Post on 26-Jun-2015
Laporan Praktikum Toksikologi Industri
Pemeriksaan SGPT sebagai Biomarker Keracunan Zat Hepatotoksin
Asisten : M. Julian Aldwin KIA006
Oleh Kelompok :
1. Hanna Chris S.R G1B0070302. Ayu Pramita D G1B0070323. Amazonia Dhita G1B0070364. Subekhan G1B0070385. Arie J Putra G1B0070426. Viola Nindita P G1B0070547. Valentina Ratna MRA G1B0070588. Dina Fajar O G1B0070629. Imam Apriyana G1B00707210. Yunanto Eko N G1B00707411. Sri Utami G1B00707612. Seni Oktaviani G1B007128
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONALUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILKU KESEHATAN JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT
PURWOKERTO2009
I. PENDAHULUAN
A. Judul Praktikum
Pemeriksaan aktivitas enzim SGPT dengan metode IFCC sebagai biomarker
keracunan boraks.
B. Tanggal Praktikum
Praktikum dilaksanakan pada hari Sabtu, 14 Nopember 2009.
C. Tujuan Praktikum
1. Mengukur kadar SGPT dengan metode IFCC
2. Dapat menyimpulkan hasil pemeriksaan SGPT pada saat praktikum setelah
membandingkannya dengan nilai normal
3. Mengetahui efek keracunan zat hepatotoksin.
D. Dasar Teori
Enzim merupakan katalisator yang menggalakkan reaksi, tanpa ikut
serta dalam reaksi dalam proses metabolisme tubuh. Penyebab kenaikan
enzim:
1. Kematian sel, nekrosis, kebocoran membran sel
2. Adanya stimulasi pada sel
3. Bertambahnya populasi sel
4. Adanya penurunan ekskresi dalam plasma
Penyebab penurunan enzim:
1. Penurunan populasi sel
2. Keadaan malnutrisi
Pengukuran konsentrasi enzim secara langsung sangat sukar dilakukan
sehingga ditempuh cara dengan mengukur aktivitas katalitiknya yang akan
dapat menunjukkan konsentrasi enzim. Enzim dari kelas aminotransferase
atau transaminase berfungsi mengkatalisis perpindahan secara reversible satu
gugus amino dari asam amino menjadi asam amino alfa keto. Ada dua macam
enzim transaminase yaitu Alanin amino ransferase (ALT)/Glutamat Pyruvat
Transferase (GPT) dan Aspartat Amino Transferase (AST)/Glutamat
Oxaloacetat (GOT).
Pengukuran kadar enzim digunakan sebagai alat bantu diagnostic
penyakit tertentu. Peningkatan kadar SGOT dan SGPT selain dapat
menunjukkan adanya kelainan pada hepar juga dapat digunakan sebagai
biomarker keracunan hepetotoksin.
E. Alat dan Bahan
1. Alat
a. Spuit 3cc
b. Torniquet
c. Flakon
d. Sentrifuse
e. Wppendorf
f. Tabung reaksi 5 ml
g. Mikropipet (100µl-100 µl)
h. Blue tip
i. Kuvet
j. Spektrofotometer
2. Bahan
a. Sampel darah
b. EDTA
c. Reagen 1 = enzim (buffer)
d. Reagen 2 = starting reagen (substrat)
F. Cara Kerja
1. Membuat working reagen
Reagen 1 sebanyak 4 cc dicampurkan dengan reagen 2 sebanyak 1 cc
(perbandingan reagen 1 dan 2 adalah 4:1).
2. Darah dari probandus diambil sebanyak 3 cc dengan
spuit.
3. Setelah itu dimasukkan ke dalam eppendorf yang
sudah diberi EDTA sebanyak 10 µl.
4. Melakukan sentrifuse pada eppendorf selama 10 menit
dengan kecepatan 4000 rpm.
5. Mengambil plasma sebanyak 200 µl dan
mencampurnya dengan working reagen sebanyak 1 cc.
6. Membaca absorbansinya pada spektrofotometer
dengan panjang gelombang 340 nm dan nilai factor 952. Kode parameter
SGPT pada spektro adalah n0 30 menggunakan metode kinetik.
