Post on 25-Dec-2021
581
Abstrak: Meninjau Peran Akuntan dalam Menanggulangi Isu Perubahan Iklim. Penelitian ini mencoba untuk melihat potensi peningkatan peran tradisional profesi akuntan, dari peran administrasi menjadi peran strategis, dalam mengatasi masalah perubahan iklim. Metode analisis naratif digunakan untuk memahami latar belakang dan dampak dari perubahan iklim. Penelitian ini menemukan hasil bahwa profesi akuntan dapat berperan lebih besar terkait berbagai isu perubahan iklim. Peran tersebut menuntut para akuntan untuk menginternalisasi isu perubahan iklim dalam laporan keuangan. Implikasinya, para pengguna laporan keuangan dapat mempertimbangkan isu perubahan iklim dalam keputusannya. Abstract: Reviewing the Role of Accountants in Addressing Climate Change Issues. This study attempts to see the potential for increasing the traditional role of the accounting profession from an administrative role to a strategic role in overcoming the problem of climate change. The narrative analysis method is used to understand the background and impacts of climate change. This study finds that the accounting profession can play a bigger role in relation to climate change issues. This role requires the accounting profession to internalize the issue of climate change in financial reports. The implication is that users of financial reports can consider the issue of climate change in their decisions.
Pada 12 Desember 2015 lebih dari 160 negara peserta (yang terdiri dari negara maju dan berkembang) berkomitmen dalam suatu perjanjian internasional untuk mengatasi masalah pemanasaan global yang merupakan isu penting dalam memicu terjadinya perubahan iklim. Perjanjian tersebut bernama Perjanjian Paris. Dalam perjanjian tersebut setiap negara peserta berkomitmen untuk membatasi kenaikan temperatur global maksimal 2° celcius di atas temperatur sebelum terjadinya masa revolusi industri. Walau batas kenaikan temperatur dalam Perjanjian Paris ditetapkan maksimal 2° celcius,
setiap negara peserta harus berusaha untuk membatas i kenaikan temperatur hanya 1,5° celcius. Selisih antara 2° dengan 1,5° celcius tampak sangat kecil, tetapi perbedaan tersebut akan meningkatkan energi panas dalam jumlah besar dalam sistem iklim global dan mengakibatkan dampak yang berbahaya bagi ekosistem. Saat ini kenaikan temperatur global diperkirakan telah mencapai sekitar 1° celcius di atas temperatur sebelum masa revolusi industri. Dengan kenaikan temperatur 1° celcius dunia telah mengalami beragam kerusakan yang mengancam kehidupan manusia, kondisi pertanian, dan
Volume 11Nomor 3Halaman 581-599Malang, Desember 2020ISSN 2086-7603 e-ISSN 2089-5879
Mengutip ini sebagai: Mahardika, D. P. K. (2020). Meninjau Peran Akuntan dalam Menanggulangi Isu Perubahan Iklim. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 11(3), 581599. https://doi.org/10.21776/ub.jamal.2020.11.3.33
MENINJAU PERAN AKUNTAN DALAM MENANGGULANGI ISU PERUBAHAN IKLIMDewa Putra Krishna Mahardika
Universitas Telkom, Jl. Terusan Buah Batu, Bandung 40257
Tanggal Masuk: 19 September 2020Tanggal Revisi: 18 November 2020Tanggal Diterima: 31 Desember 2020
Surel: dewamahardika@telkomuniversity.ac.id
Kata kunci:
akuntan,internalisasi,peran tradisional,perubahan iklim
Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 2020, 11(3), 581-599
kelestarian ekosistem (Kumarasiri & Jubb, 2016; Quayle et al., 2020).
Tanpa adanya usaha dari pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat untuk mengubah cara hidup manusia yang bergantung pada bahan bakar fosil dengan kandungan kadar karbon tinggi, maka dalam beberapa dekade ke depan kondisi tragedi masa depan (tragedy of the horizon) akan terjadi (Anindita & Hamidah, 2020; Gibassier et al., 2020). Tragedi masa depan merupakan kondisi kerusakan yang terjadi akibat perubahan iklim sudah tidak dapat diperbaiki karena kerusakan bersifat permanen dan sistemik sehingga akan mempengaruhi beragam sisi kehidupan manusia. Walau tanggung jawab untuk memenuhi ketentuan dalam Perjanjian Paris terletak pada pemerintah, masalah perubahan iklim terjadi akibat tindakan seluruh manusia sehingga semua pihak, baik sebagai individu maupun kelompok, memiliki tanggung jawab sesuai dengan peran nya masingmasing. Profesi akuntan sebagai sebuah kelompok tidak dikecualikan dari beban tanggung jawab untuk target dalam Perjanjian Paris.
Profesi akuntan selama ini telah dikenal sebagai profesi yang bertanggung jawab terhadap pencatatan transaksi keuangan dan penerbitan laporan keuangan beragam organisasi. Dengan adanya masalah perubahan iklim yang mengancam seluruh kehidupan manusia, profesi akuntan tidak dapat bersikap pasif dalam menghadapi perubahan iklim. Profesi akuntan harus memahami isu perubahan iklim mulai dari penyebab terjadinya perubahan iklim sampai pada dampaknya terhadap kegiatan ekonomi. Dengan pemahaman ini profesi akuntan dapat ikut serta memikirkan kontribusi dalam membatasi kenaikan pemanasan global sehingga target dalam Perjanjian Paris dapat terpenuhi. Kontribusi dari profesi akuntan mengharuskan akuntan untuk memperbesar peran dan tanggung jawab tidak hanya sebagai pencatatat transaksi dan penerbit laporan keuangan, tetapi juga mampu memperkirakan dampak dari suatu aktivitas usaha terhadap perubahan iklim dan mampu mengungkapkan dampak tersebut dalam laporan keuangan.
Kondisi yang terjadi selama ini adalah isu perubahan iklim tidak tercermin dalam laporan keuangan karena memang profesi akuntan tidak mempertimbangkan isu ini dalam laporan keuangan. Tidak tercerminnya isu perubahan iklim dalam lapor
an keuangan berakibat pada beberapa hal. Pertama, beragam perusahaan tidak mempertimbangkan dampak perubahan iklim dari kegiatan produksinya sehingga kegiatan produksi yang mereka jalankan tidak dapat dikategorikan sebagai produksi yang berkelanjutan (sustainable production). Kedua, dengan tidak mempertimbangkan isu perubahan iklim membuat harga produk tidak mencerminkan dampak kerusakan ekosistem yang memicu perubahan iklim. Jika harga atas suatu produk tidak memperhitungkan dampak kerusakan ekosistem, maka penentuan harga produk akan terlalu murah dibandingkan jika harga produk memperhitungkan dampak kerusakan ekosistem. Ketiga, tidak tercerminnya kerusakan ekosistem pada harga produk pada akhirnya membuat konsumen tidak kritis dalam mengonsumsi produk sehingga berakibat kondisi konsumsi yang berkelanjutan (sustainable consumption) tidak tercapai, Keempat, tidak terjadinya produksi dan konsumsi yang berkelanjutan membuat isu perubahan iklim menjadi eksternalitas yang tidak dipertimbangkan oleh produsen dan konsumen. Artinya, baik produsen maupun konsumen tidak bertanggung jawab terhadap isu perubahan iklim. Dengan kondisi ini tumpuan untuk mencapai target dalam Perjanjian Paris hanya pada pemerintah. Penelitian ini mencoba untuk meninjau peran akuntan dalam menghadapi isu pemanasan global dengan menganalisis ketentuan dalam standar akuntansi keuangan (PSAK). Berdasarkan hasil analisis tersebut akan dapat ditentukan apakah PSAK yang saat ini berlaku dapat mengakomodasi isu perubahan iklim sehingga tercermin dalam laporan keuangan. Sepanjang pengetahuan kami, penelitian lokal yang mencoba mengakomodasi isu perubahan iklim dalam laporan keuangan dengan berdasarkan pada PSAK belum pernah dilakukan. Penelitian pada tingkat global pun belum difokuskan pada usaha yang dilakukan oleh akademisi akuntan untuk memasukkan isu perubahan iklim dalam laporan keuangan (Csutora & Harangozo, 2017; Hopper, 2019).
Secara eksplisit isu perubahan iklim memang tidak diakomodasi pada aturan akuntansi tingkat lokal melalui PSAK ataupun tingkat internasional melalui Interna-tional Financial Reporting Standards (IFRS). Artinya, tidak ada standar khusus yang mengatur bagaimana mengungkapkan isu perubahan iklim dalam laporan keuangan.
Mahardika, Meninjau Peran Akuntan dalam Menanggulangi Isu... 582
Pada sisi lain, kesadaran investor dan pihak lain terkait lingkungan telah meningkat dan mereka mulai bertanya mengapa IFRS tidak mengakomodasi isu perubahan iklim (Palea, 2018; Wegener & Labelle, 2017). Isu perubahan iklim merupakan isu yang kompleks karena dampaknya sistemik bagi ekosistem lingkungan dan bagi kegiatan perekonomian. Penelitian awal ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran mengenai bagaimana profesi akuntan menangani isu perubahan iklim dalam laporan keuangan dengan melihat pada ketentuan PSAK yang berlaku sehingga isu perubahan iklim dapat tercermin dalam laporan keuangan. Dengan kata lain, penelitian ini bertujuan untuk memberikan kontribusi pemikiran dalam hal internalisasi isu perubahan iklim dalam laporan keuangan.
METODEPenelitian ini mengaitkan isu perubah
an iklim dengan peran dan tanggung jawab akuntan sebagai pencatat transaksi dan penerbit laporan keuangan. Untuk memberikan gambaran isu seputar perubahan iklim dan dampaknya terhadap ekosistem lingkungan dan kegiatan perekonomian, penelitian ini menggunakan analisis naratif dengan fokus pada proses untuk menggambarkan kejadian yang telah berlalu dan sedang terjadi serta kaitannya dengan kejadian lain (Nickell & Roberts, 2014; Patten & Shin, 2019). Dalam kaitannya dengan perubahan iklim, analisis naratif digunakan untuk memberikan gambaran mengenai proses terjadinya
perubahan iklim dan dampaknya terhadap ekosistem dan perekonomian. De ngan mengetahui penyebab utama terjadinya perubahan iklim serta dampaknya, dapat dijabarkan beberapa hal yang dapat dilakukan oleh profesi akuntan guna dapat berkontribusi mengatasi isu perubahan iklim.
Analisis naratif akan bermula dengan mengetahui pemicu terjadinya perubahan iklim berdasarkan penelitian dengan tema lingkungan dan perubahan iklim. Lalu, penelitian dengan tema yang sama akan dipilih untuk melihat dampak perubahan iklim terhadap ekosistem lingkungan. Guna mengidentifikasikontribusiprofesiakuntanter hadap penanggulangan isu perubahan iklim, penelitian terkait dampak perubahan iklim terhadap kegiatan perekonomian juga akan dimasukkan sebagai bahan analisis. Dengan mengetahui pemicu terjadinya perubahan iklim dan dampaknya terhadap kegiatan perekonomian, maka profesi akuntandapatmengidentifikasiperluasanperandan tanggung jawab profesi akuntan dalam membantu pemerintah untuk memenuhi target masalah lingkungan yang tercantum dalam Perjanjian Paris.
