Post on 18-Mar-2019
Edisi : No.4 Tahun VI / Januari 2013 ISSN : 2086-0692
JURNAL ILMIAH
Perbedaan Persepsi Akuntan Publik dan Non Publik Terhadap Kode Etik Akuntan Indonesia (studi kasus pada auditor KAP dan Dosen Maksi PTS Jakarta)
Oleh :Bertha Elvy Napitupulu
Pengaruh Kebijakan Strategi Penjualan Terhadap Rentabilitas
Oleh : Tiur N W Tobing
Peran Pemimpin Dalam Menciptakan Visi dan Misi Serta Petunjuk Akan Strategi
Oleh : Jefri Lukito
Tanggung Jawab Akuntan Publik Dalam Mendeteksi Kecurangan Pada Audit Atas Laporan Keuangan dan Pemberian Opini Wajar Tanpa Pengecualian (Unqulified Opinion)
Oleh : Rifki Gunawan
Rasio Ketergantungan Analisa Untuk Indonesia Oleh : Sita Dewi
SUSUNAN REDAKSI
JURNAL ILMIAH JAYAKARTA
Pelindung : Ketua Yayasan Dharma Pendidikan Jakarta
Pembina : Ketua dan Puket I Bidang Akademik
Penanggung Jawab : Drs. Sofar Silaen, MM
Pemimpin Redaksi : Drs. Zachris Nurzain, MM
Anggota Redaksi : - Tiur Nurlini Wenang Tobing, SE
- Loeky Rono Pradopo, SE
- Tumpal Sinaga, SE., MM
- Rudy Saragih, SE, Ak., MM
Administrasi dan Sirkulasi : Zulkarnaen
Alamat Redaksi : Pusat Penelitian STIE Jayakarta
Jl. Salemba Raya No.24
Jakarta Pusat
Telp. (021) 3906060, 3905050
Fax. (021) 3907070
http://www.jayakarta.ac.id
PERBEDAAN PERSEPSI
AKUNTAN PUBLIK DAN NON
PUBLIK TERHADAP KODE ETIK
AKUNTAN INDONESIA (Studi
Kasus pada Auditor KAP dan Dosen
Maksi PTS Jakarta) Bertha Elvy Napitupulu
Abstraksi
Kajian penelitian ini adalah untuk
mengetahui apakah terdapat perbedaan
persepsi antara akuntan publik non publik
terhadap kode etik akuntan Indonesia.
Sampel yang digunakan sebanyak 110
terdiri dari 55 responden Akuntan Publik
dan 55 responden Akuntan Non Publik di
Jakarta. Metode analisa data menggunakan
uji statistic t dan uji paired pada signifikansi
0,05
Hasil analisa dan pengujian hipotesa
yang telah dilakukan diperoleh hasil
terdapat perbedaan persepsi positif antara
Akunan Publik dengan Akuntan Non Publik
terhadap Kode Etik Akuntan Indonesia
dilihat dari hasil t-test. Selain itu, dari hasil
uji hipotesis kedua terdapat perbedaan
persepsi antara Akuntan Publik dan Non
Publik. Hal ini disebabkan karena Akuntan
Non Publik yang berprofesi sebagai Dosen
Magister Akuntansi lebih banyak memiliki
pengalaman yang lebih lama dilihat dari
lamanya bekerja dan juga dapat dilihat
secara umur yang relatif lebih matang,
sedangkan responden Akuntan Publik yang
bekerja sebagai auditor di Kantor Akuntan
Publik dengan usia yang relatif lebih muda
dengan lamanya bekerja dibanding lebih
sedikit dengan Akuntan Non Publik
Sebagai suatu hasil kajian penelitian
ini , maka dapat dijadikan sebagai bahan
informasi atau masukan khusus Kode Etik
Akuntan Indonesia guna penyempurnaan
serta pelaksanaan Kode Etik Akuntan
Indonesia bagi akuntan guna meningkatkan
pengetahuan, menambah pengalaman
sertamelakukan tugas profesionalnya. Agar
masyarakat menjadi lebih percaya terhadap
profesi akuntan di masa yang akan datang
Kata kunci: Perbedaan Persepsi, Akuntan
Publik, Akuntan Non Publik, Kode Etik
Akuntan Indonesia
I. PENDAHULUAN
Seiring dengan meningkatnya
kompetensi dan globalisasi setiap profesi
dituntut untuk bekerja secara professional.
Kemampuan dan keahlian khusus dimiliki
oleh suatu profesi adalah suatu keharusan
agar profesi terebut mampu bersaing didunia
usaha sekarang ini. Selain keahlian dan
kemampuan khusus yang dimiliki oleh suatu
profesi , dalam menjalankan suatu profesi
juga memiliki kode etik profesi. Dengan
adanya kode etik profesi maka setiap profesi
memiliki aturan main yang harus ditaati oleh
pihak yang menjalankan profesi.
Permintaan terhadap Jasa akuntansi
dan auditing timbul bila terjadi kondisi
kompleksitas yang volume transaksi
bisnisnya telah sedemikian besar dan
kompleksnya. Sampai saat ini kredibilitas
akuntan public masih banyak yang
mempertanyakan dengan banyaknya kasus-
kasus yang muncul seiring perkembangan
bisnis yang menglobal dan seiring
banyaknya perusahaan yang membutuhkan
jasa akuntan.
Kepercayaan yang telah diberikan
masyarakat kepada profesi akuntan publik
harus dipelhara dan ditingkatkan agar
keberadaan profesi tersebut tidak terancam.
Krisis kepercayaan masyarakat terhadap jasa
profesi jelas paling mutlak harus
dihindarkan. Permasalahannya adalah
apakah semua anggota profesi betul-betul
melaksanakan tugasnya sesuai dengan
norma dan aturan yang berlaku? Denga kata
lain , para anggota profesi seharusnya
mematuhi standar teknis dan etika tersebut.
Khusus kode etik , hal yang paling utama
adaah bagaimana menjadikan kode etik
terebut menjadikan sebagai suatu realitas
dan bukan hanya merupakan suatu cita-cita
guna memenuhi formalitas profesi.
Berdasarkan alasan tersebut, menurut
penulis menimbulkan dugaan perlunya
dilakukan peneliti terhadap kode etik
akuntan bagi pihak-pihak yang
melaksanakan etika tersubut, disini penulis
menelitinya pada akuntan public dan non
publik studi kasus pada auditor KAP dan
Dosen MAKSI PTS di Jakarta.
Penegakan etika profesi Akuntan
harus dimulai sedini mungkin sejak
dibangku kuliah , apabila tidak dlaksanakan
sejak sedini mungkin maka akan menguangi
kualitas audit yang dia laksanakan.
Berdasarkan hal terebut di atas, maka
dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah persepsi akuntan public
dan non public di wilayah Jakarta
terhadap Kode Etik Akuntan Indonesia?
2. Bagimana pengaruh variable
representasi dari persepsi akunta public
dan non public dari tanggung jawab
profesi, kepentingan public atas
kerahasiaan terhadap opini yang
diberikan?
3. Apakah terdapat perbedaan persepsi
antara Akuntan Publik dengan akuntan
Non Publik terhadap Kode Etik Akuntan
di wilayah Jakarta?
Tujuan Penelitian ini adalah untuk
menguji secara empiris apakah akuntan
public dan non public memiliki
persepsiyang positif terhadap kode etik
akuntanpublik dan untuk mengukur variable
atas representasi dari persepsi akuntan
public dan non public dari tanggung jawab
profesi, kepentingan pubik dan kerahasiaan
apakah pengaruh terhadap opini yang
diberikan serta untuk menguji secara empiris
apakah terdapat perbedaan persepsi terhadap
kode etik akuntan antara kelopok akuntan
public dan non publik
Penelitin ini diharapkan dapat
memberikan manfaat dalam memberikan
bukti deskriftif tentang persepsi akuntan
terhadap kode etik , Disamping itu juga akan
memberikan masukan dalam pelaksanaan
Kode Etik Akuntan Indonesia. Pelaksanaan
kode etik diharapkan dapat mencerminkan
citra profesi yang tinggi dalam pelaksanaan
tugas-tugas profesi sehingga mendorong
perkembangan profesi dimasa yang akan
datang.
II. KAJIAN TEORITIS DAN
PENGEMBANGAN HIPOTESA
Akuntan Publik adalah suatu profesi
yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat.
Dalam melakukan penugasan umum, auditor
ditugasi memberikan opini dari hasil
pekerjaannya. Dalam memberikan opini
yang tepat ada beberapa hal yang bisa
dilakukanan seorang auditor agar dapat
memberikan opini yang nantinya berguna
dan nantinya dapat dipertanggungjawabkan
kewajarannya. Untuk itu auditor diharapkan
dapat selalu meningkatkan dan menjaga
kualitas dalam memberikan opini.
Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia
memuat delapan prinsip etika (SPAP,
2001:001.14) yaitu: Tanggung Jawab
Profesi, Kepentingan Publik, Integritas,
Objektivitas, Kompetensi dan Kehati-hatian
Profesional, Kerahasiaan, Prilaku
Profesional dan Standar Teknis. Etika
Profesi bagi praktik akuntan di Indonsia
disebut dengan istilah Kode Etik Akuntan
Indonesia yang dikeluarkan oleh IAI sebagai
organisasi profesi akuntan yang mulai diakui
dan disahkan di Indonesia pada tahun 1954
dengan disahkan melalui UU no 34 thn
1954. Profesi Akuntan public merupakan
profesi yang menyediakan jasa kepercayaan
yang penting bagi masyarakat. Oleh karena
itu, tindakan profesi yang tidak
bertanggungjawab dapat merusak
kepercayaan masyarakat terhadap profesi
tersebut. Dalam hal ini akuntan public
berfungsi sebagai pihak ketiga yang
menghubungkan pihak perusahaan dengan
pihak luar perusahaan dan berkepentingan
memberikan keyakinan bahwa laporan
keuangan yang disajikan dapat memberikan
keyakinan bahwa laporan keuangan yang
disajikan dapat dipercaya sebagai dasar
dalam membuat keputusan bisnis
Tanpa menggunakan jasa Akuntan
Publik pihak manajemen perusahaan tidak
akan dapat meyakinkan pihak luar bahwa
laporan keuangan yang disajikan manajemen
perusahaan berisi informasi yang dapat
dipercaya. Laporan auditor pentingsekali
dalamsuatu audit karena laporan audit dapat
menginformasikan tentang apa yang
dilakukan auditor dan kesimpulan yang
diperolehnya , sebagai opini. Auditor
mempunyai tanggung jawab untuk menilai
apakah terdapat kesangsian besar terhadap
kemampuan dalam mempertahankan
kelangsungan usahanya selama periode
waktu tertentu dan membuktikan kewajaran
atas laporan keuangan yang disajikan oleh
klien. Adapun hipotesa yang diteliti adalah:
H I : Terdapat persepsi positif antara
akuntan public dan non public
terhadap kode etik akuntan
indonesia
H II : Terdapat perbedaan persepsi antara
akuntan public dengan Akuntan
non public terhadap Kode Etik
Akuntan Indonesia
III. METODELOGI PENELITIAN
Penelitian yang dilakukan adalah
jenis penelitian kuantitatif, tipe penelitian ini
adalah penelitian deskriftif. Penelitian ini
bertujuan memberikan gambaran
phenomena yang terjadi dalam masyarakat
atau suatu kelompok orang tertentu, dalam
penelitian ini yaitu kelompok Akuntan
Publik dan Non Akuntan Publik yang berada
di wilayah Jakarta, kaitannya dengan
persepsi terhadap kode etik dan
pengaruhnya terhadap opini yang diberikan.
Ringkasa Dimensi penelitian
Disain penelitian Keterangan
Tingkat kristalisasi Eksploratif
Sifat HUbungan antara Variabel Deskritif
Sifat Peneltian Survey (Questionnaires)
Modus Komunikasi Mail survey, e-mail & personanlly adm.
Dimensi Waktu Cross sectional
Kemmpuan mempengaruhi Variabel Ex post facto
Lingkungan Penelitian Lapangan Riil
Penentuan Jumlah Populasi KAP
No KAP Jumlah Populasi
Terpilih
1. Gani, Sigiro & Handayani (Grant Thronton Intrnasional) 12
2. Osman Ramli Satrio & Rekan (Deloitte Touch Thomatsu) 25
3 Sarwoko& Sandjaja ( Ernst & Young Globl) 13
4. Shidarta Shidarta & Widjaja(KPG) 14
5. Tanubrata Yogi Sibarani Hananta (BDO Global Coordination) 11
Jumlah 75
Sedangkan untuk Akuntan Non Publik Penulis
memilih profesi Dosen yang memilikiprogram
studi MAKSI yaitu: STIE YAI 15, Universitas
Mercubuana 15, Universitas Tri Sakti 15,
Universitas Muhammadiah 15,Universitas Budi
Luhur 15, sehingga jumlah responden sebanyak
150 orang. Setelah diketahui jumlah populasi,
selanjutnya ditentukan jmlah besarnya ukuran
sampel dengan perhitungan rumus Solvin dalam
Bungin yang memperoleh hasil menjadi 110
responden.
Rencana analisa data dan pengujian
Hipotesa menggunakan ujia validitas dan
reabilitas, asumsi klasik, normalitas regresi,
multikolinearitas dan uji autokolerasi
IV. ANALISA DAN PEMBAHASAN
DATA
Data statistic untuk menghitung
frekwensi menggunakan Demografi Identitas
Responden untuk mendeskripsikan penelitian
ini atas jenis kelamin,umur dan lamanya bekerja
atas responden. Dari hasil uji yang telah dilakukan di peroleh hasil sebagai berikut:
Hasil uji validitas Instrumen Persepsi Akuntan
Publik adalah nilai r hitung > dari nilai t tabel
kesimpulan bahwa instrument penelitian adalah
valid. Uji Reliablitas instrument dengan melihat
besarnya nilaiA Cronbach dengan hasil sebesar
0,955 lebih besar dari nilai r tabel 0,272.
Hasil uji validitas Instrumen Persepsi Akuntan
Non Publik adalah nilai r hitung > dari nilai t
tabel kesimpulan bahwa instrument penelitian
adalah valid. Uji Reliablitas instrument dengan
melihat besarnya nilaiA Cronbach dengan hasil
sebesar 0,955 lebih besar dari nilai r tabel
0,272.> Maka dapat dinyatakn instrument
penelitian adalah valid dan reliable
Uji Validitas dan Reliabilitas Persepsi Akuntan
Publik Terhadap Kode Etik Akuntan Indonesia
besarnya nilai Correct Item Total Correlation
untuk masing-masing item pertanyaan yaitu r
hitung > r tabel, dimyatakan kelompok
responden Akuntan Publik dinyatakan sah
Uji Validitas dan Reliabilitas Persepsi Akuntan
Non Publik Terhadap Kode Etik Akuntan
Indonesia besarnya nilai Correct Item Total
Correlation untuk masing-masing item
pertanyaan yaitu r hitung > r tabel, dinyatakan
kelompok responden Akuntan non Publik
dinyatakan valid dan reliabilitas, dan dapat
dijadikan sebagai instrumern penelitian.
Hasil pengujian Asumsi Klasik, maka keempat
data dari Instrumen Kode Etik Akuntan
Indonesia dinyatakn memiliki sampel yan g
memiliki distribusi normal.
Uji hipotesa Persepsi antara Akuntan Public dan non Public terhadap Kode Etik Akuntan
Indonesia untuk kedua kelompok sampel
diketahui bahwa seluruh nilai t hitung memiliki
nilai positif dan memiliki nilai yang signifikan
yang lebih kecil dari 0,05 (pada Sig.2 tailed),
menunjukan kedua kelompok memiliki persepsi
yang positif terhadap Kode Etik Akuntan
Indonesia.
Uji hipotesa Perbedaan Persepsi antara Akuntan
Public dan non Public terhadap Kode Etik
Akuntan Indonesia untuk kedua kelompok
sampel diketahui b`ahwa hasil perbedaan mean
antara kedua kelompokdibuktikan dengan uji
paired test diperoleh nilai t hitung sebesar -
4,454 pada df sebesar 54 dengan nilai
signifikansi (sig.,2-tailed sebesar 0,000 dengan
mean sebesra -8,600.
Dengan melihat hasil hipotesa yang telah
diuraikan di atas ntara akuntan public dan non
public adalah tredapat perbedaan persepsi antara
Akuntan Publik dan Non Publik, walaupun
sedikit perbedaan dilihat dari mean sebesarntan
Non Publik dengn Aku 110,78 dengn mea lebih
tinggi sebesar 119,38. Hal ini dikarenakan
Akuntan Non Publik berprofesi sebagi dosen
banyak memiliki pengalaman yanglebih lama
dilihat dari lamnya kerja dan dari umur relative
lebih matang, sedangkan Akuntan Publikdengan
usia yangrelatif muda dan lamnya kerja yang
relative sedikit.
V. PENUTUP
Dari hasil pengujian yang telah
dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa
terdapat perbedaan persepsi positif antara
Akuntan Publik dan Non Publik terhadap Kode
Etik yang memiliki penghayatan dan
pemahamna yang baik terhadap Kode Etik
akuntan
Dari hasil penelitian dapat menjadi masukan
dalam kode etik untuk menyempurnakan serta
pelaksanan kode etik bagi para akuntan untuk
lebih meningkatkanpengetahuan menambah
pengalaman serta melakukan tugas secara
professional yang berguna bagi peningkatan
kepercayaan masyarakat terhadap profesi
akuntan
DAFTAR PUSTAKA
Agoes, Sukrisno , 2004, Pemeriksaan Akuntan
(Auditing), Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi , Universitas Indonesia
Agoes, Sukrisno , Ardana I Cenik, 2009 “Etika
Bisnis dan
Profesi”(tantangan
membangun manusia
seutuhnya), Salemba Empat,
Arens, A.A dan AAJ.2006. “ Jasa Audit dan
Assurance Pendekatan
Terpadu (Adaptasi
Indonesia), Salemba Empat,
Jakarta
Bourke J. Vernon 1958 “Ethic A text book in
Moral philosophy”. New
York The Macmillan
Company, fifth printing .
Chusing. B.E.1999. Economic Analysis of
Accountant’s Ethical
Standards: The Case of
Audit Opinion Shopping.
Jurnal of Accounting and
public Policy. P.. 339-363
Harahap, Sofyan, S. 2011, Etika Bisnis dalam
Perspektif Islam, Salemba
Empat Jakarta
PENGARUH KEBIJAKAN STRATEGI PENJUALAN TERHADAP RENTABILITAS
Oleh :Tiur N.W. Tobing
ABSTRAK
Pengaruh perusahaan dengan adanya perkembangan ekonomi secara global,
mendorong timbulnya serangkaian perubahan yang berlangsung dalam pengelolaan
perekonomian di seluruh negara, termasuk Indonesia. Keadaan dunia yang akhir-akhir ini
tidak menentu karena faktor politik dapat pula memengaruhi manajemen perusahaan. Oleh
karena itu, setiap perusahaan berusaha untuk mempertahankan hidupnya dengan cara
mengambil langkah-langkah yang tepat dalam menetapkan kebijakan perusahaannya untuk
mengatasi persaingan dari usaha sejenis.
Salah satu kemampuan manajemen yang terpenting dan perlu didukung adalah
bagaimana manajemen tersebut mengelolah keuangannya. Pengelolaan dana keuangan di sini
ditujukan untuk mendapatkan sumber dana dan menggunakan dana secara efektif dan efisien.
Secara efektif berarti dengan menunjang kelancaran pekerjaan untuk memperoleh pendapatan
usaha dalam rangka menghasilkan laba. Secara efisien berarti penggunaan dana dengan baik
dan serendah-rendahnya.
Strategi penjualan merupakan pegangan bagi perusahaan agar mempunyai keunggulan
bersaing sekaligus merupakan suatu rencana keseluruhan untuk mencapai tujuan, salah satu
tujuan yang diterapkannya yaitu strategi penjualan untuk meningkatkan penjualan. Kebijakan
strategi penjualan yang baik dan dapat diharapkan dapat membantu perusahaan untuk
mencapai tingkat penjualan yang telah ditetapkan. Penjualan yang dilakukan perusahaan
bertujuan untuk menjual barang/jasa yang diperlukan sebagai sumber pendapatan untuk
menutup semua ongkos guna memperoleh rentabilitas/laba.
Kebijaksanaan strategi penjualan tersebut dapat dilakukan dengan melihat kondisi
yang ada salah satunya adalah kebijaksanaan yang dapat berubah bahkan sering kali kebijakan
tersebut dilakukan tanpa adanya perubahan strategi, karena strategi sifatnya jangka panjang.
Untuk menetapkan suatu strategi penjualan tersebut, perusahaan perlu mengamati lingkungan
internal dan lingkungan eksternal. Dengan demikian perusahaan dapat melihat apa yang
menjadi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman perusahaan.
Perubahan dalam kebijaksanaan terhadap penjualan ini untuk mengimbangi beberapa
perubahan yang terjadi dalam pasar. Kebijaksanaan perusahaan yang dimaksud di sini adalah
segala keputusan tentang kegiatan yang akan ditempuh dalam mencapai atau menunjang
terlaksananya penjualan produk.
Rentabilitas atau profitabilitas perusahaan ialah perbandingan antara laba usaha dengan
modal sendiri dan modal asing yang digunakan untuk menghasilkan laba tersebut dan
dinyatakan dalam persentase. Profitabilitas sering digunakan sebagai penilaian kinerja
manajemen dalam mengukur efisiensi penggunaan modal dalam suatu perusahaan dalam
menghasilkan laba. Sehingga semakin tinggi tingkat efisiensi dan efektivitas, pada akhirnya
akan membawa perusahaan pada pencapaian profitabilitas yang tinggi. Masalah profitabilitas
lebih penting dari pada masalah laba, karena laba yang besar belum merupakan ukuran bahwa perusahaan dapat bekerja efisien. Efisien baru dapat diketahui dari cara perusahaan
menghasilkan laba dengan kekayaan atau modal yang dimiliki, baik modal asing maupun
modal sendiri (equity). Sehingga yang diperhatikan perusahaan ialah tidak hanya bagaimana
usaha untuk memperbesar laba, tetapi juga usaha untuk mempertinggi profitabilitas.
Salah satu cara yang paling umum digunakan, yaitu dengan meningkatkan penjualan.
Keberhasilan usaha penjualan dapat dilihat dari penjualan yang didapat. Dengan kata lain,
apakah usaha itu dapat laba atau tidak, sangat tergantung kepada keberhasilan penjualan itu.
A. Manajemen Penjualan
"Manajemen penjualan" awalnya disebut
secara eksklusif ke arah personil tenaga
penjualan. "sales management" adalah
manajemen yang mencakup seluruh kegiatan
penjualan seperti promosi, pengiklanan,
penelitian pasar. Namun sekarang pengertian
manajemen penjualan adalah pencapaian
yang dicapai oleh suatu organisasi atau
perusahaan pejualannya dengan cara yang
efisien melalui "planning, staffing, training,
leading & controlling". Manajemen
Penjualan berkaitan dengan semua kegiatan,
proses dan keputusan yang terlibat dalam
mengelola penjualan fungsi dalam suatu
organisasi. Manajemen penjualan harus
cerdas dan gesit dan menyediakan solusi
teknologi yang terpusat untuk mendukung
upaya penjualan.
Dalam manajemen penjualan dibutuhkan
perencanaan penjualan dimana melibatkan
perkiraan permintaan yang berhubungan
langsung dengan produksi barang suatu
perusahaan dan harus seakurat mungkin
karena melibatkan perencanaan program
penjualan dan pelaksanaan dan pengendalian
upaya personal selling perusahaan.
B. Penjualan
Penjualan merupakan tujuan utama
dilakukannya kegiatan perusahaan.
Perusahaan dalam menghasilkan barang/jasa,
mempunyai tujuan akhir yaitu menjual
barang/jasa tersebut kepada masyarakat. Oleh
karena itu, penjualan memegang peranan
penting bagi perusahaan agar produk yang
dihasilkan oleh perusahaan dapat terjual dan
memberikan penghasilan bagi perusahaan.
