Post on 29-Dec-2015
description
KAPASITAS PREDASI LABA-LABATERHADAP HAMA EKOSISTEM PERTANIAN
Oleh:
Adven Kristianti B1J011124Purwaningtias F. B1J011131Devi Fatkuljanah B1J011132Khasanah B1J011133Arbiansyah Adinegara B1J011137Bunga Khalida Puri B1J011140Niki Sylvia R. B1J011141Sindy Lukitasari B1J011148Gyneaeri Aisyah H. W. B1J011153Hanifah Kholid Basalamah B1J011156
LAPORAN PRAKTIKUM PENGENDALIAN HAYATI
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAANUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGIPURWOKERTO
2014
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap makhluk hidup menjadi penyusun dan pelaku terbentuknya suatu
komunitas yang mampu mengatur dirinya sendiri secara alami, sehingga terjadi
keseimbangan numerik antara semua unsur penyusun komunitas. Setiap aktivitas
organisme dalam komunitasnya selalu berinteraksi dengan aktivitas organisme
lain dalam suatu keterikatan dan ketergantungan yang rumit yang menghasilkan
komunitas yang stabil. Interaksi antarorganisme tersebut dapat bersifat
antagonistik, kompetitif, atau bersifat positif seperti simbiotik (Untung, 2006).
Menurut Flint dan Bosch (2000), ekosistem adalah kesatuan komunitas
bersama-sama dengan sistem abiotik yang mendukungnya. Sebagai contoh adalah
ekosistem pertanian sawah dibentuk oleh komunitas makhluk hidup bersama-
sama dengan tanah, air, udara dan unsur-unsur fisik lain yang terdapat di sawah
tersebut. Konsep ekosistem, seperti konsep biosfer menekankan hubungan yang
tetap antara faktor-faktor hidup dan tak hidup di setiap lingkungan.
Arthropoda predator (serangga dan laba-laba) di ekosistem persawahan
merupakan musuh alami yang paling berperan dalam menekan populasi hama
padi (wereng coklat dan penggerek batang) (Thalib et al., 2002). Hal ini
disebabkan predator memiliki kemampuan untuk beradaptasi di ekosistem
ephemeral tersebut. Arthropoda predator yang telah terbukti efektif
mengendalikan hama padi adalah laba-laba pemburu, misalnya Pardosa
pseudoannulata dan kumbang Carabidae (Kromp dan Steinberger, 1992).
B. Tujuan
Tujuan dari praktikum ini yaitu mengetahui kapasitas predasi dari laba-
laba terhadap hama ekosistem pertanian.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Agen pengendalian hayati merupakan organisme yang menggunakan
spesies hama sebagai sumber daya pakan dan seringkali disebut sebagai musuh
alami, organisme bermanfaat atau agen biokontrol (Habazar dan Yaherwandi,
2006). Musuh alami serangga terdiri atas predator, parasitoid, dan entomopatogen.
Serangga predator memiliki keunggulan di antara ketiga musuh alami tersebut,
yaitu memiliki kemampuan memangsa dengan cepat, dapat membunuh berbagai
stadium mangsa dan dapat mengkonsumsi beberapa jenis mangsa (Erawati, 2005).
Pengendalian hayati memiliki keuntungan antara lain yaitu aman artinya
tidak menimbulkan pencemaran lingkungan dan keracunan pada manusia maupun
pada ternak, tidak menyebabkan resistensi hama, musuh alami bekerja secara
selektif terhadap inangnya atau mangsanya dan bersifat permanen untuk jangka
waktu panjang lebih murah, apabila keadaan lingkungan telah stabil atau telah
terjadi keseimbangan antara hama dan musuh alaminya. Hampir semua ordo
serangga memiliki jenis yang menjadi predator, tetapi selama ini ada beberapa
ordo yang anggotanya merupakan predator yang digunakan dalam pengendalian
hayati, ordo-ordo tersebur antara lain Coleoptera, Orthoptera, Diptera, Ordonata,
Hemiptera, Neuroptera dan Hyminoptera (Jumar, 2000).
