Post on 28-Dec-2015
description
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pidana mati dapat dikatakan sebagai salah satu jenis pidana paling kontroversial di
Indonesia. Berdasarkan catatan lembaga HAM Internasional, Indonesia merupakan
negara yang masih menerapkan ancaman hukuman mati dalam sistem hukum
pidananya. hukum nasional Indonesia juga memiliki mekanisme pidana mati dan saat
ini masih diakui sebagai bagian dari hukum pidana pada pasal 10 KUHP. dalam KUHP
terdapat dua pasal ancaman pidana mati yaitu pasal 104 dan 340.
Salah satu kasus narkotika dengan pidana mati dapat dilihat pada kasus Ayodhya Prasad
Chaubey (seorang berkewarganegaraan India.
MR J.E Jonkers berpendapat bahwa hukuman mati di Indonesia masih dianggap karena
negara mempunyai segala hak, yang tanpa itu negar tidak dapat memenuhi kewajiban-
kewajiban utamanya untuk mempertahankan tertib hukum. pidana mati ditujukan
kepada oknum-oknum yang sanagt membahayakan masyarakat secara radikal, seperti
tindak pidana narkotika.
Keberatan yang paling dirasakan secara umum terhadap penerapan hukuman mati yaitu
bahwa pelaksanaan hukuman mati tidak dapat diperbaiki lagi apabila dikemudian hari
terbukti bahwa putusan hakim yang menjatuhkan putusan itu berdasarkan kekeliruan
atau keterangan keterangan yang nyata tidak benar. 1
Berdasarkan uraian di atas sangat relevan untuk menganalisa mengenai Penerapan
Pidana Mati pada Tindak Pidana Narkotika. dalam hal ini yang akan dianalisa adalah
kasus Ayodhya Prasard Chaubey.
1 Wirjono Prodjodikoro. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. PT Eresco : Bandung
1
1.2 Rumusan Masalah
1) Teori Pelaksanaan Pidana Mati di Indonesia dalam Tindak Pidana Narkotika
2) Kronologis Perkara
3) Menganalisa Pelaksanaan Putusan Hakim
1.3 Tujuan Penulisan
1) agar mahasiswa mengetahui dan memahami teori pidana mati dalam Tindak Pidana
Narkotika
2) agar mahasiswa mengetahui dan memahami kronologis perkara Ayodhya Prasard
Chaubey
3) agar mahasiswa mampu menganalisa pelaksanaan putusan hakim
1.4 Manfaat Penulisan
Menambah informasi dan pengetahuan kepada para mahasiswa terhadap pidana mati
dalam Tindak Pidana Narkotika
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Landasan Teoritis
a. Pidana Mati Dalam Perundang-undangan di Indonesia
Roeslan Saleh dalam bukunya Stelsel Pidana Indonesia mengatakan bahwa KUHP
Indonesia membatasi kemungkinan dijatuhkannya pidana mati atas beberapa kejahatan
yang berat-berat saja. Yang dimaksudkan dengan kejahatan-kejahatan yang berat itu
adalah :
1. Pasal104 (makar terhadap presiden dan wakil presiden)
2. Pasal 111 ayat 2 (membujuk negara asing untuk bermusuhan atau berperang, jika
permusuhan itu dilakukan atau jadi perang)
3. Pasal 124 ayat 3 (membantu musuh waktu perang)
4. Pasal 140 aY3t 3 (makar terhadap raja atau kepala negara-negara sahabat yang
direncanakan dan berakibat maut)
5. Pasal 340 (pembunuhan berencana)
6. Pasal 365 ayat 4 (pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau
mati)
7. Pasal 368 ayat 2 (pemerasan dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau
mati)
8. Pasal444 (pembajakan di laut, pesisirdan sungai yang mengakibatkan kematian).
Beberapa peraturan di luar KUHP juga mengancamkan pidana mati bagi pelanggarnya.
Peraturan-peraturan itu antara lain:
1. Pasal 2 Undang-Undang No.5 (PNPS) Tahun 1959 tentang wewenang Jaksa
Agung/Jaksa Tentara Agung dan tentang memperberat ancaman hukuman terhadap
tindak pidana yang membahayakan pelaksanaan perlengkapan sandang pangan.
2. Pasal 2 Undang-Undang No. 21 (Prp) Tahun 1959 tentang memperberat ancaman
hukuman terhadap tindak pidana ekonomi.