Pengertian penjualan menurut Philip Kotler
(2006: 457): “Penjualan merupakan sebuah
proses dimana kebutuhan pembeli dan
kebutuhan penjualan dipenuhi, melalui antara
pertukaran informasi dan kepentingan”. Jadi,
penjualan merupakan hal yang sangat
penting. Penjualan adalah kunci
kelangsungan hidup sebuah perusahaan, apa
pun usahanya.
C. Tujuan Penjualan
Umumnya tujuan penjualan dinyatakan
dalam volume penjualan. Tujuan ini dapat
dipecah berdasarkan penentuan apakah
volume penjualan yang ingin dicapai itu
berdasarkan per wilayah operasi atau sales
person di dalam suatu wilayah operasi.
Tujuan operasi juga biasanya dinyatakan
dalam target gross margin, tingkat
pengeluaran maksimum, atau pencapaian
tujuan tertentu seperti merebut pelanggan dari
pesaing.
D. Konsep Penjualan
Konsep penjualan menyatakan bahwa
konsumen dan bisnis, jika ditinggalkan
sendiri, biasanya tidak akan membeli cukup
banyak produk-produk organisasi. Oleh
karena itu, organisasi harus melakukan usaha
penjualan dan promosi agresif. Konsep
penjualan itu dicontohkan dalam pemikiran
Sergio Zyman, mantan Wakil Dirut
Pemasaran Coca-Cola.
Tujuan pemasaran adalah menjual lebih
banyak barang kepada lebih banyak orang
lebih sering untuk mendapatkan lebih banyak
uang supaya menghasilkan lebih banyak laba.
Menurut Philip Kotler (2007: 18), bahwa
konsep penjualan dipraktikkan paling agresif
pada barang-barang yang tidak dicari,
barang-barang yang biasanya tidak dipikirkan
oleh pembeli untuk dibeli seperti asuransi,
dan ensiklopedia. Kebanyakan perusahaan
mempraktikkan konsep penjualan ketika
mereka memiliki kapasitas berlebih. Tujuan
mereka adalah menjual apa yang mereka buat
dan bukannya membuat apa yang diinginkan
pasar. Akan tetapi, pemasaran yang berbasis
pada penjualan agresif membawa risiko yang
tinggi. Ia mengandaikan bahwa pelanggan
yang dibujuk untuk membeli sebuah produk
akan menyukainya, dan jika mereka tidak
suka, mereka tidak akan mengembalikannya
atau menjelek jelekannya atau mengadu ke
organisasi konsumen, atau bahkan mungkin
membelinya lagi.
E. Strategi Penjualan
Strategi penjualan adalah memindahkan
posisi pelanggan ke tahap pembelian (dalam
proses pengambilan keputusan) melalui
penjualan tatap muka.
Adapun beberapa strategi penjualan yang
sering digunakan antara lain sebagai berikut
(Ali Arifin, 2005: 97-99):
1. Penjualan Konvensional
Penjualan konvensional merupakan
penjualan yang terjadi di mana setiap
penjual akan meraih untung dari produk
yang mereka jual. Di samping itu,
dikatakan konvensional adalah karena
belum menggunakan fasilitas komunikasi
lainnya secara efektif dalam menjual
misalnya telepon dan internet. Jadi
hampir dapat dikatakan bahwa dari dulu
tetap begitu-begitu saja proses
penjualannya. Penjualan konvensional
mempunyai dua pengertian, yaitu terdiri
dari:
Pertama, para pembeli mengambil produk
kepada penjual yang lebih besar (misalnya:
pengecer yang lebih tinggi) untuk mendapat
potongan harga lalu dijual kembali kepada
pengecer di bawahnya. Jadi setiap tangan
meraih keuntungan sedikit demisedikit.
Dengan kata lain konsumen paling akhir
tentu membeli produk dengan harga yang
lebih mahal. Memang kelihatan semua
penjual juga berusaha mengambil untung dari
produk yang mereka jual dan itu sudah pasti.
Tetapi dalam penjualan konvensional,
produsen tidak melakukan apa-apa terhadap
penjualan produk mereka. Mereka hanya
mengantar pesanan yang ada. Urusan
selanjutnya kepada yang menjual. Begitu
juga untuk sasaran berikutnya, dan penjualan
seperti ini biasanya sasaran akhirnya bersifat
korporat (agen) bukan konsumen individual.
Kedua, perusahaan memilih karyawan baru,
menugaskannya menawarkan produk/jasa
kepada konsumen secara langsung. Ini
biasanya dikenal dengan istilah sales. Sasaran
tetap korporat (reseller) dan bukan konsumen
individual (user). Pasti banyak perusahaan
yang melakukan sales seperti ini. Sebagian
besar iklan lowongan kerja di koran-koran
yang menawarkan posisi salesman atau
marketing excecutive sudah dipastikan itulah
penjualan konvensional.
Contoh: produk-produk yang dipasarkan
dengan penjualan konvensional misalnya
produk-produk yang ada di toko-toko atau
supermarket. Hampir boleh dikatakan bahwa
80 % produk-produk tersebut adalah produk
yang dipasarkan dengan penjualan
konvensional. Toko atau supermarket sudah
merupakan reseller (menjual) terakhir.
2. Konsinyasi
Konsinyasi juga sering dipergunakan banyak
penjual atau perusahaan yaitu dikenal dengan
istilah titip jual. Perusahaan menitip produk
mereka kepada reseller. Kalau dalam
penjualan konvensional perusahaan
memaksimalkan sales sebagai ujung
tombaknya, tidak demikian dengan
konsinyasi. Memang dalam konsinyasi
perusahaan memiliki armada sales tetapi
produk yang mereka pasarkan menggunakan
sistem titip jual. Sedikit berbeda dengan
penjualan konvensional. Memang agak sulit
menjelaskannya tetapi mudah di pahami.
Buku-buku di toko buku, misalnya toko buku
Gramedia atau Gunung Agung sudah pasti
memakai strategi penjualan konsinyasi. Ada
yang menitip jual atas produk tersebut.
Keuntungan atau beberapa yang laku terjual
akan dihitung esok hari atau menurut jangka
waktu tertentu.
Konsinyasi menguntungkan kedua belah
pihak. Produsen merasa ada tempat
menampung (place) bagi produk mereka
untuk dipasarkan bagi konsumen. Sedangkan
penjual (reseller) merasa untung karena ada
supplier. Mereka mengambil untung dari
margin harga tertentu. Tentu pembayaran
hasil penjualan tergantung kepada
kesepakatan bersama.
3. Pemesanan Melalui Short Message
Service (SMS) dan E-mail
Memberikan kemudahan kepada konsumen
atau pelanggan (distributor), untuk memesan
produk-produk yang akan mereka jual kepada
pelanggan akhir dengan cara mengirim daftar
pesanaan melalui SMS atau E-mail kepada
perusahaan.
4. Sistem Distribusi
Dalam upaya meningkatkan pertumbuhan
penjualan ke depan, perusahaan senantiasa
memperbaiki sistem pendistribusian barang
agar penyebarannya dapat merata ke seluruh
pelosok daerah baik melalui cabang-cabang
perseroan yang dibantu dengan depo-
deponya/pusat grosir maupun dari distributor-
distributor yang tersebar di berbagai kota
besar di seluruh Indonesia. Perseroan juga
terus meningkatkan pasar di mancanegara
yang mengalami pertumbuhan penjualan
cukup besar pada setiap tahunnya.
Strategi lain dalam penjualan yang sering
digunakan oleh perusahaan antara lain
sebagai berikut (Ali Arifin, 2005: 134-141):
1. Memberikan Diskon
Tidak ada praktik penjualan yang lebih cepat
mencapai sasarannya selain pemberian
diskon dan praktik penjualan seperti ini
merupakan yang paling banyak dan paling
mudah diterapkan semua pelaku bisnis dalam
berbagai bidang usaha.
Diskon bisa kita jumpai di banyak toko atau
outlet, terutama menjelang momen-momen
tertentu misalnya hari raya, akhir tahun,
ulang tahun toko tersebut, peluncuran produk
baru, atau waktu pameran perkenalan produk.
Ada yang menggunakan banner bertuliskan
“discount 10 %” atau yang nekat sampai 70
%, tulisan “big sale”, “cuci gudang”, dan
sebagainya. Jelasnya, akan ada tulisan atau
pemberitahuan yang mengatakan toko
tersebut sedang memberikan diskon alias
potongan harga terhadap produk yang mereka
jual, dan faktanya semua orang suka membeli
barang-barang yang memberikan diskon.
Jadi, jika perusahaan ingin menaikkan omset
penjualan, perusahaan bisa menggunakan trik
pemberian diskon ini. Sebab semua orang
suka membeli produk yang diberi diskon.
2. Beli Satu Dapat Satu (Buy One Get One)
Ini bukan strategi pemberian diskon
melainkan benar-benar penjualan yang
memberikan produk yang sama jika
konsumen membeli produk tersebut lebih
dari satu. Jadi bisa beli satu dapat dua, beli
dua dapat satu, beli lima gratis satu, dan
sebagainya. Strategi ini tidak terlihat seperti
trik amatiran. Banyak juga perusahaan besar
yang menerapkan trik ini.
Orang-orang yang sebelumnya tidak tertarik
membeli meski membutuhkan, terpaksa akan
membeli dan tidak akan berpindah ke produk
lainnya karena perusahaan menawarkan
kepada konsumen dengan cara dua buah
produk hanya satu kali bayar. Jadi konsumen
dibuat seolah-olah sebagai orang yang sedang
beruntung.
3. Undian Berhadiah
Undian berhadiah adalah strategi/trik
penjualan. Harapannya agar orang-orang
akan tertarik untuk membelanjakan uangnya.
Perusahaan-perusahaan pemula biasanya
sering menggunakan trik ini. Contoh
majalah-majalah baru yang ingin menarik
pembaca baru akan mengadakan undian
berhadiah di setiap edisinya. Selain itu bisa
juga hadiah yang akan diberikan merupakan
hadiah sponsor dari produsen produk
tersebut. Dengan begitu mereka saling
bekerja sama.
Strategi/trik ini bisa di-setting sedemikian
rupa, seperti trik undian yang diadakan
beberapa perusahaan untuk mempromosikan
produknya di pasar tradisional, setiap
pembelian produk senilai tertentu, pembeli
berhak mengambil gulungan kertas yang
berisi hadiah. Ketika ramai mungkin
hadiahnya kecil atau bertuliskan “maaf Anda
belum beruntung”. Tetapi siapa menjamin
bahwa memang ada hadiahnya, malah tak
tertutup kemungkinan ketika sepi gulungan
kertas yang berhadiah besar baru dimasukkan
ke dalam toples pengundian. Ketika seorang
konsumen berhasil memenangkan, menjadi
ramai kembali dan pengunjung kembali
datang.
4. Voucher Belanja
Trik voucher belanja juga sering juga paling
banyak di praktikkan oleh sejumlah
perusahaan terutama perusahaan retail besar
seperti supermarket, hypermart, dan
department strore. Tetapi akhir-akhir ini,
beberapa produk kecantikan juga
mempraktikkannya, dengan belanja sekian
rupiah maka konsumen akan mendapatkan
voucher yang bisa dibelanjakan kembali ke
perusahaan tersebut.
Dengan demikian konsumen akan tergoda
untuk membeli lagi sebab di tangannya telah
tersedia voucher belanja. Voucher belanja ini
ada yang bisa dibelanjakan sesuai nilai yang
tercantum di voucher, atau bisa juga hanya
merupakan voucher diskon sekian persen atau
yang nilainya sudah ditentukan. Yang paling
menarik tentu nilai voucher yang bisa
langsung dibelanjakan sesuai nilainya dan
perusahaan tersebut menyediakan produk
senilai vouchernya. Voucher belanja bisa
menjadi trik yang amat menarik jika
distrategikan sedemikian rupa dan untuk
menerapkan trik ini mungkin diberikan
tenggang masa berlaku.
5. Hadiah Langsung
Pemberian hadiah langsung juga banyak
dipergunakan para penjual. Hadiah langsung
ini rata-rata berupa cinderamata yang
harganya tidak seberapa. Tentu ada juga
cinderamata yang nilainya besar. Misalnya
hadiah langsung yang diselenggarakan bank-
bank dalam menarik nasabah. Semakin besar
nilai tabungan atau deposito yang dibuka
maka semakin besar nilai hadiah
langsungnya.
Merupakan bonus bagi konsumen ketika
mengetahui bahwa hanya membeli produk
tertentu atau sekian harganya di sebuah
tempat bisa mendapatkan hadiah langsung
tanpa di undi. Perusahaan bisa menerapkan
trik ini karena banyak yang menerapkannya.
Sungguh jika trik sederhana dan minimnya
biaya ini tidak bisa perusahaan jalankan
untuk membuat konsumen atau pelanggan
anda menjadi loyal. Lakukan itu minimal
menjelang akhir tahun misalnya memberikan
kalender cantik yang sudah dicetakkan nama
perusahaan anda. Dengan trik itu bisa
dijadikan sebagai alat untuk berpromosi.
F. Tantangan yang Dihadapi dalam
Strategi Penjualan
Tantangan yang dihadapi perusahaan dalam
strategi penjualan dapat dilihat dari:
1. Internal Perusahaan
Tantangan yang dihadapi perusahaan, dapat
dilihat dari internal perusahaan antara lain
sebagai berikut:
a. Sumber Daya Manusia
Dalam mengelola sumber daya manusia,
perusahaan senantiasa mengacu kepada
ketentuan yang tercantum pada standar
kualitas kerja karyawan. Setiap tahunya
perusahaan mengadakan training untuk
meningkatkan motivasi dan kemampuan
kerja para karyawan tersebut.
b. Distribusi
Perusahaan harus memiliki jaringan
distribusi yang luas, di beberapa
cabang di kota-kota besar dengan
puluhan distributor di seluruh
Indonesia dan mancanegara,
menjadikan produk-produknya
tersebar hampir setiap jenis outlet
baik pasar tradisional maupun pasar
modern.
c. Produksi
Perusahaan selalu berupaya
meningkatkan kinerja perusahaan
dengan mengadopsi ISO 9001 versi
2000 untuk meningkatkan mutu
produk demi peningkatan kepuasan
pelanggan.
2. Eksternal Perusahaan
Tantangan yang dihadapi perusahaan, dapat
dilihat dari eksternal perusahaan antara lain
sebagai berikut:
a. Promosi
Perusahaan harus membuat strategi
promosi yang baik, untuk
memperkenalkan produk barunya dan
membangun brand image dikalangan
masyarakat luas. Apa saja yang bisa
dilakukan agar orang lain mengetahui
produk atau perusahaan itu bisa
dikategorikan sebagai unsur promosi.
Promosi dapat dilakukan dengan cara
menyebarkan katalog, kunjungan
sales, pameran dan sebagainya.
Sehingga dengan cara itu, dapat
meningkatkan volume penjualan.
b. Teknologi
Dalam proses produksi, perusahaan
harus menyediakan teknologi dengan
kualitas yang baik. Sehingga dapat
mempercepat dalam proses produksi
dan mendapatkan hasil produk yang
baik.
c. Customer Service Centre
Dengan adanya customer service
centre ini, diharapkan perusahaan
dapat berinteraksi langsung dengan
konsumen, pelanggan maupun mitra
usaha dan pada akhirnya menciptakan
hubungan yang harmonis di antara
mereka.
d. Keadaan Ekonomi
Melihat kondisi ekonomi yang
sekarang ini mulai membaik,
sehingga kemampuan daya beli
masyarakat mengalami peningkatan.
Khususnya industri kosmetik,
masyarakat dapat memenuhi
kebutuhan sekundernya.
G. Rentabilitas
Keberhasilan suatu perusahaan tergantung
dari manajemen perusahaan itu sendiri dalam
usahanya memperoleh keuntungan dan
menjaga kelangsungan hidup perusahaan.
Keuntungan yang berasal dari operasi
perusahaan yang dijalankan berdasarkan
modal yang diinvestasikan dalam modal
perusahaan tersebut.
Dengan demikian perlu adanya pengukuran
efisiensi penggunaan modal agar
pengembaliannya sesuai dengan modal yang
telah diinvestasikan. Yang dimaksud dengan
rentabilitas suatu perusahaan menurut
Lukman Syamsuddin (2009: 59), merupakan
“Dimana masing-masing pengukuran
dihubungkan dengan volume penjualan, total
aktiva, dan modal sendiri”. Sedangkan
menurut Bambang Riyanto (2009: 35):
“Rentabilitas adalah kemampuan suatu
perusahaan untuk menghasilkan laba selama
periode tertentu”.
Rentabilitas = Laba
x 100% Modal
L = Jumlah laba yang diperoleh selama
periode tertentu.
M = Modal atau aktiva yang digunakan
untuk menghasilkan laba tersebut.
Ada bermacam-macam alat untuk menilai
rentabilitas suatu perusahaan, tergantung
pada laba dan modal atau aktiva yang akan
diperbandingkan satu dengan yang lainnya.
Hal ini disebabkan karena laba yang
diperbandingkan tersebut mungkin laba yang
berasal dari operasi perusahaan atau laba
bersih sesudah pajak dengan modal sendiri.
Dengan adanya bermacam-macam cara
dalam menilai rentabilitas, maka tidak
mengherankan jika ada perusahaan yang
menghitung rentabilitasnya dengan cara yang
berbeda-beda. Dengan demikian terdapat
banyak alternatif yang dapat dipilih dalam
mengukur rentabilitas melalui berbagai alat
pengukur efisiensi penggunaan modal. Ada
dua cara penilaian rentabilitas, yaitu:
1. Rentabilitas Ekonomi
Pada umumnya beberapa literatur
menggunakan istilah Earning Power
untuk pengertian rentabilitas ekonomi, sementara beberapa literatur lain
menggunakan istilah Profitabilitas. Untuk
mendapatkan gambaran yang jelas
mengenai Rentabilitas Ekonomi, berikut
ini dikemukakan beberapa pendapat dari
para ahli.
Pengertian Rentabilitas Ekonomi
menurut Bambang Riyanto (2009: 36):
“Rentabilitas Ekonomi adalah
perbandingan antara laba usaha dengan
modal sendiri dan modal asing yang
dipergunakan untuk menghasilkan laba
tersebut dan dinyatakan dalam
persentase.”
Oleh karena itu, pengertian rentabilitas
sering digunakan untuk mengukur
efisiensi penggunaan modal di dalam
suatu perusahaan, maka rentabilitas
ekonomi sering pula dimaksudkan
sebagai kemampuan perusahaan dengan
seluruh modal yang bekerja di dalamnya
untuk menghasilkan laba.
Tinggi rendahnya earning power
ditentukan oleh dua faktor menurut
Bambang Riyanto (2009: 37-38), yaitu:
1) Profit Margin
Profit Margin, yaitu besarnya
keuntungan operasi yang dinyatakan
dalam persentase dari jumlah
penjualan bersih. Profit margin ini
mengukur tingkat keuntungan yang
dapat dicapai oleh perusahaan
dihubungkan dengan penjualannya. Net Profit
Margin =
Net Operating Income x 100%
Net Sales
2) Turnover of Operating Assets
Turnover of Operating Assets, yaitu
rasio dari jumlah aktiva yang
digunakan dalam operasi terhadap
jumlah penjualan yang diperoleh
selama periode tertentu. Rasio ini
merupakan ukuran tentang sejauh
mana aktiva ini telah digunakan
dalam kegiatan perusahaan atau
menunjukkan beberapa kali operating
assets berputar dalam suatu periode tertentu, atau dalam waktu satu tahun.
Operating Assets = Net Sales
Turnover Total Asset
Besarnya rentabilitas ekonomi dapat
diketahui dengan mengalihkan antara
operating assets turnover dengan
profit marginnya, atau dengan rumus:
Earning
Powe =
Net Operating
Income x
Net Sales
Net SalesNet Operating
Assets
Earning Power = Profit Margin x Operating Assets Turnover
Dengan demikian, bahwa profit
margin dimaksudkan untuk
mengetahui efisiensi perusahaan
dengan melihat ukuran laba usaha
dalam hubungannya dengan
penjualan, sedangkan operating sales
turnover dimaksudkan untuk
mengetahui efisiensi perusahaan
dengan melihat kecepatan perputaran
operating assets dalam suatu periode
tertentu.
Hasil akhir dari percampuran kedua
efisiensi yaitu Profit Margin dan
Operating Assets Turnover
menentukan ukuran rentabilitas
ekonomi. Oleh karena itu, besarnya
rentabilitas ekonomi dalam suatu
periode tertentu dapat ditingkatkan
dengan memperbesar profit margin
ataupun operating assets turnover,
masing-masing atau keduanya, maka
kita perlu mengetahui cara-cara
memperbesar profit margin ataupun
operating assets turnover adalah
sebagai berikut:
3) Usaha untuk memperbesar profit
margin
Besar kecilnya profit margin pada
setiap transaksi penjualan ditentukan
oleh dua faktor, yaitu penjualan bersih
(net sales) dan laba usaha. Besar
kecilnya laba usaha tergantung pada
pendapatan dari penjualan dan
besarnya biaya usaha (Operating
Expenses).
Dengan demikian ada dua alternatif
dalam usaha memperbesar profit
margin, yaitu (Bambang Riyanto,
2009: 39):
a) Menambah biaya usaha sampai
tingkat tertentu diusahakan
tercapainya tambahan sales yang
sebesar-besarnya, atau dengan
kata lain tambahan sales harus
lebih besar dari pada tambahan
operating expenses. Memperbesar
pendapatan penjualan dapat
dilakukan dengan jalan:
(1) Memperbesar volume penjualan dalam unit pada
tingkat harga penjualan
tertentu.
(2) Meningkatkan harga jual
perunit produk pada volume
penjualan tertentu.
b) Mengurangi pendapatan penjualan
sampai tingkat tertentu diusahakan
adanya pengurangan operating
expenses sebesar-besarnya, atau
dengan kata lain mengurangi
biaya usaha lebih besar daripada
berkurangnya pendapatan dari
penjualan.
4) Usaha untuk mempertinggi operating
assets turnover
Tinggi rendahnya operating assets
turnover selama periode tertentu
ditentukan oleh dua faktor yaitu
penjualan bersih dan operating assets
turnover dapat dipertinggi dengan
cara yaitu:
a) Menambahnya modal usaha
(operating assets) sampai tingkat
tertentu diusahakan tercapainya
tambahan sales yang sebesar-
besarnya.
b) Mengurangi sales sampai tingkat
tertentu diusahakan penurunan
operating assets sebesar-besarnya.
2. Rentabilitas Modal Sendiri
Sering disebut juga rentabilitas usaha,
yaitu kemampuan perusahaan dengan
modal sendiri yang bekerja di dalamnya
untuk menghasilkan keuntungan. Laba
yang diperhitungkan adalah laba usaha
setelah dikurangi dengan bunga modal
asing dan pajak perseroan yang dikenal
dengan Earning After Tax (EAT).
Sedangkan modal diperhitungkan hanya
modal sendiri yang bekerja dalam
perusahaan. Rentabilitas modal sendiri
dikenal dengan istilah Return on Equity
(ROE). adapun rumus ROE adalah
sebagai berikut
ROE = Net profit after taxes
x 100% Stock holder equity
ROE adalah kemampuan perusahaan dari
modal sendiri untuk menghasilkan
keuntungan bagi para pemegang saham.
Baik bagi pemegang saham preferen
maupun pemegang saham biasa. Ratio ini
merupakan perbandingan antara laba
bersih sesudah pajak dengan jumlah
modal sendiri.
Berikut ini beberapa Rasio Rentabilitas
adalah sebagai berikut (Lukman
Syamsuddin, 2009: 61) antara lain:
a. Gross Profit Margin
Rasio ini menggambarkan laba kotor
yang dapat dicapai dalam setiap
rupiah penjualan, sehingga rasio ini
dapat digunakan sebagai indikator
efektivitas dan efisiensi dari operasi
perusahaan dalam hubungan antara
biaya produksi dengan harga jual.
Rumusnya sebagai berikut:
Gross Profit Margin = Gross Profit
x 100% Sales
b. Operating Profit Margin
Rasio ini menunjukkan dan
merupakan indikator rentabilitas dari
usaha pokok perusahaan, yaitu
membandingkan laba operasi dengan
penghasilan sewa pada periode yang
sama. Rumusnya adalah sebagai
berikut: Operating
Profit Margin =
Operating Profit x 100%
Sales
c. Net Profit Margin
Rasio ini membandingkan laba bersih
setelah pajak dengan tingkat
penjualan pada periode yang sama,
laba bersih dapat mengalami
perubahan dengan faktor-faktor
perubahan antara lain: Perubahan
tingkat penjualan, tingkat biaya
produksi/operasi dan sebagainya.
