Post on 17-Feb-2016
REFRAT LEUKIMIA LIMFOBLASTIK AKUT
& LEUKIMIA MIELOSIT KRONIK
Blok 14 – Hematologi dan Imunologi
Disusun oleh:Muhammad Hanif Baswedan
4111131127
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI
CIMAHI
2015
SKENARIO
SKENARIO 1
Seorang anak laki-laki, berusia 11 tahun diantar orang tuanya ke poliklinik
dengan keluhan demam sejak 2 bulan yang lalu, demam tidak terlalu tinggi,
keluhan disertai dengan lemah badan, nyeri-nyeri tulang, pucat, napsu makan
sangat berkurang, sehingga berat badan anak turun sampai 3 kg. Dalam 3 minggu
ini keluhan bertambah parah, selain keluhan diatas penderita juga mengalami
perdarahan di gusi hampir setiap hari, benjolan di leher, dan ketiak yang makin
membesar dan bertambah banyak. Pada pemeriksaan fisik tampak palmar pucat,
hipertropi ginggiva dan perdarahan gusi, general limfadenopati,
hepatosplenomegali. Pemerksaan lboratorium didapatkan: Hb. 7 g/dl, leukosit.
150.000/mmk, trombosit. 70.000/mmk. Hitung jenis: 2/1/1/20/76/0, Morfologi
darah tepi: Eritrosit: jumlah kurang, mikrositik normokromik, normoblas (+),
Leukosit: jumlah lebih, segmen jarang, limfosit jarang, limfoblast (+), Trombosit:
jumlah kurang, giant trombosit (+).
SKENARIO 2
Seorang laki-laki berusia 65 tahun datang ke poliklinik umum RS Dustira
dengan keluhan utama lemah badan. Keluhan dirasakan sejak sekitar 1 – 2 bulan
lalu dan semakin hari semakin dirasakan lemah. Keluhan disertai demam, banyak
berkeringat, penurunan berat badan, cepat kenyang dan perut terasa penuh.
Pemeriksaan Fisik:
KU: CM, T: 130/80mmHg, N: 105x/menit, Respirasi 30x/menit, S: 37,8
Kepala: konjunctiva anemis +/+, sklera ikterik -/- gusi: hipertrofi (-) KGB:
tdk teraba membesar
Cor: BJ I-II murni reguler, Pulmo: VBS +/+, Rh-/- wh:-/-
Abdomen: hepar tidak teraba, Lien: Schuffner 4 ektremitas: purpura (+)
2
Pemeriksaan lab:
Hb: 8gr/dl Leukosit: 100.000/mm3 Trombosit: 100.000/mm3 LED:
30/40 mm/jam
3
CASE OVERVIEW DAN PETA KONSEP
Skenario I
Data KeteranganAnak laki-laki, 11 tahun KU : demam tidak terlalu tinggi, sejak 2 bulan yang lalu
Insidensi LLAGejala klinis
KP : 1. Lemah badan 2. Nyeri-nyeri tulang3. Pucat 4. Napsu makan sangat berkurang 5. BB : 3 kg 6. Gusi berdarah hampir tiap hari 7. Benjolan di leher dan ketiak,
semakin banyak dan bertambah besar
1. Gejala anemia 2. Infiltasi sumsum tulang oleh sel-
sel leukemi3. Gejala anemia4. Gejala anemia5. Gejala anemia 6. Gejala klinis leukemia 7. Gejala dari leukemia
Dalam 3 minggu, keluhan semakin memberat
Progresif
Pemeriksaan fisik :
1. Ekstremitas : palmar pucat 2. Mulut : gingiva : hipertrofi dan
perdarahan 3. General limfadenopati 4. Hepatosplenomegali
1. Kurangnya suplai O22. Adanya infeksi dan gejala klinis
leukemia3. Gejala leukemia 4. Gejala klinis leukemia
Pemeriksaan laboratorium :
1. Hb : 7 g/dl2. Leukosit : 150.000/mmk3. Trombosit : 70.000/mmk4. Hitung jenis : 2/1/1/20/76/05. Morfologi darah tepi :
a. Eritrosi : jumlah kurang b. Mikrositik normokromik c. Normoblas +d. Leukosit : jumlah lebih, segmen
jarang, limfosit jarang, limfoblas +
e. Trombosit : jumlah kurang, giant trombosit +
Menurun Normal Trombositopenia Shift to the left
DK: Leukimia Limfoblastik Akut
4
Skenario II
Data Keteranganlaki-laki berusia 65 tahun KU : lemah badan
Insidensi LMKDD/ anemia, hipoglikemi
KP : Demam, banyak berkeringat, penurunan berat badan, cepat kenyang dan perut terasa penuh.
DD/ tanda dan gejalan leukemia mieloblastic kronik, TB, miloma multiple
Keluhan dirasakan sejak sekitar 1 – 2 bulan lalu dan semakin hari semakin dirasakan lemah
8. Perjalanan penyakit bersifat progresif
Pemeriksaan fisik :
1. KU: CM, T: 130/80mmHg, N: 105x/menit, Respirasi 30x/menit
S; 37,8 2. Kepala: konjunctiva anemis +/+,
sklera ikterik -/-3. gusi: hipertrofi (-)4. KGB: tdk teraba membesar 5. Cor: BJ I-II murni reguler,
Pulmo: VBS +/+, Rh-/- wh:-/- 6. Abdomen: hepar tidak teraba,
Lien: Schuffner 4ektremitas: purpura (+)
5. Tekanan darah : pre hipertensiNadi: takikardiRespirasi: takipneaSuhu: subfebris
6. Terdapat anemia sebagai tanda fase lanjut LMK7. Singkirkan DD/ LLA8. DD/ LMK, myeloma multiple9. Dbn10. Lien di schuffner 4 sebagai tanda klinis LMK, adanya purpura sebaga fase lanjut LMK
Pemeriksaan laboratorium :
Hb: 8gr/dlLeukosit: 100.000/mm3
Trombosit: 100.000/mm3LED: 30/40 mm/jam
Terdapat anemia
Leukositosis dan LED meningkat.Terdapat trombositopenia
DD/ Leukemia myeloma kronikMultiple Mieloma
DK/ Leukemia myeloma kronik
5
KRITERIA DIAGNOSIS KERJA
DAN DIAGNOSIS BANDING LAIN
DEFINISI
Skenario I
Leukimia limfoblastik akut (LLA) adalah keganasan klonal dari sel-sel
prekursor limfoid. Lebih dari 80% kasus, berasal dari limfosit B, dan sisanya
leukemia sel T. Leukemia ini merupakan bentuk leukemia yang paling banyak
pada anak-anak. Walaupun demikian, 20% dari kasus LLA adalah dewasa. Jika
tidak diobati, leukemia ini bersifat fatal.
Skenario II
Leukemia granulositik kronik/Leukimia mielositik kronik adalah penyakit
mieloproliferatif dengan ditandai adanya proliferasi sel induk hematopoietik
pada berbagai stadium diferensiasi
Leukimia granulositik kronik/Leukimia mielositik kronik merupakan
leukimia yang pertama ditemukan serta diketahui patogenesinya. Secara
klasifikasi, dahulu LGK termasuk golongan penyakit mieloproliferatif, yang
ditandai dengan gangguan diferensiasi, sehingga pada apusan darah tepi kita dapat
dengan mudah nelihat tingkatan diferensiasi seri granulosit, mulai dari promielosit
(bahkan mieloblas), metamielosit, mielodit, sampai granulosit.
