya kerajaan Allah (Heryatno, 1997: 36).
Berangkat dari pokok-pokok pendekatan model SCP di atas maka penulis
tertarik untuk memilih SCP sebagai model berkatekese dalam skripsi ini, dimana
katekese dapat memberikan sumbangan bagi upaya terwujudnya pola
kepemimpinan yang transformatif bagi kongregasi RVM. Model ini diharapkan
membantu para pemimpin untuk sampai pada penemuan sikap dan kesadaran baru
yang mendorong terwujudnya pola kepemimpinan yang transformatif yang
mendukung keterlibatan para suster menghadirkan kerajaan Allah dalam hidup
karya dan pelayanan tarekat.
Katekese dengan pendekatan Shared Christian Praxis ini menjadi sarana
untuk para suster dapat berjumpa dan mengolah pengalaman konkretnya juga
pengalaman dalam masyarakat yang direfleksikan secara kritis, dikonfrontasikan
dengan tradisi dan visi kristiani lalu dikomunikasikan kepada peserta yang lain
sehingga para suster dapat menemukan suatu praksis baru yang mendorong para
suster untuk hadir sebagai pemimpin yang mampu melayani dengan rendah hati,
memimpin dengan bijaksana dan adil, mencintai dengan tulus serta berkorban demi
kepentingan banyak orang terutama melakukan segala sesuatu demi kemuliaan
nama Tuhan bukannya untuk mencari popularitas atau ketenaran diri.
Melalui refleksi kritis, perjumpaan dengan tradisi dan visi kristiani yang
tidak lain adalah perjumpaan dengan pribadi dan hidup Yesus sampai pada
101
membuat keputusan demi keterlibatan baru kiranya membantu proses transformasi
kepemimpinan yang meliputi semangat, sikap dan tindakan baru demi terwujudnya
nilai-nilai kerajaan Allah. Dalam hal ini muncul suatu kesadaran baru dalam diri
suster untuk tampil sebagai pemimpin yang mampu menolong, memberdayakan
dan mendampingi anggotanya dengan penuh kasih dan tanpa pamrih sehingga
pemimpin dan anggotanya dapat bergerak menuju kedewasaan iman dan terlebih
mengalami kepenuhan hidup dalam Kristus Yesus. Kepenuhan hidup kristiani
menurut Heryatno (2005: 6) meliputi tiga hal yaitu visi Allah, keutamaan dalam
Yesus Kristus dan panggilan Roh kudus.
1) Visi Allah
Berkembang dalam visi Allah yang hidup artinya memandang realitas hidup
berdasarkan mata Ilahi. Peserta katekese mampu melihat dan merasakan dengan
penuh belaskasih, penuh hormat, dengan kemurahan hati dan solider terhadap
mereka yang lemah miskin dan menderita. Dengan kata lain hidup menurut visi
Allah dapat menghantar para suster masuk dalam misteri Ilahi yang senantiasa
mengasihi manusia dan berpihak pada kehidupan.
2) Keutamaan Kristus
Hidup dalam keutaman Kristus berarti para suster dipanggil untuk semakin
mengarahkan hidup menjadi alter Kristus (Kristus yang lain). Ini berarti bahwa
setiap pribadi berusaha secara terus menerus mengenakan cara, sikap dan semangat
Yesus dalam menjalin relasi dengan Bapa dan dalam pelayanannya kepada sesama.
Relasi yang terjalin di sini adalah berdasarkan ikatan batin, sikap dan cinta yang
terpancar dari kedalaman hati sehingga apa yang keluar dari hati menunjukkan
102
ketulusan dan kemurahan hati untuk melayani Allah dan manusia. Singkatnya
transformasi yang mau dicapai adalah bahwa baik pemimpin dan anggota semakin
berkembang menjadi pribadi yang lebih manusiawi yang memiliki hati yang lembut
seperti hati Kristus sendiri dalam pelayanan, perilaku dan tutur kata.
3) Panggilan Roh Kudus
Berkembang dalam panggilan Roh Kudus berarti para suster semakin setia
dan terbuka untuk mengambil bagian dalam karya penyelamatan Allah yang
membebaskan dan menyejahterakan hidupnya juga hidup sesamanya. Panggilan
yang dimaksud adalah panggilan untuk mengabdi Allah melalui cinta terhadap
sesama dan menghormati dan menghargai makluk ciptaan Allah yang lain.
Konteks dari katekese transformatif ini adalah hidup peserta yang memiliki
hati dan kesadaran mendalam bahwa panggilan mereka sebagai religius pada
hakikatnya adalah demi mengusahakan kebudayaan baru, yaitu persekutuan kasih
sebagai murid-murid Tuhan. Dan apa yang kiranya telah ditemukan dalam refleksi
maupun praksis baru diharapkan menjadi nilai yang terinternalisasi dalam diri
sehingga menjadi suatu pola hidup yang tetap bertahan sampai kapan pun dan di
mana saja para suster berada.
b. Tiga Komponen Pokok Shared Christian Praxis
Berikut ini penulis memaparkan 3 komponen dasar Shared Christian Praxis
yang disadur oleh Heryatno dari tulisan Groome “Sharing Faith: Comprehensive
Approach to Religius Education and Pastoral Ministry” (1997: 2-7), sebagai
berikut:
103
1) Praxis
Praxis mengacu pada tindakan manusia demi tercapainya suatu transformasi
kehidupan yang di dalamnya terkandung proses kesatuan dialektis antara antara
praktik dan teori yang nantinya akan menghasilkan kreativitas, serta antara
pengalaman hidup dan refleksi kritis yang membangkitkan suatu semangat dasar
yaitu keterlibatan baru dalam praxis hidup setiap hari. Ada tiga komponen dalam
praxis yaitu :
(a) Aktivitas Manusia
Aktivitas ini berkaitan dengan kegiatan mental dan fisik, kesadaran, tindakan
personal dan sosial, hidup pribadi dan kegiatan publik yang semuanya merupakan
medan dimana terjadi perwujudan diri manusia tersebut sebagai subyek agar
keberadaan dirinya dapat bermakna bagi diri sendiri juga orang lain.
(b) Refleksi Kritis
Demi mencapai suatu transformasi hidup, maka refleksi kritis terhadap
pengalaman pribadi juga sosial masyarakat serta tradisi dan visi iman kristiani
sangat diperlukan, sebab dengan refleksi kritis peserta dapat menganalisa dan
memahami tempat juga peran mereka dalam masyarakat dan Gereja serta
menghantar mereka untuk berjumpa dan berdialog dengan kekayaan iman kristiani
serta menghayatinya di dalam kehidupan setiap hari.
(c) Kreativitas
Kreativitas merupakan perpaduan antara aktivitas dan refleksi manusia.
Pengolahan batin dalam terang sabda atas kegiatan hidup sehari-hari akan
menghasilkan suatu pengalaman hidup baru yang tentunya akan semakin
memperkaya hidup serta menambah kedewasaan iman peserta juga orang lain.
104
2) Kristiani
Katekese dengan pendekatan Shared Christian Praxis mengusahakan agar
kekayaan iman kristiani dan visinya dapat terjangkau dan semakin relevan dalam
kehidupan umat beriman pada zaman sekarang. Kekayaan iman kristiani memiliki
dua unsur pokok yaitu pengalaman hidup iman kristiani (tradisi) dan visi kristiani.
Tradisi kristiani menyangkut pengalaman iman jemaat yang sungguh
dihayati dalam kehidupan setiap hari. Inilah tanggapan manusia atas pewahyuan
diri Allah yang terlaksana dalam diri Kristus di tengah-tengah hidup manusia.
Dalam konteks ini tradisi dipahami sebagai medan perjumpaan antara rahmat Allah
yang nyata dalam diri Kristus dan tanggapan manusia atas rahmat Allah tersebut.
Tradisi kristiani berupa Kitab Suci, spiritualitas, refleksi teologis, sakramen, liturgi,
nyanyian rohani, kepemimpinan jemaat dan sebagainya.
Visi kristiani menggarisbawahi adanya tanggung jawab dan pengutusan
orang kristiani sebagai jalan untuk menghidupi sikap dan semangat kemuridan
Kristus. Visi kristiani yang paling mendasar adalah tanggung jawab untuk
mewujudkan nilai-nilai kerajaan Allah dalam praksis hidup konkret. Visi kristiani
menunjuk pada proses sejarah kehidupan manusia yang berkesinambungan dan
dinamis, mengundang penilaian, penegasan, membuat pilihan, dan keputusan yang
tepat.
Dengan demikian antara tradisi dan visi kristiani keduanya tidak
terpisahkan dalam sejarah hidup jemaat beriman. Keduanya mengusahakan adanya
penyingkapan nilai-nilai kerajaan Allah di tengah realitas hidup manusia. Oleh
karena itu keduanya harus diinterpretasikan berdasarkan kepentingan, nilai dan
budaya umat setempat. Keduanya harus menjadi sarana untuk berdialog,
105
menumbuhkan rasa “memiliki” dan kesatuan sebagai jemaat beriman, sekaligus
meneguhkan identitas kristiani mereka.