3
Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Darurat No. 12 tahun 1951 tentang senjata api, amunisi
atau sesuatu bahan peledak.
Pasal13 Undang-Undang No. 11 (PNPS) Tahun 1963 tentang pemberantasan kegiatan
subversi. Pasal 23 Undang-Undang no. 31 T ahun 1964 tentang ketentuan pokok tenaga
atom.
Pasal 36 ayat 4 sub b Undang-Undang no. 9 tahun 1976 tentang Narkotika
Undang-Undang No.4 Tahun 1976 tentang kejahatan penerbangan dan kejahatan
terhadap sarana/prasarana penerbangan.
b. Pidana Mati dalam Tindak Pidana Narkotika
Dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang narkotika (selanjutnya disebut UU
Narkotika 2009), pada dasarnya mengklasifikasi pelaku tindak pidana (delict)
penyalahgunaan narkotika menjadi 2 (dua), yaitu : pelaku tindak pidana yang berstatus
sebagai pengguna (Pasal 116, 121 dan 127) dan bukan pengguna narkotika (Pasal 112,
113, 114, 119 dan 129), untuk status pengguna narkotika dapat dibagi lagi menjadi 2
(dua), yaitu pengguna untuk diberikan kepada orang lain (Pasal 116 dan 121) dan
pengguna narkotika untuk dirinya sendiri (Pasal 127). Yang dimaksud dengan
penggunaan narkotika untuk dirinya adalah penggunaan narkotika yang dilakukan oleh
seseorang tanpa melalui pengawasan dokter. Jika orang yang bersangkutan menderita
kemudian menderita ketergantungan maka ia harus menjalani rehabilitasi, baik secara
medis maupun secara sosial, dan pengobatan serta masa rehabilitasinya akan
diperhitungkan sebagai masa menjalani pidana, sedangkan, pelaku tindak pidana
narkotika yang berstatus sebagai bukan pengguna diklasifikasi lagi menjadi 4 (empat),
yaitu : pemilik (Pasal 111 dan 112), pengolah (Pasal 113), pembawa dan pengantar
(Pasal 114 dan 119), dan pengedar (Pasal 129).
Yang dimaksud sebagai pemilik adalah orang yang menanam, memelihara, mempunyai
dalam persediaan, memiliki, menyimpan, atau menguasai dengan tanpa hak dan
melawan hukum. Yang dimaksud sebagai pengolah adalah orang memproduksi,
mengolah mengekstrasi, mengkonversi, merakit, atau menyediakan narkotika dengan
tanpa hak dan melawan hukum secara individual atau melakukan secara terorganisasi.
4
Yang di kualifikasi sebagai pembawa atau pengantar (kurir) adalah orang yang
membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito narkotika dengan tanpa hak dan
melawan hukum secara individual atau secara teroganisasi. Sedangkan, yang dimaksud
pengedar adalah orang mengimpor, pengekspor, menawarkan untuk dijual,
menyalurkan, menjadi pembeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual
beli. Atau menukar narkotika dengan tanpa hak dan melawan hukum secara individual
maupun secara terorganisasi.2
Dalam Undang-Undang no. 35 tahun 2009 tentang Narkotika terdapat sanksi pidana
mati pada pasal 113, 114, 118, 119, 121, 144 yang akan penulis sebutkan sebagai
berikut:
Pasal 113
Ayat 1: Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor,
mengeksor atau menyalurkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp.
10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Ayat 2: dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan
Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk tanaman
beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam
bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana
mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidanapaling singkat 5 (lima) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 114
Ayat 1: setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk di jual,
menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau
menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup,
atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
dan pidana denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling
banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
5
2 Undang-Undang no. 35 tahun 2009 tentang Narkotika
Ayat 2: dalam hal perbuatan menawarkan untuk di jual, menjual, membeli, menjadi
perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 5
(lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram, pelaku
dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling
singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda
maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 118
Ayat 1: setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, memproduksi,
mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan II, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan
dipidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
Ayat 2: dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor atau menyalurkan
Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima)
gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana
denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 119
Ayat 1: setiap orang yang tanpa hak melawan hukum menawarkan untuk di jual,
menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau
menyerahkan Narkotika Golongan II, dipidana singkat 4 (empat) tahun dan paling lama
12 (dua belas) tahun dan dipidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,00 (delapan
ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
Ayat 2: dalam hal perbuatan menawarkan untuk di jual, menjual, membeli, menjadi
perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 5
(lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram, pelaku
dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling
6
singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda
maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 121
Ayat 1: setiap orang yang tanpa hak melawan hukum menggunakan Narkotika
Golongan II terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan II untuk
digunakan orang lain dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun
dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.