HASIL DAN PEMBAHASANDalam kehidupan sosial tiga kelompok
dengan kepentingan yang berbeda saling berinteraksi. Ketiga kelompok tersebut adalah pemerintah, swasta, dan masyarakat, seperti yang terlihat pada Gambar 1. Kelompok pertama pemerintah berperan penting dalam menjaga keteraturan masyarakat
Common Goods
Isu Iklim
Pemerintah
SwastaMasyarakat
Gambar 1. Tiga Kelompok dalam Kehidupan SosialSumber: Schoenmaker & Schramade (2019)
583 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 3, Desember 2020, Hlm 581-599
dalam suatu wilayah negara. Dalam bidang perekonomian pemerintah berperan menjaga iklim yang kondusif bagi terlaksananya kegiatan produksi dan konsumsi sehingga pertumbuhan ekonomi dapat terjaga. Beragam faktor dapat menyebabkan kegiatan produksi dan konsumsi terganggu seperti wabah Covid 19 yang saat ini terjadi.
Dengan kewenangan yang dimilikinya, pemerintah dapat mengeluarkan beragam kebijakan untuk meminimalkan dampak negatif dari beragam faktor yang berpotensi mengganggu proses produksi dan konsumsi. Selain itu, dengan kewenangannya pemerintah juga dapat mengarahkan kegiatan perekonomian menuju pada kondisi tertentu dengan beragam cara seperti memberikan insentif pajak guna merangsang kegiatan tertentu, dan mengenakan pajak guna mengurangi kegiatan tertentu. Misalnya, untuk melindungi usaha kecil dalam negeri pemerintah dapat mengenakan pajak impor guna mengurangi kegiatan impor dan mendorong konsumsi dengan menggunakan produk dalam negeri.
Walau pemerintah memiliki kewenangan untuk memungut pajak dari kedua kelompok lain (swasta dan masyarakat), tetapi pemungutan pajak tersebut bukanlah berorientasi laba melainkan berorientasi pada pelayanan umum. Selain berperan untuk menjaga keteraturan, pemerintah juga berperan untuk menyediakan sarana publik yang tidak dapat disediakan oleh swasta dan masyarakat seperti penyediaan jalan, jembatan, dan bendungan. Penyediaan pelayanan umum tersebut memerlukan pembiayaan dan pembiayaan tersebut diperoleh pemerintah melalui pajak yang dipungut dari sektor swasta dan masyarakat.
Kelompok kedua adalah swasta yang berperan memproduksi barang dan jasa yang akan dikonsumsi oleh pemerintah dan masyarakat. Dalam kegiatan produksi tersebut sektor swasta mengombinasikan bera gam sumber daya dalam proses produksi yang akan menghasilkan produk untuk dijual. Berbeda dengan sektor pemerintah yang fokus utamanya adalah pelayanan publik, sektor swasta fokus utamanya adalah perolehan laba melalui proses produksi yang dijalankansecaraefisien.Karenasektorswasta berorientasi laba, terdapat kecenderungan bahwa sektor ini akan memiliki fokus jangka pendek dengan mengeksploitasi sumber daya secara berlebihan guna memperbesar laba yang diperoleh. Dampak dari eksploita
si ini tidak hanya merugikan kelompok lain, tetapi juga merugikan ekosistem lingkungan.
Walau dalam model ekonomi kapitalisme, peranan pemerintah dalam kegiatan perekonomian dibatasi dan menyerahkan sepenuhnya perekonomian kepada sektor swasta, seringkali terjadi kegagalan sektor swasta untuk menjalankan kegiatan perekonomian secara sustainable dengan melakukan ekspolitasi secara berlebihan terhadap ekosistem lingkungan. Kegagalan tersebut dapat berujung pada beragam dampak negatif yang akan mengganggu proses produksi dan konsumsi seperti terjadinya kerusakan ekosistem lingkungan, kejahatan kerah putih, dan arah perekonomian yang tidak terencana. Guna mencegah terjadinya kegagalan akibat menyerahkan sepenuhnya kegiatan perekonomian kepada sektor swasta seperti dalam sistem kapitalisme, peran pemerintah tidak bisa diabaikan. Bahkan, dalam negara yang menganut prinsip kapitalisme peran pemerintah dalam perekonomian tetap diperlukan.
Kelompok ketiga adalah masyarakat yang berperan membentuk beragam komunitas guna melaksanakan kegiatan dengan tujuan memberikan manfaat kepada anggota komunitas secara khusus dan masyarakat secara umum. Salah satu bentuk komunitas yang ada dalam masyarakat adalah perkumpulan anggota masyarakat dengan kesamaan latar belakang pendidikan dan profesi. Anggota dalam perkumpulan tersebut saling berkolabolarasi untuk menyepakati aturan terkait profesi yang dijalankan sehingga tercapai standar dari pekerjaan profesi tersebut. Beberapa contoh perkumpulan yang bertujuan untuk membentuk standardisasi atas pekerjaan para anggotanya adalah profesi akuntan dengan organisasinya berupa Ikatan Akuntan Indonesia, dan profesi dokter dengan organisasinya berupa Ikatan Dokter Indonesia.
Ketiga kelompok di atas saling berinteraksi dalam kegiatan perekonomian. Masingmasing akan berusaha menjalankan perannya masingmasing guna memenuhi target: pemerintah akan menjaga keteraturan perekonomian dan pemenuhan pelayanan publik; swasta akan memporduksi barang dan jasa dengan efisien guna memperolehlaba; dan masyarakat akan membentuk komunitas yang akan memenuhi kebutuhan anggota komunitas dan masyarakat secara umum. Namun, ketiga pihak tersebut bisa
Mahardika, Meninjau Peran Akuntan dalam Menanggulangi Isu... 584
mengalami kegagalan dalam menjalankan fungsinya: pemerintah dapat bertindak korupsi yang menyebabkan pelayanan kepada publik tidak maksimal; swasta dapat bertindak untuk mencari keuntungan dalam jangka pendek yang menyebabkan skandal keuangan; dan masyarakat dapat bertindak diskriminasi terhadap kelompok tertentu yang menyebabkan kelompok tersebut tidak dapat berpartisipasi dalam suatu komunitas.
Kegagalan ketiga kelompok juga dapat terjadi saat mereka menangani masalah common goodsyangdidefiniskansebagaikebutuhan bersama yang sangat dibutuhkan ketiga kelompok dalam menjalankan fungsinya dalam kegiatan perekonomian. Kegagalan dalam penyediaan common goods akan menyebabkan terhentinya kegiatan perekonomian karena setiap kelompok tidak dapat menjalankan fungsinya masingmasing. Walau common goods tersebut sangat dibutuhkan, namun kegagalan dalam penyediaan common goods dapat terjadi saat ketiga pihak tidak ada yang merasa bertanggung jawab dalam memastikan ketersediaan dan keberlangsungan common goods.
Salah satu contoh common goods yang mutlak diperlukan bagi ketiga kelompok dalam menjalankan fungsinya adalah kestabilan iklim. Beragam kegiatan manusia sangat memerlukan kondisi kestabilan iklim. Bahkan, dua kebutuhan dasar yang mempengaruhi kelangsungan hidup manusia, yaitu kegiatan pertanian dan siklus air bersih, sangat memerlukan kondisi kestabilan iklim (Evangelinos, 2015; Kumarasiri & Gunasekarage, 2017). Tanpa adanya kegiatan pertanian dan siklus air bersih bukan hanya membuat ketiga kelompok tidak dapat menjalankan fungsinya masing ma sing, tetapi yang lebih mengkhawatirkan adalah punahnya umat manusia (Mulawarman, 2020).
Dengan sifatnya yang berlangsung secara perlahanlahan dan terjadi antargenerasi, dampak kerusakan perubahan iklim tidak dirasakan dengan nyata dalam satu generasi. Hal inilah yang membuat beragam pihak menyangkal akan terjadinya kerusakan ekosistem akibat perubahan iklim. Saat kerusakan telah terjadi dalam beberapa dekade ke depan maka sangat sulit dan bahkan mustahil untuk memperbaiki kerusakan dan mengembalikan kondisi ekosistem ke kondisi sebelum terjadinya ke
rusakan. Kondisi tersebut dapat dikatakan sebagai tragedi di masa depan.
Sebelum melihat beberapa dampak perubahan iklim terhadap kerusakan lingkungan dan perekonomian serta bagaimana akuntan dapat berkontribusi untuk menang ani masalah perubahan iklim, maka pembahasan berikutnya akan difokuskan pada penyebab terjadinya perubahan iklim. De ngan mengetahui penyebab tersebut diharap kan akuntan dengan peran tradisionalnya selama ini sebagai pencatat transaksi dan penerbit laporan keuangan dapat memperpesar perannya untuk berkontribusi terhadap usaha dalam mengurangi dampak negatif terjadinya perubahan iklim.
Penyebab utama perubahan iklim. Perubahan iklim yang saat ini sedang terjadi merupakan dampak dari akumulasi gas carbon dioxide (CO2) di lapisan atmosfer. Gas CO2 memiliki sifat untuk menyerap inframerah yang terkandung pada pancaran sinar matahari. Kemampuan gas CO2 dalam menyerap panas inframerah inilah yang menjadi penyebab utama kenaikan temperatur global (Domino et al., 2015; Kumarasiri & Gunasekarage, 2017). Dengan kondisi ini semakin tinggi akumulasi gas CO2 pada lapisan atmosfer berdampak pada semakin besar kemampuan dalam menyerap panas yang pada akhirnya akan berakibat pada kenaikan temperatur bumi. Kondisi ini disebut sebagai greenhouse effect, di mana panas dari inframerah yang diserap oleh CO2 terjebak antara bumi dengan lapisan atmosfer.
Penyebab terjadinya akumulasi CO2 pada lapisan atmosfer bisa disebabkan oleh proses alami dan proses nonalami. Proses alami yang menyebabkan pelepasan CO2 ke atmosfer misalnya meletusnya gunung berapi. Melalui proses chemical weathering CO2 yang berada di atmosfer akan terurai dan turun kembali ke permukaan bumi baik daratan maupun lautan. Siklus ini merupakan siklus karbon alami yang akan membuat pelepasan CO2 ke atmosfer akan turun ke bumi dan tidak terakumulasi pada lapisan atmosfer (Bui & Fowler, 2019; Domino et al., 2015).
