Post on 20-May-2018
Mam
1 Desember 2014
MAKALAH ISLAM
Kementerian Agama dan
Kepeloporan Revolusi Jiwa
Makalah Islam
Kementerian Agama dan Kepeloporan Revolusi Jiwa
Dr. H. Thobib Al-Asyhar, M. Si
(Kasubag Sistem Informasi Ditjen Bimas Islam, Dosen
Luar Biasa Psikologi Islam PSTTI PPs UI)
Saatnya melakukan Revolusi Mental! Ya, istilah
tersebut bukan asing lagi di telinga kita. Selain sering
diungkapkan dalam jargon utama presiden Joko Widodo
(Jokowi), Revolusi Mental memang menjadi kebutuhan
mendesak bangsa ini. Di tengah “kegalauan” publik
dalam menghadapi problem-problem kebangsaan,
gerakan Revolusi Mental seperti menjadi “vitamin” yang
menjanjikan. Meski digulirkan bukan dari penalaran baru,
setidaknya istilah ini menjadi spirit perubahan melalui
strategi kebudayaan menuju bangsa yang lebih baik,
merdeka, adil, dan makmur.
Dilihat dari kontennya, Revolusi Mental yang
diusung Jokowi diambil dari konsep Trisakti Bung Karno
dalam pidatonya tahun 1963 dengan tiga pilar utama,
yaitu Indonesia yang berdaulat secara politik, mandiri
secara ekonomi, dan berkepribadian secara sosial budaya.
Dalam uraian analisisnya melalui artikel yang
dimuat di Harian Kompas, 10 Mei 2014, Jokowi
memaparkan fakta bahwa selama 16 tahun reformasi
melalui pergantian pimpinan nasional secara berturut-
turut, BJ. Habibie, Megawati Soekarnoputeri, KH.
Abdurrahman Wahid, dan SBY memang telah terjadi
banyak perubahan dan peningkatan, khususnya di bidang
politik, ekonomi dan sosial budaya. Namun pada saat
bersamaan, sejumlah tradisi atau budaya yang tumbuh
subur dan berkembang di era Orde Baru justru masih
berlangsung hingga saat ini, mulai dari korupsi,
intoleransi terhadap perbedaan, dan sifat kerakusan,
sampai sifat ingin menang sendiri, kecenderungan
menggunakan kekerasan dalam memecahkan masalah,
pelecehan hukum, dan sifat oportunis.
Fenomena tersebut menandakan bahwa problem-
problem tersebut bukan terletak pada struktur sosial yang
dibangun, namun terkait dengan masalah paradigma,
mindset, dan budaya berbangsa dan bernegara. Artinya,
ada faktor yang berhubungan dengan cara pandang, cara
merasa, meyakini, serta bersikap dan bertindak publik
yang belum selesai dibangun.
Apa yang diungkapkan Jokowi tersebut tentu
berdimenasi makro kebangsaan menyangkut seluruh
sistem kehidupan pada umumnya. Pertanyaan kemudian
muncul, pada aspek-aspek apa saja yang perlu
digarisbawahi untuk meningkatkan kapasitas
Kementerian Agama sebagai lembaga yang diberikan
tugas membantu presiden bidang keagamaan dalam
rangka melaksanakan pembangunan nasional? Berikut ini
ulasan penulis yang akan mencoba mengkritisi istilah
Revolusi Mental dihubungkan dengan spektrum
Kementerian Agama (Kemenag) yang memiliki ranah
tugas dan fungsi yang sangat luas, serta Revolusi Jiwa apa
yang perlu dilakukan untuk membangun institusi publik
yang professional, melayani, dan akuntabel?
Revolusi Mental atau Revolusi Jiwa?
Bagi penulis, yang memiliki latar belakang
keilmuan bidang psikologi Islam, pengguliran istilah
Revolusi Mental dalam konteks perbaikan menyeluruh
pengelolaan berbangsa dan bernegara dirasa kurang tepat.
