Post on 03-May-2019
KEBEBASAN BERSERIKAT MENURUT UNDANG – UNDANG
NO.2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana
Pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
OLEH :
Nama : Hafizurrahman
NIM : 20040610088
Jurusan : Ilmu Hukum
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2008
i
HALAMAN PERSETUJUAN
KEBEBASAN BERSERIKAT MENURUT UNDANG – UNDANG NOMOR 2
TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK
S K R I P S I
Diajukan oleh :
Nama : Hafizurrahman NIM : 20040610088
Telah disetujui oleh dosen pembimbing pada tanggal...................................
Dosen Pembimbing I
Septi Nurwijayanti, S.H, M H NIP. 153. 029
Dosen Pembimbing II
Iwan Satriawan, S.H, MCL NIK. 153. 039
ii
HALAMAN PENGESAHAN
KEBEBASAN BERSERIKAT MENURUT UNDANG – UNDANG NOMOR 2
TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK
S K R I P S I
Telah dipertahankan di hadapan tim penguji pada tanggal............................... yang terdiri dari :
Ketua
Yulianto Ahmad, SH, M.H.
NIP. 131847701 Anggota Anggota
Septi Nurwijayanti, S.H, M H Iwan Satriawan, S.H, MCL NIK. 153. 029 NIP. 153. 039
Mengesahkan, Dekan Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Muhammad Endrio Susilo, S.H, MCL
NIK. 153 042
Motto
iii
Sesengguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, maka apabila kamu telah
selesai dari sesuatu urusan, kerjakan dengan sungguh-sungguh urusan yang
lain.
(Qs: Al Insyirah ayat 6)
Allah SWT akan meninggikan orang-orang yang beriman diantara kamu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat
(Qs: Al Mujadalah ayat 11)
Hidup memang kegelapan, jika tanpa hasrat dan keinginan. Dan semua hasrat
keinginan akan buta, jika tidak disertai pengetahuan. Dan semua segala
pengetahuan akan hampa, jika tidak diikuti dengan pekerjaan. Dan semua
pekerjaan akan sia-sia apabila tidak disertai dengan cinta
(Kahlil Gibran)
Kita semua yang merasa bahagia punya tujuan untuk menjadi bahagia.
Hal itulah yang membukakan mata saya bahwa kunci semua ini adalah adanya
tujuan.
(Janet Jantzen)
iv
Persembahan
Seiring rasa syukurku kepada Allah Swt
Yang selalu memberikan kenikmatan
Kupersembahkan karya kecilku ini untuk untuk orang-orang yang
Kukasihi dan mengasihiku
Ayahku (M Yasin) dan Mamakku (Deliani) tercinta, sebagai tanda baktiku atas
kasih sayang dan segala pengorbanan demi kesuksesan anaknya Dalam
menuntut ilmu. Dan Terima kasih atas doa, dukungan, cinta, kepercayaan dan
pengorbanan yang telah diberikan.
Adik-adikku Yunda, Vita, Yoon yang selalu mendorong langkah yang saya
tempuh dan selalu memotivasi untuk segera menyelesaikan skripsi ini.
Kepada almamaterku Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta yang telah memberikan ruang dan tempat untuk menuntut ilmu
dan belajar.
Terkasihku (Sinta Fitra Dewi), yang selalu menyayangiku, dan
memotivasiku.Terimakasih atas do’a, kasih sayang, pengorbanan dan
kesempatan yang telah diberikan. Semoga yang kita cita-citakan dapat tercapai,
Amin.............
Terima kasi kepada kawan – kawan SMI (Serikat Mahasiswa Indonesia), dan
kepada semua kawan – kawan yang konsisten di garis perjuangan untuk
membebaskan rakyat yang tertindas
v
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat, hidayahNya, dan kasihNya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas skripsi
ini dengan judul “Kebebasan Berserikat menurut Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2008 tentang Partai Politik”. Sholawat serta salam saya panjatkan kepada
junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW.
Penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk meraih gelar Sarjana Hukum, pada
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Adapun pengambilan
Judul skripsi ini didasarkan pada peraturan yang berlaku atas pelaksanaan kebebasan
berserikat tentang partai politik.
Secara khusus dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa terima
kasih yang mendalam kepada :
1. Septi Nurwijayanti, S.H, M H selaku Dosen Pembimbing I dan penguji skripsi
yang telah memberikan bimbingan, serta nasehat dalam penyusunan skripsi ini;
2. Iwan Satriawan, SH. , MCL selaku Dosen Pembimbing II dan penguji skripsi
yang telah memberikan bimbingan, serta nasehat dalam penyusunan skripsi ini;
Seluruh pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu-persatu, yang dengan sengaja
maupun tidak dengan sengaja telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi.
vi
Saya menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna, untuk itu saya mengharapkan
saran dan kritik yang dapat menyempurnakan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi yang membacanya. Amien
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Yogyakarta, Juni 2008
Penulis
Hafizurrahman
vii
DAFTAR ISI
Hlm
HALAMAN JUDUL…………………………………………………… i
HALAMAN PERSETUJUAN…………………………………………. ii
HALAMAN PENGESAHAN………………………………………….. iii
HALAMAN MOTTO………………………………………………….. iv
HALAMAN PERSEMBAHAN………………………………………... v
KATA PENGANTAR…………………………………………………. vi
DAFTAR ISI…………………………………………………………… viii
BAB I. PENDAHULUAN……………………………………………. 1
A. Latar Belakang Masalah…………………………………... 1
B. Rumusan Masalah………………………………………… 3
C. Tujuan Penelitian…………………………………………. 4
D. Manfaat Penelitian………………………………………... 4
BAB II. TINJAUAN UMUM TENTANG KEBEBASAN
BERSERIKAT………………………………………………… 5
A. Reformasi…………………………………………………... 5
A. Demokrasi…………………………………………………. 11
1. Pengertian Demokrasi…………………………………. 11
2. Sejarah Demokrasi…………………………………….. 15
3. Perkembangan Demokrasi Di Indonesia……………… 20
viii
B. Partai Politik……………………………………………... 23
1. Pengertian Partai Politik…………………………….. 23
2. Sejarah Partai Politik………………………………… 24
3. Klasifikasi Sistem Kepartaian……………………….. 26
4. Fungsi Partai Politik…………………………………. 34
C. Hak Asasi Manusia……………………………………… 41
1. Pengertian Hak Asasi Manusia……………………… 41
2. Sejarah Hak Asasi Manusia………………………… 45
3. Hak Asasi Manusia di Indonesia…………………… 48
BAB III. METODE PENELITIAN………………………………… 56
BAB IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN
TENTANG KEBEBASAN BERSERIKAT……………… 59
A. Kebebasan berserikat menurut Undang – Undang
Dasar 1945……………………………………………… 59
B. Kebebasan berserikat menurut Undang – Undang
Nomor. 2 Tahun 2008…………………………………… 67
C. Hak asasi manusia dan kebebasan berserikat menurut
Undang - Undang Nomor 39 tahun 1999………………… 70
BAB V. PENUTUP................................................................................ 72
A. Kesimpulan………………………………………………. 72
B. Saran……………………………………………………... 73
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
ix
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Pasca runtuhnya rezim Orde Baru (rezim tiran) 21 Mei 1998 bangsa Indonesia
memasuki babak baru yaitu Orde Reformasi. Dalam era reformasi terjadi
perubahan–perubahan di dalam kondisi politik Indonesia. Salah satunya yaitu
munculnya kembali sistem multi partai di Indonesia yang terjadi akibat
pengekangan demokratisasi pada era Orde Baru.
Munculnya multi partai di Indonesia merupakan salah satu wujud reformasi
yang menginginkan proses demokrasi yang lebih ideal sehingga dapat membawa
bangsa ini ke arah yang lebih maju.
Meskipun demikian, runtuhnya rezim Orde Baru dominasi dari rezim ini
masih terasa sampai sekarang salah satunya yaitu aturan yang terdapat dalam
partai politik yang berkaitan tentang pelarangan penyebarluasan ajaran
Komunisme atau Marxisme-Leninisme, ajaran-ajaran ini dilarang tumbuh dan
berkembang di Indonesia hingga era reformasi saat ini (Undang-undang Nomor 2
Tahun 1999, Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002, dan Undang-undang Nomor
2 Tahun 2008).
Eforia demokrasi pada era reformasi saat ini dimanfaatkan oleh bangsa
Indonesia untuk ikut dalam berpartisipasi mewarnai demokrasi di Indonesia
1
dengan mendirikan partai–partai politik baru, yang merupakan implementasi dari
kemerdekaan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat yang telah di
atur di dalam Pasal 28 E ayat (3) Undang-undang Dasar 1945.
Jika dilihat lebih jauh lagi kebebasan berserikat dan berkumpul yang telah di
amanatkan oleh Undang–undang Dasar 1945 tidak sepenuhnya di
Implementasikan, hal ini dapat dilihat di dalam Undang – Undang No 2 Tahun
2008 Pasal 40 ayat (5) yang berbunyi sebagai berikut, “Partai Politik dilarang
menganut dan mengembangkan serta menyebarkan ajaran atau paham
komunisme atau Marxisme-Leninisme.”
Pasal 40 ayat (5) tersebut menyatakan dengan jelas bahwa apabila masyarakat
ingin mendirikan partai politik yang berlandaskan paham–paham Marxisme–
Leninisme, partai tersebut tentunya dilarang tumbuh dan berkembang di
Indonesia, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kebebasan berserikat,
berkumpul, dan mengeluarkan pendapat yang terdapat di dalam konsideran
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 di perjelas.
Berdasarkan konsep Demokrasi secara universal ketika suatu negara
mengklaim bahwa negaranya merupakan negara Demokrasi maka kebebasan
berserikat, dan mengeluarkan pendapat menjadi suatu kewajiban bagi negara
untuk menjamin kebebasan–kebebasan tersebut.
Indonesia sebagai negara Demokrasi mendukung hal tersebut yang tertuang di
dalam UUD 1945 Pasal 28 E ayat (3). Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka
salah satu larangan bagi partai politik di Indonesia yang berkaitan dengan
2
pengembangan ajaran atau paham Marxisme–Leninisme perlu diperjelas, dengan
menggunakan prinsip–prinsip Demokrasi yang dianut oleh bangsa Indonesia.
Dilihat dari aspek hak asasi manusia yang diatur di dalam Undang–undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia kebebasan berserikat
merupakan statu hal yang mutlak, hal ini dapat dilihat pada Pasal 3 Undang-
undang Nomor 39 Tahun 1999 “Diskriminasi adalah setiap pembatasan,
pelecehan, atau pengecualian yang langsung ataupun tidak langsung didasarkan
pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok,
golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik,
yang berakibat, pengurangan, penyimpangan atau penghapusan, pengakuan,
pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam
kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi,
hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya“
Pasal 3 Undang–undang Nomor 39 Tahun 1999 tersebut menyatakan dengan
tegas bahwa masyarakat Indonesia diberikan kebebasan dalam bidang politik
(berorganisasi, melakukan aktifitas politik, dan beridiologisasi) kebebasan dalam
bidang politik ini tentunya harus memiliki batasan–batasan tertentu yaitu tidak
boleh menyimpang dari Pancasila sebagai dasar negara.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan
yaitu : menganalisis secara yuridis Bagaimana kebebasan berserikat menurut
Undang–undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang partai politik di Indonesia?
3
C. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mengkaji kebebasan berserikat
menurut Undang–undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang partai politik.
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat Teoritis
Untuk memberikan sumbangan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan
Kebebasan berserikat.
2. Manfaat Praktis
Memberikan pemahaman terhadap masyarakat tentang kebebasan berserikat
dan sebagai masukan terhadap pemerintah dan instansi yang terkait terhadap
kebebasan berserikat.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Reformasi
Istilah reformasi mengandung berbagai interpretasi yang sangat
tergantung pada konteksnya. Kalau dikaitkan dengan gerakan keagamaan
pada paruh kedua abad ke-16, reformasi mengacu pada pembaruan gereja
Katolik Roma yang melahirkan kristen Protestan yang dipelopori oleh
Martin Luther1. Namun, sebagaimana istilah pada umumnya, makna yang
terkandung di dalamnya bisa berubah dengan perjalanan waktu.
Bahkan secara ekstrim, suatu istilah yang semula mengandung makna
positif atau netral bisa saja berubah menjadi negatif. Pengertian reformasi
dalam konteks mencari jalan keluar dari krisis yang kita hadapi dewasa ini
setidaknya mengandung dua unsur.
a. Pembaruan.
Karena sistem yang ada tak mampu lagi merespon persoalan-
persoalan yang muncul sebagai akibat dari perubahan yang di ciptakan
oleh reformasi, sehingga di tuntut adanya pembaruan terhadap sistem –
sistem lama tersebut secara total.
1 Seorang reformis gereja yang melakukan pemberontakan terhadap ajaran – ajaran gereja
katolik Roma, khususnya yang berkaitan dengan surat penghapusan dosa.
5
b. Perubahan
Perubahan terjadi hampir di seluruh sendi kehidupan masyarakat
yang mengiginkan adanya suatu kehidupan masyarakat yang lebih
demokratis. Kehidupan yang lebih demokratis ini menjadi suatu tuntutan
terhadap pemerintah pasca runtuhnya rezim Orde Baru.
