Post on 30-Jan-2018
Interaksi Strategi Inovasi dan Sistem Informasi
Strategik Serta Pengaruhnya Terhadap
Sustainable Competitive Advantage
Ditulis Untuk Memenuhi Persyaratan Kelulusan Mata Kuliah Disertation Writing
Dosen: Dr. Albert Widjaja
Diajukan Oleh: Mas Wigrantoro Roes Setiyadi
NIM: 8605210299
UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS EKONOMI
SEKOLAH PASCA SARJANA PROGRAM STUDI ILMU MANAJEMEN
PROGRAM DOKTOR STRATEJIK MANAJEMEN
Jakarta, 2007
2
Pendahuluan Strategi Inovasi pada dasarnya menuntut perubahan (Barney, 2002). Sistem
Informasi Strategik mensyaratkan manajemen perubahan (Bertoli & Hermel
2004). Beberapa peneliti terdahulu menyebutkan bahwa inovasi sudah
menjadi bagian dari strategi bisnis (Drucker, 1993; Christensen & Overdorf,
2001; Pyka, 2002; Christensen, 2005; Govindarajan & Trimble, 2005;).
Demikian pula dalam perkembangan dekade terakhir Teknologi Informasi
sudah dikelola sebagai suatu disiplin strategi dan diselaraskan dengan
strategi bisnis (Ward & Pepard, 2002; Galliers & Leidner, 2003; Davis,
Miller & Russell, 2006). Dari kedua pernyataan ini tampak bahwa
diperlukan penyelarasan antara strategi inovasi dan sistem informasi
strategik sehingga menghasilkan kinerja organisasi yang optimum.
Meskipun Inovasi dan Sistem Informasi Strategik menjanjikan peningkatan
kinerja, namun keengganan di kalangan manajemen puncak untuk
menyinergikan keduanya masih cenderung tinggi. Hal ini dapat dipahami,
karena penelitian yang terdahulu sebagian besar hanya memelajari pengaruh
satu aspek saja terhadap kinerja, misalnya Inovasi atau Teknologi Informasi
saja. Riset yang memelajari keterkaitan Strategi Inovasi dan Teknologi
Informasi yang menjadi elemen utama dalam Sistem Informasi Strategik,
serta pengaruhnya terhadap kinerja organisasi masih memiliki peluang besar
untuk di-elaborasi. Banyak kajian tentang inovasi yang menelaah bagaimana
organisasi merancang dan sekaligus melaksanakannya. Salah satu di
antaranya dikembangkan oleh Terziovski (2002) yang mengajukan tiga
alternatif strategi inovasi: bertahap (incremental), radikal, dan terintegrasi
(integrated).
Sejumlah faktor stratejik dapat memengaruhi kecepatan, efektivitas dan
kemajuan pengelolaan/pemanfaatan Teknologi Informasi (Ward & Peppard,
2002). Faktor tersebut adalah: kemampuan teknologi, pertimbangan
ekonomi dalam memanfaatkan teknologi, kelayakan aplikasi, ketrampilan
dan kemampuan mengembangkan aplikasi, tekanan terhadap organisasi dan
industri tertentu untuk meningkatkan kinerja, dan kemampuan organisasi
dalam menerapkan Teknologi Informasi. Indikator yang menunjukkan
keberadaan faktor – faktor tersebut diajukan oleh IT Governance Institute
dengan teori dan metoda yang disebut Control Objectives for Information and
related Technology (COBIT).
3
Bisnis tidak dapat dijalankan hanya dengan mengandalkan satu dimensi.
Agar kinerja organisasi selalu unggul dari pesaingnya, manajer perlu
memerhatikan semua fungsi utama agar lebih baik dari para pesaing.
Mencapai keunggulan bersaing pada akhirnya menjadi misi yang harus
dijalankan. Bagaimana Inovasi dan Sistem Informasi Strategik dikombi-
nasikan guna mendukung strategi bisnis yang kompetitif menentukan apakah
keunggulan bersaing dapat dicapai atau tidak (Callon, 1996). Ada tiga
perspektif yang diajukan Callon untuk memperkuat kombinasi Inovasi dan
Sistem Informasi Strategik: lingkungan bisnis, industri spesifik di mana
organisasi beroperasi, termasuk di dalamnya karakteristik utama industri
tersebut dan bagaimana organisasi dapat berhasil dalam kompetisi di
lingkungannya; lingkungan perusahaan, organisasi atau perusahaan itu sendiri,
meliputi karakteristik utama, rekam jejak, kekuatan dan kelemahan;
lingkungan teknologi khususnya teknologi informasi, yang dikelola oleh
perusahaan dengan tujuan memperoleh keunggulan bersaing.
Pertautan antara inovasi dan sistem informasi strategik diduga memengaruhi
kinerja organisasi. Perencanaan, operasional dan pengendalian stratejik
diperlukan guna mengetahui apakah seluruh proses di dalam organisasi
menghasilkan kinerja yang diharapkan. Kinerja dimaksud digolongkan ke
dalam dua kelompok: keuangan dan non-keuangan. Kinerja keuangan
terkait dengan parameter keuangan yang lazim digunakan untuk mengukur
tingkat kesehatan perusahaan, seperti rasio pendapatan (earning ratio), rasio
pendapatan investasi (return on investment), dan lain – lain. Sedangkan kinerja
non-keuangan dapat dikaitkan dengan hubungan eksternal dan intenal
perusahaan. Hubungan eksternal seperti misalnya tingkat kepuasan
pelanggan, pertumbuhan pangsa pasar, peningkatan/penurunan citra
perusahaan, dan lain sebagainya. Hubungan internal dapat diketahui dari
parameter kepuasan karyawan, tingkat turn-over karyawan, laju pertumbuhan
perusahaan, dan lain – lain.
Permasalahan Inovasi dan Sistem Informasi Strategik keduanya dapat berjalan sendiri –
sendiri namun dapat saling menunjang. Pada awalnya inovasi menghasilkan
teknologi, setelah teknologi hasil inovasi awal tersebut bermanfaat bagi
masyarakat, ia memberi inspirasi bagi aktivitas inovasi selanjutnya (Khalil,
2000; Harrison & Samson, 2002). Dalam perjalanan waktu inovasi tidak
4
selalu berhasil (Franklin, 2003; Christensen, 2003). Inovasi gagal karena
berbagai alasan (Roger, 1995) antara lain: apakah masyarakat melihatnya
sebagai suatu peningkatan dari yang sudah ada (relative advantage); apakah
inovasi konsisten dengan sistem nilai (value system), pengalaman dan
kebutuhan masyarakat yang diharapkan menggunakannya (compatibility);
akankah pengguna potensial mudah memahami dan memanfaatkan karya
inovasi (complexity); dapatkah masyarakat mencobanya dengan aman
sebelum memutuskan untuk menggunakannya (trialability); dan seberapa
mudah bagi masyarakat untuk melihat hasilnya (observability).