Serangga dilihat dari sudut pandang usaha tani, dikelompokkan menjadi
serangga hama, serangga berguna, dan serangga netral. Sebagai organisme
berguna, serangga ada yang berperan sebagai musuh alami baik sebagai parasitoid
maupun predator, serangga penyerbuk, dan dekomposer, sedangkan serangga
netral kerap menjadi mangsa predator, sehingga peranannya sangat besar dalam
menjaga keseimbangan ekosistem padi sawah. Kebanyakan petani memandang
serangga sebagai organisme perusak sehingga harus dikendalikan. Kenyataannya,
keragaman jenis serangga mempunyai peran yang sangat penting dalam ekosistem
padi sawah. Keanekaragaman hayati serangga berpengaruh terhadap kuantitas dan
kualitas produk yang dihasilkan. Umumnya, telah terjadi kestabilan populasi
hama dan musuh alaminya di ekosistem alami sehingga keberadaan serangga
hama pada pertanaman tidak lagi merugikan. Kenyataan tersebut perlu
dikembangkan sehingga mampu menekan penggunaan pestisida untuk
mengendalikan serangan hama di lapangan, terutama pada tanaman-tanaman
berorientasi ekspor dan mempunyai nilai ekonomis tinggi (Widiarta et al., 2006).
Ekosistem padi sawah bersifat cepat berubah karena sering terjadi
perubahan akibat aktivitas pengolahan tanah, panen, dan bera. Beda antarwaktu
tanam tidak hanya menekan populasi hama tetapi juga berpengaruh pada
kerapatan populasi musuh alami pada awal musim tanam berikutnya, sehingga
pertumbuhan populasi predator tertinggal. Rendahnya kepadatan populasi musuh
alami pada saat bera karena mangsa (termasuk hama) juga rendah. Apabila
serangga netral cukup tersedia akan berpengaruh baik terhadap perkembangan
musuh alami. Peningkatan kelimpahan serangga netral akan meningkatkan
pengendalian alami melalui peningkatan aktivitas pada jarring-jaring makanan
(Winasa, 2001).
Serangga predator adalah serangga yang membunuh dan memakan
serangga lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ciri-ciri predator secara
umum berukuran lebih besar dan lebih kuat dibandingkan mangsanya. Satu
individu predator membutuhkan lebih dari satu mangsa selama hidupnya. Predator
dapat mematikan mangsa dalam waktu singkat. Stadium pradewasa maupun
dewasa serangga predator dapat bersifat kanibal. Predator pradewasa dan dewasa
tidak selalu hidup pada habitat yang sama dengan mangsanya. Biasanya serangga
predator memiliki daur hidup lebih lama dibandingkan mangsanya (Habazar dan
Yaherwandi, 2006).
Berdasarkan penelitian Suana (2006), pada pertanian polikultur dan
monokultur ditemukan sebanyak 328 individu laba-laba dari 50 jenis, 30 genera,
dan 11 suku telah dikoleksi dengan sumur jebak dan jaring ayun pada ekosistem
sawah di Pulau Lombok. Kebanyakan suku laba-laba yang ditemukan dalam
penelitian tersebut memiliki penyebaran yang luas, tetapi ada juga suku yang
hanya dijumpai pada satu ekosistem sawah. Metidae, Salticidae, Pisauridae, dan
Clubionidae hanya dijumpai pada ekosistem sawah polikultur, sedangkan
Linyphiidae hanya dijumpai pada ekosistem sawah monokultur. Walaupun kelima
suku tersebut hanya dijumpai pada satu ekosistem sawah, tidak berarti bahwa
keduanya merupakan suku yang jarang.
III. MATERI DAN METODE
A. Materi
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah timer, kamera
digital, dan alat tulis.
Bahan-bahan yang digunakan antara lain capung hidup (Anax junius) dan
laba-laba (Araneus diadematus) beserta jaring-jaringnya.
B. Metode
Metode yang digunakan dalam praktikum ini yaitu:
1. Satu individu laba-laba yang sedang berada pada jaring-jaringnya di suatu
tempat dipilih sebagai objek pengamatan. Diusahakan laba-laba tersebut
belum mendapatkan mangsa, sehingga masih dalam keadaan lapar.
