Post on 25-Jul-2015
KASUS BEDAH ANAK
ANAK LAKI-LAKI 8 TAHUN DENGAN UNDESCENSUS
TESTIS BILATERAL POST ORCHIDOPEKSI
Oleh :
Dimas Yuliar Sevanto G9911112055
Pembimbing :
Dr. Guntur Surya Alam, Sp BA
KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2012
PRESENTASI KASUS
I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : An. A
No. CM : 01139519
Umur : 8 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Nama Ayah : Tn. B
Pekerjaan Ayah :Swasta
Agama : Islam
Nama Ibu : Ny. D
Pekerjaan Ibu : Ibu rumah tangga
Alamat : Kratonan RT 2/1 Serengan, Surakarta
II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
Nyeri pada perut bawah saat BAK dan tidak mempunyai buah pelir
kanan maupun kiri
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Alloanamnesis dengan orang tua pasien :
Sejak lahir pasien tidak mempunyai buah pelir kanan maupun kiri.
Terdapat benjolan di perut bawah, benjolan tersebut tidak bertambah
besar. 4 hari SMRS pasien mengeluh nyeri pada perut bawah saat BAK.
Gangguan BAK (-), gangguan BAB (-), kencing batu (-), demam (-),
riwayat infeksi di saluran kencing (-).
C. Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat sakit serupa : (-)
- Riwayat pertumbuhan terlambat : (-)
D. Riwayat Penyakit Keluarga dan Lingkungan
- Riwayat keluarga sakit serupa : (-)
- Riwayat lingkungan diare : (-)
- Riwayat alergi obat dan makanan : (-)
E. Riwayat Penyakit yang Pernah Diderita
- Faringitis : (-) - Enteritis : (-)
- Bronkitis : (-) - Disentri basiler : (-)
- Pneumonia : (-) - Disentri amoeba : (-)
- Morbili : (-) - Thypus : (-)
- Pertusis : (-) - Cacing : (-)
- Difteri : (-) - Operasi : (-)
- Varicella : (-) - Geger Otak : (-)
- Malaria : (-) - Fraktur : (-)
F. Riwayat Kelahiran
Pasien lahir saat usia kandungan 9 bulan, lahir per vaginam
Berat badan saat lahir 3,1 kg
G. Riwayat Imunisasi
Riwayat imunisasi sesuai dengan KMS
H. Riwayat Makan Minum Anak
Pasien diberi ASI Eksklusif sampai usia 6 bulan kemudian diberi
makanan pendamping ASI, makanan, dan ASI sampai usia 2 tahun.
III. Pemeriksaan Fisik (pada tanggal 25 Juli 2012, post OP)
A. Keadaan Umum
- Keadaan umum : sedang
- Derajat kesadaran : compos mentis
- Derajat gizi : gizi normal
B. Tanda vital
- Frekuensi nadi : 100x/menit rguler
- Frekuensi pernafasan : 22x/menit
- Suhu : 37,5 C
C. Kulit
Kulit sawo matang, kering (-),ujud kelainan kulit (-),hiperpigmentasi (-)
D. Kepala
Mesocephal
E. Wajah
Oedema (-), wajah orang tua (-)
F. Mata
Cekung (-/-), air mata(+/+), konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik(-/-)
G. Hidung
Nafas cuping hidung (-), sekret (-/-), darah (-/-), deviasi (-/-)
H. Mulut
Mukosa basah (+), sianosis (-), pucat (-), kering (-)
I. Telinga
Daun telinga dalam batas normal, sekret (-)
J. Tenggorok
Uvula di tengah, mukosa pharing hiperemis (-), tonsil T1-T1
K. Leher
Bentuk normocolli, limfonodi tidak membesar, glandula thyroid tidak
membesar, kaku kuduk (-), gerak bebas, deviasi trakhea (-)
L. Thoraks
Bentuk : normochest, retraksi (-), gerakan dinding dada simetris
Cor : Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (-)
Pulmo : Inspeksi : Pengembangan dada kanan=kiri
Palpasi : Fremitus raba kanan=kiri
Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+)
Suara tambahan (-/-)
M. Abdomen
Inspeksi : perut distended (-), darm contour (-), darm stifung (-),
tampak luka operasi tertutup verban di regio lumbalis dextra
dan lumbalis sinistra.