Rumusnya sebagai berikut: Net
Profit
Margin
=
Net Profit
After Tax x 100%
Sales
d. Total Assets Turnover
Rasio ini mengukur kemampuan
perusahaan menghasilkan laba bersih
berdasarkan tingkat assets yang
tertentu. Rasio ini dapat dihitung
sebagai berikut: Total Assets
Turnover =
Sales x 100%
Total Assets
H. Hubungan Strategi Penjualan dengan
Rentabilitas
Strategi penjualan dengan rentabilitas
perusahaan mempunyai hubungan yang
sangat jelas dan saling berkaitan satu sama
lain, karena jika terdapat peningkatan pada
penjualan barang yang dijual, maka semakin
besar kemungkinan laba yang akan dihasilkan
perusahaan, akan sangat berpengaruh dengan
rasio rentabilitas perusahaan. Begitu juga
sebaliknya, maka dari itu strategi penjualan
yang diterapkan harus dapat disesuaikan
dengan keadaan yang ada di lapangan secara
keseluruhan.
Untuk melihat pengaruh strategi penjualan
terhadap earning power digunakan metode
regresi sederhana yang biasanya digunakan
untuk menggambarkan hubungan linier
antara dua variabel (M. Iqbal Hasan, 2003: 219).
Dalam perhitungan ini perbandingan antara
penjualan dianggap sebagai variabel X
(variabel bebas) dan earning power dianggap
sebagai variabel Y (variabel tidak bebas).
Hal ini didasarkan bahwa besarnya earning
power dipengaruhi oleh besarnya penjualan.
I. Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran di bawah ini merupakan
skema strategi penjualan dengan rentabilitas
perusahaan, yang menggambarkan suatu
strategi penjualan yang dibuat perusahaan
untuk mencapai tujuan perusahaan. Strategi
penjualan itu, terdiri dari: penjualan, tujuan
penjualan, konsep penjualan dan penjualan
yang mempunyai pengaruh besar terhadap
laba/pendapatan yang diperoleh perusahaan.
Jika strategi ini diterapkan oleh perusahaan,
yaitu dengan cara meningkatkan penjualan
barang terhadap barang yang dijualnya, maka
perusahaan memperoleh laba/rentabilitas
yang diharapkan oleh perusahaan.
Perusahaan memperoleh keuntungan dengan
caranya masing-masing, Pengukuran itu
dapat dihubungkan dengan volume penjualan,
total aktiva, dan modal sendiri”. Dengan kata
lain, rentabilitas adalah kemampuan suatu
perusahaan untuk menghasilkan laba selama
periode tertentu.
J. Definisi Operasional
Definisi operasional ini bertujuan untuk
menjelaskan arti masing-masing variabel
yang terdiri dari dua variabel yaitu:
1. Variabel Bebas (Independent)
Variabel bebas dalam penelitian ini
adalah strategi penjualan. merupakan
memindahkan posisi pelanggan ke tahap
pembelian (dalam proses pengambilan
keputusan) melalui penjualan tatap muka.
Strategi penjualan meliputi beberapa
tahapan yaitu: penjualan merupakan
kunci kelangsungan hidup sebuah
perusahaan, apa pun usahanya. Tujuan
penjualan tersebut untuk mengetahui
tingkat volume penjualan berdasarkan
per wilayah operasi.
Selanjutnya perusahaan membuat konsep
penjualan dengan melakukan penjualan
secara agresif, dengan tujuan menjual apa
yang mereka buat, bukan menjual produk
yang diinginkan pasar.
Jika strategi penjualan tersebut
dilaksanakan oleh perusahaan dengan
baik. Maka akan berpengaruh terhadap
tingkat penjualan barang yang dijual.
2. Variabel Terikat (Dependent)
Variabel terikat dalam penelitian ini
adalah rentabilitas perusahaan.
Rentabilitas adalah kemampuan suatu
perusahaan untuk menghasilkan laba
selama periode tertentu. Rentabilitas
perusahaan terdiri dari: rentabilitas
ekonomi adalah kemampuan perusahaan
dengan seluruh modal yang bekerja di
dalamnya untuk menghasilkan laba.
Sedangkan rentabilitas modal sendiri,
yaitu kemampuan perusahaan dengan
modal sendiri yang bekerja di dalamnya
untuk menghasilkan keuntungan. Laba
yang diperhitungkan adalah laba usaha
setelah dikurangi dengan bunga modal
asing dan pajak perseroan yang dikenal
dengan Earning After Tax (EAT).
Jika terdapat peningkatan pada penjualan
barang yang dijual, maka semakin besar
laba yang akan dihasilkan perusahaan.
Perusahaan memperoleh keuntungan
dengan caranya masing-masing.
Pengukuran itu dapat dihubungkan
dengan total aktiva, dan modal sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Arah, Margareth. 2006. Manajemen
Keuangan Investasi dan Sumber
Dana Jangka Pendek & Panjang.
Jakarta: PT Grasindo.
Arifin, Ali. 2009. Seni Menjual Perspektif
Bisnis Ide-ide Penjualan Serta
Strategi Pemasaran. Yogyakarta: CV
Andi Offset.
Ashari dan Darsono. 2005. Memahami
Laporan Keuangan. Yogyakarta: CV
Andi.
Astuti, Dewi. 2004. Manajemen Keuangan
Perusahaan. Jakarta: PT Ghalia
Indonesia.
Brigham, Eugene F. 2010. Dasar-Dasar
Manajemen Keuangan. Jakarta:
Salemba Empat.
Han Vorne, Jame C and Jhon M. Wachowicz,
JR. 2005. Fundamental of Financial
Management (Prinsip-Prinsip
Manajemen Keuangan). Jakarta:
Salemba Empat.
Iqbal hasan, M. 2005. Pokok-pokok Materi
Statistik 2. Edisi kedua. Cetakan
ketiga. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Kotler, Philip and Kevin Lane Keller. 2007.
Manajemen Pemasaran. Edisi ke-12.
Jilid I. Cetakan Ketiga. Jakarta: PT
Indeks.
Kotler, Philip and Kevin Lane Keller. 2007.
Manajemen Pemasaran. Edisi ke-12.
Jilid 2. Cetakan Ketiga. Jakarta: PT
Indeks.
Rangkuti, Ferdhy. 2009. Strategy Promosi
yang Kreatif dan Analisis. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Riyanto, Bambang. 2009. Dasar-Dasar
Pembelanjaan Perusahaan. Edisi 4.
Yogyakarta: BPFE Yogyakarta.
Setia Atmaja, Lukas. 2008. Teori dan
Praktek Manajemen Keuangan.
Yogyakarta: CV Andi.
Sugiyono. 2003. Metode Penelitian Bisnis.
Edisi kelima. Bandung: CV Alfabeta.
Syahrial, Darmawan. 2008. Manajemen
Keuangan. Edisi kedua. Jakarta: Mitra
Wacana Media.
Syamsuddin, Lukman. 2009. Manajemen
Keuangan Perusahaan. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.
PERAN PEMIMPIN DALAM MENCIPTAKAN VISI DAN
MISI SERTA PETUNJUK AKAN STRATEGI
Jefri Lukito
Email : lukito.top@gmail.com
Abstract
increasingly competitive rivalry will require seriousness in managing the organization and not
only that also takes a leading role in realizing the value of organizational excellence and efforts
in the form of strategies in order to adapt to changes in the environment and will realize the
dream of the organization in the form of goals, vision and mission . based on this it is very
important leadership role in formulating, giving guidance and direction to the strategy that will
be applied to the organization.
Key word : Leader, Vision, Mission, strategy.
Pendahulan
Salah satu yang utama fungsi penting
kepemimpinan adalah untuk mengartikulasi
dan mengkomunikasikan secara menyeluruh
suatu visi hal ini sebagai motivasi dan
kekuatan orang untuk mencapai masa depan.
(Draft, 2008:350) . pemimpin yang baik
selalu melihat masa depan, mensetting suatu
program untuk masa depan dan
mendapatkan setiap orang bergerak kedalam
tujuan yang sama. Berdasarkan hal terebut
maka dirasakan perlu untuk menghadirkan
secara menyeluruh peran pemimpin dalam
mengkreasikan masa depan organisasi.
Kemudian, kita mengerjakan visi tersebut,
dengan penekanan yang biasa dilakukan
untuk mengefektifkan visi dan bagaimana
visi dapat bekerja atas berbagai tahapan.
Perbedaan antara visi dan misi organisasi
akan diuraikan juga. Menjelaskan
bagaimana pemimpin memformulasikan
visi dan strategi dan pemimpin
mengkontribusikan untuk pencapaian visi
dan misi.
Strategi pemimpin
Kehebatan kinerja organisasi bukan menjadi
suatu keberuntungan. Ini merupakan
penentuan yang besar dari pilihan yang
diputuskan oleh pemimpin. pemimpin di
level atas bertanggung jawab dari
pemahaman akan suatu lingkungan
organisasi, mempertimbangkan apakah
memungkinkan selama 5 atau 10 tahun
untuk mencapai apa yang diharapakan
pemimpin dalam perusahaan dan mendesain
tujuan dari setiap orang akan masa depan
yang dapat diyakininya. Strategi pemimpin
merupakan salah satu isu yang sangat krusial
yang dihadapi organisasi. Strategi pemimpin
memberikan arti kemampuan untuk
mengantisipasi dan membayangkan masa
depan, menjaga fleksibilitas, berpikir
strategi, dan bekerja dengan orang-orang
yang berinisiatif akan perubahan serta
mengkreasikan menjadi keunggulan daya
saing untuk masa depan organisasi. Dalam
perubahan dunia yang begitu cepat, para
pemimpin menghadapi situasi yang begitu
komples dan ambigu dalam informasi dan
tidak hal lain bahwa pemimpin akan melihat
hal ini dengan cara pemikiran yang sama
atau membuat pilihan yang sama. (Robbins,
2004).
Kompleksitas lingkungan dan ketidakpastian
masa depan dapat membingungkan
pemimpin. dengan demikian, beberapa
berfokus pada isu internal organisasi
dibandingkan dengan aktivitas strategi. Hal
ini mudah dan lebih nyaman dari
kesepakatan pemimpin dengan rutinitas , isu
operasional yang dapat melihat hasilnya
dengan cepat dan merasakan pengawasan.
Selain itu , beberapa pemimpin dibanjiri
dengan informasi dan menguasai secara rinci
.
Berikut akan menjelaskan dalam bentuk
ilustrasi akan tahapan-tahapan membuat
strategi pemimpin yang utama. Strategi
pemimpin bertanggung jawab atas hubungan
lingkungan eksternal,internal untuk memilih
tentang visi, misi, strategi dan memutuskan
hal tersebut. (Draft 2008: 350)
Visi bertugas di dalam hal akan berfokus
dengan misi perushaaan- yang merupakan
nilai utama, tujuan dan alasan untuk eksis.
Misi menjawab pertanyaan “seperti apa
organisasi kita? Selanjutnya tahapan dalam
tingkatan yang dijelaskan pada ilustrasi
diatas bahwa strategi, respon untuk
menjawab pertanyaan: “ seperti apa
pencapaian visi kita?” strategi menghadirkan
tujuan untuk mengartikan visi kedalam
tindakan dan sebagai dasar untuk
pengembangan mekanisme yang spesifik
untuk membantu organisasi mencapai
tujuan. Keputusan yang khusus “ apakah
yang kita lakukan sekrang sudah benar?”
strategi bertujuan , kapan keputusan
dilakukan melalui kerangka dasar organisasi
(struktur, insentif). (Draft 2008: 380).
Visi pemimpin.
Visi merupakan suatu daya penarik, atas
masa depan ideal yang dipercaya namun
tidak mudah mencapainya. Melihat dengan
ambisi masa depan yang melibatkan setiap
orang yang dapat diyakini, salah satunya
dapat merealisasikan menjadi pencapaian
masa depan yang penting dibandingkan
apakah tetap eksis sekarang?. Berdasarkan
penjelasan tersebut maka akan diberikan
contoh bahwa Sebelum tahun 1950an
perusahaan Sony menginginkan untuk
menjadi perusahaan yang dapat melakukan
perubahan akan dunia yang luas image akan
kualitas produk yang rendah akan produk
Jepang. Sejak saat itu perusahaan Jepang
memiliki pemahaman akan kualitas tetapi
pada tahun 1950an memiliki ambisi yang
besar akan tujuan dengan membangkitkan
imajinasi orang-orang dn memiliki
kebanggaan nasional.
Mengerjakan visi merupakan sejumlah cara
yang penting. Mengefektifkan visi
menghadirkan suatu jaringan antara hari ini
dan akan datang, bertindak untuk
mengenergikan dan memotivasi para pekerja
menuju masa depan, memberikan arti untuk
orang bekerja dan mensetting suatu standar
yang unggul dan mengintegrasikan kedalam
organisasi. Berdasarkan hal tersebut maka
pemimpin harus dapat menanamkan nilai
visi yang baik dan benar, beberapa nilai visi
yang dapat ditanamkan dengan memiliki
makna sebagai berikut :
Visi akan terhubung dengan bertindak dengan benar dengan
menginspirasikan apa yang
diinginkan organisasi untuk hal
tersebut. Suatu visi selalu berbicara
mengenai masa depan tetapi untuk
memulainya dengan saat ini dan
sekarang ini. contoh Perusahaan
Google, para pekerja bertindak atas
suatu visi dengan menyatukan data
dan informasi yang berada disekitar
dunia , suatu hari keseluruhannya
menghilangkan hambatan bahasa
akan melalui internet. Mereka
menciptakan pelayanan dengan
mempertemukan kebutuhan secara
langsung, tetapi mereka juga secara
tegas membayangkan dan membuat
produk-produk dan melayani dengan
menekanan yang lain, pengaplikasian
yang luas. Dalam organisasi ,
tekanan untuk mempertemukan garis
kesepakatan , membuat penjualan
menjadi besar, segera mendesak
untuk menemukan solusi atas
permasalahan-permasalahan, dan
merealisasikan secara menyeluruh
program yang spesifik . beberapa
memiliki pendapat bahwa pemimpin
membutuhkan “titik point pada visi”
akan kemampuan untuk memenuhi
kebutuhan saat ini dan melakukan
kewajiban yang berjalan juga
bertujuan akan pencapaian impian
menuju masa depan.
Orang menginginkan untuk merasakan semangat mengenai
pekerjaan mereka atas visi yang
dibentuk. Seperti, Beberapa orang
berkomitmen atas waktu dan tenaga
secara suka rela untuk proyek yang
diyakini, seperti – kampanye politik,
even komunitas, yang
menyebabkannya orang bertindak
seperti contohnya.hal ini sering kali
orang meninggalkan kekuatan dan
semangat yang berada dirumah
ketika mereka pergi untuk bekerja,
karena mereka tidak memiliki apaun
yang menginspirasi mereka.
Orang juga membutuhkan untuk menemukan tujuan dan arti dalam
pekerjaan mereka. Setiap
pelaksanaan tugas yang rutin dapat
menemukan keberanian dalam
pekerjaan mereka. Pada saat mereka
memiliki suatu tujuan yang besar
dari apa yang mereka lakukan.
Sebagai contoh, suatu perusahaan
asurnsi yang bekerja sebagai juru
tulis dapat berpikir untuk membantu
korban atas kebakaran atau
pencurian yang menempatkan
kehidupan mereka kembali kedalam
permintaan akan yang dirasakan
sering kali berbeda dengan salah satu
yang dipikirkan atas pekerjaan “
suatu proses klaim asuransi”. “orang
menginginkan pencapaian sesuatu
yang besar yang dipikirkan”, nasihat
salah satu CEO UPS Michael L.
Eskew.” Mereka menginginkan
membuat perbedaan”. Para
pemimpin salah satu CEO UPS
Michael L. Eskew.” Mereka
menginginkan membuat perbedaan”.
Para pemimpin membutuhkan untuk
mengatakan “inilah saatnya
melakukan sesuatu” dan kemudian ,
“ mengapa dalam hal ini
membutuhkan ”.
Suatu kekuatan visi membebaskan dari kebiasaan dengan suatu
tantangan sebagai syarat mereka
untuk memberikan yang terbaik.
Yang kemudian , visi menghadirkan
suatu ukuran yang mana pekerja
dapat mengukur kontirbusi untuk
organisasi. Umumnya pekerja datang
melakukan perubahan untuk melihat
bagaimana menyesuaikan kerja
kedalam keseluruhan hal.
Menganalisa tekanan yang
mempelihatkan penugasan yang
keluar secara terfokus. Suatu visi
terfokus pada penekanannya. Yang
menjelaskan akan citra masa depan
dan membiarkan orang melihat
bagaimana mereka dapat bertindak
sebelumnya.
Hal ini menekankan akan kekuatan, mengefektifkan visi, mereka
memiliki batasan, secara luas
disharingkan untuk membantu
kesepahaman dengan perubahan,
menekankan keyakinan dan harapan
untuk masa depan, merefleksikan
cita-cita yang tinggi; dan
mengartikan antara tujuan organisasi
dan aturan dasar, kebijakan, sasaran
untuk meraihnya.
Walaupun terlihat memungkinkan
untuk diraih bahwa visi dapat
dijadikan sebagai pencapaian saja
melalui orang atau personal ,
beberapa visi yang memadai dapat gagal tanpa melibatkan pekerja. Para
pemimpin terisolasi yang akan
mendatangkan ide yang besar bahwa
para pekerja yang lain menemukan
bahwa ini merupakan hal yang tidak
mungkin, atau mereka mungkin lupa
bahwa pencapaian suatu visi
merupakan upaya yang disyaratkan
untuk dipahami dan adanya
komitmen melalui organisasi.
Vision yang efektif membantu
pencapian prestasi organisasi yang
berani menghadapi tantangan.
Sebagai contoh Institut nasional
selama 25 tahun mempelajari orang
cacat, menghadirkan pelayanan
untuk segmentasi yang dibatasi pada
pasar pendidikan. Kemudian, para
pemimpin memformulasikan dengan
jelas visi untuk melebarkan cakupan
organisasi dan pelayanan kepada satu
juta pelajar pada tahun 2020. Hal ini
juga disebut sebagai “visi 2020”
yang menghadirkan hal yang luar
biasa sebagai tantangan yang harus
dilaksanakan oleh pemimpin dan
pekerja untuk memperluas
pemikirkan mereka dan melakukan
perubahan akan bagaimana mereka
memberikan pelayanan.
Keberadaan visi hanyalah dalam imajinasi-hal ini merupakan gambar
yang tidak dapat mengobservasikan
dunia atau memverifikasikan dalam
keunggulan . masa depan bagian atas
orang yang percaya akan hal
tersebut, dan kekuatan visi
membantu orang percaya mereka
dapat menjadi efektif, menjadikan
masa depan lebih baik yang mereka
gerakan melalui komitmen diri dan
tindakan. Visi merupakan daya tarik
emosional untuk kebutuhan dasar
manusia dan hasrat atau keinginan
untuk merasakan hal yang penting
dan melakukan dengan sepenuhnya
dalam dunia ini.
Visi yang baik untuk masa depan meliputi hasil yang spesifik terhadap
pencapaian organisasi yang
diinginkan. Hal ini juga menyertakan
pokok nilai yang dapat membantu
organisasi mendapatkannya.
Vision yang idealis adalah yang baik.
Vision mengambarkan akan
kekuatan masa depan untuk
menginsipriasikan dan memberikan
energi orang.
Umumnya visi memiliki pembicaraan mengenai sejauh mana
perusahaan mencapai
keseluruhannya. Bagaimanapun,
divisi, departemen dan individu juga
memiliki visi, yang mana hal ini
penting dan berkekuatan dan
individu-individu biasanya memiliki
mental yang jelas sebagai gambar
visi mereka dan bagaimana untuk
mencapai hal tersebut. Orang yang
tidak melakukan visi yang jelas akan
kehilangan perubahan untuk sukses.
Misi pemimpin Misi tidak hanya berpikir sama mengenai
visi perusahaan, walaupun memperkerjakan
dua hal secara bersama. Misi adalah hakekat
inti tujuan dan alasan untuk tetap eksis.
(Siagian, 2010: 84). Hal ini mendefiniskan
nilai dasar perusahaan dan alasan untuk
menjadi seperti apa, dan menyediakan
secara mendasar untuk membuat visi.
Sedangkan visi merupakan ambisi mencapai
masa depan, misi apa yang menjadikan
organisasi tetap berdiri dan memiliki
keinginan untuk besar.
Sedangkan pertumbuhan visi dan perubahan,
misi tetap berlangsung dalam menghadapi
perubahan teknologi, kondisi ekonomi, atau
perubahan lain atas lingkungan. Bertindak
seperti perekat dengan memegang organisasi
secara bersama dalam perubahan waktu dan
petunjuk pilihan strategi dan keputusan
tentang masa depan. Misi memberikan arti
karakter yang kuat-spiritual DNA-
organnisasi dapat mengunakan pemimpin
sebagai alat untuk membantu para pekerja
menemukan tujuan mereka dalam bekerja.
(Soekarso, dkk: 2010).
Bentuk tujuan mulia akan misi
Efektifitas akan pernyataan misi tidak hanya
menjelaskan product atau jasa; menangkap
motivasi yang idealis atas orang-orang
terhadap eksistensi organisasi. Sebagian
besar keberhasilan perusahan memiliki visi
yang diproklamasika pada sebuah tujuan
yang nulia beberapa contoh , seperti Mary
Kay “ untuk menjadi wanita kaya sepanjang
hidup”, atau Wal-Mart ‘misi’ memberikan
kebanggan pada masyarakat akan perubahan
untuk membeli dengan berpikir sama
sebagaimana seperti orang kaya”. Pemimpin
bertanggung jawab untuk bentuk tujuan
mulia yang menginspirasi dan memimpin
orang untuk mencapai prestasi yang tinggi
dan membantu organisasi mencapai
keunggulan daya saing. Beberapa bentuk
akan tujuan mulia dapat dijelaskan sebagai
berikut :
Discovery, Beberapa orang menginspirasikan atas
peluang/kesempatan untuk
menemukan atau menciptakan
pemikiran yang baru. Discovery
berasal atas diri sendiri yang dapat
membantu pencapaian tujuan mulia,
seperti halnya pekerja Google, yang
berenergi atas kepuasan batin yang
mereka dapatkan dari pekerjaan atas
menstimulasi intelektual dan
tantangan permasalahan secara
teknik.
Excellence, Dengan pendekatan ini,
lebih baik dibandingkan penekanan
discovery, pemimpin berfokus atas
orang yang menjadikan terbaik, atas
keduanya secara individual dan tingkatan organisasi. Misalnya
Apple, tidak hanya menciptakan
MP3 player atau Smartphone namun
bukan hanya berfokus membuat yang
terbaik yang kemungkinan atas
berbagai versi produk. Yang
kemudian unggul dalam
mendefiniskan pekerjaan sendiri
dibandingkan dengan konsumen.
Beberapa organisasi sosial
berdasarkan atas tujuan yang mulia
yang mementingkan kepentingan
bersama. Karena mereka
menekankan melayani yang lain
tetapi bisnis dapat digunakan hal ini
untuk pendekatan yang baik. Sebagai
contoh, pemimpin Dollar Strees
bertujuan memberikan penghasilan
rendah atas orang dengan
kesepakatan yang baik, yang tidak
hanya melakukan penjualan dan
keuntungan. Setiap industri mobil
dapat memiliki tujuan mulai, seperi
para pemimpin Honda telah
menunjukkannya dengan menghasil
produk mobil yang ramah terhadap
lingkungan.
Altruism, Beberapa organisasi sosial berdasarkan atas tujuan yang mulia
yang mementingkan kepentingan
bersama. Karena mereka
menekankan melayani yang lain
tetapi bisnis dapat digunakan hal ini
untuk pendekatan yang baik. Sebagai
contoh, Setiap industri mobil dapat
memiliki tujuan mulia, seperi para
pemimpin Honda telah
menunjukkannya dengan menghasil
produk mobil yang ramah terhadap
lingkungan.