G. Nilai Normal
Perempuan = 0-17 U/L
Laki-laki = 0-22 U/L
II. PEMBAHASAN
A. Hasil Pengamatan
Diukur absorbansi dengan
spektrofotometer pada panjang
gelombang 340 nm
Hasil pengamatan tidak menunjukkan hasil pembacaan absorbansi. Hal ini
disebabkan darah sampel mengalami hemolisis saat dilakukan sentrifugasi.
Hemolisis darah membuat sampel tidak bisa diukur atau tidak layak diukur
dengan menggunakan spektrofotometer.
B. Hasil perhitungan
1. Nama probandus : Imam Apriana
2. Jenis kelamin : Laki-laki
3. Usia : 20 Tahun
4. Kadar hasil praktikum : -
Nilai Normal pada :
Perempuan : 0-17 U/L.
Laki-laki : 0-22 U/L.
Hasil perhitungan tidak bisa diketahui karena sampel tidak bisa diukur
sehingga data tidak didapatkan.
Working Reagent 1ml
Plasma200 µl.
C. Pembahasan
Boraks merupakan garam natrium yang banyak digunakan di berbagai
industri non pangan, khususnya industri kertas, gelas, pengawet kayu, dan
keramik. Boraks biasa berupa serbuk kristal putih, tidak berbau, mudah larut
dalam air, tetapi boraks tidak larut dalam alkohol. Boraks biasa digunakan
sebagai pengawet dan antiseptik kayu. Daya pengawet yang kuat dari boraks
berasal dari kandungan asam borat di dalamnya.
Asam borat sering digunakan dalam dunia pengobatan dan kosmetika.
Misalnya larutan asam borat dalam air digunakan sebagai obat cuci mata dan
dikenal sebagai boor water. Asam borat juga digunakan sebagi obat kumur,
semprot hidung, dan salep luka kecil. Namun bahan ini tidak boleh diminum
atau digunakan pada luka luas, karena beracun ketika terserap masuk dalam
tubuh.
Berikut beberapa pengaruh boraks pada kesehatan :
a. Tanda dan gejala akut
Muntah-muntah, diare, konvulsi, dan depresi sistem saraf pusat.
b. Tanda dan gejala kronis
Nafsu makan menurun, gangguan pencernaan, gangguan sistem saraf pusat
(bingung, dan bodoh), anemia, rambut rontok, dan kanker.
Boraks merupakan bahan tambahan yang sangat berbahaya bagi
manusia karena merupakan racun. Bila terkonsumsi dalam konsentrasi tinggi
racunnya akan mempengaruhi kerja syaraf. Secara awam kita tidak dapat
mengetahui seberapa besar kadar konsentrat boraks yang digunakan dalam
suatu makanan. Oleh karena itu lebih baik hindari makanan yang mengandung
boraks.
Mengkonsumsi makanan yang mengandung boraks memang tidak serta
berakibat buruk terhadap kesehatan, tetapi boraks akan menumpuk sedikit demi
sedikit karena diserap dalam tubuh konsumen secara kumulatif. Seringnya
mengkonsumsi makanan yang mengandung boraks akan menyebabkan
gangguan otak, hati dan ginjal. Dalam jumlah banyak, boraks menyebabkan
demam, anuria (tidak terbentuknya urin), koma, meransang sistem syaraf pusat,
menimbulkan depresi apatis, sianosis, tekanan darah turun, kerusakan ginjal,
pingsan hingga kematian.
Masuknya boraks yang terus-menerus, akan menyebabkan rusaknya
membran sel hepar, kemudian diikuti kerusakan pada sel parenkim hepar. Hal
ini terjadi karena gugus aktif boraks B=0 akan mengikat protein dan lipid tak
jenuh sehingga menyebabkan peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid dapat merusak
permaebilitas sel karena membran sel kaya akan lipid, sebagai akibatnya semua
zat dapat keluar masuk ke dalam sel.