Penggunaan istilah Revolusi Mental dinilai lebih
mengarahpada konsep sekularistik, dimana unsur-
unsurnya bekerja pada wilayah-wilayah empirik sebagai
sebuah konsep dasar keilmuan sekuler modern. Sering
kita mendengar, kalau tidak bisa diukur oleh parameter
empirik maka tidak bisa disebut ilmiah.
Memang Revolusi Mental banyak dipakai
dalamsejarah pemikiran, manajemen, sejarah politik,
bahkan sejarah musik, baik di dunia Barat maupun Timur.
Namun pemahaman istilahnya hanya sebatas pada segala
hal yang berhubungan dengan cara berpikir, cara
memandang masalah, cara merasa, meyakini
(mempercayai), serta cara berperilaku dan bertindak.
Dalam kajian psikologi modern (Barat), mental
merupakan bagian dari unsur kejiwaan yang dapat diukur
oleh inderas ebagai bagian dari bangunan epistimologi
keilmuan psikologi Barat. Dalam konteks ini, secara
epistimologis, mental dipahami sebagai bagian dari aspek
kejiwaan yang dapat dikaji, dipelajari, dan dibuktikan
secara empirik.
Sementara pada saat bersamaan terdapat unsur
kejiwaan penting lain yangsulit diukur secara inderawi
tetapi sangat mempengaruhi keseluruhan kepribadian
manusia yang perlu mendapatkan perhatian serius, yaitu
spiritual. Bagi pemahaman sekuler, spiritualitas yang juga
mencakup keimanan dan ketaatan kepada Tuhan, serta
pengalaman puncak diluar batas mental (peak
experiences), meminjam istilahnya Abraham Maslow,
dianggap sebagai wilayah yang tidak real dan
tidakdicakup oleh bangunan ilmiah. Padahal, unsur-unsur
spiritualitas yang membuktikan Realitas Ketuhanan
seharusnya juga menjadi lokus bagi upaya untuk
melakukan perubahan mendasar bagi bangsa dan Negara.
Terlebih lagi Negara kit aberdiri tegak di atas Sila Pertama
Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pada titik ini, Revolusi Mental yang diterjemahkan
sebagai strategi kebudayaan yang mencakup cara
pandang, merasa, meyakini, bersikap dan bertindak yang
harus dirubah mendasar (revolusi) tidak didasarkan pada
nilai-nilai tertinggi agama, atau setidaknya nilai-nilai
yang muncul dari “The Other” yang diyakini oleh
masyarakat Indonesia. Perubahan mendasar pada konteks
Revolusi Mental ini, penulis nilai sebagai konsep sekuler
yang mengesampingka nwilayah-wilayah spiritualitas
yang terletak di hati (al-qalb) dan ruh (al-ruh) yang
menjadi titik pembeda antara Psikologi Modern Barat
dengan Psikologi Timur (khususnya Islam).
Karena itu, penulis berpendapat bahwa konsep
Revolusi Mental lebih tepat diganti dengan Revolusi Jiwa.
Artinya, perlu adanya perubahan mendasar terhadap jiwa
masyarakat, khususnya bagi pelaku kebijakan di negeri ini
yang meliputi unsur-unsur psikologi dan spiritual.
Memang daya-daya jiwa seperti bernalar, berpikir,
berempati, berkasih sayang, dan seterusnya, khususnyad
ihubungkan dengan tugas-tugas pengambilan
keputusandalam ranah kepemerintahan tidak bersifat
ragawi (tidak kasat mata), tetapi aspek-aspek kejiwaan
tidak mungkin dibangun tanpa pengalaman ragawi.
Perlu pemahaman yang tepat, bahwa Revolusi Jiwa
tidak berdiri sendiri. Revolusi jiwa terhubung dengan
kebudayaan, struktur social, dan pelaku itu sendiri.