Heroism ,Kategori yang terakhir,
kepahlawanan memberikan arti
tujuan perusahaan sebagai dasar
untuk menjadi kuat, agresif, dan
efektif. Perusahaan dengan dasar tujuan yang mulia seringkali
merefleksikan secara menyeluruh
suatu obesesi dengan kemenangan.
contoh Bill Gates mengilhami
Microsoft dengan suatu tujuan yang
meletakkan operasi sistem window
kedalam setiap personal.individy di
dunia akan satu computer pribadi
(PC).
Strategi akan tindakkan
Kekuatan misi merefleksikan tujuan mulia
dan mengarahkan visi yang keduanya hal
tersebut sangat penting, tapi mereka tidaklah
cukup sendiri untuk menciptakan kekuatan,
tenaga penuh organisasi. Untuk mencapai
organisasi yang berhasil, mereka
membutuhkan cara untuk menerjemahkan
visi, misi, nilai, sasaran dan tujuan kedalam
tindakkan, yang mana dengan peranan
strategi. Strategi manajemen strategi yang
akan mengacu pada seperangkat keputusan
dan tindakan yang digunakan untuk
memformulasikan dan
mengimplementasikan strategi secara
sepsifik akan pencapian keunggulan
superiror yang sesuai antara organisasi dan
lingkungan juga untuk mencapai tujuan
organisasi. (David, 2010; 200).
Mencapai visi
Strategi dapat difenisikan sebagai
perencanaan umum atas tindakan yang
menjelaskan pengalokasian sumber daya dan
aktivitas lain dari kesepakatan dengan
lingkungan dan membantu organisasi
mencapai tujuan dan mencapai visi. Dalam
memformulasikan strategi , pemimpin
menanyakan pertanyaan seperti dimana
organisasi sekarang?, apakha perubahan dan
trend yang muncul dalam lingkungan yang
kompetitif?, (David, 2010: 350).
Inti kompetensi organisasi terkadang
mengorganisasikan secara ekstrim baik
dalam hal ini dilakukan perbandingan
dengan pesaing. Pemimpim mencoba untuk
mendefinisikan kekuatan organisasi secara
unik-memuat apakah organisasi teampil
berebda dari yang lain dalam insustri.
Sehingga dalam hal ini perlu Munculnya
sinergi organisasi saat bagian untuk
menghasilkan bekerja sama secara efektif
yang menjadi besar dengan sejumlah bagian
yang bertindak sendiri. Hasil organisasi
mungkin mencapai keunggulan khusus
dengan peduli terhadao biaya, kekuatan
pasar, teknologi atau keahlian pekerja.
Selain itu perlu Memfokuskan atas inti
kompetensi dan mengusahakan sinergi
membantu organisasi menciptakan nilai dari
konsumen. Nilai dapat didefiniskan sebagai
kombinasi keunggulan yang diterima dan
biaya yang dibayar oleh konsumen.
(Robbins, 2010)
Memformulasikan strategi
Mengintegrasikan pengetahuan mengenai
lingkungan, visi dan misi dan inti
kompetensi perusahaan kedalam suatu cara
untuk mencapai sinergi dan menciptakan
nilai bagi konsumen. Saat elemen ini
membawa secara bersama, perusahaan telah
memiliki keunggulan akan perubahan untuk
keberhasilan dalam lingkungan persaingan.
Tetapi harus dilakukan juga, pemimpin
harus dapat menentukan akan keputusan
strategi yang diputuskan – yang secara
aktual perilaku dengan gambaran organisasi
akan arah yang ingin dicapai.
Strategi eksekusi diartikan penggunaan
secara spesifik mekanisme, teknik atau alat
untuk secara langsung sumber daya
organisasi untuk menyelesaikan tujuan
strategi. Ini merupakan daar arsitektur untuk
bagaimana memikirkan dengan
melakukannya kedalam organisasi. Strategi
eksekusi biasanya disebut sebagai
impelmentasi, hak ini penting disebabkan
bagian tersukit manajemen strategi dan para
pemimpin harus berhati-hati dan
berkesinambungan mengelola proses
keputusan untuk mencapai hasilnya.
Memutuskan akan strategi
Strategi eksekusi diartikan penggunaan
secara spesifik mekanisme, teknik atau alat
untuk secara langsung sumber daya
organisasi untuk menyelesaikan tujuan
strategi. Ini merupakan dasar akan arsitektur
untuk bagaimana memikirkan dengan
melakukannya kedalam organisasi. Strategi
eksekusi biasanya disebut sebagai
impelmentasi, hal ini penting disebabkan
bagian tersulit manajemen strategi dan para
pemimpin harus berhati-hati dan
berkesinambungan mengelola proses
keputusan untuk mencapai hasilnya.
Pemimpin membuat keputusan setiap hari-
terkadang besar dan terkadang kecil- hal ini
mendukung strategi perusahaan. Hal ini
akan menghadirkan secara sederhana model
dari bagaimana pemimpin membuat
keputusan strategi ?. Model ini
menghadirkan akan secara sederhana untuk
bagaimana pemimpin membuat keputusan
akan strategi. Ada dua dimensi yang
mempertimbangkan saat tertentu akan
pilihan yang memiliki dampak yang besar
atau kecil akan bisnis dan pengambilan
keputusan yang mudah dan sulit sehingga
pemimpin harus pertama memilih untuk
menempatkan strategi kedalam tindakkan.
Beberapa keputusan strategi, bagaimanapun
sulitnya akan sejumlah keputusan. Sebagai
contoh mengupayakan pertumbuhan melalui
merger dan akuisisi dapat menimbulkan
terjadi kesulitan menyatukan atau
memadukan proses, prosedur akuntansi,
budaya perusahaan dan hal yang lain akan
organisasi kedalam funngsi efektifitas secara
keseluruhan. Melakukan disain kembali
akan strukturisasi , seperti membentuk tim-
tim pada suatu bentuk horizontal atau
memecahkan divisi perusahaan kedalam
berbagai bentuk, hal ini sebagai contoh high
risk decision. Para pemimpin kerap kali
melakukan perubahan yang utama walaupun
menghadapi resiko dan kesulitan yang
sangat tinggi hal ini dikarenakan strategi
tersebut sangat berpotensi. Pemimpin juga
terkadang melakukan strategi dengan
dampak akan strateginya yang rendah tetapi
secara relative mudah untuk diputuskan.
Peningkatan secara bertahap dalam produk,
proses kerja atau teknik sebagai contohnya :
lembur, secara bertahap peningkatan yang
dapat memiliki dampak penting atas
organisasi. Dalam hal lain perubahan yang
kecil dapat bersimbol peningkatan dan
keberhasilan untuk orang dengan organisasi.
Mungkin menjadi penting bagi pemimpin
untuk memproduksi cepat, nyata
peningkatannya untuk mendorong moral,
mendorong komitmen orang untuk
perubahan yang besar atau mendorong
pekerja tetap berfokus atas visi. Sebagai
contoh manajer departemen penjualan
menginginkan untuk perekayasaan ulang
akan proses penjualan untk meningkatkan
efisiensi dan meningkatkan hubungan
dengan para pemasok. Menginginkan dan
melakukan penagihan untuk dijadikan
proses dengan tiap harinya dibandingkan
beberapa minggu yang akan diambilnya.
(Draft, 2008: 366-369).
Kontribusi pemimpin
Walaupun pemimpin yang baik dikatakan
dari aktivitas yang melibatkan setiap orang,
pemimpin pada akhirnya bertanggung jawab
untuk membangun petunjuk melalui visi dan
strategi. Saat pemimpin melakukan kesalhan
untuk memberikan petunjuk, pencapaian
organisasi. Untuk menjaga persaingan
organisasi, pemimpin berupaya beradaptasi
yang terfokus pada visi dan strategi dan
memastikan setiap aktivitas bergerak kearah
organisasi dalam petunjuk yang benar.
Melakukan stimulus visi dan tindakkan
Pengharapan dan impian untuk masa depan
akan apakah tetap mengerjakan orang
menuju hal tersebut. . bagaimana pun peran
pemimpin menjelaskan berdasarkan atas
perhatian mereka terhadap visi dan perhatian
terhadap tindakan. Visi telah diterjemahkan
kedalam tujuan yang spesifik , objektif dan
perencanaan-perencanaan juga para pekerja
memahami bagaimana untuk mengerakkan
mereka mencapai masa depan. Sebuah
filosofi tua di Inggris yang bisa dikatakan
sebagai organisasi harus mengatakan bahwa
:
Hidup tanpa visi merupakan pekerjaan yang
membosankan
Visi tanpa tindakan seperti layaknya impian
yang kosong
Petunjuk atas tindakan merupakan visi
mendatangkan kesukaan dan harapan di
bumi.
Bagan ini akan mengilustrasikan empat
bentuk tanggung jawab pemimpin dalam
memberikan petunjuk. Empat tipe
kepemimpinan sebagai dasar atas penjelasan
visi dan perhatian atau fokus pada tindakan.
Seseorang yang lamban dalam
menghadirkan visi dan mendorong
tindakkan dinamakan uninvolved, secara
nyata tidak semua pemimpin seperti ini.
Seorang pemimpin yang kesemuanya
berfokus pada perhatian dan sedikit
perhatian terhadap visi dinamakan Doer.
yang mungkin pekerja keras dan berdedikasi
untuk pekerjaaan dan organisasi, tetapi
pekerja yang buta. Tanpa arah tujuan dan
petunjuk, aktivitas atau tindakkan tidak
memiliki arti yang sesungguhnya dan tidak
sungguh-sungguh melayani organisasi,
pekerja atau komunitas. The dreamer
didasarkan atas meletakkan tangan orang
lain, menyediakan ide yang besar dengan
memberikan arti untuk dirinya dan orang
lain. pemimpin ini dapat menginspirasi
efektifitas yang lain dengan visi, sebelum
visi dia lemah atas keputusan tindakan
strategi, visi dalam kasus ini hanya suatu
impian, fantasi , karena memiliki sedikit
perubahan yang jarang dijadikan
realisasi.Untuk menjadi pemimpin efektif
(the effective leader) , salah satu kedua hal
impian yang besar dan tranformasi impian
kedalam tindakan strategi yang nyata.
(Draft, 2008: 370-372)
Upaya pemimpin memutuskan
Untuk memastikan petunjuk strategi bagi
masa depan, pemimpin harus melihat ke
dalam , keluar dan pencapaian. Para
pemimpin menganalisa keduanya internal
dan lingkungan eksternal organsiasi untuk
identitas trend, ancamanan, dan peluang
untuk organisasi. Organisasi membutuhkan
kedua hal tersebut akan luasnya dan
inspirasi visi dan didasarkan perencanaan
untuk bagaimana pencapain tersebut. Untuk
mendedikasikan dan memetakan arah
strategi, pemimpin harus tegas untuk
membangun industri berdasarkan sudut
pandangan yang lain atas dasar trend dalam
teknologi, demografi, peraturan pemerintah,
nilai dan gaya hidup yang dapat membantu
mereka mengidentifikasikan keunggulan
daya saing. Salah pendekatan pemimpin
melakukan desain program untuk masa
depan melalui analisis yang sulit, analisis
situasi, sebagai contoh SWOT-kekuatan,
kelemahan, peluang dan ancaman yang
mempengaruhi kinerja organisasi. Pemimpin
menggunakan analisis situasi memperoleh
informasi eskternal yang berasal dari
berbagai sumber daya, seperti konsumen,
laporan pemerintah , pemasok, konsultan
atau rapat asosiasi. Mereka mengumpulkan
informasi mengenai internal kekuatan dan
kelemahan dari sumber daya seperti
anggaran, ratio keuangan, laba dan rugi dan
survey pekerja. Selain itu menggunakan
formula yang sering digunakan pemimpin
yang disebut Five Forces analysis
development yang dikembangkan Michael
Porter.
Kesimpulan
Kemampuan organisasi dalam menciptakan
akan daya saing dimulai dari visi dan misi ,
hal inilah yang akan mengerakkan organisasi
dalam upaya menciptakan daya saing
melalui strategi yang digunakan dalam
perusahaan atau organisasi , agar srategi
yang digunakan dapat efektif dan
menciptakan nilai keunggulan bagi
organisasi. Maka diperlukanlah peran
seorang pemimpin dalam memwujudkan
strategi dengan membuat langkah akan
petunjuk berupa melakukan analisa serta
formulasi yang benar untuk dapat bersaing
sekaligus menciptakan nilai, keunggulan
serta kemampuan daya saing dalam
menghadapi setiap perubahan faktor
lingkungan.
Daftar Pustaka
David Fred, 2010. Management Strategy“
Pearson Education, New Jersey, 10 th.
Kaloh J, 2006. “Pemimpin Antara Keberhasilan
Dan Kegagalan”. Penerbit Kata Hasta Pustaka,
Jakarta, Edisi Pertama.
L Draft Richard, 2008. “Leadership”, South
Western, International Edition, Cengage
Learning International Offies, 5th Edition.
Luthans Fred. 2005. “ Organization Behavior”.
The Mcgraw-Hill Companies, Inc, English, 10th
Edition.
Robbins, A. Judge Timothy, 2010.
“Organizational Behaviour”, New Jersey,
Pearson Editon, 12th Editon.
Robbins, A. Judge Timothy, 2003.
“Organizational Behaviour”, New Jersey,
Pearson Editon, 7th Editon.
Ridwansyah Ardhi, dan lain-lain, 2012.
“Leadership 3.0”, Penerbit Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta
Soekarso, Sosro Agus, Putong iskandar, Hidayat
Cecep . 2010 “ Teori Kepemimpinan”. Mitra
Wacana Media.
Sashkin Marshall dan Sashkin Molly G, 2011.
“Prinsip-Prinsip Kepemimpinan”. Penerbit
Erlangga, Jakarta.
Siagian Sondang P, 2010. “Teori dan Praktek
Kepemimpinan”, Penerbit Rhineka, Jakarta,
Edisi 6.
Thoha Miftah, 2010. “Kepemimpinan dalam
Manajemen”. PT. RajaGrafindo Persada,
Jakarta, Edisi 15.
Majer Kenneth, 2004. “ A Revolution Approach
to Business Success and Personal Prosperity”, A
Division Of Majer Strategies, Inc, San Diego,
California.
29
TANGGUNG JAWAB AKUNTAN PUBLIK DALAM MENDETEKSI KECURANGAN PADA
AUDIT ATAS LAPORAN KEUANGAN DAN PEMBERIAN OPINI WAJAR TANPA
PENGECUALIAN (UNQUALIFIED OPINION)
(Sebuah Studi Literatur)
(Karya Tulis Ilmiah ini masuk dalam Pemakalah Top 20 The Second Academic Conference 2013 dalam
acara The Second Academic Conference yang diselenggarakan oleh Ikanas Keuangan-STAN dan
dikompilasikan dalam buku proceeding yang didistribusikan ke berbagai instansi pemerintah,
akademisi, dan praktisi)
Rifki Gunawan
ABSTRACT
Occurrence of accounting fraud can not be detected by a public accountant who audited the
financial statements lead to disappointment of the people who use financial statement information.
Public accounting as a profession trusted public are required to detect the fraud by both the employee
and the management on the field audit. It certainly is a concern to the auditor to be able to plan the audit
to detect fraud that have an impact on financial statement presentation. Auditing standards has made it
clear that the auditor's responsibility is not only to assess the fairness of presentation of financial
statements that by mistake error but rather it should be able to detect fraudulent contained in the
financial statements that having the character of material.
Auditor should have the highest level of assurance that the financial statements are not contain of
material misstatement, including fraud so unqualified opinion has considered fraud in order to provide
an overview of the actual financial condition of the company and not mislead the users of financial
statements for decision making. This paper descnbes how auditor’s responsibility to detect fraudulent
financial reporting.
Keywords: auditor responsibility, fraud, fraud detection, unqualified opinion,
PENDAHULUAN
Dalam dunia bisnis, kehadiran Akuntan
Publik merupakan suatu hal yang sangat
diharapkan dan penting untuk menciptakan
kondisi ekonomi yang kondusif khususnya
dalam iklim investasi. Hasil audit dari Akuntan
Publik terhadap suatu laporan keuangan
perusahaan akan menjadi pertimbangan bagi
seluruh pihak yang menggunakan informasi
tersebut dalam pengambilan keputusan.
Banyaknya pihak yang mengandalkan informasi
yang dihasilkan dari suatu audit yang dilakukan
Akuntan Publik menjadikan kualitas hasil audit
menjadi syarat mutlak atas produk yang
dihasilkan. Namun terjadinya beberapa skandal
Akuntansi yang dilakukan oleh manajemen
perusahaan mengakibatkan masyarakat
cenderung sanksi terhadap kualitas hasil audit
yang dilakukan oleh Akuntan Publik karena
ketidakmampuannya dalam mendeteksi
kecurangan yang terjadi. Terlepas dari
keterlibatan Akuntan Publik dalam skandal
Akuntansi tersebut atau tidak, nampaknya
masyarakat beranggapan bahwa Akuntan Publik
harus ikut bertanggung jawab atas terjadinya
skandal Akuntansi di suatu perusahaan setelah
audit dilakukan dan opini Wajar Tanpa
Pengecualian (Unqualified Opinion) diterbitkan.
Sebenarnya kasus skandal akuntansi
bukanlah hal yang baru. Lihat saja kasus
berjatuhannya bank-bank di Indonesia yang
tadinya tumbuh dengan pesat dan subur
kemudian setelah terjadinya krisis ekonomi
tahun 1997 yang melanda dunia khususnya di
Indonesia, bank-bank tersebut bankrut karena
kinerja keuangannya buruk padahal umumnya
bank tersebut telah dinyatakan sehat setelah
diaudit oleh KAP dengan opini Wajar Tanpa
Pengecualian. Akmal (2002:68) menyatakan hal
ini tentu menimbulkan pertanyaan mengapa
dapat terjadi demikian? Apakah audit yang
dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik tersebut
mutunya rendah, sehingga tidak dapat
memberikan informasi mengenai kurang
sehatnya posisi keuangan kliennya yang begitu
rapuh. Mungkin pertanyaan Akmal tersebut
relevan ketika yang terjadi adalah kegagalan
audit, namun jika yang terjadi ternyata
kegagalan bisnis klien, apakah Akuntan Publik
30
tetap harus bertanggung jawab atas
kebangkrutan suatu perusahaan?
Setelah terjadinya krisis ekonomi tahun
1997, di Indonesia masih terjadi beberapa kali
kasus skandal Akuntansi namun kali ini
dilakukan oleh manajemen perusahaan. Kondisi
tersebut ternyata tetap membawa Akuntan
Publik sebagai pihak yang turut bersalah dan
bertanggung jawab sehingga dikenakan sanksi
oleh Kementerian Keuangan (dhi. PPAJP) atau
IAPI (dulu masih bergabung dengan IAI). Lihat
saja kasus Kimia Farma, Bank Global, Great
River, Bank Lippo, KAI, dll yang menyeret
sejumlah Akuntan Publik dalam pelanggaran
standar auditing atau kode etik profesi. Sanksi
yang dikenakan kepada Akuntan Publik
disesuaikan dengan tingkat keterlibatan dan
kesalahannya, mulai dari sanksi administrasi,
pembekuan ijin praktek, pengenaan denda,
hingga pencabutan ijin prakteknya.
Melihat kondisi di atas maka dapat
diketahui bahwa terjadinya skandal akuntansi
bisa disebabkan adanya konspirasi
(persekongkolan) yang dilakukan antara
Akuntan Publik dengan manajemen perusahaan
dan bisa juga disebabkan karena kegagalan
audit karena Akuntan Publik tidak dapat
mendeteksi adanya penyimpangan dan
kecurangan yang dilakukan oleh manajemen
meskipun Akuntan Publik telah menjalankan
auditnya secara independen dan tidak adanya
konflik kepentingan (conflict of interest) yang
terjadi. Terlepas dari adanya pelanggaran yang
dikarenakan adanya konspirasi
(persekongkolan) antara Akuntan Publik dengan
manajemen perusahaan nampaknya masyarakat
menganggap hal tersebut merupakan suatu
kegagalan audit yang dilakukan oleh Akuntan
Publik dan penghianatan terhadap kepercayaan
masyarakat serta tidak terpenuhinya harapan
masyarakat.
Banyaknya tuntutan dan harapan
masayarakat terhadap hasil audit yang dilakukan
oleh Akuntan Publik memaksa Akuntan Publik
harus dapat lebih berhati-hati dalam
melaksanakan auditnya (due care). Oleh karena
itu sudah seharusnya hasil kerja dari Akuntan
Publik dapat memberikan perlindungan bagi
seluruh pihak yang menggunakan laporan
keuangan untuk proses pengambilan
keputusannya. Dengan latar belakang tersebut
maka tulisan ini mencoba mengidentifikasi
seberapa jauh tanggung jawab auditor dalam
memberikan tingkat keyakinan yang memadai
atas kewajaran informasi laporan keuangan
yang disajikan oleh manajemen terhadap
kecurangan yang mempengaruhi penyajian
informasi secara material. Tulisan ini juga
mencoba untuk menjawab pertanyaan “apakah
opini Wajar Tanpa Pengecualian (unqualified
opinion) berarti suatu entitas terbebas dari
kecurangan penyajian keuangan yang material?”
BATASAN PEMBAHASAN
Sebelum saya mulai membahas masalah
kegagalan Akuntan Publik dalam mendeteksi
kecurangan akuntansi, saya akan membatasi
permasalahan untuk menyamakan persepsi
dengan para pembaca terlebih dahulu.
Batasan pembahasan dalam tulisan ini adalah:
a Akuntan Publik yang saya maksud adalah
eksternal auditor (auditor independen) yang
melakukan audit atas laporan keuangan
perusahaan, bukan jasa lainnya atau auditor
di sini adalah Akuntan Publik yang
memberikan jasa audit atas laporan
keuangan.
b Kegagalan auditor dalam mendeteksi
kecurangan akuntansi yang dimaksud tidak
memasukkan adanya unsur konspirasi
(persekongkolan) antara Auditor dengan
manajemen perusahaan.
c Kegagalan Auditor dalam mendeteksi
kecurangan akuntansi yang dimaksud adalah
ketika opini Wajar Tanpa Pengecualian
diterbitkan namun ternyata masih ditemukan
kecurangan yang material pada saat periode
audit. Dalam hal ini, kecurangan yang tidak
material bukan menjadi permasalahan.
d Kecurangan yang dimaksud adalah salah saji
material yang disebabkan karena
kecurangan yang berbentuk kecurangan
pelaporan keuangan (fraudulent statement)
dan penyalahgunaan aset (misappropriation
of assets), baik yang dilakukan oleh
pegawai maupun oleh manajemen namun
tidak termasuk korupsi (corruption). Oleh
karena itu, kecurangan yang tidak
mempengaruhi penyajian keuangan baik
secara material maupun tidak material bukan
termasuk dalam permasalahan. Hal tersebut
sesuai dengan SA seksi 316 yang
menyatakan bahwa terdapat dua bentuk tipe
salah saji yang relevan dengan kecurangan
dalam audit atas laporan keuangan, salah
saji yang timbul sebagai akibat dari
kecurangan dalam laporan keuangan dan
kecurangan yang timbul dari perlakuan tidak
semestinya terhadap aktiva. Selain itu,
klasifikasi pelaku kecurangan juga sesuai
dengan Schulze dan Daviel L. Black (2000)
dalam Sugiyono (2006) yang
31
menggolongkan jenis kecurangan ke dalam
dua kelompok yaitu kecurangan manajemen
dan kecurangan karyawan.
TINJAUAN PUSTAKA
Kecurangan
Istilah fraud yang dikemukakan oleh
ACFE dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai
kecurangan. Menurut ACFE, kecurangan
terbagi menjadi tiga bentuk, yaitu:
penyalahgunaan aset (misappropriation of
assets), korupsi (corruption), dan kecurangan
laporan keuangan (fraudulent statement).
Umumnya kecurangan bentuk penyalahgunaan
aset (misappropriation of assets) dan korupsi
(corruption) dilakukan oleh individu pegawai
perusahaan sedangkan bentuk kecurangan
laporan keuangan (fraudulent statement)
dilakukan oleh manajemen perusahaan. Namun
hal tersebut tidak bersifat mutlak karena
mungkin saja terjadi penyalahgunaan aset
(misappropriation of assets) yang direstui oleh
manajemen atau kecurangan laporan keuangan
(fraudulent statement) yang dilakukan oleh
manajer keuangan dan akuntansi dalam rangka
memperoleh bonus dari perusahaan (bonus
scheme).