3) Shared
Shared menunjuk pada pengertian komunikasi timbal balik antara peserta
dan pendamping maupun antar peserta juga menunjuk pada partisipasi aktif peserta,
adanya sikap egalitarian, terbuka terhadap diri sendiri, orang lain maupun terhadap
rahmat Tuhan. Istilah ini juga menekankan aspek dialog dalam proses katekese,
persaudaraan, keterlibatan, dan solidaritas dari setiap peserta. Selanjutnya dalam
sharing semua peserta diharapkan dapat terbuka mengungkapkan pengalaman
imannya dan siap pula mendengar dengan empati kesaksian iman peserta lain.
Selanjutnya sharing juga terkandung hubungan dialektis antara pengalaman hidup
faktual peserta dengan tradisi dan visi kristiani.
c. Langkah-langkah dalam Shared Christian Praxis
Ada lima langkah dalam proses pelaksanaan katekese model Shared
Christian Praxis. Kelima langkah tersebut dimaksudkan untuk menghantar peserta
mengungkapkan pengalaman suka cita, pergulatan dan perjuangan hidup dan
merefleksikannya dalam terang Injil sampai pada akhirnya menemukan suatu
prakis baru yang mendorong jemaat beriman terlibat dalam mewujudkan nilai-nilai
kerajaan Allah di tengah-tengah kehidupan bersama. Kelima langkah SCP dalam
prosesnya bisa mengalami penggabungan sesuai dengan kebutuhan atau kreativitas
dari pendamping yang memandu jalannya kegiatan katekese.
106
Lima langkah dalam SCP menurut Heryatno (1997:8) diawali dengan
sebuah langkah pendahuluan atau disebut langkah nol yaitu pemusatan aktivitas
dalam proses Shared Christian Praxis. Dalam langkah nol ini pendamping
mengajak peserta untuk bertolak dari pengalaman konkrit baik secara pribadi
maupun pengalaman masyarakat saat itu yang menjadi sumber utama untuk
mentukan topik atau pokok-pokok berkatekese. Maksud dari tahap ini adalah
membangun kesadaran dan minat bersama, serta visi bersama sebagai medan
perjumpaan, kebersamaan dan komunikasi antar sejajar subjek.
Berikut ini uraian dari kelima langkah model SCP (Heryatno, 1997: 9-35):
1) Langkah Pertama : Pengungkapan Pengalaman Faktual
Langkah pertama ini mengajak peserta untuk mengungkapkan pengalaman
hidup dan keterlibatan mereka melalui cerita, puisi, tarian, nyanyian, drama
singkat, simbol dan sebagainya menurut kreativitas mereka. Dalam proses ini
peserta dapat menggunakan perasaan, menjelaskan nilai, sikap dan kepercayaan,
yang melatarbelakanginya, sehingga diharapkan peserta dapat menjadi semakin
sadar dan bersikap kritis terhadap pengalaman hidupnya sendiri juga pengalaman
orang lain atau keadaan masyarakatnya. Melalui pengungkapan pengalaman
konkret ini diharapkan dapat memunculkan tema-tema dasar yang akan
direfleksikan secara kritis pada langkah berikutnya. Langkah pertama ini sifatnya
obyektif, yaitu mengungkapkan apa yang sesungguhnya terjadi.
107
2) Langkah Kedua: Refleksi Kritis Terhadap Praksis Faktual
Langkah kedua ini membantu peserta untuk lebih aktif, kritis dan kreatif
dalam memahami serta mengolah keterlibatan hidup mereka sendiri juga
masyarakat.
Tujuan dari langkah ini adalah memperdalam refleksi, dan mengantar peserta
sampai pada kesadaran kritis akan keterlibatan mereka, akan asumsi dan alasan
(pemahaman), motivasi, sumber historis (pengenangan), kepentingan dan
konsekuensi baik pribadi maupun sosial yang hendak diwujudkan dalam praksis
hidup (imajinasi). Dengan refleksi kritis terhadap pengalaman konkret peserta
semakin sampai pada nilai dan visinya yang pada langkah keempat akan
dikonfrontasikan dengan pengalaman iman Gereja sepanjang sejarah (tradisi) dan
visi kristiani. Langkah kedua ini bersifat analitis yang kritis.
3) Langkah Ketiga: Mengusahakan Tradisi Dan Visi Kristiani Terjangkau
Orientasi dari langkah ini adalah mengusahakan supaya tradisi dan visi
kristiani menjadi terjangkau; lebih dekat dan relevan bagi hidup peserta di zaman
sekarang. Pada langkah ini peran pendamping mendapatkan tempatnya. Ia memberi
kesempatan seluas-luasnya kepada peserta, menghilangkan segala macam
hambatan sehingga semua peserta mendapat peluang yang besar untuk menemukan
nilai-nilai dari tradisi dan visi kristiani.
Tradisi adalah iman kristiani yang sungguh dihidupi dan diperkembangkan
Gereja dalam sejarahnya. Tradisi kristiani hadir dalam Kitab Suci, liturgi, doa,
devosi, kepemimpinan, spiritualitas, dll. Sedangkan visi kristiani merefleksikan
harapan dan janji, tugas dan tanggung jawab yang muncul dari tradisi suci yang
108
bertujuan untuk mendorong dan meneguhkan iman peserta dalam keterlibatannya
untuk mewujudkan nilai-nilai kerajaan Allah. Agar hal ini dapat terwujud maka
tradisidisi dan visi kristiani perlu dijelaskan dan diinterpretasikan. Untuk
membantu penerapan langkah ini maka pendamping dapat menggunakan salah satu
bentuk interpretasi baik yang bersifat meneguhkan, mempertanyakan atau yang
mengundang keterlibatan kreatif.
4) Langkah Keempat : Interpretasi Dialektis Antara Praksis dan Visi Peserta
dengan Tradisi dan Visi Kristiani
Langkah ini mengajak peserta supaya dapat saling meneguhkan,
mempertanyakan dan memperkembangkan pokok-pokok penting yang telah
ditemukan peserta pada langkah pertama dan kedua. Selanjutnya pada langkah
keempat pokok-pokok tersebut dikonfrontasikan dengan buah-buah interpretasi
terhadap tradisi dan visi kristiani yang ditemukan dalam langkah ketiga, sehingga
diharapkan peserta dapat meneguhkan sikapnya yang sudah positip,
mempertanyakan praksisnya yang negatif dan terutama peserta dapat menemukan
sikap-sikap baru yang menghantar peserta untuk mengambil keputusan dan
mewujudkan iman secara konkrit supaya nilai-nilai kerajaan Allah semakin
dirasakan di tengah-tengah kehidupan bersama.
Interpretasi dialektis ini memampukan peserta menginternalisasikan dan
mensosialisasi nilai dari tradisi dan visi kristiani sehingga menjadi bagian dari
hidup peserta. Hidup dan praksis faktual peserta diintegrasikan ke dalam tradisi
kristiani dan sebaliknya peserta mempersonalisasi tradisi dan visi kristiani menjadi
milik peserta sendiri. Yang menjadi tujuan pada langkah ini adalah munculnya
109
kesadaran iman yang baru yakni hidup iman peserta yang aktif, dewasa dan
semakin misioner.
5) Langkah Kelima: Keterlibatan Baru Demi Makin Terwujudnya Kerajaan Allah
Keprihatinan utama model Shared Christian Praxis adalah keterlibatan baru
dalam rangka mewujudkan nilai-nilai kerjaan Allah, maka langkah kelima ini
bertujuan mendorong peserta agar sampai pada keputusan konkret baik secara
pribadi maupun bersama bagaimana mewujudkan iman kristiani pada konteks
hidup yang telah dianalisa dan dipahami, direfleksi secara kritis, dinilai secara
kreatif dan Bertanggung jawab.
Secara teologis langkah ini mengungkapkan suatu harapan bahwa berkat
rahmat Allah dan iman manusia pada Allah maka segala sesuatu akan berlangsung
lebih baik. Selain itu langkah ini bertujuan membantu peserta untuk mengambil
keputusan secara moral, konseptual, sosial, dan politis yang sesuai dengan iman
kristiani demi mewujudkan imannya yang hidup.
3. Usulan Kegiatan Katekese
a. Latar belakang
Salah satu point penting yang dibahas para suster RVM dalam kapitel
umum ke- 17 di Filipina adalah tentang sejauhmana pemahaman, pengungkapan
dan perwujudan kepemimpinan yang sesuai dengan pola kepemimpinan Yesus dan
seturut semangat Mother Ignacia, yakni “sebagai hamba Tuhan”. Kenyataan
menunjukkan bahwa di tengah-tengah berkembangnya gaya hidup instant,
materialisme, konsumerisme, dan hedonisme, ada suster yang belum mampu
110
mengatakan “cukup” untuk membatasi keinginan atau kecenderungan menikmati
tawaran-tawaran yang menggiurkan misalnya berupa barang atau materi yang bila
dicermati hal itu bukan merupakan kebutuhan pokok yang harus dipenuhi.
