Post on 07-Aug-2015
description
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Telah diketahui bahwa pernikahan adalah merupakan sunatullah,
bahwa makhluk yang bernyawa itu diciptakan berpasang-pasangan, baik laki-
laki maupun perempuan Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam
realita kehidupan umat manusia. Dengan adanya perkawinan rumah tangga
dapat ditegakkan dan dibina sesuai dengan norma agama dan tata kehidupan
masyarakat.
Hubungan antara seorang laki - laki dan perempuan adalah merupakan
tuntunan yang telah diciptakan oleh Allah SWT dan untuk menghalalkan
hubungan ini maka disyariatkanlah akad nikah. Pergaulan antara laki - laki dn
perempuan yang diatur dengan perkawinan ini akan membawa keharmonisan,
keberkahan dan kesejahteraan baik bagi laki - laki maupun perempuan, bagi
keturunan diantara keduanya bahkan bagi masyarakat yang berada disekeliling
kedua insan tersebut.
Dalam agama Islam, masalah perkawinan mendapat tempat yang
sangat terhormat dan sangat terjunjung tinggi tata aturan yang telah ditetapkan
dalam kitab suci Al-Qur’an.
B. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah :
1. Untuk memenuhi salah satu tugas pada Mata Kuliah Pembelajaran Fiqih
Pada Jurusan PAI, STIT YAPTIP Kampus II Ujung Gading.
2. Untuk mengetahui lebih jelasnya mengenai teori-teori yang berhubungan
dengan Nikah.
i
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Nikah
Secara Bahasa Nikah berasal dari kata – – ا ِن�َك�اًح� َي�ْنَك�ُح� yang ِن�َك�ُح�
berarti مجأ (mengawini) atau الَد�ًح (menggauli) الَخ�
Firman Allah dalam Surat An-Nur ayat 3 yang berbunyi :
laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina,
atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini
melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang
demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin (QS. An-Nur : 3)
Menurut syara’ nikah berarti: Akat yang menyebabkan bolehnya
melakukan istimta’ (campur) dengan seorang wanita, dan ini dapat terjadi jika
wanita itu bukan orang yang haram dinikahi karena hubungan nasab. Nikah
menurut arti asli ialah hubungan seksual tetapi menurut arti majazi atau arti
hukum ialah akad yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai suaami
istri antara seorang wanita dengan seorang pria1
Secara etimologi, pernikahan berarti “persetubuhan”. Ada pula yang
mengartikannya “perjanjian” (al-Aqdu). Secara terminology pernikahan
menurut Abu Hanifah adalah “Aqad yang dikukuhkan untuk memperoleh
kenikmatan dari seorang wanita yang dilakukan dengan sengaja”.2
Pengukuhan disini maksudnya adalah sesuatu pengukuhan yang sesuai
dengan ketapatan pembuatan syari’ah, bukan sekedar pengukuhan yang
dilakukan oleh dua orang yang saling membuat aqad (perjanjian) yang
bertujuan hanya sekedar untuk mendapatkan kenikmatan semata.
1 Abdul Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Jakarta : Prenanda Media, 2003), h. 18 2 M. Ali Hasan, Fiqiyah Al-Haditsah; Masalah-masalah Kontemporer Hukum Islam,
(Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h. 14
i
Menurut mazhab Maliki, pernikahan adalah “Aqad yang dilakukan
untuk mendapatkan kenikmatan dari wanita”. Dengan aqad tersebut seseorang
akan terhindar dari perbuatan haram (zina). Menurut mazhab Syafi’i
pernikahan adalah “Aqad yang menjamin diperbolehkan persetubuhan”.
Sedang menurut mazhab Hambali adalah “Aqad yang di dalamnya terdapat
lafazh pernikahan secara jelas, agar diperbolehkan bercampur”. 3
Tentang hukum melakukan perkawinan, Ibn Rasyd menjelaskan:
Menurut segolongan fuqaha’ nikah itu hukumnya sunah. Golongan Zhahiriyah
berpendapat bahwa nikah itu wajib. Para Malikiyah Mutakhirin berpendapat
bahwa wajib untuk sebagian orang, sunnah untuk sebagian yang lainnya dan
mubah untuk segolongan yang lain.