Pada waktu sel-sel hepar rusak akan menyebabkan induksi enzim yang
berada di dalam sel hepar (enzim intraseluler) sehingga enzim tersebut akan
dilepaskan ke dalam darah. Enzim hepar tersebut antara lain Glutamat Piruvat
Transaminase atau GPT. Peningkatan kadar SGPT dan SGOT dalam darah
dapat dijadikan indikator biologis tidak langsung untuk keracunan boraks.
Salah satu jenis pemeriksaan yang sering dilakukan untuk mengetahui adanya
kerusakan pada hati adalah pemeriksaan enzimatik.
Enzim adalah protein dan senyawa organik yang dihasilkan oleh sel
hidup dan umumnya terdapat di dalam sel. Dalam keadaan normal terdapat
keseimbangan antara pembentukan enzim dengan penghancurannya. Apabila
terjadi kerusakan sel atau peningkatan permeabilitas membran sel, enzim akan
banyak keluar ke ruang ekstra sel dan dapat digunakan sebagai sarana untuk
membantu diagnostik dengan mengetahui kadar enzim tersebut di dalam darah.
Pemeriksaan enzim dapat dibagi dalam beberapa bagian ;
1. Enzim yang berhubungan dengan kerusakan sel yaitu SGOT, SGPT,
GLDH, dan LDH
2. Enzim yang berhubungan dengan penanda adanya sumbatan pada kantung
empedu (kolestasis) seperti gamma GT dan fosfatase alkali.
3. Enzim yang berhubungan dengan kapasitas pembentukan (sintesis) hati
misalnya kolinestrase.
Secara laboratoris pemeriksaan enzim hati pada hepatitis akut didapati
adanya peninggian SGOT dan SGPT sampai 20-50 kali normal dengan SGPT
lebih tinggi dari SGOT (SGOT/SGPT < 0,7) Selain itu gamma-GT lebih kecil
dari SGOT Albumin /Globulin dalam batas kadar normal. Fosfatase alkali dapat
meninggi bila terjadi gejala kolestasis. Pada hepatitis kronis, dari pemeriksaan
laboratories kadar enzim hati didapati adanya peningkatan kadar enzim SGPT
5-10 X lebih tinggi dari kadar normal, dan ratio albumin-globulin terbalik.
Pada pemeriksaan SGPT yang dilakukan pada saat praktikum, hasil
pembacaan absorbansi pada spektrofotometri tidak dapat dideteksi. Hal ini
terjadi karena darah probandus mengalami hemolisis, sehingga
spektrofotometer tidak dapat menganalisanya. Hal ini mengakibatkan tidak
dapat diketahui pula bagaimana kondisi hepar dari probandus.
Hemolisis adalah pecahnya membran eritrosit, sehingga hemoglobin
bebas ke dalam medium sekelilingnya (plasma). Kerusakan membran eritrosit
dapat disebabkan oleh antara lain penambahan larutan hipotonis atau hipertonis
ke dalam darah, penurunan tekanan permukaan membran eritrosit, zat atau
unsur kimia tertentu, pemanasan atau pendinginan, serta rapuh karena ketuaan
dalam sirkulasi darah. Apabila medium di sekitar eritrosit menjadi hipotonis
(karena penambahan larutan NaCl hipotonis) medium tersebut (plasma dan
larutan) akan masuk ke dalam eritrosit melalui membran yang bersifat
semipermiabel dan menyebabkan sel eritrosit menggembung. Bila membran
tidak kuat lagi menahan tekanan yang ada di dalam sel eritrosit itu sendiri,
maka sel akan pecah, akibatnay hemoglobin akan bebas ke dalam medium
sekelilingnya. Sebaliknya bila eritrosit berada pada medium yang hipertonis,
maka cairan eritrosit akan keluar menuju ke medium luar eritrosit (plasma),
akibatnya eritrosit akan keriput (krenasi).
D. Aplikasi Klinis
SGOT-SGPT merupakan dua enzim transaminase yang dihasilkan
terutama oleh sel-sel hati. Bila sel-sel liver rusak, misalnya pada kasus
hepatitis atau sirosis, kadar kedua enzim ini akan meningkat. Melalui hasil tes
laboratorium, keduanya dianggap memberi gambaran adanya gangguan pada
hati. Dibandingkan dengan SGOT, SGPT lebih spesifik menunjukkan tidak
berfungsinya sel hati dengan baik, karena SGPT hanya sedikit saja diproduksi
oleh sel non liver.