Namun coba perhatikan kata kecurangan
yang saya tulis. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, kecurangan berarti perbuatan yang
curang, ketidakjujuran; keculasan. Artinya
kecurangan memiliki karakteristik yaitu
dilakukan secara sengaja (dengan maksud
tertentu) dan dilakukan secara tersembunyi
(tidak jujur: menipu, manipulasi, mengelabui,
memalsu, dsb). Hal tersebut tentunya sangat
menyulitkan bagi siapa saja untuk mengetahui
bahwa kecurangan telah terjadi baik yang
dilakukan oleh pegawai perusahaan maupun
oleh manajemen. Terlepas dari apakah
kecurangan dilakukan oleh pegawai perusahaan
atau dilakukan oleh manajemen perusahaan,
nampaknya masyarakat berharap kecurangan
tersebut dapat dideteksi oleh Akuntan Publik
pada saat pelaksanaan pekerjaan auditnya
sehingga opini Wajar Tanpa Pengecualian yang
diberikan tidak hanya mencakup pertimbangan
atas aspek materialitas pada salah saji yang
disebabkan karena kesalahan (error) saja namun
juga termasuk kecurangan (fraud).
Apapun bentuk kecurangan yang terjadi
di perusahaan tentunya menimbulkan kerugian
yang besar bagi para pihak yang menggunakan
dan mengandalkan informasi laporan keuangan
untuk pengambilan keputusannya. Lihat saja
kasus pemberian kredit yang dilakukan oleh
bank kepada perusahaan yang telah dinyatakan
sehat oleh Akuntan Publik yang tercermin dari
hasil opininya yang menyatakan Wajar Tanpa
Pengecualian namun ternyata di kemudian hari
terjadi gagal bayar (kredit macet) akibat Auditor
tidak memberikan informasi kondisi keuangan
perusahaan secara nyata dan benar (lihat kasus
Bank Global). Kasus lainnya yang pernah
terjadi adalah para pemegang saham dan
investor yang merasa tertipu oleh hasil audit
yang dilakukan oleh Akuntan Publik karena
opininya yang menyatakan Wajar Tanpa
Pengecualian (Unqualified Opinion) dan
laporan keuangan audited-nya menyajikan
informasi laporan keuangan yang sehat untuk
menjadi dasar mereka dalam pengambilan
keputusan namun ternyata terjadi manipulasi
informasi keuangan sehingga mereka merasa
dirugikan (lihat kasus Bank Lippo).
Dalam sejumlah kasus lain, kegagalan
merger dan akuisisi, leverage buyouts,
corporate raider, rekayasa akuntansi, dan
manipulasi keuangan, dapat menimbulkan
persepsi masyarakat yang selalu menggiring
posisi Akuntan terutama Akuntan Publik dan
Auditor pada titik tertuduh. Penyebab utamanya
adalah pelanggaran etika profesi dan standar
audit oleh KAP (Agoes, 2003: 315).
Dalam Laporan ACFE yang berjudul
“Report to the Nation on Occupational Fraud
and Abuse 2012” disebutkan bahwa bentuk
kecurangan yang paling sering terjadi di
Amerika Serikat pada tahun 2012 adalah
penyalahgunaan aset, dengan persentase sebagai
berikut:
a Penyalahgunaan aset : 86,7%
b Korupsi : 33,4%
c Manipulasi laporan keuangan : 7,6%
Namun jangan pernah beranggapan
bahwa jika frekuensi terjadinya kasus sering
maka akan menimbulkan kerugian yang paling
besar juga. Meskipun penyalahgunaan aset
merupakan bentuk kecurangan yang paling
sering terjadi namun kerugian yang ditimbulkan
ternyata paling kecil. Ironisnya, kerugian
terbesar yang ditimbulkan akibat dari
kecurangan berasal dari kecurangan akuntansi
yang frekuensi terjadinya kasus bisa dikatakan
jarang terjadi. Lihat saja jumlah kerugian rata-
rata yang ditimbulkan dari kecurangan berikut
ini:
a Manipulasi laporan keuangan : US$
1.000.000
b Korupsi : US$
250.000
32
c Penyalahgunaan aset : US$
120.000
Fenomena tersebut tentu saja menjadi
perhatian banyak masyarakat khususnya
pengguna laporan keuangan perusahaan. Lihat
saja kecurangan akuntansi yang berada pada
peringkat pertama, hal ini tentu saja terkait
dengan peran manajemen dalam menyajikan
informasi laporan keuangan yang benar dan
akurat. Kata “benar” di sini berarti dicatat sesuai
dengan terjadinya transaksi atau tidak mencatat
transaksi yang tidak terjadi, dan kata “akurat”
berarti dicatat sesuai dengan nilai yang
sebenarnya.
Sebenarnya, masyarakat sadar akan
adanya information asymetry, dimana
manajemen perusahaan mengetahui apakah
informasi keuangan yang disampaikan kepada
pengguna informasi telah benar atau tidak.
Sebaliknya pengguna laporan keuangan sadar
akan menghadapi risiko dimana informasi yang
disampaikan oleh manajemen adalah bukan
yang sebenarnya dan penuh kecurangan. Oleh
karena itu, di sinilah peran Akuntan Publik yang
ditugaskan melakukan audit atas kewajaran
informasi keuangan yang disampaikan oleh
manajemen agar jangan sampai memberikan
informasi yang menyesatkan bagi para
pengguna laporan keuangan termasuk informasi
yang masih mengandung kecurangan secara
material.
Kegagalan Akuntan Publik dalam
Mendeteksi Kecurangan
Terjadinya skandal akuntansi dan
pelanggaran yang dilakukan oleh profesi
Akuntan Publik dalam praktek auditnya antara
lain dikarenakan kegagalan atau
ketidakmampuan dari Akuntan Publik dalam
mendeteksi adanya penyimpangan dan
kecurangan yang dilakukan oleh manajemen
serta tidak dilaksanakannya standar auditing dan
kode etik profesinya sebagai panduan yang
wajib dipatuhi oleh setiap Akuntan Publik
dalam memberikan jasa auditnya.
Pertanyaan besar yang ada dalam benak
masyarakat adalah apakah Akuntan Publik yang
mengaudit laporan keuangan tidak mampu
mendeteksi adanya kecurangan akuntansi yang
terjadi pada saat pelaksanaan auditnya sehingga
setelah opini Wajar Tanpa Pengecualian
diterbitkan masih ditemukan adanya kecurangan
akuntansi yang material pada periode yang
diaudit.
Jika terdapat unsur adanya pelanggaran
terhadap kode etik profesi dan atau standar
auditingnya tentu saja dapat dengan mudah
dijawab bahwa hal tersebut merupakan
kesalahan Akuntan Publik. Hal tersebut
tentunya memunculkan pertanyaan baru jika
kondisinya tidak seperti itu. Bagaimana jika
Akuntan Publik telah mengaudit sesuai dengan
standar auditing dan kode etik profesi namun
tetap gagal dalam mendeteksi adanya
kecurangan akuntansi yang terjadi di suatu
perusahaan? Apakah penerapan kode etik
profesi dan standar auditing dalam pekerjaan
auditnya akan dapat mendeteksi kecurangan
akuntansi yang terjadi di perusahaan? Kedua
pertanyaan tersebut tentu saja menimbulkan
polemik di kalangan profesi Akuntan Publik dan
masyarakat selaku pengguna laporan hasil audit.
Dalam kasus skandal akuntansi yang
terjadi di beberapa perusahaan di Indonesia,
Akuntan Publik ikut bertanggung jawab
terhadap terjadinya skandal akuntansi tersebut.
Ternyata opini Wajar Tanpa Pengecualian yang
diterbitkan oleh Akuntan Publik belum mampu
memberikan keyakinan yang memadai atas
kewajaran informasi laporan keuangan
perusahaan karena masih ditemukan adanya
kecurangan akuntansi yang material namun
lolos dari deteksinya. Akibatnya, Akuntan
Publik ikut merasakan dampaknya yaitu
dikenakan sanksi oleh regulator atau organisasi
profesi sesuai dengan tingkat kesalahannya. Hal
tersebut dapat diperkirakan bahwa akibat
Akuntan Publik yang mengaudit tidak
melaksanakan standar auditingnya dengan benar
maka mengakibatkan dia tidak dapat mendeteksi
adanya kecurangan material yang terjadi.
Mungkin anda akan bertanya, bagaimana
mungkin ini dapat terjadi? Lihat saja kasus bank
Global, Akuntan Publik yang mengaudit Bank
Global melakukan pengujian secara sampling
yang tidak mencukupi secara kuantitas terhadap
jumlah surat berharga yang diterbitkan oleh
Bank Global sehingga surat berharga fiktif tidak
dapat terdeteksi. Seharusnya dengan standar,
teknik, dan prosedur audit, auditor harus bisa
secara cermat, objektif dan benar menguji
transaksi yang material dalam laporan keuangan
sehingga nilai saldo dalam akun laporan
keuangan secara material dapat dianggap wajar.
Berdasarkan beberapa kasus yang terjadi
diketahui bahwa Akuntan Publik memiliki andil
terhadap terjadinya skandal akuntansi di suatu
perusahaan. Andil di sini bisa berarti
mengetahui atau memang tidak mengetahui
sama sekali. Jika mengetahui namun tidak
mengkoreksi dan mengungkapkannya maka
Akuntan Publik dapat dianggap berkonspirasi
33
(bersekongkol) dengan manajemen perusahaan
(lihat kasus Enron). Jika tidak mengetahui,
maka akan muncul pertanyaan susulan,
mengapa tidak bisa mengetahui adanya
kecurangan? Apakah prosedur audit yang
dilakukan tidak dapat mendeteksi adanya
kecurangan yang dilakukan oleh manajemen?
Beberapa kasus di atas, diketahui bahwa tidak
ditemukan adanya konspirasi (persekongkolan)
yang dilakukan antara Akuntan Publik dengan
manajemen perusahaan sehingga skandal
akuntansi yang terjadi memang akibat dari
kegagalan audit yang dilakukan oleh Akuntan
Publik dalam memberikan jasanya. Meskipun
Akuntan Publik telah melaksanakan auditnya
sesuai dengan standar auditing dan kode etik
profesi nya namun dianggap gagal karena tidak
dapat mendeteksi adanya penyimpangan dan
kecurangan yang material yang dilakukan oleh
manajemen perusahaan yang berakibat pada
pengenaan sanksi oleh regulator atau organisasi
profesi.
Perhatikan kata “mendeteksi” yang saya
gunakan. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, deteksi artinya usaha menemukan
dan menentukan keberadaan, anggapan, atau
kenyataan sesuatu; melacak. Deteksi yang saya
maksud di sini bukan berarti mengungkap
adanya kecurangan seperti yang dilakukan oleh
Investigator atau Akuntan Forensic yang lebih
ke arah pembuktian tindakan kecurangan.
Cerita tersebut tentu saja merupakan
suatu bentuk kegagalan audit yang dilakukan
oleh Akuntan Publik. Perhatikan di sini bahwa
yang saya maksud kegagalan audit adalah
kegagalan yang dilakukan oleh Akuntan Publik
dalam memenuhi persyaratan standar auditing
dan kode etik profesinya sehingga gagal
mendeteksi salah saji atau kecurangan material
yang terjadi di perusahaan dan salah dalam
penentuan opini, atau meskipun Akuntan Publik
telah memenuhi persyaratan standar auditing
dan kode etik profesinya namun gagal
mendeteksi salah saji material atau kecurangan
yang terjadi di manajemen dan salah dalam
penentuan opininya. Jadi kegagalan audit di sini
bukan merupakan kegagalan bisnis perusahaan
yang disebabkan karena kesalahan dari strategi
dan keputusan manajemen dalam menjalankan
kegiatan usahanya sehingga perusahaan harus
mengalami kerugian atau bahkan kebangkrutan
di kemudian hari.
Menurut Toruan (2001: 28), kegagalan
audit yang dilakukan dapat dikelompokkam
menjadi ordinary negligence, gross negligence,
dan fraud. Ordinary negligence merupakan
kesalah yang dilakukan Akuntan Publik, ketika
menjalankan tugas audit, dia tidak mengikuti
pikiran sehat (reasonable care). Dengan kata
lain setelah mematuhi standar yang berlaku ada
kalanya auditor menghadapi situasi yang belum
diatur standar. Dalam hal ini auditor harus
menggunakan “common sense” dan mengambil
keputusan yang sama seperti seorang (typical)
Akuntan Publik bertindak. Sedangkan gross
negligence merupakan kegagalan Akuntan
Publik mematuhi standar profesional dan
standar etika. Standar ini minimal yang harus
dipenuhi. Bila Akuntan Publik gagal mematuhi
standar minimal (gross negligence) dan pikiran
sehat dalam situasi tertentu (ordinary
negligence), yang dilakukan dengan sengaja
demi motif tertentu maka Akuntan Publik
dianggap telah melakukan fraud yang
mengakibatkan Akuntan Publik dapat dituntut
baik secara perdata maupun pidana.
Sebenarnya Akuntan Publik menyadari
bahwa setiap penugasan audit, mereka dihadapi
oleh risiko yang disebut detection risk, sehingga
jika suatu audit gagal mengungkapkan salah saji
yang material dan mendeteksi kecurangan yang
terjadi sedangkan opini Wajar Tanpa
Pengecualian telah diterbitkan, maka Akuntan
Publik harus membuktikan kualitas auditnya.
Jika Akuntan Publik tidak dapat membuktikan
pekerjaan auditnya telah memenuhi standar
auditingnya dan dilakukan menggunakan
kemahiran profesionalnya maka dapat
dipastikan hal tersebut merupakan kegagalan
audit yang merupakan detection risk. Jika yang
terjadi adalah kegagalan audit maka Akuntan
Publik harus siap menghadapi sanksi dari
Pemerintah atau organisasi profesi dan litigasi
(gugatan) hukum dari masyarakat yang merasa
dirugikan. Bahkan jika Akuntan Publik telah
memenuhi standar auditingnya sekalipun namun
ternyata perusahaan yang diaudit dengan opini
Wajar Tanpa Pengecualian di kemudian hari
ditemukan kecurangan atau mengalami
kegagalan bisnis, maka pengguna laporan
keuangan akan tetap menyalahkan Akuntan
Publik yang dianggap gagal mendeteksi adanya
kecurangan dan kesalahan strategi bisnis
perusahaan.
Memang seharusnya masyarakat dapat
membedakan antara kegagalan audit dengan
kegagalan bisnis perusahaan. Terlepas dari
keterlibatan Akuntan Publik dalam skandal
akuntansi perusahaan, maka seharusnya risiko
kegagalan bisnis yang dilakukan oleh
manajemen tidak dibebankan kepada Akuntan
Publik sehingga kegagalan bisnis memang
34
murni kesalahan dari pihak manajemen yang
tidak tepat dalam menetapkan strategi
perusahaan. Hal tersebut tentunya di luar
kewenangan Akuntan Publik, sehingga Akuntan
Publik tidak dapat disalahkan ketika suatu
perusahaan mengalami kebangkrutan yang
dikarenakan kegagalan bisnisnya selama
Akuntan Publik dapat membuktikan telah
memberikan jasanya sesuai dengan standar
auditing dan kode etik profesi serta kemahiran
profesionalnya.
Opini Wajar Tanpa Pengecualian
(Unqualified Opinion)
Opini Wajar Tanpa
Pengecualian (WTP) atau Unqualified Opinion
artinya laporan keuangan telah disajikan secara
wajar dalam semua hal yang material,
posisi keuangan (Neraca), hasil usaha (Laporan
Laba Rugi), Laporan Arus Kas, sesuai dengan
prinsip akuntansi yg berlaku umum di
Indonesia.
Dalam opini Wajar Tanpa Pengecualian
tersebut, titik kritisnya terletak pada kata
“wajar”, “material”, dan “prinsip akuntansi”.
Saya akan membahas satu persatu kata tersebut
sebagai berikut:
a Wajar
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
wajar berarti: 1 biasa sebagaimana adanya
tanpa tambahan apapun; 2 menurut keadaan
yang ada; sebagaimana mestinya. Dari
definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa
wajar di sini maksudnya adalah laporan
keuangan telah memberikan informasi
sesuai dengan kondisi keuangan perusahaan
yang sebenarnya sehingga seharusnya nilai
saldo memiliki tingkat kepercayaan yang
tinggi, bebas dari keraguan, dan
ketidakjujuran dan tidak terbatas hanya pada
ketepatan dan keakuratan nilai saldo saja
namun catatan atas laporan keuangan juga
telah mengungkapkan informasi secara
lengkap.
b Materialitas
Materialitas terkait dengan seberapa besar
nilai salah saji yang terkandung dalam
laporan keuangan dapat ditolerir oleh
Auditor sehingga akan mempengaruhi
pengguna laporan keuangan dalam
pengambilan keputusan. Indikator suatu
salah saji dianggap dapat mempengaruhi
pengambilan keputusan ditentukan oleh
batas nilai materialitas yang telah ditetapkan
oleh Auditor terhadap suatu laporan
keuangan secara keseluruhan.
c Prinsip Akuntansi
Masih dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, prinsip berarti asas (kebenaran
yang menjadi pokok dasar berpikir,
bertindak, dsb); dasar. Dalam opini tersebut,
prinsip akuntansi yang berlaku umum
mengandung suatu urutan/hirarki ketentuan
yang mengatur mengenai perlakuan
akuntansi sebagai dasar/pedoman dalam
melakukan pencatatan dan pelaporan suatu
transaksi.
Opini Wajar Tanpa Pengecualian
(Unqualified Opinion) hanya dapat diberikan
oleh Akuntan Publik apabila memenuhi kondisi
sebagai berikut:
Tidak ada pembatasan lingkup audit sehingga pemeriksa dapat
menerapkan semua prosedur audit yang
dianggap perlu untuk memberikan
keyakinan yang memadai terhadap
kewajaran laporan keuangan; atau meskipun
terdapat pembatasan lingkup audit namun
nilainya tidak material dan dapat diatasi
dengan prosedur audit alternatif;
Akuntan Publik yang mengaudit berada
pada kondisi yang independen, tanpa ada
tekanan dari pihak lain manapun terhadap
pekerjaan auditnya.
Entitas yang diaudit memiliki Sistem Pengendalian Internal yang efektif dalam
proses penyusunan dan pelaporan informasi
keuangannya.
Penyusunan dan penyajian informasi keuangan telah sesuai dengan standar
akuntansi yang berlaku atau meskipun
terdapat penyimpangan dari standar
akuntansi tetapi nilainya tidak material.
Entitas yang diaudit dalam menjalankan
kegiatan operasinya telah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan sehingga
tidak ada pelanggaran hokum yang
dilakukannya
Entitas yang diaudit diprediksi tidak terganggu kelangsungan hidupnya di
kemudian hari.
Laporan keuangan telah mengungkapkan informasi keuangan yang lengkap (full
disclosure) dan tidak menimbulkan bias
Sebelum Akuntan Publik menyimpulkan
bahwa laporan keuangan telah disajikan secara
wajar dalam semua hal yang material melalui
opini Wajar Tanpa Pengecualian, seharusnya
Akuntan Publik telah mempertimbangkan risiko
kecurangan yang mungkin terjadi. Jika laporan
keuangan sengaja disusun dengan itikad tidak
35
baik oleh manajemen maka kecurangan dalam
penyusunan laporan keuangan mungkin terjadi
sehingga dapat dipastikan laporan keuangan
disajikan tidak wajar. Oleh karena itu, dalam
kondisi tersebut Akuntan Publik tidak boleh
memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian.
Hal tersebut sesuai dengan Suprajadi (2009)
yang menyatakan bahwa jika faktor kecurangan
terjadi dalam penyusunan laporan keuangan
dapat dipastikan laporan keuangan disajikan
tidak wajar.
Jika laporan keuangan diberikan opini
Wajar Tanpa Pengecualian, artinya auditor telah
memiliki keyakinan yang memadai (reasonable
assurance) berdasarkan bukti-bukti audit yang
diperoleh dan dianalisa bahwa entitas yang
diperiksa dianggap telah menerapkan standar
akuntansi yang berlaku umum dengan baik, dan
kalaupun terdapat kesalahan, maka dianggap
nilainya tidak material sehingga tidak
berpengaruh signifikan terhadap informasi
laporan keuangan secara keseluruhan dan tidak
mempengaruhi pengguna laporan keuangan
dalam pengambilan keputusan.
PEMBAHASAN
Seringnya kita mendengar terjadinya
kasus kecurangan akuntansi di suatu perusahaan
yang tidak terdeteksi oleh Akuntan Publik yang
mengauditnya menjadikan pengguna laporan
keuangan dibuat “galau” dan penuh tanda tanya.
Sepertinya expectation gap tidak akan pernah
hilang dan tuntutan terhadap profesi Akuntan
Publik juga tidak akan pernah berkurang.
Masyarakat tetap menganggap bahwa Auditor
seperti sekelompok pasukan anti ranjau yang
harus menyisir dahulu ke suatu lahan sebelum
prajurit yang lain melewatinya. Penyisiran
dilakukan untuk memberikan jaminan bahwa di
lahan tersebut sudah tidak terdapat ranjau yang
berbahaya lagi, dan kalaupun masih terdapat
ranjau mungkin daya ledaknya kecil sehingga
tidak sampai melukai prajurit yang melewati
lahan tersebut untuk bertempur. Penyisiran yang
dilakukan oleh pasukan anti ranjau tersebut
sangat berguna untuk pengambilan keputusan
bagi prajurit lain apakah akan melewati lahan
tersebut atau tidak. Prajurit tersebut tampaknya
tidak perduli apakah ranjau yang terdapat di
lahan tersebut berada di permukaan atau berada
di dalam tanah yang sulit ditemukan oleh
pasukan anti ranjau. Prajurit hanya tahu bahwa
jika lahan tersebut telah dinyatakan aman oleh
pasukan anti ranjau untuk dilewati maka
pernyataan tersebut yang akan menjadi dasar
pertimbangan bagi prajurit tempur untuk
melewatinya. Padahal pasukan anti ranjau
tersebut karena keterbatasan sumber daya
(personil, waktu, anggaran, peralatan) hanya
dapat mendeteksi ranjau yang terlihat di
permukaan tanah dan daya sisirnyapun tidak
dapat mencakup seluruh lahan tersebut
(penyisiran dilakukan secara sampling dengan
memperhatikan risiko). Risiko yang dihadapi
oleh pasukan anti ranjau tersebut adalah mereka
tidak menemukan ranjau yang berada di dalam
tanah dan masih terdapat ranjau di titik yang
belum dilakukan penyisiran. Namun dengan
kemahiran profesionalnya, maka pasukan
tersebut memilih area titik penyisiran yang
dianggap besar kemungkinan akan dilalui oleh
prajurit untuk bertempur dan berupaya
menjinakkan bom sebanyak mungkin meskipun
mustahil untuk menjinakkan seluruhnya. Jika
saja pasukan anti ranjau tersebut memiliki
kepedulian terhadap keamanan lahan yang akan
dilewati prajurit, meskipun daya jangkaunya
hanya mampu mendeteksi ranjau yang terlihat
di permukaan tanah, sepertinya mereka akan
mulai memperhatikan kejanggalan-kejanggalan
kontur dan permukaan tanah untuk menemukan
dan menentukan keberadaan ranjau yang berada
di bawah permukaan tanah. Ciri permukaan
tanah yang dapat diidentifikasi terdapat ranjau
di bawahnya yang dapat dikenali oleh pasukan
anti ranjau antara lain adalah bentuk permukaan
tanah yang tidak rata, bekas galian tanah,
terdapat sedikit atau bahkan tidak ada vegetasi
tumbuhan di atasnya, dll. Dengan begitu maka
kemungkinan terdapat prajurit yang terluka
karena terkena ranjau pada saat melewati lahan
tersebut dapat diminimalisasi sampai pada
tingkat yang paling rendah dan risiko pasukan
anti ranjau dipersalahkan atau terkena sanksi
militer juga dapat dihindari.