6
KLASIFIKASI
Skenario 1
Klasifikasi imunologi
Precursor B-Acute Lymphoblastik Leukemia (ALL)-70%: common ALL
(50%), null ALL, pre B ALL
T-ALL (25%)
B_ALL (5%)
Definisi subtipe imunologi ini berdasarkan atas ada atau adanya berbagai
antigen permukaan sel. Subtipe imunologi yang paling sering ditemukan
adalah common ALL. Null cell ALL berasal dari sel yang sangat primitif
dan lebih banyak pada dewasa. B-ALL merupakan penyakit yang jarang,
dengan morfologi L3 yang sering berperilaku sebagai limfoma agresif
(varian Burkitt).
Klasfikasi morfologi the French-American-British (FAB)
L1: Sel blas berukuran kecil seragam, dengan sedikit sitoplasma dan
nukleoli yang tidak jelas
L2: Sel blas berukuran besar heterogen dengan nukleoli yang jelas dan
rasio inti-sitoplasma yang rendah
L3: Sel blas dengan sitoplasma bervakuola dan basofilik
Skenario 2
Dalam perjalanan penyakitnya LGK dibagi kedalam 3 fase, yaitu:
1. Fase kronik: Anemia ringan, splenomegali, leukositosis, 5-10% jadi
mielofibrosis
2. Fase Akselerasi: Demam, leukositosis bertambah, anemia dan
trombositopenia progresif, basofil meningkat, resisten terhadap pengobatan.
3. Fase Krisis Blas: Gejala lebih hebat dari akselerasi bisa berupa limfoblast
atau mieloblast
7
MANIFESTASI KLINIS
Skenario 1
Gejala-gejala dan tanda-tanda klinis yang dapat ditemukan:
Anemia: mudah lelah, letargi, pusing, sesak, nyeri dada
Anoreksi
Nyeri tulang dan sendi (karena infiltrasi sumsum tulang oleh sel-sel
leukemia)
Demam, banyak berkeringat (gejala hipermetabolisme)
Infeksi mulut, saluran nafas atas dan bawah, selulitis, atau sepsis.
Penyebab paling sering adalah stafilokokus, streptokokus, dan bakteri
gram negatif usus, serta berbagai spesies jamur.
Perdarahan kulit (ptekie, ekimosis), perdarahan gusi, hematuria,
perdarahan saluran cerna, perdarahan otak.
Hepatomegali
Splenomegali
Limfadenopati
Masa di mediastinum (sering pada LLA sel T)
Leukemia sistem saraf pusat: nyeri kepala, muntah (gejala tekanan tinggi
intrakranial, perubahan status mental, kelumpuhan saraf oleh terutama
saraf VI dan VII, kelainan neurologik fokal
Keterlibatan organ lain: testis, retina, kulit, pleura, perikardium, tonsil.
Skenario 2
Pada fase kronis, pasien sering mengeluh pembesaran limpa, atau merasa
cepat kenyang akibat desakan limpa terhadap lambung. Kadang timbul nyeri
seperti di remas di perut kanan atas akibat desakan dari limpa. Keluhan lain yang
tidak spesifik misalnya:
Rasa cepat lelah
Lemah badan
Demam yang tidak terlalu tinggi
Keringat malam
8
Penurunan berat badan
Penurunan berat badan terjadi setelah penyakit berlangsung lama. Semua
keluhan tersebut merupakan gambaran hipermetaboolisme akibat proliferasi sel-
sel leukimia.
Setelah 2-3 tahun, beberapa pasien penyakitnya menjadi progresif atau
mengalami akselerasi. Bila saat diagnosa ditegakan, pasien berada pada fase
kronis, maka kelangsungan hidup berkisar antara 1 sampai 1,5 tahun. Ciri khas
fase akselerasi adalah: leukositosis yang sulit di kontrol oleh obat-obatan
mielosupresif, mieloblas di perifer mencapai 15-30%, promielosit >30%, dan
trombosit <100.000/mm3. Secara klinis fase ini dapat diduga bila limpa yang
tadinya sudah mengecil dengan terapi kembali membesar, keluhan anemia
bertambah berat, timbul petekie, ekimosis. Bila disertai demam biasanya ada
infeksi,
9
ILMU KEDOKTERAN DASAR
Pembentukan sel-sel darah
Sel darah memulai kehidupannya di dalam sumsum tulang dari suatu tipe
sel yang disebut sel stem hematopoietik pluripoten , yang merupakan asal dari
semua sel dalam darah sirkulasi. Sewaktu sel-sel darah ini berproduksi, ada
sebagian kecil dari sel-sel ini yang bertahan persis seperti sel-sel pluripoten
asalnya dan disimpan dalam sumsum tulang guna mempertahankan suplai sel-sel
darah tersebut, walaupun jumlahnya berkurang seiring dengan bertambahnya usia.
Berbagai commited stem cells, bila ditumbuhkan dalam biakan, akan
menghasilkan koloni tipe sel darah yang spesifik. Suatu commited stem cells yang
menghasilkan eritrosit disebut unit pembentuk koloni eritrosit, dan singkatan
CFU-E digunakan untuk menandai jenis sel stem ini. Demikian pula, unit yang
10
membentuk koloni granulosit dan monosit ditandai dengan singkatan CFU-GM,
dan seterusnya.
Pertumbuhan dan reproduksi berbagai sel stem diatur oleh bermacam-
macam protein yang disebut penginduksi pertumbuhan. Telah dikemukakan
empat penginduksi pertumbuhan yang utama dan masing-masing memliki ciri
khas tersendiri. Salah satunya adalah interluekien -3, yang memlukai
pertumbuhan dan reproduksi hampir semua jenis commited stem cells yang
berdeda-beda, sedangkan yang lain hanya menginduksi pertumbuhan pada tipe-
tipe sel yang spesifik.
Penginduksi pertumbuhan akan memicu pertumbuhan dan bukan memicu
diferensiasi sel adalah fungsi dari rangkain protein yang lain, yang disebut
penginduksi diferensiasi.
Pembentukan Sel Darah Putih
Granulosit dan monosit hanya dibentuk di dalam sumsum tulang. Limfosit
dan sel plasma terutama diproduksi di berbagai jaringan limfogen, khususnya di
kelenjar limfoid, limpa, timus, tnsil, dan berbagai kantong jaringan limfoid di
mana saja dalam tubuh, seperti sumsum tulang dan pla Peyer di bawah epitel
dinding usus.
Sel darah putih yang dibentuk dalam sumsum tulang, disimpan dalam
sumsum sampain diperlukan di sistem sirkulasi. Kemudia,bila kebutuhan sel
darah putih ini muncul, berbagai macam faktor akan menyebabkan leukosit
tersebut dilepaskan. Liimfosit sebgaina besar di simpan di berbagai area jaringan
limfoid, kecualu sejmulah kecil limfosit yang angkuta dalam darah untuk
sementara waktu.