Tantangan lain yang juga menjadi keprihatinan kepemimpinan para suster
RVM yakni, masih ada suster yang belum berani lepas bebas dari kelekatan
terhadap rasa aman, kemapanan entah itu dengan lingkungan, orang, materi, atau
jabatan tertentu. Sementara di pihak lain dalam pelayanan, ada yang berorientasi
pada fungsi, seperti lebih fokus pada kerja dan ambisi untuk berhasil daripada
mengutamakan pelayanan pada Kristus dan nilai-nilai kerajaan Allah. Dengan kata
lain dalam pelayanan masih ada suster yang mengejar prestasi, dan prestise.
Kepemimpinan dalam kongregasi RVM adalah kepemimpinan yang
bersemangatkan “Hamba hina Tuhan” yang dilaksanakan dalam semangat
pelayanan yang sejati, penuh kerendahan hati seturut teladan Yesus Kristus yang
datang untuk melayani dan bukan untuk dilayani” (Konstitusi RVM, no. 94).
Kepemimpinan sebagai hamba hina Tuhan menunjuk pada kepemimpinan
sebagai “Pelayan”. Pengertian pelayan dalam Kitab Suci pada dasarnya menunjuk
pada mereka yang menjadi budak. Budak itu tanpa hak. Hidup dan pengabdiannya
demi majikan, apa pun yang diinginkan atau diminta majikan, ia akan lakukan
dengan penuh ketaatan. Dengan demikian inti spiritualitas dalam pengertian hamba
ini adalah menunjuk pada hidup dan pribadi Yesus sendiri yang rela mengosongkan
diri menjadi hamba dan bahkan mati di kayu salib (Fil. 2:5-11).
Kerelaan untuk mengosongkan diri dan merendahkan diri dalam gerakan
menurun inilah yang penting dalam spritualitas pelayanan seorang pemimpin. Bila
ada suster yang dalam kepemimpinannya masih memiliki kelekatan terhadap
111
jabatan, kemapanan dan sebagainya, harus belajar dan menghayati semangat
kepemimpinan sebagai hamba. Ia harus berani mengosongkan diri dari semua
keinginan-keinginan dan ambisinya untuk mencapai popularitas, prestasi dan
prestise. Ia perlu melebur semua keinginan-keinginan yang tak teratur dalam
semangat kemiskinan dan kerendahan hati, bahwa kuasa kepemimpinan dan segala
fasilitas atau sarana yang dimilikinya adalah kuasa dan anugrah dari Tuhan. Ia
hanyalah seorang abdi yang melakukan segala sesuatu hanya untuk kemuliaan
nama Allah yang lebih besar, untuk itu ia bebas melayani orang lain di mana saja
dan kapan saja dibutuhkan.
Dalam mewujudkan kepemimpinan sebagai pelayan, pertama-tama yang mau
di bangun adalah kesadaran dan kesediaan untuk melakukan pembaharuan dan
perubahanan melalui metanoia yang terus menerus dari segala kelekatan dan
keinginan yang tidak teratur. Kesadaran inilah yang kiranya mendorong para suster
untuk semakin terlibat dalam mewujudkan makna kepemimpinan sebagai pelayan
dalam hidup dan karya mereka setiap hari, untuk itu katekese sebagai pembinaan
iman diharapkan mendorong para suster untuk melakukan pembaharuan dan
perubahan baik cara hidup, pemahaman maupun cara pandang dalam
kepemimpinan mereka.
b. Tema dan Sub Tema Katekese
Tema umum yang diusulkan penulis dalam kegiatan katekese adalah
“Menghayati semangat pelayanan sebagai hamba demi terwujudnya kepemimpinan
transformatif” . Tema umum ini dijabarkan dalam 3 sub tema dan masing-masing
112
tema akan dijabarkan dalam 4 judul pertemuan katekese (Lih. Matriks kegiatan
katekese terlampir). Berikut ini penjabaran sub tema, tujuan dan judul katekese :
Tema umum : Menghayati semangat pelayanan sebagai hamba demi
terwujudnya kepemimpinan transformatif
Tujuan : Agar pendamping dan peserta semakin berkembang dalam
pemahaman akan semangat pelayanan sebagai hamba dan
mampu mengusahakan terwujudnya suatu kepemimpinan yang
transformatif.
Sub Tema 1 : Belajar dari Pola Kepemimpinan Pelayanan Yesus
Tujuan : Agar peserta semakin mengenal dan memahami pola
kepemimpinan Yesus sebagai teladan utama kepemimpinan.
Judul 1 : Yesus raja yang melayani sebagai hamba
Tujuan : Agar bersama-sama menghayati makna kepemimpinan yang
melayani sebagai hamba
Sub Tema 2 : Memahami semangat pelayanan hamba yang murah hati
Tujuan : Agar pendamping dan peserta dapat menghidupi semangat
pelayanan yang murah hati dalam praksis hidup sehari-hari
Judul 1 : Melayani dengan penuh pengabdian
Tujuan : Bersama semakin sadar akan kuasa kepemimpinan merupakan
suatu bentuk pengabdian kepada Allah dan sesama.
Judul 2 : Melayani dengan memberi teladan bukan dengan menguasai.
Tujuan : Bersama tergerak untuk melayani dengan perbuatan, kesaksian
hidup.
Sub tema 3 : Pola kepemimpinan Transformatif
113
Tujuan : Peserta dan pendamping semakin memahami makna
kepemimpinan yang transformatif.
Judul : Pembaharuan mulai dari diri sendiri
Tujuan : Bersama semakin terbuka dan bersedia melakukan pembaharuan
dan perubahan mulai dari dalam diri sendiri.
c. Bentuk Kegiatan Katekese
Katekese merupakan kegiatan pembinaan iman yang terus menerus dan
terencana, maka penulis bermaksud melaksanakan katekese ini dalam 4 kali
pertemuan sesuai dengan sub tema yang telah diuraikan di atas.
Kegiatan pembinaan ini ditujukan kepada para suster sebagai bentuk
pembinaan iman dalam tarekat RVM. Mengingat pembinaan iman ini cukup
penting demi membantu pengembangan pembinaan para suster dalam tahap on
going formation maka diharapkan para suster terlibat aktif dan rela mengikuti
katekese ini, meskipun penulis sadar bahwa waktu, kesibukan dan jadwal yang
padat serta berbeda-beda bisa menjadi kendala tersendiri.
Kegiatan ini ditujukan kepada para suster RVM yang berada di wilayah
kabupaten Timor Tengah Selatan, dilaksanakan pada akhir pekan; hari Sabtu dan
Minggu dengan menggunakan 5 langkah model Shared Chirstian Praxis (SCP)
yang dikemas dalam bentuk rekoleksi. Lima langkah model SCP ini dalam
pelaksanaannya dapat digabungkan, yaitu langkah I digabungkan dengan langkah
II, langkah IV digabungkan dengan langkah V sedangkan langkah III menjadi
langkah yang berdiri sendiri (tidak digabungkan dengan langkah yang lain).
114
Dalam menjalankan kegiatan pembinaan ini, penulis terbuka untuk
bekerjasama dengan para suster RVM yang lain baik itu sebagai pendamping atau
fasilitator katekese maupun sebagai nara sumber yang diundang untuk memberikan
materi atau sharing pengalaman hidup berkaitan dengan tema yang ada.
4. Contoh Persiapan Katekese Model SCP dalam Bentuk Rekoleksi
a. Identitas Katekese Shared Christian Praxis
Judul Pertemuan : “Yesus Raja yang melayani sebagai Hamba”
Tujuan : Agar bersama-sama memahami makna kepemimpinan yang
melayani sebagai hamba
Sarana : 1. VCD “Ignacia Ang Uliran” dan Player
2. Teks Kitab Suci Yohanes 13 :1-20
3. Teks lagu
4. Gitar, kaset instrumen, tape recorder
Metode : Rekoleksi dengan 5 langkah Shared Christian Praxis
Peserta : Para suster RVM wilayah Timor Tengah Selatan
Waktu Pelaksanaan : Hari Sabtu tanggal 5 sampai dengan Minggu, 6 Mei 2007
Sumber Bahan :
1. Wilkes, Gene. 2005. Jesus On Leadership, Temukan
Rahasia kepemimpinan Pelayanan dari kehidupan
Kristus. Jakarta : Penerbit PT Bhuana Ilmu Populer.
