Post on 27-Oct-2021
Vol . 2, No.1, Desember 2011 T. Reza Zulkarnaen 209-231
209
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGAWASAN DAN
PENGENDALIAN MUATAN LEBIH
(Studi Kasus pada Unit Pelaksana Penimbangan Kendaraan Bermotor Dinas Perhubungan
Provinsi Sumatera Utara)
Oleh
T. Reza Zulkarnaen
Abstrak
Angkutan barang memiliki peran penting dalam mendukung pertumbuhan ekonomi suatu
daerah. Pergerakan angkutan barang di Provinsi Sumatera Utara dari tahun ke tahun terus
meningkat seiring dengan peningkatan perekonomian dan kemajuan teknologi kendaraan
bermotor khususnya angkutan barang. Keadaan tersebut menimbulkan masalah terhadap
sarana dan prasarana keselamatan jalan serta kondisi jalan.
Pengawasan dan Pengendalian muatan lebih merupakan tugas pengawasan keselamatan jalan
yang dilakukan oleh Unit Pelaksana Penimbangan Kendaraan Bermotor ( UPPKB ).
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan
Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom menyebutkan bahwa pengelolaan dan
pengoperasian jembatan timbang merupakan kewenangan Pemerintah Provinsi sedangkan
Pemerintah Pusat bertugas melaksanakan pembinaan dan pengawasan serta memberikan
tindakan korektif dalam rangka peningkatan kinerja jembatan timbang.
Key Words : Implementasi Kebijakan, Pengawasan dan Pengendalian Muatan Lebih,
Dinas Perhubungan Provinsi Sumatera Utara
PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah
Sistim transportasi nasional yang
ditetapkan melalui Keputusan Menteri
Perhubungan Nomor 15 tahun 1997
menyebutkan bahwa transportasi memiliki
posisi yang strategis dalam pembangunan
bangsa untuk mencapai tujuan
pembangunan nasional yang tercermin
pada kebutuhan mobilitas seluruh sektor
dan wilayah. Transportasi merupakan
sarana yang sangat penting dalam
memperlancar roda perekonomian,
memperkukuh persatuan dan kesatuan
serta mempengaruhi semua aspek
kehidupan bangsa dan negara. Transportasi
ataupun perangkutan di Indonesia
menghadapi tantangan baik dalam skala
nasional, regional maupun global. Dampak
dari pergolakan ekonomi global yang
semakin lama semakin deras yang
diwarnai oleh liberalisasi perdagangan dan
kesepakatan perdagangan regional seperti
AFTA, APEC, WTO serta makin
canggihnya teknologi informasi dan
telekomunikasi, menuntut kerja keras
pemerintah dalam membangun sistim
perangkutan yang memiliki keandalan ,
efisiensi dan daya saing yang tinggi.
Undang-Undang nomor 14 tahun
1992 tentang Lalu lintas dan Angkutan
Jalan menyatakan bahwa transportasi
diselenggarakan dengan tujuan untuk
mewujudkan lalu lintas dan angkutan jalan
yang selamat, aman, cepat, lancar, tertib,
teratur, nyaman dan efisien serta
memadukan transportasi lainnya dalam
satu kesatuan sistem transportasi nasional
dan menjangkau seluruh pelosok wilayah
daratan untuk menunjang pemerataan,
pertumbuhan dan stabilitas serta sebagai
pendorong, penggerak dan penunjang
pembangunan nasional. Lalu lintas dan
angkutan memiliki arti dan permasalahan
yang berbeda namun tetap merupakan satu
kesatuan kegiatan yang saling mendukung.
Lalu lintas ( Trafic ) adalah kegiatan lalu
lalang atau gerak kendaraan, orang atau
Vol . 2, No.1, Desember 2011 T. Reza Zulkarnaen 209-231
210
hewan di jalan, sedangkan angkutan (
transport ) adalah perpindahan orang dan/
atau barang dari suatu tempat ketempat
lain dengan menggunakan kendaraan.
Pengertian barang dan orang
dalam kaitan dengan moda angkutan
disebut muatan dan dalam konteks
penulisan ini, muatan yang dimaksud
adalah muatan barang. Sedangkan “
muatan lebih ” berarti barang yang
diangkut melebihi kapasitas daya angkut
kendaraan. Kendaraan atau moda angkutan
menurut ketentuan Undang-Undang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan Nomor 14
tahun 1992 memiliki pengertian sebagai
suatu alat yang dapat bergerak di jalan,
terdiri atas kendaraan bermotor yakni
kendaraan yang digerakkan oleh peralatan
teknik yang berada pada kendaraan itu dan
kendaraan tidak bermotor yakni kendaraan
yang digerakkan oleh tenaga manusia atau
hewan.
Undang-Undang tersebut juga
menentukan persyaratan pengoperasian
kendaraan dijalan yakni :
1. Harus sesuai dengan
peruntukannya yaitu sesuai dengan
rancangan peruntukannya agar
orang atau barang yang diangkut
terjamin keselamatan dan
keamanannya sampai ditempat
tujuan dalam kondisi yang
diinginkan.
2. Harus memenuhi persyaratan
teknis yakni memenuhi
persyaratan tentang susunan
peralatan, perlengkapan, ukuran,
bentuk, karoseri, pemuatan,
rancangan teknis sesuai dengan
peruntukannya, ambang batas
emisi gas buang, penggunaan,
penggandengan dan penempelan
kendaraan bermotor.
3. Harus memenuhi ketentuan laik
jalan yakni memenuhi persyaratan
minimal kondisi suatu kendaraan ,
keselamatan pengendara dan
penumpang terjamin, tidak terjadi
pencemaran udara serta tidak
bising ketika dioperasikan di jalan.
4. Harus sesuai dengan kelas jalan
yang akan dilaluinya yakni untuk
menghindarkan kerusakan jalan
dan jembatan akibat pengoperasian
kendaraan dan muatan yang tidak
seimbang dengan daya dukung
jalannya.
Pengawasan dan pengendalian
pemenuhan persyaratan pengoperasian
kendaraan tersebut menurut ketentuan
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992
merupakan tanggung jawab instansi yang
berkaitan dengan lalu lintas dan angkutan
jalan (Dinas Perhubungan) dan lebih
ditegaskan lagi pembagian tanggung jawab
dan kewenangannya dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan
Provinsi sebagai Daerah Otonom setelah
keluarnya Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Seluruh ketentuan peraturan tersebut
memperlihatkan peran penting dan
strategisnya perangkutan bagi kehidupan
masyarakat sehingga diperlukan
pengaturan dan pengendaliannya.
Peranan perangkutan bagi
pertumbuhan suatu daerah sudah terlihat
setelah revolusi industri di Perancis,
dimana perkembangan perkotaan menjadi
bertambah maju, Daniel & Warner (
1980) menyebutnya sebagai “ the
golden era of urban transport revolution “,
yang dibuktikan dengan kemajuan
teknologi perangkutan yang semakin
nyata yakni peningkatan daya angkut, daya
jelajah dan kecepatan.
Pertambahan penduduk dan hunian
membutuhkan pula pertambahan
perangkutan sehingga terjadinya
peningkatan interaksi kegiatan antar
manusia dalam perolehan suatu produk
maupun dalam pemanfaatannya. Di era
keaneka ragaman kebutuhan manusia saat
ini tidak ada lagi satu daerahpun yang
mampu memenuhi kebutuhannya sendiri
dengan segala macam keperluannya,
disamping keterbatasan sumber daya alam
juga sumber daya manusianya sendiri.
