Post on 23-Jul-2015
MAKALAH
HUBUNGAN KEKERABATAN ANTAR SPESIES Piper
BERDASARKAN SIFAT MORFOLOGI DAN MINYAK ATSIRI
DAUN DI YOGYAKARTA
Makalah ini disusun untuk Melengkapi Ujian Kompetensi Dasar IV
Matakuliah Kemotaksonomi
Oleh :
Kelompok 2
Agus Sri Wulansari M0409001
Burhansyah M0409011
Hanni Tsaaqifah M0409023
Isnaniar Hikmah N. M0409030
Meutia Srikandi F. M0409037
Nunung Ria N. M0409045
Sri Ratnadewi M0409058
Yul Tri Darweni M0409068
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Klasifikasi bertitik tolak pada keseragaman dalam keanekaragaman yang
dihadapi. Sesuai dengan kemajuan peradaban serta perkembangan ilmu dan
teknologi, ciri-ciri pada tumbuhan yang pada mulanya tidak dapat diamati atau
tidak tampak dan karenanya tidak dipertimbangkan untuk dijadikan dasar dalam
mengadakan klasifikasi seperti kandungan zat kimia dan lainnya, kemudian
memperoleh perhatian untuk digunakan sebagai dasar dalam mengadakan
klasifikasi yang dinamakan kemotaksonomi.
Konsep spesies dalam klasifikasi dengan bukti morfologi, dapat
didukung oleh bukti fitokimia, yaitu senyawa metabolit sekunder termasuk
terpenoid. Penggunaan sifat kimia untuk memecahkan masalah taksonomi
banyak terbukti, tetapi pada beberapa kasus bukti kimia tidak sejalan dengan
bukti morfologi sehingga menghasilkan sistematika yang berbeda (Davis dan
Heywood, 1973; Singh, 1999).
Kemotaksonomi telah banyak digunakan sebagai alat untuk
mengklasifikasikan perbedaan antar spesies. Meskipun belum benar-benar dapat
diterapkan karena banyaknya subspesies, varietas, kultivar, dan bahkan hibrida
(hasil persilangan antar spesies). Penentuan senyawa kimia pada suatu spesies
tidaklah mudah dilakukan, meski demikian selalu terdapat satu minyak (senyawa
tertentu) yang dimiliki oleh suatu spesies sehingga bilamana diketemukan dalam
spesies lain dalam satu genus hal ini akan menunjukkan adanya hubungan
kekerabatan yang dekat antar spesies tersebut selain dari penampakan
morfologinya (Hiltunen and Yvonne, 1999).
Genus Piper banyak dimanfaatkan sebagai obat tradisional di berbagai
negara untuk mengobati luka, mengurangi pembengkakan pada kulit, dan iritasi
kulit. Beberapa studi ilmiah telah dilakukan untuk mengetahui kandungan
senyawa kimia pada genus Piper. Umumnya komposisi kimia genus Piper
didominasi oleh fenilpropanoida seperti safrolin, dillapiol, dan miristin, atau
terpenoid seperti limonin, β-caryophyllene, spathulenol, (E)-nerolidol, α-
bicyclogermacrene and cadinol (Santos, et al., 2001).
Faktor edafik dan klimatik dapat berpengaruh terhadap kuantitas minyak
atsiri setiap atau suatu spesies (Sutarjadi, 1980; Whiffin, 1992), demikian pula
untuk spesies Piper di wilayah Yogyakarta (Purnomo dan Rani, 2005).
Karakter kimia spesies Piper yang cukup menonjol adalah adanya
senyawa minyak atsiri (terpenoid) di daun dan buahnya, sehingga banyak
dimanfaatkan sebagai bahan obat, rempah-rempah, dan bumbu dapur. Fakta
menunjukan bahwa bau remasan dari berbagai spesies Piper memiliki ciri khas
masing-masing. Sehingga jenis senyawa (kualitatif) minyak atsiri (metabolt
sekunder) dapat digunakan sebagai bukti dalam klasifikasi (Purnomo dan Rani,
2005).