Menurut Afan Gaffar2 reformasi di Indonesia haruslah bersifat
konkret dan jelas sehingga reformasi tersebut dapat mewujudkan
pemerintahan yang demokratis, bersih dan berwibawa, sehinnga dapat
menciptakan kehidupan Politik, Ekonomi dan budaya yang setabil di
Indonesia. Untuk mewujudkan reformasi yang ideal di Indonesia,
menurut Afan Gaffar terdapat 6 langkah yang harus dilakukan di
Indonesia3 :
1). Pembatasan masa jabatan presiden,
Dalam era reformasi di haruskan adanya pembatasan jabatan
Presiden agar dapat menghilangkan vested interest sehingga dapat
menciptakan proses demokratisasi yang lebih riil.
2). Redefinisi fungsi dan rekuitmen MPR,
Menurut Afan Gaffar harus adanya penegasan mengenai fungsi
MPR, agar MPR dapat menjadi penyeimbang terhadap lembaga
keperesidenan. Namun sekarang ini dengan bergantinya SSP di
2 Afan Gaffar, op. cit hlm 164. 3 Afan Gafar, op. cit hlm 63 – 172.
6
Indonesia peran dan fungsi MPR telah diambil alih oleh MK
sehingga fungsi pengontrol dan penyeimbang berada di tangan DPR.
3). Kesetaraan di antara lembaga tinggi negara,
Telah kita ketahui bersama pada masa Orde Baru dominasi
lembaga keperesidenan sebagai lembaga tinggi negara sangat kuat,
sehingga tidak adanya checks and balances di antara lembaga –
lembaga negara.
Untuk mencegah terjadinya hal tersebut di atas di dalam era
reformasi ini seharusnya lembaga – lembaga tinggi negara harus
memiliki kesetaraan, sehingga diharapkan dapat terciptanya checks
and balances di antara lembaga – lembaga tinggi negara tersebut.
4). Rekruitmen politik yang terbuka,
Rekruitmen politik yang terbuka yang paling baik adalah
melalui mekanisme Pemilihan Umum, yang dilakukan secara
kompetitif dan demokratis. Rekruitmen politik yang terbuka juga
menyangkut rekruitmen kalangan pejabat eksekutif misalnya seperti
penunjukan seorang menteri hendaknya tidak lagi didasarkan atas
Patronage politik seperti yang terjadi pada masa Orde Baru.
Dan selain itu rekruitmen politik yang terbuka juga harus
diberlakukan terhadap partai–partai politik sehingga dapat
melahirkan para pemimpin politik yang tangguh dan berakar pada
masyarakat.
7
5). Desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah,
Desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan di daerah
merupakan tuntutan Zaman, karena hal itu akan mendekatkan
pemerintah kepada rakyat, dan juga akan menciptakan efisiensi
penyelenggaraan pemerintahan.
6). Implementasi HAM dengan lebih jelas dan konkret,
Masalah demokratisasi tidak dapat dilepaskan dari derajat
implementasi HAM. Oleh karena itu, sudah waktunya implemtasi
HAM tersebut diwujudkan secara jelas dan konkret. Hal tersebut
dapat dimulai dengan penyelenggaraan pemilihan Umum yang bebas
dan kompetitif, dengan memberikan peluang terjadinya wacana
publik.
Selain penegakan HAM di bidang politik Indonesia juga harus
mencegah terjadinya pelanggaran–pelanggaran HAM seperti yang
terjadi pada masa Orde Baru. Keenam hal yang dipaparkan di atas
menurut Afan Gaffar merupakan langkah yang harus diambil
pemerintah untuk demokratisasi yang ideal, sehingga reformasi yang
dilakukan Mei 1998 tidak sia–sia.
c. Tuntutan–Tuntutan Reformasi (Bidang Politik dan Ekonomi).
1). Reformasi sosial–politik
Pada bidang ini rakyat meminta kepada pemerintah untuk
memperbaharui sistem politik yang ada secara menyeluruh.
8
Reformasi secara menyeluruh diartikan sebagai segenap perubahan
sistem atau kehidupan politik, baik berupa aspek atau unsur–unsur
yang berarti bahwa reformasi politik menyangkut aspek kultur,
struktur, proses dan produksi.
Dari kehidupan politik Indonesia yang diberlakukan saat ini.
Berarti pula bahwa idiologi, konstitusi, penguasa eksekutif,
legislatif, yudikatif, birokrasi, organisasi politik, organisasi massa
(ORMAS) pola interaksi kekuasaan sampai kepada berbagai
kebijakan publik sebagai unsur politik yang memerlukan
pembaharuan4.
2). Reformasi Ekonomi.
Harus diakui bahwa selama 32 tahun Orde Baru berkuasa,
Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat.
Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi hampir tanpa putus
sejak dimulainya pemerintahan Orde Baru oleh Soeharto pada tahun
1966 (pertumbuhan ekonomi pada masa Orde Baru ini selalu di
topang hutang luar negeri).
Akan tetapi sejak reformasi bergulir maka terlihat bahwa
pertumbuhan ekonomi yang cepat itu hanya bersifat semu belaka.
Salah satunya yang menyebabkan hal ini yaitu terjadinya tindak
KKN yang dilakukan oleh para penguasa dan birokrat.
4 Arbit Sanit, 1998, Reformasi Politik, Jakarta, Pustaka Pelajar, hal 105.
9
Kelemahan ekonomi yang terjadi pada masa Orde Baru ini
mengakibatkan Indonesia menjadi negara yang paling parah saat
krisis moneter menyerang kawasan regional pada tahun 1997 yang
lalu. Kurs mata uang rupiah pun menjadi jatuh dan hutang luar negri
semakin membengkak.
Krisis ekonomi pada akhirnya memunculkan tuntutan adanya
pembaharuan pada bidang ekonomi dengan berpijak pada politik
ekonomi Indonesia sebagai paradigma baru yang harus ditempuh
dalam era reformasi meninggalkan politik ekonomi Orde Baru.
Politik ekonomi yang pertama adalah penghapusan sentralisme
dengan melaksanakan desentralisasi pembagunan melalui otonomi
daerah secara penuh dan luas, melepaskan ketergantungan hutang
luar negeri, dalam hal ini Indonesia telah bertekat mengakhiri
kerjasama dengan IMF (International Monetary Fund).
Pada akhir 2003, melepaskan ketergantungan pada migas kecuali
memproduksinya untuk cadangan nasional. Dengan adanya
reformasi ekonomi diharapkan Indonesia kembali menemukan
format ekonomi yang berpihak kepada rakyat, karena rakyatlah yang
paling merasakan akibat krisis ekonomi tersebut.
10
B. Demokrasi
1. Pengertian Demokrasi
Demokrasi merupakan suatu alternatife yang banyak digunakan oleh
negara–negara yang ada di dunia untuk menjalankan sistem pemerintahan di
suatu negara. Hal ini terjadi karena masyarakat internasional melihat bahwa
demokrasi lebih dapat menjamin keberlangsungan hak asasi manusia,
daripada negara–negara yang menggunakan sistem otoriter maupun totaliter.
Secara umum dapat dikatakan bahwa demokrasi merupakan suatu bentuk
pemerintahan yang akomodatif dan merakyat. Artinya dapat digambarkan
bahwa demokrasi merupakan suatu sistem pemerintahan yang berasal dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Sebelum melihat lebih jauh pengertian demokrasi menurut beberapa tokoh
terlebih dahulu kita melihat pengertian demokrasi di dalam ilmu politik, di
dalam ilmu politik dikenal dua pemahaman tentang demokrasi5 :
a. Demokrasi Normatif (demokrasi sebagai ide)
Dalam pemahaman secara normatif, demokrasi merupakan sesuatu
yang secara ideal hendak dilakukan atau diselenggarakan oleh sebuah
negara, hal ini dapat dilihat dari ungkapan “ pemerintahan dari rakyat,
oleh rakyat dan untuk rakyat “ ungkapan normatif tersebut, diterjemahkan
dalam konstitusi Negara–Negara yang menggunakan sistem demokrasi.
5 Robert A Dahl, 2001, Prihal Demokrasi, Jakarta, Yayasan Obor.
11
Indonesia adalah salah satu Negara yang menggunakan paham
demokrasi, ungkapan normatif tersebut dapat dilihat dalam Undang-
Undang Dasar 1945 Pasal 2 ayat (1) “ kedaulatan berada di tangan rakyat
dan dilaksanakan menurut Undan-undang Dasar”
Pasal 28 E ayat (3) ”setiap orang berhak atas kebebasan berserikat,
berkumpul, dan mengeluarkan pendapat ”
b. Demokrasi Empirik
Dalam ilmu politik demokrasi empirik yaitu demokrasi yang
diterapkan perwujutannya dalam kehidupan politik praktis didalam
sebuah Negara menurut Robert A Dahl6 terdapat 8 indikator untuk melihat
perkembangan demokrasi empirik di dalam suatu negara :
1) Kebebasan menyatakan pendapat
2) Hak memilih dalam pemilihan umum
3) Kebebasan membentuk dan bergabung dalam organisasi
4) Hak untuk menduduki jabatan publik
5) Hak para pemimpin untuk bersaing mendapatkan dukungan dan suara
6) Tersedianya sumber–sumber informasi alternatif
7) Terselenggaranya pemilihan umum
8) Adanya lembaga–lembaga yang menjamin agar public policy
tergantung pada suara dalam pemilihan umum.
6 Robert A Dahl, 2001, Prihal Demokrasi, Jakarta, Yayasan Obor.
12
Secara umum berdasarkan pengertian demokrasi empirik dan 8
indikator demokrasi yang dipaparkan di atas, ada beberapa persyaratan
untuk mengamati apakah sebuah tertib politik itu demokrasi atau tidak,
dengan syarat sebagai berikut:
a) Akuntabilitas
Dalam sistem demokrasi setiap pemegang jabatan harus dapat
mempertanggungjawabkan kebijaksanaanya. Dalam hal ini pemegang
jabatan harus bersedia menghadapi pemeriksaan publik terutama oleh
media massa.
b) Rotasi kekuasaan
Peluang akan terjadinya rotasi (pergantian kekuasaan) harus ada
dan dilakukan secara teratur dan damai. Partai politik yang menang
pemilu akan diberi kesempatan untuk membentuk eksekutif.
c) Rekruitmen politik secara terbuka
Hal ini dimaksudkan untuk memungkinkan terjadinya rotasi
(pergantian kekuasaan) maka harus ada sistem rekruitmen politik yang
terbuka.. Setiap orang yang memenuhi syarat untuk mengisi jabatan
politik yang dipilih oleh rakyat mempunyai peluang yang sama dalam
melakukan kompetisi.
13
d) Menikmati hak–hak dasar
Mengemukakan hak–hak dasar manusia secara bebas. Hak untuk
menyatakan pendapat dapat digunakan untuk menentukan preferensi
politiknya tentang suatu masalah.
e) Pemilihan umum
Pemilihan umum dilaksanakan secara teratur, luber dan jurdil.
Setiap warga negara dapat menggunakan hak pilihnya untuk ikut
dalam pemilu, Jika dilihat dari indikator–indikator di atas dapat
disimpulkan bahwa pilar–pilar untuk menegakkan demokrasi adalah
infra struktur politik (partai politik, oraganisasi masa, kelompok
kepentingan, kelompok penekan dan media massa) yang berperan
penuh dalam melakukan kontrol terhadap jalannya suatu demokrasi.
Untuk memahami lebih jauh apa yang dimaksud dengan demokrasi, perlu
dilihat beberapa definisi megenai demokrasi dari beberapa tokoh dunia,
diantaranya :
Schumpeter . Menurut schunpeter demokrasi adalah suatu pengaturan kelembagaan untuk mencapai keputusan – keputusan politik dimana individu – individu melaluai perjuangan memperebutkan suara rakyat pemilih, memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan. Diamon, linz, dan lipset . Menurut mereka demokrasi adalah suatu sistem yang memenuhi 3 syarat – syarat utama : 1. kompetisi
14
2. Partisipasi politik 3. Suatu tingkat kebebasan sipil dan politik
Marx Marx mendefinisikan demokrasi berbeda dari tokoh – tokoh demokrasi yang lain menurut Marx demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan dimana kelas proletar yang berkuasa menjalankan kekuasaan atas nama rakyat dan untuk kepentingan rakyat7. Soekarno Menurut sukarno demokrasi adalah ”pemerintahan rakyat” cara pemerintahan ini memberi hak kepada semua rakyat untuk ikut memerintah8.
2. Sejarah Demokrasi
Pada permulaan pertumbuhannya demokrasi telah mencakup beberapa asas
dan nilai yang diwariskan kepadanya dari masa yang lampau, yaitu gagasan
mengenai demokrasi dari kebudayaan Yunani Kuno dan gagasan mengenai
kebebasan beragama yang dihasilkan oleh aliran reformasi serta perag agama
yang menyusulnya.
Sistem demokrasi yang terdapat di negara-kota (city-state) Yunani Kuno
(abad ke-6 sampai abad ke-3 S.M.) merupakan demokrasi langsung (direct
democracy), yaitu suatu bentuk pemerintahan di mana hak untuk membuat
keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga
negara yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas.
Sifat langsung dari demokrasi Yunani dapat diselenggarakan secara efektif
karena berlangsung dalam kondisi yang sederhana, wilayahnya terbatas
7 Dikutip dalam manifesto komunis. 8 Sukarno, 1965, Di bawah Bendera Revolusi, Jilid Pertama, Jakarta, Dewan Pertimbangan
Agung, hlm 171.