III. KESIMPULAN
Hasil dari pemeriksaan kadar SGPT sebagai biomarker keracunan boraks
tidak dapat diketahui karena darah hemolisis
Daftar Pustaka
Anonim. 2009. Hemolisis. http://www.wikipedia.com. Diakses pada tanggal 18
November 2009.
Putra, AK. 2009. Boraks dan formalin pada makanan. Uwityangyoyo.wordpress.com.
Diakses pada tanggal 18 November 2009.
Laporan Praktikum Toksikologi Industri
Pemeriksaan Kreatinin darah sebagai Biomarker Keracunan Zat Nefrotoksin
Asisten : Julian
Oleh Kelompok :
1. Hanna Cris SR G1B007030
2. Ayu Pramita D G1B007032
3. Amazonia Dhita G1B007036
4. Subekhan G1B007038
5. Arie J Putra G1B007042
6. Viola Nindita P G1B007054
7. Valentina Ratna MRA G1B007058
8. Dina Fajar O G1B007062
9. Imam Apriyana G1B007072
10. Yunanto Eko N G1B007074
11. Sri Utami G1B007076
12. Seni Oktaviani G1B007128
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILKU KESEHATAN JURUSAN
KESEHATAN MASYARAKAT
PURWOKERTO
2009
I. PENDAHULUAN
A. Judul Praktikum
Pemeriksaan kreatinin darah dengan metode Jaffe Kinetik
B. Tanggal Praktikum
12 Nopember 2009
C. Tujuan Praktikum
1. Mengukur kadar kreatinin darah dengan metode Jaffe kinetic
2. Dapat menyimpulkan hasil pemeriksaan kreatinin darah pada saat
praktikum setelah membandingkannya dengan nilai normal
3. Dapat melekukan pemeriksaan biomarker keracunan zat nefrotoksin
D. Dasar Teori
Kreatinin merupakan produk akhir keratin yang terbentuk secara spontan dan
sifatnya irreversible. Produk kreatinin setiap hari stabil ± 2% dari keratin
dalam waktu 24 jam.
Kreatin ataupun bentuk simpanan energinya, yaitu fosfo keratin, terdapat di
dalam otot, otak dan darah. Kreatinin (keratin anhidrida) terbentuk di dalam
otot dari keratin fosfat melelui proses dehidrasi nonenzimatik irreversible dan
hilangnya fosfat.
Reaksi kreatinin dan fosfat menjadi fosfokreatin berulang kali pada waktu
energi dilepas atau diikat, akan tetapi sebagian kecil dari keratin itu secara
irreversible berubah menjadi kreatinin yang tidak mempunyai fungsi sebagai
zat berguna dan keberadaannya dalam sirkulasi darah adalah hanya untuk
diangkut ke gimjal. Ajumlah kreatinin yang disusun sebanding dengan massa
otot rangka, sedangkan kegiatan otot tidak banyak berpengaruh.
Ekskresi kreatinin di dalam urin 24 jam pada diri seseaorang akan tampak
konstan setiap harinya dan sebanding denhan massa ototnya. Kreatin dalam
jumlah renik juga terdapat secara normal di urin. ATP yang diperlukan
sebagai sumber energi konstan untuk siklus kontraksi-relaksasi otot yang
dapat dihaif
silkan melelui:
a. Glikolisis dengan menggunakan glukosa darah atau glikogen otot
b. Melelui fosforilasi oksidatif
c. Kreatin fosfat
d. Dari dua malekul ADP
Kreatin fosfat merupakan simpanan energi yang utama di otot. Kreaatin fosfat
mencegah deplesi ATP yang cepat dengan menyediakan fosfat energi tinggi
yang siap digunakan untuk menghasilkan ATP dan ADP. Kreatin fosfat
terbentuk dari ATP dan keratin pada saat otot dalam keadaan relaksasi dan
kebutuhan akan ATP tidak begitu besar. Kadar kreatinin meninggi pada
penurunan fungsi ginjal. Contohnya pada kerusakan glomerulus.