Perbedaan pendapat ini kata Ibn Rusyd disebabkan adanya penafsiran
apakah bentuk kalimat perintah dalam ayat dan hadits-hadits berkenan dengan
masalah ini, harus diartikan wajib, sunnah ataukah mungkin mubah. Jadi dapat
dikatakan bahwa hukum nikah itu bisa Wajib, sunnah, mubah,makruh bahkan
haram, ini semua tergantung dari niatnya masing-masing dan kemampuan
untuk menghadapi masa baru, baik itu dari segi materi maupun non materi.4
B. Rukun dan Syarat Nikah
1. Rukun Nikah
Rukun nikah dibahagikan kepada 5 iaitu,
a. Pengantin lelaki
Pangantin lelaki mestilah seorang Islam, baligh, berakal, tidak berada
dalam ihram atau umrah, tidak dipaksa kahwin, tidak beristeri lebih
dari 4 orang, lelaki yang tertentu dan perempuan yang ingin
dikahwininya itu bukanlah mahramnya.
b. Pengantin perempuan
Pengantin perempuan mestilah seorang Islam, tidak berada dalam
ihram haji atau umrah, bukan isteri kepada seseorang, tidak berada
dalam iddah dan perempuan yang tertentu.3 Ibid. h. 16 4 Abdul Rahman Ghazaly,Op.Cit ,h. 18-21
i
c. Wali
Syarat bagi wali ialah mestilah seorang Islam, baligh, berakal, merdeka
bukan seorang hamba, seorang lelaki yang adil, tidak dipaksa, tidak
berada dalam ihram haji atau umrah dan bukan seorang lelaki yang
fasik.
d. Dua orang saksi
Syarat-syarat bagi saksi ialah mestilah beragama Islam, baligh,
berakal, merdeka bukan seorang hamba, dapat mendengar dan melihat
dengan baik, tidak pelupa atau nyanyuk, memahami bahasa yang
digunakan semasa lafaz ijab dan qabul dan tidak terkena atasnya
menjadi wali
e. Akad (Ijab & Qabul)
Di antara syarat-syarat akad ialah lafaz yang digunakan mestilah lafaz
khas yang membawa maksud nikah atau kahwin serta tidak diselangi
dengan perkataan yang lain dari maksud nikah atau kahwin di antara
ijab dan qabul. Tidak boleh diselangi dengan diam yang lama antara
lafaz ijab dan qabul. Hendaklah bersamaan maksud antara lafaz ijab
dan qabul. Lafaz ijab dan qabul tidak dikaitkan dengan sesuatu perkara
serta tidak dibenarkan had atau tempoh masa bagi perkahwinan itu. 5
2. Syarat-syarat Nikah
a. Syarat-syarat calon suami (lelaki):
1. Bukan muhrim dengan bakal isteri
2. Dengan pilihan sendiri (tidak sah jika dipaksa)
3. Lelaki yang tertentu
4. Mengetahui bahwa perempuan itu boleh dinikahi
5. Bukan dalam ihram haji
6. Tidak beristeri empat
b. Syarat-syarat calon isteri (perempuan)
5Al-Hamdani, Risalah An-Nikah, (Jakarta : Pustaka Amani : 2002), h. 48
i
1. Bukan muhrim dengan bakal suami
2. Hendaklah bakal isteri itu tertentu
3. Dengan rela hati (bukan dipaksa kecuali anak gadis)
4. Tidak di dalam ihram haji
5. Benar-benar perempuan (tidak khunsa)
6. Bukan isteri orang dan tidak dalam idah
c. Syarat-syarat wali :
1. Islam
2. Baligh
3. Berakal
4. Merdeka
5. Lelaki
6. Adil
7. Tidak cacat akal
8. Tidak dalam ihram
9. Tidak dari orang-orang yang muflis
Susunan wali :
1. Bapa
2. Datuk lelaki dari pihak bapa perempuan
3. Adik-beradik lelaki seibu dan sebapa
4. Anak saudara lelaki dari adik-beradik seibu sebapa hingga ke
bawah
5. Adik-beradik lelaki sebapa
6. Anak saudara lelaki dari adik-beradik lelaki sebapa hingga ke
bawah
7. Bapa saudara seibu sebapa hingga ke atas
8. Bapa saudara dari sebelah bapa
9. Anak lelaki dari bapa saudara seibu sebapa (sepupu) hingga ke
bawah
10. Anak lelaki dari bapa saudara yang dari pihak bapa (sepupu)
i
11. Raja (pemerintah)
d. Syarat-syarat saksi:
1. Islam
2. Baligh
3. Berakal
4. Lelaki
5. Merdeka
6. Adil
7. Boleh melihat (tidak buta)
8. Boleh mendengar (tidak pekak)
9. Mempunyai daya ingatan
10. Memahami bahasa yang digunakan ketika akad
11. Bukan tertentu yang menjadi wali. (Misalnya, bapa saudara lelaki
yang tunggal. Katalah hanya ada seorang bapa saudara yang
sepatutnya menjadi wali dalam perkahwinan itu tetapi dia
mewakilkan kepada orang lain untuk menjadi wali sedangkan dia
hanya menjadi saksi, maka perkahwinan itu tidak sah kerana dia
dikira orang tertentu yang sepatutnya menjadi wali.)
