Post on 05-Oct-2021
i
LAPORAN AKHIR
DAMPAK BENCANA ALAM TERHADAP KETIMPANGAN
PENDAPATAN DI INDONESIA
LESTARI AGUSALIM, S.E., M.Si
(0309018701)
UNIVERSITAS TRILOGI
2020
ii
ABSTRAK
Bencana alam berperan penting dan subtansial dalam memengaruhi
ketimpangan pendapatan di suatu wilayah atau masyarakat. Akan tetapi terdapat
berbagai variasi hubungan diantara kedunya. Beberapa penelitian menujukan
adanya pengaruh positif, tetapi di sisi lain menemukan adanya pengaruh negatif.
Variasi tergantung pada objek, waktu, variabel, dan metode analisis yang
digunakan. Penelitian ini bertujuan untuk memetakan hubungan antara tingkat
kejadian bencana alam dan tingkat ketimpangan ekonomi dan menganalisis dampak
tingkat kejadian bencana terhadap tingkat ketimpangan pendapatan di Indonesia.
Penelitian ini menggunakan metode panel data, data cross section dari 33 provinsi
di Indonesia, data time series periode 2010-2018, dan menggunakan enam variabel,
yaitu indeks gini, jumlah kejadian bencana alam, panjang jalan tol, pdrb, investasi
langsung, IPM, dan tingkat kemiskinan. Hasil analisis menunjukkan bahwa
bencana alam memperlemah efek negatif dari infrastruktur terhadap ketimpangan
pendapatan di Indonesia.
Kata Kunci: Bencana alam, gini, kemiskinan, IPM, panel data
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas ridho-
Nya makalah ini bisa diselesaikan pada waktunya.
Makalah ini berjudul “Dampak Bencana Alam terhadap Ketimpangan
Pendaatan di Indonesia”. Di dalam makalah ini dibahas mengenai pemetaan
hubungan antara tingkat kejadian bencana alam dengan tingkat ketimpangan
ekonomi dan menganalisis dampak tingkat kejadian bencana terhadap tingkat
ketimpangan pendapatan di Indonesia. Selain itu, makalah ini juga membahas
mengenai peran infrastruktur jalan, pdrb, investasi, indeks pembangunan manusia
dan tingkat kemiskinan terhadap distribusi pendapatan di Indonesia.
Semoga makalah ini dapat memberikan gambaran terhadap kondisi yang
ada dan dapat digunakan sebagai acuan dalam perencanaan pembangunan yang
dikaitkan dengan isu kebencanaan dalam rangka menjaga distribusi pendapatan
semakin merata.
Bogor, 19 Feb 2021
Penulis
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK ……………................................................................................. ii
KATA PENGANTAR ................................................................................... iii
DAFTAR ISI ................................................................................................. iv
DAFTAR TABEL ......................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... iv
1 PENDAHULUAN ................................................................................... 1
2 TINJAUAN PUSTAKA..…..................................................................... 9
3 METODE PENELITIAN …..................................................................... 11
4 HASIL DAN PEMBAHASAN ……..…….............................................. 16
5 PENUTUP …………................................................................................ 28
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 29
LAMPIRAN ………….................................................................................. 32
5
1 PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara rawan bencana karena berada pada pertemuan
tiga lempeng dunia yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik, yang
berpotensi menimbulkan gempa bumi apabila lempeng-lempeng tersebut
bertumbukan. Menurut UNESCO (2017) Indonesia menempati peringkat ke 7
sebagai negara paling rawan akan risiko bencana alam bila ditinjau dari aspek
geografi, geologi, klimatologi, dan demografi. Data yang dikeluarkan oleh Pusat
Studi Bencana UGM (2010) menunjukkan bahwa, Indonesia mempunyai 127
gunung api aktif, 76 di antaranya berbahaya, bencana alam lainnya seringkali
melanda Indonesia adalah tsunami, angin topan, banjir, tanah longsor, kekeringan,
serta bencana akibat ulah manusia seperti kegagalan teknologi, konflik sosial,
kebakaran hutan, dan lahan. Dampak kejadian bencana tersebut secara keseluruhan
mengakibatkan kerugian harta benda dan korban jiwa yang tidak sedikit. Hampir
seluruh provinsi di Indonesia merupakan daerah rawan bencana.
Bencana alam merupakan salah satu faktor yang dapat mengganggu
perekonomian di suatu negara termasuk di Indonesia. Benson dan Clay (1997)
menyatakan bahwa bencana alam adalah kejadian abnormal yang memengaruhi
wilayah geografis serta masyarakat, sehingga menyebabkan kerusakan yang besar,
gangguan dan menimbulkan korban jiwa. Berdasarkan perspektif ekonomi bencana
alam menyiratkan beberapa kombinasi dari kerugian pada manusia, seperti
kerugian fisik yaitu tanah dan bangunan, serta kerugian keuangan. Selain itu,
bencana alam juga dapat menyebabkan penurunan aktivitas ekonomi seperti
pendapatan, investasi, konsumsi, dan produksi, serta memungkinkan beberapa
dampak pada arus keuangan seperti penerimaan dan pengeluaran pemerintah dan
swasta.
Jumlah bencana alam di Indonesia dari tahun ke tahun cenderung meningkat.
Bencana alam yang terjadi di Indonesia antara lain bencana alam hidrometeorologi
(banjir, gelombang pasang/abrasi, kekeringan, kebakaran hutan, dan lahan) dan
bencana alam geologi (tanah longsor, gempa bumi, tsunami, letusan gunung api,
dan angin puting beliung). Jumlah bencana alam yang paling banyak dalam kurun
waktu 2013-2018 adalah pada tahun 2017 (Gambar 1). Pada tahun 2017 jumlah
6
bencana alam di Indonesia mencapai 2851 kejadian yang terdiri dari berbagai jenis
bencana.
Sumber: Data informasi bencana Indonesia BNPB, 2019 (diolah)
Gambar 1 Jumlah kejadian bencana alam di Indonesia tahun 2013-2018
Berdasarkan data informasi bencana Indonesia BNPB terdapat lebih dari
13.000 lebih bencana alam di Indonesia pada tahun 2013 sampai 2018, dengan 4328
banjir, 3315 tanah longsor, 130 gelombang pasang/abrasi, 4045 angin puting
beliung, 228 kekeringan, 817 kebakaran hutan dan lahan, 117 gempa bumi, empat
tsunami, dua gempa bumi dan tsunami, dan 90 letusan gunung api.
Sumber : Data informasi bencana Indonesia BNPB, 2019 (diolah)
Gambar 2 Jumlah kejadian bencana alam menurut jenis bencana di Indonesia tahun
2013-2018
1641
1948
1684
2287
2851
2571
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
2013 2014 2015 2016 2017 2018
4328
3315
130
4045
228817
117 4 2 900
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
4000
4500
5000
BANJIR TANAH
LONGSOR
GELOMBANG
PASANG /
ABRASI
PUTING
BELIUNG
KEKERINGAN KEBAKARAN
HUTAN DAN
LAHAN
GEMPA BUMI TSUNAMI GEMPA BUMI
DAN TSUNAMI
LETUSAN
GUNUNGAPI
7
Masalah lain yang ditimbulkan selain jumlah kejadian bencana alam yang
cenderung meningkat adalah dampak bencana alam yang menimbulkan kerusakan
sekaligus kerugian materi maupun non materi sehingga memengaruhi tingkat
kemiskinan dan ketimpangan pendapatan masyarakat. Bencana alam dapat
berdampak pada turunnya tingkat pendapatan masyarakat miskin, sehingga akan
mengarah pada ketimpangan pendapatan yang melebar di masyarakat. Dugaan ini
tersebut diperkuat oleh studi empiris yang dilakukan Bui et al., (2014) dimana
secara statistik terbukti bahwa bencana alam secara nyata meningkatkan
kemiskinan dan ketimpangan di Vietnam. Hal tersebut dikarenakan masyarakat
yang tergolong kaya memiliki kemampuan dalam memenuhi kebutuhannya pasca
bencana alam melalui pembiayaan dari tabungan atau pinjaman yang dapat dengan
mudah mereka dapatkan, mereka juga cenderung memiliki asuransi untuk menutupi
kerugian akibat bencana alam. Tidak hanya itu masyarakat yang kaya lebih siap
dalam menghadapi bencana alam karena mereka mampu secara finansial sehingga
memiliki solusi pencegahan untuk menghindari atau mengurangi kerusakan akibat
bencana alam. Berbeda dengan kondisi tersebut masyarakat miskin yang cenderung
memiliki pendapatan yang tidak tetap akan terganggu akibat adanya bencana alam.