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana karakteristik spesies Piper ?
2. Bagaimana hubungan kekerabatan spesies Piper berdasarkan bukti
morfologi dan minyak atsiri di wilayah Yogyakarta ?
C. Tujuan
1. Menjelaskan karakteristik spesies Piper
2. Mengetahui hubungan kekerabatan spesies Piper berdasarkan bukti
morfologi dan minyak atsiri di wilayah Yogyakarta
BAB II
PEMBAHASAN
A. Klasifikasi
Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas : Magnoliidae
Ordo : Piperales
Famili : Piperaceae (suku sirih-sirihan)
Genus : Piper
Genus Piper terdiri dari lebih dari seribu spesies, yang didistribusikan
terutama di daerah tropis di dunia. Kebanyakan anggota dari genus Piper adalah
semak dan sedikit pepohonan. Batang Piper memiliki node gemuk mencolok
dengan satu daun sederhana pada setiap node. Perbungaan Piper berkembang di
simpul dari percabangan batang daun yang berlawanan dan tegak atau gantung,
berumah satu atau dioecious. Bunga sangat kecil dengan tidak ada sepal dan
petal, bract bundar, dan tangkai yang terhubung ke malai. Benang sari dan
stigma berjumlah 2-6 dan stigma dilindungi dengan rambut yang sangat pendek.
Ovarium adalah inferior dan dengan pedisel pendek. Buahnya berdaging, sessile,
dan bulat atau ellipsoid (Davis, et al., 1973).
Setiap jenis Piper sering memiliki tiga bentuk batang yang meliputi
merayap, memanjat dan bercabang. Batang tanaman yang merayap dan
memanjat memiliki bentuk daun yang berbeda atau sama. Morfologi daun
(misalnya warna dan bentuk) untuk semua tanaman sangat berbeda (Dyer and
Aparna, 2004).
Meskipun, Piper dengan bunga majemuk dapat dengan mudah
diidentifikasi jumlah, bentuk benang sari dan stigma, bractologi, dan
karakteristik bentuk daun, seperti penomoran dan pengaturan tulang daun,
desain dekoratif dan warna (Chaveerach et al., 2009). Daun Piper mengandung
aroma yang khas dan tajam karena mengandung minyak atsiri, dan unsur-unsur
seperti cadinene, carvacrol, caryophyllene, chavibetol, chavicol, eugenol,
terpinyl, asetat (Dyer and Aparna, 2004).
Pada genus ini kandungan kebanyakan adalah dari jalur shikimat. Jalur
shikimat yaitu asam amino dan phenylpropanoids aromatik. C6C3 ini mengacu
pada unit phenylpropyl dan diperoleh dari kerangka karbon baik fenilalanin atau
l-l-tirosin, dua dari turunan asam amino aromatik-shikimate. Yang kehilangan
gugus amino. rantai samping C3 dapat jenuh atau tidak jenuh, dan bisa juga
oksigen. Kadang-kadang rantai sampingnya terputus, menghilangkan satu atau
dua atom karbon. Menjadi, unit C6C2 dan C6C1 mewakili bentuk pendek yang
termodifikasi dari sistem C6C3 (Chahal, et al., 2011).
B. Koleksi Sampel dan Perlakuan
Identifikasi anggota kelompok Piper yang diambil dari berbagai tempat
yang berbeda di Yogyakarta, dilakukan dengan menggunakan kunci identifikasi
dari berbagai pustaka.
Untuk melihat hubungan kekerabatan antar spesies Piper berdasarkan
kandungan fitokimia, dilakukan pengisolasian minyak atsiri daun dengan
metoda destilasi Stahl dan dianalisis dengan kromatografi gas cair, dengan
senyawa minyak atsiri standard yaitu caryophyllene dan α-pinene. Skema
hubungan kekerabatan fenetik dibuat berdasarkan koefisien asosiasi.