e. Syarat-syarat Ijab dan Kabul
1. Syarat ijab:
a. Hendaklah dengan perkataan nikah atau dengan perkataan yang
sama erti dengan terang tepat.
b. Tidak mengandungi perkataan yang menunjukkan waktu yang
terbatas dan tertentu (misalnya nikah kontrak).
c. Tidak dengan taklik.
d. Lafaz daripada wali atau wakilnya.
Contoh lafaz ijab: “Aku nikahkan dikau dengan ….. binti ….
(pengantin perempuan) dengan mas kahwin sebanyak ……
(RM) tunai.”
i
2. Syarat kabul:
a. Tidak diselangi dengan perkataan lain di antara ijab dan kabul
(lafaz akad).
b. Lafaz kabul (terima) tidak tertaklik.
c. Tidak mengandungi perkataan yang terbatas waktunya.
d. Hendaklah disebut nama isteri.
e. Lafaz kabul hendaklah sesuai dengan lafaz ijab.
f. Hendaklah terang dan nyata, bukan sindiran.
Contoh lafaz kabul: “Aku terima nikahnya si Polan binti si
Polan dengan mas kahwin sebanyak sekian-sekian RM tunai.”6
C. Permasalahan Nikah
1. Nikah Siri
Kata ”sirri” atau ”sir” bermakna rahasia, yakni tidak ditampakkan.
Nikah siri (Arab: nikah sirri) adalah nikah ”diam-diam”. Pernikahan siri
tidak menggunakan resepsi dan semua pihak terkait (baik wali, saksi
maupun kedua mempelai) sepakat untuk merahasiakannya. Nikah siri
memenuhi semua syarat syariat tetapi tidak dicatatkan di Kantor Urusan
Agama (KUA) atau catatan sipil lainnya sehingga nikah siri disebut juga
nikah “di bawah tangan”. Salah satu permasalahan nikah siri adalah
pembuktiannya yang sulit manakala diperlukan. Untuk mengecek
keabsahan sebuah pernikahan siri, seseorang perlu menemui para saksi dan
menerima keterangan mereka tentang pernikahan itu.
Keberadaan peraturan negara untuk mencatatkan pernikahan
adalah baik dan semua peraturan pemerintah yang baik wajib diikuti. Hal
ini untuk menegakkan hak dan kewajiban kedua belah pihak sebagaimana
mestinya, seperti dalam hal nafkah, warisan, keturunan, dan sebagainya.
Sebuah pernikahan siri bisa jadi tidak perlu dirahasiakan lagi setelah masa
tertentu sehingga ada baiknya pernikahan itu dicatatkan walaupun
6 Ahmad Sarwat, Fiqih Nikah, (Jakarta : Kampus Syariah, 2009), h. 62
i
terlambat. Hanya saja, pencatatan di KUA atau kantor sipil lainnya bukan
syarat sahnya pernikahan.