15
(negara terdiri dari kota dan daerah sekitarnya) serta jumlah penduduk sedikit.
Lagi pula, ketentuan-ketentuan demokrasi hanya berlaku untuk warga negara
yang resmi, yang hanya merupakan bagian kecil saja dari penduduk. Untuk
mayoritas yang terdiri atas budak belian dan pedagang asing demokrasi tidak
berlaku. Dalam negara modern demokrasi tidak lagi bersifat langsung, tetapi
merupakan demokrasi berdasarkan perwakilan (representative democracy).
Gagasan demokrasi Yunani boleh dikatakan hilang dari muka dunia Barat
waktu bangsa Romawi, yang sedikit banyak masih kenal kebudayaan Yunani,
dikalahkan oleh suku bangsa Eropa Barat dan benua Eropa memasuki Abad
Pertengahan (600-1400).
Masyarakat Abad Pertengahan dicirikan oleh struktur sosial yang feodal
(hubungan antara vassal dan lord); yang kehidupan sosial serta spiritualnya
dikuasai oleh Paus dan pejabat-pejabat agama lainnya, yang kehidupan
politiknya ditandai oleh perebutan kekuataan antara para bangsawan satu
sama lain.
Dilihat dari sudut perkembangan demokrasi Abad Pertengahan
menghasilkan suatu dokumen yang penting, yaitu Magna Charta (Piagam
Besar) (1215). Magna Charta merupakan semi kontrak antara beberapa
bangsawan dan Raja John dari Inggris di mana untuk pertama kali seorang
raja yang berkuasa mengikatkan diri untuk mengakui dan menjamin beberapa
hak dan priveleges dari bawahannya sebagai imbalan untuk penyerahan dana
bagi keperluan perang dan sebagainya. Walaupun piagam ini lahir dalam
16
suasana feodal dan tidak berlaku untuk rakyat jelata, namun dianggap sebagai
tonggak dalam perkembangan gagasan demokrasi.
Sebelum Abad Pertengahan berakhir dan pada permulaan abad ke-16 di
Eropa Barat muncul negara-negara nasional (national state) dalam bentuk
yang modern. Eropa Barat mengalami beberapa perubahan sosial dan kultural
yang mempersiapkan jalan untuk memasuki zaman yang lebih modern di
mana akal dapat memerdekakan diri dari pembatasan-pembatasannya.
Dua kejadian ini ialah Renaissance (1350-1600) yang terutama
berpengaruh di Eropa Selatan seperti Italia, dan Reformasi (1500-1650) yang
mendapat banyak pengikutnya di Eropa Utara, seperti di Jerman dan Swiss.
Renaissance adalah aliran yang menghidupkan kembali minat kesusastraan
dan kebudayaan Yunani Kuno yang selama Abad Pertengahan telah
disisihkan. Aliran ini membelokkan perhatian yang terjadinya semata-mata
diarahkan kepada tulisan-tulisan keagamaan ke arah soal-soal keduniawian
dan mengakibatkan timbulnya pendangan-pandangan baru.
Reformasi serta perang-perang agama yang menyusul akhirnya
menyebabkan manusia berhasil melepaskan diri dari penguasaan Gereja, baik
di bidang spiritual dalam bentuk dogma, maupun di bidang sosial dan politik.
Hasil dari pergumulan ini ialah timbulnya gagasan mengenai perlunya ada
kebebasan beragama serta ada garis pemisah yang tegas antara soal-soal
agama dan soal-soal keduniawian, khususnya di bidang pemerintahan. Ini
dinamakan ’Pemisahan antara Gereja dan Negara’
17
Kedua aliran pikiran yang tersebut di atas mempersiapkan orang Eropa
Barat untuk, menyelami masa Aufklarung (Abad Pemikiran) beserta
Rasionalisme, suatu aliran pikiran yang ingin memerdekakan pikiran manusia
dari batas-batas yang ditentukan oleh Gereja dan mendasarkan pemikiran atas
akal (ratio) semata-mata.
Kebebasan berpikir membuka jalan untuk meluaskan gagasan ini di bidang
politik. Kemudian timbullah gagasan bahwa manusia mempunyai hak-hak
politik yang tidak boleh diselewengkan oleh raja dan mengakibatkan
dilontarkannya kecaman-kecaman terhadap raja, yang menurut pola yang
sudah lazim pada masa itu mempunyai kekuasaan tak terbatas.
Monarki-monarki absolut ini telah muncul dalam masa 1500-1700,
sesudah berakhirnya Abad Pertengahan. Raja-raja absolut menganggap
dirinya berhak atas tahtanya berdasarkan konsep Hak Suci Raja (Divine Right
of Kings). Raja-raja yang terkenal di Spanyol ialah Isabella dan Ferdinand
(1479-1516), sedangkan di Prancis raja-raja Bourbon dan sebagainya.
Kecaman-kecaman yang dilontarkan terhadap gagasan absolutisme
mendapat dukungan kuat dari golongan menengah (middle class) yang mulai
berpengaruh berkat majunya kedudukan ekonomi serta mutu pendidikannya.
Pendobrakan terhadap kedudukan raja-raja absolut ini didasarkan atas
suatu teori rasionalitas yang umumnya dikenal sebagai social contract
(kontrak sosial). Salah satu asas dari gagasan kontrak sosial ialah bahwa dunia
dikuasai oleh hukum yang imbul dari alam (nature) yang mengandung
18
prinsip-prinsip keadilan yang universal; artinya berlaku untuk semua waktu
serta semua manusia, apakah ia raja, bangsawan, atau rakyat jelata. Hukum ini
dinamakan Hukum alam (Natural Law, ius naturale).
Unsur universalisme inilah yang diterapkan pada masalah-masalah politik.
Teori kontrak sosial beranggapan bahwa hubungan antara raja dan rakyat
didasari oleh suatu kontrak yang ketentuan-ketentuannya mengikat kedua
belah pihak.
Kontrak sosial menentukan di satu pihak bahwa raja diberi kekuasaan oleh
rakyat untuk menyelenggarakan penertiban dan menciptakan suasana di mana
rakyat dapat menikmati hak-hak alamnya (natural rights) dengan aman. Di
pihak lain rakyat akan menaati pemerintahan raja asal hak-hak alam itu
terjamin.
Pada hakikatnya toeri-teori kontrak sosial merupakan usaha untuk
mendobrak dasar dari pemerintahan absolut dan menetapkan hak-hak politik
rakyat. Filsuf-filsuf yang mencetuskan gagasan ini antara lain John Locke dari
Inggris (1632-1704) dan Montesquieu dari Prancis (1689-1755).
Menurut John Locke hak-hak politik mencakup hak atas hidup, hak atas
kebebasan, dan hak untuk mempunyai milik (life, liberty dan property).
Montesquieu mencoba menyusun suatu sistem yang dapat menjamin hak-hak
politik itu, yang kemudian dikenal dengan istilah Trias Politika. Ide-ide
bahwa manusia mempunyai hak-hak politik menimbulkan revolusi Prancis
pada akhir abad ke-18, serta Revolusi Amerika melawan Inggris.
19
Sebagai akibat dari pergolakan tersebut, maka pada akhir abad ke-19
gagasan mengenai demokrasi mendapat wujud yang konkret sebagai program
dan sistem politik. Demokrasi pada tahap ini semata-mata bersifat politis dan
mendasarkan dirinya atas asas-asas kemerdekaan individu kesamaan hak
(equal rights), serta hak pilih untuk semua warga negara (universal suffrage)9.
3. Perkembangan Demokrasi di Indonesia
Tumbangnya Orde Baru membuka peluang terjadinya reformasi politik
dan demokratisasi di Indonesia. Pengalaman Orde Baru mengajarkan kepada
bangsa Indonesia bahwa pelanggaran terhadap demokrasi membawa
kehancuran bagi negara dan penderitaan rakyat. Oleh karena itu bangsa
Indonesia bersepakat untuk sekali lagi melakukan demokratisasi, yakni proses
pendemokrasian sistem politik.
Indonesia sehingga kebebasan rakyat terbentuk (kebebasan berserikat,
kebebasan berpendapat, dan kebebasan untuk berpolitik), kedaulatan rakyat
dapat ditegakkan, dan pengawasan terhadap lembaga eksekutif dapat
dilakukan oleh lembaga wakil rakyat (DPR).
Presiden Habibie yang dilantik sebagai presiden untuk menggantikan
Presiden Soeharto dapat dianggap sebagai presiden yang akan memulai
langkah-langkah demokratisasi dalam Orde Reformasi. Oleh karena itu,
9 Miriam Budiarjo, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, hlm,108.
20
langkah yang dilakukan pemerintahan Habibie adalah mempersiapkan pemilu
dan melakukan beberapa langkah penting dalam demokratisasi.
UU politik yang meliputi UU Partai Politik, UU Pemilu, dan UU Susunan
dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD yang baru disahkan pada awal 1999.
UU politik ini jauh lebih demokratis dibandingkan dengan UU politik
sebelumnya sehingga Pemilu 1999 menjadi pemilu yang demokratis yang
diakui oleh dunia internasional.
Pada masa pemerintahan Habibie juga terjadi demokratisasi yang tidak
kalah pentingnya, yaitu penghapusan dwifungsi ABRI sehingga fungsi sosial-
politik ABRI (sekarang TNI atau Tentara Nasional Indonesia) dihilangkan.
Fungsi pertahanan menjadi fungsi satu-satunya yang dimiliki TNI semenjak
reformasi internal TNI tersebut.
Langkah terobosan yang dilakukan dalam proses demokratisasi adalah
amandemen UUD 1945 yang dilakukan oelh MPR hasil pemilu 1999 dalam
empat tahap selama empat tahun (1999-2002). Beberapa perubahan penting
dilakukan terhadap UUD 1945 agar 1945 mampu menghasilkan pemerintahan
yang demokratis.
Peranan DPR sebagai lembaga legislatif diperkuat, semua anggota DPR
dipilih dalam pemilu, pengawasan terhadap presiden lebih diperketat, dan hak
asasi manusia memperoleh jaminan yang semakin kuat. Amandemen UUD
1945 juga memperkenalkan pemilihan umum unuk memilih presiden dan
21
wakil presiden secara langsung (pilpres). Pilpres pertama dilakukan pada
tahun 2004 setelah pemilihan umum untuk lembaga legislatif.
Langkah demokratisasi berikutnya adalah pemilihan umum untuk memilih
kepala daerah secara langsung (pilkada) yang diatur dalam UU No. 32 tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini mengharuskan semua kepala
daerah di seluruh Indonesia dipilih melalui pilkada mulai pertengahan 2005.
Semenjak itu, semua kepala daerah yang telah habis masa jabatannya harus
dipilih melalui pilkada. Pilkada bertujuan untuk menjadikan pemerintah
daerah lebi demokratis dengan diberikan hak bagi rakyat untuk menentukan
kepala daerah. Hal ini tentu saja berbeda dengan pemilihan kepala daerah
sebelumnya yang bersifat tidak langsung karena dipilih oleh DPRD.
Pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilihan presiden pada tahun 2004
merupakan tonggak sejarah politik penting dalam sejarah politik Indonesia
modern karena terpilihnya presiden dan wakil presiden yang didahului oleh
terpilihnya anggota-anggota DPR, DPD (Dewan Perwakilan Daerah), dan
DPRD telah menuntaskan demokratisasi di bidang lembaga-lembaga politik di
Indonesia.
Dapat dikatakan bahwa demokratisasi telah berhasil membentuk
pemerintah Indonesia yang demokratis karena nilai-nilai demokrasi yang
penting telah diterapkan melalui pelaksanana peraturan perundangan mulai
dari UUD 1945. Memang benar bahwa demokratisasi adalah proses tanpa
akhir karena demokrasi adalah sebuah kondisi yang tidak pernah terwujud
22
secara tuntas. Namun dengan adanya perubahan-perubahan tadi, demokrasi di
Indonesia telah mempunyai dasar yang kuat untuk berkembang.
C. Partai Politik
1. Definisi Partai Politik
Partai politik berangkat dari anggapan bahwa dengan membentuk wadah
organisasi mereka bisa menyatukan orang-orang yang mempunyai pikiran
serupa sehingga pikiran dan orientasi mereka bisa dikonsolidasikan. Dengan
begitu pengaruh mereka bisa lebih besar dalam pembuatan dan pelaksanaan
keputusan.
Secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu kelompok
terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan
cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan
politik dan merebut kedudukan politik (biasanya) dengan cara konstitusional –
untuk melaksanakan programnya.
Banyak sekali definisi mengenai partai politik yang dibuat oleh para
sarjana. Di bagian ini dipaparkan beberapa contoh definisi yang dibuat para
ahli ilmu klasik dan kontemporer.
Carl J. Friendrich menuliskan sebagai berikut :
Partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini, memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil serta materil.10
10 Miriam Budiardjo, op.cit hlm. 404.
23
Sigmund Neumenn mendefinisikan sebagai berikut :
Partai politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintah serta merebut dukungan rakyat melalui persaingan dengan suatu golongan atau golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda.11
Menurut Neumann, partai politik merupakan perantara yang besar yang
menghubungkan kekuatan-kekuatan dan ideologi sosial dengan lembaga-
lembaga pemerintah yang resmi.