Di tengah janji memberikan manfaat, inovasi jika tidak dikelola dengan hati
– hati dapat menyebabkan kegagalan organisasi (Christensen, Raynor, 2003;
Davila, Epstein, Shelton, 2006). Terjadi dilema antara manfaat investasi
yang diharapakan dan dampak yang diperoleh dari pemanfaatan hasil
inovasi (Christensen, 2005). Untuk mengatasi masalah kemungkinan
kegagalan inovasi atau dalam kata lain guna meningkatkan probabilitas
keberhasilan inovasi, diperlukan strategi inovasi (Govindarajan & Trimble,
2005). Persoalannya, sejalan dengan meningkat-pesatnya pemanfaatan
Teknologi Informasi, inovasi di dunia bisnis yang bertumpu pada Teknologi
Informasi semakin berkembang, dan pada kondisi tertentu diperlukan
kerangka teori yang dapat menjelaskan hubungan sebab-akibat antara
inovasi, Teknologi Informasi dan kombinasi keduanya terhadap kinerja
organisasi.
Akumulasi investasi Teknologi Informasi semakin hari semakin tinggi.
Namun peningkatan nilai investasi Teknologi Informasi tidak selalu
dibarengi dengan peningkatan kinerja organisasi. Sinyalemen tentang
hubungan tidak linier antara investasi Teknologi Informasi dengan kinerja
ekonomi sudah menjadi perhatian banyak ahli. Robert Solow (1985) dalam
McCarty (2001) disebut menyatakan perusahaan yang memanfaatkan
Teknologi Informasi ternyata tidak serta merta meningkat bahkan menurun
kinerjanya. Teknologi Informasi digunakan untuk perencanaan dan
pengendalian produksi, pengendalian persediaan, dukungan pemasaran,
otomatisasi keuangan, dan lain sebagainya, tetapi tidak jelas apakah
penggunaan Teknologi Informasi semacam itu menghasilkan peningkatan
kinerja (output).
5
Pertanyaan yang lebih mendasar terkait dengan investasi Teknologi
Informasi diajukan oleh Lucas (1999), “adakah value yang dapat diperoleh
dari investasi Teknologi Informasi?” Menjawab pertanyaannya sendiri Lucas
mengajukan premis bahwa selalu ada value dari investasi Teknologi
Informasi dan ada perangkat (tools) serta mekanisme untuk menunjukkan
manfaat investasi Teknologi Informasi, namun demikian penting untuk
diketahui dalam kondisi apa dan bagaimana perusahaan dapat
mengharapkan return yang terukur dari investasi Teknologi Informasi.
Kegagalan memahami keterkaitan Teknologi Informasi dengan strategi
bisnis menghasilkan paradoks produktivitas Teknologi Informasi. Hal ini
menjelaskan permasalahan mengapa organisasi gagal menerima manfaat
dari investasi Teknologi Informasi.
Mengapa Organisasi Memerlukan Informasi? Ketidak-pastian dan ketidak-jelasan merupakan dua faktor yang memenga-
ruhi pemrosesan informasi di dalam organisasi. Struktur organisasi dan
sistem internal menentukan jumlah dan kekayaan informasi yang diberikan
kepada manajer (Daft & Lengel, 1986). Hambatan yang seringkali muncul
bukan terletak pada kesediaan data, namun lebih pada ketidak-jelasan
mengenai informasi yang dibutuhkan oleh masing-masing manajer.
Mengatasi hambatan tersebut, sebuah organisasi dapat dirancang untuk
memenuhi kebutuhan informasi tentang teknologi, hubungan inter-
departmental, lingkungan, serta menyediakan mekanisme guna mening-
katkan kejelasan dan kepastian.
Ketidak-pastian dan ketidak-jelasan merepresentasikan dua kekuatan yang
memengaruhi pengolahan informasi yang diperlukan bagi organisasi untuk
mencapai kinerja yang mencukupi. Organisasi dapat disusun melalui
penggunaan mekanisme personal atau impersonal guna mengatasi ketidak-
jelasan dan ketidak-pastian. Mekanisme struktural dapat dipergunakan untuk
memenuhi kebutuhan manajemen dalam menambah data atau kebutuhan
menciptakan common grammar dan interpretasi tentang event yang ambigu.
Dalam implementasinya, mekanisme struktural dipengaruhi oleh type
teknologi, tingkat kebutuhan integrasi atau hubungan antar-depertemen, dan
kondisi lingkungan.
6
Strategi Inovasi Sukses bisnis di abad milenium ditentukan oleh inovasi (Hammel, 1999).
Inovasi diartikan sebagai proses di dalam organisasi untuk memanfaatkan
ketrampilan dan sumber daya untuk mengembangkan produk dan atau jasa
baru atau untuk membangun sistem produksi dan operasional baru sehingga
mampu menjawab kebutuhan pelanggan (Jones, 2004). Pengaruh inovasi
terhadap indikator kinerja perusahaan (kepuasan pelanggan, produktivitas
dan daya saing teknologi) telah dibuktikan oleh Terziovski (2002). Strategi
berkelanjutan dari bawah – atas (bottom – up) lebih disukai untuk
peningkatan kepuasan pelanggan dan produktivitas (Terziovski, 2002; Light,
1998, p3). Sementara strategi top-down lebih cocok untuk peningkatan daya
saing teknologi. Studi Terziovski lebih lanjut menunjukkan bahwa strategi
terintegrasi tidak terlalu besar pengaruhnya terhadap kinerja, hal ini
disebabkan karena perusahaan pada umumnya belum mencapai tahap
integrasi sistem dan kemampuan beroperasi dalam jaringan (networking).
Kesimpulan yang dapat diambil dari studi Terziovski, strategi incremental
lebih tepat digunakan sebagai pendorong bagi inovasi yang berkelanjutan,
sedangkan strategi radikal lebih tepat digunakan untuk melakukan inovasi
yang menghasilkan perubahan produk dan proses secara cepat.
Pengetahuan dan informasi yang dimiliki tidak menjamin terjadinya inovasi,
kemampuan untuk secara kreatif memanfaatkan pengetahuan dan informasi
yang dimiliki merupakan kunci menuju inovasi dan penciptaan keunggulan
bersaing (Jones, 2004). Inovasi dapat menghasilkan sukses luar biasa bagi
perusahaan. Inovasi pada dasarnya berkenaan dengan perubahan, selain itu
juga berkaitan dengan resiko karena seringkali inovasi merupakan luaran
aktivitas penelitian dan pengembangan yang hasilnya tidak dapat dipastikan.
Inovasi diawali dengan ide kreatif. Ide kreatif ini tidak selalu harus berupa
upaya penemuan atau atau pencapaian sesuatu yang “besar” namun dapat
juga berwujud upaya perubahan kecil untuk memperbaiki praktek yang
sedang berlaku.