Jadi, nikah siri sah di mata Islam dan syarat sahnya pun sama
dengan syarat sahnya nikah biasa, yaitu adanya calon suami dan istri,
mahar, ijab kabul, wali dari pihak perempuan (menurut jumhur), dan
saksi-saksi. Jumhur berpendapat adanya izin orangtua atau wali
merupakan salah satu syarat sahnya akad nikah, namun sebagian ulama
membantahnya. Di samping itu, calon istri haruslah seorang yang tidak
sedang terikat pernikahan dengan pria lain, tidak dalam keadaan ‘iddah
(masa menunggu) baik karena kematian atau perceraian, tidak hamil, dan
tidak pula termasuk mereka yang terlarang dinikahi seperti keponakan atau
bibi. 7
2. Nikah Syubhat
Permasalahan ini berkaitan dengan permasalahan nikah syubhat.
Karena pernikahan dengan seorang wanita tanpa persetujuan walinya
merupakan pernikahan yang batil (tidak sah) menurut jumhur ulama. Dan
jika dikerjakan oleh seseorang karena jahil/tidak tahu akan hukumnya
maka jadilah pernikahan ini termasuk pernikahan syubhat.
Batasan Nikah Syubhat adalah ia menikah dengan pernikahan yang
fasad/rusak/tidak sah, yang telah disepakati/ijmak akan fasidnya, akan
tetapi hukum had ditolak (tidak ditegakkan, seperti ia menikah dengan
seorang wanita yang masih dalam masa 'iddah, atau dengan istri yang
kelima, atau dengan wanita yang masih merupakan mahramnya, dalam
kondisi ia tidak mengetahui hal tersebut dan ia telah berledzat-ledzat
dengannya, atau ia menjimak seorang wanita yang ia sangka adalah
istrinya. Maka diharamkan baginya asal dan furu' dari setiap wanita
tersebut
7Happy Susanto, Nikah Siri Apa Untungnya, (Jakarta : Visi Media,2007) h. 12
i
Diantara pernikahan syubhat adalah pernikahan tanpa wali.
Meskipun pernikahan ini masih diperselisihkan akan kebolehannya, akan
tetapi menurut jumhur ulama pernikahan tersebut tidaklah sah8
3. Nikah Mut’ah
Nikah mut'ah adalah, seseorang menikah dengan seorang wanita
dalam batas waktu tertentu, dengan sesuatu pemberian kepadanya, berupa
harta, makanan, pakaian atau yang lainnya. Jika masanya telah selesai,
maka dengan sendirinya mereka berpisah tanpa kata thalak dan tanpa
warisan.
Bentuk pernikahan ini, seseorang datang kepada seorang wanita
tanpa harus ada wali atau saksi. Kemudian mereka membuat kesepakatan
mahar (upah) dan batas waktu tertentu. Misalnya tiga hari atau lebih, atau
kurang. Biasanya tidak lebih dari empat puluh lima hari; dengan ketentuan
tidak ada mahar kecuali yang telah disepakati, tidak ada nafkah, tidak
saling mewariskan dan tidak ada iddah kecuali istibra` (yaitu satu kali
haidh bagi wanita monopouse, dua kali haidh bagi wanita biasa, dan empat
bulan sepuluh hari bagi yang suaminya meninggal), dan tidak ada nasab
kecuali jika disyaratkan9
4. Pernikahan Dini
Istilah pernikahan dini adalah kontenporer. Dini dikaitkan dengan
waktu, yakni di awal waktu tertentu. Lawannya adalah pernikahan
kadaluarsa.
Pernikahan Dini adalah Agar tidak melebar dari tujuan utama
penulisan ini, mengingat banyaknya definisi ‘usia dini’ dalam ungkapan
‘pernikahan dini’ maka penulis membatasi definisi ‘pernikahan dini’
sebagai sebuah pernikahan yang dilakukan oleh mereka yang berusia di
bawah usia yang dibolehkan untuk menikah dalam Undang-Undang
8Al-Hamdani, Op.Cit, h. 79 9 Abu Ihsan Al-Atsari, Nikah Mut’ah, (Jakarta : Pustaka At-Tazkia, 2006), h. 45
i
Perkawinan nomor 1 tahun 1974, yaitu minimal 16 tahun untuk
perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki.
Hukum Islam secara umum meliputi lima prinsip yaitu
perlindungan terhadap agama, jiwa, keturunan, harta, dan akal. Dari
kelima nilai universal Islam ini, satu diantaranya adalah agama menjaga
jalur keturunan (hifdzu al nasl). Oleh sebab itu, Syekh Ibrahim dalam
bukunya al Bajuri menuturkan bahwa agar jalur nasab tetap terjaga,
hubungan seks yang mendapatkan legalitas agama harus melalui
pernikahan. Seandainya agama tidak mensyari’atkan pernikahan, niscaya
geneologi (jalur keturunan) akan semakin kabur.
