Post on 22-Jun-2015
LAPORAN PENELETIAN
KERATON KASEPUHAN CIREBON DAN KERATON
NGAYOGYAKARTA HADININGRAT
diajukan untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Sejarah Peradaban Islam
yang dibina oleh Bapak Nano Nurdiansyah, M.Pd
Disusun oleh :
1. Rifqi Syamsul Fuadi (1211705138)
2. Ramdan Nugraha (1211705133)
3. Suwartiyah (1211705159)
4. Sumiati (1211705156)
5. Abdul Aziz Aminudin (1211705003)
IF-D
JURUSAN TEKNIK INFORMATIKA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2012
i
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirahim,
Assalamu’alaikum wr.wb.
Puji dan syukur dengan hati dan pikiran yang tulus dipanjatkan ke hadirat Allah
SWT., karena berkat nikmat dan hidayah-Nya, laporan penelitian ini dapat di selesaikan tepat
pada waktunya.
Shalawat dan salam dihaturkan pada Nabi Muhammad SAW., berserta keluarga dan
sahabatnya yang setia mengorbankan jiwa raga dan lainnya untuk tegaknya syi‘ar Islam, yang
pengaruh dan manfaatnya hingga kini masih terasa.
Penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat Bapak Nano
Nurdiansyah, M. Pd. yang telah banyak memberikan ilmu kepada penulis. Mungkin tanpa
beliau penulis tidak akan bisa menyelesaikan tugas ini, berkat beliau penulis bisa mengetahui
cara penulisan laporan penelitian secara benar.
Layaknya tak ada gading yang yang tak retak, begitu pula dengan laporan ini, maka
penulis mohon kritik dan saran yang membangun. Dengan begitu akan menjadi maklum
adanya bila terdapat kesalahan.
Wasslamu’alaikum wr.wb.
Bandung, 20 Desember 2012
Penulis,
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................................ ii
DAFTAR GAMBAR................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang........................................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................................. 2
1.3 Tujuan ..................................................................................................................... 2
BAB II KAJIAN TEORI
2.1 Perkembangan Islam di Cirebon ............................................................................ 3
2.2 Perkembangan Islam di Yogyakarta ....................................................................... 6
BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
3.1 Hasil Penelitian Cirebon ......................................................................................... 9
A. Sejarah Berdirinya Kesultanan Cirebon .......................................................... 9
B. Bangunan-bangunan di Lingkungan Keraton Kasepuhan Cirebon ............... 12
C. Silsilah Kesultanan Kasepuhan Cirebon........................................................ 16
3.2 Hasil Penelitian Yogyakarta ................................................................................. 16
A. Sejarah Berdirinya Kesultanan Yogyakarta ................................................... 16
B. Wilayah Keraton Yogyakarta ......................................................................... 18
C. Bangunan-bangunan di Lingkungan dalam Keraton ...................................... 20
D. Raja-raja Kesultanan Yogyakarta ................................................................... 22
E. Gelar dan Kedudukan Bangsawan Keraton Yogyakarta ................................ 27
F. Warisan Budaya Keraton Yogyakarta ............................................................ 29
3.3 Analisis Hasil Penelitian Cirebon ......................................................................... 31
3.4 Analisis Hasil Penelitian Yogyakarta ................................................................... 33
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan ........................................................................................................... 37
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 39
iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1: Patung sepasang harimau putih ................................................................ 13
Gambar 2: Gapura banteng ......................................................................................... 13
Gambar 3: Keramik China yang menempel di ruangan keraton ................................ 14
Gambar 4: Lukisan Prabu Siliwangi........................................................................... 15
Gambar 5: Reflika kereta singa barong ...................................................................... 15
Gambar 6: Gsmelan Kyai Gunturmadu dan Kyai Nagawilaga .................................. 21
Gambar 7: Patung sepasang harimau putih dan eriam di sampingnya ....................... 32
Gambar 8: Bangsal panembahan ................................................................................ 32
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Islam masuk ke Indonesia pada abad 15 M, ajaran Islam ini dibawa oleh para
pedagang dari Arab dan Gujarat. Mereka selain berdagang juga sebagai mubaligh. Sebelum
agama dan kebudayaan Islam masuk ke Indonesia, Agama Hindu mendominasi diantara
rakyat Indonesia. Penyebaran Agama islam dilakukan dengan cara damai sehingga mudah
diterima oleh rakyat Indonesia. Setelah Majapahit runtuh, berdirilah kerajaan-kerajaan Islam
di Jawa yaitu : Tuban, Gresik, Panarukan, Demak, Pati, Yuwana, Jepara, dan Kudus.
Proses islamisasi itu juga dilakukan melalui pendidikan di pesantren atau pondok
yang dilaksanakan oleh guru-guru agama, kyai-kyai, dan para ulama. Pesantren atau pondok
merupakan lembaga penting dalam penyebaran agama Islam. Cara dan pengaruh islamisasi
dapat pula melalui cabang-cabang seni, baik pada bangunan-bangunan atau makam-makam
kerajaan-kerajaan seperti yang ada di Cirebon maupun Banten.
Agama Islam juga membawa perubahan sosial, budaya serta memperhalus dan
memperkembangkan budaya Indonesia. Agama Islam masuk dan menggeser Agama Hindu
yang telah ada sebelumnya.
Cirebon dan Yogyakarta merupakan daerah yang ada di pulau jawa, dimana kedua
daerah tersebut memiliki sejarah tentang perkembngan Islam yang cukup besar dan
berpengaruh untuk daerah yang ada di sekitarnya. Para ulama besar yang menyebarkan
agama Islam di pulau jawa di namakan Wali Songo. Kesultanan Cirebon merupakan salah
satu bentukkan dari Wali Songo, yaitu Sunan Gunung Djati.
Keraton Yogyakarta merupakan sebuah kompleks bangunan yang terdiri dari
beberapa macam bnagunan tempat tinggal Sri Sultan Hamengkubuwono. Keraton
Yogyakrta juga merupakan bekas pusat pemerintahan Kasultanan Yogyakarta sebelum
entitas Indonesia diproklamirkan. Dalam konsep kosmologis, Keraton merupakan pusat
yang cerminkan atau direflkesikan sebagai pusat mikrokosmos (jambudwipa). Dalam hal ini
berarti keraton sebagai pusat replika tata surya, yamg menempatkan keraton sebagai pusat
segalanya. Pencerminan ini merefleksikan jagad raya sebagai makrokosmos. Jika raja – raja
Jawa tidak bersengketa mungkin tidak akan hadir entitas Kasultanan Yogyakarta, tetapi
yang ada hanyalah Kerajaan Mataram Islam.
2
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka masalah pokok yang di
rumuskan untuk penelitian ini adalah:
1. Bagaimana perkembangan agama Islam di Cirebon?
2. Siapa saja tokoh-tokoh yang berperan dalam penyebaran agama Islam di Cirebon?
3. Bagaimana sejarah berdirinya Kesultanan Cirebon?
4. Bangunan-bangunan atau benda bersejarah apa saja yang ada di keraton Kasepuhan
Cirebon?
5. Bagaimana perkembangan agama Islam di Yogyakarta?
6. Bagaimana sejarah berdirinya Kesultanan Yogyakarta?
7. Meliputi wilayah mana saja daerah kesultanan Yogyakarta?
8. Kegiatan atau tradisi apa yang menjadi ciri khas di lingkungan keraton Yogyakarta?
1.3 Tujuan
Tujuan dari penulisan laporan penelitian ini selain sebagai tugas akhir mata kuliah
Sejarah Peradaban Islam, juga memiliki tujuan lain, yaitu:
1. Mengetahui perkembangan agama Islam di Cirebon.
2. Mengetahui tokoh-tokoh yang berperan dalam penyebaran agama Islam di Cirebon.
3. Mengetahui sejarah berdirinya Kesultanan Cirebon.
4. Mengetahui bangunan atau benda bersejarah yang ada di keraton Kasepuhan
Cirebon.
5. Mengetahui perkembangan agama Islam di Yogyakarta.
6. Mengetahui sejarah berdirinya Kesultanan Yogyakarta.
7. Mengetahui wilayah yang menjadi bagian dari Kesultanan Yogyakarta.
8. Mengetahui tradisi yang ada di keraton Yogyakarta.
3
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Perkembangan Islam di Cirebon
Pendapat para ahli yang mengajukan teori-teorinya tentang kedatangan Islam di
Indonesia nampak bebeda-beda. Sebagian pendapat, bahwa kedatangan Islam ke Indonesia
sudah sejak abad pertama Hijriah ( abad 7 M ), sebagian lagi berpendapat bahwa kedatangan
Islam baru datang abad ke- 15 M.
Berdaasarkan pendapat-pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa pembawaa Islam
ke Indonesia antara abad ke-7 sampai 15 ialah orang-orang muslim dari Arab, Persia, India
seperti juga pembawa Islam yang datang atau menetap di Cirebon mereka datang melalui
jalan perdagangan, maka jelas, bahwa yang menjadi pendorong utama pembawa Islam ke
Cirebon adalah faktor ekonomi atau perdagangan, sesuai pula dengan perkembangan
pelayanan dan perdagaangan untuk nasional antara negeri – negeri di bagian Barat,
Tenggara dan Timur Asia. Kedatangan mereka (pedagang muslim) ke berbagai daerah di
Indonesia mungkin disertai pula oleh para mubaligh yang pada saat kemudian mendirikan
pesantren-pesantren dimana mereka berada. Hal ini dilakukan pula oleh tokoh-tokoh Islam
yang berlabuh di Cirebon, seperti Syekh Quro dan yang lainnya. Kecuali golongan-
golongan tersebut, para ahli tasawuf juga besar peranannya. Golongan Sufi ini datang ke
Indonesia diperkirakan sejak abad ke-15. Seperti peranan Syekh Siti Jenar di Cirebon.
Di Jawa berdasarkan cerita tradisional, mereka yang mendapat gelar wali dianggap
sebagi pembawa dan penyebar Islam terutama di daerah pesisir, walaupun wali itu tidak
semua berasal dari negri luar. Dan kenyataan tersebut jelas bahwa pembawa atau penyebar
Islam hanya golongan tertentu, logis jika dikatakan, bahwa rakyat pada umumnya
merupakan masyarakat penerima.
Proses Islamisasi dilakukaan dengan cara pendekatan dan penyesuaian dengan
unsur-unsur kepercayaan yang sudah ada sebelumnya, sehingga kehidupan keagamaan
umumnya masih menunjukan unsur-unsur percampuran dengan unsur-unsur yang telah ada
sebelumnya.
Para pedagang, mubaligh-mubaligh, para ahli Tasawuf maupun para ahli merupakan
golongan pembawa, penyebar dan kemungkinan juga sebagai penerima agama Islam. Sudah
tentu mereka melakukannya dengan berbagai cara, sehingga Islam bisa diterima secara
damai.
4
Cara lain yang dilakukan oleh para da‘i adalah melalui ajaran tasawuf. Tasawuf ini
mampu membentuk kehidupan sosial bangsa Indonesia pada umumnya, kenyataan ini dapat
kita lihat dari bukti-bukti tulisan tentang hal ini sejak abad ke-12.
Jalur lain yang digunakan dalam melakukan Islamisasi, yaitu melelui jalur
pendidikan, baik yang dilakukan di dalam pesantren maupun bentuk pendidkan lainnya,
seperti di sauran-sauran yang diselenggarakan oleh guru-guru agama maupun tokoh-tokoh
agama lainnya. Mereka yang dididik disamping itu juga digunakan berbagai cabang seni
baik melalui seni bangunan, seni ukir, seni sastra, seni musik maupun seni tari.
Tokoh – tokoh lain yang berperan dalam penyebaran Islam di Cirebon.
1. Pangeran Panjungan
Dia adalah seorang yang tekun menyebarkaan Islam di Cirebon. Pangeran Panjungan
dikenal pula dengan nama Maulana Abdul Rahman. Para pengikut Pangeran
Panjunan untuk daerah Cirebon tersebut antara lain di kali Cipamali Losari Cirebon,
mereka mendirikan masjid di Japura.
