Post on 21-Aug-2021
MAKNA SIMBOL-SIMBOL DALAM AGAMA HINDU
(Studi Terhadap Simbol-simbol di Pura Merta Sari Rengas
Tangerang Selatan)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Intan Pertiwi
NIM: 11150321000033
PROGRAM STUDI STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H / 2020 M
v
ABSTRAK
Intan Pertiwi
Judul Skripsi: MAKNA SIMBOL-SIMBOL DALAM AGAMA HINDU (Studi
Terhadap Simbol-simbol di Pura Merta Sari Rengas Tangerang Selatan)
Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan secara lebih detail mengenai
simbol dalam agama Hindu di bangunan Pura Merta Sari Rengas, Rempoa Tangerang
Selatan. Juga untuk mengetahui bagaimana proses pensakralisasian simbol-simbol
yang di gunakan dalam peribadatannya.
Untuk menjelaskan masalah di atas penulis menggunakan jenis penelitian
kualitatif. Dalam hal ini, penulis terlibat secara langsung dalam pemerolehan data
dengan cara observasi, dokumentasi, dan wawancara dengan informan di Pura Merta
Sari Rengas Rempoa yang dilakukan menggunakan phone recorder. Selain itu
penelitian ini menggunakan jenis data pustaka seperti, buku, skripsi, jurnal, media
internet, dan sebagainya yang menunjang penelitian. Untuk memahami penelitian ini
menggunakan pendekatan Antropologi, mengkaji tentang makna simbol kebudayaan-
kebudayaan produk manusia yang berhubungan dengan agama atau keyakinan umat
Hindu di Pura Merta Sari Rengas dengan mengunakan teori Clifford Geertz.
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan makna simbol sarana berupa alat dan
bentuk-bentuk bangunan serta makna ornamen-ornamen yang ada di pura tersebut.
Agar kebenarannya menjadi mutlak, kemudian untuk menghindari berkurangnya
atau berlebih-lebihnya suatu makna.
Hasil dari penelitian ini penulis mendapatkan beberapa simbol dalam bentuk
sarana dan bangunan yang mempunyai makna tersendiri dalam agama Hindu. Secara
umum simbol sarana dan bangunan tersebut memiliki makna sebagai bentuk wujud
Kemaha Kuasaan Tuhan. Juga berfungsi sebagai pusat, titik fokus atau perantara dan
meningkatkan Sradha Bhakti dengan begitu umat Hindu akan merasa sangat dekat
dengan sang pencipta. Simbol-simbol itu dikatakan suci karena telah melalui proses
pensakralan atau dinamakan dengan prayascita (upacara Malaspas). Melalui simbol-
simbol tersebut manusia dapat membangkitkan imajinasi mereka dengan
mengekspresikan diri, termasuk di dalam mengekspresikan aspek kehidupan
beragama menggunakan simbol yang telah disepakati secara sosial. Umat Hindu di
Pura Merta Sari Rengas Rempoa, mereka banyak sekali menggunakan simbol-simbol
dalam aspek kehidupan beragamanya. Simbol–simbol berupa bangunan dan sarana
atau alat untuk beribadah, seperti simbol patung, tirtha (air), dupa (api), Simbol Bija,
Bunga (Puspa), Kain Hitam Putih (Saput Poleng), Senteng (Ikat Pinggang) atau di
sebut dengan simbol sarana. Kemudian simbol bangunan atau arsitektur Pura Merta
Sari Rengas Rempoa dibagi menjadi tiga halaman yang di dalamnya terdapat
bangunan peribadatan. Yaitu Nista Mandala (Bagian Luar Pura) pada bagian ini
terdapat; Candi Bentar dan Bale Banjar, Madya Mandala (Bagian Tengah Pura) di
dalamnya ada Bale wantilan, Bagian terakhir Utama Mandala (Bagian Terdalam dan
suci/sakral) terdiri dari Kori Agung, Bale Pawedan, Bale Pepelik, Padmasana.
Kata kunci: Simbol, Pura Merta Sari, Rengas Tangerang Selatan
vi
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Alhamdulillahirabbil ‘alamiin, segala puji dan syukur penulis panjatkan
kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Skripsi yang berjudul “MAKNA SIMBOL-SIMBOL DALAM AGAMA
HINDU (Studi Terhadap Simbol-simbol Di Pura Merta Sari Rengas Tangerang
Selatan)” disusun guna memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Strata Satu
(S1), Jurusan Studi Agama-Agama, Fakultas Ushuluddin, Uin Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Dalam penulisan skripsi ini penulis menyadari bahwa skripsi yang jauh dari
sempurna ini tidak dapat selesai tanpa adanya dukungan dan banyak pihak baik
secara lansung dan tidak lansung. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis
mengucapkan banyak terimakasih kepada pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian skripsi ini, khususnya kepada:
1. Kedua Orang tua tercinta yang selalu memberikan kasih sayang, do’a,
nasihat, motivasi, saran, dukungan dan dorongan moril maupun materil.
Semoga penulis dapat membalas pejuangan orang tua (Syahabuddin dan
Hasnah), kepada kakak Siti Hawa beserta suami Muhdar, kepada Abangda
Irfansyah beserta istri Dwi Wulandari, kepada kakak Wiwin Lidiarsih beserta
suami Sapraji, kepada Abangda Syaifullah beserta istri Marnah, kepada kakak
Rosidawati beserta suami Damhuji.
vii
2. Dr. Yusuf Rahman, MA, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Syaiful Azmi, MA, selaku dosen pembimbing sekaligus Ketua
Program Studi Agama-Agama yang selalu meluangkan waktu untuk
memberikan arahan dan bimbingan serta motivasi sehingga membuka
cakrawala berpikir dan nuansa ilmu yang baru.
4. Seluruh dosen FU dan Studi Agama-Agama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang tidak dapat disebut satu persatu tanpa mengurangi rasa hormat atas ilmu
dan pelajaran dalam perkuliahan atau di luar perkuliahan.
5. Seluruh jajaran pimpinan dan staff Fakultas Ushuluddin atas bantuan dalam
persiapan pelaksanaan seminar proposal dan ujian komprehensif.
6. Bapak Wayan Pinda Asmara, Bapak I Gede Sidarta, Bapak Made Soraja
Yudhantara, Bapak Komang Artana, Bapak Nyoman Rusta dan Ni Putu
Kayia Anandani yang telah berkenan memberikan izin penulis sekaligus
menjadi narasumber untuk melengkapi isi skripsi.
7. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada KH. Syamsul Ismail, Lc selaku
pimpinan pondok pesantren Himmatul Ummah Sapugara Bree Sumbawa
Barat yang telah memberikan nasihat, do’a, serta dorongan kuat hingga
penulis bisa kuliah dan menyelesaikan skripsi ini.
8. Kepada keluarga besar Alumni Pondok Pesantren Himmatul Ummah Jakarta:
kak Mansyur, S. Ag, kak Rahman Jamil, S.Ag, kak Agus Barani, S. Ag, kak
Syamsul, S,Ag, Kakak Wawansyah S, Ag, kak Iqbal, S, Pd, kak Syarafuddin
S, Pd, Gita Safitri Ilusi, Akbar Sorasa, Halim Juniarsyah dan Irfan Saputra,
viii
Yudia Adha Sholatiah, Lina Nur Fajriani, Fatria ningsih terima kasih sudah
bersedia mendengarkan keluh kesah dan selalu memberikan semangat kepada
penulis hingga skripsi selesai.
9. Keluarga besar PPM SB (Persatuan Pemuda Mahasiswa Sumbawa Barat)-
JABODETABEK: Ketum Sukiman Jayanto, Bang Roy mahendra, bang Roni,
Kak Merliza Jawas, kak Mutya, kak Asma, kak Ervy, Nofri, Putri, Risa,
Khusnul dll yang tidak bisa disebutkan namanya tidak mengurangi rasa
hormat penulis yang selalu memberikan semangat moril dalam bingkai
kekeluargaan.
10. Sahabat penulis Durotun Nafi’ah, Seftia Rahmawati, Siti Subadriah,
Animatun Fatimah, Riza Adiputra, Niswatun Nafisah dan kak Muhammad
Sairi S. Ag yang selalu ada untuk mendengarkan keluh kesah penulis dan
memberikan semangat.
11. Seluruh teman-teman Studi Agama-Agama amgkatan 2015 terima kasih
kalian sudah memberikan warna kehidupan di Fakultas Ushuluddin.
12. Kepada teman-teman KKN Samudra 117: Hasanah, Umu, Lila, Husna, Kiki,
Nadia, Nisa, Nada, El, Cho, Niza, Sulton, Rozaq, Putra, Adieb yang telah
memberikan doa dan semngat. Semoga kalian diberikan kelancaran dalam
menyelesaikan urusan dan diberikan kesehatan.
13. Keluarga Besar Guru Rumah Tahfiz Alfitrah: Pak Ir. H. Iskandar selaku ketua
yayasan, Bu Devi, M, Pd, Ustadz Rudini, S. Ag, kak Nizar, Kak Ambar, Kak
Aul.
14. Semua pihak yang telah membantu yang belum disebutkan tanpa mengurangi
ix
rasa hormat, Terimakasih.
Sebagai manusia biasa yang tidak pernah luput dari kekurangan dan
keterbatasan, penulis menyadari bahwa penelitian ini mungkin masih banyak
kekurangannya. Oleh sebab itu, penulis menerima kritik dan saran yang bersifat
membangun untuk menyempurnakan penelitian ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan. Penulis mengharapkan penelitian ini bermanfaat bagi semua pihak
dan dapat memenuhi apa yang diharapkan oleh semua pihak. Semoga Allah SWT
memberikan keberkahan kepada kita semua. Amiin Ya Rabbal ‘Alamin.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Jakarta, 21 Januari 2020
Intan Pertiwi
x
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL ...................................................................................................... i
LEMBAR PERNYATAAN ....................................................................................... ii
LEMBAR PERSETUJUAN ..................................................................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN ...................................................................................... iv
ABSTRAK .................................................................................................................. v
KATA PENGANTAR ............................................................................................... vi
DAFTAR ISI ............................................................................................................... x
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................................. 1
B. Batasan Masalah ............................................................................................... 8
C. Rumusan Masalah ............................................................................................ 8
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................................ 8
E. Tinjauan Pustaka .............................................................................................. 9
F. Metodelogi Penelitian .................................................................................... 11
G. Sistematika Penulisan ..................................................................................... 15
BAB II PROFIL DAN KEGIATAN PURA MERTA SARI RENGAS
A. Profil Pura Merta Sari Rengas........................................................................ 16
B. Struktur Bangunan dan Organisasi Pura Merta Sari Rengas ......................... 19
C. Kegiatan Di Pura Merta Sari Rengas ............................................................. 22
BAB III BENTUK, SIFAT, DAN FUNGSI SIMBOL-SIMBOL KEAGAMAAN
A. Pengertian Simbol Keagamaan ...................................................................... 29
B. Bentuk dan Sakralisasi Simbol....................................................................... 42
C. Sifar-sifat Simbol .......................................................................................... 48
D. Fungsi Simbol ............................................................................................... 49
BAB IV MAKNA DAN FUNGSI SIMBOL-SIMBOL KEAGAMAAN PURA
MERTA SARI RENGAS
A. Simbol Sarana Persembahyangan Pura Merta Sari Rengas ........................... 52
1. Simbol Patung ........................................................................................... 53
2. Air (Tirtha) ................................................................................................ 55
3. Api (Dupa) ................................................................................................. 57
4. Simbol Bija ................................................................................................ 60
5. Bunga (Puspa) ........................................................................................... 62
6. Kain Hitam Putih (Saput Poleng) .............................................................. 66
7. Senteng (Ikat Pinggang) ............................................................................ 67
xi
B. Simbol-simbol Bangunan Keagamaan Pura Merta Sari Rengas .................... 69
1. Nista Mandala (Bagian Luar Pura)
a. Candi Bentar ....................................................................................... 70
b. Bale Banjar ......................................................................................... 74
2. Madya Mandala (Bagian Tengah Pura)
Bale wantilan ..................................................................................... 75
3. Utama Mandala (Bagian Terdalam dan suci/sakral)
a. Kori Agung ......................................................................................... 76
b. Bale Pawedan ..................................................................................... 78
c. Bale Pepelik ........................................................................................ 78
d. Padmasana .......................................................................................... 79
C. Pemaknaan Simbol Dalam Kehidupan Beragama Umat Hindu Pura Merta Sari
Rengas ............................................................................................................ 84
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................................... 87
B. Saran ............................................................................................................... 88
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 89
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Agama Hindu merupakan agama yang sangat kaya dengan berbagai
simbol, dimana simbol-simbol itu terlihat sangat indah dan menarik hati setiap
orang yang melihatnya. Bagi umat Hindu simbol-simbol tersebut dapat
menggetarkan hati dengan begitu mereka berusaha untuk memahami makna yang
terkandung di balik simbol-simbol. Simbol-simbol tersebut merupakan media bagi
umat Hindu untuk mendekatkan diri dengan Sang Pencipta, mengadakan dialog
dengan Yang Maha Kuasa dan memohon perlindungan dan wara nugraha-Nya.1
Setiap simbol mempunyai makna tertentu dan dengan pemahaman
terhadap makna tersebut, umat Hindu mengembangkan apresiasi terhadap simbol-
simbol tersebut, yang pada akhirnya dapat meningkatkan sraddha dan bhakti
umat dan akhirnya menuntun tingkah lakunya dalam kehidupan ini. Berbagai
simbol tersebut merupakan sarana untuk mendekatkan umat manusia dengan sang
pencipta, menjadikan umat senantiasa akrab dengan yang dipuja,
mempersembahkan bhakti dan kesucian hatinya. Dengan simbol- simbol tersebut
umat Hindu juga dapat meningkatkan kualitas pemahamannya terhadap ajaran
agama Hindu yang dipeluknya.2
Sebuah benda akan menjadi simbol yang amat suci, bila umat memujanya-
Nya dengan sraddha dan bhakti yang tulus. Benda yang dijadikan simbol suci
1I Made Titib, Teologi & Simbol-simbol dalam Agama Hindu (Surabaya: Paramita, 2009),
h. 1. 2I Made Titib, Teologi & Simbol-simbol dalam Agama Hindu, h. 1-2.
2
tersebut akan mengandung daya spiritual yang tinggi, ibarat sebuah besi yang di
dekatkan dengan magnet. Semakin lama di dekatkan sebuah besi dengan magnet,
maka lama kelamaan besi tersebut juga akan mengandung magnet. Di sinilah
sebuah simbol tertentu akan hidup dan disembah dengan mantap oleh pemujanya.3
Berdasarkan uraian di atas, maka simbol-simbol dalam agama Hindu akan
berfungsi bila telah melalui upacara penyucian (sakralisasi) kalau di Bali disebut
Mlaspas atau Pamlaspas, yang maknanya sama di India disebut “abhiseka”.
Dengan upacara tersebut maka sebuah simbol tidak lagi merupakan benda mati,
namun sesuatu yang hidup sesuai fungsinya masing-masing. Bila sebuah simbol
belum diupacarakan atau disucikan sesuai dengan ajaran agama Hindu, maka
simbol tersebut belum dapat difungsikan. 4
Masing-masing agama mempunyai simbol- simbol tertentu. Agama Hindu
berada pada tingkat wujud nyata yaitu mengakui adanya manfaat fungsi duniawi
mewakili kenyataan atau kebenaran diungkapkan kedalam bentuk simbol.
Meskipun semua kebendaan dijadikan simbol atau perantara yang diperlukan
sebagai sarana untuk mencapai tujuan kehidupan spiritual. Walaupun demikian,
kebenaran itu berlaku sepanjang zaman, tetapi karakter agama Hindu itu memilih
disiplin dengan cara memuja yang dirasakan cocok baginya.5
Dalam agama Hindu juga terdapat bentuk simbol-simbol keagamaan yang
bermanfaat sebagai media untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Simbol tersebut sebagai lambang keagamaan yang merupakan yang kudus atau
3I Made Titib, Teologi & Simbol-simbol dalam Agama Hindu, h. 73-74. 4I Made Titib, Teologi & Simbol-simbol dalam Agama Hindu, h. 75-76. 5Ida Bagus Matra, Tata Susila Hindu Dharma (Denpasar: Upada Sastra, 2002), h.18.
3
yang suci, juga sebagai bentuk ungkapan keagamaan dan rasa cinta seseorang
yang ingin memnggambarkan Tuhan dalam imajinasinya.6
Simbol dalam bahasa Inggris (Symbol) artinya lambang.7 Lambang dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) artinya sesuatu seperti tanda (lukisan,
lencana dan sebagainya) yang menyatakan sesuatu hal atau mengandung maksud
tertentu.8
Dalam ritual keagamaan terdapat simbol-simbol yang digunakan dalam
ritus itu. Banyak benda-benda, tindakan panganut suatu agama yang mengandung
simbol serta makna yang ada dalam simbol tersebut.9 Simbol secara etimologi
adalah tanda yang digunakan untuk kepentingan ritual tertentu. 10 Sedangkan
simbol secara terminologi adalah sesuatu yang sudah dianggap atas dasar
kesepakatan bersama, sebagai sesuatu yang memberikan sifat alamiah (mewakili)
atau mengingatkan kembali dengan memiliki atau mengintegralkan kembali
dengan memiliki kualitas yang sama atau dengan membayangkan dalam
kenyataan dalam hati dan pikiran.11
Simbol merupakan sesuatu elemen komunikasi yang dimaksudkan untuk
sekedar mewakili objek, kelompok atau ide, tindakan secara rasional,12 dan tidak
memiliki hubungan yang alamiah antara yang menyimbolkan dan yang
6Wawancara dengan I Gede Sidarta selaku Ketua Banjar Pura Merta Sari pada tanggal 23
Juni 2019 pukul 11.32. 7 John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia ( Jakarta: Gramedia,
1996, Cet. Ke-23, h. 575. 8Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:
Balai Pustaka, 1995), Cet Ke-4, h. 557. 9Adeng Muchtar Ghazali, Antropologi Agama (Bandung: Alfabeta, 2011), h. 63. 10Indrawan. WS, Kamus Ilmiah Populer ( Surabaya: Cipta Media, 1999), h. 259. 11H.A Rivay Sirregar, Tasawuf: dari Sufisme Klasik Ke Neo Sufisme (Jakarta: Grafindo
Persada, 1979), h. 13. 12 Makna Simbol, artikel diakses tanggal 21 Agustus 2019 dari
http://www.britannica.com/topic/religious-symbolism
4
disimbolkan. Implikasinya berarti baik yang batiniah (perasaan, pikiran, atau ide)
maupun yang lahiriah (benda dan tindakan) dapat diwakili dengan simbol.13
The Liang Gie juga berpendapat bahwa simbol adalah sesuatu hal atau
keadaan yang merupakan media pemahaman terhadap obyek. Di dalam simbol
tersebut implisit tentang “isyarat” yang berarti suatu hal atau keadaan yang
diberitahukan subyek kepada obyek. Sedangkan “tanda” suatu hal atau
keadaanyang menerangkan obyek kepada subyek, terakhir “simbol” atau
“lambang” suatu hal atau keadaan yang memimpin pemahaman subyek keda
obyek.14
Menurut Alfred North Whitehead dalam bukunya Symbolism yang dikutip
Dilliston, dijelaskan bahwa pikiran manusia berfungsi secara simbolis apabila
beberapa komponen pengalamannya menggugah kesadaran, kepercayaan,
perasaan dan gambaran mengenai komponen-komponen lain pengalamannya.
Perangkat komponen yang terdahulu adalah ”simbol” danperangkat komponen
yang kemudian membentuk ”makna” simbol. Keberfungsian organis yang
menyebabkan adanya peralihan dari simbol kepada makna itu akan
disebut ”referensi”. Simbol sesungguhnya mengambil bagian dalam realitas yang
membuatnya dapat dimengerti, nilainya yang tinggi terletak dalam suatu substansi
bersama dengan ide yang disajikan. Simbol sedikit banyak menghubungkan dua
entitas. Setiap simbol mempunyai sifat mengacu kepada apa yang tertinggi dan
13Ni Kadek Intan Rahayu, Makna Simbolik Umat Hindu Dalam Persembahyangan Bulan
Purnama Di Kecamatan Basidondo Kabupaten Tolitoli, (Jurnal Bahasa dan Sastra Vol. 5 No. 1,
2020), h. 147. 14Budiono Herusatoto, Simbolisme dalam Budaya Jawa (Yogyakarta : PT. Hanindita
Graha Widya, 2001), h. 10.
5
ideal. Simbol yang efektif adalah simbol yang memberi terang, daya kekuatannya
bersifat emotif dan merangsang orang untuk bertindak.15
Dalam fakta sejarah pemikiran istilah simbol terlebih menyangkut sosial
keagamaan. Simbol dalam praktek keagamaan dianggap sebagai gambaran yang
dapat dilihat dari kenyataan tidak jelas dengan sistem pemikiran logis dan juga
ilmiah.16
Dalam bahasa Yunani “ symballeim” yang berarti benda yang dikaitkan
dengan suatu ide.17 Kata simbol atau symboion (Yunani) juga berarti memberi
kesan. Simbol atau lambang sebagai sarana atau mediasi untuk membuat dan
menyampaikan suatu pesan, menyusun sistem epistimologi dan keyakinan yang
dianut.18
Perlengkapan atau peralatan yang mengandung sebuah makna sesuai
dengan imajinasi mereka itu juga di sebut dengan Simbol. Kemudian digunakan
dalam berbagai macam ritual keagaaman umat Hindu. Dalam hal ini simbol
yang dimaksud adalah bentuk atau bahan, alat yang digunakan di bagunan Pura
sebagai sarana komunikasi untuk mengekspresikan nilai-nilai dan wujud rasa
syukur yang mereka haturkan kepada Tuhannya adapun alat atau bahan yang
dimaksud adalah seperti simbol patung, simbol air (tirtha) simbol api (dupa),
simbol bija, simbol bunga (kembang), kain urebenede (kain hitam putih), senteng
(ikat pinggang).
15 F. W. Dillistone, Daya Kekuatan Simbol. Terj. A. Widyamartaya (Yogyakarta:
Kanisius, 2002), h. 15-28. 16Loren Bagus, Kamus Filsafat ( Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2005) Hal 1007. 17Hartoko, dick & B. Rahmanto, Kamus Istilah Sastra ( Yogyakarta: Kanisisus, 1998), h.
133. 18 Sujono Soekamto, Sosioligi Suatu Pengantar (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), h.
187.
6
Sejalan dengan pendapat di atas dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia
karangan W.J.S. Poerwadarminata disebutkan bahwa, simbol atau lambang adalah
semacam tanda, lukisan, perkataan, dan sebagainya, yang menyatakan suatu hal,
atau mengandung suatu maksud tertentu.19 Misalnya beberapa simbol yang berada
di Pura merta Sari Rengas yakni, simbol dalam sarana persembahyangan; simbol
patung, simbol air (tirtha, simbol api (dupa), simbol bija, simbol puspa (bunga),
kain urebenede (kain hitam putih), senteng (ikat pinggang). Kemudian Simbol
bagunan Pura, Nista mandala (bagian luar Pura); candi bentar, bale banjar.
Madya mandala (bagian tengah Pura) ; bale wantilan. Utama mandala (bagian
terdalam dan suci/sakral); bale pawedaan, bale pepelik, kori agung, padmasana.
Berbagai simbol-simbol keagamaan itu dari bentuk dan bahannya yang
sangat sederhana sampai kepada yang sangat kompleks dapat di jumpai penjelasan
atau keterangannya dalam kitab suci Weda dan Susatra Hindu termasuk pula
dalam berbagai lontar. Bentuk simbol-simbol ketuhanan dalam agama Hindu,
tidak terlepas dengan konsepsi penggambaran Tuhan Yang Maha Esa menurut
kitab suci Weda dan susatra Hindu lainnya, yakni gambaran seperti manusia,
binatang, separuh manusia dan binatang, tumbuh-tumbuhan, separuh manusia dan
separuh tumbuh-tumbuhan dan benda-benda lainnya, baik benda-benda langit,
huruf-huruf dan bahkan bagian sarana persembahan seperti daksina merupakan
perwujudan dewa-dewa atau dewi-dewi manifestasi Tuhan Yang Maha Esa, roh
suci para leluhur dan orang-orang suci baik yang telah meninggal dunia maupun
yang masih hidup. Bentuk penggambaran dewa-dewa yang disebut Citradevata
19 W.J.S Poerwadarwinta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: PN Balai Pustaka,
1976), h. 556.
7
dapat dirinci sebgai berikut: berbentuk manusia dengan berbagai kelebihannya,
berbentuk binatang, berbentuk separuh manusia dan separuh binatang, berbentuk
manusia berkepala tumbuh-tumbuhan, 20 Berbentuk benda-benda atau huruf
tertentu.
Umat hindu tidak seluruhnya mampu memahami makna dibalik simbol-
simbol tersebut, banyak pertanyaan yang muncul dan mereka tidak puas dengan
penjelasan bila tidak bersumber pada kitab suci Veda atau susastra Hindu lainnya.
Tingkat pendidikan umat Hindu pada umumnya, menuntut pula pemahaman
terhadap agama Hindu lebih dalam lagi, termasuk pemahaman terhadap simbol-
simbol tersebut. 21
Rengas adalah sebuah kelurahan di Kecamatan Cipuatat Timur, Tangerang
Selatan provinsi Banten, di mana dilihat dari banyaknya tempat ibadah umat Islam
maka bisa dikatakan bahwa masyarakat daerah Rengas mayoritas muslim. Di
tengah-tengah padatnya penduduk muslim yang beragama Islam terdapat tempat
peribadatan umat Hindu atau Pura. Pura tersebut di beri nama dengan sebutan
Pura Merta Sari yang terletak di Jalan Teratai, Rempoa Permai, RT 04 RW 11,
Rengas, Kelurahan Ciputat Timur Tangerang Selatan Bante. 22 Menariknya,
dengan melihat Pura tersebut entah dari bentuk adanya patung-patung, warna,
lukisan, kemudian dari cara beribadahnya atau ritual yang berada di dalam Pura.
Menimbulkan pertanyaan-pertanyaan mengenai makna dari simbol-simbol
pribadatan yang di gunakan oleh umat Hindu di Pura Mertasari Rengas.
20I Made Titib. Teologi & Simbol-simbol dalam Agama Hindu (Surabaya: Paramita,
2009), h. 67-69. 21I Made Titib. Teologi & Simbol-simbol dalam Agama Hindu (Surabaya: Paramita, 2009).
Hal 1. 22Buku Data Monografi Kelurahan Rengas Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang
Selatan Provinsi Banten Tahun 2016, h. 3.
8
Berdasarkan pengamatan peneliti terhadap Pura Merta Sari Rengas banyak
terdapat tempat-tempat, sarana-sarana persembahyangan yang di sakralkan umat
Hindu menggunakan simbol-simbol tertentu yang mempunyai makna tersendiri.
Simbol-simbol tersebut mempunyai sifat sakral dan melambangkan kesucian
tertentu, sehigga penulis tertarik mengeksplorasi masalah tersebut dalam bentuk
sebuah karya tulis skripsi dengan tema ”MAKNA SIMBOL-SIMBOL DALAM
AGAMA HINDU (Studi Terhadap Simbol-simbol di Pura Merta Sari Rengas
Tangerang Selatan)”
B. Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas peneliti membatasi pembahasan
hanya pada simbol-simbol yang ada di bangunan dan sarana yang di gunakan di
Pura Merta Sari Rengas, bukan simbol- simbol ritual atau gerak-gerik mengenai
cara beribadahnya.
C. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian skripsi ini adalah sebagai
berikut; Apa makna simbol-simbol bangunan dan sarana persembahyangan yang
terdapat di Pura Merta Sari Rengas?
D. Tujuan dan Manfaat Penilitian
Adapun penelitian ini bertujuan untuk:
Untuk mengetahui dan memahami makna simbol-simbol Pura
Merta Sari secara umum, maupun spesifik, serta menjelaskan hal-hal yang
penting yang terdapat di dalamnya.
Manfaat penelitian dalam skripsi ini adalah:
9
1. Manfaat akademis
- Untuk memenuhi persyaratan akhir perkuliahan guna memperoleh
gelar sarjana Strata 1 (S1) Jurusan Studi Agama – Agama Fakultas
Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
- Untuk menambah informasi baru terhadap pengembangan ilmu
pengetahuan mengenai simbol- simbol alat dan bangunan yang ada di
Pura Merta Sari Rengas.