Oleh karenanya diperlukan daerah-daerah
Vol . 2, No.1, Desember 2011 T. Reza Zulkarnaen 209-231
211
lain sebagai produsen sekaligus konsumen
untuk saling melengkapi kebutuhan, dan
kelancaran hubungan tersebut tergantung
kepada kondisi lalu lintas dan angkutan.
Terdapat hubungan segi empat antar
komponen kegiatan dalam pemanfaatan
produk yakni lokasi sumber daya manusia,
lokasi bahan baku, lokasi produksi dan
lokasi pasar yang terwujud karena kegiatan
lalu lintas dan angkutan sebagai akibat
adanya kebutuhan akan perpindahan
sejumlah orang maupun barang dari
suatu tempat ketempat lain ( Warpani,
2002 ; 4 ) seperti ditunjukkan gambar
berikut :
Gambar 1
Diagram antar komponen kegiatan dalam pemanfaatan produk
Peningkatan mobilitas kebutuhan
konsumsi dan hasil produksi masyarakat
yang diikuti dengan kemajuan teknologi
dan jumlah kendaraan pengangkut barang
menyebabkan peningkatan arus lalu lintas
angkutan. Kondisi tersebut menyebabkan
beban jalan semakin berat karena dilalui
kendaraan dengan volume muatan yang
terus bertambah, sehingga dibutuhkan
sarana pengawasan yang berfungsi untuk
mengendalikannya agar tidak berdampak
terhadap kerusakan jalan yang akan
mengakibatkan terganggunya kelancaran,
keselamatan dan kenyamanan bagi
pemakai jalan lainnya.
Pengaruh kelancaran perangkutan
dan dampaknya secara langsung dapat
dirasakan dalam kehidupan masyarakat,
oleh karenanya dibutuhkan pengelolaan
lalu lintas dan angkutan jalan yang tepat
dan berkelanjutan untuk memaksimalkan
dampak positif dan meminimalkan
dampak negatif serta mengendalikan
benturan kepentingan berbagai pihak,
oleh karenanya diperlukan peraturan
yang harus dipatuhi semua pihak (
Iskandar Abubakar, 2000 ;17 ).
Pada Undang-Undang Nomor 14
tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan pasal 8 ayat ( 1 ) huruf e
disebutkan bahwa untuk keselamatan,
keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu
lintas serta kemudahan bagi pemakai jalan,
jalan wajib dilengkapi antara lain dengan
alat pengawasan dan pengamanan jalan.
Penjelasan pasal tersebut menyebutkan
alat pengawasan dan pengamanan jalan
adalah alat tertentu yang diperuntukan
guna mengawasi penggunaan jalan agar
dapat dicegah kerusakan jalan karena
melebihi kekuatannya. Peraturan
Pemerintah Nomor 43 tahun 1993 tentang
Prasarana dan Lalu Lintas Jalan pada pasal
35 dan pasal 38 menyebutkan bahwa alat
pengawasan dan pengamanan jalan
berfungsi untuk melakukan pengawasan
terhadap berat kendaraan beserta
muatannya, berupa alat penimbangan yang
dipasang secara tetap atau alat timbang
yang dapat dipindah-pindahkan.
BAHAN BAKU
SDM
PASAR
PRODUKSI
Vol . 2, No.1, Desember 2011 T. Reza Zulkarnaen 209-231
212
Di sisi lain berdasarkan Undang-
Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang
jalan pada Pasal 30 ayat (1) huruf a dan b
disebutkan bahwa pengoperasian jalan
umum dilakukan setelah dinyatakan
memenuhi persyaratan laik fungsi secara
teknis dan administratif serta
penyelenggara wajib memprioritaskan
pemeliharaan, perawatan dan
pemeriksaaan jalan secara berkala untuk
mempertahankan tingkat pelayanan sesuai
dengan standar pelayanan minimal yang
ditetapkan.
Bila diamati tata laksana regulasi
pengawasan dan pengamanan jalan untuk
pengendalian muatan berdasarkan
peraturan perundangan diatas,
memperlihatkan pengaturan secara umum
dan perlu diperhatikan efektifitasnya .
Undang-Undang nomor 14 tahun 1992
menetapkan tindakan refresif berupa
penegakan hukum seperti disebutkan
bahwa setiap kendaraan bermotor yang
dioperasikan di jalan harus sesuai
peruntukannya dan memenuhi persyaratan
teknis laik jalan ( pasal 12 ayat 1 ), dan
pelanggaran ketentuan tersebut diancam
pidana kurungan paling lama 3 ( tiga )
bulan atau denda setinggi-tingginya Rp.
3.000.000 ( tiga juta rupiah ) seperti pada
pasal 54. Ketentuan Undang-Undang dan
peraturan pemerintah tersebut tidak
mengatur tindakan lain seperti larangan
melanjutkan perjalanan maupun
pembongkaran muatan, sehingga dapat
diartikan bahwa setiap angkutan barang
yang melanggar batas ketentuan muatan
dan laik jalannya dapat melanjutkan
perjalanan setelah menerima tanda bukti
penindakan refresifnya.
Perkembangan zaman dan
kemajuan teknologi angkutan barang ,
peningkatan arus barang dan jasa,
sekaligus juga membuat penurunan tingkat
keselamatan pengguna jalan dan
peningkatan pergerakan perangkutan di
jalan serta volume muatan yang diangkut.
Pernyataan Dirjen Perhubungan Darat
Departemen Perhubungan dalam rapat
koordinasi teknis Dinas Perhubungan
seluruh Indonesia di Jakarta tanggal 29
Juli 2004 yang dimuat harian Kompas
tanggal 30 juli 2004 menyebutkan bahwa
kecelakaan lalu lintas di Ambarawa
Provinsi Jawa Tengah pada hari minggu
tanggal 11 Juli 2004 dan ambruknya
jembatan cipunagara di Kabupaten Subang
Provinsi Jawa Barat tanggal 23 Juli 2004
serta kerusakan jalan-jalan nasional dan
jalan provinsi diseluruh Indonesia
terindikasi karena angkutan barang yang
tidak memenuhi persyaratan teknis dan
laik jalan serta bermuatan lebih.
Harian Kompas tanggal 7 agustus
tahun 2004 menyatakan kasus ambruknya
Jembatan Cipunagara A memperlihatkan
kelemahan aparat perhubungan yang
mengawasi angkutan barang. Ambruknya
jembatan tersebut karena pada saat yang
sama sembilan kendaraan melewati
jembatan sepanjang 51 meter itu. Satu truk
(22 roda) mengangkut 50 ton semen, satu
truk tangki (22 roda) mengangkut 60 ton
semen cair, satu truk (10 roda)
mengangkut 60 ton pasir, satu truk (10
roda) mengangkut 40 ton asbes, satu truk
tronton (10 roda) mengangkut 40 ton
bahan makanan, satu truk (6 roda)
mengangkut 1,5 ton lembu, satu truk
gandeng bermuatan kayu, lalu sebuah
minibus, dan satu unit sepeda motor. Total
berat barang dan kendaraan yang dipikul
jembatan saat itu 326 ton. Kenyataan ini
sungguh memprihatinkan karena daya
pikul jembatan dengan rangka baja buatan
Inggris yang dibangun tahun 1978 dan
mulai dioperasikan tahun 1980 itu tinggal
170 ton.