Kira-kira seperti itulah profesi Akuntan
Publik dalam melakukan pekerjaan auditnya dan
dalam audit kira-kira ranjau yang berada di
bawah permukaan tanah tersebut yang disebut
sebagai kecurangan, sengaja ditaruh untuk
maksud tertentu, sifatnya yang tersembunyi, dan
sulit diketahui. Melihat cerita di atas, kalau
pasukan anti ranjau tersebut saja tidak menutup
mata terhadap apa yang terjadi di bawah
permukaan tanah yang dapat membahayakan
prajurit yang melewatinya, apakah Akuntan
Publik akan menutup mata terhadap kecurangan
yang terjadi di perusahaan. Istilah pribahasa,
“sebaik-baiknya bangkai disimpan maka akan
tercium juga baunya”. Itulah peran yang
diharapkan dari profesi Akuntan Publik, tidak
perlu mengungkap kecurangannya namun hanya
36
perlu mendeteksi keberadaannya saja melalui
kejanggalan-kejanggalan transaksi dan kegiatan
yang dapat diidentifikasi dan dikenali oleh
Akuntan Publik selama melakukan pekerjaan
auditnya.
Namun seringkali kita mendengar
doktrin dan pembelaan yang sengaja dibuat oleh
kalangan profesi Akuntan Publik untuk
meminimalisir risiko yang dihadapi oleh
profesinya, yaitu dengan dalih bahwa:
Akuntan Publik hanya menilai kewajaran penyajian informasi dalam laporan
keuangan terhadap semua hal yang material
berdasarkan tingkat keyakinannya sehingga
tanggung jawabnya hanya terletak pada
opini yang diberikan, sedangkan laporan
keuangan merupakan tanggung jawab
manajemen.
Audit hanya dilakukan secara sampling
sehingga laporan keuangan dimungkinkan
masih mengandung salah saji yang nilainya
tidak material atau bahkan mungkin masih
mengandung salah saji material yang tidak
terkena sampling pengujian.
Prosedur audit tidak dirancang secara khusus untuk mendeteksi adanya
kecurangan yang terjadi sehingga laporan
keuangan dimungkinkan masih mengandung
kecurangan akuntansi yang tidak dapat
dideteksi dengan prosedur audit biasa
(maksudnya diperlukan audit khusus yaitu
audit investigatif untuk mengungkapkannya)
Padahal kita semua tahu bahwa
keyakinan yang memadai yang diberikan oleh
Akuntan Publik juga merupakan judgement
profesionalnya sehingga memungkinkan antara
satu Akuntan Publik dengan Akuntan Publik
yang lain memiliki perbedaan indikator/ukuran
dalam menentukan keyakinan yang memadai
tersebut. Terhadap salah saji yang tidak material
yang masih terkandung dalam laporan keuangan
perusahaan setelah diaudit karena auditor tidak
dapat menemukan salah saji tersebut sepertinya
masih dapat diterima dan dimaklumi oleh para
pengguna laporan keuangan namun bagaimana
dengan kecurangan material yang tidak dapat
terdeteksi oleh Akuntan Publik yang
mengauditnya. Tentu saja timbul expectation
gap dalam kondisi tersebut.
Bagian ini akan mendeskripsikan
tanggung jawab Akuntan Publik yang terkesan
cenderung menghindari dari tanggung jawabnya
mendeteksi kecurangan dalam audit laporan
keuangan suatu perusahaan dengan
menggunakan beberapa informasi yang terkait
dengan pekerjaan audit yang dilakukan oleh
Akuntan Publik. Informasi tersebut berupa Surat
Perikatan Audit, Laporan Auditor Independen,
dan Standar Auditing yang digunakan, serta
informasi lainnya yang relevan dengan
tanggung jawab Akuntan Publik.
Keterbatasan Pekerjaan Audit dalam
Mendeteksi Kecurangan
Jika kita memahami proses bisnis dari
pekerjaan audit maka setidaknya terdapat
beberapa keterbatasan yang dapat diidentifikasi
dan berpotensi menjadi kelemahan bagi
Akuntan Publik dalam memberikan jasa
auditnya. Beberapa keterbatasan yang dihadapi
oleh Akuntan Publik adalah sebagai berikut:
a Batas biaya
b Batas waktu
c Batas pengujian
d Batas moral
Keterbatasan audit yang dialami oleh
Akuntan Publik nampaknya sudah tidak dapat
dianggap sebagai suatu keterbatasan dan tidak
dapat ditolerir lagi oleh masyarakat selaku pihak
yang berkepentingan terhadap hasil auditnya.
Hal tersebut merupakan hal yang wajar dan
dapat dimaklumi mengingat pihak yang
berkepentingan tersebut sangat mengandalkan
hasil audit dari Akuntan Publik untuk
pengambilan keputusannya. Berikut ini saya
akan coba membahas satu persatu keterbatasan
yang dihadapi oleh Akuntan Publik dalam
memberikan jasa auditnya.
a Batas biaya
Dalam memberikan jasa auditnya, Akuntan
Publik memiliki keterbatasan biaya karena
kesepakatan tarif yang telah ditetapkan
dalam setiap perikatan auditnya. Dalam hal
keterbatasan biaya, Akuntan Publik dapat
mengatasinya dengan menetapkan biaya
minimal yang harus dibayarkan dalam
melakukan pekerjaan auditnya sehingga
Akuntan Publik tidak mengurangi kualitas
auditnya hanya karena biaya yang diterima
pas-pasan untuk melaksanakan seluruh
prosedur audit minimal yang telah
ditetapkan.. Hal tersebut tentunya terkait
dengan penetapan tarif atau harga yang
ditawarkan oleh Akuntan Publik untuk
memberikan jasanya. Jika Akuntan Publik
merasa perlu menambah prosedur
pemeriksaan dalam pelaksaan auditnya guna
memberikan tingkat keyakinan yang lebih
tinggi maka seharusnya Akuntan Publik
mengajukan penambahan biaya auditnya ke
klien. Jika klien berkeberatan maka
37
pertimbangkan risiko dan materialitasnya
sehingga opini WTP tidak dapat diberikan.
Oleh karena itu tidak ada lagi tawar
menawar harga yang dilakukan oleh klien
terhadap jasa Akuntan Publik yang pada
akhirnya Akuntan Publik harus menurunkan
kualitas pekerjaan auditnya dengan
mengurangi waktu pelaksanaan audit,
personil yang ditugaskan, atau bahkan
mengurangi prosedur audit minimal yang
harus dilakukan karena dibayar di bawah
tarif yang telah ditetapkan. Isu yang lebih
parahnya lagi adalah adanya perang tarif
yang dilakukan oleh antar Akuntan Publik
sehingga nampaknya kualitas audit dapat
diperdagangkan. Sangat mengherankan jika
ada Akuntan Publik yang berani memasang
tarif sangat rendah dibandingkan dengan
tarif Akuntan Publik yang lainnya terhadap
klien yang sama.
b Batas waktu
Dalam hal keterbatasan waktu, tentu saja ini
terkait dengan waktu perikatan audit yang
dilakukan antara Akuntan Publik dengan
klien. Keterbatasan waktu dapat diatasi
dengan melakukan pemeriksaan interim
(semesteran) sebelum pelaksanaan audit
tahunan untuk mencicil pekerjaan nantinya.
Selain itu, Akuntan Publik juga dapat
menambah jumlah personil (auditor atau
asisten) yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan suatu pekerjaan audit agar
dapat diselesaikan dengan waktu yang lebih
cepat. Akuntan Publik harus dapat
merencanakan berapa waktu yang
dibutuhkan untuk menyelesaikan suatu
pekerjaan auditnya dengan
mempertimbangkan sumber daya yang ada
dan risiko yang ada (pengendalian, inheren,
dan deteksi) sehingga kualitas auditnya
dapat terjaga. Yang perlu dicermati, jangan
sampai keterbatasan waktu menjadi
pembelaan Akuntan Publik untuk dapat
mengurangi prosedur audit minimal yang
harus dilakukan, yang pada akhirnya
kembali ke masalah kualitas audit yang
dihasilkan. Ketika klien menawarkan
perikatan auditnya sudah mendekati tanggal
pelaporan pajak, maka Akuntan Publik perlu
menambah jumlah personil yang dibutuhkan
sehingga berdampak pada naiknya tarif jasa
audit yang ditawarkan.
c Batas pengujian
Keterbatasan pengujian merupakan hal yang
sering dianggap sebagai keterbatasan audit
atau pembelaan Akuntan Publik dalam
mendeteksi kecurangan yang terjadi di
perusahaan. Dengan dalih pengujian audit
dilakukan secara sampling bukan populasi
sehingga memungkinkan kecurangan terjadi
pada transaksi yang tidak terkena sampling
audit. Hal ini tentunya dapat diantisipasi
oleh Akuntan Publik dengan menerapkan
risk based audit dan skeptisisme
professional yang tinggi dalam memberikan
jasa auditnya. Dengan konsep risk based
audit, Akuntan Publik dapat memilih area
potensial dan area kunci yang akan menjadi
fokus pemeriksaan dengan
mempertimbangkan risiko pengendalian
(control risk), risiko bawaan (inherent risk),
dan risiko deteksi (detection risk). Selain itu,
meskipun pengujian dilakukan secara
sampling, namun Akuntan Publik dapat
memilih teknik, waktu, dan luas sampling
yang paling tepat sehingga sesuai dengan
konsep sampling yang dimaksudkan dalam
ilmu statistik yaitu sampling yang dapat
mewakili jumlah populasi sehingga dapat
mencerminkan apa yang terjadi dalam
populasi. Dengan pertimbangan skeptisisme
profesional maka Akuntan Publik akan
menjadi aware terhadap risiko kecurangan
yang mungkin terjadi pada suatu akun atau
transaksi tertentu sehingga memungkinkan
Akuntan Publik untuk dapat menambah
jumlah sampel transaksi yang akan diuji.
Dalam perencanaan audit, Akuntan Publik
harus merancang prosedur auditnya
sedemikian rupa untuk mendeteksi adanya
kecurangan akuntansi dan dalam
pelaksanaan auditnya Akuntan Publik
dimungkinkan dapat menambah atau
mengubah prosedur audit yang diperlukan
untuk mengantisipasi dan mendeteksi
adanya kecurangan yang terjadi.
d Batas moral
Meskipun dalam standar auditing dan kode
etik profesi telah menerapkan pertimbangan
independensi dalam setiap penugasan audit,
namun jangan sampai arti independensi
diartikan secara sempit dan sederhana.
Independensi Akuntan Publik dapat saja
terpengaruh bukan hanya dari segi hubungan
kekeluargaan dan hubungan kepemilikan
atau transaksi bisnis dengan manajemen
perusahaan namun perkembangannya bisa
saja dipengaruhi oleh budaya dan adat
istiadat yang berlaku mengingat Indonesia
memiliki karakteristik budaya dan perilaku
yang khas. Coba saja perhatikan kedekatan
Akuntan Publik dengan kliennya yang bisa
38
saja karena faktor kesamaan marga, asal
usul, almamater, organisasi sebelumnya,
atau bahkan kesamaan kepentingan. Tentu
saja semua itu tidak jadi masalah selama
Akuntan Publik dapat tetap menjaga
independensinya namun hal tersebut tentu
saja jadi malapetaka bagi pengguna laporan
keuangan ketika Akuntan Publik yang
dipercaya oleh masyarakat sudah mulai
tergoda dengan rayuan dan bujukan
manajemen untuk mengesampingkan faktor
etika dan profesionalismenya sehingga
kembali lagi akan berakibat pada kualitas
audit yang dihasilkan. Masalah
independensi erat kaitannya dengan
kejujuran (integritas). Integritas akan
menentukan kualitas dari laporan audit yang
dihasilkan.
Dalam hal moral inilah tidak ada siapapun
juga yang dapat menjamin Akuntan Publik
akan bertindak independen dan berintegritas
dalam memberikan jasanya secara nyata (in
fact) meskipun secara penampilan (in
appearence) telah independen. Hal ini
sangat terkait dengan diri dari masing-
masing individu Akuntan Publik apakah
akan tergoda dengan rayuan manajemen
untuk “merestui” adanya tindakan
kecurangan yang dilakukan oleh manajemen
(lihat kasus Enron) atau bersikukuh menjaga
independensi dan integritasnya terhadap
manajemen dalam menjaga kepercayaan
masyarakat meskipun konsekuensinya dapat
terjadi konflik dengan manajemen.
Evolusi Tanggung Jawab Auditor terhadap
Kecurangan
Melihat tuntutan masyarakat yang begitu
antusias terhadap hasil audit dari Akuntan
Publik, maka opini Akuntan Publik dan laporan
keuangan hasil auditnya harus mencerminkan
kondisi keuangan perusahaan yang sebenarnya
dan memberikan informasi keuangan yang
akurat. Opini Wajar Tanpa Pengecualian
dituntut tidak lagi hanya sebatas penilaian atas
kewajaran saldo dalam penyajian laporan
keuangan perusahaan tanpa memperhatikan
potensi risiko dan kejadian kecurangan yang
mungkin terjadi di suatu perusahaan.
Tanggung jawab Akuntan Publik dalam
mendeteksi kecurangan yang sesuai dengan
harapan masyarakat sudah diakomodir oleh
pakar audit dalam buku literature yang
dibuatnya dan dalam standar auditing yang
berlaku yaitu dengan menyatakan secara jelas
bahwa Akuntan Publik ikut bertanggung jawab
terhadap kecurangan Akuntansi yang tidak
terdeteksi pada saat pekerjaan auditnya.
Boynton (2003: 68) mengatakan bahwa selama
melakukan audit, auditor juga
bertanggungjawab dalam mendeteksi
kecurangan bahkan tindakan pelanggaran
hukum oleh klien dan melaporkannya.
Tanggungjawab untuk mendeteksi kecurangan
ataupun kesalahan-kesalahan yang tidak
disengaja, diwujudkan dalam perencanaan dan
pelaksanaan audit untuk mendapatkan
keyakinan yang memadai tentang apakah
laporan keuangan bebas dari salah saji material
yang disebabkan oleh kesalahan ataupun
kecurangan.
Kalau kita melihat jauh ke belakang,
sebenarnya tahun 1961 Mautz dan Sharaf telah
mengemukakan delapan tentatif postulat
auditing yang salah satunya telah menyinggung
masalah kecurangan Akuntansi, yaitu dalam
postulate ke-3 dinyatakan bahwa laporan dan
informasi keuangan tidak mengandung (bebas)
dari kolusi dan ketidakteraturan lainnya. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, kolusi berarti
kerja sama rahasia untuk maksud tidak terpuji;
persekongkolan. Dari definisi tersebut
menunjukkan bahwa dalam melaksanakan
auditnya, Akuntan Publik perlu melakukan
pengujian terhadap tindakan manajemen yang
bersifat tidak jujur dan tersembunyi untuk
tujuan manipulasi atau rekayasa informasi yang
disajikan dalam laporan keuangan.
Selain itu, Mautz dan Sharaf (1961) juga
mengembangkan konsep utama dalam auditing
yang merupakan bagian dari struktur teori
auditing sebagai dasar pengembangan disiplin
auditing. Konsep utama dalam auditing tersebut
antara lain adalah prinsip kehati-hatian (due
audit care). Prinsip kehati-hatian dalam audit
diperlukan dalam menggunakan pertimbangan
profesionalnya jangan sampai dalam
pelaksanaan audit dianggap gagal karena tidak
dapat menemukan penyimpangan yang terjadi
dalam perusahaan
Jika kita perhatikan konsep “kehati-
hatian (due audit care)” yang dikemukan oleh
Mautz dan Sharaf tersebut diketahui bahwa
pelaksanaan audit harus dapat menemukan
penyimpangan yang terjadi di perusahaan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
disebutkan bahwa penyimpangan merupakan: 1
suatu proses, cara, perbuatan menyimpang atau
menyimpangkan; 2 sikap tindak di luar ukuran
(kaidah) yang berlaku. Dengan begitu, sudah
seharusnya Akuntan Publik dapat mendeteksi
kecurangan dalam pelaksanaan auditnya
39
sehingga suatu entitas yang mendapat opini
WTP artinya selain informasi dalam laporan
keuangan telah disajikan secara wajar namun
juga Akuntan Publik memberikan keyakinan
yang memadai (reasonable assurance) bahwa
tindakan kecurangan telah dideteksi dan
diidentifikasi sebagai dasar pertimbangan dalam
penetapan opini audit.
Menurut Tuanakotta (2013: 110),
pemikiran tentang tanggung jawab Akuntan
Publik dalam mendeteksi kecurangan sering
ditamsilkan dengan dua jenis anjing yang
mempunyai ciri-ciri yang berbeda, yakni
watchdog (anjing penjaga) dan bloodhound
(anjing pelacak). Ciri dari dua jenis anjing yang
sangat kontras digunakan untuk menjelaskan
apakah tanggung jawab auditor sekadar sebagai
alarm (menggonggong kemudian mengusir apa
yang dilihatnya sebagai ancaman), atau melacak
(tahap awal) sampai kemudian menangkap
objeknya. Pandangan tersebut menjadi
pegangan bagi profesi Akuntan Publik hingga
sampai saat ini.
Jika kita uraikan berdasarkan
kepentingannya, setidaknya Akuntan Publik
memiliki 7 tanggung jawab yang harus
dilaksanakan, yaitu:
a Tanggung jawab terhadap opini hasil audit
Dalam hal ini, Akuntan Publik bertanggung
jawab terhadap opini yang diterbitkan
terhadap kewajaran laporan keuangan dalam
semua aspek yang material. Sedangkan
laporan keuangan merupakan tanggung
jawab manajemen sebagai pihak yang
memproduksinya.
b Tanggung jawab terhadap pekerjaannya
Dalam hal ini, Akuntan Publik bertanggung
jawab untuk melaksanakan pekerjaan
auditnya secara independen dan professional
dengan mematuhi standar auditing dan kode
etik profesi yang telah ditetapkan oleh IAI.
Selain itu, KAP bertanggung jawab terhadap
seluruh hasil kertas kerja pemeriksaannya
termasuk penyimpanannya
c Tanggung jawab terhadap profesi dan
organisasi profesi
Dalam hal ini Akuntan Publik bertanggung
jawab menjaga citra dan etika profesi
Akuntan Publik dari perbuatan yang dapat
merendahkan reputasi profesi Akuntan.
KAP juga bertanggung jawab untuk
menyampaikan kertas kerja hasil
pemeriksaannya jika akan dilakukan reviu
mutu oleh organisasi profesi (dhi. Dewan
Review Mutu). Selain itu, Akuntan Publik
bertanggung jawab menjaga pengetahuan
dan keahliannya di bidang audit melalui
Pendidikan Profesional Berkelanjutan yang
diselenggarakan oleh IAI.
d Tanggung jawab terhadap klien
Klien yang dimaksud dalam hal ini adalah
pihak yang mempekerjakan Akuntan Publik,
yaitu Dewan Komisaris. Dalam hal ini,
Akuntan Publik bertanggung jawab
melaksanakan pekerjaan auditnya sesuai
dengan perikatan dengan klien, seperti
terkait dengan tarif yang dibayarkan, waktu
penyelesaian audit, personil yang
ditugaskan, dan menjaga kerahasiaan
informasi perusahaan. Selain itu juga
Akuntan Publik bertanggung jawab terhadap
informasi hasil auditnya yang disampaikan
kepada klien termasuk komite audit.
e Tanggung jawab terhadap manajemen
Dalam hal ini, Akuntan Publik bertanggung
jawab terhadap informasi hasil auditnya
yang disampaikan kepada Dewan Direksi
termasuk terhadap management letter yang
disampaikan kepada pihak manajemen atas
kelemahan pengendalian internal yang
ditemukan pada saat pelaksanaan auditnya.
f Tanggung jawab terhadap masyarakat
(stakeholders)
Dalam hal ini, Akuntan Publik bertanggung
jawab memberikan informasi yang jelas dan
sebenarnya mengenai kondisi keuangan
klien sehingga tidak memberikan informasi
yang menyesatkan bagi para pengguna
laporan keuangan, termasuk informasi
kecurangan dan pelanggaran hukum yang
dilakukan oleh manajemen perusahaan yang
ditemukan saat pelaksanaan audit.
g Tanggung jawab terhadap regulator
(BAPEPAM)
Dalam hal ini, Akuntan Publik bertanggung
jawab untuk menyampaikan informasi
penting terkait kondisi keuangan klien dan
perubahannya kepada BAPEPAM dalam
batas waktu yang telah ditetapkan.
Pemikiran tentang tanggung jawab
Akuntan Publik dalam mendeteksi kecurangan
nampaknya masih menjadi harapan masyarakat
saja. Mindset “auditor sebagai watchdog” masih
terasa sampai saat ini. Hal tersebut terbukti dari
beberapa bukti berikut ini:
a Surat Perikatan Audit (Engagement
Letter)
Surat perikatan audit adalah surat
penerimaan Akuntan Publik untuk
melakukan perikatan audit dengan klien
yang mencakup tujuan dan lingkup audit,
jangka waktu, hak dan kewajiban para
40
pihak, dan jenis laporan yang dihasilkan.
Dalam Surat Perikatan Audit yang dibuat
antara Akuntan Publik dengan klien
menyebutkan keterbatasan tanggung jawab
audit terhadap salah saji dan kecurangan.
Hal tersebut terlihat dari pernyataan yang
tertulis dalam Surat Perikatan yang
menyatakan sebagai berikut:
1) Pihak Kedua (Akuntan Publik)
bertanggungjawab atas opini yang
diberikan atas laporan keuangan yang
diaudit sesuai dengan hasil auditnya
berdasarkan SPAP
2) Pihak Kedua (Akuntan Publik)
melaksanakan penugasan dalam bentuk
audit umum atas laporan keuangan, sifat
penugasan audit mengandung risiko
bawaan dan juga adanya keterbatasan
bawaan pengendalian intern,
menyebabkan adanya resiko yang tidak
dapat dihindari tentang kemungkinan
beberapa salah saji material tidak dapat
terdeteksi.
b Surat Pernyataan (Representasi)
Manajemen (Client Representation Letter)
Surat representasi manajemen adalah surat
yang dibuat klien ditujukan kepada KAP,
yang berisi pernyataan bertanggung jawab
atas penyajian wajar posisi keuangan, hasil
usaha, dan arus kas dalam laporan keuangan
konsolidasian sesuai dengan prinsip
akuntansi yang berlaku umum di Indonesia.
Terkait dengan kecurangan, manajemen
menyatakan bahwa tidak terdapat
kecurangan yang melibatkan manajemen
atau karyawan yang memiliki peran penting
dalam pengendalian intern dan kecurangan
yang melibatkan karyawan lain yang dapat
berdampak material terhadap laporan
keuangan.
Dalam surat representasi manajemen
tersebut menjelaskan bahwa kebenaran
penyajian laporan keuangan yang
disampaikan ke Akuntan Publik merupakan
tanggung jawab manajemen sebagai pihak
yang membuatnya. Hal tersebut memberikan
batasan bahwa tanggung jawab Akuntan
Publik hanya sebatas opini yang diberikan
terhadap laporan keuangan yang diaudit.
Namun pertanyaan yang muncul adalah
bagaimana dengan kebenaran penyajian
laporan keuangan yang telah diaudit
(audited) oleh Akuntan Publik, apakah
masih tanggung jawab manajemen atau
beralih menjadi tanggung jawab Akuntan
Publik selaku pihak yang mengauditnya?
Dengan begitu, tanggung jawab Akuntan
Publik tidak hanya sebatas opini yang
diterbitkan namun juga termasuk laporan
keuangan yang telah diauditnya.
c Laporan Auditor Independen Bentuk
Wajar Tanpa Pengecualian
Laporan Auditor Independen adalah laporan
yang diterbitkan oleh Akuntan Publik yang
berisi opini atas laporan keuangan yang
diaudit. Dalam Laporan Auditor Independen
yang berbentuk Wajar Tanpa Pengecualian
menyatakan bahwa:
“Menurut pendapat kami, laporan keuangan
yang kami sebut di atas menyajikan secara
wajar dalam semua hal yang material,
posisi keuangan, hasil usaha, dan arus kas
untuk tahun yang berakhir pada tanggal
tersebut sesuai dengan prinsip akuntansi
yang berlaku umum di Indonesia”
Meskipun dalam opini tersebut tidak
menyebutkan sama sekali mengenai
kecurangan namun secara tersirat kewajaran
yang dinilai tidak hanya sebatas salah saji
material saja namun mencakup semua hal
yang material termasuk kecurangan yang
nilainya material. Menurut Tuanakotta
(2013:88), menyatakan bahwa salah saji
material dapat berupa:
Salah saji yang tidak dikoreksi oleh manajemen
Pengungkapan yang menyesatkan atau
tidak dicantumkan dalam laporan
keuangan
Kesalahan atau kecurangan Hal tersebut menunjukkan bahwa salah saji
yang dimaksud dalam opini auditor
termasuk kecurangan.
