Post on 16-Jan-2016
description
Kesehatan dan Keselamatan Kerja di IndonesiaHerfando Maulana Alhafizh /151411713007
Sebelum nya saya memperhatikan beberapa sapek penting dalam dunia Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Indonesia. Terutama pada problematika K3 (Kesehatan dan
Keselamatan Kerja) itu sendiri walaupun terkadang beberapa instansi mengabaikan K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja) itu sendiri. Beberapa refrensi sudah terkumpul
dengan isi di paragraf penjelas sebagai berikut.
Problematika Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K-3) di Indonesia. Tak dapat disangkal hingga kini aspek ”kesehatan dan keselamatan kerja” atau disingkat K-3 belum mendapat perhatian serius di Indonesia. Kalaupun hal tersebut sering
dibicarakan diberbagai seminar dan diskusi, umumnya tidak disertai dengan konsep implementasi yang jelas dan konkrit.
Kenyataan ini tentu tidak akan menguntungkan bagi Indonesia di masa mendatang, sebab masalah tersebut sejak dua dekade silam sudah menjadi isu internasional yang
serius, karena berkaitan erat dengan berbagai masalah lainnya yang kini mendapat sorotan dunia.
Dari aspek penggunaan teknologi, misalnya perkembangan teknologi industri yang maju dengan pesat disatu sisi telah memberikan manfaat luar biasa bagi kehidupan ummat manusia. Namun disisi lain teknologi juga menebar beraneka ragam ancaman serius bagi kesehatan dan keselamatan masyarakat, terutama bagi para pekerja dan
lingkungan sekitar lokasi industri. Potensi ancaman terhadap kesehatan dan keselamatan kerja tersebut ada yang “latent” ada pula yang ”manifest.” Begitu
pula proses kemunculannya ada yang berlangsung gradual ada pula yang muncul spontan.
Dari sudut konfigurasi ketenaga-kerjaan tampilnya “kelompok pekerja profesional” sebagai elemen vital bagi kelangsungan dan kemajuan perusahaan, mendorong perlunya perhatian serius terhadap kelompok pekerja, baik demi kelangsungan
perusahaan maupun demi peningkatan produktivitas.Dalam industri modern, posisi pekerja profesional memang menjadi faktor penentu mati hidupnya perusahaan. Sementara mendidik pekerja menjadi profesional selain membutuhkan biaya tinggi juga waktu panjang. Karena itu demi menopang kehidupan danperkembangan perusahaan aspek kesehatan dan keselamatan kerja perlu perhatian
serius agar kualitas para pekerja tidak mengalami degradasi.Hal lain yang juga ikut mendorong perlunya perhatian serius terhadap kesehatan dan
keselamatan kerja adalah menguatnya desakan akan penegakan hak-hak asasi manusia (HAM) sebagai suatu fenomena global.
Dalam perspektif penegakan HAM, adanya jaminan terhadap kesehatan dan keselamatan kerja di lingkungan perusahaan dipandang sebagai bagian integral dari
penegakan hak-hak asasi manusia.
Dimensi Kesehatan dan Keselamatan KerjaDi Indonesia, minimnya perhatian terhadap kesehatan dan keselamatan kerja
kemungkinan besar disebabkan oleh ruang lingkup masalah tersebut yang amat luas, bersifat lintas sektor dan menyangkut berbagai aspek. Oleh karenanya
pengelolaannya pun tentu bersifat lintas sektor dan membutuhkan koordinasi yang intens antar semua pihak terkait.
Sementara yang juga menjadi salah satu kelemahan serius di Indonesia adalah rendahnya kemampuan berkoordinasi, baik dalam perencanaan program maupun
dalam pelaksanaan suatu kebijakan.Dalam soal kesehatan dan keselamatan kerja, misalnya, yang dibutuhkan minimal
koordinasi yang intens antara pihak yang terlibat dalam dunia kesehatan dan dunia ketenaga-kerjaan, baik pada lingkup operasional, penentu kebijakan, maupun dengan
elemen yang terlibat dalam pengembangan ilmu dan teknologi. Dengan kata lain, kesehatan dan keselamatan kerja dapat dilihat dari berbagai sisi,
antara lain:· Dari ruang lingkupnya K-3 dapat diartikan sebagai suatu masalah yang berkaitan
dengan Dunia Kesehatan dan Dunia Kerja yang serius saat ini dan menarik perhatian masyarakat internasional.