2. Manfaat praktis
Untuk meningkatkan pemahaman tentang simbol-simbol
dikalangan intern umat Hindu dan mencegah atau menghindari
penyalahgunaan fungsi dari simbol-simbol tersebut, yang bila tidak
dipahami dengan baik, penyalahgunaan fungsi dari simbol-simbol tersebut
dapat memicu ketersinggungan umat lainnya, karena penyalahgunaan
tersebut dapat diartikan pelecehan terhadap simbol-simbol suci agama
Hindu.
E. Tinjauan Pustaka
Untuk melengkapi penelitian ini penulis juga mencantumkan penelitian
yang sudah dilakukan sebelumnya yang terkait dengan penelitian yang akan
dilakukan oleh penulis antara lain, sebagai berikut:
Pertama, Skripsi yang berjudul Peran Pemangku Umat Hindu dalam
Kehidupan Bermasyarakat : Studi Kasus Pura Mertasari Rengas Tangerang
Selatan. Karya Ahmad Fauzi dari Jurusan Studi Agama-Agama Fakultas
Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun 2019. Skripsi ini fokus
membahas peran pemangku Umat Hindu, sedangkan penulis fokus membahas
10
makna simbol-simbol pada bangunan agama Hindu dalam Pura Merta Sari Rengas.
Persamaannya adalah sama-sama meneliti di Pura Mertasari Rengas.23
Kedua, Skripsi yang berjudul Simbol-simbol Dewa Siwa Dalam Agama
Hindu : Studi terhadap simbol-simbol Dewa Siwa dan Pemujaan Dalam Kuil
Shiva Mandir di Pluit Jakarta Utara. Karya Wildan Izzaty dari Jurasan Studi
Agama-Agama Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun
2015. Skripsi ini tidak jauh berbeda dengan yang penulis teliti, intinya sama-sama
membahas mengenai simbol di dalam agama Hindu, namun skripsi ini hanya
membahas makna simbol- simbol Dewa Siwa saja. Sedangkan penulis membahas
mengenai makna simbol-simbol bangunan apa saja yang ada di agama Hindu
tepatnya di Pura Merta Sari Rengas.24
Ketiga, I Made Titib, Teologi & Simbol-Simbol Dalam Agama Hindu
( Surabaya: paramita, 2003). Dalam buku ini menjelaskan pengertian simbol, dan
dewa-dewa dalam agama hindu beserta tugas-tugasnya. Penulis menjadikan buku
ini sebagai referensi utama terkait penjelasan makna simbol-simbol keagamaan
Agama Hindu.
Keempat, Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas
Tadulako Palu ditulis oleh Ni Kadek Intan Rahayu yang berjudul Makna Simbolik
Umat Hindu Dalam Persembahyangan Bulan Purnama Di Kecamatan Basidondo
Kabupaten Tolitoli (2020). Penelitian ini hanya fokus pada makna simbol-simbol
yang digunakan dalam persembahyangan hari raya bulan Purnama saja.
23 Skripsi ini ditulis oleh Ahmad Fauzi, Mahasiswa Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Ia fokus membahas mengenai peran pemangku Umat Hindudalam Pura
Merta Sari di daerah Rengas. Skripsi ini sebagai perbandingan dari skripsi yang akan ditulis oleh
penulis. 24Skripsi ini ditulis oleh Wildan Izzaty, Mahasiswa Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Ia fokus membahas mengenai simbol-simbol Dewa Siwa dan Pemujaan
Dalam Kuil Shiva Mandir di daerah Pluit Jakarta Utara. Skripsi ini sebagai perbandingan dari
skripsi yang akan ditulis oleh penulis.
11
Sedangkan penulis melakukan penelitian tentang semua simbol-simbol sarana dan
bangunan khususnya simbol-simbol agama Hindu yang berada Pura Merta Sari
Rengas, Rempoa Tangerang Selatan.
F. Metode penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam Penelitian ini adalah penelitian kualitatif.
Penelitian kualitatif diartikan sebagai penelitian yang menghasilkan mengenai
kata-kata lisan maupun tertulis, dan tingkah laku yang dapat diamati dari
orang yang diteliti.25
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data kualitatif.
Data kualitataif merupakan jenis data yang disajikan berupa pengamatan,
wawancara, dan dokumen.
2. Tempat dan waktu penelitian
Penelitian dilakukan diJalan Teratai Putih, Rempoa Permai, RT 04 RW 11,
Rengas, Ciputat Timur, Tangerang Selatan. Penelitian lapangan akan dilakukan
selama dua bulan, terhitung dari bulan Juli hingga November 2019.
3. Jenis Data
Data merupakan segala sesuatu yangberkaitan dengan penelitian. Data
yang dimaksud dalam penelitian ini adalah data kualitatif yang berbentuk data
lisan yang diperoleh dari informan yaitu tokoh agama (pemangku) dan guru
agama Hindu yang ada di Pura Merta Sari Rengas. Sumber data dalam penelitian
ini adalah data primer dan sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh
25Bagong Suyanto, dkk., Metode Penelitian Sosial, (Jakarata: Kencana Prenada Media
Group, 2011), h. 166.
12
secara langsung dari hasil penelitian yang peneliti lakukan dari hasil observasi,
dokumentasi, serta wawancara antara peneliti dan informan. Sedangkan data
sekunder diperoleh dari jurnal, buku, serta skripsi yang relevan.
4. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menbahas tentang simbol-simbol yang ada pada bangunan
Pura Merta Sari Rengas. Seperti yang kita ketahui, bahwa suatu penelitian agar
kebenarannya menjadi mutlak, kemudian untuk menghindari berkurangnya atau
berlebih-lebihnya suatu makna, maka dalam penelitian ini di perlukan suatu
pendekatan. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan Antropologi, yang
mana pendekatan ini berupaya memahami kebudayaan-kebudayaan produk
manusia yang berhubungan dengan agama, yaitu suatu strategi pendekatan
penelitian yang berhubungan langsung dengan kebudayaan atau keyakinan umat
Hindu di Pura Merta Sari Rengas. Peneliti menerapkan secara langsung
bagaimana antusias pinandita atau pemangku peribadatan umat Hindu Pura Merta
Sari dalam keikutsertaan membantu penulis untuk menyelesaikan penelitian
tentang makna simbol-simbol di bangunan Pura Merta Sari Rengas.
Dalam pendekatan ini mengunkan teori simbol yang dikemukakan oleh
Clifford Geertz, Geertz menekankan upaya untuk menemukan makna yang
memandang penting simbol dari sekedar eksplanasi, dan pentingnya signifikansi
konteks sosial sebagai unsur penting dalam memahami makna simbol. Ia juga
mengemukakan bahwa antropologi harus didasari oleh realitas konkret, yakni
kajian mengenai satu kasus tunggal yang dapat menghasilkan pandangan teoritis
dan makna-makna, artinya dari realitas ini harus ditemukan makna, bukan
13
prediksi yang didasarkan pada data empiris.26 Geertz mengatakan setiap objek,
tindakan peristiwa, atau hubungan yang dapat berperan sebgai sarana suatu
konsepsi, dan konsepsi ini adalah makna simbol. Sebab simbol-simbol bersifat
umum, teraba dan tercerap. Simbol-simbol keagamaan adalah simbol-simbol yang
mensistensiskan dan mengintegrasikan dunia sebagaimana dihayati dan dunia
sebgai mana dibayangkan dan simbol-simbol ini berguna untuk menghasilkan dan
memperkuat keyakinan keagamaan.
5. Teknik Pengumpulan Data
a. Studi kepustakaan
Penulis mengumpulkan, mencatat, bahan-bahan kepustakaan yang terkait
dengan tema penelitian sebagai kerangka teoritis penelitian.
b. Observasi
Istilah observasi dari bahasa Latin yang berarti “melihat” dan
“memperlihatkan”. Observasi adalah suatu cara pengumpulan data yang dilakukan
dengan cara mengadakan penelitian secara teliti, yang diarahkan pada kegiatan
memerhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul. 27 Penulis
mendatangi Pura Merta Sari yang berada di Rengas. Untuk melihat secara jelas
tempat ibadah tersebut, kegiatan ibadah, dan aktivitas Pura. Dalam pengamatan
lansung ini (observasi) penulis melihat bahwa di Pura Merta Sari terdapat
beberapa simbol-simbol dalam bangunan Pura. Dan beberapa alat atau bahan yang
di gunakan khusus dalam pura merta sari Rengas.
26Clifford Geertz, Local Knowledge; Further Essays in Interpretative Anthropology (New
York: Basic Books, 1983), h. 119. 27Imam Gunawan, Metode penelitian Kualitatif Teori & Praktik (Jakarta: Bumi Aksara,
2013), h. 143.
14
c. Wawancara
Wawancara (interview) adalah dapat diartikan sebagai pengumpulan data
yang kuat, dengan mengajukan pertanyaan secara lansung oleh pewawancara
(pengumpul data) kepada responden, dan jawaban-jawaban responden dicatat atau
direkam dengan alat perekam (tape recorder). 28 Pada tahap wawancara ini,
penulis mewawancarai responden yang dianggap layak untuk dijadikan informan.
Responden tersebut adalah beberapa pengurus Pura Merta Sari diantaranya:
Wayan Pinda Asmara dan Gede Shidarta. Untuk mempermudah penulisan dalam
megumpulkan data, penulis mencatat atau merekam jawaban-jawabannya dengan
alat perekam.
d. Dokumentasi
Dokumentasi adalah salah satu metode pengumpulan data yang digunakan
dalam penelitian social untuk menelusuri data historis.29 Penulis mengumpulkan
dokumentasi beberapa foto-foto, arsip, atau jurnal, yang terdapat dimulai di Pura
Merta Sari Rengas
6. Teknik Penulisan Penelitian
Adapun teknik penulisan skripsi mengacu pada “Pedoman Akademik
2015/2016 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta”.
28Suhartono, Metode Penelitian Sosial (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995), h. 67. 29Imam Gunawan, Metode penelitian Kualitatif Teori & Praktik (Jakarta: Bumi Aksara,
2013), h. 177.
15
G. Sistematika Penulisan
Agar lebih mudah memahami alur pemikiran dalam skripsi ini, maka
peneliti membagi skripsi ini menjadi lima bab yang saling berkaitan antara bab
satu dengan bab selanjutnya.
Adapun sistematika penelitian dalam skripsi ini selengkapnya adalah
sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN: Bab ini menguraikan Latar Belakang Masalah,
Batasan dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penenelitian, Tinjauan
Pustaka, Metode Penelitian, Sistematika Penulisan.
BAB II PROFIL DAN KEGIATAN PURA MERTA SARI RENGAS: Bab
ini menjelaskan profil Pura yaitu meliputi sejarah berdirinya dan lokasi Pura
Merta Sari Rengas, struktur bangunan dan organisasi Pura Merta Sari Rengas,
kemudian kegiatan di Pura tersebut.
BAB III SIMBOL-SIMBOL KEAGAMAAN PURA MERTA SARI
RENGAS: Bab ini memuat tentang pengertian simbol keagamaan , bentuk dan
sakralisasi simbol kemudian fungsi simbol.
BAB IV MAKNA DAN FUNGSI SIMBOL-SIMBOL KEAGAMAAN
PURA MERTA SARI RENGAS: Bab ini membahas tentang Simbol-simbol
Sarana Persembahyangan yang ada di Pura Merta Sari Rengas, Simbol-simbol
Bangunan Keagamaan di Pura Merta Sari Rengas, Pemaknaan Simbol Dalam
Kehidupan Beragama Umat Hindu Pura Merta Sari Rengas.
BAB V PENUTUP: Bab ini meliputi kesimpulan merupakan jawabandari
permasalahan secara singkat dan saran.
16
BAB II
PROFIL DAN KEGIATAN PURA MERTA SARI RENGAS
A. Profil Pura Merta Sari Rengas
Pura Merta Sari berdiri sejak tanggal 31 Januari 1982, terletak di Jalan Teratai
Putih, dekatlapangan sepak bola Rengas, RT 4 RW 11, Kelurahan Rengas Ciputat
Timur, Tangerang Selatan, Banten. Pura ini diresmikan pada tanggal 28 Juli 1982
dengan diselingi berbagai upacara keagamaan seperti upacara Melaspas Alit (upacara
pembersihan dan penyucian bangunan), kemudian tepat pada tanggal 14 Juni 1984
(Purnama Sasih Sadha) berlansunglah Upacara Ngenteg Linggih (semacam upacara
peresmian pura) yang di panduoleh Pedanda Isteri Wayan Sideman.Setiap tiga puluh
tahun sekali pada umumnya Pura melakukan Upacara Nganteg Linggih ini, tetapi di
Pura Merta Sari upacara Nganteg Linggih dilakukan sebelum tiga puluh tahun dengan
alasan peresmian dan pelengkapan administrasi. Akhirnya pada hari Minggu tanggal
15 Juni 2014 ditetapkanlah pelaksanaan Upacara Nganteg Linggih yang ke-2 di
pimpin oleh Ide Pedande Made Putra Sidemen sekaligus diresmikan kembali oleh ibu
Hj. Airin Rachmi Diany, SH, MH selaku Walikota TangerangSelatan.1
Pura ini berjarak 2 km dari pusat pemerintahan Kecamatan Ciputat Timur, 8
km dari pusat pemerintahan KotaTangerang Selatan dan serta berjarak 86 km dari
pusat pemerintahan provinsi Banten. Batasan-batasan kelurahan ini secara
1Wawancara dengan Wayan Pinda Asmara Selaku Pinandita Pura Merta Sari pada tanggal 23
Juni 2019 pukul 13:44.
17
administrasi bagian utara terdiri dari Kecamatan Pondok Aren dan DKI Jakarta,
bagian Selatan yaitu Kelurahan Cempaka Putih, bagian barat terdiri dari Kelurahan
Pondok Ranji dan bagian timur terdiri dari Kelurahan Rempoa dan DKI Jakarta. Di
Ciputat Timur hanya kelurahan Rengas yang memiliki bangunan tempat ibadah umat
Hindu, bangunan pura ini dibangun berdasarkan kesepakatan umat Hindu yang
ternyata sudah cukup banyak tinggal di daerah Rengas dan sekitarnya.2
Data jumlah sarana peribadatan di kelurahan Rengas ini terhitung mencapai
30 gedung yaitu 6 masjid dan 23 mushola kemudian 1 gedung pura.3 Dari data
tersebut maka penulis dapat menyimpulkan bahwa penduduk yang berada di
kelurahan Rengas ini mayoritas muslim. Keberadaan Pura di tengah-tengah penduduk
muslim tidak menjadikan pembeda antara keduanya, mereka tetap hidup damai
dengan sikap toleransi yang kuat, tetap berperilaku baik tanpa memandang status
sosial keagaaannya.
Untuk mendirikan sebuah pura tidak mudah, tidak sembarangan tempat
tentunya membutuhkan kawasan yang ideal dan strategis. Dalam tradisi Bali yang
dimuat dalam beberapa lontar menyatakan tanah yang layak dipakai adalah tanah
yang berbau harum, yang “gingsih” dan tidak berbau busuk, sedangkan tempat-
tempat yang ideal untuk membangun pura, adalah seperti disebutkan pada kutipan
dari Bhavisya purana dan Brhat Samhita, yang secara sederhana disebut sebagai
“hyang-hyangning sagara giri”, atau “sagara- giri adumukha”, tempatnya tentu
2Wawancara dengan Wayan Pinda AsmaraSelaku Pinandita Pura Merta Sari pada tanggal 23
Juni 2019 pukul 13:44. 3 Buku Data Monografi Kelurahan Rengas Kecamatan Ciputat Kota Tangerang Selatan
Provinsi Banten tahun 2016.
18
sangat indah di samping vibrasi kesucian memancar pada lokasi yang ideal di
kawasan tersebut.4
Pada mulanya, Pura ini dibangun di atas tanah yang berukuran 1000 meter
yakni berupa hasil swadaya (sumbangan umat) untuk dijadikan sebagai tempat
beribadah. Awal dibangunnya pura, ketika itu penganut Hindu baru berjumlah 40 KK.
Namun seiring berjalannya waktu pengikut Hindu yang kemudian datang beribadah
ke Pura ini semakin bertambah dan membutuhkan lahan lagi. Kebetulan pada saat itu
Pura Merta Sari ini mendapat tambahan sumbangan tanah sekitar 1.800 Meter dari
salah seorang penganut Hindu yang beribadah di Pura. Pengurus Pura tersebut
langsung melakukan renovasi. Pembangunan awal Pura Merta Sarimerupakan “suka
duka” Hindu Dharma Banjar Jakarta Selatan yang pertama, yang saat ini pengelolaan
sehari-harinya diserahkan sepenuhnya kepada Tempek5 Rempoa. Data ini bersumber
dari Mangku Wayan Pinda Asmaraguruumat Hindu sekitar seperti Bintaro, Ciledug,
dan Rempoa, melakukan aktivitas peribadatan di Pura Merta Sari.6
Pada tahun 1986 Pura Merta Sari melakukan renovasi, memperluas bangunan
pura lagi. Karena luas pura Merta Sari Rempoa ini terbatas dan sudah tidak
memungkinkan untuk memperlebar maka harus membangun ke atas tetapi ada
masalah perijinan yang pada akhirnya menghalangi pembangunan Pura Merta Sari,
mungkin jika telat mendapat izin pura ini sekarang menjadi tiga atau empat lantai
keatas.. Pada awal berdiri Pura Merta Sari hanya satu lantai, sekarang kita dapat
4I Made Titib, Teologi dan Simbol-Simbol Dalam Agama Hindu (Surabaya: Paramita,2009), h.
91. 5Pengusrus (bagian kecil dari Banjar yang terdiri dari beberapa kelompok). 6Wawancara dengan Wayan Pinda AsmaraSelaku Pinandita Pura Merta Sari pada tanggal 23
Oktober 2019 pukul 15:32.
19
melihat Pura ini menjadi dua lantai, yang lantai atas digunakan khusus untuk kegiatan
pasraman (sekolah Agama Hindu), Pura Merta Sari Rengas ini sudah mengalami 3
(tiga) kali renovasi.7
B. Struktur Bangunan dan Organisasi PuraMerta Sari Rengas
Pura merupakan tempat suci (pemujaan) Umat Hindu. Struktur bangunan
sebuah pura seharusnya memiliki beberapa halaman, namun dalam prakteknya
ditemukan adanya sebuah pura yang hanya mempunyai satu atau dua halaman saja.
pura yang mempunyai satu halaman saja, didasarkan kepada konsep Ekabhuwana di
mana alam atas dan alam bawah dianggap menyatu. Sedangkanpura yang memiliki
dua halaman didasarkan konsep alam atas dan alam bawah yang terpisah.8
Kompleks bangunan pura dalam konsep Hindumerupakan refleksi atau bentuk
mini dari bhuana agung (alam jagat raya). Dalam hal ini, manusia berusaha
mewujudkan alam jagat raya ini dalam bentuk mini agar mudah berhubungan dengan
Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa), sehingga diperlukan tempat yang
memungkinkan mereka bisa berhubungan dengan-Nya. Tempat yang dimaksud
adalah pura.9
Pembangunan Pura Merta Sari ini menggunakan struktur yang ada di daerah
Bali. Menurut keyakinan Umat Hindu di Bali “pura atau kahyangan” mempunyai
tujuan dan fungsi sebagai tempat suci yang dibangun secara khusus menurut
7Wawancara dengan Wayan Pinda Asmara Selaku Pinandita Pura Merta Sari pada tanggal 23
Oktober 2019 pukul 16:15. 8K. M. Suhardana, Dasar-Darsar Kepemangkuan:Suatu Pengantar dan Bahan KajianBagi
Generasi Mendatang (Surabaya: Paramita, 2006), h. 116. 9I Wayan Suyasa, Pura Agung Jagatnatha Singaraja: Latar Belakang Berdirinya dan Makna
Filosofisnya (Singaraja: T.P, 1996), h. 8.
20
peraturan-peraturan yang telah ditentukan secara khusus pula yaitu untuk
menghubungkan diri dengan Sang Hyang Widhi Wasa serta prabhawa-Nya
(manifestasinya), para leluhur atau kawitan atau para dewa untuk mendapatkan
waranugraha atauanugrah-Nya yang telah berjasa terhadap umat dan pratisentana
(sanak dan keluargannya).10
Selain struktur bangunan, Pura juga mempunyai struktur organisasi untuk
membagi tugas dan kewajiban demi merawat dan mengembangkan sebuah pura.
Sebagai bentuk dan tanggung jawab dalam pengelolaan tempat ibadah, di samping
memang tempat ibadah bukan milik perorangan. Dengan tata kelola yang baik tempat
ibadah kedepannya akan melahirkan keamanan dan kenyamanan umat dalam
menjalankan aktivitas spritual dan sosial keagamaan di masa yang akan datang.
Mereka yang memimpin dan memberi tugas untuk melakukan upacara tetap dan
pembinaan puraumat Hindu biasa menyebutnya dengan nama pengempon atau
pengemong.11
Ada juga yang dinamakan ketua Banjar yang artinya ketua pura sebagai
penanggung jawab semua kegiatan yang ada di pura. Ketua Banjar memiliki wakil
yang bertugas untuk membantu ketua Banjar dalam menjalankan tugasnya. Lalu ada
juga koperasi yang dimiliki oleh Pura Merta Sari sebagai layaknya organisasi,
10KetutSoebandi,Pura Kawitan atau Padharman dan Penyungsungan Jagat (Denpasar : CV
Kayu Mas Agung 1981), h. 64. 11Keberadaan susatu pura tidak terlepas dari Pengempon atau Pengemong , Pengemon itu
senditi berasal dari kata “emong” yang berarti mengayomi dan melindungi. Di Pura Merta Sari
Pengempon atau Pengemongadalah sebutan untuk orang atau masyarakat yang mempunyai
tugasmengayomi dan melindungi pura tersebut.
21
koperasi ini untuk membantu anggotanya. Adajuga sekretaris yangbertugas mencatat
kegiatan dan merapikan arsip kegiatanyang dilakukan di pura Merta Sari Rengas.12
Berikut Srtuktur Organisasi Banjar Pura Merta Sari Rengas adalah sebagai
berikut:
S
Dari struktur di ataspenulismelihatbahwa betapa Pura Merta Sari sangat
terorganisir seperti hal nya organisasi yang lain, uniknyalagi dalam struktur tersebut
ada bidang adatnyayaituuntuk memperthankan adat istiadat yang sudah
adadandiharapkanbisaterusberkembang. PenulisjugamelihatbahwaPuramerta Sari
12Wawancara denganI Gede Sidarta Selaku Ketua Banjar Pura Merta Sari pada tanggal 30
Oktober 2019 pukul 14:26.
SRTUKTUR ORGANISASI BANJAR MERTA SARI
PERIODE 2017 s.d 2019
PELINDUNG
KETUA BANJAR
GEDE SIDARTA
PENASEHAT
YAYASAN KOPERASI
BENDAHARA
1. Wayan Danthi
2. Ni Wayan Wiryani
SEKRETARIS
1. Nyoman Sukadana
2. I Kade Budiarta
KETUA
TEMPEK KETUA IV
BIDANG UMUM
KETUT BUDI ADYANA
KETUA III
BIDANG SDM
GEDE SUPINDRA
KETUA I
BIDANG DINAS
I GUSTI BAGUS BINTARA
KETUA II
BIDANG ADAT
IDA BAGUS WIN MANUABA
1. BIDANG HUMAS DAN HUKUM
Kordinator: I Nyoman
Darmawan
2. BIDANG USAHA DAN
DANA
Kordinator: Ketut Pasek
Swastika
3. BIDANG SOSIAL
DAN KESEJAHTERAAN
Kordinator:I Wayan
Sumberjaya
1. UPAKARA & UPACARA YADYA
Kordinator: Pinandita IGN Mustika
2. SARATI BANTEN
Kordinator: Ni Putu Sri Wahyuni -
Suryadi
3. PEMBINAAN UMAT
Kprdinator: Pinandita Wayan Gede-
Bawa
1. BIDANG SARANA DAN
PRASARANA
Kordinator: I Wayan Gede Mataran
2. BIDANG
PEMELIHARAAN DAN
TUMAH TANGGA
Kordinator: Gusti Krtut
Alit
1. BIDANG KEPEMUDAAN DAN
OLAHRAGA
Kordinator: Putu Kurwanbawa
2. BIDANG KEAMANAN/
PECALANG
Kondinator: Ketut Partono Ariasa
3. BIDANG PENDIDIKAN DAN
SENI BUDAYA
Kordinator: I Wayan Sumberjaya
22
Dari struktur di atas penulis melihat bahwa betapa Pura Merta Sari sangat
terorganisir seperti hal nya organisasi yang lain, ada yang namanya Ketua Banjar,
merupakan ketua umum wilayah administratif dalam masyarakat Hindu di PuraMerta
Sari Rengas Tangerang Selatan. Dibawah kaki tangan ketua Banjar selain sekretaris
dan bendahara ada yang di sebut dengan Ketua Tempek yang membantu mengurus
semua kegiatan Pura dengan membentuk masing-masing ketua dari setiap
bidangnya.Uniknya dalam struktur tersebut ada bidang adatnya, bidang ini juga
melakukan perdampingan dalam kegiatan keagamaan tak lepas di bawah arahan ketua
tempek. Penulis juga melihat bahwa Pura Merta Sari Rengas ini selalu diawasi dan di
beri penilaian oleh pengawas Hindu yang datang dari pusat tidak lain hanya untuk
memastikan bahwa pura tersebut selalu dalam keadaan baik dan tersusun sesuai
dengan struktur, tugas, wewenang dan penanggung jawab yang sudah di buat dan di
sepakati bersama organisasi dan orang-orang yang berada di Pura Merta Sari tersebut.
C. Kegiatan Yang Ada Di Pura Merta Sari Rengas
Sebelum dijabarkan lebih lanjut mengenai kegiatan yang ada di Pura Merta
Sari Rengas ini penulis akan terlebih dahulu menjelaskan sedikit mengenai
pemaknaan pura.
Sebagai bangunan suci, pura merupakan sarana peribadatan bagi umat Hindu
dalam usahanya melakukan penyerahan diri dan mendekatkan diri kehadapan Sang
Hyang Widhi Wasa sehingga dapat meningkatkan kualitas umat manusia sebagai
makhluk individu dan makhluk sosial. Di tempat suci seperti pura atau tempat
pemujaaan yang di istilahkan dengan kahyangan atau Parhayangan, diharapkan
23
manusia dapat mngembangkan dirinya untuk saling mengenal dan saling membantu
di antara umat sehingga dalam internal umat Hindu dapat terwujud.13
Dilihat sepintas, memang seakan-akan fungsi pura bersifat tunggal yaitu
hanya sebagai tempat suci untuk mengadakan persembahyangan atau “ngaturang
bhakti”. Tetapi patut dicermati bahwa sesungguhnya ketika ke pura atau berada di
pura selain untuk kepentingan utama yaitu “ngaturang bhakti” telah berlangsung juga
fungsi-fungsi pura yang lainnya.14
Selain sebagai tempat melakukan kegiatan persembahyangan bagi umat Hindu,
jika ditelusuri lebih mendalam, pura tidak hanya mempunyai fungsi tunggal yang
hanya sebagai tempat melakukan kegiatan pemujaan,15 akan tetapi juga mempunyai
fungsi sebagai sarana tempat untuk melakukan kegiatan dalam berbagai bidang.
Seperti yang telah dikemukakan oleh penulis di atas dalam struktur organisasi,
kegiatan Pura Merta Sari Rempoa pada umumnya tidak hanya di bidang keagamaan,
akan tetapi juga bidang sosial kemasyarakatan, pendidikan dan kebudayaan.
a. Bidang Keagamaan
Dalam bidang keagamaannya, di Pura Merta Sari Rengas banyak terdapat
ritual-ritual persembahyangan yang di Pandu oleh pemangku atau pinandita. Dapat
dilihat dari jadwal pelaksanaannya dibawah ini;
13 Departemen Agama, I Gst. MD Ngurah et al, Buku Pendidikan Agama Hindu Untuk
Pengurus Tinggi (Surabaya: Paramita, 1999), cet. I, h. 177. 14
Ni Wayan Astini, “Definisi dan Fungsi Pura,” artikel diakses tanggal 24 Oktober 2019 dari
https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/JJPS/article/download/3809/3052&ved=2ahUKEwilr__XvM
rlAhVDK48KHZKC2YQFjAHegQIBBAB&usg=AOvVaw1LFhnR6p-k89A0m6a-ggm9. 15I Gusti Ketut Widana, Mengenal Budaya Hindu Sebuah Pengantar (Denpasar: T.P, 2002), h.