Gubernur Sumatera Utara yang
dalam pidato pertanggung jawaban
pelaksanaan APBD tahun anggaran 2005
dihadapan sidang paripurna DPRD
Provinsi Sumatera Utara tanggal 27 juli
2006 menyatakan bahwa tingkat
kerusakan jalan di Provinsi Sumatera
Utara masih cukup tinggi, seperti yang
dikemukakannya bahwa 203,8 km dari
sekitar 2.098,50 km jalan nasional dan
730,5 km dari 2.752,50 km jalan provinsi
di Provinsi Sumatera Utara telah
Vol . 2, No.1, Desember 2011 T. Reza Zulkarnaen 209-231
213
mengalami kerusakan parah. Pernyataan
ketua Asosiasi Aspal Beton Indonesia
Sumatera Utara yang dimuat harian
Kompas tanggal 10 Juni 2006 yang
menyebutkan bahwa “ tidak berfungsinya
jembatan timbang menjadi penyebab
utama kerusakan jalan “. Harian Kompas
tanggal 7 Agustus 2004 menuliskan artikel
yang berjudul ketika rakyat menapaki jalan
rusak menekankan bahwa jembatan
timbang sudah tidak berfungsi sebagai
instrumen pengawasan dan pengendalian
muatan sehingga pemakai jalan makin
tidak terkendali, jalan berkembang
menjadi rimba raya yang mengerikan,
truk-truk raksasa dengan alasan efisiensi
sudah tidak lagi mengukur tonase barang
sementara kecelakaan terus meningkat.
Ditambahkan pula bahwa akibat semua itu,
dari 330.495 km jaringan jalan yang ada di
republik ini pada tahun 2002, sepanjang
130.000 km ( 40 % ) diantaranya
mengalami kerusakan, ini termasuk 15.739
km jalan provinsi serta 113.215 km jalan
kabupaten/ kota yang mengalami
kerusakan berat. Rusaknya jalan
menimbulkan peningkatan biaya karena
perjalanan terhambat, pemakaian bahan
bakar meningkat dan perkiraan ongkos
sosial dan ekonomi yang ditimbulkan
ketika rakyat menapaki jalan rusak
mencapai Rp. 200 triliun/ tahun.
Kerusakan banyak terletak di jalan-
jalan strategis, seperti jalan lintas timur
sumatera dan pantai utara jawa yang
paling sering dilewati kendaraan-
kendaraan raksasa. Kepala Bappeda
Provinsi Sumatera Utara didalam harian
Medan Bisnis tanggal 1 November 2006
menyebutkan kondisi jalan dan jembatan
di provinsi sumatera utara baik dari segi
kualitas maupun kuantitas mengalami
penurunan disamping karena
terlampauinya umur kedua infrastruktur
tersebut di sejumlah lokasi juga karena
peningkatan beban jalan. Menurutnya
penurunan kualitas jalan itu juga terkait
dengan keterbatasan dana pembangunan
jalan sehingga menjadi kendala
menciptakan jaringan jalan yang mantap
dan handal. Di dalam buku Sumut Dalam
Angka Tahun 2006 yang diterbitkan Badan
Pusat Statistik Sumatera Utara terlihat
dengan jelas jumlah, status dan kondisi
jalan di Provinsi Sumatera Utara seperti
pada tabel berikut :
Tabel 1
DATA STATUS JALAN NASIONAL,
JALAN PROVINSI, JALAN KABUPATEN/ KOTA DAN JALAN TOL
DI PROVINSI SUMATERA UTARA
No Status Jalan Panjang Jalan (km)
Tahun 2003 Tahun 2004 Tahun 2005
1 Nasional 1.305,95 2.098,05 2.098,50
2 Provinsi 3.346,20 2.752,41 2,752.50
3 Kab/Kota 28.246,27 28.711,31 29.112,61
Total 32.898,43 33.561,78 33.963,61
4 Tol 40,00 40,00 40,00
Jumlah 32.938,43 33.601,78 34.003,61
Sumber : Dinas Jalan dan Jembatan Provsu
Vol . 2, No.1, Desember 2011 T. Reza Zulkarnaen 209-231
214
Tabel 2
DATA KONDISI JALAN NASIONAL, JALAN PROVINSI DAN
JALAN KABUPATEN/ KOTA
DI PROVINSI SUMATERA UTARA TAHUN 2005
Status Jalan Panjang
Jalan
(km)
Kondisi Jalan
Baik Sedang Rusak Rusak
Berat
Tidak
Dirinci
Naional 2.098.50 1435,08 382,42 244,61 35,94 __
Provinsi 2.752,50 1783,29 590,73 309,97 68,51 __
Kab/ Kota 29.112,61 9040,91 6227,93 6473,79 5977,00 1393,06
Jumlah 33.963,61 12.259,28 7201,86 7028,28 6081,45 1393,06
Sumber : Dinas Jalan dan Jembatan Provsu / SUDA 2006.
Menyikapi banyaknya
pelanggaran muatan dan ditambah dengan
tudingan masyarakat dan pemberitaan di
media massa bahwa kerusakan jalan
diakibatkan tidak berfungsinya
pengawasan di UPPKB dalam penanganan
muatan lebih, Menteri Perhubungan
dalam suratnya tertanggal 4 Mei 2005
menetapkan pedoman operasional
penanganan muatan lebih dengan
menghunjuk Surat Edaran Dirjen
Perhubungan Darat atas nama Menteri
Perhubungan nomor : SE. 01/ AJ.307/
DRJD/ 2004 tanggal 28 Januari 2004
tentang Pengawasan dan Pengendalian
Muatan Lebih.
Kebijakan yang berupa
pedoman penanganan muatan lebih dengan
cara-cara prefentif dan refresif tersebut,
menunjukkan bahwa selama ini prosedur
penanganan muatan lebih tidak memiliki
aturan yang jelas. Kebijakan pemerintah
dalam pengaturan, pengendalian serta
pengawasan dibidang lalu lintas dan
angkutan jalan khususnya dalam hal
pengawasan dan pengendalian muatan
lebih akan menjadi konsep-konsep kosong
apabila pada tahap implementasinya tidak
dijalankan sesuai dengan pola tindak yang
telah ditetapkan.
Permasalahan kerusakan jalan
lintas sumatera di Provinsi Sumatera Utara
dan tudingan faktor penyebabnya adalah
kelemahan aparat pengawasan di Unit
Pelaksana Penimbangan Kendaraan
Bermotor ( selanjutnya disingkat UPPKB )
atau dengan kata lain UPPKB tidak
berfungsi optimal dalam
mengimplementasikan kebijakan
pengawasan dan pengendalian muatan
lebih perlu diteliti kebenarannya.
Berdasarkan data yang diperoleh dari
Dinas Perhubungan Provinsi Sumatera
Utara, angkutan barang yang melakukan
pelanggaran muatan pada tahun 2005
sebagai berikut :
Tabel 3Data Jumlah Kendaraan Yang Ditimbang Dan Jumlah PelanggaranTahun 2005
Jumlah Kendaraan
yang ditimbang Jumlah Pelanggaran Muatan Lebih dari JBI
Jumlah
pelanggaran
5 % - 15 %
15 % - 25 %
> 25 %
876.702 kend. 18.261 kend. 7.193 kend. 4.616 kend. 30.070 kend.