Standar Auditing
Standar auditing adalah standar yang
ditetapkan dan disahkan oleh Institute Akuntan
Publik Indonesia (IAPI), yang terdiri dari
standar umum, standar pekerjaan lapangan, dan
standar pelaporan beserta interpretasinya.
Standar auditing merupakan pedoman audit
atas laporan keuangan historis yang wajib
diikuti oleh Akuntan Publik yang memberikan
jasa audit. Standar auditing terdiri atas sepuluh
standar dan dirinci dalam bentuk Pernyataan
Standar Auditing (PSA). Standar auditing ini
merupakan bagian dari Standar Profesional
Akuntan Publik (SPAP) yang dikeluarkan oleh
Dewan Standar Profesional Akuntan Publik
Institute Akuntan Publik Indonesia (DSPAP
IAPI).
41
Di Amerika Serikat, standar auditing
yang digunakan adalah Statement of Auditing
Standard (SAS) yang merupakan bagian dari
Generally Accepted Auditing
Standards (GAAS) yang dikeluarkan oleh
AICPA.
Dalam rangka penyeragaman standar
akuntansi dan auditing di seluruh dunia, maka
diterbitkanlah International Standard of
Auditing (ISA) oleh suatu organisasi
internasional bagi profesi akuntan yaitu
International Federation of Accountants (IFAC)
melalui the International Auditing and
Assurance Standards Board (IAASB) yang
anggotanya terdiri dari 153 organisasi yang
tersebar di 113 negara. Sejak tahun 2013,
organisasi profesi akuntan seluruh dunia sepakat
diberlakukannya ISA per 1 Januari 2013 sebagai
standar auditing yang berlaku di seluruh dunia.
Penjelasan terhadap masing-masing
standar terkait upaya pendeteksian kecurangan
yang dilakukan oleh Akuntan Publik adalah
sebagai berikut:
a Pernyataan Standar Auditing (PSA)
dalam Standar Profesional Akuntan
Publik (SPAP) – IAPI, Berlaku di
Indonesia
PSA merupakan penjabaran lebih lanjut dari
masing-masing standar yang tercantum
dalam standar auditing yang berisi
ketentuan-ketentuan dan pedoman utama
yang harus diikuti oleh Akuntan Publik
dalam melaksanakan penugasan audit.
Termasuk di dalam PSA adalah Interpretasi
Pernyataan Standar Auditng (IPSA), yang
merupakan interpretasi resmi yang
dikeluarkan oleh IAPI terhadap ketentuan-
ketentuan yang diterbitkan oleh IAPI dalam
PSA. Dengan demikian, IPSA memberikan
jawaban atas pernyataan atau keraguan
dalam penafsiran ketentuan-ketentuan yang
dimuat dalam PSA sehingga merupakan
perluasan lebih lanjut dari berbagai
ketentuan dalam PSA. Tafsiran resmi ini
bersifat mengikat bagi seluruh anggota
IAPI, sehingga pelaksanaannya bersifat
wajib. (http://id.wikipedia.org)
PSA No.1 (SA Seksi 110) menyatakan
bahwa “auditor bertanggung jawab untuk
merencanakan dan melaksanakan audit
untuk memperoleh keyakinan memadai
tentang apakah laporan keuangan bebas dari
salah saji material, baik yang disebabkan
oleh kekeliruan atau kecurangan. Oleh
karena sifat bukti audit dan karakteristik
kecurangan, auditor dapat memperoleh
keyakinan memadai, namun bukan mutlak,
bahwa salah saji material terdeteksi. Auditor
tidak bertanggung jawab untuk
merencanakan dan melaksanakan audit guna
memperoleh keyakinan bahwa salah saji
terdeteksi, baik yang disebabkan oleh
kekeliruan atau kecurangan, yang tidak
material terhadap laporan keuangan”. Seksi
ini memberikan panduan bagi auditor untuk
memenuhi tanggung jawab tersebut, yang
berkaitan dengan kecurangan, dalam audit
terhadap laporan keuangan yang
dilaksanakan berdasarkan standar auditing
yang ditetapkan oleh Institute Akuntan Publik
Indonesia (IAPI).
Dalam standar audit tersebut secara eksplisit
menuntut auditor untuk dapat memberikan
tingkat keyakinan tertinggi yang masuk akal
bahwa kekeliruan (error), ketidakberesan
(irregularities), dan kecurangan (fraud),
dalam laporan keuangan yang material dapat
terdeteksi
b Statement of Auditing Standard (SAS)
dalam Generally Accepted Auditing
Standards (GAAS) – AICPA, Berlaku di
Amerika Serikat
Sejak kasus skandal akuntansi yang terjadi
di Amerika, seperti kasus Enron, regulator
dan organisasi profesi memberikan
perhatian lebih terhadap Akuntan Publik
untuk mendeteksi kecurangan akuntansi
melalui aturan dan ketentuan yang
diterbitkannya. Tahun 1997 AICPA
menerbitkan Statement of Auditing Standard
(SAS) yang merupakan standar auditing
yang berlaku di Amerika Serikat.
Sejalan dengan hal tersebut SAS No. 82
mengenai consideration on fraud afinancial
statement audit (1997) menyebutkan bahwa
auditor mempunyai tanggung jwab untuk
mendeteksi kecurangan, merencanakan dan
melaksanakan audit untuk memperoleh
kepastian mengenai apakah laporan
keuangan bebas dari salah saji secara
material baik yang disebabkan oleh
kesalahan maupun kecurangan. Seperti yang
dijelaskan pada SAS No. 53 mengenai the
auditor responsibility to detect and report
error and irregularities. Auditor harus
secara khusus menaksir risiko salah saji
material dalam laporan keuangan sebagai
akibat dari kecurangan. Dalam penaksiran
tersebut auditor harus mempertimbangkan
faktor risiko kecurangan dalam pelaporan
baik karena salah saji akibat kecurangan
42
maupun salah saji yang timbul dari
perlakuan tidak semestinya terhadap aktiva.
Selain itu, SAS 99, yang mensyaratkan
auditor untuk “gather information needed to
identify risks of material misstatement due
to fraud; assessing these risks after taking
into account evaluation of the entity’s
programs and controls; respond to the
results…”. SAS No.99 menjelaskan sebuah
proses dimana auditor harus mengumpulkan
informasi yang dibutuhkan untuk
mengidentifikasi risiko salah saji material
yang disebabkan oleh kecurangan sehingga
auditor dituntut untuk lebih
mempertimbangkan dan mengumpulkan
lebih banyak informasi untuk menilai risiko
kecurangan dari standar audit sebelumnya.
SAS No.99 memperkenalkan sebuah
tanggung jawab baru bagi auditor dalam
pekerjaan auditnya yaitu tanggung jawab
dalam mendeteksi kecurangan yang terjadi.
Penerapan SAS No.99 akan menuntut
auditor untuk memperluas prosedur auditnya
agar dapat mendeteksi adanya kecurangan di
perusahaan. Standar ini bertujuan untuk
menjadi pertimbangan bagi auditor terhadap
kecurangan ke dalam pekerjaan auditnya.
SAS No.99 mengajak auditor untuk dapat
mengenali beberapa kejanggalan dalam
penyajian laporan keuangan perusahaan
menggunakan professional skeptism.
Auditor perlu menciptakan pola pikir yang
berasumsi bahwa tidak semua klien jujur
sehingga auditor dapat lebih kritis dalam
merencanakan auditnya dan mengevaluasi
bukti audit yang diperolehnya.
Dalam memperluas jumlah informasi yang
diperoleh untuk mengidentifikasi risiko
kecurangan. SAS No.99 memberikan
pedoman pengumpulan informasi dari
berbagai sumber sebagai berikut:
Manajemen dan pihak lain di dalam perusahaan seperti komite audit, internal
audit, atau pegawai yang mengetahui
keberadaan atau dugaan kecurangan
yang terjadi dalam penyusunan laporan
keuangan.
Prosedur analitis
Ramos (2007) menyatakan bahwa salah
satu alasan auditor gagal untuk
mendeteksi salah saji material yang
disebabkan oleh kecurangan adalah
karena auditor cenderung hanya melihat
nilai saldo tahun berjalan yang terpisah
dari tahun sebelumnya atau informasi
lain yang terkait. SAS No.99
menyatakan auditor harus
mempertimbangkan hasil dari prosedur
analitis dalam mengidentifikasi salah
saji material yang disebabkan karena
kecurangan dan SAS menyediakan
daftar prosedur yang dapat dilakukan
oleh auditor yang mungkin
mengindikasikan adanya risiko
kecurangan
Pertimbangan dari faktor risiko kecurangan
Faktor risiko kecurangan berguna untuk
melacak tanda-tanda dari tiga kondisi
dalam fraud triangle. Seperti dalam SAS
No.82 yang memberikan ilustrasi
bagaimana faktor risiko kecurangan
membantu auditor dalam
mempertimbangkan keberadaan risiko
kecurangan yang mungkin terjadi.
Sumber informasi lainnya
SAS No.99 mengharuskan auditor untuk
mempertimbangkan informasi lain yang
mungkin dapat membantu/berguna
untuk mengidentifikasi risiko salah saji
material yang disebabkan karena
kecurangan. Informasi lain dapat berasal
dari diskusi dalam tim, prosedur
penerimaan klien, reviu informasi
laporan keuangan interim, pertimbangan
inherent risk pada tingkat akun atau
transaksi, dan sumber lainnya yang
relevan dan terkait.
c International Standards on Auditing
(ISA) – IFAC, Berlaku di Seluruh Negara
Sejak diberlakukannya ISA per 1 Januari
2013 sebagai standar audit yang berlaku di
seluruh dunia nampaknya beban Akuntan
Publik akan semakin berat. ISA secara jelas
mengakomodir harapan masyarakat terhadap
Akuntan Publik untuk dapat mendeteksi
kecurangan dalam pekerjaan auditnya.
Dalam bukunya Tuanakotta (2013:10-11)
yang berjudul Audit Berbasis ISA,
disebutkan bahwa ciri yang paling menonjol
dari auditing berbasis ISA ialah penekanan
terhadap aspek risiko (audit berbasis risiko)
sejak auditor mempertimbangkan menerima
atau menolak suatu entitas dalam penugasan
auditnya sampai sesudah laporan yang berisi
opininya diterbitkan.
Dalam ISA 200.2 menjelaskan bahwa tujuan
menyeluruh dari auditor dalam pelaksanaan
audit laporan keuangan adalah memperoleh
43
asurans yang layak bahwa laporan keuangan
secara keseluruhan bebas dari salah saji
yang material, yang disebabkan oleh
kecurangan maupun kesalahan, untuk
memungkinkan auditor memberikan
pendapat mengenai apakah laporan
keuangan dibuat, dalam segala hal yang
material, sesuai dengan kerangka pelaporan
keuangan yang berlaku (Tuanakotta,
2013:84). Hal tersebut berguna untuk
memungkinkan auditor memberikan
pendapat mengenai apakah laporan
keuangan dibuat, dalam segala hal yang
material, sesuai dengan kerangka pelaporan
keuangan yang berlaku. ISA menjelaskan
asurans yang layak adalah asurans pada
tingkat tinggi yang dapat dicapai oleh
auditor berdasarkan perolehan bukti yang
cukup dan tepat untuk menekan risiko audit
ke tingkat rendah yang dapat diterima.
Dalam hal terjadinya kecurangan, ISA 240
secara khusus menegaskan tanggung jawab
auditor terkait dengan kecurangan ketika
mengaudit laporan keuangan. Menurut
Tuanakotta (2013:135-136), terdapat tiga
tujuan dari ISA 240 terkait tanggung jawab
auditor terhadap kecurangan, yaitu:
a Mengidentifikasi dan menilai risiko
salah saji yang material dalam laporan
keuangan yang disebabkan oleh
kecurangan
b Mengumpulkan bukti audit yang cukup
dan tepat mengenai risiko yang dinilai
tentang salah saji yang material oleh
karena kecurangan, dengan merancang
dan melaksanakan tanggapan yang tepat,
dan
c Menanggapi secara tepat kecurangan
atau dugaan kecurangan yang
diidentifikasi selama audit
Untuk menanggapi hal tersebut, setidaknya
terdapat beberapa kewajiban yang harus
dilakukan oleh auditor, yaitu:
a Penerapan professional skeptism
b Pembahasan di antara anggota tim audit
c Melakukan prosedur penilaian risiko dan
kegiatan terkait
d Mengidentifikasi dan menilai risiko
salah saji yang material karena
kecurangan
e Menanggapi risiko yang dinilai tentang
salah saji yang material karena
kecurangan
f Mengevaluasi bukti audit
g Mendokumentasikan seluruh prosedur
audit
Hal tersebut menunjukkan bahwa ISA 240
secara tegas menyatakan bahwa auditor
yang melaksanakan auditnya berdasarkan
ISA memiliki tanggung jawab untuk
memperoleh asurans yang memadai bahwa
laporan keuangan secara keseluruhan bebas
dari salah saji yang material, yang
disebabkan oleh kecurangan atau kesalahan.
Penerapan ISA 240 dikenal dengan istilah
audit berbasis risiko (risk based audit) yang
lebih memberikan porsi besar pada penilaian
risiko khususnya detection risk. Berdasarkan
ISA 315.3 tentang Penilaian Risiko
disebutkan bahwa tujuan auditor adalah
mengidentifikasi dan menilai salah saji yang
material, karena kecurangan atau kesalahan,
pada tingkat laporan keuangan dan asersi,
melalui pemahaman terhadap entitas dan
lingkungannya, termasuk pengendalian
intern entitas, yang memberikan dasar untuk
merancang dan mengimplementasikan
tanggapan terhadap risiko (salah saji
material) yang dinilai.
Dalam hal menanggapi risiko yang mungkin
terjadi, ISA 330.3 menyatakan bahwa tujuan
auditor adalah memperoleh bukti audit yang
cukup dan tepat tentang risiko (salah saji
material) yang dinilai, dengan merancang
dan mengimplementasikan tanggapan yang
tepat terhadap risiko tersebut.
Upaya Akuntan Publik Mendeteksi
Kecurangan Akuntansi
Sungguh ironis memang jika suatu
perusahaan yang telah diaudit oleh Akuntan
Publik dengan Opini Wajar Tanpa Pengecualian
(Unqualified Opinion) namun di kemudian hari
ditemukan kecurangan dalam laporan keuangan
yang diaudit. Bagaimana bisa kecurangan
Akuntansi terjadi di bawah pengawasan
Akuntan Publik yang merupakan kepercayaan
masyarakat? Nampaknya pertanyaan tersebut
tidak mudah dijawab tanpa kita memahami
tanggung jawab Akuntan Publik secara luas.
Pertanyaan yang muncul kemudian
adalah mengapa kecurangan akuntansi bisa lolos
dari deteksi Akuntan Publik yang
mengauditnya? Setidaknya, ada tiga alasan
untuk menjawab pertanyaan tersebut. Pertama,
tingkat kecurangan (fraudulent) yang begitu
kompleks dan rapi sehingga sulit untuk
dideteksi. Kedua, tingkat profesionalisme dan
etika yang dimiliki oleh Akuntan Publik. Ketiga
terkait dengan perencanaan dan pelaksanaan
audit sehingga mempengaruhi lingkup, sifat
44
ketepatan, dan keterbatasan pekerjaan audit
yang dilakukan.
Setelah itu, pertanyaan yang akan
muncul kemudian adalah apakah prosedur audit
biasa (audit atas laporan keuangan) dapat
mendeteksi adanya kecurangan yang dilakukan
oleh manajemen? Bukankah karakteristik
kecurangan bersifat tersembunyi? Tentu saja
benar kecurangan bersifat tersembunyi namun
tentu saja Akuntan Publik bisa mendeteksi
kecurangan yang terjadi. Sekali lagi saya
ingatkan bahwa Akuntan Publik hanya perlu
mendeteksi bukan mengungkap. Istilah
sederhananya paling tidak Akuntan Publik dapat
mengendus (mencium) adanya praktek
kecurangan yang dilakukan oleh manajemen.
Terlepas apakah kecurangan tersebut terkait
dengan tindakan kriminal seperti penipuan,
pemalsuan, penyuapan, namun hasil dari
tindakan tersebut tentunya menghasilkan suatu
informasi atau dokumen yang tidak lazim atau
janggal. Ketidaklaziman atau kejanggalan itulah
yang perlu dideteksi oleh Akuntan Publik,
bukan tindak pidananya. Sebagai contoh dalam
akun aset tetap, apakah prosedur audit yang
akan dilakukan oleh Akuntan Publik hanya
sebatas menguji keberadaan fisik, kepemilikan,
kelengkapan, dan keakuratan nilai dokumen
sumber ke pencatatan dan pelaporannya.
Apakah Akuntan Publik akan menutup mata
jika ditemukan adanya mark up harga
pembelian aset tetap yang dilakukan oleh
manajemen? Akuntan Publik cukup mendeteksi
adanya ketidakwajaran harga perolehan aset
tetap tanpa harus membuktikan adanya tindakan
suap, sogok, atau penyalahgunaan uang
perusahaan untuk kepentingan pribadi sebagai
tindak pidana yang menyertainya. Dalam hal
ditemukan adanya piutang yang tidak dapat
ditagih apakah Akuntan Publik hanya sebatas
akan melakukan konfirmasi atas keakuratan
nilainya, pencatatan dan pelaporannya? Apakah
Akuntan Publik akan menutup mata adanya
unsur kesengajaan yang dilakukan oleh
manajemen dengan menciptakan piutang fiktif
sehingga diperlakukan sebagai piutang yang
tidak dapat ditagih yang nantinya akan
dihapusbukukan sebagai beban piutang tak
tertagih pada periode selanjutnya.
Dalam kasus kecurangan, pihak yang
paling tahu adanya praktik kecurangan adalah
pelaku itu sendiri. Namun dengan strategi dan
kemahiran profesionalnya, Akuntan Publik
dapat berusaha untuk mendeteksi terjadinya
kecurangan tersebut. Hal tersebut tentunya tidak
mudah dilakukan oleh Akuntan Publik. Ada
konsekuensi yang harus ditanggung oleh
Akuntan Publik, yaitu perancangan prosedur
audit yang berbasis risiko (risk based audit),
durasi waktu pelaksanaan audit yang lebih lama,
dan tentunya biaya audit yang relatif lebih
tinggi. Oleh karena itu, sangat mengherankan
jika ada Akuntan Publik yang berani
mengurangi waktu pemeriksaan yang telah
direncanakan atau menurunkan biaya auditnya
dengan memotong waktu pemeriksaan atau
bahkan mengurangi prosedur audit minimal
yang harus dilaksanakan oleh Akuntan Publik.
Mui (2010) dalam Nasution dan Fitriany
(2012) menyatakan bahwa tugas pendeteksian
kecurangan merupakan tugas yang tidak
terstruktur yang menghendaki auditor untuk
menghasilkan metode-metode alternatif dan
mencari informasi-informasi tambahan dari
berbagai sumber. Dalam melakukan
pendeteksian kecurangan, auditor diharuskan
memiliki beberapa kemampuan/keterampilan
yang dapat mendukungnya dalam melakukan
pekerjaannya, seperti (1) keterampilan teknis
(technical skills) yang meliputi kompetensi
audit, teknologi informasi dan keahlian
investigasi, (2) keahlian/kemampuan untuk
dapat bekerja dalam sebuah tim, auditor harus
dapat menerima ide-ide, pengetahuan dan
keahlian orang lain dengan komunikasi dan
berpandangan terbuka, dan (3) kemampuan
menasehati (mentoring skill).
Tanggung jawab auditor untuk
mendeteksi kecurangan yang material dapat
diwujudkan dalam perencanaan dan
pelaksanaan audit. Auditor harus menilai risiko
terjadinya kecurangan pada saat perencanaan
audit untuk dapat merancang prosedur audit
yang dapat memberikan keyakinan pada tingkat
yang lebih tinggi terhadap penyajian informasi
laporan keuangan apakah terbebas dari salah
saji material yang disebabkan oleh kesalahan
dan kecurangan. Dalam hal pelaksanaan audit,
auditor harus menggunakan kemahiran
profesionalnya dengan menerapkan sikap
professional skeptism, dengan menerapkan
sikap yang selalu kritis menanyakan dan menilai
bukti-bukti yang diperoleh dan kondisi yang
terjadi selama pelaksanaan audit. Dengan
begitu, auditor dapat memodifikasi prosedur
auditnya dan memilih pendekatan audit yang
dapat digunakan untuk mencapai tingkat
keyakinan yang tertinggi terhadap suatu
transaksi dan bukti yang diperolehnya sehingga
dapat mendeteksi salah saji material yang
disebabkan oleh kesalahan maupun kecurangan.
Menurut Subagiyo (2006), auditor harus
45
melakukan perluasan terhadap risiko audit, jika
ditemukan salah saji secara material sebagai
akibat kecurangan dengan memeperbesar
sampel atau prosedur analitis yang lebih luas
Menurut Panduan/Pedoman Penerapan
SAS No.99 yang diadaptasi dari Fraud
Detection dalam GAAS yang ditulis oleh
Ramos (2007), setidaknya ada beberapa hal
yang dapat dilakukan oleh Akuntan Publik
dalam mendeteksi adanya kecurangan dalam
suatu perusahaan, yaitu:
a Merancang prosedur audit sedemikian rupa
untuk mengidentifikasi risiko kecurangan
b Mengidentifikasi dan menilai risiko
kecurangan
c Mengaitkan prosedur audit untuk
mengidentifikasi risiko atas salah saji
material yang disebabkan kecurangan
d Mempertimbangkan program dan
pengendalian anti kecurangan entitas
e Menanggapi risiko yang telah dinilai dan
mempertimbangkan pengaruhnya terhadap
pelaksanaan audit
f Melakukan analytical review pada saat reviu
menyeluruh dan saat prosedur substantif
g Mengevaluasi bukti audit
Dalam hal kecurangan akuntansi yang
dilakukan oleh manajemen, Akuntan Publik
perlu mewaspadai transaksi sebagai berikut:
a Pengakuan pendapatan yang tidak benar
jumlah dan waktu pencatatannya
b Perlakuan penjualan yang tidak umum
c Pencatatan piutang yang tidak sesuai dengan
penjualannya
d Penundaan pengakuan biaya dan beban yang
terjadi
e Pencatatan kewajiban yang tidak sesuai
f Pengungkapan yang tidak informatif
g Pengeluaran kas (pembayaran uang muka)
yang belum dipertanggungjawabkan
h Dokumentasi transaksi yang terlihat palsu,
rusak, hilang, hancur, atau yang disimpan di
luar perusahaan.
i Transaksi pengeluaran kas yang nilainya
signifikan dan tidak biasa
j Penangguhan biaya dan pengkapitalisasian
biaya sebagai asset dalam neraca
k Pembelian barang yang harganya jauh
melebihi harga wajar
l Mutasi transaksi akun yang terlihat tidak
normal terhadap akun lain atau terhadap
periode sebelumnya
Dalam hal penerapan ISA, konsekuensi
yang harus ditanggung oleh Akuntan Publik
yaitu perancangan prosedur audit yang berbasis
risiko (risk based audit). Berdasarkan ISA 200
yang juga disebutkan oleh Tuanakotta (2013:
94-95) dalam bukunya Audit Berbasis ISA,
menyebutkan pelaksaan Audit Berbasis Risiko
terdiri dari skeptisisme profesional, kearifan
profesional, asurans yang layak, dan gunakan
tujuan sesuai ISA yang relevan.