Ahli lain yang juga turut merintis studi tentang kepartaian dan membuat
definisinya adalah Giovanni Sartori, yang karyanya juga menjadi klasik serta
acuan penting. Menurut Sartori :
Partai politik adalah suatu kelompok politik yang mengikuti pemilihan umum dan, melalui pemilihan umum itu, mampu menempatkan calon –calonnya untuk menduduki jabatan-jabatan publik.12
2. Sejarah Partai Politik
Partai politik pertama–tama lahir di Negara–Negara Eropa Barat.
Kelahiran partai–partau politik ini diawali dengan gagasan bahwa rakyat
merupakan faktor yang perlu diperhitungkan serta diikutsertakan dalam proses
politik, maka berdasarkan kondisi inilah salah satu fungsi partai politik yang
paling pokok yaitu sebagai penghubung antara rakyat di satu pihak dan
pemerintah di pihak lain.
11 Miriam Budiardjo, loc.cit. 12 Miriam Budiardjo, loc.cit.
24
Pada awal perkembangannya, pada akhir abad-18 di negara – negara eropa
barat seperti Inggris dan Prancis, kegiatan politik dipusatkan pada kelompok–
kelompok politik dalam parlemen. Kegiatan ini mula–mula bersifat elitis dan
aristokratis, mempertahankan kepentingan kaum bangsawan terhadap
tuntutan–tuntutan raja.
Sesuai perjalanan waktu dan perkembangan eskalasi politik pada masa ini,
hak pilih merupakan suatu hak yang mutlak yang diinginkan oleh masyarakat
pada masa ini, sehingga kegiatan politik bukan hanya terkonsentrasi pada
parlemen tetapi kegiatan politik juga berkembang di luar parlemen dengan
terbentuknya panitia–panitia pemilihan yang mengatur pengumpulan suara
para pendukungnya menjelang masa pemilihan umum.
Berdasarkan hal di atas maka masyarakat menjadi suatu basis masa yang
berperan penting didalam pemilihan umum dan sekaligus masyarakat
berperan penting didalam memberikan dukungan kepada elit–elit politik yang
ada pada masa itu. Maka dari itu kelompok–kelompok politik di parlemen
lambat laun juga berusaha mengembangkan organisasi massa. Sehingga pada
akhir abad ke-19 lahirlah partai politik, yang pada masa selanjutnya
berkembang menjadi penghubung (link) antara rakyat di satu pihak dan
pemerintah di pihak lain.
Di akhir abad ke19 sampai sekarang partai politik dijadikan suatu syarat
mutlak di dalam sebuah Negara karena partai politik merupakan salah satu
25
wujud dari kebebasan berserikat yang merupakan bagian dari hak asasi
manusia.
3. Klasifikasi Sistem Kepartai
Untuk melihat bentuk sistem kepartaian yang dianut masing – masing
Negara yang ada di dunia ini maka menurut beberapa sarjana menganggap
perlu analisis ini ditambah dengan meneliti perilaku partai-partai sebagai
bagian dari suatu sistem, yaitu bagaimana partai politik berinteraksi satu sama
lain dan berinteraksi dengan unsur-unsur lain dari sistem itu.
Analisis semacam ini yang dinamakan “sistem kepartaian” (party systems)
pertama kali dibentangkan oleh Maurice Duverger. Duverger mengadakan
klasifikasi menurut tiga kategori, yaitu sistem partai-tunggal, sistem dwi-
partai, dan sistem multi partai.
a. Sistem Partai-Tunggal
Ada sementara pengamat yang berpendapat bahwa istilah sistem partai-
tunggal merupakan istilah yang menyangkal diri sendiri (contradictio in
terminis) sebab suatu sistem selalu mengandung lebih dari satu bagian.
Namun demikian, istilah ini telah tersebar luas di kalangan masyarakat
dan dipakai baik untuk partai yang benar-benar merupakan satu-satunya
partai dalam suatu negara maupun untuk partai yang mempunyai
kedudukan dominan diantara beberapa partai lain. Dalam kategori terakhir
terdapat banyak variasi.
26
Pola partai-tunggal terdapat di beberapa negara : Afrika, China, dan
Kuba, sedangkan dalam masa jayanya Uni Soviet dan beberapa negara
Eropa Timur termasuk dalam kategori ini. Suatu kepartaian dinamakan
non kompetitif karena semua partai harus menerima pimpinan dari partai
yang dominan, dan tidak dibenarkan bersaing dengannya.
Terutama di negara-negara yang baru lepas dari kolonialisme ada
kecenderungan kuat untuk memakai pola sistem partai tunggal karena
pimpinan (sering seorang pemimpin yang karismatik) dihadapkan dengan
masalah bagaimana mengintegrasikan berbagai golongan, daerah, serta
suku bangsa yang berbeda corak sosial serta pandangan hidupnya.
Dikhawatirkan bahwa bila keanekaragaman sosial dan budaya ini tidak
diatur dengan baik akan terjadi gejolak-gejolak sosial politik yang
menghambat usaha pembangunan. Padahal pembangunan itu harus
memfokuskan diri pada suatu program ekonomi yang future-oriented.
Fungsi partai adalah meyakinkan atau memaksa masyarakat untuk
menerima persepsi pimpinan partai mengenai kebutuhan utama dari
masyarakat seluruhnya. Dewasa ini banyak negara Afrika pindah ke
sistem Multi-Partai.
Negara yang paling berhasil dalam menyingkirkan partai-partai lain
ialah Uni Soviet pada masa jayanya. Partai komunis Uni Soviet bekerja
dalam suasana yang non-kompetitif tidak ada partai lain yang
diperbolehkan bersaing oposisi dianggap sebagai pengkhianatan. Partai-
27
Tunggal serta organisasi yang bernaung di bawahnya berfungsi sebagai
pembimbing dan penggerak masyarakat dan menekankan perpaduan dari
kepentingan partai dengan kepentingan rakyat secara menyeluruh.
Di Indonesia pada tahun 1945 ada usaha mendirikan partai-tunggal
sesuai dengan pemikiran yang pada saat itu banyak dianut di negara-
negara yang baru melepaskan diri dari rezim kolonial. Diharapkan partai
itu akan menjadi “motor perjuangan’. Akan tetapi sesudah beberapa bulan
usaha itu dihentikan sebelum terbentuk secara konkret. Penolakan ini
antara lain disebabkan karena dianggap berbau fasis.
b. Sistem Dwi-Partai
Dalam kepustakaan ilmu politik pengertian sistem dwi-partai biasanya
diartikan bahwa ada dua partai diantara beberapa partai, yang berhasil
memenangkan dua tempat teratas dalam pemilihan umum secara
bergiliran, dan dengan demikian mempunyai kedudukan dominan.
Dewasa ini hanya beberapa negara yang memiliki ciri-ciri sistem dwi-
partai, yaitu Inggris, Amerika Serikat, Filipina, Kanada, dan Selandia
Baru. Oleh Maurice Duverger malahan dikatakan bahwa sistem ini adalah
khas Anglo Saxon.
Dalam sistem ini partai-partai dengan jelas dibagi dalam partai yang
berkuasa (karena menang dalam pemilihan umum) dan partai oposisi
(karena kalah dalam pemilihan umum). Dengan demikian jelaslah dimana
letak tanggung jawab mengenai pelaksanaan kebijakan umum.
28
Dalam sistem ini partai yang kalah berperan sebagai pengecam utama
tapi yang setia (loyal opposition). Terhadap kebijakan partai yang duduk
dalam pemerintahan, dengan pengertian bahwa peran ini sewaktu-waktu
dapat bertukar tangan. Dalam persaingan memenangkan pemilihan umum
kedua partai berusaha untuk merebut dukungan orang-orang yang ada di
tengah dua partai dan yang sering dinamakan pemilih terapung (floating
vote) atau pemilih di tengah (median vote).
Sistem dwi-partai pernah disebut a convenient system for contented
people dan memandang kenyataannya ialah bahwa sistem dwi-partai dapat
berjalan baik apabila terpenuhi tiga syarat, yaitu komposisi masyarakat
bersifat homogen (social homogeneity), adanya konsensus kuat dalam
masyarakat mengenai asas dan tujuan sosial dan politik (Political
consensus), dan adanya kontinuitas sejarah (historical continuity).
Inggris biasanya digambarkan sebagai contoh yang paling ideal dalam
menjalankan sistem dwi-partai ini. Partai buruh dan Partai Konservatif
boleh dikatakan tidak mempunyai pandangan yang banyak berbeda
mengenai asas dan tujuan politik, dan perubahan pimpinan umumnya
tidak terlalu mengganggu kontinuitas kebijakan pemerintah. Perbedaan
yang pokok antara kedua partai hanya berkisar pada cara serta kecepatan
melaksanakan berbagai program pembaharuan yang menyangkut masalah
sosial, perdagangan, dan industri.
29
Partai buruh lebih condong agar pemerintah melaksanakan
pengendalian dan pengawasan terutama di bidang ekonomi, sedangkan
partai konservatif cenderung memilih cara-cara kebebasan berusaha.
Di samping kedua partai ini, ada beberapa partai kecil lainnya,
diantaranya Partai Liberal Demokrat. Pengaruh partai ini biasanya
terbatas, tetapi kedudukannya berubah menjadi sangat krusial pada saat
perbedaan dalam perolehan suara dari kedua partai besar dalam pemilihan
umum sangat kecil. Dalam situasi seperti partai pemenang terpaksa
membentuk koalisi dengan Partai Liberal demokrat atau partai kecil
lainnya.
Pada umumnya dianggap bahwa sistem dwi-partai lebih kondusif untuk
terpeliharanya stabilitas karena ada perbedaan yang jelas antara partai
pemerintah dan partai oposisi. Akan tetapi perlu juga diperhatikan
peringatan sarjana ilmu politik Robert Dahl bahwa dalam masyarakat yang
terpolarisasi sistem dwi-partai malahan dapat mempertajam perbedaan
pandangan antara kedua belah pihak, karena tidak ada kelompok di
tengah-tengah yang dapat meredakan suasana konflik.13
Sistem dwi-partai umumnya diperkuat dengan digunakannya sistem
pemilihan single-member constituency (Sistem Distrik) dimana dalam
setiap daerah pemilihan hanya dapat dipilih satu wakil saja. Sistem
13 Robert A. Dahl, Political Oppositions in Western Demokracy (New Haven, Connecticut:
Yale university Press 1966) hlm. 394.
30
pemilihan ini cenderung menghambat pertumbuhan partai kecil, sehingga
dengan demikian memperkokoh sistem dwi-partai.14
Di Indonesia pada tahun 1968 ada usaha untuk menggantikan sistem
multi-partai yang telah berjalan lama dengan sistem dwi-partai, agar
sistem ini dapat membatasi pengaruh partai-partai yang telah lama
mendominasi kehidupan politik.
Beberapa ekses dirasakan menghalangi badan eksekutif untuk
menyelenggarakan pemerintahan yang baik. Akan tetapi eksperimen dwi-
partai ini, sesudah diperkenalkan di beberapa wilayah, ternyata mendapat
tantangan dari partai-partai yang merasa terancam eksistensinya. Akhirnya
gerakan ini dihentikan pada tahun 1969.
c. Sistem Multi-Partai
Umumnya dianggap bahwa keanekaragaman budaya politik suatu
masyarakat mendorong pilihan ke arah sistem multi-partai. Perbedaan
tajam antara ras, agama, atau suku bangsa mendorong golongan-golongan
masyarakat lebih cenderung menyalurkan ikatan-ikatan terbatasnya
(primordial) dalam satu wadah yang sempit saja. Dianggap bahwa pola
multi-partai lebih sesuai dengan pluralitas budaya dan politik daripada
pola dwi-partai.
Sistem multi-partai ditemukan antara lain di Indonesia, Malaysia,
Nederland, Australia, Prancis, Swedia, dan Federasi Rusia. Prancis
14 Miriam Budiardjo, op.cit hlm 418.
31
mempunyai jumlah partai yang berkisar antara 17 dan 28, sedangkan di
Federasi Rusia sesudah jatuhnya Partai Komunis jumlah partai mencapai
43.
Sistem multi-partai, apalagi jika dihubungkan dengan sistem
pemerintahan parlementer, mempunyai kecenderungan untuk
menitikberatkan kekuasaan pada badan legislatif, sehingga peran badan
eksekutif sering lemah dan ragu-ragu. Hal ini sering disebabkan karena
tidak ada satu partai yang cukup kuat untuk membentuk suatu
pemerintahan sendiri, sehingga terpaksa membentuk koalisi dengan
dengan partai-partai lain.
Keadaan semacam ini partai yang berkoalisi harus selalu mengadakan
musyawarah dan kompromi dengan mitranya dan menghadapi
kemungkinan bahwa sewaktu-waktu dukungan dari partai yang duduk
dalam koalisi akan ditarik kembali, sehingga mayoritasnya dalam
parlemen hilang.
Di lain pihak, partai-partai oposisi pun kurang memainkan peranan
yang jelas karena sewaktu-waktu masing-masing partai dapat diajak untuk
duduk dalam pemerintahan koalisi baru. Hal semacam ini menyebabkan
sering terjadinya siasat yang berubah-ubah menurut kegentingan situasi
yang dihadapi partai masing-masing. Lagi pula, seringkali partai-partai
oposisi kurang mampu menyusun suatu program alternatif bagi
32
pemerintah. Dalam sistem semacam ini masalah letak tanggung jawab
menjadi kurang jelas.