Auskultasi : bising usus (+)
Perkusi : timpani
Palpasi : supel, massa (-), nyeri tekan (-)
N. Ekstremitas
Oedema
- -
- -
Akral dingin
- -
- -
O. Genital
Tampak luka operasi tertutup verban di skrotum.
Testis teraba di skrotum.
Meatus uertra externum terletak di glans penis.
IV. ASSESSMENT 1
Suspect undescensus testis bilateral
V. PLANNING 1
- Cek laboratorium darah rutin
- USG urologi
VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium tanggal 14 Juli 2012
Hemoglobin : 11,0 g/dL
Hematokrit : 33 %
Eritrosit : 6,5 ribu/uL
Trombosit : 248 ribu/uL
Leukosit : 4,03 ribu/uL
Gula darah puasa : 97 mg/dl
Pemeriksaan Laboratorium tanggal 23 Juli 2012
PT : 12,2 detik
APTT : 29,6 detik
Albumin : 4,3 g/dl
Kreatinin : 0,5 mg/dl
Ureum : 39 mg/dl
Natrium : 141 mmol/L
Kalium : 3,7 mmol/L
Klorida : 106 mmol/L
Hasil USG Urologi
Undescensus testiculorum bilateral
VII. ASSESSMENT 2
Undescensus testis bilateral
VIII. PLANNING 2
- Konsul Anestesi
- Pro Orchidopeksi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Undescended testis (UDT) adalah suatu kondisi dimana testis tidak dijumpai pada
tempat yang semestinya yaitu di dalam skrotum. Dalam hal ini mungkin testis tidak
mampu mencapai skrotum tetapi masih berada pada jalurnya yang normal, keadaan
ini disebut kriptorkismus, atau pada proses desensus, testis tersesat (keluar) dari
jalurnya yang normal, keadaan ini disebut sebagai testis ektopik. 1,2
2. Epidemiologi
UDT merupakan kelainan genitalia kongenital tersering pada anak laki-
laki. Pada bayi prematur sekitar 30,3% dan sekitar 3,4% pada bayi cukup bulan. Bayi
dengan berat lahir < 900 gram seluruhnya mengalami UDT, sedangkan dengan berat
lahir <1800 gram sekitar 68,5 % UDT. Dengan bertambahnya umur menjadi 1 tahun,
insidennya menurun menjadi 0,8 %, angka ini hampir sama dengan populasi
dewasa.1,2,6
Tabel 1. Data prevalensi UDT berdasarkan umur
Dua pertiga kasus mengalami UDT unilateral dan sisanya UDT bilateral. Dengan
bertambahnya usia, testis mengalami desensus secara spontan sekitar 70-77%
biasanya pada usia 3 bulan, sehingga pada saat usia 1 tahun angka kejadian UDT
turun menjadi 1% dibandingkan saat lahir 3,7%. Setelah usia 1 tahun, testis yang
letaknya abnormal jarang dapat mengalami desensus testis secara spontan.1,2
3. Embriologi dan Proses Penurunan Testis
Pada minggu keenam umur kehamilan primordial germ cells mengalami migrasi
dari yolk sac ke-genital ridge. Dengan adanya gen SRY (sex determining region Y),
maka akan berkembang menjadi testis pada minggu ke-7. Testis yg berisi prekursor
sel-sel Sertoli besar (yang kelak menjadi tubulus seminiferous dan sel-sel Leydig
kecil) dengan stimulasi FSH yang dihasilkan pituitary mulai aktif berfungsi sejak
minggu ke-8 kehamilan dengan mengeluarkan MIF (Müllerian Inhibiting Factor),
yang menyebabkan involusi ipsilateral dari duktus mullerian. MIF juga
meningkatkan reseptor androgen pada membran sel Leydig. Sel- Pada minggu ke-10-
11 kehamilan, akibat stimulasi chorionic gonadotropin yang dihasilkan plasenta dan
LH dari pituitary sel-sel Leydig akan mensekresi testosteron yang sangat esensial
bagi diferensiasi duktus Wolfian menjadi epididimys, vas deferens, dan vesika
seminalis.1,6,7
Penurunan testis dimulai pada sekitar minggu ke-10. Walaupun mekanismenya
belum diketahui secara pasti, namun para ahli sepakat bahwa terdapat beberapa
faktor yang berperan penting, yakni: faktor endokrin, mekanik (anatomik), dan
neural. Terjadi dalam 2 fase yang dimulai sekitar minggu ke-10 kehamilan segera
setelah terjadi diferensiasi seksual. Fase transabdominal dan fase inguinoscrotal.
