Post on 10-Apr-2016
description
LAPORAN MINI-CEX
SEORANG LAKI-LAKI USIA 72 TAHUN DENGAN KELUHAN
SULIT BUANG AIR KECIL DAN BANJOLAN DI BUAH ZAKAR KANAN
Disusun untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Bedah
di RSUD Tugurejo Semarang
Pembimbing :
dr. Bondan Prasetyo, M.si.Med, Sp.B
Disusun Oleh :
R. Prind Jati Prakasa
H2A010042
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
2015
BAB I
STATUS PASIEN
1.1. ANAMNESIS
1.1.1. Identitas Pasien
Nama : Tn. KR
Umur : 72 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : -
Alamat : Jalan Kelud Timur, Gajah Mungkur, Semarang
No. CM : 489243
Ruang : Anggrek 9.2
Tanggal Masuk : 15 November 2015
1.1.2. Anamnesis
Keluhan utama: Sulit buang air kecil dan benjolan pada buah zakar
kanan
Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Adhyatma pukul 10.00 dengan
keluhan kesulitan saat buang air kecil, sejak 3 hari yang lalu. Buang air
kecil dirasakan sedikit-sedikit, pancarannya lemah dan menetes saat
keluar. Nyeri BAK (+), darah (-), nyeri pinggang (-).
Selain sulit BAK, pasien juga mengaku terdapat benjolan di buah
zakar sebelah kanan. Benjolan dirasakan ± 3 tahun yang lalu. Awalnya
benjolan terdapat di lipat paha sebelah kanan, terkadang bisa kembali
hilang lagi benjolannya apabila saat istirahat. Bila di buat batuk, bersin,
mengejan dan mengangkat beban berat benjolan keluar kembali. Nyeri
di sekitar kelamin (-), demam (-), mual (-), muntah (-). BAB tidak ada
keluhan.
Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat keluhan serupa disangkal
- Riwayat tumor disangkal
- Riwayat sakit ginjal disangkal
- Riwayat operasi disangkal
- Riwayat alergi disangkal
- Riwayat penyakit darah tinggi disangkal
- Riwayat penyakit kencing manis disangkal
Riwayat penyakit keluarga
- Di dalam keluarga tidak ada yang mengalami hal yang serupa.
Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien tinggal bersama anaknya, pekerjaan sebagai pedagang tidak
ada hubungan dengan angkat beban berat. biaya pengobatan pasien
ditanggung oleh BPJS
2.1. PEMERIKSAAN FISIK
STATUS GENERALIS
1. Keadaan Umum
Baik
Kesadaran compos mentis, GCS E4M6V5 = 15
2. Status Gizi
BB: 41 kg
TB: 154 cm
BMI= 16 kg/m
Kesan : moderate malnutrition
3. Tanda Vital
Tensi : 120/83mmHg
Nadi : 100x/menit, irama reguler, isi dan tegangan cukup
Respirasi : 20x/menit
Suhu : 36,8° C (peraxiller)
4. Kulit
Ikterik (-), petekie (-), turgor cukup, hiperpigmentasi(-), kulit kering (-),
kulit hiperemis (-)
5. Kepala
Bentuk mesochepal, rambut warna hitam
6. Wajah
Simetris, moon face (-)
7. Mata
Konjungtiva pucat (-/-),sclera ikterik (-/-),mata cekung (-/-), perdarahan
subkonjungtiva (-/-), pupil isokor (3mm/3mm), reflek cahaya (+/+)
normal, katarak (-/-)
8. Telinga
Sekret (-/-), darah (-/-), nyeri tekan mastoid (-/-), gangguan fungsi
pendengaran (-/-)
9. Hidung
Napas cuping hidung (-/-), sekret (-/-), epistaksis (-/-), fungsi pembau baik
10. Mulut
Sianosis (-), bibir kering (-),stomatitis (-), mukosa basah (-) gusi berdarah
(-), lidah kotor (-), lidah hiperemis (-), lidah tremor (-)
11. Leher
Simetris, pembesaran KGB (-) Pembesaran kel tyroid (-/-), deviasi trachea
(-)
12. Thoraks
Normochest, simetris, retraksi supraternal (-), retraksi intercostalis (-),
spider nevi (-), sela iga melebar (-)
Cor
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis kuat angkat di ICS V, 2 cm ke medial linea
midclavicularis sinistra.
Perkusi : Batas jantung
kiri bawah: ICS V, 2 cm ke medial linea midclavicularis sinistra
kiri atas : ICS II linea sternalis sinistra
kanan atas: ICS II linea sternalis dextra
pinggang : SIC III linea parasternalis sinistra
Kesan : konfigurasi jantung normal
Auskultasi : BJ I-II reguler, bising (-), gallop(-)
Pulmo
Depan :
Inspeksi : Simetris statis dinamis, retraksi (-)
Palpasi : Simetris, ICS melebar (-), tidak ada yang
tertinggal, Sterm fremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), Wheezing (-/-), ronki
basah kasar(-/-), ronki basah halus (-/-)
Belakang:
Inspeksi : Simetris statis dinamis, retraksi (-)
Palpasi : Simetris, ICS melebar (-), tidak ada yang
tertinggal, Sterm fremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), Wheezing (-/-),
ronki basah kasar(-/-), ronki basah halus (-/-)
13. Punggung
Kifosis (-), lordosis (-), skoliosis (-), nyeri ketok costovertebra (-)
14. Abdomen
Inspeksi : Simetris,datar
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani seluruh lapang abdomen (+), pekak sisi (-),
pekak alih (-)
Palpasi : Supel, Hepar dan lien tidak teraba.
15. Genitourinaria
Ulkus (-), sekret (-), tanda-tanda radang (-)
16. Kelenjar getah bening
Tidak membesar
17. Ekstremitas
Keterangan Superior Inferior
Akral dingin
Edema
Reflek fisiologik
Reflek patologik
Capilary refill
Kekuatan
(-/-)
(-/-)
(+/+)
(-/-)
< 2 “
555/555
(-/-)
(-/-)
(+/+)
(-/-)
< 2 “
555/555
18. Status Lokalis
Regio Anorectal
- Inspeksi : anorectal tanda radang (-), fistul (-), nodul dan
jaringan parut (-).
- Rectal Toucher : collaps ampula recti (-), tonus stingfer ani baik,
dinding rata, teraba prostat sifatnya mobile, bentuknya rata, diameter
laterolateral ± 3 cm, konsistensi keras. Sulcus medianus tidak teraba.
Saat jari keluar tidak ditemukan darah dan lendir pada handscoon.
Regio Genitalia
- Inspeksi : Tampak benjolan di daerah skrotum dextra dengan panjang ± 12cm
- Palpasi : Nyeri tekan (-), kenyal, tanda radang (-), tes transiluminasi tidak di lakukan.
- Auskultasi : Bising Usus pada skrotum dextra (+)
1.3. RESUME
Seorang pasien laki – laki usia 72 tahun datang ke IGD RSUD
Adhyatma dengan keluhan sulit BAK sejak 3 hari yang lalu. Berkemih
dirasakan sedikit-sedikit, pancaran lemah, dan menetes. Nyeri BAK (+), darah
(-), nyeri pinggang (-)
Keluhan lain terdapat massa di skrotum dextra. Massa tersebut
dirasakan ± 3 tahun yang lalu. Massa hilang saat istirahat. Massa membesar
saat batuk, bersin, mengejan dan mengangkat beban berat. Nyeri di sekitar
genital (-), demam (-), mual (-), muntah (-). BAB normal.
Pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum baik, GCS 15, Tensi
120/83 mmHg, nadi 100x/menit, RR 20x/menit , Suhu 36,80C. Pemeriksaan
status generalisata dalam batas normal.
Pemeriksaan status lokalis anorectal. Inspeksi dalam batas normal.
Rectal Toucher teraba kelenjar prostat mobile, diameter laterolateral ± 4cm,
bentuk rata, konsistensi keras, sulcus medianus tidak teraba.
Pemeriksaan status lokalis genitalia, Inspeksi tampak benjolan di
daerah skrotum dextra dengan panjang ± 12cm. Palpasi nyeri tekan (-), kenyal
(+). Auskultasi bising usus pada skrotum dextra (+)
1.4. DIAGNOSIS DEFERENSIAL
1. Benigna Prostat Hiperplasi
Ca Prostat
2. Hernia Scrotalis Dextra
Hidrokel
Orchitis
1.5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
USG abdomen
KESAN : Pembesaran Kelenjar Prostat (volume 28,30 cc)
Usulan USG skrotum
Laboratorium
Hasil Nilai Normal
Darah Rutin Lekosit EritrositHemoglobinHematokritTrombosit
8.07 10^3/ulL 4,34 10^6/ulL 12,80 gr/dl
L 36,10 %234 10^3/ ul
3.8-10.6 10^3/ul4.4-5.9 10^6/ul13.2-17.3 gr/dl
40-52 %150-440 10^3/ ul
Kimia KlinikGlukosa sewaktu 112 mg/dl <125
ElektrolitKaliumNatriumKlorida
4.10 mmol/L135 mmol/L101 mmol/L
3.5-5.0 mmol/L135-145 mmol/L95.0-105 mmol/L
Kimia KlinikUreumKreatinin
H 77.0 mg/dL1.04 mg/dL
10.0-50.0 mg/dL0.70-1.10 mg/dL
1.6. DIAGNOSIS KERJA
1. Benigna Prostat Hiperplasi
2. Hernia Scrotalis Dextra
1.7. INITIAL PLAN
IP.Dx :
S : -
O : Laboratorium (Darah Rutin)
USG Abdomen
USG skrotum
IP.Tx :
- Operatif : Hernioplasty elektif
- Prostatectomy
IP.Mx :
- Monitoring keadaan umum.
- Monitoring tanda vital.
- Monitoring kesembuhan.
IP.Ex :
- Memberi penjelasan kepada pasien dan keluarganya tentang penyakit..
- Memberi penjelasan mengenai tindakan terapi yang akan dilakukan
1.8. PROGNOSIS
Ad vitam : ad bonam
Ad fungsionam : ad bonam
Ad sanam : ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. HERNIA
I. Pengertian
Hernia adalah suatu protrusi atau penonjolan isi suatu rongga melalui defek atau
bagian lemah dari dinding rongga yang bersangkutan. Pada hernia abdomen, isi
perut menonjol melalui defek atau bagian lemah dari lapisan muskulo-aponeurotik
dinding perut (Sjamsuhidayat, 2004). Hernia adalah suatu protusi abnormal organ,
jaringan, atau bagian organ melalui struktur secara normal berisi bagian lemah.
Hernia inguinalis lateral merupakan penonjolan yang keluar dari rongga peritoneum
melalui anulus inguinalis internus yang terletak lateral dari pembuluh epigastrika
inferior, kemudian hernia masuk kedalam kanalis inguinalis dan jika cukup
panjang, menonjol keluar dari anulus inguinalis eksternus. Hernia inguinalis lateral
adalah hernia yang melalui anulus inguinalis internus yang terletak di sebelah
lateral vasa epigastrika inferior, menyusuri kanalis inguinalis dan keluar ke rongga
perut melalui anulus inguinalis eksternus.
Hernia ditinjau dari letaknya dapat dibagi menjadi 2 tipe, yaitu :
1. Hernia eksterna
Hernia yang menonjol namun tonjolan tersebut tampak dari luar yaitu hernia
inguinalis lateralis (indirek), hernia inguinalis medialis (direk), hernia femoralis,
hernia umbilikalis, hernia supra umbilikalis, hernia sikatrikalis, dan lain – lain.
2. Hernia interna
Hernia yang tonjolannya tidak tampak dari luar, yaitu hernia obturatorika, hernia
diafragmatika, hernia foramen Winslowi dan hernia ligamen treitz.
II. Anatomi dan Fisiologi
1. Anatomi
Gambar 2.1 Anatomi hernia Inguinal
Kanalis inguinalis dibatasi dikraniolateral oleh anulus inguinalis internus yang
merupakan bagian terbuka dari fasia transpersalis dan aponeurosis muskulo-
tranversus abdominis. Di medial bawah, di atas tuberkulum, kanal ini dibatasi oleh
anulus inguinalis eksternus,bagian terbuka dari aponeurosis muskulo-oblikus
eksternus. Atapnya adalah aponeurosis muskulo-oblikus eksternus, dan di dasarnya
terdapat ligamentum inguinal. Kanal berisi tali sperma pada lelaki, dan ligamentum
rotundum pada perempuan. Hernia inguinalis indirek, disebut juga hernia inguinalis
lateralis, karena keluar dari peritonium melalui anulus inguinalis internus yang
terletak lateral dari pembuluh epigastrika inferior, kemudian hernia masuk ke
dalam kanalis inguinalis dan jika cukup panjang, menonjol keluar dari anulus
inguinalis eksternus. Apabila hernia ini berlanjut, tonjolan akan sampai ke skrotum,
ini disebut hernia skrotalis.
2. Fisiologi
Kanalis inguinalis adalah kanal yang normal pada fetus. Pada bulan ke-8 kehamilan
terjadi desensus testis melalui kanal tersebut. Penurunan testis tersebut akan
menarik peritoneum kedaerah skrotum sehingga terjadi penonjolan peritoneum
yang disebut dengan prosesus vaginalis peritonei.
Pada bayi yang sudah lahir, umumnya proses ini telah mengalami obliterasi
sehingga isi rongga perut tidak dapat melalui kanalis tersebut namun dalam
beberapa hal, seringkali kanalis ini tidak menutup. Karena testis kiri turun terlebih
dahulu, maka kanalis inguinalis kanan lebih sering terbuka. Bila kanalis kiri terbuka
maka biasanya yang kanan juga terbuka. Dalam keadaan normal, kanalis yang
terbuka ini akan menutup pada usia 2 bulan.
III. Etiologi
Hernia inguinalis dapat terjadi karena anomali kongenital atau karena sebab yang
didapat. Pada bayi dan anak, hernia inguinalis lateralis disebabkan oleh kelainan
bawaan berupa tidak menutupnya prosesus vaginalis peritoneum sebagai akibat
proses penurunan testis ke skrotum. Insiden hernia meningkat dengan
bertambahnya umur mungkin karena meningkatnya penyakit yang meninggikan
tekanan intraabdomen dan berkurangnya kekuatan jaringan penunjang. Faktor yang
dipandang berperan kausal adalah adanya prosesus vaginalis yang terbuka,
peninggian tekanan di dalam rongga perut, kelemahan otot dinding perut karena
usia.
Keadaan yang dapat menyebabkan peningkatan intraabdominal adalah kehamilan,
obesitas, peningkatan berat badan, dan tumor. Selain itu, batuk kronis, pekerjaan
mengangkat benda berat, mengejan pada saat defekasi, dan mengejan pada saat
miksi, misalnya hipertrofi prostat dapat pula meningkatkan tekanan intra abdomen
yang bisa menyebabkan hernia.
