Post on 14-Jul-2016
description
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah,
Taufik dan Hinayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan laporan ini dalam
bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga laporan ini dapat dipergunakan
sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam mengidentifikasi
tumbuhan yang ada di Laut.
Harapan kami semoga laporan ini membantu menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi
laporan ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Laporan ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami
miliki sangat kurang. Oleh kerena itu kami berharap kepada para pembaca untuk memberikan
masukan - masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan laporan ini.
Semarang, 17 Juni 2015
Penulis
Page 1 of 92
I. BIOLOGI MANGROVE, LAMUN, DAN RUMPUT LAUT1.1. Biologi Mangrove
Kata “mangrove” berkaitan sebagai tumbuhan tropis yang komunitas tumbuhnya
didaerah pasang surut dan sepanjang garis pantai (seperti : tepi pantai, muara laguna
(danau dipinggir laut dan tepi sungai) yang dipengaruhi oleh kondisi pasang surut air
laut. Menurut FAO (1952) definisi mangrove adalah pohon dan semak – semak yang
tumbuh dibawah ketinggian air pasang tertinggi (Bengen ,2001).
Mangrove merupakan karakteristik dari bentuk tanaman pantai, estuari atau muara
sungai, dan delta di tempat yang terlindung daerah tropis dan sub tropis. Mangrove
merupakan ekosistem yang terdapat di antara daratan dan lautan dan pada kondisi
yang sesuai mangrove akan membentuk hutan yang ekstensif dan produktif.
Mangrove sering juga dinamakan hutan pantai, hutan pasang surut, hutan payau, atau
hutan bakau karena hidupnya didekat pantai. Istilah bakau itu sendiri dalam bahasa
Indonesia merupakan nama dari salah satu spesies penyusun hutan mangrove, yaitu
Rhizophora sp. Sehingga dalam percaturan bidang keilmuan untuk tidak membuat
bias antara bakau dan mangrove maka hutan mangrove sudah ditetapkan merupakan
istilah baku untuk menyebutkan hutan yang memiliki karakteristik hidup di daerah
pantai. Berkaitan dengan penggunaan istilah mangrove adalah individu jenis
tumbuhan maupun komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah pasang surut. Istilah
mangrove merupakan perpaduan dari dua kata yaitu mangue dan grove. Di Eropa, ahli
ekologi menggunakan istilah mangrove untuk menerangkan individu jenis dan mangal
untuk komunitasnya (Bengen ,2001).
Mangrove menjadi tiga, yaitu mangrove mayor, mangrove minor dan kelompok
asosiasi mangrove. Mangrove mayor terlihat karakteristik morfologinya: sistem
perakaran udara, mekanisme fisiologis khusus untuk mengeluarkan garam agar dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungan mangrove. Komponen mangrove mayor
berdasarkan pemisahan taksonomi dari hubungan daratan dan hanya terjadi di hutan
mangrove. Membentuk tegakan murni namun tidak meluas ke dalam komunitas
daratan,contohnya Rhizopora sp., Avicennia sp.,Soneratia sp.,Ceriops sp.,Bruguiera
sp., dll (Budiman ,1984).
Page 3 of 92
Mangrove minor adalah tumbuhan mangrove yang tidak termasuk elemen mencolok
dari tumbuh-tumbuhan yang mungkin terdapat disekitar habitatnya dan jarang
berbentuk tegakan murni, misalnya Acrostichum, Pemphis acidula, Xylocarpus,
Heritieralittoralis. Kelompok asosiasi mangrove jarang ditemukan spesies yang
tumbuh didalam komunitas mangrove yang sebenarnya dan kebanyakan sering
ditemukan dalam komunitas mangrove yang sebenarnya dan kebanyakan sering
ditemukan dalam tumbuh-tumbuhan darat, contohnya Asclepiasspeciosa, Thespesia
populnea, Terminaliacattapa, Terminalia, Ficus, Apocinaceae, Casuarina, Hibiscus
(Budiman ,1977).
Karakteristik yang menarik dari species mangrove dapat dilihat dari sistem
perakarannya dan buah. Tanah pada habitat mangrove adalah anaerobik (hampa
udara)bila berada di bawah air. Beberapa species memiliki sistem perakaran khusus
yang disebut akar udara yang cocok untuk kondisi tanah yang anaerobik. Ada
beberapa tipe perakaran, yaitu: akar tunjang, akar napas,akar lutut, dll. Semua species
mangrove memproduksi buah yang biasanya disebarkan melalui air. Ada beberapa
macam bentukbuah, seperti berbentuk silinder, bulat dan berbentuk kacang. Macam-
macam bentuk benih mangrove, yaitu :
1. Benih Vivipari, Umumnya terdapat pada family Rhizophoraceae, buahnya berbentuk
silinder.
2. Benih Cryplovivipari, Umumnya terdapatpada family Avicennia (Seperti
buahkacang), Aegeceras (Sikunder) dan Nypafruticans, yang buahnya berbentuk
Cryplovivipoarious di mana bibitnya berkecambah tetapi diliputi oleh selaput buah
sebelum dilepaskan atau ditinggal kandari pohon induknya.
3. Benih Normal, Ditemukan pada species Sonneratia dan Xylocarpus. Buahnya
berbentuk bulat seperti bola dengan benih normal. Species lain kebanyakan buahnya
berbentuk kapsul. Sebagai benih normal,buah tersebut mengalami proses dimana
mereka memecahkan diri dan menyebarkan benihnya pada saat mencapai air.
(Kartawinata ,1979)
1.2. Biologi LamunLamun memiliki bunga, berpolinasi, menghasilkan buah dan menyebarkan bibit
seperti banyak tumbuhan darat. Dan klasifikasi lamun adalah berdasarkan karakter
Page 4 of 92
tumbuh-tumbuhan. Selain itu, genera di daerah tropis memiliki morfologi yang
berbeda sehingga pembedaan spesies dapat dilakukan dengan dasar gambaran
morfologi dan anatomi (Azkab ,1988).
Lamun merupakan tumbuhan yang beradaptasi penuh untuk dapat hidup di
lingkungan laut. Eksistensi lamun di laut merupakan hasil dari beberapa adaptasi yang
dilakukan termasuk toleransi terhadap salinitas yang tinggi, kemampuan untuk
menancapkan akar di substrat sebagai jangkar, dan juga kemampuan untuk tumbuh
dan melakukan reproduksi pada saat terbenam. Lamun juga memiliki karakteristik
tidak memiliki stomata, mempertahankan kutikel yang tipis, perkembangan
shrizogenous pada sistem lakunar dan keberadaan diafragma pada sistem lakunar.
Salah satu hal yang paling penting dalam adaptasi reproduksi lamun
adalah hidrophilus yaitu kemampuannya untuk melakukan polinasi di bawah air
(Azkab ,1988).
Bentuk vegetatif lamun memperlihatkan karakter tingkat keseragaman yang tinggi.
Hampir semua genera memiliki rhizoma yang sudah berkembang dengan baik dan
bentuk daun yang memanjang (linear) atau berbentuk sangat panjang seperti ikat
pinggang (belt), kecuali jenis Halophila memiliki bentuk lonjong (Azkab ,1999).
Berbagai bentuk pertumbuhan tersebut mempunyai kaitan dengan perbedaan ekologik
lamun. Misalnya Parvozosterid dan Halophilid dapat dijumpai pada hampir semua
habitat, mulai dari pasir yang kasar sampai limpur yang lunak, mulai dari daerah
dangkal sampai dalam, mulai dari laut terbuka sampai estuari. Magnosterid dapat
dijumpai pada berbagai substrat, tetapi terbatas pada daerah sublitoral sampai batas
rata-rata daerah surut. Secara umum lamun memiliki bentuk luar yang sama, dan yang
membedakan antar spesies adalah keanekaragaman bentuk organ sistem vegetatif.
Menjadi tumbuhan yang memiliki pembuluh, lamun juga memiliki struktur dan fungsi
yang sama dengan tumbuhan darat yaitu rumput. Berbeda dengan rumput laut (marine
alga/seaweeds), lamun memiliki akar sejati, daun, pembuluh internal yang merupakan
sistem yang menyalurkan nutrien, air, dan gas (Raharjo ,1996).
Page 5 of 92
Gambar Morfologi Lamun
Akar
Terdapat perbedaan morfologi dan anatomi akar yang jelas antara jenis lamun yang
dapat digunakan untuk taksonomi. Akar pada beberapa spesies seperti Halophila dan
Halodule memiliki karakteristik tipis (fragile), seperti rambut, diameter kecil,
sedangkan spesies Thalassodendron memiliki akar yang kuat dan berkayu dengan sel
epidermal. Jika dibandingkan dengan tumbuhan darat, akar dan akar rambut lamun
tidak berkembang dengan baik. Namun, beberapa penelitian memperlihatkan bahwa
akar dan rhizoma lamun memiliki fungsi yang sama dengan tumbuhan darat
(Raharjo ,1996).
Akar-akar halus yang tumbuh di bawah permukaan rhizoma, dan memiliki adaptasi
khusus (contoh : aerenchyma, sel epidermal) terhadap lingkungan perairan. Semua
akar memiliki pusat stele yang dikelilingi oleh endodermis. Stele mengandung
phloem (jaringan transport nutrien) dan xylem (jaringan yang menyalurkan air) yang
sangat tipis. Karena akar lamun tidak berkembang baik untuk menyalurkan air maka
dapat dikatakan bahwa lamun tidak berperan penting dalam penyaluran air
(Raharjo ,1966).
Lamun mampu untuk menyerap nutrien dari dalam substrat (interstitial) melalui
sistem akar-rhizoma. Selanjutnya, fiksasi nitrogen yang dilakukan oleh bakteri
heterotropik di dalam rhizosper Halophila ovalis, Enhalus acoroides, Syringodium
isoetifolium dan Thalassia hemprichii cukup tinggi lebih dari 40 mg N.m-2.day-1.
Koloni bakteri yang ditemukan di lamun memiliki peran yang penting dalam
Page 6 of 92
penyerapan nitrogen dan penyaluran nutrien oleh akar. Fiksasi nitrogen merupakan
proses yang penting karena nitrogen merupakan unsur dasar yang penting dalam
metabolisme untuk menyusun struktur komponen sel (Raharjo ,1966).
Lamun sering ditemukan di perairan dangkal daerah pasang surut yang memiliki
substrat lumpur berpasir dan kaya akan bahan organik. Pada daerah yang terlindung
dengan sirkulasi air rendah (arus dan gelombang) dan merupakan kondisi yang kurang
menguntungkan (temperatur tinggi, anoxia, terbuka terhadap udara, dll) seringkali
mendukung perkembangan lamun. Kondisi anoksik di sedimen merupakan hal yang
menyebabkan penumpukan posfor yang siap untuk diserap oleh akar lamun dan
selanjutnya disalurkan ke bagian tumbuhan yang membutuhkan untuk pertumbuhan
(Raharjo ,1966).
Diantara banyak fungsi, akar lamun merupakan tempat menyimpan oksigen untuk
proses fotosintesis yang dialirkan dari lapisan epidermal daun melalui difusi
sepanjang sistem lakunal (udara) yang berliku-liku. Sebagian besar oksigen yang
disimpan di akar dan rhizoma digunakan untuk metabolisme dasar sel kortikal dan
epidermis seperti yang dilakukan oleh mikroflora di rhizospher. Beberapa lamun
diketahui mengeluarkan oksigen melalui akarnya (Halophila ovalis) sedangkan
spesies lain (Thallassia testudinum) terlihat menjadi lebih baik pada kondisi anoksik.
Menekankan bahwa transport oksigen ke akar mengalami penurunan tergantung
kebutuhan metabolisme sel epidermal akar dan mikroflora yang berasosiasi. Melalui
sistem akar dan rhizoma, lamun dapat memodifikasi sedimen di sekitarnya melalui
transpor oksigen dan kandungan kimia lain. Kondisi ini juga dapat menjelaskan jika
lamun dapat memodifikasi sistem lakunal berdasarkan tingkat anoksia di sedimen.
Dengan demikian pengeluaran oksigen ke sedimen merupakan fungsi dari
detoksifikasi yang sama dengan yang dilakukan oleh tumbuhan darat. Kemampuan ini
merupakan adaptasi untuk kondisi anoksik yang sering ditemukan pada substrat yang
memiliki sedimen liat atau lumpur. Karena akar lamun merupakan tempat untuk
melakukan metabolisme aktif (respirasi) maka konnsentrasi CO2 di jaringan akar
relatif tinggi (Raharjo ,1966).
Rhizoma dan Batang
Semua lamun memiliki lebih atau kurang rhizoma yang utamanya adalah herbaceous,
walaupun pada Thallasodendron ciliatum (percabangan simpodial) yang memiliki
Page 7 of 92
rhizoma berkayu yang memungkinkan spesies ini hidup pada habitat karang yang
bervariasi dimana spesies lain tidak bisa hidup. Kemampuannya untuk tumbuh pada
substrat yang keras menjadikan T. Ciliatum memiliki energi yang kuat dan dapat
hidup berkoloni disepanjang hamparan terumbu karang di pantai selatan Bali, yang
merupakan perairan yang terbuka terhadap laut Indian yang memiliki gelombang yang
kuat (Raharjo ,1966).
Struktur rhizoma dan batang lamun memiliki variasi yang sangat tinggi tergantung
dari susunan saluran di dalam stele. Rhizoma, bersama sama dengan akar,
menancapkan tumbuhan ke dalam substrat. Rhizoma seringkali terbenam di dalam
substrat yang dapat meluas secara ekstensif dan memiliki peran yang utama pada
reproduksi secara vegetatif. Dan reproduksi yang dilakukan secara vegetatif
merupakan hal yang lebih penting daripada reproduksi dengan pembibitan karena
lebih menguntungkan untuk penyebaran lamun. Rhizoma merupakan 60-80% biomas
lamun (Raharjo ,1966).
Daun
Seperti semua tumbuhan monokotil, daun lamun diproduksi dari meristem basal yang
terletak pada potongan rhizoma dan percabangannya. Meskipun memiliki bentuk
umum yang hampir sama, spesies lamun memiliki morfologi khusus dan bentuk
anatomi yang memiliki nilai taksonomi yang sangat tinggi. Beberapa bentuk
morfologi sangat mudah terlihat yaitu bentuk daun, bentuk puncak daun, keberadaan
atau ketiadaan ligula. Contohnya adalah puncak daun Cymodocea serrulata berbentuk
lingkaran dan berserat, sedangkan C. Rotundata datar dan halus.Daun lamun terdiri
dari dua bagian yang berbeda yaitu pelepah dan daun. Pelepah daun menutupi
rhizoma yang baru tumbuh dan melindungi daun muda. Tetapi genus Halophila yang
memiliki bentuk daun petiolate tidak memiliki pelepah.Anatomi yang khas dari daun
lamun adalah ketiadaan stomata dan keberadaan kutikel yang tipis. Kutikel daun yang
tipis tidak dapat menahan pergerakan ion dan difusi karbon sehingga daun dapat
menyerap nutrien langsung dari air laut. Air laut merupakan sumber bikarbonat bagi
tumbuh-tumbuhan untuk penggunaan karbon inorganik dalam proses fotosintesis
(Raharjo ,1966).
I.1.Biologi Rumput Laut
Page 8 of 92
Struktur Tubuh Rumput Laut secara taksonomi rumput laut tergolong dalam tanaman
tingkat rendah yang masuk dalam divisi Thallophyta Berdasarkan kandungan
pigmennya , thallophyta dikelompokkan menjadi empat kelas . Dari segi morfologi ,
antara akar , batang dan daun tidak bisa dibedakan (Aslan, 1998).
Bentuknya hanya menyerupai batang yang disebut thallus . Thalli ini ada yang
tersusun uniseluler ( satu sel ) berbentuk benang atau pita atau ada yang multiseluler
( banyak sel ) bersel banyak berbentuk lembaran.Dalam perairan rumput laut
merupakan penyusun fitoplankton yang biasanya melayang – layang didalam air,
tetapi juga dapat hidup melekat didasar perairan disebut neustonik thallus (Aslan,
1998).
Percabangan thallus ada yang dichotomous (bercabang dua terus menerus), pectinate
(berderet searah pada satu sisi thallus utama), pinnate (bercabang dua-dua pada
sepanjang thallus utama secara berselang-seling), ferticillate (cabangnya berpusat
melingkari aksis atau sumbu utama) dan ada juga yang sederhana, tidak
bercabang.Sifat substansi thalli juga beraneka ragam, ada yang lunak seperti gelatin
(gellatinous), keras diliputi atau mengandung zat kapur (calcareous), lunak seperti
tulang rawan (cartilagenous), berserabut (spongious) dan lain sebagainya (Aslan,
1998).
Rumput laut termasuk kelompok tumbuhan alga yang berukuran besar, dalam artian
dapat terlihat dengan mata biasa tanpa alat pembesar dan bersifat bentik atau tumbuh
menancap atau menempel pada suatu substrat di perairan laut. Alga yang disebut
rumput laut ini umumnya terdiri dari :
1) Kelompok alga merah (Rhodophyceae)
2) Kelompok alga coklat (Phaeophyceae)
3) Kelompok alga hijau (Chlorophyceae).
Ketiga kelompok ini yang tumbuh di laut diperkirakan ada sekitar 9000 jenis yang
masing-masing adalah sekitar 6000 jenis Rhodophyceae, 2000 jenis Phaeophyceae
dan 1000 jenis Chlorophyceae. Alga lainnya yang berukuran kecil dan hanya terlihat
dengan bantuan alat pembesar seperti mikroskop tidak termasuk ke dalam kelompok
rumput laut tetapi merupakan kelompok tersendiri yang disebut plankton.Kelompok
ini selain kecil ukurannya juga gerakannya sangat dipengaruhi pergerakan air
sehingga keberadaannya sebagian besar bergantung kepada kondisi fisik perairan
selain faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap pertumbuhannya. Rumput laut
yang bersifat bentik digolongkan lagi menjadi;
Page 9 of 92
a. Epilitik ( hidup diatas batu)
b. Epipalik (melekat pada lumpur atau pasir)
c. Epipitik ( melekat pada tanaman )
d. Epizoik ( melekat pada hewan).
Pigmen Alga Hijau Alga Coklat Alga Merah
Chlorophyl a,b a,c a,d
Phycobilins - - Phycocyanin
Phycoerythrin
Carotens α,β,γ β α,β
Xanthophyl Lutein
Violaxanthin
Neoxanthin
Siphonoxanthin
Astaxanthin
Lutein
Violaxanthin
Fuxocanthin
Diatoxanthin
Lutein
Violaxanthin
Zeaxanthin
Rumput laut memiliki pigmen hijau daun yang disebut klorofil sehingga dapat
melakukan fotosintesis. Selain itu juga memiliki pigmen – pigmen tambahan lain
yang dominan. Dalam thallus rumput laut juga terdapat pigmen yang digunakan untuk
membedakan kelas dari masing-masing rumput laut. Pigmen yang menentukan warna
pada rumput laut adalah klorofil (hijau) karoten (keemasan), phycoerythrin (merah)
dan phycocyanin(biru), fikosantin ( perang/ coklat ) dan xantofil (warna kuning) yang
merupakan pigmen utama disamping pigmen-pigmen yang lainnya (Aslan, 1998).
Rumput laut yang banyak dimanfaatkan adalah dari jenis ganggang merah
(Rhodophyceae) karena mengandung agar - agar, keraginan, porpiran, furcelaran
Page 10 of 92
maupun pigmen fikobilin (terdiri dari fikoeretrin dan fikosianin) yang merupakan
cadangan makanan yang mengandung banyak karbohidrat. Tetapi ada juga yang
memanfaatkan jenis ganggang coklat (Phaeophyceae). Ganggang coklat ini banyak
mengandung pigmen klorofil a dan c, beta karoten, violasantin dan fukosantin,
pirenoid, dan lembaran fotosintesa (filakoid). Selain itu ganggang coklat juga
mengandung cadangan makanan berupa laminarin, selulose, dan algin. Selain bahan -
bahan tadi, ganggang merah dan coklat banyak mengandung jodium (Aslan, 1998).
Page 11 of 92
II. KLASIFIKASI MANGROVE, LAMUN, DAN RUMPUT LAUT
II.1. Klasifikasi Mangrove
1. Rhizophora mucronata Lamk. 1804
Kingdom : Plantae
Divisi : Tracheophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Rhizophorales
Famili : Rhizophoraceae
Genus : Rhizophora
Spesies : Rhizophora mucronata
2. Ipomoea pes-caprae (L.) R.Br.
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Solanales
Famili : Convolvulaceae
Genus : Ipomoea
Spesies : Ipomoea pes-caprae (L.) R.Br.
3. Sesuvium portulacastrum (L.) L.
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Page 12 of 92
Super Divisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Sub Kelas : Hamamelidae
Ordo : Caryophyllales
Famili : Aizoaceae
Genus : Sesuvium
Spesies : Sesuvium portulacastrum (L.) L.
4. Aegiceras corniculatum (L.) Blanco
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Super Divisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Sub Kelas : Dilleniidae
Ordo : Primulales
Famili : Myrsinaceae
Genus : Aegiceras
Spesies : Aegiceras corniculatum (L.) Blanco
5. Casuarina sp.
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Super Divisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Page 13 of 92
Sub Kelas : Hamamelidae
Ordo : Casuarinales
Famili : Casuarinaceae
Genus : Casuarina sp.