Keduanya terjadi dibawah kontrol hormonal yang berbeda. 1,6,7
Fase transabdominal terjadi antara minggu ke-10 dan 15 kehamilan, di mana
testis mengalami penurunan dari urogenital ridge ke regio inguinal. Hal ini terjadi
karena adanya regresi ligamentumsuspensorium cranialis dibawah pengaruh
androgen (testosteron), disertai pemendekan gubernaculum (ligamen yang
melekatkan bagian inferior testis ke-segmen bawah skrotum) di bawah pengaruh
MIF.Dengan perkembangan yang cepat dari regio abdominopelvic maka testis akan
terbawa turun ke daerah inguinal anterior. Pada bulan ke-3 kehamilan terbentuk
processus vaginalis yang secara bertahap berkembang ke-arah skrotum. Selanjutnya
fase ini akan menjadi tidak aktif sampai bulan ke-7 kehamilan. 1,6,7
Gambar 2. Skema penurunan testis menurut Hutson.
Keterangan gambar :Antara minggu ke- 8–15 gubernaculum (G) berkembang
pada laki-laki, mendekatkan testis (T) ke-inguinal. Ligamentum suspensorium
cranialis (CSL) mengalami regresi. Migrasi gubernaculum ke-skrotum terjadi pada
minggu ke- 28 35. B:Peranan gubernaculum dan CSL pada diferensiasi seksual
rodent. Pada jantan CSL mengalami regresi dan gubernaculum mengalami
perkembangan; sebaliknya pada betina CSL menetap, dan gubernaculum menipis
dan memanjang.
Fase inguinoscrotal terjadi mulai bulan ke-7 atau minggu ke-28 sampai dengan
minggu ke-35 kehamilan. Testis mengalami penurunan dari regio inguinal ke-dalam
skrotum dibawah pengaruh hormon androgen. Mekanismenya belum diketahui
secara pasti, namun diduga melalui mediasi pengeluaran calcitonin gene-related
peptide (CGRP). Androgen akan merangsang nervus genitofemoral untuk
mengeluarkan CGRP yang menyebabkan kontraksi ritmis dari gubernaculum.Faktor
mekanik yang turut berperan pada fase ini adalah tekanan abdominal yang
meningkat yang menyebabkan keluarnya testis dari cavum abdomen, di samping itu
tekanan abdomen akan menyebabkan terbentuknya ujung dari processus vaginalis
melalui canalis inguinalis menuju skrotum.Proses penurunan testis ini masih bisa
berlangsung sampai bayi usia 9-12 bulan. 1,6,7
4. Etiologi
Mekanisme terjadinya UDT berhubungan dengan banyak faktor (multifaktorial)
yaitu (1) Perbedaaan pertumbuhan relatif tubuh terhadap funikulus spermatikus atau
gubernakulum, (2) peningkatan tekanan abdomen, (3) faktor hormonal: testosteron,
MIS, and extrinsic estrogen, (4) Perkembangan epididimis, (5) Perlekatan
gubernakular (6) Genito femoral nerve/calcitonin gene-related peptide (CGRP), (7)
Sekunder pasca-operasi inguinal yang menyebabkan jaringan ikat.1,2,3
UDT juga dapat terjadi karena adanya kelainan pada (1) gubernakulum testis, (2)
kelainan intrinsik testis, atau (3) defisiensi hormon gonadotropin yang memacu
proses desensus testis. Beberapa penelitian telah mengidentifikasi kelompok bayi
baru lahir yang beresiko mengalami UDT untuk mencari riwayat alami dan faktor-
faktor yang mempengaruhi desensus setelah lahir. Penelitian ini menemukan bahwa
UDT secara signifikan lebih banyak ditemukan pada bayi prematur, kecil untuk
masa kehamilan, berat bayi baru lahir yang rendah, dan kembar.1,2
UDT dapat merupakan kelainan tunggal yang berdiri sendiri (isolated anomaly),
ataupun bersamaan dengan kelainan kromosom, endokrin, intersex, dan kelainan
bawaan lainnya. Bila disertai dengan kelainan bawaan lain seperti hipospadia
kemungkinan lebih tinggi disertai dengan kelainan kromosom (sekitar 12 – 25 %).1,6
Terdapat faktor keturunan terjadinya UDT pada kasus-kasus yang isolated, di
samping itu testis sebelah kanan lebih sering mengalami UDT. Sekitar 4,0 % anak-
anak UDT mempunyai ayah yang UDT, dan 6,2–9,8% mempunyai saudara laki-laki
UDT; atau secara umum terdapat risiko 3,6 kali terjadi UDT pada laki-laki yang
mempunyai anggota keluarga UDT dibanding dengan populasi umum.1,2,6
5. Klasifikasi
UDT dikelompokkan menjadi 3 tipe:
a. UDT sesungguhnya (true undescended): testis mengalami penurunan
parsial melalui jalur yang normal, tetapi terhenti. Dibedakan menjadi
teraba (palpable) dan tidak teraba (impalpable).