2. Syekh Siti Jenar
Syekh Siti Jenar berasal dari Tarem (Persia), beraliran syi‘ah Muntadar, yang
percaya kepada datangnya seorang Al masih seperti didalam Agama Kristen. Ia
belajar agama Kristen dari para ahli dan ulama penganut mazhab syi‘ah di Bagdad.
3. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah.
Menurut semua sejarah lokal dari Cirebon termasuk cerita Purwaka Caruban Nagari,
masuknya Islam di Cirebon pada abad 15 yaitu pada tahun 1470. disebarkan oleh
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah. Penyebaran agama Islam itu dimulai
ketika Syarif Hidayatullah berusia 27 tahun yaitu dengan menjadi mubaliqh Cirebon.
Di tahun 1479 Syarif Hidayatullah menikah dengan Nyi Ratu Pakungwati, putre dari
pangeran Cakrabuana. Pengganti pangeran Cakrabuana sebagai penguasa Cirebon di
berikan pada Syarif Hidayatullah. Pada tahun pengangkatannya Syarif Hidayatullah
mengembangkan daerah penyebarannya di wilayah Pajajaran.
Syarif Hidayatullah kemudian melanjutkan perjalanannya menuju ke daerah Serang
yang sebagian rakyatnya sudah mendengar tentang Islam dari pedagang-pedagang
dari Arab dan Gujarat yang berlabuh di pelabuhan Banten. Syarif Hidayatullah
mendapat sambutan hangat dari adipati Banten.
5
Daerah-daerah yang telah diislamkan antara lain : Kuningan, Sindangkasih, Telaga,
Luragung, Ukur, Cibalagung, Kluntung, Bantar, Indralaya, Batulayang, dan
Timbangaten. Di wilayah Pejajaran Agama Islam berkembang pesat di negeri
Caruban yang dipimpin oleh Syarif Hidayatullah. Demak kemudian menjalin
persahabatan dengan Syarif Hidayatullah. Setelah mengenal Syarif Hidayatullah
Raden Patah bersama-sama para mubaliqh yang sudah bergelar sunan menetapkan
Syarif Hidayatullah sebagai Panata Gama Rasul di tanah Pasundan. Panata Gama
Rasul artinya orang yang ditetapkan sebagai pemimpin penyiaran Agam Nabi
Muhamad di tanah Jawa. Kemudian atas kesepakatan para sunan Syarif Hidayatullah
di beri gelar Sunan Gunung Jati dan menjadi Sunan paling terakhir yaitu sunan ke-9
dari sunan 9 sunan lainnya.
Kerajaan-kerajaan yang berhasil ditakhlukkan Sunan Gunung Jati diantaranya:
Talaga, sebuah kerajaan yang beragam Hindu yang terletak di sebelah barat
daya Cirebon di bawah kekuasaan Prabu Kacukumun.
Rajagaluh, bekas pusat kerajaan Pajajaran yang beragam Hindu yang
diperintah Prabu Cakraningrat. Prabu Cakraningrat tidak senang dengan
kemajuan Cirebon dan persebaran agama Islam di Cirebon di tangan Sunan
Gunung Jati. Akibatnya timbulah perang antara Cirebon dengan Rajagaluh,
kemenangan berada di tangan Cirebon. Berakhirnya kekuasaan Rajagaluh
sekaligus merupakan berakhirnya kekuasaan kerajaan Hindu di daerah Jawa
Barat sebelah Timur.
Pada tahun 1498 para Walisongo yang diprakarsai oleh Sunan Gunung Jati
membangun Masjid Agung Cirebon. Pembangunannya dipimpin oleh Sunan
Kalijaga dengan seorang arsitek Raden Sepat (dari Majapahit bersama 200 orang
pembantunya dari Demak). Masjid ini juga disebut Sang Cipta Rasa karena terlahir
dari rasa dan kepercayaan penduduk. Pada masa itu juga disebut dengan Masjid
Pekungwati karena dulu masjid itu terletak dalam komplek keraton Pekungwati dan
sekarang dalam komplek kasepuhan. Menurut cerita masjid itu dibangun dalam
waktu semalam dan besok pada waktu subuh digunakan untuk Sholat Subuh. Pada
6
tahun 1568 Sunan Gunung Jati meninggal pada usia yang sangat lanjut yaitu 120
tahun, dia dimakamkan di pertamanan Gunung Jati.
Islam berkembang di Cirebon dengan dua Aliran, Sunni dan Syi‘ah. Penyebar-
penyebar Islam dan generasi pertama adalah para da‘i, pedagang, musyafir, dan seniman
diberbagai bidang. Cirebon menjadi salah satu dari sedikit pusat penyiaran Islam di Jawa
yang sekaligus menjadi pusat kekuatan politik. Dalam hal ini, Cirebon berusaha
menciptakan keseimbangan politik baik kearah Barat maupun Timur Nusantara. Cirebon
menjadi salah satu pusat perdagangan yang pesat pada masanya, sekaligus menjadi pusat
peradaban Islam yang memiliki beberapa karakter antara lain sebagai berikut :
a. Pertumbuhan kehidupan kota bernafaskan Islam.
b. Berkembangnya arsitektur.
c. Pertumbuhan seni lukis kaca dan seni pahat yang menghasilkan karya-karya
kaligrafi Islam yang sangat khas Cirebon.
d. Perkembangan bidang kesenian lainnya seperti tari, membatik, musik dan berbagai
seni pertunjukan tradisional bernafaskan Islam.
e. Pertumbuhan penulisan naskah-naskah.
f. Tumbuhnya tarekat Aliran Syatariah yang kemudian melahirkan karya-karya sastra.
g. Tumbuhnya pendidikan Islam dalam bentuk pesantren di sekitar Cirebon,
Indramaayu, Karawang, Majalengka, dan Kuningan.
Sosialisasi dan adaptasi Islam di Cirebon, sampai berkembang menjadi pusat Islam
di Jawa Barat, berawal dari pemukiman berskala kecil yang peradaban dihuni kelompok
muslim, dan perjalanan selanjutnya.kemudian tumbuh dan berkembang dan dapat
melepaskan diri dari subordinasi kekuasaan dipedalaman yang bercorak Hinduistis, dan
transformasi tersebut sebenarnya berjalan lancar, damai dan tenang baik karena kharisma
para wali maupun karena kedekatan atau kuatnya hubungan penguasa baru yang Islam
dengan penguasa yang digantikannya, Hindu.
2.2 Perkembangan Islam di Yogyakarta
Daerah Istimewa Yogyakarta yang secara geografis terletak di bagian selatan Pulau
Jawa dan berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah di sebelah utaranya merupakan salah
satu kesultanan Islam yang ada di Indonesia, yakni Kesultanan Mataram. Kesultanan
7
Mataram yang dimaksud adalah kerajaan Islam yang dibangun pada abad ke-16 yang
menurut silsilah berasal dari kerajaan Islam Demak. Ketika itu Kerajaan Demak
dipindahkan ke Pajang di bawah pimpinan Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya. Setelah
Pajang jatuh, kerajaan Islam itu di pindahkan ke Mataram oleh Raden Sutawijaya yang
bergelar ―Senopati Ing Ngalogo Abdurrakhman Sayidina Panotogomo Khalifatullah Tanah
Jawi‖ (Panglima Perang dan Ulama Pengatur Kehidupan Beragama). Wilayah kekuasaan
Mataram kala itu meliputi Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur.
Jogja, seperti juga daerah lainnya di tanah Jawa, sebelum masuknya Islam dikenal
sebagai wilayah yang penduduknya beragama Hindu dan Budha. Perbedaan status dalam
kasta-kasta mewarnai kehidupan masyarakat kala itu, yang terbagi dalam kasta Brahma,
Ksatria, Waisya dan Syudra. Ritual keagamaan, paham, mistisisme legenda menyertai
interaksi di antara mereka.
Masuknya Islam sebagai sebuah ajaran baru perlahan mempengaruhi kebudayaan
dan kebiasaan masyarakat Jawa, khususnya Jogja. Wali Songo, utamanya Sunan Kalijaga
(Raden Said), merupakan tokoh sentral dalam pembentukan masyarakat Islam di Jogja.
Keberadaan Wali Songo dalam khasanah perkembangan Islam di Indonesia ternyata
menjadi catatan penting yang menunjukkan adanya hubungan antara negeri Nusantara dan
Kekhilafahan Islamiyah, yang kala itu di pimpin oleh Sultan Muhammad I (808H/1404M),
yang juga dikenal sebagai Sultan Muhammad Jalabi atau Celebi dari Kesultanan Utsmani.
Wali Songo memberikan pengaruh yang sangat besar kepada kesultanan-kesultanan yang
muncul di Indonesia, termasuk Kesultanan Mataram di Yogyakarta.
Mengutip catatan Adaby Darban, dalam Sejarah Kauman. Menguak Identitas
Kampung Muhammadiyah, pada masa kekuasaan Mangkubumi (Sultan Hamengku Buwana
I), dibangunlah Keraton Yogyakarta pada 9 Oktober 1775 M. Keraton menjadi simbol
eksistensi kekuasaan Islam, meski berada dalam penguasaan Belanda. Sebagaimana
kerajaan Islam di Jawa sebelumnya, seperti Demak, Jipang, Pajang, setiap keraton memiliki
masjid dan alun-alun. Masjid inilah yang nantinya memegang peranan penting dalam
membangun kebudayaan Islam, termasuk dipergunakan oleh sultan untuk berhubungan
dengan para bawahannya dan masyarakat umum.
Pendirian masjid yang kemudian diberi nama Masjid Agung ini dilengkapi dengan
bangunan yang memiliki kefungsian khusus. Serambi masjid yang diberi nama ―Al-
Mahkamah Al-Kabirah‖, yang berarti mahkamah agung berfungsi sebagai tempat
pengadilan, pertemuan para ulama, pengajian, peringatan hari besar Islam dan pelaksanaan
8
ijab kabul; di samping tempat untuk menyelesaikan berbagai persengketaan yang terjadi di
kehidupan masyarakat.
Untuk urusan keagamaan, dibentuklah lembaga kepenguluan sebagai Penasihat
Dewan Daerah sekaligus menjadi bagian birokrasi Kerajaan. Mereka adalah orang-orang
alim tentang Islam yang mengatur semua kefungsian masjid. Di antaranya adalah
pendidikan. Melalui pondok pesantren yang ada di masjid maupun langgar-langgar, proses
pembentukan masyarakat Islam dilakukan. Tidak jarang putra-putri mereka dikirim ke
Pondok Pesantren terkenal seperti Termas, Tebuireng dan Gontor, yang sepulangnya dari
sana akan menjadi ulama-ulama penerus kepenguluan di Keraton Yogyakarta. Hal ini
menggambarkan bagaimana peran Kerajaan (tepatnya Kesultanan) dalam melakukan proses
pendidikan Islam kepada rakyatnya.
Di bidang kebudayaan dan kemasyarakatan, Jogja yang saat itu masih kental
dipengaruhi oleh ‗warisan‘ budaya Majapahit dan Syiwa Budha, sedikit demi sedikit mulai
diarahkan pada budaya dan pola interaksi yang islami. Di sinilah peran Sunan Kalijaga,
dalam catatan sejarah, memberikan andil yang begitu besar. Hasilnya adalah terdapat
sejumlah upacara kerajaan yang telah diislamisasi sebagai syiar Islam di tengah masyarakat,
seperti sekaten, rejeban, grebeg, upacara takjilan dan tentu saja wayang yang masih ada
hingga kini. Wayang, sebagai salah satu contoh, merupakan sarana yang digunakan oleh
Sunan Kalijaga sebagai media mendakwahkan Islam (dakwahtainment). Wayang yang
sudah ada sejak Kerajaan Kahuripan itu menjadi salah satu hiburan masyarakat yang paling
populer.
Demikian pula pada upacara grebeg dan sekaten. Sekaten dari bahasa Arab
syahadatain, yang artinya dua syahadat, merupakan nama dua buah gamelan yang
diciptakan oleh Sunan Kalijaga dan ditabuh pada hari-hari tertentu atau pada Perayaan
Maulud Nabi di Masjid Agung. Adapun grebeg, yang artinya mengikuti (bahasa Jawa),
yakni upacara menghantarkan Sultan dari Keraton menuju masjid untuk mengikuti Perayaan
Maulud Nabi Muhammad saw. yang diikuti juga oleh para pembesar dan pengawal Istana
lengkap dengan nasi gunungannya.