Spesies : Casuarina sp.
6. Sonneratia sp.
Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas : Rosidae
Ordo : Myrtales
Famili : Sonneratiaceae
Genus : Sonneratia
Spesies : Sonneratia sp.
7. Bruguiera cylindrical L.) Bl.
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Super Divisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Sub Kelas : Rosidae
Ordo : Myrtales
Famili : Rhizophoraceae
Page 14 of 92
Genus : Bruguiera
Spesies : Bruguiera cylindrica (L.) Bl.
8. Calotropis gigantea Willd
Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas : Asteridae
Ordo : Gentianales
Famili : Asclepiadaceae
Genus : Calotropis
Spesies : Calotropis gigantea Willd
9. Scaevola taccada (Naupaka)
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Bangsa : Campanulales
Suku : Goodeniaceae
Marga : Scaevola
Jenis : Scaevola taccada (Naupaka)
10. Excoecaria agallocha (L.)
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Page 15 of 92
Super Divisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Sub Kelas : Rosidae
Ordo : Euphorbiales
Famili : Euphorbiaceae
Genus : Excoecaria
Spesies : Excoecaria agallocha L.
11. Terminalia catappa (L.)
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Super Divisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Sub Kelas : Rosidae
Ordo : Myrtales
Famili : Combretaceae
Genus : Terminalia
Spesies : Terminalia catappa L.
12. Lumnitzera racemosa Willd
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Super Divisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Page 16 of 92
Sub Kelas : Rosidae
Ordo : Myrtales
Famili : Combretaceae
Genus : Lumnitzera
Spesies : Lumnitzera racemosa Willd.
13. Vitex ovata (Thumb)
Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas : Asteridae
Ordo : Lamiales
Famili : Verbenaceae
Genus : Vitex
Spesies : Vitex ovata Thunb.
II.2. Klasifikasi Lamun
II.2.1. Enhalus acoroides
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Ordo : Hydrocharitales
Famili : Hydrocharitaceae
Genus : Enhalus
Spesies : Enhalus acoroides
(Kikuchi ,1977)
Page 17 of 92
II.2.2. Thalassia hemprichii
Kingdom : Plantae
Divisi : Angiospermae
Kelas : Liliopsida
Ordo : Hydrocharitales
Famili : Hydrocharitaceae
Genus : Thalassia
Species : Thalassia hemprichii
(Kikuchi ,1977)
II.2.3. Thalassodendron ciliatum
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Liliopsida
Ordo : Alismatales
Famili : Cymodoceaceae
Genus : Thalassodendron
Spesies : Thalassodendron ciliatum
(Kikuchi ,1977)
II.2.4. Cymodocea rotundata
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Liliopsida
Ordo : Alismatales
Family : Cymodoceaceae
Genus : Cymodocea
Spesies : Cymodocea rotundata
(Kikuchi ,1977)
II.2.5. Cymodocea serulata
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Liliopsida
Page 18 of 92
Ordo : Alismatales
Famili : Potamogetonaceae
Genus : Cymodocea
Spesies : Cymodocea serrulata
(Kikuchi ,1977)
II.2.6. Syringodium isoetifolium
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Liliopsida
Ordo : Alismatales
Famili : Cymodoceaceae
Genus : Syringodium
Spesies : Syringodium isoetifolium
(Kikuchi ,1977)
II.3. Klasifikasi Rumput Laut
II.3.1. Halimeda micronesica Yamada 1941
Kingdom : Plantae
Division : Chlorophyta
Class : Ulvophyceae
Order : Bryopsidales
Family : Halimedaceae
Genus : Halimeda
Spesies : Halimeda micronesica
II.3.2. Halimeda macroloba Decaisne 1841
Kingdom : Plantae
Division : Chlorophyta
Class : Ulvophyceae
Order : Bryopsidales
Page 19 of 92
Family : Halimedaceae
Genus : Halimeda
Spesies : Halimeda macroloba
II.3.3. Sargassum polycystum C.Agardh 1824
Kingdom : Plantae
Division : Phaeophyta
Class : Phaeophyceae
Subclass : Fucophycidae
Order : Fucales
Family : Sargassaceae
Genus : Sargassum
Spesies : Sargassum polycystum
II.3.4. Gracilaria salicornia (C.Agardh) E.Y.Dawson 1954
Kingdom : Plantae
Division : Rhodophyta
Subdivision : Eurhodophytina
Class : Florideophyceae
Subclass : Rhodymeniophycidae
Order : Gracilariales
Family : Gracilariaceae
Genus : Gracilaria
Spesies : Gracilaria salicornia
2.3.5. Caulerpa racemosa (Forsskål) J.Agardh 1873
Kingdom : Plantae
Division : Chlorophyta
Class : Ulvophyceae
Order : Bryopsidales
Family : Caulerpaceae
Genus : Caulerpa
Spesies : Caulerpa racemosa
2.3.6. Galaxaura rugosa (J.Ellis & Solander) J.V.Lamouroux 1816
Kingdom : Plantae
Division : Rhodophyta
Subdivision : Eurhodophytina
Page 20 of 92
Class : Florideophyceae
Subclass : Nemaliophycidae
Order : Nemaliales
Family : Galaxauraceae
Genus : Galaxaura
Spesies : Galaxaura rugosa
2.3.7. Acanthophora muscoides (Linnaeus) Bory de Saint-Vincent 1828
Kingdom : Plantae
Divisiion : Rhodophyta
Subdivision : Eurhodophytina
Class : Florideophyceae
Subclass : Rhodymeniophycidae
Order : Ceramiales
Family : Rhodomelaceae
Tribe : Chondrieae
Genus : Acanthophora
Spesies : Acanthophora muscoides
2.3.8. Udotea sp. J.V. Lamouroux, 1812
Kingdom : Plantae
Division : Chlorophyta
Class : Bryopsidophyceae
Order : Bryopsidales
Family : Udoteaceae
Genus : Udotea
Spesies : Udotea sp.
2.3.9. Caulerpa sp.
Kingdom : Plantae
Division : Chlorophyta
Class : Bryopsidophyceae
Order : Bryopsidales
Family : Caulerpaceae
Genus : Caulerpa
Spesies : Caulerpa sp.
Page 21 of 92
III. CIRI KHAS MANGROVE, LAMUN, DAN RUMPUT LAUT
III.1. Ciri Khas Mangrove
3.1.1. Rhizopora Mucronata
Nama lokal : Bangka itam, dongoh korap, bakau hitam, bakau korap, bakau
merah, jankar, lenggayong, belukap, lolaro.
Deskripsi umum : Pohon dengan ketinggian mencapai 27 m, jarang melebihi 30
m. Batang memiliki diameter hingga 70 cm dengan kulit kayu berwarna gelap hingga
hitam dan terdapat celah horizontal. Akar tunjang dan akar udara yang tumbuh dari
percabangan bagian bawah.
Daun : Daun berkulit. Gagang daun berwarna hijau, panjang 2,5-5,5
cm. Pinak daun terletak pada pangkal gagang daun berukuran 5,5-8,5 cm. Unit &
Letak: sederhana & berlawanan. Bentuk: elips melebar hingga bulat memanjang.
Ujung: meruncing. Ukuran: 11-23 x 5-13 cm.
Page 22 of 92
Bunga : Gagang kepala bunga seperti cagak, bersifat biseksual,
masing-masing menempel pada gagang individu yang panjangnya 2,5 - 5 cm. Letak :
di ketiak daun. Formasi : Kelompok (4-8 bunga per kelompok). Daun mahkota: 4;
putih, ada rambut. 9 mm. Kelopak bunga: 4; kuning pucat, panjangnya 13-19 mm.
Benang sari: 8; tak bertangkai.
Buah : Buah lonjong/panjang hingga berbentuk telur berukuran 5-7
cm, berwarna hijaukecoklatan, seringkali kasar di bagian pangkal, berbiji tunggal.
Hipokotil silindris, kasar dan berbintil. Leher kotilodon kuning ketika matang.
Ukuran: Hipokotil: panjang 36-70 cm dan diameter 2-3 cm.
Ekologi : Di areal yang sama dengan R.apiculata tetapi lebih toleran
terhadap substrat yang lebih keras dan pasir. Pada umumnya tumbuh dalam
kelompok, dekat atau pada pematang sungai pasang surut dan di muara sungai, jarang
sekali tumbuh pada daerah yang jauh dari air pasang surut. Pertumbuhan optimal
terjadi pada areal yang tergenang dalam, serta pada tanah yang kaya akan humus.
Merupakan salah satu jenis tumbuhan mangrove yang paling penting dan paling
tersebar luas. Perbungaan terjadi sepanjang tahun. Anakan seringkali dimakan oleh
kepiting, sehingga menghambat pertumbuhan mereka. Anakan yang telah dikeringkan
dibawah naungan untuk beberapa hari akan lebih tahan terhadap gangguan kepiting.
Hal tersebut mungkin dikarenakan adanya akumulasi tanin dalam jaringan yang
kemudian melindungi mereka
Penyebaran : Afrika Timur, Madagaskar, Mauritania, Asia tenggara,
seluruh Malaysia dan Indonesia, Melanesia dan Mikronesia. Dibawa dan ditanam di
Hawaii.
Manfaat : Kayu digunakan sebagai bahan bakar dan arang. Tanin dari
kulit kayu digunakan untuk pewarnaan, dan kadang-kadang digunakan sebagai obat
dalam kasus hematuria (perdarahan pada air seni). Kadang-kadang ditanam di
sepanjang tambak untuk melindungi pematang.
Page 23 of 92
Gambar 1. Rhizopora mucronata
3.1.2. Ipomea pes-capre
Nama lokal : Batata pantai, daun katang, tapak kuda, katang-katang, dalere,
watata ruruan, alere, leleri, andali arana, daredei, dolodoi, tilalade, mari-mari, wedor,
tati raui, wedule, bulalingo, loloro, balim-balim, kabai-kabai, ketepeng, daun kacang,
daun barah.
Deskripsi umum : Herba tahunan dengan akar yang tebal. Batang panjangnya 5-
30 m dan menjalar, akar tumbuh pada ruas batang. Batang berbentuk bulat, basah dan
berwarna hijau kecoklatan.
Daun : Tunggal, tebal, licin dan mengkilat. Unit & Letak: sederhana
dan bersilangan. Bentuk: bulat telur seperti tapak kuda. Ujung: membundar membelah
(bertakik). Ukuran: 3-10 x 3-10,5 cm.
Bunga : Berwarna merah muda - ungu dan agak gelap di bagian
pangkal bunga. Bunga membuka penuh sebelum tengah hari, lalu menguncup setelah
lewat tengah hari. Letak bunga: di ketiak daun pada gagang yang panjangnya 3-16
cm. Formasi: soliter. Daun mahkota: berbentuk seperti terompet/corong, panjang 3-5
cm, diameter pada saat membuka penuh sekitar 10 cm.
Buah : Berbentuk kapsul bundar hingga agak datar dengan empat biji
berwarna hitam dan berambut rapat. Ukuran: buah 12-17 mm, biji 6-10 mm.
Page 24 of 92
Ekologi : Tumbuh liar mulai permukaan laut hingga 600 m, biasanya di
pantai berpasir, tetapi juga tepat pada garis pantai, serta kadang-kadang pada saluran
air.
Penyebaran : Pan-tropis.
Manfaat : Bijinya dilaporkan sebagai obat yang baik untuk sakit perut
dan kram. Daunnya untuk obat reumatik/nyeri persendian/pegal-pegal, wasir dan
korengan, sedangkan akarnya sebagai obat sakit gigi dan eksim. Cairan dari
batangnya digunakan untuk mengobati gigitan dan sengatan binatang. Wanita hamil
dilarang memakai tanaman obat ini.
Kelimpahan : Sangat umum
Catatan : Dua anak jenis dikenali oleh beberapa penulis, yaitu I. pes-
caprae ssp. pescaprae yang memiliki cuping daun yang dalam, dan I. pes-caprae ssp.
brasiliensis yang memiliki takik pada ujung daun. Keduanya terdapat di Indonesia,
meskipun anak jenis yang terakhir hanya diketahui dari Sumatera Barat dan Pulau
Krakatau.
Gambar 2. Ipomea pes-capre
3.1.3. Sesuvium portulacastrum
Nama lokal : Gelang (-laut), saruni air, krokot, gelan-pasir, sesepi.
Page 25 of 92
Deskripsi umum : Herba tahunan, menjalar, seringkali memiliki banyak cabang.
Panjangnya hingga 1 m dengan batang berwarna merah cerah, halus dan ditumbuhi
akar pada ruasnya.
Daun : Tebal berdaging. Unit & Letak: sederhana dan berlawanan.
Bentuk: bulat memanjang hingga lanset. Ujung: membundar. Ukuran: 2,5 - 7 x 0,5 -
1,5 cm.
Bunga : Kecil, warna ungu, memiliki tangkai panjangnya 3-15 mm
dan tabung panjangnya 3 mm. Letak bunga: di ketiak daun. Formasi: soliter. Daun
mahkota: 5 cuping, panjang 6-9 mm. Benangsari: banyak dan 3-4 tangkai putik.
Buah : Berbentuk kapsul, bundar dan halus, panjang melintang kira-
kira 8 mm. Terdapat beberapa biji hitam berbentuk kacang, halus dan panjangnya 1,5
mm.
Ekologi : Seringkali ditemukan di sepanjang bagian tepi daratan dari
mangrove, pada hamparan lumpur dan gundukan pasir, pada areal yang secara tidak
teratur digenangi oleh pasang surut. Substrat tumbuh berupa pasir, lumpur dan tanah
liat. Juga ditemukan di pantai berkarang, sepanjang pematang tambak dan kali pasang
surut. Perbungaan terjadi sepanjang tahun. Bunga diserbuki kumbang kecil
pengumpul madu serta ngengat yang terbang siang. Biji tidak mengapung.
Penyebaran : Jenis Pan-tropis; ditemukan di sepanjang pesisir Jawa,
Madura, Sulawesi dan Sumatera.
Manfaat : Daun dapat dimakan setelah berulangkali dicuci dan dimasak.
Juga digunakan sebagai makanan kambing.
Kelimpahan : Tidak diketahui
Page 26 of 92
Gambar 3. Sesuvium portulacastrum
3.1.4. Aegiceras corniculatum
Nama lokal : Teruntun, gigi gajah, perepat tudung, perpat kecil, tudung laut,
duduk agung, teruntung, kayu sila, kacangan, klungkum, gedangan, kacang-kacangan.
Deskripsi umum : Semak atau pohon kecil yang selalu hijau dan tumbuh lurus
dengan ketinggian pohon mencapai 6 m. Akar menjalar di permukaan tanah. Kulit
kayu bagian luar abu-abu hingga coklat kemerahan, bercelah, serta memiliki sejumlah
lentisel.
Daun : Daun berkulit, terang, berwarna hijau mengkilat pada bagian
atas dan hijau pucat di bagian bawah, seringkali bercampur warna agak kemerahan.
Kelenjar pembuangan garam terletak pada permukaan daun dan gagangnya. Unit &
Letak: sederhana & bersilangan. Bentuk: bulat telur terbalik hingga elips. Ujung:
membundar. Ukuran: 11 x 7,5 cm.
Bunga : Dalam satu tandan terdapat banyak bunga yang bergantungan
seperti lampion, dengan masing-masing tangkai/gagang bunga panjangnya 8-12 mm.
Letak: di ujung tandan/tangkai bunga. Formasi: payung. Daun Mahkota: 5; putih,
ditutupi rambut pendek halus; 5-6 mm. Kelopak Bunga: 5; putih - hijau.
Buah : Buah berwarna hijau hingga merah jambon (jika sudah
matang), permukaan halus, membengkok seperti sabit,. Dalam buah terdapat satu biji
yang membesar dan cepat rontok. Ukuran: panjang 5-7,5 cm dan diameter 0,7 cm.
Page 27 of 92
Ekologi : Memiliki toleransi yang tinggi terhadap salinitas, tanah dan
cahaya yang beragam. Mereka umum tumbuh di tepi daratan daerah mangrove yang
tergenang oleh pasang naik yang normal, serta di bagian tepi dari jalur air yang
bersifat payau secara musiman. Perbungaan terjadi sepanjang tahun, dan
kemungkinan diserbuki oleh serangga. Biji tumbuh secara semi-vivipar, dimana
embrio muncul melalui kulit buah ketika buah yang membesar rontok. Biasanya
segera tumbuh sekelompok anakan di bawah pohon dewasa. Buah dan biji telah
teradaptasi dengan baik terhadap penyebaran melalui air.
Penyebaran : Sri Lanka, Malaysia, seluruh Indonesia, Papua New Guinea,
Cina selatan, Australia dan Kepulauan Solomon.
Manfaat : Kulit kayu yang berisi saponin digunakan untuk racun ikan.
Bunga digunakan sebagai hiasan karena wanginya. Kayu untuk arang. Daun muda
dapat dimakan.
Kelimpahan : Umum, di beberapa daerah agak melimpah, seringkali tumbuh
dalam kelompok besar.
Gambar 4. Aegiceras corniculatum
3.1.5. Casuarina sp
Nama lokal
Deskripsi umum :
Daun
Page 28 of 92
Unit dan letak daun
Bentuk daun
Ujung daun
Ukuran daun
Bunga
Letak bunga
Formasi bunga
Daun mahkota
Kelopak bunga
Benang sari
Buah
Ukuran buah
Ekologi
3.1.6. Scaevola taccada
Nama lokal : Bakung-bakung, bako-bakoan, babakoan, gegabusan.
Deskripsi umum : Herba rendah/semak/pohon, dapat mencapai ketinggian
hingga 3m
Daun : Melebar kearah atas, berwarna hijau kekuningan dan
mengkilat, tepinya melengkung dan permukaan daun seperti berlapis lilin. Unit &
Page 29 of 92
Letak: sederhana dan bersilangan. Bentuk: bulat telur terbalik hingga elips. Ujung:
membundar. Ukuran: 16,5 - 30 x 7,5 - 9,5 cm
Bunga : Letak bunga: di ketiak daun. Formasi: mengelompok. Daun
mahkota: putih bersih, sering pada bagian dalamnya terdapat strip/garis berwarna
jingga. Tangkai Putik: membengkok.
Buah : Berbentuk kapsul, bulat. Ketika muda berwarna hijau muda,
lalu menjadi putih ketika sudah matang. Ukuran : diameter buah 8-12 mm.
Ekologi : Dijumpai secara soliter di bagian tepi daratan dari mangrove,
pada tepi pematang yang tidak terkena pengaruh pasang surut atau di daerah yang
sistem drainasenya baik dan lokasinya terbuka terhadap cahaya.
Penyebaran : Mungkin ditemukan di seluruh Indonesia.
Manfaat : Tidak diketahui.
Kelimpahan : Tidak diketahui
Gambar 6. Scaevola taccada
3.1.7. Sonneratia sp
3.1.7.1. Sonneratia alba
Nama lokal : Pedada, perepat, pidada, bogem, bidada, posi-posi, wahat,
putih, beropak, bangka, susup, kedada, muntu, sopo, barapak, pupat, mange-mange
Deskripsi umum : Pohon selalu hijau, tumbuh tersebar, ketinggian kadang-
kadang hingga 15 m. Kulit kayu berwarna putih tua hingga coklat, dengan celah
Page 30 of 92
longitudinal yang halus. Akar berbentuk kabel di bawah tanah dan muncul
kepermukaan sebagai akar nafas yang berbentuk kerucut tumpul dan tingginya
mencapai 25 cm
Daun : Daun berkulit, memiliki kelenjar yang tidak berkembang pada
bagian pangkal gagang daun. Gagang daun panjangnya 6-15 mm. Unit & Letak:
sederhana & berlawanan. Bentuk: bulat telur terbalik. Ujung: membundar. Ukuran: 5-
12,5 x 3-9 cm.
Bunga : Biseksual; gagang bunga tumpul panjangnya 1 cm. Letak: di
ujung atau pada cabang kecil. Formasi: soliter-kelompok (1-3 bunga per kelompok).
Daun mahkota: putih, mudah rontok. Kelopak bunga: 6-8; berkulit, bagian luar hijau,
di dalam kemerahan. Seperti lonceng, panjangnya 2-2,5 cm. Benang sari: banyak,
ujungnya putih dan pangkalnya kuning, mudah rontok.
Buah : Seperti bola, ujungnya bertangkai dan bagian dasarnya
terbungkus kelopak bunga. Buah mengandung banyak biji (150-200 biji) dan tidak
akan membuka pada saat telah matang. Ukuran: buah: diameter 3,5-4,5 cm.
Ekologi : Jenis pionir, tidak toleran terhadap air tawar dalam periode
yang lama. Menyukai tanah yang bercampur lumpur dan pasir, kadang-kadang pada
batuan dan karang. Sering ditemukan di lokasi pesisir yang terlindung dari hempasan
gelombang, juga di muara dan sekitar pulau-pulau lepas pantai. Di lokasi dimana jenis
tumbuhan lain telah ditebang, maka jenis ini dapat membentuk tegakan yang padat.
Perbungaan terjadi sepanjang tahun. Bunga hidup tidak terlalu lama dan mengembang
penuh di malam hari, mungkin diserbuki oleh ngengat, burung dan kelelawar
pemakan buah. Di jalur pesisir yang berkarang mereka tersebar secara vegetatif.
Kunang-kunang sering menempel pada pohon ini dikala malam. Buah mengapung
karena adanya jaringan yang mengandung air pada bijinya. Akar nafas tidak terdapat
pada pohon yang tumbuh pada substrat yang keras.