b. Testis ektopik: testis mengalami penurunan di luar jalur penurunan yang
normal.
c. Testis retractile: testis dapat diraba/dibawa ke-dasar skrotum tetapi akibat
refleks kremaster yang berlebihan dapat kembali segera ke-kanalis
inguinalis, bukan termasuk UDT yang sebenarnya.
Pembagian lain membedakan true UDT menurut lokasi terhentinya testis,
menjadi: abdominal, inguinal, dan suprascrotal (gambar 2).Gliding testis atau
sliding testis adalah istilah yang dipakai pada keadaan UDT dimana testis dapat
dimanipulasi hingga bagian atas skrotum, tetapi segera kembali begitu tarikan
dilepaskan.1,2,6
Gliding testis harus dibedakan dengan testis yang retraktil, gliding testis terajadi
akibat tidak adanya gubernaculum attachment, dan mempunyai processus vaginalis
yang lebar sehingga testis sangat mobile dan meningkatkan risiko terjadinya
torsi.Dengan melakukan overstrecht selama 1 menit pada saat pemeriksaan fisik
(untuk melumpuhkan refleks cremaster), testis yang retraktil akan menetap di dalam
skrotum, sedangkan gliding testis akan tetap kembali ke-kanalis inguinalis.1,2,6
Gambar 3. Kemungkinan lokasi testis pada true UDT dan ektopik testis.
6. Patogenesis dan Patofisiologi
Suhu di dalam rongga abdomen kurang lebih 1-20C lebih tinggi daripada suhu di
dalam skrotum, sehingga testis abdominal selalu mendapatkan suhu yang lebih tinggi
daripada testis normal; hal ini mengakibatkan kerusakan sel-sel germinal testis. 1,2
Pada usia 2 tahun, sebanyak 1/5 bagian dari sel-sel germinal testis telah
mengalami kerusakan, sedangkan pada usia 3 tahun hanya 1/3 sel-sel germinal yang
masih normal. Kerusakan ini makin lama makin progresif dan akhirnya testis
menjadi mengecil. Karena sel-sel Leydig sebagai penghasil hormon androgen tidak
ikut rusak, maka potensi potensi seksual tidak mengalami gangguan. Akibat lain
yang ditimbulkan dari letak testis yang tidak berada di skrotum adalah mudah
terpluntir (torsio), mudah terkena trauma, dan lebih mudah mengalami degenerasi
maligna.1-3
7. Diagnosis
7.1. Anamnesis
Pada anamnesis, tentukan apakah testis pernah teraba di skrotum, riwayat
operasi daerah inguinal, riwayat prenatal: terapi hormonal pada ibu untuk
reproduksi, kehamilan kembar, prematuritas, riwayat keluarga: UDT, hipospadia,
infertilitas, intersex, pubertas prekoks. Pada anamnesis juga, yang harus digali
adalah tentang prematuritas penderita (30% bayi prematur mengalami UDT),
penggunaan obat-obatan saat ibu hamil (estrogen), riwayat operasi inguinal.