69.
24
Jadwal Piket Pinandita Pura Merta Sari Rengas Rempoa Tahun 2019
No Tanggal Pinandita Manggala Pinandita Pendamping Tanggal Persembahyangan
31. 12. 18 Santih Puja dan Pergantian Tahun
1 31 Des- 12 Jan 19 Pndt Gusti Nyoman Murtika Pndt Wayan Gede Bawa 05. 01. 19 Kuningan, ngiring, pekuluh ke Pura Dalem Tj
Pick dan Siwa Ratri
Pndt Wayan Mudia 06. 01. 19 Tilem Sasih Kepitu
2 13 Jan – 26 Jan 19 Pndt Wayan Gede Bawa Pndt Wayan Mudia 06. 01. 19 Santih Puja Purwani Purnama Kewulu
Pndt Istri LM Nudriati 20. 01. 19 Purnama Sasih Kewulu
3 27 Jan- 09 Feb 19 Pndt Wayan Mudia Pndt Istri LM Nudriati 03. 02. 19 Santih Puja Purwani Tilem Kewulu
Pndt Wayan Pinda Asmara 04. 02. 19 Tilem Sasih Kawulu
Pndt Wayan Pinda Asmara 16. 02. 19 Ngiring, Pukuluh Ke Pura Kertajaya Tangerang
4 10 Feb- 23 Feb 19 Pndt Istri LM Nudriati Pndt Gusti Nyoman Murtika 18. 02. 19 Santih Puja Purwani Purnama Kesanga
19. 02. 19 Purnama Sasih Kesanga
Pndt Gusti Nyoman Murtika 03. 03. 19 Melasti ke Tanjung Pasir
5 24 Feb– 09 Mar 19 Pndt Wayan Pinda Asmara 05. 03. 19 Santih Puja Purwani Tilem Sasih Kesanga
Pndt Wayan Gede Bawa 06. 03. 19 Tilem Kesanga, Tawur Kesanga (Ngiring,
Pukuluh ke Serang), Tawur di Pura Mert Sari.
6 10 Mar-23 Mar 19 Pndt Gusti Nyoman Murtika Pndt Wayan Gede Bawa 19. 03. 19 Santih Puja Purwani Purnama Kedasa
Pndt Wayan Mudia 20. 03. 19 Purnama Sasih Kedasa, Ngiring Pelukuluh Ke
Pura Candra Praba Jak Bar
7 24 Mar- 6 Apr 19 Pndt Wayan Gede Bawa Pndt Wayan Mudia 03. 04. 19 Santih Puja Purwani Tilem Kedasa
Pndt Istri LM Nudriati 04. 04. 19 Tilem Sasih Kedasa
Pndt Istri LM Nudriati 10. 04. 19 Ngiring Pekuluh Ke Pura Dharma Siddhi Ciledug
8 7 Apr- 20 Apr 19 Pndt Wayan Mudia Pndt Wayan Pinda Asmara 18. 14. 19 Santih Puja Purwani Purnama Jyesta
19. 04. 19 Purnama Sasih Jyesta
9 21 Apr- 4 Mei 19 Pndt Istri LM Nudriati Pndt Wayan Pinda Asmara 03. 05. 19 Santih Puja Purwani Tilem Jiyesta
Pndt Gusti Nyoman Murtika 04. 05. 19 Tilem Sasih Jiyesta, Matur Piuning Piodalan Pura
Merta Sari
Pndt Gusti Nyoman Murtika 11. 05. 19 Hari Raya Saraswati
15. 05. 19 Hari Raya Pangerwesi
10 5 Mei- 18 Mei 19 Pndt Wayan Pinda Asmara 17. 05. 19 Nuwur Tirta Ke Pura Se Banten, Santih Puja
Purwani Purnama Sadha
Pndt Wayan Gede Bawa 18. 05. 19 Purnama Sasih Sadha, Piodalan Pura Merta Sari
26. 05. 19 Ngiring Pekuluh ke Purahyangan Jagat Guru
BSD
11 19 Mei- 1 Jun 19 Pndt Gusti Nyoman Murtika Pndt Wayan Gede Bawa 01. 06. 19 Santih Puja Purwani Tilem Saddha
Pndt Wayan Mudia
12 2 Jun- 15 Jun 19 Pndt Wayan Gede Bawa Pndt Wayan Mudia 02.06. 19 Tilem Sasih Saddha
Pndt Istri LM Nudriati
13 16 Jun- 29 Jun 19 Pndt Wayan Mudia Pndt Istri LM Nudriati 16. 06. 19 Santih Puja Purwani Purnama Mala Saddha
Pndt Wayan Pinda Asmara 17.06. 19 Purnama Sasih Mala Saddha
14 30 Jun- 13 Jul 19 Pndt Istri LM Nudriati Pndt Wayan Pinda Asmara 01.07. 19 Santih Puja Purwani Tilem Mala Saddha
Pndt Gusti Nyoman Murtika 02.07. 19 Tilem Mala Saddha
Pndt Gusti Nyoman Murtika 15. 07. 19 Santih Puja Purwani Purnama Kasa
15 14 Jul- 27 Jul 19 Pndt Wayan Pinda Asmara 16.07. 19 Purnama Sasih Kasa
Pndt Wayan Gede Bawa 24.07. 19 Hari Raya Galungan
Di atas sudah dijelaskan rentetan kegiatan keagamaan Pura Merta Sari, yang
pastinya diharapkan agar semua kegiatan dapat berjalan dengan baik. Semua
25
penanggung jawab yang sudah di tetapkan dalam jadwal piket ini tidak serta merta
lansung terlaksana tentunya sudah disusun dan diatur dengan sebaik-baiknya oleh
pengempon atau ketua banjar Pura Merta Sari Rengas. Dari jadwal di atas dapat
disimpulkan bahwa semua Pinandita memiliki kewajiban untuk memimpin dan
memberikan arahan tentang pokok-pokok ajaran agama Hindu di Pura Merta Sari ini
terutama dalam bidang keagamaannya.16
b. Bidang Pendidikan
Yaitu pendidikan formal dan pendidikan nonformal. Pendidikan formal
merupakan pendidikan yang diperoleh di sekolah, sedangkan pendidikan nonformal
adalah pendidikan yang diperoleh dari keluarga maupun masyarakat. Pendidikan
yang diperoleh di masyarakat berlangsung di setiap tempat yang dipergunakan
sebagai tempat berinteraksi oleh individu yang satu dengan individu yang lainnya,
termasuk salah satunya di pura. Begitu pula halnya di Pura Merta Sari merupakan
salah satu tempat untuk melangsungkan kegiatan pendidikan nonformal. Pendidikan
ini dapat dilihat seperti dalam melaksanakan kegiatan dharma wacana (ceramah
agama) dan dharma tula (diskusi agama) yang diadakan setiap bulannya. Selain itu di
pura juga bisa dijadikan sebagai tempat belajar membuat upakara seperti membuat
banten ( sesajen).17
Pendidikan formal, pura ini mempunyai sebuah Yayasan Merta Sari Rempoa
merupakan yayasan warga Tempek Rempoa yang didirikan berdasarkan Akta Notaris
16Wawancara dengan Wayan Pinda Asmara Selaku Pinandita Pura Merta Sari pada tanggal 30
Oktober 2019 pukul 13: 26. 17Wawancara denganMade Soraja YudhantaraSelaku Kepala Pasraman Pura Merta Sari pada
tanggal 30 Oktober 2019 pukul 13: 26.
26
No. 12 pada tanggal 17 Nopember 2007 di hadapan Notaris I Nyoman Darmawan SH,
MM, MKn dengan pengesahan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor :
C-4074.HT.01.02 TH 2007 tertanggal 19 Desember 2007.18
Yayasan Merta Sari Rempoa merupakan wadah untuk mengelola dan
memfasilitasi semua kegiatan dan program kerja dari Tempek Rempoa khususnya di
bidang pendidikan, seperti:
a. Mengelola Pasraman yaitu sebuah sekolah khusus untuk umat Hindu yang
hanya dibuka pada hari minggu, sekolah Tingkat SD (35 Siswa) , SLTP (47
Siswa), SLTA (49 Siswa), terdiri dari 4 kelas, dan 7 Jumlah guru pengajar
(yang berhubungan dengan PDK/Pendidikan Dasar Kedisiplinan).19
b. Pendidikan umum termasuk program beasiswa ,Pendidikan ketrampilan
khusus : Workshop; office program, MS word, Excel, InDesign, Photoshop,
web design dan lain lain.20
Adapun fungsi pendidikan agama Hindu, seperti yang di jelaskan oleh ketua
Pasraman Pura Merta Sari adalah :
1. Untuk menanamkan nilai-nilai ajaran agama Hindu yang sekiranya dapat
dijadikan sebagai pedoman hidup dalam mencapai kebahagiaan hidup
(Moksartham Jagadhita).
2. Mengembangkan Sradha dan bhakti kepada Tuhan Sang Hyang Widhi.
3. Mengajarkan tentang ilmu pengetahuan keagamaan secara umum.
18 Yayasan Merta Sari Rempoa, artikel diakses tanggal 27 Oktober 2019 dari
http://www.mertasarirempoa.org/content/i.php?mid=80 19Wawancara denganMade Soraja YudhantaraSelaku Kepala Pasraman Pura Merta Sari pada
tanggal 30 Oktober 2019 pukul 13: 26. 20 Yayasan Merta Sari Rempoa, artikel diakses tanggal 27 Oktober 2019 dari
http://www.mertasarirempoa.org/content/i.php?mid=80
27
4. Untuk membentuk atau mempersiapkan sikap mental siswa yang sekiranya
ingin melanjutkan studi kejenjang yang lebih tinggi.
5. Mempersiapkan kematangan dan resistensi (ketahanan) siswa dalam
mengadaptasi diri terhadap lingkungan dan sosial.
6. Memperbaiki kesalahan-kesalahan, kelemahan- kelemahan peserta didik
dalam keyakinan dan pengalaman ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari.
7. Untuk mencegah peserta didik dari hal-hal negatif yang diakibatkan oleh
pergaulan dunia luar.21
c. Bidang Sosial
Bidang sosial, yaitu bentuk integrasi sosial yang ada di Pura Merta Sari
Rempoa dapat dilihat dari berbagai kegiatan seperti gotong royong (ngaturang ayah)
ketika akan mempersiapkan upacara piodalan. Seluruh umat yang berasal dari
berbagai kalangan status sosial secara bersama-sama melakukan kegiatan yang
dilandasi rasa solidaritas, kerjasama dan saling mengasihi menjadikan kegiatan yang
dilaksanakan selalu berlandaskan rasa bhakti dan ketulusan beryadnya tanpa
membedakan latar belakang mereka masing-masing. 22
Penulis juga melihat Umat Hindu di Pura Merta Sari sering kali mengadakan
kegiatan bakti sosial yakni membagikan sembako untuk kebutuhan sehari-hari
kepada masyarakat yang berada di sekitar Pura termasuk umat Islam. Kemudian
kegiatan sosial lainnya berupa pengobatan gratis dan pelayanan kesehatan lainnya.
21Wawancara denganMade Soraja YudhantaraSelaku Kepala Pasraman Pura Merta Sari pada
tanggal 30 Oktober 2019 pukul 13: 26. 22Observasi, Lihat dari Arsip Pura Merta Sari Kelurahan Rengas Ciputat Timur, Tangerang
Selatan, Banten, 30 Oktober 2019.
28
d. Bidang Budaya
Pura juga bisa menjadi salah satu pengembangan kebudayaan karena
biasanya di pura terutama pada saat pujawali akan dipentaskan berbagai kesenian
yaitu seni suara, seni tari, seni tabuh dengan begitu pura bisa menjadi salah satu pusat
pengembangan kebudayaan.Di Pura Merta Sari Ini terdapat sebuah Sanggar Seni
Budaya yaitu sebuah tempat yang berada di bagian luar pura atau yang biasa di sebut
dengan balai Wantilan. Tempat berlansungnya pentas seni tari Bali yang di fasilitasi
dengan seperangkat gamelan Bali (Gong) sound system, cemin dan di dekorasi sesuai
corak Bali dan di ikuti sekitar 41 siswa kemudian 3 guru pemandu seni tari Bali Pura
Merta Sari Rengas 23
Sebagai mana penulis kemukakan di atas disimpulkan bahwa kegiatan yang
ada di dalam sebuah pura bukan hanya semata-mata kegiatan keagmaan saja, akan
tetapi yang tak kalah penting adalah Pasraman.Pasraman artinya tempat
berlansungnya proses belajar mengajar atau pendidikan masyarakat Hindu yang
ditekankan untuk meningkatkan kualitas pemahaman khususnya di bidang agama
Hindu, serta bidang- bidang lainnya yang terkait dengan ilmu pengetahuan, seperti
bidang sosial kemasyarakatan, seni dan teknologi.
23Wawancara dengan Ni Putu Kayia Anandani Selaku Siswa Pasraman Pura Merta Sari pada
tanggal 23 November 2019 pukul 13: 26.
29
BAB III
BENTUK, SIFAT, DAN FUNGSI SIMBOL-SIMBOL KEAGAMAAN
A. Pengertian Simbol Keagamaan
Tindakan panganut suatu agama mengandung simbol, dan memiliki makna
tertentu bagi penganutnya. Seperti dijelaskan dalam kamus Kata simbol (symbol)
dalam bahasa Inggris mengandung arti menggambarkan sesuatu, khususnya untuk
menggambarkan sesuatu yang immaterial, abstrak, suatu idea, kualitas, tanda-tanda
suatu obyek, proses dan lain-lain.1
Simbol secara etimologi adalah tanda yang digunakan untuk kepentingan
ritual tertentu.2 Sedangkan simbol secara terminologi adalah sesuatu yang sudah
dianggap atas dasar kesepakatan bersama, sebagai sesuatu yang memberikan sifat
alamiah (mewakili) atau mengingatkan kembali dengan memiliki atau
mengintegralkan kembali dengan memiliki kualitas yang sama atau dengan
membayangkan dalam kenyataan dalam hati dan pikiran.3
Victor Turner seorang antropolog menyatakan bahwa simbol adalah unit atau
bagian terkecil dalam ritual yang mengandung makna dari tingkah laku ritual yang
bersifat khusus. Simbol tersebut merupakan unit pokok dari struktur khusus dalam
1J. Coulson, The New Oxford Illustrated Dictionary (Oxford: University Press, 1978, Vol.III),
h. 1696.
2 WS. Indrawan, Kamus Ilmiah Populer( Surabaya: Cipta Media, 1999), h. 259.
3 H.A Rivay Sirregar, Tasawuf: dari Sufisme Klasik Ke Neo Sufisme (Jakarta: Grafindo
Persada, 1979), h. 13.
30
konteks ritual, dengan demikian bagian-bagian terkecil ritual perlu mendapat
perhatian peneliti seperti sesaji-sesaji, mantra, dan lain sebagainya.4
Melalui makna sebagai suatu instansi pengantara, Clifford Geertz berpendapat
bahwa sebuah simbol atau tanda dapat dilihat sebagai konsep-konsep yang dianggap
oleh manusia sebagai pengkhasan sesuatu yang mengandung kualitas-kualitas analis-
logis atau melalui asosiasi-asosiasi dalam pikiran atau fakta. Simbol merupakan suatu
objek yang memiliki makna yang sesuai dengan realitas kehidupan manusia, sehingga
makna tersebut secara tidak langsung diberikan oleh manusia sendiri, sehingga yang
membentuk sebuah sistem religius adalah serangkaian simbol sakral yang terjalin
menjadi sebuah keseluruhan tertentu yang teratur, jenis simbol-simbol yang
dipandang oleh suatu masyarakat sebagai suatu yang sangat sakral sangat bervariasi,
akan tetapi bahwa simbol-simbol sakral dipentaskan tidak hanya memiliki nilai-nilai
positif melainkan juga nilai-nilai negatif. Simbol-simbol tersebut tidak hanya
menunjuk ke arah adanya kebaikan, melainkan juga menunjukan adanya kejahatan.5
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia karangan WJS Poerwadarwinta juga,
menyebutkan bahwa simbol atau lambang ialah seperti tanda, lukisan
perkataan,lencana dan sebgainya, yang menyatakan sesuatu hal yang mengandung
maksud tertentu, misalnya warna putih menyimbolkan kesucian.6
Hubungan yang terjadi antara simbol dan objeknya tidak sesederhana seperti
hubungan antara tanda dan objeknya, tetapi ada kebutuhan dasariah akan
4 Suwardi Endraswara, Metodologi penelitian kebudayaan (Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 2006, h. 172. 5Clifford Geertz,Kebudayaan dan Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1992), h. 55-57. 6WJS Poerwadarwinta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1976), h.
556.
31
simbolisasi.Simbolisasi adalah pangkal titik tolak semua penangkapan manusia, dan
lebih umum dari pemikiran, pengambaran atau tindakan. Manusia bertindak
disebabkan oleh simbol-simbol yang berbagai jenis. Anton Bakker7, menyebutkan
tindakan manusia dibedakan dalam beberapa tingkatan dalam penghayatannya, yaitu:
1. Tindakan Praktis, yakni tidak terjadi hal-hal yang disembunyikan dibalik apa
yang ada, merupakan komunikasi antara dua orang yang berisi
pemberitahuan, petunjuk atau pengenalan sesuatu. Tindakan praktis
semacam itu tidak terdapat komunikasi mendalam, tetapi terbatas dan
berlansung sehari-hari tanpa proses yang berlanjut.
2. Tindakan Pragmatis, berkedudukan setingkat lebih tinggi dari tindakan
praktis, komunikasi lebih berlanjut kearah yang lebih luas namun masih
terbatas.
3. Tindakan Efektif, komunikasi bersifat lansung dan total, tetapi berjangka
waktu terbatas. Walaupun berjangka pendek, ia memperoleh hasil atau
secara efektif berlansung tanpa syarat.
4. Tindakan Simbolis, sifat komunikasi berjangka lama. Walaupun tindakan itu
sendiri hanya terjadi pada saat yang terbatas, ia mampu menyatukan
kepribadian yang disimbolkan menurut dua aspek, yaitu bersikap dasariah
dan berjangka panjang.
Untuk mengartikan akal manusia harus ada perantara, yaitu melaui simbol.
Simbol atau sarana yang digunakan oleh umat Hindu mengandung gambaran secara
7Anton Bakker, “Manusia dan Simbol”dalam Soejanto Poedpowar-djono dan K. Bertens,
Sekitar Manusia, Bungan Rampai Tentang Filsafat Manusia (Jakarta: Gramedia, 1977 ), h. 95-113.
32
tidak langsung, melainkan dengan mengunakan analogi. Simbol selalu dipakai dalam
kehidupan manusia, maka perlu interpretasi. I Made Seroja Yudhantara menyatakan
bahwa hidup itu sendiri adalah interpretasi. Melakukan interpretasi, pemahamannnya
“Engkau harus memahami untuk percaya, dan percaya untuk memahami”.8
Dari pernyataan di atas penulis dapat memahami bahwa Suatu fungsi khas
manusiawi secara alami membutuhkan wujud penampilan diri khas manusiawi, yaitu
ekspresi murni ide-ide. Otak sebagai trasformator yang merubah arus pengalaman
menjadi simbol-simbol, dan arus simbol-simbol merupakan gugusan pikiran manusia.
Simbolisasi menjadi jiwa dari tujuan dan sekaligus menjadi alat kebutuhan manusia.
Sebuah simbol tidak dapat digarap secara tuntas oleh bahasa konseptual. Di
dalam simbol ada sesuatu yang lebih dari yang ada. Simbol menantang untuk berfikir,
tetapi untuk berfikir membutuhkan bahasa. Dengan bahasa tidak akan pernah simbol
tertafsir sampai tuntas. simbol dapat mengungkapkan aspek-aspek tindakan dari
segala sisi entah itu kenyataan atau rahasia, artinya kenyataan yang tidak mungkin
terungkap oleh alat.9
Simbol-simbol bukan saja membangkitkan gambaran (images) dalam
kesadaran pemeluk agama, dengan menghantarkan manusia kepada realitas yang
dilambangkan, tetapi juga mengkomunikasikan realitas Ilahi kepada manusia. 10
8Wawancara dengan Made Soraja Yudhantara Selaku Kepala Pasraman Pura Merta Sari pada
tanggal 23 November 2019 pukul 13.00. 9 Wawancara dengan Made Soraja Yudhantara pukul 13.00. 10Hendro Puspito, Sosiologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1983), h. 99.
33
Simbol bukanlah hanya sekedar cerminan realitas obyektif. Tetapi, ia pun
mengungkapkan sesuatu yang lebih pokok dan lebih mendasar.11
Simbol-simbol agama adalah manifestasi psikis yang “alamiah” dengan
kehidupan organis dan perkembangannya sendiri selama berabad-berabad. Ia
menunjukkan bahwa bahkan sekarangpun kita menemukan simbol-simbol agama
yang autentik tumbuh seperti bunga, dari alam tidak sadar.12
Simbol bukan hanya bentuk luar yang menyembunyikan realitas religius yang
lebih nyata, melainkan kekuatan nyata untuk menjumpai yang suci, sebagaimana
diungkapkan oleh Marcea Eliade, bahwa simbol-simbol maupun berbagai ritus
menghadirkan kembali evaluasi balik dari kesadaran manusia dalam hal kenyataan
Yang Transenden dan Mutlak.13 Manusia tidak mampu mendekati yang suci, karena
yang suci itu immateri yang Transenden, sedangkan manusia adalah mahkluk bersifat
material yang terikat dengan dunianya. Oleh sebab itu manusia bisa mengenal yang
suci sejauh bisa dikenal dengan sesuatu yang dimaknai.
Dalam hidupnya manusia selalu berkaitan dengan simbol-simbol yang
berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Manusia adalah animal sybolicum,
yangartinya adalah pemikiran dan tingkah laku simbolis merupakan ciri yang betul-
betul khas manusiawi dan bahwa seluruh kemajuan kebudayaan manusia
mendasarkan diri pada kondisi-kondisi itu. Manusia adalah makhluk budaya dan
budaya manusia penuh dengan simbol, sehingga dapat dikatakan bahwa budaya
11 Ahmad Norma Permata, Metodologi Studi Agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h.
184. 12Jamaluddin Rakhmat, Psikologi Agama Sebuah Pengantar (Bandung: Mizan Pustaka, 2003),
h. 220. 13Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1995), h. 5.
34
manusia penuh diwarnai dengan simbolisme yaitu suatu tata pemikiran atau paham
yang menekankan atau mengikuti pola-pola yang mendasarkan diri pada simbol.14
Manusia disebut makhluk berpikir, berperasaan dan bersikap, melalui
ungkapan-ungkapan simbolis. Manusia memaknai kehidupannya melalui simbol-
simbol dan dengan arah itu pengalaman-pengalaman dapat didefinisikan serta diatur
dengan cara hidup komunitasnya.
Manusia unik karena mereka memiliki kemampuan memanipulasi simbol-
simbol berdasarkan kesadaran. Simbol adalah suatu rangsangan yang mengandung
makna dan nilai yang dipelajari bagi manusia, dan respons manusia terhadap simbol
adalah dalam pengertian makna dan nilainya dalam pengertian stimulasi fisik
darialat-alat inderanya. Makna suatu simbol bukanlah pertama tama ciri-ciri fisiknya,
namun apa yang dapat orang lakukan mengenai simbol tersebut.15
Simbol itu bervariasi dari suatu budaya ke budaya lain, dari sutu tempat ke
tempat lain, dari suatu konteks waktu ke konteks waktu yang lain. Begitu juga makna
yang diberikan kepada simbol tersebut.16Penggunaan simbol komunikasi akan dilihat
oleh sistem yang berada disekelilingnya, sebab nilai atau norma masyarakat sebuah
standar dalam perlakuan anggota masyarakat yang berfungsi untuk menjaga
kestabilan interaksi internal anggota masyarakat.
Manusia yang beragama dengan baik selalu menjauhi segala larangannya, dan
melaksanakan segala perintah-perintah Tuhannya. Dengan ungkapan lain bahwa
14 Suwardi Endraswara, Metodologi penelitian kebudayaan (Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 2006), h. 171. 15 DeddyMulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif Paradigma Baru Ilmu Komunikasi
danIlmu Sosial Lainnya (Bandung: Rosdakarya, 2001), h. 77. 16 DeddyMulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif Paradigma Baru Ilmu Komunikasi
danIlmu Sosial Lainnya, h. 95.
35
beragama berarti penyerahan diri kepada Tuhan. Penyerahan diri kepada Tuhan
dilakukan dengan simbol-simbol.
Koentjaraningrat menyebutkan ada empat komponen dalam sistem agama.
1. Emosi keagamaan yang menyebabkan manusia menjadi religius. Emosi
keagamaan merupakan suatu getaran yang yang menggerakkan jiwa manusia.
Proses ini terjadi apabila manusia memperoleh cahaya dari Tuhan. Getearan
jiwa yang disebut emosi keagamaan tadi bisa dirasakan seseorang individu
dalam keadaan sendiri. Suatu aktivitas keagamaan dapat dilakukan oleh
seorang dalam kehidupan sunyi senyap. Seseorang bisa berdoa, bersujud atau
melakukan sembahyang sendiri dengan penuh khidmat. Manakala dihinggapi
emosi keagamaan, ia akan membayangkan Tuhannya.
2. Sistem kepercayaan yang mengandung keyakinan serta imajinasi manusia
tentang Tuhan, keberadaan alam gaib, dan makhluk-makhluk gaib dan lain
sebagainya. Keyakinan-keyakinan seperti itu biasanya diajarkan kepada
manusia dari kitab suci agama yang bersangkutan. Sistem kepercayaan erat
hubungannya dengan sistem ritual keagamaan adan menentukan tata urut dari
unsur-unsur acara, serta sarana dan prasarana yang digunakan dalam unsur
keagamaan.
3. Sistem ritual keagamaan yang bertujuan mencari hubungan manusia dengan
Tuhan. Sistem ritual keagamaan ini melambangkan konsep-konsep yang
terkandung dalam sistem kepercayaan.
4. Kelompok-kelompok keagamaan bisa berupa organisasi sosial keagamaan,
organisasi dakwah atau penyiaran keagamaan yang juga menggunakan
36
simbol-simbol dengan ciri khas masing-masing kelompok keagamaan
tersebut.17
Kedudukan simbol-simbol dalam keagamaan merupakan penghubung antara
komunikasi keagmaan lahir dan batin. Tindakan simbolisme dalam ritual keagamaan
merupakan bagian yang sangat penting dan tidak mungkin dibuang begitu saja.
Manusia harus melakukan sesuatu yang melambangkan komunikasi dengan Tuhan.
Sepanjang sejarah kehidupan manusia dapat ditemukan tindakan-tindakan
manusia dalam agama, sosial, politik dan lain sebagaimana dengan menggunakan
simbol-simbol. Bahkan simbolisme sangat menonjol peranannya dalam keagamaan.
Hal ini dapat dilihat pada segala bentuk ritual keagamaan. Misalnya kalo dalam Islam
dapat dilihat pada kitab-kitab para Nabi, sejak Nabi Adam as sampai dengan Nabi
Muhammmad SAW. Dalam hubungan ini, Hery Susanto mengutip Mircie Eliade
dalam buku Myth and Reality bahwa manusia tidak mampu mendekati yang kudus
secara lansung karena yang kudus itu transenden sedangkan manusia itu makhluk
temporal yang terikat didalam dunianya. Maka manusia bisa mngenal yang kudus,
sejauh bisa dikenal melalui simbol. Simbol merupakan suatu cara untuk dapat pada
pengenalan Yang Kudus dan transenden.18
Semua kegiatan manusia pada umumnya melihat simbolisme. Karena itu
manusia bukan hanya merupakan animal rationale, tetapi disebut juga homo
simbolicus. Mungkin dalam lingkungan keagamaan kadang-kadang para pemeluk
agama tidak perlu menggunakan suatu ungkapan simbolis. Hal ini tergantung pada
17Koentjaraningrat, Kebudayaan, Metalitet, dan pembangunan (Jakarta: PT Gramedia, 1974),
h. 25. 18Hery Susanto, Mitos Menurut Pemikiran Mircie Eliade (Yogyakarta: Kanisius,1978), h. 40.
37
kodrat makna yang akan dikomunikasikan. Namun di dalam lingkungan keagamaan
fakta-fakta keagamaan itu sendiri menurut kodratnya sudah bersifat simbolis. Yang
Kudus selalu menduduki tempat sentral dalam agama. Ungkapan-ungkapan
keagamaan selalu menunjuk pada suatu yang transenden, yang trans manusiawi, yang
trans historis.