Selain chemical weathering, siklus karbon alami juga terjadi dari proses pho-tosythesis tanaman yang memerlukan CO2 dan dari proses tersebut tanaman akan mengeluarkan oksigen ke atmosfer. Seluruh manusia dan hewan memerlukan oksigen dalam aktivitas pernafasan yang selanjut
585 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 3, Desember 2020, Hlm 581-599
nya akan mengeluarkan CO2. Proses pho-tosythesis akan menarik kembali CO2 dari hasil pernafasan manusia dan hewan dan memprosesnya menjadi oksigen. Proses ini terus berlanjut sehingga melalui proses pho-tosythesis kadar CO2 tidak terakumulasi dalam atmosfer.
Namun, proses chemical weathering dan photosythesis yang merupakan tulang punggung dari siklus karbon alami tidak dapat memproses pelepasan CO2 yang terlampau tinggi. Beragam aktivitas manusia menyebabkan pelepasan CO2 ke atmosfer sangat tinggi yang tidak mampu diproses melalui siklus karbon alami. Ketidakmampuan tersebut menyebabkan terakumulasinya CO2 pada lapisan atmosfer. Banyak aktivitas yang dilakukan oleh manusia telah menyebabkan terlepasnya CO2 dengan kadar tinggi ke atmosfer dan tidak dapat diproses melalui siklus karbon alami yang pada akhirnya berakibat pada kenaikan temperatur global. Bahkan, aktivitas manusia sejak 1950an hingga saat ini telah berkontribusi terhadap akumulasi CO2 dan mendorong terjadinya perubahan iklim (Sitorus, 2016; Werastuti, 2017).
Gaya hidup manusia yang melakukan eksploitasi alam secara berlebihan te lah berkontrobusi terhadap perubahan iklim (Csutora & Harangozo, 2016; Zhang et al., 2016). Eksploitasi tersebut tidak hanya mengonsumsi secara berlebihan, tetapi juga menggunakan cara yang murah dalam usaha untuk dapat mengonsumsinya. Misalnya, aktivitas perkebunan dilakukan dengan pembakaran hutan sebagai cara yang murah dibandingkan jika harus menggunakan alatalat berat untuk menebang pohon dan membersihkan lahan. Walau pembukaan hutan sendiri akan menghasilkan pelepasan CO2, cara pembukaan hutan dengan cara pembakaran akan memperparah situasi karena pelepasan kadar CO2 akan lebih tinggi dibanding jika dengan cara menggunakan alatalat berat.
Aktivitas manusia lainnya yang membuat pelepasan CO2 dalam jumlah besar adalah konsumsi bahan bakar fosil dalam semua aktivitas. Sejak revolusi industri abad ke19 sampai saat ini perekonomian masih sangat bergantung pada energi yang berasal dari bahan bakar fosil (minyak bumi, gas dan batubara). Pembangunan pembangkit listrik dengan tenaga yang bersumber dari bahan bakar fosil menyebabkan pelepasan karbon
dalam jumlah besar yang berlangsung dalam beberapa dekade. Setiap pembangunan pembangkit listrik akan berdampak pada meningkatnya akumulasi CO2 dalam beberapa dekade ke depan karena pembangkit listrik akan beroperasi dan memiliki umur ekonomis bukan dalam hitungan tahunan tetapi dalam hitungan dekade.
Beberapa dampak perubahan cuaca terhadap ekosistem lingkungan. Saat ini perubahan iklim sedang terjadi secara perlahanlahan dan kenaikan temperatur global telah mencapai 1° celcius di atas temperatur sebelum terjadinya revolusi industri. Kenaikan temperatur global sebesar 1° celcius telah berdampak negatif terhadap ekosistem lingkungan global yang dapat mempengaruhi eksostem lingkungan dan mempengaruhi beragam sisi kehidupan manusia seperti kegiatan pertanian (Quayle et al., 2020; Riduwan & Andayani, 2019). Tanpa adanya usaha global yang dimulai dari saat ini dikhawatirkan target kenaikan temperatur global yang telah disepakati dalam Perjanjian Paris sebesar 2° celcius akan terlampaui. Guna memberikan gambaran bagaimana dampak perubahan iklim terhadap ekosistem lingkungan maka akan diuraikan beberapa kerusakan yang dapat terjadi dalam beberapa dekade ke depan. Kerusakan tersebut berdampak pada kegiatan perekonomian, termasuk pada kelangsungan hidup perusahaan yang merupakan hal yang menjadi perhatian auditor saat memberikan pendapatanya terkait laporan keuangan.
Dampak pertama perubahan iklim adalah mencairnya lembaran es di kutub bumi. Diperkirakan kenaikan air laut sebesar dua meter berpotensi mengancam wilayah permukiman yang ditempati oleh sekitar 200 juta individu (Gibassier & Schaltegger, 2015). Sekitar 46% dari nilai aset global yang berada pada kawasan yang terletak pada ketinggian kurang dari 10 meter di atas permukaan laut akan terkena dampak dari kenaikan permukaan air laut (Rangkuti et al., 2019). Kenaikan air laut juga berdampak merusak kawasan pertanian dan menggagalkan panen karena meresapnya air laut ke kawasan pertanian. Kerusakan infrastruktur juga dapat terjadi akibat terjadinya kenaikan frekuensi banjir dari kenaikan air laut (Davies et al., 2014; Zakeri et al., 2015).
Dampak kedua adalah terjadinya cuaca ekstrem akan meningkat seiring dengan terjadinya perubahan iklim. Cuaca ekstrem
Mahardika, Meninjau Peran Akuntan dalam Menanggulangi Isu... 586
tersebut berupa gelombang hawa panas, curah hujan tinggi, angin kencang dan kekeringan yang berkepanjangan (Kasbun et al., 2019; Thomä et al., 2019). Peningkatan terjadinya cuaca ekstrem borpotensi mengganggu kegiatan pertanian yang sangat memerlukan kestabilan cuaca. Selain kegiatan pertanian, siklus air juga akan terganggu saat terjadi peningkatan cuaca ekstrem (Domino et al., 2015; Evangelinos et al., 2015). Gangguan pada kegiatan pertanian dan pada siklus air berpotensi mengancam kelangsungan hidup manusia karena hasil pertanian dan ketersediaan air bersih akan berkurang.
Dampak ketiga adalah berkurang atau hilangnya keragaman hayati, baik hewan maupun tumbuhan, di daratan dan di lautan. Hewan dan tumbuhan darat akan terpengaruh oleh kenaikan temperatur global, sedangkan hewan dan tumbuhan laut akan terpengaruh pada kenaikan kadar keasaman air laut (Vishnuputri et al., 2019). Hilangnya keragaman hayati akan mempengaruhi ketersediaan bahan makanan dan bahan obatobatan karena sekitar 40% dari perekonomian dunia bergantung pada keragaman hayati (Hayden, 2014; Linnenluecke, 2015).
Masih banyak kerusakan lain yang tidak disebutkan pada bagian ini. Ketiga kerusakan di atas bersifat sistemik, dalam arti akan memengaruhi beragam hal dalam kehidupan manusia. Selain itu ketiga kerusakan tersebut bersifat permanen, dalam arti akan sangat sulit atau bahkan mustahil untuk memperbaiki kerusakan dan mengembalikan kondisi sebelum terjadinya kerusakan.
Mengatasi kerusakan akibat perubahan iklim memerlukan kerja sama global karena isu perubahan iklim bukan merupakan isu lokal yang hanya mempengaruhi kawasan tertentu saja. Kesadaran akan perlunya kerja sama global untuk menangani isu perubahan iklim telah mendorong lebih 160 negara menandatangani Perjanjian Paris di
2015. Salah satu ketentuan dalam perjanjian tersebut adalah pembatasan kenaikan termperatur global sebesar 2° celcius di atas temperatur sebelum revolusi industri. Walau kesepakatan dalam Perjanjian Paris menyepakati kenaikan sebesar 2° celcius, setiap negara melakukan beragam upaya guna membatasi kenaikan temperatur sebesar 1,5° celcius. Walau tampaknya selisih sebesar 0,5° celcius sangat kecil, bagi ekosistem perbedaan 0,5° celcius memiliki dampak signifikanterhadapkondisiekosistem(Nartey,2018; Vishnuputri et al., 2019).
Dampak perubahan cuaca terhadap perekonomian dan penerapan carbon pricing, Perubahan iklim tidak hanya merusak ekosistem lingkungan, tetapi juga merusak tatanan ekonomi. Terdapat dua risiko yang mengancam perekonomian saat terjadi perubahaniklim,yaiturisikofisikdanrisikotransisi, seperti yang terlihat pada Gambar 2. Risikofisikdariperubahaniklimterkaiteratdengan rusaknya aset produksi, hancurnya infrastruktur, dan terjadinya kerusakan lain yang tidak diasuransikan (seperti kebakaran hutan dan musnahnya keragaman hewan dan tanaman). Sementara itu, risiko transisi terkait erat dengan penerapan strategi untuk mengurangi kadar emisi karbon yang tidak terencana dengan baik. Kedua risiko tersebut terkait erat dan saling berinteraksi (Haslam et al., 2014; Kumarasiri & Jubb, 2016).
Risiko fisik dipicu oleh peningkatancuaca ekstrem, seperti curah hujan tinggi, gelombang panas, dan angin kencang, yang berpotensi merusak beragam jenis aset dan infrastruktur. Kerusakan aset produksi dapat terjadi saat beragam mesin harus beroperasi di bawah kondisi cuaca ekstrem. Kondisi ini berpotensi mempersingkat masa manfaat mesin sehingga akan terjadi peningkatan beban depresiasi tahunan. Dalam menghadapi peningkatan beban depresiasi tersebut perusahaan dapat menanggung kenaikan beban tersebut, menaikkan har
Gambar 2. Risiko akibat Perubahan Iklim
Risiko Perekonomian Akibat Perubahan Iklim
Risiko fisik
Risiko transisi
587 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 3, Desember 2020, Hlm 581-599
ga jual barang dan jasa, atau kombinasi dari keduanya. Apapun pilihan yang akan diambil oleh produsen dalam menghadapi penurunan umur manfaat mesin, hal tersebut akan menambah beban dalam perekonomian karena masa manfaat mesin yang lebih singkat dan penurunan jumlah barang yang dapat dihasilkan dari mesin tersebut.
Pada neraca beberapa akun yang terpengaruh adalah aset tidak nampak dan aset nampak, persediaan, piutang, aset lain, kas, beban dibayar dimuka, ekuitas, akrual, dan kewajiban. Sementara itu, pada laporan laba rugi akun yang terpengaruh oleh dampak perubahan iklim adalah penjualan, beban energi yang merupakan bagian dari beban bahan, beban bahan, beban pegawai, beban penjualan, beban asuransi, pendapatan nonoperasi, beban depresiasi dan amortisasi, beban pelepasan, beban bunga, serta beban dan pendapatan luar biasa. Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa perubahan iklim akan berdampak pada laporan keuangan neraca dan laporan laba rugi. (Farouk & Jabeen, 2018; Wrana & Diez, 2018)
Risikofisikdariperubahaniklimakanterjadi jika kondisi saat ini tidak mengalami perubahan, dalam arti tidak ada tindakan yang diambil oleh sektor pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam mengatasi isu perubahan iklim. Pemerintah dengan kekuasaan dan wewenang yang dimilikinya berperan paling besar terhadap pencegahan kerusakanfisik.Salahsatucarayangdapatditerapkan pemerintah dalam mencegah terjadinya kerusakan fisik adalah dengan penerapan carbon pricing.