Harus dipastikan juga apakah sebelumnya testis pernah teraba di skrotum pada
saat lahir atau tahun pertama kehidupan (testis retractile akibat refleks cremaster
yang berlebihan sering terjadi pada umur 4-6 tahun). Perlu juga digali riwayat
perkembangan mental anak, dan pada anak yang lebih besar bisa ditanyakan ada
tidaknya gangguan penciuman (biasanya penderita tidak menyadari). Riwayat
keluarga tentang UDT, infertilitas, kelainan bawaan genitalia, dan kematian
neonatal.1,2
Inspeksi pada regio skrotum terlihat hipoplasia kulit skrotum karena tidak
pernah ditempati oleh testis. Pada palpasi, testis tidak teraba di kantung skrotum,
melainkan berada di inguinal atau di tempat lain. Pada saat melakukan palpasi
untuk mencari keberadaan testis, jari tangan pemeriksa harus dalam keadaan
hangat.1,2
Jika kedua buah testis tidak diketahui tempatnya, harus dibedakan dengan
anorkismus bilateral (tidak mempunyai testis). Untuk itu perlu dilakukan
pemeriksaan hormonal antara lain hormon testosteron, kemudian dilakukan uji
dengan pemberian hormon hCG (human chorionic gonadotropin). 1,2
7.2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan sebaiknya dilakukan di ruangan yang tenang dan hangat.
Pemeriksaan secara umum harus dilakukan dengan mencari adanya tanda-tanda
sindrom tertentu, dismorfik, hipospadia, atau genitalia ambigua. 1,2,6
Pemeriksaan testis sebaiknya dilakukan pada posisi terlentang dengan ”frog
leg position” dan jongkok. Dengan 2 tangan yang hangat dan akan lebih baik bila
menggunakan jelly atau sabun, dimulai dari SIAS menyusuri kanalis inguinalis
ke-arah medial dan skrotum. Bila teraba testis harus dicoba untuk diarahkan ke-
skrotum, dengan kombinasi ”menyapu” dan ”menarik” terkadang testis dapat
didorong ke-dalam skrotum. Dengan mempertahankan posisi testis didalam
skrotum selama 1 menit, otot-otot cremaster diharapkan akan mengalami
”fatigue”; bila testis dapat bertahan di dalam skrotum, menunjukkan testis yang
retractile sedangkan pada UDT akan segera kembali begitu testis dilepas.
Tentukan lokasi, ukuran dan tekstur testis.1,2,6
Testis yang atropi atau vanishing testis dapat dijumpai pada jalur penurunan
yang normal. Kemungkinan etiologinya adalah iskemia masa neonatal akibat
torsi. Testis kontra lateralnya biasanya mengalami hipertrofi.Lokasi UDT
tersering terdapat pada kanalis inguinalis (72%), diikuti supraskrotal (20%), dan
intra-abdomen (8%). Sehingga pemeriksaan fisik yang baik dapat menentukan
lokasi UDT tersebut. 1,2,6
Adanya UDT bilateral yang tidak teraba gonad/testis apalagi disertai
hipospadia dan virilisasi, harus dipikirkan kemungkinan intersex, individu dengan
kromosom XX yang mengalami female pseudo-hermaphroditism yang berat; atau
Anorchia kongenital sebagai akibat torsi testis in utero.3,13,15 Sedangkan simple
UDT merupakan hal yang seringkali dijumpai terutama pada bayi yang prematur,
akan tetapi masih dapat terjadi penurunan testis dalam tahun pertama
kehidupannya. 1,2,6
7.3. Pemeriksaan Laboratorium
Pada anak dengan UDT unilateral tidak memerlukan pemeriksaan
laboratorium lebih lanjut.Sedangkan pada UDT bilateral tidak teraba testis
dengan disertai hipospadia dan virilisasi, diperlukan pemeriksaan analisis
kromosom dan hormonal (yang terpenting adalah 17 hydroxyprogesterone) untuk
menyingkirkan kemungkinan intersex.1,2,6
Setelah menyingkirkan kemungkinan intersex, pada penderita UDT bilateral
dengan usia < 3 bulan dan tidak teraba testis, pemeriksaan LH, FSH, dan
testosteron akan dapat membantu menentukan apakah terdapat testis atau tidak.