Dalam situasi dimana terdapat satu partai yang dominan, stabilitas
politik dapat lebih dijamin. India di masa lampau sering dikemukakan
sebagai negara yang didominasi satu partai Kongres. Partai ini mulai dari
zaman kemerdekaan menguasai kehidupan politik India.
Jumlah wakilnya dalam dewan perwakilan rakyat pada saat itu
melebihi jumlah total wakil partai-partai lainnya, dan karena itu sering
disebut sistem satu setengah partai (one and a half party system).
Sekalipun partai kongres mengalami kemunduran sesudah pemilihan
umum 1967, namun ia berhasil memerintah India sampai tahun 1977.
Akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa pemerintahan koalisi selalu
lemah. Belanda, Norwegia, dan Swedia merupakan contoh dari
pemerintah yang dapat mempertahankan stabilitas dan kontinuitas dalam
kebijakan publiknya. Pola multi-partai umumnya diperkuat oleh sistem
pemilihan perwakilan Berimbang (Proportional representation) yang
memberi kesempatan luas bagi pertumbuhan partai-partai dan golongan-
golongan baru.15 Melalui sistem perwakilan Berimbang partai-partai kecil
dapat menarik keuntungan dari ketentuan bahwa kelebihan suara yang
diperolehnya di suatu daerah pemilihan dapat ditarik ke daerah pemilihan
15 Miriam Budiardjo, op.cit hlm 420.
33
lain untuk menggenapkan jumlah suara yang diperlukan guna
memenangkan satu kursi.
Indonesia mempunyai sejarah panjang dengan berbagai jenis sistem
multi-partai. Sistem ini telah melalui beberapa tahap dengan bobot
kompetetif yang berbeda-beda. Mulai 1989 Indonesia hingga saat ini
berupaya untuk mendirikan suatu sistem multi-partai yang mengambil
unsur–unsur positif dari pengalaman masa lalu sambil menghidari unsur
negatifnya.
4. Fungsi Partai Politik
a. Sebagai Sarana Komunikasi Politik
Di masyarakat modern yang luas dan kompleks, banyak ragam
pendapat dan aspirasi yang berkembang. Pendapat atau aspirasi seseorang
atau suatu kelompok akan hilang tak berbekas seperti suara di padang
pasir, apabila tidak ditampung dan digabung dengan pendapat dan aspirasi
orang lain yang senada. Proses ini dinamakan penggabungan kepentingan
(interest aggregation). Sesudah digabungkan, pendapat dan aspirasi tadi
diolah dan dirumuskan dalam bentuk yang lebih teratur. Proses ini
dinamakan perumusan kepentingan (interest articulation).
Seandainya tidak ada yang mengagregasikan dan mengartikulasikan,
niscaya pendapat atau aspirasi tersebut akan simpang siur dan saling
berbenturan, sedangkan dengan agregasi dan artikulasi kepentingan
34
kesimpangsiuran dan benturan dikurangi. Agregasi dan artikulasi itulah
salah satu fungsi komunikasi partai politik.
Setelah itu partai politik merumuskan menjadi usul kebijakan. Usul
kebijakan ini dimasukkan ke dalam program atau plat from partai (goal
formulation) untuk diperjuangkan atau disampaikan melalui parlemen
kepada pemerintah agar dijadikan kebijakan umum (public politicy).
Demikianlah tuntutan dan kepentingan masyarakat disampaikan kepada
pemerintah melalui partai politik.
Di sisi lain, partai politik juga berfungsi memperbincangkan dan
menyebarluaskan rencana-rencana dan kebijakan-kebijakan pemerintah.
Dengan demikian terjadi arus informasi dan dialog dua arah, dari atas ke
bawah dan dari bawah ke atas. Dalam pada itu partai politik memainkan
peran sebagai penghubung antara yang memerintah dan yang diperintah.
Peran partai sebagai jembatan sangat penting, karena di satu pihak
kebijakan pemerintah perlu dijelaskan kepada semua kelompok
masyarakat, dan di pihak lain pemerintah harus tanggap terhadap tuntutan
masyarakat.
Dalam menjalankan fungsi inilah partai politik sering disebut sebagai
perantara (broken) dalam suatu bursa ide-ide (clearing house of ideas).
Kadang-kadang juga dikatakan bahwa partai politik bagi pemerintah
bertindak sebagai alat pendengaran, sedangkan bagi warga masyarakat
sebagai “pengeras suara”
35
Menurut Sigmund Neumann dalam hubungannya dengan komunikasi
politik, partai politik merupakan perantara yang besar yang
menghubungkan kekuatan-kekuatan dan ideologi sosial dengan lembaga
pemerintah yang resmi dan yang mengaitkan dengan aksi politik di dalam
masyarakat politik yang lebih luas. 16
Akan tetapi sering terdapat gejala bahwa pelaksanaan fungsi
komunikasi ini, sengaja atau tidak sengaja, menghasilkan informasi yang
berat sebelah dan malahan menimbulkan kegelisahan dan keresahaan
dalam masyarakat. Misi informasi semacam itu menghambat
berkembangnya kehidupan politik yang sehat.
b. Sebagai Sarana Sosialisasi Politik
Dalam ilmu politik diartikan sebagai suatu proses yang melaluinya
seseorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena politik,
yang umumnya berlaku dalam masyarakat dimana ia berada. Ia adalah
bagian dari proses yang menentukan sikap politik seseorang, misalnya
mengenai nasionalisme, kelas sosial, suku bangsa, ideologi, hak dan
kewajiban.
Dimensi lain dari sosialisasi politik adalah sebagai proses yang
melaluinya masyarakat menyampaikan “budaya politik” yaitu norma-
norma dan nilai-nilai, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dengan
16 Miriam Budiardjo, op.cit hlm 406.
36
demikian sosialisasi politik merupakan faktor penting dalam terbentuknya
budaya politik (political culture) suatu bangsa.
Suatu definisi yang dirumuskan oleh seorang ahli sosiologi Politik M.
Rush (1992):
Sosialisasi politik adalah proses yang melaluinya orang dalam masyarakat tertentu belajar mengenali sistem politiknya. Proses ini sedikit banya menentukan persepsi dan reaksi mereka terhadap fenomena politik.
Proses sosialisasi berjalan seumur hidup, terutama dalam masa kanak-
kanak. Ia berkembang melalui keluarga, sekolah, peer group, tempat
kerja, pengalaman sebagai orang dewasa, organisasi keagamaan, dan
partai politik. Ia juga menjadi penghubung yang mensosialisasikan nilai-
nilai politik generasi yang satu ke generasi yang lain.
Di sinilah letaknya partai dalam memainkan peran sebagai sarana
sosialisasi politik. Pelaksanaan fungsi sosialisasinya dilakukan melalui
berbagai cara yaitu media massa, ceramah-ceramah, penerangan, kursus
kader, penataran, dan sebagainya.
Sisi lain dari fungsi sosialisasi politik partai adalah upaya menciptakan
citra (image) bahwa ia memperjuangkan kepentingan umum. Ini penting
jika dikaitkan dengan tujuan partai untuk menguasai pemerintahan melalui
kemenangan dalam pemilihan umum. Karena itu partai harus memperoleh
dukungan seluas mungkin, dan partai berkepentingan agar para
pendukungnya mempunyai solidaritas yang kuat dengan partainya.
37
Ada lagi yang lebih tinggi nilainya apabila partai politik dapat
menjalankan fungsi sosialisasi yang satu ini, yakni mendidik anggota-
anggotanya menjadi manusia yang sadar akan tanggung jawabnya sebagai
warga negara dan menempatkan kepentingan sendiri di bawah
kepentingan nasional.
Secara khusus perlu disebutkan di sini bahwa di negara-negara yang
baru merdeka, partai-partai politik juga dituntut berperan memupuk
identitas nasional dan integrasi nasional. Ini adalah tugas lain dalam
kaitannya dengan sosialisasi politik.
Namun, tidak dapat disangkal adakalanya partai mengutamakan
kepentingan partai atas kepentingan nasional. Loyalitas yang diajarkan
adalah loyalitas kepada partai, yang melebihi loyalitas kepada negara.
Dengan demikian ia mendidik pengikut-pengikutnya untuk melihat
dirinya dalam konteks yang sangat sempit. Pandangan ini malahan dapat
mengakibatkan pengotakan dan tidak membantu proses integrasi, yang
bagi negara-negara berkembang menjadi begitu penting.
c. Sebagai Sarana Rekrutmen politik
Fungsi ini berkaitan erat dengan masalah seleksi kepemimpinan, baik
kepemimpinan internal partai maupun kepemimpinan nasional yang lebih
luas. Untuk kepentingan internalnya, setiap partai butuh kader-kader yang
berkualitas, karena hanya dengan kader yang demikian ia dapat menjadi
partai yang mempunyai kesempatan lebih besar untuk mengembangkan
38
diri. Dengan mempunyai kader-kader yang baik, partai tidak akan sulit
mengajukan calon untuk masuk ke bursa kepemimpinan nasional.
Selain untuk tingkatan seperti itu partai politik juga berkepentingan
memperluas atau memperbanyak keanggotaan. Maka ia pun berusaha
menarik sebanyak-banyaknya orang untuk menjadi anggotanya. Dengan
didirikannya organisasi-organisasi massa (sebagai onderbouw) yang
melibatkan golongan-golongan buruh, petani, pemuda, mahasiswa, wanita
dan sebagainya, kesempatan untuk berpartisipasi diperluas.
Rekrutmen politik menjamin kontinuitas dan kelestarian partai,
sekaligus merupakan salah satu cara untuk menjaring dan melatih calon-
calon pemimpin. Ada berbagai cara untuk melakukan rekrutmen politik,
yaitu melalui kontak pribadi, persuasi, ataupun cara-cara lain.
d. Sebagai sarana Pengatur Konflik (conflict management)
Potensi konflik selalu ada di setiap masyarakat, apalagi di masyarakat
yang bersifat heterogen, apakah dari segi etnis (suku bangsa), sosial-
ekonomi, ataupun agama. Setiap perbedaan tersebut menyimpan potensi
konflik. Apabila keanekaragaman itu terjadi di negara-negara yang
menganut paham demokrasi, persaingan dan perbedaan pendapat dianggap
hal yang wajar dan mendapat tempat. Akan tetapi di dalam negara yang
heterogen sifatnya, potensi pertentangan lebih besar dan dengan mudah
mengundang konflik.
39
Di sini peran partai politik diperlukan untuk membantu mengatasinya,
atau sekurang-kurangnya dapat diatur sedemikian rupa sehingga akibat
negatifnya dapat ditekan seminimal mungkin. Elite partai dapat
menumbuhkan pengertian diantara mereka dan bersamaan dengan itu juga
meyakinkan pendukungnya.
Pada tataran yang lain dapat dilihat pendapat dari ahli yang lain, Arend
Lijphart (1968). Menurut Lijphart: perbedaan-perbedaan atau perpecahan
di tingkat massa bawah dapat diatasi oleh kerja sama diantara elite-elite
politik. (Segmented or sub cultural cleavages at the mass level could be
overcome by elite cooperation).17 Dalam konteks kepartaian, para
pemimpin partai adalah elite politik.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa partai politik dapat menjadi
penghubung psikologis dan organisasional antara warga negara dengan
pemerintahannya. Selain itu partai juga melakukan konsolidasi dan
artikulasi tuntutan-tuntutan yang beragam yang berkembang di berbagai
kelompok masyarakat. Partai juga merekrut orang-orang yang cakap untuk
menduduki posisi-posisi eksekutif. Pelaksanaan fungsi-fungsi ini dapat
dijadikan instrumen untuk mengukur keberhasilan atau kegagalan partai
politik di negara demokrasi.
Di pihak lain dapat dilihat bahwa seringkali malahan mempertajam
pertentangan yang ada. Dan jika hal ini terjadi dalam suatu masyarakat
17 Miriam Budiardjo, op.cit hlm 409.
40
yang rendah konsensus nasionalnya, peran semacam ini dapat
membahayakan stabilitas politik.
D. Hak Asasi Manusia
1. Pengertian Hak Asasi Manusia
HAM adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sehingga mereka
diakui kemanusiannya tanpa membedakan ras, jenis kelamin, warna kulit,
bahasa, agama, politik, bangsa, status sosial, kekayaan, serta kelahirannya.18
Pengertian mendasar tentang Hak Asasi Manusia dipahami sebagai hak
yang dimiliki oleh manusia yang diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan
kelahirannya atau kehadirannya dalam kehidupan bermasyarakat. Hak yang
melekat pada diri manusia itu ditegaskan tanpa memandang perbedaan atas
dasar bangsa, ras, agama, atau kelamin dan karena itu bersifat asasi dan
universal19.
Hak Asasi Manusia sering disebut juga hak kodrat, hak dasar manusia, hak
mutlak atau dalam bahasa Inggris sering disebut natural right, human right,
dan fundamental right, sedangkan dalam bahasa Belandan dikenal ground
rechten, rechten van den mens, keanekaragaman istilah tersebut sesungguhnya
tetap menunjukkan titik berat terhadap pengakuan adanya hak manusia.
Interaksi manusia dengan manusia lainnya dalam suatu komunitas
masyarakat mengakibatkan hak asasi manusia memiliki konsekuensi dengan
18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, PBB, 1948 19 Miriam Budiarjo, 2002, dasar – dasar ilmu politik, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, hlm
120.