Agama dan negara terjadi perselisihan dalam memaknai
pernikahan dini. Pernikahan yang dilakukan melewati batas minimnal
Undang-undang Perkawinan, secara hukum kenegaraan tidak sah. Istilah
pernikahan dini menurut negara dibatasi dengan umur. Sementara dalam
kaca mata agama, pernikahan dini ialah pernikahan yang dilakukan oleh
orang yang belum baligh.10
10 Al-Ghifari, Pernikahan Dini, (Bandung : Mujahid, 2000), h. 18
i
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menurut syara’ nikah berarti: Akat yang menyebabkan bolehnya
melakukan istimta’ (campur) dengan seorang wanita, dan ini dapat terjadi jika
wanita itu bukan orang yang haram dinikahi karena hubungan nasab. Nikah
menurut arti asli ialah hubungan seksual tetapi menurut arti majazi atau arti
hukum ialah akad yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai suaami
istri antara seorang wanita dengan seorang pria
Tentang hukum melakukan perkawinan, Ibn Rasyd menjelaskan:
Menurut segolongan fuqaha’ nikah itu hukumnya sunah. Golongan Zhahiriyah
berpendapat bahwa nikah itu wajib. Para Malikiyah Mutakhirin berpendapat
bahwa wajib untuk sebagian orang, sunnah untuk sebagian yang lainnya dan
mubah untuk segolongan yang lain.
Perbedaan pendapat ini kata Ibn Rusyd disebabkan adanya penafsiran
apakah bentuk kalimat perintah dalam ayat dan hadits-hadits berkenan dengan
masalah ini, harus diartikan wajib, sunnah ataukah mungkin mubah. Jadi dapat
dikatakan bahwa hukum nikah itu bisa Wajib, sunnah, mubah,makruh bahkan
haram, ini semua tergantung dari niatnya masing-masing dan kemampuan
untuk menghadapi masa baru, baik itu dari segi materi maupun non materi
B. Saran
Kami sebagai penulis dari makalah ini mengharapkan serta menerima
kritikan dan saran dari mahasiswa/mahasiswi demi memperbaiki isi makalah-
makalah ini, dengan mengucapkan terima kasih kami ucapkan kepada Bapak
dosen yang telah memberikan bimbingan kepada kami untuk menyelesaikan
makalah ini dengan baik dan benar.
i
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Al-Atsari, Abu Ihsan, Nikah Mut’ah, Jakarta : Pustaka At-Tazkia, 2006
Al-Hamdani, Risalah An-Nikah, Jakarta : Pustaka Amani : 2002
Al-Ghifari, Pernikahan Dini, Bandung : Mujahid, 2000
Ghazaly, Abdul Rahman, Fiqih Munakahat, Jakarta : Prenanda Media, 2003
Hasan, M. Ali, Fiqiyah Al-Haditsah; Masalah-masalah Kontemporer Hukum Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2002
Sarwat, Ahmad, Fiqih Nikah, Jakarta : Kampus Syariah, 2009
Susanto, Happy, Nikah Siri Apa Untungnya, Jakarta : Visi Media,2007
i
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah SWT dan shalawat
kepada Nabi Muhammad SAW dengan ridho-Nya juga pada kesempatan ini
penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Makalah ini disusun dalam rangka melengkapi tugas Mata Kuliah Fiqih.
Dalam penyelesaian makalah ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak dalam memberikan sumbangan pikiran, membantu dan membimbing
penulis dalam pembuatan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan
makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua khususnya
pendidikan di masa yang akan datang.
Ujung Gading, April 2012
Penulis,
(Kelompok I )
i
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah........................................................... 1
B. Tujuan Penulisan....................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Nikah....................................................................... 2
B. Rukun dan Syarat Nikah........................................................... 3
C. Permasalahan Nikah.................................................................. 7
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan.............................................................................. 11
B. Saran........................................................................................ 11
DAFTAR KEPUSTAKAAN
i