Penyebaran : Dari Afrika Utara dan Madagaskar hingga Asia Tenggara,
seluruh Indonesia, Malaysia, Filipina, Australia Tropis, Kepulauan Pasifik barat dan
Oceania Barat Daya.
Manfaat : Buahnya asam dapat dimakan. Di Sulawesi, kayu dibuat untuk
perahu dan bahan bangunan, atau sebagai bahan bakar ketika tidak ada bahan bakar
lain. Akar nafas digunakan oleh orang Irian untuk gabus dan pelampung.
Kelimpahan : Umum, melimpah setempat
Page 31 of 92
Gambar 7.1. Sonneratia alba
3.1.7.2. Sonneratia ovata
Nama lokal : Bogem, kedabu.
Deskripsi umum : Pohon berukuran kecil atau sedang, biasanya hingga 5 m,
kadang-kadang mencapai 20 m, dengan cabang muda berbentuk segi empat serta akar
nafas vertikal.
Daun : Gagang/tangkai daun panjangnya 2-15 mm. Unit & Letak:
sederhana & berlawanan. Bentuk: bulat telur. Ujung: membundar. Ukuran: 4-10 x 3-9
cm.
Bunga : Gagang/tangkai bunga lurus, panjang 1-2 cm, atau kadang-
kadang tidak ada. Pucuk bunga berbentuk bulat telur lebar dan ditutupi oleh tonjolan
kecil. Letak: di ujung. Formasi: soliter-kelompok (ada 1-3 bunga per kelompok).
Daun mahkota: tidak ada. Kelopak bunga: bagian dalam merah. Panjangnya 2,5 - 4,5
cm. Tabung seperti mangkok, muncul dari gagang yang pendek. Benang sari: banyak,
warnanya putih dan mudah rontok.
Buah : Seperti bola, ujungnya bertangkai dan bagian dasarnya
terbungkus kelopak bunga. Ukuran hampir sama dengan S.alba. Ukuran: buah:
diameter 3-5 cm.
Page 32 of 92
Ekologi : Tumbuh di tepi daratan hutan mangrove yang airnya kurang
asin, tanah berlumpur dan di sepanjang sungai kecil yang terkena pasang surut. Tidak
pernah tumbuh pada substrat karang. Perbungaan terjadi sepanjang tahun.
Penyebaran : Di Thailand, Malaysia, Kepulauan Riau, Sumatra, Jawa,
Sulawesi, Maluku, Sungai Sebangau/Kalimantan Tengah, dan Papua New Guinea.
Manfaat : Kayu bakar. Buah muda dapat dimakan sebagai rujakan.
Kelimpahan : Umum setempat tapi secara keseluruhan agak jarang.
Dapus : http://wetlands.or.id/mangrove/mangrove_species.php?id=43
Gambar 7.2. Sonneratia ovata
3.1.7.3. Sonneratia caseolaris
Nama lokal : Pedada, perepat, pidada, bogem, bidada, rambai, wahat merah,
posi-posi merah.
Deskripsi umum : Pohon, ketinggian mencapai 15 m, jarang mencapai 20 m.
Memiliki akar nafas vertikal seperti kerucut (tinggi hingga 1 m) yang banyak dan
sangat kuat. Ujung cabang/ranting terkulai, dan berbentuk segi empat pada saat muda
Daun : Gagang/tangkai daun kemerahan, lebar dan sangat pendek.
Unit & Letak: sederhana & berlawanan. Bentuk: bulat memanjang. Ujung:
membundar. Ukuran: bervariasi, 5-13 x 2-5 cm.
Bunga : Pucuk bunga bulat telur. Ketika mekar penuh, tabung kelopak
bunga berbentuk mangkok, biasanya tanpa urat. Letak: di ujung. Formasi: soliter-
Page 33 of 92
kelompok (1-3 bunga per kelompok). Daun mahkota: merah, ukuran 17-35 x 1,5-3,5
mm, mudah rontok. Kelopak bunga: 6-8; berkulit, bagian luar hijau, di dalam putih
kekuningan hingga kehijauan. Benang sari: banyak, ujungnya putih dan pangkalnya
merah, mudah rontok.
Buah : Seperti bola, ujungnya bertangkai dan bagian dasarnya
terbungkus kelopak bunga. Ukuran lebih besar dari S.alba, bijinya lebih banyak (800-
1200). Ukuran: buah: diameter 6-8 cm.
Ekologi : Tumbuh di bagian yang kurang asin di hutan mangrove, pada
tanah lumpur yang dalam, seringkali sepanjang sungai kecil dengan air yang mengalir
pelan dan terpengaruh oleh pasang surut. Tidak pernah tumbuh pada pematang/
daerah berkarang. Juga tumbuh di sepanjang sungai, mulai dari bagian hulu dimana
pengaruh pasang surut masih terasa, serta di areal yang masih didominasi oleh air
tawar. Tidak toleran terhadap naungan. Ketika bunga berkembang penuh (setelah jam
20.00 malam), bunga berisi banyak nektar. Perbungaan terjadi sepanjang tahun. Biji
mengapung. Selama hujan lebat, kecenderungan pertumbuhan daun akan berubah dari
horizontal menjadi vertikal.
Penyebaran : Dari Sri Lanka, seluruh Asia Tenggara, termasuk Indonesia,
Malaysia, Filipina, hingga Australia tropis, dan Kepulauan Solomon.
Manfaat : Buah asam dapat dimakan (dirujak). Kayu dapat digunakan
sebagai kayu bakar jika kayu bakar yang lebih baik tidak diperoleh. Setelah direndam
dalam air mendidih, akar nafas dapat digunakan untuk mengganti gabus.
Kelimpahan : Umum, melimpah setempat.
Page 34 of 92
Gambar 7.3. Sonneratia casiolaris
3.1.8. Bruguiera cylindrica
Nama lokal : Burus, tanjang, tanjang putih, tanjang sukim, tanjang sukun,
lengadai, bius, lindur.
Deskripsi umum : Pohon selalu hijau, berakar lutut dan akar papan yang melebar
ke samping di bagian pangkal pohon, ketinggian pohon kadang-kadang mencapai 23
meter. Kulit kayu abu-abu, relatif halus dan memiliki sejumlah lentisel kecil.
Daun : Permukaan atas daun hijau cerah bagian bawahnya hijau agak
kekuningan. Unit & Letak: sederhana & berlawanan. Bentuk: elips. Ujung: agak
meruncing. Ukuran: 7-17 x 2-8 cm.
Bunga : Bunga mengelompok, muncul di ujung tandan (panjang
tandan: 1-2 cm). Sisi luar bunga bagian bawah biasanya memiliki rambut putih.
Letak: di ujung atau ketiak tangkai/tandan bunga. Formasi: di ujung atau ketiak
tangkai/tandan bunga. Daun Mahkota: putih, lalu menjadi coklat ketika umur
bertambah, 3- 4 mm. Kelopak Bunga: 8; hijau kekuningan, bawahnya seperti tabung
Buah : Hipokotil (seringkali disalah artikan sebagai “buah”)
berbentuk silindris memanjang, sering juga berbentuk kurva. Warna hijau didekat
pangkal buah dan hijau keunguan di bagian ujung. Pangkal buah menempel pada
kelopak bunga. Ukuran: Hipokotil: panjang 8-15 cm dan diameter 5-10 mm.
Page 35 of 92
Ekologi : Tumbuh mengelompok dalam jumlah besar, biasanya pada
tanah liat di belakang zona Avicennia, atau di bagian tengah vegetasi mangrove
kearah laut. Jenis ini juga memiliki kemampuan untuk tumbuh pada tanah/substrat
yang baru terbentuk dan tidak cocok untuk jenis lainnya. Kemampuan tumbuhnya
pada tanah liat membuat pohon jenis ini sangat bergantung kepada akar nafas untuk
memperoleh pasokan oksigen yang cukup, dan oleh karena itu sangat responsif
terhadap penggenangan yang berkepanjangan. Memiliki buah yang ringan dan
mengapung sehinggga penyebarannya dapat dibantu oleh arus air, tapi
pertumbuhannya lambat. Perbungaan terjadi sepanjang tahun.
Penyebaran : Asia Tenggara dan Australia, seluruh Indonesia, termasuk
Irian Jaya.
Manfaat : Untuk kayu bakar. Di beberapa daerah, akar muda dari
embrionya dimakan dengan gula dan kelapa. Para nelayan tidak menggunakan
kayunya untuk kepentingan penangkapan ikan karena kayu tersebut mengeluarkan
bau yang menyebabkan ikan tidak mau mendekat.
Kelimpahan : Umum
Gambar 8. Bruguiera cylindrica
3.1.9. Calotropis gigantea
Nama lokal : Biduri, modori, menori, widuri, mendori.
Page 36 of 92
Deskripsi umum : Herba rendah/semak, ketinggian mencapai 3 m. Memiliki
banyak getah
Daun : Posisi daun horizontal, permukaan daun (atas maupun bawah)
dilapisi oleh rambut-rambut halus yang berwarna agak putih seperti tepung. Unit &
Letak: sederhana dan berlawanan. Bentuk: bulat telur melebar. Ujung: membundar.
Ukuran: 10-20 x 3,5-5,5 cm.
Bunga : Memiliki tandan dan tangkai/gagang bunga yang panjang.
Letak: pada ketiak daun. Formasi: seperti payung yang sedang dibuka. Daun mahkota:
putih agak ungu, ukuran diameter 6-10 mm. Kelopak bunga: 5, seperti piramid, kekar
dan kaku, berwarna ungu agak putih, diameter 3-4 cm.
Benang sari
Buah : Berbentuk bulat seperti kapsul dan di dalamnya terdapat
banyak biji-biji yang permukaannya berambut halus. Ukuran: diameter buah 10-15
mm.
Ekologi : Tumbuh pada habitat yang tidak tergenang air, pantai berpasir
dan lahan berbatu, hingga ketinggian sekitar 300 m. Di Bali dijumpai mulai pada
daerah pantai yang gersang dan udaranya panas hingga ke lereng gunung Agung yang
suhu udaranya sejuk. Umumnya dijumpai di lahan-lahan pantai yang terbengkalai dan
terbuka (mendapat sinar matahari penuh).
Penyebaran : Kemungkinan terdapat di seluruh Indonesia, tercatat di Bali
dan Jawa.
Manfaat : Di Bali, daun dan bunganya sering digunakan sebagai
makanan jangkrik.
Kelimpahan : Umum
Page 37 of 92
Gambar 9. Calotropis gigantea
3.1.10. Excoecaria agallocha
Nama lokal : Buta-buta, menengan, madengan, kayu wuta, sambuta,
kalapinrang, mata huli, makasuta, goro-goro raci, kalibuda, betuh, warejit, bebutah.
Deskripsi umum : Pohon merangas kecil dengan ketinggian mencapai 15 m.
Kulit kayu berwarna abu-abu, halus, tetapi memiliki bintil. Akar menjalar di
sepanjang permukaan tanah, seringkali berbentuk kusut dan ditutupi oleh lentisel.
Batang, dahan dan daun memiliki getah (warna putih dan lengket) yang dapat
mengganggu kulit dan mata.
Daun : Hijau tua dan akan berubah menjadi merah bata sebelum
rontok, pinggiran bergerigi halus, ada 2 kelenjar pada pangkal daun. Unit & Letak:
sederhana, bersilangan. Bentuk: elips. Ujung: meruncing. Ukuran: 6,5-10,5 x 3,5-5
cm.
Bunga : Memiliki bunga jantan atau betina saja, tidak pernah
keduanya. Bunga jantan (tanpa gagang) lebih kecil dari betina, dan menyebar di
sepanjang tandan. Tandan bunga jantan berbau, tersebar, berwarna hijau dan
panjangnya mencapai 11 cm. Letak: di ketiak daun. Formasi: bulir. Daun mahkota:
hijau & putih. Kelopak bunga: hijau kekuningan. Benang sari: 3; kuning.
Buah : Bentuk seperti bola dengan 3 tonjolan, warna hijau,
permukaan seperti kulit, berisi biji berwarna coklat tua. Ukuran: diameter 5-7mm
Page 38 of 92
Ekologi : Tumbuhan ini sepanjang tahun memerlukan masukan air
tawar dalam jumlah besar. Umumnya ditemukan pada bagian pinggir mangrove di
bagian daratan, atau kadang-kadang di atas batas air pasang. Jenis ini juga ditemukan
tumbuh di sepanjang pinggiran danau asin (90% air laut) di pulau vulkanis Satonda,
sebelah utara Sumbawa. Mereka umum ditemukan sebagai jenis yang tumbuh
kemudian pada beberapa hutan yang telah ditebang, misalnya di Suaka Margasatwa.
Karang-Gading Langkat Timur Laut, dekat Medan, Sumatera Utara. Perbungaan
terjadi sepanjang tahun. Penyerbukan dilakukan oleh serangga, khususnya lebah. Hal
ini terutama diperkirakan terjadi karena adanya serbuk sari yang tebal serta kehadiran
nektar yang memproduksi kelenjar pada ujung pinak daun di bawah bunga.
Penyebaran : Tumbuh di sebagian besar wilayah Asia Tropis, termasuk di
Indonesia, dan di Australia.
Manfaat : Akar dapat digunakan untuk mengobati sakit gigi dan
pembengkakan. Kayu digunakan untuk bahan ukiran. Kayu tidak bisa digunakan
sebagai kayu bakar karena bau wanginya tidak sedap bagi masakan. Kayu dapat
digunakan sebagai bahan pembuat kertas yang bermutu baik. Getah digunakan untuk
membunuh ikan. Kayunya kadang-kadang dijual karena wanginya, akan tetapi
wanginya akan hilang beberapa tahun kemudian.
Kelimpah : Melimpah setempat.
Catatan : Getah putihnya beracun dan dapat menyebabkan kebutaan
sementara, sesuai dengan namanya, yaitu buta-buta.
Page 39 of 92
Gambar 10. Excoecaria agallocha
3.1.11. Terminalia catappa
Nama lokal : Ketapang, beowa, kilaula, ketapas, klihi, lisa, wewa, sabrise,
sarisei, talisei, dumpajang, luumpoyang, sadina, sarisa, sirisal, lisa, tasi, klis, tiliho,
indian or singapore almond.
Deskripsi umum : Pohon meluruh dengan ketinggian 10-35 m. Cabang muda
tebal dan ditutupi dengan rapat oleh rambut yang kemudian akan rontok. Mahkota
pohon berlapis secara horizontal, suatu kondisi yang terutama terlihat jelas pada
pohon yang masih muda.
Daun : Sangat lebar, umumnya memiliki 6-9 pasang urat yang
jaraknya berjauhan, dengan sebuah kelenjar terletak pada salah satu bagian dasar dari
urat tengah. Daun berubah menjadi merah muda atau merah beberapa saat sebelum
rontok, sehingga kanopi pohon tampak berwarna merah. Unit & Letak: sederhana dan
bersilangan. Bentuk: bulat telur terbalik. Ujung: membundar. Ukuran: 8- 25 x 5-14
cm (kadang panjangnya sampai 30 cm)
Bunga : Tandan bunga (panjangnya 8-16 cm) ditutupi oleh rambut
yang halus. Bunga berwarna putih atau hijau pucat dan tidak bergagang. Sebagian
besar dari bunga merupakan bunga jantan, dengan atau tanpa tangkai putik yang
pendek. Letak: di ketiak daun. Formasi: bulir. Kelopak bunga: halus di bagian dalam
Page 40 of 92
Buah : Penampilan seperti buah almond. Bersabut dan cangkangnya
sangat keras. Ukuran 5-7 cm x 4x5,5 cm. Kulit buah berwarna hijau hingga hijau
kekuningan (mengkilat) di bagian tengahnya, kemudian berubah menjadi merah tua
Ekologi : Sebarannya sangat luas. Tumbuh di pantai berpasir atau
berkarang dan bagian tepi daratan dari mangrove hingga jauh ke darat. Penyebaran
buah dilakukan melalui air atau oleh kelelawar pemakan buah. Pohon menggugurkan
daunnya (ketika warnanya berubah merah) sekali waktu, biasanya dua kali setahun (di
Jawa pada bulan Januari atau Februari dan Juli atau Agustus).
Penyebaran : Di seluruh Indonesia, tetapi agak jarang di Sumatera dan
Kalimantan. Tumbuh di bagian tropis Asia, Australia Utara dan Polinesia.
Manfaat : Sering ditanam sebagai pohon peneduh jalanan. Kayu
berwarna merah dan memiliki kualitas yang baik, digunakan sebagai bahan bangunan
dan pembuatan perahu. Biji buahnya dapat dimakan dan mengandung minyak yang
berlemak dan bening. Tanin digunakan untuk mengatasi disentri serta untuk
penyamakan kulit. Daun kerap digunakan untuk mengobati reumatik.
Kelimpahan : Umum, seringkali mendominasi vegetasi pantai.
Dapus : http://wetlands.or.id/mangrove/mangrove_species.php?id=67
Gambar 11. Terminalia catappa
3.1.12. Lumnitzera racemosa
Page 41 of 92
Nama lokal : Api-api balah, susup, lasi, duduk laki-laki, api-api jambu,
teruntum, adu- adu, duduk, knias, saman-sigi, kedukduk, truntun.
Deskripsi umum : Belukar atau pohon kecil, selalu hijau dengan ketinggian
mencapai 8 m. Kulit kayu berwarna coklat-kemerahan, memiliki celah/retakan
longitudinal (khususnya pada batang yang sudah tua), dan tidak memiliki akar nafas.
Daun : Daun agak tebal berdaging, keras/kaku, dan berumpun pada
ujung dahan. Panjang tangkai daun mencapai 10 mm. Unit & Letak: sederhana,
bersilangan. Bentuk: bulat telur menyempit. Ujung: membundar. Ukuran: 2-10 x 1-2,5
cm
Bunga : Bunga biseksual, tanpa gagang, berwarna putih cerah,
dipenuhi oleh nektar. Panjang tandan 1-2 cm. Memiliki dua pinak daun berbentuk
bulat telur, panjangnya 1,5 mm pada bagian pangkalnya. Letak: di ujung atau di
ketiak. Formasi: bulir. Daun mahkota: 5; putih, 2-4 x 7-8 mm. Kelopak bunga: 5;
hijau (6-8 mm). Benang sari: <10; Panjang benang sari sama atau sedikit lebih
panjang dari daun mahkota.
Buah : Buah berbentuk kembung/elips, berwarna hijau kekuningan,
berserat, berkayu dan padat. Ukuran: panjang 7-12 mm; Diameter 3-5 mm.
Ekologi : Tumbuh di sepanjang tepi vegetasi mangrove. Menyukai
substrat berlumpur padat. Mereka juga terdapat di sepanjang jalur air yang
dipengaruhi oleh air tawar. Bunga putih, agak harum dan kaya akan nektar, diserbuki
oleh serangga. Buah berserat teradaptasi untuk penyebaran melalui air.
Penyebaran : Dari bagian timur Afrika tropis dan Madagaskar sampai
Malaysia, di seluruh Indonesia, PNG, Australia utara dan Polinesia. Hampir tidak
ditemukan di sepanjang pantai yang menghadap Samudera India.
Manfaat : Kayunya keras dan tahan lama, cocok untuk berbagai
keperluan bahan bangunan, seperti jembatan, kapal, furnitur dan sebagainya.
Ukurannya lebih kecil dari L. littorea, sehingga sangat jarang ditemukan kayu yang
berukuran besar. Kulit kayu kadang-kadang digunakan sebagai bahan pelapis.
Kelimpahan : Agak umum
Catatan : Meskipun ditemukan di seluruh Malaysia dan Indonesia, L.
littorea dan L. racemosa tidak pernah ditemukan pada habitat dan lokasi yang sama.
Penyebab persis dari perbedaan karakter ekologis tersebut sampai saat ini belum
diketahui. Cuping daun kelopak bunga dengan ujung berkelenjar ditemukan di Irian
Jaya, PNG dan Filipina. Bahan bakar yang baik.
Page 42 of 92
Gambar 12. Lumnitzera racemosa
3.1.13. Vitex ovata
Nama lokal : Lagundi, sangari, tuban, dunuko, galumi, lawarani, lilegundi, rala
Deskripsi umum :
Daun
Unit dan letak daun
Bentuk daun
Ujung daun
Ukuran daun
Bunga
Letak bunga
Formasi bunga
Daun mahkota
Kelopak bunga
Benang sari
Buah
Ukuran buah
Ekologi
Gambar
Page 43 of 92
Gambar 13. Vitex ovate
III.2. Ciri Khas Lamun
III.2.1. Enhalus acoroides
Enhalus acoroides dapat mencapai panjang lebih dari 1 meter
Memilki rhizoma (batang) yang tertanam di dalam substrat
Diameter rhizoma lebih dari 1,5 cm
Pada rhizoma menempel akar-akar yang sangat padat dengan diameter 2–5 mm dan
panjang lebih dari 15 cm
Daun berwarna hijau
Daun tumbuh sebanyak 3 atau 4 helai berasal langsung dari rhizoma
Helai-helai daun linier (sejajar) dengan panjang mencapai 1 m dan lebar 1,5 cm
Daun panjang dan pipih, serta kaku seperti ikat pinggang
Ujung daun membulat, kadang-kadang terdapat serat-serat kecil yang menonjol pada
waktu muda.