Pemikiran simbolis merupakan cara pengetahuan otonom yang mempunyai
struktur sendiri, simbol-simbol mempunyai logika sendiri serta membentuk suatu
sistem struktural yang koheren. Dan setiap simbolisme yang koheren itu bersifat
universal. Simbol berbicara lebih banyak daripada yang bisa diungkapkan dengan
kata-kata dan pengetahuan biasa. Simbol memberikan informasi yang sering sangat
sulit, jika mustahil untuk diungkapkan.
The Liang Gie di dalam kamus logika Dictonary of Logic menyebutkan
bahwa simbol adalah tanda buatan manusia yang bukan berwujud kata-kata untuk
mewakili sesuatu dalam bidang logika saja karena dalam budaya simbol dapat berupa
katara-kata, berikut ini akan dijelaskan lebih lanjut.19
Simbol dapat berupa objek, kejadian, bunyi atau suara, dan tulisan-tulisan atau
ukiran gambar yang dibentuk serta diberi makna oleh manusia. Simbol atau tanda
dapat dilihat sebagai konsep-konsep yang memiliki pengkhasan yang mngandung
suatu kualitas-kualitas analisis-logis atau melalui asosiasi-asosiasi pikiran dan fakta.20
Dapat dipahami dalam hal ini, simbol membawa suatu pesan yang
mengandung sebuah makna yang mendorong pemikiran dan tindakan seseorang.
19The Liang Gie, Dictonary of Logic (Yogyakarta: Karya Kencana, 1975), h. 26. 20 Setya YuwanaSudikan, Antropologi Sastra (Surabaya: Unesa University Press, 2007), h. 40.
38
Melalui makna sebagai suatu instansi pengantara, maka sebuah simbol dapat
menerjemahkan pengetahuan menjadi nilai, dan juga dapat menerjemahkan
seperangkat nilai menjadi suatu sistem pengetahuan. Simbol merupakan suatu objek
yang memiliki makna yang sesuai dengan realitas kehidupan manusia, sehingga
makna tersebut secara tidak langsung diberikan oleh manusia sendiri.
Kesatuan sebuah kelompok dengan semua nilai budayanya, diungkapkan
dengan menggunakan simbol. Menurut Dillistone, simbol berasal dari kata kerja
dasarnya symbolleindalam bahasa Yunani berarti “mencocokkan”, kedua bagian yang
dicocokkan disebut symbola. Sebuah simbol pada mulanya adalah sebuah benda,
sebuah tanda, atau sebuah kata, yang digunakan untuk saling mengenali dan dengan
arti yang sudah dipahami.21
Simbol-simbol agama wujudnya dapat berbentuk benda-benda dan juga non
benda. Agama berada dalam tataran abstrak (bathin) yang inti dan sifatnya
berhubungan dengan kepercayaan/keyakinan (sradha). Manifestasi sraddha agar
benar-benar tampak nyata itulah sebagai cara-cara menjalankan agama, yang
diantaranya dapat melahirkan simbol-simbol.22
Lebih lanjut tentang simbol, Swami Sivananda menambahkan dalam contoh
Pratima atau patung merupakan pengganti. Gambar atau arca pada sebuah Pura,
walaupun terbuat dari batu, kayu, kertas atau logam sangat berharga bagi seorang
penyembah, karena hal itu menandakan ada hubungan dengan yang disembah, Tuhan
Yang Maha Esa atau manifestasi-Nya. Gambar atau arca itu menggantikan sesautu
21 F.W.Dillistone, The Power of Simbols (Yogyakarta: Kanisius, 2002), h. 21. 22I Ketut Artadi, Kebudayaan Spiritualitas (Denpasar : Pustaka Bali Post, 2011), h. 35-36.
39
yang ia sucikan dan abadi, seperti halnya bendera merah putih misalnya yang
sejatinya hanya potongan kain kecil, namun sangat mengghugah emosi dan
membangkitkan spirit perjuangan, hingga rela mengorbankan raga dan jiwa untuk
merebut dan atau mempertahankannya.23
Simbol merupakan sebuah pusat perhatian, sebuah sarana komunikasi dan
landasan pemahaman bersama. Setiap komunikasi, dengan bahasa atau sarana yang
lain, menggunakan simbol-simbol. Cassirer memberi petunjuk kepada kodrat manusia
mengenai simbol, yakni selalu berhubungan dengan
1. Ide simbol (didasarkan pada pertimbangan prinsip-prinsip empirik untuk
memvisualisasikan ide dalam bentuk simbol)
2. Lingkaran fungsi simbol
3. Sistem simbol (sebagai sistem, memuat bermacam-macam benang yang
menyusun jaring-jaring simbolis).24
Sistem simbol ini terstruktur di dalam semua dimensi agama, yang dikenal
sebagai struktur rohani. Terdapat tiga struktur rohani (agama) yang melahirkan
berbagai simbol yaitu;
1. Struktur keyakinan atau kepercayaan
2. Struktur ibadah (warship) dalam berbagai polanya
23Sri Swami Sivananda, All About of Hinduism, diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia
Intisari Ajaran Hindu (Surabaya.: Yayasan Sanatana Dharmasrama, 1993), h. 154. 24 Ernst Cassirer, Manusia dan Kebudayaan: Sebuah Esei Tentang Manusia, Terj. Alois A.
Nugroho (Jakarta: PT Gramedia, 1987), h. 36-40.
40
3. Struktur komunal (umat) yang tampil dalam bentuk organisasi atau asosiasi.
Ketiga struktur rohani inilah yang mewarnai keempat sistem simbol keagamaan
di atas.25
Apabila sistem simbol dapat menggambar makna yang ada dibaliknya secara
harfiah dan merubah sesuatu yang hidup menjadi sebuah pesan atau tanda yang dapat
dihayati, maka secara dinamis akan terkorelasi dengan sesuatu yang dipercaya atau
dikuduskan yang berada di alam transenden. Dengan demikian Sistem ini dapat
mengkonfigurasikan antara tanda (simbol) dengan kepercayaan yang berada di alam
transenden atau alam gaib. Dengan kata lain simbol yang berbentuk berbagai pesan
yang bersifat seni dan lain-lainnya terkorelasi secara langsung dengan sesuatu yang
menjadi kepercayaan dan pemujaan didalam kehidupan keagamaan. Atas dasar itu,
simbol dipandang sebagai sebuah pesan yang lazim diartikan sebagai ajaran atau
doktrin yang wajib dipatuhi dan diamalkan, dipandang sebagai sebuah sitem
kepercayaan yang menjadi dasar dari perilaku keagamaan, dan jamak difigurasikan
sebagai suatu hakikat yang tertinggi, yang suci, dipuja dan di sembah.
Simbol tidak saja berdimensi horisontal-imanen, melainkan pula bermatra
transenden, jadi horisontal-vertikal; simbol bermatra metafisik. 26 Sebagaimana di
jelaskan oleh Cassirer, bahwa simbol merupakan sebagian dari dunia manusia
mengenai arti atau makna. Dimana Manusia tidak pernah melihat, menemukan, dan
mengenal dunia secara langsung kecuali melalui simbol. Manusia tidak lagi hidup
semata-mata dalam semesta fisik, tetapi juga hidup dalam semesta simbolik. Bahasa,
25 Sumandiyo, Seni Dalam Ritual Agama (Yogyakarta: pen. Pustaka, 2006), H. 52. 26 Hans J. Daeng, Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2000), h. 82.
41
mite, seni, dan agama adalah bagian-bagian dari semesta ini. Bagian-bagian dari
semesta ini bagaikan aneka ragam benang yang terjalin membangun anyaman jaring
simbolik. Semua kemajuan manusia dalam pemikiran dan pengalaman memperhalus
dan memperkuat jaring-jaring simbolik tersebut. Hal ini menegaskan bahwa begitu
eratnya kehidupan manusia dengan simbol-simbol, sampai manusia pun disebut
makhluk dengan simbol-simbol (homo simbolicus). Manusia berpikir, berperasaan,
bersikap, dan bertindak dengan ungkapan-ungkapan yang simbolis.27
Dalam budaya Indonesia pra-modern28 simbol adalah tanda kehadiran yang
transenden. Acuan simbol bukan konotasi gagasan (rasio), dan pengalaman manusia
(rasa), akan tetapi hadirnya daya-daya atau energi adikodrati. Simbol adalah tanda
kehadiran yang absolut itu. Inilah sebabnya simbol-simbol presentasional Indonesia
tidak memperdulikan benda seni itu indah atau menyenangkan, tapi berguna dalam
praksis menghadirkan yang transenden itu. Dalam simbol terdapat konsep besar yang
ada dibaliknya, dapat dibaca secara sistem kepercayaan mengenai kehadiran yang
transenden. Sebagai contoh, walau tujuan terakhir usaha manusia Jawa adalah
kesatuan hamba dan Tuhan, namun tekanan tidak terletak pada pengalaman
transenden. Tujuan terakhir bukanlah teori tentang keakuan dan Yang Ilahi, bukan
juga penyerahan terhadap Yang Ilahi sebagai sikap religius, melainkan unsur-unsur
itu sendiri yaitu teori dan iman (pandangan itu bukan hanya sebagai teori, melainkan
sebagai praksis kehidupan manusia yang bermakna), yang masih menjadi sarana
27 Ernest Cassirer, An Essay on Man; an Introduction to a Philoshopy of Human Culture
(New York: New Heaven, 1994), h. 23. 28Sebelum maju (modern), primitif.
42
pembulatan kekuasaan eksistensinya sendiri, yakni pembulatan diri dalam rasa, dalam
perasaan terhadap realitas.29
Penulis berkesimpulan bahwa simbol merupakan lambang atau tanda yang
berasal dari gagasan atau ide manusia yang dapat diinderai atau diwujudkan terutama
dalam kehidupan beragama. Simbol ialah sebuah sarana pendekatan dan pengabdian
kepada Tuhan Yang Maha Esa, sebagai alat untuk membangkitkan imajinasi dan
kesadaran pemeluk agama, sebagai penghantar atau alat untuk berkomunikasi dengan
Tuhannya yang dimanifestasikan melalui simbol. Simbol adalah perwujudan konkret
yang terbentuk dari kerinduan penganutnya. Untuk menjelaskan keyakinan, perasaan,
maka simbol atau sumber-sumber simbolis sangat di butuhkan. Bagi masyarakat
beragama Hindu khususnya di Pura Merta Sari Rengas Simbol-simbol yang di
gunakan pastinya memiliki makna tersendiri/anggapan khusus yang lebih dan
berbeda dengan kita yang hanya memandang sebagai hal yang biasa.
B. Bentuk dan Sakralisasi Simbol
1. Bentuk Simbol
Tuhan dipahami dalam banyak cara melalui simbol-simbol keagamaan.
Manusia menyatakan pengalaman yang dirasakannya dalam proposisi yang bersifat
simbolik dan deskriptif. Sebuah simbol yang sejati bukanlah mimpi atau bayangan.
Dia adalah pewahyuan atau pengungkapan yang hidup dari Tuhan yang sebetulnya
tak terpikirkan. Kita menerima simbol-simbol itu melalui keyakinan, yang bagi
kebanyakan orang adalah satu-satunya cara yang mungkin untuk berpartisipasi dalam
kebenaran suci. Simbol-simbol adalah jalan untuk membantu kita menuju realisasi
29Jakob Soemardjo,Estetika Paradoks (Bandung: Sunan Ambu Press, 2006), h. 43-44.
43
rohani. Sepanjang waktu para Rsi kita menyadari bahwa bahasa manusia gagal ketika
mencoba menjelaskan hakikat dari Tuhan.30
Simbol-simbol Tuhan dalam agama Hindu banyak jumlahnya. Ada yang
berbentuk seperti manusia, binatang, separuh manusia separuh binatang dan benda-
benda lainnya baik benda-benda langit, huruf-huruf dan bahkan sarana persembahan
seperti daksina merupakan perwujudan Dewa-Dewa atau Dewi-Dewi manifestasi
Tuhan Yang Maha Esa atau roh suci para leluhur.31
Penggambaran wujud Tuhan dalam bentuk-bentuk tertentu (Citra Dewata)
bertujuan untuk mendekatkan para bhakta secara psikologis terhadap Tuhan yang
dipujanya. Dalam Bhagavadgita disebutkan sebagai berikut:
aneka-vaktra-nayanam
anekàdbhùta-darśanam,
aneka divyàbharaņam
divyànekodyatàyudham.
divya-màlyàmbara-dharam divya-
gandhànulepanam,
sarvàścarya-mayam devam
anantam viśvato-mukham.
(Bhagavadgita.XI.10-11)
Terjemahan :
Dalam bentuk semesta itu, Arjuna melihat mulut-mulut yang tidak terhingga,
mata yang tidak terhingga, dan wahyu-wahyu ajaib yang tidak terhingga. Bentuk
tersebut dihiasi dengan banyak perhiasan rohani dan membawa banyak senjata rohani
yang diangkat. Beliau memakai kalung rangkaian bunga dan perhiasan rohani, dan
30Wawancara dengan Wayan Pinda Asmara Selaku Pinandita Pura Merta Sari pada tanggal
23 Juni 2019 pukul 11.40. 31 I Made Titib, Teologi dan Simbol-Simbol Dalam Agama Hindu (Surabaya: Paramita,2003),
h. 67-69.
44
banyak jenis minyak wangi rohani dioleskan pada seluruh badan-Nya. Semuanya
ajaib, bercahaya, tidak terbatas dan tersebar kemana-mana.32
Bila diamati dengan seksama, ditemukan berbagai bentuk simbol-simbol
keagamaan Hindu yang sesungghunya bermanfaat sebagai media mendekatkan diri
kepada Tuhan yang Maha Esa. Berbagai simbol-simbol keagaman itu dari bentuk dan
bahannya yang sangat sederhana hingga kompleks dapat dijumpai penjelasan atau
keterangannya dalam kitab suci Weda dan susastra Hindu, termasuk dalam berbagai
lontar yang diwarisi di Bali, yang pada kesemua itu pada intinya adalah sebagai
bentuk penggambaran Tuhan Yang Maha Esa dengan segala manifestasi-Nya.
Berikut penjabaran mengenai bentuk penggambaran Tuhan Yang Maha Esa
beserta manifestasi-Nya itu disebut Citradewata, yang jika dirinci dapat dibagi
menjadi :
1) Berbentuk manusia dengan segala kelebihannya, seperti bertangan empat,
delapan atau dua belas, bermata tiga, dll. Penggunaan simbol manusia baik
laki-laki dan wanita, atau setengah laki dan wanita (ardhanareswari) terutama
ditujukan kepada para Devata, baik Deva-Deva atau Devi-Devi, termasuk
sosok Apsara (Vidyadara) dan Apsari (Vidyadari), dll.
2) Berbentuk binatang, misalnya berwujud Barong Ket sebagai simbol Sang
Hyang Siwa, Barong Bangkung simbol Wisnu, lalu Naga Taksaka simbol
Sang Hyang Siwa, Naga Basuki simbol Sang Hyang Visnu, dll
32S. AgusMantik, Bhagawadgita (Surabaya : Paramita 2007), h. 395.
45
3) Berbentuk setengah manusia dan setengah binatang, seperti Ganesa, putra
Sang Hyang Siva yang lahir dari Devi Uma; lalu Deva Hayagriva, berbadan
manusia den-gan kepala kuda; dll.
4) Berbentuk manusia berkepala tumbuh-tumbuhan, misalnya pohon Soma,
pohon Kha, dll, hanya saja simbol sepertri ini tidak begitu dikenal terutama di
Bali.
5) Berbentuk benda-benda atau huruf tertentu, misalnya matahari atau cakram
(roda) simbol Sang Hyang Surya; bulan simbol Devi candra, lalu huruf suci
Omkara simbol Tuhan Yang Maha Esa; Swastika simbol keselamatan, Canang
simbol sthana Devata, Daksina simbol Deva Brahma, Keangen simbol
Ardhanareswari (Purusa-Pradhana), dll.
Bagi umat Hindu, semua bentuk simbol itu dapat menimbulkan getaran batin
dalam dirinya lalu dirasakan dan diyakini sebagai sarana mendekatkan diri dengan
Tuhan Yang Maha Esa beserta segala manifestasi-Nya.33
Dari paparan di atas, menurut penulis bahwa simbol-simbol yang merupakan
produk pemikiran manusia, kemudian berkembang menjadi bagian dari ajaran suatu
Agama sesuai dengan Fungsinya. Hal ini dimaksudkan untuk merefleksikan suatu
ibadah.
2. Sakralisasi Simbol
Di dalam agama, konsep yang suci bersifat abstrak agar yang abstrak itu
menjadi jelas bagi pemeluknya maka pemeluknya itu menjadikan-Nya dalam bahasa
33 PHDI. Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama
Hindu IXIV (Kuta : Peradah Komisariat Kecamatan Kuta, 1988), h. 67-69)
46
simbol. Adapun simbol menjadi sesuatu yang disakralkan oleh pembuatnya sehingga
membangkitkan gambaran (image) dalam kesadaran pemeluk agama dengan
mengantar dan menetapkan menusia dengan realitas yang dilambangkan, tetapi juga
mengkomunikasikan realitas Ilahi kepada manusia. Sepanjang sejarah budaya
manusia, simbol telah mewarnai tindakan-tindakan manusia baik tingkah laku, bahasa,
ilmu pengetahuan dan religi.
Bentuk simbol seperti tersebut di atas sebelum difungsikan sebagai objek
pemujaan terhadap Sang Hyang Widhi, terlebih dahulu harus memenuhi syarat ritual
yang disebut prayascita (upacara Malaspas) dan dilanjutkan dengan Abhiseka
(pasupati, ngalinggihan atau ngenteg linggih) dan pensucian. Apabila simbol-simbol
tersebut telah mengalami proses prayascita dan abhiseka maka simbol-simbol itu
telah dapat difungsikan sebagai pengganti wujud Tuhan yang bersifat nirupa dan
nirguna. Simbol-simbol yang belum mengalami proses prayascita dan abhiseka maka
simbol-simbol itu belum dapat digunakan atau difungsikan sebagai pengganti wujud
Tuhan atau Ista Dewata.34
Simbol manifestasi Tuhan Yang Maha Esa yang telah disakralkan merupakan
sarana pemujaan umat Hindu dan ketika melihat simbol-simbol itu di altar pemujaan
umat Hindu mencakupkan kedua belah tangan di dada atau di atas kepala. Bahkan
ketika simbol-simbol itu belum atau tidak mengalami proses sakralisasi, jika
ditemukan pada tempat yang tidak semestinya setiap umat Hindu wajib
mengamankan misalnya gambar citra Dewata tergeletak dilantai atau ditempat
34 I Made Titib, Teologi dan Simbol-Simbol Dalam Agama Hindu (Surabaya: Paramita,2003),
h. 75-76.
47
sampah umat Hindu yang menemukan hendaknya segera mengamankan dengan
menaruh kembali pada tempatnya yang layak, jika gambar itu dalam keadaan
terbangkalai di tempat kotor agar umat Hindu dengan penuh hormat membakarnya
untuk mengindari pencemaran kesuciannya. Demikian pula halnya dengan kitab suci
Weda atau Susastra yang memuat kutipan mantra-mantra suci Weda wajib
diperlakukan dengan penuh hormat, misalnya membaca Weda hendaknya dengan alas
baca, tidak diperkenankan membaca kitab suci Weda dengan menempatkan tergeletak
dilantai. Sebelum membuka kitab suci Weda hendaknya membaca doa permohonan
kepada Dewi Saraswati, doa pujian kepada Maha Rsi Wyasa sebagai pengkodifikasi
Weda dan Guru besar Weda.35
Simbol-simbol baik yang berupa arca, gambar, lukisan maupun kata-kata bisa
menumbuhkan rasa keindahan, kesucian, kedamaian, dan rasa keagamaan
(religiusitas) serta spiritualitas bagi setiap orang. Simbol-simbol Hindu bersifat
universal. Oleh karena itu ia dapat dipergunakan oleh siapa saja, tidak hanya terbatas
oleh umat Hindu. Umat Hindu, dengan mengakui universalitas makna, nilai dan
manfaat dari simbol-simbol itu, tidak akan menghalangi, bahkan bilamana perlu
mendorong pengunaannya oleh orang lain, dengan syarat penggunaan itu
dimaksudkan untuk tujuan kebaikan, dan tempatkan pada tempat yang pantas dan
terhormat.36
35 Wawancara dengan Wayan Pinda Asmara Selaku Pinandita Pura Merta Sari pada tanggal
23 Juni 2019 pukul 11.40. 36 I Made Titib, Teologi dan Simbol-Simbol Dalam Agama Hindu (Surabaya: Paramita,2003),
h. 70.
48
C. Sifat-sifat Simbol
Suatu simbol merupakan suatu stimulus yang menandai kehadiran sesuatu
yang lain. Dengan demikian suatu simbol berhubungan erat dengan maksud tindakan
yang sebenarnya.37
Makna yang kita berikan pada sebuah simbol merupakan produk dari interaksi
sosial dan menggambarkan kesepakatan kita untuk menerapkan makna tertentu pada
simbol tertentu. Simbol mempunyai beberapa sifat, yaitu sebagai berikut :
1. Simbol bersifat sembarang, manasuka, atau sewenang-wenang. Apa saja bisa
dijadikan lambang, bergantung pada kesepakatan bersama. Kata-kata (lisan
atau tulisan), isyarat anggota tubuh, makanan, cara makan, tempat tinggal,
jabatan (pekerjaan), olahraga, hobi, peristiwa, hewan, tumbuhan, gedung, alat
(artefak), angka, bunyi, waktu, dan sebagainya. Semua hal tersebut bisa
menjadi lambang atau simbol.
2. Simbol pada dasarnya tidak mempunyai makna, kitalah yang memberikan
makna pada simbol. Makna sebenarnya ada dalam kepala kita, bukan terletak
pada simbol itu sendiri. Kalaupun ada orang yang mengatakan bahwa kata-
kata mempunyai makna, yang ia maksudkan sebenarnya bahwa kata-kata itu
mendorong orang untuk memberi makna (yang telah disetujui bersama)
terhadap kata-kata itu.
3. Simbol atau lambang itu bervariasi. Simbol itu bervariasi dari suatu budaya ke
budaya lain, dari suatu tempat ke tempat lain, dan dari suatu konteks waktu ke
konteks waktu lain. Begitu juga makna yang diberikan kepada lambang
37 Morissan, Teori Komunikasi(Bogor : Ghalia Indonesia, 2013), h. 89.
49
tersebut. Untuk menyebut benda yang biasanya di digunakan untuk membaca
pada orang Indonesia menggunakan kata buku, orang Jepang hon, orang
Inggris book, orang Jerman buch, orang Belanda boek, dan orang Arab kitab.
Pendek kata, hanya memerlukan kesepakatan mengenai suatu lambang. Jika
semuanya sepakat, kita bisa saja menyebut benda berkaki empat yang biasa
kita duduki bukanlah “kursi”.38
D. Fungsi Simbol
Manusia sebagai mahluk yang mengenal simbol, menggunakan simbol untuk
mengungkapkan siapa dirinya. Karena manusia dalam menjalani hidupnya tidak
mungkin sendirian melainkan secara berkelompok atau disebut dengan masyarakat,
karena antara yang satu dengan yang lainnya saling membutuhkan. Manusia sebagai
anggota masyarakat dalam melakukan interaksinya seringkali menggunakan simbol
dalam memahami interaksinya.39
Menurut Mangunwijaya, dalam pandangan kepercayaan masyarakat mitologis,
bentuk-bentuk arsitektural hadir sebagai sarana mitis penghadiran, selaku simbol
kosmologis perwujudan bentuk dasar orientasi diri, menyangkut keadaan manusia.
Orientasi diri adalah naluri kodrati untuk mencegah manusia hanyut tanpa
kepastian.40
Adapun fungsi simbol adalah :
38Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi, Suatu Pengantar (Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
2010), h. 92. 39Faridatul Wasimah, Makna Simbol Tradisi Mudun Lemah (skripsi, UINSA, 2012), h. 26
40 Bernard Raho, Teori Sosiologi Modern (Jakarta : Prestasi Pusaka, 2007), h. 110
50
1. Simbol memungkinkan manusia untuk berhubungan dengan dunia material dan
sosial dengan membolehkan mereka memberi nama, membuat katagori, dan
mengingat objek-objek yang mereka temukan dimana saja. Dalam hal ini
bahasa mempunyai peran yang sangat penting
2. Simbol menyempurnakan manusia untuk memahami lingkungannya.
3. Simbol menyempurnakan kemampuan manusia untuk berfikir. Dalam arti ini,
berfikir dapat dianggap sebagai interaksi simbolik dengan diri sendiri.
4. Simbol meningkatkan kemampuan manusia untuk mecahkan persoalan manusia.
sedangkan manusia bisa berfikir dengan menggunakan simbolsimbol sebelum
melakukan pilihan-pilihan dalam melakukan sesuatu.
5. Penggunaan simbol-simbol memungkinkan manusia bertransendensi dari segi
waktu, tempat dan bahkan diri mereka sendiri. Dengan menggunakan simbol-
simbol manusia bisa membayangkan bagaimana hidup dimasa lampau atau
akan datang. Mereka juga bisa membayangkan tentang diri mereka sendiri
berdasarkan pandangan orang lain.
6. Simbol-simbol memungkinkan manusia bisa membayangkan
kenyataankenyataan metafisis seperti surga dan neraka.
7. Simbol-simbol memungkinkan manusia agar tidak diperbudak oleh
lingkungannya. Mereka bisa lebih aktif ketimbang pasif dalam mengarahkan
dirinya kepada sesuatu yang mereka perbuat.41
Dari paparan di atas, penulis berkesimpulan bahwa simbol-simbol keagamaan
memiliki arti penting bagi manusia dalam mengungkapkan kebutuhan hidupnya baik
41 Bernard Raho, Teori Sosiologi Modern(Jakarta : Prestasi Pusaka, 2007), h. 110.
51
dalam interaksi sosial atau dalam beribadah. Dengan simbol-simbol itulah manusia
dapat memahami pesan-pesan moral yang terkandung di dalamnya.
52
BAB IV
MAKNA DAN FUNGSI SIMBOL-SIMBOL KEAGAMAAN PURA
MERTASARI RENGAS
A. Simbol Sarana1 Persembahyangan Pura Merta Sari Rengas
Tempat ibadah umat Hindu hampir sama, karena yang di puja pun sama
intinya menuju Tuhan. Mungkin yang berbeda dari segi aksesoris atau ukiran-ukiran
bangunan yang di gunakan. Semisalnya, jika dananya besar mungkin bisa lebih bagus
begitupun sebaliknya. Namun esensi dari bangunan tersebut tetap sama, yaitu tempat
ibadah menghadap Tuhan. Intinya semua hampir sama, entah dari segi tata letak
bangunannya bisa dibilang hampir sama tidak jauh berbeda dibandingkan dengan
pura-pura lainnya.2
Dilihat dari tatanan upacaranya sudah jelas berbeda di bandingkan dengan
agama islam misalnya. Dalam agama Hindu memepergunakan sarana seperti alat.
Jadi apapun, kemanapun kita pergi pasti mempergunakan alat. Apalagi menuju Tuhan,
kita selaku umat Hinduharus butuh sarana. Maka disini dibuatlah semacam sesaji,
mempergunakan dupa, bunga, air dan lain sebagainya. Semuanya memiliki makna
tersendiri bagi umat Hindu yang dijadikan sebagai penuntun atau perantara menuju
Tuhannya. Itulah mengapa umat Hindu untuk menuju Tuhannya atau menghadap
Tuhannya menggunakan sarana-sarana. Karena Tuhan tak terfikirkan,
1Kata “sarana” berarti suatu alat untuk mencapai suatu tujuan atau maksud tertentu. W. J. S.
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2006), h. 768. 2Wawancara dengan Wayan Pinda Asmara Selaku Pinandita Pura Merta Sari pada tanggal 10
Oktober 2019 pukul 15.13.
53
manusia tidak akan mampu memikirkan bentuk Tuhan karena Tuhan itu tidak
berbentuk dan Tuhan itu berada dimana-mana. Misalnya seperti dalam
mempergunakan sarana sesajen atau sesembahan maknanya, jadi apapun yang kita
dapatkan sebelumdinikmati atau dimakan harus dipersembahkan dulu kepada Tuhan.