Sumber : Dinas Perhubungan Prov.SU
Vol . 2, No.1, Desember 2011 T. Reza Zulkarnaen 209-231
215
Data diatas menggambarkan
bahwa pelanggaran muatan lebih masih
tetap terjadi tetapi angka-angka tersebut
tentunya diragukan banyak orang karena
angkutan barang dalam jumlah yang cukup
besar dan terlihat melanggar batas muatan
masih tetap melintas di jalan. Kondisi
tersebut tentu menimbulkan pertanyaan
tentang efektifitas kebijakan tersebut.
Untuk mengetahui apakah kebijakan
pemerintah tentang pengawasan dan
pengendalian muatan lebih sebagaimana
yang telah dijelaskan sebelumnya telah
dilaksanakan oleh Dinas Perhubungan
Provinsi Sumatera Utara melalui UPPPKB
perlu dilakukan penelitian.
Pengawasan dan Pengendalian
Muatan Lebih
Kesisteman dari transportasi atau
perangkutan jalan adalah proses
mengangkut atau membawa orang dan/
atau barang ( disebut muatan ) sesuatu
dari suatu tempat ketempat lainnya (
merupakan fungsi keterhubungan antar
lokasi dengan prasarana jalan ) dengan
menggunakan kendaraan ( sarana
angkutan ), dan khususnya untuk
transportasi barang agar terjaminnya
interaksi yang tertib antara muatan
barang, kemampuan prasarana jalan dan
sarana kendaraan diperlukan
pengawasannya di jalan dengan
menggunakan jembatan timbang (
Muchtaruddin Siregar, 1990 ; 3). Sesuai
dengan ketentuan pasal 8 ayat ( 1 ) huruf e
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
serta pasal 35 dan pasal 38 Peraturan
Pemerintah Nomor 43 Tahun 1993 tentang
Prasarana dan Lalu Lintas Jalan, jembatan
timbang merupakan bagian dari sistem
transportasi bidang pengawasan dan
pengendalian pengguna jalan khususnya
angkutan barang guna terjaganya kondisi
jalan. Fungsi jembatan timbang
sebagaimana diamanatkan oleh Undang-
Undang tersebut diatas meliputi :
1. Pengawasan jalan melalui
pengawasan terhadap tekanan
sumbu terberat kendaraan.
2. Pengawasan keselamatan
kendaraan yakni pengawasan
terhadap kelebihan berat muatan.
3. Pengawasan terhadap distribusi
barang yaitu pendataan asal dan
tujuan barang, dan jenis barang
yang diangkut.
4. Pengawasan tentang tata cara
pemuatan angkutan barang.
Guna perwujudan fungsi jembatan
timbang tersebut, pemerintah telah
mengeluarkan pedoman penyelenggaraan
penimbangan dan pengawasan muatan
angkutan barang di jalan sebagai berikut :
1. Keputusan Menteri Perhubungan
Nomor 5 Tahun 1995
penyelenggaraan penimbangan
kendaraan bermotor di jalan yang
berisikan ketentuan seperti :
a. Penentuan lokasi jembatan
timbang yang dipasang secara
tetap harus memperhatikan :
Rencana umum tata ruang.
Jaringan transportasi jalan.
Volume lalu lintas harian
rata-rata ( LHR ) untuk
angkutan barang.
Kelancaran arus lalu lintas.
Kelas jalan.
Kondisi tofografi lokasi
Tersedia lahan sekurang-
kurangnya 4.000 (empat ribu)
m2.
Efektifitas pengawasan berat
kendaraan beserta
muatannya.
b. Tersedia fasilitas penunjang
pada alat penimbangan yang
dipasang secara tetap seperti :
Gedung operasional.
Lapangan parkir kendaran.
Fasilitas jalan keluar masuk
kendaraan.
Gudang penyimpanan
barang.
Vol . 2, No.1, Desember 2011 T. Reza Zulkarnaen 209-231
216
Lapangan penumpukan
barang.
Bangunan gedung untuk
generator set.
Pagar.
Perambuan untuk maksud
pengoperasian.
c. Pengoperasian alat
penimbangan tetap dilakukan
oleh unit pelaksana
penimbangan kendaraan
bermotor.
d. Penimbangan kendaraan beserta
muatannya dilakukan dengan
cara :
Penimbangan kendaraan
beserta muatannya dan
penimbangan terhadap
masing-masing sumbu
Perhitungan berat muatan
dilakukan dengan cara
mengurangi hasil
penimbangan kendaran
beserta muatannya dengan
berat kendaraan yang telah
ditetapkan dalam buku uji.
Kelebihan berat muatan dapat
diketahui dengan cara
membandingkan berat
muatan yang ditimbang
dengan daya angkut yang
diizinkan dalam buku uji
atau pelat samping kendaraan
bermotor.
Kelebihan muatan pada tiap-
tiap sumbu dapat diketahui
dengan cara membandingkan
hasil penimbangan setiap
sumbu dengan muatan sumbu
terberat pada kelas jalan yang
dilalui.
e. Mobil barang yang tidak
bermuatan, mobil barang
pengangkut peti kemas, alat
berat, bahan berbahaya dan
mobil barang dengan
menggunakan tangki tidak di
wajibkan untuk dilakukan
penimbangan.
2. Surat Edaran Direktur jenderal
Perhubungan Darat Nomor SE.01/
AJ.307/ DRJD/ 2004 yang
berisikan petunjuk sebagai berikut :
a. Pengawasan dan pengendalian
muatan lebih dilakukan oleh
aparat daerah provinsi di bawah
tanggung jawab dan koordinasi
Kepala Dinas Perhubungan
dengan berpedoman kepada
Peraturan Daerah, Keputusan/
Instruksi Gubernur.
b. Batas faktor keselamatan
adalah 25 % dari Jumlah Berat
Yang Diizinkan ( JBI ) dan
dapat dilakukan pengaturannya
melalui peraturan daerah
dengan klasifikasi pelanggaran
sebagai berikut :
b.1. Pelanggaran tingkat I:
> 5 % - 15 % dari JBI.
b.2. Pelanggaran tingkat II:
> 15 % - 25 % dari
JBI.
b.3 Pelanggaran tingkat III:
> 25 % dari JBI.
c. Pelanggaran tingkat III
dikenakan sanksi pidana
disertai dengan perintah
pengembalian kendaraan
ketempat asal atau penurunan
muatan dengan resiko yang
ditanggung oleh pengemudi.
d. Penurunan muatan harus
memenuhi persyaratan sebagai
berikut :
d.1. Tersedianya lahan
penumpukan barang.
d.2. Tersedianya peralatan
penanganan penurunan
barang seperti fork lift,
trolly, gerobak
pengangkut, peralatan
pengepakan barang.
d.3. Terjaga keutuhan barang
yang diturunkan.
d.4. Terhadap barang yang
mudah meledak,
berbahaya, cepat busuk
dan mudah rusak
Vol . 2, No.1, Desember 2011 T. Reza Zulkarnaen 209-231
217
dilakukan penanganan
khusus dengan bantuan
ahli.
d.5. Dibuat berita acara
penurunan barang yang
ditanda tangani kedua
pihak yakni operator/
pengemudi dan petugas
UPPKB.
d.6. Berkoordinasi dengan
instansi terkait yakni
POM atau POLRI untuk
pengamanan.