Bila umur telah mencapai di atas 3 bulan pemeriksaan hormonal tersebut harus
dilakukan dengan melakukan stimulasi test menggunakan hCG (human chorionic
gonadotropin hormone). Ketiadaan peningkatan kadar testosteron disertai
peningkatan LH/FSH setelah dilakukan stimulasi mengindikasikan anorchia.1,2,6
Prinsip stimulasi test dengan hCG atau hCG test adalah mengukur kadar
hormon testosteron pada keadaan basal dan 24-48 jam setelah stimulasi. Respon
testosteron normal pada hCG test sangat tergantung umur penderita. Pada bayi,
respon normal setelah hCHG test bervariasi antara 2-10x bahkan 20x. Pada masa
kanak-kanak, peningkatannya sekitar 5-10x. Sedangkan pada masa pubertas,
dengan meningkatnya kadar testosteron basal, maka peningkatan setelah
stimulasi hCG hanya sekitar 2-3x. 1,2,6
7.4. Pemeriksaan Radiologi
USG hanya dapat membantu menentukan lokasi testis terutama di daerah
inguinal, di mana hal ini akan mudah sekali dilakukan perabaan dengan tangan.3
Pada penelitian terhadap 66 kasus rujukan dengan UDT tidak teraba testis, USG
hanya dapat mendeteksi 37,5% (12 dari 32) testis inguinal; dan tidak dapat
mendeteksi testis intra-abdomen.17 Hal ini tentunya sangat tergantung dari
pengalaman dan kwalitas alat yang digunakan.1,6
CT scan dan MRI mempunyai ketepatan yang lebih tinggi dibandingkan
USG terutama diperuntukkan testis intra-abdomen (tak teraba testis). MRI
mempunyai sensitifitas yang lebih baik untuk digunakan pada anak-anak yang
lebih besar (belasan tahun).3,4,5 MRI juga dapat mendeteksi kecurigaan keganasan
testis.5 Baik USG, CT scan maupun MRI tidak dapat dipakai untuk mendeteksi
vanishing testis ataupun anorchia.1,6
Dengan ditemukannya metode-metode yang non-invasif maka penggunaan
angiografi (venografi) untuk mendeteksi testis yang tidak teraba menjadi semakin
berkurang. Metode ini paling baik digunakan untuk menentukan vanishing testis
ataupun anorchia.Dengan metode ini akan dapat dievaluasi pleksus
pampiniformis, parenkim testis, dan blind-ending dari vena testis (pada
anorchia).5 Kelemahannya selain infasif, juga terbatas pada umur anak-anak yang
lebih besar mengingat kecilnya ukuran vena-vena gonad. 1,6
7.5. Laparoskopi
Metode laparoskopi pertama kali digunakan untuk mendeteksi UDT tidak
teraba testis pada tahun 1976. Metode ini merupakan metode infasif yang cukup
aman oleh ahli yang berpengalaman. Sebaiknya dilakukan pada anak yang lebih
besar dan setelah pemeriksaan lain tidak dapat mendeteksi adanya testis di
inguinal. 1,6
Beberapa hal yang dapat dievaluasi selama laparoskopi adalah: kondisi
cincin inguinalis interna, processus vaginalis (patent atau non-patent), testis dan
vaskularisasinya serta struktur wolfian-nya.6 Tiga hal yang sering dijumpai saat
laparoskopi adalah: blind-ending pembuluh darah testis yang mengindikasikan
anorchia (44%), testis intra-abdomen (36%), dan struktur cord (vasa dan vas
deferens) yang keluar ke-dalam cincin inguinalis interna. 1,6
8. Diagnosis Banding
Seringkali dijumpai testis yang biasanya berada di kantung skrotum tiba-tiba
berada di daerah inguinal dan pada keadaan lain kembali ke tempat semula. Keadaan
ini terjadi karena reflek otot kremaster yang terlalu kuat akibat cuaca dingin, atau
setelah melakukan aktifitas fisik. Hal ini disebut sebagai testis retraktil atau
kriptorkismus fisiologis dan kelainan ini tidak perlu diobati. Selain itu UDT perlu
dibedakan dengan anorkismus, yaitu testis memang tidak ada. Hal ini bias terjadi
secara congenital memang tidak terbentuk testis, atau testis yang mengalami atrofi
akibat torsio in utero atau torsio pada saat neonatus.1,2
9. Penatalaksanaan
Tujuan terapi UDT yang utama dan dianut hingga saat ini adalah memperkecil
risiko terjadinya infertilitas dan keganasan dengan melakukan reposisi testis kedalam
skrotum baik dengan menggunakan terapi hormonal ataupun dengan cara
pembedahan (orchiopexy).1,6
Penatalaksanaan yang terlambat pada UDT akan menimbulkan efek pada testis di
kemudian hari. Dengan asumsi bahwa jika dibiarkan testis tidak dapat turun sendiri
setelah usia 1 tahun, sedangkan setelah usia 2 tahun terjadi kerusakan testis yang
cukup bermakna, maka saat yang tepat untuk melakukan terapi adalah pada usia 1
tahun. Pada prinsipnya testis yang tidak berada di skrotum harus diturunkan ke
tempatnya, baik dengan cara medikamentosa maupun pembedahan. 1,6
UDT meningkatkan risiko infertilitas dan berhubungan dengan risiko tumor sel
germinal yang meningkat 3-10 kali. Atrofi testis terjadi pada usia 5-7 tahun, akan
tetapi perubahan morfologi dimulai pada usia 1-2 tahun. Risiko kerusakan histologi
testis juga berhubungan dengan letak abnormal testis. Pada awal pubertas, lebih dari
90% testis kehilangan sel germinalnya pada kasus intraabdomen, sedangkan pada
kasus testis inguinal dan preskrotal, penurunan sel geminal mencapai 41% dan
20%.1,2
Gambar 4. Penatalaksanaan kriptorkismus yang didapat.