Secara singkat carbon pricing merupakan skema untuk mengenakan beban
tambahan kepada pihak yang menghasilkan emisi CO2 dari suatu aktivitas. Semakin besar emisi CO2 yang dihasilkan dari suatu aktivitas, maka semakin besar beban yang harus dibayar. Penerapan carbon pricing membuat emisi CO2 ke atmosfer bukan lagi merupakan sesuatu yang bersifat gratis, dalam arti emisi CO2 akan terkena konsekuensi berupa beban tambahan yang harus dibayar oleh pihak yang melakukan emisi. Penerapan carbon pricing juga bertujuan agar sektor swasta dan masyarakat terdorong untuk mengurangi kebergantungan pada bahan bakar fosil dan beralih ke bahan bakar terbarukan tanpa emisi karbon.
Carbon pricing dapat diterapkan dua metode yaitu carbon tax dan emmision trad-ing systems (ETS), seperti yang terlihat pada Gambar 3. Pada metode carbon tax, pemerintah menetapkan tarif pajak untuk setiap ton emisi CO2 yang berlaku bagi semua pihak yang mengonsumsi bahan bakar fosil. Semakin besar jumlah emisi yang dikeluarkan dari suatu kegiatan, maka semakin besar pajak yang harus dibayar kepada pemerintah. Dalam metode ini pada dasarnya tidak terdapat batasan emisi CO2 yang dapat dilakukan oleh suatu pihak. Dengan kata lain, selama pihak tersebut mampu membayar carbon tax maka selama itu pula ia dapat mengonsumsi bahan bakar fosil dan menghasilkan emisi CO2.
Carbon tax sebagai metode untuk menekan emisi CO2 akan gagal jika tarif yang dikenakan terlalu rendah karena tarif yang rendah tidak mendorong produsen dan konsumen untuk beralih ke sumber energi terbarukan. Untuk mendorong agar metode carbon tax dapat mendorong terjadinya
•Menetapkan pajak yang harus dibayar kepada pemerintah berdasarkan tingkat emisi CO2
•Pemerintah harus menetapkan besarnya tarif pajak untuk setiap metrik ton emisi CO2
•Pada dasarnya tidak ada batas emisi CO2 selama mampu membayar pajak karbon
Carbon Tax
•Menetapkan kuota kepada setiap entitas usaha terkait tingkat emisi CO2 dalam periode waktu tertentu
•Pemerintah harus menetapkan besarnya kuota emisi setiap entitas•Terdapat batas maksimum kuota nasional emisi CO2
ETS
Gambar 3. Metode Penerapan Carbon Pricing
Mahardika, Meninjau Peran Akuntan dalam Menanggulangi Isu... 588
penurunan emisi CO2 ke atmosfer, tarif pajak perlu diterapkan secara progresif. Artinya, semakin besar emisi CO2, maka semakin besar tarif pajak yang akan diterapkan dalam perhitungan jumlah pajak.
Metode kedua skema carbon pricing adalah emission trading systems (ETS) yang merupakan pemberian kuota dari pemerintah kepada setiap entitas usaha. Dalam metode ini setiap entitas diberi kuota untuk menghasilkan emisi CO2 tanpa dikenakan beban seperti pada metode carbon tax. Jika suatu entitas memerlukan tambahan kuota karbon, ia dapat membeli dari entitas lain yang masih memiliki kuota sehingga akan terjadi transaksi jual beli kuota CO2. Dari transaksi tersebut akan terbentuk harga pasar CO2. Peningkatan jumlah transaksi jual beli CO2 akan mendorong terbentuknya pasar karbon yang mempertemukan pihak yang memerlukan kuota dengan pihak yang memiliki kuota.
Penerapan ETS di negara anggota Uni Eropa jika diterapkan sesuai desain dan tujuan dapat membantu menurunkan tingkat emisi karbon. Penerapan ETS dapat terdistorsi jika terdapat kepentingan bisnis dan politik jangka pendek yang bertentangan dengan tujuan utamanya untuk menurunkan kadar karbon. Keberhasilan penerapan ETS sangat bergantung pada seluruh pelaku bisnis untuk berkomitmen memenuhi prinsip yang melekat pada ETS dan tidak dicampur dengan motivasi memperoleh laba yang berlebihan (Nartey, 2018; Zhang & Xu, 2015).
Penerapan carbon pricing merupakan cara yang dapat ditempuh oleh pemerintah guna mencapai target pembatasan kenaikan temperatur global yang telah disepakati pada Perjanjian Paris. Namun, di balik tujuan untuk memenuhi target dalam Perjanjian Paris, carbon pricing juga memiliki tujuan lain yaitu menginternalisasi isu perubahan iklim dalam laporan keuangan perusahaan dan dalam mencapai tujuan ini akuntan berperan besar dalam proses internalisasi isu perubahan iklim dalam laporan keuangan. Dengan penerapan carbon pricing setiap biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan terkait emisi CO2 akan diperhitungkan dalam laporan keuangan melalui akuntansi biaya. Namun, jika pemerintah tidak berencana mererapkan carbon pricing, yang dapat dilakukan oleh akuntan adalah mengungkapkan isu perubahan iklim dalam laporan keuangan dengan mempertimbangkan ketentuan PSAK terkait materialitas yang
dapat mempengaruhi kelangsungan hidup perusahaan.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya isu kestabilan iklim merupakan isu common goods yang dibutuhkan oleh semua pihak dalam menjalankan perannya dalam kehidupan bermasyarakat. Walau kestabilan iklim sangat diperlukan, yang sering terjadi adalah tidak ada pihak yang bertanggung jawab dalam memastikan kondisi kestabilan iklim. Ketiadaan pihak yang bertanggung jawab atas perubahan iklim menyebabkan isu ini menjadi eksternalitas baik dari sisi pemerintah, swasta, maupun masyarakat.
Penerapan carbon pricing akan memastikan bahwa pihak yang melakukan emisi CO2 harus bertanggung jawab atas emisi yang dihasilkannya. Semakin besar kadar emisi CO2 yang dilepas ke atmosfer, maka semakin besar beban yang harus dibayar. Dengan skema ini setiap pihak akan berusaha menghindari pembayaran beban tambahan dengan cara menghindari konsumsi bahan bakar fosil. Kondisi penghindaran penggunaan bahan bakar fosil inilah yang merupakan tujuan utama carbon pricing. Namun, penerapan carbon pricing bukanlah tanpa risiko karena penerapan carbon pricing tanpa persiapan akan menimbulkan risiko transisi, seperti yang akan dijelaskan dalam bagian berikutnya.
Perjanjian Paris dan peran akuntan. Penanganan isu perubahan iklim tidak dapat dilakukan oleh satu atau sekelompok negara tertentu karena penyebab terjadinya perubahan iklim adalah akumulasi dari perbuatan manusia (Freedman & Park, 2017; Linnenluecke & Smith, 2019). Diperlukan adanya kerja sama global antara sektor pemerintah, sektor swasta dan masyarakat guna menangani isu perubahan iklim. Kerja sama global tersebut telah tertuang dalam Perjanjian Paris yang merupakan kesepakatan oleh lebih dari 195 negara, termasuk Indonesia, guna mengatasi masalah perubahan iklim global. Perjanjian Paris didahului oleh setidaknya 20 kali Conference of Parties (COP). Pada COP ke 21, tercapai kesepakatan yang dinamakan Perjanjian Paris Target utama Perjanjian Paris adalah pembatasan kenaikan temperatur global di bawah 2° celcius, dengan target pencapaian kenaikan 1,5° celcius pada 2050.
Untuk mencapai target tersebut pemerintah dapat membatasi emisi karbon dalam proses produksi dengan menerapkan carbon pricing melalui instrumen carbon
589 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 3, Desember 2020, Hlm 581-599
tax atau ETS, seperti yang telah dijelaskan sebelum nya. Penerapan carbon pricing akan membuat kegiatan yang menghasilkan emisi kadar karbon tinggi akan terkena beban tambahan yang harus dibayar.
Walau penerapan carbon pricing dapat membantu menurunkan emisi karbon, penerapannya berpotensi dapat menghilangkan daya saing suatu produk dan berakibat penurunan produk domestik bruto (Khan, 2014; MateoMárquez et al., 2019). Indonesia sampai saat ini belum menerapkan mekanisme carbon pricing untuk mengontrol kadar emisi karbon. Ketiadaan penerapan carbon pricing akan membuat pencapaian komitmen berupa kenaikan temperatur global sebesar 1,5° celcius akan sulit tercapai dan memperbesar terjadinya risiko transisi.
Risiko transisi terkait erat dengan penerapan carbon pricing untuk mengalihkan perekonomian dari kebergantungan energi bahan bakar fosil kepada energi bahan bakar terbarukan dengan emisi karbon rendah atau bahkan nol (seperti angin dan sinar matahari). Risiko transisi sangat erat dengan waktu penerapan carbon pricing untuk mengalihkan kebergantungan energi. Walau carbon pricing berpotensi mendorong semua pihak untuk menghindari konsumsi bahan bakar fosil dan menggantinya dengan sumber energi lain, jika penerapan carbon pricing dilakukan tanpa perencanaan dan mendekat i masa tragedy of the horizon, maka hal ini akan memperbesar terjadinya risiko transisi.
Salah satu bentuk risiko transisi adalah terjadinya stranded assets. Secara se
derhana stranded assets merupakan aset yang tidak dapat dimanfaatkan karena aset tersebut mengalami penurunan nilai sehingga harga jual aset tersebut tidak dapat menutupi biaya pengolahan aset tersebut. Proses terjadinya straded assets terkait erat dengan penerapan carbon pricing seperti yang terlihat pada Gambar 4. Jenis aset yang akan berpotensi menjadi stranded aset adalah bahan bakar fosil. Potensi terjadinya penurunan nilai tersebut disebabkan setidaknya tiga hal, yaitu biaya produksi untuk memproses aset tersebut semakin mahal karena penerapan carbon pricing, teknologi ramah lingkungan yang dapat menggantikan bahan bakar fosil, dan kesaradaran masyarakat untuk menghindari konsumsi bahan bakar fosil.