Granulosit
11
Granulosit merupakan leukosit yang memiliki granula sitoplasma.
Berdasarkan warna granula sitoplasma saat dilakukan pewarnaan terdapat 3 jenis
granulosit yaitu neutrofil, eosinofil, dan basofil.
a. Neutrofil
Neutrofil adalah garis pertahanan pertama tubuh terhadap invasi oleh bakteri,
sangat fasitrik dan sangat aktif. Sel-sel ini sampai di jaringan terinfeksi untuk
menyerang dan menghacurkan bakteri, virus atau agen penyebab ifeksi laiinya.
Neutrofil merupakan leukosit granular yang paling banyak, mencapai 60%,
dari jumlah sel darah putih. Neutrofil merupakan sel berumur pendek dengan
waktu paruh dalam darah 6-7 jam dan jangka hidup antara 1-4 hari dalam
jaringan ikat, setelah itu neutrofil mati.
b. Eosinofil
Eosinofil meupakan fagositik yang lemah. Jumlahnya akan meningkat saat
terjadi alergi atau penyakit parasit. Eosinofil memiliki granula sitoplasma yang
kasar dan besar. Sel garnulanya bewarna merah sampai jingga.
12
Gambar 1. Neutrofil
Eosinofil memasuki darah dari sumsum tulang dan beredar hanya 6-10 jam
sebelum bermigrasi ke dalam jaringan ikat, tempat eosinofil menghabiskan sisa
8-12 hari jangka hidupnya. Dalam darah normal, eosinofil jauh lebih sedikit dari
neutrofil, hanya 2-4% dari jumlah sel darah putih.
c. Basofil
Basofil adalah jenis leukosit yang paling sedikit jumlahnya yaitu kurang dari
1% dari jumlah sel darah putih. Basofil memiliki sejumlah granula sitoplsma
yang bentuknya tidak beraturan dan bewarna keunguan sampai hitam.
Besofil memiliki fungsi menyerupai sel mas, mengandung histamin untuk
membantu mencegah pembekuan darah intravaskular.
13
Gambar 2. Eosinofil
Gambar 3. Basofil
Agranulosit
Agranulosit merupakan leukosit tanpa granula sitoplsma. Agranulosit
terdiri dari limfosit dan monosit.
a. Limfosit
Limfosit adalah golongan leukosit kedua terbanyak setelah neutrofil, berkisar
20-35% dari sel darah putih, memiliki fungsi dalam reaki imunitas.
Terdapat dua jenis limfosit yaitu limfosit T dan limfosit B. Limfosit T
bergantung timus, berumur panjang, dibentuk dalam timus. Limfosit B tidak
bergantung timus, tersebar dalam folikel-folikel kelenjar getah bentung. Limfosit
T bertanggung jawab atas respons kekebalan selular melaui pembentukan sel
yang eaktif antigen sedangkan limfosit B, jika dirangsang degan semestinya,
berdiferensiasi menjadi sel-sel plasma yang menghasilkan immunoglobulin, sel-
sel ini bertanggung jawab atas respons kekebalan hormonal.
14
Gambar 4. Limfosit
b. Monosit
Monosit merupakan leukosit terbesar. Monosit mencapai 3-8% dari sel darah
putih. Monosit memiliki fungsi fagositik dan sangat aktif, membuang sel-sel
cedera dan mati, fragmen-frgamen sel, dan mikroorganisme.
1. Hematopoiesis
15
Gambar 5. Monosit
Hematopoiesis adalah proses pembentukan sel-sel darah, yang terdiri dari sel
darah merah, sel darah putih dan platelet.
Leukopoiesis adalah proses pembentukan leukosit, yang dirangsang oleh
adanya colony stimulating (factor perangsang koloni). Colony stimulating ini
dihasilkan oleh leukosit dewasa.
Leukosit dibentuk di sumsum tulang terutama seri granulosit, disimpan dalam
sumsum tulang sampai diperlukan dalam sistem sirkulasi. Bila kebutuhannya
meningkat maka akan menyebabkan granulosit tersebut dilepaskan. Proses
pembentukan limfosit, ditemukan pada jaringan yang 7 berbeda seperti sumsum
tulang, thymus, limpa dan limfonoduli. Proses pembentukan limfosit dirangsang
oleh thymus dan paparan antigen.
Bertambahnya jumlah leukosit terjadi dengan mitosis (suatu proses
pertumbuhan dan pembelahan sel yang berurutan). Sel-sel ini mampu membelah
diri dan berkembang menjadi leukosit matang dan dibebaskan dari sumsum tulang
ke peredaran darah. Dalam sirkulasi darah, leukosit bertahan kurang lebih satu
hari dan kemudian masuk ke dalam jaringan. Sel ini bertahan di dalam jaringan
hingga beberapa minggu, beberapa bulan, tergantung pada jenis leukositnya.
Pembentukan leukosit berbeda dengan pembentukan eritrosit. Leukosit ada 2
jenis, sehingga pembentukannya juga sesuai dengan seri leukositnya.
Pembentukan sel pada seri granulosit (granulopoiesis) dimulai dengan fase
mieloblast, sedangkan pada seri agranulosit ada dua jenis sel yaitu monosit dan
limfosit. Pembentukan limfosit (limfopoiesis) diawali oleh fase limphoblast,
sedangkan pada monosit (monopoiesis) diawali oleh fase monoblast.
2. Granulopoiesis
Granulopoiesis adalah evolusi paling dini menjadi myeloblas dan akhirnya
menjadi sel yang paling matang, yang disebut basofil, eosinofil dan neutrofil.
Proses ini memerlukan waktu 7 sampai 11 hari. Mieloblas, promielosit, dan
mielosit semuanya mampu membelah diri dan membentuk kompartemen
16
proliferasi atau mitotik. Setelah tahap ini, tidak terjadi lagi pembelahan, dan sel
mengalami pematangan melalui beberapa fase yaitu: metamielosit, neutrofil
batang dan neutrofil segmen. Di dalam sumsum 8 tulang sel ini mungkin ada
dalam jumlah berlebihan yang siap dibebaskan apabila diperlukan. Sel-sel ini
dapat menetap di sumsum tulang sekitar 10 hari, berfungsi sebagai cadangan
apabila diperlukan.
3. Limfopoiesis
17
Limfopoiesis adalah pertumbuhan dan pematangan limfosit. Hampir 20% dari
sumsum tulang normal terdiri dari limfosit yang sedang berkembang. Setelah
pematangan, limfosit masuk ke dalam pembuluh darah, beredar dengan interval
waktu yang berbeda bergantung pada sifat sel, dan kemudian berkumpul di
kelenjar limfatik.
4. Monopoiesis
Monopoiesis berawal dari sel induk pluripoten menghasilkan berbagai sel
induk dengan potensi lebih terbatas, diantaranya adalah unit pembentuk koloni
granulosit yang bipotensial. Turunan sel ini menjadi perkusor granulosit atau
menjadi monoblas. Pembelahan monoblas menghasilkan promonosit, yang
sebagiannya berpoliferasi menghasilkan monosit yang masuk peredaran. Yang
lain merupakan cadangan sel yang sangat lambat berkembang. Waktu yang
dibutuhkan sel induk sampai menjadi monosit adalah sekitar 55 jam. Monosit
tidak tersedia dalam sumsum dalam jumlah besar, namun bermigrasi ke dalam
sinus setelah dibentuk. Monosit bertahan dalam pembuluh darah kurang dari 36
jam sebelum akhirnya masuk ke dalam jaringan.