IV. Patofisiologi
Aktivitas mengangkat benda berat, batuk kronis, dan mengejan pada saat defekasi
dapat memacu meningkatnya tekanan intraabdominal yang menyebabkan defek
pada dinding otot ligament inguinal akan melemah sehingga akan terjadi
penonjolan isi perut pada daerah lateral pembuluh epigastrika inferior fenikulus
spermatikus. Hal ini yang menyebabkan terjadinya hernia. Mengangkat berat juga
menyebabkan peningkatan tekanan, seperti pada batuk dan cedera traumatik karena
tekanan tumpul. Bila dua dari faktor ini ada disertai dengan kelemahan otot, maka
individu akan mengalami hernia. Bila isi kantung hernia dapat dipindahkan ke
rongga abdomen dengan manipulasi, hernia disebut redusibel.
Kalau kantong hernia terdiri atas usus dapat terjadi perforasi yang akhirnya dapat
menimbulkan abses lokal atau prioritas jika terjadi hubungandengan rongga perut.
Obstruksi usus juga menyebabkan penurunan peristaltik usus yang bisa
menyebabkan konstipasi. Pada keadaan strangulate akan timbul gejala ileus yaitu
perut kembung, muntah dan obstipasi pada strangulasi nyeri yang timbul letih berat
dan kontineu, daerah benjolan menjadi merah.
V. Manifestasi klinik
Beberapa pasien mengatakan hernia adalah turun berok, burut, atau klingsir, atau
mengatakan adanya benjolan di selangkangan atau kemaluan. Benjolan bisa
mengecil atau menghilang pada waktu tidur dan jika menangis sambil mengejan,
atau mengangkat beban yang berat dan bila posisi pasien berdiri dapat timbul
kembali. Bila telah terjadi komplikasi dapat ditemukan nyeri.
Keadaan umum pasien biasanya terlihat baik, saat benjolan tidak Nampak dan saat
pasien disuruh mengejan dengan menutup mulut dalam keadaan berdiri. Bila ada
hernia maka akan tampak benjolan. Bila memang sudah tampak benjolan, harus
diperiksa apakah benjolan tersebut dapat dimasukkan kembali atau tidak. Pasien
diminta berbaring bernapas dengan mulut untuk mengurangi tekanan intra
abdominal, lalu skrotum diangkat perlahan-lahan. Diagnosa pasti hernia pada
umumnya sudah dapat ditegakkan dengan pemeriksaan klinis yang teliti. Keadaan
cincin hernia juga perlu diperiksa. Melalui skrotum jari telunjuk dimasukkan ke
atas lateral dari tuberkulum pubikum. Ikuti fasikulus spermatikus sampai ke
annulus inguinalis internus. Pada keadaan normal jari tangan tidak dapat masuk.
Pasien diminta mengejan dan merasakan apakah ada massa yang menyentuh jari
tangan. Bila massa tersebut menyentuh ujung jari maka itu dinamakan hernia
inguinalis lateralis, sedangkan bila menyentuh sisi jari maka diagnosisnya adalah
hernia inguinalis medialis.
VI. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan medical
Hernia yang tidak terstrangulata atau inkarserata dapat secara mekanis berkurang.
Suatu penyokong dapat digunakan untuk mempertahankan hernia berkurang.
Penyokong ini adalah bantalan yang diikatkan ditempatnya dengan sabuk. Bantalan
ditempatkan di atas hernia setelah hernia dikurangi dan dibiarkan ditempatnya
untuk mencegah hernia dari kekambuhan. Klien harus secara cermat
memperhatikan kulit di bawah penyokong untuk memanifestasikan kerusakan
( Ester, 2002).
2. Penatalaksanaan bedah
Pengobatan operatif merupakan satu-satunya pengobatan hernia inguinalis yang
rasional. Indikasi operasi sudah ada begitu diagnosis ditegakkan. Prinsip dasar
operasi hernia terdiri dari herniotomy, hernioplastik, dan herniorafi. Pada
herniotomy, dilakukan pembebasan kantong hernia sampai ke lehernya, kantong
dibuka dan isi hernia dibebaskan kalau ada perlekatan, kemudian direposisi.
Kantong hernia dijahit, ikat setinggi mungkin lalu dipotong. Pada hernioplastik,
dilakukan tindakan memperkecil annulus inguinalis internus dan memperkuat
dinding belakang kanalis inguinalis ( Sjamsuhidayat, 2004).
Herniorafi dilakukan dengan menggunakan insisi kecil secara langsung di atas area
yang lemah. Usus ini kemudian dikembalikan ke rongga perineal, kantung hernia
dibuang dan otot ditutup dengan kencang di atas area tersebut. Laparoscopic
Extraperitoneal (LEP) herniorafi merupakan tehknik terbaru yang angka
keberhasilannya lebih tinggi dengan meminimalisasi kekambuhan, nyeri, dan
periode recovery post operasi lebih pendek (Black, 2006).
VII. Komplikasi
Akibat dari hernia dapat menimbulkan beberapa komplikasi antara lain :
1. Terjadi perlengketan antara isi hernia dengan isi kantung hernia sehingga isi
kantung hernia tidak dapat dikembalikan lagi, keadaan ini disebut hernia inguinalis
lateralis ireponibilis. Pada keadaan ini belum gangguan penyaluran isi usus. Isi
hernia yang tersering menyebabkan keadaan ireponibilis, adalah omentum, karena
mudah melekat pada dinding hernia dan isinya dapat menjadi lebih besar karena
infiltrasi lemak. Usus besar lebih sering menyebabkan ireponibilis daripada usus
halus.
2. Terjadi penekanan terhadap cincin hernia akibat banyaknya usus yang masuk.
Keadaan ini menyebabkan gangguan aliran isi usus di ikuti dengan gangguan
vascular ( proses strangulasi ). Keadaan ini di sebut hernia inguinalis strangulata
B. BENIGNA PROSTAT HIPERPLASI
I. Anatomi Prostat
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak
di sebelah
inferior buli-buli dan membungkus uretra posterior. Prostat berbentuk
seperti pyramid terbalik dan merupakan organ kelenjar fibromuskuler yang
mengelilingi uretra pars prostatica. Bila mengalami pembesaran organ ini
menekan uretra pars prostatika dan menyebabkan terhambatnya aliran urin
keluar dari buli-buli. Prostat merupakan kelenjar aksesori terbesar pada pria;
tebalnya ± 2 cm dan panjangnya ± 3 cm dengan lebarnya ± 4 cm, dan berat
20 gram.
Gambar 1. Alat Reproduksi Pria
Kelenjar prostat terbagi atas 5 lobus :
a. Lobus medius
b. Lobus lateralis (2 lobus)
c. Lobus anterior
d. Lobus posterior
Pada kelenjar prostat juga dibagi dalam 5 zona :
a. Zona Anterior atau Ventral .
Sesuai dengan lobus anterior, tidak punya kelenjar, terdiri atas stroma
fibromuskular. Zona ini meliputi sepertiga kelenjar prostat.
b. Zona Perifer
Sesuai dengan lobus lateral dan posterior, meliputi 70% massa kelenjar
prostat. Zona ini rentan terhadap inflamasi dan merupakan tempat asal
karsinoma terbanyak.
c. Zona Sentralis.