41
kewajiban asasi dan tanggung jawab asasi. Aktualisasi hak manusia dalam
pola interaksi itu akhirnya memunculkan suatu wewenang atau tuntutan,
karena melekatnya wewenang sehingga tuntutan tersebut bagian integral dari
hak itu sendiri. Artinya apabila hak–hak kemanusian diinjak–injak,
dikesampingkan, disepelekan, dilecehkan, dilanggar sampai dihapus akan
timbul tuntutan pemulihannya, Louis Henkin, dalam tulisannya The Right of
Man Today, yang dikutip oleh Philipus Hadjon, menjelaskan wewenang atau
tuntutan dalam hak asasi manusia ini sebagai beriku:
”Human Rightsare clims asseted recognized ”as of right” not claims upon
love, or grace or brotherhood, or charity one does not have to earn or
deserved then. They are not merely aspirations or moral assertion but
increasingly, legal claims under some applicable low”20.
Hak asasi manusia biasanya dianggap sebagai hak yang dimiliki setiap
manusia yang melekat atau inheren padanya karena dia adalah manusia.
Dalam mukaddimah perjanjian internaionsl hak–hak sipil dan politik PBB
dirumuskan ” the Right drive from the inheren dignity of human person”.
(hak–hak ini berasal dari martabat yang inheren dalam kemanusiaan)21.
Hak–hak ini sifatnya sangat mendasar atau asasi dalam arti bahwa
pelaksannannya mutlak diperlukan agar manusia dapat berkembang sesuai
dengan bakat, cita – cita, serta martabatnya. Hak ini juga dianggap universal
20 Mansyur Efendi, 1994, Dimensi Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan
internasional, Jakarta, Ghalia Indonesia, hlm. 15. 21 Ibid. hal 17.
42
artinya dimiliki manusia tanpa perbedaan berdasarkan agama, ras bangsa,
politik dan kelamin.
HAM menurut kamus politik adalah hak yang dimiliki manusia karena
kelahirannya bukan diberikan kepada masyarakat ataupun negara. Ham tidak
dapat dihilangkan atau dinyatakan tidak berlaku oleh negar. HAM menurut
kamus politik meliputi hak melakukan perlawanan terhadap penindasan dan
hak untuk mencapai kebahagian22.
Berikut ini beberapa pendapat filsuf terkemuka mengenai pengertian
HAM, John Locke, filsuf berkebangsaan Inggris adalah yang pertama kali
memasukkan HAM sebagai teori politik, menurutnya HAM adalah:
” The natural liberty of man is to be free from any superior power on
earth, and not to be under will or legiuslatif authority of man, but to have
only the low of nature for his rule. The libary of man in society is to be
under no other legislafe power, but that estabilished by the common
wealty..”23.
Lebih lanjut menurut locke, setiap individu memiliki hak alamiah atas
hidup, kebebasan dan serta penguasa harus memerintah memerintah dengan
persetujuan rakyat (Goverment of Connent). Pemerintah didasrkan atas
kontrak sosial antara yang memerintah dan yang diperintah. Warga negara
diharuskan mematuhi peraturan hanya jika pemerintah melindungi hak asasi
22 BN. MArbun, 1996, Kamus Politik, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, hlm 68. 23 Jack Dennely, what are Human Rights, dalam situs http://www.Usembassy.
43
mereka (suatu perjanjian tentang sejauh mana dan bagaimana membatasi
kekuasaan pemerintahan).
Selanjutnya Thomas Panie, adalah seorang penulis dan politikus,
mendifinisikan HAM sebagai berikut :
”Natural rights are thosse which appertain to man in rights of his
existence of this kind are all the intlectual rights, or rights of the main,
and also all those rights of acting as an individual for own comfort and
happeness, which are not injurios to the natural rights of others..”.
Menurut Thomas Panie, bahwa setiap individu memiliki hak alamiah yang
melekat pada setiap manusia (natural rights), seperti hak – hak intelektual, hak
atas berpikir, dan juga hak atas sikap individu atas kebahagian dan
kesenangannya.
Berdasarkan beberapa pengertian filsof di atas dapat disimpulkan bahwa
Hak Asasi Manusia merupakan hak yang dimiliki seseorang di dalam
menjalani kehidupannya, dan tidak ada kekuatan apapun yang dapat
menghilangkannya.
44
2. Sejarah Hak Asasi Manusia.
Jika kita melihat sejarah hak asasi manusia di dunia Barat, hal ini tentunya
tidak terlepas dari pemberontakan–pemberontakan yang dilakukan oleh rakyat
terhadap penguasa (raja, negara), setiap perjuangan yang dilakukan oleh
rakyat untuk menuntut hak–haknya yang telah diselewengkan oleh penguasa
sudah tentu menuntut pengorbanan baik jiwa maupun raga.
Akan tetapi pengorbanan untuk perjuangan terhadap hak asasi manusia
tersebut bukanlah menjadi suatu perjuangan yang sia–sia karena perjuangan-
perjuangan yang dilakukan masyarakat di Barat telah melahirkan beberapa
naskah penting yang berkaitan dengan hak–hak asasi manusia yang bersifat
universal. Naskah tersebut adalah sebagai berikut :
3. Magna Charta (Piagam Agung 1215), adalah suatu dokumen yang
mencatat beberapa hak yang diberikan oleh raja John Lockland dari
Inggris kepada beberapa bangsawan bawahannya atas tuntutan mereka,
dan naskah ini juga sekaligus membatasi kekuasaan raja John Lockland.
4. Bill of Rights (Undang–undang Hak, 1689), suatu Undang-undang yang
diterima oleh parlemen Inggris sesudah berhasil melakukan perlawanan
terhadap raja William II, dalam suatu Revolusi tak berdarah (The Glorious
Revolution of 1688), yang isinya sebagai berikut:
1) Pembuatan Undang–undang penetapan pajak dan pembentukan tentara
harus berdasarkan persetujuan parlemen.
45
2) Parlemen memiliki kebebasan berbicara dan mengeluarkan pendapat
serta berhak merubah keputusan.
3) Pemilihan parlemen harus bebas.
5. Declaration des droits de I’homme et du citoyen (pernyataan hak – hak
manusia dan warga negara, 1789), suatu naskah yang dicetuskan pada
permulaan Revolusi Perancis, sebagai perlawanan terhadap kesewenangan
dari rezim lama, naskah deklarasi ini diumumkan pada 27 Agustus 1789,
dan isinya antara lain :
1) Pasal 1: Manusia dilahirkan bebas dan mempunyai hak yang sama,
perbedaan dalam masyarakat hanya didasarkan atas kepentingan
umum.
2) Pasal 2: Hak–Hak adalah kemerdekaan, milik, keamanan dan
menentang terhadap penindasan
3) Pasal 3: rakyat adalah sumber dari segala kedaulatan
Pernyataan hak–hak asasi manusia dan warga negara dari rakyat
Perancis kemudian dimasukkan ke dalam Undang–undang dasar
Perancis yang disahkan pada 14 Juli 1790. Undang–undang ini tidak
menghapuskan kerajaan tetapi kekuasaanya dibatasi menjadi Monarki
Konstitusional. Raja hanya punya hak veto yang dapat menunda
keputusan tetapi tidak dapat membatalkan keputusan konstituante.
d. Bill of Rights (1798), naskah ini mengandung makna ”Human Rights” ini
pada dasarnya merupakan salah satu bagian dari pernyataan Declaration
46
of Independen yang disusun oleh Thomas Jefferson. Yang merupakan
Proklamasi rakyat Amerika. Dan deklarasi ini merupakan bagian dari
Undang–undang Dasar Amerika24.
Ke-empat naskah yang telah dipaparkan di atas tersebut, ternyata tidak
terlepas dari konstelasi dan pengaruh ilmu pengetahuan pada abad ke-17 dan
ke-18, yang dipengaruhi oleh gagasan John Locke dan J.J Rousseau, terutama
mengenai konsep hukum alam atau Natural Law.
Pemikiran John Locke menegaskan bahwa jaminan terhadap HAM dalam
negara merupakan satu tugas pokok dari negara itu sendiri, karena negara
adalah produk dari kehendak manusia, dalam arti selama negara
melaksanakan tugasnya dengan baik maka negara tidak dapat ditentang.
Sementara itu pemikiran Roussea telah mendorong upaya
merasionalisasikan hak –hak kodrati melalui konsep perjanjian masyarakat,
sehingga hak asasi manusia pada masa ini memiliki sifat sekuler, universal,
individual, demokratik, dan terkesan radikal. Sehingga hak yang menonjol
pada masa ini yaitu hak sipil dan hak milik (perjuangan hak–hak asasi
manusia pada masa ini memicu perkembangan kapitalisme sanpai sekarang).
Selanjutnya pada abad ke-20 hak–hak sipil dan politik yang terdapat di
dalam naskah–naskah tersebut di atas, dianggap kurang sempurna dan
mulailah dicetuskan beberapa hak lain yang lebih luas ruang lingkupnya yang
24 Miriam Budiardjo Op.cit. hlm 121
47
dirumuskan oleh Franklin D Roosevelt (Presiden Amerika Serikat) yang
isinya memuat The Four Freedoms (empat kebebasan), yaitu:
1. Kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat.
2. Kebebasan beragama.
3. Kebebasan dari ketakutan.
4. Kebebasan dari kemelaratan.
Jika kita melihat perkembangan sejarah hak asasi manusia di atas,
merupakan suatu perkembangan yang dialektis dan akhirnya masyarakat
Internaisonal melalui PBB mencetuskan Universal Declaration oh Human
Rights yang diumumkan pada 10 Desember 1984, dan akhirnya deklarasi ini
menjadi suatu standar universal mengenai HAM, karena deklarasi PBB ini
memuat pemikiran ham yang tidak terbatas pada hak politik dan sipil saja,
tetapi juga memuat tentang hak ekonomi, sosial dan budaya yang bersifat
universal.
3. Hak Asasi Manusia di Indonesia
Hak asasi manusia yang diatur di dalam Undang – Undang Dasar 1945
pada awalnya hanya terdapat 7 butir ketentuan yang berkaitan mengenai
hak asasi manusia, dan pada saat sekarang pasca amandemen Undang–
Undang Dasar 1945 keseluruhan norma hukum yang berkaitan mengenai
hak asasi manusia itu dapat dikelompokkan dalam empat kelompok yang
berisi 37 butir sebagai berikut:
48
a. Kelompok yang menyangkut hak–hak sipil, Hak Asasi Manusia saat ini
merupakan suatu hal yang harus ada di dalam membangun dunia yang
lebih damai dan bebas dari ketakutan dan penindasan serta perlakuan
yang tidak adil. Oleh karena itu, dalam paham negara hukum, jaminan
perlindungan hak asasi manusia dianggap sebagai ciri yang mutlak.
Indonesia merupakan negara yang berlandaskan hukum yang telah di
tegaskan di dalam Undang–Undang Dasar 1945 Bab I Pasal I ayat (3)
”Negara Indonesia adalah negara hukum ”. Dengan demikian negara
Indonesia haruslah menjamin perlindungan hak asasi manusia di
dalam konstitusinya.
b. Kelompok yang menyangkut hak–hak politik, ekonomi, sosial, dan
budaya
c. Kelompok yang menyangkut hak–hak khusus dan hak atas
pembangunan
d. Kelompok yang menyangkut pengaturan mengenai tanggung jawab
negara dan kewajiban hak asasi manusia.
Kebebasan berserikat berkumpul dan mengeluarkan pendapat
merupakan salah satu wujud dari hak asasi manusia yang dapat di
kelompokkan kedalam hak–hak politik, dan kebebasan berserikat ini di
atur di dalam Undang–Undang dasar 1945 Pasal 28 E ayat (3).
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa setiap warga negara
indonesia diberikan kebebasan untuk berserikat, berkumpul dan
49
mengeluarkan pendapat yang seluas- luasnya untuk membentuk, partai
politik, organisasi, dan perkumpulan–perkumpulan masyarakat serta
kebebasan dalam melakukan aktifitas politik asalkan tidak bertentangan
dengan pancasila, Undang–undang dasar 1945 serta menjaga kesatuan dan
persatuan negara Indonesia.
Perkembangan hak asasi manusia di Indonesia telah mengalami pasang
surut, pada masa rezim Orde Lama, Orde Baru dan saat reformasi ini. Jika
dilihat lebih jauh lagi pelaksanaan hak asasi di Indonesia pada saat era
Reformasi ini, yang lebih menonjol yaitu hanya pelaksanaan hak politik,
sedangkan hak asasi dibidang ekonomi belum dapat dilaksanakan secara
maksimal.
Walaupun demikian Indonesia pada saat era reformassi ini mencoba untuk
mengkonkritkan pembentukan HAM, baik di dalam konstitusi (UUD 1945)
dan di dalam Undang - Undang (UU No 39 tahun 1999). Materi yang
berkaitan dengan HAM dalam UUD 1945 telah mengalami perubahan yang
sangat mendasar. Materi yang sebelumnya hanya berisi 7 butir mengenai
HAM, sekarang pasca amandemen ke-2 UUD 1945 tahun 2000 materi yang
berkaitan dengan HAM berisi 37 butir ketentuan dan dapat dikelompokkan
dalam empat kelompok25.
25 Jimmly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta, Sekretariat
Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah konstitusi RI, hlm 104.
50
a. Kelompok pertama, kelompok yang menyangkut ketentuan hak–hak sipil
yang meliputi :
1) Setiap orang berhak untuk hidup, dan mempertahankan hidup dan
kehidupannya.
2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan.