18
ETIOLOGI & FAKTOR RISIKO
19
ETIOLOGI
Skenario I
Beberapa faktor lingkungan dan kondisi klinis yang berhubungan dengan LLA
adalah :
1. Radiasi ionik.
Orang – orang yang selamat dari ledakan bom atom Hiroshima dan
Nagasaki mempunyai risiko relati keselurahn 9,1 untuk berkembang
menjadi LLA
2. Paparan benzena kadar tinggi dapat menyebabkan aplasia sumsm tulang,
kerukana kromosom, dan leukemia
3. Merokok seidkit meningkatkan risiko LLA pada usia di atas 60 tahun
4. Obat kemoterapi
5. Infeksi virus Epstein Barr berhubungan kuat dengan LLA
6. Pasien dengan sindroma Down dan Wiskott-Aldrich
Skenario II
Tahun 1960 Nowell dan Hungerford menemukan kelainan kromosom yang
selalu sama pada pasien LGK, yaitu 22q atau hilangnya sebagian lengan panjang
dari kromosom 22, yang saat ini kita kenal sebagai kromosom Philadelphia (Ph).
Selanjutnya, di tahun 1973 Rowley menemukan bahwa kromosom Ph terbentuk
akibat adanya translokasi respirokal antara lengan panjang kromosom 9 dan 22,
lazimnya ditulis t(9;22)(q34;q11).
Dengan kemajuan di bidang biologi molekuler, pada tahun 1980 diketahui
bahwa pada kromosom 22 yang mengalami pemendekan tadi, ternyata didapatkan
adanya gabungan antara gen yang ada di lengan panjang kromosom 9 (9q34),
yakni ABL (Abelson) dengan gen BCR (Break Cluster Region) yang terletak di
lengan panjang kromosom 22 (22q11).
FAKTOR RISIKO
Skenario I
20
Faktor-faktor yang mempermudah terjadinya LLA
Radiasi ionik
Paparan dengan benzene kadar tinggi dapat menyebabkan aplasia sumsum
tulang, kerusakan kromosom, dan leukemia
Merokok sedikit meningkatkan risiko LLA pada usia di atas 60 tahun
Obat kemoterapi
Infeksi EBV berhubungan kuat dengan L3
Pasien dengan sindrom Down dan Wiskott-Aldrich mempunyai risiko
yang meningkat untuk menjadi LLA
Skenario 2
Sampai saat ini yang dicurigai ikut berperan dalam patogenesis terjadinya
LMK adalah faktor radiasi ion, virus dan bahan-bahan kimia. Menurut beberapa
laporan kasus LMK lebih tinggi pada orang yang bekerja di unit radiologi, orang
yang terpapar radiasi bom atom, penderita yang mendapat terapi radiasi karena
penyakit Ankilosing spondilitis dan penyakit lain. Walaupun begitu, hanya 5 – 7
% dari kasus LMK yang dilaporkan berhubungan dengan adanya paparan radiasi
dan hal ini sangat jarang mengenai kelompok anak-anak. Berdasarkan penelitian
terhadap penduduk yang hidup setelah terpapar radiasi bom atom, waktu yang
diperlukan mulai dari saat terpapar sampai timbulnya gejala klinis adalah antara 5-
10 tahun. Pada anak muda, khususnya yang terpapar saat umur di bawah 5 tahun
akan meningkatkan kejadian LMK, tetapi tidak dijumpai adanya peningkatan
kejadian pada bayi dalam kandungan yang ibunya terpapr saat hamil. Secara
skematis perubahan-perubahan yang terjadi mulai dari masa inisiasi preleukemia
dan akhirnya menjadi leukemia.
PATOGENESIS & PATOFISIOLOGI
Pada keadaan normal, sel darah putih berfungsi sebagai pertahanan tubuh
terhadap infeksi. Sel ini secara normal berkembang sesuai perintah, dapat
dikontrol sesuai dengan kebutuhan tubuh. Leukemia meningkatkan produksi sel
21
darah putih pada sumsum tulang yang lebih dari normal. Mereka terlihat berbeda
dengan sel darah normal dan tidak berfungsi seperti biasanya. Sel leukemi
memblok produksi sel darah normal, merusak kemampuan tubuh terhadap infeksi.
Sel leukemi juga merusak produksi sel darah lain pada sumsum tulang termasuk
sel darah merah dimana sel tersebut berfungsi untuk menyuplai oksigen pada
jaringan.
Analisis sitogenik menghasilkan banyak pengetahuan mengenai aberasi
kromosomal yang terdapat pada pasien dengan leukemia. Perubahan kromosom
dapat meliputi perubahan angka, yang menambahkan atau menghilangkan seluruh
kromosom, atau perubahan struktur termasuk translokasi (penyusunan kembali),
delesi, inversi dan insersi. Pada kondisi ini, dua kromosom atau lebih mengubah
bahan genetik, dengan perkembangan gen yang berubah dianggap menyebabkan
mulainya proliferasi sel abnormal.
Leukemia terjadi jika proses pematangan dari stem sel menjadi sel darah
putih mengalami gangguan dan menghasilkan perubahan ke arah keganasan.
Perubahan tersebut seringkali melibatkan penyusunan kembali bagian dari
kromosom (bahan genetik sel yang kompleks). Translokasi kromosom
mengganggu pengendalian normal dari pembelahan sel, sehingga sel membelah
tidak terkendali dan menjadi ganas. Pada akhirnya sel-sel ini menguasai sumsum
tulang dan menggantikan tempat dari sel-sel yang menghasilkan sel-sel darah
yang normal. Kanker ini juga bisa menyusup ke dalam organ lainnya termasuk
hati, limpa, kelenjar getah bening, ginjal, dan otak.
Skenario 1
Kelainan sitogenik yang paling sering ditemukan pada LLA dewasa adalah
t(9;22)/BCR-ABL (20-30%) dan t(4;11)/ALL1-AF4 (6%). Kedua kelainan
sitogenik ini berhubungan dengan prognosis yang buruk. Fusi gen BCR-ABL
22
merupakan hasil dari translokasi kromosom 9 dan 22 [t(9;22)(q34;q11)] yang
dapat dideteksi hanya dengan pulse-field gel electrophoresis atau reverse
transcriptase polymerase chain reaction. ABL adalah nonreceptor tyrosine
protein kinase yang secara enzimatik mentransfer molekul fosfat ke substrat
protein, sehingga terjadi aktivasi jalur tranduksi sinyal yang penting dalam
regulasi proliferasi dan pertumbuhan sel.