Teknologi, peluang bisnis, modal, kewira-usahaan, regulasi dan budaya, dan
metodologi merupakan variabel yang mempengaruhi praktek inovasi di
suatu organisasi (Abend, 2005). Inovasi di lain pihak juga merupakan dilema
bagi manajemen, kelangsungan hidup organisasi dalam jangka panjang
memerlukan komitmen untuk selalu melakukan transformasi melalui
disruptive growth, namun demikian fakta membuktikan hanya sedikit
7
perusahaan yang dapat sukses dengan strategi ini (Denning, 2005).
Organisasi inovatif memiliki komitmen untuk mengendalikan lingkungan;
struktur organisasi yang memberikan kebebasan untuk berkreasi;
kepemimpinan yang mendorong organisasi untuk berinovasi; dan sistem
manajemen yang melayani misi organisasi (Light, 1998). Hambatan alamiah
yang seringkali dihadapi dalam upaya inovasi antara lain: struktur organisasi
yang padat (dense), keterbatasan sumber daya, keengganan untuk
mendelegasikan kewenangan, dan tingkat pemeriksaan internal yang tinggi
(Aiken dan Hage, 1971; Pierce dan Delbecq, 1977).
Agar inovasi dapat berkelanjutan dan mendukung kinerja perusahaan
diperlukan strategi inovasi (Terziovski, 2002). Terzioski menggolongkan
strategi inovasi ke dalam tiga kelompok: radical, incremental, dan integrated.
Radical merupakan strategi yang merujuk pada aktivitas inovasi yang tidak
pernah ada sebelumnya, mengubah secara drastis kemapanan, menghasilkan
produk atau proses baru yang berbeda dari sebelumnya. Incremental
merupakan strategi berkembang secara bertahap, memperbaiki produk atau
proses bisnis yang sudah ada dengan langkah inovatif. Integrated
menggabungkan dua pendekatan terdahulu – radical dan incremental – selain
menemukan hal – hal baru (invention) strategi integrated juga menganjurkan
inovasi dengan cara mengembangkan dari yang sudah ada.
Siapa Yang Memiliki Ide? Investigasi Keyakinan Karyawan Tentang Hak Kepemilikan Ide Ketika karyawan meyakini bahwa mereka, dan bukan majikan, yang
memiliki hak kepemilikan ide, mereka dapat memilih untuk tetap memegang
idenya dan tidak menyerahkannya kepada majikan/perusahaan (Hannah,
2004). Apabila hal ini terjadi, dapat menghambat kemampuan perusahaan
menghasilkan produk atau layanan baru. Ada beberapa faktor yang
memengaruhi kepercayaan karyawan tentang siapa yang berhak atas ide
yang dimilikinya: keyakinan karyawan tentang siapa yang berhak memiliki
idenya dipengaruhi secara langsung oleh keyakinan karyawan tentang
kekuatan upayanya mengajukan klaim melawan kekuatan upaya perusahaan
mengajukan klaim yang sama. Kedua variable ini (kekuatan karyawan dan
kekuatan perusahaan) dipengaruhi secara spesifik oleh sifat dan kegunaan
ide itu sendiri, tingkat keterlibatan perusahaan dalam proses pembentukan
ide, sert adipengaruhi juga oleh keyakinan karyawan tentang tanggung jawab
8
atas tugas – tugas yang diberikan padanya serta pemahaman karyawan
terhadap prosedur organisasi.
Perusahaan sebagai pemberi kerja perlu memerkuat klaim hak hukum atas
ide dengan memastikan bahwa mereka terlibat ketika ide pertama kali
diusulkan, dikembangkan dan dibakukan; dengan melakukan sosialisasi
kepada karyawan bahwa tanggung jawab tugas mereka termasuk
memberikan hak atas ide yang dihasilkannya kepada perusahaan, sesuai
dengan substansi yang termaktub dalam undang-undang hak atas kekayaan
intelektual, yang menyatakan bahwa setiap penemuan atau karya cipta yang
dihasilkan dari suatu ikatan kerja, maka hak atas kekayaan intelektual yang
muncul dari karya cipta tersebut menjadi milik pemberi kerja.
Memerkirakan Yang Tidak Dapat Diperkirakan, Mengantisipasi Inovasi Yang Bersfifat Disruptif Di tengah dunia bisnis yang diwarnai dengan kondisi persaingan yang
semakin sengit, organisasi menghadapi tantangan paradoks dualisme:
berfungsi secara efisien, sementara juga melakukan inovasi secara efektif
guna memersiapkan diri menghadapi hari esok (Paap & Katz, 2004). Tidak
peduli bagaimanapun strukturnya, harus mengelola kedua hal tersebut secara
simultan. Untuk melakukannya perusahaan harus memahami dan belajar
mengelola dinamika inovasi yang mendasari inovasi yang disruptif dan
berkelanjutan.
Di hampir setiap industri selalu ada perusahaan besar yang ketika sampai
pada periode perubahan gagal untuk menjaga kepemimpinan pasarnya
dalam menghadapi munculnya produk atau layanan dengan teknologi baru.
Perusahaan yang sangat disegani dan sudah tergolong mapan, tiba –tiba
kehilangan pasar yang sebelumnya dikuasai, dan akhirnya mengalami
kebangkrutan akibat munculnya produk dengan teknologi baru yang
menggantikan produk lama. Kondisi semacam ini disebut tyranny of success,
di mana pemenang sering kali dan tiba-tiba menjadi yang dikalahkan, karena
kehilangan daya saingnya.
Kepemimpinan, visi, fokus strategik, kompetensi nilai, struktur, kebijakan,
penghargaan dan budaya perusahaan yang di masa sebelumnya menjadi
faktor-faktor kritis dalam membangun pertumbuhan perusahaan dan
9
competitive advantage pada suatu periode, dapat menjadi titik lemah ketika
teknologi dan kondisi pasar berubah dengan berjalannya waktu. Sukses
merupakan pencapaian yang tidak permanen yang dapat lepas dari tangan
(Watson Jr., 1963). Memerhatikan hal tersebut, menjadi penting untuk
mengenali pola sukses yang diikuti dengan kegagalan – inovasi yang
dibuntuti dengan keengganan untuk berubah (inertia) dan rasa puas diri
(complacency). Basis kekuatan competitive advantage berubah setiap waktu.
Karena inovasi secara esensial melibatkan integrasi teknik dan informasi
pasar sepanjang waktu, hal ini memungkinkan organisasi untuk melakukan
dua perkara: mendeteksi perubahan teknologi, atau gagal untuk mendeteksi
perubahan kebutuhan pelanggan dan atau kondisi pasar.
Pada saat ini perusahaan, tidak peduli bagaimana bentuk struktur dan
organisasinya, harus menemukan cara untuk menginternalisasikan dan
mengelola dualisme: menjalankan fungsi secara efisien untuk memer-
tahankan suksesnya model bisnis sekarang dan melaksanakan inovasi yang
bersifat disruptif yang akan memungkinkan mereka mampu bersaing di masa
depan. Perusahaan sebaiknya tidak hanya menaruh perhatian pada sukses
keuangan dan penetrasi pasar, tetapi mereka juga harus fokus pada
kemampuan jangka panjang guna membangun atau mengomersialkan apa
yang akan muncul sebagai hasil pengembangan teknologi dan disukai oleh
pelanggan, dalam waktu respon yang cepat dan tepat.