2. Darminta, J. 1993. Mengabdi dalam Kepemimpinan.
Yogyakarta: Kanisius
115
3. Martasudjita, E. 2001, Kepemimpinan Transformatif.
Yogyakarta: Kanisius
4. Soenarja, A. 1983. Kepemimpinan Biara dari hari ke
hari, Yogyakarta: Kanisius.
b. Pemikiran Dasar
Jika kita mengamati dan merenungkan kehidupan dewasa ini baik dalam
masyarakat, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ada begitu banyak orang
yang sangat lekat dan berambisi dengan yang namanya jabatan, kedudukan,
kekuasaan, bahkan sering terjadi perebutan kekuasaan atau jabatan tertentu dengan
jalan yang licik; saling jegal menjegal, penuh intrik, teror atau intimidasi, suap,
manipulasi suara dan sebagainya (Martasudjita, 2001: 17). Cara-cara yang
demikian kiranya telah menjadi pilihan tersendiri bagi mereka yang punya tujuan
tertentu, sebab yang ada dibenak dan pikiran mereka hanyalah kuasa, kedudukan,
harta kekayaan, nama baik ataupun popularitas diri. Sementara rakyat yang
seharusnya dilayani, dibuat sejahtera malah semakin menderita, miskin dan
tertindas.
Dalam lingkup tata kehidupan Gereja khususnya dalam kehidupan religius
adanya “suasana yang tidak sehat mengenai kepemimpinan” (Martasudjita, 2001:
17). Ada pemimpin yang cenderung lebih mengutamakan kerja dan terdorong
untuk mencari prestasi dan prestise dari pada mengutamakan Kristus dan nilai-nilai
kerajaan Allah. Selain itu masih ada keinginan untuk berkuasa. Kelekatan pada
jabatan atau lingkungan yang mapan, materi dan sebagainya. Sementara dalam
hidup berkomunitas sering dirasakan adanya ketidakharmonisan, komunikasi dan
116
relasi yang tidak sampai menyentuh hati, dan kurangnya pengampunan terhadap
satu sama lain baik antara pemimpin dengan anggota maupun antara komunitas
anggota sendiri (Hasil Kapitel Umum RVM ke-17, 2001: 9)
Penyalahgunaan jabatan atau kedudukan akan menghancurkan nama baik
lembaga dan pribadi yang bersangkutan. Begitupun kesaksian hidup dalam
komunitas yang kurang menampakkan kesatuan dan kerukunan satu sama lain
menjadi masalah tersendiri dalam dalam kehidupan religius. Kita semua tentu tahu
bahwa dalam visi misi setiap tarekat memiliki tujuan yang luhur, yakni melayani
Tuhan dan sesama, memberi teladan kepada para anggotanya dan masyarakat pada
umumnya, dengan kata lain kehadiran dan kesaksian kaum religius menjadi tanda
kehadiran Allah dalam Gereja dan dunia. Jika persoalan-persoalan di atas masih
ada dalam kehidupan kaum religius dan tidak diatasi, maka tujuan dan cita-cita
luhur para religius yang pada hakikatnya menjadi saksi cinta kasih dan tanda
kehadiran Allah di dunia ini hanya menjadi slogan yang terukir indah dalam kata
belum sampai pada praktik hidup yang nyata.
Demi menjaga kemurnian hidup, tujuan dan cita-cita hidup religius yang
luhur, maka kaum religius perlu kembali menimba kekuatan dan inspirasi dari
hidup dan pribadi Yesus Kristus. Dia menghayati kepemimpinan dalam sebuah
kesederhanaan, kerendahan hati sebagai seorang “hamba” yang melayani apa yang
menjadi kehendak Bapa. Meski Yesus adalah Putra Allah yang memiliki mahkota
kemuliaan kekal “Raja semesta alam” tetapi Ia datang dalam kerendahan sebagai
hamba yang rela mengosongkan diriNya dan menyerahkan nyawaNya untuk
menebus dosa manusia. Ketika malam perjamuan terakhir Yesus menghadirkan
realitas kepemimpinan sebagai hamba “Ia turun dari kursi kepemimpinanNya”,
117
berlutut di hadapan para murid dan melayani mereka. Ia menjadi seorang pemimpin
yang melayani dengan seluruh diri, hati dan cinta kasih kepada Bapa dan para
muridNya.
Kongregasi RVM sebagai salah satu lembaga religius hendaknya
meneladan warisan kepemimpinan Yesus yang melayani dengan penuh kecintaan
kepada manusia sebagai citra Allah. Memandang fungsi kepemimpinan sebagai
panggilan dan jabatan itu merupakan kuasa yang diberikan oleh Allah kepada kita
untuk melayani manusia dan ciptaanNya yang lain. Pengabdian tersebut
dilaksanakan dalam semangat kerendahan hati sebagaimana juga yang telah
diwariskan oleh Mother Ignacia dalam kepemimpinannya “melayani dengan cinta
yang besar demi kemuliaan Allah yang lebih besar.
c. Pengembangan Lima Langkah Shared Christian Praxis
1. Langkah I-II: Pengungkapan Pengalaman Faktual dan Refleksi Kristis
Terhadap Praksis Faktual.
Pengantar Umum
Para suster yang terkasih dalam Kristus,
Tema rekoleksi yang akan kita renungkan malam hari ini hingga esok
adalah tentang “Yesus Raja yang melayani sebagai hamba”. Meskipun berwujud
Allah dan memiliki kuasa sebagai Raja semesta alam, Yesus tidak bermegah
melainkan ia mengambil rupa seorang hamba dan melayani manusia.
Kepemimpinan Yesus bukan terletak pada kehebatan dan kekuasaanNya tetapi
pada kerendahan hatinya, solidaritasnya dengan mereka yang menderita, sakit dan
118
tersingkir, lewat kepemimpinannya yang manusiawi, Ia membangkitkan iman
harapan dan cinta manusia kepada Bapa.
Sebelum mendalami lebih jauh tentang hidup dan pribadi Yesus pada
kesempatan malam hari ini saya mengajak kita semua untuk menyaksikan tayangan
kisah hidup Mother Ignacia yang kita yakini bahwa hidupnya sungguh-sungguh
mencerminkan penghayatan hidup Yesus sendiri. Untuk itu kita akan menyaksikan
perjalanan dan perjuangan Mother Ignacia mulai dari awal membangun beaterio,
memimpin para suster, melayani orang-orang di sekitarnya, perjuangannya
menghadapi tantangan dan penderitaan, hingga sampai pada akhir hidupnya.
Melalui kisah hidup Mother Ignacia ini kita diajak untuk merefleksikan dan
menemukan makna hidup dan perjuangannya sebagai perintis berdirinya
Kongregasi RVM. Kita semua berharap semoga teladan hidup yang diwariskan
Mother Ignacia menjadi kekuatan bagi kita untuk meneruskan cita-cita dan
karyanya demi membangun kerajaan Allah di dunia ini.
Mengawali rekoleksi kita pada malam hari ini marilah terlebih dahulu kita
bersama-sama berdoa mohon terang Roh Kudus untuk hadir dan memberi kekuatan
kepada kita semua.
• Tanda salib dan lagu pembuka “Utuslah RohMu ya Tuhan” PS 448.
• Doa Pembuka:
Kupersembahkan tanganku agar dapat Engkau pakai untuk melaksanakan karyaMu, menyebarkan benih sabdaMu kepada sesama. Kupersembahkan kakiku agar dapat berjalan di jalanMu. Kepersembahkan mataku agar dapat menyinarkan kelembutanMu. Kupersembahkan budikau agar dapat berpikir dengan pikiranMu Kupersembahkan mulutku agar dapat mengucapkan kata-kata kebijaksanaanMu. Kupersembahkan jiwaku agar menjadi tempat yang kudus bagimu
119
Kupersembahkan hatiku padaMu, agar dengan hati ini aku dapat mencintai dengan tulus dan lembut seperti hatiMu sendiri. Yesusku……… Buatlah agar aku semakin kecil dan Engkau semakin besar di dalam diriku, Sehingga bukan lagi aku yang hidup bukan lagi aku yang berdoa, bukan lagi aku yang bekerja melainkan Engkau sendirilah yang menguasai seluruh hidupku saat ini dan selama-lamanya, sebab Engkaulah yang hidup dan berkuasa kini dan selama-lamanya. AMIN.
• Lagu penutup : Mars RVM (terlampir)
• Peserta menonton VCD “Mother Ignacia Ang Uliran” (45 menit)
• Setelah nonton kegiatan dilanjutkan dengan pengolahan langkah I-II SCP
• Pengantar sebelum nonton VCD “Mother Ignacia Ang Uliran”
Para suster yang terkasih, pada malam hari ini, kita patut bersyukur karena
kita telah menerima anugerah hidup dari Tuhan Yesus sang pemimpin sejati.