· Sebagai disiplin ilmu merupakan ilmu kesehatan yang memberikan perhatian besar terhadap hubungan timbal balik antara aspek kesehatan dan aspek kerja.
· Sementara dari aspek politik dan kebijakan publik dapat dicerminkan dengan berbagai peraturan dan kebijakan –baik global maupun nasional– yang bertujuan
melindungi pekerja dan faktor yang dapat mengancam kesehatan dan keselamatannya dalam pekerjaan.
Ancaman dan GangguanBerdasarkan pengamatan, gangguan dan ancaman terhadap kesehatan dan
keselamatan kerja di Indonesia disebabkan oleh berbagai faktor yang dalam keseharian sering luput dari perhatian. Berbagai faktor penyebab tersebut dapat
dibagi atas tiga kelompok, yakni:a. Faktor Manusia, sebagai penyebab dominan (sekitar 80%) terganggunya
kesehatan dan keselamatan kerja. Ini disebabkan manajemen sumber daya manusia dibanyak perusahaan yang tidak cermat memperhatikan kondisi spesifik individual
yang berkaitan dengan kesehatan dan keselamatan kerja, seperti: 1. Usia, misalnya menempatkan pekerja yang terlalu tua atau terlalu muda sehingga
tidak sesuai dengan bidang kerja yang ditangani.2. Pengalaman, pendidikan, ketrampilan, misalnya menempatkan pekerja yang kurang terlatih untuk jenis pekerjaan tertentu, atau kompetensi tidak sesuai dengan
bidang pekerjaan.3. Kepribadian, yakni berkaitan dengan tingkat ketelitian, keseriusan atau perilaku
ceroboh dari pekerja.4. Kesehatan fisik & psikis, antara lain karena kelelahan dan sebagainya.
5. Jam kerja yang tidak teratur dan berlebihan.
b. Faktor peralatan dan bahan baku, yang tidak memenuhi standar kesehatan dan keselamatan, seperti:
1. Peralatan tidak teruji dan atau berkualitas rendah.2. Peralatan tidak egronomik.
3. Adanya kandungan racun, kuman dan radiasi pada bahan baku, alat dan hasil produksi.
c. Faktor lingkungan yang tidak kondusif bagi keselamatan dan kesehatan kerja seperti:
1. Kualitas pencahayaan, suhu dan kebisingan.2. Gelombang elektromagnetik, microwave, radiasi, dan sebagainya.3. Kontaminasi biologi (virus, kuman, jamur, bakteri, dan sebagainya).
4. Pengolahan limbah tidak baik.Implementasi K-3
Sebagai upaya perlindungan pekerja, masalah “Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K-3)” kini menjadi persoalan global, dan setiap negara tentu harus menyikapinya dengan langkah konkrit dan terencana. Pada lingkup internasional, misalnya, PBB melalui
ILO (International Labour Organisation) telah menetapkan ketentuan tentang “Occupational Safety and Health” yang patut dilaksanakan oleh semua negara
anggota. Fokus dari ketentuan tersebut adalah pencegahan efek samping dari penggunaan
teknologi dalam industri –dari paling sederhana hingga tercanggih– yang mengganggu tata kehidupan dan lingkungan.
Sebagai anggota PBB dan ILO, Indonesia tampak berusaha memenuhi ketentuan tersebut. Hal ini setidaknya tercermin pada serangkaian kebijakan yang ditempuh
pemerintah baik menyangkut institusionalisasi, legislasi maupun operasional. Dalam aspek institusional, misalnya, pada tahun 1957 peme-rintah membentuk
Lembaga Kesehatan Buruh yang kemudian diu-bah menjadi Lembaga Kesehatan dan Keselamatan Buruh ditahun 1965. Untuk lebih mengefektifkan fungsi kesehatan dan kesela-matan kerja, organisasi Departemen Kesehatan kemudian dilengkapi dengan
Dinas Higiene Perusahaan/Sanitasi Umum dan Dinas Kesehatan Tenaga Kerja Departemen Kesehatan. Sementara De-partemen Tenaga Kerja membentuk Lembaga
Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (Hiperkes).Untuk lebih mengintensifkan fungsinya, kedua institusi tersebut kemudian
dikembangkan menjadi Sub Direktorat Kesehat-an Kerja Departemen Kesehatan (kemudian menjadi Badan Pusat Kesehatan Kerja) dan Pusat Hiperkes Departemen
Tenaga Kerja & Transmigrasi. Sedang dalam aspek legislasi, perhatian terhadap kesehatan dan keselamatan kerja diwujudkan dengan terbitnya sejumlah undang-
undang dan peraturan, antara lain:a. Undang-undang Kerja dan Undang-undang Kesehatan Kerja tahun 1957.