3) Setiap orang berhak bebas dari segala bentuk perbudakan.
4) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamany.
5) Setiap orang berhak untuk bebas memiliki keyakinan, pikiran, dan hati
nurani.
6) Setiap orang berhak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum.
7) Setiap orang berhak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum dan
pemerintahan.
8) Setiap orang berhak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut.
9) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan
berdasarkan perkawinan yang sah.
10) Setiap orang berhak atas dasar status kewarganegaraan.
11) Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal di wilayah negaranya,
meninggalkan, dan kembali ke negaranya.
12) Setiap orang berhak memproleh suaka politik.
13) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan diskriminatif dan berhak
mendapat perlindungan hukum dari perlakuan diskriminatif tersebut.
51
b. Kelompok kedua, kelompok hak–hak politik, ekonomi, sosial, dan budaya
yang meliputi :
1) Setiap warga negara berhak untuk berserikat, berkumpul dan
menyatakan pendapatnya secara damai.
2) Setiap warga negara berhak untuk memilih dan dipilih dalam rangka
lembaga perwakilan rakyat.
3) Setiap warga negara dapat diangkat untuk menduduki jabatan–jabatan
publik.
4) Setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih pekerjaan yang
sah dan layak bagi kemanusiaan.
5) Setiap orang berhak untuk bekerja dan mendapat imbalan, dan
mendapat perlakuan yang layak dalam hubungan kerja.
6) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi
7) Setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk
hidup yang layak.
8) Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memproleh informasi.
9) Setiap orang berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran.
10) Setiap orang berhak mengembangkan diri dan memperoleh manfaat
dari ilmu pengetahuan.
11) Negara menjamin penghormatan atas identitas budaya dan hak–hak
masyarakat lokal.
12) Negara mengakui setiap budaya sebagai kebudayaan nasional.
52
13) Negara menjamin kemerdekaan tiap–tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing–masing dan untuk beribadat menurut
kepercayaannya itu.
c. Kelompok ketiga, kelompok hak–hak khusus dan hak atas pembangunan
yang meliputu:
1) Setiap warga negara yang menyandang masalah sosial, termasuk
kelompok masyarakat yang terasing dan yang hidup di lingkungan
terpencil, berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus
untuk memperoleh kesempatan yang sama.
2) Hak prempuan dihamin dan dilindungi untuk mendapat kesetaraan
gender dalam kehidupan nasional.
3) Hak khusus yang melekat pada prempuan yang dikarenakan oleh
fungsi reproduksinya dijamin dan dilindungi oleh hukum
4) Setiap anak berhak atas kasih sayang, perhatian, dan perlindungan
orang tua.
5) Setiap warga negara turut berperan serta dalam pengelolahan dan turut
memproleh manfaat yang dihasilkan dari pengelolaan kekayaan alam.
6) Setiap orang berhak atas lingkungan alam yang bersih dan sehat.
7) Kebijakan, perlakuan, atau tindakan khusus yang bersifat sementara
dan dituangkan dalam praturan perundang – undangan yang sah.
53
d. Kelompok keempat, kelompok yang mengatur tanggung jawab negara dan
kewajiban asasi manusia yang meliputi:
1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam
kehiudupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
2) Dalam menjalan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
pada pembatasan yang ditetapkan oleh undang–undang dengan
maksud semata–mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan
atas hak dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan
keadilan sesuai dengan nilai–nilai agama, kesusilaan, moralitas,
keamanan, dan ketertiban umum.
3) Negara bertanggung jawab atas perlindungan, pemajuan, penegakan,
dan pemenuhan hak–hak asasi manusia.
4) Untuk menjamin pelaksanaan HAM, dibentuk Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia yang bersifat independen dan tidak memihak.
Hak–hak tersebut di atas ada yang termasuk kategori hak asasi manusia
yang berlaku bagi semua orang yang tinggal dan berada dalam wilayah
hukum Republik Indonesia, dan ada juga yang hanya berlaku bagi warga
negara Republik Indonesia.
Sedangkan ketentuan mengenai Hak Asasi Manusia yang diatur dalam UU
No. 39 tahun 1999, jika dilihat dari pembuatan undang–undang tersebut hanya
mengatur mengenai pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, dan
54
kebebasan manusia, sedangkan mengenai 37 butir tambahan mengenai Hak
Asasi Manusia yang diatur UUD 1945 pasca amandmen ke 2 tahun 2000
belum ada peraturang yang menggantikan UU No.39 Tahun 1999. Walaupun
demikian, UU No. 39 Tahun 1999 tersebut masih menjadi suatu dasar hukum
apabila terjadinya pelanggaran mengenai HAM.
Namun dalam konteks penegakan hak asasi manusia bukan hanya di
implementasikan dalam bentuk tertulis (UUD 1945 dan UU 39 tahun 1999),
akan tetapi perlunya suatu iktikad baik dari aparat negara di dalam
pelaksanaan penegakan hak asasi manusia.
Kebebasan berserikat yang merupakan pokok bahasan dari penelitian ini,
merupakan suatu kebebasan yang mutlak dan menjadi suatu hak asasi yang
harus di berikan dan dijamin oleh negara, karena kebebasan berserikat
merupakan suatu bentuk dari cerminan negara demokrasi, artinya negara tidak
boleh mendiskriditkan suatu pemikiran maupun suatu paham yang ada dan
hidup di masyarakat dan bangsa Indonesia. Akan tetapi kebebasan berserikat
masih tetap memiliki suatu batasan–batasn tertentu yang tidak bertentangan
dengan dasar negara Republik Indonesia yaitu Pancasila.
55
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan penelitian kepustakaan. Penelitian kepustakaan
adalah penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji dan menganalisis data
primer dan sekunder yang terdapat di dalam peraturan perundang undangan,
buku, dokumen–dokumen dan hasil laporan peneltian yang berkaitan dengan
permasalahan26
B. Sumber Data
Sumber data penelitian kepustakaan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum, yang terdiri dari:
1. Bahan Hukum Primer
a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang terdiri dari:
1) Undang–Undang Dasar 1945
2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.
3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia.
4) Peraturan lain yang berkaitan dengan partai politik.
26 Mukti Fajar, Yulianto Achmad, 2007, Dualisme Penelitian Hukum, Yogyakarta Pensil Komunika, hlm 109
56
b. Bahan Hukum Sekunder.
Bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum
primer seperti: hasil penelitian, makalah, karya ilmiah, buku-buku, atau
literatur yang ada kaitannya dengan permasalahan yang sesuai dengan
objek penelitian.
c. Bahan Hukum Tersier.
Bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder misalnya kamus dan
ensiklopedia.
C. Teknik Pengumpulan Data
a. Studi Kepustakaan
Dalam hal ini penulis meneliti dan menggali bahan-bahan hukum atau data
tertulis, baik berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku, makalah,
surat kabar serta bahan tertulis lainnya yang berhubungan atau berkaitan
dengan obyek penelitia.
Untuk keperluan akurasi data sekunder di atas maka akan dilakukan
wawancara dengan beberapa narasumber yang memiliki otoritas dalam bidang
hukum ketatanegaraan, dan juga anggota partai politik seperti:
Nara sumber :
A. Ni’Matul Huda .SH, M.Hum.
B. Agus Wahyudi. M.Hum
C. Hartanto.SIP (Sekretaris Hanura Kab. Boyolali)
57
D. Teknik pengolahan data.
Setelah data terkumpul maka data disusun secara sistematis secara
Deskriptif Kualitatif yaitu data – data yang diperoleh dari teori maupun hasil
penelitian kemudian disusun dan disajikan dalam bentuk uraian atau kalimat
sehingga sampai pada suatu kesimpulan dan dipelajari sebagai sesuatu yang
utuh.
4. Analisis data.
Analisis data yaitu merupakan suatu kegiatan dalam penelitian yang berupa
melakukan kajian atau telaah terhadap hasil pengolahan data yang dibantu
dengan teori–teori yang telah didapatkan sebelumnya.
Dalam penelitian ini analisis data yang digunakan yaitu Deskriptif analitis,
yaitu memberikan suatu gambaran atau pemaparan atas subjek dan objek
penelitian. Dengan menggunakan aturan–aturan yang berkaitan tentang partai
politik, dan teori–teori yang mendukung didalam penelitian ini yang di
gunakan sebagai pisau analisis.
58
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Kebebasan Berserikat Menurut Undang – Undang Dasar 1945
Undang–undang dasar 1945 merupakan konstitusi bangsa Indonesia yang
sampai saat ini masih terus di sempurnakan, dengan jalan amandemen yang
berdasarkan perkembangan masyarakat Indonesia. Bangsa Indonesia telah
melakukan sebanyak IV kali amandemen yang telah dilakukan dari tahun 1999-
2002.
Amandemen terhadap Undang–undang Dasar 1945 terjadi paska runtuhnya
rezim otoritarianisme pada Mei 1998 yang dilakukan dengan reformasi sosial, hal
ini tidak terlepas dari endapan–endapan permasalahan dan pembungkaman
demokratisasi yang dilakukan oleh rezim otoritarianisme.
Reformasi yang terjadi pada Mei 1998 telah banyak memberikan perubahan
yang sangat signifikan terhadap bangsa Indonesia, karena salah satu tuntutan
reformasi yang harus segera dilakukan yaitu membuka keran-keran demokrasi,
salah satu implementasi tuntutan dari reformasi yaitu mengamandemen Undang–
undang Dasar 1945 (yang sampai saat ini telah diamandemen sebanyak 4 kali).
Salah satu amandmen yang paling signifikan yang terdapat pada Undang–
undang Dasar 1945 yaitu yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia, Hak Asasi
Manusia ini mendapatkan porsi yang tersendiri karena di dalam amandemen ke 2
59
pada tahun 2000 ditambahnya satu bab dengan 10 pasal yang berkaitan dengan
Hak Asasi Manusia yang terdapat di dalam BAB X A.
Bunyi bab dan pasal tambahan yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia
pada saat amandmen ke – 2 tahun 200027.
Bunyi bab dan pasal tambahan yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia
pada saat amandemen ke – 2 tahun 2000.
Pasal 28A
Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan
kehidupannya
Pasal 28B
(1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah.
(2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta
berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Pasal 28C
(1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan
dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memproleh manfaat dari ilmu
pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi demi meningkatkan
kualitas hidupnya dan demi kesejahterahan umat manusia.
27 Dalam Undang – Undang dasar 1945 BAB X A amandemen ke 2.
60
(2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan
haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bagsa dan negaranya.
Pasal 28D
(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hokum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan huku.
(2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan
yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
(3) Setiap warga Negara berhak memproleh kesempatan yang sama dalam
pemerintahan.
(4) Setiap orang berhak atas status keamanan.
Pasal 28E
(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,
memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di eilayah Negara dan
meninggalkannya, serta berhak kembali.
(2) Setiap orang berhak ats kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran
dan sikap, sesuai dengan nuraninya.
(3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan
pendapat.
61
Pasal 28F
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memproleh informasi untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari,
memproleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi
dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Pasal 28G
(1) Setiap orang berhak atas perlindungan pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaanya, serta berhak atas rasa
aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
(2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang
merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memproleh suaka politik
dari Negara lain.
Pasal 28H
(1) Setiap orang berhak hidup sejahterah lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memproleh
pelayanan kesehatan.
62
(2) Setiap orang berhak mendapat perlakuan khusus untuk memproleh
kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
(3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan
dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.
(4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut
tidak boleh diambil alih secara sewenang – wenang oleh siapa pun.
Pasal 28I
(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan berfikir dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakuai sebagai
pribadi di hadapan hokum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hokum
yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun.
(2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas
dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang
bersifat diskriminatif itu.
(3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan
perkembangan zaman dan pradapan.
(4) Perlindungan pemajuan dan penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia
adalah tanggung jawab Negara, terutama pemerintah.
63
(5) Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip
Negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia
dijamin, diatur. Dan dituangkan dalam peraturan perundang – undangan.
Pasal 28J
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dengan undang – undang dengan maksud
semata–mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai–nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum
dalam suatu masyarakat demokratis.
Kebebasan berserikat yang menjadi objek dari penelitian ini, dimuat di dalam
bab yang berkaitan dengan hak asasi manusi yang tercantum di dalam Pasal 28E
ayat (3) “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat”, jika dilihat lebih jauh dari pasal 28E ayat (3) tersebut
jelas bahwa Negara memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk berserikat
(membentuk oraganisasi, partai politik, komunitas–komunitas, dll). Kebebasan
berserikat yang diberikan oleh Negara, kalau dilihat lebih jauh tentunya memiliki
hubungan yang sifatnya horizontal dan vertical.
64
1. Serikat yang sifatnya horizontal
Serikat yang memiliki hubungan horizontal ini artinya serikat–serikat yang
ada di masyarakat yang langsung berhubungan dengan Negara yaitu partai
politik. Hal ini dikarenakan Indonesia menggunakan system demokrasi
perwakilan, artinya seluruh lapisan rakyat Indonesia diberikan kesempatan
yang seluas–luasnya untuk mengisi dan menjalankan roda–roda pemerintahan.
Di dalam Undang–undang Dasar 1945 telah diatur suatu mekanisme untuk
menjalankan system demokrasi perwakilan, mekanisme tersebut yaitu
pemilihan umum yang tertulis di dalam BAB VIIB Pasal 22E Undang–
undang Dasar 1945 Bab VIIB.