800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00
(delapan miliar rupiah).
Ayat 2: dalam hal penggunaan Narkotika terhadap orang lain atau pemberian Narkotika
Golongan II untuk di gunakan orang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku di pidana dengan pidana
mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum pada ayat (1)
ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 144
Ayat 1: setiap orang yang jangka waktu 3 (tiga) tahun melakukan pengulangan tindak
pidana sebagaimana di maksud dalam pasal 111, pasal 112, pasal 113, pasal 114, pasal
115, pasal 116, pasal 117, pasal 118, pasal 119, pasal 120, pasal 121, pasal 122, pasal
123, pasal 124, pasal 125, pasal 126, pasal 127 ayat (1), pasal 128 ayat (1), dan pasal
129, pidana maksimum ditambah dengan 1/3 (sepertiga)
Ayat 2: ancaman dengan tambahan 1/3 (sepertiga) sebagaimana dimaksud pada pasal
ayat (1) tidal berlaku bagi pelaku tindak pidana yang di jatuhi dengan pidana mati,
pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara 20 (dua puluh) tahun.
2.2 Kronologi Perkara
Identitas Terpidana
nama lengkap : Ayodhya Prasad Chaubey
tempat lahir : India
tanggal lahir : 1 Juli 1939
7
jenis kelamin : Laki-Laki
kebangsaan : India
tempat tinggal : Thailand
agama : Islam
pekerjaan : Pelayan Toko
6 Juni 1994
Ayodhya Prasad Chaubey dihadapkan ke persidangan di Pengadilan Negeri Medan.
Dengan dakwaan :
• melanggar pasal 23 ayat 4 jo pasal 36 ayat 4 huruf b UU no 9 tahun 1976 jo pasal 55
ayat 1 KUHP
• melanggar pasal 56 ayat 1 KUHP jo pasal 23 ayat 4 jo pasal 36 ayat 4 huruf b UU no 9
tahun 1976
• melanggar pasal 48 UU no 9 tahun 1976
Tuntutan Jaksa Penuntut Umum :
1. menyatakan terdakwa bersalah dengan membawa heroin sebanyak 12,19 kg tanpa
izin, sebagaimana diatur dalam pasal 23 ayat 4 jo pasal 36 ayat 4 UU no 9 tahun 1976
dan pasal 23 ayat 5 jo pasal 35 ayat 5 UU no 9 tahun 1976.
2. menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan hukuman mati, dan terdakwa tetap
ditahan
3.
8 September 1994
Pengadilan Negeri Medan menyatakan terdakwa bersalah, antara lain dengan amar
sebagai berikut :
1. menyatakan Ayodhya Prasad Chaubey bersalah melakukan tindak pidana.
2. menjatuhkan pidana mati terhadap terdakwa.
14 Desember 1994
Pengadilan Tinggi Sumatera Utara dengan nomor putusan nomor
8
159/pid.B/1994/PT.Medan menguatkan putusan majelis hakim. Kemudian Ayodya
mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).
28 Juni 1995
Mahkamah Agung dengan nomor putusan 437K/pid/1995 pada tanggal 29 Mei 1995
menolak kasasi yang diajukan Ayodhya Prasad Chaubey.
10 Juni 1997
Pengacara Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan Maya Manurung menerima salinan
putusan MA, Nomor 58/PK/Pid/1996 yang menolak PK yang diajukan kuasa hukum
terpidana mati Ayodya.
3 Februari 2003
Presiden Megawati Soekarnoputri menolak permohonan grasi yang diajukan terpidana
mati Ayodya melalui suratNo. 26/G/2003 pada tanggal 3 Februari 2003.
29 Maret 2004
Mahkamah Agung RI dalam pemeriksaan Peninjauan Kembali (PK) dengan putusan
nomor 39 Peninjauan Kembali/Pid/2003 menjatuhkan putusan :
1. menolak permohonan Peninjauan Kembali dari terpidana Ayodhya Prasad Chaubey
2. menetapkan bahwa putusan sebelumnya tetap berlaku.
25 Juni 2004
Ayodhya Prasad Chaubey menerima salinan putusan dari Mahkamah Agung. pada
waktu menerima putusan tersebut, terpidana Ayodhya masih berada dalam tahanan di
Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Medan.