Mereka tidak memiliki asuransi atau bahkan tabungan yang cukup untuk
menanggulangi dampak dari bencana alam yang mereka hadapi. Dengan demikian,
bencana alam dapat berdampak negatif pada tingkat pendapatan masyarakat miskin
sehingga ketimpangan pendapatan akan melebar. Akan tetapi, dalam studi lain yang
dilakukan oleh Keerthiratne dan Tol (2018) menunjukkan bahwa bencana alam
secara signifikan dan secara substansial mengurangi ketimpangan pendapatan
rumah tangga. Orang kaya lebih terpengaruh karena pendapatan mereka terutama
berasal dari kegiatan pertanian non-pertanian dan non-musiman. Penelitian-
penelitian yang mencoba menganalisis hubungan bencana alam dengan
ketimpangan pendapatan menghasilkan kesimpulan yang bervariasi tergantung
pada objek, waktu, variabel, dan metode analisis yang digunakan.
8
Sumber: BPS 2019
Gambar 3 Indeks Gini Indonesia 2010-2019
Pada tahun 2010-2019, indeks gini Indonesia mengalami fluktuatif dan
cenderung menurun. Namun, penurunannya relatif lambat, berbeda dengan jumlah
bencana alam di Indonesia yang cenderung meningkat tajam. Penelitian ini meneliti
kemungkinan adanya hubungan kausalitas antara bencana alam dan ketimpangan
pendapatan. Apabila terdapat hubungan tertentu, maka pembuat kebijakan perlu
melakukan langkah antisipasi sejak awal. Berbagai penelitian telah meneliti
pengaruh bencana alam terhadap ketimpangan pendapatan, tapi untuk di Indonesia
masih minim penelitian mengenai dampak bencana alam khususnya terhadap
ketimpangan pendapatan masyarakat. Berdasarkan latar belakang tersebut maka
dibutuhkan sebuah penelitian mengenai bagaimana dampak bencana alam terhadap
ketimpangan pendapatan di Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah memetakan
hubungan antara tingkat kejadian bencana alam dan tingkat ketimpangan ekonomi
dan menganalisis dampak tingkat kejadian bencana terhadap tingkat ketimpangan
pendapatan di Indonesia. Penelitian bencana alam di Indonesia masih jarang
dilakukan, kebanyakan tingkatnya negara-negara di dunia. Analisis yang akan
dilakukan menggunakan cakupan provinsi dan menggunakan data PDRB, Indeks
gini, indeks pembangunan manusia, tingkat kemiskinan, jumlah kejadian bencana
alam dan panjang jalan.
0.378
0.41 0.410.413
0.4060.408
0.397
0.393
0.389
0.382
0.36
0.37
0.38
0.39
0.40
0.41
0.42
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019
9
2 TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian yang berhubungan bencana alam dan ketimpangan pendatapan
masih relatif sedikit dilakukan. Dari yang melakukannya, temuan yang dilaporkan
beragam. Penelitian yang dilakukan oleh Warr dan Aung (2019) adalah untuk
menguji pengaruh bencana alam tropis topan nargis yang menghancurkan sebagian
Myanmar pada Mei 2008 terhadap ketimpangan pendapatan di berbagai wilayah di
Myanmar. Penelitian ini menggunakan simulasi terhadap wilayah yang tidak
terkena topan margis dan wilayah yang terkena topan margis. Hasilnya, wilayah
kaya yang terkena topan margis mengurangi ketimpangan pendapatan di wilayah
tersebut, aset rumah tangga kaya hancur, sehingga mengurangi kesenjangan antara
mereka yang kaya dan mereka yang lebih miskin. Namun, secara keseluruhan atau
dalam tingkat nasional, bencana alam topan margis signifikan meningkatkan
ketimpangan pendapatan di Myanmar.
Songwathana (2018) melakukan penelitian tentang bencana alam untuk
menguji ketahanan bencana atau kerentanan bencana baik di negara maju maupu
negara berkembang. Meskipun studi sebelumnya menemukan bahwa orang miskin
cenderung lebih menderita dari bencana, hanya beberapa studi dianalisis di tingkat
lintas negara berdasarkan kasus dengan 168 negara dan tahun 1990-2016.
Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Tselios dan Tompkins (2019)
tentang bencana yang memengaruhi variabel-variabel makroekonomi seperti
kekayaan/kemiskinan, ketimpangan pendapatan, tidak adanya/adanya sistem
kesejahteraan sosial, dan hasil bencana jangka pendek dan jangka panjang.
Hambatan utama untuk kemajuan dalam mengurangi tingkat hasil bencana
tampaknya berasal dari ketidakmampuan untuk mengatasi pendorong kerentanan
makro-ekonomi. Studi ini menemukan bahwa dalam kaitannya dengan bencana
alam, negara berkembang mengalami dampak manusia yang lebih buruk daripada
negara yang lebih maju. Negara-negara maju menderita kerugian ekonomi yang
lebih besar, negara-negara dengan tingkat ketimpangan pendapatan yang lebih
besar memiliki lebih banyak orang yang terkena dampak daripada di negara-negara
yang lebih setara dan kesejahteraan sosial serta dampak bencana alam menunda
pertumbuhan ekonomi di negara-negara miskin.
10
Beberapa studi ekonomi kuantitatif menyimpulkan bahwa bencana
meningkatkan ketimpangan, tetapi buktinya tidak kuat. Yamamura (2015)
menggunakan data panel lintas negara dari tahun 1965 hingga 2004 untuk
mempelajari bagaimana terjadinya bencana alam ketimpangan pendapatan di
tingkat nasional. Temuannya adalah untuk efek tetap tahun dan negara, bencana
banjir telah meningkatkan ketimpangan pendapatan dalam jangka pendek (5 tahun)
tetapi efek ini menghilang dalam jangka panjang (10 tahun). Tidak ada dampak
ketimpangan yang ditemukan untuk badai atau gempa bumi. Karena penelitian ini
menggunakan data tingkat nasional, temuan tidak membedakan antara dampak
ketimpangan dalam wilayah yang terkena dampak bencana dari suatu negara dan
dampak ketidaksetaraan di level nasional.
Berbeda dengan hasil penelitian yang telah dijelaskan, beberapa studi
ekonomi lain telah menyimpulkan bahwa bencana alam menyebabkan menurunnya
tingkat ketimpangan pendapatan. Feng et al. (2016) menganalisis dampak gempa
Wenchuan 2008 di Cina di antara rumah tangga yang terkena dampak di pedesaan
Sichuan. Penelitian menemukan ketimpangan konsumsi menurun setelah gempa
bumi. Namun, penulis menunjukkan bahwa hasil ini bukan berasal dari dampak
langsung dari gempa itu sendiri, tetapi dari waktu yang tepat dan dukungan
pemerintah substansial yang diterima oleh rumah tangga miskin sebagai tanggapan
terhadapnya. Tidak jelas bagaimana pengaruh gempa itu sendiri terhadap
ketidaksetaraan.
Akhirnya, Keerthiratne dan Tol (2018) memanfaatkan tingkat kabupaten data
panel di Sri Lanka dan menyimpulkan bahwa bencana alam yang terjadi tidak
secara signifikan memengaruhi ketimpangan konsumsi tetapi mengurangi
ketimpangan pendapatan. Penulis menghubungkan langkah-langkah tingkat
kabupaten ketimpangan pendapatan dengan data tingkat kabupaten/kota tentang
proporsi rumah tangga terkena dampak bencana alam di enam putaran rumah
tangga survei pendapatan dan pengeluaran. Metodologi penelitian tidak
membedakan antara 'bencana alam' besar dan kecil. Tampaknya banyak dari
bencana alam termasuk kecil cukup sehingga rumah tangga mampu
mempertahankan konsumsi jangka pendek meskipun mengalami kerugian
pendapatan.
11
3 METODE PENELITIAN
3.1. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data
yang digunakan adalah data panel yang merupakan gabungan data time series dan
data cross section. Penelitian ini menggunakan data time series berupa data tahunan,
yaitu dari tahun 2010 sampai 2018. Data cross section yang digunakan adalah 33
Provinsi di Indonesia. Sumber data di peroleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan
Badan Nasional Penganggulangan Bencana alam (BNPB). Variabel, keterangan,
dan sumber data dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Variabel, Keterangan, dan Sumber data
Variabel Keterangan Sumber
Gini Indeks gini BPS
Bencana Jumlah kejadian bencana (Kali kejadian) BNPB
Jalan Panjang jalan total (KM) BPS
PDRB Produk domestik regional bruto atas dasar harga konstan 2010
(Miliar Rp) BPS
investasi Investasi langsung PMA+PMDN (Miliar Rp) BKPM
ipm Indeks Pembangunan Manusia BPS
miskin Tingkat kemiskinan (persen) BPS
.3.2. Metode Analisis Data
Penelitian ini menggunakan metode analisis kuantitatif yang terdiri dari
analisis deskriptif, Panel Fully Modified Ordinary Least Square (PFMOLS), dan
Panel Error Correction Model (PECM). Analisis deskriptif digunakan untuk
mendeskripsikan kondisi sebaran bencana alam dan ketimpangan setiap provinsi di
Indonesia. Analisis deskriptif merupakan analisis sederhana yang bertujuan untuk
mendeskripsikan dan mempermudah penafsiran yang disajikan dalam bentuk tabel
dan grafik. Analisis menggunakan model PFMOLS bertujuan untuk mengetahui
pengaruh jangka panjang setiap variabel independen terhadap variabel indeks gini.