Lokasi terletak antara kedua duktus ejakulatorius, sesuai dengan lobus
tengah meliputi 25% massa glandular prostat.Zona ini resisten terhadap
inflamasi.
d. Zona Transisional.
Zona ini bersama-sama dengan kelenjar periuretra disebut juga sebagai
kelenjar preprostatik. Merupakan bagian terkecil dari prostat, yaitu
kurang lebih 5% tetapi dapat melebar bersama jaringan stroma
fibromuskular anterior menjadi benign prostatic hyperpiasia (BPH).
e. Kelenjar-Kelenjar Periuretra
Bagian ini terdiri dari duktus-duktus kecil dan susunan sel-sel asinar
abortif tersebar sepanjang segmen uretra proksimal.
Gambar 2. Zona Kelenjar Prostat
II. Fisiologi Prostat
Sekret kelenjar prostat adalah cairan seperti susu yang bersama-sama
sekret dari vesikula seminalis merupakan komponen utama dari cairan
semen. Semen berisi sejumlah asam sitrat sehingga pH nya agak asam (6,5).
Selain itu dapat ditemukan enzim yang bekerja sebagai fibrinolisin yang
kuat, fosfatase asam, enzim-enzim lain dan lipid. Sekret prostat dikeluarkan
selama ejakulasi melalui kontraksi otot polos. kelenjar prostat juga
menghasilkan cairan dan plasma seminalis, dengan perbandingan cairan
prostat 13-32% dan cairan vesikula seminalis 46-80% pada waktu ejakulasi.
Kelenjar prostat dibawah pengaruh Androgen Bodies dan dapat dihentikan
dengan pemberian Stilbestrol.
III. Definisi
Hiperplasia Prostat Benigna sebenarnya adalah suatu keadaan dimana
kelenjar periuretral prostat mengalami hiperplasia yang akan mendesak
jaringan prostat yang asli ke perifer. Selain itu, BPH merupakan pembesaran
kelenjar prostat yang bersifat jinak yang hanya timbul pada laki-laki yang
biasanya pada usia pertengahan atau lanjut.
Gambar 3. Benign Prostat Hyperplasia
IV. Etiologi
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya
hiperplasia prostat; tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia
prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dihidrotestosteron (DHT)
dan proses aging (menjadi tua) . Beberapa hipotesis yang diduga sebagai
penyebab timbulnya hiperplasia prostat jinak adalah : (1) Teori
Dihidrotestosteron, (2) Adanya ketidakseimbangan antara estrogen-
testosteron, (3) Interaksi antara sel stroma dan sel epitel prostat, (4)
Berkurangnya kematian sel (apoptosis), dan (5) Teori Stem sel.
a. Teori Dihidrotestosteron (DHT)
Dihidrotestosteron atau DHT adalah metabolit androgen yang sangat
penting pada pertumbuhan sel- sel kelenjar prostat. Dibentuk dari
testosteron di dalam sel prostat oleh enzim 5α-reduktase dengan
bantuan koenzim NADPH. DHT yang telah terbentuk berikatan dengan
reseptor androgen (RA) membentuk kompleks DHT-RA pada inti dan
sel selanjutnya terjadi sintesis protein growth factor yang menstimulasi
pertumbuhan sel prostat.
Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH
tidak jauh berbeda dengan kadarnya pada prostat normal, hanya saja
pada BPH, aktivitas enzim 5α-reduktase dan jumlah reseptor androgen
lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan pada BPH lebih sensitif
terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan
dengan prostat normal.
b. Ketidakseimbangan estrogen dan testosteron
Pada usia yang semakin tua, kadar testosterone menurun, sedangkan
kadar estrogen relatif tetap sehingga perbandingan antara estrogen :
testosterone relatif meningkat. Telah diketahui bahwa estrogen di dalam
prostat berperan dalam terjadinya proliferasi sel- sel kelenjar prostat
dengan cara meningkatkan sensitifitas sel- sel prostat terhadap
rangsangan hormon androgen, meningkatkan jumlah reseptor androgen,
dan menurunkan jumlah kematian sel- sel prostat (apoptosis). Hasil
akhir dari semua keadaan ini adalah, meskipun rangsangan
terbentuknya sel- sel baru akibat rangsangan testosterone menurun,
tetapi sel – sel prostat yang telah ada mempunyai umur yang lebih
panjang sehingga massa prostat jadi lebih besar.
c. Interaksi stroma epitel
Cunha (1973) membuktikan bahwa diferensiasi dan pertumbuhan sel
epitel prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel- sel stroma
melalui suatu mediator (growth factor) tertentu. Setelah sel- sel stroma
mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel- sel stroma
mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-
sel stroma itu sendiri secara intrakin dan autokrin, serta mempengaruhi
sel- sel epitel secara parakrin. Stimulasi itu menyebabkan terjadinya
proliferasi sel- sel epitel maupun stroma.
d. Berkurangnya kematian sel prostat (Apoptosis)
Apoptosis sel pada sel prostat adalah mekanisme fisiologik
homeostatis kelenjar prostat. Pada jaringan nomal, terdapat
keseimbangan antara laju proliferasi sel dengan kematian sel.
Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang apoptosis menyebabkan
jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan makin meningkat sehingga
mengakibatkan pertambahan massa prostat. Diduga hormon androgen
berperan dalam menghambat proses kematian sel karena setelah
dilakukan kastrasi, terjadi peningkatan aktivitas kematian sel kelenjar
prostat.
e. Teori stem cell
Isaac dan Coffey mengajukan teori ini berdasarkan asumsi bahwa
pada kelenjar prostat, selain ada hubungannya dengan stroma dan
epitel, juga ada hubungan antara jenis-jenis sel epitel yang ada di dalam
jaringan prostat. Stem sel akan berkembang menjadi sel aplifying, yang
keduanya tidak tergantung pada androgen. Sel aplifying akan
berkembang menjadi sel transit yang tergantung secara mutlak pada
androgen, sehingga dengan adanya androgen sel ini akan berproliferasi
dan menghasilkan pertumbuhan prostat yang normal.
V. Patofisiologi
Sebagian besar hiperplasia prostat terdapat pada zona transisional,
sedangkan pertumbuhan karsinoma prostat berasal dari zona perifer.
Pertumbuhan kelenjar ini sangat bergantung pada hormon testosteron, yang di
dalam sel- sel kelenjar prostat hormon akan dirubah menjadi metabolit aktif
dihidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim 5α reduktase.
Dihidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-RNA di dalam sel-
sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein growth factor yang memacu
pertumbuhan kelenjar prostat.
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika dan
menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan
intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urine, buli- buli harus berkontraksi
lebih kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus menerus ini
menyebabkan perubahan anatomik buli- buli berupa hipertrofi otot detrusor,
trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli- buli. Perubahan
struktur pada buli- buli tersebut, oleh pasien dirasakan sebagai keluhan pada
saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang
dahulu dikenal dengan gejala prostatimus.
Tekanan intravesika yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli- buli
tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter
ini dapat menimbulkan aliran balik urine dari buli- buli ke ureter atau terjadi
refluks vesiko-ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan
hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal
ginjal.
VI. Manifestas Klinik
a. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah (LUTS)
Terdiri atas gejala obstruksi dan iritasi :
Obstruksi Iritasi
Hesistansi
Pancaran miksi lemah
Intermitensi
Miksi tidak puas
Distensi abdomen
Terminal dribbling (menetes)
Volume urine menurun
Mengejan saat berkemih
Frekuensi
Nokturi
Urgensi
Disuria
Urgensi dan disuria jarang terjadi, jika ada disebabkan oleh ketidakstabilan detrusor sehingga terjadi kontraksi involunter.