7 Juli 2004
diadakan rapat koordinasi tertutup tentang persiapan pelaksanaan eksekusi mati
Ayodhya bertempat di Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara.
9
15 Juli 2004
pemberitahuan kepada keluarga terpidana Ayodhya melalui konsul Jenderal India di
Medan dengan surat Kejari Medan nomor R-622-N.2.10/Euh.2/07/2004.
20 Juli 2004
kembali diadakan rapat mengenai persiapan eksekusi mati Ayodhya bertempat di
Kejaksaan Tinggi Medan
22 Juli 2004
dilakuakn koordinasi dalam menetapkan waktu dan tempat eksekusi.
23 Juli 2004
Kepala Kejaksaan Tinggi Medan, dengan Surat Perintah nomor
Prin-79/N.2/Euh.2/07/2004 tentang pelaksanaan putusan pengadilan, telah menunjuk
tim pelaksana eksekusi, yaitu :
1. 4 orang jaksa eksekutor
2. 3 orang POLRI (Satuan Regu Tembak)
3. 2 orang dari PEMKO Medan
4. 2 orang dari LAPAS kelas I Medan
5. Tim Medis dari RSUD Pirngadi Medan
6. 2 orang dari Kakandepag
31 Juli 2004
diadakan rapat terakhir mengenai persiapan pelaksanaan eksekusi di Kejaksaan Tinggi
Medan.
1 Agustus 2004
bertempat di LAPAS kelas I Medan, jaksa eksekutor dengan disaksikan Kalapas
memberitahukan kepada Ayodhya bahwa putusan telah berkekuatan hukum tetap dan
akan segera dilaksanakan. Setelah itu, Ayodhya memberitahukan permintaan
terakhirnya, yaitu :
1. terpidana ingin berbicara kepada konsul Jenderal India di Medan
10
2. terpidana ingin bertemu dengan istrinya, Savitri Devi dan anaknya Chandra Prakash
yang bertempat tinggal di Thailand.
3. supaya kehidupan terpidana dipenuhi, seperti makanan, pakaian, dan hiburan.
4. terpidana ingin diperlihatkan barang bukti yaitu heroin 12,19 kg dengan disaksikan
oleh, jaksa, hakim, kalapas, dan duta besar india.
5. barang-barang terpidana diserahkan kepada konsul Jenderal India di Medan.
6. terpidana minta makan apa saja, kecuali daging babi dan daging lembu.
7. terpidana minta dimakamkan secara Islam.
02 Agustus 2004
jaksa eksekutor menemui Konsul Jenderal India di Medan untuk memberitahukan
permintaan Ayodhya, kemudian Konsul Jenderal India mendatangi Ayodhya di ruang
isolasi, dan pada saat itu Ayodhya dapat berbicara kepada anaknya Prakash melalui
telepon seluler.
03 Agustus 2004
kepala Kejaksaan Negeri Medan dengan surat nomor R-650/N.2.10/Euh.2/08/2004 telah
memberitahukan kepada penasihat hukum Ayodhya bahwa pidana mati akan segera
dilaksanakan.
05 Agustus 2004
dengan pengawalan polisi, terpidana dibawa ketempat eksekusi di Kecamatan Medan
Polonia, yang masih berada dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri Medan, dan pada
tanggal 6 Agustus 2004 Ayodhya dinyatakan meninggal.
2.3 Analisa Pelaksanaan Putusan Hakim
Pelaksanaan putusan hakim dilihat dari Mekanisme pelaksanaan pidana mati
sebagaimana ditetapkan di dalam pasal 2 – 16 UU No. 2/PNPS/1964, adalah sebagai
berikut:
1. Dalam jangka waktu tiga kali dua puluh empat jam sebelum saat pidana mati itu
11
dilaksanakan, jaksa tinggi atau jaksa yang bersangkutan harus memberitahukan kepada
terpidana tentang akan dilaksanakannya pidana mati tersebut. Apabila terpidana
berkeinginan untuk mengemukakan sesuatu, maka keterangan atau pesannya itu
diterima oleh jaksa tinggi atau jaksa tersebut;
poin pertama ini telah dilaksanakan sepenuhnya oleh jaksa eksekutor maupun pihak
terkait, bahwa pada tanggal 01 Agustus 2004 telah diberitahukan kepada terpidana
bahwa putusan pidana mati oleh hakim telah berkekuatan hukum tetap. terpidana juga
telah menyampaikan permintaan terakhirnya kepada jaksa eksekutor Faried, SH., MS
2. Apabila terpidana merupakan seorang wanita yang sedang hamil, maka pelaksanaan
dari pidana mati harus ditunda hingga anak yang dikandungnya itu telah lahir;
3. Tempat pelaksanaan pidana mati itu ditentukan oleh Menteri Kehakiman, yakni di
daerah hukum dari pengadilan tingkat pertama yang telah memutuskan pidana mati
yang bersangkutan:
poin ini telah terpenuhi, karena eksekusi dilaksanakan di Kecamatan Polonia, yang
masih berada di bawah kekuasaan pengadilan negeri Medan.