Kebijakan pengawasan dan
pengendalian muatan lebih, yang diatur
dengan Surat Edaran Dirjen Perhubungan
Darat atas nama Menteri Perhubungan
Nomor SE.01/ AJ. 307/ DRJD/ 2004
tanggal 28 Januari 2004, adalah untuk
menertibkan pengangkutan muatan secara
berlebihan yang mengakibatkan
kehancuran investasi pemerintah karena
penurunan kualitas pelayanan prasarana
jalan ( Iskandar Abu Bakar, 2004; 7 ).
Berdasarkan ketentuan tersebut
diatas, keberadaan Unit pelaksana
penimbangan kendaraan bermotor/
UPPKB sangat penting dan strategis serta
bertanggung jawab dalam menjaga kondisi
jalan untuk kelancaran transportasi orang
maupun barang di jalan raya. Untuk
mendukung kelancaran pelaksanan tugas
tersebut tentunya UPPKB harus didukung
dengan sarana dan prasarana
penimbangan kendaraan bermotor sesuai
keputusan menteri diatas dan dilaksanakan
oleh aparatur yang memiliki kompetensi
dan moral yang baik.
Pengawasan dan pengendalian
muatan lebih merupakan persoalan
penegakan hukum. Jimly Asshiddiqie (
2006 ) menyebutkan penegakan hukum
adalah proses dilakukannya upaya untuk
tegaknya atau berfungsinya norma-norma
hukum secara nyata sebagai pedoman
perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-
hubungan hukum dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara.
Hikmahanto Juwana ( 2006 ) menegaskan
bahwa dalam proses bekerjanya aparatur
penegakan hukum itu, terdapat 3 ( tiga )
elemen penting yang mempengaruhinya
yaitu :
1. Institusi beserta berbagai
perangkat sarana dan prasarana
pendukung dan mekanisme kerja
kelembagaannya.
2. Budaya kerja yang terkait dengan
aparatnya, termasuk mengenai
kesejahteraan aparatnya.
3. Perangkat peraturan yang
mendukung baik kinerja
kelembagaannya maupun yang
mengatur materi hukum yang
dijadikan standar kerja, baik
hukum materilnya maupun
hukum acaranya.
METODOLOGI PENELITIAN
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian dapat
dikelompokkan menurut tujuan,
pendekatan, tingkat eksplanasi ( Level of
explanation ), analisis dan jenis data (
Sugiyono, 2006; 4 ). Fokus penelitian
yang menekankan kepada implementasi
kebijakan pengawasan dan pengendalian
muatan lebih tergolong kepada penelitian
terapan, yang bertujuan untuk
memecahkan masalah-masalah
pelaksanaan tugas operasional khususnya
mengenai pengawasan dan pengendalian
muatan lebih di UPPKB. Berdasarkan
fokus penelitian tersebut, akan lebih
memungkinkan apabila tingkat eksplanasi
atau tingkat penjelasan tentang bagaimana
variabel-variabel itu diteliti akan
menjelaskan objek yang diteliti melalui
data yang terkumpul dengan penelitian
deskriptif melalui metode penelitian
kualitatif.
Penelitian deskriptif adalah
penelitian yang dilakukan untuk
mengetahui nilai variabel mandiri, baik
satu variabel atau lebih ( independen )
tanpa membuat perbandingan atau
menghubungkan antara variabel satu
dengan variabel lainnya ( Sugiyono,
2006; 11). Nawawi ( 1998; 63 )
menyebutkan metode deskriptif diartikan
Vol . 2, No.1, Desember 2011 T. Reza Zulkarnaen 209-231
218
sebagai prosedur pemecahan masalah yang
diselidiki dengan menggambarkan,
melukiskan keadaan subjek atau objek
penelitian ( seseorang, lembaga,
masyarakat dan lain-lain ) pada saat
sekarang berdasarkan fakta-fakta yang
tampak atau sebagaimana adanya ( Fact
finding ). Berdasarkan jenis penelitian
deskriftif tersebut, maka peneliti hanya
mengembangkan konsep dan menghimpun
fakta tetapi tidak melakukan pengujian
hipotesis ( Singarimbun, 1989 ; 5 ). Karena
itu penelitian ini terbatas pada usaha
mengungkapkan suatu keadaan atau
peristiwa atau keadaan subjek/ objek
penelitian pada saat sekarang berdasarkan
fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana
adanya.
Dalam jenis penelitian deskriptif
ini digunakan pendekatan penelitian studi
kasus. Pendekatan studi kasus merupakan
salah satu cara atau metode pendekatan
kualitatif yang dilakukan untuk
menjelaskan fakta, kejadian atau peristiwa
yang dialami kelompok sasaran, baik
individu atau sekelompok orang sebagai
keseluruhan pada saat dilakukan
penelitian. Studi kasus berarti mencermati
suatu gejala secara mendalam dan
mempertahankan keutuhan objek yang
diteliti sebagai suatu keseluruhan yang
terintegrasi.
Sanapiah ( 1192; 109 ) di dalam
Nana Tursino ( 2003 ; 89 ) menegaskan
bahwa pada penelitian studi kasus yang
perlu dijelaskan bukanlah populasi dan
sampel sebagaimana pada penelitian
survey dan eksperimen akan tetapi pada
subjek penelitiannya. Subjek penelitian
menunjuk pada orang/ individu atau
kelompok yang dijadikan unit atau satuan
kelompok yang diteliti, dan studi kasus
berkepentingan dengan upaya
mengkonstruksikan bagaimana seseorang
atau sekelompok orang itu sebagai
keseluruhan.
2. Populasi dan Sampel Populasi pada penelitian ini yang
juga merupakan objek studi kasus penulis
adalah para pelaksana tugas dan pelaksana
regu UPPKB Dinas Perhubungan yang
berkualifikasi penyidik dan komponen
yang berkaitan dengan penyelenggara
angkutan barang yakni pengusaha
angkutan barang dan pengemudi angkutan
barang pada jenis tertentu yakni mobil
barang dengan jumlah berat yang diizinkan
diatas 23 ton.
Dasar pertimbangan ditetapkannya
para pelaksana tugas dan pelaksana regu
sebagai objek penelitian dikarenakan
kedudukannya sebagai pemimpin
dikelompoknya, dan dianggap paling
mengetahui ketentuan dan peraturan,
kondisi dan situasi pelaksanaan tugasnya
serta bertanggung jawab penuh terhadap
efektifitas tugas-tugasnya. Ditetapkannya
pengemudi angkutan barang sebagai objek
penelitian disebabkan aktifitasnya dalam
perangkutan barang yang menjadi objek
pengawasan aparat dinas perhubungan
melalui jembatan timbang.
Di Provinsi Sumatera Utara
terdapat 13 ( tiga belas ) Unit Pelaksana
Penimbangan Kendaraan Bermotor /
UPPKB/ Jembatan Timbang.