Dalam VCD “ Mother Ignacia Ang Uliran” kita menyaksikan perjalanan hidup dan
penghayatan kepemimpinan Mother Ignacia. Saya yakin kisah mother Ignacia
tersebut tentu berbicara banyak di hati dan pikiran kita masing-masing yang sedikit
banyak mungkin menyentuh pengalaman hidup kita masing-masing. Untuk itu pada
malam hari ini, agar itu semua tidak hanya tinggal dalam hati dan pikiran kita saja,
maka pada kesempatan ini saya mengajak para suster untuk kita bersama-sama,
menggali, mengolah dan menemukan apa yang kita rasakan dan kemudian bagikan
bersama lewat sharing dan refleksi dalam perjumpaan ini. Marilah kita membangun
suasana yang penuh keterbukaan, persaudaraan, dan empati yang dalam agar tema
“Yesus Raja yang Melayani sebagai Hamba” dapat kita dalami bersama pada
rekoleksi kita saat ini sampai esok hari. Dan kita boleh berharap semoga kita dapat
120
menemukan pengalaman baru yang mendorong kita untuk mewujudkannya dalam
tindakan konkrit hidup sehari-hari.
Selanjutnya pemandu mengajak peserta untuk sejenak mengingat dan
merenungkan kembali kisah perjalanan hidup Mother Ignacia juga pengalaman
hidup peserta sendiri. Untuk membantu peserta dalam langkah pertama dan kedua
ini pendamping menyediakan pertanyaan panduan sebagai berikut:
1) Kisah atau peristiwa mana yang berkesan bagimu berkaitan dengan
kepemimpinan Mother Ignacia ?
2) Bagaimana anda melihat realitas sekarang tentang kepemimpinan di negara
kita juga kepemimpinan religius saat ini?
3) Mengapa sering terjadi krisis kepemimpinan, penyalahgunaan jabatan atau
kekuasaan dalam lingkungan pemerintah maupun dalam lembaga hidup
religius kita?
4) Profil pemimpin macam apakah yang anda inginkan/harapkan dari seorang
pemimpin perintah juga religius ?
Arah rangkuman :
Para suster yang terkasih dalam Kristus,
Mother Ignacia adalah sosok pemimpin yang mengagumkan kita semua,
bukan karena kuasanya, kehebatannya atau karena kepandaiannya, melainkan
karena sikap kesederhanaannya, kerendahan hatinya, keberaniannya dan imannya
yang dalam pada Allah. Sebagai pemimpin, ia tidak terpengaruh pada harta
kekayaan dan kehormatan. Ia menghayati kepemimpinannya sebagai seorang abdi
yang menjalankan kuasa kepemimpinan yang dianugerahkan Tuhan kepada dirinya.
Ia bersikap lepas bebas dari semua kelekatan terhadap semua materi dan
121
kemapanan hidup dalam keluarganya dan ia memilih pergi dari rumah, hidup
miskin dan sederhana sebagai wujud solidaritasnya dengan orang-orang miskin
pada zamannya. Satu hal yang membuat ia bisa menghadapi dan melewati dan
tantangan dan pendertiaan dalam hidupnya, karena relasinya yang dalam dengan
Allah. Ia menyerahkan seluruh dirinya, komunitasnya, dan orang-orang yang
dilayaninya untuk dibentuk dan dikembangkan oleh Allah sendiri.
Jika kita melihat kepemimpinan dalam lembaga pemerintahan tidak sedikit
keprihatinan yang muncul soal kepemimpinan. Saat ini ada banyak kasus
penyalahgunaan kekuasaan, memperoleh jabatan dengan cara yang licik,
melakukan praktik KKN. Sementara di kalangan religius kepemimpinan bagi
sebagian orang menjadi alat untuk mencapai prestasi dan prestise, sedangkan unsur
pelayanan dan pengabdian menjadi kabur dan kurang dihayati dalam menjalankan
tugas-tugasnya. Melihat keprihatinan ini kita semua tentu menginginkan sosok
pemimpin yang seharusnya melayani kepentingan banyak orang, memikirkan
kesejahteraan orang yang dilayaninya. Dan kepemimpinannya haruslah manusiawi
penuh belaskasih, hormat dan menaruh penghargaan atas hak-hak asasi setiap
pribadi. Kekuasaannya hanyalah sebagai media untuk menghantar orang lain
sampai kepada tujuan hidup yang sebenarnya, yakni Tuhan sendiri.
2. Langkah III : Mengusahakan supaya tradisi dan visi kristiani terjangkau
Pendamping meminta dua orang suster membacakan teks Kitab Suci dari
Injil Yohanes 13:1-20. Setelah pembacaan Injil, mendengarkan lagu “Hati sebagai
Hamba” (kaset). Selanjutnya pendamping memberikan pertanyaan panduan kepada
peserta.
122
Pertanyaan penuntun :
1) Mengapa Yesus mau melakukan pembasuhan kaki para Rasul?
2) Apa makna yang Anda peroleh dari peristiwa pembasuhan kaki tersebut?
Interpretasi teks Yohanes 13: 1-20
Pada malam perjamuan terakhir bersama para murid, Yesus mengetahui
bahwa saatNya hampir tiba untuk beralih dari dunia ini menuju Bapa. Kuasa yang
diberikan Bapa kepadaNya hampir usai. Sebelum mengakhiri semua tugasNya di
dunia ini Yesus mengadakan perjamuan makan perpisahan bersama dengan para
muridNya. “Sama seperti Ia senantiasa mengasihi murid-muridNya demikianlah
sekarang Ia mengasihi mereka sampai pada kesudahannya” (ay.1).
Ungkapan ini mau menunjukkan bahwa para murid sangat berharga di
mataNya. Sebagai pemimpin atas para rasul, Yesus tidak memandang mereka
sebagai hamba atau orang-orang yang tidak berguna, tetapi sebaliknya Ia
menjadikan para murid sebagai saudara dan sahabatNya. Ia memperlakukan
mereka secara manusiawi, mengajar dan mendidik mereka dengan ajaranNya,
dengan kebijaksanaan dan dengan keteladanan hidupNya, Ia melibatkan para murid
dalam karya perutusanNya menghadirkan kerajaan Bapa di tengah dunia.
Yesus memandang para murid sebagai saudara dan sahabatNya, karena itu
Ia yang adalah Guru dan Tuhan rela berlutut, dan membasuh kaki para murid yang
lalu menyekanya (ay. 4-5). Yesus menunjukkan sebuah teladan hidup bagaimana
mencintai sampai sehabis-habisnya dan sekaligus memberi teladan bagaimana
seharusnya menjadi seorang pemimpin yang sejati. Peristiwa pembasuhan kaki
merupakan pendidikan kepemimpinan bagi para murid menjadi pemimpin yang
sejati, yakni melayani dengan penuh kasih, rendah hati, dan mendahulukan
123
kepentingan orang-orang yang dilayani. Ia menjadi orang pertama yang melakukan
pekerjaan melayani para pengikutNya tanpa merasa malu dan terpaksa tetapi penuh
kerelaan dan ketulusan hati.
Yesus mau mengajak kita untuk pertama-tama yang harus disadari adalah
bahwa jabatan yang diterima sebagai seorang pemimpin religius atas tugas tertentu
entah sebagai provinsial, pemimpin pada rumah-rumah pembinaan (formatio), atau
sebagai pemimpin komunitas merupakan anugerah panggilan Tuhan untuk menjadi
“abdiNya”. Dengan demikian seorang pemimpin tidak akan merasa sombong dan
berkuasa atau sebaliknya ia merasa rendah diri, menghindar, merasa tidak mampu,
dan sebagainya. Ada dua unsur penting sebagai jalan tengah agar kedua hal tersebut
tidak terjadi dalam diri pemimpin, yaitu pertama: pengosongan diri. Pemimpin
harus sadar bahwa dirinya tidak berarti apa-apa bila tanpa campur tangan Allah. Ia
harus terbuka mengakui kelemahan dan kerapuhan dirinya dan mengundang Allah
untuk menopang dirinya (Soenarja, 1984: 29), hal ini senada dengan apa yang
dialami oleh Paulus dalam pewartaannya “Cukuplah kasih karuniaKu bagimu,
sebab justru dalam kelemahanlah kuasaKu menjadi sempurna” (2 Kor. 12: 9).
Ketika seorang pemimpin membiarkan Allah menyempurnakan kelemahannya
maka ia akan semakin bergantung pada penyelenggaraan Allah semata dan
pelayanannya akan bermakna bagi para anggotanya juga orang lain.
Unsur yang kedua adalah sikap rendah hati. Pemimpin yang rendah hati,
berarti ia akan tampil apa adanya, bersikap wajar atau tidak dibuat-buat untuk
mendapat simpati dari orang lain atau anggotanya. Ia sadar bahwa semua bakat dan
kemampuan yang ada padanya merupakan anugerah dari Tuhan secara cuma-cuma
sehingga tidak alasan apapun untuk untuk menyombongkan dirinya, (Syukur, 2005:
124
59). Apa yang menjadi kelebihan pada dirinya diberikan dengan senang hati demi
kemajuan orang lain sedangkan apa yang menjadi kelemahannya diperbaiki
sehingga kelemahannya tidak menghambat pelayanannya atau menjadi batu
sandungan bagi orang lain.