Sehingga, terdapat hubungan integral antara “jiwa
pelaku” dan "struktur sosial” yang terjembatani melalui
pemahaman kebudayaan sebagai pola berfikir, cara
merasa, dan berperilaku yang terungkap dalam praktik
kehidupan sehari-hari. Dengan kita menggagas Revolusi
Jiwa, maka dengan sendirinya mencakup keseluruhan
aspek yang bersifat ragawi (struktur), mental, dan
spiritual. Jika dihubungkan dengan pemerintahan, maka
terkait dengan cara pandang, cara menyikapi, dan cara
mengelola kebijakanyang didasarkan pada nilai-nilai
yang ada, baik ketentuan peraturan perundang-undangan,
tatanan sosial, wisdom, dan spirit ketuhanan.
Quo Vadis Revolusi Jiwa Kemenag
Dari uraian tersebut menunjukkan bahwa seiring
dengan program reformasi birokrasi secara menyeluruh,
Kemenag sesungguhnya telah melakukan upaya-upaya
konkrit dalam memperbaiki kinerjanya untuk palayanan
umat. Yang menjadi pertanyaan adalah, strategi apa yang
harus dipenuhi dalam melakukan Revolusi Jiwa agar
Kemenag mampu tampil sebagai lembaga publik yang
efektif, efisien, transparan, dan akuntabel.
Sebagai sebuah konsep kebudayaan, Revolusi Jiwa
lebih berfokus pada perbaikan paradigma dan mindset
aparaturnya sebagai penopang penyelenggaraan birokrasi.
Kemenag yang memiliki beban sejarah dan kelembagaan
yang terdapat kata agama memang "bermain" pada aspek
manusia yang harus di-drive memiliki cara pandang, cara
merasa, cara meyakini dan cara bersikap dan berperilaku
yang didasarkan pada nilai dan konsep agama.
Dihubungkan dengan lima wilayah tugas dan fungsi
Kemenag, yaitu peningkatan kualitas pelayanan
kehidupan umat beragama; peningkatan kualitas
kerukunan umat beragama; peningkatan kualitas
penyelenggaraan ibadah haji; peningkatan kualitas
pendidikan agama dan keagamaan; dan peningkatan
kualitas penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan
berwibawa, maka area Revolusi Jiwa dalam konteks
Kemenag menyangkut pada dua kesadaran sebagai
berikut:
Pertama, perlunya membangun kesadaran yang
sangat mendasar kepada seluruh pegawai di lingkungan
Kemenag, baik di Kemenag Pusat, Kanwil Kemenag
Provinsi, Kabupaten/Kota, KUA, madrasah-madrasah,
perguruan tinggi di bawah naungan Kemenag, serta
seluruh stake-holder-nya, bahwa bekerja dan mengabdi di
lingkungan Kemenag dan yang terkait dengannya sama
dengan mengemban misi kenabian (prophetic mission).
Beban tugas tugas dan fungsi yang dilakukan setiap hari
mengarah pada pembangunan masyarakat yang
berorientasi pada nilai-nilai kenabian, seperti keadilan,
toleransi, penghargaan atas keyakinan orang lain, dan lain
sebagainya.Artinya, misi keagamaan yang diemban
Kemenag tidak hanya memposisikan agama sebagai
sacramental religion, tetapi juga ethical religion yang
berorientasi pada pengembangan etika dalam arti seluas-
luasnya atau apa yang disebut dengan moralitas agama
(akhlak).
Dalam konteks ini, maka Revolusi Jiwa Kemenag
lebih pada aspek kesadaran tertinggi bahwa pengabdian di
Kementerian Agama atau yang terkait dengannya
membawa misi kenabian yang melampui nilai-nilai
mental. Meminjam istilah Abraham Maslow, bahwa
pengabdian di Kemenag sebagai bagian dari aktualisasi
diri sebagai kebutuhan tertinggi. Kebutuhan ini terdapat
meta kebutuhan yang tidak tersusun secara hirarki,
melainkan saling mengisi, diantaranya adalah kebenaran,
kebaikan, keindahan, keseluruhan (integritas),
kesempurnaan, keadilan, keteraturan, kesederhanaan, dan
lain-lain. Jika berbagai meta kebutuhan tersebut tidak
terpenuhi maka akan terjadi meta patologi seperti
apatisme, kebosanan, putus asa, tidak punya rasa humor
lagi, keterasingan, mementingkan diri sendiri, kehilangan
selera dan sebagainya.