9
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
3.1 Hasil Penelitian Cirebon
A. Sejarah Berdirinya Kesultanan Cirebon
Kesultanan Cirebon adalah sebuah kerajaan Islam yang ternama di Jawa Barat.
Kerajaan ini berkuasa pada abad ke 15 hingga abad ke 16 M. Letak kesultanan Cirebon
adalah di pantai utara pulau Jawa. Lokasi perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat
membuat kesultanan Cirebon menjadi ―jembatan‖ antara kebudayaan Jawa dan Sunda.
Sehingga, di Cirebon tercipta suatu kebudayaan yang khas, yaitu kebudayaan Cirebon yang
tidak didominasi oleh kebudayaan Jawa maupun kebudayaan Sunda.
Pada awalnya, Cirebon adalah sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng
Tapa. Demikian dikatakan oleh serat Sulendraningrat yang mendasarkan pada naskah Babad
Tanah Sunda. Lama-kelamaan Cirebon berkembang menjadi sebuah desa yang ramai yang
diberi nama Caruban (campuran). Diberi nama demikian karena di sana bercampur para
pendatang dari beraneka bangsa, agama, bahasa, dan adat istiadat.
Karena sejak awal mata pecaharian sebagian besar masyarakat adalah nelayan, maka
berkembanglah pekerjaan nenangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang pantai, serta
pembuatan terasi, petis dan garam. Dari istilah air bekas pembuatan terasi (belendrang) dari
udang rebon ini berkembang sebutan cai-rebon (bahasa sunda : air rebon), yang kemudian
menjadi Cirebon.
Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan Sumber Daya Alam dari pedalaman,
Cirebon menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir utara Jawa. Dari pelaburan Cirebon,
kegiatan pelayaran dan perniagaan berlangsung antar-kepulauan nusantara maupun dengan
bagian dunia lainnya. Selain itu, tidak kalah dengan kota-kota pesisir lainnya Cirebon juga
tumbuh menjadi pusat penyebaran islam di Jawa barat.
Al kisah, hiduplah Ki Gedeng Tapa, seorang saudagar kaya di pelabuhan Muarajati.
Ia mulai membuka hutan, membangun sebuah gubuk pada tanggal 1 Sura 1358 (tahun Jawa),
bertepatan dengan tahun 1445 M. Sejak saat itu, mulailah para pendatang menetap dan
membentuk masyarakat baru di desa Caruban. Kuwu atau kepala desa pertama yang
diangkat oleh masyarakat baru itu adalah Ki Gedeng Alang-alang. Sebagai pangraksabumi
10
atau wakilnya, diangkatlah raden Walangsungsang. Walangsungsang adalah putra prabu
Siliwangi dan Nyi Mas Subanglarang atau Subangkranjang, putri Ki Gedeng Tapa. Setelah
ki gedeng alang-alang meninggal walangsungsang bergelar Ki Cakrabumi diangkat sebagai
Kuwu pengganti ki Gedeng Alang-alang dengan gelar pangeran Cakrabuana.
Ketika kakek ki gedeng Tapa meninggal, pangeran cakrabuana tidak meneruskannya,
melainkan mendirikan istana Pakungwati, dan membentuk pemerintahan Cirebon. Dengan
demikian yang dianggap sebagai pendiri pertama kesultanan Cirebon adalah pangeran
Cakrabuana (...-1479). Seusai menunaikan ibadah haji, Cakrabuana disebut Haji Abdullah
Iman, dan tampil sebagai raja Cirebon pertama yang memerintah istana pakungwati, serta
aktif menyebarkan islam.
Pada tahun 1479 M, kedudukan Cakrabuana digantikan oleh keponakannya.
Keponakan Cakrabuana tersebut merupakan buah perkawinan antara adik Cakrabuana,
yakni Nyai Rarasantang, dengan Syarif Abdullah dari Mesir. Keponakan Cakrabuana itulah
yang bernama Syarif Hidayatullah (1448-1568 M). Setelah wafat, Syarif Hidayatullah
dikenal dengan nama Sunan Gunung Djati, atau juga bergelar ingkang Sinuhun Kanjeng Jati
Purba Penetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatura Rasulullah.
Pertumbuhan dan perkembangan kesultanan Cirebon yang pesat dimulai oleh Syarif
Hidayatullah. Ia kemudian diyakini sebagai pendiri dinasti kesultanan Cirebon dan Banten,
serta menyebar Islam di Majalengka, Kuningan, Kawali Galuh, Sunda Kelapa, dan Banten.
Setelah Syarif Hidayatullah wafat pada tahun 1568, terjadilah kekosongan jabatan pimpinan
tertinggi kerajaan Islam Cirebon. Pada mulanya, calon kuat penggantinya adalah pangeran
Dipati Carbon, Putra Pengeran Pasarean, cucu Syarif Hidayatullah. Namun, Pangeran dipati
Carbon meninggal lebih dahulu pada tahun 1565.
Kosongnya kekuasaan itu kemudian diisi dengan mengukuhkan pejabat Istana yang
memegang kenali pemerintahan selama Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati
melaksanakan Dakwah. Pejabat tersebut adalah Fatahillah atau Fadillah Khan. Fatahillah
kemudian naik tahta, secara resmi menjadi sultan Cirebon sejak tahun 1568.
Naiknya Fatihillah dapat terjadi karena dua kemungkinan pertama, para sultan
Gunung Djati, yaitu Pangeran Pasarean, pangeran Jayakelana, dan pangeran Bratakelana,
meninggal lebih dahulu, sedangkan putra yang masih hidup, yaitu sultan Hasanuddin
(pangeran Sabakingkin), memerintah di Banten berdiri sendiri sejak tahun 1552 M. Kedua,
Fatahillah adalah menantu Sunan Gunung Djati (Fatahillah menikah dengan Ratu Ayu, putri
sunan Gunung Jati), dan telah menunjukkan kemampuannya dalam memerintah Cirebon
11
(1546 – 1568) mewakili Sunan Gunug Djati. Sayang, hanya dua tahun Fatahillah
menduduki tahta Cirebon, karena ia meninggal pada 1570.
Sepeninggal Fatahillah, tahta jatuh kepada cucu Sunan Gunung Jati, yaitu pangeran
Emas. Pangeran emas kemudian bergelar panembahan ratu I, dan memerintah Cirebon
selama kurang lebih 79 tahun. Setelah panembahan ratu I meninggal pada tahun 1649,
pemerintahan kesultanan Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang bernama pangeran Karim,
karena ayahnya yaitu panembahan Adiningkusumah meninggal dunia terlebih dahulu.
Selanjutnya, pangeran karim dikenal dengan sebutan Panembahan Ratu II atau panembahan
Girilaya.
Pada masa pemerintahan Panembahan Girilaya, Cirebon terjepit di antara dua
kekuatan, yaitu kekuatan Banten dan kekuatan mataram. Banten curiga, sebab cirebot
dianggap mendekat ke mataram. Di lain pihak, mataram pun menuduh Cirebon tidak lagi
sungguh-suingguh mendekatkan diri, karena panembahan Girilaya dan Sultan Ageng dari
banten adalah sama-sama keturunan pajajaran.
Kondisi panas ini memuncak dengan meninggalnya panembahan Girilaya saat
berkunjung ke Kartasura. Ia lalu dimakamkan di bukit Girilaya, Gogyakarta, dengan posisi
sejajar dengan makam sultan Agung di Imogiri. Perlu diketahui, panembahan Girilaya
adalah juga menantu Sultan Agung Hanyakrakusuma. Bersamaan dengan meninggalnya
panembahan Girilaya, Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya, yakni para putra
panembahan Girilaya di tahan di mataram.
Dengan kematian panembahan Girilaya, terjadi kekosongan penguasa. Sultan ageng
tirtayasa segera dinobatkan pangeran Wangsakerta sebagai pengganti panembahan Girilaya,
atas tanggung Jawab pihak Banten. Sultan ageng tirtayasa pun kemudian mengirimkan
pasukan dan kapal perang untuk membantu trunajaya, yang pada saat itu sedang memerangi
Amangkurat I dari mataram. Dengan bantuan Trunajaya, maka kedua putra penembahan
Girilaya yang ditahan akhirnya dapat dibebaskan, dan dibawa kembali ke Cirebon. Bersama
satu lagi putra panembahan Girilaya, mereka kemudian dinobatkan sebagai penguasa
kesultanan Cirebon.
Panembahan Girilaya memiliki tiga putra, yaitu pangeran murtawijaya, pangeran
Kartawijaya, dan pangeran wangsakerta. Pada penobatan ketiganya di tahun 1677,
kesultanan Cirebon terpecah menjadi tiga. Ketiga bagian itu dipimpin oleh tiga anak
panembahan Girilaya, yakni :
12
1. Pangeran Martawijaya atau sultan Kraton Kasepuhan, dengan gelar Sepuh Abi
Makarimi Muhammad Samsudin (1677 – 1703).
2. Pangeran Kartawijaya atau Sultan Kanoman, dengan gelar Sultan Anom Abil
Makarimi Muhammad Badrudin (1677 – 1723).
3. Pangeran Wangsakerta atau Panembahan Cirebon, dengan gelar pangeran Abdul
Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1677 – 1713).
Perubahan gelar dari ―panembahan‖ menjadi ―sultan‖ bagi dua putra tertua pangeran
girilaya dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Sebab, keduanya dilantik menjadi sultan
Cirebon di Ibukota banten. Sebagai sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan penuh,
rakyat, dan keraton masing-masing. Adapun pangeran wangsakerta tidak diangkat sebagai
Sultan, melainkan hanya panembahan. Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan atau keraton
sendiri, akan tetapi berdiri sebagai kaprabonan (paguron), yaitu tempat belajar para ilmuwan
keraton.
Pergantian kepemimpinan para sultan di Cirebon selanjutnya berjalan lancar, sampai
pada masa pemerintahan Sultan Anom IV (1798 – 1803). Saat itu terjadilah pepecahan
karena salah seorang putranya, yaitu pangeran raja kanoman, ingin memisahkan diri
membangun kesultanan sendiri dengan nama kesultanan KaCirebonan.
Kehendak raja kanoman didukung oleh pemerintah belanda yang mengangkatnya
menjadi Sultan Cirebon pada tahun 1807. namun belanda mengajukan satu syarat, yaitu agar
putra dan para pengganti raja Kanoman tidak berhak atas gelar sultan. Cukup dengan gelar
pangeran saja. Sejak saat itu, di Kesultanan Cirebon bertambah satu penguasa lagi, yaitu
kesultanan KaCirebonan. Sementara tahta sultan Kanoman V jatuh pada putra Sultan Anom
IV lain bernama Sultan Anom Abusoleh Imamuddin (1803 – 1811).
Sesudah kejadian tersebut, pemerintah kolonial belanda pun semakin ikut campur
dalam mengatur Cirebon, sehingga peranan istana-istana kesultanan Cirebon di wilayah-
wilayah kekuasaannya semakin surut. Puncaknya terjadi pada tahun-tahun 1906 dan 1926,
ketika kekuasaan pemerintahan kesultanan Cirebon secara resmi dihapuskan dengan
pengesahan berdirinya Kota Cirebon.
B. Banngunan-bangunan di Lingkungan Keraton Kasepuhan Cirebon
Bangunan-bangunan yang berada di keraton Cirebon mengambil unsur tradisi
Hindu-Budha dari kerajaan Padjajaran. Salah satu penandanya adalah sepasang patung
13
harimau berwarna putih di pelataran Kamandungan. Masyarakat Sunda pedalaman yakin,
harimau adalah reinkarnasi sosok Prabu Siliwangi yang menjadi raja terakhir di Padjadjaran.
Gambar 1: Sepasang patung harimau putih
Jejak kebudayaan Hindu-Buddha juga tampak jelas pada kompleks bangunan Siti
Hinggil (bahasa Jawa, Siti: tanah, Hinggil: tinggi) yang bercorak candi bentar, arsitektur
khas zaman Majapahit pada dua gapuranya, gapura adi di utara dan gapura banteng di
selatan.