Karena semua milik Tuhan, semua berasal dari Tuhan, kita sebagai umatnya hanya
mampumengucapkan syukur atau berterimakasih kepada Tuhan Sang Hyang Widhi.3
Jika melihat umat Hindu selesai melakukan persembahyangan pasti terlihat
ada beras yang ditempelkan pada dahi, terlihat bunga pada telinga(laki-laki) dan pada
rambut (wanita). Setiap akhir dari prosesi persembahyangan ada istilah metirtha,
mesekar dan mebija, ketiganya mempunyai makna yang sangat penting bagi umat
Hindu. Karenanya sebelum melakukan persembahyangan diperlukan perlengkapan
(sarana) sembahyang.4
1. Simbol Patung
Patung adalah sculpture (bahasa Inggris) dalam bahasa Latin yaitu
Sculpsit,sculptilis yang berarti patung (arca). 5 Sebagai umat Hindu
Arca adalah patung yang dibuat dengan tujuan utama sebagai media keagamaan,
yaitu sarana dalam memuja Tuhan atau Dewa-dewinya. Arca berbeda dengan patung
pada umumnya, yang merupakan hasil seni yang dimaksudkan sebagai sebuah
3Wawancara dengan Wayan Pinda Asmara Selaku Pinandita Pura Merta Sari pada tanggal 10
Oktober 2019 pukul 15.13. 4 Makna sarana persembahan Hindu, artikel diakses tanggal 17 Desember 2019 dari
http://kb.alitmd.com/%E2%80%8Bmakna-sarana-persembahyangan-hindu/ 5Soedarso, SP. Tinjauan Seni. Sebuah Pengantar Untuk Apresiasi Sen.(Yogyakarta: Saku
Dayar Sana, 1987), h. 8.
54
keindahan. Oleh karena itu, membuat sebuah arca tidaklah sesederhana membuat
sebuah patung.6
Sesungguhnya sejak zaman prasejarah mulai dari bentuk yang paling
sederhana patung difungsikan sebagai simbol roh nenek moyang atau media
pemujaan. Oleh karenanya banyak ditemukan peninggalan patung sederhana yang
berasal dari masa megalitik pada tempat-tempat suci seperti di Pura. Karena arca-arca
dinilai mempunyai kekuatan sakti, religius magis, maka sampai sekarang arca
tersebut masih dikeramatkan sesuai dengan kepercayaan masyarakat.7
Terciptanya arca-arca sederhana tidak lain didasari oleh konsep kekuatan
penolakan magis yang ditempatkan pada tempat tertentu, karena mempunyai sifat
melindungi. Konsep-konsep pemikiran yang muncul pada saat itu ialah adanya
kekuatan yang melebihi kemampuan manusia itu sendiri sehingga muncul arca-arca
sebagai media simbol. 8 Contohnya di dalam pura Merta Sari Rengas sebelum
memasuki tempat Suci dalam sebuah Pura, terdapat dua buah arca yaitu Arca-arca
penjaga (Dwarapala) yang menakutkan berperan untuk menjaga kesucian suatu
tempat suci.
Dengan adanya pandangan kepercayaan seperti itu maka wajarlah arca-arca
sederhana tersebut tetap dikeramatkan oleh umat Hindu khususnya di Pura Merta Sari
dan dibuatkan sebuah pelinggih khusus di dalam pura. Suatu simbol diyakini sakral
oleh masyarakat Hindu apabila telah melalui proses upacara agama yaitu
6 Wikipedia Ensiklopedia Bebas, Arca, artikel dalam Bahasa Indonesia, diakses tanggal 17
Desesember 2019 https://id.wikipedia.org/wiki/Arca#Hindu. 7I WayanWidia, Tinjauan Patung Sederhana Bali (Denpasar: Depdikbud. Ditjenbud. Proyek
Pembinaan Permuseuman Bali, 1991), h. 18. 8Mahaviranata NyomanPurusa, Arca Primitif di Situs Keramas (Jakarta: Pertemuan Ilmiah
Arkeologi II, 1982), h. 442-443.
55
upacarapemelaspas (pembersihan dan penyucian).Dalam berlansungnya upacara
tersebut arca-arca sederhana itu dihaturkan atau disuguhkan sesajen seperlunya. Dan
apabila tidak melalui proses upacara maka hasil karya seni itu sekalipun dalam
bentuk simbol-simbol tertentu tidak akan diyakini kesakralannya. Contoh. Patung
dewa-dewa, patung raksasa dan lain-lain tetap tidak sakral, namun apabila
dipindahkan ke pura dan diinisiasi dengan upacara agama secara lengkap dia akan
berubah status menjadi sakral.
2. Air (Tirtha)
Tirtha dalam umat Hindu di Pura Merta Sari Rengas merupakanair yang di
gunakan sebagai sarana dalam persembahyangannya. Air yang di gunakan pun bukan
air sembarangan yaitu air/tirtha yang telah disucikan atau air suci. Secara rohaniah
kesucian Tirtha ini dapat diperoleh dengan jalan memantrai, menaruh disuatu
Pelinggih, atau mengambil dari suatu tempat dengan cara yang khusus yang dianggap
suci. Sedangkan secara larihiah untuk kesucian Tirtha diusahakan menggunakan alat-
alat yang bersih. Misalnya, tirtha yang digunakan untuk persembahyangan bulan
Purnama didapatkan dengan cara memohon di Pelinggih.9
Air memegang peranan penting bagi umat Hindu terutama yang berada di
Pura Merta Sari ini. Air dalam upacara keagamaannya dijadikan sebagai alat untuk
memelihara kebersihan, menghabiskan noda-noda sehingga badan menjadi suci dan
9Ni Kadek Intan Rahayu, Makna Simbolik Umat Hindu Dalam Persembahyangan Bulan
Purnama Di Kecamatan Basidondo Kabupaten Tolitoli, (Jurnal Bahasa dan Sastra Vol. 5 No. 1, 2020),
h. 153.
56
bersih,juga dijadikan sebagailambang pelebur dosadan juga merupakan simbol amrta
(hidup).
Semua peralatan dan bangunan-bangunan yang ada di Pura harus dipercikkan
air sebelum upacara dimulai. Selanjutnya percikkan air suci kepada orang dalam
upacara itu dimaksudkan untuk mendapatkan kesehatan, ketentranan (damai dihati),
kebahagiaan dan lain-lain. Air dianggap mempunyai kekuatan untuk melenyapkan
pengaruh jahat.Demikian pentinya air dalam kehidupan beragama sehingga semua
upacara keagamaan tidak pernah lepas dari pada penggunaan air.10
Dilihat dari manfaatnya ada 3 jenis tirtha:
1. Tirta yang digunakan untuk pensucian terhadap bangunan,alat upacara atau
diri seseorang. Tirta ini diperoleh dengan jalan puja mantra para pandita.
Tirtha ini sering disebut dengan tirtha pengelukatan,perbesihan atau
parayascita.biasanya dicipratkan tiga kali yang mengandung arti sebagai
simbol pensucian yang meliputi:awal,tengah dan akhir.
2. Tirta yang digunakan untuk penyelesaian dalam upacara persembahyangan.
Umumnya tirtha ini dimohon disuatu pelinggih utama pada suatu pura atau
tempat suci tersebut. Istilah lain tirtha ini adalah wangsuhpada. Selain
dicipratkan(maketis)di kepala(ubun-ubun) juga diminum tiga kali sebagai
simbol pensucian bathin,lalu meraup(mencuci muka)tiga kali sebagai simbol
pensucian terhadap lahir.
10G. Pudja, M.A, WEDAPARIKRAMA (Jakarta: Departemen Agama RI, 1971), h. 53.
57
3. Tirtha yang dimanfaatkan untuk penyelesaian upacara kematian. misalnya:
Tirtha Penembak,Tirtha Pemanah dan Tirtha Pengentas.11
Sikap metirta harus betul–betul dihayati dan dilaksanakan dengan benar,
mengingat isi dari uraian diatas bahwa tirta tersebut memiliki makna dan tujuan
pengelukatan dan pebersihan.Caranya,Tirta dipercikan ke ubun- ubun sebanyak tiga
kali sambil mengucapkan mantra dalam hati “Ong Hrang Hring Sah Parama Siwa
Merta Yenamah Suaha”(memohon peleburan dosa agar dikaruniai kebahagiaan lahir
dan bathin ).12
Tirtha bagi umat Hindu bukanlah air biasa, tirtha adalah benda materi yang
sakral dan mampu menumbuhkan perasaan, pikiran yang suci. Untuk membuktikan
kesuciannya tirtha itu dasarnya adalah kepercayaan. Tanpa kepercayaan umat Hindu
tidak akan dapat membuktikan bahwa itu bukan air biasa. Tirtha adalah sarana agama.
Membuktikan kebenaran agama, dasar utamanya adalah kepercayaan. 13
3. Api (Dupa)
Dalam persembahyangan api diwujudkan dengan dupa. Dupa adalah sejenis
harum-haruman yang dibakar sehingga berasap dan berbau harum. Dupa dengan
nyala apinya merupakan simbol Dewa Agni. Dupa berasal dari “Wisma” yaitu alam
semesta menyala dan asapnya bergerak keatas, pelan-pelan menyatu dengan angkasa.
11 Kalender Bali, Kumpulan Informasi, Berita dan Opini Tentang Hindu Bali, artikel diakses
tanggal 19 Desember 2019 dari http://kb.alitmd.com/%E2%80%8Bmakna-sarana-persembahyangan-
hindu/ 12Wawancara dengan Wayan Pinda Asmara Selaku Pinandita Pura Merta Sari pada tanggal
10 Oktober 2019 pukul 15. 30. 13Wawancara dengan Nyoman Rusta Selaku Umat Hindu Pura Merta Sari pada tanggal 23
Juni 2019 pukul 11. 32.
58
Oleh karena itu dupa disimbolkan sebagai Dewa Agni yang dimaknai sebagai saksi
dalam upacara persembahyangan dan perantara yang menghubungkan umat
(manusia) dan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Nyala dupa sebagai saksi ini berarti
bahwa api merupakan perwujudan Dewa Agni yang memiliki sifat maha melihat atau
sebagai saksi dari segala hal yang dilakuakn manusia dan asap yang bergerak keatas
dan menyatu keangkasa sebagai pertemuan antara umat dan Tuhannya.14
Dalam persembahyangan di Pura Merta Sari Rengas dimulai dengan
melakukan puja untuk dupa, dengan cara kedua tangan menggenggam dupa yang
telah dinyalakan. Tangan dicakupkan kedua ibu jari menjepit pangkal dupa yang
ditekan oleh telunjuk tangan kanan, dengan mengucapkan mantra “om am dupa
dipastraya nama svaha” (Ya Tuhan Brahma tajamkanlah nyala dupa hamba sehingga
sucilah sudah hamba seperti sinarmu). Makna yang terkandung dalam mantra puja
untuk dupa adalah memohon kepada Tuhan dalam wujud Dewa Brahma untuk
menyucikan diri melalui nyala dupa sehingga sucilah seperti sinar Tuhan.15
Dupa adalah kayu yang dibakar sehingga berasap dan berbau harum, Wangi
dupa dengan nyala apinya adalah di lambang Dewa Agni yang berfungsi;
1. Sebagai pendeta pemimpin upacara
2. Perantara yang menghubungkan antara pemuja dan yang dipuja(manusia
dengan Tuhan)
3. Sebagai pembasmi segala kekotoran dan pengusir roh jahat.
4. Sebagai saksi upacara16
14G. Pudja, M.A, WEDAPARIKRAMA (Jakarta: Departemen Agama RI, 1971), h. 50. 15Wawancara dengan Wayan Pinda Asmara Selaku Pinandita Pura Merta Sari pada tanggal
10 Oktober 2019 pukul 15.13. 16Wawancara dengan Wayan Pinda Asmara pukul 17. 00.
59
Api mempunyai peranan yang penting dalam upacara-upacara agama Hindu.
Setiap upacara yang di lakukan di Pura Merta Sari Rengas didahului dengan
menyalakan api. Api bukan hanya dipakai sebagai persembahan, tetapi karena sifat-
sifat yang dimiliki menyebabkan api mempunyai makna tersendiri bagi umat Hindu.
Mereka percaya melalui asap api yang meresap ke segala arah dan cahaya dari api
memancarkan sinar yang putih berkilauan menyebar kesegala penjuru di percaya
sebagai penghantar penghubung manusia dengan Tuhannya.
Ada 3 bentuk api yang digunakan dalam upacara agama Hindu:
1. Dupa, adalah api dengan nyala serta asap yang kecil tetapi jelas. Tergolong
dalam ini adalah asep ataupun sejenisnya. Biasanya dicampur dengan wangi-
wangian sehingga memberikan aroma yang dapat menenangkan pikiran.
2. Dipa, adalah api dengan nyala yang memancarkan sinar cahaya yang terang
benderang. Misalnya api dari lilin,lampu dan sejenisnya. Saat ini listrik juga
termasuk sebagai salah satu Dipa.
3. Obor, adalah api dengan nyala yang besar berkobar-kobar termasuk jenis ini
adalah obor dari perapak(daun kelapa tua),tombrog(obor dari bambu) dan
sebagainnya.17
Penggunaan sarana sembahyang itu, sebenarnya tidak lebih hanya bermakna
simbolis untuk mendukung pemusatan konsentrasi kita kehadapan Sang Hyang Widhi,
seperti misalnya penggunaan sarana dupa yaitu bermakna sebagai saksi dalam
persembahyangan dan sebagai pelebur segala kekotoran serta sebagai pengantar
17Kalender Bali, Kumpulan Informasi, Berita dan Opini Tentang Hindu Bali, artikel diakses
tanggal 19 Desember 2019 dari http://kb.alitmd.com/%E2%80%8Bmakna-sarana-persembahyangan-
hindu/
60
doakita kepada Sang Hyang Widhi (divisualisasikan dengan asapnya yang
membumbung ke atas).18
Namun perlu diketahui bahwa dengan diwujugkannya Tuhan atau
disimbolkan dengan api bukan berarti mereka menyembah api, melainkan api tersebut
hanyalah sebatas sarana yang mereka gunakan dalam sembahyang.
4. Simbol Bija
Bija atau wija di dalam Pura Merta Sari merupakan sarana persembahyangan
dan digunakan setelah melakukan sembahyang. Bija dibuat dari biji beras yang
dicuci dengan air bersih lalu direndam dengan air cendana. Penggunaan Bija
bertujuan untuk mensucikan pikiran, perbuatan, dan perkataan. Bija diletakakn
diantara dua kening, didada, dan ditelan (tidak dikunyah), sebagai simbol untuk
menemukan kesucian rohani dengan harapan agar memperoleh kesempurnaan
hidup.19
Bija merupakan simbol Kumaraataubenih kedewataan yang bersemayam
dalam diri setiap orang. Jadi Bija mengandung makna simbol menumbuhkembangkan
benih kedewataan dalam diri seseorang. Oleh karena itu disarankan Bija
menggunakan biji beras yang utuh tidak patah, alasanya kerena beras yang patah atau
tidak utuh tidak akan bisa tumbuh.20
18I Gede Sudarsana, Bunga Yang Tidak Layak Dipakai Sembahyang, artikel diakses tanggal25
Desember 2019 dari https://phdi.or.id/artikel/bunga-yang-tidak-layak-dipakai-sembahyang 19Wawancara dengan Wayan Pinda Asmara Selaku Pinandita Pura Merta Sari pada tanggal 10
Oktober 2019 pukul 17. 20. 20Kalender Bali, Kumpulan Informasi, Berita dan Opini Tentang Hindu Bali, artikel diakses
tanggal 19 Desember 2019 dari http://kb.alitmd.com/%E2%80%8Bmakna-sarana-persembahyangan-
hindu/
61
Tata Cara Menempatkan Bija:
Hendaknya bija diletakan pada titik-titik yang peka terhadap sifat
dari kedewataan (ke-Siwa-an). Dan titik-titik dalam tubuh tersebut ada lima yang
disebut Panca Adisesa21, yaitu sebagai berikut:
1. Di pusar atau disebut titik manipura cakra.
2. Di hulu hati (padma hrdaya) zat ketuhanan diyakini paling terkonsentrasi di
dalam bagian padma hrdaya ini (hati berbentuk bunga tunjung atau padma).
Titik kedewataan ini disebut Hana hatta cakra.
3. Di leher, diluar kerongkongan atau tenggorokan yang disebut wisuda cakra.
4. Di dalam mulut atau langit-langit.
5. Di antara dua alis mata yang disebut anjacakra.sebenarnya letaknya yang lebih
tepat, sedikit diatas, diantara dua alis mata itu.
Pada umumnya dikarenakan ketika persembahyangan dalam sarana pakaian
lengkap tentu tidak semua titik-titik tersebut dapat dengan mudah diletakkan bija.
Maka cukup difokuskan pada 3 titik yaitu :
1. Pada Anja Cakra, sedikit diatas, diantara dua alis. Tempat ini dianggap sebagai
tempat mata ketiga. Penempatan bija di sini diharapkan menumbuhkan dan
memberi sinar-sinar kebijaksanaan kepada orang yang bersangkutan.
2. Pada Wisuda Cakra, Di leher, diluar kerongkongan atau tenggorokan. Sebagai
simbol penyucian dengan harapan agar mendapatkan kebahagiaan.
21Makna dan Penempatan Bija Dalam Persembahyangan, artikel diakses tanggal 2 Januari
2020 dari https://inputbali.com/budaya-bali/makna-dan-penempatan-bija-dalam-
persembahyanganhindu-bali
62
3. Di mulut, langsung ditelan jangan digigit atau dikunyah. Alasannya seperti tadi
kalau dikunyah beras itu akan patah dan akhirnya tak tumbuh berkembang sifat
kedewataan manusia.Sebagai simbol untuk menemukan kesucian rohani dengan
harapan agar memperoleh kesempurnaan hidup.
Jadi dapat disimpulkan bahwa makna dari penggunaan Bija dalam
persembahyangan ialah untuk menumbuh kembangkan sifat Kedewataan/ Ke-Siwa-
aan / sifat Tuhan dalam diri.Seperti yang disebutkan dalam Upanisad bahwa Tuhan
memenuhi alam semesta tanpa wujud tertentu tidak berada di surga atau di dunia
tertinggi melainkan ada pada setiap ciptaan-Nya.22
5. Bunga (Puspa)
Puspa atau bunga dalam umat Hindu Pura Merta Sari selain digunakan untuk
membuat Canang digunakan juga untuk melakukakan persembahyangan. Bunga yang
digunakan hendaknya bunga yang segar, harum, utuh, tidak tumbuh dikuburan, belum
jatuh dari tangkainya, bunga yang mekar, tidak layu, tidak kering, bukan hasil dari
mencuri atau bisa dikatakan bunga yang masih suci, dan bunga yang belum pernah
terpakai sebelumnya. 23Dalam hari raya bulan purnama misalnya, penggunaan bunga
dalam persembahyangan atau melakukan puja bhakti kehadapan Ida Sang Hyang
Widhi Wasa dalam wujudnya sebagai sumber sinar yang di sebut “Dewa”
penggunaan warna bunganya disesuaikan dengan warna-warna yang dipancarkan
oleh Dewa-dewa. Bunga dalam persembahyangan bulan purnama memiliki makna
22Makna dan Penempatan Bija Dalam Persembahyangan, artikel diakses tanggal 2 Januari
2020 dari https://inputbali.com/budaya-bali/makna-dan-penempatan-bija-dalam-
persembahyanganhindu-bali 23Wawancara dengan Wayan Pinda Asmara Selaku Pinandita Pura Merta Sari pada tanggal
10 Oktober 2019 pukul 15.13.
63
sebagai sarana untuk menngungkapkan rasa bakti sebagai simbol ketulus ikhlasan dan
kesucian hati dalam memuja Ida sang hyang Widhi Wasa.24
Warna-warna yang umum digunakan dalam persembahyangan antara lain:
1. Bunga berwarna putih, untuk memuja Hyang Widhi dengan sebutan Iswara,
memiliki kekuatan seperti badjra,memancarkan sinar berwarna putih(netral).
2. Bunga berwarna merah, untuk memuja Hyang Widhi dengan sebutan Brahma,
memiliki kekuatan seperti gada memancarkan sinar berwarna merah.
3. Bunga berwarna hitam, biasanya diganti dengan bunga berwarna biru, atau
hijau. Dipakai untuk memuja Hyang Widhi dengan sebutan Wisnu, memiliki
senjata cakra dan memancarkan sinar berwarna hitam.
4. Bunga berwarna kuning, untuk memuja Hyang Widhi dengan sebutan
Mahadewa yang memiliki kekuatan seperti nagapasa,memancarkan sinar
berwarna kuning. Persembahyangan dengan bunga berwarna kuning biasanya
digabungkan dengan kewangen yang dilengkapi dengan bunga berwarna
kuning.25
Dalam agama Hindu terdapat satu bunga yang diistimekan yaitu bunga teratai.
Bunga teratai merupakan salah satu bunga yang sangat dihormati, karena mereka
memahami bahwa para dewa dan dewi bersemayam diatas bunga teratai. Mereka
juga percaya bahwa warna merah yang terdapat pada bunga teratai itu merupakan
24K. M. Suhardana, Pedoman Sembahyang Umat Hindu (Surabaya: PARAMITA, 2004), h.
13-14. 25Kalender Bali, Kumpulan Informasi, Berita dan Opini Tentang Hindu Bali, artikel diakses
tanggal 19 Desember 2019 dari http://kb.alitmd.com/%E2%80%8Bmakna-sarana-persembahyangan-
hindu/
64
suatu kesucian dan keberuntungan. 26 Selain alasan di atas, bila diamati dengan
seksama bunga teratai memang indah dan istimewa. Bunga teratai mempunyai tiga
bagian yang ketiganya seolah-olah hidup di tiga alam yang berbeda. Ketiga bagian
tersebut ialah akar, tangkai dan bunga. Akar bunga teratai tertanan di tanah, lalu
tangkainya hidup di air, kemudian bunganya mekar di udara.27 Atas dasar tersebutlah
bunga teratai memiliki keistimewaan tersendiri bagi mereka .
Didalam kitab Mantra Weda Parikrama menjelaskan pemakaian kembang atau
Puspa, yang merupakan bentuk sesajen yang paling mudah didapatkan dan paling
murah. Puspa adalah benda yang disuguhkan sebagai cara menundukkan perasaan
yang dapat memberikan kepuasan. Yang penting ialah bahwa perbuatan itu akan
memberikan rasa puas pada diri seseorang yang ingiin menyampaikan perasaannya.
Bentuk yang lebih komplek ialah dengan menambahkan jenis kurban itu dalam
bentuk hasil bumi lainnya, makan-makanan dan lain-lain.28
Setelah melakukan mantram puja untuk dupa selanjutnya umat di Pura Merta
Sari menyucikan kembang atau bunga yang akan digunakan dalam persembahyangan.
Bunga disucikan dengan cara menggenggam bunga kemudian diasapkan pada asap
dupa setelah itu mengucapkan mantra. Mantram untuk menyucikan bunga adalah“om,
puspa dannta ya nama svaha” (Ya Tuhan, semoga bunga ini cemerlang dan suci).
Makna yang terkandung dalam mantra ini adalah memohon kepada Tuhan Ida Sang
26I Wayan Punia, Mengapa? Tradisi dan Upaca Hindu (Surabaya: PT. Kisanlal Sharma-
PARAMITA, 2007), h. 72-76. 27I Ketut Wiana, Arti dan Fungsi sarana Persembahyangan (Surabaya: PARAMITA, 2000),
h. 37-38. 28G. Pudja, M.A, WEDAPARIKRAMA (Jakarta: Departemen Agama RI, 1971), h. 51.
65
Hyang Widhi Wasa untuk menyucikan sarana bunga yang akan digunakan dalam
persembahyangan.29
Bunga dalam agama Hindu khususnya di Pura Merta Sari dipakai sebagai
sarana dalam ritual persembahyangan yang dijadikan sebgai simbol Tuhan (Dewa
Siwa). Bunga sebagai simbol Tuhan maksudnya bunga yang di pakai dalam ritual
sembahyang, yaitu dengan cara diletakkan di ujung telapak tangan yang yang
dicakupkan, kemudian ditujukan di atas kepala atau disumpingkan di daun telinga.
Bunga dalam agama Hindu melambangkan kesucian hati di dalam memuja Sang
Hyang Widhi, para dewata dan leluhur. 30
Penggunaan bunga sebagai sarana persembahyangan merupakan sebuah
simbol ketulusan dan kesucian hati pemuja dalam melakukan pemujaan kepada Sang
Hyang widhi dan ternyata hal ini (bunga) tidah hanya dipakai oleh umat Hindu
sebagai sustu simbol bersembahyangan,tetapi juga acap kali digunakan oleh
masyarakat secara umum dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, yaitu untuk
mewakili pernyataan perasaan seseorang terhadap orang lain, misalnya perasaan
bahagia/ senang ataupun perasaan turut berduka/berbela sungkawa, hal ini
disimbolkan dengan wujud karangan bunga.31
29Wawancara dengan Wayan Pinda Asmara Selaku Pinandita Pura Merta Sari pada tanggal
10 Oktober 2019 pukul 15.13. 30I Ketut Wiana, Arti dan Fungsi sarana Persembahyangan (Surabaya: PARAMITA, 2000),
h. 29. 31 I Gede Sudarsana, Bunga Yang Tidak Layak Dipakai
Sembahyanghttps://phdi.or.id/artikel/bunga-yang-tidak-layak-dipakai-sembahyang, 25 Desember 2019.
66
Adapun bunga yang tidak layak dipakai dalam persembahyangan tersurat
dalam kitab Agastya Parwaadalah sebagai berikut:32
Nihan ikang kembang tan yogya
pujakena ring Bhattara
Kembang uleran, kembang ruru tan
inuduh, kembang semutan
Kembang laywan-laywan ngarannya alewas mekar,
kembang mungguh ring sema.
Nahan ta lwir ning kembang tan yogya pujakena denika sang sattwika
Artinya:
Inilah bunga yang tidak patut dipersembahkan
kepada Bhatara yaitu bunga yang berulat,
bunga yang gugur tanpa diguncang,
bunga berisi semut,
bunga yang layu yaitu yang lewat masa mekarnya,
bunga yang tumbuh di kuburan
Itulah jenis-jenis bunga yang tidak patut dipersembahkan oleh orang yang baik
Dengan suratan kitab Agastya Parwa di atas, jelaslah bahwa dalam
persembahyangan, kita tidak menggunakan sembarang bunga, hal ini tentu didasari
oleh suatu maksud yang paling hakiki yaitu kita ingin mempersembahkan yang
terbaik kepada Sang Hyang Widhi.
6. Kain Hitam Putih (Saput Poleng )
Kain kotak-kotak hitam putih disebut dengan istilah kain poleng atau saput
poleng. Saput artinya kain yang membalut, sedangkan poleng adalah istilah untuk
warna hitam putih yang berseling merupakan lambangRwa Bhineda, yaitu
keseimbangan alam.
Di dunia ini pasti ada hitam dan putih, dua hal yang berlawanan tetapi mampu
membuat alam ini jadi seimbang dan harmonis. Rwa Bhineda secara filosofis
32 I Gede Sudarsana, Bunga Yang Tidak Layak Dipakai
Sembahyanghttps://phdi.or.id/artikel/bunga-yang-tidak-layak-dipakai-sembahyang, 25 Desember 2019.
67
mengajarkan kita bahwa di dunia ini ada dua hal berbeda yang tidak bisa dipisahkan,
seperti baik-buruk, siang-malam, dan panas-dingin.
Ada tiga macam kain poleng atau saput poleng yang biasa digunakan:
1) Saput Poleng Rwa Bhineda, yairu kain yang berwana putih dan hitam.
Maknanya, yaitu ajaran bahwa di dunia ini ada hal yang berbeda, tetapi bila
berjalan harmonis akan membuat alam ini seimbang.
2) Saput Poleng Sudhamala, yaitu kain yang berwana putih, abu-abu, dan hitam.
Makna hitam dan putihnya merupakan simbol Rwa Bhineda, sedangkan abu-
abu merupakan warna penyelaras keduanya.
3) Saput Poleng Tridatu, yaitu berwarna putih, hitam, dan merah. Maknanya,
yaitu ajaran triguna atau tiga sifat manusia, yaitu merah artinya rajas atau
keras, hitam artinya tamas atau malas, dan putih artinya satwam atau bijak.