Terjadinya stranded asset berawal dari penerapan carbon pricing yang didorong oleh keinginan untuk memenuhi target emisi kadar karbon sesuai kesepakatan dalam Perjanjian Paris, yaitu menjaga kenaikan temperatur global pada tingkat 1,5° celcius di atas temperatur sebelum terjadinya revolusi industri. Penerapan carbon pricing juga didorong oleh keinginan pemerintah yang mengarahkan agar perekonomian beralih dari kebergantungan dari energi bahan bakar fosil menuju energi yang terbarukan dengan kadar karbon rendah atau nol.
Saat carbon pricing diterapkan industri yang menghasilkan dan menggunakan bahan bakar fosil akan terpengaruh karena adanya beban tambahan. Beban tambahan tersebut membuat biaya pengolahan dan penggunaan bahan bakar fosil akan mening
Penerapan Carbon Pricing
•Dorongan untuk memenuhi target emisi kadar karbon untuk menjaga temperatur global pada tingkat 1,5° celcius.
•Dorongan agar industri beralih ke teknologi ramah lingkungan dengan emisi kadar karbon rendah.
Biaya Bahan Bakar Fosil
•Carbon pricing membuat biaya pengolahan bahan bakar fosil akan semakin tinggi
•Tingginya biaya pengolahan dapat dialihkan ke konsumen akhir dengan harga lebih tinggi.
Terjadinya Stranded
Assets
•Penerapan carbon pricing dapat membuat biaya eksplorasi, pengeboran dan penyulingan dapat menjadi tidak ekonomis.
•Aset berupa bahan bakar fosil tidak dapat dijual sehingga menjadi stranded assets.
Gambar 4. Proses Terjadinya Stranded Assets
Mahardika, Meninjau Peran Akuntan dalam Menanggulangi Isu... 590
kat. Bergantung pada kondisi elastisitas kurva permintaan atas suatu produk, kenaikan pada biaya atas pengolahan dan penggunaan bahan bakar fosil dapat dialihkan ke konsumen akhir dalam bentuk harga produk yang lebih tinggi. Namun, dengan adanya teknologi ramah lingkungan dan adanya ke sadaran konsumen akan bahaya penggunaan bahan bakar fosil akan membuat konsumen menolak kenaikan harga dan membuat konsumen beralih untuk menggunakan bahan bakar terbarukan yang lebih ramah lingkungan. Kondisi ini pada akhirnya akan membuat permintaan ba han bakar fosil menjadi berkurang dan harga pasar bahan bakar fosil akan turun.
Pada sisi produksi penerapan carbon pricing dapat membuat kenaikan biaya eksplorasi, pengeboran dan pengolahan bahan bakar fosil. Dengan kondisi harga pasar bahan bakar fosil turun, tetapi pada sisi produksi terjadi kenaikan biaya produksi, maka kondisi ini akan menekan laba perusahaan penghasil bahan bakar fosil. Pada kasus ekstrem penurunan harga pasar sangat membuat biaya produksi bahan bakar fosil lebih tinggi dari harga pasarnya yang berdampak pada tidak ekonomisnya bagi perusahaan untuk melakukan kegiatan eksplorasi, pengeboran, dan pengolahan bahan bakar fosil. Ketidakekonomisan tersebut pada akhir nya akan membuat cadangan aset perusahaan bahan bakar fosil berupa minyak, gas, dan batubara yang berada dalam bumi menjadi stranded assets.
Salah satu industri yang berisiko memiliki stranded assets akibat penerapan carbon pricing adalah industri energi tradisional yaitu minyak, gas bumi, dan batubara. Aset terbesar perusahaan energi tradisional adalah cadangan minyak, gas bumi, dan batubara yang tersimpan dalam perut bumi. Sebagai contoh PT. Pertamina, yang merupakan perusahaan minyak bumi, aset terbesarnya berupa minyak dan ladang minyak. Dalam kategori aset lancar nonkas, porsi persediaan minyak PT. Pertamina sekitar 45% dari total nilai aset lancar nonkas; dan dalam kategori aset tetap, porsi aset minyak sekitar 44% dari total nilai aset tetap. Besarnya aset PT. Pertamina berupa minyak akan mempengaruhi kelangsungan usaha karena nilai suatu aset yang menjadi strand-ed assets harus diturunkan. Kondisi ini juga berlaku pada industri yang sangat bergantung pada bahan bakar fosil sebagai sum
ber energi seperti industri pembangkit listrik yang menggunakan sumber energi dari bahan bakar fosil.
Terjadinya stranded assets juga dapat terjadi akibat adanya teknologi ramah lingkungan seperti mobil tenaga listrik, pembangkit listrik tenaga angin, dan matahari. Kehadiran teknologi tersebut jika sampai pada produksi massal akan membuat teknologi tersebut dapat dijangkau oleh beragam lapisan masyarakat yang akhirnya akan membuat permintaan bahan bakar fosil berkurang. Berkurangnya permintaan dari masyarakat akan membuat harga bahan bakar fosil turun sehingga produsen bahan bakar fosil akan berada pada situasi di mana biaya eksplorasi, pengeboran, dan pengolahan melebihi harga pasar dari bahan bakar fosil.
Terjadinya stranded assets saat penerap an carbon pricing dan kemunculan teknologi baru merupakan risiko yang tidak dapat dianggap immaterial karena risiko tersebut sangat erat dengan asumsi going concern. Misalnya dalam penelusuran laporan keuangan PT. Pertamina per 31 Desember 2018, tidak terdapat keterangan mengenai isu terkait perubahan iklim yang dapat menjadi risiko bagi kelangsungan usaha PT. Pertamina.
Tidak hanya industri bahan bakar fosil yang terancam kelangsungan usahanya, tetapi industri lain yang mendukung industri bahan bakar fosil juga terkena risiko dari perubahan iklim. Seperti industri pada lembaga keuangan yang memberikan pembiayaan (dalam bentuk kredit) dan memberikan perlindungan (dalam bentuk asuransi) kepada industri bahan bakar fosil. Dalam sektor keuangan upaya untuk menginternalisasi telah dilakukan agar risiko perubahan iklim tercermin dalam laporan keuangan. Misalnya, Network for Greening the Financial System telah menerbitkan beberapa contoh metode analisis risiko yang digunakan oleh lembaga keuangan dalam menguantifikasi risiko lingkungan.Kuantifikasi tersebut akan memungkinan lembaga keuangan menghitung dampak risiko lingkungan dalam laporan keuangan.
Tidak adanya informasi terkait perubahan iklim dalam laporan keuangan disebabkan isu perubahan iklim masih menjadi isu ekternalitas yang belum menjadi perhatian manajemen. Kondisi ini merupakan bentuk kegagalam sektor swasta yang tidak mem
591 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 3, Desember 2020, Hlm 581-599
pertimbangkan faktor common goods dalam kegiatan produksi. Kondisi ini juga merupakan bentuk kegagalan masyarakat profesi akuntan yang tergabung dalam IAI yang tidak mempertimbangkan informai mengenai perubahan iklim dalam laporan keuangan.
Salah satu pasal dalam Perjanjian Paris yaitu pasal bagian 2C berbunyi mewajibkan perusahaan untuk meningkatkan kegiatan yang dapat menurunkan emisi rumah kaca dan perubahan iklim. Untuk merealisasikan pasal bagian 2C tersebut pemerintah memerlukan dukungan dari sektor keuangan dan profesi akuntan. Dukungan dari sektor keuangan berupa penerbitan aturan oleh Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Misalnya, OJK pada pada 2017 mengeluarkan aturan mengenai penerapan keuangan berkelanjutan tidak hanya bagi lembaga keuangan, tetapi juga lembaga nonkeuangan yang sahamnya terdaftar pada bursa efek Indonesia. Walau tidak secara eksplisit mempersyaratkan mengenai pengungkapan isu perubahan iklim, aturan OJK tersebut salah satunya mempersyaratkan lembaga keuang an untuk meningkatkan investasi pada kegiatan berkelanjutan. Penerbitan atuaran lain yang memiliki tujuan yang selaras dengan Perjanjian Paris bagian 2C yang mempersyaratkan agar terjadi aliran dana ke sektor yang menghasilkan emisi gas rendah dan tahan terhadap risiko perubahan iklim.
Beberapa lembaga pengawas sektor keuangan di banyak negara telah memulai tahap internalisasi isu perubahan iklim dalam operasi lembaga keuangan. Seperti yang dilakukan oleh banyak bank sentral yang telah mendorong aliran dana lembaga keuangan dari sektor dengan kadar karbon tinggi menuju sektor dengan kadar karbon rendah. Cara yang dilakukan oleh bank sentral dalam menginternalisasi isu perubahan iklim salah satunya adalah dengan mene rapkan faktor penalti atas pendanaan kepada sektor energi tradisional dan menerapkan faktor keringanan atas pendanaan kepada sektor energi terbarukan. Faktor penalti dan faktor keringanan tersebut akan mempe ngaruhi permodalan lembaga keuang an: faktor penalti akan membuat lembaga keuangan harus memenuhi ketentuan pemenuhan modal yang besar, sedangkan faktor keringanan akan membuat pemenuhan ketentuan modal yang lebih rendah (Ascui, 2014; Bui & Fowler, 2019). Walau menuai banyak kontroversi, cara ini menunjukkan usaha internalisa
si isu perubahan iklim telah berjalan dalam sektor keuangan. Hal yang sama seharusnya juga terjadi dalam laporan keuangan, yaitu akuntan berusaha agar isu perubahan iklim dapat terinternalisasi dalam operasi perusahaan sehingga akan tercermin dalam laporan keuangan.
Setelah menjabarkan penyebab dan dampak dari perubahan iklim terhadap ekosistem lingkungan dan juga terhadap kegiatan ekonomi, pemahaman terkait isu perubahan iklim menjadi lebih baik sehingga profesi akuntan berada dalam posisi yang lebih baik dalam memikirkan peran dan tanggung jawab dalam membantu mengatasi masalah perubahan iklim dan membantu pemerintah mencapai target dalam Perjanjian Paris. Pembahasan berikut akan menjabarkan beberapa gagasan terkait bagaimana menginternalisasi isu perubahan iklim dalam laporan keuangan melalui penelusuran beberapa ketentuan PSAK yang relevan dan dapat mengakomodasi isu perubahan iklim.
Peluang akuntan dalam internalisasi isu perubahan iklim. Secara rutin beragam bentuk organisasi menerbitkan laporan keuangan sebagai bentuk laporan pertanggungjawaban dalam pengelolaan sumber daya kepada pihak yang berkepentingan. Tujuan penerbitan laporan keuangan sesuai Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 1 adalah untuk memberikan setiap informasi keuangan untuk semua pemangku kepentingan.
Salah satu kriteria yang digunakan oleh akuntan dalam menentukan apakah suatu informasi harus tercermin dalam lapor an keuangan adalah materialitas. Suatu informasi dikatakan memiliki materialitas jika pengabaian atas informasi tersebut dalam laporan keuangan akan membuat keputusan yang diambil akan berubah. Materialitas merupakan kriteria penting yang menjadi acuan oleh akuntan dan auditor untuk menentukan apakah suatu informasi harus dimasukkan dalam laporan keuangan sehingga pengguna laporan keuangan menyadari akan keberadaan informasi yang tidak dapat diabaikan.