Kelainan yang lain yaitu -7, +8, dan karyotipe hipodiploid berhubungan
dengan prognosis yang buruk, sedangkan t(10;14) dan karyotipe hiperdiploid
tinggi berhubungan dengan prognosis yang baik. Mekanisme umum lain dari
pembentukan kanker adalah hilangnya atau inaktivasi gen supresor tumor yang
mempunyai peranan penting dalam mengontrol progresi siklus sel, misalnya
p16(INK4A) dan p15(INK4B). Kejadian yang sering adalah delesi, mikrodelesi,
dan penyusunan kembali gen (gene rearrangement) yang melibatkan p16(INK4A)
dan p16(INK4B). Kelainan ekspresi dari gen supresor tumor RbI dan p53 ternyata
lebih sering terjadi. Kelainan yang melibatkan dua atau lebih gen-gen ini
ditemukan pada sepertiga pasien LLA dewasa.
Skenario 2
23
Gambar 6. Bagan Patofisiologi LMK
Seperti yang telah disinggung di atas, gen BCR-ABL pada kromosom Ph
menyebabkan proliferasi yang berlebihan sel induk pluripoten pada sistem
hematopoiesis. Klon-klon ini, selain proliferasinya berlebihan juga dapat
bertahan hidup lebih lama dibanding sel normal, karena gen BCR-ABL juga
bersifat anti-apoptosis. Dampak kedua mekanisme di atas adalah terbentuknya
klon-klon abnormal yang akhirnya mendesak sistem hematopoiesis lainnya.
Mekanisme terbentuknya kromosom Ph dan waktu yang dibutuhkan sejak
terbentuknya Ph sampai menjadi LGK dengan gejala klinis yang jelas, hingga kini
masih belum diketahui secara pasti. Berdasarkan kejadian Hiroshima dan
Nagasaki, diduga Ph terjadi akibat pengaruh radiasi, sebagian ahli berpendapat
akibat mutasi spontan. Sejak tahun 1980 diketahui bahwa translokasi ini
24
menyebabkan pembentukan gen hibrid BCR-ABL pada kromosom 22 dan gen
resiprokal ABL-BCR pada kromosom 9.
Gen hibrid BCR-ABL yang berada pada kromosom Ph ini selanjutnya
mensintesis protein 210 kD yang berperan dalam leukemogenesis, sedang peranan
gen resiprokal ABL-BCR tidak diketahui.
Saat ini diketahui terdapat beberapa varian dari kromosom Ph, seperti tampak
pada tabel 1. Varian-varian ini dapat terbentuk karena translokasi kromosom 22
atau kromosom 9 dengan kromosom lainnya. Varian lain juga dapat terbentuk
karena patahan pada gen BCR tidak selalu di daerah q11, akan tetapi dapat juga di
daerah q12 atau q13 (Heim dan Mitelman, 1987), dengan sendirinya protein yang
dihasilkan juga berbeda berat molekulnya.
Jadi sebenernya gen BCR-ABL pada kromosom Ph (22q) selalu terdapat pada
semua pasien LGK, tetapi gen BCR-ABL pada 9q+ hanya terdapat pada 70%
pasien LGK. Pada perjalanannya penyakitnya, pasien dengan Ph+ lebih rawan
terhadap adanya kelainan kromosom tambahan, hal ini terbukti pada 60-80%
pasien Ph+ yang mengalami fase krisis blas ditemukan adanya trisomi 8, trisomi
19, dan isokromosom lengan panjang kromosom 17 i(17)q. Dengan kata lain
selain gen BCR-ABL, ada beberapa gen-gen lain yang berperan dalam
patofisiologi LGK atau terjadi abnormalitan dari gen supresor tumor, seperti gen
p53, p16, dan gen Rb.
Gejala leukemia yang ditimbulkan umumnya berbeda diantara penderita, namun
demikian secara umum dapat digambarkan sebagai berikut :
1. Anemia
Penderita akan menampakan cepat lelah, pucat dan bernapas cepat (sel darah
merah dibawa normal menyebabkan oxygen dalam tubuh kurang, akibatnya
penderita bernapas cepat sebagai kompensasi pemenuhan kekurangan oxygen
dalam tubuh).
2. Perdarahan
25
Ketika platelet (sel pembeku darah trombosit) tidak terproduksi dengan wajar
karena didominasi oleh sel darah putih, makan pendertia akan mengalami
perdarahan dijaringan kulit (banyaknya jentik merah lebar/kecil dijaringan
kulit).
3. Terserang infeksi
Sel darah putih berperan sebagai pelindung daya tahan tubuh, terutama
melawan penyakit infeksi. Pada penderita leukemi, sel darah putih yang
terbentuk adalah tidak normal (abnormal) sehingga tidak berfungsi
semestinya. Akibatnya tubuh si penderita rentan terkena infeksi virus/bakteri,
bahkan dengan sendirinya akan menampakkan keluhan adanya demam,
keluar cariran putih dari hidung )meler) dan batuk.
4. Nyeri tulang dan persendian
hal ini disebabkan sebagai akibat dari sumsum tulang (bone marrow)
mendesak pada oleh sel darah putih.
5. Nyeri perut
Nyeri perut juga merupakan salah satu indikasi gejala leukemia, dimana sel
leukemia dapat terkumpul pada organ ginjal, hati dan empedu yang
menyebabkan pembesaran pada organ-organ tubuh ini dan timbulah nyeri.
Nyeri perut ini dapat berdampak hilangnya nafsu makan penderita leukemia.
6. Pembengkakan kelenjar lympa
Penderita kemungkinan besar mengalami pembengkakan pada kelenjar
lympa, baik itu yang dibawah lengan, leher, dada dan lainnya. Kelenjar lympa
bertugas menyaring darah, sel leukemia dapat terkumpul disini dan
menyebabkan pembengkakakn.
7. Kesulitan bernapas (dyspnea)
Penderita mungkin manampakkan gejala kesulitan bernapas dan nyeri dada,
apabila terjadi hal ini maka harus segera mendapatkan pertolongan.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
26
Skenario 1
Pemeriksaan lab darah: hiperleukositosis (>100.000/mm) terjadi pada 15%
pasien dan dapat melebihi 200.000/mm. Anemia dan trombositopenia.
Trombosit kurang dari 25.000/mm
Aspirasi dan biopsi sumsum tulang: tampak hiperselular dengan limfoblas
lebih banyak, lebih dari 90%.
Sitokimia: pewarnaan sudan black dan mieloperoksidase akan
memberikan hasil yang negatif. Pewarnaan fosfatase asam akan positif
pada limfosit T, sedangkan pewarnaan periodic acid Schiff (PAS) akan
positif pada sel B.
Imunofenotip (flow cytometry): berguna untuk diagnosis dan klasifikasi
LLA.
o Untuk sel prekursor B: CD10 (common ALL antigen), CD 19,
CD79A, CD22, cytoplasmic m-heavy chain, dan TdT
o Untuk sel T: CD1a, CD2, CD3, CD4, CD5, CD7, CD8
o Untuk sel B: kappa atau lambda, CD19, CD20, CD22
Sitogenik: translokasi t(8;14), t(2;8) dan t(8;22) hanya ditemukan pada sel
B.
Skenario 2
1. Hematologi Rutin
Pada fase kronis, kadar Hb umumnya normal atau sedikit menurun,
leukosit antara 20.000-60.000/mm3. Persentasi eosinofil dan atau basofil
meningkat. Trombosit biasanya meningkat antara 500.000-600.000/mm3.