Saput poleng di Pura Merta Sari Rengas biasa dipakaikan pada pohon, patung,
atau gapura. Dalam kepercayaan umat beragama Hindu, saput poleng dianggap
sebagai pertanda bahwa benda itu memiliki kekuatan magis yang dihormati dan
melindungi, serta patut dijaga kelestariannya.Saput poleng juga digunakan oleh
orang-orang tertentu, seperti pada pecalang 33 , dalang, dan pemain drama yang
berperan sebagai punakawan.
7. Senteng (Ikat Pinggang)
Senteng atau sering juga disebut dengan Selendang yang di gunakan umat
Hindu pura Merta Sari merupakan seutas kain yang panjang berukuran 1-2 meter
33Pecalang adalah seseorang yang diberi tugas untuk mengawasi keamanan desa adarnya atau
biasa di sebut sebagai polisi.
68
dengan lebar kurang lebih 10 cm. Senteng biasanya digunakan untuk mengikat
pinggang pada saat memasuki tempat suci pura atau tempat ibadah.
Dalam ajaran agama Hindu Senteng mengandung makna pengikat indra-indra
manusia dari hal-hal negatif ketika ingin melakukan sembayang. Selain itu, ada juga
yang yang menyebutkan bahwa Senteng merupakan simbol Tali pusar antara seorang
ibu dengan anaknya yang kemudian diimplementasikan dalam ajaran agama.Sentang
disimbolkan sebagai pengikat panca budhi indria dan panca karmen indria serta. Ada
juga yang mengatakan bahwa Senteng sebagai pembatas antara bagian manusia yang
suci (kepala keatas) dan yang tidak (pinggul kebawah) agar pada saat sembayang
tidak memikirkan hal-hal negatif.Mengenai warna, biasanya sentang disesuaikan
dengan kepercayaan masing-masing orang, misalnya merah, kuning dan hitam
(Brahma, Wisnu Siwa).34
Walaupun seseorang memakai celana panjang, jika sudah memakai
senteng/selempot akan diizinkan untuk masuk ke pura. Senteng/lempot hanyalah
sebuah simbol atau sebuah peraturan.Bukankah sebuah simbol mengandung makna
tertentu dibalik simbol-simbol itu.Namun ada baiknya jika kita dalam sembahyang,
mempergunakan pakaian yang rapi, bersih dan nyaman.
Senteng hanyalah sebuah simbol atau sebuah peraturan, bukankah sebuah
simbol mengandung makna tertentu dibalik simbol-simbol itu. Sama dengan
seseorang harus memiliki KTP, paspor, dan identitas lain sebagai simbol pengganti
dari seseorang jika ingin mengetahui identitas lebih lengkap tentang dirinya.
34Hindu Alukta, Pengertian Senteng dan Makna Dalam Agama Hindu, artikel diakses tanggal
26 Desember 2019 dari https://hindualukta.blogspot.com/2017/04/pengertian-senteng-dan-maknanya-
dalam.html
69
Demikian juga dengan senteng yang digunakan di Pura Merta Sari ini mengandung
makna sebagai penghubung kepada para leluhur, warga dan para leluhur akan
membahasakan doa, maksud, dan upacara umat kepada Hyang Widhi.
Asal- usul lahirnya budaya ini berasal dari para leluhur yang merupakan asal
muasal kita sebagai manusia yang semenjak masih janin dalam kandungan Ibu,
manusia sudah terhubung dengan-Nya (ibu) yaitu melalui tali pusar (ari-ari).
Dasar dari konsep busana adat bali adalah konsep Tri angga yang terdiri
dari :35
1. Dewa angga : dari leher ke kepala, berupa udeng/ikat kepala
2. Manusa angga : dari atas pusar sampai leher, baju/kebaya/lempot
3. Butha angga : dari pusar sampai bawah, dengan kain/kamen
Tali pusar sendiri, merupakan penghubung kehidupan dalam kandungan
antara sang janin dengan sang ibu. Dalam penerapan keagamaan sehari-hari
'mungkin' ari-ari (tali pusar) ini disimbolkan menjadi selempot (senteng), karena
selalu melekat menutupi tali pusar umat Hindu di Bali dalam setiap menghadap-Nya.
B. Simbol-simbol Bangunan Keagamaan Pura Merta Sari Rengas
Untuk memuja kebebasan Tuhan Yang Maha Esa dan Dewa-dewa sebagai
manifestasi dari pada Tuhan dalam berbagai peranannya, dibangun tempat-tempat
suci atau tempat pemujaan yang di namakan Pura ke dalam berbagai bentuk serta
35Sejarah Hari Raya & Upacara Yadnya di Bali, Senteng, artikel ini diakses tanggal 26
Desember 2019 dari http://sejarahharirayahindu.blogspot.co.id/2012/02/senteng.html
70
fungsi yang dibagi menjadi tiga bagian. yaitu ada yang disebut utama mandala (ruang
suci/sakral), madya mandala (ruang tengah) dan nista mandala (ruang luar).36
Pembagian tempat suci terdiri dari tiga halaman tersebut juga berlaku di Pura
Merta Sari Rempoa yang mana juga dibagi menjadi tiga halaman yakni:
1. Nista Mandala (Bagian Luar Pura)
Atau biasa disebut jaba pisan adalah bagian terluar dari arsitektur pura. Bagian
ini merupakan bagian nista atau kotor dan tidak sakral dari sebuah pura. Setiap orang
dapat memasuki bagian ini.
a. Candi Bentar (Pintu Gerbang)
Candi Bentar sebagai salah satu elemen pembentuk arsitektur tradisional
sebuah pura terutama di Bali yang walaupun hanya berfungsi sebagai pintu gerbang
tempat persembayangan. Candi Bentar memiliki aturan dalam bentuk, struktur, dan
dimensi, serta elemen estetis yang mencakup warna, bahan, dan ragam hiasnya.37
Candi Bentar ini berfungsi sebagai pembatas wilayah antara daerah jaba sisi
(nista mandala) dengan daerah luar, dan antara daerah jaba sisi (nista mandala)
dengan daerah jaba tengah (madya mandala). Sebagai tempat keluar dan masuk umat
(pemesuan), sengaja di buat agak lebarberukuran sekitar dua setengah meter dengan
tujuan untuk memudahkan umat keluar dan masuk ketika akan melaksanakan
sembahyang.
36 Ida Bagus Oka Windhu, Bangunan Tradisional Bali Serta Fungsinya (Jakarta: Proyek
Pengembangan Kesenian Bali, 1984), h. 36. 37N. K. A. Dwijendra, Arsitektur Bangunan Suci Hindu ( Denpasar: Udayana University
2008), h. 6.
71
Candi Bentar di Pura Merta Sari Rempoa berpadu dengan tembok penyengker
karena mengikuti arsitektur atau tata letak konsep pura di Bali. Tembok panyengker
agaknya memiliki makna lebih ketimbang sekadar pagar pembatas. Lantaran
panyengker mengandung pengertian mengurung, melindungi atau menjaga isi yang
ada di dalam bangunan Pura, memberikan kesentosaan, ketentraman, dan
kedamaian.Tembok penyengker merupakan batas wilayah luar dengan wilayah
tengah yang dipadu dengan candi bentar, kori agung adalah bagian yang tidak
terpisahkan, sebagai ekspresi citra tata ruang yang tinggi nilai budayanya.
Penyengker dipercaya sebagai wujud perlindungan empat kekuatan alam yaitu air,api,
tanah dan udara yang menempati sudut-sudut pekarangan. 38 Panyengker tersebut
dilengkapi oleh apit lawang. Apit lawang di dalam kebudayaan Hindu adalah simbol
penjaga pintu yang bersenjata, bertugas menjaga, mengawasi, danmengijinkan tamu
masuk ke dalam pelataran. 39 Pada Pura Merta Sari kedua apit lawang tersebut
divisualkan menjadi dua patung yang di sebut dengan Dwarapala.
Penulis melihat Patung Dwarapala ini berwujud patung berbadan besar dan
berotot, dengan lengan yang memegang senjata berupa gada dan rambut ikal tebal
menghiasi kepalanya.Mimik wajah terkesan menyeramkan sebetulnya menjadi
peringatan bagi orang-orang agar tidak sembarangan masuk ke bangunan yang
dijaga. Terkadang Dwarapala juga dibungkus atau dihiasi denga kain poleng yang
berwarna hitam putih.
38Wawancara dengan Wayan Pinda Asmara Selaku Pinandita Pura Merta Sari pada tanggal
10 Oktober 2019 pukul 15.13. 39 Enrike Puspita Indrianto, Akulturasi Pada Gereja Kristen Pniel Blimbingsari Bali, (Jurnal
Intra Vol. 1, No. 1, 2013), h. 3.
72
Dwarapala memiliki makna terlebih bila diletakkan di pintu masuk pura. Ia
diyakini sebagai cerminan manusia yang akan memasuki tempat suci. Ekspresi
wajahnya mengingatkan umat untuk mengintrospeksi diri untuk membersihkan
pikiran, perkataan dan perbuatan. Dengan kata lain, sebelum memasuki tempat
suci, kita diharapkan meninggalkan sifat-sifat duniawi kita.40
Sosok kedua patung ini sangat akrab dalam kehidupan masyarakat Hindu,
sehingga pada rumah-rumah masyarakat Hindu terutama kompleks pura Merta
Sari Rengas, juga dipasangi Dwarapala di sisi kanan dan kiri pintu gerbangnya.
Hal ini juga akan mengingatkan masyarakat apabila akan berkunjung dan bertamu
ke rumah orang lain, harus memperhatikan sikap dan membersihkan
pikirannya.Lebih mendalam, sosok-sosok Dwarapala dimaknai sebagai penjaga
jalan masuk agar tidak sembarangan dilalui manusia dan energi-energi negarif
yang dapat merusak ketenangan atau melunturkan kesucian area tengah dan area
dalam sebuah pura. Sebagai pemberi peringatan dan edukasi kepada umat, agar
selalu berperilaku sopan santun serta beretika saat akan memasuki areal yang
sakral dan suci.
Pada hari tertentu, umat Hindu memberikan sesajen sebagai bentuk rasa
terima kasih kepada Dwarapala yang telah menjadi penjaga selama ini. Bahkan,
bagi rumah atau bangunan yang tidak memiliki figur patung Dwarapala di depan
pintu, mereka juga turut menghaturkan sesajen pada sisi kanan dan kiri pintu
40Wawancara dengan Wayan Pinda Asmara Selaku Pinandita Pura Merta Sari pada tanggal
10 Oktober 2019 pukul 15.13.
73
rumah yang berbentuk kolong, karena mereka pun percaya bahwa terdapat sosok-
sosok yang turut menjaga wilayah mereka.41
Penentuan tata letak Candi Bentar ditentukan melalui 9 (Sembilan) bagian
panjang dinding penyengker atau biasa di sebut dengan pagar pembatas, dengan
setiap bagian panjang dinding tersebut memiliki makna masing-masing. Dalam lontar
asta Bumi, disebutkan cara mendirikan candi bentar yaitu dengan mengukur sisi
pekarangan yang akan dibangun dengan tali. Tali tersebut kemudian dilipat menjadi 9
(Sembilan) lipatan dan masing-masing lipatan memiliki makna dan pengaruh tertentu
terhadap pemiliknya. Jika Candi Bentar menghadap ke timur maka penghitungan
lipatan tali dilakukan dari arah utara ke selatan, jika menghadap ke selatan maka
penghitungan lipatan tali dilakukan dari arat timur ke barat, jika menghadap ke Barat
maka penghitungan lipatan tali dilakukan dari arah utara ke selatan, dan jika
menghadap ke utara maka penghitungan lipatan tali dilakukan dari arah timur ke
barat.42
Candi bentar Pura Merta Sari menghadap ke Timur atau ke arah gunung yang
merupakan arah matahari terbit. Gunung dalam agama Hindu mempunyai arti yang
sangat penting karena merupakan sumber air yang memberi kesejahteraan dan
kemakmuran, arah timur yang merupakan arah matahari terbit ialah sebagai simbol
lahirnya kehidupan atau sebagai sumber kehidupan. Itulah sebabnya umat hindu
berkiblat ke gunung dan arah timur.
41Wawancara dengan Wayan Pinda Asmara Selaku Pinandita Pura Merta Sari pada tanggal
10 Oktober 2019 pukul 15.13 42Enrike Puspita Indrianto, Akulturasi Pada Gereja Kristen Pniel Blimbingsari Bali, (Jurnal
Intra Vol. 1, No. 1, 2013), h. 3.
74
b. Bale Banjar
Bale banjar adalah sebuah bangunan yang bersifat umum, yang dapat
dipergunakan oleh anggota banjar, baik itu untuk kegiatan rapat, kegiatan umum
lainnya yang mendatangkan orang banyak. Bentuk bangunan berupa struktur kolom
yang terbuat dari kayu yang disebut saka, dengan atap limas atau berbentuk segi
banyak dan bidang tegaknya berbentuk segitiga yang salah satu sudutnya bertemu di
satu titik. Titik itu disebut dengan puncak limas.43 Fungsi utama bale banjar adalah
untuk tempat bermusyawarah anggota banjar, kegiatan-kegiatan adat, sosial dan
lainnya.44
Dengan adanya berbagai fungsi yang diembannya, maka bale banjar
merupakanbangunan yang multi fungsi. Bahkan dalam alam pembangunan
pendidikan sekarang ini banyak bale banjar pagi harinya dipakai kegiatan belajar dari
pada Taman kanak-kanak, kesenian, tempat bermain tenis meja, serta kegiatan muda
mudi lainnya. Bila masyarakat adat akan memfungsikannya maka segala fungsi
tambahan lainnya harus diadakan. Rapat banjar secara tetap diadakan setiap Bulan
Kliwon, Tumpek, atau diatur berdasarkan kesepakatan sesuai dengan keperluannya.
Minimal Banjar mengadakan rapat 6 bulan (Bali) satu kali.45
43 Pengertian Limas, Ciri-Ciri, Unsur, Jenis, Rumus, dan Contoh Soal
Limashttps://www.sumberpengertian.id/pengertian-limas 44 Ida Bagus Oka Windhu, Bangunan Tradisional Bali Serta Fungsinya (Jakarta: Proyek
Pengembangan Kesenian Bali, 1984), h. 39. 45Wawancara dengan Wayan Pinda Asmara Selaku Pinandita Pura Merta Sari pada tanggal
26 Desember 2019 pukul 13.20.
75
2. Madya Mandala (Bagian Tengah Pura)
Madya Mandala merupakan bagian tengah yang bersifat sakral. Sebelum
memasuki bagian terdalam pura pasti melewati bagian ini. Pada bagian tengah pura
ini terdapat sebuah bangunan yaitu:
Bale wantilan
Bangunan wantilan merupakan ruang tanpa dinding dapat diperluas ke
arahluar sehingga daya tampungnya tidak terbatas. Bangunan wantilan dibangun
berdasarkan 4 tiang utama, 12 tiang jajar sekeliling sisi atau lebih. Atap wantilan
umumnya bertingkat yang disebut matumpang. Bangunan ini terbuka keempat sisinya
dengan lantai datar atau berterap rendah di tengah-tengah. Wantilan berfungsi sebagai
tempat musyawarah keagamaan atau rapat antar tokoh agama Hindu dengan duduk di
lantai atau bale-bale atau kursi yang sengaja di tempatkan.46
Letak bale wantilan dalam suatu pekarangan di tengah atau agak ke tepi
dengan ruang luar sekitarnya dapat merupakan perluasan dari sistim keempat sisi
terbuka tersebut.47 Kemudian, tepat di sudut sebelah kanan bale wantilan ini ada
sebuah bangunan sederhanya yang di sebut Bale kul-kul. Bale kul-kul di Pura Merta
Sari Rengas adalah sebuah banguan kecil menjulang tinggi fungsinya sebagai tempat
kulkul atau kentongan yang dibunyikan diawal, akhir dan saat tertentu pada
upacara.Bale kulkul sesuai dengan namanya, merupakan bale atau bangunan untuk
46 Ida Bagus Oka Windhu, Bangunan Tradisional Bali Serta Fungsinya (Jakarta: Proyek
Pengembangan Kesenian Bali, 1984), h. 40. 47Wawancara dengan Wayan Pinda Asmara Selaku Pinandita Pura Merta Sari pada tanggal
26 Desember 2019 pukul 13.20.
76
penempatan kulkul. Kulkul merupakan suatu benda yang berfungsi sebagai sarana
komunikasi untuk memberi tanda kepada masyarakat atau penyungsung-nya.
3 Utama Mandala (Bagian Terdalam dan suci/sakral)
Bagian ini merupakan bagian terdalam pura yang bersifat sangat sakral dan
terjaga kesuciannya. Ada beberapa bangunan yang ada di dalam bagian ini,
diantaranya:
a. Kori Agung
Pintu masuk pekarangan dalam sebuah Pura disebut “kori” atau kori agung
sebagai tempat yang diagungkan. Sesuai fungsinya untuk pintu masuk atau keluar,
maka disebut pula pemesuan dalam bentuknya yang sederhana atau pamedal untuk
perumahan dari penghuni berkasta brahmana atau ksatria. 48
Kori sebagai salah satu elemen arsitektur tradisional yang memiliki beberapa
pengertian. Kori merupakan peralihan ruang dalam wujud sebagai pintu masuk yang
memiliki pengertian serupa dengan pengertian “torana” pada arsitektur India, “pai-lou”
pada arsitektur tiongkok dan “torii” pada arsitektur Jepang. Kori merupakan pintu
masuk pekarangan sedangkan kori agung diperuntukkan pada tempat yang
diagungkan. Candi Kurung (Kori Agung) adalah pintu gerbang pura antara daerah
jaba tengah dengan daerah jeroan yang bentuk atapnya atau puncaknya tertutup
menjadi satu.49
48 Ida Bagus Oka Windhu, Bangunan Tradisional Bali Serta Fungsinya (Jakarta: Proyek
Pengembangan Kesenian Bali, 1984), h. 33. 49Enrike Puspita Indrianto, Akulturasi Pada Gereja Kristen Pniel Blimbingsari Bali, (Jurnal
Intra Vol. 1, No. 1, 2013), h. 3.
77
Atap kori bisa merupakan pasangan lanjutan dari bagian badan, dapat pula
merupakan konstruksi rangka penutup atap serupa atap bangunan rumah. Dalam
bentuknya yang tradisional, lengkap dengan tangga-tangga, tangga naik dan tangga
turun. Dalam perkembangannya, dengan adanya sepeda motor keluar masuk kori
tangga-tangga dilengkapi dengan lintasan roda atau tangga dihilangkan. Lobang kori
tingginya apanyujuh (tangan direntangkan ke atas), dan lebar kori apajengkung
(tangan berkecak pinggang). Dengan adanya lintasan kendaraan, lebar lobang kori
disesuaikan dengan apa yang melintasinya.
Dalam variasinya kori di bangun dengan berbagai kemungkinan untuk
keindahan sesuai dengan fungsi dan lingkungannya, untuk kori yang tergolong utama
di perumahan utama, kori sebagai pintu formal dipakai untuk upacara-upacara resmi
sebagai pintu sehari-hari disamping pintu utama yang disebut bebetelan. Untuk
pekarangan yang luas atau perumahan utama atau madia juga dibangun kori untuk
pintu bebetelan ke arah belakang atau samping. Letak kori pada bagian tertentu di sisi
pekarangan menghadap ke jalan di depan rumah. 50
Kori yang terletak pada rumah tinggal bagi rakyat merupakan kori dengan
bentuk yang paling sederhana yang disebut dengan angkul-angkul, kori yang terletak
pada rumah tinggal bagi penguasa disebut dengan kori bintang aring, sedangkan kori
yang terdapat pada pura disebut dengan kori agung.
Fungsi dari Kori agung adalah sebagai pintu masuk ke daerah parahyangan,
kahyangan desa, kahyangan jagat, dan tempat-tempat suci lainnya yang diagungkan
50 Ida Bagus Oka Windhu, Bangunan Tradisional Bali Serta Fungsinya (Jakarta: Proyek
Pengembangan Kesenian Bali, 1984), h. 33-34.
78
dan disakralkan. Kori agung yang mengapit kori kembar di sisi sampingnya
merupakan kesatuan tiga kori yang manunggal dengan susunan terbesar terdapat di
bagian tengah berfungsi sebagai pintu masuk formal, sedangkan kori yang terletak di
sisi sampingnya berfungsi sebagai pintu masuk informal.51
Antara bagian nista mandala ke bagian luar jalan raya di batasi dengan Candi
Bentar ( Gapura), antara nista mandala ke Madya Mandala di batasi dengan Tembok
Pentengker atau ruang suci yang di sakralkan. Kemudian antara Madya Mandala
dibatasi dengan Kori Agung.
b. Bale Pawedan
Bale Pawedan adalah tempat pendeta melakukan pemujaan dalam memimpin
upacara, tempat memanjatkan mantra (weda) saat piodalan dan upacara yadnya
berlangsung di sebuah pura.
Bentuk dan tata letak Bale pawedan ini dalam arsitektur pura merupakan
bangunan sekepat atau bangunan yang lebih besar dan terletak berhadapan dengan
pelinggih pemujaan,biasanya bale ini dibangun pada pura besar yang sering
menyelenggarakan upacara tingkat utama yang memerlukan tempat pawedan.52
c. Bale Pepelik
Bale Pepelik atau juga disebut Pelik Sari adalah sebuah pelinggih yang berada
ditengah-tengah dalam sebuah pura yang biasanya juga disebut dengan Bale Pileh
atau Bale Tajuk.Dimana dalam arsitektur pura disebutkan bahwa pelinggih ini
51 Enrike Puspita Indrianto, Akulturasi Pada Gereja Kristen Pniel Blimbingsari Bali, (Jurnal
Intra Vol. 1, No. 1, 2013), h. 3. 52Sejarah Hari Raya & Upacara Yadnya di Bali, BalePawedan, artikel ini diakses tanggal 26
Desember 2019 dari http://sejarahharirayahindu.blogspot.com/2012/05/bale-pawedan.html
79
konstruksinya serupa bangunan gedong namun terbuka tiga sisi yaitu, kedua bagian
samping dandepan fungsinya untuk penyajian sarana dan perlengkapan upacara saat
pelaksanaan upacara yadnya dan piodalan.53
Dan biasanya pada akhir acara dilakukan dengan pelaksanaan mapurwa
daksina54sebagai prosesi ritual untuk mengelilingi atau mengitari sebanyak tiga kali
pelinggih tersebut dengan diiringi kidung-kidung dharma gita yang bertujuan untuk
dapat meningkatkan vibrasi Sattvam yang muncul dari persembahan yang dilakukan
dan menguraikan vibrasi unsur rajas-tamas di alam semesta ini.
d. Padmasana
Padmasana berasal dari kata “Padma”dan “Asana”.Padma berarti bunga
teratai dan Asana berarti tempat duduk. Maka Padmasana berarti tempat duduk yang
berasal dari bunga teratai. 55 Dalam pandangan umat Hindu, padmasana diartikan
sebagai simbolis alam semesta sebagai sthananya atau tempat duduk Ida Sang Hyang
Widhi Wasa yang dibangun dalam bentuk bangunan yang menjulang
tinggi. Padmasana itu adalah lambang dari gunung Maha Meru yang juga sebagai
simbol alam semesta tempat bersthananya Ida Sang Hyang Widhi Wasa.Selain itu
padmasana juga dijadikan sebagai penuntun bathin atau pusat konsentrasi, sebagai
tempat untuk bersembahyang dan menaruh sajian bagi umat Hindu.56
53Sejarah Hari Raya & Upacara Yadnya di Bali, BalePepelik, artikel ini diakses tanggal 26
Desember 2019 dari http://sejarahharirayahindu.blogspot.com/2011/11/bale-pepelik.html 54Purwa (timur), Daksina (selatan). 55Arti Sarana Persembahyangan Dalam Agama Hindu, artikel diakses tanggal 27 Desember
2019 dari https://dewikastuti.blogspot.com/2016/12/arti-sarana-persembahyangan-dalam-agama.html 56Wawancara dengan Wayan Pinda Asmara Selaku Pinandita Pura Merta Sari pada tanggal
26 Desember 2019 pukul 14.00.
80
Dalam hal ini bunga teratai dipilih sebagai simbol yang tepat untuk
memenuhi simbol unsur-unsur filsafat Ketuhanan atau Widhi Tattwa, yakni
keyakinan, kejujuran, kesucian, keharuman, ketulusandan keagungan Hyang Widhi
karena memenuhi unsur-unsur:57
1. Helai daun bunganya berjumlah delapan sesuai dengan jumlah manifestasi
Hyang Widhi di arah delapan penjuru mata angin sebagai kedudukan
Horizontal. : Timur (Purwa) sebagai Iswara, Tenggara (Agneya) sebagai
Maheswara, Selatan (Daksina) sebagai Brahma, Barat Daya (Nairiti) sebagai
Rudra, Barat (Pascima) sebagai Mahadewa, Barat Laut (Wayabya) sebagai
Sangkara, Utara (Uttara) sebagai Wisnu, Timur Laut (Airsanya) sebagai
Sambhu.
2. Puncak mahkota berupa sari bunga yang menggambarkan simbol kedudukan
Hyang Widhi secara vertikal dalam manifestasi sebagai: Siwa (adasthasana/
dasar), Sadasiwa (madyasana/ tengah) dan Paramasiwa (agrasana/ puncak)
3. Bunga teratai hidup di tiga alam yaitu tanah/lumpur disebut pertiwi, air
disebut apah, dan udara disebut akasa. Bunga teratai merupakan sarana utama
dalam upacara-upacara Panca Yadnya dan juga digunakan oleh Pandita-
Pandita ketika melakukan surya sewana.
Posisi padmasana adalah sikap duduk bersila dengan kedua telapak kaki
dilipat ke atas, sehingga tampak seperti posisi yang berbentuk lingkaran. Mungkin ini
tidak sesuai dengan apa yang terlihat di lapangan, bahkan pada bagian puncak
57Pustaka Hindu, Pengertian Padmasana dan Aturan Pembuatan Padmasana, artikel diakses
tanggal 2 Januari 2020 dari http://pustakahindudharma.blogspot.com/2014/02/pengertian-padmasana-
dan-aturan.html
81
Padmasana tampak berbentuk singhasana berbentuk kursi persegi empat. Hal ini akan
terjawab kalau orang memperhatikan pesimpen pancadatu atau pedagingan yang
ditanamkan di dasar, di madya, maupun di puncak dari Padmasana.58
Simbol dari Padmasana menggambarkan tingkatan alam yaitu Tri Loka (bhur,
bwah dan swah).Hal ini terlihat dari Bhedawang Nala dengan dua naga (Anantabhoga
dan Basuki) melambangkan alam bawah (bhur loka), badannya (padma termasuk
singhasana) melambangkan atmosfer bumi (bwah loka).Sedangkan swah loka tidak
dilukiskan dalam wujud bangunan tetapi di dalam pesimpen pedagingan yang
berwujud padma dan di dalam puja yang dilukiskan dengan “Om Padmasana ya
namah dan Om Dewa Pratistha ya namah.”59
Tata cara membangun atau mensucikan padmasana adalah dengan:
3. Melaksanakan upacara(upacara) yang sederhana untuk Padmasari
4. Nasarin (peletakan batu pertama)
5. Ngeruwak (Penggalian lubang untuk dasar) sesuai dengan keputusan
Pesamuhan Agung
6. Penyucian lubang bisa sampai tingkatan mebumi sudha
7. Persembahyangan dengan puja pengantar Ananta Boga stawa dan Pertiwi
stawa. Bunga atau kawangen yang telah dipakai diletakkan pada lubang
sebagian dasar.
8. Peletakan dasar dengan materi sesuai dengan keputusan Pesamuhan Agung
58Pustaka Hindu, Pengertian Padmasana dan Aturan Pembuatan Padmasana, artikel diakses
tanggal 2 Januari 2020 dari http://pustakahindudharma.blogspot.com/2014/02/pengertian-padmasana-
dan-aturan.html 59Pustaka Hindu, Pengertian Padmasana dan Aturan Pembuatan Padmasana, artikel diakses
tanggal 2 Januari 2020 dari http://pustakahindudharma.blogspot.com/2014/02/pengertian-padmasana-
dan-aturan.html
82
9. Melaspas.
10. Upakara- upakara berupa pedagingan, orti, dan sesaji sesuai dengan lontar
Dewa Tattwa, wariga, Catur Winasa Sari dan Kesuma Dewa.60
Hiasanpadmasanaterdiri dari 3 bagian:
1. Di bagian dasar Padmasana
Pada bagian ini ada yang disebut dengan Bhedawangnala, yaitu ukiran “mpas”
(kura-kura besar) yang dililit dua ekor naga.Bhedawangnala terdiri dari kata “beda”
berarti ruang-ruang, “ wang” berarti yang ada, dan “nala” berarti api, inti bumi
(ratala). Kura-kura adalah simbol yang berada di bagian paling dasar padmasana
dibayangkan sebagai api magma, dan dililit dua naga yang disebut sebagaiNaga
basuki yaitu kekuatan yang mengikat alam semesta. dan anantaboga adalah simbol
kemakmuran dan kesejahteraan 61
Jadi makna padmasana yang berdasar bhedawangnala dianggap sebagai
keajegan bumi, tempat kehidupan atas karunia Sang Hyang Widhi.Padmasana adalah
tempat atau kedudukan suci Sang Hyang Widhi yang melindungi bumi dan
kehidupan kita.