Tabel 1. Gejala Obstruksi dan Iritasi Benigna Prostat Hiperplasia
Manifestasi klinis berupa obstruksi pada penderita hipeplasia prostat
masih tergantung tiga faktor, yaitu:
Volume kelenjar periuretral
Elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat
Kekuatan kontraksi otot detrusor
Timbulnya gejala LUTS merupakan manifestasi kompensasi otot buli-buli
untuk mengeluarkan urine. Pada suatu saat, otot buli-buli mengalami
kepayahan (fatigue) sehingga jatuh ke dalam fase dekompensasi yang
diwujudkan dalam bentuk retensi urin akut.
Timbulnya dekompensasi buli-buli ini didahului oleh factor pencetus antara
lain :
1) Volume buli-buli tiba-tiba penuh (cuaca dingin, konsumsi obat-obatan yang mengandung diuretikum, minum tertalu banyak)
2) Massa prostat tiba-tiba membesar (setelah melakukan aktivitas seksual/ infeksi prostat)
3) Setelah mengkonsumsi obat-obat yang dapat menurunkan kontraksi otot detrusor (golongan antikolinergik atau adrenergic-α)
Untuk menentukan derajat beratnya penyakit yang berhubungan dengan
penentuan jenis pengobatan BPH dan untuk menilai keberhasilan pengobatan
BPH, dibuatlah suatu skoring yang valid dan reliable. Terdapat beberapa
sistem skoring, di antaranya skor International Prostate Skoring
System (IPSS) yang diambil berdasarkan skor American Urological
Association (AUA). Skor AUA terdiri dari 7 pertanyaan. Pasien diminta
untuk menilai sendiri derajat keluhan obstruksi dan iritatif mereka dengan
skala 0-5. Total skor dapat berkisar antara 0-35. Skor 0-7 ringan, 8-19 sedang,
dan 20-35 berat.
b. Gejala pada saluran kemih bagian atas
Merupakan penyulit dari hiperplasi prostat, berupa gejala obstruksi antara
lain nyeri pinggang, benjolan di pinggang (hidronefrosis), demam
(infeksi/ urosepsis).
c. Gejala di luar saluran kemih
Keluhan pada penyakit hernia/ hemoroid sering mengikuti
penyakit hipertropi prostat. Timbulnya kedua penyakit ini karena
sering mengejan pada saat miksi sehingga mengakibatkan peningkatan
tekanan intra abdominal.
Gejala generalisata juga mungkin tampak, termasuk keletihan,
anoreksia, mual dan muntah, dan rasa tidak nyaman pada epigastrik
(Brunner & Suddarth, 2001). Secara klinik derajat berat, dibagi menjadi 4
gradiasi, yaitu:
Derajat 1 : Apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada DRE
(colok dubur) ditemukan penonjolan prostat dan sisa urine kurang
dari 50 ml.
Derajat 2 : Ditemukan tanda dan gejala seperti pada derajat 1,
prostat lebih menonjol, batas atas masih teraba dan sisa urine
lebih dari 50 ml tetapi kurang dari 100 ml.
Derajat 3 : Seperti derajat 2, hanya batas atas prostat tidak teraba
lagi dan sisa urin lebih dari 100 ml.
Derajat 4 : Apabila sudah terjadi retensi total.
VII. Pemeriksaan Fisik
Buli-buli yang terisi penuh dan teraba massa kistus di daerah supra simfisis
akibat retensi urine. Kadang-kadang didapatkan urine yang selalu menetes
yang merupakan pertanda dari inkontinensia paradoksa.
1) Pemeriksaan colok dubur / digital rectal examination ( DRE )
Merupakan pemeriksaan yang sangat penting, DRE dapat memberikan
gambaran tonus sfingter ani, mukosa rektum, adanya kelainan lain seperti
benjolan di dalam rektum dan tentu saja meraba prostat. Pada perabaan
prostat harus diperhatikan :
Konsistensi pada pembesaran prostat kenyal
Adakah asimetri
Adakah nodul pada prostat
Apakah batas atas dapat diraba dan apabila batas atas masih dapat
diraba biasanya besar prostat diperkirakan <60 gr.
Gambar 4. Pemeriksaan Colok Dubur
Pada BPH akan ditemukan prostat yang lebih besar dari normal,
permukaan licin dan konsistensi kenyal. Pemeriksaan fisik apabila sudah
terjadi kelainan pada traktus urinaria bagian atas kadang-kadang ginjal
dapat teraba dan apabila sudah terjadi pnielonefritis akan disertai sakit
pinggang dan nyeri ketok pada pinggang. Vesica urinaria dapat teraba
apabila sudah terjadi retensi total, buli-buli penuh (ditemukan massa supra
pubis) yang nyeri dan pekak pada perkusi. Daerah inguinal harus mulai
diperhatikan untuk mengetahui adanya hernia. Genitalia eksterna harus
pula diperiksa untuk melihat adanya kemungkinan sebab yang lain yang
dapat menyebabkan gangguan miksi seperti batu di fossa navikularis atau
uretra anterior, fibrosis daerah uretra, fimosis, condiloma di daerah
meatus.
2) Derajat berat obstruksi
Derajat berat obstruksi dapat diukur dengan menentukan jumlah sisa
urin setelah miksi spontan. Sisa urin ditentukan dengan mengukur urin
yang masih dapat keluar dengan kateterisasi. Sisa urin dapat pula
diketahui dengan melakukan ultrasonografi kandung kemih setelah miksi.
Sisa urin lebih dari 100cc biasanya dianggap sebagai batas untuk indikasi
melakukan intervensi pada hipertrofi prostat.Derajat berat obstruksi dapat
pula diukur dengan mengukur pancaran urin pada waktu miksi, yang
disebut uroflowmetri. Angka normal pancaran kemih rata-rata 10-12
ml/detik dan pancaran maksimal sampai sekitar 20 ml/detik. Pada
obstruksi ringan, pancaran menurun antara 6 – 8 ml/detik, sedangkan
maksimal pancaran menjadi 15 ml/detik atau kurang.
VIII. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium ,,:
a. Sedimen urin
Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi
pada saluran kemih. Mengevaluasi adanya eritrosit, leukosit,
bakteri, protein atau glukosa.
b. Kultur urin
Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi dan sekaligus
menentukan sensifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang
diujikan
c. Faal ginjal
Mencari kemungkinan adanya penyulit yang mengenai saluran
kemih bagian atas. Elektrolit, BUN, dan kreatinin berguna untuk
insufisiensi ginjal kronis pada pasien yang memiliki postvoid
residu (PVR) yang tinggi.
d. Gula darah
Mencari kemungkinan adanya penyekit diabetes mellitus yang
dapat menimbulkan kelainan persarafan pada buli-buli (buli-buli
neurogenik)
e. Penanda tumor PSA (prostat spesifik antigen)
Jika curiga adanya keganasan prostat
2. Pemeriksaan Patologi Anatomi
BPH dicirikan oleh berbagai kombinasi dari hiperplasia epitel dan
stroma di prostat. Beberapa kasus menunjukkan proliferasi halus-otot
hampir murni, meskipun kebanyakan menunjukkan pola
fibroadenomyomatous hyperplasia
Gambar 5. Gambaran Makroskopis dan Mikroskopis Benigna Prostat
Hiperplasia
3. Pencitraan pada Benigna Prostat Hiperplasia:
a. Foto polos
Berguna untuk mencari adanya batu opak di saluran kemih, adanya
batu/kalkulosa prostat dan kadangkala menunjukan bayangan buli-buli
yang penuh terisi urine, yang merupakan tanda suatu retensi urine
b. Pemeriksaan ultrasonografi transrektal (TRUS),,0
Adalah tes USG melalui rectum. Dalam prosedur ini, probe
dimasukkan ke dalam rektum mengarahkan gelombang suara di
prostat. Gema pola gelombang suara merupakan gambar dari kelenjar
prostat pada layar tampilan. Untuk menentukan apakah suatu daerah
yang abnormal tampak memang tumor, digunakan probe dan gambar
USG untuk memandu jarum biopsi untuk tumor yang dicurigai. Jarum
mengumpulkan beberapa potong jaringan prostat untuk pemeriksaan
dengan mikroskop. Biopsy terutama dilakukan untuk pasien yang
dicurigai memiliki keganasan prostat.