Tepi daun seluruhnya jelas, bentuk garis tepinya seperti melilit.
Memiliki buah dengan bentuk bulat telur,
Buah memiliki panjang 4–7 cm
Seluruh permukaan buah ditutupi tonjolan-tonjolan yang tidak beraturan
Tumbuh di perairan dangkal dengan substrat berpasir dan berlumpur, namun kadang
juga dapat ditemui hidup di terumbu karang
Page 44 of 92
Gambar 1. Enhalus acorodes
III.2.2. Thallasia hemprichii
Memiliki rhizoma dengan tebal sampai dengan 5 mm
Helaian daun berbentuk pita
Pada helaian daun terdapat ruji-ruji hitam yang pendek
Daun yang masih muda memiliki panjang berkisar antara 3–7 cm
Panjang daun mencapai 40 cm dan lebarnya berkisar antaranya 0,4-1,0 cm
Terdapat 10–17 tulang-tulang daun yang membujur
Ujung daun membulat
Tidak memiliki ligule
Tumbuh di perairan dangkal dengan substrat berpasir dan berlumpur atau kadang-
kadang di terumbu karang
Page 45 of 92
Gambar 2. Thallasia hemprichii
III.2.3. Thallassodendron ciliatum
Akar berjumlah 1–5
Tebal akar mencapai 0,5–2 mm
Tebal rhizoma mencapai 5 mm
Rhizomanya sangat keras dan ‘berkayu’
Terdapat bekas-bekas goresan di antara rhizoma dan tunas
Tunas tegak dapat mencapai panjang 10–65 cm
Daun memiliki panjang 10–15 cm dan lebar 0,5–1,4 cm
Helaian daunnya lebar, pipih dan sering berwarna ungu pada tumbuhan yang masih
hidup
Daun-daunnya berbentuk sabit, dimana agak menyempit pada bagian pangkalnya
Ujung daun membulat seperti gigi
Memiliki tulang daun lebih dari 3
Terdapat 17–27 tulang-tulang daun yang membujur
Mempunyai ligule
Tumbuh di perairan dangkal dengan substrat berpasir dan berlumpur atau kadang-
kadang di terumbu karang
Page 46 of 92
Gambar 3. Thallassodendron ciliatum
III.2.4. Cymodocea rotundata
Memiliki rhizoma yang halus dan bersifat herbaceous
Tunas pendek dan tegak lurus pada setiap node
Tunas mempunyai 2–7 helai daun
Helaian daunnya berkembang dengan baik dan berwarna ungu muda
Helai daun sejajar sampai agak berbentuk kurva dan rata
Pada helai daun tersebut terdapat 7–15 tulang-tulang daun yang membujur
Panjang helai daun berkisar antara 7–15 cm dan lebar 2–4 mm
Jika helaian daun ini lepas atau gugur, maka akan meninggalkan bekas goresan yang
berbentuk sirkuler (bundar) pada tunasnya
Ujung daun halus (licin) membulat dan tumpul serta kadang-kadang tampak seperti
bentuk hati
Tepi daun seluruhnya samar-samar
Memiliki ligule
Tumbuh di perairan dangkal dengan substrat berpasir dan berlumpur atau kadang-
kadang di terumbu karang
Page 47 of 92
Gambar 4. Cymodocea rotundata
III.2.5. Cymodocea serulata
Memiliki rhizoma yang halus dan susunan rhizomanya bersifat herbaceous (sedikit
lebih kuat)
Tunas pendek dan tegak serta berakar serabut pada setiap node
Tiap-tiap tunas terdiri dari 2 – 5 helai daun
Helaian daunnya berbentuk segitiga yang lebar dan menyempit -pada bagian
pangkalnya
Helaian daun linier (sejajar) sampai agak berbentuk kurva
Panjang helai daun berkisar antara 6–15 cm dan lebar 4–9 cm
Pada helaian daun tersebut terdapat 13–17 tulang-tulang daun yang membujur
Jika helaian daunnya lepas atau gugur, maka akan meninggalkan bekas goresan yang
terbuka dan berbentuk sirkuler (bundar) pada tunasnya
Daunnya berwarna ungu pada tumbuhan yang masih hidup
Pada bagian pangkal daun menyempit dan ujung daun seperti gergaji
Tepi daun tampak jelas
Tumbuh di perairan dangkal dengan substrat berpasir dan berlumpur atau kadang-
kadang di terumbu karang
Page 48 of 92
Gambar 5. Cymodocea serulata
III.2.6. Syringodium isoetifolium
Akarnya serabut dan memiliki ruas-ruas pada tiap tegakan
Mempunyai Rhizoma tipis dan bersifat herbaceous
Pada setiap node terdapat tunas tegak yang terdiri dari 2–3 helai daun
Memiliki panjang daun berkisar antara 7–30 cm
Daun-daunnya pipih atau agak tipis dengan diameter 1–2 mm
Daun-daunnya menyempit pada bagian pangkal dan berangsur--angsur meruncing
pada ujung daun
Memiliki bentuk daun yang panjang dan kecil dengan bentuk silindris menyerupai
lidi
Ujung daun runcing dengan daun berwarna hijau
Tumbuh di perairan dangkal dengan substrat berpasir dan berlumpur atau
kadang-kadang dapat ditemui di kawasan terumbu karang
Page 49 of 92
Gambar 6. Syringodium isoetifolium
III.3. Ciri Khas Rumput Laut
III.3.1. Halimeda Micronesia
Spesifikasi : Pertumbuhan thalli kompak, menjalar tinggi mencapai 10 cm.
Percabangan utama trichotomus, segment lebar 7 mm, panjang 5 mm, berbentuk
subcuneate atau discoidal. Basal segment lebar 7 mm, panjang 5 mm, berbentuk
ginjal, kadang-kadang berbentuk silinder.
Sebaran : Tumbuh pada substrat karang batu menempel diantara sela-sela
karang hidup berlebihan. Keberadaannya di daerah tubir dengan kedalaman 5-50 m
terutama pantai berkarang dapat dijumpai di perairan laut Indonesia kawasan tengah
dan timur.
Potensi : Sebagai sumber karbonat di laut, belum dimanfaatkan.
III.3.2. Halimeda macroloba
Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan, diketahui bahwa Halimeda
macroloba termasuk dalam kelas Chlorophyta yang telah diamati memiliki ciri-ciri
thallusnya membentuk seperti rumpun, memiliki bentuk blade yang bercabang-cabang
dan bentuk bladenya adalah seperti kipas yang sedikit membulat. Panjang Halimeda
macroloba secara keseluruhan adalah 16 cm, panjang dan lebat setiap blade berbeda-
beda yaitu 1-1,5 cm. tekstur bladenya tebal dan sedikit licin dengan warna bladenya
adalah hijau terang.
Ciri – ciri Halimeda macroloba menurut (Sulisetjono, 2009 : 136) talusnya seperti
lembaran-lembaran, termasuk koloni parenkimatus, bersegmen daun tebal, bentuk
bladenya hampir seperti kipas, warna bladenya hijau pudar agak keputihan,
Page 50 of 92
melekatkan diri pada substrat pada substrat dengan rhizoid, thalus berupa segmen
ringan, substansinya gelatinous.
Sisa kapur yang terakumulasi dari Halilmeda menetap secara khusus untuk membantu
pertumbuhan bertahap pada terumbu karang. Bukti dari pendapat ini datang dari studi
penggalian dasr dari karang atoll Funafuti, yang memperlihatkan bahwa 20 m pertama
dari sedimen terdiri dari 80-95% segmen-segmen Halimeda yang dikenali (Bold dan
Wynne,1985). Halimeda menghasilkan kerak kapur (CaCO), karenanya dapat
memberi sumbangan yang sangat berarti di daerah tropik. Sendi-sendi dari jenis
Halimeda ini tidak berkapur, karenanya lentur dan alga ini dapat bergerak-gerak
dalam air jika air bergerak. (Romimohtarto,2001 : 76)
Deskripsi dan ciri-ciri alga ini menurut (Tjitrosoepomo, 2005 : 112 ) bahwa alga ini
mempunyai bentuk lempengan yang saling sambung-menyambung, tersusun dari zat
kapur yang mengeras dan diselingi oleh calcareous (jaringan non kapur) yang
fleksibel. Antar lempengan dihubungkan oleh sendi yang tersusun oleh crystal
aragonite secara acak dan bergerombol. Thallus tertambat pada substrat pasir dengan
holdfast fibrous. Secara lebih spesifikasi, spesifikasi alga ini adalah pertumbuhan
thalli kompak kandungan karbonat tinggi, tinggi 7 cm. Percabangan utama
dichotomus atau trichotomus. Segmen berlekuk-lekuk lebar 29 mm. Panjang 15 mm.
Basal segmen lebar 21 mm dan panjang 20 mm. Holdfast lebar 17 mm dan panjang 15
mm.
Perbandingan antara pengamatan yang telah dilakukan pada Halimeda macroloba
dengan literature yang telah digunakan terdapat perbadaan, dimana pada pengamatan
menunjukkan bahwa warna bladenya adalah hijau terang yang tersebar merata,
sedangkan pada hasil dari literature (Taylor, 1960 : 87 ) dan (Tjitrosoepomo, 2005 :
112 ) disebutkan bahwa warna blade alga ini adaalah hijau keputihan. Sehingga
terjadi perbedaan antara hasil pengamatan dengan literature yang telah digunakan, hal
ini karena pada saat perendaman menggunakan larutan fiksasi dan tenbaga sulfat
semua spesies dari alga yang telah ditemukan dijadikan dalam suatu wadah tanpa
dipisah terlebih dahulu antara kelas Rhodophyta, Chlorophyta, maupun Paeophyta.
Sehingga karena tercampurnya semua jenis dari kelas alga yang berlainan tersebut
menyebabkan hampir dari semua alga berubah warnanya menjadi hijau, karena pada
hasil pengamatan juga alga hijau yang berjumlah banyak (dominan).
Page 51 of 92
Percabangan pada alga ini adalah dikotom atau trikotom. Cabang pada alga ini
berbatas dan membentuk rumpun, blade bulat seperti kipas dan melekat pada stipe
yang pendek. Bentukan alga yang telah diamati dengan literature telah sesuai, pada
alga ini memiliki holdfast yang digunakan untuk melekat pada substrat.
(Tjitrosoepomo, 2005 : 112), maka antara pengamatan dengan literatur telah sesuai.
Bahwa pada alga ini terdapat holdfast yang digunakan untuk melekatkan tubuhnya
pada substrat, terlihat pada saat pengamatan alga ini melekat pada substrat batu
karang sebagai substrat yang ditempelinya.
Habitat Halimeda macroloba menurut (Pelczar, 1993: 78 ) dapat ditemukan dapat
tumbuh di paparan terumbu karang, pada substrat pasir dengan kedalaman 2-30 m.
Keberadaanya berada di perairan laut, di kawasan Indonesia timur dan tengah.
Sedangkan dalam sebuah literature (Kuncoro,2004 : 81 ) disebutkan bahwa
persebarannya banyak dijumpai pada substrat pasir, pasir lumpuran dan pecahan
karang. Dipaparan pasir tumbuh berasosiasi dengan tumbuhan lamun. Keberadaan
jenis ini banyak dijumpai di perairan laut.
Sesuai dengan literature, alga yang telah diamati terdapat di pantai yang berzona
pasang surut. Alga ini juga melekat pada batu-batu karang. Alga ini terdapat pada
tepi-tepi pantai yang terbawa ombak. Sehingga, pengamatan dengan literature tersebut
adalah sesuai.
Manfaat dari Halimeda macroloba adalah memiliki kemampuan untuk menghasilkan
zat bioaktif untuk antifouling. Zat aktif yang dihasilkan untuk biofouling tersebut
dikenal dengan halimedatrial atau halimeda tetra asetat. Halimeda trial adalah
diterpenoid yang belum pernah terjadi tryale dehide, dikenal sebagai metabolit
sekunder yang utama dalam enam jenis ganggang yang mengandung zat kapur
halimeda. Di laboratorium bioassays, halimedatrial memiliki sifat toksik dan beracun
ke arah batu karang , ikan, dan mempunyai cytotoxix dan antimicrobial. Halimedatrial
yang disekresikan keluar dapat menghadirkan suatu proses metabolisme tertentu yang
menjadi sistem pertahanan pada berbagai jenis ganggang blaut terhadap musuh
alaminya (Roimil, 2001 :84 ).
III.3.3. Sargassum polycstum
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan diketahui panjang dari Sargassum
polycystum 9 cm dengan lebar 4cm. Holdfast memiliki tekstur yang keras dan kaku,
dengan panjang 1 cm. Stipe juga memiliki tekstur yang keras dan kaku seperti pada
holdfastnya. Panjang dari stipe ini adalah 2,5 cm. Sedangkan pada blade dan air
Page 52 of 92
bladder teksturnya lebih lunak dibandingkan tekstur pada holdfast dan stipe
Sargassum polycystum. Panjang dari bladenya sekitar 1,5 cm dan air bladdernya
sekitar 1,5 cm.
Pada Sargassum polycystum talus berbentuk pita pada bagian tengah-tengahnya dan
diperkuat oleh suatu rusuk tengah. Terdapat air bladder yang berfungsi untuk
memungkinkan pada Sargassum polycystum terapung-apung bila terendam pada
waktu pasang.
Sargassum polycystum berwarna coklat. Mempunyai holdfast, stipe dan blade. Tubuh
Sargassum polycystum ini didominasi oleh warna coklat dengan bentuk talus silindris
atau gepeng. Tubuh utama bersifat diploid atau merupakan sporofit, yang mana talus
mempunyai cabang yang menyerupai tumbuhan angiospermae. Dengan bentuk agak
gepeng licin dan batang utama agak kasar. Sargassum polycystum memiliki air badder
yang berfungsi untuk mengapung jika terendam air pada saat air di daerah intertidal
pasang dan juga sebagai cadangan air saat terhempas ke tepi pantai (Sulisetjono,
2009).
Holdfast pada Sargassum polycystum keras dan kaku ketika dipegang. Begitu juga
tekstur pada stipenya. Akan tetapi, berbeda dengan bladenya. Apabila dipegang akan
terasa lebih lunak dan mudah untuk dipatahkan (Tjitrosoepomo, 1989).
Berdasarkan literatur dan hasil pengamatan yang telah dilakukan, apabila
dibandingkan terdapat kesamaan dari ciri-ciri morfologi dari Sargassum polycystum
ini. Warna talus Sargassum polycystum adalah coklat dan memiliki holdfast, stipe,
blade serta air bladder. Tekstur pada pada holdfast serta stipenya keras dan kaku.
Sedangkan pada blade dan air bladdernya cenderung lebih lunak.
Warna yang tampak pada Sargassum polycystum ini memang tidak coklat seperti
pertama kali ditemukan. Akn tetapi sedikit berubah menjadi hijau. Hal ini
dikarenakan Sargassum polycystum diberi perlakuan dengan larutan fiksatif dan
tembaga sulfat pada proses pengawetan.
Habitat dari Sargassum polycystum ini di zona pasang surut karena membutuhkan
cahaya matahari untuk berfotosintesis. ini di zona pasang surut karena membutuhkan
cahaya matahari untuk berfotosintesis. Pigmen fotosintesis yang dimiliki oleh divisi
Phaeophyta ini adalah klorofil a dan c. Dengan pigmen lain yang dimilikinya adalah
karoten serta xantofil. Cadangan makan pada Sargassum polycystum berupa laminarin
dan manihol. Sedangkan dinding sel pada spesies ini adalah selulosa, pectin serta
asam algin.
Page 53 of 92
Sulisetjono (2009) menyatakan, Phaeophyta hanya mempunyai satu kelas yaitu
Phaeophyceae. Phaeophyceae pada umumnya hidup di laut, hanya beberapa saja yang
hidup di air tawar. Kebanyakan Phaeophyceae hidup sebagai litofit, tetapi beberapa
jenis dapat sebagai epifit atau endofit pada tumbuhan lain atau alga makroskopik lain.
Sargasum polycystum bereproduksi secara vegetative, sporik dan gametik. Reproduksi
vegetative umumnya dilakukan ragmentasi talus. Secara sporik dengan zoozpora atau
aplanospora yang masing-masing tidak berdinding. Zoozpora dibentuk dalam
sporangium bersel tunggal atau bersel banyak. Sedangkan reproduksi gametik
dilakukan secar isogami, anisogami dan oogami (Sulisetjono, 2009)
Manfaat Sargassum polycystum adalah sebagai produsen pada habitatnya. Dapat juga
dimanfaatkan sebagai bahan ekstraksi alginat. Manfaat lainnya belum diketahui.
Alginat merupakan polimer organic yang tersusun dari dua unit monomer yaitu L-
asam guluronat dan D-asam manuronate.
III.3.4. Gracilaria solicornia
Thalli terdiri dari padat, rapuh, silinder untuk cabang dikompresi, 2 – 5 mm diameter.
Sumbu 3-18 cm dan 1,5 mm luas, dengan cabang-cabang biasanya tidak teratur diatur.
Kedua sumbu dan cabang-cabang secara teratur atau tidak teratur terbatas atau terus-
menerus, dengan kedua kondisi yang terjadi pada tanaman yang sama atau tanaman
tetangga. Tanaman sering bersujud dan tumpang tindih, dengan cabang-cabang lateral
di sepanjang substrat, tersebar di tikar sampai 30 cm atau lebih luas, dengan batu dan
kerikil antar cabang, atau tegak dengan lampiran diskoid mencolok sekunder
pegangan erat dan sesekali. Gracilaria sangat bervariasi di perairan Hawaii. Meskipun
biasanya silinder, cabang-cabang sering ditemukan diratakan, dan kadang-kadang
tanaman yang dikompresi seluruhFitur Struktural Cortex berlapis 1-2, 4-6 oleh sel 10-
12 mm, sel-sel rambut basal umum; sel meduler relatif kecil (. Gracilaria sp lain)
Tertrasporangia tersebar di atas permukaan, 16-20 40-45 mm dengan. Spermatangia
dalam lubang. Cystocarps bulat, terbatas di dasar, 1,4-1,8 mm diameter, dengan
sedikit banyak nutrisi sel tubular; sel pericarp dalam baris-baris Anticlinal oval yang
relatif lurus ke sel-sel bulat.
Page 54 of 92
III.3.5. Caulerpa racemosa
Menurut kadi dan atmaja dalam Sedjati (1999), ciri-ciri umum dari Genus Caulerpa
adalah :
Thallus utama tumbuh menjalar;
Ruas batang utama ditumbuhi akar yang menyerupai akar serabut
Bentuk percabangan seperti bentuk daun yang beragam menyerupai daun tunggal,
bundar (anggur, daun pakis, daun kelapa, daun ketela pohon).
Caulerpa racemosa memiliki ciri-ciri khusus yaitu tanaman dapat tumbuh mencapai
ketinggian 8,5 cm, cabang yang berdiri memiliki bentuk daun seperti anggur, warna
thallus hijau, bentuknya tubular , dan terdapat bintil-bintil kecil, hidup sebagai bentos
(melekat pada batu) pada perairan dangkal.
Berdasarkan pengamatan yang kami lakukan. Spesies ini merupakan spesies dari
kelas chlorophyceae. Dengan nama spesies Caulerpa racemosa. Dengan cirri-ciri
sebagai berikut : wanra thallus hijau, bentuknya tubular , dan tedapat bintil-bintil
kecil, hidup sebagai bentos (melekat pada batu) pada perairan dangkal.
Caulerpa racemosa termasuk ke dalam algae hijau (Chlorophyceae). Bentuk tubuh
dari spesies ini adalah senositik. Alga jenis ini memiliki bentuk tubuh yang sangat
spesifik karena menyerupai segerombolan buah anggur yang tumbuh pada tangkainya.
Spesies mempunyai cabang utama yang berupa axis/stolon sehingga dimasukkan
sebagai bangsa siphonales (stolon berbentuk seperti pipa). Holdfast yang terdapat
menyebar di seluruh axis berfungsi untuk melekat pada substrat. Alga ini terdiri dari
banyak spesies yang umumnya banyak dijumpai pada pantai yang memiliki rataan
terumbu karang. Spesies ini tumbuh pada substrat karang mati, pasir yang berlumpur
dan lumpur. Kebanyakan jenis ini tidak tahan terhadap kondisi kering, oleh karena itu
tumbuh pada saat surut terendah yang masih tergenang air (Aslan, 1991).
Page 55 of 92
Caulerpa remosa adalah salah satu rumput laut hijau yang tumbuh secara alami di
perairan Indonesia. Caulerpa racemosa ditemukan tumbuh pada substrat koral atau
pada substrat pasir-pecahan karang. Caulerpa racemosa bersifat edible atau dapat
dikonsumsi oleh manusia. Di Indonesia Caulerpa racemosa telah dimanfaatkan
sebagai sayuran segar atau lalap, namun konsumennya masih terbatas pada keluarga
nelayan atau masyarakat pesisir (Novaczek.2001).
III.3.6. Galaxura rugosa
Galaxaura rugosa mempunyai ciri-ciri morfologi antara lain : thallus lebat, kaku,
kompak, membentuk gundukan hemispherical, tinggi talus 5-7 (-12) cm, warna talus
gelap merah-coklat, percabang dikotomis. Cabang berbentuk silinder, dengan
diameter 5-1,5 (-3) mm, mempunyai Holdfast untuk menempel pada substrat.