2. Capung hidup ditempelkan pada jaring-jaring laba-laba tersebut.
3. Lama waktu laba-laba dalam menemukan, melumpuhkan, dan menangani
mangsanya dihitung.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Tabel 1. Pengamatan Tahapan Predasi Laba-Laba terhadap Capung
Tahapan Predasi Waktu
Menemukan (mendekati mangsa) 2 detik
Melumpuhkan (menginjeksi bisa ke mangsa) 24 detik
Menangani (menggulung mangsa dengan jaring) 2 menit 8 detik
Gambar 2.Laba-Laba Melumpuhkan Capung
Gambar 1.Laba-Laba Menemukan Capung
B. Pembahasan
Predator merupakan kelompok musuh alami yang sepanjang hidupnya
akan memakan mangsanya. Predator memiliki bentuk tubuh yang relatif besar
sehingga mudah dilihat. Agen hayati, seperti artropoda predator telah banyak
dilaporkan dapat menekan populasi hama baik pada pertanaman padi maupun
pada pertanaman kedelai (Khodijah et al., 2012).
Predasi adalah hubungan antara mangsa dan pemangsa (predator).
Hubungan ini sangat erat sebab tanpa mangsa, predator tak dapat hidup.
Sebaliknya predator juga berfungsi sebagai pengontrol populasi mangsa. Laba-
laba merupakan salah satu musuh alami hama (predator), terutama terhadap
serangga sehingga dapat berperan dalam mengontrol populasi serangga. Laba-laba
adalah predator polifag sehingga berpotensi untuk mengendalikan berbagai
spesies serangga hama (Chatterjee et al., 2009). Laba-laba mampu menempati
berbagai macam habitat sehinggga bisa berpindah dari satu habitat ke habitat
lainnya bila mengalami gangguan (Suana, 2006).
Laba-laba merupakan binatang yang dapat dijumpai di setiap benua dan
hampir semua habitat daratan. Ukuran laba-laba kecil seperti butiran beras sampai
dengan ukuran yang paling besar seperti tangan laki-laki dewasa. Laba-laba dapat
dibagi menjadi laba-laba beracun dan tidak beracun. Laba-laba beracun biasanya
lebih sering melakukan aktivitas di tanah dan berperan sebagai predator,
sedangkan laba-laba tidak beracun lebih sering membuat jaring (Borror, 1992).
Laba-laba atau labah-labah adalah sejenis hewan berbuku-buku
(arthropoda) dengan dua segmen tubuh yaitu segmen bagian depan cephalothorax
atau prosoma, yang sebetulnya gabungan dari kepala dan dada (thorax),
sedangkan segmen bagian belakang disebut abdomen (perut) atau opisthosoma.
Antara cephalothorax dan abdomen terdapat penghubung tipis yang dinamai
pedicle pedicellus. Laba-laba juga memiliki empat pasang kaki, tak bersayap dan
tidak memiliki mulut pengunyah. Laba-laba bernapas dengan paru-paru buku atau
trakea. Ekskresi laba-laba dilakukan dengan tubula Malpighi. Ekskresi lainnya
dilakukan dengan kelenjar koksal (Borror, 1992). Laba-laba mengalami sangat
sedikit metamorfosis selama perkembangan mereka. Apabila menetas, mereka
kelihatan seperti dewasa-dewasa yang kecil. Bila tungkai-tungkai hilang selama
perkembangan, mereka biasanya dapat beregenerasi. Laba-laba biasanya berganti
kulit dari 4 sampai 12 kali selama pertumbuhan mereka sampai mereka dewasa.
Kebanyakan laba-laba berumur 1-2 tahun (Borror, 1992).
Klasifikasi laba-laba menurut Plantnick
(2010), adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Arachnida
Ordo : Araneae
Famili : Araneidae
Genus : Araneus
Spesies : Araneus diadematus
Mangsa laba-laba salah satunya yaitu capung yang merupakan kelompok
serangga yang tergolong ke dalam bangsa Odonata. Capung umumnya bertubuh
relatif besar dan hinggap dengan sayap terbuka atau terbentang ke samping.