Sementara itu, model PECM berguna untuk mengetahui pengaruh jangka
pendeknya. Sebelum melakukan analisis PFMOLS dan PECM terlebih dahulu
dilakukan pengujian unit root pada setiap variabel untuk menguji kestasioneran
12
data. Kemudian, dilakukan uji kointegrasi. Apabila terdapat kointegrasi maka
model PFMOLS dan PECM dapat dilakukan.
Pengujian unit root tidak hanya dilakukan pada data time series tetapi juga
pada data panel seperti yang dilakukan oleh Levin, Lin, dan Chu (2002), Harris dan
Tzavalis (1999), Breitung (2000), Im–Pesaran–Shin (2003), dan Fisher-type (Choi,
2001). Uji unit root data diperlukan untuk mengetahui ada tidaknya data yang tidak
stasioner. Apabila data tidak stasioner akan mengakibatkan hasil estimasi menjadi
bias (Baltagi 2005). Hasil tersebut dapat mengakibatkan nilai R2 yang besar dan
nilai uji-t yang signifikan namun tidak memiliki arti keekonomian atau biasa
disebut sebagai spurious regresion (Enders, 2014). Dalam banyak kumpulan data,
dimensi waktu (T), adalah kecil, sehingga tes yang sifat asimptotiknya dibuat
dengan mengasumsikan bahwa T cenderung tak terhingga dapat menyebabkan
inferensi yang keliru. Penelitian kami, menggunakan data panel dimana data time-
series sedikit dan lebih kecil daripada data cross-section. Untuk kasus seperti ini,
pengujian unit root yang direkomendasikan adalah menggunakan Harris-Tzavalis
Unit Root Test (Harris and Tzavalis,1999).
Prosedur pengujian Harris-Tzavalis didasarkan pada estimator OLS yang
dinyatakan dalam persamaan berikut:
𝑦𝑖𝑡 = 𝜌𝑦𝑖,𝑡−1 + 𝑧𝑖𝑡
′𝛾𝑖𝑡 + 𝜖𝑖𝑡 … (1)
Dimana, 𝑦𝑖𝑡 adalah variabel yang diuji stasioneritasnya, 𝜌 merupakan
parameter yang akan diuji dimana hipotesis nol untuk uji ini ialah 𝜌 = 1, 𝑧𝑖𝑡
′𝛾𝑖𝑡
merupakan rataan dan tren dari panel spesifik, dan 𝜖𝑖𝑡 merupakan error term. Harris
dan Tzavalis (1999) berasumsi bahwa 𝜖𝑖𝑡 independen dan terdistribusi secara
identik (yaitu, normal) dengan varian konstan lintas panel.
Setelah melakukan uji unit root, selanjutnya dilakukan uji kointegrasi yang
ditujukan untuk mengetahui hubungan keseimbangan dalam jangka panjang
antarvariabel terkait dengan menggunakan Pedroni test for cointegration dan Kao
test for cointegration. Pedroni (1999, 2004) menyampaikan beberapa uji terhadap
hipotesis nol, yaitu tidak adanya kointegrasi pada model data panel yang
mengizinkan adanya heterogenitas. Adapun model regresi dari panel
kointegrasinya dapat digambarkan sebagai:
13
𝑦𝑖𝑡 = 𝛼𝑖 + 𝛽𝑖𝑡 + 𝛾1𝑖𝑥1𝑖,𝑡 + ⋯ + 𝛾𝑀𝑖𝑥𝑀𝑖,𝑡 + 휀𝑖𝑡 … (2)
di mana i, t dan M merujuk pada individual, waktu dan jumlah variabel bebas.
Uji kointegrasi selanjutnya adalah dengan menggunakan metode yang
dikembangkan oleh Kao (1999). Uji tersebut dilakukan melalui uji Dickey Fuller
dan Augmented Dickey Fuller. Kalkulasi Kao memberikan hasil berikut:
𝐴𝐷𝐹 =𝑡𝐴𝐷𝐹+
√6𝑁𝜕𝑢2𝜕0𝑣
√𝜕0𝑣2
2𝜕𝑣2+3𝜕𝑣2
10𝜕𝑣2
… (3)
Untuk pendugaan parameter jangka panjang saat adanya penduga untuk
𝜇𝑖𝑡dan 𝜗𝑖𝑡
adalah:
∑ = [𝜗𝑢2 𝜗𝑢𝑐𝜗𝑢𝑐 𝜗𝑢2] =
1
𝑁𝑇∑ ∑ 𝜇𝑖𝑡𝜇′
𝑖𝑡~𝑁(0,1)𝑇
𝑡−1𝑁𝑖=1 …(4)
Selain itu, uji kointegrasi dapat dilakukan dengan menguji keberadaan unit
root dalam sisaan yang didapatkan dari model FMOLS yang telah diestimasi.
Sisaan yang stasioner menunjukan bahwa model yang diduga merupakan
persamaan jangka panjang antarvariabel terkait dan tidak memiliki sifat spurious
regression.
Setelah mendapatkan hasil dari uji kointegrasi, selanjutnya dilakukan analisis
panel FMOLS untuk mendapatkan pengaruh jangka panjang antara variabel bebas
dan variabel terikat. FMOLS merupakan alat analisis yang pada mulanya digagas
oleh Phillips dan Hansen (1990) untuk memberikan hasil analisis yang optimal bagi
model yang memiliki kointegrasi dalam model regresi. Metode ini memodifikasi
metode OLS dengan memperhitungkan dampak dari serial-correlation dan
endogeneity yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari adanya hubungan
kointegrasi yang terdapat di antara variabel-variabel yang terkait dalam model
regresi. Keberadaan serial-correlation dalam model dapat berdampak terhadap
dugaan yang dihasilkan dari metode OLS menjadi bersifat tidak Best Linear
Unbiased Estimator (BLUE) yang merupakan syarat dari model yang baik menurut
teorema Gauss Markov. Sedangkan keberadaan endogeneity dalam model yang
diduga menggunakan metode OLS akan menghasilkan dugaan yang bias. Menurut
Pedroni (2000) analisis menggunakan PFMOLS dapat mengontrol adanya
14
endogenity, serial-correlation, heterogenitas antarindividu serta menghasilkan
hasil analisis yang konsisten
Pada dasarnya model yang dibangun menggunakan metode OLS dan
FMOLS sama, perbedaanya terdapat dalam cara menentukan nilai dugaan
parameternya. Dalam penentuan nilai estimasi PFMOLS terdapat faktor covariance
yang berfungsi sebagai “bias corrected” seperti yang terlihat pada persamaan 6.
Adapun model umum dari model PFMOLS sebagai berikut:
𝑦𝑖𝑡 = 𝛼𝑖 + 𝛽𝑖𝑋𝑖𝑡 + 𝜇𝑖𝑡, dengan 𝑋𝑖𝑡 = 𝑋𝑖𝑡−1 + 휀𝑖𝑡 …(5)
di mana 𝛼𝑖 merupakan intersep dan 𝛽𝑖 merupakan vektor dari koefisien
kointegrasi dengan syarat bahwa adanya kointegrasi antara 𝑦𝑖𝑡 dengan 𝑋𝑖𝑡, dan 𝜇𝑖𝑡
adalah error term. Adapun penduga dari PFMOLS (grouped) diperoleh dari
persamaan:
�̂�𝐹𝑀∗ = 𝑁−1 ∑ [∑ (𝑋𝑖𝑡 − �̅�𝑖)
2𝑇𝑡−1 ]−1𝑁
𝑖−1 [∑ (𝑋𝑖𝑡 − �̅�𝑖)𝑦𝐼𝑇∗ − 𝑇�̂�𝑖
𝑇𝑡−1 ] …(6)
di mana �̂�𝐹𝑀 adalah penduga dalam analisis data PFMOLS. 𝑇�̂�𝑖 merupakan
perkalian antara jumlah waktu (T) dengan korelasi antarpengamatan (�̂�𝑖) atau juga
biasa disebut sebagai faktor “bias corrected” yang tidak terdapat dalam estimasi
mengunakan metode OLS.