Dalam ISA memang telah dijelaskan
bahwa sebagus apapun rancangan prosedur
audit, tetap tidak akan mampu mendeteksi setiap
salah saji, dikarenakan:
Setiap pengujian dilakukan secara sampling bukan populasi
Manajemen mungkin tidak memberikan
seluruh informasi yang dibutuhkan auditor
Kecurangan sifatnya tersembunyi dan rapi serta canggih
Prosedur audit mungkin tidak dapat mendeteksi adanya informasi yang hilang
Namun, Auditor harus merencanakan
prosedur audit yang tepat dan
mempertimbangkan kombinasi prosedur audit
untuk dapat mendeteksi adanya kecurangan
yang terjadi dalam laporan keuangan yang
disusun oleh manajemen sehingga auditor
memiliki reasonable assurance untuk
menyatakan kecurangan yang material tidak
terjadi dalam suatu laporan keuangan
perusahaan yang diauditnya sehingga opini
WTP yang diterbitkan dapat mencerminkan
kondisi dan kewajaran informasi dalam laporan
keuangan yang sebenarnya.
PENUTUP
Semakin meningkatnya tuntutan dari
masyarakat terhadap hasil pekerjaan Akuntan
Publik dalam audit atas laporan keuangan
menjadikan tugas Akuntan Publik semakin
berat. Sesuai dengan harapan masyarakat,
Akuntan Publik bertanggung jawab untuk
mendeteksi terjadinya kecurangan dalam
mengaudit laporan keuangan. Namun dalam
praktek audit, Akuntan Publik pada beberapa
hal terlihat membatasi tanggung jawabnya
dalam mendeteksi kecurangan pada laporan
keuangan sehingga memberikan perlindungan
terhadap hasil pekerjaan dan profesinya.
Fenomena tersebut terlihat dari beberapa
dokumen yang menunjukkan auditor membatasi
tanggung jawabnya dalam hal pendeteksian
kecurangan, antara lain; 1) Surat Perikatan
Audit (Engagement Letter); 2) Surat Pernyataan
(Representasi) Manajemen (Client
Representation Letter); 3) Laporan Auditor
Independen Bentuk Wajar Tanpa Pengecualian
46
Standar mengharuskan auditor
melaksanakan auditnya melalui kepedulian
terhadap kecurangan (fraud awareness),
mengenali sinyal kecurangan (red flags),
menilai risiko terjadinya kecurangan dengan
pendekatan audit berpeduli risiko (risk based
audit), menerapkan skeptisisme profesional
(professional skeptism) dan merencanakan dan
mendesain prosedur audit untuk dapat
mendeteksi adanya kecurangan dalam
penyusunan laporan keuangan dan
mempertimbangkannya dalam penentuan
opininya dalam Laporan Auditor Independen.
Dalam hal pemberian opini Wajar Tanpa
Pengecualian (Unqualified Opinion) auditor
harus memiliki tingkat keyakinan yang tertinggi
bahwa laporan keuangan telah terbebas dari
salah saji baik disebabkan karena kekeliruan
(error) maupun kecurangan (fraud) yang
material baik yang dilakukan oleh pegawai
maupun manajemen perusahaan. Dengan begitu,
opini Wajar Tanpa Pengecualian yang
diterbitkan oleh auditor tidak memberikan
informasi yang menyesatkan bagi para
pengguna laporan keuangan dalam pengambilan
keputusannya.
REFERENSI
ACFE, Report to the Nation on Occupational
Fraud and Abuse 2012, ACFE
Agoes, Sukrisno, 2003, Disertasi: Pengaruh
Penerapan Standar Auditing, Penerapan
Standar Pengendalian Mutu dan Kualitas
Jasa Audit Terhadap Tingkat Kepercayaan
Pengguna Laporan Akuntan Publik
(Survai pada KAP Anggota FAPM di
Indonesia), Bandung: Program
Pascasarjana Universitas Padjajaran.
Akmal (2002). Peer Review Apakah Sama
dengan Quality Review, Jurnal
Akuntansi/Th.VI/01, Mei 2002, hal 68 –
72.S
Arens Alvin A. et al, 2010, Auditing and
Assurance Services: An Integrated
Approach, Thirteenth Edition, Pearson
Fullerton, Rosemary R., and Durtschi, Cindy.
(2004). The Effect of Professional
Skepticism on The Fraud Detection Skills
of Internal Auditors. Working Paper
Series. March 5, 2012.
IAI, 2001, Standar Profesional Akuntan Publik,
Salemba Empat, Jakarta
IAPI, 2011, Standar Profesional Akuntan
Publik, Institute Akuntan Publik Indonesia,
Jakarta
Kamus Besar Bahasa Indonesia Versi 1.1, 2010,
Pusat Bahasa Diknas.
Mautz, R. K and Hussein A. Sharaf, 1961, The
Philosophy of Auditing, American
Accounting Association, Florida
Nasution, Hafifah dan Fitriany, 2012, Pengaruh
Beban Kerja, Pengalaman Audit Dan Tipe
Kepribadian Terhadap Skeptisme
Profesional Dan Kemampuan Auditor
Dalam Mendeteksi Kecurangan,
Universitas Indonesia
Ramos, Michael, 2007, Auditors’ Responsibility
for Fraud Detection, Journal of
Accountancy
Subagiyo, Lilik, 2006, Pengalaman dan
Tanggung Jawab Auditor Sebagai Dasar
Mendeteksi Kekeliruan dan Kecurangan,
Jurnal Akuntansi dan Sistem Teknologi
Informasi Vol.5 No.1 April 2006: 100-
110,
Supajadi, Lusy, 2009, Teori Kecurangan, Fraud
Awareness, dan Metodologi untuk
Mendeteksi Kecurangan Pelaporan
Keuangan, Bina Ekonomi Majalah Ilmiah
Fakultas Ekonomi Unpar Volume 13,
Nomor 2, Agustus 2009
Toruan, L Henry, 2001. Tanggung Jawab
Akuntan Publik, Media Akuntansi,
No.18/Juni/2001, Penerbit Intama Artha
Indonusa, Jakarta
Tuanakotta, Theodorus M, 2013, Mendeteksi
Manipulasi Laporan Keuangan, Penerbit
Salemba Empat, Jakarta
Tuanakotta, Theodorus M, 2013, Audit Berbasis
ISA, Penerbit Salemba Empat, Jakarta
Widarsono, Agus, (tanpa tahun), Audit
Berpeduli Risiko (Risk Based Audit)
Dalam Perencanaan dan Pelaksanaan
Audit (Perubahan paradigm dalam
melakukan audit dari pengendalian ke
risiko menuju audit yang efektif dan
efisien), Universitas Pendidikan Indonesia,
Bandung
http://id.wikipedia.org
47
RASIO KETERGANTUNGAN
ANALISA UNTUK INDONESIA
Oleh : Sita Dewi
ABSTRAK
Penduduk usia produktif adalah penduduk yang berusia 15 tahun sampai dengan 64
tahun. Mereka berpotensi bekerja yaitu melakukan kegiatan atau membantu melakukan
kegiatan yang dapat menghasilkan uang atau keuntungan. Penduduk usia < 15 tahun atau
> 65 tahun adalah penduduk usia tak produktif dimana mereka tidak berpotensi bekerja,
sehingga mereka bergantung kepada penduduk usia produktif. Perbandingan antara usia
non produktif dengan usia produktif disebut dengan angka beban tanggungan atau rasio
ketergantungan. Berdasarkan data SENSUS dipaparkan rasio ketergantungan di
Indonesia.
I. TEORI PENDUDUK
Penduduk adalah orang yang
tinggal/menetap pada suatu tempat/
daerah/Negara minimal selama 6 bulan.
Menurut Badan Pusat Statistik penduduk
Indonesia adalah semua orang yang
berdomisili (tinggal) di wilayah
geografis Republik Indonesia selama 6
bulan atau lebih atau mereka yang
berdomisili tinggal kurang dari 6 bulan
tetapi bertujuan untuk menetap.
Penduduk dapat bertambah dan juga
dapat berkurang jumlahnya.
Bertambahnya jumlah penduduk
dipengaruhi oleh kelahiran dan imigran,
sedangkan berkurangnya jumlah
penduduk dipengaruhi oleh kematian
dan emigrant. Proses bertambahnya
atau berkurangnya jumlah penduduk
disebut pertumbuhan penduduk.
Pertumbuhan penduduk
diakibatkan oleh 4 komponen, yaitu
fertilitas (kelahiran), mortalitas
(kematian), migrasi yaitu inmigration
(migrasi masuk) dan outmigration
(migrasi keluar). Pertumbuhan penduduk
akan positif apabila fertilitas dan
immigration lebih tinggi dari mortalitas
dan outmigration. Sebaliknya
pertumbuhan penduduk akan negative
bila fertilitas dan immigration lebih
rendah disbanding mortalitas dan
outmigration.
Sejak 2 juta tahun lalu manusia
telah mendiami bumi, berarti sejak
zaman itu telah ada penduduk. Sampai
sebelum abad ke 17 pertumbuhan
penduduk berkembang lambat, banyak
kelahiran tetapi banyak pula kematian.
Setelah ditemukannya penicillin yang
dikenal sebagai reformasi kesehatan di
abad ke 17, kematian mulai menurun
tetapi kelahirannya besar, sehingga
pertumbuhan penduduk menjadi cepat.
Pada abad ke 17 ini diperkirakan jumlah
penduduk dunia sekitar setengah milyar.
Kemudian dalam jangka waktu 200
tahun, yaitu abad ke 19 penduduk dunia
telah menjadi 1 milyar. Pertumbuhan
penduduk dunia semakin cepat. Dalam
jangka waktu kurang dari 1 abad (80
tahun) penduduk dunia telah mencapai 2
milyar (1930) dan 45 tahun kemudian
telah menjadi 4 milyar. Dan sekarang
(2011) penduduk dunia telah mencapai 7
milyar. Petumbuhan penduduk yang
cepat ini tentu membawa masalah
tersendiri.
48
II. KOMPOSISI PENDUDUK
Besar penduduk dicerminkan dari
jumlahnya. Biasanya besar penduduk ini
dikaitkan dengan income per kapita,
yang mencerminkan kemajuan
perekonomian. Banyak yang
berpendapat bahwa jumlah penduduk
yang besar menguntungkan karena
merupakan modal pembangunan,
Komposisi penduduk adalah
pemilahan penduduk. Komposisi
penduduk secara demografi adalah
pemilahan penduduk menurut umur dan
jenis kelamin. Komposisi penduduk
biasanya digambarkan dalam piramida
penduduk yang mencerminkan apakah
suatu tempat (Negara) mempunyai ciri
penduduk muda atau penduduk tua.
Bentuk-bentuk piramida
penduduk:
1. L P
Dasar lebar dengan slope datar.
Piramida dengan bentuk ini
menunjukkan tingkat kelahiran dan
tingkat kematian tinggi. Umur median
rendah dan rasio ketergantungan atau
angka beban tanggungan tinggi.
2. L P
Dasar piramida lebih lebar dengan
slope lebih curam. Piramida dengan
bentuk ini menunjukkan pertumbuhan
penduduk tinggi penurunan tingkat
kematian bayi dan balita tetapi belum
ada penurunan fertilitas. Umur median
sangat rendah dan rasio ketergantungan
atau angka beban tanggungan yang
tertinggi.
3. L P
Bentuk sarang tawon/ old fashioned
beehive. Tingkat kelahiran dan kematian
rendah. Umur median sangat tinggi dan
rasio ketergantungan atau angka beban
tanggungan sangat rendah (terutama
pada kelompok usia tua).
4. L P
Bentuk lonceng/the bellshaped
pyramid. Paling tidak sudah 100 tahun
mengalami penurunan tingkat kelahiran
dan kematian. Umur median cenderung
49
menurun dan rasio ketergantungan atau angka
beban tanggungan meninggi.
5. L P
Terjadi penurunan drastis pada tingkat
kelahiran dan tingkat kematian sangat rendah,
menyebabkan berkurangnya jumlah penduduk.
Umur median menurun dan rasio
ketergantungan atau angka beban tanggungan
rendah.
Dari ke lima bentuk piramida penduduk
ini, Indonesia masih memiliki bentuk piramida
jenis pertama, di mana tingkat kelahiran dan
kematian masih tinggi. Sebagian besar
penduduk Indonesia dalam kelompok usia
muda. Rasio ketergantungan tinggi. Diharapkan
bentuk piramida penduduk Indonesia akan
menjadi bentuk piramida jenis ke tiga.
III.RASIO KETERGANTUNGAN (DE-
PENDENCY RATIO)
Menurut Badan Pusat Statistik, orang
yang bekerja adalah selama 1 minggu sebelum
sensus melakukan pekerjaan dengan maksud
memperoleh atau membantu memperoleh
penghasilan atau keuntungan paling sedikit 1
jam dalam seminggu yang lalu tidak boleh
terputus. Penduduk yang berpotensi bekerja
adalah penduduk yang berusia 15 tahun sampai
dengan 55 tahun. Usia 55 tahun dipakai sebagai
batasan akhir usia penduduk yang berpotensi
bekerja karena di samakan dengan usia pensiun
pegawai negeri sipil. Sedangkan untuk Negara-
negara yang sudah maju, batasan akhir usia
penduduk yang berpotensi bekerja adalah 65
tahun, disamakan dengan batasan penduduk usia
lanjut di Negara-negara tersebut. United Nation
atau Perserikatan Bangsa-bangsa memberi
batasan penduduk yang berpotensi bekerja
adalah mereka yang berusia 15 tahun hingga 64
tahun.
Penduduk usia 15 tahun hingga 64 tahun
disebut dengan penduduk usia produktif.
Mereka yang berusia kurang dari 15 tahun atau
mereka yang berusia lebih dari 55 tahun
(menurut BPS) atau yang lebih dari 64 tahun
(menurut PBB) disebut penduduk yang tidak
produktif atau tidak berpotensi untuk bekerja.
Penduduk produktif diharapkan dapat
menghasilkan atau mempunyai penghasilan
sehingga dapt memenuhi konsumsi hidupnya
dan konsumsi penduduk yang tidak produktif.
Misalnya seorang yang berusia 38 tahun
mempunyai keluarga dengan 2 anak berusia 5
tahun dan 10 tahun serta orang tuanya masih
hidup berusia 67 tahun. Orang ini mempunyai
penghasilan yang digunakan untuk memenuhi
konsumsi dirinya sendiri anak-anaknya serta
orang tuanya. Berarti orang ini akan
menanggung hidup anak-anaknya dan juga
orang tuanya. Penduduk usia produktif
menanggung hidup (konsumsi) penduduk usia
tidak produktif.
Besar tanggungan penduduk usia
produktif terhadap penduduk usia tidak
produktif diukur dengan rasio ketergantungan
(dependency ratio = DR) yang disebut juga
sebagai angka beban tanggungan. Dependency
ratio adalah angka yang menyatakan
perbandingan antara banyaknya orang yang
tidak produktif yaitu yang berusia kurang dari
15 tahun (< 15 tahun) dan yang berusia sama
atau lebih dari 65 tahun (> 65 tahun) terhadap
orang yang berusia
produktif yaitu yang berusia 15 hingga 64 tahun
(15-64 tahun).
P0-14 + P65+
DR = ____________ x 100
P15 – 64
DR = dependency ratio atau rasio ke-
tergantungan
P0-14 = jumlah penduduk usia 0 sampai 14
tahun
P65+ = jumlah penduduk usia 65 tahun dan
lebih
P15-64 = jumlah penduduk usia 15 sampai 64
tahun
Secara kasar angka ini dapat digunakan
sebagai indicator ekonomi suatu Negara, apakah
termasuk Negara maju yaitu bila DR nya kecil,
atau termasuk Negara yang belum maju yaitu
bila DR nya besar.
IV. RASIO KETERGANTUNGAN
INDONESIA
50
Untuk melihat Indoensia sebagai Negara
yang maju atau belum maju akan dilihat rasio
ketergantungan di Indonesia. Rasio
ketergantungan Indonesia akan dihitung
berdasarkan data sensus, yaitu sensus tahun
1971, sensus tahun 1980, sensus tahun 1990,
dan sensus tahun 2000. Karena data sensus
tahun 2010 belum ada maka selanjutnya akan
digunakan data SUPAS tahun 2005.
Berdasarkan beberapa data ini akan
dilihat pula bagaimana kecenderungan rasio
ketergantungan di Indonesia.
SENSUS Penduduk 1971 Kelompok umur Jumlah penduduk
0 – 4 19.098.693
5 – 9 18.762.081
10 -14 14.179.537
Jumlah 0 – 14 52.040.311
15- 19 11.325.493
20 -24 12.211.271
25 – 29 8.924.886
30 – 34 7.903.558
35 - 39 7.979.114
40 – 44 6.101.789
45 – 49 4.649.626
50 – 54 3.863.832
55 – 59 2.226.037
60 – 64 2.338.497
Jumlah 15 – 64 67.524.103
65 – 69 1.142.956
70 – 74 1.038.563
75 + 786.858
Tidak menjawab 15.059
Jumlah 65+ 2.983.436
52.040.311 + 2.983.436
DR = ------------------------------ x 100 = 81,487
1971 67.524.103
SENSUS Penduduk 1980 Kelompok umur Jumlah penduduk
0 – 4 21.190.672
5 – 9 21.231.927
10 -14 17.619.034
Jumlah 0 – 14 60.041.633
15- 19 15.283.235
20 -24 13,001.545
25 – 29 11.343.546
30 – 34 8.167.081
35 - 39 8.549.871
40 – 44 7.419.963
45 – 49 6.150.237
50 – 54 5.410.142
55 – 59 3.390.279
60 – 64 3.228.627
Jumlah 15 – 64 81.944.526
65 – 69 1.713.885
70 – 74 1.530658
75 + 1.525.373
Tidak menjawab 20.398
Jumlah 65+ 4.790.314
60.041.633 + 4.790.314 DR = --------------------------------- x 100 = 79,117
1980 81.944.526
SENSUS Penduduk 1990 Kelompok umur Jumlah penduduk
0 – 4 20.985.144
5 – 9 23.223.058
10 -14 21.482.141
Jumlah 0 – 14 65.690.343
15- 19 18.926.983
20 -24 16.128.362
25 – 29 15.626.530
30 – 34 13.245.794
35 - 39 11.184.217
40 – 44 8.081.635
45 – 49 7.565.664
50 – 54 6.687.586
55 – 59 4.831.697
60 – 64 4.526.451
Jumlah 15 – 64 106.804.919
65 – 69 2.749.724
70 – 74 2.029.026
75 + 1.972.356
Tidak menjawab 4.415
Jumlah 65+ 6.755.539
65.690.343 + 6.755.539
DR = --------------------------------- x 100 = 67.830
1990 106.804.919
SENSUS Penduduk 2000 Kelompok umur Jumlah penduduk
0 – 4 20.302.376
5 – 9 20.494.091
10 -14 20.453.732
Jumlah 0 – 14 61.250.199
15- 19 21.149.517
20 -24 19.258.101
25 – 29 18.640.937
30 – 34 16.399.720
35 - 39 14.904.226
40 – 44 12.467.848
45 – 49 9.656.005
50 – 54 7.384.968
55 – 59 5.678.664
60 – 64 5.321.019
Jumlah 15 – 64 130.861.005
65 – 69 3.564.926
70 – 74 2.837.037
75 + 2.716.985
Tidak menjawab 11.847
Jumlah 65+ 9.130.795
61.250.199 + 9.130.795
DR = --------------------------------- x 100 = 53,783 2000 130.861.005
SUPAS 2005 Kelompok umur Jumlah penduduk
51
0 – 4 19.095.151
5 – 9 21.563.945
10 -14 21.306.096
Jumlah 0 – 14 61.965.192
15- 19 19.796.921
20 -24 19.445.179
25 – 29 18.640.093
30 – 34 17.420.029
35 - 39 16.454.100
40 – 44 14.489.902
45 – 49 12.382.818
50 – 54 9.941.064
55 – 59 7.262.179
60 – 64 5.611.827
Jumlah 15 – 64 141.484.112
65 – 69 4.112.165
70 – 74 2.989.927
75 + 2.823.831
Tidak menjawab -
Jumlah 65+ 9.925.923
61.965.192 + 9.925.923
DR = --------------------------------- x 100 = 50,812
2005 141.484.112
Dari SENSUS 1971 Dependency ratio sebesar
81,487, artinya setiap 100 orang usia produktif
menanggung 81 orang usia tidak produktif.
Rasio ketergantungan pada sensus 1971 tinggi,
menunjukkan bahwa kondisi ekonomi Indonesia
tahun 1970 an belum baik. Indonesia belum
merupakan Negara maju.
SENSUS 1980 dependency rationya sebesar
79,117, artinya setiap 100 orang usia produktif
menanggung 79 orang usia tidak produktif.
Ratio ketergantungan pada sensus 1980 masih
tinggi, menunjukkan bahwa kondisi ekonomi
Indonesia tahun 1980 an belum juga baik.
Indonnesia masih belum maju. Tetapi
dibandingkan dengan dependency ratio tahun
1971 tahun 1980 lebih baik, walaupun
perbedaannya tidak terlalu besar.
SENSUS 1990 dependency rationya sebesar
67,830, artinya setiap 100 orang usia produktif
menanggung 68 orang usia tidak produktif.
Ratio ketergantungan pada sensus 1990 tidak
tinggi lagi tetapi belum rendah (menengah).
Dibanding tahun 1971 dan 1980 rasio
ketergantungan turun. Kondisi ekonomi
Indonesia tahun 1990 an sudah jauh lebih baik.
Walaupun belum merupakan Negara maju,
tetapi Indonesia menuju ke Negara maju.
SENSUS 2000 dependency rationya sebesar
53,783, artinya setiap 100 orang usia produktif
menanggung 54 orang usia tidak produktif.
Ratio ketergantungan pada sensus 2000 masih
diposisi menengah, tidak tinggi lagi tetapi
belum rendah. Dibanding tahun 1990 sudah
turun, yang berarti kondisi ekonomi Indonesia
tahun 2000 sudah lebih baik dari tahun 1990.
Apalagi bila disbanding tahun 1971 dan 1980
kondisi ekonomi Indonesia jauh lebih baik.
Dependency rationya sebesar, artinya setiap 100
orang usia produktig menanggung orang usia
tidak produktif
SUPAS 2005 dependency rationya sebesar
50,812, artinya setiap 100 orang usia produktif
menanggung 51 orang usia tidak produktif.
Diharapkan untuk tahun-tahun
selanjutnya dependency ratio semakin kecil,
karena komposisi penduduk usia produktif
semakin banyak dan komposisi penduduk usia
tidak produktif semakin menurun.
Diprediksikan bahwa dependency ratio
Indonesia tahun 2020-2030 disekitar 43 (sudah
rendah). Hal ini merupakan hasil perbaikan di
sector kesehatan dimana kelahiran dapat
ditekan, kematian bayi menurun. Tetapi hal ini
juga dibarengi dengan banyaknya orang dapat
mencapai usia tua (65 tahun +). Jadi nantinya
dependency ratio akan semakin kecil dengan
tanggungan terbesar untuk kelompok usia 65
tahun+.
Gambaran ini merupakan hasil dari
bonus demografi, yaitu kelompok usia produktif
besar, yang seharusnya dapat dimanfaatkan
dengan baik. Sedangkan kelompok usia muda (0
– 15 tahun) menurun dan usia tua (65 tahun+)
bertambah, sehingga bentuk piramida penduduk
akan berubah menjadi bentuk ke 3 (sarang
tawon).
Karena jumlah kelompok usia produktif
semakin meningkat maka harus dipikirkan
bagaimana mem-berdayakan mereka supaya
mereka mempunyai pekerjaan sehingga benar-
benar dapat menanggung kelompok usia yang
tidak produktif.
IV. DAFTAR PUSTAKA
Biro Pusat Statistik. Penduduk Indonesia :
Hasil Sensus Penduduk tahun 1971. Biro Pusat
statistic 1973.
Biro Pusat Statistik. Penduduk Indonesia :
Hasil Sensus Penduduk tahun 1980. Biro Pusat
statistic 1983.
Biro Pusat Statistik. Penduduk Indonesia :
Hasil Sensus Penduduk tahun 1990. Biro Pusat
statistic 1992.
Badan Pusat Statistik. Penduduk Indonesia :
Hasil Sensus Penduduk tahun 2000. Badan
Pusat statistic 2001.
52
Badan Pusat Statistik. Penduduk Indonesia :
Hasil Survei Penduduk Antar Sensus 2005
Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia. Dasar-dasar Demografi.
Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia, 1981
53