Materialitas terkait erat dengan kelangsungan usaha, dalam arti jika suatu informasi memberikan indikasi terkait kelangsungan usaha suatu organisasi maka informasi tersebut dikategorikan materialitas dan harus diungkapkan dalam laporan keuangan. PSAK 1 memberikan pedoman rentang waktu yang menjadi pertimbangan
Mahardika, Meninjau Peran Akuntan dalam Menanggulangi Isu... 592
informasi masa depan terkait kelangsungan usaha yaitu paling sedikit dua belas bulan sejak berakhirnya periode laporan keuangan (Ikatan Akuntan Indonesia, 2017a). Dengan ketentuan paling sedikit dua belas bulan, maka PSAK 1 dapat mengakomodasi pengungkapan informasi material yang jangka waktu terjadinya melebihi dua belas bulan. Berdasarkan ketentuan dalam PSAK 1, lapor an keuangan dapat mengungkap kejadian material di masa depan yang terjadinya melebihi jangka waktu 12 bulan.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa perubahan iklim terjadi secara perlahanlahan dan dampak kerusakannya terjadi dalam rentang waktu antargenerasi. Dengan dampak kerusakannya yang sangat merusak ekosistem dan mengancam kelangsungan hidup manusia, terjadinya perubahan iklim tidak dapat diabaikan oleh akuntan dalam menyusun laporan keuangan karena informasi tersebut masuk dalam kategori informasi material. Kondisi material pada perubahan iklim juga terlihat pada kemungkinan terjadinya stranded assets pada
banyak industri yang bergantung pada bahan bakar fosil. Beragam perusahaan yang memproduksi bahan bakar fosil akan turun nilainya akibat penurunan nilai cadangan aset yang tersimpan dalam perut bumi.
Sebagai tambahan, sisi kewajiban perusahaan juga terpengaruh akibat potensi adanya tuntutan di masa depan oleh beragam organisasi masyarakat (seperti Green-peace) terkait kebijakannya di masa lalu yang membuat peningkatan kadar CO2 di atmosfer. Beragam pihak mulai dari individu, lembaga pengawas, perusahaan dan organisasi nonpemerintahan dapat mengajukan tuntutan kepada pihak yang menghasillkan emisi kadar karbon yang tinggi. Terjadinya stranded assets dan munculnya beragam tuntutan di masa depan dapat membuat kelangsungan usaha industri bahan bakar fosil berada dalam status diragukan.
Semua kondisi tersebut menjadikan perubahan iklim harus menjadi perhatian profesi akuntan untuk menginformasikan kepada pengguna laporan keuangan terkait risiko dari terjadinya perubahan iklim. Na
Tabel 1. Dampak Perubahan Iklim terhadap Beberapa PSAK
PSAK Dampak dari Perubahan IklimPSAK 16 Paragraf 31: “Setelah pengakuan sebagai aset, aset tetap yang nilai wajarnya dapat diukur
secara andal dicatat pada jumlah revaluasian…” (Ikatan Akuntan Indonesia, 2017b).Paragraf34:“…asettetapmengalamiperubahannilaiwajarsecarasignifikandanfluktuatif sehingga perlu direvaluasi secara tahunan…” (Ikatan Akuntan Indonesia, 2017b).
PSAK 48 Paragraf 9: “Pada setiap akhir periode pelaporan, entitas menilai apakah terdapat indikasi aset mengalami penurunan nilai...” (Ikatan Akuntan Indonesia, 2017c).Paragraf 12 b: “…dalam menilai apakah terdapat indikasi bahwa aset mungkin mengalami penurunannilai,entitasminimalmempertimbangkanperubahansignifikandalamhalteknologi, pasar, ekonomi, atau lingkup hukum tempat entitas beroperasi…yang berdampak merugikan terhadap entitas…dalam waktu dekat” (Ikatan Akuntan Indonesia, 2017c).
PSAK 55 Paragraf 43: “Pada saat pengakuan awal aset keuangan…entitas mengukurpada nilai wajarnya” (Ikatan Akuntan Indonesia, 2017d).Paragraf 46: “Setelah pengakuan awal, entitas mengukur aset keuangan…pada nilai wajarnya…” (Ikatan Akuntan Indonesia, 2017d).
PSAK 57 Paragraf 10:”Provisi adalah liabilitas yang waktu dan jumlahnya belum pasti”(Ikatan Akuntan Indonesia, 2017e).Paragraf 19: “Provisi diakui hanya untuk kewajiban yang timbul dari peristiwa masa lalu yang terpisah dari tindakan entitas di masa depan… Contoh kewajiban ini adalah denda atau biaya pemulihan pencemaran lingkungan, yang mengakibatkan arus keluar sumber daya….tanpa mempertimbangkan tindakan entitas di masa depan” (Ikatan Akuntan Indonesia, 2017e).
PSAK 68 Paragraf 62: “…tiga teknik penilaian yang digunakan secara luas adalah pendekatan pasar, pendekatan biaya dan pendekatan penghasilan” (Ikatan Akuntan Indonesia, 2017f).Paragraf Penjelas 9 mengenai pendekatan biaya: “…harga yang akan diterima dari aset tersebut didasarkan pada biaya bagi pelaku pasar…untuk memperoleh atau membangun aset pengganti dengan manfaat yang sebanding disesuikan dengan keusangan. Keusangan meliputi kerusakan fisik, keusangan fungsional (teknologi), dan keusangan ekonomik (eksternal)” (Ikatan Akuntan Indonesia, 2017f).
593 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 3, Desember 2020, Hlm 581-599
mun, kondisi yang terjadi sekarang adalah informasi terkait risiko perubahan iklim cenderung diabaikan oleh akuntan dengan tidak diperhitungkan dan dicantumkan dalam laporan keuangan.
Beberapa PSAK berpotensi terpengaruh dengan terjadinya perubahan iklim seperti yang terlihat pada Tabel 1 yaitu PSAK 16, PSAK 48, PSAK 55, PSAK 68, dan PSAK 57. Aset tetap akan terpengaruh oleh perubahan iklim karena aset tersebut beroperasi dalam cuaca ekstrem. Hal ini akan mempengaruhi masa manfaat aset yang semakin pendek dan berakibat tingginya beban depresiasi. Selain itu, aset yang beroperasi dalam cuaca ekstrem akan berpotensi menurunkan nilai wajar sehingga perlu dilakukan revaluasi guna menyelaraskan antara nilai buku dengan nilai wajarnya.
PSAK 48 mengakomodasi terjadinya penurunan aset akibat faktor eksternal dan internal. Dalam hal ini perubahan iklim dapat dikategorikan faktor eksternal yang dapat menurunkan nilai aset sehingga dampak perubahan iklim sangat relevan dengan PSAK 48. Selain itu, PSAK 55 juga relevan dengan isu perubahan iklim, khususnya bagi lembaga keuangan yang memiliki instrumen keuangan berupa piutang kredit dan obligasi. Terjadinya perubahan iklim dapat menurunkan kemampuan debitor dalam melunasi utang kredit kepada lembaga keuangan sehingga instrumen keuangan yang dimiliki lembaga keuangan akan menurun nilainya.
PSAK 68 juga akan terpengaruh isu perubahan iklim karena dalam pengukuran nilai wajar berdasarkan pendekatan biaya salah satu pertimbangannya adalah faktor keusangan. Salah satu hal yang dapat menyebabkan keusangan pada suatu aset adalah kerusakan fisik. Perubahan iklimberpotensi membuat kerusakan pada aset karena aset beroperasi dalam kondisi cuaca ekstrem. Dalam melakukan penilaian atas suatu aset perusahaan juga memerlukan adanya asumsi yang akan digunakan dalam menjalankan beberapa skenario. Jika nilai wajar suatu aset terpengaruh risiko perubahan iklim (termasuk risiko perubahan peraturan), maka perusahaan harus mengungkapkan bagaimana risiko tersebut akan mempengeruhi nilai wajar aset. Walaupun perusahaan tidak dapat memperkirakan dampak keuangan dari perubahan iklim dalam laporan keaungan, perusahaan harus
mempertimbangkan untuk mengungkapkan asumsi yang digunakan dalam menjalankan suatu skenario penentuan nilai wajar (Palea, 2018; Wegener & Labelle, 2017).
PSAK lain yang berpotensi terpengaruh akibat perubahan iklim adalah PSAK 57. Dalam standar ini diatur mengenai kewajiban yang berpotensi terjadi di masa depan akibat tindakan perusahaan di masa ini dan masa lalu. Terkait isu perubahan iklim, PSAK 57 relevan karena potensi terjadinya tuntutan hukum akibat tindakan perusahaan yang menghasilkan emisi dalam proses produksinya. Dengan peningkatan kesadaran hukum dan potensi kerusakan di masa depan, tuntutan hukum di masa depan akibat proses emisi yang terjadi di masa ini dan masa lalu tidak dapat dikesampingkan. Pada paragraf 19 provisi dapat diakui akibat peristiwa masa lalu yang tidak terkait dengan tindakan perusahaan di masa depan. Salah satu contoh yang diberikan terkait provisi yang dapat diakui adalah pengenaan denda atau biaya pemulihan akibat pencemaran lingkungan. Hal ini sangat relevan dengan kondisi perusahan iklim, di mana metode perusahaan dalam beroperasi yang menghasilkan emisi karbon dapat menjadi tuntutan hukum di masa depan berupa denda yang harus dibayar guna memperbaiki kondisi lingkungan.
Ketentuan ketiga PSAK pada Tabel 1 sangat relevan untuk proses internalisasi isu perubahan iklim dalam laporan keuangan. Nilai aset tetap berpotensi akan turun jika direvaluasi dengan nilai wajar dan penurunan nilai tersebut akan menurunkan laba bersih perusahaan. Berdasarkan ketentuan nilai wajar juga aset lain berupa aset tidak tampak seperti goodwill juga dapat turun nilainya akibat isu perubahan iklim. Ketentuan mengenai pengakuan provisi terkait potensi adanya biaya lingkungan di masa depan dalam laporan keuangan juga berdampak pada laporan keuangan perusahaan. Dengan kata lain, ketiga PSAK pada Tabel 1 merupakan jalan yang dapat ditempuh oleh akuntan untuk menginternalisasi isu perubahan iklim dalam laporan keuangan.