Setelah melakukan analisis PFMOLS, selanjutnya dilakukan analisis PECM
digunakan untuk mendapatkan hubungan jangka pendek. Metode PECM dapat
digunakan dengan syarat adanya variabel yang tidak stasioner (memiliki unit root)
serta adanya kointegrasi antarvariabel yang diteliti. Metode Panel ECM sendiri
digunakan sebagai alat estimasi hubungan jangka pendek yang sebelumnya telah
terdapat estimasi hubungan jangka panjang. Sisaan (error correction) dari estimasi
jangka panjang, selanjutnya digunakan sebagai salah satu variabel penjelas dalam
model jangka pendek dengan hasil estimasi parameter harus bertanda negatif (<0).
Model umum panel ECM dapat digambarkan oleh persamaan di bawah ini:
∆𝑦𝑖𝑡 = 𝛿𝑖 + ∑ 𝜑1𝑗∆𝑦𝑖𝑡−𝑗 + 𝜑2𝑗∆𝑋𝑖𝑡−𝑗𝑝𝑗=1 + 𝜃휀𝑖𝑡−1 + 𝜇𝑖𝑡 …(7)
di mana 𝛿𝑖 menunjukkan fixed effect, p menunjukkan jumlah periode
lag, 휀𝑖𝑡−1 merupakan faktor error correction yang didapatkan dari persamaan 5,
sedangkan 𝜃 menunjukan speed of adjustment dari faktor error correction.
Berdasarkan data-data yang diperoleh dan tinjauan terhadap penelitian
15
terdahulu yang berkaitan dengan bencana alam dan ketimpangan pendapatan.
Berikut ini adalah model FMOLS yang digunakan dalam penelitian ini:
Model 1: 𝑔𝑖𝑛𝑖𝑖𝑡 = 𝛼1 + 𝛽1𝑏𝑒𝑛𝑐𝑎𝑛𝑎𝑖𝑡 + 𝛽2𝑗𝑎𝑙𝑎𝑛𝑖𝑡 + 𝛽3𝑏𝑒𝑛𝑗𝑎𝑙𝑖𝑡 + 휀1𝑖𝑡
…(8)
Model 2: 𝑔𝑖𝑛𝑖𝑖𝑡 = 𝛼1 + 𝛽1𝑏𝑒𝑛𝑐𝑎𝑛𝑎𝑖𝑡 + 𝛽2𝑗𝑎𝑙𝑎𝑛𝑖𝑡 + 𝛽3𝑏𝑒𝑛𝑗𝑎𝑙𝑖𝑡 +
𝛽4𝑝𝑑𝑟𝑏𝑖𝑡 + 𝛽5𝑖𝑛𝑣𝑖𝑡 + 𝛽6𝑖𝑝𝑚𝑖𝑡 + 𝛽7𝑚𝑖𝑠𝑘𝑖𝑛𝑖𝑡 + 휀2𝑖𝑡 …(9)
dimana 𝑔𝑖𝑛𝑖𝑖𝑡 adalah indeks gini, 𝑏𝑒𝑛𝑐𝑎𝑛𝑎𝑖𝑡 adalah jumlah kejadian bencana
(dalam bentuk logaritma natural), 𝑗𝑎𝑙𝑎𝑛𝑖𝑡 adalah panjang jalan (dalam bentuk
logaritma natural), 𝑏𝑒𝑛𝑗𝑎𝑙𝑖𝑡 adalah interaksi variabel bencana dan jalan, 𝑝𝑑𝑟𝑏𝑖𝑡
adalah produk domenstik regional bruto atas dasar harga konstan (=2010) (dalam
bentuk logaritma natural), 𝑖𝑛𝑣𝑖𝑡 adalah investasi lansung (PMDN dan PMA)
(dalam bentuk logaritma natural), 𝑖𝑝𝑚𝑖𝑡 adalah indeks pembangunan manusia,
𝑚𝑖𝑠𝑘𝑖𝑛𝑖𝑡 adalah tingkat kemiskinan (%), dan 휀 adalah error term. Parameter
jangka Panjang yang diduga dinotasikan dengan α dan β.
Sedangkan model PECM yang akan digunakan adalah sebagai berikut:
Model 1: ∆𝑔𝑖𝑛𝑖𝑖𝑡 = 𝛿1 + 𝜑1∆𝑏𝑒𝑛𝑐𝑎𝑛𝑎𝑖𝑡 + 𝜑∆𝑗𝑎𝑙𝑎𝑛𝑖𝑡 + 𝜑3∆𝑏𝑒𝑛𝑗𝑎𝑙𝑖𝑡 +
𝜃휀1𝑖𝑡−1 + 𝑢𝑖𝑡 …(10)
Model 2: ∆𝑔𝑖𝑛𝑖𝑖𝑡 = 𝛿1 + 𝜑1∆𝑏𝑒𝑛𝑐𝑎𝑛𝑎𝑖𝑡 + 𝜑2∆𝑗𝑎𝑙𝑎𝑛𝑖𝑡 + 𝜑3∆𝑏𝑒𝑛𝑗𝑎𝑙𝑖𝑡 +
𝜑4∆𝑝𝑑𝑟𝑏𝑖𝑡 + 𝜑5∆𝑖𝑛𝑣𝑖𝑡 + 𝜑6∆𝑖𝑝𝑚𝑖𝑡 + 𝜑7∆𝑚𝑖𝑠𝑘𝑖𝑛𝑖𝑡 + 𝜃휀2𝑖𝑡−1 + 𝑢𝑖𝑡 …(11)
dimana ∆𝑔𝑖𝑛𝑖, ∆𝑏𝑒𝑛𝑐𝑎𝑛𝑎 , ∆𝑗𝑎𝑙𝑎𝑛, ∆𝑏𝑒𝑛𝑗𝑎𝑙, ∆𝑝𝑑𝑟𝑏, ∆𝑖𝑛𝑣, ∆𝑖𝑝𝑚, dan
∆𝑚𝑖𝑠𝑘𝑖𝑛 merupakan first differensial dari variabel penelitian. Sedangkan 휀1𝑖𝑡−1
dan 휀2𝑖𝑡−1 merupakan faktor error correction yang didapatkan dari persamaan 8
dan 9 dimana kecepatan adjustment fungsi jangka pendek ke jangka panjang
ditunjukan oleh besarnya nilai parameter 𝜃.
16
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Kondisi Bencana Alam dan Ketimpangan Pendapatan di Indonesia
Untuk mengetahui kondisi kejadian bencana setiap provinsi maka dilakukan
pemetaan sebaran kejadian bencana. Perhitungan sebaran kejadian bencana yang
digunakan adalah jumlah kejadian setiap jenis bencana pada setiap provinsi di
Indonesia. Bencana alam yang terjadi di Indonesia diantaranya adalah bencana
banjir, puting beliung, longsor, kekeringan, kebakaran hutan, letusan gunung api,
gempa bumi dan tsunami.
Sumber : BNPB 2019 (diolah)
Gambar 4 Sebaran kejadian bencana alam tahun 2010
Pada tahun 2010 jumlah seluruh kejadian bencana alam di Indonesia
sebanyak 1942 kali kejadian. Dengan bencana banjir sebagai bencana yang paling
sering terjadi, yaitu sebanyak 1060 kali kejadian di seluruh Indonesia. Jika dilihat
berdasarkan jumlah kejadian bencana tiap provinsi, Jawa Tengah menjadi provinsi
yang paling banyak dilanda bencana alam. Pada tahun 2010 di Jawa Tengah terjadi
sebanyak 445 kali kejadian bencana alam, dapat dilihat pada Gambar 1. Provinsi
lainnya yang banyak terjadi bencana alam adalah Jawa Barat dan Jawa Timur
dengan masing masing kejadian bencana alam di provinsi tersebut sebanyak 354
dan 288 kali kejadian bencana alam.
17
Sumber : BNPB 2019 (diolah)
Gambar 5 Sebaran kejadian bencana alam tahun 2018
Pada tahun 2018 kejadian bencana alam di Indonesia meningkat jika
dibandingkan dengan tahun 2010. Pada tahun 2018 terjadi sebanyak 2868 kali
kejadaian bencana alam. Sama seperti pada tahun 2010, bencana banjir menjadi
bencana alam yang paling banyak terjadi di Indonesia yaitu sebanyak 980 kali
kejadian pada tahun 2018. Pulau Jawa menjadi pulau yang paling sering terjadi
bencana alam. Dari Gambar 2 dapat diketahui provinsi Jawa Tengah menjadi
provinsi dengan kejadian bencana alam paling banyak yaitu sebanyak 1067 kali
kejadian bencana alam, disusul oleh provinsi Jawa Timur sebanyak 434 kali
kejadian dan provinsi Jawa Barat dengan 318 kali kejadian bencana alam.