Gambar 2: Gapura Banteng
Di bawah gapura banteng ini terdapat candra sengkala dengan tulisan kuta bata
tinata banteng yang kalau dibaca dari belakang merujuk tahun 1451 Saka atau 1529 Masehi.
Kemungkinan besar Siti Hinggil inilah yang pertama kali dibangun sebelum bangunan lain
menyusul kemudian.
14
Di dinding seluruh bangunan yang menggunakan material batu bata merah
menempel aneka keramik China masa Dinasti Ming (1364-1644 M) dan keramik Delf dari
Belanda. Di depan Siti Hinggil terdapat meja batu granit hadiah Sir Stamford Raffles, wakil
Kerajaan Inggris yang pernah menjadi Gubernur Jenderal Jawa (1811-1816).
Gambar 3: Keramik China yang menempel di ruangan keraton
Di dalam kompleks Siti Hinggil terdapat lima bangunan berbahan utama kayu jati
mirip pendapa tanpa dinding dan masing-masing memiliki nama serta fungsi berbeda.
Bangunan utama yang terletak melintang dengan jumlah saka (tiang) 20 buah dinamai
malang semirang yang melambangkan 20 sifat Allah SWT. Sementara saka guru (tiang
utama) enam buah, yang melambangkan rukun iman. Di tempat inilah sultan melihat latihan
keprajuritan atau melihat pelaksanaan hukuman.
Bangunan di sebelah kirinya bernama Pandawa Lima dengan lima buah saka yang
melambangkan rukun Islam. Bangunan ini tempat para panglima perang. Bangunan di
sebelah kanan bangunan utama bernama Semar Tinandu dengan dua saka yang
melambangkan dua kalimat syahadat. Bangunan ini adalah tempat penasihat sultan yang
disebut penghulu.
Di belakang bangunan utama ada Mande Pengiring tempat berkumpulnya pengiring
sultan. Sebuah bangunan lagi ada di sebelahnya, Mande Karasemen, di situlah para nayaga
(penabuh gamelan) berada. Sampai sekarang, bangunan ini masih digunakan sebagai tempat
membunyikan gamelan sekaten saat Idul Fitri dan Idul Adha.
Selain itu, juga terdapat lingga-yoni. Dalam khazanah kebudayaan Hindu, lingga-
yoni merupakan lambang kesuburan. Di atas tembok sekeliling Siti Hinggil terdapat Candi
Laras untuk penyelaras kompleks itu.
Keraton ini memiliki museum yang cukup lengkap dan berisi benda pusaka dan
lukisan koleksi kerajaan. Lukisan yang sangat menarik perhatian kami adalah lukisan 3
dimensi Prabu Siliwangi.
15
Gambar 4 : Lukisan Prabu Siliwangi
Di sebelah timur Taman Bunderan Dewan Daru berdiri bangunan untuk tempat
penyimpanan Kereta Pusaka yang dinamakan Kereta Singa Barong.
Gambar 5: Replika Kereta Singa Barong
Di dalam museum Kereta juga terdapat 2 buah Tandu Jempana dari Cina,
persembahan dari Kapten Tan Tjoeng Lay dan Kapten Tan Boen Wee tahun 1676. Tandu
Jempana ini untuk Permaisuri dan Putra Mahkota. Tandu Garuda Mina di buat pada tahun
1777 di gempol Palimanan, tandu ini di pergunakan untuk mengarak anak yang mau di
khitan. Juga terdapat pedang-pedang dari Portugis dan belanda, 2 buah meriam dari
Mongolia pada tahun 1424 yang berbentuk naga. Di belakang Kereta terdapat tombak-
tombak panjang berbendera kuning yang disebut Blandrang. Juga terdapat Tanggul Gada
atau Tanggul Manik sebagai lambang pengayoman. Dan juga seperangkat Angklung Kuno
persembahan dari masyarakat daerah Kuningan.
16
C. Silsilah Kesultanan Kasepuhan Cirebon
Sunan Gunung Djati (Syarif Hidayatullah)
P. Adipati Pasarean (P. Muhammad Arifin)
P. Dipati Cirebon I (P. Sedang Kamuning)
Panembahan Ratu Pakung Wati I (P. Emas Zainul Arifin)
P. Dipati Carbon II (P. Sedang Gayam)
Panembahan Ratu Pakung Wati II (Panembahan Grilaya)
P. Syamsudin Martawidjaja (Sultah Sepuh I)
P. Djamaludin (Sultan Sepuh II)
P. Djaenudin Amir Sena I (Sultan Sepuh III)
P. Djaenudin Amir Sena II (Sultan Sepuh IV)
P. Sjafiudin / Sultan Matangadji (Sultan Sepuh V)
P. Hasanuddin (Sultan Sepuh VI)
P. Djoharudin (Sultan Sepuh VII)
P. Radja Udaka (Sultan sepuh VIII)
P. Radja Sulaeman (Sultan Sepuh IX)
P. Radja Atmadja (Sultan Sepuh X)
P. Radja Aluda Tajul Arifin (Sultan Sepuh XI)
P. Radja Radjaningrat (Sultan Sepuh XII)
P.R.A.DR.H. Maulana Pakuningrat, SH (Sultan Sepuh XIII)
P.R.A. Arief Natadiningrat, SE (Sultan Sepuh XIV)
3.2 Hasil Penelitian Yogyakarta
A. Sejarah Berdirinya Kasultanan Yogyakarta
Sebelum berdirinya kesultanan Yogyakarta, Kadipaten Mangkunegaraan, dan
kadipaten Pangkualaman, pada waktu itu yang ada hanya Keraton Kasultanan Surakarta,
pindahan dari kraton Mataram Kartasura. Ketika istananya berada di Kartasura terjadi
peristiwa pemberontakan orang-orang China (GEGER PACINA) pada tahun 1740-1743.
Paku Buwono II tidak berdaya menghadapi pemberontakan ini, dan hanya dengan bantuan
Belanda lah peristiwa itu dapat dipadamkan, karena istana Kartasusra mengalami kerusakan
yang parah sekali, lalu ibukota dipindahkan ke Desa Solo, yang kemudian disebut Surakarta.
Pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwono II di Kraton Surakarta (1744), masih
terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Tumenggung Mertupuro melawan Kraton
17
Surakarta, namun oleh pangeran Mengkubumi (adik Paku Buwono II) Tumenggung
Mertupuro dapat ditaklukan.
Dalam suatu perundingan antara Paku Buwono II yang didampingi oleh Pangeran
Mengkubumi (penasehat kepercayaan) dengan pihak Belanda yang diwakili oleh Mr
Hoogendroof, utusan Belanda itu meminta Paku Buwono II untuk menyerahkan seluruh
wilayah pesisir utara jawa kepada VOC. Permintaan itu sebagai tuntutan atas jasa Belanda
ketika berhasil memadamkan pemberontakan orang-orang China di Kartasura. Pangeran
Mengkubumi tidak menyetujui permintaan itu, meski ia tahu bahwa kedudukan Paku
Buwono II sangat sulit. Berawal dari masalah itu Pangeran Mangkubumi kemudian
memohon ijin dan doa restu kepada Paku Buwono II, untuk menentang dan mengangkat
senjata melawan kompeni Belanda/VOC.
Setelah mendapat restu dari Paku Buwono II, dengan memperoleh pusaka tombak
KYAI PLERED, lalu pada tanggal 21 April 1747, Pangeran Mengkubumi meninggalkan
Kraton Surakarta menuju kedalam hutan bersama keluarga dan pasukannya yang setia,
untuk bergerilya melawan VOC. Dalam mengadakan perlawanannya itu, Pangeran
Mengkubumi bergabung dengan RM. Said (Pangeran Samnbernyawa) yang sudah lebih
dulu menentang Paku Buwono II dan VOC.
Sebelum Paku Buwono II wafat, kekuasaan seluruh tanah jawa telah di serahkan
kepada VOC (16 Desember 1749), karena itu yang menobatkan atau mengangkat raja-raja
di tanah jawa keturunan Paku Buwono adalah VOC. Setelah Paku Buwono II wafat ,
Belanda mengangkat RM. Suryadi (Putra Mahkota) sebagai Sunan Paku Buwono III. Ia
praktis jadi boneka , karena menurut kontrak politik , raja tersebut hanya berkedudukan
sebagai peminjam tanah VOC.
Ketika pemerintahan Paku Buwono III ini perlawanan pangeran Mangkubumi
terhadap belanda semakin menghebat. Dalam setiap pertempuran pasukan belanda selalu
terdesak oleh serangan Pangeran Mangkubumi. Bahkan ketika terjadi pertempuran sengit di
sungai Bogowonto , semua pasukan belanda termasuk komandannya mati terbunuh akhirnya
belanda meminta kepada Pangeran Mangkubumi untuk berunding.
Kemudian terjadilah perjanjian antara ketiga pihak, yaitu Pangeran Mangkubumi,
Paku Buwono , dan Belanda atau VOC. Perjanjian itu diadakan di desa Giyanti (Salatiga),
pada tanggal 13 februari 1755, maka disebut PERJANJIAN GIYANTI. Akibat dari
perjanjian itu, kerajaan Matarram di bagi menjadi dua bagian, yaitu Kraton Kasunanan
Surakarta dan Kraton Kasultanan Yogyakarta.
18
Selanjutnya dengan daerah barunya itu, Pangeran Mangkubumi mendirikan
kerajaan Mataram Yogyakarta di Wilayah Bringan, pada tahun 1756 dan beliau kemudian
bergelar SRI SULTAN HAMANGKUBUWONO I. gelar lengkapnya adalah : NGARSA
DALEM SAMPEAN DALEM INGKANG SINUHUN KANJENG SULTAN
HAMANGKUBUWONO SENOPATI INGANGLOGO NGABDURAHMAN SAYIDIN
PANOTOGOMO KHALIFATULLAH INGKANG JUMENENG KAPING I
INGANGAYOGYAKARTA HADININGRAT.
B. Wilayah Keraton Yogyakarta
Kraton Yogyakarta dibangun oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I pada tahun 1756
di wilayah Hutan Bringan . nama hutan tersebut kemudian diabadikan untuk nama pasar
dipusat kota yaitu pasar Bring Harjo. Sedangkan istilah Yogyakarta berasal dari yogya dan
karta. Yogya artinya Baik, dan Karta artinya Makmur, namun pengertian lain menyatakan,
bahwa Yogyakarta atau Ngayogyakarta itu berasal dri kata dasar AYU+BAGYA+KARTA
(Baca Ngayu+bagya+karta), menjadi Ngayogyakarta.
Wilayah kraton Yogyakarta membentang antara Tugu (batas utara) dan Karpyak
(batas selatan), antara sungai Code (sebelah timur) dan sungai Winogo (sebelah barat),
antara Gunung Merapi dan Laut Selatan. Bangunan tugu yang merupakan batas utara
wilayah Kraton Yogyakarta, berjarak sekitar 2km dari Kraton. Bangunan tersebut pada
jaman dahulu berbentuk GOLONG-GILIG (golong=berbentuk bulat, pada bagian atas
gilig= berbentuk pilar yang meruncing ke atas), Golong Gilig berarti Manunggaling Kawula
Gusti (Manunggalnya Raja dengan rakyat, sekaligus menunggalnya manusia dengan
Tuhan).
Selanjutnya, antara Tugu hingga Kraton terdapat jalan utama yang disebut
MALIOBORO, dimana asal nama Malioboro, ada yang berpendapat berasal dari kata
Marlbourgh, yaitu nama seorang jendral inggris, oleh Raffles, ketika berusaha di
Yogyakarta (pada zaman pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono II), nama tersebut
kemudian di abadikan sebagai nama jalan di pusat kota Yogyakarta, yaitu jalan Malbourgh,
namun pendapat lain mengatakan bahwa, penyebut Malioboro itu terkait dengan cita-cita
Sri Sultan Hamengku Buwono I, yang melihat jalan tersebut sebagai pengejawantahan jalan
hidupnya., Yaitu Mulyane Saka Bebara (Mulyabara), yang kemudian terjadi perubahan
pengucapan menjadi Maliyabara atau Malioboro, kemulyaan dan kejayaan hidup yang
dicapai lewat laku keprihatinan.