Simpanan fosfat berenergi tinggi terutama dalam otot jantung dan skeletal
terjadi melelui pemindahan gugus fosfat dari ATP ke kreatinin. Kreatinin
disintesis melelui pemindahan gugus guanidine arginin ke glisin, diikuti oleh
penambahan gugus metal dari adomet. Jumlah keratin di dalam tubuh
berhubungan dengan massa otot dan massa persentasenya mengalami naik
turunsetiap hari. Sebanyak 1-2% keratin fosfat direcycle secara non enzimatik
menjadi kreatinin dan diekskresikan dalam urin dan keratin baru disintesis
untuk menggantikannya. Jumlah kreatinin yang diekskresikan seseorang
adalah konstan setiap hari. Ketika urin 24 jam ditampung, jumlah kreatinin di
dalam sample urin dapat digunakan untuk menentukan apakah sample
sungguh-sungguh representatif untuk mengukur urin output.
E. Alat dan Bahan
1. Alat
a. Spuit 3 cc
b. Tourniquet
c. Plakon
d. Pipet ukur 5 ml
e. Eppendorf
f. Sentrifugator
g. Mikropipet 10-100 µl
h. Yellow tip
i. Kuvet Spektrofotometer
2. Bahan
a. Sampel darah
b. EDTA
c. Reagen 1 (Larutan asam pikrat)
d. Reagen 2 (Larutan NaOH)
e. Aquades
F. Cara Kerja
1. Menyiapkan sample
a. Mengambil darah probandus sebanyak 3 cc dengan menggunakan spuit
b. Memasukkan ke dalam tabung eppendorf yang
telah diberi EDTA
c. Melakukan sentrifuse pada darah yang sudah bercampur dengan EDTA
dengankecepatan 4000 rpm selama 10 menit dan kemudian mengambil
plasmanya untuk sample
2. Menyiapkan working reagen
a. Melarutkan reagen 2 yang berisi NaOH dengan aquades dengan
perbandingan 1:4
b. Mencampur reagen 2 yang sudah ditambah aquades dengan plasma
sebanyak 100 µl dan langsung membaca absorbansinya pada
spektrofotometer dengan panjang gelombang 492 nm, nilai factor 2
G. Nilai Normal
Laki-laki : 0,6-11 mg/dl
Perempuan :0,5-0,9 mg/dl
II. PEMBAHASAN
A. Hasil Pengamatan
Hasil pengamatan pada sampel yang diperiksa menunjukkan bahwa nilai
kreatinin darah sebanyak 0,7 mg/dl.
B. Hasil Perhitungan
C. Pembahasan
D. Aplikasi klinis
I. KESIMPULAN
Daftar Pustaka
Laporan Praktikum Toksikologi Industri
Pemeriksaan Karboksihemoglobin sebagai Biomarker Keracunan Gas CO
Asisten : Julian
Oleh Kelompok :
1. Hanna Cris SR G1B007030
2. Ayu Pramita D G1B007032
3. Amazonia Dhita G1B007036
4. Subekhan G1B007038
5. Arie J Putra G1B007042
6. Viola Nindita P G1B007054
7. Valentina Ratna MRA G1B007058
8. Dina Fajar O G1B007062
9. Imam Apriyana G1B007072
10. Yunanto Eko N G1B007074
11. Sri Utami G1B007076
12. Seni Oktaviani G1B007128
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILKU KESEHATAN JURUSAN
KESEHATAN MASYARAKAT
PURWOKERTO
2009
I. PENDAHULUAN
A. Judul Praktikum
Pemeriksaan karboksihemoglobin sebagai biomarker keracunan gas CO
dengan metode Hindsberg- -Lang
B. Tanggal Praktikum
14 Nopember 2009
C. Tujuan Praktikum
1. Dapat mengukur kadar karboksihemoglobin dengan metode Hindsberg-
Lang
2. Dapat menyimpulkan hasil pemeriksaan karboksihemoglobin dalam darah
setelah membandingkan dengan nilai normal
3. Dapat melakukan pemeriksaan biomarker keracunan CO
D. Dasar teori
Karbon monoksida merupakan gas yang tidak berwarna, tidak berbau dan
tidak berasa. Gas ini terbentuk dari suatu proses pembakaran yang tidak
sempurna dari bahan bakar yang mengandung karbon, contohnya adalah
bensin. Kadar CO di daerah perkotaan menunjukkan korelasi positif dengan
kepadatan lalu lintas dan banyaknya bangunan. Data di Jepang da USA
menunjukkan bahwa pada umumnya kadar Co dengan pengukuran selama 8
jam, kurang dari 17 ppm, tetapi akan meningkat menjadi 53 pp karena
kapadatan lalu lintas dan adanya ruang terbatas seperti benkel motor, garasi
dan padatnya rumah penduduk.