Transrektal ultrasonografi (TRUS) sekarang juga digunakan untuk
pengukur volume prostat, caranya antara lain :
Metode “step planimetry”. Yang menghitung volume rata-rata
area horizontal diukur dari dasar sampai puncak.
Metode diameter. Yang menggabungkan pengukuran tinggi
(H/height) ,lebar (W/width) dan panjang (L/length) dengan rumus
: ½ (H x W x L)
c. Sistoskopi ,
Dalam pemeriksaan ini, disisipkan sebuah tabung kecil melalui
pembukaan urethra di dalam penis. Prosedur ini dilakukan setelah
solusi numbs bagian dalam penis sehingga sensasi semua hilang.
Tabung disebut sebuah “cystoscope”, berisi lensa dan sistem cahaya
yang membantu dokter melihat bagian dalam uretra dan kandung
kemih. Tes ini memungkinkan dokter untuk menentukan ukuran
kelenjar dan mengidentifikasi lokasi dan derajat obstruksi.
Gambar 6. Gambaran Sistoskopi Benigna Prostat Hiperplasia
d. Ultrasonografi trans abdominal 0,
Gambaran sonografi benigna hyperplasia prostat menunjukan
pembesaran bagian dalam glandula, yang relatif hipoechoic
dibanding zona perifer. Zona transisi hipoekoik cenderung
menekan zona central dan perifer. Batas yang memisahkan
hyperplasia dengan zona perifer adalah “surgical capsule”.
USG transabdominal mampu pula mendeteksi adanya
hidronefrosis ataupun kerusakan ginjal akibat obstruksi BPH yang
lama.
Gambar 7. Gambaran Sonografi Prostat Normal
Gambar 8. Gambaran Sonografi Benigna Prostat Hiperplasia
e.Sistografi buli
Gambar 9.Gambaran Elevasi Dasar Buli yang Mengindikasikan Benigna
Prostat Hiperplasia
4. Pemeriksaan lain, :
Pemeriksaan derajat obstruksi prostat dapat diperkirakan dengan cara
mengukur:
Residual urin :
Jumlah sisa urin setelah miksi, dengan cara melakukan
kateterisasi/USG setelah miksi
Pancaran urin/flow rate :
Dengan menghitung jumlah urine dibagi dengan lamanya miksi
berlangsung (ml/detik) atau dengan alat uroflometri yang menyajikan
gambaran grafik pancaran urin. Aliran yang berkurang sering pada
BPH. Pada aliran urin yang lemah, aliran urinnya kurang dari 15mL/s
dan terdapat peningkatan residu urin. Post-void residual mengukur
jumlah air seni yang tertinggal di dalam kandung kemih setelah
buang air kecil. PRV kurang dari 50 mL umum menunjukkan
pengosongan kandung kemih yang memadai dan pengukuran 100
sampai 200 ml atau lebih sering menunjukkan sumbatan. Pasien
diminta untuk buang air kecil segera sebelum tes dan sisa urin
ditentukan oleh USG atau kateterisasi.
Gambar 10. Gambaran Pancaran Urin Normal dan pada BPH
Keterangan :
Gambaran aliran urin atas : dewasa muda yang asimtomatik, aliran urin
lebih dari 15mL/s, urin residu 9 mL pada ultrasonografi.
Gambaran aliran urin bawah : dewasa tua dengan benigna hyperplasia
prostat, terlihat waktu berkemih memanjang dengan aliran urin kurang
dari 10mL/s, pasien ini urin residunya 100 mL.
IX. Komplikasi
Retensi urine akut – ketidak mampuan untuk mengeluarkan urin,
distensi kandung kemih, nyeri suprapubik
Retensi urine kronik –residu urin > 500ml, pancaran lemah, buli teraba,
tidak nyeri
Infeksi traktus urinaria
Batu buli
Hematuri
Inkontinensia-urgensi
Hidroureter
Hidronefrosis - gangguan pada fungsi ginjal
Hiperplasia Prostat↓
Penyempitan lumen uretra posterior↓
Tekanan intravesika meningkat↓ ↓
Buli-buli: Ginjal dan ureter:
Hipertrofi otot detrusor Refluks VU Trabekulasi Hidroureter Selula Hidronefrosis Divertikel buli-buli Gagal ginjal
X. Penatalaksanaan
Tidak semua pasien hiperplasia prostat perlu menjalami tindakan medik.
Kadang-kadang mereka yang mengeluh LUTS ringan dapat sembuh sendiri
tanpa mendapatkan terapi apapun atau hanya dengan nasehat saja. Namun ada
pula yang membutuhkan terapi medikamentosa atau tindakan medik yang lain
karena keluhannya semakin parah.
Tujuan terapi hyperplasia prostat adalah (1) memperbaiki keluhan miksi, (2)
meningkatkan kualitas hidup, (3) mengurangi obstruksi intravesika, (4)
mengembalikan fungsi ginjal jika terjadi gagal ginjal, (5) mengurangi volume
residu urine setelah miksi dan (6) mencegah progrefitas penyakit. Hal ini
dapat dicegah dengan medikamentosa, pembedahan atau tindakan
endourologi yang kurang invasif.
Hidronefrosis
Hidroureter
Hipertofi otot detrusor
Benigna prostat hiperplasi
Observasi Medikamentosa Operasi Invasive minimalWatchful waiting
Penghambat adrenergik α
Prostatektomi terbuka TUMT TUBD Stent uretra TUNA
Penghambat reduktese α
Endourologi
Fisioterapi 1. TURP2. TUIP3. TULP
Elektovaporasi
Hormonal
Tabel 3. Pilihan Terapi pada Hiperplasia Prostat Benigna
RiwayatPemeriksaan fisik & DREUrinalisaPSA (meningkat/tidak)
Indeks gejala AUA
Gejala ringan (AUA≤7)/
Gejala sedang
Retensi urinaria+gejala yang berhubungan dg BPHHematuria persistentBatu buliInfeksi saluran urinaria berulang
Operasi
Tes diagnosticUroflowResidu urin postvoid
Pilihan terapi
Terapi non-invasif Terapi invasif
Tes diagnosticPressure flow
Bagan 1. Penatalaksanaan Benigna Prostat Hiperplasia
Penatalaksanaan Nilai indeks gejala BPH
Efek samping
Wactfull waiting Gejala hilang/timbul Risiko kecil , dapat terjadi retensi urinaria
Penatalaksanaan medisAlpha-blockers Sedang 6-8 Gaster/usus halus-11%
Hidung berair-11%Sakit kepala-12%Menggigil-15%
5 alpha-reductase inhibitors
Ringan 3-4 Masalah ereksi-8%Kehilangan hasrat sex-5%Berkurangnya semen-4%
Terapi kombinasi Sedang 6-7 kombinasiTerapi invasi minimalTransuretral microwave heat
Sedang-berat 9-11 Urgensi/frekuensi-28-74%Infeksi-9%Prosedur kedua dibutuhkan-10-16%
TUNA Sedang 9 Urgensi/frekuensi-31%Infeksi-17%Prosedur kedua dibutuhkan-23%
Operasi TURP, laser & operasi sejenis
Berat 14-20 Retensi urinaria-1-21%Urgensi&frekuensi-6-99%
Tes diagnosticPressure flow
Gangguan ereksi-3-13%Operasi terbuka Berat Inkontinensia 6%
Tabel 4. Penatalaksaan Berdasarkan Nilai Indeks Gejala Benigna Prostat
Hiperplasia
a. Watchful waiting
Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS
dibawah 7, yaitu keluhan ringan yang tidak mengganggu aktivitas sehari-hari.