19
Pusat wilayah Kraton Yogyakarta luasnya 14.000 meter persegi, dengan dikelilingi
tembok (benteng) setinggi 4 meter dan lebar 3,5 meter. Di setiap sudutnya terdapat tempat
tempat penjagaan atau bastion. Untuk melihat /mengawasi keadaan di luar maupun didalam
benteng Kraton. Di sebelah luar benteng dikelilingi oleh parit yang dalam, yang disebut
Jagang (sekarang sudah menjadi pemukiman penduduk). Untuk menghubungkan antara
wilayah dalam benteng dengan daerah di luar benteng Kraton, ada 5 pintu gerbang yang
disebut PLENGKUNG, antara lain yaitu:
1. PLENGKUNG NIRBAYA (Gading), disebelah selatan.
2. PLENGKUNG JAGABAYA (Taman Sari), di sebelah Barat.
3. PLENGKUNG JAGASURA (Ngasem), di sebelah barat laut.
4. PLENGKUNG TARUNASURA (Wijilan), di sebelah timur laut.
5. PLENGKUNG MADYASURA (sebeleh barat THR), di sebelah timur.
Plengkung yang disebut terakhir ini dahulu pernah diruntuhkan pada zaman Sultan
Hamengku Buwono II, ketika terjadi peperangan melawan Pasukan Inggris (Geger Spei)
sehingga tersumbat dan tidak bisa dilalui. Maka lebih dikenal dengan sebutan
PLENGKUNG BUNTET (tertutup). Di antar kelima plengkung itu hanya dua yang masih
tampak utuh, yaitu Plengkung Nirbaya (Gading) dan Plengkung Tarunasura(Wijilan).
Selanjutnya di sebelah selatan (belakang) Kraton, sebelum sampai Plengkung
Nirbaya, terdapat alun-alun yang luasnya lebih kecil dari Alun-alun Lor, YAITU Alun-alun
Kidul (Alun-alun Selatan). Di bagian tengahnya terdapat dua pohon beringin yang disebut
Beringin ―WOK‖ yang juga dikelilingi tembok.
Disebelah barat Alun-alun Kidul terdapat bangunan untuk memelihara gajah, yang
disebut GAJAHAN, pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono X, fungsi Gajahan
dihidupkan kembali untuk memelihara gajah hingga sekarang.
Selanjutnya dari Kraton kea rah selatan sekitar 2 km jaraknya, terdapat bangunan
berupa panggung, yang disebut KRAPYAK, pada zaman dahulu di bagian atas panggung itu
digunakan oleh Sultan untuk menyaksikan para prajuritnya berburu rusa atau binatang
lainnya. Bangunan ini sampai sekarang masih ada, dan berada dalam garis simetris /lurus
dengan KRATON dan TUGU KRATON, Bangunan Krapyak ini adalah batas selatan
wilyah Kraton Yogyakarta.
20
C. Bangunan-bangunan di Lingkungan dalam Keraton
Lingkungan dalam Kraton yang dimulai dari bagian depan (halaman pagelaran)
hingga bagian belakang (halaman Siti Hinggil Kidul), secara keseluruhan terbagi atas tujuh
halaman(pelataran), yang mana masing-masing dibatasi oleh tembok tinggi, dan di
dalamnya terdapat bangunan-bangunan, serta beberapa pintu gerbang yang menghubungkan
antara halaman yang satu dengan halaman yang lainnya, di sebut REGOL. Mengenai nama
masing-masing bangunan yang terdapat pada setiap halaman di lingkungan dalam kraton,
seperti tersebut di bawah ini di mulai dari bagian depan, yakni:
1) BANGSAL PAGELARAN, pada mulanya di sebut tratag Rambat, atapnya berupa
sirap kayu. Dan setelah di pugar pada jaman Sri Sultan Hamenku Buwono VIII
tahun 1921 Masehi, kemudian dinamakan pagelaran. Pemugaran bangunan tersebut
di tandai dengan Cendrasengkala (tahun jawa) yang terdapat pada bagian atas muka
Bangsal Pagelaran, berbunyi ―Panca Ganas Salira Tunggal‖, yang berarti tahun 1865
jawa.
2) BANGSAL PEMANDENGAN, digunakan sebagai tempat duduk bagi Sultan
beserta Panglima perang, ketika menyaksikan jalannya latihan perang para
prajuritnya. Latihan perang ini dilakukan di Alun-alun Lor, bangsal ini jumlahnya
ada dua, masing-masing terletak disebelah kanan dan kiri sejajar dengan Bangsal
Pagelaran.
3) BANGSAL PENGAPIT atau juga disebut BANGSAL PASEWAKAN adalah
tempat para senopati Perang/Manggalayudha mengadakan pertemuan, serta
digunakan sebagai tempat menunggu perintah-perintah dari sultan. Bangsal ini ada
sepasang, masing-masing berada disamping kanan dan kiri Bangsal Pagelaran.
4) BANGSAL PANGRAWIT, digunakan sebagai tempat raja melantik patih (tempat
pelantikan patih). Setelah tahun 1942, Bangsal ini tidak digunakan lagi. Bangunan
ini terletak di sisi sebelah kanan dalam Bangsal Pagelaran.
5) BANGSAL PACIKERAN, adalah tempat jaga bagi para abdidalem Singanegara dan
abdidalem Mertalulut (sebutan untuk algojo Kraton) yang bertugas memberi
hukuman kepada para tahanan kraton. Sedangkan pelaksanaan hukumannya
bertempat di Alin-alun Lor.
6) BANGSAL SITI HINGGIL, digunakan sebagai tempat penobatan/pelantikan Raja-
raja Kasultanan Yogyakarta, dan tempat diselenggarakannya upacara Pasowanan
Agung, pada tanggal 17 Desember 1949, pernah dipakai untuk pelantikan Ir.
21
Soekarno sebagai Presiden RIS. Sekaligus digunakan untuk peresmian
UniversitasNegeri tertua di Indonesia, yaitu Universitas Gadjah Mada. Bangunan ini
telah dipugar pada jaman Sri Sultan Hamengku Buwono VIII, dengan ditandai
candrasengkala(tahun jawa) pada bagian atas muka Bangsal Siti Hinggil , berbunyi
―Pandita Cakra Naga Wani‖, yang berdiri pada tahun 1857.
7) BANGSAL MANGUNTUR TANGKIL, adalah tempat singgasana Raja, ketika
berlangsung Upacara Penobatan Raja, dan pada waktu digelar Upacara Pasowanan
Agung. Ditengah bangsal ini terdapat seloging. Untuk meletakan DEampar Kencana
sebagai Singgasana Sultan. Bangunan ini terletak di bagian tengah Bangsal Siti
Hinggil.
8) BANGSAL WITANA, digunakan untuk menempatkan pusaka-pusaka utama
Kraton, pada saat dilangsungkan Upacara Penobatan Raja, dan pada waktu Upacara
Grebeg Mulud tahun Dal(jawa).
9) BALEBANG, digunakan untuk menyimpan 2 perangkat gamelan Sekaten yang
dibunyikan pada setiap bulan Mulud. Kedua gamelan tersebut masing-masing
bernama KYAI GUNTURMADU dan KYAI NAGAWILAGA.
Gambar 6: gamelan Kyai Gunturmadu dan Kyai Nagawilaga
10) BALE ANGUN-ANGUN, digunakan untuk menyimpan pusaka tombak yang
bernama Kanjeng Kyai Sura Angun-Angun.
11) BANGSAL KORI, berfungsi sebagai tempat jaga bagi para abdidalem Kori dan
abdidalem Jaksa, yang bertugas menyampaikan permohonan maupun pengaduan
rakyat kepada raja.
12) TARUB AGUNG, digunakan sebagai ruang tunggu bagi tamu-tamu Sultan, yang
akan menghadiri upacara resmi di Siti Hinggil.
13) REGOL BROJONOLO, yaitu pintu gerbang yang menghubungkan antara halaman
Siti Hinggil Lor dengan Halaman Kemandungan Lor.
22
D. Raja-raja Kesultanan Yogyakarta
1. SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO
Nama kecil : BENDARA RADEN MAS SUJONO
Tanggal lahir : 4 Agustus 1717
Malam Rabu pon,26 Ruwah Wawu 1641
Naik tahta : 13 februari 1755
Wafat : Malam ahad kliwon, 1Ruwah je 1718
Makam : pasarean pajimatan imogiri,kadhaton swagan
Permaisuri ada 2:
GUSTI KANJENG RATU KENCANA
Putri dari Bendara pangeran hanya Dipenogoro (putrid susuhun paku Buwono
I). di Madiun
GUSTI KANGJENG RATU KADIPATE lalu bergelar GUSTI KANJENG
RATU HEGANG
Putri dari kyai/nyai Hageng Drepoyudo yang di semayamkan di majanjati.
Seluruh isrti termasuk permasuk berjumlah 25 orang, jumlah putra-putri almarhum
seluruhnya 32 orang. Penggantinya adalah GRM. Sundoro putra ke-5 (Pen mas putra
sulung dari GKR kadipaten). Putra dari garwa selir BRAY. Srenggoro yang bernama
BPH.
2. SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO II
Nama kecil : GUSTI RADEN MAS SUNDORO
Tanggal lahir : 7 Maret 1750 malam sabtu legi, 28 Rabiul Awal
Naik tahta : 2 April 1792 senin pon, 9 ruwah je 1718
Pulang : 17 Agustus 1826
Wafat : 3 januari 1828 malam kamis legi, 15 jumadiakhir alip 1755
Makam : pasareyan dalem Astana kotagede
Permaisuri ada 4:
GUSTI KANJENG RATU KEDHATON
Putri kangjeng Raden Tumenggung Purwodiningrat, Bupati magetan
GUSTI KANGJENG RATU HEMAS
Putri Gusti Kangjeng Ratu
GUSTI KANJENG RATU KENCANA WULAN
Putrid dari KiBener, saudara dari Mas Tumenggung Sindurejo.
23
GUSTI KANJENG RATU SULTAN
Putrid kanjeng Raden Tumenggung Resogoto, Bupati Sukowati
Seluruh istri termasuk permaisuri berjumlah 28 orang, jumlah putra-putri almarhum
seluruhnya 80 orang. Penggantinya adalah GRM. Surojo, putra kelima. Putra sulung
dari permaisuri GKR. Kedathon.
3. SRI SULTAN HAMENGKU BUONO III
Nama kecil : GUSTI RADEN MAS SUROJO
Tanggal lahir : 20 februari 1769
Malam Rabu keliwon, 18 Syawal Dal 1694
Naik tahta : 12 juni 1812
Wafat : 3 noveber 1814
Makam : pasarean pajimatan imogiri, Kadaton Suwargan
Permaisuri ada 3:
GUSTI KANJENG RATU KENCANA
Yang kemudian bergelar GUSTI KANJENG RATU HAGENG putrid dari
Bendara Raden Ayu Susrodiningrat (putri sultan Hamengku Buono)
GUSTI KANJENG RATU HEMAS
Putri dari Raden Rangga Prawiradirja I di madiun. Tidak berputra
GUSTI KANJENG RATU WANDHAN
Seluruh istri termasuk permaisurinya berjumlah 25 orang. Jumlah putra-putri
almarhum seluruhnya 32 orang. 2 permaisurinya tidak member keturunan. Yaitu
GKR. Hemas dan GKR. Wandhan. Penggantinya GRM. Ibnu Jarot putra ke 18
putra bungsu dari GKR. Hageng.
4. SRI SULTAN HAMENGKU BUONO IV
Nama kecil : GUSTI RADEN MAS IBNU JAROT
Tanggal lahir : 3 April 1804, selasa kliwon, 22 Besar Jimakir 1730
Naik tahta : 10 November 1814
Wafat : jumat Pahing, 22 Rabiul Awal je 1750
Makam : pasareyan pajimatan Imogiri, kedhaton Besiyaran
Permaisurinya hanya ada 1:
GUSTI KANJENG RATU KENCONO
Yang kemudian bergelar GUSTI KANJENG RATU HAGENG, putri dari
Raden Adipati Danurejo II (pepatih Dalem di keraton Yogyakarta).