Eksekutif perusahaan mulai memahami bahwa teknologi baru akhirnya
memiliki potensi mengakhiri sukses bisnis yang telah berhasil diraih, padahal
mereka juga tergolong pembuat atau bahkan pioner dari teknologi sebe-
lumnya. Industri jam tangan memberikan contoh yang jelas. Perusahaan jam
tangan Swis menginvestasikan dan menemukan disruptive technology – quartz
batteries dan jam tangan digital – yang akhirnya dikomersialkan oleh peru-
sahaan Jepang dan mengalahkan perusahaan Swis.
Teknologi yang bersifat mengakhiri teknologi sebelumnya (disruptive
technology) merupakan efek dari beberapa teknologi yang muncul di pasar
yang disebabkan oleh inovasi berbasis teknologi dan penurunan keberhasilan
perusahaan besar yang bersaing dalam pasar tertentu ketika mereka tidak
berhasil mengadopsi teknologi baru tersebut dalam waktu yang tepat.
Memahami kapan dan bagaimana teknologi baru perlu diadopsi dapat
membantu mengantisipasi pengenalan teknologi masa depan, di mana
10
beberapa di antaranya berpotensi menjadi teknologi disruptif. Menjadi
penting untuk mengenali bahwa teknologi substitusi terjadi ketika ada kebu-
tuhan yang tidak terpenuhi dalam dominant driver dan teknologi yang ada
tidak mampu bersaing menghadapi teknologi baru.
Dengan menggunakan kerangka Dinamika Inovasi, dapat diidentifikasi tiga
pola substitusi di mana dua di antaranya mendorong pada susbtitusi:
teknologi lama mengalami pendewasaan relatif terhadap dominant driver;
driver mengalami pendewasaan, driver baru muncul dan teknologi lama
tidak mampu memenuhi kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi oleh
dominant driver baru; lingkungan berubah menciptakan dominant driver
baru. Mengenali teknologi baru yang dapat menyebabkan disrutif merupakan
tantangan, terutama ketika pelanggan tidak mengenali bahwa kebutuhan
kinerja yang menjadi dasar dari keputusan masa lalu tidak mengubah
keputusan masa depan. Tantangan ini dapat dipenuhi dengan: (1)
memahami dinamika inovasi dan substitusi. Ada alasan-alasan tertentu
mengapa teknologi baru muncul: ada kebtuhan yang tidak terpenuhi (baru
atau lama) dan teknologi yang ada tidak dapat digunakan untuk memenuhi
kebutuhan; (2) tidak mengabaikan pelanggan (yang sudah atau yang akan
dimiliki). Namun demikian jangan fokus hanya pada memenuhi apa yang
diminta pelanggan pada saat ini. Lebih penting, fokus pada apa yang mereka
butuhkan. Isu yang perlu diperhatikan adalah mengidentifikasikan driver
masa depan, sesuatu yang muncul ketika driver lama mencapai batas
maksimum, dan yang muncul ketika lingkungan pelanggan berubah; (3)
tidak meninggalkan teknologi lama hanya karena ia sudah menjadi tua.
Kecuali ada kebutuhan yang tidak terpenuhi, mungkin tidak ada manfaatnya
untuk menggantinya dengan teknologi baru; (4) pada saat bersamaan, jangan
hanya fokus pada bagaimana dapat menggunakan teknologi yang ada untuk
menjawab driver yang sedang berkembang. Beralih ke teknologi yang lebih
baru yang dapat meningkatkan kinerja pada batas kemampuan driver lama
mungkin diperlukan untuk memenuhi kemampuan minimum driver baru; (5)
implemen proses yang membantu mengantisipasi dan mengelola perubahan.
Sistem Informasi Strategik Bagi perusahaan modern, memiliki strategi bisnis saja tidak cukup untuk
menghadapi persaingan dewasa ini. Strategi bisnis yang biasa dituangkan
dalam dokumen atau cetak biru Business Plan harus pula dilengkapi dengan
11
Sistem Infromasi Strategik (Indrajit, 2003). Tujuannya jelas, yaitu untuk
memanfaatkan secara optimum penggunaan Teknologi Informasi sebagai
komponen utama sistem informasi perusahaan (sistem yang terdiri dari
komponen-komponen untuk melakukan pengolahan data dan pengiriman
informasi hasil pengolahan ke fungsi-fungsi organisasi terkait). Tantangan
yang dihadapi para pengelola Teknologi Informasi pada umumnya adalah
bagaimana mengendalikan Teknologi Informasi sebagai sumber daya
perusahaan sehingga dapat menyajikan informasi sesuai yang dibutuhkan
perusahaan, bagaimana mengelola resiko dan mengamankan infrastruktur
Teknologi Informasi yang menjadi hidup-matinya operasional perusahaan.
Untuk itu diperlukan proses memutuskan sasaran organisasi Teknologi
Informasi dan mengidentifikasikan aplikasi Teknologi Informasi potensial
yang harus diimplementasikan oleh organisasi secara keseluruhan (Lederer
& Sethi, 1998), dan proses identifikasi portofolio aplikasi berbasis komputer
untuk diselaraskan dengan strategi perusahaan sehingga memiliki
kemampuan untuk menciptakan keunggulan atas para pesaing. Manajemen
menetapkan sasaran umum Sistem Informasi Strategik dikaitkan dengan
dukungan terhadap Strategi Bisnis yang sedikitnya meliputi: penyelarasan
Teknologi Informasi dengan bisnis guna mengidentifikasikan di mana
Teknologi Informasi memberi kontribusi paling besar, dan penentuan
prioritas investasi; memperoleh keunggulan kompetitif dari peluang bisnis
yang diciptakan dengan memanfaatkan Teknologi Informasi; membangun
infrastruktur masa depan yang fleksibel dan hemat biaya; memperkuat
sumber daya dan kompetensi dalam memanfaatkan Teknologi Informasi
dengan sukses di organisasi.
Implementasi Teknologi Informasi Dalam Organisasi Anthony (1965) mengelompokkan implementasi Teknologi Informasi ke
dalam tiga kategori: sistem operasional (Operational Systems), sistem
pengendalian (Control Systems), dan sistem perencanaan (Planning Systems).
Termasuk dalam sistem operasional antara lain: order entry/processing, tracking
shipping documents, vehicle scheduling/loading, invoicing, sales and purchase ledgers,
cost accounting, stock control, shop floor, scheduling, bill of materials, purchase orders,
receiving, employee records, payroll, word processing, dan lain – lain. Sedangkan
yang tergolong sistem pengendalian antara lain: sales analysis, budgetary
control, management accounting, inventory management, quality analysis, expense
12
reporting, market, research/analysis, WIP control, requirement planning, supplier
analysis, dan lain - lain. Dan yang digolongkan sebagai sistem perencanaan
antara lain: sales forecasting, operating plans, capacity planing, profit/earnings
forecast, business mix analysis, manpower planning, financial modelling.