Gambar 5. Penatalaksanaan kriptorkismus Kongenital.
9.1. Terapi Hormonal
Terapi hormonal primer lebih banyak digunakan di Eropa. Hormon yang
diberikan adalah hCG, gonadotropinreleasinghormone (GnRH) atau LH-
releasing hormone (LHRH). Terapi hormonal meningkatkan produksi
testosteron dengan menstimulasi berbagai tingkat jalur hipotalamus-pituitary-
gonadal. Terapi ini berdasarkan observasi bahwa proses turunnya testis
berhubungan dengan androgen. Tingkat testosteron lebih tinggi bila diberikan
hCG dibandingkan GnRH. Semakin rendah letak testis, semakin besar
kemungkinan keberhasilan terapi hormonal.1,2,5
International Health Foundation menyarankan dosis hCG sebanyak 250
IU/ kali pada bayi, 500 IU pada anak sampai usia 6 tahun dan 1000 IU pada
anak lebih dari 6 tahun. Terapi diberikan 2 kali seminggu selama 5 minggu.
Angka keberhasilannya 6 – 55%. Secara keseluruhan, terapi hormon efektif
pada beberapa kelompok kasus, yaitu testis yang terletak di leher skrotum atau
UDT bilateral. Efek samping adalah peningkatan rugae skrotum, pigmentasi,
rambut pubis dan pertumbuhan penis. Pemberian dosis lebih dari 15000 IU
dapat menginduksi fusi epiphyseal plate dan mengurangi pertumbuhan
somatik.1,6
Pemberian hormonal pada kriptorkismus banyak memberikan hasil
terutama pada kelainan bilateral, sedangkan pada kelainan unilateral hasilnya
masih belum memuaskan. Obat yang sering dipergunakan adalah hormone hCG
yang disemprotkan intranasal.5
9.2. Pembedahan
Apabila hormonal telah gagal, terapi standar pembedahan untuk kasus
UDT adalah orchiopexy. Keputusan untuk melakukan orchiopexy harus
mempertimbangkan berbagai faktor, antara lain teknis, risiko anastesi,
psikologis anak, dan risiko bila operasi tersebut ditunda.
Operasi pada kriptorkismus adalah orchiopexy. Tujuan operasi pada
kriptorkismus adalah: (1) mempertahankan fertilitas, (2) mencegah timbulnya
degenerasi maligna, (3) mencegah kemungkinan terjadinya torsio testis, (4)
melakukan koreksi hernia, dan (5) secara psikologis mencegah terjadinya rasa
rendah diri karena tidak mempunyai testis. Operasi yang dikerjakan adalah
orkidopeksi yaitu meletakkan testis ke dalam skrotum dengan melakukan fiksasi
pada kantung sub dartos.
Tabel. 2 Jenis Tindakan Pembedahan pada Kelaianan UDT dan Tingkat
Keberhasilannya
Gambar 6. Orchiopexy.
Keterangan gambar:
Orchiopexy digunakan untuk memperbaiki UDT pada anak-anak. Satu insisi dibuat pada
abdomen yang merupakan lokasi UDT, dan insisi lain dibuat pada skrotum (A). Testis
dipisahkan dari jaringan sekitarnya (B) dan dikeluarkan dari insisi abdomen menempel
pada spermatic cord (C). Testis kemudian dimasukkan turun ke dalam skrotum (D) dan
dijahit (E).