Para murid mengetahui dan mengenal Yesus dan karya-karyaNya tidak
hanya lewat sabda yang mereka dengar namun lebih dari itu karena mereka melihat
dan mengalami sendiri kesaksian hidupNya “Aku memberikan suatu teladan
kepadamu, supaya kamu pun berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat
kepadamu“ (Yoh.13:15). Melalui teladan hidupNya itu Yesus mengajarkan kepada
kita bahwa sebagai suatu komunitas religius hendaknya membangun persaudaraan
dengan saling melayani. Menjadi pemimpin berarti harus membuat anggota atau
orang lain merasa dihargai, dihormati dan diistimewakan. Perhatian dan sentuhan
yang tulus dari pemimpin menghidupkan dan memberi peneguhan bagi para
anggota sehingga tetap tegar dan kuat menghadapi setiap persoalan dan tantangan
hidup yang datang.
Para pemimpin religius adalah orang-orang yang dipilih oleh Tuhan untuk
menjadi pemimpin atas anggotanya. Pemimpin ibaratnya tukang periuk yang
diserahi tanggung jawab untuk membentuk tanah liat (anggotanya) menurut pola
yang diberikan Tuhan. Proses pembentukan dilakukan bukan dengan paksaan,
bukan dengan penerapan peraturan yang kaku dan ketat (Soenarja, 1983:30-31),
bukan dengan teori-teori yang hebat, melainkan terutama dengan menampilkan
teladan seluruh kehidupannya. Kesaksian hidup yang diteladankan bukan palsu,
atau direkayasa tetapi sungguh lahir dari kesadaran batiniah dan penghayatan
imannya akan kasih Tuhan. Dengan demikian teladan hidupnya itu akan
125
membantu para anggotanya atau orang di sekitarnya, Gereja bahkan masyarakat
luas semakin menemukan kehadiran Tuhan dan bertambah dewasa dalam iman,
harap dan kasih pada Allah.
3. Langkah IV-V: Interpretasi dialektis antara tradisi dan visi kristiani dengan
tradisi dan visi peserta dan Keterlibatan baru demi terwujudnya nilai-nilai
Kerajaan Allah
Pendamping mengajak peserta untuk menafsirkan pengalaman hidup peserta
dengan pertanyaan penuntun :
1) Bagaimana usaha Anda untuk menghayati warisan teladan Kristus tersebut
dalam kehidupan sehari-hari sebagai seorang pemimpin?
2) Sikap dan tindakan mana dalam dirimu yang mau diteguhkan oleh Yesus?
3) Apa yang mau Anda lakukan sebagai wujudnyata dari usahamu menghayati
teladan kepemimpinan Yesus? (bisa dengan symbol, puisi, lagu dll. Tergantung
kreativitas peserta).
4) Bagaimana Anda mewujudkan niat-niat itu secara konkrit?
Peneguhan Langkah IV-V : Keterlibatan baru demi terwujudnya kerajaan Allah
di dunia
Para Suster yang terkasih dalam Kristus,
Sejak tadi malam hingga siang ini kita telah bersama-sama melewati
rangkaian proses rekoleksi di mana dalam proses ini kita mencari, menemukan dan
mengolah baik secara pribadi maupun bersama pengalaman hidup kita berkaitan
dengan tema “Yesus Raja yang melayani sebagai hamba”. Kita juga dipertemukan
dengan sosok Yesus yang begitu mempesona dan sangat inspiratif bagi kita dalam
126
memberi teladan bagaimana menjadi pemimpin yang sejati yakni sebagai hamba
yang melayani dengan hati dan cinta yang utuh.
Yesus mengajarkan kepada kita bagaimana menghayati tugas
kepemimpinan kita bukan dengan teori yang hebat, bukan dengan mengandalkan
kekuatan diri kita tetapi sebaliknya Ia mengajak kita untuk melayani dengan
semangat kerendahan hati, mengosongkan diri dari ambisi pribadi, sikap lepas
bebas dari segala kelekatan dan nafsu duniawi. Kita melayani bukan dengan kata
tetapi juga dengan kesaksian hidup kita yang benar. Singkatnya di mana dan
kepada siapa kita melayani, kita lakukan dengan hati dan penuh cinta hanya demi
kemuliaan Allah yang lebih besar seturut semangat dan kharisma Mother Ignacia.
Kita juga patut bersyukur kepada Tuhan karena kita boleh menemukan
mutiara-mutiara yang indah sebagai buah dari refleksi pengalaman iman rekan-
rekan suster yang telah dibagikan pada rekoleksi ini. Semoga apa yang telah kita
beri dan kita terima menjadi kekuatan dan semangat baru untuk melangkah maju
dan terlebih membuat kita semakin mencintai Dia, setia mengikutiNya dan siap
sedia untuk melayani dan membawa orang lain semakin dekat pada Kristus serta
merasakan kehadiranNya dalam hidup mereka.
Sebelum mengakhiri rekoleksi ini saya mengajak para suster untuk tidak
hanya berhenti pada refleksi atau sharing yang tertinggal di hati dan pikiran kita
saja tetapi lebih dari itu kita perlu mewujudkan itu semua dalam tindakan nyata
untuk bisa mengaktualisasikan buah-buah dari pengalaman iman perjumpaan kita
selama rekoleksi ini. Sebab untuk saat ini dan seterusnya Yesus membutuhkan hati
kita untuk mencintai dengan tulus, Yesus butuh tangan kita yang terbuka dan
127
terulur memberi, Dia butuh mata kita untuk menemukan keprihatinan orang lain
dan menanggapinya.
Setelah itu pendamping mengajak peserta untuk hening dan merenung
beberapa saat diiringi musik Instrumen.
Selanjutnya ditutup dengan doa penutup yang didoakan secara spontan oleh
pendamping. Seluruh rangkaian kegiatan rekoleksi selesai dan ditutup dengan
perayaan Ekaristi bersama.
128
BAB VI
PENUTUP
Pada Bab VI ini penulis membuat kesimpulan atas apa yang sudah dibahas
dalam skripsi ini. Penulis juga menyampaikan saran yang perlu bagi para suster
RVM dalam upaya meningkatkan kualitas kepemimpinan pelayan demi
memperkembangkan manusia sekaligus mewartakan Kabar Gembira Kerajaan
Allah di dunia ini.
A. Kesimpulan
1. Dalam tata kehidupan kaum religius, ada orang yang diberi kepercayaan atau
tanggung jawab oleh tarekatnya untuk menjadi pemimpin yang bertugas
menjalankan kepemimpinan. Kepemimpinan religius pada hakikatnya
menjalankan fungsi pengabdian atau pelayanan yang dilandasi oleh cinta kasih
kepada Tuhan dan sesama manusia khususnya kepada para anggota yang
dipercayakan kepadanya.
Bagi kongregasi RVM kepemimpinan itu sendiri harus dilaksanakan dalam
semangat pelayanan sejati dan penuh kerendahan hati, sebagaimana yang
diteladankan oleh Kristus sendiri yang datang untuk melayani. Namun kadang
kenyataan sering berbicara lain, bahwa kepemimpinan yang dikemukakan di
atas dalam pelaksanaannya sering menyimpang dari apa yang menjadi tujuan
sebenarnya, bahwa masih ada suster yang dalam kepemimpinannya cenderung
masih mencari popularitas diri sendiri, masih ada unsur kelekatan terhadap
tugas, mengabaikan unsur partisipatif, kurangnya disermen komunitas serta
129
kurangnya sikap mendengarkan. Berangkat dari keprihatinan yang ada, maka
para suster RVM perlu melihat kembali Roh atau semangat kepemimpinan
sejati dari sang Guru “Yesus Kristus” yang merupakan mentor terbaik dalam
hal kepemimpinan pelayan. Yesus meskipun putra Allah yang memiliki kuasa
atas dunia ini, tetapi Ia rela menjadi seorang hamba yang melayani manusia
dengan penuh kerendahan hati. Dalam pelayananNya, Yesus menjalankan misi
Bapa yaitu menghadirkan dan mewartakan kerajaan Allah di tengah-tengah
umat manusia, sampai pada akhirnya Ia harus menderita, sengsara dan mati di
kayu salib demi menyelamatkan manusia dari dosa dan kematian kekal.
2. Pada peristiwa pembasuhan kaki para murid sebelum hari raya Paskah Yahudi
(Yoh. 13:1-20) Yesus menunjukkan sebuah teladan hidup tentang bagaimana
mencintai sampai sehabis-habisnya, sekaligus Ia juga menunjukkan makna
kepemimpinan yang sejati, bahwa menjadi pemimpin itu bukan hanya memberi
perintah, menjadi mandor atau menunggu untuk dilayani, dihormati, dan
dihargai tetapi sebaliknya menjadi pemimpin yang sejati berarti “lebih dahulu
memberi diri untuk melayani orang bukan hanya dengan kata-kata tetapi
terutama dengan melakukan tindakan yang penuh kasih dan ketulusan, dijiwai
semangat kerendahan hati serta kejujuran dan kebijaksanaan” sebagaimana
Yesus yang bersedia menunduk dan membasuh kaki para muridNya.