Perusahaan yang secara konsisten mencapai nilai (value) tinggi atas investasi
Teknologi Informasi mereka memiliki lima karakteristik umum: manajemen
puncak memiliki komitmen terhadap Teknologi Informasi; relatif kecil atau
bahkan tidak ada turbulensi politik di dalam perusahaan; lebih banyak
pengguna sistem yang dipuaskan; terdapat integrasi dalam perencanaan
bisnis dan Teknologi Informasi; serta lebih berpengalaman dalam
memanfaatkan Teknologi Informasi (Wheelen & Hunger, 2004). Di pihak
lain, kegagalan memenuhi komitmen untuk memberikan value dari investasi
Teknologi Informasi seringkali disebabkan karena manajer Teknologi
Informasi lebih banyak memerhatikan masalah perangkat keras dan kurang
menguasai soft science tentang bagaimana pengguna sistem informasi
memanfaatkan Teknologi Informasi secara optimal (Davenport, 1999).
Disadari bahwa mengimplementasikan Sistem Informasi Strategik menggu-
nakan pendekatan kemanusiaan lebih sulit dari pada menata sistem
komputer (Davis, Miller & Russell, 2006).
Pengaruh Teknologi Informasi Pada Keputusan Strategik Untuk memahami pengaruh Teknologi Informasi pada proses pembuatan
keputusan strategik terutama yang berkaitan dengan strategi bisnis
digunakan Matrik McFarlan. Sumbu vertikal menggambarkan asesmen
pengaruh Teknologi Informasi terhadap operasional perusahaan. Pada
organisasi tertentu – seperti perbankan, penerbangan, lembaga keuangan,
layanan infrastruktur pada saat ini - eksekusi operasional Teknologi
Informasi merupakan hal krusial bagi hidup-matinya perusahaan. Kerusakan
atau hambatan sekecil apapun berpengaruh besar terhadap kinerja bisnis
secara keseluruhan. Sumbu horisontal menggambarkan asesmen pengaruh
Teknologi Informasi terhadap Strategi Bisnis yang akan memengaruhi
keunggulan bersaing perusahaan dalam jangka panjang. Pada beberapa
perusahaan, inisiatif bisnis yang memanfaatkan Teknologi Informasi
merupakan faktor kritis bagi posisi stratejik jangka panjang. Namun di pihak
lain, aplikasi Teknologi Informasi seringkali memberikan peningkatan
13
kondisi lokal perusahaan namun tidak berpengaruh terhadap strategi
(Applegate, et al, 1999).
Applegate et all, (1999) lebih jauh menjelaskan bahwa dengan memetakan
Teknologi Informasi dan pengaruhnya terhadap keputusan stratejik memberi
kemudahan bagi manajer untuk memilih pendekatan terbaik bagi
pengelolaan bisnis yang memanfaatkan Teknologi Informasi. Lima
pertanyaan kunci dapat digunakan untuk memberi panduan dalam
memetakan pengaruh Teknologi Informasi pada keputusan stratejik:
1. Dapatkah Teknologi Informasi digunakan untuk rekayasa aktivitas inti
yang menghasilkan value dan mengubah basis kompetisi?
2. Dapatkah Teknologi Informasi mengubah sifat alamiah hubungan dan
keseimbangan kekuatan di antara perusahaan sebagai pembeli dan
pemasok?
3. Dapatkah Teknologi Informasi membangun atau mengurangi hambatan
masuk (barriers to entry)?
4. Dapatkah Teknologi Informasi menaikkan atau mengurangi switching
costs?
5. Dan dapatkah Teknologi Informasi menambah nilai pada produk dan
atau jasa yang sudah ada, dan menciptakan yang baru?
Hubungan Antara Knowledge Management Dan Kinerja Inovasi Proses inovasi banyak bergantung pada pengetahuan, terutama karena
knowledge merepresentasikan suatu bidang (realm) jauh lebih dalam dari
pada data, informasi dan logika konvensional; oleh karenanya, kekuatan
knowledge terletak pada subjektivitasnya, yang mendasari value dan asumsi
yang menjadi pondasi bagi proses pembelajaran (Nonaka dan Takeuchi,
1995). Dari pemahaman ini, dapat dikatakan bahwa knowledge management
(KM) serta sumber daya manusia merupakan elemen penting dalam
menjalankan setiap bisnis. Namun demikian, banyak organisasi tidak
konsisten dalam pendekatannya kepada KM, hal ini terjadi karena
dipengaruhi dan banyak didominasi oleh kerangka teknologi informasi (IT)
atau humanis (Gloet & Terziovski, 2004). Studi Gloet dan Terziovski (2004)
menganjurkan para manajer di perusahaan manufaktur perlu memberi
perhatian lebih banyak pada manajemen sumber daya manusia (HRM)
ketika membangun strategi inovasi bagi inovasi produk dan proses. KM
14
mendukung kinerja inovasi jika pendekatan simultan dari soft HRM practices
dan hard IT practices diimplementasikan bersama-sama secara sinergi.
KM berkembang menjadi bidang kajian tersendiri dalam studi organisasi dan
berperan signifikan dalam membangun competitive advantage (Nonaka, 1991;
Nonaka & Takeuchi, 1995; Davis, 1998; Matusik & Hill, 1998; Miller, 1999;
Moore & Birkinshaw, 1998, Stewart, 1997). Meskipun demikian KM
mendapat kritik dari berbagai pihak, dikatakan sebagai penggunaan istilah
yang tidak cocok (misnomer) atau oxymoron, penggunaan dua kata yang
maknanya saling bertentangan (Coleman, 1999), atau membingungkan dan
tidak tepat (McCune, 1999). Dari ide dan kritik ini, akhirnya menjadikan
KM berkembang dan memiliki sistem fisik dan proses serta ruang lingkup
yang semakin jelas, tidak ada hambatan dalam mendefinisikannya
(Liebowitz, 1999). KM memberi perhatian pada formalisasi akses kepada
pengalaman, pengetahuan dan keahlian guna menciptakan kemampuan
baru, mendukung kinerja unggul, mendorong inovasi, dan meningkatkan
customer value (Beckman, 1999). Sementara itu, Coleman (1999)
mendefinisikan KM sebagai sebuah payung bagi berbagai fungsi yang saling
berketergantungan dan terkait satu dengan lainnya yang terdiri dari knolwedge
creation; knowledge valuation dan metrics; knowledge mapping dan indexing;
knowledge transport, storage dan distribusi; serta knowledge sharing.