Sumber : BPS 2019 (diolah)
Gambar 6 Ketimpangan pendapatan tiap provinsi tahun 2010
18
Ketimpangan pendapatan Indonesia diukur berdasarkan indeks gini pada
tahun 2010 yaitu sebesar 0.378. Provinsi dengan ketimpangan pendapatan paling
tinggi adalah provinsi Gorontalo dengan nilai indeks gini sebesar 0.431. Angka
ketimpangan pendapatan di provinsi Gorontalo lebih tinggi dari pada ketimpangan
pada tingkat nasional. Sementara itu provinsi dengan ketimpangan paling rendah
adalah provinsi Kepulauan Riau dengan nilai Indeks Gini sebesar 0.293.
Sumber : BPS 2019 (diolah)
Gambar 7 Ketimpangan pendapatan tiap provinsi tahun 2018
Pada tahun 2018 ketimpangan di tingkat nasional Indonesia meningkat jika
dibandingkan dengan tahun 2010. Pada tahun 2018 ketimpangan pendapatan
nasional sebesar 0.393. Provinsi dengan tingkat ketimpangan pendapatan paling
tinggi pada tahun ini adalah provinsi DI Yogyakarta dengan nilai indeks gini
mencapai 0.432. Provinsi Gorontalo berada pada posisi nomor dua provinsi dengan
ketimpangan paling tinggi, nilai indeks gini provinsi Gorontalo pada tahun ini
sebesar 0.430. Sementara itu provinsi Kepulauan Bangka Belitung menjadi provinsi
dengan ketimpangan pendapatan paling rendah dengan nilai indeks gini sebesar
0.282.
19
4.2. Hubungan Tingkat Bencana Alam yang Terjadi dengan Ketimpangan
Pendapatan
Untuk mengetahui hubungan tingkat bencana alam dengan ketimpangan
pendapatan setiap provinsi maka dilakukan pemetaan sebaran dengan
menggunakan diagram scatter plot. Variabel yang digunakan adalah indeks gini
dan jumlah kejadian bencana pada setiap provinsi di Indonesia. Bencana alam yang
terjadi di Indonesia diantaranya adalah bencana banjir, puting beliung, longsor,
kekeringan, kebakaran hutan, letusan gunung api, gempa bumi dan tsunami.
Bencana alam disini tidak dibedakan besar kecilnya kekuatan, semuanya dianggap
memiliki kekuatan yang sama, yang membedakan adalah jumlahnya. Semakin
banyak jumlah kejadian bencana alam yang terjadi maka ketimpangan pendapatan
akan semakin tinggi.
Sumber : BPS dan BNPB 2018 (diolah)
Gambar 8 Hubungan tingkat bencana alam dan ketimpangan pendapatan 2010
Pada tahun 2010 jumlah kejadian bencana alam relatif sedikit, hampir semua
rata di angka 0-100. Namun, ada provinsi dengan paling banyak jumlah kejadian
bencana alamnya yaitu Jawa Tengah sebanyak 445 kali kejadian bencana alam.
Provinsi lainnya yang banyak terjadi bencana alam adalah Jawa Barat dan Jawa
Timur dengan masing masing kejadian bencana alam di provinsi tersebut sebanyak
354 dan 288 kali kejadian bencana alam. Tiga provinsi tersebut mempunyai tingkat
ketimpangan pendapatan yang masuk dalam kategori rendah. Provinsi dengan
0.00
0.05
0.10
0.15
0.20
0.25
0.30
0.35
0.40
0.45
0.50
0 100 200 300 400 500
Ind
eks
Gin
i
Jumlah Kejadian Bencana Alam
20
ketimpangan pendapatan paling tinggi adalah provinsi Gorontalo dengan nilai
indeks gini sebesar 0.431. Sementara itu provinsi dengan ketimpangan paling
rendah adalah provinsi Kepulauan Riau dengan nilai Indeks Gini sebesar 0.293.
Ada enam provinsi yang masuk kriteria ketimpangan pendapatan sedang yaitu D.I
Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara,
Gorontalo dan Papua.
Sumber : BPS dan BNPB 2018 (diolah)
Gambar 9 Hubungan tingkat bencana alam dan ketimpangan pendapatan 2018
Pada tahun 2018 kejadian bencana alam di Indonesia meningkat jika
dibandingkan dengan tahun 2010. Pulau Jawa menjadi pulau yang paling sering
terjadi bencana alam. provinsi Jawa Tengah menjadi provinsi dengan kejadian
bencana alam paling banyak yaitu sebanyak 1067 kali kejadian bencana alam,
disusul oleh provinsi Jawa Timur sebanyak 434 kali kejadian dan provinsi Jawa
Barat dengan 318 kali kejadian bencana alam. Tingkat ketimpangan Jawa Tengah,
Jawa Barat dan Jawa Timur mengalami peningkatan, bahkan kenaikannya cukup
tinggi seperti provinsi Jawa Barat dari 0.36 menjadi 0.40 dan provinsi Jawa Timur
dari 0.34 menjadi 0.40. Keriteria ketimpangan pendapatan dalam dua provinsi
tersebut menjadi berubah, yang tadinya ketimpangannya rendah menjadi
ketimpangan sedang. Pada tahun 2018 ketimpangan di tingkat nasional Indonesia
meningkat jika dibandingkan dengan tahun 2010. Pada tahun 2018 ketimpangan
pendapatan nasional sebesar 0.393. Provinsi dengan tingkat ketimpangan
0.00
0.05
0.10
0.15
0.20
0.25
0.30
0.35
0.40
0.45
0.50
0 200 400 600 800 1000 1200
Ind
eks
Gin
i
Jumlah Kejadian Bencana Alam
21
pendapatan paling tinggi pada tahun ini adalah provinsi DI Yogyakarta dengan nilai
indeks gini mencapai 0.432. Provinsi yang masuk dalam kriteria ketimpangan
pendapatan sedang bertambah menjadi delapan provinsi yaitu provinsi DKI Jakarta,
Jawa Barat, D.I Yogyakarta, Jawa Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan,
Gorontalo, dan Papua.
4.3. Pengaruh Bencana Alam Terhadap Ketimpangan Pendapatan di
Indonesia
Sebelum dilakukan analisis pengaruh bencana alam terhadapa distribusi
pendpaatan di Indonesia dahulu dilakukan uji stasioneritas dan uji kointegrasi.
Berdasarkan hasil uji stasioneritas Harris-Tzavalis, variabel gini, bencana, investasi,
dan tingkat kemiskinan tidak memiliki unit root (stasioner) pada level dengan taraf
nyata 5% sebagaimana terteta pada tabel 2. Sedangkan variabel jalan, pdrb, dan ipm
tidak stasioner pada level. Oleh sebab itu, perlu dilakukan uji stasioneritas pada
tingkat first difference. Hasil uji memperlihatkan semua variabel stasionel pada
tingkat first difference dengan menambahkan intersep dalam model.
Tabel 2 Hasil uji unit root Harris-Tzavalis
Variable
Harris-Tzavalis Unit Root Test
Level FD
Intercept
Intercept
& Trend Intercept
Intercept
& Trend
gini 0.3286(0.0000***) 0.1493(0.0057***) -0.1711(0.0000***) -0.1580(0000***)
bencana 0.2413(0.0000***) 0.0681(0.0001***) -0.3438(0.0000***) -0.3228(0.0000***)
jalan 0.8101(0.9819) 0.3073(0.4353) -0.1297(0.0000***) 0.0388(0.0017***)
benjal 0.2508(0.0000***) 0.0621(0001***) -0.1580(0.0000***) 0.3486(0.0000***)
pdrb 0.9645(1.0000) 0.3240(0.5348) 0.2135(0.0000***) 0.4912(0.9996)
investasi 0.5910(0.0190**) 0.0993(0.0005***) -0.2877(0.0000***) -0.2328(0.0000***)
miskin 0.6107(0.0446**) 0.2229(0.0767*) 0.0233(0.0000***) 0.1384(0.0607*)
Note: Number outside parentheses show rho-statistic (). Numbers in parentheses show the p-values (*** p < 0.01; ** p < 0.05; * p < 0.1)
Merujuk pada hasil uji stasioneritas, maka analisis panel pada taraf level tidak
dapat dilakukan karna dapat menyebabkan hasil analisis menjadi tidak konsisten
dan juga menyebabkan terjadinya spurious regression. Dengan demikian, perlu
dilakukan analisis yang lebih lanjut. Terdapat dua kemungkinan analisis yang dapat
dilakukan berdasarkan hasil dari uji stasioneritas tersebut, yaitu dengan
menggunakan analisis ECM apabila terdapat kointegrasi (hubungan jangka
panjang) antarvariabel terkait pada taraf level atau menggunakan analisis dengan
menggunakan variabel yang telah stasioner (first difference) apabila tidak
22
ditemukan hubungan jangka panjang (kointegrasi) dari variabel-variabel terkait.