4. Kepala Polisi dari daerah yang bersangkutan bertanggung jawab mengenai
pelaksanaan dari pidana mati tersebut setelah mendengar nasehat dari jaksa tinggi atau
dari jaksa yang telah melakukan penuntutan pidana mati pada peradilan tingkat pertama;
poin ini telah terpenuhi, karena pada tanggal 02 Agustus 2004 telah diadakan koordinasi
dengan Kapoltabes Kota Medan dan juga Kasat BRIMOB kota Medan.
5. Pelaksanaan pidana mati itu dilakukan oleh suatu regu penembak polisi di bawah
pimpinan dari seorang perwira polisi;
poin ini telah terpenuhi, karena pelaksanaan eksekusi dilakukan oleh 12 orang polisi
anggota Brigade Mobile Poldasu.
6. Kepala Polisi dari daerah yang bersangkutan (atau perwira yang ditunjuk) harus
menghadiri pelaksanaan dari pidana mati itu, sedang pembela dari terpidana atas
permintaannya sendiri atau atas permintaan dari terpidana dapat menghadirinya;
12
7. Pelaksanaan dari pidana mati itu tidak boleh dilakukan di muka umum;
poin ini telah terpenuhi, karena penembakan dilakukan jauh dari tempat kediaman
masyarakat, dan memang pada kenyataannya masyarakat tidak ada yang mengetahui
waktu dan tempat eksekusi ini dilaksanakan.
8. Penguburan jenazah terpidana diserahkan kepada keluarga atau kepada sahabat
sahabat terpidana, dan harus dicegah pelaksanaan dari penguburan yang bersifat
demonstratif, kecuali demi kepentingan umum maka jaksa tinggi atau jaksa yang
bersangkutan dapat menentukan lain;
poin ini telah terpenuhi, karena pemakaman dilakukan sesuai dengan permintaan
terpidana (alm) yaitu dimakamkan secara Islam, dan terpidana (alm) dikebumikan di
pemakaman umum Jl.Thamrin Medan.
Pelaksanaan hukuman mati terhadap terpidana membutuhkan waktu yang sangat lama,
karena :
Terpidana menggunakan seluruh upaya hukum. yaitu :
1) Upaya Hukum Biasa :
• Banding
• Kasasi
2) Upaya Hukum Luar Biasa
• Peninjauan Kembali
Kasus Ayodhya merupakan kasus pertama yang di eksekusi mati dalam sejarah
Pengadilan Negeri Medan, sehingga persiapan dan perencanaan pelaksanaannya harus
benar-benar matang, dan mengalami sedikit kesulitan dalam pencarian tempat
dilaksanakannya eksekusi.
13
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Norma ancaman hukuman mati (death pinalty) tidak hanya terdapat dalam undang-
undang narkotika saja (Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika),
melainkan tersebar dalam beberapa undang-undang lainnya, antara lain: Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP).
pelaksanaan hukuman mati dalam tindak pidana narkotika memberikan efek yang
menakutkan bagi pelaku kejahatan.
dalam pelaksanaannya, pelaksanaan hukuman mati terhadap terpidana Ayodhya
berjalan lancar, namun sebelumnya mengalami banyak kesulitan karena merupakan
putusan pertama pidana mati di Medan
3.2 Saran
adanya pengaturan dalam Undang-undang atau setidaknya disusun Peraturan Daerah,
mengenai tempat pelaksanaan eksekusi mati terpidana.
14
DAFTAR PUSTAKA
Wirjono Prodjodikoro. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. PT Eresco : Bandung
UU nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika
UU nomor 2/Pnps/1964, LN-1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati
Http://angellinasinaga.wordpress.com
15