Memperhatikan kepadatan arus barang
keluar dan masuk Provinsi Sumatera Utara
serta jalan-jalan nasional/ provinsi yang
rusak berada pada lintas timur
Sumatera Utara ( Kabupaten Langkat,
Kota Binjai, Kota Medan, Kabupaten Deli
Serdang, Kabupaten Serdang Bedagai,
Kota Tebing Tinggi, Kabupaten Asahan,
Kabupaten Labuhan Batu ) maka
penelitian mengenai implementasi
kebijakan pengawasan dan pengendalian
muatan lebih hanya dilakukan pada 2 (
dua ) UPPKB yakni UPPKB Gebang di
Kabupaten Langkat dan UPPKB Aek
Batu di Kabupaten Labuhan Batu. Adapun
alasan dilakukannya penelitian hanya pada
2 ( dua ) tempat tersebut adalah berkaitan
dengan jalur pengawasan dan
pengendalian muatan lebih yang dilakukan
merupakan pintu-pintu keluar dan masuk
ke Provinsi Sumatera Utara dan kota
Medan, yang dapat dijelaskan sebagai
berikut :
Vol . 2, No.1, Desember 2011 T. Reza Zulkarnaen 209-231
219
UPPKB Aek Batu yang terletak di
perbatasan Provinsi Sumatera Utara
dengan Provinsi Riau pada Kabupaten
Labuhan Batu berfungsi melakukan
pengendalian angkutan barang yang
keluar dan masuk Provinsi Sumatera
Utara dari arah Provinsi Riau dan
sebaliknya.
UPPKB Gebang yang terletak di
perbatasan Provinsi Sumatera Utara
dengan Provinsi Nangroe Aceh
Darrussalam pada Kabupaten Langkat
berfungsi melakukan pengendalian
angkutan barang dari Provinsi
Sumatera Utara ke Provinsi Nangroe
Aceh Darrussalam dan sebaliknya.
Tehnik pengambilan sampel yang
digunakan pada penelitian ini adalah Non
Probability Sampling melalui purposive
sampling yang dikenal juga dengan
sampling pertimbangan. Non Probability
Sampling menurut Riduwan ( 2003; 16)
berarti tehnik sampling yang tidak
memberi kesempatan atau peluang pada
setiap anggota populasi untuk dijadikan
anggota sampel. Sedangkan purposive
sampling ialah tehnik sampling yang
digunakan peneliti jika mempunyai
pertimbangan-pertimbangan tertentu
didalam pengambilan sampelnya, dan
hanya mereka yang ahli yang patut
memberikan pertimbangan untuk
pengambilan sampel yang diperlukan (
Riduwan, 2003; 20 ).
Hal itu dilakukan karena pada
objek yang diteliti yakni UPPKB Dinas
Perhubungan Provinsi Sumatera Utara
terdapat para petugas dengan jabatan yang
berbeda dan para pengemudi angkutan
barang dengan daya angkut yang berbeda
pula. Adapun sampel dalam penelitian ini
secara terperinci adalah sebagai berikut :
1. Para Pelaksana tugas UPPKB 2 orang.
2. Para Pelaksana Regu UPPKB 10 orang.
3. Pengemudi angkutan barang dengan daya angkut diatas 23 ton 80 orang.
Jumlah = 92 orang.
3. Teknik Pengumpulan Data
Penggalian dan pemahaman atas
pengawasan dan pengendalian muatan
lebih dilakukan dengan menghimpun data
kualitatif. Data kualitatif adalah data yang
berhubungan dengan kategorisasi
karakteristik berwujud pertanyaan atau
kata-kata yang biasanya didapat dari
wawancara dan bersifat subjektif sebab
data tersebut dapat ditafsirkan lain oleh
orang yang berbeda ( Riduwan, 2003 ; 31
).
Menurut Nawawi (1998; 94 ) terdapat 6
(enam) tehnik penelitian sebagai cara yang
dapat ditempuh untuk mengumpulkan
data yaitu :
a. Tehnik observasi langsung yaitu
mengumpulkan data melalui
pengamatan dan pencatatan gejala
yang tampak pada objek
penelitian.
b. Tehnik observasi tidak langsung ,
yaitu mengumpulkan data melalui
pelaksanaan pengamatan objek
secara tidak langsung.
c. Tehnik komunikasi langsung,
yakni mengumpulkan data
dimana peneliti melakukan
kontak langsung secara lisan
dengan sumber data.
d. Tehnik komunikasi tidak
langsung, yakni mengumpulkan
data dengan mengadakan
hubungan tidak langsung
langsung melainkan dengan
menggunakan alat.
e. Tehnik studi dokumen/ library
research/ bibliografis, yaitu
mengumpulkan data melalui
sumber-sumber bacaan yang
relevan.
Menurut Sugiyono ( 2006 ; 156 )
pengumpulan data dapat dilakukan dalam
Vol . 2, No.1, Desember 2011 T. Reza Zulkarnaen 209-231
220
berbagai setting, berbagai sumber dan
berbagai cara. Bila dilihat dari settingnya,
data dapat dikumpulkan pada setting
alamiah seperti pada laboratorium dengan
metode eksperimen, dirumah dengan
berbagai responden, seminar, diskusi,
dijalan dan lainnya. Bila dilihat dari
sumber datanya maka pengumpulan data
dapat menggunakan sumber primer dan
sumber sekunder. sumber sekunder adalah
sumber yang tidak langsung memberikan
data kepada pengumpul data misalnya
melalui jasa orang lain atau lewat
dokumen. Sumber primer adalah sumber
data yang langsung memberikan data
kepada pengumpul data. Selanjutnya bila
dilihat dari segi cara atau tehnik
pengumpulan data, maka tehnik
pengumpulan data dapat dilakukan
dengan interview (wawancara),
Kuesioner (angket), observasi
(pengamatan) dan gabungan
keseluruhannya.
4. Teknis Analisis Data
Untuk menganalisis data maka
diperlukan proses mengatur urutan data,
mengorganisasikannya dalam suatu pola,
kategori dan satuan uraian dasar ( Patton,
dalam Moloeng, 2001; 45 ). Dalam proses
ini data disederhanakan dalam bentuk yang
lebih mudah untuk dibaca dan
diinterpretasikan sehingga memberikan
keterangan terhadap permasalahan yang
diteliti dengan mengunakan tabel biasa.
Analisa tabel biasa ini bermaksud untuk
memperinci data-data sekaligus
menyajikan persentase dari masing-masing
jawaban responden sehingga diketahui
data-data yang paling dominan melalui
persentase yang terbesar.
Teknik analisis data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik deskriptif. Hal tersebut didasarkan
kepada perumusan permasalahan pada
bagian awal penulisan yang hanya
menggunakan satu variabel atau variabel
tunggal yakni implementasi kebijakan.
Permasalahan dalam kaitan tersebut
disebut juga permasalahan desktiftif.
Permasalahan deskriftif adalah suatu
permasalahan yang berkenaan dengan
pertanyaan terhadap keberadaan variabel
mandiri, baik hanya pada satu variabel
atau lebih atau disebut variabel yang
berdiri sendiri ( Sugiyono, 2003 ; 35 ).
Data-data yang digunakan untuk
menganalisis implementasi kebijakan
pengawasan dan pengendalian muatan
lebih terdiri dari :
1. Data Primer yakni data kualitatif yang
diperoleh berdasarkan hasil wawancara
dan kuesioner kepada key person yakni
pelaksana tugas dan pelaksana regu
UPPKB serta pengemudi angkutan
barang.
2. Data Sekunder yakni data-data yang
diperoleh dari UPPKB dalam rangka
implementasi kebijakan pengawasan
dan pengendalian muatan lebih berupa
data SDM, sarana dan prasarana
UPPKB, Jumlah kendaraan bermotor
yang ditimbang dan ditindak karena
pelanggaran muatan.
Teknik analisis data dilakukan dengan
tahap-tahap sebagai berikut :
1. Penyusunan data, dilakukan dengan
cara mengumpulkan seluruh data-data
otentik dan melakukan pemilihan data
yang ada hubungannya dengan
penelitian.