Pengukuran dampak perubahan iklim terhadap kelangsungan usaha perusahaan sulit diukur dan hingga saat ini belum ada mekanisme guna menginternaliasi isu perubahan iklim dalam laporan keuangan. Penelitian para akademisi akuntan juga belum difokuskan pada usaha untuk menginternalisasi isu perubahan iklim agar tercermin
Mahardika, Meninjau Peran Akuntan dalam Menanggulangi Isu... 594
dalam laporan keuangan (Cho et al., 2020; Shafer, 2015). Namun, kesulitan dalam pengukuran hendaknya tidak mencegah proses internalisasi isu perubahan iklim dalam lapor an keuangan karena perubahan lingkungan merupakan salah satu risiko yang sudah/akan dihadapi oleh perusahaan saat ini dan di masa depan. Seperti telah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa perubahan iklim mempengaruhi beragam hal dalam kegiatan ekonomi seperti perubahan umur aset menjadi lebih singkat, kerusakan infrastruktur dan hilangnya keragaman hayati di laut dan daratan. Risiko lain yang dapat terjadi adalah terjadinya stranded as-set akibat penerapan carbon pricing.
Pengukuran dampak operasi perusahaan terhadap lingkungan, terutama emisi CO2, mengharuskan perusahaan menerapkan Carbon Management System (CMS) guna mengatur tata kelola karbon, pengelolaan karbon, penelusuran emisi dan pengungkapan, dan pengungkapan (Tang & Luo, 2014; Werastuti, 2017). Artinya, guna meningkatkan usaha internalisasi isu perubahan iklim dalam laporan keuangan perusahaan dapat mendukungnya dengan menerapkan CMS.
Saat ini Indonesia tidak menerapkan carbon pricing atas kegiatan ekonomi yang menghasilkan emisi karbon. Namun, kondisi ini mungkin tidak berlangsung selamanya karena tekanan internasional dapat memaksa pemerintah untuk menerapkan carbon pricing guna mencapai target emisi karbon dalam Perjanjian Paris. Dengan melihat pengalaman negara lain yang telah menerapkan carbon pricing seperti kawasan Eropa dengan ETS, implementasi carbon pricing jika diaplikasikan dengan penuh pertimbang an dan tanpa ditunggangi untuk kepenting an jangka pendek dan kepentingan politik dapat secara signifikan mengurangi kadar emisikarbon (Nartey, 2018; Zhang & Xu, 2015). Berkebalikan dengan apa yang diyakini sebagian orang, penerapan carbon pricing tidak membuat industri atau sektor tertentu kehilangan tingkat kompetitif di tingkat global (Jamaludin et al., 2019).
Dengan adanya wabah virus Corona yang saat ini sedang terjadi secara global, sebagian perhatian akan teralihkan dari isu perubahan iklim (yang merupakan isu jangka panjang) kepada isu penanggulangan virus Corona (yang merupakan isu jangka pendek). Dengan kondisi ini terdapat kecenderungan peralihan sumber daya, baik
berupa perhatian maupun aliran dana, yang semula digunakan untuk mengatasi isu perubahan iklim akan beralih untuk mengatasi isu penanggulangan virus covid 19. Dukungan pemerintah guna mengatasi isu perubahan iklim dapat berkurang seiring berkurangnya sumber daya yang dimiliki pemerintah untuk mengatasi isu perubahan iklim. Dalam kaitannya dengan penerapan kebijakan carbon pricing, pemerintah kemungkinan tidak akan menerapkan kebijakan tersebut dalam jangka pendek atau menengah.
Mempertimbangkan kondisi pemerintah yang saat ini mencurahkan sumber dayanya guna mengatasi virus, maka tumpuan pada akuntan untuk berkontribusi terhadap pencapaian target dalam Perjanjian Paris semakin besar. Dengan alasan PSAK tidak secara eksplisit mempersyaratkan peng ungkapan terkait isu lingkungan, maka pengungkapan isu lingkungan hanya bersifat sukarela.
Namun, terdapat setidaknya dua isu terkait pengungkapan sukarela dalam laporan keuangan. Pertama, terkait manfaat pengungkapan yang bersifat sukarela, dan kedua terkait kualitas pengungkapan tersebut (Luo & Tang, 2014). Terkait isu pertama mengenai manfaat pengungkapan isu perubahan iklim, terdapat kecenderungan bahwa investor (yang terdiri dari pemegang saham dan debitor obligasi) tidak menggunakan pengaruhnya guna menekan perusahaan untuk mengungkapkan isu perubahan iklim. Dengan absennya peran investor untuk mempengaruhi perusahaan dalam pengungkapan isu perubahan iklim, maka masyarakat umum dan pemerintahlah yang menjadi faktor pendorong dalam mengungkapkan isu perubahan iklim dalam laporan keuangan. Terkait isu kedua mengenai kuali tas pengungkapan sukarela, terdapat kecenderungan perusahaan akan melakukan pengungkapan dengan tujuan membangun citra positif di tengah publik sehingga terdapat unsur untuk mempercantik laporan keuangan (Luo et al., 2012).
Masalah pada pengungkapan sukarela tersebut setidaknya dapat diatasi dengan adanya ketentuan OJK terkait penerapan keaungan berkelanjutan. Jika merujuk pada aturan OJK mengenai penerapan keuangan berkelanjutan, OJK telah mempersyaratkan adanya penerbitan laporan keberlanjutan yang terpisah dari laporan keuangan atau sebagai bagian yang tidak terpisah
595 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 3, Desember 2020, Hlm 581-599
dari lapor an keuangan. Salah satu hal yang dilaporkan dalam laporan berkelanjutan tersebut adalah kinerja dalam pengelolaan lingkungan hidup yang salah satu ketentuannya dapat menyangkut kinerja dalam pengelolaan emisi karbon.
Laporan keuangan, baik dari sisi bentuk maupun kandungannya, selama lebih dari 110 tahun tidak mengalami perubahan signifikan,walau terjadi perubahandrastisdari sisi kompleksitas operasi bisnis, sisi kemampuan dalam memproses informasi dan sisi pengetahun investor (Khojastehpour & Johns, 2014; Oliveira & Jabbour, 2017). Kondisi ini memerlukan perubahan drastis, dalam arti bentuk dan kandungan informasi dalam laporan keuangan harus dapat mengakomodasi tambahan informasi yang diperlukan oleh pengguna laporan keuangan dalam mengambil keputusan. Adanya kewajiban untuk menerbitkan laporan berkelanjutan oleh perusahaan publik dan lembaga keuangan, dan adanya kemungkinan beberapa PSAK untuk mengakomodasi risiko yang terkandung dalam isu perubahan iklim akan memberikan peluang bagi akuntan untuk mengungkapkan dampak perubahan iklim terhadap keberlangsungan usaha dalam laporan keuangan.
SIMPULANSalah satu informasi saat ini yang
masih belum terakomodasi dalam laporan keuangan adalah isu perubahan iklim. Perubahan iklim merupakan isu besar yang saat ini dihadapi oleh umat manusia. Dalam kegiatan perekonomian perubahan iklim akan berdampaksignifikanbagikeberlangsunganusaha perusahaan. Namun, kondisi yang saat ini terjadi adalah perubahan iklim masih menjadi eksternalitas yang belum dipertimbangkan oleh sektor pemerintah, swasta, dan masyarakat. Dengan kondisi eksternalitas tersebut, perubahan iklim belum sepenuhnya diantisipasi dan disadari oleh ketiga sektor.
Profesi akuntan dengan peran tradisional sebagai pencatat transaksi perusahaan dan penerbit laporan keuangan dapat berperan lebih besar terkait isu perubahan iklim. Peran tersebut menuntut profesi akuntan untuk menginternalisasi isu perubahan iklim dalam laporan keuangan sehingga pengguna laporan keuangan dapat mempertimbangkan isu perubahan iklim dalam keputusannya. Dengan adanya kesadaran bahwa isu perubahan iklim akan ber
dampak pada kelangsungan usaha industri energi bahan bakar fosil dan industri lain yang bergantung pada energi bahan bakar fosil, maka internalisasi isu perubahan iklim idealnya tidak hanya berupa pengungkapan dalam catatan atas laporan keuangan tetap i juga tercermin dalam akunakun laporan keuangan. Namun, sebagai langkah awal dalam menginternalisasi isu perubahan iklim, pengungkapan dalam catatan atas laporan keuangan dapat diterima. Dalam jangka panjang akuntan harus meningkatkan usahanya dalam proses internalisasi.
Sampai saat ini proses internalisasi isu perubahan iklim secara penuh, dalam arti tercermin dalam akunakun laporan keuangan, belum terjadi karena adanya kesulitan dalam mengukur potensi dari terjadinya perubahan iklim terhadap operasi perusahaan di masa depan. Penelitian berikutnya terkait peran akuntan dalam menginternalisasi isu perubahan iklim dalam laporan keuangan dapat difokuskan pada metode yang dapat digunakan oleh akuntan untuk menguantifikasi dampak kerusakan dari emisi CO2 dalam laporan keuangan sehingga dengan internalisasi tersebut tindakan melakukan emisi CO2 tidak lagi menjadi tindakan tanpa konsekuensi, atau yang disebut dengan eksternalitas, seperti yang saat ini terjadi.