Substrat yang dapat digunakan sebagai tempat melekat adalah pasir, batuan karang,
coral mati, tanaman lain, dan mungkin benda-benda padat yang kebetulan tenggelam di
dalam laut. Alga melekatkan dirinya pada substrat dengan perantaraan organnya yang
disebut dengan holdfast. Berbeda dengan tumbuhan darat, alga tidak memerlukan
struktur jaringan untuk menyokong tegaknya tubuh dalam air. Hal ini dimungkinkan
karena air telah menyediakan daya apung yang membuat bagian-bagian tubuh alga
dapat terangkat ke atas di dalam kolom air. Disamping itu, pada spesies alga tertentu
ditemukan struktur organ menyerupai bola-bola kecil yang dapat menyerap udara dan
berperan sebagai pelampung, sehingga bagian-bagian tubuh alga tersebut dapat
Page 56 of 92
terangkat ke atas untuk memaksimalkan penyerapan cahaya (Sze, 1993, Bold dan
Wynne, 1985 dalam Jelantik, 2003).
Galaxaura terdiri dari empat jenis, yakni G. kjelmanii, G. subfruticulosa, G.
subverticillata, dan G. rugosa. Mereka tumbuh melekat pada substrat batu di rerataan
terumbu. Rhodophyta memiliki thallus yang bersel banyak (multiseluler), hanya
beberapa jenis yang bersel tunggal. Thallus mempunyai bentuk yang beranekaragam.
Sel memiliki plastida yang mengandung klorofil a, d, dan pigmen fotosintetik lainnya
yaitu xantofil, fikobiliprotein (fikoeritrin dan fikosianin). Jjumlah kedua pigmen ini
sangat banyak sehingga menutupi klorofil dan menyebabkan ganggang ini berwarna
merah. Semua pigmen berada dalam tilakoid kecuali fikobiliprotein yang terdapat pada
bagian permukaan. Pigmen-pigmen ini dapat mengabsorpsi cahaya energi matahari
yang kemudian cahaya itu ditransfer ke klorofil a, sehingga adanya pigmen ini
mempunyai pengaruh langsung dalam proses fotosintesis (Gupta, 1981 dalam Dewi
2006).
Cadangan makanan berupa tepung floridae, yaitu suatu karbohidrat dalam bentuk
butiran-butiran kecil yang tersimpan dalam sitoplasma dan di luar plastid. Pada
beberapa alga juga terdapat gula floridasida galaktosida dan gliserol.
Dinding sel terdiri dari selulosa dan polisakarida yang menyerupai lender. Polisakarida
ini adalah agar dan keragenan yang menyusun 70% dari berat kering dinding sel.
Komponen dinding sel ini sangat menarik dan memiliki nilai komersiil yang sangat
tinggi sebagai bahan stabilizer.
Reproduksi pada jenis primitif secara aseksual, yaitu dengan cara membelah sel atau
dengan spora, sedangkan reproduksi seksualnya belum banyak diketahui. Pada jenis-
jenis yang lebih maju umumnya terdapat reproduksi aseksual dan seksual (Gupta, 1981
dalam Dewi 2006). Sel kelamin jantan dari alga ini tidak berflagel yang disebut
spermatium. Spermatium ini secara pasif terbawa oleh arus air, kemudian melekat pada
alat kelamin betina (karpogonium). Setelah itu inti dari masing-masing sel kelamin
bersatu dan membentuk zigot.
III.3.7. Achantopora muscoides
Achantopora spcifora memiliki cirri-ciri morfologi diantaranya : Thallus silindris,
percabangan bebas, tegak, terdapat duri-duri pendek sekitar thallus yang merupakan
karakteristik jenis ini. Substansi cartilaginous, warna coklat tua atau kekuning-
kuningan. Mempunyai holdfast utuk menempel pada substrat. Rumpun lebat dengan
Page 57 of 92
percabangan ke segala arah umbuh pada substrat batu atau substrat keras lainnya, dapat
bersifat epifit.
Alga melekatkan dirinya pada substrat dengan perantaraan organnya yang disebut
dengan holdfast. Berbeda dengan tumbuhan darat, alga tidak memerlukan struktur
jaringan untuk menyokong tegaknya tubuh dalam air. Hal ini dimungkinkan karena air
telah menyediakan daya apung yang membuat bagian-bagian tubuh alga dapat
terangkat ke atas di dalam kolom air. Disamping itu, pada spesies alga tertentu
ditemukan struktur organ menyerupai bola-bola kecil yang dapat menyerap udara dan
berperan sebagai pelampung, sehingga bagian-bagian tubuh alga tersebut dapat
terangkat ke atas untuk memaksimalkan penyerapan cahaya (Sze, 1993, Bold dan
Wynne, 1985 dalam Jelantik, 2003).
Acanthophora terdiri dari dua jenis yang tercatat, yakni A. spicipera dan A. muscoides.
Alga ini hidup menempel pada batu atau benda keras lainnya. Jenis yang pertama
sebarannya di Indonesia sangat luas sedangkan yang kedua sebarannya kurang meluas
dan terdapat di tempat tertentu. Sel memiliki plastida yang mengandung klorofil a, d,
dan pigmen fotosintetik lainnya yaitu xantofil, fikobiliprotein (fikoeritrin dan
fikosianin). Jjumlah kedua pigmen ini sangat banyak sehingga menutupi klorofil dan
menyebabkan ganggang ini berwarna merah. Semua pigmen berada dalam tilakoid
kecuali fikobiliprotein yang terdapat pada bagian permukaan. Pigmen-pigmen ini dapat
mengabsorpsi cahaya energi matahari yang kemudian cahaya itu ditransfer ke klorofil
a, sehingga adanya pigmen ini mempunyai pengaruh langsung dalam proses fotosintesis
(Gupta, 1981 dalam Dewi 2006).
Cadangan makanan berupa tepung floridae, yaitu suatu karbohidrat dalam bentuk
butiran-butiran kecil yang tersimpan dalam sitoplasma dan di luar plastid. Pada
beberapa alga juga terdapat gula floridasida galaktosida dan gliserol.
Dinding sel terdiri dari selulosa dan polisakarida yang menyerupai lender. Polisakarida
ini adalah agar dan keragenan yang menyusun 70% dari berat kering dinding sel.
Komponen dinding sel ini sangat menarik dan memiliki nilai komersiil yang sangat
tinggi sebagai bahan stabilizer.
Reproduksi pada jenis primitif secara aseksual, yaitu dengan cara membelah sel atau
dengan spora, sedangkan reproduksi seksualnya belum banyak diketahui. Pada jenis-
jenis yang lebih maju umumnya terdapat reproduksi aseksual dan seksual (Gupta, 1981
dalam Dewi 2006). Sel kelamin jantan dari alga ini tidak berflagel yang disebut
spermatium. Spermatium ini secara pasif terbawa oleh arus air, kemudian melekat pada
Page 58 of 92
alat kelamin betina (karpogonium). Setelah itu inti dari masing-masing sel kelamin
bersatu dan membentuk zigot.
III.3.8. Udotea sp
Udotea adalah sala satu alga hijau yang termasuk dalam ordo Bryopsidales dengan
genus Udotea. Ganggang ini ditemukan di dasar perairan laut dan menempel di dasar,
Penampakan alga ini hampir mirip dengan Halimeda hanya mempunyai thalli yang
lebih tipis berbentuk lembaran dan tidak membentuk segmen-segmen yang jelas.
Bentuknya menyerupai kipas yang berlipat-lipat berwarna hijau pada bagian
permukaan (Ali, 2010).
Udotea merupakan golongan divisi Chlorophyta atau Alga hijau yang merupakan
kelompok terbesar dari vegetasi algae. Algae hijau berbeda dengan devisi lainnya
karena memiliki warna hijau yang jelas seperti tumbuhan tingkat tnggi karena
mengandung pigmen klorofil a dan klorofil b lebih dominan dibandingkan karoten
dan xantofit (Sulisetjono,2009:65).
Udotea memiliki beberapa karakteristik yaitu talusnya berbentuk kipas, sedang
kalsifikasi, soliter dengan porsi melampirkan pendek tebal memperluas segera
menjadi pisau datar berbentuk tali, sering lobed, sangat zonate, dibedakan ke dalam
zona terang dan gelap, fleksibel, baik kalsifikasi, melekat pada dasar melalui suatu
memanjang , bulat, massa akar. Luas tidak teratur terbagi menjadi beberapa segmen.
Daun yang terdiri internal filamen pluriseriate, sangat tegas koheren ke dalam korteks
perusahaan. Pada filamen padat bercabang, dengan berbagai teratur ditempatkan
pedicellate pelengkap lateral, padat dan fasciculanya bercabang dan terminating di
truncate atau apieces dactyline. Blade sifon konstriksi atas dikotomi tidak ada atau
sedikit jarang simetris; pelengkap lateral yang tidak teratur spasi, panjang bertangkai,
bercabang dikotom, Apeks ramai, pendek, bulat.
Habitat dari makroalga hijau ini adalah di air laut, biasanya di zona pasang surut yang
berdasar pasir bercampur Lumpur. Sering tumbuh dibawah kanopi padang lamun.
Sebaran. Asli sebagai alge tropis. Banyak ditemukan di perairan Kepulauan
Nusantara. Tumbuh di daerah terumbu karang umumnya.
Cadangan makanan pada ganggang hijau berupa amilum, tersusun sebagai rantai
glukosa tidak bercabang yaitu amilose dan rantai yang bercabang yaitu amilopektin
seringkali amilum terbentuk dalam granula bersama dengan bahan protein dalam
plastida disebut pirenoid (Tjitrosoepomo,2009 :55).
Page 59 of 92
Dalam pemanfaatan secara ekonomis Udotea masih sangat minim,atau bahkan belum
dimanfaatkan. Bila ditinjau secara biologi, alga merupakan kelompok tumbuhan yang
berklorofil yang terdiri dari satu atau banyak sel dan berbentuk koloni. Di dalam alga
terkandung bahan-bahan organik seperti polisakarida, hormon, vitamin, mineral, dan
juga senyawa bioaktif. Sejauh ini pemanfaatan alga sebagai komoditi perdagangan
atau bahan baku industri masih relatif kecil jika dibandingkan dengan
keanekaragaman jenis alga yang ada di Indonesia. Padahal komponen kimiawi yang
terdapat dalam alga sangat bermanfaat bagi bahan baku industri makanan, kosmetik,
farmasi dan lain-lain (Ali,2010).
III.3.9. Caulerpa sp
Caulerpa sp termasuk dalam ganggang hijau yang berhabitat di air laut, melekat pada
batu karang dengan rizoid. Termasuk dalam clasis chlorophyceae karena tubuh berupa
sel tunggal soliter atau berkoloni. Yang bersel banyak seperti filament. Mengandung
klorofil a, klorofil b, serta karotenoid. Termasuk dalam ordo Shiponales karena
bentuknya bermacam-macam. Thalusnya tidak mempunyai dinding pemisah
melintang sehingga dinding selnya menyelubungi massa plasma yang mengandung
banyak inti dan kloroplas. Termasuk family Caulerpaceae karena thalus bagian atas
menyerupai daun dan besarnya beberapa dm. berguna untuk asimilas. Bagian bawah
merupakan sumbu merayap terdapat leukoamiloplas dan rizoid. Perkembangbiakan
seksual dengan anisogami. Seluruh tubuh jantan dan betina mengeluarkan gamet dan
akhirnya mati.
Page 60 of 92
III. DISTRIBUSI MANGROVE, LAMUN, DAN RUMPUT LAUT
III.1. Distribusi Mangrove
Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh
beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah
pasang-surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini umumnya tumbuh pada daerah
intertidal dan supratidal yang cukup mendapat aliran air, dan terlindung dari
gelombang besar dan arus pasang-surut yang kuat. Karena itu hutan mangrove banyak
ditemukan di pantai-pantai teluk yang dangkal, estuaria, delta dan daerah pantai yang
terlindung. Mangrove terdistribusi dengan baik di daerah pantai tropis yaitu antara
32° LU hingga 38° LS meliputi wilayah Afrika, Asia, Australia, dan Amerika. Pada
daerah subtropis mangrove sebenarnya juga masih dapat dijumpai namun menurun
kelimpahan jenisnya seiring dengan bertambahnya derajat lintang (Tomlinson, 1994;
Hogarth, 2007). Indonesia adalah negara yang mempunyai ekosistem hutan mangrove
terluas di dunia dengan luas sekitar 3,8 juta ha, diikuti Brazil, Australia, Nigeria dan
Page 61 of 92
Mexico. Indonesia memiliki sekitar 40 % dari total hutan mangrove di dunia, dan dari
jumlah itu sekitar 75 % berada di Papua (http:/ferthobhades.wordpress.com).
Selanjutnya, Nontji (1993) dalam Giesen et al. (2007), mengatakan daerah yang luas
akan hutan mangrove diantaranya terdapat di pesisir Timur Sumatra, pesisir
Kalimantan, dan pesisir selatan Irian Jaya. Tahun 1980 jumlah hutan mangrove di
Indonesia sekitar 4,25 juta ha, tetapi pada tahun 2000 telah mengalami penurunan
menjadi 3 juta ha.
Peta Persebaran Mangrove di Indonesia
Menurut Macnae (1966), distribusi mangrove dan zonasinya merupakan interaksi
antara :
Frekuensi pasang surut
Salinitas air tanah
Kandungan air tanah
Pada Chapman (1976) : faktor yang paling penting adalah jumlah hari tanpa
penggenangan pasut , dan Jonstone and Frodin (1982) menganalisis lebih jauh bahwa
zonasi dan penggenangan tergantung dari :
Penggenangan dan ketinggian kolom air
Gelombang
Drainase
Salinitas/pengaruh air tawar
Substrat
Interaksi Biota dan biotik
Menurut Bangen (1999), Jenis-jenis bakau (Rhizophora spp.) biasanya tumbuh di
bagian terluar yang kerap digempur ombak. Bakau Rhizophora apiculata dan R.
mucronata tumbuh di atas tanah lumpur. Sedangkan bakau R. stylosa dan perepat
(Sonneratia alba) tumbuh di atas pasir berlumpur. Pada bagian laut yang lebih tenang
hidup api-api hitam (Avicennia alba) di zona terluar atau zona pionir ini. Pada bagian
lebih ke dalam, yang masih tergenang pasang tinggi, biasa ditemui campuran bakau
R. mucronata dengan jenis-jenis kendeka (Bruguiera spp.), kaboa (Aegiceras
corniculata) dan lain-lain. Sedangkan di dekat tepi sungai, yang lebih tawar airnya,
biasa ditemui nipah (Nypa fruticans), pidada (Sonneratia caseolaris) dan bintaro
(Cerbera spp.). Pada bagian yang lebih kering di pedalaman hutan didapatkan nirih
Page 62 of 92
(Xylocarpus spp.), teruntum (Lumnitzera racemosa), dungun (Heritiera littoralis) dan
kayu buta-buta (Excoecaria agallocha).
Hutan mangrove juga dapat dibagi menjadi zonasi-zonasi berdasarkan jenis vegetasi
yang dominan, mulai dari arah laut ke darat sebagai berikut:
1. Zona Avicennia, terletak paling luar dari hutan yang berhadapan langsung dengan
laut. Zona ini umumnya memiliki substrat lumpur lembek dan kadar salinitas tinggi.
Zona ini merupakan zona factor karena jenis tumbuhan yang ada memilliki perakaran
yang kuat untuk menahan pukulan gelombang, serta mampu membantu dalam proses
penimbunan sedimen.
2. Zona Rhizophora, terletak di belakang zona Avicennia. Substratnya masih berupa
lumpur lunak, namun kadar salinitasnya agak rendah. Mangrove pada zona ini masih
tergenang pada saat air pasang.
3. Zona Bruguiera, terletak di balakang zona Rhizophora dan memiliki substrat tanah
berlumpur keras. Zona ini hanya terendam pada saat air pasang tertinggi atau 2 kali
dalam sebulan.
4. Zona Nypa, merupakan zona yang paling belakang dan berbatasan dengan daratan.
Bengen (1999) menyatakan bahwa zonasi mangrove Indonesia dari laut ke darat pada
umumnya;
1. Daerah paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi
Avicennia sp. Biasanya berasosiasi dengan Sonneratia sp. yang bisa tumbuh pada
lumpur dalam yang kaya bahan-bahan.
2. Lebih actor darat, umumnya didominasi Rhizophora. Selain itu juga dijumpai
Bruguiera dan Xylocarpus.
3. Zona yang didominasi Bruguiera.
4. Zona transisi antara mangrove dengan hutan dataran rendah yang biasanya ditumbuhi
oleh Nypa fruticans dan pandan laut (Pandanus sp.)
Noor et.al., (2006) menyatakan bahwa zona mangrove bila dikaitan dengan pasang
surut terbagi sebagai berikut:
1. Areal yang selalu digenangi air walaupun saat pasang terendah. Didominasi
Avicennia dan Sonneratia.
2. Areal yang digenangi oleh pasang sedang. Dominasi Rhizophora.
3. Areal yang digenangi hanya pada saat pasang tinggi, areal ini lebih ke daratan.
Umumnya didominasi oleh Bruguiera dan Xylocarpus. Areal yang digenangi hanya
Page 63 of 92
pada saat pasang tertinggi (hanya beberapa hari dalam sebulan). Didominasi B.
sexangula dan L. littorea.
Penyebaran hutan mangrove ditentukan oleh berbagai faktor lingkungan, salah satu
diantaranya adalah salinitas. Berdasarkan salinitas kita mengenal zonasi hutan
mangrove sebagai berikut (De Haan dalam Russell & Yonge, 1968):
Zona air payau hingga air laut dengan salinitas pada waktu terendam air pasang
berkisar antara 10 – 30 0/00 :
1. (A1) Area yang terendam sekali atau dua kali sehari selama 20 hari dalam sebulan:
hanya Rhizophora mucronatayang masih dapat tumbuh.
2. (A2) Area yang terendam 10 – 19 kali per bulan: ditemukan Avicennia (A. alba, A.
marina), Sonneratia griffithii dan dominan Rhizophora sp.
3. (A3) Area yang terendam kurang dari sembilan kali setiap bulan: ditemukan
Rhizophora sp., Bruguiera sp.
4. (A4) Area yang terendam hanya beberapa hari dalam setahun: Bruguiera
gymnorhizadominan, dan Rhizophora apiculata masih dapat hidup
(B) Zona air tawar hingga air payau, dimana salinitas berkisar antara 0 – 10 0/00 :
1. (B1) Area yang kurang lebih masih dibawah pengaruh pasang surut: asosiasi Nypa.
2. Area yang terendam secara musiman: Hibiscus dominan.
Salah satu tipe zonasi hutan mangrove
di Indonesia adalah sebagai berikut :
1. Daerah yang paling dekat dengan laut sering ditumbuhi Avicennia dan Sonneratia.
Sonneratia biasa tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik.
2. Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora sp. Di
zona ini juga dijumpai Bruguiera dan Xylocarpus.
Page 64 of 92
3. Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp. Selanjutnya terdapat zona transisi
antara hutan mangrove dan hutan dataran rendah yang biasanya ditumbuhi oleh nipah
(Nypa fruticans), dan pandan laut (Pandanus spp.).
Beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan mangrove di suatu
lokasi adalah :
1. Fisiografi pantai (topografi)
Fisiografi pantai dapat mempengaruhi komposisi, distribusi spesies dan lebar hutan
mangrove. Pada pantai yang landai, komposisi ekosistem mangrove lebih beragam
jika dibandingkan dengan pantai yang terjal. Hal ini disebabkan karena pantai landai
menyediakan ruang yang lebih luas untuk tumbuhnya mangrove sehingga distribusi
spesies menjadi semakin luas dan lebar. Pada pantai yang terjal komposisi, distribusi
dan lebar hutan mangrove lebih kecil karena kontur yang terjal menyulitkan pohon
mangrove untuk tumbuh.
2. Pasang (lama, durasi, rentang)
Pasang yang terjadi di kawasan mangrove sangat menentukan zonasi tumbuhan dan
komunitas hewan yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove. Secara rinci
pengaruh pasang terhadap pertumbuhan mangrove dijelaskan sebagai berikut:
Lama pasang :
a. Lama terjadinya pasang di kawasan mangrove dapat mempengaruhi perubahan
salinitas air dimana salinitas akan meningkat pada saat pasang dan sebaliknya akan
menurun pada saat air laut surut
b. Perubahan salinitas yang terjadi sebagai akibat lama terjadinya pasang merupakan
faktor pembatas yang mempengaruhi distribusi spesies secara horizontal.
c. Perpindahan massa air antara air tawar dengan air laut mempengaruhi distribusi
vertikal organisme
Durasi pasang :
a. Struktur dan kesuburan mangrove di suatu kawasan yang memiliki jenis pasang
diurnal, semi diurnal, dan campuran akan berbeda.
b. Komposisi spesies dan distribusi areal yang digenangi berbeda menurut durasi pasang
atau frekuensi penggenangan. Misalnya : penggenagan sepanjang waktu maka jenis
yang dominan adalah Rhizophora mucronata dan jenis Bruguiera serta Xylocarpus
kadang-kadang ada.
Rentang pasang (tinggi pasang):
Page 65 of 92
a. Akar tunjang yang dimiliki Rhizophora mucronata menjadi lebih tinggi pada lokasi
yang memiliki pasang yang tinggi dan sebaliknya
b. Pneumatophora Sonneratia sp menjadi lebih kuat dan panjang pada lokasi yang
memiliki pasang yang tinggi.