2. Di bagian tengah Padmasana
Di bagian ini tepatnya di bagian tengah belakang padmasana ada simbol
Garuda Wisnu yaitu simbol Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai
60Hindu Alukta, Struktur Padmasana dan Fungsi Tingkatanya , artikel diakses tanggal 3
Januari 2020 dari https://hindualukta.blogspot.com/2015/12/struktur-padmasana-dan-fungsi.html
61 Hiasan Padmasana, arikel diakses tanggal 8 Januari 2020 dari
https://wimerta.wordpress.com/2015/01/02/hiasan-padmasana/
83
pemelihara.Simbol garuda wisnu adalah simbol garuda (putra Sang Winata) yang
membawa tirta amerta kamandalu, anugerah dari wisnu.Itu berarti juga sebagai
simbol kesejahteraan dan kesehatan serta umur panjang bagi penyungsung garuda-
wisnu.62
Kemudiandi bagian atas belakang ada simbol angsa yaitu sebagai simbol
ketenangan dan warna putih bulunya adalah simbul kesucian, ketelitian memilih
makanan, misalnya walaupun mulut angsa masuk ke lumpur yang busuk akan tetapi
lumpur tidak termakan, jadi angsa merupakan simbul kebijaksanaan memilih yang
baik, di samping itu pula simbul kewaspadaan sebab baik siang maupun malam
seolah-olah angsa tidak penah tidur.
3. Di bagian Atas Padmasana
Pada bagian kepala Padmasana terdapat singhasana yang diapit oleh patung
naga tatsaka terbuat dari paras yang diukir sesuai bentuknya. Istilah
Acintyamengandung makna sebagai salah satu sifat Kemaha Kuasaan Tuhan. Bahwa
apa yang sebenarnya “tidak dapat dipikirkan” itu ternyata “bisa diwujudkan” melalui
media gambar, relief atau pematungan. Dengan diwujud nyatakan simbol Tuhan
tersebut diharapkan agar umat hindu memiliki emosi religi yang sangat dekat dengan
Tuhannya63
62 Hiasan Padmasana , arikel diakses tanggal 8 Januari 2020 dari
https://wimerta.wordpress.com/2015/01/02/hiasan-padmasana/
63 Paduarsana, makna Acintiya, artikel diakses tangga l 9 Januari 2020 dari
https://paduarsana.com/2012/09/12/makna-acintya/
84
Di dalam pura merta sari simbol acintya digambaran dari sosok anatomi tubuh
manusia yang telanjang kiasan dari ciptaan sang hyang widhi utama sebagai simbol
energi kehidupan, dan kepala tanpa bentuk wajah adalah simbol dari keberadaan yang
tidak dapat dibayangkan, tanpa jenis kelamin(tidak laki-laki, tidak perempuan, pun
tidak banci) dengan duduk bersila dan posisi satu tangan di dada, sedangkan satunya
menjulur kebawah.
Adapun hiasan lainnya dapat berupa karang gajah, karang boma, karang bun,
karang paksi, dab lain-lain. Yang semuanya bermakna sebagai simbol keaneka
ragaman alam semesta.kesimpulan arti simbolis dari semua bentuk padmasana adalah
Stana Hyang Widhi yang dengan kekuatan-nya telah menciptakan manusia sebagai
mahluk utama dan alam semesta sebagai pendukung kehidupan, senantiasa perlu
dijaga kelanggengan hidupnya.
C. Pemaknaan Simbol Dalam Kehidupan Beragama Umat Hindu Pura Merta
Sari Rengas
Kehidupan beragama Hindu dalam meningkatkan cara-cara hidup beragama
serta mendalami ajaran-ajaran agamanya memerlukan peransimbol sebagai sarana
dalam ritual persembahyanganuntuk dapat dipahami arti, fungsi dan kegunaannya,
dan menambah mantapnya perasaaan di dalam melaksanakan peribadatan.
Melalui simbol sarana dan bangunan yang di gunakan kemudian di buat
dengan sedemikian rupa sehingga dapat diartikan dan dimaknai bahwa gerakan
disekeliling kehidupan manusia dalam upaya menghubungkan diri dengan Hyang
Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa. Semua dilakukan sebagai salah satu bentuk
85
berbhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan penuh rasa cinta, tulus dan
ikhlas.Untuk itu umat bekerja mengorbankan tenaga, biaya, waktu dan itupun
dilakukan dengan penuh keikhlasan.64
Semua kegiatan keagamaan di dalam sebuah pura banyak menggunakan
simbol-simbol atau sarana.Simbol - simbol itu semuanya penuh arti sesuai dengan
fungsinya masing-masing. Berbhakti pada Tuhan dalam ajaran Hindu ada dua
tahapan, yaitu pemahaman agama dan pertumbuhan rokhaninya belum begitu maju,
dapat menggunakan cara Bhakti yang disebut Apara Bhakti. Sedangkan bagi mereka
yang telah maju dapat menempuh cara bhakti yang lebih tinggi yang disebut ”Para
Bhakti”.Apara Bhakti adalah bhakti yang masih banyak membutuhkan simbul-simbul
dari benda-benda tertentu.Pada masyarakat agama Hindu umumnya dalam
berkomunikasi dengan Ida Sanghyang Widhi atau Tuhan tidak hanya melalui
hubungan spiritual namun juga melalui media-media atau sarana-sarana tertentu. Hal
ini merupakan hakikat hidup manusia yang universal yaitu sebagai makhluk yang
menggunakan simbol (animal symbolicum) sebagai alat komunikasi. 65
Dalam Pura Merta Sari Rengas alat untuk berkomunikasi umat Hindu
menggunakan sarana-sarana seperti, patung atau arca yang secara mitologis selalu
dihubungkan dengan manifestasi Tuhan. Ketidakmampuan manusia berhubungan
langsung dengan Tuhan melalui batiniah, menimbulkan cara lain untuk mencapai
alam Ketuhanan. Cara-cara tersebut adalah dengan membuat upakara atau alat yang
64Wawancara dengan Komang Artana Selaku Pecalang (Keamanan Adat) Pura Merta Sari
pada tanggal 8 Desember 2019 pukul 22: 20. 65Memahami Makna Pentingnya Sarana Upacara Agama Hindu ( Banten ), artikel diakses
tanggal 9 Januari 2020 dari https://www.bulelengkab.go.id/detail/artikel/memahami-makna-
pentingnya-sarana-upacara-agama-hindu-banten-19
86
akan digunakan untuk persembahyangan dari berbagai bahan, seperti : bunga, dupa,
air, dan lain-lain tentunya melalui proses pensakralan atau penyucian (menggunakan
mantra). shingga di sana terpusat emosi keagamaan umat manusia melalui simbol
tersebut. Di samping itu adanya seni ritual yang mendukung juga sistem komunikasi
manusia dengan Tuhan adalah penciptaan bentuk-bentuk patung perwujudan
sehingga dalam bentuk-bentuk seperti itu tersirat atau terpadu antara emosi
keagamaan, etika, kebenaran, estetika dan filosofis yang menjadi kekuatan sebuah
simbol yaitu simbol perwujudan dari pemikiran manusia yang merupakan bagian dari
kekuatan yang Maha Besar yaitu, Tuhan Yang Maha Esa.66
Simbol-simbol itu merupakan hasil cipta dan penghayatan manusia terhadap
hadirnya kekuatan illahi yang bersemayam dalam estetika batin manusia
(umat).Simbol-simbol religi seperti itu dalam masyarakat Hindu khususnya di Pura
Merta Sari Rengas sangat disakralkan melalui tradisi yang ditanamkan kepada
masyarakat dalam berbagai sarana-sarana, melalui sarana tersebut baik dari seni
bangunannya maupun lainnya. Karena sudah melalui berbagai proses seperti yang di
jelaskan diatasmemperlihatkan bahwa setiap kesenian, khususnya yang berbentuk
kesenian ritual (patung), mengandung rasa indah, ke-Tuhan-an yang sejati,
mengandung unsur kesucian sekaligus kebenaran.
66Wawancara dengan Nyoman Rusta Selaku Umat Hindu Pura Merta Sari pada tanggal 23
Juni 2019 pukul 11. 32.
87
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menjelaskan bahwa Simbol mengandung arti dan fungsi untuk sesuatu atau
menggambarkan sesuatu, khususnya sesuatu yang immaterial, abstrak yaitu Tuhannya
dengan suatu ide, fikiran atau fakta yang di manifestasikan ke dalam sebuah objek.
Semua sarana yang digunakan oleh umat Hindu terutama yang berada di Pura Merta
Sari Rengas, di sebut simbol karena telah melalui proses pensakralan (penyucian).
Simbol sarana dan bangunan itu memiliki makna tersendiri bagi umat Hindu yaitu
sebagai salah satu sifat Kemaha Kuasaan Tuhan. Pura Merta Sari Rengas Tangerang
Selatan mengikuti aliran Pura yang ada di Bali, dari segi arsitektur dan ketentuan
sarana-sarana yang akan di gunakan semua mereka umat Hindu di Pura Merta Sari
tidak akan berani membuat yang beda dengan Pura yang di Bali.Bahwa apa yang
sebenarnya tidak dapat dipikirkan itu ternyata bisa diwujudkan melalui simbol
sarana-sarana, relief atau pematungan. Dengan diwujud nyatakan simbol Tuhan
tersebut diharapkan agar menjadi Pusat, titik fokus atau perantara umat Hindu menuju
tuhan Ida Sang Hyang Widhi dan meningkatkan emosi religi kemudian merasa sangat
dekat dengan Tuhannya.
Umat Hindu menjadikan simbol Sarana sebagai alat komunikasi dalam ritual
keagamaannya baik itu ritual yang dilakukan setiap hari maupun pada waktu-waktu
tertentu, terutama di Pura Merta Sari ini. Simbol Sarana yang digunakan pun sangat
bermacam-macam mulai dari bunga yang melambangkan ketulusan hati seorang umat
88
dalam memuja Tuhannya, api yang melambangkan pendeta dan penghubung
antara umat dengan Tuhannya dalam bersembahyang dan juga air sebagai lambang
kehidupan dan lainnya sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Pada intinya
ketulusan hati yang suci yang semua mereka (umat) wujudkan dalam berbagai bentuk
sarana sebagai sarana perwujudan atau cetusan rasa syukur mereka atas apa yang
telah mereka dapat selama mereka hidup di dunia ini. Karena semua yang ada di
dunia ini pada dasarnya bersasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan. Sebagai
umat yang berbhakti, tentunya seorang pemuja harus berbhakti kepada Tuhan yang
telah menciptakannya sarana. Tanda bhakti itu diwujudkan dalam bentuk
persembahyangan. Pada intinya penggunaan simbol-siombol ini bertujuan utuk
meningkatkan Sradha-bhakti terhadap sang pencipta.
A. Saran-saran
Adapun saran-saran yang diajukan oleh peneliti dari hasil penelitian adalah
sebagai berikut:
Bagi peneliti selanjutnya, umat Hindu sangat terbuka dan akan sangat
membantu untuk melakukan penelitian selanjutnya. Dengan masih banyaknya
bahasan dalam agama Hindu yang perlu di teliti lebih lanjut maka perlu di bahas lebih
terperinci dari pembahasan sebelumnya.
Akan ada pembahasan lagi yang lebih mendalam dan detail tentang simbol
sarana dan bangunan yang ada di tempat ibadah agama Hindu karena penulis sadar
bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna.
89
DAFTAR PUSTAKA
Artadi, I Ketut. Kebudayaan Spiritualitas. Denpasar : Pustaka Bali Post, 2011.
Bagus, Loren. Kamus Filsafat. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2005.
Bakker, Anton. “Manusia dan Simbol”dalam Soejanto Poedpowar-djono dan K.
Bertens, Sekitar Manusia, Bungan Rampai Tentang Filsafat Manusia. Jakarta:
Gramedia,1977.
Cassirer, Ernst.Manusia dan Kebudayaan: Sebuah Esei Tentang Manusia, Terj. Alois
A. Nugroho. Jakarta: PT Gramedia, 1987.
Cassirer, Ernest. An Essay on Man; an Introduction to a Philoshopy of Human
Culture. New York: New Heaven, 1994.
Coulson, J. The New Oxford Illustrated Dictionary. Oxford: University Press, Vol.III.
1978.
Daeng, Hans J.Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2000.
Departemen Agama, I Gst. MD Ngurah et al. Buku Pendidikan Agama Hindu Untuk
Pengurus Tinggi. Surabaya: Paramita, 1999.
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka, Cet Ke-4, 1995.
Dhavamony, Mariasusai. Fenomenologi Agama. Yogyakarta: Kanisius, 1995.
Dillistone. F. W. Daya Kekuatan Simbol. Terj. A. Widyamartaya. Yogyakarta:
Kanisius, 2002.
90
Dwijendra, N. K. A. Arsitektur Bangunan Suci Hindu. Denpasar: Udayana University,
2008.
Echols, John M. dan Hassan Shadily. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia,
Cet. Ke-23,1996.
Endraswara, Suwardi. Metodologi penelitian kebudayaan. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 2006.
Geertz, Clifford. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius, 1992.
, Local Knowledge; Further Essays in Interpretative Anthropology. New
York: Basic Books, 1983.
Ghazali, Adeng Muchtar.Antropologi Agama. Bandung: Alfabeta, 2011.
Gie, The Liang. Dictonary of Logic. Yogyakarta: Karya Kencana. 1975.
Gunawan, Imam. Metode penelitian Kualitatif Teori & Praktik. Jakarta: Bumi Aksara,
2013.
Herusatoto, Budiono. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta : PT. Hanindita
Graha Widya, 2001.
Hartoko, dick & B. Rahmanto. Kamus Istilah Sastra. Yogyakarta: Kanisisus, 1998.
Indrawan, WS. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Cipta Media,tt, 1999.
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Metalitet, dan pembangunan. Jakarta: PT Gramedia,
1974.
M.A, G. Pudja, WEDAPARIKRAMA. Jakarta: Departemen Agama RI, 1971.
Mantik, S. Agus. Bhagawadgita. Surabaya : Paramita, 2007.
Matra, Ida Bagus. Tata Susila Hindu Dharma. Denpasar: Upada Sastra, 2002.
91
Morissan, Teori Komunikasi. Bogor : Ghalia Indonesia, 2013.
Mulyana, Deddy. Metodologi Penelitian Kualitatif Paradigma Baru Ilmu Komunikasi
danIlmu Sosial Lainnya. Bandung: Rosdakarya, 2001.
, Ilmu Komunikasi, Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2010.
Netra Anak Agung Gede Okta. Tuntunan Dasar Agama Hindu. Jakarta: Hanoman
Sakti, 1994.
PHDI. Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek
Agama Hindu IXIV. Kuta : Peradah Komisariat Kecamatan Kuta, 1988.
Permata, Ahmad Norma. Metodologi Studi Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2000.
Poerwadarwinta, W. J. S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai Pustaka.
1976.
Punia, I Wayan. Mengapa? Tradisi dan Upaca Hindu. Surabaya: PT. Kisanlal
Sharma-PARAMITA, 2007.
Purusa, Mahaviranata Nyoman. Arca Primitif di Situs Keramas. Jakarta: Pertemuan
Ilmiah Arkeologi II, 1982.
Puspito, Hendro. Sosiologi Agama. Yogyakarta: Kanisius, 1983.
Raho, Bernard. Teori Sosiologi Modern. Jakarta : Prestasi Pusaka, 2007.
Rakhmat, Jamaluddin. Psikologi Agama Sebuah Pengantar. Bandung: Mizan Pustaka,
2003.
92
Sirregar, H.A Rivay. Tasawuf: dari Sufisme Klasik Ke Neo Sufisme. Jakarta: Grafindo
Persada, 1979.
Sivananda, Sri Swami. All About of Hinduism, diterjemahkan dalam Bahasa
Indonesia Intisari Ajaran Hindu. Surabaya.: Yayasan Sanatana Dharmasrama,
1993.
Soebandi, Ketut. Pura Kawitan atau Padharman dan Penyungsungan Jagat.
Denpasar : CV Kayu Mas Agung, 1981.
Soekamto,Sujono. Sosioligi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001.
Soemardjo, Jakob.Estetika Paradoks. Bandung: Sunan Ambu Press, 2006.
SP, Soedarso. Tinjauan Seni. Sebuah Pengantar Untuk Apresiasi Seni.Yogyakarta:
Saku Dayar Sana, 1987.
Sudikan, Setya Yuwana. Antropologi Sastra. Surabaya: Unesa University Press, 2007.
Suhardana, K. M. Pedoman Sembahyang Umat Hindu. Surabaya: PARAMITA, 2004.
, Dasar-Darsar Kepemangkuan:Suatu Pengantar dan Bahan KajianBagi
Generasi Mendatang. Surabaya: Paramita, 2006.
Suhartono. Metode Penelitian Sosial. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995.
Sumandiyo, Seni Dalam Ritual Agama. Yogyakarta: pen. Pustaka, 2006.
Susanto, Hery. Mitos Menurut Pemikiran Mircie Eliade. Yogyakarta: Kanisius, 1978.
Suyanto, Bagong dkk. Metode Penelitian Sosial. Jakarata: Kencana Prenada Media
Group, 2011.
Suyasa, I Wayan.Pura Agung Jagatnatha Singaraja: Latar Belakang Berdirinya dan
Makna Filosofisnya. Singaraja: T.P, 1996.
93
Titib, I Made. Teologi & Simbol-Simbol dalam Agama Hindu. Surabaya: Paramita,
2009.
Turner, Lynn H. Richard West, Pengantar Teori Komunikasi Analisis Dan Aplikasi.
Jakarta : Salemba Humanika, 2008.
Observasi, Lihat dari Arsip Pura Merta Sari Kelurahan Rengas Ciputat Timur,
Tangerang Selatan, Banten, 13 November 2019.
Wasimah, Faridatul. Makna Simbol Tradisi Mudun Lemah. skripsi, UINSA, 2012.
Wawancara dengan I Gede Sidarta selaku Ketua Banjar Pura Merta Sari pada tanggal
23 Juni 2019 pukul 11.32.
Wawancara dengan Wayan Pinda Asmara Selaku Pinandita Pura Merta Sari pada
tanggal 23 Juni 2019 pukul 13:44
Wawancara dengan Made Soraja Yudhantara Selaku Kepala Pasraman Pura Merta
Sari pada tanggal 30 Oktober 2019 pukul 13: 26
Wawancara dengan Ni Putu Kayia Anandani Selaku Siswa Pasraman Pura Merta Sari
pada tanggal 23 November 2019 pukul 13: 26
Wawancara dengan Komang Artana Selaku Pecalang (Keamanan Adat) Pura Merta
Sari pada tanggal 8 Desember 2019 pukul 22: 20
Wawancara dengan Nyoman Rusta Selaku Umat Hindu Pura Merta Sari pada tanggal
23 Juni 2019 pukul 11. 32
Wiana, I Ketut.Arti dan Fungsi sarana Persembahyangan. Surabaya:
PARAMITA.2000.
Wibisono dkk, Koento. Sistem ajaran Nilai Yang Terkandung Dalam Upacara
Kendari/Sajian Tumpeng. Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM, 1986.
94
Widia, I Wayan. Pretima dan Pralingga Koleksi Museum Bali, Laporan Penelitian.
Denpasar: Museum Bali. Ditjenbud, Depdikbud., 1987.
, Tinjauan Patung Sederhana Bali. Denpasar: Depdikbud. Ditjenbud. Proyek
Pembinaan Permuseuman Bali, 1991.
Widana, I Gusti Ketut. Mengenal Budaya Hindu Sebuah Pengantar. Denpasar: T.P,
2002.
Windhu, Ida Bagus Oka. Bangunan Tradisional Bali Serta Fungsinya. Jakarta:
Proyek Pengembangan Kesenian Bali, 1984.
Referensi Jurnal
Ni Kadek Intan Rahayu. Makna Simbolik Umat Hindu Dalam Persembahyangan
Bulan Purnama Di Kecamatan Basidondo Kabupaten Tolitoli. Jurnal Bahasa
dan Sastra Vol. 5 No. 1, 2020.
Indrianto, Enrike Puspita. Akulturasi Pada Gereja Kristen Pniel Blimbingsari Bali.
Jurnal Intra Vol. 1, No. 1, 2013.
Referensi Skripsi
Fauzi, Ahmad. Peran Pemangku Umat Hindu dalam Kehidupan Bermasyarakat :
Studi Kasus Pura Mertasari Rengas Tangerang Selatan. Jurusan Studi
Agama-Agama. Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2019.
Izzaty, Wildan. Simbol-simbol Dewa Siwa Dalam Agama Hindu : Studi terhadap
simbol-simbol Dewa Siwa dan Pemujaan Dalam Kuil Shiva Mandir di Pluit
95
Jakarta Utara. Jurusan Studi Agama-Agama. Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2015.
Referensi Internet
Makna Simbol, artikel diaksestanggal 21 Agustus 2019 dari
http://www.britannica.com/topic/religious-symbolism
Yayasan Merta Sari Rempoa, artikel diakses tanggal 27 Oktober 2019 dari
http://www.mertasarirempoa.org/content/i.php?mid=80
Astini, Ni Wayan. “Definisi dan Fungsi Pura,” artikel diakses tanggal 24 Oktober
2019 dari
https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/JJPS/article/download/3809/3052&v
ed=2ahUKEwilr__XvMrlAhVDK48KHZKC2YQFjAHegQIBBAB&usg=AO
vVaw1LFhnR6p-k89A0m6a-ggm9
Makna sarana persembahan Hindu, artikel diakses tanggal 17 Desember 2019 dari
http://kb.alitmd.com/%E2%80%8Bmakna-sarana-persembahyangan-hindu/
Wikipedia Ensiklopedia Bebas, Arca, artikel dalam Bahasa Indonesia, diakses
tanggal 17 Desesember 2019 https://id.wikipedia.org/wiki/Arca#Hindu
Kalender Bali, Kumpulan Informasi, Berita dan Opini Tentang Hindu Bali, artikel
diakses tanggal 19 Desember 2019 dari
http://kb.alitmd.com/%E2%80%8Bmakna-sarana-persembahyangan-hindu/
Tirtha, artikel diakses tanggal 19 Desember 2019
https://kadekyunii.wordpress.com/2015/01/14/tirtha/
96
Paduarsana, Makna Sarana Persembahyangan Hindu, artikel diakses tanggal 19
Desember 2019 dari https://paduarsana.com/2012/05/29/makna-sarana-
persembahyangan-hindu2/
Sudarsana, I Gede. Bunga Yang Tidak Layak Dipakai Sembahyang, artikel diakses
tanggal25 Desember 2019 dari https://phdi.or.id/artikel/bunga-yang-tidak-
layak-dipakai-sembahyang
Makna dan Penempatan Bija Dalam Persembahyangan, artikel diakses tanggal 2
Januari 2020 dari https://inputbali.com/budaya-bali/makna-dan-penempatan-
bija-dalam-persembahyanganhindu-bali
Hindu Alukta, Pengertian Senteng dan Makna Dalam Agama Hindu, artikel diakses
tanggal 26 Desember 2019 dari
https://hindualukta.blogspot.com/2017/04/pengertian-senteng-dan-maknanya-
dalam.html
Sejarah Hari Raya & Upacara Yadnya di Bali, Senteng, artikel ini diakses tanggal 26
Desember 2019 dari
http://sejarahharirayahindu.blogspot.co.id/2012/02/senteng.html
Pengertian Limas, Ciri-Ciri, Unsur, Jenis, Rumus, dan Contoh Soal
Limashttps://www.sumberpengertian.id/pengertian-limas
Arti Sarana Persembahyangan Dalam Agama Hindu, artikel diakses tanggal 27
Desember 2019 dari https://dewikastuti.blogspot.com/2016/12/arti-sarana-
persembahyangan-dalam-agama.html
97
Pustaka Hindu, Pengertian Padmasana dan Aturan Pembuatan Padmasana, artikel
diakses tanggal 2 Januari 2020 dari
http://pustakahindudharma.blogspot.com/2014/02/pengertian-padmasana-dan-
aturan.html
Hiasan Padmasana, arikel diakses tanggal 8 Januari 2020 dari
https://wimerta.wordpress.com/2015/01/02/hiasan-padmasana/
Paduarsana, makna Acintiya, artikel diakses tangga l 9 Januari 2020 dari
https://paduarsana.com/2012/09/12/makna-acintya/
Memahami Makna Pentingnya Sarana Upacara Agama Hindu, artikel diakses tanggal
9 Januari 2020 dari (Banten),
https://www.bulelengkab.go.id/detail/artikel/memahami-makna-pentingnya-
sarana-upacara-agama-hindu-banten-19
LAMPIRAN-LAMPIRAN
PEDOMAN WAWANCARA MAKNA SIMBOL-SIMBOL DI PURA
MERTA SARI RENGAS TANGERANG SELATAN
Nama Informan
Nama :
Alamat :
Jenis kelamin :
Umur :
Agama :
Jabatan :
Tanggal wawancara :
Daftar Pertanyaan:
A. Sekilas Tentang Profil dan Kegitan Pura Merta Sari Rengas
1. Apakah anda mengetahui tentang sejarah berdirinya Pura Merta Sari
Rengas?
2. Bagaimana tata letak berdirinya Pura Merta Sari Rengas?
3. Berapa kali Pura Merta Sari Rengas melakukan renovasi ?
4. Apakah maksud dari Ketua Banjar?
5. Apa saja kegitan yang yang ada di pura Merta Sari Rengas?
6. Apa fungsi dibuatnya jadwal Piket dalam bidang keagamaan oleh
pengempon/ Ketua Banjar Pura Merta Sari Rengas?
7. Apa saja fungsi dari bidang Pendidikan agama Hindu?
8. Apa yang di maksud dengan Pasraman?
B. Bentuk dan Fungsi Simbol Keagamaan
1. Bagaimana pemahaman umat Hindu mengenai simbol-simbol yang di
gunakan dalam persembahyang?
2. Apakah syarat dan ketentuan suatu benda sebelum di fungsikan
sebagai objek pemujaan Ida Sang Hyang Widhi bagi umat Hindu?
3. Bagaimana reaksi umat Hindu ketika melihat sebuah Simbol yang
biasa digunakan untuk beribadah namun di temukan pada tenpat yang
tidak semestinya?
C. Sekilas Makna dan Fungsi Simbol-simbol Keagamaan Pura Merta
Sari Rengas
1. Apakah ada perbedaan mengenai simbol-simbol yang di gunakan di
Pura Merta Sari dengan pura-pura yang lain?
2. Apa makna dan fungsi dari simbol-simbol yang di gunakan oleh umat
Hindu di Pura Merta Sari Rengas?
3. Apa saja simbol-simbol yang ada di Pura Merta Sari Rengas?
4. Apa saja fungsi simbol-simbol di Pura Merta Sari Rengas?
5. Bagaiaman proses pensakralan simbol-simbol yang akan digunakan
dalam ritual pemujaan/persembahyangan?
6. Bagaimana umat Hindu memaknai simbol-simbol ke dalam
kehidupan bergamanya?
Rengas,…..,……,20..
(…………………………………)
Nama dan tanda tangan informan
HASIL WAWANCARA
Nama : Wayan Pinda Asmara
Alamat :Pondok Betung
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : -
Agama : Hindu
Jabatan : Pemangku/Pinandita
Tanggal wawancara : 23 Juni 2019
Daftar Pertanyaan :
Sekilas Tentang Profil dan Kegitan Pura Merta Sari Rengas
A: Apakah anda mengetahui tentang sejarah berdirinya Pura Merta Sari
Rengas?