24
Seluruh istri termasuk permaisuri ada 9 orang, jumlah putra-putri almarhum
seluruhnya ada 18 orang. Penggantinya adalah GRM. Gathot Menol, putra ke 6
(putra kedua dari KGR Kencana). Putra pertama dari permaisuri juga laki-laki, tapi
meninggal dunia ketika berusia 108 hari.
5. SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO V
Nama kecil : GUSTI RADEN MAS GATHOT MENOL
Tanggal lahir : 24 Januari 1820
Naik tahta : 19 Desember 1823
Wafat : 5 juni 1855, Selasa Legi, 20 Siyam Dal 1783
Makam : pasareyan pajimatan Imogiri, kedhaton Besiyaran
Permaisuri ada 2:
GUSTI KANJENG RATU KENCONO
Putri Gusti Kanjeng Ratu Anom (putri Sri Sultan Hamengku Buono II) denga
kanjeng pangeran Harya Purwonegoro.
GUTI KANJENG RATU KADHATON
Putri Bendara pangeran Harya Suryo-ningalogo (putra Sri Sultan Hamengku
Buono III).
Seluruh istri termasuk permaisuri berjumlah 5 orang, jumlah putra-putri almarhum
seluruhnya 9 orang. Penggantinya adalah GRM. Mustojo yaitu adik dari Sri Sultan
Hamengku Buono V.
6. SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO VI
Nama kecil : GUSTI RADEN MAS MUSTOJO
Tanggal lahir : 10 Agustus 1821
Naik tahta : 5 juli 1855 Syawal Dal 1783
Wafat : 20 juli 1877, 9 rajeb je 1 pajimatan Imogiri, kadhaton Besiyaran
Permaisuri ada 2:
GUGTI KANJENG RATU KENCONO
Kemudian bergelar GUSTI KANJENG RATU HAMENGKU BUONO Putri
dari kanjeng Susuhun Paku Buono VIII di Surakarta.
GUSTI KANJENG RATU SULTAN
Kemudian bergelar GUSTI KANJENG RATU HAGENG, Putri dari kyai/nyai
Hageng prawirorejoso yang disemayamkan di Gunung Pengklik payak
Yogyakarta.
25
Seluruh istri termasuk permaisuri berjumlah 10 orang, jumlah putra-putri almarhum
seluruhnya 23 orang. Penggantinya adalah GRM. Murtejo putra pertama (putra
sulung dari permaisuri GKR. Sultan).
7. SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO VII
Nama kecil : GUSTI RADEN MAS MURTEJO
Tanggal lahir : 4 Februari 1839
Naik tahta : 13 Agustus 1 Rewah je 1806
Turun tahta : 29 Januari 1921
Wafat : 30 Desember 1921
Makam : pasareyan pajimatan Imogiri, kedhaton Saptarengga.
Permaisuri ada 3:
GUSTI KANJENG RATU KENCONO
Kemudian di asingkan, lalu bergelar GUSTI KANJENG RATU WANDHA,
Putri dari Raden Ali Basah Abdulmustopo Senthot Prawirodirjo.
GUSTI KANJENG RATU HEMAS
Lalu bergelar GUSTI KANJENG RATU HAGENG, bertempat tinggal di
Tegalrejo, kemudian mendapat julukan GUSTI KANJENG RATU
TEGALREJO, Putri dari kanjeng Raden Tumenggung joyodipuro.
GUSTI KANJENG RATU KENCONO
Putri dari Bendara pangeran Harya Hadinegoro (putra sultan Hamengku Buono
II).
Seluruh istri termasuk permaisuri berjumlah 21 orang, jumlah putra-putri almarhum
seluruhnya 78 orang. Penggantinya adalah GRM. Sujadi, putra ke 23 (putra ke 5 dari
GKR Hemas).
8. SRI SULTAN HAMENGKU BUONO VIII
Nama kecil : GUSTI RADEN MAS SUJADI
Tanggal lahir : 3 Maret 1880
Naik tahta : 18 februari 1921
Wafat : 22 Oktober 1921
Makam : pasareyan pajimatan Imogiri, kedhaton Saptarengga.
Permaisuri ada 1:
KANJENG RADEN AYU ADITIA ANOM HAMENGKUNEGORO
26
Putri dari kanjeng Gusti pangeran Adipati Mangkubumi (putra Sri Sultan
Hamengku Buono VI).
Seluruh istri termasuk permaisuri berjumlah 8 orang, jumlah putra-putri almarhum
seluruhnya 41 orang. Penggantinya adalah GRM. Dorojatun satu-satunya putra dari
permaisuri.
9. SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO IX
Nama kecil : GUSTI RADEN MAS DOROJATUN
Tanggal lahir : 12 April 1912
Naik tahta : 18 Maret 1940
Wafat : 3 Oktober 1988
Makam : pasareyan pajimatan Imogiri, kedhaton Saptarengga.
Permaisuri tidak ada, istri selir ada lima:
KANJENG RADEN AYU PINTOKO PURNOMO HAMENGKUBUONO IX
Putri dari RB. Suryo kusumo (cicit dari Sultan Hamengkubuono VI).
KANJENG RADEN AYU WIDIANINGRUM HAMENGKU BUONO IX
Putri dari RW. Purwowinoto (cicit dari sultan Hamengku Buwono III)
KANJENG RADEN AYU HASTENGKORO HAMENGKU BUWONO IX
Puutri dari Raden Panji Trutojumeno (cicit dari sultan Hamengku Buwono VII).
KANJENG RADEN AYU CIPTO MURTI HAMENGKU BUWONO IX
Putri dari KPH/Bendara raden ayu Brongtodiningrat (cucu Sultan Hamengku
Buwono VII).
KANJENG RADEN AYU NORMA NINDYA KIRANA HAMENGKU
BUWONO IX
Putri dari Mentok,Bangka,Sumatra Selatan.
jumlah putra-putri almarhum seluruhnya 22 orang. Penggantinya adalah BRM.
Herjuno Darpito putra kelima, putra kedua dari Garwa Ampeya KRAY.
Windyanigrum Hamengkubuwono IX.
10. SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO X
Nama kecil : BENDARA RADEN MAS HERJUNO DARPITO
Tanggal lahir : 2 April 1946
Naik tahta : 7 Maret 1989
Permaisuri hanya ada 1:
BENDARA RADEN AYU TATIK MANGKUBUMI
27
Lahir 31 oktober 1952 kemudian di nobatkan menjadi permaisuri dengan gelar
GUSTI KANJENG RATU HEMAS, PUTRI DARI KOLONEL (Purnawirawan)
R. Supono Digosastropranoto (Almarhum).
Tidak mempunyai istri selir.
Putra dalem Sri Sultan Hamengku Buwono X ada 5, semuanya perempuan.
Pada tanggal 3 oktober 1998 dilantik menjadi Gubernur Daerah Istimewa
Yogyakarta, Periode tahun 1998-2003 (Hingga sekarang).
E. Gelar dan Kedudukan Bangsawan Kraton Yogyakarta
Gelar atau titel dan kedudukan bangsawan kraton itu diatur didalam suatu peraturan
yang disebut ― PRANATAN LAN KALUNGGUHAN PRANATAN BAB SESEBUTAN
KALUNGGUHAN PARA PUTRA SENTANA LAN DARAHING PANJENENGAN
NATA JEN PINUJU PASAMUAN SAPANUNGGALANE‖
Gelar-gelar bangsawan pria yaitu sebagai berikut:
1. KANJENG GUSTI PANGERAN ADIPATI ANOM
Sebutan ini untuk putra mahkota yang nantinya akan menggantikan kedudukan raja.
2. KANJENG PANEMBAHAN
Sebutan untuk putra sultan yang mendapat anugrah tinggi karena jasa-jasanya terhadap
raja dan Negara.
3. KANJENG GUSTI PANGERAN ADIPATI
Gelar anugrah yang diberikan kepada putra sultan.
4. KANJENG GUSTI PANGERAN HARYA
Sebutan anugrah kepada putra sultan yang kedudukannya sebagai lurah pangeran (yang
memimpin para pangeran).
5. GUSTI PANGERAN
Gelar untuk putra sulung sultan yang terlahir dari istri selir (setelah diangkat sebagai
pangeran).
6. GUSTI PANGERAN HARYA
Gelar untuk putra sultan yang terlahir dari istri permaisuri (setelah diangkat sebagai
pangeran).
7. BENDARA PANGERAN HARYA
Gelar untuk putra sultan yang lain, yang dilahirkan dari istri selir (setelah diangkat
sebagai pangeran).
28
8. KANJENG PANGERAN ADIPATI
Gelar kepangkatan yang dianugrahkan kepada sentana yang dianggap berjasa.
9. KANJENG PANGERAN HARYA
Gelar kepangkatan yang dianugrahkan kepada seseoran, tapi kedudukannya ada dibawah
kanjeng pangeran adipati.
10. GUSTI RADEN MAS
Gelar untuk putra Sultan yang terlahir dari istri permaisuri, sebelum diangkat sebagai
pangeran.
11. BENDARA RADEN MAS
Gelar untuk sultan yng lahir dari istri selir atau putra dari putrid mahkota (kanjeng Gusti
Paangeran Adipati Anom). Yang belum menjadi pangeran
12. RADEN MAS HARYA
Gelar kebangsawanan yang diberikan Sultan kepada seseorang sebagai anugrah
RADEN MASGelar untuk keturunan ketiga bahwa sultan sampai seterusnya (orang jawa
menyebut canggah)
13. RADEN ATAU RADEN BAGUS
Gelar untuk keturunan sultan dari generasi ke lima ke bawah
14. MAS
Gelar untuk abdidalem yang berasal dari rakyat
Gelar bangsawan putri yang berisi sebagai berikut:
1. GUSTI KANJENG RATU
Gelar dan sebutan untuk permaisuri atau putri Sultan yang lahir dari istri permaisuri dan
sudah menikah
2. KANJENG RATU
Gelar putrid sulung Sultan yang lahir dari istri, dan sudah menikah
3. GISTI RADEN AYU
Gelar untuk putri sultan yang lahir dari istri permaisuri yang sudah dewasa tapi belum
menikah.
4. GUSTI RADEN AJENG
Gelar untuk putri sultan yang lahir dari istri permaisuri, yang masih kanak-kanak atau
belum dewasa.
5. BENDARA RADEN AYU
Gelar untuk putrid Sultan yang lahir dari isti selir dan sudah menikah
29
6. BENDARA RADEN AJENG
7. Gelar untuk putri Sultan yang lahir dari isri selir atau putri dari putra mahkota, yang
belum menikah.
8. RADEN AYU
Gelar untuk cucu atau Canggah (angkatan ke lima kebawah) Sultan yang sudah menikah
atau istri para pangeran yang bukan putra/putri Sultan.
9. RADEN AJENG
Gelar sebutan cucu atau canggah Sultan yang belum menikah.
10. RADEN ATAU RADEN NGANTEN
Sebutan gelar cucu sampai cucu-cucu atau wareng (angkatan ke enam ke bawah) Sultan
yang telah menikah, atau istri para Bupati yang berasal dari rakyat
11. RADEN RARA
Sebutan gelar wareng Sultan yang belum menikah.
12. KANJENG BENDARA
Gelar sebutan untuk istri sultan yag mengepalai para istri selir sultan.
13. KANJENG RADEN AYU
Gelar untuk istri permisuri sultan atau istri pertama putra mahkota (kanjeng Gusti
Pangeran Adipati Anom).
14. BENDARA MAS AJENG ATAU BENDARA MAS AYU
Gelar sebutan untuk istri selir Sultan atau istri putra mahkota yang berasal dari rakyat.
Sedang selir para pangeran yang berasal dari rakyat sesebutannya: MAS AJENG atau
MAS AYU.