Uji kointegrasi yang dilakukan dalam penelitian ini menggukan uji yang
dilakukan oleh Kao (1999) dan Pedorni (1999, 2004). Berdasarkan uji kointegrasi
Kao dan Pedroni, ditemukan bahwa terdapat hubungan kointegrasi dalam model
penelitian. Hasil uji kointegrasi yang ditampilkan pada tabel 3 menunjukkan bahwa
pada taraf nyata 1%, keseluruhan uji statistik menyatakan tolak hipotesis nol (tidak
adanya kointegrasi) yang artinya bahwa variabel-variabel yang digunakan dalam
penelitian saling terkointegrasi satu sama lain atau memiliki hubungan jangka
panjang. Oleh karena itu, berdasarkan hasil uji stasioneritas data dan uji kointegrasi
tersebut, maka dapat dilakukan analisis PFMOLS untuk melihat hubungan jangka
panjang antarvariabel dalam penelitaian dan analisis PECM untuk melihat
hubungan jangka pendek variabel-variabel tersebut.
Tabel 3 Hasil Uji Kointegrasi Kao dan Pedroni
Kao test for cointegration Statistic p-value
Modified Dickey-Fuller t -2.988 0.001
Dickey-Fuller t -5.050 0.000
Augmented Dickey-Fuller t -3.412 0.000
Unadjusted modified Dickey-Fuller t -4.512 0.000
Unadjusted Dickey-Fuller t -5.731 0.000
Pedroni test for cointegration Statistic p-value
Modified Phillips-Perron t 10.317 0.000
Phillips-Perron t -12.405 0.000
Augmented Dickey-Fuller t -12.692 0.000
Hasil studi kami menggunakan model PECM menunjukkan bahwa dalam
jangka pendek bencana alam tidak memengaruhi distribusi pendapatan di Indonesia
sebagaimana terlihat pada tabel 4. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Keerthiratne dan Tol (2018) yang menemukan bahwa bencana alam
tidak mempengaruhi ketimpangan pengeluaran rumah tangga. Rumah tangga
berperilaku seolah-olah mereka memiliki pendapatan tetap atau semua rumah
tangga mengurangi pengeluaran mereka secara proporsional terlepas dari tingkat
23
pendapatan mereka dalam menanggapi bencana alam. Hasil berbeda dengan
temuan Yamamura (2015) bahwa dalam jangka pendek bencana alam
memengaruhi ketimpangan pendapatan, namun efek tersebut memudar dalam
jangka panjang.
Dengan masukkan variabel kontrol lainnya, terlihat bahwa investasi langsung
berpengaruh positif terhadap ketimpangan pendapatan. Hasilnya mengkonfirmasi
hipotesis bahwa arus masuk investasi asing cenderung meningkatkan ketimpangan
pendapatan dalam jangka pendek tetapi menguranginya dalam jangka panjang. Cho
dan Ramirez (2016) menyatakan bahwa investasi langsung dalam jangka pendek
akan meningkatkan ketimpangan pendapatan.
Sementara itu, tingkat kemiskinan justru berpengaruh negatif terhadap
ketimpangan pendapatan. Kondisi wilayah di Indonesia yang masih belum merata
baik ekonomi maupun infrastrukturnya membuat hubungan kemiskinan dengan
ketimpangan pendapatan belum bisa diprediksi secara pasti, misalnya apabila suatu
wilayah tingkat kemiskinannya meningkat, maka ketimpangan pendapatannya akan
menurun. Hal tersebut dapat terjadi apabila orang-orang kaya karena terjadi
bencana menjadi ikut miskin. Kondisi ini berbeda antara di daerah kota dan
pedesaan. Afandy et al., (2017) juga menyatakan bahwa dalam penelitian mereka
angka kemiskinan yang semakin rendah justru menaikkan ketimpangan. Hasil ini
menunjukan hal yang serupa dengan penelitian Warr dan Aung (2019) pada tahun
2008 di Myanmar yang menyimpulkan bahwa daerah kaya yang terkena bencana
akan menambah kemiskinan dan mengurangi ketimpangan pendapatan karena aset
rumah tangga kaya hancur, sehingga mengurangi kesenjangan antara mereka yang
kaya dan mereka yang lebih miskin.
Dalam jangka pendek pembangunan manusia tidak menujukkan adanya
pengaruh yang signifikan terhadap ketimpangan pendapatan. Pembangunan
manusia seringkali dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi. Hasil dari
pembangunan manusia membutuhkan waktu untuk dapat dinikmati pada masa yang
akan dating. Dengan demikian, dalam jangka pendek pembangunan manusia belum
dapat dinikmati hasilnya. Castelló-Climent dan Doménech (2014) menyatakan
bahwa perbaikan dalam pembangunan modal manusia bukalah syarat cukup untuk
mengurangi ketimpangan pendapatan.
24
Nilai koefisien dari error correction (휀𝑖𝑡−1) pada model jangka pendek atau
biasa disebut sebagai speed of adjustment merupakan kecepatan faktor error
correction pada periode sebelumnya untuk mengoreksi perubahan variabel gini
pada periode berikutnya menuju titik keseimbangan pada jangka panjang. Besarnya
koefisien speed of adjustment berdasarkan hasil analisis PECM ialah -0.748 dan -
0.743. Nilai koefisien ini harus bertanda negatif untuk menujukkan bahwa pengaruh
perubahan jangka pendek ke jangka panjang akan menuju titik keseimbangan baru
atau konvergen.
Tabel 4 Hasil Estimasi Model PECM dan FMOLS
Variabel
Koefisien
Jangka Pendek (PECM) Jangka Panjang (PFMOLS)
(1) (2) (1) (2)
bencana 0.021 0.02 0.080** 0.057
(0.026) (0.025) (0.039) (0.037)
jalan 0.016 0.020 -0.079*** -0.051**
(0.232) (0.022) (0.021) (0.022)
bencana * jalan -0.002 -0.001 -0.008** -0.006
(0.002) (0.002) (0.004) (0.004)
pdrb 0.048 0.030
(0.041) (0.0347)
investasi 0.003*** 0.0003
(0.001) (0.002)
ipm -0.003 -0.007**
(0.006) (0.003)
miskin -0.002** -0.003
(0.001) (0.001)
c 0.000 -0.0020
(0.001) (0.004)
휀𝑖𝑡−1 -0,748*** -0.743***
(0.057) (0.056)
R-Squares 0.4238 0.4581 0.8092 0.8251
Wald Chi2 (Prob-Chi2) 190.52*** 215.61**
Catatan: *** p < 0,01; ** p < 0,05; * p < 0,1; tanda kurung adalah standar eror
25
Analisis panel FMOLS digunakan untuk melihat dampak jangka panjang
pengaruh variabel bencana alam terhadap distribusi pendapatan setelah sebelumnya
kedua syarat dalam penggunaan analisis panel FMOLS terpenuhi, yaitu terdapat
variabel yang tidak stasioner pada level namun memiliki hubungan jangka panjang
yang nyata atau dengan kata lain saling terkointegrasi. Berdasarkan hasil analisis
FMOLS Model 1 pada Tabel 4, dalam jangka panjang bencana alam akan
memperburuk distribusi pendapatan di Indonesia. Semakin sering terjadi bencana
maka ketimpangan pendapatan semakin melebar. Hasil ini mengonfirmasi hasil-
hasil penelitian yang dilakukan oleh Pauw et al. (2012), Bui et al., (2014), Warr
dan Aung (2019), Songwathana (2018), dan Tselios dan Tompkins (2019).
Sementara itu, terlihat bahawa infrastruktur jalan berpengaruh negatif
terhadap ketimpangan pendapatan. Semakin panjang jalan maka semakin kecil
ketimpangan pendapatan masyarakat. Hasil ini sejalan dengan beberapa penelitian
lainnya. Charlery et al., (2016) dalam penelitian menemukan bahwa rumah tangga
termiskin memperoleh sebagian besar manfaat dari pembangunan jalan.
Pembangunan jalan oleh pemerintah merupakankan intervensi pembangunan yang
berpihak pada masyarakat miskin, sehinga menurunkan ketimpangan pendapatan.
Calderon & Chong (2004) menemukan bahwa kuantitas dan kualitas infrastruktur
berhubungan negatif dengan ketimpangan pendapatan. Hubungan kuantitatif
cenderung lebih kuat di negara-negara berkembang daripada hubungan kualitatif.