Data morfologi meliputi 55 sifat yang dibandingkan, yaitu perawakan,
akar, batang, daun, bunga, buah, dan biji, serta sifat fitokimia, yaitu waktu
retensi setiap puncak pada kromatogram. Data dianalisis secara deskriptif.
Selanjutnya dari data kuantitatif ditentukan hubungan kekerabatan fenetik
dengan metoda pengelompokan bertingkat jarak antar spesies (pasangan OTUs
ditentukan berdasarkan koefisien asosiasi) dan analisis taksonomi numerik
dilakukan dengan program SPSS versi 11.0.
C. Perbandingan Taksonomi
1. Morfologi
Analisis kelompok berdasarkan sifat morfologi dari spesies Piper di
atas, menunjukkan skema hubungan kekerabatan fenetik dalam bentuk
dendrogram (Gambar 1.). Dendrogram menunjukkan bahwa antar spesies
Piper dapat dikelompokkan menjadi 2 grup pada nilai similaritas 40,4%,
yaitu antara P. betle, P. retrofractum, P. recurvum, P. nigrum, P. miniatum,
dan P. cubeba (kelompok 1) dengan P. aduncum, P. sarmentosum
(kelompok 2). Pemisahan ini ditandai terutama pada sifat cara arah tumbuh
batang tegak dan memanjat. Pada kelompok satu (1) yaitu P. betle, P.
retrofractum, P. recurvum, P. nigrum berkelompok terhadap P. miniatum, P.
cubeba pada nilai similaritas 60,6%, hubungan kekerabatan terdekat
berdasarkan sifat morfologi tergambarkan antara P. betle dan P.
retrofractum serta P. recurvum dan P. nigrum dengan nilai similaritas
71,2%, sedangkan P. miniatum dan P. cubeba pada nilai similaritas 63,5%.
Pada kelompok dua (2) beranggotakan dua spesies yaitu P. aduncum dan P.
sarmentosum yang berkerabat pada nilai similaritas 69,2%.
Gambar 1. Hubungan kekerabatan antar spesies Piper di Yogyakarta
berdasarkan sifat morfologi.
Hubungan kekerabatan antar spesies Piper tersebut didukung oleh
pendapat Singh (1999) yang menyatakan bahwa koefisien asosiasi pada nilai
di atas 60% adalah pada tingkatan spesies, sehingga kelompok 1 dan 2 dalam
dendrogram (koefisien asosiasi 40,4%) besar kemungkinan sebagai kategori
di atas spesies Piper.
Gambar 2. Hubungan kekerabatan antar spesies Piper di Yogyakarta
berdasarkan sifat minyak atsiri daun
2. Kemotaksonomi
Analisis kelompok berdasarkan sifat minyak atsiri, menunjukan
pengelompokan OTUs pada dendrogram yang berbeda dibandingkan sifat
morfologi (Gambar 2.). Dalam dendrogram tersebut justru P. retrofractum
yang secara morfologi berkerabat dekat dengan P. betle, berdasarkan sifat
minyak atsiri menjadi kluster tunggal yang berbeda dengan 7 spesies Piper
yang lain, dengan koefisien asosiasi 45,5%.
Bukti kromatogram minyak atsiri daun menunjukkan bahwa P. betle
ditandai oleh jenis senyawa minyak atsiri dengan waktu retensi 1.075-4.433
menit mendekati waktu retensi α-pinene yaitu 1.833 menit, sehingga
berkerabat dekat dengan senyawa tersebut, sedangkan P. retrofractum
ditandai dengan jenis minyak atsiri dengan waktu retensi 13.905-16.558
menit, mendekati waktu retensi caryophyllene yaitu 14.918 (Gambar 3.)
Ketujuh spesies Piper yang lain menjadi satu kluster dengan koefisien
asosiasi 64,2%, berdasarkan nilai tersebut masih berkerabat pada tingkat
spesies (Singh, 1999). Berdasarkan sifat minyak atsiri, dapat dikatakan
bahwa P. aduncum dan P. cubeba berkerabat terdekat, karena memiliki
persamaan kandungan yang tinggi dengan nilai koefisien asosiasi 81,59%.