F. Warisan Budaya Keraton Yogyakarta
Selain memiliki kemegahan bangunan Keraton Yogyakarta juga memiliki suatu
warisan budaya yang tak ternilai. Diantarannya adalah upacara-upacara adat, tari-tarian
sakral, musik, dan pusaka (heirloom). Upacara adat yang terkenal adalah upacara Tumplak
Wajik, Garebeg, upacara Sekaten dan upacara Siraman Pusaka dan Labuhan. Upacara yang
berasal dari zaman kerajaan ini hingga sekarang terus dilaksanakan dan merupakan warisan
budaya Indonesia yang harus dilindungi dari klaim pihak asing
1. Tumplak Wajik
Upacara tumplak wajik adalah upacara pembuatan Wajik (makanan khas yang terbuat
dari beras ketan dengan gula kelapa) untuk mengawali pembuatan pareden yang
30
digunakan dalam upacara Garebeg. Upacara ini hanya dilakukan untuk membuat
pareden estri pada Garebeg Mulud dan Garebeg Besar. Dalam upacara yang dihadiri
oleh pembesar Keraton ini di lengkapi dengan sesajian.Selain itu upacara yang
diselenggarakan dua hari sebelum garebeg juga diiringi dengan musik ansambel
lesung-alu (alat penumbuk padi), kenthongan, dan alat musik kayu lainnya. Setelah
upacara selesai dilanjutkan dengan pembuatan pareden.
2. Garebeg
Upacara Garebeg diselenggarakan tiga kali dalam satu tahun kalender/penanggalan
Jawa yaitu pada tanggal dua belas bulan Mulud (bulan ke-3), tanggal satu bulan
Syawal (bulan ke-10) dan tanggal sepuluh bulan Besar (bulan ke-12). Pada hari-hari
tersebut Sultan berkenan mengeluarkan sedekahnya kepada rakyat sebagai
perwujudan rasa syukur kepada Tuhan atas kemakmuran kerajaan. Sedekah ini, yang
disebut dengan Hajad Dalem, berupa pareden/gunungan yang terdiri dari Pareden
Kakung, Pareden Estri, Pareden Pawohan, Pareden Gepak, dan Pareden Dharat,
serta Pareden Kutug/Bromo yang hanya dikeluarkan 8 tahun sekali pada saat Garebeg
Mulud tahun Dal.
3. Sekaten
Sekaten merupakan sebuah upacara kerajaan yang dilaksanakan selama tujuh
hari.Konon asal-usul upacara ini sejak kerajaan Demak. Upacara ini sebenarnya
merupakan sebuah perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad. Menurut cerita rakyat
kata Sekaten berasal dari istilah credo dalam agama Islam, Syahadatain. Sekaten
dimulai dengan keluarnya dua perangkat Gamelan Sekati, KK Guntur Madu dan KK
Nagawilaga, dari keraton untuk ditempatkan di Pagongan Selatan dan Utara di
depan Mesjid Gedhe. Selama tujuh hari, mulai hari ke-6 sampai ke-11 bulan Mulud,
kedua perangkat gamelan tersebut dimainkan atau dibunyikan secara bergantian
menandai perayaan sekaten.
Pada malam kedelapan Sultan atau wakil yang beliau tunjuk, melakukan upacara
Udhik-Udhik, tradisi menyebar uang logam (koin).Setelah itu Sultan atau wakil beliau
masuk ke Mesjid Gedhe untuk mendengarkan pengajian Maulid Nabi dan
mendengarkan pembacaan riwayat hidup nabi. Akhirnya pada hari terakhir upacara
ditutup dengan Garebeg Mulud. Selama sekaten Sego Gurih (sejenis nasi uduk)
dan Endhog Abang (harfiah=telur merah) merupakan makanan khas yang banyak
dijual. Selain itu terdapat pula sirih pinang dan bunga kantil (Michelia alba; family
31
Magnoliaceae). Saat ini selain upacara tradisi seperti itu juga diselenggarakan suatu
pasar malam yang dimulai sebulan sebelum penyelenggaraan upacara sekaten yang
sesungguhnya
4. Upacara Siraman/Jamasan Pusaka dan Labuhan
Dalam bulan pertama kalender Jawa, Suro, Keraton Yogyakarta memiliki upacara
tradisi khas yaitu Upacara Siraman/Jamasan Pusaka dan Labuhan.Siraman/Jamasan
Pusaka adalah upacara yang dilakukan dalam rangka membersihkan maupun merawat
Pusaka Kerajaan (Royal Heirlooms) yang dimiliki. Upacara ini di selenggarakan di
empat tempat. Lokasi pertama adalah di Kompleks Kedhaton (Dalem Ageng
Prabayaksa dan bangsal Manis). Upacara di lokasi ini tertutup untuk umum dan hanya
diikuti oleh keluarga kerajaan.
Lokasi kedua dan ketiga berturut turut di kompleks Roto Wijayan dan Alun-alun. Di
Roto Wijayan yang dibersihkan/dirawat adalah kereta-kereta kuda. Kangjeng Nyai
Jimat, kereta resmi kerajaan pada zaman Sultan HB I-IV, selalu dibersihkan setiap
tahun. Kereta kuda lainnya dibersihkan secara bergilir untuk mendampingi (dalam
setahun hanya satu kereta yang mendapat jatah giliran). Di Alun-alun dilakukan
pemangkasan dan perapian ranting dan daun Waringin Sengker yang berada di
tengah-tengah lapangan. Lokasi terakhir adalah di pemakaman raja-raja di Imogiri. Di
tempat ini dibersihkan dua bejana yaitu Kyai Danumaya dan Danumurti. Di lokasi
kedua, ketiga, dan keempat masyarakat umum dapat menyaksikan prosesi upacaranya.
5. Labuhan
Labuhan adalah upacara sedekah yang dilakukan setidaknya di dua tempat
yaitu Pantai Parang Kusumo dan Lereng Gunung Merapi. Di kedua tempat itu benda-
benda milik Sultan seperti nyamping (kain batik), rasukan (pakaian) dan sebagainya
di-larung (harfiah=dihanyutkan). Upacara Labuhan di lereng Gunung Merapi
(Kabupaten Sleman) dipimpin oleh Juru Kunci Gunung Merapi, sedangkan di Pantai
Parang Kusumo Kabupaten Bantul dipimpin oleh Juru Kunci Cepuri Parang Kusumo.
Benda-benda tersebut kemudian diperebutkan oleh masyarakat.
3.3 Analisis Hasil Penelitian Cirebon
Analisis kami terhadap hasil penelitian yang telah kami jelaskan di atas diantaranya
adalah mengenai pembangunan keraton kasepuhan Cirebon. Setelah kami bertanya kesalah
satu pemandu wisata yang disana ternyata keraton Kasepuhan Cirebon didirikan tahun 1529
32
oleh Pangeran Emas Zainul Arifin (cicit Sunan Gunung Jati) yang menggantikan Sunan
Gunung Jati pada tahun 1506. Sebelumnya Keraton Kasepuhan bernama Keraton
Pakungwati, sehingga Pangeran Mas Zainul Arifin bergelar Panembahan Pakungwati I.
Apabila kita perhatikan ruang luar Keraton Kesepuhan, kita bisa melihat bagaimana
perpaduan unsur-unsur Eropa seperti meriam dan Patung Singa dihalaman muka, Furnitur
dan meja kaca gaya Perancis tempat para tamu sultan berkaca sebelum menghadap, gerbang
ukiran Bali dan Pintu Kayu model ukiran Perancis yang menampakkan gambaran
kosmopolitan Keraton Kesepuhan yan tersimpan dalam musium Keraton.
Gambar 7: Patung sepasang singa putih dan meriam di sampingnya
Kegemaran Kesultanan Cirebon mengadopsi gaya dan arsitektur model Eropa yang
mengisi bagian dalam Keraton Kesepuhan. Perhatikan bagaimana model dan ukiran ruang
pertemuan sultan dengan para menteri yang di buat dengan model hampir sama dalam
interior kerajaan perancis dibawah dinasti Bourbon, seperti model kursi, meja dan lampu
gantung. Bagaimanapun terdapat kombinasi gaya interior ini apabila kita memperhatikan
sembilan kain berwarna di latar belakang singgasana raja yang melambangkan sosok wali
sanga. Di sini tradisi Jawa bercampur dengan Eropa yang telah 'di lokalkan'.
Gambar 8: Bangsal Panembahan
33
Hal yang menarik dari Keraton Kesepuhan adalah adanya piring-piring porselin asli
Tiongkok yang menjadi penghias dinding semua keraton di Cirebon. Tak cuma di Keraton,
piring-piring porselin itu bertebaran hampir di seluruh situs bersejarah di Cirebon.
Selain piring-piring porselin asli Tiongkok patut kita amati juga lukisan tiga dimensi
Prabu Siliwangi. Lukisan ini memang istimewa. Jika kita melihat lukisan ini dari arah kiri,
mata dan ujung jari kaki Prabu Siliwangi terlihat menghadap ke kiri (ke arah kita). Namun
kalau kita bergeser ke arah kanan lukisan, mata dan ujung jari kaki itu pun terlihat
menghadap ke kanan (seolah-olah mengikuti kita). Lukisan semacam ini juga terdapat di
Keraton Yogyakarta, hasil karya Raden Saleh, pelukis legendaris Indonesia. Sedangkan
lukisan Prabu Siliwangi di lukis oleh seorang pelukis yang berasal dari Garut. Kalau melihat
garis-garis lukisannya, pelukis Prabu Siliwangi ini masih beberapa tingkat di bawah Raden
Saleh.
Lanjut ke koleksi yang di bilang keramat, yaitu kereta Singa Barong. Ternyata kereta
Singa Barong yang di pajang itu hanya reflikanya, karena kereta yang aslinya sedang dalam
proses renopasi. Kereta ini saat ini tidak lagi dipergunakan dan hanya dikeluarkan pada tiap
1 Syawal untuk dimandikan.
3.4 Analisis Hasil Penelitian Yogyakarta
Pada saat kami berkunjung ke keraton Yogyakarta pas bertepatan dengan acara
Sekaten, jadi pada penulisan laporan ini kami akan memfokuskan analisis kami tentang
acara sekaten tersebut.
Sekaten yang biasanya dirayakan oleh sebagian besar masyarakat Yogyakarta dan
Surakarta merupakan sebuah rangkaian kegiatan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW
yang diselenggarakan oleh Keraton Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat atau Keraton
Kasunanan Surakarta bersama pemerintahan dan masyarakat setempat. Berbagai bentuk
acara dan kegiatan dilangsungkan dalam perayaan Sekaten—yang beraneka ragam variasi
dan macamnya seiring perubahan waktu—mulai dari yang sifatnya ritual keagamaan hingga
apresiasi seni tradisi lokal sampai pameran dan pasar malam. Kultur lokal dan kultur
modern seakan melebur dalam waktu bersamaan dalam momentum sekaten.
Untuk mengetahui asal mula sekaten yang tiap tahun diadakan oleh dua Keraton
tersebut, kita harus menulusurinya dari zaman Demak. Kerajaan ini merupakan kerajaan
Islam pertama di Jawa yang berdiri setelah Majapahit runtuh pada tahun 1400 Saka atau
1478 Masehi. Keruntuhan Majapahit diperingati dengan candrasengkala ‖Sirna Hilang
34
Kertaning Bumi‖. Berakhirnya Kerajaan Majapahit berarti berakhir pula Kerajaan Hindu di
Jawa, di bawah pemerintahan Prabu Brawijaya V. Raja Demak yang pertama adalah Raden
Patah yang bergelar Sultan Bintara.
Sebagai Raja Islam, Raden Patah selalu berupaya untuk memajukan tersiarnya
agama Islam di seluruh kerajaan. Sultan Bintara selalu memikirkan bagaimana caranya agar
agama Islam dapat menyinari semua pelosok negeri, dan bagaimana orang-orang yang telah
memeluk agama Hindu itu akan insyaf dan meyakini kebenaran ajaran Islam.
Demi cita-cita itu, Raden Patah akhirnya mengadakan pertemuan dengan para wali
sembilan, di antaranya adalah Sunan Ampel, Sunan Gresik, Sunan Giri, Sunan Bonang,
Sunan Kudus, Sunan Muria, Sunan Kalijaga, Sunan Drajat, dan Sunan Gunung Jati.