Walaupun sangat jarang, pada beberapa kasus dapat ditemukan normal atau
trombositopenia.
Hasil Pemeriksaan Laboratorium Hematologi
- Anemia ringan-sedang
- Leukosit > 50 000/mm3, bahkan > 500 000/mm3
- Hitung jenis leukosit: 25-50% mielosit
27
< 5% mieloblas,
sisanya promielosit, metamielosit, batang & segmen (netrofil, eosinofil,
basofil)
- Trombosit: stadium awal &
stadium akhir perdarahan
2. Apus Darah Tepi
Eritrosit sebagian besar normokrom normositer, sering ditemukan adanya
polikromasi eritroblas asidofil atau polikromatofil. Tampak seluruh tingkatan
diferensiasi dan maturasi seri granulosit, persentasi sel mielosit dan
metamielosit meningkat, demikian juga persentasi eosinofil dan atau basofil
Hasil Pemeriksaan Darah Tepi
- Eritrosit: Normokrom normositer, normoblas
- Leukosit: Penuh sekali seri granulosit (mieloblas segmen netrofil,
eosinofil, basofil) Gambaran Pasar Malam
- Trombosit: Ditemukan banyak kelompok trombosit
3. Apus Sumsum Tulang
Selularitas meningkata (hiperselular) akibat proliferasi dari sel-sel
leukimia, sehingga rasio mieloid:eritroid meningkat. Megakariosit juga
tampak lebih banyak. Dengan pewarnaa retikulin, tampak bahwa stroma
sumsum tulang mengalami fibrosis.
4. Karyotipik
Dahulu dikerjakan dengan teknik pemitaan (G-banding technique), saat
ini teknik ini sudah mulai ditinggalkan dan peranannya digantikan oleh
metode FISH (Fluorescen Insitu Hybridization) yang lebih akurat.
Beberapa abersi kromosom yang sering ditemukan pada LGK, antara lain:
+8, +9, +19, +21, i(17).
5. Pemeriksaan Laboratorium Lain
Sering ditemukan kondisi hiperurikemia
Hasil Pemeriksaan Laboratorium Lainnya
- Neutrophil alkaline phosphatase
- Asam urat meningkat
28
- 90% penderita CML ditemukan kromosom Philadelphia (Ph` +) atau
BCR-ABL akibat t(9; 22) (q34 ; q11)
- Fase akselerasi atau krisis blas terjadi perubahan sitogenetik (70-80%
penderita) trisomi, isokromosom 17, t19, bertambahnya kromosom Ph
29
KOMPLIKASI
Skenario I
Karena efek mielosupresif dan imunosupresif LLA dan juga kemoterapi,
anak yang menderita leukemia lebih rentan terhadap infeksi. Sifat infeksi ini
bervariasi dengan pengobatan dan fase penyakit. Infeksi yang paling awal adalah
bakteri, yang akan dimanifestasikan oleh sepsis, penumoni, selulittis, dan otitis
media.
Dengan menggunakan kemoteraou yang intensif dan pemajanan
antibiotika atau hidrokortison yang lama, infeksi jamur yang diseminata oleh
Candida atau Aspergilus lebih sering terjadi, meskipun organisme itu sulit
dibiakan dari ahan darah.
Karena adanya trombositopenia yang disebabkan oleh leukemia atau
pengobatannya, manifestasi perdarahan adalah umum tetapi biasanya terbatas
pada kulit dan membran mukosa. Manifestasi perdarahan pada sistem saraf pusat,
paru, atau saluran cerna jarang terjadi, tetapi dapat mengancam jiwa pasien.
Skenario II
Beberapa masalah dalam penanganan LMK :
1. Masalah metabolik
Masalah metabolik terjadi akibat cepatnya sitolisis, yang akan
mengakibatkan terjadinya hiperurikemia, hiperkalemia dan hiperfosfatemia.
Hal tersebut harus di antisipasi, dan di terapi dengan pemberian cairan yang
cukup, alkalinisasi dan pemberian allupurinol.
2. Hiperkulositosis
Peningkatan ekstrim dari leukosit pada LMK dapat menyebabkan
komplikasi leukostatik pada beberapa organ khususnya otak, paru, retina dan
penis. Sejak leukosit kurang seimbang dengan eritrosit akan terjadi
peningkatan viskositas darah akibat peningkatan fraksi leukosit tersebut.
30
Myeloblas merupakan sel yang lebih kaku dibandingkan sengan leukosit lain,
juga meningkatkan viskositas tersebut.
Jika hiperleukositosis mencapai > 200 000/mm3 atau > 50 000/mm3, penderita
harus diterapi secara simultan dengan obat sitotoksik seperti hidroksiurea 50-
75 mg/kgbb/hari dengan infus intravena, transfusi tukar dan transfusi eritrosit.
3. Priapism
Nyeri persisten pada penis mungkin merupakan akibat obstruksi oleh
leukemia, adanya penyumbatan pada korpora kavernosa akibat tertekannya
saraf dan vena oleh pembesaran lien. Aterapi mencakup pemberian analgetik,
pemberian cairan yang cukup, kompres hangat, radioterapi (pada penis atau
lien) dan pemberian kemoterapi dosis tinggi (50-74 mg/kgbb/hari intravena).
4. Leukemia Meningeal
Leukemia meningeal pada LMK fase kronis sering tidak diketahui dan
jarang dijumpai pada stadium blas. Kejadian komplikasi ini akan meningkat
bila penderita bertahan hidup lama pada fase blas. Gejala yang dijumpai berupa
paralysis saraf pusat dan udema papil. Diagnosis dibantu dengan ditemukannya
sel blas pada cairan cerebrospinal. Terapi adalah dengan memberikan
metotreksat, walaupun hasilnya kurang memuaskan.
5. Myelofibrosis
LMK sering terjadi bersama-sama dengan myelofibrosis dan akan
meningkatkan produksi kolagen pada sumsum tulang atau terjadi penurunan
degradasi kolagen.
31
EPIDEMIOLOGI
Skenario I
Insidensi LLA adalah 1/60.000 orang per tahun, dengan 75% pasien
berusia kurang dari 15 tahun. Insidensi puncaknya usia 3-5 tahun. LLA lebih
banyak ditemukan pada pria daripada perempuan. Saudara kandung dari LLA
mempunyai resiko empat kali lebih besar untuk berkembang menjadi LLA,
sedangkan kembar monozigot dari pasien mempunyai risiko 20% untuk
berkembang menjadi LLA.
Insidensi rate untuk seluruh jenis leukemia lebih tinggi pada laki-laki
dibanding perempuan. Berdasarkan laporan dari Suveillance Epidemiology And
End Result (SEER) di Amerika tahun 2009, kejadian leukemia lebih besar pada
laki-laki daripada perempuan dengan perbandingan 57,22%:42,77%.