3. Perkembangan arus zaman ini yang ditandai dengan berkembangnya budaya
konsumerisme, hedonisme, sekuralisme, budaya instant dan sebagainya
merupakan tantangan bagi penghayatan hidup religius dewasa ini khususnya
dalam hal kepemimpinan. Tantangan yang pertama dari para anggota sebagai
calon atau yunior muda yang kebanyakan sebagai generasi yang hidup di zaman
130
ini. Mereka hidup di alam budaya yang penuh dengan tawaran-tawaran yang
menarik seperti hal-hal yang bersifat instant, hedonis, konsumeris, free sex, dan
sebagainya. Berkembangnya budaya seperti di atas dirasa sangat mempengaruhi
gaya hidup, perilaku, atau pola pikir kaum muda sekarang termasuk mereka
yang menjadi calon atau pun para yunior muda dalam kehidupan membiara.
Oleh karena itu menjadi tantangan yang besar bagi para pemimpin dan para
formator dalam rumah-rumah pembinaan, untuk bagaimana mendampingi dan
mempersiapkan hidup para religius muda ini, agar mereka tidak terlena dan
terseret ke dalam arus zaman ini. Tetapi sebaliknya, melalui kepemimpinan
yang baik, serta pola pembinaaan yang matang dan kontekstual dapat
meneguhkan dan menguatkan hidup mereka untuk bertahan dan teguh
menghadapi berbagai macam tantangan dan tawaran yang menarik di zaman
ini. Tantangan yang kedua datangnya dalam diri pemimpin sendiri, yaitu bahwa
di zaman sekarang keteladanan atau kesaksian hidup yang baik dari seorang
pemimpin sangat penting untuk dihayati. Namun terkadang hal itu tidak
terwujud karena ada pemimpin yang antara perkataan, apa yang diajarkan
berbeda dengan sikap dan perilaku seorang pemimpin. Unsur keteladanan atau
kesaksian menjadi kabur ketika hidup religius hanya sebatas kata dan ajaran
saja, tidak diaktualisasikan dalam tindakan dan perilaku yang baik. Kesaksian
hidup religius menjadi tawar ketika anggotanya tidak dapat menemukan teladan
hidup yang baik yang dapat mendorong dan memotivasi para anggota untuk
terus maju dan berjuang mengikuti panggilanNya.
4. Kepemimpinan transformatif sebagai salah satu model kepemimpinan yang
mau dihidupi oleh para suster RVM di zaman sekarang merupakan model
131
kepemimpinan yang mengutamakan unsur pelayanan yang murah hati dari
seorang pemimpin. Seorang pemimpin yang transformatif selalu berusaha
menjadi penggerak bagi orang-orang yang dilayaninya untuk mengalami suatu
perubahan dan pembaharuan hidup ke arah yang lebih baik. Sebagai pemimpin
yang menghendaki adanya “kelahiran baru” atau pertumbuhan yang terus
menerus, perlu mengembangkan sikap sehati sejiwa dengan anggotanya. Ia
selalu peka akan apa yang menjadi kebutuhan orang-orang yang dilayaninya
juga a yang menjadi kebutuhan tarekat di zaman sekarang. Seorang pemimpin
yang transformatif dalam hidupnya menghayati suatu spiritualitas
kepemimpinan Injili, artinya pusat dan tujuan pelayanannya hanya untuk Tuhan
dan sesamanya.
5. Katekese sebagai pembinaan iman membantu para suster RVM dalam usahanya
mewujudkan pola kepemimpinan yang transformatif. Melalui refleksi kritis,
perjumpaan dengan tradisi dan visi kristiani yang tidak lain adalah perjumpaan
dengan pribadi dan hidup Yesus sampai pada membuat keputusan demi
keterlibatan baru kiranya membantu proses transformasi kepemimpinan yang
meliputi semangat, sikap dan tindakan baru demi terwujudnya nilai-nilai
kerajaan Allah. Dengan kata lain katekese sebagai pembinaan iman bertujuan
membangkitkan kesadaran baru dalam diri para suster untuk tampil sebagai
pemimpin yang mampu menolong, memberdayakan dan mendampingi
anggotanya dengan penuh kasih dan tanpa pamrih sehingga pemimpin dan
anggotanya dapat bergerak menuju kedewasaan iman dan terlebih mengalami
kepenuhan hidup dalam Kristus Yesus.
132
B. Saran
Agar model kepemimpinan pelayan ini sungguh-sungguh dihayati oleh para
suster RVM dalam menjalankan kepemimpinannya, maka berikut ini penulis ingin
memberikan bebarapa saran, yaitu sebagai berikut :
1. Para suster perlu belajar dan mengupayakan pertobatan yang terus-menerus
untuk memperbaharui diri demi mematangkan iman dan meningkatkan mutu
hidup.
2. Mengadakan dicernmen komunitas demi tercapainya tujuan bersama yang
berdasarkan visi dan misi kongregasi.
3. Bersikap lepas bebas atau tidak melekat pada tugas atau tanggung jawab yang
dipercayakan padanya. Kapan saja dipindahkan selalu siap untuk pergi dengan
senang hati.
4. Para suster terbuka untuk menambah wawasan dan pengetahuan serta
ketrampilan dengan mengikuti kursus-kursus, seminar atau pelatihan yang
berkaitan dengan kepemimpinan dan sebagainya, banyak membaca buku-buku,
majalah dan sejenisnya yang dapat memperkaya pemahaman dan pola pikir.
Belajar dari pengalaman orang lain dengan mengadakan share pengalaman
hidup dalam suatu wadah atau perkumpulan kaum religius yang ada.
5. Mengembangkan prinsip partisipatif dan transformatif dalam komunitas
sehingga antara pemimpin dan anggota tercipta suatu relasi yang sederajat, dan
dapat membawa kepada suatu perubahan hidup baik pribadi dan komunitas ke
arah yang lebih baik.
6. Membangun dialog yang jujur dan terbuka antar pemimpin dan anggotanya.
133
7. Mengembangkan sikap empati dan penghargaan yang tinggi terhadap
anggotanya.
8. Bersikap rendah hati dan terbuka menerima masukan atau kritikan dari anggota
atau orang lain demi memperkembangkan hidup.
134
Daftar Pustaka
Brown, R.E. 1960. The Gospel of St. John and the Johannine Epistles. Minnesota,
USA: The liturgical Press-Collegeville Brown, R.E, Fritzmyer, J.A, Murphy, R.E. (editor), 2000. The Gospel According to
John: 973). London: Geoffrey Champman. Chandra, R. 2005. Bahan Bakar Sang Pemimpin. Yogyakarta : Gloria Graffa. -------------- 2004. Landasan Pacu Pemimpin. Yogyakarta : Gloria Graffa. Co, Anicia, RVM. 1998. Mother Ignacia Del Espiritu Santo, A Lamp To Our Path.
Philipines : MIDES Center For Spirituality Danim, S. Prof. Dr. 2004. Motivasi Kepemimpinan dan Efektifitas Kelompok.
Jakarta: PT Rineka Cipta Darmawijaya, St, Pr. 1988. Pesan Injil Yohanes. Yogyakarta : Kanisius Darminta, J. SJ. 2005. Kepemimpinan Religius dalam Peziarahan Hidup.
Yogyakarta : Kanisius -------------- 1997. Religius dan Evangelisasi. Yogyakarta : Kanisius -------------- 1993. Mengabdi dalam Kepemimpinan. Yogyakarta: Kanisius. Ferraris, R. RVM. 2005. “Digitus Dei est Hic” This is the Finger of God. RVM
Publication: Manila Groome, T.H., 1990. Shared Christian Praxis, Suatu Model Berkatekese. Seri
Puskat 356. (Disadur oleh Heryatno, F.X. W.W. SJ). (Buku Asli Sharing Faith: A Comprehensive Approach to Religious Education and Pastoral Ministry). New York: Harper Collins
Harefa, A. 2004. Kepemimpinan Visioner,. Yogyakarta: Gloria Graffa Heryatno, F.X. 2005. Manuskrip PAK III, Katekese Umat, “Dari, Oleh dan Untuk
Umat. ------------ 2005. Manuskrip PAK III, “Katekese demi Pembangunan Komunitas
Umat Beriman” Hasil Kapitel Umum RVM ke- 17, 2001, Filipina Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonici), 1991. Sekretariat KWI, Jakarta:
Obor Landas Constitution of the RVM, Revised 2002. Philipines Lalu Yoseph., 2005. Katekese Umat. Komisi Kateketik KWI: Jakarta Manz, C. 2004. The Leadership Wisdom Of Jesus. Jakarta : Penerbit PT Bhuana
Ilmu Populer. Martasudjita, E, Pr. 2001. Kepemimpinan Transformatif. Yogyakarta: Kanisius. ----------- 2003. Pelayanan Yang Murah Hati. Yogyakarta : Kanisius. Mulyono, E, SJ. Kepemimpinan yang Melayani. Majalah Rohani. 2005. No.10,
tahun ke-52 Oscar, S, Pr. Ketaatan Religius. Majalah Rohani. 2004. No.10, tahun ke-51 Roosijami, F, OSF. Kepemimpinan Religius, Perantau. Tahun XXVIII. No. 4, Juli-
Agustus 2005. Samosir, B. Kepemimpinan Horisontal. Majalah Rohani. 2004. No.10, tahun ke-51 Sardi, M. Profil Kepemimpinan dalam Lembaga Hidup Bakti, Perantau,
XXVIII, No.3, Mei-Juni 2005 ------------- Gaya Kepemimpinan Yesus. Perantau XXVIII, No. 6, 2005.