Pertemuan itu membahas cara menyiarkan Islam di tanah Jawa. Sunan Kalijaga mempunyai
usul tentang penyiaran agama Islam agar diterima oleh masyarakat yang sejak dahulu
memeluk agama Hindu. Usul Sunan Kalijaga tersebut adalah dengan membiarkan tetap
dilaksanakannya adat atau tata cara dalam agama Hindu, tetapi dimasuki pelajaran Islam,
misalnya:
1. Semedi
Semedi dalam agama Hindu mempunyai maksud memuja kepada dewa-dewa.
Karena agama Islam tidak mengenal dewa, maka diganti dengan memuja Allah
SWT dengan sholat.
2. Sesaji
Sesaji menurut agama Hindu mempunyai maksud memberi makanan kepada dewa-
dewa dan jin, agar sesuai dengan ajaran Islam diganti dengan zakat fitrah pada fakir
miskin.
3. Keramaian
Dalam agama Hindu keramaian mempunyai maksud menghormat kepada dewa-
dewa, diganti keramaian menghormat hari-hari raya Islam.
Karena orang Jawa suka gamelan, maka pada hari raya Islam yaitu hari lahirnya
Nabi Muhammad SAW, sebaiknya dalam masjid juga diadakan tabuh gamelan, agar orang-
orang tertarik. Jika sudah berkumpul kemudian diberi pelajaran tentang agama Islam. Dan
untuk keperluan itu, para wali menciptakan seperangkat gamelan yang dinamakan Kyai
Sekati.
Usul dari Sunan Kalijaga tersebut disepakati oleh wali yang lainnya dan Raden
Patah, yaitu pada hari lahir Nabi Muhamad, 12 Mulud, dalam masjid dipukul gamelan.
35
Tanggal 12 Mulud selain merupakan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW juga merupakan
hari wafat beliau. Ternyata banyak orang yang berduyun-duyun datang ke masjid untuk
mendengarkan bunyi gamelan. Orang-orang tersebut datang ke masjid walaupun rumahnya
jauh, sehingga mereka bermalam di alun-alun atau sekitar masjid.
Pada hari kelahiran Nabi Muhammad SAW tersebut, selain rakyat, para bupati
pesisir juga datang ke kota kerajaan untuk memberi sembah pada raja. Mereka datang
beberapa hari sebelum tanggal 12 Mulud dan membuat rumah di alun-alun untuk bermalam.
Bupati menghadap raja dan kemudian menggiring raja ke masjid. Karena banyaknya orang
yang menggiring raja tersebut, timbul perkataan ‖Garebeg‖ yang berasal dari kata
‖anggrubyung‖ yang berarti menggiring.
Orang-orang yang datang di halaman masjid itu disuruh untuk mendengarkan
pidato-pidato tentang ajaran agama Islam yang mudah-mudah dahulu. Pertama mereka
diberi tahu maksudnya syahadat dan bagaimana bunyinya. Dari itulah timbul kata sekaten
yang berasal dari bahasa Arab ‖syahadatain‖. Kalimat syahadat merupakan suatu kalimat
yang harus dibaca oleh seseorang untuk masuk Islam, yang mempunyai arti: tiada Tuhan
selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Kalimat syahadat itu juga ditulis di
atas pintu gerbang masjid. Karena banyak orang yang datang berduyun-duyun ke masjid dan
banyak yang bermalam, maka banyak pula orang yang berjualan di sekitar masjid dan alun-
alun.
Sekaten selain berasal dari kata syahadatain, juga berasal dari kata:
1. Sahutain: menghentikan atau menghindari perkara dua, yakni sifat lacur dan
menyeleweng.
2. Sakhatain: menghilangkan perkara dua, yaitu watak hewan dan sifat setan karena
watak tersebut sumber kerusakan.
3. Sakhotain: menamankan perkara dua, yaitu selalu memelihara budi suci atau budi
luhur dan selalu menghambakan diri pada Tuhan.
4. Sekati: setimbang, orang hidup harus bisa menimbang atau menilai hal-hal yang baik
dan buruk.
5. Sekat: batas, orang hidup harus membatasi diri untuk tidak berbuat jahat serta tahu
batas-batas kebaikan dan kejahatan.
Tradisi sekaten yang dirayakan untuk memperingati hari lahir Nabi Muhammad
SAW tersebut tetap dilestarikan oleh raja-raja yang memerintahkan berikutnya hingga masa
Mataram. Pada zaman kerajaan Mataram hingga akhirnya pindah ke Surakarta dan
36
Yogyakarta, sekaten diadakan untuk kepentingan politik, yaitu mengetahui kesetiaan para
bupati yang ada di wilayah kerajaan. Pada perayaan sekaten para bupati harus datang untuk
menyerahkan upeti dan menghaturkan sembah baktinya kepada raja. Apabila bupati tersebut
berhalangan hadir, maka harus diwakili oleh pihak kerajaan. Hal itu dilakukan karena bila
bupati tidak hadir pada perayaan sekaten diartikan sebagai bentuk pembangkangan terhadap
raja.
Perayaan sekaten yang diadakan oleh kerajaan Mataram, selain bertujuan untuk
memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW juga untuk menunjukkan bahwa raja yang
berkuasa masih ada hubungan dengan Nabi Muhammad, utusan Allah. Sekaten juga
mempunyai peran politis dan ekonomis. Karena dengan sekaten, para bupati harus sowan
memberi upeti dan kehadirannya di upacara sekaten sebagai tanda kesetiaan kepada raja
yang memerintah.
Dengan perkembangan zaman, sekaten juga dimanfaatkan dalam sektor
perdagangan. Perayaan sekaten sebagai ladang masyarakat untuk berdagang dan semakin
membuat marak perayaan sekaten. Selain untuk mendengarkan gamelan, para pengunjung
dapat membeli berbagai makanan khas sekaten, juga mainan anak-anak.
Setela acara sekaten ada juga acara gerebeg. Gerebeg adalah upacara adat di kraton
Yogyakarta yang diselenggarakan tiga kali dalamsetahun untuk memperingati hari besar
islam. Mengenai istilah gerebeg ini berasal dari bahasa jawa ‗Gerebeg‘ yang berarti ―diiringi
para pengikut‖. Karena perjalanan sultan keluar dari istana itu memang selalu diikuti banyak
orang. Sehingga di sebut GAREBEG. Pengertian lain mengatakan bahwa karena gunung itu
di perebutkan warga masyarakat yng berarti di grebeg, maka disebut GAREBEG.
Pelaksanaan upacara tersebut bertepatan dengan hari-hari besar islam seperti:
1. GAREBEG SYAWAL,dilaksanakan pada hari pertama bulan Syawal untuk peringatan
Hari Raya lebaran (Idul Fitri).
2. GAREBAG BESAR,dilaksanakan pada hari kesepuluh bulan Besar(Dzulhijjah)untuk
memperingati Hari Raya Qurban(Idul Adha).
3. GEREBEG MAULID dilaksanakn pada hari keduabelas bulan mulud (Rabiul awal)
untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Upacara adat ini di awali dari halaman kemandungan lor (keben). Dengan di kawal
oleh prajurit kraton, pada setiap acara ini Sultan berkenan memberi sedekah berupa
gunungan kepada rakyatnya, gunungan tersebut berisis makanan, gunungan ini sebagai
tanda/symbol kemakmuran dan kesejahtraan kerajaan mataram.
37
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Islam masuk ke Cirebon pada abad 15, ajaran Islam ini dibawa Syarif Hidayatullah
(Sunan Gunung Jati) dan Syekh Idlofi Mahdi. Mereka menyebarkan agama Islam dengan
berdakwah dan mendirikan pondok pesantren. Sunan Gunung Jati, mempunyai daerah
penyebaran paling luas. Pada tahun 1498 Sunan Gunung Jati membangun Masjid Agung
Cirebon dan dibantu oleh kedelapan para wali. Pada tahun 1568 Sunan Gunung Jati wafat
dan beliau dimakamkan di pertamanan Gunung Jati.
Cirebon menjadi pusat perdagangan karena letaknya di daerah pesisir utara pulau
Jawa. Perdagangan ini melalui 2 jalur yaitu jalur darat dan jalur laut. Pedagang dari luar
negara yang mendukung perekonomian di Cirebon adalah Cina dengan barang dagangannya
yaitu sutra dan keramik. Masyarakat Cirebon dibedakan berdasarkan status sosialnya yang
dibedakan menjadi 4 golongan, yaitu golongan Raja, golongan Elite, golongan Nonelite, dan
golongan Budak. Mereka mempunyai kedudukan didalam lingkungan kerajaan.
Cirebon mulai mengalami kehancuran ketika Cirebon dibagi menjadi 3 Kesultanan,
Yaitu Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, dan Kerato Kacirebonan. Sehingga kerajaan
Cirebon menjadi terpecah-pecah. Disamping itu adanya perebutan kekuasaan sepeninggal
Panembahan Gerilya pada tahun 1702. Adanya campur tangan VOC dalam kerajaan yang
mengadu domba mereka juga menjadi penyebab hancurnya kerejaan Cirebon.
Keraton Yogyakarta sebagai pusat pemerintahan Kasultanan Yogyakrta memilki
Arsitektur yang sangat tertata rapi. Hal itu terbukti dengan adanya bangunan kompleks yang
saling berkesinambungan satu dengan yang lainnya. Hadirnya Benteng Baluwarti, parit
keliling, Alun-alun, Masjid Kauman, Tamansari menujukan konstruksi yang rapi. Namun
seiring dengan perkembangan pembangunan yang menuntut adanya ruang lebih untuk
tempat tinggal dan aktinitas lainnya, beberapa kompleks yang dahulu merupakan bagian
dari keastuan keraton beralih fungsi menjadi tempat tinggal masyarakat dan ruang aktivitas
publik. Hal ini terbukti dengan hilangnya parit keliling yang dahulu menjadi media halangan
bagi lawan untuk masuk pusat pemerintahan kini telah beralih menjadi tempat tinggal
penduduk dan pertokoan. Dinamika perubahan arsitektur keraton ini tetap tidak
menghilangkan patokan pakem yang telah digunakan oleh keraton Yogyakarta. Hal ini
membuktikan kemampuan keraton dalam menerima adapatasi dari tuntutan jiwa zaman.
Keraton mampu untuk tetap eksis hingga abad kedua puluh satu ini merupakan kemampuan
38
beradaptasi dengan lingkungan dari zaman ke zaman. Keraton juga mampu mepertahankan
jiwa dari masa ke masa.
39
DAFTAR PUSTAKA
Bockani, Sanggupri, dkk. Sejarah Kerajaan Tradisional Cirebon. Jakarta:CV. Sukorejo Bersinar,
2001.
Heryanto, Fredy. Mengenal Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Yogyakarta: Warna
Mediasindo,2009.
Kartodirjo, Sartono. Pengantar Sejarah Indonesia Baru : 1500-1900 dari Emporium sampai
Imporium, Jilid 1. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995.
Kosoh, dkk. Sejarah daerah Jawa Barat. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat
Jenderal Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Jakarta: PN. Balai Pustaka,
1994.
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia
III. Depdikbud, 1982.
PS. Sulendraningrat. Sejarah Cirebon. Jakarta: PN Balai Pustaka,1985.
http://kumpulantugassejarah.blogspot.com/2011/07/penyebaran-islam-di-kerajaan-cirebon.html
diakses pada hari Minggu tanggal 16 Desember 2012 pukul 22.38 WIB
http://markazunahebat.blogspot.com/2012/04/islam-pada-masa-kesultanan-cirebon.html diakses pada
hari Minggu tanggal 16 Desember 2012 pukul 22.42 WIB.
http://serambimadina.wordpress.com/page/2/ diakses pada hari Selasa tanggal 18 Desember 2012 pukul
10.16 WIB.
http://kasepuhan.com/beta/sejarah/sejarah-kesultanan-cirebon/ diakses pada hari Rabu tanggal 19
Desember 2012 pukul 03.06 WIB.
http://ganang29.blogspot.com/2011/02/keraton-yogyakarta-dan-seni-bangunannya.html diakses pada
hari Kamis tanggal 20 Desember 2012 pukul 21.43 WIB.