Pasien tidak mendapat terapi namun hanya diberi penjelasan mengenai sesuatu
hal yang mungkin dapat memperburuk keluhannya, misalnya (1) jangan
mengkonsumsi kopi atau alcohol setelah makan malam, (2) kurangi konsumsi
makanan atau minuman yang mengiritasi buli-buli (kopi/cokelat), (3) batasi
penggunaan obat-obat influenza yang mengandung fenilpropanolamin, (4)
kurangi makanan pedasadan asin, dan (5) jangan menahan kencing terlalu
lama.
Secara periodik pasien diminta untuk datang control dengan ditanya
keluhannya apakah menjadi lebih baik (sebaiknya memakai skor yang baku),
disamping itu dilakukan pemeriksaan laboratorium, residu urin, atau
uroflometri. Jika keluhan miksi bertambah jelek daripada sebelumnya,
mungkin perlu dipikirkan terapi yang lain.
b. Medikamentosa
Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk : (1) mengurangi
resistansi otot polos prostat sebagai komponen dinamik penyebab obstruksi
infravesika dengan obat-obatan penghambat adrenergic alfa (adrenergic alfa
blocker dan (2) mengurangi volume prostat sebagai komponen static dengan
cara menurunkan kadar hormone testosterone/dihidrotestosteron (DHT)
melalui penghambat 5α-reduktase.
1) Penghambat reseptor adrenergik α. ,
Mengendurkan otot polos prostat dan leher kandung kemih, yang
membantu untuk meringankan obstruksi kemih disebabkan oleh
pembesaran prostat di BPH.
Efek samping dapat termasuk sakit kepala, kelelahan, atau ringan.
Umumnya digunakan alpha blocker BPH termasuk tamsulosin
(Flomax), alfuzosin (Uroxatral), dan obat-obatan yang lebih tua seperti
terazosin (Hytrin) atau doxazosin (Cardura). Obat-obatan ini akan
meningkatkan pancaran urin dan mengakibatkan perbaikan gejala
dalam beberapa minggu dan tidak berpengaruh pada ukuran prostat.
Gambar 14. Lokasi Reseptor 1-Adrenergik (1-ARs)
2) Penghambat 5 α reduktase
Obat ini bekerja dengan cara menghambat pembentukan
dihidrotestosteron (DHT) dari testosterone yang dikatalisis oleh enzim
5 α reduktase di dalam sel prostat. Menurunnya kadar DHT
menyebabkan sintesis protein dan replikasi sel-sel prostat menurun.
Pembesaran prostat di BPH secara langsung tergantung pada DHT,
sehingga obat ini menyebabkan pengurangan 25% perkiraan ukuran
prostat lebih dari 6 sampai 12 bulan.
c. Terapi Invasif Minimal
Diperuntukan untuk pasien yang mempunyai risiko tinggi terhadap
pembedahan
1) Microwave transurethral.
Pada tahun 1996, FDA menyetujui perangkat yang menggunakan
gelombang mikro untuk memanaskan dan menghancurkan jaringan
prostat yang berlebih. Dalam prosedur yang disebut microwave
thermotherapy transurethral (TUMT), perangkat mengirim gelombang
mikro melalui kateter untuk memanaskan bagian prostat dipilih untuk
setidaknya 111 derajat Fahrenheit. Sebuah sistem pendingin
melindungi saluran kemih selama prosedur.
Prosedur ini memakan waktu sekitar 1 jam dan dapat
dilakukan secara rawat jalan tanpa anestesi umum. TUMT belum
dilaporkan menyebabkan disfungsi ereksi atau inkontinensia.
Meskipun terapi microwave tidak menyembuhkan BPH, tapi
mengurangi gejala frekuensi kencing, urgensi, tegang, dan
intermitensi.
Gambar 11. Microwave Transurethral
2) Transurethral jarum ablasi. Juga pada tahun 1996, FDA menyetujui
transurethral jarum ablasi invasif minimal (TUNA) sistem untuk
pengobatan BPH. Sistem TUNA memberikan energy radiofrekuensi
tingkat rendah melalui jarum kembar untuk region prostat yang
membesar. Shields melindungi uretra dari kerusakan akibat panas.
Sistem TUNA meningkatkan aliran urin dan mengurangi gejala
dengan efek samping yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan
reseksi transurethral dari prostat (TURP).
Gambar 12. Transurethral Jarum Ablasi Invasif Minimal
3) Thermotherapy dengan air. Terapi ini menggunakan air panas untuk
menghancurkan jaringan kelebihan dalam prostat. Sebuah kateter
mengandung beberapa lubang diposisikan dalam uretra sehingga
balon pengobatan terletak di tengah prostat. Sebuah komputer
mengontrol suhu air, yang mengalir ke balon dan memanaskan
jaringan prostat sekitarnya. Sistem ini memfokuskan panas di wilayah
yang tepat prostat. Sekitar jaringan dalam uretra dan kandung kemih
dilindungi. Jaringan yang hancur keluar melalui urin
Gambar 13. Thermotherapy dengan Air
d. Bedah
1) Operasi transurethral. ,,,,
Pada jenis operasi, sayatan eksternal tidak diperlukan. Setelah
memberikan anestesi, ahli bedah mencapai prostat dengan
memasukkan instrumen melalui uretra.
Prosedur yang disebut reseksi transurethral dari prostat (TURP)
digunakan untuk 90 persen dari semua operasi prostat dilakukan untuk
BPH. Dengan TURP, alat yang disebut resectoscope dimasukkan
melalui penis. The resectoscope, yaitu panjang sekitar 12 inci dan
diameter 1 / 2 inci, berisi lampu, katup untuk mengendalikan cairan
irigasi, dan loop listrik yang memotong jaringan dan segel pembuluh
darah.
Cairan irigan yang dipakai adalah aquades . kerugian dari aquades
adalah sifatnya yang hipotonis sehingga dapat masuk melalui sirkulasi
sistemik dan menyebabkan hipotermia relative atau gejala intoksikasi
air yang dikenal dengan sindrom TURP. Ditandai dengan pasien yang
mulai gelisah, somnolen dan tekanan darah meningkat dan terdapat
bradikardi. Jika tidak segera diatasi, pasien akan mengalami edema
otak dan jatuh ke dalam koma. Untuk mengurangi risiko timbulnya
sindroma TURP operator harus membatasi diri untuk tidak melakukan
reseksi lebih dari 1 jam dan baru memasang sistostomi terlebih dauhlu
sebelum reseksi diharapkan dapat mengurangi penyerapan air ke
sistemik.