Skenario II
Kejadian leukimia mielositik kronis mencapai 20% dari semua leukimia pada
dewasa, kedua terbanyak setelah leukimia limfositik kronik. Pada umumnya
menyerang usia 40-50 tahun, walaupun dapat ditemukan pada usia muda dan
biasanya lebih progresif. Di jepang kejadiannya meningkat setelah peristiwa bom
atom di Nagasaki dan Hiroshima, demikian juga di Rusia setelah reaktor atom
Chernobil meledak. LMK jarang dijumpai pada masa anak-anak dan diperkirakan
hanya merupakan 1 – 5 % kasus Leukemia. Diagnosis penyakit ini hampir 80 %
didiagnosis setelah umur 2 tahun. Umur terendah yang terdiagnosis LMK adalah 3
bulan.
32
PENATALAKSANAAN
Skenario I
PENCEGAHAN
a. Pencegahan Primer
- Pencegahan terhadap pemaparan lingkungan kimia
Pencegahan ini dilakukan pada pekerja yang sering terpapar dengan benzene
dan zat aditif serta senyawa lainnya. Dapat dilakukan dengan memberikan
pengetahuan atau informasi mengenai bahan-bahan karsinogen agar pekerja
dapat bekerja dengan hati-hati. Hindari paparab langsung terhadap zat-zat
kimia tersebut.
- Pengendalian terhadap pemaparan sinar radioaktif
Pencegahan ini ditujukan kepada petugas radiologi dan pasien yang
penatalaksaann medisnya menggunakan radiasi. Untuk petugas radiologi dapat
dilakukan dengan menggunakan baju khusus anti radiasi, mengurangi paparan
terhadap radiasi, dan pergantian atau rotasi kerja. Untuk pasien dapat dilakukan
dengan memberikan palayanan diagnostik radiologi serendah mungkin sesuai
kebutuhan klinis.
- Pemeriksaan kesehatan pranikah
Pencegahan ini lebih ditunjuan pada pasangan yang akan menikah.
Pemeriksaan ini memastikan status kesehatan masing-masing calon mempelai.
Apabila masing-masing pasangan atau salah atu dari pasangan tersebut
mempunyai riwayat keluarga yang mederita sindrom Down atau kelainan gen
lainnya, dianjurkan untuk konsultasi dengan ahli hamtologi. Jadi pasangan
tersebut dapat memutuskan untuk tetap menikah atau tidak.
33
b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder bertujuan untuk menghentikan perkembangan penyakit atau
cedera menuju suatu perkembangan ke arah kerusakan atau ketidakmampuan.
Dapat dilakukan dengan cara medeteksi penyakit secara dini dan pengobatan yang
cepat dan tepat.
c. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier ditujukan untuk membatasi atau mengahalangi perkembangan
kemampuan,kondisi, atau gangguan sehingga tidak berkembang ketahap lanjut
yang membutuhkan perawatan intensif. Untuk penderita leukemia dilakukan
perawatan atau penanganan oleh tenaga medis yang akhli di rumah sakit.
Non farmakologi dan Farmakologi
a. Farmakologi
Terapi yang dilakukan adalah dengan kemoterapi dimana terdapat penggunana
bermacam-macam gabungan obat antarnya dari golongan sitostatik dan
kortikosteroid. Pemberian oba-obatan ini umumnya mempunyai protokol yang
telah ditetapkan oleh ahli-ahli hemtologi, onkologi, dan pediatrik. Berikut adalah
pembagian terapi.
1. Terapi induksi remisi
Tujuannya adalah mencapai remisi komplit dan mengembalikan hemopoiesis
normal. Regimennya bisa 4 jenis obat atau 5 jenis obat. Untuk 4 jenis obat
adalah vinvristine, prednisone, anthracycline dan cyclophosphamide atau L-
asparaginase. Dimana 5 jenis obat adalah vincristine, prednisoe,
anthracycline, cyclophosphamide dan L-asparaginase
2. Terapi intensifikasi atau konsolidasi
Tujuan terapi adalah untuk mengeliminasi sel leukemia residual. Regimenya
adalah daunorubicin dan cytosine arabinoside (Ara-C).
3. Pemeliharaan jangka panjang
34
Dilakukan untuk mencegah relaps. Regimennya adalah 6-mercaptopurin dan
methotrxate. Namun terdapat juga beberapa protokol tidak memerlukan terapi
pemeliharaan jangka panjang.
4. Terapi untuk B-ALL
Kebanyakan LLA sel B tidak dapat diterapi oleh regimen LLA konvensional
karena kecepatan proliferasi sel-sel leukemianya tinggi. Maka diberikan
terapi hiperfractional dari cyclophosphamid dosis tinggi dan methrotrexate
dosis tinggi atau ifosfamide dan methotrexate dosis tinggi.
Selain itu, pilihan terapi untuk leukemia adalah : kemoterapi, terapi biologi, terapi
radiasi, atau transplantasi sel stem. Jika terdapat pembesaran limpa, mungkin
dibutuhkan pembedahan untuk mengatasi limpa yang membesar tesebut. Tujuan
utama terapi leukemia adalah untuk mencapai remisi sempurna.
1. Kemoterapi
Kebanyakan pasien leukemia akan diberikan kemoterapi. Tujuannya adalah
untuk memusnahkan sel leukemia. Regimen kemoterapi yang digunakan
tergantung dari jenis leukemianya.
2. Terapi biologi
Tujuan terapi ini adalah untuk meningkatkan ketahanan tubuh terhadap kanker.
Terapi biologi diberikan melalui injeksi. Untuk beberapa pasien dengan
leukemia limfositik kronik, jenis terapi biologi yang digunakan adalah antibodi
monoklonal yang akan berikatan dengan sel leukemia sehingga memungkinkan
sel kekebalan tubuh membunuh sel leukemia tersebut. Untuk beberapa pasien
dengan leukemia mieloid kronik, terapi biologi yang dapt digunakan adalah
interferon.
3. Terapi radiasi
Terapi radiasi/radioterapi menggunakan sinar x dosis tinggi untuk membunuh
sel leukemia. Umumnya mesin radioterapi diarahkan ke limpa, otak, atau
bagian tubuh lainnya di mana sel leukemia berkumpul. Pada beberapa pasien
mungkin dilakukan radiasi seluruh tubuh.
35
4. Transplantasi sel stem
Transplantasi sel stem memungkinkan untuk dilakukan terapi dengan dosis
obat, radiasi, atau keduanya yang tinggi. Terdapat beberapa macam
transplantasi sel stem, yaitu transplantasi sumsum tulang, transplantasi sel stem
perifer, dan transplantasi darah umbilikal.
Skenario 2
Tujuan terapi pada LGK adalah mencapai remisi lengkap, baik remisi
hematologi, remisi sitogenik, maupun remisi biomolekuler. Untuk mencapai
remisi hematologis digunakan obat-obat yang bersifat mielosupresif. Setelah itu
dilanjutkan terapi interferon dan atau sumsum tulang. Indikasi cangkok sumsum
tulang: 1) usia tidak lebih dari 60 tahun, 2) ada donor yang cocok, 3) termasuk
golongan risiko rendah menurut perhitungan sokal.
Hydroxyurea (Hydrea)
- Terapi pilihan untuk induksi remisi hematologik pada LGK
- Lebih efektif dibandingkan busulfan, melfalan (Alkeran) dan klorambusil
- Efek mielosupresif masih berlangsung beberapa hari sampai 1 minggu setelah
pengobatan dihentikan. Tidak seperti busulfan yang dapat menyebabkan
anemi aplastik dan fibrosis paru.