Beberapa komplikasi yang dapat timbul akibat tindakan pembedahan
Orchiopexy antara lain 1,6 :
1. Posisi testis yang tidak baik karena diseksi retroperitoneal yang tidak komplit
(10% kasus)
2. Atrofi testis karena devaskularisasi saat membuka funikulus (5% kasus)
3. Trauma pada vas deferens ( 1–2% kasus)
4. Pasca-operasi torsio
5. Epididimoorkhitis
6. Pembengkakan skrotum
10. Komplikasi UDT
Telah lama diketahui bahwa komplikasi utama yang dapat terjadi pada UDT
adalah keganasan testis dan infertilitas akibat degenerasi testisDi samping itu disebut
juga terjadinya torsi testis, dan hernia inguinalis. 1,6
a. Risiko Keganasan
Teradapat hubungan yang erat antara UDT dan keganasan testis. Insiden
keganasan testis sebesar 1-6 pada setiap 500 laki-laki UDT di Amerika. Risiko
terjadinya keganasan testis yang tidak turun pada anak dengan UDT dilaporkan
berkisar 10-20 kali dibandingkan pada anak dengan testis normal.Makin tinggi
lokasi UDT makin tinggi risiko keganasannya, testis abdominal mempunyai
risiko menjadi ganas 4x lebih besar dibanding testis inguinal. 1,6
Orchiopexi sendiri tidak akan mengurangi risiko terjadinya keganasan, tetapi
akan lebih mudah melakukan deteksi dini keganasan pada penderita yang telah
dilakukan orchiopexy. 1,6
b. Infertilitas
Penderita UDT bilateral mengalami penurunan fertilitas yang lebih berat
dibandingkan penderita UDT unilateral, dan apalagi dibandingkan dengan
populasi normal. Penderita UDT bilateral mempunyai risiko infertilitas 6x lebih
besar dibandingkan populasi normal (38% infertil pada UDT bilateral
dibandingkan 6% infertil pada populasi normal), sedangkan pada UDT unilateral
berisiko hanya 2x lebih besar. 1,6
Komplikasi infertilitas ini berkaitan dengan terjadinya degenerasi pada UDT.
Biopsi pada anak-anak dan binatang coba UDT menunjukkan adanya penurunan
volume testis, jumlah germ cells dan spermatogonia dibandingkan dengan testis
yang normal. Biopsi testis pada anak dengan UDT unilateral yang dilakukan
sebelum umur 1 tahun menunjukkan gambaran yang tidak berbeda bermakna
dengan testis yang normal. 1,6
Perubahan gambaran histologis yang bermakna mulai tampak setelah umur 1
tahun, semakin memburuk dengan bertambahnya umur. Tidak seperti risiko
keganasan, penurunan testis lebih dini akan mencegah proses degenerasi lebih
lanjut. 1,6
DAFTAR PUSTAKA
1. Purnomo BB. Dasar-dasar urologi. Edisi 2. Jakarta: Sagung Seto; 2003. h.137-
40.
2. Schneck FX, Bellinger MF. Abnormalities of the testes and scrotum and their
surgical management. Dalam: Walsh PC. Campbell‘sUrology Vol 1. 8th edition.
Philadelphia: WB Saunders Company.2000
3. Tanagho EA, Nguyen HT. Embriology of the Genitourinary System. Dalam:
Tanagho EA, McAninch JW. Smith’s General Urology. Edisi 17. California: The
McGraw Hill companies; 2000. h.23-45.
4. Docimo, S. G., R. I. Silver, and W. Cromie. The Undescended Testicle:
Diagnosis and Management.American Family Physician, 62 (November 1,
2000): 2037–2044, 2047–2048.
5. Batubara JRL. Terapi hormonal pada kriptorkismus.Disampaikan pada
Simposium Sehari Tatalaksana Optimal Kriptorkismus, Jakarta, 13 Agustus,
1994.
6. Kolon TF. Cryptorchidism. 2002. Diunduh dari
http://www.emedicine.com/med/topic2707.html. ( diakses tanggal 23 Juli 2012)
7. Sadler. Embriologi Kedokteran LANGMAN. Edisi ke-7. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2000. h.280-310.
8. Dogra VS, Mojibian H. Cryptorchidism. In:
http://www.emedicine.com/radio/topic201.htm ( diakses tanggal 23 Juli 2012)