Gas CO apabila terhirup dan masuk ke dalam aliran darah manusia, ajan
berikatan dengan hemoglobin (Hb) membentuk karboksihemoglobin (HbCO).
Daya ikat CO terhadap Hb lebih kuat 250 kali dibandingkan dengan daya ikat
O2 terhadap hb. Sebagai akibatnya orang yang keracuan Co akan mengalami
kekurangan oksigen di dalam jaringan (hipoksia).
Pengaruh konsentrasi CO terhdadap kesehatan manusia dapat dilihat pada
table di bawah ini:
No Konsentrasi CO
ppm
Konsentrasi HbCO (%) Gejala terhadap
kesehatan
1. 0-10 <1,0-2,5 Belum ada gejala
2. 10 3,0-4,0 Gangguan pada tingkah
laku
3. 10-20 5,0-6,0 Gangguan pada system
saraf, penglihatan, panca
indra dll
4. 30-50 10,0-<20,0 Perubahan fungsi pada
jantung dan paru
5. 50-70 >20,0-60,0 Sakit kepala, lesu,
pusing, sesak napas,
koma
6. 80-90 70,0-90,0 Kematian
E. Alat dan Bahan
1. Alat
a. Spuit 3 cc
b. Tourniquet
c. Plakon
d. Pipet ukur 5 ml
e. Mikropipet (10µl-100 µl)
f. Yellow tip
g. Erlenmeyer 50 ml
h. Spatula
i. Tabung reaksi 10 ml
j. Rak tabung reaksi
k. Spektrofotometer
l. Kuvet
2. Bahan
a. Sampel darah
b. EDTA
c. Ammonia 0,1%
d. Sodium dithionit
F. Cara Kerja
1. Menyiapkan sampel whole blood
a. Mengambil darah probandus sebanyak 1 cc dengan menggunakan
spuit, kemudian memasukkan ke dalam plakon yang diberi EDTA
b. Mengambil larutan ammonia 0,1% sebanyak 20 ml dan memasukkan
ke dalam Erlenmeyer
c. Mengambil sampel whole blood sebanyak 10 µl dengan menggunakan
yellow tip, kemudian memasukkan ke dalam erlenmeyer yang berisi
larutan ammonia 0,1%
d. Membagi campuran ke dalam 2 tabung , masing-masing sebanyak 5
ml
Tabung 1: menambahkan sodium dithionit sebanyak 1 spatula
Tabung 2 : tidak menambahkan sodium dithionit
e. Menginkubasi kedua tabung selama 5 menit
f. Mengukur absorbansi masing-masing larutan pada kedua tabung
dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 546
nm dan nilai factor 6,08.
G. Nilai Normal
CO endogen :0,7%
HbCO :<1 %
Batas toleransi HbCO : 2%-<3%
II. PEMBAHASAN
A. Hasil Pengamatan
Hasil pengamatan HbCO terhadap sampel adalah 1,86% dengan interpretasi
masih dalam batas toleransi.
B. Hasil Perhitungan
C. Pembahasan
1. Keracunan Karbonmonoksida
Karbon monoksida (CO) merupakan gas yang tidak berwarna, tidak
berbau, tidak berasa, dan non-iritatif, yang densitasnya relatif sedikit lebih
rendah dibandingkan dengan udara. Sumber utama karbon monoksida pada
kasus kematian adalah kebakaran, knalpot mobil, pemanasan tidak sempurna,
dan pembakaran yang tidak sempurna dari produk-produk terbakar, seperti
bongkahan arang. Diluar kematian akibat kebakaran, ada sekitar 2700
kematian yang disebabkan oleh karbon monoksida setiap tahunnya di AS.