Ferreira (1995) menyatakan bahwa pengembangan infrastruktur jalan di daerah
yang kekurangan fasilitas dan menghadapi krisis sumber daya akan membantu
masyarakat di daerah tersebut untuk mengambangkan sumber produksi baru dan
akan membantu mengurangi ketidaksetaraan. Menurut Bajar dan Rajeev (2015)
adanya infrastruktur jalan akan meningkatkan mobilitas tenaga kerja. Tenaga kerja
pada wilayah yang terjadi surplus tenaga kerja akan pindah ke tempat-tempat di
mana tenaga kerja terbatas. Infrastruktur jalan yang lebih baik juga dapat membantu
menghubungkan kelompok masyarakat yang berpenghasilan rendah ke pusat
perekonomian, sehingga memberikan peluang ekonomi yang lebih baik.
Dengan adanya bencana, efek infraktruktur jalan terhadap ketimpangan
pendapatan melemah. Bil et al (2015) dalam penelitiannya menemukan bahwa
bencana alam mampu menghancurkan sejumlah besar jalan dan biasanya menutupi
26
area yang luas. Hal ini akan berdampak dampaknya konektivitas yang dapat
mengganggu perekonomian. Dalziell dan Nicholson (2001) dan Solberg et al.,
(2003) menyatakan bahwa bencana alam dapat merusak infrastruktur jalan,
sehingga diperlukan sistem tata kelola manajemen bencana yang berkaitan dengan
infratruktur jalan dan transtaportasi.
Apabila model dikembangkan dengan mamasukan variabel kontrol seperti
terlihat pada Model 2 PFMOLS, pengaruh bencana alam terhadap ketimpangan
pendapatan menjadi tidak signifikan. Hasil ini sama dengan pada model 1 dan 2
PECM. Keberadaan variabel kontrol menyebabkan tidak signifikannya hubungan
kejadian bencana dengan ketimpangan pendapatan. Samarnya hubungan antara
bencana alam dengan ketimpangann pendapatan diperkuat oleh pernyataan
Rodriguez-Oreggia et al. (2013). Mereka mengatakan bahwa apabila dampak dari
bencana alam hanya berfokus pada variabel agregat ekonomi makro maka akan
menghasilkan estimasi yang menyulitkan untuk melihat keterkaitan langsung antar
bencana alam dengan variabel ekonomi makro.
Efek infratruktur jalan masih tetap signifikan dengan nilai parameter yang
menjadi lebih kecil. Infrastruktur jalan jika dikembangkan di daerah yang
kekurangan fasilitas dan menghadapi krisis sumber daya maka wilayah tersebut
dapat mengembangkan sumber produksi baru dan akan membantu mengurangi
ketidaksetaraan (Ferreira 1995). Penelitian yang dilakukan oleh Calderón dan
Servén (2004) dengan menggunakan metode Generalized Method of Moments
menunjukan bahwa ketimpangan pendapatan menurun dengan adanya peningkatan
kuantitas dan kualitas infrastruktur yang lebih tinggi.
Variabel IPM berpengaruh negeatif terhadap ketimpangan pendapatan. IPM
adalah proksi dari kualitas modal manusia, artinya setiap peningkatan kualitas
modal manusia akan berpengaruh pada menurunnya tingkat ketimpangan
pendapatan di Indonesia. Hasil ini didukung oleh penelitian Shahpari dan Davoudi
(2014) bahwa peningkatan modal manusia dapat membuat distribusi pendapatan
lebih merata di Iran. Penelitian Sehrawat dan Singh (2019) juga menunjukkan
pentingnya peningkatan kualitas modal manusia melalui meningkatnya rata-rata
lama sekolah dalam mencapai distribusi pendapatan yang lebih merata pada
penelitiannya di India. Lee, JW dan Lee, H (2018) menemukan bahwa
27
pembangunan manusia yang lebih merata memberikan kontribusi yang signifikan
untuk mengurangi ketimpangan pendapatan. Perluasan pembangunan manusia
adalah faktor utama dalam mengurangi ketimpangan sosial dan dengan demikian
ketimpangan pendapatan. Dalam mengatasi ketimpangan pendapatan di Indonesia,
penting bagi pemerintah untuk mebuat kebijakan yang mengarah pada peningkatan
kuantitas dan kualitas infrastruktur, serta peningkatan modal manusia.
Varibel lain seperti pdrb, investasi, dan tingkat kemiskinan tidak berpengaruh
signifikan terhadap ketimpangan pendapatan. Keterkaitan pdrb dengan
ketimpangan pendapatan belum menghasilkann kesepakatan diantara para peneliti
karena ada perbedaan hasil penelitian. Penelitian kami menunjukkan bahwa di
Indonesia, pertumbuhan pdrb tidak berpengaruh signifikan terhadap ketimpangan
pendapatan baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Hasil ini,
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Fixler et al., (2017) yang
mengemukakan bahwa belum adanya konsensus tentang hubungan antara
pendapatan domestik bruto dan ketimpangan pendapatan. Berkaitan dengan
investasi langsung, penelitian kami mempunyai hasil yang serupa dengan penelitian
yang dilakukan oleh Teixeira dan Loureiro (2019) dimana mereka mengemukakan
bahwa investasi langsung asing tidak berkontribusi terhadap ketimpangan
pendapatan yang lebih tinggi (atau lebih rendah). Hasil analisis juga menunjukkan
bahwa kemiskinan tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan ketimpangan
pendapatan. Ketiadakan hubungan tersebut dapat disebabkan oleh adanya
heterogenitas antar perkembangan kemiskinan dan ketimpangan pendapatan di
provinsi-provinsi yang ada di Indonesia.
28
5 PENUTUP
Ketimpangan pendapatan Indonesia dari tahun 2010-2019 mengalami
fluktuasi. Provinsi dengan tingkat ketimpangan pendapatan paling tinggi pada
tahun 2019 adalah provinsi DI Yogyakarta dengan nilai indeks gini mencapai 0.423.
Sementara itu provinsi Kepulauan Bangka Belitung menjadi provinsi dengan
ketimpangan pendapatan paling rendah dengan nilai indeks gini sebesar 0.269.
Dampak provinsi yang terkena bencana terbesar masih di dominasi oleh provinsi-
provinsi di pulau jawa yaitu provinsi jawa tengah, jawa timur, dan jawa barat.
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa jumlah kejadian bencana
alam dalam jangka pendek tidak memengaruhi ketimpangan pendapatan, akan
tetapi dalam jangka panjang dimungkinkan adanya pengaruh positif terhadap
ketimpangan pendapatan. Adanya bencana memperkecil efek negatif pajang jalan
terhadap ketimpangan pendapatan. Hal ini dikarenakan dengan adanya bencana
alam, infrastruktur jalanlah yang paling terkenal dampak akibat bencana tersebut,
sehingga memengaruhi ketimpangan pendapatan. Apabila variable control
dimasukan ke dalam model seperti PDRB, investasi langsung, pembangunan
manusia, dan tingkat kemiskinan, maka pengaruh bencana tidaklah signfikan
terhadap ketimpangan pendapatan. Untuk memperkecil ketimpangan pendapatan di
Indonesia, pengambil kebijakan perlu focus dalam pengembangan infrastruktur
jalan dan pembangunan manusia baik secara kuantitas maupun kuliatas
29
DAFTAR PUSTAKA
[BNPB] Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2019. Data Informasi Bencana
Indonesia, Jakarta (ID): BNPB
[BPS] Badan Pusat Statistik. Indeks Gini Indonesia 2018. Jakarta (ID): BPS.
[BPS] Badan Pusat Statistik. Indeks Pembangunan Manusia Indonesia 2018. Jakarta
(ID): BPS.
[BPS] Badan Pusat Statistik. Persentase Kemiskinan Indonesia 2018. Jakarta (ID):
BPS.
Afandi, A., Rantung, V.P. and Marashdeh, H., 2017. Determinants of income
inequality. Economic Journal of Emerging Markets, 9(2), p.159.
Bajar S, Rajeev M. 2015. The impact of infrastructure provisioning on inequality :
evidence from India. Global Labour University. Working Paper No. 35.
Baltagi BH. 2005. Econometrics Analysis of Panel Data Third Edition. England (GB):
John Wiley and Sons, Ltd.
Bíl, M., Vodák, R., Kubeček, J., Bílová, M. and Sedoník, J., 2015. Evaluating road
network damage caused by natural disasters in the Czech Republic between 1997
and 2010. Transportation Research Part A: Policy and Practice, 80, pp.90-103.
Breitung, J. (2000), the local power of some unit root tests for panel data, in b. Baltagi
(ed.), nonstationary panels, panel cointegration, and dynamic panels, Advances
in Econometrics, Vol. 15, JAI Press, Amsterdam, 161–178.