2. Penilaian data, teknik ini
dilakukan dengan memperhatikan
prinsip validitas (kesahihan),
objektifitas dan reliabilitas (
keandalan) dengan menempuh cara :
a. Mengkatagorikan data primer
dan data sekunder yang
dilakukan dengan sistem
pencatatan yang relevan.
b. Menguji keabsahan data yang
dilakukan dengan
membandingkannya dengan
hasil observasi dan
pemeriksaan terhadap sumber-
sumber lainnya.
3. Pengolahan data, melakukan
pengolahan data yang diperoleh untuk
memperjelas perumusan permasalahan.
Vol . 2, No.1, Desember 2011 T. Reza Zulkarnaen 209-231
221
4. Interpretasi data, melakukan
interpretasi dengan dasar pengalaman
dan pengetahuan terhadap data, fakta
dan informasi hasil pengolahan data.
5. Penyimpulan data, menyimpulkan
hasil interpretasi data yang berisikan
intisari dari seluruh rangkaian
penelitian termasuk kesulitan dan
hambatan-hambatan yang dialami
dalam penelitian.
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
A. Prosedur Penimbangan Angkutan
Barang
Sesuai hasil wawancara penulis
dengan pelaksana tugas UPPKB pada
kedua lokasi penelitian diketahui bahwa
prosedur penimbangan kendaraan
dilakukan dengan beberapa cara yakni
penimbangan berat kotor atau
penimbangan sumbu dan kelompok sumbu
dan penimbangan langsung.
Dikemukakannya bahwa penimbangan
berat kotor kendaraan dilakukan jika
panjang angkutan barang yang akan
ditimbang tidak sesuai dengan platform
penimbangan dan kapasitas penimbangan,
sehingga terhadap angkutan barang yang
dilakukan penimbangan harus dilakukan 2
(dua) kali penimbangan yakni terhadap
sumbu depan dan sumbu belakang untuk
kemudian hasil penimbangan kedua sumbu
tersebut dijumlahkan. Dari hasil
penjumlahan akan diketahui kelebihan
berat muatan atau tidak kelebihan dari
jumlah berat yang diizinkan.
Penimbangan langsung adalah kegiatan
penimbangan yang dilakukan terhadap
angkutan barang yang tidak melebihi
platform dan kapasitas timbang sehingga
hasil penimbangan dapat diketahui
langsung dari indikator digital
penimbangan.
Prosedur penimbangan tidak
terlepas dari pengorganisasian dan
pembagian uraian tugas yang telah
ditetapkan oleh Kepala Dinas dan
diimplementasikan oleh pelaksana tugas
serta pelaksana regu pada masing-masing
UPPKB. Melalui pengamatan penulis,
organisasi dan pembagian kerja pada
UPPKB tercermin pada prosedur
penimbangan angkutan barang
digambarkan sebagai berikut :
Gambar 7
Bagan alir penimbangan angkutan barang di Jembatan Timbang/ UPPKB DISHUB-SU
Penjelasan gambar : 1. Kendaraan memasuki jembatan
timbang dengan kecepatan rendah
melewati high speed in motion dan
datanya direkam pada komputer untuk
diisi data kendaraan serta muatannya
oleh petugas.
2. Dilakukan pemeriksaan STUK dan
teknis laik jalan oleh Penguji.
Kendaraan ditimbang dengan High speed weight
in motion
Keluar
Kendaraan
masuk
Petugas Periksa
dokumen
Petugas catat
data kendaraan
Pemeriksaan
oleh PPNS
Pemeriksaan
oleh penguji
Petugas mengatur
penimbangan
Tidak
melanggar
UU LLAJ
Pelanggaran
UU LLAJ
Penurunan
Muatan
Tilang
Keluar
Vol . 2, No.1, Desember 2011 T. Reza Zulkarnaen 209-231
222
3. Dari data yang tercatat, terlihat
kendaraan yang sesuai ketentuan
muatan dan yang melanggar ketentuan
muatan, maka :
a. Kendaraan yang sesuai ketentuan
muatan dan teknis laik jalan dapat
keluar dari jembatan
timbang.
b. Kendaraan yang lebih muatan dan
melanggar ketentuan teknis laik
jalan, dilakukan pemeriksaan dan
dilanjutkan dengan proses
penindakan oleh Penyidik Pegawai
Negeri Sipil ( PPNS ).
B. Variabel Penelitian
Variabel adalah atribut dari
seseorang atau objek yang mempunyai
variasi antara satu orang dengan yang lain
atau satu objek dengan objek yang lain (
Hacth dan Farhady, 1981 dalam Sugiyono,
2006 ; 38 ).
Variabel yang terdapat dalam
penelitian ini adalah variabel tunggal yakni
implementasi kebijakan. Implementasi
kebijakan dalam konteks penelitian ini
meliputi kesiapan organisasi dan
tindakan-tindakan yang dilakukan aparatur
UPPKB Dinas Perhubungan Sumatera
Utara dalam melaksanakan pengawasan
dan pengendalian muatan lebih untuk
mencapai sasaran yang telah ditetapkan
yakni tertib muatan angkutan barang.
Faktor-faktor yang diukur dalam
implementasi kebijakan pengawasan dan
pengendalian muatan lebih oleh UPPKB
Dinas Perhubungan Provinsi Sumatera
Utara disesuaikan dengan model
implementasi kebijakan menurut George
Edward III meliputi faktor sumber-sumber
yang digunakan dalam implementasi
kebijakan seperti sumber daya manusia
yakni jumlah dan kompetensi petugas
UPPKB, dan sumber daya sarana serta
prasarana UPPKB, faktor struktur
birokrasi, faktor komunikasi kebijakan dan
faktor disposisi atau kecenderungan-
kecenderungan implementor dalam proses
implementasi kebijakan pengawasan dan
pengendalian muatan lebih.
B.1. Faktor Komunikasi Kebijakan
Menurut Edward dalam Budi
Winarno ( 2002 ; 126 ) disebutkan
persyaratan pertama bagi implementasi
kebijakan yang efektif adalah bahwa
mereka yang melaksanakan keputusan
harus mengetahui apa yang harus mereka
lakukan. Ditambahkannya pula bahwa
komunikasi kebijakan dapat menimbulkan
dampak buruk bagi implementasi
kebijakan dikarenakan faktor transmisi,
kejelasan dan konsistensi. Faktor
transmisi berarti bahwa setiap kebijakan
yang dikeluarkan harus disertai dengan
petunjuk pelaksanaannya agar tidak
menimbulkan pertentangan pendapat
antara pelaksana kebijakan dengan
pengambil kebijakan. Faktor kejelasan
menyebutkan bahwa disamping
terdapatnya petunjuk pelaksanaan yang
harus segera diterima pelaksana kebijakan,
instruksi-instruksi kebijakan tersebut
harus jelas untuk menghindarkan
interpretasi yang salah dalam
mengimplementasikan kebijakan. Faktor
konsistensi menegaskan bahwa suatu
kebijakan yang telah ditetapkan dan diikuti
segera dengan petunjuk pelaksanaan yang
jelas, harus terhindar dari pertentangan
dengan ketentuan peraturan diatasnya yang
dapat mendorong para pelaksana kebijakan
mengambil tindakan yang longgar dalam
mengimplementasikan kebijakan.