b. Undang-undang No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.c. Undang-undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan.
d. Undang-undang No. 22 tahun 1993 tentang Penyakit yang timbul karena hubungan kerja.
e. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.Per 02/Men/1980 Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja dalam Menyelenggarakan
Keselamatan Kerja.Implikasi dari ketentuan perundang-undangan tersebut, maka aspek kesehatan dan
keselamatan kerja kini ikut dijadikan bahan pertimbangan formal dalam pemberian usaha, sementara sejumlah perusahaan berskala besar secara khusus telah membentuk unit kerja tersendiri untuk menangani masalah K-3, baik dengan bentuk departemen,
Divisi atau Bagian sesuai dengan tingkat resiko yang dihadapi dalam pekerjaan.Kendala
Lambannya penerapan ketentuan kesehatan dan keselamatan kerja di Indonesia tampak selain disebabkan oleh rendahnya kesadaran para pelaku usaha akan hal ini, juga oleh
beragam faktor lain, dan karena itu perlu selusi yang bersifat menyeluruh. Hasil satu survai menyebutkan bahwa hampir 37,2 5 perusahaan yang terdapat di
Indonesia tidak menyediakan biaya kesehatan dalam rencana pembiayaan perusahaan meski hampir 57% pihak manajemen perusahaan menengah mengaku paham akan
pentingnya kesehatan dan keselamatan kerja. Sedang sebagian besar perusahaan skala kecil umumnya tidak menerapkan –bahkan tidak mengenal– prinsip kesehatan dan
keselamatan kerja. Lebih menyedihkan lagi pada sektor informal hingga saat ini belum ada upaya pemantauan terhadap implementasi K-3 dalam kegiatan usahanya.
Kondisi yang menyedihkan diatas memang menjadi kenis-cayaan dari sistem hubungan kerja yang berlaku selama ini yang tak memungkinkan penerapan ketentuan K-3 secara intens. Sistem hubungan Kerja borongan, Kerja kontrak
sementara, Kerja Harian Lepas dan sejenisnya memang tidak mendukung terlaksananya K-3.
Sesungguhnya semua itu terjadi karena dukungan politik dari pemerintah dalam perlindungan pekerja jauh dari memadai. Dalam berbagai kebijakan mengenai ketenaga-
kerjaan dan dunia usaha, misalnya, terlihat dengan jelas belum semua aspek prinsipil kesehatan dan keselamatan kerja terakomodir secara maksimal. Demikian pula ketentuan audit kesehatan dan keselamatan kerja sering hanya bersifat formalitas
belaka.Namun diluar sebab-sebab diatas, tersendatnya penerapan K-3 di Indonesia juga disebabkan oleh belum berkembangnya disiplin ilmu kedokteran okupasi sehinga
jumlah dokter okupasi di Indonesia masih sangat minim begitu pula klinik medik okupasi masih sangat terbatas.
Sebagai kendala-kendala yang disebutkan diatas terdapat beberapa pengertian dan makna dalam hak-hak asasi manusia (HAM) yang berupa kesejahteraan dalam bidang
kesehatan dan keselamatan kerja itu sendiri. Dan dalam pelaksanaannya K3 (Kesehatan dan Keselamtan Kerja) itu sendiri di Indonesia terdapat buruknya koordinasi dan
perancangan kebijakan dalam pelaksanaan K3 itu sendiri. Terdapat perhatian dan lintas sektor dan menyangkut berbagai aspek. Oleh karenanya pengelolaannya pun tentu
bersifat lintas sektor dan membutuhkan koordinasi yang intens antar semua pihak terkait. Sehingga diharapakan menuju tahun 2015 dimana Indonesia menuju berbudaya
K3 (Kesehatan dan Keselatan Kerja) itu sendiri maka dibutuhkan koordinasi dan teamwork antar lintas sektor dalam maupun diluar sektor instansi tersebut.
http://ergonomi-fit.blogspot.com/2012/01/hambatan-dalam-k3.html
http://operation-galaxy.blogspot.com/2011/01/sistem-manajemen-keamanan-dan.html
http://jurnalk3.com/blog/dimensi-k3.html
http://k3-smk.blogspot.com/2013/01/keselamatan-kerja.html
http://blog-mheighap.blogspot.com/2013/06/kesehatan-keselamatan-kerja-dan.html