Selama operasi 90-menit, ahli bedah menggunakan loop kawat
resectoscope untuk menghilangkan jaringan obstruksi satu bagian
pada suatu waktu. Potongan-potongan jaringan dibawa oleh cairan ke
kandung kemih dan kemudian dibuang keluar pada akhir operasi.
Prosedur transurethral kurang traumatis daripada bentuk operasi
terbuka dan memerlukan waktu pemulihan lebih pendek. Salah satu
efek samping yang mungkin TURP adalah ejakulasi retrograde, atau
ke belakang. Dalam kondisi ini, semen mengalir mundur ke dalam
kandung kemih selama klimaks bukannya keluar uretra.
Selama operasi Pasca bedah dini Pasca bedah lanjutPerdarahan Perdarahan InkontinensiSindrom TURP Infeksi lokal/sistemik Dinsfungsi ereksiPerforasi Ejakulasi retrograde
Striktur uretra
Berbagai Penyulit TURP, Selama maupun Setelah Pembedahan
Gambar 14. (a) alat TURP, (b) cara melakukan TURP, (c) uretra prostatika pasca
TURP
Prosedur bedah yang disebut insisi transurethral dari prostat (TUIP),
prosedur ini melebar urethra dengan membuat beberapa potongan kecil di
leher kandung kemih, di mana terdapat kelenjar prostat. Prosedur ini
digunakan pada hiperplasi prostat yang tidak tartalu besar, tanpa ada
pembesaran lobus medius dan pada pasen yang umurnya masih muda.
(a)
(b)
(c)
2) Open surgery. ,
Dalam beberapa kasus ketika sebuah prosedur transurethral tidak
dapat digunakan, operasi terbuka, yang memerlukan insisi eksternal,
dapat digunakan. Open surgery sering dilakukan ketika kelenjar
sangat membesar (>100 gram), ketika ada komplikasi, atau ketika
kandung kemih telah rusak dan perlu diperbaiki. Prostateksomi
terbuka dilakukan melalui pendekatan suprarubik transvesikal
(Freyer) atau retropubik infravesikal (Millin). Penyulit yang dapat
terjadi adalah inkontinensia uirn (3%), impotensia (5-10%), ejakulasi
retrograde (60-80%) dan kontraktur leher buli-buli (305%). Perbaikan
gejala klinis 85-100%.
3) Operasi laser
Kelenjar prostat pada suhu 60-65oC akan mengalami koagulasi
dan pada suhu yang lebih dari 100oC mengalami vaporasi. Teknik
laser menimbulkan lebih sedikit komplikasi sayangnya terapi ini
membutuhkan terapi ulang 2% setiap tahun. Kekurangannya adalah :
tidak dapat diperoleh jaringan untuk pemeriksaan patologi (kecuali
paad Ho:YAG coagulation), sering banyak menimbulkan disuri pasca
bedah yang dapat berlangsung sampai 2 bulan, tidak langsung dapat
miksi spontan setelah operasi dan peak flow rate lebih rendah
daripada pasca TURP. Serat laser melalui uretra ke dalam prostat
menggunakan cystoscope dan kemudian memberikan beberapa
semburan energi yang berlangsung 30 sampai 60 detik. Energi laser
menghancurkan jaringan prostat dan menyebabkan penyusutan.
Gambar 16. Operasi Laser pada Prostat
a) Interstitial laser coagulation. Tidak seperti prosedur laser lain,
koagulasi laser interstisial tempat ujung probe serat optik
langsung ke jaringan prostat untuk menghancurkannya.
Gambar 17. Interstitial laser coagulation
b) Potoselectif vaporisasi prostat (PVP).
PVT a-energi laser tinggi untuk menghancurkan jaringan prostat.
Cara sama dengan TURP, hanya saja teknik ini memakai roller
ball yang spesifik dengan mesin diatermi yang cukup kuat,
sehingga mampu membuat vaporasi kelenjar prostat. Teknik ini
cukup aman tidak menimbulkan
perdarahan pada saat operasi. Namun teknik ini hanya
diperuntukan pada prostat yang tidak terlalu besar (<50 gram) dan
membutuhkan waktu operasi yang lebih lama.
Gambar 18. Potoselectif vaporisasi prostat
e. Kontrol berkala
Watchfull waiting
Kontrol setelah 6 bulan, kemudian setiap tahun untuk mengetahui
apakah terdapat perbaikan klinis
Pengobatan penghambat 5α-reduktase
Dikontrol pada minggu ke-12 dan bulan ke-6
Pengobatan penghambat 5α-adrenegik
Setelah 6 minggu untuk menilai respon terhadap terapi dengan
melakukan pemeriksaan IPSS uroflometri dan residu urin pasca
miksi
Terapi invasive minimal
Setelah 6 minggu, 3 bulan dan setiap tahun. Selain dilakukan
penilaian skor miksi, juga diperiksa kultur urin
Pembedahan
Paling lambat 6 minggu pasca operasi untuk mengetahui
kemungkinan penyulit.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sjamsuhidajat, R. dan de Jong, Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah. Ed.2. 2004. Jakarta
: EGC
2. Mansjoer, Arif, dkk. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Ed.3. 2000. Jakarta :
Media Aesculapius FKUI
3. Grace, Pierce A. dan Borley, Neil R. At A Glance : Ilmu Bedah. Ed.3. 2006.
Jakarta : Erlangga Medical Series.
4. Inguinal Hernia. National Digestive Disease Information Clearinghouse. Last
Updated December 2008.
5. Kozar Rosemary A, Moore Frederick A. Schwartz’s Principles of Surgery 8th
Edition. Singapore: The McGraw-Hill Companies, Inc; 2005
6. Mansjoer A, Suprahaita, Wardhani. 2000. Pembesaran Prostat Jinak. Dalam:
Kapita selekta Kedokteran. Media Aesculapius, Jakarta ; 329-344.
7. Mulyono, A. 1995. Pengobatan BPH Pada Masa Kini. Dalam :
Pembesaran Prostat Jinak. Yayasan penerbit IDI, Jakarta ; 40-48.5.
8. Purnomo, Basuki B. Dasar – Dasar Urologi. Edisi Kedua. Jakarta : Sagung Seto.
9. Rahardjo, J. 2006. Prostat Hipertropi. Dalam : Kumpulan Ilmu Bedah. Binarupa
aksara, Jakarta ; 161-703.
10. Ramon P, Setiono, Rona,
Buku Ilmu Bedah, Fakultas KedokteranUniversitas Padjajaran ; 2002: 203-75.
11. Sabiston, David. Sabiston : Buku Ajar Bedah. Alih bahasa : Petrus. Timan.
EGC. 2002.
12. Sjafei, M. 1995. Diagnosis Pembesaran Prostat Jinak. Dalam :
Pembesaran Prostat Jinak. Yayasan Penerbit IDI, Jakarta ; 6-17
13. Sjamsuhidajat R, De Jong W. 1997. Tumor Prostat. Dalam: Buku ajar
Ilmu Bedah, EGC, Jakarta, 2005; 1058-64.
14. Umbas, R. 1995. Patofisiologi dan Patogenesis Pembesaran Prostat Jinak.
Yayasan penerbit IDI, Jakarta ; 1-52.