B: Pada mulanya, Pura ini dibangun di atas tanah berukuran 1000 meter
merupakan hasil swadaya (sumbangan umat) untuk dijadikan tempat
beribadah. Saat itu, penganut Hindu di Pura Merta Sari Rengas baru
berjumlah sekitar 40 KK. Lama kelamaan bertambah dan membutuhkan
lahan lagi. Kebetulan pada saat itu Pura ini mendapat tambahan sumbangan
tanah sekitar 1.800 Meter dari salah seorang warga. Pura ini langsung
melakukan renovasi. Awal pembangunan Pura ini merupakan hasil “suka duka”
Hindu Dharma Banjar Jakarta Selatan.
A: Bagaimana tata letak berdirinya Pura Merta Sari Rengas?
B: Pura Merta Sari terletak di Jalan Teratai Putih, dekat lapangan sepak bola
Rengas, RT 4 RW 11, Kelurahan Rengas Ciputat Timur, Tangerang Selatan,
Banten. Berdiri sejak tanggal 31 Januari 1982, kemudian diresmikan pada
tanggal 28 Juli 1982 dengan melalui upacara Melaspas Alit (upacara
pembersihan dan penyucian bangunan), kemudian tepat pada tanggal 14 Juni
1984 (Purnama Sasih Sadha) berlansunglah Upacara Ngenteg Linggih
(semacam upacara peresmian pura) yang di pandu oleh Pedanda Isteri Wayan
Sideman. Akhirnya pada hari Minggu tanggal 15 Juni 2014 ditetapkanlah
pelaksanaan Upacara Nganteg Linggih yang ke-2 di pimpin oleh Ide Pedande
Made Putra Sidemen sekaligus diresmikan kembali oleh ibu Hj. Airin Rachmi
Diany, SH, MH selaku Walikota Tangerang Selatan.
A: Berapa kali Pura Merta Sari melakukan renovasi ?
B: Pura Merta Sari Rengas ini sudah mengalami 3 (tiga) kali renovasi.
Pertama, Pada tahun 1986 melakukan renovasi dengan memperluas bangunan
pura lagi. Namun, karena luas pura Merta Sari Rempoa ini terbatas dan sudah
tidak memungkinkan untuk diperlebar maka harus dibangun ke atas tetapi ada
masalah perijinan , akhirnya menghalangi pembangunan Pura Merta Sari,
mungkin jika telat mendapat izin pura ini sekarang menjadi tiga atau empat
lantai ke atas.. Pada awal berdiri Pura Merta Sari hanya satu lantai, sekarang
kita dapat melihat Pura ini menjadi dua lantai, yang lantai atas digunakan
khusus untuk kegiatan pasraman (sekolah Agama Hindu).
A: Apa fungsi dibuatnya jadwal Piket dalam bidang keagamaan oleh
pengempon/ Ketua Banjar yang Pura Merta Sari Rengas?
B: Pastinya diharapkan agar semua kegiatan dapat berjalan dengan baik.
Semua penanggung jawab yang sudah di tetapkan dalam jadwal piket ini tidak
serta merta lansung terlaksana tentunya sudah disusun dan diatur dengan
sebaik-baiknya oleh pengempon atau ketua banjar Pura Merta Sari Rengas.
Dengan jadwal tersebut diharapkan agar semua Pinandita memiliki kewajiban
untuk memimpin dan memberikan arahan tentang pokok-pokok ajaran agama
Hindu di Pura Merta Sari ini terutama dalam bidang keagamaannya.
A: Apakah syarat dan ketentuan suatu benda sebelum di fungsikan sebagai
objek pemujaan Ida Sang Hyang Widhi bagi umat Hindu?
B: Simbol dalam agama Hindu, sebelum difungsikan sebagai objek pemujaan
terhadap Sang Hyang Widhi, terlebih dahulu harus memenuhi syarat ritual
pensakralan /penyucian. Diberi doa/mantra dan di lakukannya upacara
Malaspas/upacara penyucian.
A: Bagaimana reaksi umat Hindu ketika melihat sebuah Simbol yang biasa
digunakan untuk beribadah namun di temukan pada tenpat yang tidak
semestinya?
B: Simbol adalah manifestasi Tuhan Yang Maha Esa karena sudah melalui
proses pensakralan maka dijadikan sarana pemujaan umat Hindu. Bahkan
ketika simbol-simbol itu belum atau tidak mengalami proses sakralisasi, jika
ditemukan pada tempat yang tidak semestinya setiap umat Hindu wajib
mengamankan misalnya gambar citra Dewata tergeletak dilantai atau ditempat
sampah umat Hindu yang menemukan hendaknya segera mengamankan
dengan menaruh kembali pada tempatnya yang layak, jika gambar itu dalam
keadaan terbangkalai di tempat kotor agar umat Hindu dengan penuh hormat
membakarnya untuk mengindari pencemaran kesuciannya. Demikian pula
halnya dengan kitab suci Weda atau Susastra wajib diperlakukan dengan
penuh hormat, misalnya membaca Weda hendaknya dengan alas baca, tidak
diperkenankan membaca kitab suci Weda dengan menempatkan tergeletak
dilantai. Sebelum membuka kitab suci Weda hendaknya membaca doa
permohonan kepada Dewi Saraswati, doa pujian kepada Maha Rsi Wyasa
sebagai pengkodifikasi Weda dan Guru besar Weda.
A: Apakah ada perbedaan mengenai simbol-simbol yang di gunakan di Pura
Merta Sari dengan pura-pura yang lain?
B: Tempat ibadah umat Hindu hampir sama, karena yang di puja pun sama
intinya menuju Tuhan. Mungkin yang berbeda dari segi aksesoris atau ukiran-
ukiran bangunan yang di gunakan. Semisalnya, jika dananya besar mungkin
bisa lebih bagus begitupun sebaliknya. Namun esensi dari bangunan tersebut
tetap sama, yaitu tempat ibadah menghadap Tuhan. Intinya semua hampir
sama, entah dari segi tata letak bangunannya bisa dibilang hampir sama tidak
jauh berbeda dibandingkan dengan pura-pura lainnya. Dilihat dari tatanan
upacaranya sudah jelas berbeda di bandingkan dengan agama islam misalnya.
Dalam agama Hindu memepergunakan sarana seperti alat. Jadi apapun,
kemanapun kita pergi pasti mempergunakan alat. Apalagi menuju Tuhan, kita
selaku umat Hindu harus butuh sarana. Maka disini dibuatlah semacam sesaji,
mempergunakan dupa, bunga, air dan lain sebagainya.
A: Apa makna dan fungsi dari simbol-simbol yang di gunakan oleh umat
Hindu di Pura Merta Sari Rengas?
B: Semuanya memiliki makna tersendiri bagi umat Hindu yang dijadikan
sebagai penuntun atau perantara menuju Tuhannya. Itulah mengapa umat
Hindu untuk menuju Tuhannya atau menghadap Tuhannya menggunakan
sarana-sarana. Karena Tuhan tak terfikirkan, manusia tidak akan mampu
memikirkan bentuk Tuhan karena Tuhan itu tak berbentuk dan Tuhan itu
berada dimana-mana. Misalnya seperti dalam mempergunakan sarana sesajen
atau sesembahan maknanya, jadi apapun yang kita dapatkan sebelum
dinikmati atau dimakan harus dipersembahkan dulu kepada Tuhan. Karena
semua milik Tuhan, semua berasal dari Tuhan, kita sebagai umatnya hanya
mampu mengucapkan syukur atau berterima kasih kepada Tuhan Sang Hyang
Widhi.
A: Apa saja simbol-simbol yang ada di Pura Merta Sari Rengas?
B: Ada banyak sekali simbol yang kami (umat hindu) gunakan dalam ritual
keagamaan/sembahyang sebagai perantara atau pemhubung umat dengan
tuhannya.
Pertama, ada yang di sebut dengan simbol sarana atau alat yang di gunakan
ketika sembahyang, yaitu; simbol patung (relief-relief pada bangunan), air
yang kami sebut dengan tirtha, api/ dupa dalam agama Hindu di percaya
sebagai simbol Dewa Agni, dupa ini merupakan harum-haruman yang di
bakar, bija atau beras yang biasa di letakkan di kening dan di leher,
bunga/puspa bunga yang akan digunakan hendaknya bunga yang segar, harum,
utuh, tidak tumbuh dikuburan, belum jatuh dari tangkainya, bunga yang mekar,
tidak layu, tidak kering, bukan hasil dari mencuri atau bisa dikatakan bunga
yang masih suci, dan bunga yang belum pernah terpakai sebelumnya., kain
hitam-putih/kain poleng, senteng/ ikat pinggang pada saat akan memasuki
pura.
Kedua, simbol bangunan/arsitektur, bangunan di pura merta sari ini mengikuti
aliran/gaya bangunan pura-pura di bali. Semuanya dari relief-relief tata letak
banguananya. Bangunan pura merta sari rengas ini di bagi menjadi tiga bagian,
yaitu bagian luar pura di namakan dengan Nista Mandala, bagian tengah Pura
di namakan Madya Mandala, kemudian bagian terdalam pura dinamakan
Utama Mandala. Dalam bagian ini, masing-masing terdapat sebuah bangunan
di dalamnya. Di bagian luar atau nista ini bersifat kotor atau tidak sakral
siapapun boleh memasuki area ini. Dan pada bagian ini terdapat 2 bangunan
antaranya ada yang dinamakan dengan Candi Bentar/ pintu gerbang, dan Bale
Banjar merupakan bangunan bersifat umum. Seterusnya bagian tengah puara
terdapat 2 banguan yaitu Bale Wantilan dan Bale Kul-kul. Kemudian di
bagian terdalam atau bagian yang paling sakral dan disucikan ini bagian yang
tidak sembarang orang memasuki area ini selalu di jaga kesakralannya. Pada
bagian ini terdapat beberapa bangunan yaitu, Kori Agung atau biasa di sebut
dengan Candi Kurung sebgai tempat yang diagungkan, Bale Pawedan adalah
yang di bangun tepat berhadapan dengan pelinggih pemujaan, Bale Pepelik/
Pelik Sari dan Padmasana.
A: Apa saja fungsi simbol-simbol di Pura Merta Sari Rengas?
B: Simbol Sarana Persembahyangan Pura Merta Sari Rengas
Ada beberapa simbol sarana yang umat hindu pakai dalam persembahyangan.
seperti;
1. Simbol Patung, dalam Pura Merta Sari ini misalnya tepat di bagian luar
dan untuk memasuki area tengah dan dalam pasti terdapat dua buah
patung yang simbolkan sebagai patung penjaga atau biasa di sebut dengan
Dwarapala. Patung-patung ini memiliki raut wajah yang menakutkan,
intinya berperan untuk menjaga kesucian Pura. Di bagian kanan-kiri
bangunan padmasana juga terdapat patung dwarapala.
2. Air/Tirtha, bagi umat hindu memiliki peran yang sangat penting, dimana
air ini di jadikan sebagai alat untuk mensucikan diri atau sebagai lambang
pelebur dosa kita selaku umat sebelum memasuki tempat beribadah
biasanya sebelum memasuki ruang sakral dalam pura akan di percikkan
Tirtha ini ke ububu-ubun . Air juga berfungsi untuk mensucikan banguan-
bangunan yang ada di Pura.
3. Api/Dupa, dupa disimbolkan sebagai Dewa Agni yang dimaknai sebagai
saksi dalam upacara persembahyangan dan perantara yang
menghubungkan umat (manusia) dan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Nyala
dupa sebagai saksi dari segala hal yang dilakuakn manusia dan asap yang
bergerak keatas dan menyatu keangkasa sebagai pertemuan antara umat
dan Tuhannya. puja untuk dupa dengan cara kedua tangan menggenggam
dupa yang telah dinyalakan tangan dicakupkan kedua ibu jari menjepit
pangkal dupa yang ditekan oleh telunjuk tangan kanan. Mantra puja untuk
dupa berbunyi “om am dupa dipastraya nama svaha” yang memiliki
makna Ya Tuhan Brahma tajamkanlah nyala dupa hamba sehingga
sucilah sudah hamba seperti sinarmu.
4. Simbol Bija, di gunakan setelah melakukan sembahyang. sebagai simbol
untuk menemukan kesucian rohani dengan harapan agar memperoleh
kesempurnaan hidup. Bija dibuat dari biji beras yang dicuci dengan air
bersih lalu direndam dengan air cendana. Penggunaan Bija bertujuan
untuk mensucikan pikiran, perbuatan, dan perkataan.
5. Bunga/Puspa, selain digunakan untuk membuat Canang digunakan juga
untuk melakukakan persembahyangan. Dalam ritual hari raya Bulan
Purnama di Pura ini misalnya. Bunga diwujudkan sebagai sumber
sinar/Dewa Siwa, bunga juga di sebut sebagai lambang kesucian hati.
Bunga yang diistimekan adalah bunga teratai yang merupakan salah satu
bunga yang sangat dihormati, karen kami umat Hindu memahami bahwa
para dewa dan dewi bersemayam diatas bunga teratai. Warna merah yang
terdapat pada bunga teratai itu merupakan suatu kesucian dan
keberuntungan. Bunga disucikan dengan cara menggenggam bunga
kemudian diasapkan pada asap dupa setelah itu mengucapkan mantra
“om, puspa dannta ya nama svaha” Artinya: Ya Tuhan, semoga bunga
ini cemerlang dan suci.
a. Kain Hitam Putih/Saput Poleng, Saput poleng biasa dipakaikan pada
pohon, patung, atau gapura. Dalam kepercayaan Hindu, saput
poleng dianggap sebagai pertanda bahwa benda itu memiliki kekuatan
magis yang dihormati dan melindungi, serta patut dijaga kelestariannya.
Warna hitam dan putih pada kain poleng ini merupakan dua hal yang
berlawanan tetapi mampu membuat alam ini jadi seimbang dan
harmonis.
b. Senteng/Ikat Pinggang, di percaya sebagai pengikat indra-indra manusia
atau sebagai pembatas antara bagian manusia yang suci (kepala keatas)
dan yang tidak suci (pinggul kebawah) agar pada saat sembayang tidak
memikirkan hal-hal negatif.
Simbol-simbol Bangunan Keagamaan Pura Merta Sari Rengas
Nista Mandala/Bagian Luar Pura
a. Candi Bentar, berfungsi sebagai pembatas antara nista mandala dengan
bagian luar jalan. Sebagai tempat keluar masuk umat. Dan juga sebgaia
pelindung isi yang ada di bagian dalam bangunan pura. Agar memberikan
kedamaian dan dan ketentraman.
b. Bale Banjar, ini biasa digunakan sebgai tempat apa saja, misalnya
kegitan-kegiatan adat, pentas Seni, sosial dll. Utamanya dijadikan sebgaia
tempat pertemuan Banjar misalnya pelantikan ketua Banjar di setiap
tahunnya di lakukan di Bale Banjar. Kadang juga bale banjar ini dijadikan
sebgai tempat bermain tenis meja.
Madya Mandala/Bagian Tengah Pura
Pada bagian tengah terdapat Bale Wantilan, bale wantilan berfungsi sebagai
tempat kegiatan keagamaan, sebagai tempat musyawarah atau rapat anggota
dengan duduk di lantai atau bale-bale atau kursi yang sengaja di tempatkan.
Di bagian sudut sebelah kanan bale wantilan ini ada bangunan sederhanya
yang di namakan Bale kul-kul atau kentongan yang dibunyikan diawal, akhir
dan saat tertentu pada upacara. Bendaini berfungsi sebagai sarana komunikasi
untuk memberi tanda kepada masyarakat sedang berlangsungnya upacara.
Utama Mandala/Bagian Terdalam dan suci (sakral)
1. Kori Agung, sebagai pintu masuk ke daerah parahyangan atau kahyangan
jagat,
2. Bale Pawedan, adalah tempat pendeta melakukan pemujaan dalam
memimpin upacara, tempat memanjatkan mantra (weda) saat piodalan
dan upacara yadnya yang berlangsung di sebuah pura.
3. Bale Pepelik, fungsinya sebgai tempat penyajian sarana dan perlengkapan
upacara saat pelaksanaan upacara yadnya dan piodalan.
4. Padmasana, sebagai simbolis alam semesta sebagai sthananya atau
tempat duduk Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang dibangun dalam bentuk
bangunan yang menjulang tinggi. Padmasana itu adalah lambang dari
gunung Maha Meru yang juga sebagai simbol alam semesta tempat
bersthananya Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Selain itu padmasana juga
dijadikan sebagai penuntun bathin atau pusat konsentrasi, sebagai tempat
untuk bersembahyang
A: Bagaiaman proses pensakralan simbol-simbol yang akan digunakan dalam
ritual pemujaan/persembahyangan?
B: Proses pensakralan simbol sarana atau peralatan-peratan yang akan di
gunakan dalam agama Hindu tentu dengan di doakan/diberi mantra-mantra
atau dengan cara memohon di Pelinggih Pura agar sarana tersebut menjadi
suci dan bisa di jadikan simbol sarana dalam persembahyangan. Kemudian,
simbol bangunan ini di sakralkan dengan di percikkan Titha/air suci yang
sudah di beri mantra dalam upacara malaspas, dengan begitu maka semua
bangunan yang ada di Pura menjadi suci kembali.
HASIL WAWANCARA
Nama : Gede Sidarta
Alamat :Cempaka II No. 11 Rengas
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : -
Agama :Hindu
Jabatan : Ketua Banjar Pura Merta Sari
Jadwal Wawancara : 23 Juni 2019
Daftar Pertanyaan :
Sekilas Tentang Profil Dan Kegitan Pura Merta Sari Rengas
Dalam struktur pembangunan sebuah pura utamanya Pura Merta Sari Rengas
ini pasti ada yang namanya Pengempon atau bisa juga di sebut ketua Banjar
artinya ketua pura yang memberi tugas untuk melakukan upacara tetap dan
pembinaan pura umat Hindu, juga sebagai penanggung jawab dalam semua
kegiatan. Ketua Banjar memiliki wakil bertugas untuk membantu ketua
Banjar dalam menjalankan tugasnya. Ada juga sekretaris yang bertugas
mencatat kegiatan dan merapikan arsip kegiatan yang dilakukan di pura Merta
Sari Rengas.
HASIL WAWANCARA
Nama : I Made Soraja Yudhantara
Alamat :Jl. Cendrawasih II Blok A. Bintaro Jaya
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : -
Agama :Hindu
Jabatan : Kepala Pasraman Pura Merta Sari
Jadwal Wawancara : 30 Oktober 2019
Daftar Pertanyaan :
A: Apa saja fungsi dari bidang Pendidikan agama Hindu?
B: Bidang Pendidikan ini memiliki banyak Fungsi:
1. Untuk menanamkan nilai-nilai ajaran agama Hindu yang sekiranya
dapat dijadikan sebagai pedoman hidup dalam mencapai kebahagiaan
hidup (Moksartham Jagadhita).
2. Mengembangkan Sradha dan bhakti kepada Tuhan Sang Hyang Widhi.
3. Mengajarkan tentang ilmu pengetahuan keagamaan secara umum.
4. Untuk membentuk atau mempersiapkan sikap mental siswa yang
sekiranya ingin melanjutkan studi kejenjang yang lebih tinggi.
5. Mempersiapkan kematangan dan resistensi (ketahanan) siswa dalam
mengadaptasi diri terhadap lingkungan dan sosial.
6. Memperbaiki kesalahan-kesalahan, kelemahan- kelemahan peserta
didik dalam keyakinan dan pengalaman ajaran agama dalam
kehidupan sehari-hari.
7. Untuk mencegah peserta didik dari hal-hal negatif yang diakibatkan
oleh pergaulan dunia luar.
A: Apa yang di maksud dengan Pasraman,?
B: Pasraman artinya tempat berlansungnya proses belajar mengajar atau
pendidikan masyarakat Hindu yang ditekankan untuk meningkatkan
kualitas pemahaman khususnya di bidang agama Hindu, serta bidang-
bidang lainnya yang terkait dengan ilmu pengetahuan, seperti bidang
sosial kemasyarakatan, seni dan teknologi. Pasraman yaitu sebuah
sekolah khusus untuk umat Hindu yang hanya dibuka pada hari minggu,
sekolah Tingkat SD (35 Siswa) , SLTP (47 Siswa), SLTA (49 Siswa),
terdiri dari 4 kelas, dan 7 Jumlah guru pengajar (yang berhubungan
dengan PDK/ Pendidikan Dasar Kedisiplinan).
Bentuk dan Fungsi Simbol Keagamaan
A: Bagaimana pemahaman umat Hindu mengenai simbol-simbol yang di
gunakan dalam persembahyang?
B: Untuk mengartikan akal manusia harus ada perantara, yaitu melaui
simbol. Simbol atau sarana yang di gunakan oleh umat Hindu
mengandung gambaran secara tidak lansung, melainkan dengan
mengunakan analogi. Simbol selalu dipakai dalam kehidupan manusia,
maka perlu interpretasi. Hidup itu sendiri adalah interpretasi. Melakukan
interpretasi, pemahamannnya “Engkau harus memahami untuk percaya,
dan percaya untuk memahami”. Sebuah simbol tidak dapat digarap secara
tuntas oleh bahasa konseptual. Di dalam simbol ada sesuatu yang lebih
dari yang ada. Simbol menantang untuk berfikir, tetapi untuk berfikir
membutuhkan bahasa. Dengan bahasa tidak akan pernah simbol tertafsir
sampai tuntas. simbol dapat mengungkapkan aspek-aspek tindakan dari
segala sisi entah itu kenyataan atau rahasia, artinya kenyataan yang tidak
mungkin terungkap oleh alat. Sebuah simbol yang sejati bukanlah mimpi
atau bayangan. Dia adalah pewahyuan atau pengungkapan yang hidup
dari Tuhan yang sebetulnya tak terpikirkan. Kita menerima simbol-simbol
itu melalui keyakinan, yang bagi kebanyakan orang adalah satu-satunya
cara yang mungkin untuk berpartisipasi dalam kebenaran suci. Simbol-
simbol adalah jalan untuk membantu kita menuju realisasi rohani.
Sepanjang waktu para Rsi kita menyadari bahwa bahasa manusia gagal
ketika mencoba menjelaskan hakikat dari Tuhan.
HASIL WAWANCARA
Nama : Ni Putu Kayia Anandani
Alamat :Jl. Teratai Putih. RT/RW 006/009. Rengas
Jenis kelamin :Perempuan
Umur :18
Agama :Hindu
Jabatan : Siswa Pasraman Pura Merta Sari kelas 12
Jadwal Wawancara : 23 November 2019
Pertanyaan :
A: Apa saja kegitan yang yang ada di pura Merta Sari Rengas?
B: Di Pura Merta Sari Rengas ini Tidak hanya kegiatan keagamaan, namun
ada juga kegitan-kegiatan lainnya, seperti; kegiatan sosial kemasyarakatan,
kebudayaan dan pendidikan.
1. Dalam bidang keagamaan kami selaku umat hindu banyak menjalankan
ritual-ritual persembahyangan yang di Pandu oleh pemangku memimpin
dan memberikan arahan tentang pokok-pokok ajaran keagamaan agama
Hindu di Pura tempat kami melansungkan ibadah.
2. Dalam bidang pendidikan Pura Merta Sari tempat melaksanakan kegiatan
dharma wacana (ceramah agama) dan dharma tula (diskusi agama).
Selain itu di pura juga bisa dijadikan sebagai tempat belajar membuat
upakara seperti membuat banten ( sesajen).
3. Selanjutnya, Bidang Sosial Kemasyarakatan. Seperti gotong royong atau
kami sebut ngaturang ayah. Misalnya Ketika akan mempersiapkan
upacara piodalan. Seluruh umat yang berasal dari berbagai kalangan
status sosial secara bersama-sama melakukan kegiatan yang dilandasi rasa
solidaritas, kerjasama dan saling mengasihi menjadikan kegiatan yang
dilaksanakan selalu berlandaskan rasa bhakti dan ketulusan beryadnya
tanpa membedakan latar belakang mereka masing-masing.
4. Bidang Kebudayaan, Pura juga bisa menjadi salah satu pengembangan
kebudayaan karena biasanya di pura terutama pada saat pujawali akan
dipentaskan berbagai kesenian yaitu seni suara, seni tari, seni tabuh
dengan begitu pura bisa menjadi salah satu pusat pengembangan
kebudayaan. Di Pura Merta Sari Ini terdapat sebuah Sanggar Seni Budaya
yaitu sebuah tempat yang berada di bagian luar pura atau yang biasa di
sebut dengan balai Wantilan. Tempat berlansungnya pentas seni tari Bali
yang di fasilitasi dengan seperangkat gamelan Bali (Gong) sound system,
cemin dan di dekorasi sesuai corak Bali dan di ikuti sekitar 41 siswa
kemudian 3 guru pemandu seni tari Bali Pura Merta Sari Rengas.
HASIL WAWANCARA
Nama : Komang Artana
Alamat :Jl. Kenikir No. 20 RT/RW 06/09
Jenis kelamin :Laki-laki
Umur : -
Agama :Hindu
Jabatan : Pecalang (Keamanan Adat) Pura Merta Sari
Jadwal Wawancara : 8 Desember 2019
Daftar Pertanyaan :
Sekilas Makna dan Fungsi Simbol-simbol Keagamaan Pura Merta Sari
Rengas
Melalui simbol sarana dan bangunan yang di gunakan kemudian di buat
dengan sedemikian rupa sehingga dapat diartikan dan dimaknai bahwa
gerakan disekeliling kehidupan manusia dalam upaya menghubungkan diri
dengan Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa. Semua dilakukan
sebagai salah satu bentuk berbhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa
dengan penuh rasa cinta, tulus dan ikhlas. Untuk itu umat bekerja
mengorbankan tenaga, biaya, waktu dan itupun dilakukan dengan penuh
keikhlasan
HASIL WAWANCARA
Nama : Nyoman Rusta
Alamat :Jl. Teratai Putih, RT/RW 006/009. Rengas
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : -
Agama :Hindu
Jabatan : Umat Hindu
Jadwal Wawancara : 23 Juni 2019
Daftar Pertanyaan :
Sekilas Makna dan Fungsi Simbol-simbol Keagamaan Pura Merta Sari
Rengas
Umat Hindu tidak bisa lepas dari simbol sarana. Terutama dalam kehidupan
beragama. Simbol merupakan alat/perantara dalam pemujaan Tuhan, salah
satunya simbol yang paling penting dan tidak boleh tidak ada dalam
persembahyangan yaitu air/Tirtha. Air yang digunakan bukanlah air biasa air
ini dimohon disuatu pelinggih utama pada suatu pura atau tempat suci dengan
di mantrai maka air itu menjadi sakral dan mampu menumbuhkan pikiran
yang suci. Untuk membuktikan kesuciannya tirtha itu dasarnya adalah
kepercayaan. Tanpa kepercayaan umat Hindu tidak akan dapat membuktikan
bahwa itu bukan air biasa. Tirtha adalah sarana agama. Membuktikan
kebenaran agama, dasar utamanya adalah kepercayaan. Cara penggunaannya
selain dicipratkan di kepala/ubun-ubun juga diminum tiga kali sebagai simbol
pensucian bathin, lalu meraup/mencuci muka tiga kali sebagai simbol
pensucian terhadap lahir.
HASIL DOKUMENTASI PRIBADI
Foto: Candi Bentar (Pintu Gerbang)
Foto: Bale Wantilan
Foto: Bale Pawedan
Foto: Bale Pepelik
Foto: Padmasana
Foto: Ruang Bale Banjar Tempat Berlansungnya
pelantiakan pengurus Banjar yang sekaligus dimeriakan
dengan tarian adan Bali
Foto: Kori Agung
Foto: Bagian depan Kori Agung terdapat Pelinggih
Pura Merta Sari Rengas
Foto: Relief Naga
Foto: Tempat Menyimpan Tirtha
Foto: Sesajen Untuk Persembahyangan (Canang Sari)
bbnvbv b v bv
Foto: Wawancara bersama Siswa kelas 12
Foto: Wawancara Bersama Bapak Wayan Pinda
Asmara Selaku Pinandita/Pemangku Pura Merta Sari
Rengas
Foto: Wawancara Bersama Bapak Made Soraja
Yudhantara Selaku Ketua Pasraman Pura Merta Sari
Rengas
Foto: Wawancara Bersama Bapak I Gede Sidarta (Baju
Putih) Selaku Ketua Banjar Pura Merta Sari Rengas dan
Bapak Nyoman Rusta selaku umat Hindu yang selalu
beribadah di Pura Merta Sari Rengas
Foto: Wawancara Bersama Bapak Komang Artana Selaku
Pecalang (Keamanan Adat) Pura Merta Sari Rengas