Jika diterjemahkan secara aplikatif dalam praktik
kehidupan sehari-hari, maka seluruh aparatur Kemenag
akan memiliki tanggung jawab besar terhadap amanah
birokrasi dalam wujud sikap dan perilaku sebagai
pengemban misi kenabian, yaitu memiliki kediplinan,
etos kerja, tanggung jawab, integritas, komitmen, dan
semangat memberikan pelayanan prima. Dengan
paradigma ini, maka keseluruhan sistem yang dibangun
harus mengarah pada efektifitas, efisiensi, transparansi,
akuntabilitas yang jauh dari sikap dan perilaku koruptif
dan sia-sia.
Kedua, munculnya pemahaman bahwa pengabdian
di lingkungan Kemenag sangat berbeda jika dibandingkan
dengan pengabdian di lingkungan Kementerian atau
Lembaga lainnya. Postur kerja dan target capaian di
lingkungan Kementerian atau Lembaga lain “bermain”
pada wilayah-wilayah countable (terukur), seperti
Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Kesehatan,
Kementerian ESDM, Kementerian Olah Raga,
Kementerian Perumahan Rakyat, termasuk Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan. Sementara Kemenag
memiliki banyak tugas yang uncountable (tak terukur)
atau setidaknya sulit untuk diukur, khususnya
menyangkut pada pembinaan umat, peningkatan paham
ajaran agama, penanganan aliran sempalan, dan lain-lain.
Melihat dari realitas tersebut, maka Revolusi Jiwa
Kemenag juga menyangkut adanya pemahaman radikal
bahwa pengabdian di lingkungan Kementerian Agama
tidak semata-mata berhenti pada konsep-konsep
keterukuran kinerja sebagaimana yang dituntut
kesesuaian Renstra dan Indikator Kinerja Utama (IKU),
namun perlunya membangun pemahaman yang memiliki
nilai-nilai transendensi karena wilayah-wilayah yang
dikerjakan banyak berhubungan dengan aspek-aspek
spiritual (keimanan dan ketaatan beragama). Ini
merupakan ekspresi kerinduan jiwa untuk berelasi dalam
cinta, berelasi secara pribadi keotentikan diri. Tepatlah
apa yang dikatakan Tony Baggot (Spirituality, Vol 2, No
5, 1996) bahwa perziarahan ke dalam diri sebenarnya
merupakan perziarahan ke dalam alam ketuhanan dimana
segala ilusi dan kepalsuan lenyap dalam dekapan cinta
tanpa syarat (unconditional love) dari Tuhan.
Dalam konteks ini bahwa kesadaran transendensi
diri menempatkan pribadinya tidak dalam posisi
dikorbankan, tetapi direalisasikan dalam kemanusiaannya
yang otentik. Perealisasian diri yang sejati sebagai abdi
negara di lingkungan Kemenag dalam pencarian makna,
kebenaran, nilai dan cinta akan menolak segala bentuk
dorongan egoisme yang berpusat pada diri sendiri (self-
centered). Sehingga, seorang pegawai akan
mengosongkan diri, bahkan kehilangan diri demi
pelayanan cinta bagi sesama (masyarakat). Aktualisasi
diri yang otentik bukan merupakan hasil sebuah usaha
untuk memenuhi hasrat-hasrat pribadi, melainkan dari
sebuah gerak yang melampaui diri untuk membawa
kebaikan bagi diri dan orang lain. Dalam bahasa agama
disebut dengan keselamatan dunia dan akhirat (fid-dunya
hasanah wafil akhirati hasanah). Wallahu A’lam.
Sumber: bimasislam.kemenag.gi.id-informasi-opini