3. Gelombang dan arus
a. Gelombang dan arus dapat merubah struktur dan fungsi ekosistem mangrove. Pada
lokasi-lokasi yang memiliki gelombang dan arus yang cukup besar biasanya hutan
mangrove mengalami abrasi sehingga terjadi pengurangan luasan hutan.
b. Gelombang dan arus juga berpengaruh langsung terhadap distribusi spesies misalnya
buah atau semai Rhizophora terbawa gelombang dan arus sampai menemukan
substrat yang sesuai untuk menancap dan akhirnya tumbuh.
c. Gelombang dan arus berpengaruh tidak langsung terhadap sedimentasi pantai dan
pembentukan padatan-padatan pasir di muara sungai. Terjadinya sedimentasi dan
padatan-padatan pasir ini merupakan substrat yang baik untuk menunjang
pertumbuhan mangrove
d. Gelombang dan arus mempengaruhi daya tahan organisme akuatik melalui
transportasi nutrien-nutrien penting dari mangrove ke laut. Nutrien-nutrien yang
berasal dari hasil dekomposisi serasah maupun yang berasal dari runoff daratan dan
terjebak di hutan mangrove akan terbawa oleh arus dan gelombang ke laut pada saat
surut.
4. Iklim (cahaya,curah hujan, suhu, angin)
Mempengaruhi perkembangan tumbuhan dan perubahan faktor fisik (substrat dan air).
Pengaruh iklim terhadap pertimbuhan mangrove melalui cahaya, curah hujan, suhu,
dan angin. Penjelasan mengenai faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
a. Cahaya berpengaruh terhadap proses fotosintesis, respirasi, fisiologi, dan struktur fisik
mangrove. berpengaruh terhadap perbungaan dan germinasi dimana tumbuhan yang
berada di luar kelompok (gerombol) akan menghasilkan lebih banyak bunga karena
mendapat sinar matahari lebih banyak daripada tumbuhan yang berada di dalam
gerombol.
b. Intensitas, kualitas, lama (mangrove adalah tumbuhan long day plants yang
membutuhkan intensitas cahaya yang tinggi sehingga sesuai untuk hidup di daerah
tropis) pencahayaan mempengaruhi pertumbuhan mangrove
c. Laju pertumbuhan tahunan mangrove yang berada di bawah naungan sinar matahari
lebih kecil dan sedangkan laju kematian adalah sebaliknya
Page 66 of 92
d. Curah hujan
Jumlah, lama, dan distribusi hujan mempengaruhi perkembangan tumbuhan mangrove
Curah hujan yang terjadi mempengaruhi kondisi udara, suhu air, salinitas air dan
tanah
Curah hujan optimum pada suatu lokasi yang dapat mempengaruhi pertumbuhan
mangrove adalah yang berada pada kisaran 1500-3000 mm/tahun
e. Suhu
Suhu berperan penting dalam proses fisiologis (fotosintesis dan respirasi)
Produksi daun baru Avicennia marina terjadi pada suhu 18-20C dan jika suhu lebih
tinggi maka produksi menjadi berkurang
Rhizophora stylosa, Ceriops, Excocaria, Lumnitzera tumbuh optimal pada suhu 26-
28C
Bruguiera tumbuah optimal pada suhu 27C, dan Xylocarpus tumbuh optimal pada
suhu 21-26C
f. Angin
Angin mempengaruhi terjadinya gelombang dan arus
Angin merupakan agen polinasi dan diseminasi biji sehingga membantu terjadinya
proses reproduksi tumbuhan mangrove
5. Salinitas
a. Salinitas optimum yang dibutuhkan mangrove untuk tumbuh berkisar antara 10-30 ppt
b. Salinitas secara langsung dapat mempengaruhi laju pertumbuhan dan zonasi
mangrove, hal ini terkait dengan frekuensi penggenangan
c. Salinitas air akan meningkat jika pada siang hari cuaca panas dan dalam keadaan
pasang
d. Salinitas air tanah lebih rendah dari salinitas air
6. Oksigen terlarut
a. Oksigen terlarut berperan penting dalam dekomposisi serasah karena bakteri dan
fungsi yang bertindak sebagai dekomposer membutuhkan oksigen untuk
kehidupannya.
b. Oksigen terlarut juga penting dalam proses respirasi dan fotosintesis 3. Oksigen
terlarut berada dalam kondisi tertinggi pada siang hari dan kondisi terendah pada
malam hari
7. Tanah
Karakteristik substrat merupakan faktor pembatas terhadap pertumbuhan mangrove
Page 67 of 92
a. Rhizophora mucronata dapat tumbuh baik pada substrat yang dalam/tebal dan
berlumpur
b. Avicennia marina dan Bruguiera hidup pada tanah lumpur berpasir
c. Tekstur dan konsentrasi ion mempunyai susunan jenis dan kerapatan tegakan
Misalnya jika komposisi substrat lebih banyak liat (clay) dan debu (silt) maka tegakan
menjadi lebih rapat
d. Konsentrasi kation Na>Mg>Ca atau K akan membentuk konfigurasi hutan
Avicennia/Sonneratia/Rhizophora/Bruguiera
e. Mg>Ca>Na atau K yang ada adalah Nipah
f. Ca>Mg, Na atau K yang ada adalah Melauleuca
8. Hara
Unsur hara yang terdapat di ekosistem mangrove terdiri dari hara inorganik dan
organik.
a. Inorganik : P, K, Ca, Mg, Na
b. Organik : Allochtonous dan Autochtonous (fitoplankton, bakteri, alga)
III.2. Distribusi Lamun
Mukai (1993) mengatakan bahwa pola penyebaran modern dari lamun dibarat Pasifik
merupakan fungsi dari arus laut dan jarak dari pusat asal usul (Malesia). Datanya
menjelaskan bahwa jika mengikuti arus laut utama yang berasal dari pusat asal usul
(Malesia) dengan keanekaragaman lamun tinggi, maka akan terjadi penurunan
keanekaragaman lamun secara progresif kearah tepi (Jepang, Selatan Quensland, Fiji)
yang memiliki lebih sedikit jenis lamun tropis. Yang perlu dicermati bahwa distribusi
lamun sepanjang utara-mengalirnya Kuroshio dan selatan-aliran timur arus Australia
juga merefleksikan gradient lintang. Hal lainnya adalah penyebaran lamun sepanjang
Gradient ini juga dipengaruhi oleh temperatur.
Di Indonesia ditemukan jumlah jenis lamun yang relatif lebih rendah dibandingkan
Filipina, yaitu sebanyak 12 jenis dari 7 marga. Namun demikian terdapat dua jenis
lamun yang diduga ada di Indonesia namun belum dilaporkan yaitu Halophila beccarii
dan Ruppia maritime* (Kiswara 1997). Dari beberapa jenis yang ada di Indonesia,
terdapat jenis lamun kayu (Thalassodendron ciliatum) yang penyebarannya sangat
terbatas dan terutama di wilayah timur perairan Indonesia, kecuali juga ditemukan di
daerah terumbu tepi di kepulauan Riau (Tomascik et al 1997). Jenis-jenis lamun
tersebut membentuk padang lamun baik yang bersifat padang lamun monospesifik
Page 68 of 92
maupun padang lamun campuran yang luasnya diperkirakan mencapai 30.000 km2
(Nienhuis 1993).
Lamun secara internasional dikenal sebagai seagrass merupakan tumbuhan tingkat
tinggi dan berbunga (angiospermae) yang sudah sepenuhnya menyesuaikan diri hidup
terbenam di dalam laut. Keberadaan bunga dan buah ini adalah faktor utama yang
membedakan lamun dengan jenis tumbuhan lainnya yang hidup terbenam dalam laut
lainnya, seperti rumput laut (seaweed).
Lamun umumnya membentuk padang lamun yang luas di dasar laut yang masih dapat
dijangkau oleh cahaya matahari yang memadai bagi pertumbuhannya. Lamun hidup
di perairan yang dangkal dan jernih, dengan sirkulasi air yang baik. Air yang
bersirkulasi diperlukan untuk menghantarkan zat-zat hara dan oksigen, serta
mengangkut hasil metabolisme lamun ke luar daerah padang lamun.
Di seluruh dunia diperkirakan terdapat sebanyak 60 jenis lamun, yang terdiri atas 2
suku dan 12 marga (Kuo dan Mccomb 1989), dimana di Indonesia ditemukan sekitar
13 jenis yang terdiri atas 2 suku dan 7 marga. Mereka hidup dan berkembang baik
pada lingkungan perairan laut dangkal, muara sungai, daerah pesisir yang selalu
mendapat genangan air atau terbuka ketika saat air surut. Tempat tumbuhnya adalah
dasar pasir, pasir berlumpur, lumpur dan kerikil karang bahkan ada jenis lamun yang
mampu hidup pada dasar batu karang. Habitat tempat hidup lamun adalah perairan
dangkal agak berpasir dan sering juga dijumpai di terumbu karang.
Berdasarkan genangan air dan kedalam, sebaran lamun secara vertikal dapat
dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu (Kiswara 1997) :
1. Jenis lamun yang tumbuh di daerah dangkal dan selalu terbuka saat air surut yang
mencapai kedalaman kurang dari 1 meter saat surut terendah.
Contoh: Halodule pinifola, Halodule uninervis, Halophila minor/ovata, Halophila
ovalis, Thalassia hemprichii, Cymodoceae rotundata, Cymodoceae serrulata,
Syringodinium isotifolium dan Enhalus acaroides.
2. Jenis lamun yang tumbuh di daerah kedalaman sedang atau daerah pasang surut
dengan kedalaman perairan berkisar antara 1-5 meter. Contoh: Halodule uninervis,
Halophila ovalis, Thalassia hemprichii, Cymodoceae rotundata, Cymodoceae
serrulata, Syringodinium isotifolium, Enhalus acaroides dan Thalassodendron
ciliatum.
Page 69 of 92
3. Jenis lamun yang tumbuh pada perairan dalam dengan kedalaman mulai 5-35 meter.
Contoh: Halophila ovalis, Halophila decipiens, Halophila spinulosa, Thalassia
hemprichii, Syringodinium isotifolium dan Thalassodendron ciliatum.
Lamun terdapat di semua wilayah pesisir di dunia, kecuali di sepanjang pantai
Antartika, diperkirakan karena ice scouring, yang mana sangat merusakan lamun
(Robertson & amp; Mann 1984 in Hemminga dan Duarte 2004), mengubah daerah
menjadi tidak cocok untuk kehidupan lamun. Spesies Lamun sering dipisahkan
menjadi genus tropis dan subtropis (temperate). Yang pertama dianggap terdiri dari
tujuh marga, sedangkan yang kedua terdiri dari lima genus yang tersisa. Namun
demikian, pengecualian terlalu banyak untuk divisi ini agar bisa digunakan sebagai
klasifikasi umum. Sebagai contoh, Cymodocea nodosa dianggap sebagai genus tropis,
tersebar luas di sepanjang pantai beriklim temperate Laut Mediterranean, Pantai
Atlantik di Portugal selatan dan bagian utara Afrika Barat (den Hartog 1970 in
Hemminga dan Duarte 2004), sedangkan spesies Zostera, dianggap sebagai genus
temperate, juga ditemui di sepanjang pesisir tropis, seperti populasi Zostera japonica
di sepanjang pantai Vietnam. Hal ini mungkin lebih akurat untuk membedakan antara
sembilan flora lamun yang berbeda (Tabel 1, Gambar 2), yang dapat diringkas,
mengikuti kriteria parsimonic, menjadi:
1. Flora subtropis Laut Atlantik Utara (A temperate North Atlantic flora)
2. Flora subtropis Laut Pasifik Timur (A temperate East Pacific flora)
3. Flora subtropis Laut Pasifik Barat (A temperate West Pacific flora)
4. Flora subtropis Laut Atlantik Selatan (A temperate South Atlantic flora)
5. Flora Laut Mediterranenan (A Mediterranean flora)
6. Flora Laut Caribbean (A Caribbean flora)
7. Flora Laut Hindia-Pasifik (An Indo-Pacific flora)
8. Flora Laut Australia Selatan (A South Australia flora)
9. Flora Laut Selandia Baru (A New Zealand flora)
Sedangkan UNEP-WCMC (United Nations Environment Programme – World
Conservation Monitoring Centre) menyiapkan penyajian peta kepada Global Lamun
Workshop di Florida tahun 2001, dimana telah diperiksa oleh para ahli lamun regional
dan nasional. Akibatnya, data baru poin ditambahkan, dataset baru dan referensi
diberikan, dan lokasi yang salah atau data poin palsu (spurious)
Page 70 of 92
dihapus. Bioregion disusun untuk menggambarkan distribusi lamun dan kumpulan
spesies (Short et al. 2001 in Short et al 2007).
Lamun secara global memiliki lima pusat diversitas tinggi , semua yang terjadi di
belahan bumi timur dan empat yang terjadi pada bioregion Indo-Pasifik Tropis; itu,
kelima Australia barat daya, terjadi dalam bioregion Beriklim berdekatan Samudera
Selatan. Yang pertama dan terbesar, dengan jumlah terbesar spesies lamun (19),
terletak di kepulauan Asia Tenggara dan meluas ke seluruh bagian tropis Australia
utara, termasuk Great Barrier Reef; semua kecuali dua spesies (Z. muelleri dan Z.
japonica), lamun tropis berkontribusi pada keragaman tinggi daerah ini. Kedua, pusat
yang jauh lebih kecil keanekaragamannya ditemukan di bagian tenggara India,
diwakili oleh 13 spesies tropis. Tiga pusat lainnya keragaman yang tinggi secara
global, terletak di Afrika bagian timur, Jepang selatan dan Australia barat daya,
dengan terletak atau didekat antarmuka bioregional, meliputi baik spesies lamun
tropis dan temperate. Afrika Timur, dengan 12 spesies, hanya memiliki satu
spesies temperate (Z. capensis), berkontribusi terhadap campuran sebagian besar
spesies tropis. Bagian selatan Jepang juga memiliki 12 spesies, dengan Z.
Japonica adalah satu spesies temperate yang memberikan kontribusi terhadap
keragaman daerah tropis ini. Dalam bioregion temperate Southern Ocean, Australia
barat daya dengan 13 spesies memiliki 4 spesies tropis yang berkontribusi terhadap
keragaman yang tinggi. Melihat pola keragaman lebih terinci (Gambar 4), dan juga di
rentang spesies individu yang mendukung mereka (Green dan Short, 2003 in Short et
al 2007), bioregion lamun dibahas dari keanekaragaman lamun terbesar sampai yang
terkecil.Ada beberapa faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap distribusi dan
kestabilan ekosistem padang lamun antara lain kecerahan, temperature, salinitas,
substrat, kecepatan arus.
1. Kecerahan
Penetrasi cahaya yang masuk ke dalam perairan sangat mempengaruhi proses
fotosintesis yang dilakukan oleh tumbuhan lamun. Lamun membutuhkan intensitas
cahaya yang tinggi untuk proses fotosintesa tersebut dan jika suatu perairan mendapat
pengaruh akibat aktivitas pembangunan sehingga meningkatkan sedimentasi pada
badan air yang akhirnya mempengaruhi turbiditas maka akan berdampak buruk
Page 71 of 92
terhadap proses fotosintesis. Kondisi ini secara luas akan mengganggu produktivitas
primer ekosistem lamun.
2. Temperature
Secara umum ekosistem padang lamun ditemukan secara luas di daerah bersuhu
dingin dan di tropis. Hal ini mengindikasikan bahwa lamun memiliki toleransi yang
luas terhadap perubahan temparatur. Kondisi ini tidak selamanya benar jika kita hanya
memfokuskan terhadap lamun di daerah tropis karena kisaran lamun dapat tumbuh
optimal hanya pada temperatur 28-300C. Hal ini berkaitan dengan kemampuan proses
fotosintesis yang akan menurun jika temperatur berada di luar kisaran tersebut.
3. Salinitas
Kisaran salinitas yang dapat ditolerir lamun adalah 10-40‰ dan nilai optimumnya
adalah 35‰. Penurunan salinitas akan menurunkan kemampuan lamun untuk
melakukan fotosintesis. Toleransi lamun terhadap salinitas bervariasi juga terhadap
jenis dan umur. Lamun yang tua dapat mentoleransi fluktuasi salinitas yang besar.
Salinitas juga berpengaruh terhadap biomassa, produktivitas, kerapatan, lebar daun
dan kecepatan pulih. Sedangkan kerapatan semakin meningkat dengan meningkatnya
salinitas.
4. Substrat
Padang lamun hidup pada berbagai macam tipe sedimen, mulai dari lumpur sampai
karang. Kebutuhan substrat yang utama bagi pengembangan padang lamun adalah
kedalaman sedimen yang cukup. Peranan kedalaman substrat dalam stabilitas sedimen
mencakup 2 hal yaitu : pelindung tanaman dari arus laut dan tempat pengolahan dan
pemasok nutrien.
5. Kecepatan arus
Produktivitas padang lamun dipengaruhi oleh kecepatan arus.
Berbagai penelitian yang dilakukan di beberapa tempat seperti Samudra Hindia,
Samudra Pasifik, dan Mozambique membuktikan bahwa lamun berfungsi sebagai
habitat untuk ikan (Kopalit 2010). Lamun yang kaya akan nutrien menjadi sumber
makanan bagi ikan muda. Helai daun lamun menjadi tempat perlindungan yang ideal
dari ancaman predator dan sengatan matahari serta menjadi tempat penempelan epifit
yang menjadi makanan bagi beberapa ikan (Baker dan Sheppard 2006). Diduga
beberapa ikan muda masuk ke padang lamun saat masa planktonik hingga usia muda.
Setelah ikan menjadi berukuran dewasa, lamun tidak lagi menjadi tempat yang baik
untuk bersembunyi dari predator. Peranan padang lamun sebagai tempat mencari
Page 72 of 92
makan diperlihatkan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Roblee dan Ziemann
1984) sekitar 15 spesies yang ditemukannya adalah ikan nokturnal yang berpindah
tempat di malam hari untuk mencari makan, dan lebih dari 87% pengunjung nokturnal
didominasi oleh ikan karang. Tidak hanya terbatas pada ikan nokturnal, lamun juga
dapat dijadikan sebagai feeding ground bagi juvenile ikan karang yang bermigrasi di
siang hari. Menurut (Dolar 1989 dalam Kopalit 2010) menyebutkan, keanekaragaman
dan kelimpahan spesies ikan di padang lamun berhubungan dengan kelimpahan
Crustacea seperti udang. Hal ini dikarenakan beberapa ikan menjadi predator penting
bagi juvenile udang yang bermigrasi dari mangrove ke lamun. Pada ekosistem padang
lamun berasosiasi berbagai jenis biota laut yang bernilai penting dengan tingkat
keragaman yang sangat tinggi. Padang lamun merupakan ekosistem yang tinggi
produktifitas organiknya dengan keanekaragaman biota yang cukup tinggi. Menurut
(Azkab 1999) pada ekosistem lamun merupakan salah satu ekosistem di laut dangkal
yang paling produktif. Di samping itu juga ekosistem lamun mempunyai peranan
penting dalam menunjang kehidupan dan penguraian organisme yang telah mati di
laut dangkal (Bengen 2001), seperti :
a. Sebagai produsen primer : Lamun memiliki tingkat produktifitas primer tertinggi bila
dibandingkan dengan ekosistem lainnya yang ada dilaut dangkal seperti ekosistem
terumbu karang
b. Sebagai habitat biota : Lamun memberikan tempat perlindungan dan tempat
menempel berbagai hewan dan tumbuh-tumbuhan (alga). Disamping itu, padang
lamun dapat juga sebagai daerah asuhan, padang pengembalaan dan makanan
berbagai jenis ikan herbivora dan ikan-ikan karang (coral fishes)
c. Sebagai penangkap sedimen : Daun lamun yang lebat akan memperlambat air yang
disebabkan oleh arus dan ombak, sehingga perairan disekitarnya menjadi tenang.
Disamping itu, rimpang dan akar lamun dapat menahan dan mengikat sedimen,
sehingga dapat menguatkan dan menstabilkan dasar permukaan. Jadi, padang lamun
disini berfungsi sebagai penangkap sedimen dan juga dapat mencegah erosi.
III.3. Distribusi Rumput Laut
III.3.1. Halimeda micronesica
Africa: Kenya (Silva, Basson & Moe 1996, Bolton, Oyieke & Gwanda 2007),
Madagascar (Silva, Basson & Moe 1996), Tanzania (incl. Zanzibar) (Coppejans,
Leliaert & De Clerck 2000).
Page 73 of 92
Indian Ocean Islands: Aldabra Islands (Silva, Basson & Moe 1996), Chagos
Archipelago (Silva, Basson & Moe 1996), Maldives (Silva, Basson & Moe 1996),
Seychelles (Silva, Basson & Moe 1996).
Asia: China (Tseng 1984, Liu 2008), Japan (Yoshida, Nakajima & Nakata 1990,
Yoshida 1998).
South-east Asia: Indonesia (Verheij & Prud'homme van Reine 1993, Silva, Basson &
Moe 1996, Atmadja & Prud'homme van Reine 2014), Philippines (Silva, Meñez &
Moe 1987, Ang, Sin Man Leung & Mei Mei Choi 2014), Vietnam (Tien 2007).
Australia and New Zealand: Papua New Guinea (Coppejans et al. 2001), Queensland
(Lewis 1987, Phillips 1997, Phillips 2002, Verbruggen et al., Kraft 2007, Bostock &
Holland 2010).