Dinamakan capung loreng hijau karena bagian thoraxnya berwarna hijau dengan
loreng hitam. Capung jarum umumnya bertubuh kecil (meskipun ada beberapa
jenis yang agak besar), memiliki abdomen yang kurus ramping mirip jarum, dan
hinggap dengan sayap-sayap tertutup, tegak menyatu di atas punggungnya
(Borror, 1992).
Capung merupakan hewan semi-akuatik. Siklus hidup capung, dari telur
hingga mati setelah dewasa, bervariasi antara enam bulan hingga maksimal enam
atau tujuh tahun. Capung meletakkan telurnya pada tumbuhan yang berada di air.
Ada jenis yang senang dengan air menggenang, namun ada pula jenis yang senang
menaruh telurnya di air yang agak deras. Pasca menetas, larva capung hidup dan
berkembang di dalam perairan, mengalami metamorfosis menjadi nimfa dan
akhirnya keluar dari air sebagai capung dewasa. Sebagian besar siklus hidup
capung dihabiskan dalam bentuk nimfa di bawah permukaan air dengan
menggunakan insang internal untuk bernafas. Tempayak dan nimfa capung hidup
sebagai hewan karnivora yang ganas. Nimfa capung yang berukuran besar bahkan
Gambar 4. Araneus diadematus
(Plantnick, 2010)
dapat memburu dan memangsa berudu dan anak ikan. Capung dewasa hanya
mampu hidup maksimal selama empat bulan (Borror, 1992).
Klasifikasi:
Kingdom : Animalia
Phylum : Arhtropoda
Classis : Insecta
Ordo : Odonata
Familia : Epiprocta
Genus : Anax
Species : Anax junius
Capung adalah kelompok serangga yang tergolong ke dalam bangsa
Odonata. Capung umumnya bertubuh relatif besar dan hinggap dengan sayap
terbuka atau terbentang ke samping. Dinamakan capung loreng hijau karena
bagian thoraxnya berwarna hijau dengan loreng hitam. Capung jarum umumnya
bertubuh kecil (meskipun ada beberapa jenis yang agak besar), memiliki abdomen
yang kurus ramping mirip jarum, dan hinggap dengan sayap-sayap tertutup, tegak
menyatu di atas punggungnya (Borror, 1992).
Capung merupakan hewan semi-akuatik. Siklus hidup capung, dari telur
hingga mati setelah dewasa, bervariasi antara enam bulan hingga maksimal enam
atau tujuh tahun. Capung meletakkan telurnya pada tumbuhan yang berada di air.
Ada jenis yang senang dengan air menggenang, namun ada pula jenis yang senang
menaruh telurnya di air yang agak deras. Pasca menetas, larva capung hidup dan
berkembang di dalam perairan, mengalami metamorfosis menjadi nimfa dan
akhirnya keluar dari air sebagai capung dewasa. Sebagian besar siklus hidup
capung dihabiskan dalam bentuk nimfa di bawah permukaan air dengan
menggunakan insang internal untuk bernafas. Tempayak dan nimfa capung hidup
sebagai hewan karnivora yang ganas. Nimfa capung yang berukuran besar bahkan
dapat memburu dan memangsa berudu dan anak ikan. Capung dewasa hanya
mampu hidup maksimal selama empat bulan (Borror, 1992).
Gambar 4. Loreng Hijau (Borror, 1992)
Berdasarkan pengamatan mekanisme predasi laba-laba terhadap capung
didapatkan hasil yaitu waktu yang dibutuhkan laba-laba untuk menemukan
capung pada jaring-jaringnya hanya 2 detik. Laba-laba selanjutnya mendekati
mangsanya dan mulai melumpuhkannya pada detik ke 24 dengan menginjeksikan
bisa menggunakan taring di mulutnya. Capung yang sudah lemas kemudian mulai
dibungkus dengan jaring-jaring yang keluar dari bagian belakang tubuh laba-laba
pada 2 menit 8 detik. Laba-laba tersebut tidak langsung mengonsumsi capung
pada saat itu juga tetapi justru meninggalkannya. Menurut Tarakanova et al.,
(2012), mekanisme predasi laba-laba dimulai dari menunggu mangsa yang
terbang dan terperangkap di jaringnya. Laba-laba mendekati serangga tersebut
dengan cepat, melumpuhkan mangsa dengan menusukkan racun, kemudian
memakannya dengan menghisap cairan tubuh mangsanya.