Berkaitan dengan bahan alam, maka jenis minyak atsiri P. aduncum dapat
menjadi alternatif pengganti dari salah satu jenis minyak atsiri pada P.
cubeba. Jenis minyak atsiri dengan waktu retensi 17.709 dan 20.945 menit
pada kromatogram P. cubeba merupakan pembeda antara kedua spesies
Piper tersebut (Gambar 4.). Jenis minyak atsiri tersebut berkerabat dekat
dengan caryophyllene (waktu retensi 14.918 menit). P. recurvum
mengelompok dengan P. aduncum dan P. cubeba dengan nilai persamaan
71% tetapi masih dalam satu kluster, hal ini disebabkan karena perbedaan
senyawa minyak atsiri dengan waktu retensi 8.65 dan 11.795 menit (P.
recurvum), serta 21.067 menit (P. aduncum) mendekati senyawa
caryophyllene. Antara P. miniatum, p. nigrum, dan P. sarmentosum
membentuk kluster pada nilai kesamaan (koefisien asosiasi) 67.3%, dan
memisah pada nilai koefisien asosiasi 70% antara P. sarmentosum dengan
kluster P. miniatum dan P. nigrum (Gambar 2.), hal tersebut disebabkan
karena perbedaan senyawa minyak atsiri dengan waktu retensi 21.275,
23.367, 28.075 menit mendekati jenis senyawa caryophyllene (Gambar 5 dan
6). Antara P. miniatum dan P. nigrum membentuk kluster dengan nilai
koefisien asosiasi 70%, kedua spesies berbeda pada senyawa minyak atsiri
dengan waktu retensi 6.838,14.678, dan 23.392 (P. miniatum) (Gambar 5
dan 6), Pada setiap spesies Piper dengan adanya perbedaan faktor luar di
habitatnya, terbukti memiliki perbedaan terutama nilai kuantitas dari jenis
minyak atsiri. Hal ini sesuai dengan pendapat Whiffin (1992), bahwa
perbedaan tersebut terjadi karena adanya variasi kimia yang merespons
terhadap perbedaan faktor luar di habitatnya.
Gambar 3. Kromatogram komponen minyak atsiri dari P. betle (kiri) dan P.
retrofractum (kanan)
Gambar 4. Kromatogram minyak atsiri dari P. aduncum (kiri) dan P. cubeba
(kanan)
Gambar 5. Kromatogram komponen minyak atsiri dari P. sarmentosum
(kiri) dan P. nigrum (kanan)
Gambar 6. Kromatogram komponen minyak atsiri dari P. recurvum (kiri)
dan P. miniatum (kanan)
3. Perbandingan Karakter Morfologi dengan Kemotaksonomi
Berdasarkan karakter morfologi dan kemotaksonomi khususnya
kandungan minyak atsiri pada daun spesies-spesies Piper tampak adanya
perbedaan penggolongan klasifikasi.
Bilamana secara morfologi P. aduncum berkerabat dekat dengan P.
sarmentosum dan dibedakan oleh tingkatan klaster dengan P. cubaba namun
secara kandungan minyak atsiri daun P. aduncum lebih berkerabat dengan
dengan P. cubaba dan dibedakan oleh tingkatan klaster dengan P.
sarmentosum. Hal serupa juga dijumpai pada P. retrofractum dengan P.
betle yang secara morfologi berkerabat dekat, namun secara kemotaksonomi
dengan mengacu pada kandungan minyak atsiri pada daun P. retrofractrum
diklasifikasikan secara tersendiri dari 7 spesies lain yang diamati.