Pacific Islands: Central Polynesia (Tsuda & Walsh 2013), Federated States of
Micronesia (Lobban & Tsuda 2003, Tsuda 2006), Fiji (N'Yeurt, South & Keats 1996,
South & Skelton 2003, Littler & Littler 2003), French Polynesia (Payri, N'Yeurt &
Orempuller 2000), Mariana Islands (Tsuda 2003), Marshall Islands (Taylor 1950),
Republic of Palau (Ohba et al 2007), Solomon.
Islands (Womersley & Bailey 1970), Wake Atoll (Ysuda et al. 2010), Wallis &
Futuna Is. (Verbruggen et al.).
III.3.2. Halimeda macroloba
Africa: Djibouti (Silva, Basson & Moe 1996), Egypt (Papenfuss 1968), Kenya (Silva,
Basson & Moe 1996, Bolton, Oyieke & Gwanda 2007), Madagascar (Silva, Basson &
Moe 1996), Somalia (Silva, Basson & Moe 1996), Tanzania (incl. Zanzibar) (Silva,
Basson & Moe 1996, Oliveira, Österlund & Mtolera 2005, Verbruggen et al 2005,
Verbruggen et al.).
Indian Ocean Islands: Aldabra Islands (Silva, Basson & Moe 1996), Andaman Islands
(Silva, Basson & Moe 1996), Comoros and Mayotte (Silva, Basson & Moe 1996),
Laccadive Islands (Silva, Basson & Moe 1996), Nicobar Islands (Silva, Basson &
Moe 1996), Seychelles (Silva, Basson & Moe 1996).
Page 74 of 92
South-west Asia: India (Silva, Basson & Moe 1996, Sahoo et al. 2001,
Suryanarayanan et al. 2010), Jordan (Papenfuss 1968), Sri Lanka (Silva, Basson &
Moe 1996), Yemen (Silva, Basson & Moe 1996).
Asia: China (Dong & Tseng 1980, Tseng 1984, Liu 2008, Titlyanov et al. 2011),
Japan (Okamura 1936, Segawa 1981, Yoshida, Nakajima & Nakata 1990, Yoshida
1998), Taiwan (Lewis & Norris 1987, Shao 2003-2014, Anon. 2012, Anon. 2012).
South-east Asia: Indonesia (Verheij & Prud'homme van Reine 1993, Silva, Basson &
Moe 1996, Atmadja & Prud'homme van Reine 2014), Malaysia (Silva, Basson & Moe
1996), Philippines (Silva, Meñez & Moe 1987, Verbruggen et al 2005, Ang, Sin Man
Leung & Mei Mei Choi 2014), Singapore (Pham et al. 2011), Thailand (Silva, Basson
& Moe 1996, Coppejans et al. 2011, Tsutsui et al. 2012), Vietnam (Tsutsui et al.
2005, Tien 2007, Titlyanov & Titlyanov 2012).
Australia and New Zealand: Northern Territory (Womersley 1958, Lewis 1987),
Papua New Guinea (Coppejans et al. 2001), Queensland (Lewis 1987, Cribb 1996,
Phillips 1997, Phillips 2002, Verbruggen et al 2005, Kraft 2007, Bostock & Holland
2010), Western Australia (Huisman & Borowitzka 2003, Verbruggen et al 2005,
Huisman et al. 2009).
Pacific Islands: American Samoa (Littler & Littler 2003, Skelton et al. 2004), Central
Polynesia (Tsuda & Walsh 2013, Tsuda & Walsh 2013), Federated States of
Micronesia (Lobban & Tsuda 2003, Tsuda 2006), Fiji (N'Yeurt, South & Keats 1996,
South & Skelton 2003, Verbruggen et al 2005), French Polynesia (Payri, N'Yeurt &
Orempuller 2000), Hawaiian Islands (Abbott & Huisman, 2004), Mariana Islands
(Tsuda 2003), Northwestern Hawaiian Islands (Tsuda 2014), Republic of Palau (Ohba
et al 2007), Samoan Archipelago (Skelton & South 1999), Solomon Islands
(Womersley & Bailey 1970), Tahiti (Verbruggen et al 2005, Verbruggen et al.).
III.3.3. Sargassum polycystum
Atlantic Islands: Canary Islands (Price, John & Lawson 1978, Gil-Rodríguez &
Afonso-Carrillo 1980).
Africa: Kenya (Silva, Basson & Moe 1996, Bolton, Oyieke & Gwanda 2007),
Madagascar (Silva, Basson & Moe 1996), Mauritius (Silva, Basson & Moe 1996),
Page 75 of 92
Tanzania (incl. Zanzibar) (Silva, Basson & Moe 1996, Oliveira, Österlund & Mtolera
2005, Matteo & Payri 2010).
Indian Ocean Islands: Andaman Islands (Silva, Basson & Moe 1996), Mascarene
Islands (Mattio et al. 2013), Réunion (Silva, Basson & Moe 1996), Rodrigues Island
(De Clerck et al. 2004), Seychelles (Silva, Basson & Moe 1996).
South-west Asia: India (Chiang, Yoshida, Ajisaka, Trono, Tseng & Lu Baoren 1992,
Silva, Basson & Moe 1996), Pakistan (Silva, Basson & Moe 1996), Sri Lanka (Silva,
Basson & Moe 1996, Coppejans et al. 2009).
Asia: China (Tseng 1984, Tseng & Lu Baoren 1988, Phillips 1995, Tseng & Lu 2000,
Liu 2008), Japan (Okamura 1936, Yoshida 1988, Yoshida, Nakajima & Nakata 1990,
Chiang, Yoshida, Ajisaka, Trono, Tseng & Lu Baoren 1992, Ajisaka, Noro &
Yoshida 1995, Phillips 1995, Yoshida 1998), Taiwan (Lewis & Norris 1987, Yoshida
1988, Chiang, Yoshida, Ajisaka, Trono, Tseng & Lu Baoren 1992, Shao 2003-2014,
Anon. 2012, Anon. 2012), Xisha Islands (Chiang, Yoshida, Ajisaka, Trono, Tseng &
Lu Baoren 1992).
South-east Asia: Indonesia (Tseng & Lu Baoren 1988, Chiang, Yoshida, Ajisaka,
Trono, Tseng & Lu Baoren 1992, Phillips 1995, Silva, Basson & Moe 1996, Atmadja
& Prud'homme van Reine 2014), Malaysia (Phillips 1995, Silva, Basson & Moe 1996,
Ajisaka, Phang & Yoshida 1999, Ajisaka 2002), Myanmar (Burma) (Chiang,
Yoshida, Ajisaka, Trono, Tseng & Lu Baoren 1992, Silva, Basson & Moe 1996),
Philippines (Silva, Meñez & Moe 1987, Trono 1992, Chiang, Yoshida, Ajisaka,
Trono, Tseng & Lu Baoren 1992, Phillips 1995, Liao, Belleza & Gerldino 2013, Ang,
Sin Man Leung & Mei Mei Choi 2014), Singapore (Teo & Wee 1983, Phillips 1995,
Silva, Basson & Moe 1996, Ajisaka 2002, Pham et al. 2011), Thailand (Phillips 1995,
Coppejans et al. 2011, Tsutsui et al. 2012), Vietnam (Pham-Hoàng 1969, Chiang,
Yoshida, Ajisaka, Trono, Tseng & Lu Baoren 1992, Phillips 1995, Stiger et al. 2000,
Yoshida, Stiger, Ajisaka & Noro 2002, Abbott, Fisher & McDermid 2002, Stiger et
al. 2004, Tsutsui et al. 2005, Dai 2007, Titlyanov et al. 2011, Titlyanov & Titlyanov
2012).
Australia and New Zealand: Lord Howe Island (Kraft 2009), Papua New Guinea
(Mattio & Payri 2009), Queensland (Lewis 1985, Chiang, Yoshida, Ajisaka, Trono,
Page 76 of 92
Tseng & Lu Baoren 1992, Cribb 1996, Phillips 1997, Phillips 2002, Mattio & Payri
2009, Kraft 2009, Bostock & Holland 2010), Western Australia (Dixon et al. 2012).
Pacific Islands: Central Polynesia (Tsuda & Walsh 2013), Federated States of
Micronesia (Tsuda 1988, Phillips 1995, Lobban & Tsuda 2003, Tsuda 2006), Fiji
(Chiang, Yoshida, Ajisaka, Trono, Tseng & Lu Baoren 1992, Phillips 1995, N'Yeurt,
South & Keats 1996, South & Skelton 2003, Littler & Littler 2003, Mattio et al. 2009,
Mattio & Payri 2009), Guam (Chiang, Yoshida, Ajisaka, Trono, Tseng & Lu Baoren
1992), Mariana Islands (Tsuda 2003), New Caledonia (Chiang, Yoshida, Ajisaka,
Trono, Tseng & Lu Baoren 1992, Noro & Abbott 1994, Mattio & Payri 2009),
Northern Mariana Islands (Chiang, Yoshida, Ajisaka, Trono, Tseng & Lu Baoren
1992), Republic of Palau (Ohba et al 2007), Solomon Islands (Mattio et al. 2009,
Mattio & Payri 2009), Tonga (Chiang, Yoshida, Ajisaka, Trono, Tseng & Lu Baoren
1992), Vanuatu (Mattio et al. 2009, Mattio & Payri 2009, Kraft 2009), Wallis &
Futuna Is. (Mattio et al. 2009).
III.3.4. Gracilaria salicornia
Africa: Eritrea (Ateweberhan & Prud'homme van Reine 2005), Kenya (Silva, Basson
& Moe 1996, Bolton, Oyieke & Gwanda 2007), Madagascar (Silva, Basson & Moe
1996), Mauritius (Silva, Basson & Moe 1996), Mozambique (Silva, Basson & Moe
1996), South Africa (Silva, Basson & Moe 1996, De Clerck, Tronchin & Schils 2005,
Iyer et al 2005), Tanzania (incl. Zanzibar) (Silva, Basson & Moe 1996, Oliveira,
Österlund & Mtolera 2005).
Indian Ocean Islands: Aldabra Islands (Silva, Basson & Moe 1996), Andaman Islands
(Silva, Basson & Moe 1996), Laccadive Islands (Silva, Basson & Moe 1996), Nicobar
Islands (Silva, Basson & Moe 1996), Réunion (Silva, Basson & Moe 1996),
Seychelles (Silva, Basson & Moe 1996).
South-west Asia: Arabian Gulf (John & Al-Thani 2014), India (Silva, Basson & Moe
1996, Sahoo et al. 2001, Pareek et al. 2010), Iran (Silva, Basson & Moe 1996,
Sohrabipour & Rabii 1999), Kuwait (Silva, Basson & Moe 1996), Oman (Silva,
Basson & Moe 1996), Pakistan (Silva, Basson & Moe 1996), Sri Lanka (Silva,
Basson & Moe 1996, Coppejans et al. 2009), Yemen (Silva, Basson & Moe 1996).
Page 77 of 92
Asia: China (Tseng 1984, Bangmei 1985, Xia & Zhang 1999, Liu 2008), Japan
(Yoshida, Nakajima & Nakata 1990, Yoshida 1998), Taiwan (Chiang 1985, Chiang
1985, Lewis & Norris 1987, Shao 2003-2014, Anon. 2012, Anon. 2012).
South-east Asia: Indonesia (Verheij & Prud'homme van Reine 1993, Silva, Basson &
Moe 1996, Tseng & Xia 1999, Atmadja & Prud'homme van Reine 2012), Malaysia
(Phang 1994, Silva, Basson & Moe 1996, Yamamoto & Phang 1997, Lim, Thong &
Phang 2001, Pletikapic et al. 2012), Philippines (Abbott 1985, Silva, Meñez & Moe
1987, Abbott 1994, Tseng & Xia 1999, Kraft et al. 1999, Kapraun & Dunwoody
2002, Gurgel & Fredericq 2004, Liao, Belleza & Gerldino 2013, Ang, Sin Man Leung
& Mei Mei Choi 2014), Singapore (Phang 1994, Silva, Basson & Moe 1996, Pham et
al. 2011), Thailand (Lewmanomont 1994, Silva, Basson & Moe 1996, Tseng & Xia
1999, Terada, Yamamoto & Muraoka 1999, Coppejans et al. 2011, Tsutsui et al.
2012), Vietnam (Nguyen H. Dinh 1992, Tseng & Xia 1999, Ohno, Terada &
Yamamoto 1999, Abbott, Fisher & McDermid 2002, Tsutsui et al. 2005, Titlyanov et
al. 2011, Titlyanov & Titlyanov 2012, Nguyen et al. 2013).
Australia and New Zealand: Papua New Guinea (Coppejans & Millar 2000),
Queensland (Lewis 1984, Cribb 1996, Phillips 1997, Millar & Xia 1997, Phillips
2002, Bostock & Holland 2010), Western Australia (Huisman & Borowitzka 2003).
Pacific Islands: Federated States of Micronesia (Meneses & Abbott 1987, Lobban &
Tsuda 2003, Tsuda 2006), Fiji (South & Skelton 2003, Littler & Littler 2003), Guam
(Tsuda 1985, Meneses & Abbott 1987), Hawaiian Islands (Magruder & Hunt 1979,
Abbott 1985, Abbott 1999, Smith, Hunter & Smith 2002, McDermid et al. 2005,
Huisman, Abbott & Smith 2007 ), Mariana Islands (Tsuda 2003), Northern Mariana
Islands (Meneses & Abbott 1987), Republic of Palau (Ohba et al 2007), Solomon
Islands (Womersley & Bailey 1970).
III.3.5. Caulerpa racemosa
Europe: Balearic Islands (Ballesteros, Grau & Riera 1999, Verlaque, Boudouresque,
Meinesz & Gravez 2000), Croatia (Nuber et al. 2007, Blazina, Ivesa & Najdek 2009),
Cyprus (Verlaque, Boudouresque, Meinesz & Gravez 2000), France (Verlaque,
Boudouresque, Meinesz & Gravez 2000, Renoncourt & Meinesz 2002, Anon. 2012),
Greece (Verlaque, Boudouresque, Meinesz & Gravez 2000), Italy (Alongi, Cormaci,
Page 78 of 92
Furnari & Giaccone 1993, Verlaque, Boudouresque, Meinesz & Gravez 2000,
Verlaque, Boudouresque, Meinesz & Gravez 2000, Rindi, Sartoni & Cinelli 2002,
Serio et al 2006, Valera-Alvarez et al 2006), Sardinia (Verlaque, Boudouresque,
Meinesz & Gravez 2000), Spain (Pena Martín et al. 2003 ), Turkey (Europe)
(Verlaque, Boudouresque, Meinesz & Gravez 2000, Einav 2007, Taskin et al. 2008 ),
Veneto (Sfriso 2011).
Atlantic Islands: Bermuda (Taylor 1960, Maloney et al. 2011 ), Canary Islands (Gil-
Rodríguez & Afonso-Carrillo 1980, Haroun Trabaue et al. 1985, Gil-Rodriguez,
Afonso-Carrillo & Wildpret de la Torre 1987, Ballesteros, Sansón, Reyes, Afonso-
Carrillo & Gil-Rodríguez 1992, Guadalupe et al. 1995, Haroun et al. 2002,
Aldanondo-Aristizábal, Domínguez-Alvarez & Gil-Rodríguez 2003, Gil-Rodríguez et
al. 2003, John et al. 2004, Barberá et al 2005, Barquín-Diez et al. 2005, Moreira-
Reyes, Soler-Onís & Gil-Rodríguez 2005, Aldanondo-Aristizábal et al. 2005, Anon.
2011, Anon. 2011, Anon. 2011, Anon. 2011, Anon. 2011, Afonso-Carrillo 2014),
Cape Verde Islands (John et al. 2004, Prud'homme van Reine, Haroun & Kostermans
2005), Madeira (Neto, Cravo & Haroun 2001, John et al. 2004), Salvage Islands (John
et al. 2004).
North America: Florida (Taylor 1960, Dawes 1974, Stam et al 2006), Mexico (Taylor
1960, Robledo & Freile-Pelegrín 2005).
Central America: Belize (Taylor 1960, Norris & Bucher 1982, Littler & Littler 1997),
Costa Rica (Taylor 1960, Fernández-García et al. 2011), El Salvador (Fernández-
García et al. 2011), Islas Revillagigedo (Taylor 1945), México (Pacific) (Pedroche et
al. 2005), Panama (Taylor 1960, Taylor 1960, Kooistra 2002, Famà, Wysor, Kooistra
& Zuccarello 2002, Wysor & Kooistra 2003, Wysor 2004, Fernández-García et al.
2011).
Caribbean Islands: Bahamas (Taylor 1960), Barbados (Taylor 1960, Taylor 1969),
Caicos Islands (Taylor 1960), Caribbean (Littler & Littler 2000), Cuba (Taylor 1960,
Cabrera, Moreira & Suárez 2004, Suárez 2005), Hispaniola (Taylor 1960), Jamaica
(Taylor 1960), Lesser Antilles (Taylor 1960, Taylor 1969), Martinique (Rodríguez-
Prieto, Michanek & Ivon 1999), Netherlands Antilles (Taylor 1960), Puerto Rico
Page 79 of 92
(Taylor 1960), Trinidad & Tobago (Taylor 1960, Richardson 1975, Duncan & Lee
Lum 2006), Virgin Islands (Taylor 1960).
Western Atlantic: Trop. & Subtrop. W. Atlantic (Wynne 2011, Mendes Crespo et al.
(2014).
South America: Aves (Taylor 1960), Brazil (Taylor 1930, Taylor 1960, Joly 1965,
Oliveira Filho 1977, Falcão & Menezes de Széchy 2005, Moura 2010, Batista et al.
2014), Colombia (Taylor 1960, Schnetter 1969), Galápagos Islands (Ruiz &
Ziemmeck 2011), Peru (Ramírez & Santelices 1991), Temperate South America
(Ramírez & Santelices 1991), Venezuela (Taylor 1960, Ganesan 1990).
Africa: Algeria (Bachir Bouiadjra et al. 2010), Côte d'Ivoire (John et al. 2004),
Djibouti (Silva, Basson & Moe 1996), Egypt (Aleem 1950, Papenfuss 1968,
Papenfuss 1968, Aleem 1993, Verlaque, Boudouresque, Meinesz & Gravez 2000,
Einav 2007, Marconi et al. 2011, Marconi et al. 2011), Equatorial Guinea (John,
Lawson & Ameka, 2003, John et al. 2004), Eritrea (Lipkin & Silva 2002), Ethiopia
(Papenfuss 1968), Gabon (Lawson & John 1987, John, Lawson & Ameka, 2003, John
et al. 2004), Ghana (Lawson & John 1987, John, Lawson & Ameka, 2003, John et al.
2004), Kenya (Silva, Basson & Moe 1996, Bolton, Oyieke & Gwanda 2007), Liberia
(John, Lawson & Ameka, 2003, John et al. 2004), Madagascar (Silva, Basson & Moe
1996), Mauritius (Børgesen 1940, Silva, Basson & Moe 1996), Morocco (Conde
Poyales 1992, Benhissoune, Boudouresque & Verlaque 2001), Mozambique (Silva,
Basson & Moe 1996), São Tomé & Príncipe (Lawson & John 1987, John, Lawson &
Ameka, 2003, John et al. 2004), Senegal (John et al. 2004), Sierra Leone (Lawson &
John 1987, John, Lawson & Ameka, 2003, John et al. 2004), Somalia (Silva, Basson
& Moe 1996), South Africa (Silva, Basson & Moe 1996), Sudan (Papenfuss 1968),
Tanzania (incl. Zanzibar) (Silva, Basson & Moe 1996, Oliveira, Österlund & Mtolera
2005), Tunisia (Ben Maiz, Boudouresque & Quahchi 1987, Verlaque, Boudouresque,
Meinesz & Gravez 2000).
Indian Ocean Islands: Aldabra Islands (Silva, Basson & Moe 1996), Andaman Islands
(Silva, Basson & Moe 1996), Laccadive Islands (Silva, Basson & Moe 1996),
Maldives (Silva, Basson & Moe 1996), Nicobar Islands (Silva, Basson & Moe 1996),
Page 80 of 92
Réunion (Silva, Basson & Moe 1996), Rodrigues Island (De Clerck et al. 2004),
Seychelles (Silva, Basson & Moe 1996).
South-west Asia: Bangladesh (Silva, Basson & Moe 1996), Cyprus (Einav 2007,
Taskin et al. 2013), India (Silva, Basson & Moe 1996, Sahoo et al. 2001,
Suryanarayanan et al. 2010), Iran (Sohrabipour & Rabii 1999), Israel (Verlaque,
Boudouresque, Meinesz & Gravez 2000, Einav 2007), Jordan (Papenfuss 1968),
Lebanon (Verlaque, Boudouresque, Meinesz & Gravez 2000, Einav 2007), Pakistan
(Silva, Basson & Moe 1996), Saudi Arabia (Papenfuss 1968), Sri Lanka (Silva,
Basson & Moe 1996, Coppejans et al. 2009), Syria (Verlaque, Boudouresque,
Meinesz & Gravez 2000, Einav 2007), Turkey (Asia) (Taskin et al. 2008 ), Yemen
(Papenfuss 1968, Silva, Basson & Moe 1996).