135
Soenarja, A. SJ. 1984. Kepemimpinan Biara dari hari ke hari. Yogyakarta: Kanisius.
Sudiarja, A, SJ. Keprihatinan Pemimpin Religius. Majalah Rohani. 2004. No. 10, tahun ke-52
Sudiarja, A. SJ dan Bagus, L. SJ, 2003. (editor). Berenang di Arus Zaman Tantangan Hidup Religius di Indonesia Kini. Yogyakarta: Kanisius
Syukur. N.D. Aspek-aspek Dasar Kepemimpinan. Perantau. Tahun XXVIII. No. 2, Maret-April 2005
White, R.E.O 1993. Enjoying The Gospel of John, Oxford: The Bible Reading Fellowship.
Wijngaards, J.M.H.M, 1986. The Gospel of John and His Letters, Wilmington, Delaware: Michael Glazier
Wilkes, G. 2005. Jesus On Leadership, Temukan Rahasia kepemimpinan Pelayanan dari kehidupan Kristus. Jakarta : Penerbit PT Bhuana Ilmu Populer.
Wofford, J. 1999. Kepemimpinan Kristen Yang Mengubahkan. Yogyakarta: Penerbit Yayasan Andi.
Yohanes Paulus II, 1997. Catechesi Tradendae (Penyelenggaraan Katekese) Anjuran Apostolik. Depertemen Dokumentasi dan Penerangan KWI. Seri Dokumen Gerejawi
-------------- 2002. Vita Consecrata (Hidup Bakti). Anjuran Apostolik. Depertemen Dokumentasi dan Penerangan KWI. Seri Dokumen Gerejawi no. 51
Zaluchu, F. 2005. Kepemimpinan dalam Tuhan. Yogyakarta : Gloria Graffa.
(1)
Lampiran 1: Matriks Kegiatan Katekese
MATRIKS KEGIATAN KATEKESE BAGI PARA SUSTER RVM
Tema Umum : Menghayati semangat kepemimpinan pelayan sebagai hamba demi terwujudnya kepemimpinan yang transformatif Tujuan : Agar pendamping dan peserta semakin bertumbuh dan berkembang dalam pemahaman akan semangat pelayan sebagai
hamba dan mampu mengusahakan terwujudnya suatu kepemimpinan yang transformatif dalam kehidupan sehari-hari. No. Sub Tema Tujuan Judul
Pertemuan Tujuan Pertemuan
Materi Metode Sarana Sumber Bahan
1 Belajar dari pola kepemimpinan Yesus
Agar peserta mengenal dan memahami pola kepemimpinanYesus sebagai teladan utama kepemimpinan
Yesus Raja yang melayani sebagai hamba
Bersama-sama menghayati makna kepemimpinan yang melayani sebagai hamba.
• Kisah pembasuhan kaki para Rasul • Aku datang
untuk melayani
• Informasi • Nonton vcd • Diskusi klp. • Sharing • Refleksi • Pleno
• Vcd Ignacia ang uliran • Vcd player • Teks Yoh. 13:1-20 • Teks lagu • Kertas flap • Spidol
• Wilkes, 2005, Jesus on leadership, Jakarta: BIP • Sardi, Gaya kepemimpinan Yesus, Perantau, th. xxviii. No. 6, Nov-Des, 2005 • Darminta, J, SJ.1993. mengabdi dalam kepemimpinan. Yogyakarta: Kanisius. • Martasudjita, E. 2001.
(2)
kepemimpinan Transformatif Yogyakarta:Kanisius • Soenarja, A, SJ. 1983. kepemimpinan Biara dari hari ke hari. Yogyakarta: Kanisius
2 Memahami semangat pelayanan hamba yang murah hati
Agar perserta dan pendamping dapat menghidupi semangat pelayanan yang murah hati dalam praksis hidup sehari-hari
1. Melayani dengan penuh pengabdian
2. Melayani dengan memberi teladan bukan dengan menguasai
Bersama-bersama semakin sadar akan kuasa kepemimpinan sebagai suatu bentuk pengabdian kepada Allah dan sesama. • Bersama tergerak untuk melayani dengan perbuatan dan kesaksian hidup yang baik
- 1 Kor. 9:13-27.
• Mark. 10:35-45.
- Cerita - Sharing pengalaman iman
- dialog - informasi • Sharing pengalaman iman • Dialog • Informasi
- Kitab Suci - Gitar - Gerak dan lagu
- Teks Gerak dan lagu
• Kitab Suci • teks lagu • gitar • Cerita Arman
dan Anto
- Martasudjita, E. 2003. pelayanan yg Murah hati. Yogyakarta: Kanisius
- Darminta, J, SJ.1993. mengabdi dalam kepemimpinanYogyakarta: Kanisius
• Martasudjita, E. Pr, 2003. pelayanan yg Murah hati. Yogyakarta: Kanisius • Soenarja, A, SJ. 1983. kepemimpinan
(3)
Biara dari hari ke hari. Yogyakarta: Kanisius
3. PolaKepemimpinan pelayan transformatif
Peserta dan pendamping semakin memahami makna kepemimpinan yang transformasi
Pembaharuan mulai dari diri sendiri
Bersama-sama semakin terbuka dan bersedia melakukan pembaharuan dan perubahan mulai dari dalam diri sendiri
- Kepemimpinan transformatif sebagai pola gerakan baru.
- Spritualitas kepemimpinan transformatif
- Kemampuan dasar kepemimpinan transformatif
- Cerita, - Sharing pengalaman iman
- Refleksi - Pleno - Peneguhan
- Teks Luk. 4:1-20
- Kisah suster Renata
- Gitar dan teks lagu
- Tape recorder
- Stefan Leks Tafsir Injil Lukas, 2005, kanisius : Yogyakarta
- Rohani no.10 th. ke-52. Oktober 2005
- Landas RVM edisi revisi, 2002
- Kpemimpinan Kristen yang mengubahkan
- Rohani no.10 th. ke-52. Okbr 2005
- Yesus Kristus teladan utama kepemimpinan, Perantau th. XXVIII, No. 6, November-Desember 2005
(4)
Lampiran 2: Jadwal Rekoleksi para Suster RVM
JADWAL REKOLEKSI (Sabtu, 5- Minggu, 6 2007)
A. Hari Sabtu, 5 Mei 2007 :
1. 19.15-19.30 : Pembukaan
2. 19.30-20.15 : Nonton VCD “Mother Ignacia Ang Uliran”
3. 20.15-22.00 : Penerapan Langkah I-II model SCP
4. 22.00 : Istirahat
B. Hari Minggu, 6 Mei 2007 :
1. 05.00 : Bangun tidur plus mandi
2. 06.00-07.00 : Doa pagi bersama
3. 07.00-07.30 : Sarapan
4. 08.00-8.30 : Pengantar dan informasi untuk pertemuan berikut
5. 08.30-09.00 : Ice Breaker dengan permainan dan gerak lagu
6. 09.00-10.00 : Langkah III model SCP
7. 10.00-10.15 : Mamiri
8. 10.15-11.30 : Langkah IV-V model SCP
9. 11.30-12.30 : Perayaan ekaristi
10. 12.30-selesai : makan siang
(5)
Lampiran 3 : Lagu Mars RVM
ONE FAITH ONE MISSION
We are bearers of Ignacian legacy by our life and ministry to God
We give the glory with faith and courage, we chart our destiny
Venturing into new paths sharing Christ’s saving mistery
Reff One God we have one faith one mission one life
One Ignacian legacy a Marian family humbly and gently
We lead others the way to Jesus with Mary the RVM way
We respond to God’s call to care for His people,
Our life giving forces we share and live them to the full,
appreciating each other’s gifts as we do our role in leading them to Jesus
the Lord of us all (REFF)
A home of Gods’s grace we live in community
Decerning praying together as one family with the heart of the poor
So humble and so free graciously growing in letting God be (REFF)
Surely Christ’s love moves beyond imagining seeking to embody,
In the hearts of the lowly a challenge so great averyone’s call to Magis,
Sharing His love in haste and in boldness (REFF)
Yes, moved by Christ’s love and compassion,
We proclaim the Good News to all nations,
Shout joyfully for His greater honor and glory
For this is the way live our Ignacian legacy (REFF)