Sekitar 2000 dari kasus ini adalah bunuh diri dan 700-nya adalah kecelakaan.
Pada kenyataannya seluruh kasus bunuh diri tersebut melibatkan penghirupan
gas buangan mobil.
2. Mekanisme Keracunan gas CO
Karbon monoksida menyebabkan hipoksia jaringan dengan cara
bersaing dengan oksigen untuk melakukan ikatan pada hemeprotein pembawa
oksigen (hemoglobin, mioglobin, sitokrom C oksidase, sitokrom P-450).
Afinitas karbon monoksida terhadap hemeprotein bervariasi, mulai dari 30
sampai 500 kali lebih kuat dibandingkan afinitas oksigen, tergantung pada
hemeproteinnya. Disamping itu, lebih kuatnya afinitas hemoglobin terhadap
karbon monoksida menyebabkan dengan adanya karboksihemoglobin
mengganggu afinitas oksigen terhadap hemoglobin dengan menggeser kurva
disosiasi oksihemoglobin ke kiri sehingga mengurangi pelepasan oksigen ke
jaringan. Hipoksia jaringan yang dihasilkan lebih hebat dibandingkan dengan
yang akan dihasilkan oleh anemia dengan derajat yang sama. Diyakini bahwa
karbon monoksida memiliki efek toksik langsung pada tingkat seluler dengan
cara mengganggu respirasi mitokondria, disebabakan karena karbon
monoksida terikat pada kompleks sitokrom oksidase. Berbeda dengan
hemoglobin, afinitas sitokrom oksidase lebih kuat terhadap oksigen. Akan
tetapi selama anoksia seluler, karbon monoksida dapat terikat. Pada saat
oksigen dari udara kembali ada maka pemindahan karbon monoksida menjadi
lambat.
Persentase saturasi karbon monoksida didefinisikan sebagai persentase
hemoglobin digabung dengan karbon monoksida dalam bentuk
karboksihemoglobin. Oleh karena afinitas hemoglobin yang lebih kuat
terhadap karbon monoksida, meskipun hanya dengan konsentrasi rendah di
udara dapat menghasilkan saturasi darah yang sangat tinggi dengan gas ini.
Dengan konsentrasi 0,5 sampai 1% (5000 – 10000 bagian per juta) di udara
dapat menghasilkan tingkat saturasi karboksihemoglobin sebesar 75% dalam
2 sampai 15 menit. Kelembaban, suhu lingkungan yang tinggi, pada daerah
ketinggian dan aktifitas fisik akan meningkatkan kecepatan respirasi, dan juga
absorpsi karbon monoksida. The Occupational Safety and Health
Administration (OSHA) menganjurkan batas keterpaparan maksimum yang
dapat diterima adalah 35 ppm selama 8 jam. Untuk alasan keamanan, para
pekerja yang terpapar karbon monoksida seharusnya tidak pernah memiliki
kadar karboksihemoglobin darah diatas 5%. Dalam praktiknya, hal ini tidak
selamanya dapat dilakukan. Jika seorang yang bukan perokok memiliki kadar
karboksihemoglobin 1 - 3%, para perokok seringkali memiliki kadar “normal”
karboksihemoglobin 5 – 6%, biasanya mencapai 10% dan kadang dapat
melebihi 15%. Kadar karboksihemoglobin sebesar 10 – 14 % sudah pernah
ditemukan pada pemadam kebakaran setelah memadamkan kebakaran.
Peningkatan kadar karboksihemoglobin (sampai 13%) dapat juga ditemukan
pada polisi yang bertugas di terowongan atau pekerja-pekerja di bengkel
dimana kendaraan bermotor dihidupkan, atau juga jika seseorang adalah
perokok.
D. Aplikasi Klinis
III. KESIMPULAN
Daftar Pustaka
Mubarak, Husnul. 2008. Keracunan Karbonmonoksida. http://cetrione .
Blogspot .com/2008/12/keracun-co.html. Diakses pada Tanggal 18
Nopember 2009.