Dari berbagai pendekatan KM menunjukkan adanya perluasan dari
organisational learning dan sistem informasi bisnis, dan dua pendekatan ini
dipengaruhi oleh IT paradigm dan humanist paradigm. IT paradigm fokus pada
aspek tangible dari KM, seperti pengumpulan, penyimpanan dan pengolahan
informasi, menggunakan metodologi yang secara implisit membentuk
organisasi sebagai sebuah sistem pemrosesan informasi; sementara humanis
paradigm lebih menekankan pada sifat pembelajaran dan peningkatan
pengetahuan sebagai sumber daya organisasi, menyorot peran individu dan
kelompok dalam proses penyebaran knowledge.
Sementara itu, elemen organisasi lainnya seperti infrastruktur memiliki
kekuatan untuk memengaruhi sukses atau gagalnya KM di dalam organisasi.
Elemen ini antara lain: budaya organisasi dan dukungan infrastruktur
(Beckman, 1999; Zand, 1997; Quinn et al, 1997); dukungan manajemen dan
kepemimpinan yang proaktif (Davenport, 1996; Beckman, 1999), pember-
dayaan karyawan (Davenport & Prusak, 1998; Liebowitz & Beckman, 1998),
15
memahami KM sebagai strategi bisnis (Ruggles & Holtshouse, 1999),
ssaluran komunikasi yang kuat (Koulopoulos & Frappaolo, 1999), dan
komitmen untuk membangun dan memertahankan iklim pembelajaran di
dalam organisasi (Starbuck, 1997; Liebowitz & Beckman, 1998).
Inovasi berkaitan dengan knowledge yang dapat digunakan untuk
menciptakan produk atau proses dan layanan baru guna meningkatkan
competitive advantage dan memenuhi kebutuhan pelanggan yang selalu
berubah (Nystrom, 1990). Carnegie dan Butlin (1993) mendefinisikan inovasi
sebagai “sesuatu yang baru atau ditingkatkan yang dihasilkan oleh
perusahaan guna menciptakan nilai tambah yang signifikan baik secara
langsung atau tidak langsung yang memberi manfaat kepada perusahaan dan
atau pelanggannya”. Sementara itu, Livingstone et al (1998) melihat inovasi
sebagai produk atau proses baru yang dimaksudkan untuk meningkatkan
value. Dari lingkup definisi inovasi di atas, setidaknya ada empat mekanisme
yang memberi kontribusi bagi inovasi yang dilakukan secara terus menerus,
yaitu kapabilitas, perilaku, ungkit (lever) dan contingencies (Gieski, 1999).
Dalam format ideal, inovasi memiliki kapasitas meningkatkan kinerja,
menyelesaikan persoalan, menambah value, serta menciptakan competitive
advantage bagi organisasi (Gloet & Terziovski, 2004). Inovasi secara umum
dapat dijelaskan sebagai implementasi penemuan (discoveries) dan hasil
rekayasa (inventions) serta proses yang menghasilkan luaran (outcome) baru,
apakah berupa produk, sistem atau proses (William, 1999). Lebih jauh,
inovasi menempati posisi sangat penting dalam organisasi (Davenport &
Prusak, 1998). Stewart (1997) menyatakan, KM dan modal intelektual
berperan besar sebagai sumber inovasi, oleh karena itu strategi bisnis perlu
memberi perhatian utama pada ketiga aspek ini (KM, intellectual capital,
inovasi).
Sumber daya manusia dapat dilihat sebagai pendongkrak (lever) stratejik
dalam penciptaan competitive advantage melalui value dari knowledge,
ketrampilan dan pelatihan (Becker dan Gerhart, 1996). Di pihak lain,
competitive advantage juga membutuhkan infrastruktur TI yang kuat di dalam
organisasi (Davenport & Prusak, 1998; Zand, 1997). Guna memahami
inovasi dengan lebih baik, manajemen harus memastikan bahwa inovasi
menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya perusahaan (Cottrill, 1998).
Model KM yang didasarkan pada TI dan HRM merupakan instrumen yang
16
dapat dipercaya dan valid bagi pengukuran dan memperkirakan hubungan
antara praktek KM dengan kinerja inovasi. Selanjutnya, ada hubungan
positif yang signifikan antara praktek KM yang didasarkan pada kombinasi
TI/HRM dan kinerja inovasi, Dari dua pernyataan ini dapat disarnkan
bahawa organisasi perlu berupaya membangun pendekatan KM yang
integratif guna memaksimalkan kinerja inovasi dalam upaya mencapai
competitive advantage.
Hal tersebut perlu dicermati, karena ada hubungan negatif yang cukup
signifikan antara elemen-elemen TI (dari IT paradigm) yang fokus pada
pengembangan teknologi (seperti e-commerce) dan kinerja inovasi. Hal ini
dapat dijelaskan karena e-commerce masih pada tahap awal pertumbuhan,
dan oleh karenanya rasa percaya diri pada e-commerce sebagai pendorong
utama dalam peningkatan dan kelangsungan dari kinerja inovasi belum
dianggap nyata oleh para manajer.
Hubungan Antara Inovasi, Teknologi Informasi dan Kinerja Inovasi memiliki hubungan non-linear dengan kinerja perusahaan (inverted
U-shape); dan Teknologi Informasi (TI) tidak memiliki pengaruh signifikan
pada kinerja perusahaan. Namun demikian sesudah memertimbangkan
interaksi antara inovasi dan TI, ada efek positif pada kinerja perusahaan
(Cheng & Chun, 2005). Dari pernyataan di atas dapat ditarik pendapat
bahwa lebih banyak investasi pada modal intelektual tidak selalu lebih baik.
Perusahaan sebaiknya mengkoordinasikan perbedaan perspektif dari modal
intelektual guna meningkatkan kinerja.
Menghadapi meningkatnya kompetisi global, tumbuh pemahaman bahwa
inovasi merupakan kekuatan kritis yang dapat mendorong pertumbuhan
ekonomi. Oleh karenanya, komunitas internasional, khususnya negara-
negara yang relatif maju dalam sain dan teknologi, memberi nilai yang tinggi
pada pengembangan sain dan teknologi. Dalam beberapa tahun terakhir
pengembangan TI telah berubah sedemikian cepatnya, sehingga dikatakan
investasi TI membentuk infrastruktur knowledge management di dalam
organisasi (Stewart, 1997; Bontis, 2002; Banker, 2003; Youndt et al, 2004).
Demikian juga investasi perangkat keras dan lunak telah menunjukkan
pertumbuhan yang menakjubkan. Meski demikian, TI tidak dapat
menciptakan sustainable competitive advantage bagi sebuah perusahaan karena
17
TI dapat dengan mudah ditiru oleh pesaing. Lebih lanjut, munculnya open
standard juga mendorong pelanggan dan pemasok mengubah ikatan
kemitraan lebih mudah (Banker, 2003). Oleh karena itu, masih ada pendapat
yang inkonsisten tentang apakah investasi TI dapat memberi manfaat
substansial bagi perusahaan.
Kepemilikan pengetahuan, pengalaman yang telah diterapkan, teknologi
yang dimiliki organisasi, hubungan dengan pelanggan dan ketrampilan
profesional yang dapat memberikan kemampuan kompetisi di dalam pasar
tertentu, merupakan definisi intellectual capital (Edvinson & Malon, 1997).