Pasal 22E
(1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
(2) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan perwakilan
Rakyat Daerah.
(3) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah partai politik.
(4) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Daerah adalah perseorangan.
(5) Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum
yang bersifat nasional tetap dan mandiri.
65
(6) Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang –
undang.
Berdasarkan ketentuan pasal (3) di atas jelas bahwa partai politiklah yang
boleh mengikuti pemilihan umum yang diselenggarakan dalam lima tahun
sekali untuk mengisi pemerintahan dan sekaligus menjalankan amanah yang
telah ditentukan di dalam Undang – Undang Dasar 1945.
Selain partai politik terdapat juga serikat–serikat yang ada di dalam
masyarakat yang tidak memiliki hubungan langsung dengan Negara tetapi
kehadiran serikat–serikat tersebut merupakan suatu interprestasi dari berbagai
kepentingan yang ada di dalam masyarakat yang harus dilihat oleh negara,
contoh dari serikat ini, Serikat Tani, Serikat Buruh, Serikat mahasiswa,
Serikat Nelaya, LSM, dll. Kalau dilihat secara umum serikat – serikat ini
hanya menyuarakan apa yang menjadi kepentingan dari serikat tersebut
2. Serikat yang sifatnya vertikal.
Serikat–serikat ini tentunya tidak sama dengan serikat yang memiliki
hubungan horizontal, karena hubungan yang dibangun oleh serikat ini adalah
masyarakat dengan masyarakat, artinya serikat–serikat ini tidak memiliki
suatu kepentingan golongan dan kegiatan yang dilakukan oleh organisasi ini
bukan kegiatan politis contoh dari serikat ini yaitu organisasi–organisasi
paguyupan yang ada dan hidup di masyarakat.
66
B. Kebebasan Berserikat Menurut Undang – Undang no.2 tahun 2008
Telah dipaparkan di atas bahwa partai politik merupakan salah satu bentuk
kebebasan berserikat yang memiliki hubungan langsung dengan negara
(Hubungan Horizontal), pengaturan partai politik yang telah diamanahkan dalam
Undang–undang Dasar 1945 diatur di dalam Undang–Undang Nomor 2 Tahun
2008 tentang Partai Politik (pengganti Undang–undang Nomor 31 Tahun 2002).
Berkaitan dengan kebebasan berserikat di dalam Undang–undang Nomor 2
Tahun 2008 Negara Indonesia memberikan kebebasan yang seluas luasnya
kepada masyarakat Indonesia untuk membentuk partai politik dan menyuarakan
aspirasinya melalui partai politik hal ini telah ditentukan di dalam Undang–
undang Nomor 2 Tahun 2008 karena tidak ada satu pasalpun yang menyatakan
tentang pembatasan pembentukan partai politik di Indonesia.
Hal ini dapat dilihat di dalam Bab I Pasal 1 ayat (1)
”Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh
sekelompok warga negara indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan
kehendak dan cita – cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan
politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang –
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Dari ketentuan pasal 1 ayat (1) Undang – Undang No.2 Tahun 2008 disini
terlihat jelas bahwa Negara Indonesia memberikan kebebasan berserikat yang
67
seluas – luasnya kepada seluruh masyarakat Indonesia dalam hal mendirikan
partai politik, yang hal ini telah diamanahkan oleh Undang – Undang Dasar 1945
Bab X Pasal 28 E ayat (1) (2) (3).
Namun di tegah arus kebebasan berserikat dalam membentuk partai politik di
Indonesia yang diatur di dalam Undang – Undang No 2 Tahun 2008 tentu
memiliki batasan – batasan tertentu agar kebebasan berserikat tentang partai
politik yang ada di Indonesia tidak kebablasan dan tidak mengancam perpecahan
di Indonesia. Batasan – batasan yang di maksudkan di dalam Undang – Undang
No. 2 Tahun 2008 yaitu secara gambaran besar partai politik yang berdiri di
Indonesia tentunya tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan Undang –
Undang Dasar 1945, dan adanya suatu larangan yang secara tegas di tentukan di
dalam Undang – Undang No. 2 Tahun 2008 terhadap partai politik yang
menganut paham Komunisme, hal ini dapat di lihat di dalam Bab XVI Pasal 40
ayat (5).
”Partai Politik dilarang menganut dan megembangkan serta menyebarkan
ajaran atau paham Komunisme/Marxisme Leninisme”.
Pembatasan terhadap partai politik tersebut dilakukan karena PKI (Partai
Komunis Indonesia) sebagai partai yang pernah meganut paham Komunisme
Marxisme/Leninisme telah terbukti secara nyata melakukan pemberontakan
terhadap Negara republik Indonesia, dan hal ini telah di tentukan di dalam
KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT SEMENTARA
REPUBLIK INDONESIA NO : XXV/MPRS/1966 TENTANG pembubaran
68
partai komunis Indonesia, pernyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh
wilayah negara republik Indonesia bagi partai komunis Indonesia dan larangan
setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran
Komunisme/Marxisme-Leninisme. Dan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1996
dinyatakan masih berlaku sampai sekarang yang berdasarkan pada Ketetapan
MPR RI Nomor I/MPR/2003.
Menurut salah satu partai politik yang telah penulis wawancara yaitu partai
HANURA (Hati Nurani Rakyat) di Kabupaten Boyolali menyatakan bahwa
kebebasan berserikat yang diatur di dalam Undang-Undang No.2 Tahun 2008
tentang partai politik telah sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia karena
kebebasan berserikat yang diatur di dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2008
karena telah sesuai dengan prinsip demokrasi yang ada di Indonesia.
Namun kebebasan berserikat tentang partai politik tersebut memiliki suatu
batasan-batasan tertentu yaitu ketika masyarakat Indonesia ingin membentuk
suatu partai politik tentunya harus mengikuti Rule Of Game (aturan main) yang
telah datur di dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 yaitu yang terdapat di
dalam BAB II Pasal 2, 3, dan 4.
Selain itu penulis juga penulis melakukan wawancara mengenai pelarangan
partai politik yang berpaham Komunisme/Marxisme Leninisme di Indonesia
menurut partai politik HANURA menyatakan bahwa wajar ketika partai politik
tersebut di larang di Indonesia karena telah terbukti melakukan pemberontakan
pada tahun 1965 terhadap negara Republik Indonesia sehingga pelarangan
69
terhadap partai politik yang beraliran Komunisme/ Marxisme Leninisme tidak
melanggar hak asasi manusia yang ada di Indonesia dan tidak bertentangan
dengan kebebasan berserikat yang ada di Indonesia.
Berkaitan dengan kebebasan berserikat yang terdapat di dalam Undang –
Undang No. 2 Tahun 2008.
C. Kebebasan berserikat di dalam Undang – Undang No. 39 Tahun 1999
Melihat kebebasan berserikat yang terdapat di dalam Undang – Undang no.2
Tahun 2008 tentunya hal ini tidak terlepas dari hak asasi manusia yang diakui
dan dijamin oleh Undang – Undang Dasar 1945 dan Undang – Undang No. 39
Tahun 1999, karena kebebasan berserikat merupakan suatu kesatuan dari Hak
Asasi Manusia.
Di dalam Undang – Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
terdapat pasal yang mengatur tentang kebebasan berserikat yang terdapat di
dalam Bab III Pasal 24 ayat (1) dan (2).
“Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat, untuk maksud-
maksud damai”.
“Setiap warga negara atau kelompok masyarakat berhak mendirikan partai
politik, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi lainnya untuk berperan
serta dalam jalannya pemerintahan dan penyelenggaraan negara sejalan dengan
70
tuntutan perlindungan, penegakkan dan pemajuan hak asasi manusia sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Dari BAB III Pasal 24 yang terdapat di dalam Undang – Undang No. 39
Tahun 1999 tersebut di jelaskan bahwa negara Indonesia memberikan hak yang
seluas – luasnya kepada masyarakat untuk berserikat khususnya untuk
membentuk partai politik untuk ikut dalam menjalankan pemerintahan dan
penyelenggaraan negara, kebebasan berserikat dalam mendirikan partai politik
yang di atur di dalam Undang – Undang No. 39 Tahun 1999 tentunya harus
bertujuan untuk menciptakan kedamaian dan mendukung terciptanya proses
demokratisasi di Indonesia. Kebebasan berserikat yang terdapat di dalam
Undang – Undang No. 39 Tahun 1999 dapat diartikan bahwa seluruh lapisan
masyarakat Indonesia dapat mendirikan partai politik untuk ikut di dalam
menjalankan pemerintahan secra damai.
Berkaitan dengan kebebasan berserikat yang terdapat di dalam Undang –
Undang No. 2 Tahun 2008 tantang partai politik tentunya kebebasan berserikat
tersebut telah sessuai dengan Hak Asasi Manusia yang ada di Indonesia, dan
kalau di lihat lebih jauh lagi tentang larangan terhadap partai politik yang
berpaham Komunisme/Marxisme Leninisme di Indonesia hal ini juga tidaklah
bertentangan dengan Hak Asasi Manusia yang telah diatur di dalam Undang –
Undang No. 39 Tahun 1999 karena telah terbukti telah melakukan
pemberontakan terhadap negara Republik Indonesia.
71
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari semua yang telah penulis paparkan dan yang berdasarkan hasil
wawancara pada bagian sebelumnya kini dapat disimpulkan bahwa kebebasan
berserikat yang diatur di dalam Undang – Undang No.2 Tahun 2008 telah
sesuai dengan apa yang telah diamanahkan oleh Undang – Undang Dasar
1945, dan juga tidak bertentangan dengan hak asasi manusia baik secara
universal maupun yang ada di Indonesia.
Kebebasan berserikat yang terdapat di dalam Undang – Undang No.2
Tahun 2008 memberikan kebebasan yang seluas – luasnya kepada masyarakat
Indonesia untuk membentuk partai politik dan menyuarakan apa yang menjadi
kepentingannya. Asalkan sesuai dengan ketentuan yang telah diatur di dalam
Undang – Undang No. 2 Tahun 2008 tersebut.
Namun kebebasan berserikat yang diatur di dalam Undang – Undang No.2
Tahun 2008 tetap memiliki batasan – batasan tertentu khususnya yang
berkaitan dengan pendirian partai yang berpaham/idiologi Komunisme, pada
dasarnya Komunisme tidaklah bertentangan dengan idiologi bagsa yaitu
Pancasila, namun di dalam perkembangannya telah terbukti pada tahun 1965
PKI sebagai partai yang beridiologi Komunisme telah melakukan
pemberontakan terhadap Negara Republik Indonesi.
72
Saran.
1. Setelah penelitian ini dilakukan, diharapkan adanya peran kontrol dari
pemerintah di dalam menjalankan amanah yang terdapat di dalam Undang-
Undang No.2 Tahun 2008 tentang partai politik, agar kebebasan berserikat
yang diatur di dalam Undang-Undang tersebut benar – benar dapat dijalankan
dan dapat menghasilkan suatu proses politik yang baik.
2. Di dalam kehidupan partai politik di Indonesia yang memberikan
kebebasan yang sebesar – besarnya kepada masyarakat Indonesia untuk
membentuk partai politik, haruslah tetap konsisten untuk menjalankan apa
yang telah diamanahkan oleh Pancasila.
3. Harus adanya pengawalan terhadap kebebasan berserikat di dalam
kehidupan partai politik yang ada di Indonesia, khususnya fakulats hokum
yang harus berperan aktif di dalam memberikan penyuluhan dan sosialisasi
mengenai kebebasan berserikat yang terdapat di dalam Undang – Undang no.2
Tahun 2008.
73
DAFTAR PUSTAKA
Afan, Gafar, 2002, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta,
Pustaka Pelajar.
Andrianus dkk, 2006, Mengenal Teori-Teori Politik, Bandung, Nuansa.
Arbit Sanit, 1998, Reformasi Politik, Jakarta, Pustaka Pelajar.
Jimly, Asshiddiqie, 2006, Hukum Tata Negara dan Pilar – Pilar Demokrasi, Jakarta,
Konsitusi Press.
Jimly, Asshiddiqie, 2006, pengantar ilmu hukum tata negara, Jakarta, Mahkamah
konstitusi Republik Indonesia.
Mansyur Efendi, 1994, Dimensi Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan
internasional, Jakarta, Ghalia Indonesia.
Miriam, Budiarjo, 2006, Dasar – Dasar Ilmu Politik, Jakarta, Gramedia Pustaka
Utama.
Miriam Budiarjo, 2008, dasar – dasar ilmu politik, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama
Mukti Fajar, Yulianto Achmad, 2007, Dualisme Penelitian Hukum, cetakan 1,
Yogyakarta, Pensil Komunika.
Robert, A, Dahl, 2001, Prihal Demokrasi, Jakarta,Yayasan Obor.
Soekarno, 1961, Tujuh Bahan – Bahan Pokok Indoktrinasi, Jakarta, Panitia Pembina
Jiwa Revolusi.
Soekarno, 1965, Dibawah Bendera Revolusi, , jilid pertama.
74
Peraturan perundang – undangan. RI, Undang-Undang Dasar 1945
RI, UU No 2 tahun 2008 tentang partai politik.
RI, UU No 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia.
Ketetapan MPRS Republik Indonesia No. :XXV/MPRS/1996 tentang pembubaran
partai komunis di Indonesia
Jurnal.
Jurnal Kiri, Volume 1 No.2, Juli 2000
Internet.
http://www.gogle.com.
http://www.yahoo.com.
75