Bui, A. T., Dungey, M., Nguyen, C. V., & Pham, T. P. (2014). The impact of natural
disasters on household income, expenditure, poverty and inequality: Evidence
from Vietnam. Applied Economics, 46(15), 1751–1766.
Calderón C, Servén L. 2004. The effects of infrastructure development on growth and
income distribution. World Bank Policy Research Working Paper. 3400, 43.
Castelló-Climent, A. and Doménech, R., 2014. Human capital and income inequality:
Some facts and some puzzles. Retrieved from BBVA Research https://www.
bbvaresearch. com/wpcontent/uploads/migrados/WP_1228_tcm348-430101.
pdf.
Charlery, L.C., Qaim, M. and Smith-Hall, C., 2016. Impact of infrastructure on rural
household income and inequality in Nepal. Journal of Development
Effectiveness, 8(2), pp.266-286.
Cho, H.C. and Ramirez, M.D., 2016. Foreign direct investment and income inequality
in southeast Asia: a panel unit root and panel cointegration analysis, 1990–2013.
Atlantic Economic Journal, 44(4), pp.411-424.
Choi, I., 2001. Unit root tests for panel data. Journal of international money and
Finance, 20(2), pp.249-272.
Dalziell, E. and Nicholson, A., 2001. Risk and impact of natural hazards on a road
network. Journal of transportation engineering, 127(2), pp.159-166.
Enders W. 2014. Applied Econometric Timeseries 4th Edition. John Wiley & Sony Inc.
Feng, S., Lu, J., Nolen, P., & Wang, L. (2016). The effect of the Wenchuan earthquake
and government aid on rural households. In K. Chen, Q. Zhang, & C. Hsu (Eds.),
Earthquake lessons from China: Coping and rebuilding strategies (pp. 11–34).
Washington, D.C.: International Food Policy Research Institute (IFPRI).
Available at: http://dx.doi.org/10.2499/9780896298743_02.
Ferreira F. 1995. Roads to equality: Wealth Distribution Dynamics with Public-Private
Capital Complementarity, LSE Discussion Paper.
30
Fixler, D., Johnson, D., Craig, A. and Furlong, K., 2017. A consistent data series to
evaluate growth and inequality in the national accounts. Review of Income and
Wealth, 63, pp.S437-S459.
Gujarati DN. 2006. Dasar-dasar Ekonometrika edisi ketiga jilid 2. Jakarta (ID):
Erlangga.
Harris, R. D.F. and E. Tzavalis. 1999. “Inference for unit roots in dynamic panels where
the time dimension is fixed. Journal of Econometrics 91: 201–226.
Im KS, Pesaran MH, Shin Y. 2003. Testing for unit root in heterogenous panel. Journal
of Econometrics, Vol. 115, 53-74.
Juanda Bambang. 2009. Ekonometrika Pemodelan dan Pendugaan. Bogor : IPB Press.
Kao, C., 1999. Spurious regression and residual-based tests for cointegration in panel
data. Journal of econometrics, 90(1), pp.1-44.
Keerthiratne, S., & Tol, R. S. J. (2018). Impact of natural disasters on income inequality
in Sri Lanka. World Development, 105, 217–230.
Lee, J.W. and Lee, H., 2018. Human capital and income inequality. Journal of the Asia
Pacific Economy, 23(4), pp.554-583.
Levin, A., Lin, C.F. and Chu, C.S.J., 2002. Unit root tests in panel data: asymptotic and
finite-sample properties. Journal of econometrics, 108(1), pp.1-24.
Paudel, J., & Ryu, H. (2018). Natural disasters and human capital: The case of Nepal’s
earthquake. World Development, 111, 1–12.
Pauw, K., Thurlow, J., Bachu, M. and Van Seventer, D.E., 2011. The economic costs
of extreme weather events: a hydrometeorological CGE analysis for Malawi.
Environment and Development Economics, 16(2), pp.177-198.
Pedroni P. 2004. Panel cointegration asymtotic and finite sample properties of pooled
time series test with an aplication to the PPP hypothesis. Econometric Theory 20,
pp. 597-625.
Pedroni, P., 1999. Critical values for cointegration tests in heterogeneous panels with
multiple regressors. Oxford Bulletin of Economics and statistics, 61(S1), pp.653-
670.
Pedroni, P., 2000. Fully modified OLS for heterogeneous cointegrated panels.
Advances in econometrics, 15, pp.93-130.
Phillips, P.C. and Hansen, B.E., 1990. Statistical inference in instrumental variables
regression with I (1) processes. The Review of Economic Studies, 57(1), pp.99-
125.
Rodriguez-Oreggia, E., De La Fuente, A., De La Torre, R. and Moreno, H.A., 2013.
Natural disasters, human development and poverty at the municipal level in
Mexico. The Journal of Development Studies, 49(3), pp.442-455.
Sehrawat M, Singh SK. 2019. Human capital and income inequality in India: is there a
non-linear and asymmetric relationship? .Applied Economics.
Shahpari G, Davoudi P. 2014. Studying Effects of Human Capital on Income Inequality
in Iran. Social and Behavioral Sciences Volume 109.
Solberg, S., Hale, D. and Benavides, J., 2003. Natural disaster management and the
road network in Ecuador: Policy issues and recommendations. Washington, DC:
Inter-American Development Bank.
Songwathana, K. 2018. The Relationship between Natural Disaster and Economic
Development: A Panel Data Analysis. Economic letters. 80, 10-20.
Teixeira, A.A. and Loureiro, A.S., 2019. FDI, income inequality and poverty: a time
series analysis of Portugal, 1973–2016. Portuguese Economic Journal, 18(3),
pp.203-249.
Tselios, V. and Tompkins, E.L., 2019. What causes nations to recover from disasters?
31
An inquiry into the role of wealth, income inequality, and social welfare
provisioning. International journal of disaster risk reduction, 33, pp.162-180.
UGM, Pusat Studi Bencana. (2010). Sistem Informasi Gunungapi Merapi. Jurnal
Kebencanaan Indonesia. 1(1):41-46.
Warr, P & Aung, L. L. 2019. Poverty and inequality impact of a natural disaster:
Myanmar’s 2008 cyclone Nargis. World Development, 122, 446-461
Yamamura, E. (2015). The impact of natural disasters on income inequality: Analysis
using panel data during the period 1970 to 2004. International Economic Journal,
29(3), 359–374.
32
LAMPIRAN
Lampiran 1 Hasil Estimasi Model PFMOLS (1) Dependent Variable: GINI
Method: Panel Fully Modified Least Squares (FMOLS)
Date: 05/27/20 Time: 13:39
Sample (adjusted): 2011 2018
Periods included: 8
Cross-sections included: 33
Total panel (balanced) observations: 264
Panel method: Pooled estimation
Cointegrating equation deterministics: C
Coefficient covariance computed using default method
Long-run covariance estimates (Bartlett kernel, Newey-West fixed
bandwidth)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
BENCANA 0.080895 0.039152 2.066188 0.0399
JLN -0.079894 0.021876 -3.652116 0.0003
BENJAL -0.008676 0.004241 -2.045679 0.0419
R-squared 0.809270 Mean dependent var 0.370242
Adjusted R-squared 0.779992 S.D. dependent var 0.037907
S.E. of regression 0.017781 Sum squared resid 0.072081
Long-run variance 0.000394
Lampiran 2 Hasil Estimasi Model PFMOLS (2) Dependent Variable: GINI
Method: Panel Fully Modified Least Squares (FMOLS)
Date: 05/27/20 Time: 13:40
Sample (adjusted): 2011 2018
Periods included: 8
Cross-sections included: 33
Total panel (balanced) observations: 264
Panel method: Pooled estimation
Cointegrating equation deterministics: C
Coefficient covariance computed using default method
Long-run covariance estimates (Bartlett kernel, Newey-West fixed
bandwidth)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
BENCANA 0.057920 0.037357 1.550445 0.1224
JLN -0.051864 0.022134 -2.343140 0.0200
BENJAL -0.005956 0.004062 -1.466096 0.1440
PDRB 0.029570 0.034752 0.850883 0.3957
INV 0.000334 0.002220 0.150381 0.8806
IPM -0.007403 0.003456 -2.142028 0.0333
MISKIN -0.002603 0.001864 -1.396380 0.1640
R-squared 0.825139 Mean dependent var 0.370242
Adjusted R-squared 0.794694 S.D. dependent var 0.037907
S.E. of regression 0.017176 Sum squared resid 0.066084
Long-run variance 0.000337
33
Lampiran 3 Hasil Estimasi Model PECM (1)
Lampiran 4 Hasil Estimasi Model PECM (2)