Yang menjadi persoalan, tidak selalu intelectual capital dapat memberi
keuntungan bagi perusahaan. Persoalan ini tidak hanya dihadapi oleh pelaku
bisnis, namun juga menjadi pertanyaan di kalangan akademisi. Sebagian ahli
berpendapat bahwa investasi intellectual capital secara nyata memberi
kontribusi bagi diperolehnya profit (Bontis et al, 2000, 2002; Youndt, et al,
2004). Di pihak lain, beberapa ahli lain menyimpulkan bahwa intellectual
capital tidak memiliki hubungan tetap positif dengan kinerja perusahaan
(Huselid et al, 1997; Bharadwaj et al, 1999). Meski ada perbedaan pendapat
tentang peran intellectual capital bagi kinerja perusahaan, sebagian besar
sependapat tentang korelasi mutual di antara komponen intellectual capital.
Mengacu pada resource-based view (RBV), perusahaan merupakan kombinasi
dari sumber daya dan kemampuan (Barney, 1991). Ketika sumber daya ini
bersifat unik, memiliki nilai, jarang dimiliki oleh perusahaan lain, dan sulit
untuk ditiru, penggunaan semuanya dengan cara yang tepat akan memberi
kontribusi bagi sustainable competitive advantage. Ketika menghadapi
lingkungan ekonomi yang diwarnai dengan persaingan sengit, perusahaan
harus memiliki kemampuan dalam inovasi, kualitas, serta kecepatan dalam
membangun daya saing. Oleh karena itu, memberi perhatian khusus pada
sumber daya guna mengakumulasikan inovasi dan TI akan memiliki dampak
positif bagi kinerja perusahaan. Studi menunjukkan investasi TI memiliki
asosiasi positif yang signifikan terhadap nilai perusahaan (Bharadwaj et al,
1999; Abody & Lev, 2001).
Mengacu pada teori di atas, investasi inovasi dan TI yang lebih besar akan
memberi lebih banyak kemudahan bagi tercapainya kinerja yang lebih baik.
Namun demikian, pendapat ini tidak selalu didukung oleh fakta yang
konsisten. Berdasarkan teori pertumbuhan, perusahaan akan selalu memiliki
18
batasan untuk berkembang, salah satunya disebabkan oleh kemampuan
manajemen (Penrose, 1959). Demikian pula teori kurva-S, dan investasi
R&D yang relatif tinggi tidak serta merta dapat menghasilkan kinerja
(Foster, 1986). Ketika aktivitas R&D mencapai titik tertentu, produktivitas
R&D mulai menurun. Lebih jauh, ketika teknologi mencapai tingkat
kedewasaan, investasi TI berada pada lapisan terbawah, dan resiko fluktuasi
teknologi akan berkurang. Namun demikian hal ini juga akan menurunkan
return yang sebelumnya berhasil dicapai oleh invetasi TI.
Meskipun investasi TI memiliki hubungan positif dengan kinerja
perusahaan, besarannya telah mengalami penurunan dalam beberapa tahun
terakhir (Chang & Chun, 2005). Ada beberapa alasan yang dapat
menjelaskan mengapa hal ini terjadi. Pertama, disebabkan oleh perubahan
teknologi yang sangat cepat, investasi TI cenderung terdepresiasi dengan
cepat pula. Selain itu, ketika perusahaan telah menjadi lebih canggih dengan
memanfaatkan TI, tidak lama kemudian pesaing akan membuat duplikasi
kemampuan TI yang sama atau bahkan lebih baik dari yang dimiliki
perusahaan, sehingga periode keunggulan sebagai pelaku pertama menjadi
lebih singkat.
Meraih Kinerja Unggul Melalui Strategi Yang Terintegrasi, Antara Inovasi Radikal Dan Peningkatan Yang Kontinyu Inovasi merupakan proses yang kompleks, meski dapat diindentifikasi
dengan mudah sebagai faktor kritikal bagi sukses organisasi namun tidak
selalu mudah untuk mengelolanya (Terziovski, 2002). Sejalan dengan
meningkatnya intensitas kompetisi internasional dan siklus produk yang
semakin singkat, tekanan bagi dilakukannya inovasi menjadi semakin kuat.
Strategi peningkatan yang dilakukan secara kontinyu dari bawah ke atas
(bottom up) merupakan strategi yang dianjurkan guna meningkatkan
kepuasan pelanggan dan produktivitas dalam perusahaan manufaktur. Di
pihak lain, strategi dengan pendekatan top-down dianggap tepat guna
meningkatkan daya-saing-relatif teknologi. Strategi yang terintegrasi
memiliki pengaruh yang paling kecil pada kinerja unggul. Pada tataran
praktis, strategi peningkatan secara incremental yang dilakukan kontinyu
merupakan pendorong utama di belakang berbagai upaya peningkatan
kinerja, dan inovasi radikal sebaiknya digunakan untuk jump-start produk-
produk kritikal, layanan dan proses.
19
Implikasi Interaksi Strategi Inovasi dan Sistem Informasi Strategik akan memberi
manfaat bagi sustainable competitive advantage ketika keduanya dikelola dalam
satu kombinasi strategi yang saling menunjang. Penelitian mengenai
interaksi keduanya dan pengaruhnya terhadap sustainable competitive advantage
perusahaan khususnya perusahaan di Indonesia diperkirakan akan memberi
kontribusi bagi perkembangan bisnis khususnya dan perkembangan ilmu
pengetahuan di bidang strategic management. Kontribusi ini perlu mengingat
pada saat ini inovasi masih merupakan barang langka di Indonesia,
sementara pemanfaatan Teknologi Informasi yang dikoordinasikan dalam
Sistem Informasi Strategik sudah cukup luas di kalangan bisnis.
Sebagaimana diketengahkan oleh Roger, McCarty, Sollow, maupun
Christensen inovasi selain menawarkan manfaat juga mengandung potensi
yang dapat menghancurkan perusahaan. Memahami bagaimana mengelola
inovasi menjadi suatu tantangan bagi manajer Indonesia. Tantangan yang
lebih besar lagi bagi kalangan akademisi adalah menawarkan teori unggul
tentang inovasi dan kaitannya dengan bagaimana inovasi tersebut dapat
meningkatkan kinerja dan daya saing, sementara potensi negatifnya dapat
diantisipasi dan dieliminasi sedini mungkin.
Demikian halnya dengan Sistem Informasi Strategik, investasi yang selalu
meningkat dari tahun ke tahun membutuhkan pertanggung – jawaban
mengenai bagaimana investasi tersebut memberikan hasil. Pendekatan klasik
kalangan praktisi Teknologi Informasi yang mengetengahkan manfaat
Teknologi Informasi dari sekedar lebih cepat, lebih baik dan lebih murah
(faster, better and cheaper) perlu dikoreksi. Sistem Informasi Strategik yang
selaras dengan Strategi Bisnis perlu dikembangkan. Teori mengenai hal ini
sudah banyak dihasilkan, namun demikian peluang menambah khasanah
ilmu pengetahuan di bidang ini masih terbuka, terutama ketika Teknologi
Informasi dikaitkan dengan inovasi. Hal ini mengingat penelitian terdahulu
pada umumnya hanya menggunakan salah satu aspek saja untuk melihat
pengaruhnya terhadap kinerja.