Secara morfologi, delapan spesies yang diamati dikelompokkan
dalam 2 kelompok besar yang terdiri dari P. aduncum dan P. sarmentosum
dalam satu kelompok dan kelompok dua terdiri dari 6 spesies lainnya (P.
betle, P. retrofractrum, P. rucurvum, P. nigrum, P. miristum, dan P.
cubaba). Namun secara kemotaksonomi, delapan spesies tersebut dibagi
dalam 2 kelompok besar anggota kelompok 1 ialah P. retrofractum dan 7
spesies lainnya masuk dalam kelompok 2.
Hal ini semakin membuktikan bahwa, meskipun secara morfologi
dijumpai adanya kemiripan pada suatu spesies dalam genus yang sama,
namun secara kemotaksonomi penggolongan tersebut dapat jauh berbeda.
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian mengenai kekerabatan spesies-spesies Piper berdasarkan
morfologi dan kemotaksonomi maka dapat disimpulkan bahwa di wilayah
Yogyakarta ditemukan 8 spesies Piper yaitu: P. aduncum, P. sarmentosum, P.
cubeba, P. retrofractum, P. nigrum, P. recurvum, P. miniatum, dan P. betle.
Hubungan kekerabatan spesies Piper berdasarkan sifat morfologi dan minyak atsiri
menghasilkan klasifikasi yang berbeda.
Secara morfologi, delapan spesies yang diamati dikelompokkan dalam 2
kelompok besar yang terdiri dari P. aduncum dan P. sarmentosum dalam satu
kelompok dan kelompok dua terdiri dari 6 spesies lainnya (P. betle, P. retrofractrum,
P. rucurvum, P. nigrum, P. miristum, dan P. cubaba). Namun secara
kemotaksonomi, delapan spesies tersebut dibagi dalam 2 kelompok besar anggota
kelompok 1 ialah P. retrofractum dan 7 spesies lainnya masuk dalam kelompok 2.
Spesies Piper yang berkerabat dekat secara morfologi, dapat berkerabat jauh
berdasarkan minyak atsiri daun.
DAFTAR PUSTAKA
Chahal, J., Renu Ohlyan, Ajit Kandale, Anu Walia, Sidharth Puri. 2011. Introduction, Phytochemistry, Traditional uses and Biological Activity of Genus Piper: A review. International Journal of Current Pharmaceutical Review and research, Vol. 2(2) :132 -144
Chaveerach, A., Piya Mokkamul, Runglawan Sudmoon, and Tawatchai Tanee. 2009. Ethnobotany of the genus Piper (Piperaceae) in Thailand. Ethnobotany research and application Vol. 4 : 223-231
Davis P.H., and V.H. Heywood. 1973. Principle of Angiospermae Taxonomy. Hutington. New York: Robert E. Kreiger Publishing Co. Inc.
Dyer, L.A and Aparna D.N.P. 2004. Piper: A Model Genus for Studies of Phytochemistry, Ecology, and Evolution. Kluwer Academic/Plenum Publishers, New York
Hutington. New York: Robert E. Kreiger Publishing Co. Inc.Hiltunen, R and Yvonne Holm. 1999. BASIL : The Genus Ocimum. Harwood Academic Publisher, Amsterdam
Purnomo dan Rani A. 2005. Hubungan Kekerabatan antar Spesies Piper Berdasarkan Sifat Morfologi dan Minyak Atsiri Daun di Yogyakarta. Biodiversitas Vol. 6(1): 12-16
Santos, P.R.D., Moreira, D.L., Guimarães, E.F., Kaplan, M.A.C. 2001. Essential oil
analysis of 10 Piperaceae species from the Brazilian Atlantic forest. Phytochemistry 58 : 547–551
Singh G. 1999. Plant Systematics. Science Publisher, Inc., New Hampshire
Sutarjadi. 1980. Penelitian Taksonomi dan Fitokimia. Surabaya: Universitas Airlangga
Whiffin, T. 1992. Variation in chemical characters. Field Lecture and Practical Work of Taxonomy of Tropical Tree Species: Chemotaxonomicl Approach for Genetic Diversity Inventory. Bogor: LIPI