Asia: China (Liu 2008, Liu 2008, Liu 2008, Titlyanov et al. 2011), Hong Kong (Wang
et al. 2008), Korea (Lee & Kang 2001), Taiwan (Lewis & Norris 1987, Anon. 2012,
Anon. 2012).
South-east Asia: Indonesia (Verheij & Prud'homme van Reine 1993, Silva, Basson &
Moe 1996, Atmadja & Prud'homme van Reine 2014), Malaysia (Silva, Basson & Moe
1996), Myanmar (Burma) (Silva, Basson & Moe 1996), Philippines (Silva, Meñez &
Moe 1987, Verlque, Durand ,Huisman, Boudouresque & Le Parco 2003, Liao,
Belleza & Gerldino 2013, Ang, Sin Man Leung & Mei Mei Choi 2014), Singapore
(Silva, Basson & Moe 1996, Pham et al. 2011), Thailand (Coppejans et al. 2011),
Vietnam (Pham-Hoàng 1969, Hodgson et al. 2004, Tien 2007, Titlyanov et al. 2011,
Titlyanov & Titlyanov 2012).
Australia and New Zealand: Houtman Abrolhos (Huisman 1997, Huisman 1997,
Huisman 1997, Huisman 1997, Huisman 1997, Huisman 1997), Lord Howe Island
(Lewis 1987, Millar & Kraft 1994, Kraft 2000, Kraft 2007), New Zealand (Adams
1994, Broady et al. 2012), Norfolk Island (Millar 1999), Papua New Guinea
(Coppejans et al. 2001, Littler & Littler 2003), Queensland (Lewis 1987, Phillips
1997, Phillips 2002, Verlque, Durand ,Huisman, Boudouresque & Le Parco 2003,
Kraft 2007, Bostock & Holland 2010, Bostock & Holland 2010), Western Australia
(Huisman & Borowitzka 2003).
Page 81 of 92
Pacific Islands: American Samoa (Skelton et al. 2004), Central Polynesia (Tsuda &
Walsh 2013), Federated States of Micronesia (Lobban & Tsuda 2003, Tsuda 2006),
Fiji (N'Yeurt, South & Keats 1996, South & Skelton 2003), French Polynesia (Payri,
N'Yeurt & Orempuller 2000), Hawaiian Islands (Magruder & Hunt 1979, Abbott &
Huisman, 2004, Hodgson et al. 2004, Beach et al. 2006, Huisman, Abbott & Smith
2007), Mariana Islands (Tsuda 2003), Marshall Islands (Dawson 1957), Northwestern
Hawaiian Islands (Tsuda 2014), Republic of Palau (Ohba et al 2007), Samoan
Archipelago (Skelton & South 1999), Wake Atoll (Tsuda, Abbott & Foster 2006).
III.3.6. Galaxaura rugosa
Atlantic Islands: Bermuda (Taylor 1960), Canary Islands (Viera-Rodriguez et al.
1987), Cape Verde Islands (Otero-Schmitt & Sanjuan 1992).
North America: Florida (Taylor 1960), Mexico (Taylor 1960).
Central America: Belize (Norris & Bucher 1982, Littler & Littler 1997), Panama
(Taylor 1960).
Caribbean Islands: Bahamas (Taylor 1960), Barbados (Taylor 1960), Cuba (Taylor
1960), Jamaica (Taylor 1960), Lesser Antilles (Taylor 1960, Taylor 1969), Puerto
Rico (Taylor 1960), Virgin Islands (Taylor 1960).
South America: Brazil (Oliveira Filho 1977), Colombia (Taylor 1960), Venezuela
(Ganesan 1990).
Africa: Egypt (Papenfuss 1968 ), Ethiopia (Papenfuss 1968 ), Mauritius (Børgesen
1942).
South-west Asia: Iran (Sohrabipour & Rabii 1999), Israel (Papenfuss 1968 ), Jordan
(Papenfuss 1968 ).
Asia: Japan (Yoshida 1998), Taiwan (Lewis & Norris 1987, Shao 2003-2014, Anon.
2012).
South-east Asia: Vietnam (Tsutsui et al. 2005).
Page 82 of 92
Pacific Islands: Fiji (N'Yeurt, South & Keats 1996).
III.3.7. Acanthophora muscoides
Europe: Turkey (Europe) (Gómez Garreta et al. 2001, Einav 2007).
Atlantic Islands: Ascension (Price, John & Lawson 1986, John et al. 2004).
North America: Florida (Taylor 1960, de Jong, Hitipeuw & Prud'Homme van Reine
1999, Littler, Littler & Hanisak 2008), Mexico (Taylor 1960).
Central America: Belize (Taylor 1960), Costa Rica (Taylor 1960), Panama (Taylor
1960, de Jong, Hitipeuw & Prud'Homme van Reine 1999).
Caribbean Islands: Bahamas (Taylor 1960), Barbados (Taylor 1960, Taylor 1969,
Wynne, Bradshaw & Carrington 2014), Caribbean (Littler & Littler 2000), Cuba
(Taylor 1960, Suárez 2005), Hispaniola (Taylor 1960), Jamaica (Taylor 1960), Lesser
Antilles (Taylor 1960, Taylor 1969), Martinique (Rodríguez-Prieto, Michanek & Ivon
1999), Puerto Rico (de Jong, Hitipeuw & Prud'Homme van Reine 1999), Trinidad &
Tobago (Taylor 1960, Richardson 1975, Duncan & Lee Lum 2006), Virgin Islands
(Taylor 1960), West Indies (de Jong, Hitipeuw & Prud'Homme van Reine 1999).
Western Atlantic: Trop. & Subtrop. W. Atlantic (Wynne 2011).
South America: Brazil (Taylor 1930, Taylor 1960, Oliveira Filho 1977, de Jong,
Hitipeuw & Prud'Homme van Reine 1999, Creed et al. 2010), Colombia (Taylor
1960, Schnetter 1969).
Africa: Angola (Price, John & Lawson 1986, John et al. 2004), Cameroon (Price, John
& Lawson 1986, Lawson & John 1987, John, Lawson & Ameka, 2003, John et al.
2004), Equatorial Guinea (Price, John & Lawson 1986, Lawson & John 1987, John,
Lawson & Ameka, 2003, John et al. 2004), Gabon (Price, John & Lawson 1986,
Lawson & John 1987, John, Lawson & Ameka, 2003, John et al. 2004), Gambia
(Price, John & Lawson 1986, Lawson & John 1987, John, Lawson & Ameka, 2003,
John et al. 2004), Kenya (Silva, Basson & Moe 1996, Bolton, Oyieke & Gwanda
2007), Madagascar (Silva, Basson & Moe 1996), Mozambique (Silva, Basson & Moe
1996), São Tomé & Príncipe (Price, John & Lawson 1986, John, Lawson & Ameka,
2003, John et al. 2004), Senegal (de Jong, Hitipeuw & Prud'Homme van Reine 1999),
Page 83 of 92
Tanzania (incl. Zanzibar) (Silva, Basson & Moe 1996, Oliveira, Österlund & Mtolera
2005).
Indian Ocean Islands: Laccadive Islands (Silva, Basson & Moe 1996), Réunion
(Silva, Basson & Moe 1996), Seychelles (Silva, Basson & Moe 1996).
South-west Asia: Arabian Gulf (John & Al-Thani 2014), India (Silva, Basson & Moe
1996, Sahoo et al. 2001), Iran (Sohrabipour & Rabii 1999), Kuwait (Silva, Basson &
Moe 1996), Oman (Wynne & Jupp 1998), Turkey (Asia) (Taskin et al. 2008), Yemen
(Silva, Basson & Moe 1996).
Asia: China (Tseng 1984, Liu 2008), Japan (Yoshida, Nakajima & Nakata 1990,
Yoshida 1998), Korea (Lee 2008), Taiwan (Lewis & Norris 1987, Shao 2003-2014,
Anon. 2012).
South-east Asia: Indonesia (Verheij & Prud'homme van Reine 1993, Atmadja &
Prud'homme van Reine 2012), Philippines (Silva, Meñez & Moe 1987, Kraft et al.
1999, Ang, Sin Man Leung & Mei Mei Choi 2014), Singapore (Teo & Wee 1983,
Silva, Basson & Moe 1996, Pham et al. 2011), Vietnam (Titlyanov & Titlyanov 2012,
Nguyen et al. 2013).
Australia and New Zealand: Auckland Islands (Papenfuss 1964), Queensland (Lewis
1984, Cribb 1996, Phillips 1997, Phillips 2002).
Pacific Islands: Federated States of Micronesia (Tsuda 2006).
III.3.8. Udotea sp.
South-east Asia: Indonesia (Silva, Basson & Moe 1996, Atmadja & Prud'homme van
Reine 2014).
III.3.9. Caulerpa sp.
Pacific Islands: Solomon Islands (Womersley & Bailey 1970).
Western Atlantic: Trop. & Subtrop. W. Atlantic (Wynne 2011).
South-west Asia: Sri Lanka (Silva, Basson & Moe 1996).
Page 84 of 92
V. MANFAAT MANGROVE, LAMUN, DAN RUMPUT LAUT
V.1. Manfaat Mangrove
V.1.1. Fungsi Fisik
Menjaga garis pantai agar tetap stabil dan kokoh dari abrasi air laut
Melindungi pantai dan tebing sungai dari proses erosi atau abrasi serta menahan atau
menyerap tiupan angin kencang dari laut ke darat pada malam hari
Menahan sedimen secara periodik sampai terbentuk lahan baru
Sebagai kawasan penyangga proses intrusi atau rembesan air laut ke danau, atau
sebagai filter air asin menjadi air tawar
(Budiman ,1977)
V.1.2. Fungsi Kimia
Sebagai tempat terjadinya proses daur ulang yang menghasilkan oksigen
Sebagai penyerap karbondioksida
Page 85 of 92
Sebagai pengolah bahan-bahan limbah hasil pencemaran industri dan kapal di laut
(Budiman ,1977)
V.1.3. Fungsi Biologi
Sebagai kawasan untuk berlindung, bersarang serta berkembangbiak bagi burung dan
satwa lain
Sebagai sumber plasma nutfah dan sumber genetika
Sebagai habitat alami bagi berbagai jenis biota darat dan laut
Sebagai penghasil bahan pelapukan yang merupakan sumber makanan penting bagi
invertebrata kecil pemakan bahan pelapukan (detritus) yang kemudian berperan
sebagai sumber makanan bagi hewan yang lebih besar
Sebagai kawasan pemijahan (spawning ground) dan daerah asuhan (nursery ground)
bagi udang
Sebagai daerah mencari makanan (feeding ground) bagi plankton
(Budiman ,1977)
V.1.4. Fungsi Ekonomi
Penghasil bahan baku industri, misalnya pulp, tekstil, makanan ringan
Penghasil bibit ikan, udang, kerang dan kepiting, telur burung serta madu (nektar)
Penghasil kayu bakar, arang serta kayu untuk bangunan dan perabot rumah tangga
(Budiman ,1977)
V.2. Manfaat Lamun
V.2.1. Biologi
Ekosistem lamun merupakan salah satu ekosistem bahari yang produktif. ekosistem
lamun perairan dangkal mempunyai fungsi antara lain:
Menstabilkan dan menahan sedimen–sedimen yang dibawa melalui.
Daun-daun memperlambat dan mengurangi arus dan gelombang serta
mengembangkan sedimentasi.
Memberikan perlindungan terhadap hewan–hewan muda dan dewasa yang
berkunjung ke padanglamun.
Daun–daun sangat membantu organisme-organisme epifit.
Mempunyai produktifitas dan pertumbuhan yang tinggi.
Menfiksasi karbon yang sebagian besar masuk ke dalam sistem daur rantai makanan.
(Menez ,1983)
V.2.2. Ekonomi
Page 86 of 92
Lamun juga sebagai komoditi yang sudah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat baik
secara tradisional maupuin secara modern. Secara tradisional lamun telah
dimanfaatkan untuk:
Digunakan untuk kompos dan pupuk
Cerutu dan mainan anak-anak
Dianyam menjadi keranjang
Tumpukan untuk pematang
Mengisi kasur
Ada yang dimakan dan dibuat jarring ikan
(Menez ,1983)
V.2.3. Teknologi
Pada zaman modern ini, lamun telah dimanfaatkan untuk:
Penyaring limbah
Stabilizator pantai
Bahan untuk pabrik kertas
Makanan
Obat-obatan
Sumber bahan kimia
(Menez ,1983)
V.3. Manfaat Rumput Laut
Antikanker Penelitian Harvard School of Public Health di Amerika mengungkap,
wanita premenopause di Jepang berpeluang tiga kali lebih kecil terkena kanker
payudara dibandingkan wanita Amerika. Hal ini disebabkan pola makan wanita
Jepang yang selalu menambahkan rumput laut di dalam menu mereka.
Antioksidan Klorofil pada gangang laut hijau dapat berfungsi sebagai antioksidan. Zat
ini membantu membersihkan tubuh dari reaksi radikal bebas yang sangat berbahaya
bagi tubuh.
Mencegah Kardiovaskular Para Ilmuwan Jepang mengungkap, ekstrak rumput laut
dapat menurunkan tekanan darah pada penderita hipertensi. Bagi pengidap stroke,
mengkonsumsi rumput laut juga sangat dianjurkan karena dapat menyerap kelebihan
garam pada tubuh.
Makanan Diet Kandungan serat (dietary fiber) pada rumput laut sangat tinggi. Serat
ini bersifat mengenyangkan dan memperlancar proses metabolisme tubuh sehingga
Page 87 of 92
sangat baik dikonsumsi penderita obesitas. Karbohidratnya juga sukar dicerna
sehingga Anda akan merasa kenyang lebih lama tanpa takut kegemukan.
Secara tradisional, rumput laut dipercaya dapat mengobati batuk, asma, bronkhitis,
TBC, cacingan, sakit perut, demam, influenza, dan artritis
(Anggadiredja ,2006)
DAFTAR PUSTAKA
Ali,Ashgar. 2010. Constributionto the AlgaFlora (Chlorophyta)offresh waters of Distryc
swat. N.W.F.P.
Amien, Moh. 1995. Biologi 3. Depdikbud, Jakarta
Anggadiredja, 2006. Manfaat Rumput Laut. Usaha Nasional, Jakarta
Aslan, L. M. 1991. Budidaya Rumput Laut. Kanisius, Yogyakarta.
Azkab, M.H.1988. Pertumbuhan dan produksi lamun, Enhalus acoroides di rataan terumbu
di Pari Pulau Seribu.Dalam: P3O-LIPI, Teluk Jakarta
Azkab,M.H.1999. Kecepatan tumbuh dan produksi lamun dari Teluk
Kuta, Lombok.Dalam:P3O-LIPI, Dinamika komunitas biologis pada ekosistemlamun
di Pulau Lombok, Balitbang Biologi Laut. PustlibangBiologi Laut-LIPI, Jakarta.
Page 88 of 92
Azkab, M.H., 1999. Pedoman Inventarisasi Lamun. Oseana Volume XXIV (1) :1-16
Azkab MH. 1999. Pedoman Inventarisasi Lamun. Balai Penelitian Biologi Laut, Puslitbang
Oseanologi LIPI. Jakarta.
Bengen, D.G. 2001 . Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove.
Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor, Indonesia
Bolt, H.C dan M.J Wynne. 1977. Introduction to The Algae : Structure and Reproduction.
Grenticehal Biological Sciences W. D. Mc. Elroy and C.P Swanson (Eds) 760 pp.
Bouly, A.D. 1965. Aspect of The Biology of The Seaweeds of Economics Importance, pp
205-253 dalam Russel, F.S (Ed). Advances in Marine Biology.
Budiman, A. Dan D. Daernaedi. 1977. Struktur Komunitas Moluska di Hutan Mangrove
Morowali, Sulawesi Tengah. Pros. Sem. II Ekos. Mangrove. MAB-LIPI: 175-182
Budiman, A., M. Djajasasmita dan F. Sabar. 1984. Penyebaran Keong dan Kepiting Hutan
Bakau Wai Sekampung, Lampung. Ber. Biol. 2:1-24
Dewi, Puspita. 2006. Keanekaragaman Alga Makroskopis Pada Zone Litoral di Beberapa
Pantai Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng. Tidak diterbitkan
Duarte, C. M. 1991. Seagrasss Depth Limits. Aqquatic Biology, 40 : 363 – 377.
Hartog, C.den. 1970 . Seagrass of the world. North-Holland Publ.Co.,Amsterdam
Hemminga M dan Duarte C. 2004. Seagrass Ecology. Digital Printing (edition).Cambridge
University Press. United Kingdom. 296 halaman. www.gigapedia.com
Hutomo, M.; M. H. Azkab dan W. Kiswara. 1988. The Status of Seagrass Ecosystem in
Indonesia : Resources, Problems, Research and Management. Paper Presented at
SEAGRAM I, Manila, Philippines, january 17 – 22, 1988.
Jelantik Swasta, Ida Bagus. 2003. Diktat Ekologi Hewan. IKIP Negeri Singaraja, Singaraja
Jelantik Swasta, Ida Bagus. 2003. Tinjauan Singkat Tentang Aspek Biologi dan Ekologi
Rumput Laut. Makalah Seminar. Tidak diterbitkan.
Kadi, A dan W.S. Atmadja. 1988. Rumput Laut (Algae). Lembaga Oseanologi Nasional-
LIPI. Jakarta.
Page 89 of 92
Kartawinata, K., S. Adisoemarto, S.Soemodiharjo dan I. G. M. Tantra. 1979. Status
Pengetahuan Hutan Bakau di Indonesia Pros. Sem. Ekos. Hutan Mangrove: 21-39
Kementerian Lingkungan Hidup. 2004. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor 200/2004 Tentang Kriteria Baku Kerusakan dan Pedoman Penentuan Status
Padang Lamun. Jakarta
Kikuchi dan J.M. Peres. 1977. Consumer ecology of seagrass beds, pp. 147-193. In P. McRoy
and C.helferich (eds). Seagrass ecosystem. A scientific prespective. Mar.Sci.Vol
4.Marcel Dekker Inc, New York.
Kuncoro, Eko Budi. 2004. Akuarium Laut. Kanisus, Yogyakarta
Kuo, J. dan A. J. Mc. Comb. 1989. Seagrass Taxonomy, Structure and Development. In A.
W. D. Larkum, A. J. Mc. Comb. & SA. Shepherd (EDS). Biology of Seagrass :
Atreatise on The Biology of Seagrass With Special Reference to The Australian
Region. Elsivier, Amsterdam.
M.D. Guiry in Guiry, M.D. & Guiry, G.M. 2015. AlgaeBase. World-wide electronic
publication, National University of Ireland, Galway.
Menez, E.G.,R.C. Phillips dan H.P.Culampong. 1983. Sea Grass from the Philippines.
Smithsonian Cont.Mar.Sci.21.Smithsonian Inst.Press, Waashington
Noor, Y., R. Khazali, M dan Suryadiputra. I N. N. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di
Indonesia. PHKA/WI-IP, Bogor.
Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan, Jakarta.
Nontji. A. 2007. Laut Nusantara. Edisi Revisi. Djambatan, Jakarta
Nybakken, J. W. 1992. Biologi Laut : Suatu Pendekatan Ekologis. PT Gramedia, Jakarta
Pakistan.Vol 42 no.5. Department of Botany, G.P.G. Jahanzeb College Saidu Sharif Swa.7
November 2011
Pelczar, dkk. 1993. Microbiology Consept And Applycations. New York : MC Graw Hill
Phillips, R.C. dan E.G. Menez, 1988. Seagrasses. Smithsonion Institution Press. Washington
D.C. 104 hal.
Raffaelli D dan Hawkins S. 1996. Intertidal Ecology. Chapman dan Hall, London.
Page 90 of 92
Raharjo,Y.1996. Community based management di wilayah pesisir. PelatihanPerencanaan
Wilayah Pesisir Secara Terpadu. Pusat Kajian Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Romimohtarto Kasijan-Sri Juwana. 2001. Biologi Laut-Ilmu Pengetahuan Tentang Biota
Laut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi-LIPI, Jakarta.
Sedjati, S. 1999. Makalah Ilmiah : Kadar Proksimat Rumput Laut Caulerpa racemosa Dan
C. serulata Di Perairan Teluk Awur, Jepara. Universitas Diponegoro Semarang,
Semarang.
Short F, Carruthers T, Dennison W dan Waycott M. 2007. Global seagrass distribution and
diversity: A Bioregional model. Jurnal of Experimental Marine Biology and Ecology
350. Halaman 3 – 20. www.springerlink.com
Soemodihardjo, S. 1977. Beberapa Segi Biologi Fauna Hutan Payau dan Tinjauan
Komunitas Mangrove di Pulai Pari.Oseana 4 & 5 :24-32
Soerianegara, I .1987. Masalah Penentuan Jalur Hujan Hutan Mangrove. Pros. Sem. III
Ekos. Mangrove. MAB-LIPI:3947
Sulisetjono, Drs. 2009. ALGA. UIN Press, Malang
Sutomo ,2006. Rumput Laut. Pita Merahh, Jakarta.
Tjitrosoepomo. Gembong. 1989. Taksonomi Tumbuhan (Cryptogamae). UGM PRESS,
Yogyakarta
Tomlison, P.B., 1974. Vegetative morphology and meristem dependence – The Foundation of
Productivity in Seagrass. Aquaculture 4:107-130.
Trono, G.C dan E.T. Ganzon-Fortes. 1988. Philiphines Seaweed. National Book Store, Inc.
Quezon City. 330 pp.
Page 91 of 92