DAFTAR RUJUKANAnindita, R., & Hamidah, H. (2020). Akun
tansi Lingkungan dalam Pitutur Luhur Kejawen. Jurnal Akuntansi Multipa-radigma, 11(2), 278296. https://doi.org/10.21776/ub.jamal.2020.11.2.17
Ascui, F. (2014). A Review of Carbon Accounting in the Social and Environmental Accounting Literature: What Can It Contribute to the Debate? Social and Environmental Accountability Journal, 34(1), 628. https://doi.org/10.1080/0969160X.2013.870487
Bui, B., & Fowler, C. J. (2019). Strategic Responses to Changing Climate Change Policies: The Role Played by Carbon Accounting. Australian Accounting Review, 29(2), 360375. https://doi.org/10.1111/auar.12213
Cho, C. H., Kim, A., Rodrigue, M., & Schneider, T. (2020). Towards a Better Understanding of Sustainability Accounting and Management Research and Teaching in North America: A Look at the Community. Sustainability Accounting, Management and Policy Journal, 11(6),
Mahardika, Meninjau Peran Akuntan dalam Menanggulangi Isu... 596
9851007. https://doi.org/10.1108/SAMPJ0820190311
Csutora, M., & Harangozo, G. (2017). Twenty Years of Carbon Accounting and Auditing A Review and Outlook. Society and Economy, 39(4), 459480. https://doi.org/10.1556/204.2017.39.4.1
Davies, J. B., Shi, X., & Whalley, J. (2014). The Possibilities for Global Inequality and Poverty Reduction Using Revenues from Global Carbon Pricing. Journal of Economic Inequality, 12(3), 363391. https://doi.org/10.1007/s1088801392592
Domino, M. A., Wingreen, S. C., & Blanton, J. E. (2015). Social Cognitive Theory: The Antecedents and Effects of Ethical Climate Fit on Organizational Attitudes of Corporate Accounting Professionals—A Reflection of Client Narcissism andFraud Attitude Risk. Journal of Busi-ness Ethics, 131(2), 453467. https://doi.org/10.1007/s105510142210z
Evangelinos, K., Nikolaou, I., & Leal Filho, W. (2015). The Effects of Climate Change Policy on the Business Community: A Corporate Environmental Accounting Perspective. Corporate Social Responsibility and Environmental Ma-nagement, 22(5), 257270. https://doi.org/10.1002/csr.1342
Farouk, S., & Jabeen, F. (2018). Ethical Climate, Corporate Social Responsibility and Organizational Performance: Evidence from the UAE Public Sector. Social Responsibility Journal, 14(4), 737752. https://doi.org/10.1108/SRJ0120170002
Freedman, M., & Park, J. (2017). SEC’s 2010 Release on Climate Change: Shifting from Voluntary to Mandatory Climate Change Disclosure. Social and Environ-mental Accountability Journal, 37(3), 203221. https://doi.org/10.1080/0969160X.2017.1379030
Gibassier, D., Michelon, G., & Cartel, M. (2020). The Future of Carbon Accounting Research: “We’ve Pissed Mother Nature Off, Big Time”. Sustainability Accounting, Management and Policy Journal, 11(3), 477485. https;//doi.org/10.1108/SAMPJ0220200028
Gibassier, D., & Schaltegger, S. (2015). Carbon Management Accounting and Reporting in Practice: A Case Study on Converging Emergent Approaches. Sustainability Accounting, Man-
agement and Policy Journal, 6(3), 340365. https://doi.org/10.1108/SAMPJ0220150014
Haslam, C., Butlin, J., Andersson, T., Malamatenios, J., & Lehman, G. (2014). Accounting for Carbon and Reframing Disclosure: A Business Model Approach. Accounting Forum, 38(3), 200211. https://doi.org/10.1016/j.accfor.2014.04.002
Hayden, F. G. (2014). Restructuring DoubleEntry Accounting for Climate Change Remediation by Monetary Authorities. Journal of Economic Is-sues, 48(2), 533540. https://doi.org/10.2753/JEI00213624480229
Hopper, T. (2019). Stop Accounting Myopia: – Think Globally: A Polemic. Journal of Accounting and Organizational Change, 15(1), 8799. https://doi.org/10.1108/JAOC1220170115
Ikatan Akuntan Indonesia. (2017a). PSAK No. 1 tentang Penyajian Laporan Keuang an. Ikatan Akuntan Indonesia.
Ikatan Akuntan Indonesia. (2017b). PSAK No. 16 tentang Aset Tetap. Ikatan Akuntan Indonesia.
Ikatan Akuntan Indonesia. (2017c). PSAK No. 48 tentang Penurunan Nilai Aset. Ikatan Akuntan Indonesia.
Ikatan Akuntan Indonesia. (2017d). PSAK No. 55 tentang Instrumen Keuangan. Ikatan Akuntan Indonesia.
Ikatan Akuntan Indonesia. (2017e). PSAK No. 55 tentang Provisi, Liabilitas Konti-jensi dan Aset Kontijensi. Ikatan Akuntan Indonesia.
Ikatan Akuntan Indonesia. (2017f). PSAK No. 68 tentang Nilai Wajar. Ikatan Akuntan Indonesia.
Jamaludin, N. F., Muis, Z. A., & Hashim, H. (2019). An Integrated Carbon Footprint Accounting and Sustainability Index for Palm Oil Mills. Journal of Cleaner Production, 225, 496509. https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2019.03.312
Kasbun, N. F., Ong, T. S., Muhamad, H., & Said, R. M. (2019). Conceptual Framework to Improve Carbon Performance via Carbon Strategies and Carbon Accounting. Journal of Environmental Management and Tourism, 10(8), 19181923. https://doi.org/10.14505/jemt.v10.8(40).21
Khan, T. (2014). Kalimantan’s Biodiversity: Developing Accounting Models to Prevent Its Economic Destruction. Ac-
597 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 3, Desember 2020, Hlm 581-599
counting, Auditing & Accountability Journal, 27(1), 150182. https://doi.org/10.1108/AAAJ0720131392
Khojastehpour, M., & Johns, R. (2014). The Effect of Environmental CSR Issues on Corporate/Brand Reputation and CorporateProfitability. European Business Review, 26(4), 330339. https://doi.org/10.1108/EBR0320140029
Kumarasiri, J., & Gunasekarage, A. (2017). Risk Regulation, Community Pressure and the Use of Management Accounting in Managing Climate Change Risk: Australian Evidence. British Account-ing Review, 49(1), 2538. https://doi.org/10.1016/j.bar.2016.10.009
Kumarasiri, J., & Jubb, C. (2016). Carbon Emission Risks and Management Accounting: Australian Evidence. Ac-counting Research Journal, 29(2), 137153. https://doi.org/10.1108/ARJ0320150040
Linnenluecke,M.K.,Birt,J.,&Griffiths,A.(2015). The Role of Accounting in Supporting Adaptation to Climate Change. Accounting and Finance, 55(3), 607625. https://doi.org/10.1111/acfi.12120
Linnenluecke, M. K., & Smith, T. (2019). A Primer on Global Environmental Change. Abacus, 55(4), 810824. https://doi.org/10.1111/abac.12175
Luo, L., Lan, Y., & Tang, Q. (2012). Corporate Incentives to Disclose Carbon Information : Evidence from the CDP Global 500 Report. Journal of International Finan-cial Management & Accounting, 23(2), 93–120. https://doi.org/10.1111/j.1467646X.2012.01055.x
Luo, L., & Tang, Q. (2014). Does Voluntary Carbon Disclosure Reflect Underlying Carbon Performance ? Jour-nal of Contemporary Accounting & Economics, 10(3), 191205. https://doi.org/10.1016/j.jcae.2014.08.003
MateoMárquez, A. J., GonzálezGonzález, J. M., & ZamoraRamírez, C. (2019). Countries’ Regulatory Context and Voluntary Carbon Disclosures. Sustainabil-ity Accounting, Management and Policy Journal, 11(2), 383408. https://doi.org/10.1108/SAMPJ1120180302
Mulawarman, A. D. (2020). Accounting, Agriculture, and War. Jurnal Akuntansi Mul-tiparadigma, 11(1), 122. https://doi.org/10.21776/ub.jamal.2020.11.1.01
Nartey, E. (2018). Determinants of Carbon Management Accounting Adoption in
Ghanaian Firms. Meditari Accountancy Research, 26(1), 88121. doi:10.1108/MEDAR0320170133
Nickell, E. B., & Roberts, R. W. (2014). The Public Interest Imperative in Corporate Sustainability Reporting Research. Ac-counting and the Public Interest, 14(1), 7986. https://doi.org/10.2308/apin51125
Oliveira, J. A. F. D., & Jabbour, C. J. C. (2017). Environmental Management, Climate Change, CSR, and Governance in Clusters of Small Firms in Developing Countries: Toward an Integrated Analytical Framework. Business and Society, 56(1), 130151. https://doi.org/10.1177/0007650315575470
Palea, V. (2018). Financial Reporting for Sustainable Development: Critical Insights into IFRS Implementation in the European Union. Accounting Forum, 42(3), 248260. https://doi.org/10.1016/j.accfor.2018.08.001
Patten, D. M., & Shin, H. (2019). Sustainability Accounting, Management and Policy Journal’s Contributions to Corporate Social Responsibility Disclosure Research: A Review and Assessment. Sus-tainability Accounting, Management and Policy Journal, 10(1), 2640. https://doi.org/10.1108/SAMPJ0120180017
Quayle, B., Sciulli, N., & WilsonEvered, E. (2020). Accountable to Who, to Whom, for What and How? Unpacking Accountability in Local Government Response to Climate Change. Austral-asian Accounting, Business and Finance Journal, 14(3), 5674. https://doi.org/10.14453/aabfj.v14i3.5
Rangkuti, H., Yuliantoro, H., & Yefni, Y. (2019). Lebih Penting Mana Sustainability Report atau Laba Bagi Perusahaan Perkebunan? Jurnal Akuntansi Multi-paradigma, 10(2), 365378. https://doi.org/10.18202/jamal.2019.08.10021
Riduwan, A., & Andayani. (2019). Prinsip “Jancukan” dalam Akuntansi dan Pelaporan Keuangan. Jurnal Akun-tansi Multiparadigma, 10(2), 379398. https://doi.org/10.18202/jamal.2019.08.10022
Schoenmaker, D., & Schramade, W. (2019). Principles of Sustainable Finance: Illus-trated Edition. Oxford University Press
Shafer, W. E. (2015). Ethical Climate, Social Responsibility, and Earnings Management. Journal of Business Ethics, 126(1),
Mahardika, Meninjau Peran Akuntan dalam Menanggulangi Isu... 598
4360. https://doi.org/10.1007/s1055101319893
Sitorus, J. H. E. (2016). Pancasilabased Social Responsibility Accounting. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 211, 700709. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2016.05.054
Thomä, J., Hayne, M., Hagedorn, N., Murray, C., & Grattage, R. (2019). The Alignment of Global Equity and Corporate Bonds Markets with the Paris Agreement: A New Accounting Framework. Journal of Applied Accounting Research, 20(4), 439457. https://doi.org/10.1108/JAAR0320180034
Vishnuputri, I. G. A. A. U., Sudana, I. P., Budiasih, I. G. A. N., & Ratnadi, N. D. R. (2019). Makna Penyusunan Travelife Sustainability Report. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 10(1), 115134. https://doi.org/10.18202/jamal.2019.04.10007
Wegener, M., & Labelle, R. (2017). Value Relevance of Environmental Provisions Pre and PostIFRS. Accounting Pers-pectives, 16(3), 139168. https://doi.org/10.1111/19113838.12143
Werasturi, D. (2017). Konsep Corporate Social Responsibility Berbasis Catur Pu
rusa Artha. Jurnal Akuntansi Multipar-adigma, 8(2), 319335. https://doi.org/10.18202/jamal.2017.08.7057
Wrana, J., & Diez, J. R. (2018). Multinational Enterprises or the Quality of Regional Institutions – What Drives the Diffusion ofGlobalCSRCertificates inaTransition Economy? Evidence from Vietnam. Journal of Cleaner Production, 186, 168179. https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2018.03.113
Zakeri, A., Dehghanian, F., Fahimnia, B., & Sarkis, J. (2015). Carbon Pricing versus Emissions Trading: A Supply Chain Planning Perspective. International Journal of Production Economics, 164, 197205. https://doi.org/10.1016/j.ijpe.2014.11.012
Zhang, J., & Xu, L. (2015). Embodied Carbon Budget Accounting System for Calculating Carbon Footprint of Large Hydropower Project. Journal of Cleaner Production, 96, 444451. https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2013.10.060
Zhang, Y., Li, J., & Liu, G. (2016). Accounting for Urban Carbon Dioxide: A Review. Journal of Environmental Accounting and Management, 4(3), 339351. https://doi.org/10.5890/JEAM.2016.09.007
599 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 3, Desember 2020, Hlm 581-599