20
Referensi
Text Books: Abend, C.J., 2005, In Search of Innovation Synthesis, Ideas for a Unified
Innovation Theory, Technology Transfer Society.
Applegate L. M|Austin R.D. |McFarlan W. F., 2003, Corporate Information
Strategy and Management, McGraw Hill
Callon J.D, 1996, Competitive Advantage Through Information
Technology, McGraw Hill
Christensen C.M, 2005, The Innovator’s Dilemma, Collins Business Essentials
Christensen C.M., Raynor M.E., 2003, The Innovator’s Solution, Creating And
SustainingSuccessful Growth, Harvard Business School Publishing
Corporations
Christensen C.M.| Overdroft M., 2001, Meeting the Challenge of Disruptive
Change dalam Harvard Business Review on Innovation
Davenport T.H., 1999, Putting The Enterprise Into The Enterprise System, dalam
Harvard Business Review on The Business Value of IT.
Davila | Epstein | Shelton, 2006, Making Innovation Work, How to Manage it,
Measure it, and Profit from it, Wharton School Publishing
Davis J.|Miller G.|Russell A., 2006, Information Revolution, Using The
Information Evolution Model to Grow Your Business, John Wiley & Son.
Drucker P. F., 1993, Innovation and Entrepreneurship, Harper & Row Publisher
Franklin C., 2003, Why Innovation Fails, Spiro Press
Galliers R.|Dorothy L., 2003, Strategic Information Management, Challenges
and Strategies in Managing Information Systems, Butterworth & Heinemann
Govindarajan V.| Trimble C., 2005, 10 Rules for Strategic Innovators, From Idea
to Execution, Harvard Business School Press
Harrison N.|Samson D., 2002, Technology Management, Text and International
Cases, McGraw Hill
Indrajit, R.E. 2003, Manajemen Sistem Informasi dan Teknologi Informasi.
Renaissance.
Jones G. R. 2004, Organizational Theory, Design, and Change, Prentice Hall.
Khalil T., 2000, Management of Technology, The Key to Competitiveness and
Wealth Creation, McGraw Hill
Laudon & Laudon, 2004, Management Information Systems
Light P. 1998, Sustaining Innovation: Creating nonprofit and Government
Organizations That Innovate Naturally, Jossey-Bass Publishers
21
Lucas H.C, Jr., 1999, Information Technology and the Productivity Paradox,
Assessing the Value of Investing in IT, Oxford Univerisity Press.
McCarty M.H., 2001, The Nobel Laureates, McGraw Hill
Ward, John & Joe Peppard, 2002, Strategic Planning for Information Systems
Wheelen, Thomas L. & J. David Hunger, 2004, Strategic Management &
Business Policy
Jurnal Strategic Information Systems: Cao, Q | Schniederjans, M.J., Empirical study of the relationship between
operations strategy and information system strategic orientation in an e-commerce
environment, International Journal of Production Research, Volume 42,
No. 15, August 2004, 2915-2939.
Chan, Joseph O, Enterprise Information Systems Strategy and Planning, Journal
of American Academy of Business, Cambridge, Volume 6, Numner 2,
March, 2005
Cunningham, Nigel, Risc and Reward? A Model For The Role of Information
Systems in Strategic Change Within Healthcare Organizations, Organization
Development Journal, Volume 19, Number 1, 2001, 93-108.
Daft, Richard L | Lengel, Robert H, Organizational Information Requirement,
Media Richness and Structural Design, Management Science, Vol. 32, No. 5,
Organization Design (May, 1986, 554-571.
Kotter, John P, Why Transformation Efforts Fail, Harvard Business Review,
April 1995.
Macdonald, Stuart | Anderson, Pat | Kimbel, Dieter, Measurement or
Management?: Revisiting the Productivity Paradox of Information Technology,
Vierteljahrshefte zur Wirtschaftsforschung 69, Jahrgang, Hect 4/200. S.
601-617.
Scarbrough, Harry, Making The Matrix Matter: Strategic Information Systems in
Financial Services, Journal of Management Studies, Volume 34, Number 2,
March 1997.
Strassmann, Paul, Foundations of Information Economics – Part III, Information
Economics Journal, September 2004.
Journal Innovation Strategy: Cheng Jen Huang | Chun Ju Liu, Exploration for the relationship between
innovation, IT and performance, Journal of Intellectual Capital: 2005; 6, 2.
22
Eibel-Spanyi, Katalin, Innovation in a Re-emerging Economy: Leasons from the
Hungarian Experience, The Innovation Journal: The Public Sector
Innovation Journal, Volume 11, Number 2, 2004.
Girardi, Antonia | Soutar, Geoffrey N | Ward, Steven, The Validation of a
Use Innovativeness Scale, European Journal of Innovation Management,
Volume 8, Number 4, 2005.
Gloet, Marianne | Tersziovski, Mile, Exploring the relationship between
knowledge management practices and inovation performance, Journal of
ManufacturingTechnology Management, Volume 15, Number 5, 2004,
402-409.
Kodama, Mitsuru, Tehnological Innovation Through Networked Strategic
Communities: A Case Study on a High-Tech Company in Japan, SAM
Advanced Management Journal, Winter 2005; 70, 1.
Leiponen, Aija, Organization of Knowledge and Innovation: The Case of Finnish
Business Service, Journal of Industry and Innovation, June 2005; 12,2.
Pijpers, Guus G.M. | Monfort, van Kees, An Investigation of Factors that
Influence Senior Executives to Accept Innovations in Information Technology,
International Journal of Management, March 2006, 23, 1.
Berawi, M.A., Quality Revolution: Leading the Innovation and Competitive
Advantages, The International Journal of Quality and Relaibility
Management, 2004; 21, 4.
Terziovski, Mile, Achieveing Performance Excellence Through an Integrated
Strategy of Radical Innovation and Continuous Improvement, Measuring
Business Excellence, 2002; 6, 2.
Paap, Jay | Katz, Ralph, Predicting the Unpredictable, Anticipating Disruptive
Innovation, Research Technology Management, Sep/Oct 2004; 47, 5.
Hannah, David R., Who Owns Ideas? An Investigation of Employees’Beliefs about
the Legal Ownership of Ideas, Creativity and Innovation Management,
Volume 13, Number 4, December 2004.
Greenhalgh, Trisha | Robert, Glenn | Macfarlane, Fraser | Bate, Paul |
Kyriakidou, Olivia, Diffusion of Innovation in Service Organizations:
Systematic Review and Recommendations, The Milbank Quarterly, Volume
82, Number 4, 2004, pp 581-629.