- Dosis 30mg/kgBB/hari diberikan sebagai dosis tunggal maupun dibagi 2-3
dosis. Apabila leukosit >300.000/mm3 , dosis boleh ditinggikan maksimal 2,5
gram/hari
Busulfan (Myleran)
- Termasuk golongan alkil yang sangat kuat
- Dosis 4-8 mg/hari per oral, dapat dinaikkan sampai 12mg/hari. Harus
dihentikan bila leukosit antara 10-20.000/mm3 dan baru dimulai kembali
setelah leukosit >50.000/mm3
- Interaksi obat: asetaminofen, siklofosfamid dan itrakonazol akan
meningkatkan efek busulfan, sedangkan fenitoin akan menurunkan efeknya
Imatinib mesylate (Gleevec=Glyvec)
- Tergolong antibodi monoklonal yang dirancang khusus untuk menghambat
aktivitas tirosin kinase dari gusi gen BCR-ABL
36
- Diabsorbsi secara baik oleh mukosa lambung pada pemberian per oral
- Untuk fase kronik, dosis 400mg/hari setelah makan. Dosis dapat
ditingkatkan sampai 600mg/hari bila tidak mencapai respon hematologik
setelah 3 bulan pemberian, atau pernah mencapai respon yang baik tetapi
terjadi perburukan secara hematologic, yakni Hb menjadi rendah dan atau
leukosit meningkat dengan tanpa perubahan jumlah trombosit
Cangkok sumsum tulang
- Merupakan terapi definitif untuk LGK. Data menunjukkan bahwa cangkok
sumsum tulang dapat memperpanjang masa remisi sampai >9 tahun,
terutama pada CST alogenik
- Tidak dilakukan pada LGK dengan kromosom Ph negatif atau BCR-ABL
negatif
37
PROGNOSIS
Skenario 1
Prognosis LLA untuk pasien dewasa biasanya lebih buruk dari yang berusia lebih
muda. Untuk yang berusia 15-20 tahun prognosisnya baik dan bisa sembuh
dengan kemoterapi jika disertai faktor prognostik yang baik. Tapi pada pasien
LLA dewasa sebenarnya juga tergantung dari intensifnya terapi yang diberikan,
seperti transplantasi sumsum tulang. Untuk usia > 60 tahun prognosisnya agak
buruk, karena survival ratenya biasanya hanya 10% setelah remisi komplit.
Tabel 2. Faktor yang Mempengaruhi Prognosis Penyakit LLAKarakteristik pasien Faktor prognosis
Usia (tahun)
< 30
>= 30
Baik
buruk
Jumlah leukosit (x106 /ml)
< 30.000
>= 30.000
Baik
Buruk
Imunophenotype
T-cell ALL
Mature B-cell ALL, early T-cell ALL
Baik
Buruk
Sitogenetika
Kelainan 12p; t(10;14)(q24;q11)
Normal; hiperdiploid
t(9;22), t(4;11), hipodipoid
Baik
Sedang
buruk
Respon terapi
Remisi komplit dalam 4 minggu
Minimal residual disease persisten
Baik
Buruk
38
Kematian masih tinggi
Terapi yang baik 65-70%
Prognosa buruk jika:
- Pasien laki-laki
- Leukosit >20.000/mm
- Umur < 2 tahun atau > 10 tahun
- IQ kurang – Down syndrome
- T-cell leukemia
- Mediastinal mass atau infiltrasi ke CNS
Maka untuk prognosisnya ialah :
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad fungtional : dubia ad bonam
Skenario II
Harapan hidup rata-rata penderita LMK adalah 3-4 tahun dari saat diagnosis ditegakkan.
Hanya 30% dari penderita tersebut bertahan hidup sampai 5 tahun. Kematian biasanya
terjadi beberapa bulan setelah mengalami fase akselerasi dari fase kronik. Bila telah
sampai pada fase blas maka kematian akan terjadi setelah 1-5 bulan akibat kegagalan
sumsum tulang.
Beberapa petanda prognosis buruk adalah :
1. Splenomegali (>5 cm di bawah arkus, kosta)
2. Trombositopenia (<150/mm3)>500.000/mm3)
4. Leukositosis berat (>100.000/mm3)
5. Proporsi sel blas meningkat (>1%) atau terdapat granulosit imatur (>20%).
Maka untuk prognosisnya ialah :
Quo ad vitam : dubia ad malam
Quo ad fungtional : dubia ad malam
39
ASPEK BIOETIK HUMANIORA
Skenario I
Beneficience : Golden Rule Principle
Dokter mampu mendiagnosis pasien leukemia limfosit akut melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik umum dan pemeriksaan penunjang. lalu memberikan
penatalaksanaan awal
Nonmaleficence
Dokter harus mempu menangani kasus ini dengan penatalaksanan yang sesuai dan
tepat agar dapat menekan timbulnya komplikasi.
Autonomy (Informed consent)
Dokter memberikan penjelasan mengenai keadaan pasien serta memberikan
informed consent terhadap tindakan yang akan dilakukan. Dan memberikan
infoermasi mengenai rujukan.
Justice
Seorang dokter tidak boleh membedakan pasien berdasarkan SARA, status
sosial,dll; dokter juga harus memberikan pengobatan secara proporsional kepada
pasien.
40
Skenario II
Beneficience : Golden Rule Principle
Dokter mampu mendiagnosis pasien leukemia mieloblastik kronik melalui
anamnesis, pemeriksaan fisik umum dan pemeriksaan penunjang..
Nonmaleficence
Dokter harus mempu menangani kasus ini dengan penatalaksanan yang sesuai dan
tepat agar dapat menekan tibulnya komplikasi yang lebih membahayakan nyawa
pasien dan segera memberi tindakan karena pada pasein sudah ditemukan
leukositosis yang progresif.
Autonomy (Informed consent)
Dokter memberikan penjelasan mengenai keadaan pasien serta memberikan
informed consent terhadap tindakan yang akan dilakukan. Kemuadian meberi
rekomendasi rujukan kepada dokter spesialis.
Justice
Seorang dokter tidak boleh membedakan pasien berdasarkan SARA, status
sosial,dll; dokter juga harus memberikan pengobatan secara proporsional kepada
pasien.
41
DAFTAR PUSTAKA
Skenario I
1. Seiter, Karen. Acute Lymphoblastic Leukemia. Medscape.
http://emedicine.medscape.com/article/207631-overview#a7
2. Fianza, Panji Irani. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II Edisi VI.
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran. Jakarta. Halaman 2683-91.
3. Hall J.E Guyton and Hall Textbook of Medical Physiology. Singapore
2014. Halaman 439-59.
Skenario II
4. Emmanuel C Besa, MD. Chronic myelogenous leukemia. Medscape. http://emedicine.medscape.com/article/199425-overview
5. Fianza, Panji Irani. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II Edisi VI. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran. Jakarta. Halaman 2683-91.
6. Hall J.E Guyton and Hall Textbook of Medical Physiology. Singapore 2014. Halaman 439-59.
42