Kebanyakan laba-laba memang merupakan predator (pemangsa). Laba-
laba penenun (misalnya anggota suku Araneidae) membuat jaring-jaring sutera
berbentuk kurang lebih bulat di udara, di antara dedaunan dan ranting-ranting, di
muka rekahan batu, di sudut-sudut bangunan, di antara kawat telepon, dan lain-
lain. Helaian benang sutra tersebut berasal dari kelenjar spinneret yang terletak di
bagian belakang tubuh laba-laba. Benang sutra tersebut berupa serat protein yang
tipis tetapi kuat dan berguna bagi kelangsungan hidup hewan ini. Jaring ini
bersifat lekat, untuk menyergap serangga terbang yang menjadi mangsanya. Jaring
sutra membantu pergerakkan laba-laba untuk berayun dari satu tempat ke tempat
lain, menangkap mangsa, dan mencari tempat persembunyian. Jaring laba-laba
juga membantu pembuatan kantung telur dan melindungi lubang sarang dari
musuh. Beberapa laba-laba penenun memiliki kemampuan membungkus tubuh
mangsanya dengan lilitan benang-benang sutera. Kemampuan ini sangat berguna
terutama jika si mangsa memiliki alat pembela diri yang berbahaya, seperti lebah
yang mempunyai sengat atau jika laba-laba ingin menyimpan mangsanya
beberapa waktu sambil menanti saat yang lebih disukai untuk menikmatinya
belakangan (Harmer et al., 2011).
Begitu serangga terperangkap jaring, laba-laba segera mendekat dan
menusukkan taringnya kepada mangsa untuk melumpuhkan dan sekaligus
mengirimkan enzim pencerna ke dalam tubuh mangsanya. Bisa yang disuntikkan
laba-laba melalui taringnya biasanya sekaligus mencerna dan menghancurkan
bagian dalam tubuh mangsa. Racun laba-laba memiliki fungsi primer yaitu
melumpuhkan mangsanya dan fungsi sekunder yaitu mematikan mangsanya.
Selanjutnya, perlahan-lahan cairan tubuh beserta hancuran organ dalam itu dihisap
oleh laba-laba yang bermulut tipe penghisap. Berjam-jam laba-laba menyedot
cairan itu hingga bangkai mangsanya mengering. Laba-laba yang memiliki rahang
(chelicera) kuat, bisa lebih cepat menghabiskan makanannya dengan cara
merusak dan meremuk tubuh mangsa dengan rahang dan taringnya itu. Tinggal
sisanya berupa bola-bola kecil yang merupakan remukan tubuh mangsa yang telah
mengisut (Goff et al., 2010).
Kraftt dan Cookson (2012) dalam artikelnya menjelaskan hubungan antara
produksi sutra laba-laba dan perilaku mereka. Sutra laba-laba memungkinkannya
untuk mengubah lingkungan fisik yang pada gilirannya menyebabkan perubahan
perilaku dan dampak dalam lingkungan yang baru. Sutra dapat bertindak sebagai
sarana perlindungan terhadap stres lingkungan, jerat mangsa, alat gerak, dan juga
sebagai dukungan sinyal kimia atau bertindak sebagai vektor sinyal getaran.
Sebagian besar ulasan ini menggambarkan sutra sebagai kepala agen yang
mengarahkan pembangunan perangkap, komunikasi, kohesi sosial, dan kerjasama
antara produsennya.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa:
1. Mekanisme predasi laba-laba terhadap mangsanya yaitu laba-laba segera
mendekat serangga yang terperangkap jaring, menusukkan taring untuk
melumpuhkan dan sekaligus mengirimkan racun dan enzim pencerna ke
dalam tubuh mangsanya. Cairan tubuh beserta hancuran organ dalam mangsa
dapat langsung dihisap oleh laba-laba atau dapat pula mangsa dibalut sutra
untuk dimakan nanti.
2. Waktu yang dibutuhkan laba-laba dalam menemukan capung yaitu 2 detik,
melumpuhkan mangsa 24 detik, dan menangani mangsanya pada 2 menit 8
detik.
B. Saran
Sebaiknya dilakukan pengamatan kapasitas predasi predator lain selain
laba-laba.
DAFTAR REFERENSI
Borror, Donal J. 1992. Pengantar Pengolahan Hama Terpadu. Yogyakarta: Gajah Mada University.
Borror, D.J. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga Edisi Keenam. Yogyakarta: Penerbit Gadjah Mada University.
Chatterjee, S. Isaia, M. Venturino, E. 2009. Spiders as Biological Controllers in The Agroecosytem. Journal of Theoretical Biology. Vol. 258: 352-362.
Erawati, W. 2005. Perilaku dan Siklus Hidup Sycanus annulicornic Dohrn. Asal Tanaman Kedelai pada Mangsa Larva Spodoptera litura (F.), Skripsi. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Flint L. M dan V. den Bosch. R. 2000. Pengendalian Hama Terpadu, Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Kanisius.
Goff, G. J. L., A. C. Mailleux, C. Detrain, J. L. Deneubourg, G. Clotuche, and T. Hance. 2010. Group Effect on Fertility, Survival and Silk Production in The Web Spinner Tetranychus urticae (acari: Tetranychidae) During colony foundation. Behaviour. Vol. 147(9): 1169–1184.
Habazar, T. dan Yaherwandi. 2006. Pengendalian Hama dan Penyakit Tumbuhan. Padang: Andalas University Press.
Harmer, Aaron M. T., T. A. Blackledge, J. S. Madin, and M. E. Herberstein. 2011. High-Performance Spider Webs: Integrating Biomechanics, Ecology and Behaviour. J. R. Soc. Interface. Vol. 8: 457–471.
Jumar. 2000. Entomologi Pertanian. Jakarta: Rineka Cipta.
Khodijah, Herlinda, Siti, Irsan, Chandra, Pujiastuti, Yulia, dan Rosdah Thalib. 2012. Artropoda Predator Penghuni Ekosistem Persawahan Lebak dan Pasang Surut Sumatera Selatan. Jurnal Lahan Suboptimal. Vol. 1(1): 57-63.
Krafft, Bertrand and L. J. Cookson. 2012. The Role of Silk in the Behaviour and Sociality of Spiders. Psyche. Vol. 1: 1-25.
Kromp, B. and K.H. Steinberger. 1992. Grassy Field Margins and Arthropod Diversity: A Case Study on Ground Beetles and Spiders in Eastern Austria (Coleoptera: Carabidae; Arachnidae: Aranei, Opiliones). Agric. Ecosyst. Environ. Vol. 40: 71-93.
Plantnick, Norman. 2010. The World Spider Catalog. USA: American Museum of Natural History.
Suana, I. W. 2006. Kolonisasi dan Suksesi Laba-Laba (Araneae) pada Pertanaman Padi. Jurnal Biologi. Vol. 9: 1-7.
Tarakanova, Anna and M. J. Buehler. 2012. The Role of Capture Spiral Silk Properties in The Diversification of Orb Webs. R. Soc. Interface. Vol. 9: 3240–3248.
Thalib, R., Effendy T.A., Herlinda S. 2002. Struktur Komunitas dan Potensi Artropoda Predator Hama Padi Penghuni Ekosistem Sawah Dataran Tinggi di Daerah Lahat, Sumatera Selatan. Makalah Seminar Nasional Dies Natalis Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya & Peringatan Hari Pangan Sedunia, Palembang, 7-8 Oktober 2002.
Untung. 2006. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Yoyakarta: Gajah Mada University Press.
Widiarta, I., Y. Kusdiaman, D. Suprihanto. 2006. Keragaman Arthropoda pada Padi Sawah dengan Pengelolaan Tanaman Terpadu. Jurnal HPT Tropika. Vol. 6(2): 61-69.
Winasa, I.W. 2001. Arthropoda Predator Penghuni Permukaan Tanah di Pertanaman Kedelai : Kelimpahan, Pemangsaan, dan Pengaruh Praktek Budidaya Tanaman, Disertasi. Program Pascasarjana. IPB.