Berdasarkan penjelasan tersebut
penulis menganalisis materi kebijakan
pengawasan dan pengendalian muatan
lebih, yang menurut pendapat penulis
memperlihatkan beberapa kelemahan
seperti :
1. Pengaturan kebijakannya hanya
dengan Surat Edaran Direktur Jenderal
walaupun atas nama Menteri
Perhubungan, menurut penulis sangat
bertentangan dengan Undang-Undang
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
2. Surat Edaran tersebut memberikan
keleluasaan kepada angkutan barang
untuk membawa muatan lebih
sebanyak 25 % dari jumlah berat yang
diizinkan.
Vol . 2, No.1, Desember 2011 T. Reza Zulkarnaen 209-231
223
3. Mengatur jenis hukuman bagi
angkutan barang yang membawa
muatan lebih 25 % dari jumlah berat
yang diizinkan yakni dikenakan sanksi
pidana disertai dengan perintah
pengembalian kendaraan ketempat asal
atau larangan melanjutkan perjalanan
dan perintah kepada operator/
pengemudi untuk menurunkan muatan
lebih angkutan barang jika pengemudi
tidak mau ataupun tidak mampu
kembali ketempat asal.
4. Tidak menjelaskan tindakan yang
diambil terhadap angkutan barang
yang membawa muatan sampai 25 %
dari jumlah berat yang diizinkan
sedangkan Undang-Undang Nomor 14
tahun 1992 tentang lalu Lintas dan
Angkutan Jalan pasal 54 menetapkan
bahwa setiap kendaraan bermotor yang
dioperasikan dijalan tidak sesuai
dengan peruntukannya dan melanggar
persyaratan teknis laik jalan dikenakan
sanksi pidana kurungan selama 3 (tiga)
bulan atau denda setinggi-tingginya
Rp. 3.000.000 (tiga juta rupiah).
Melihat pendapat responden
tersebut diatas, penulis meragukan
pemahaman para responden terhadap
materi Undang-Undang Nomor 14 tahun
1992 tentang lalu Lintas dan Angkutan
Jalan dan Surat Edaran Dirjen tersebut.
Penulis telah menjelaskan tentang
pertentangan kedua peraturan tersebut
diatas, dan berpendapat bahwa ketidak
jelasan yang dalam hal ini diartikan
sebagai pertentangan, menimbulkan
akibat dimana para pelaksana kebijakan
telah melakukan penafsiran masing-
masing terhadap materi kebijakan tersebut.
B.2. Faktor Sumber Daya Sarana dan
Prasarana UPPKB.
Sesuai dengan ketentuan pasal 4
dari Keputusan Menteri Perhubungan
Nomor 5 Tahun 1995 tentang
penyelenggaraan penimbangan kendaran
bermotor di jalan disebutkan bahwa alat
penimbangan yang dipasang secara tetap
di jalan harus memiliki fasilitas penunjang,
seperti gedung operasional, lapangan
parkir kendaraan, fasilitas jalan keluar-
masuk kendaraan, gudang penyimpanan
barang, lapangan penumpukan barang,
bangunan untuk generator set, pagar, dan
perambuan untuk maksud pengoperasian.
Fasilitas penunjang tersebut ditambah pula
dengan peralatan penanganan muatan lebih
untuk penurunan muatan seperti, fork lift,
trolly, gerobak pengangkut dan peralatan
pengepakan barang seperti yang ditetapkan
dalam Surat Edaran Direktur Jenderal
Perhubungan Darat atas nama Menteri
Perhubungan tanggal 28 Januari 2004
nomor SE.01/ AJ.307/ DRJD/ 2004
tentang Pengawasan dan Pengendalian
Muatan Lebih.
Melalui wawancara yang dilakukan
penulis dengan para pelaksana tugas dan
pelaksana regu UPPKB Aek Batu dan
UPPKB Gebang mengenai pengelolaan
UPPKB, diperoleh keterangan sebagai
berikut :
1. Bahwa pelaksanaan pengawasan
muatan lebih angkutan barang di
jembatan timbang sebelum keluarnya
Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah
serta Peraturan Pemerintah Nomor 5
tahun 2000 tentang Kewenangan
Pemerintah dan Pemerintah Provinsi
Sebagai Daerah Otonom merupakan
kewenangan Pemerintah Pusat yang
pelaksanaan maupun pembangunannya
di daerah dikoordinir oleh Kantor
Wilayah Departemen Perhubungan.
2. Infrastruktur jembatan timbang yang
dikelola oleh Kantor Wilayah
Departemen Perhubungan hingga pada
saat diserahkan pengelolaannya kepada
pemerintah provinsi pada tahun 2001
sebagai tindak lanjut pelaksanaan
otonomi daerah, tidak dilengkapi
dengan fasilitas penunjang seperti
yang ditetapkan dalam Keputusan
Menteri Perhubungan Nomor 5 Tahun
1995 tentang Penyelenggaraan
penimbangan kendaraan bermotor di
jalan.
Vol . 2, No.1, Desember 2011 T. Reza Zulkarnaen 209-231
224
3. Pembangunan fasilitas penunjang di
jembatan timbang terkendala karena
luas area jembatan timbang yang ada
sangat terbatas dan tidak sesuai
dengan ketentuan maksimal yang
ditetapkan yakni minimal 4000 m2.
Pendapat responden seperti
tersebut diatas memperlihatkan bahwa,
terdapat ketidak seragaman pendapat
tentang kekurangan sarana UPPKB seperti
yang ditentukan dalam Keputusan Menteri.
Terdapat 7 ( tujuh ) responden atau 58,3
% responden berpendapat kekurangan
sarana UPPKB sangat mempengaruhi
kelancaran pelaksanaan tugas dan 5 ( lima
) responden atau 41,7 % menyatakan hal
tersebut tidak berpengaruh. Terhadap
kriteria jawaban “sangat mempengaruhi”
diperoleh alasan yang disimpulkan sebagai
berikut :
1. Bahwa proses penegakan hukum harus
mengikuti prosedur sesuai ketentuan
yang telah ditetapkan.
2. Bahwa kekurangan sarana dan
prasarana pengawasan dan
pengendalian muatan lebih di UPPKB,
menjadikan tindakan hukum yang
diambil tidak maksimal dan tidak
menimbulkan efek jera.
Terhadap kriteria jawaban “tidak
mempengaruhi” diperoleh alasan yang
disimpulkan sebagai berikut :
1. Bahwa dengan sarana UPPKB yang
ada telah dapat dilakukan
penimbangan kendaraan bermotor
dengan 2 ( dua ) yakni cara
penimbangan langsung dan
penimbangan berat kotor atau
penimbangan kelompok sumbu.
2. Tindakan hukum berupa penyitaan
surat tanda uji kendaraan sebagai
barang bukti pelanggaran disertai
pembuatan berita acara sidang di
Pengadilan Negeri serta larangan
melanjutkan perjalanan, merupakan
kegiatan yang dapat dilaksanakan pada
UPPKB tanpa kelengkapan sarana dan
prasarana yang ditentukan.
Dengan alasan-alasan yang
diajukan diatas, penulis berpendapat
bahwa kekurangan sarana dan parasarana
di UPPKB tidak dapat dijadikan alasan
bahwa kebijakan pengawasan dan
pengendalian muatan lebih tidak dapat
dilaksanakan. Hal tesebut berdasarkan
pola tindakan penanganan muatan lebih
yang diatur dalam surat edaran direktur
jenderal perhubungan darat tentang
pengawasan dan pengendalian muatan
lebih menjelaskan, bahwa tindakan
terhadap pelanggaran muatan melebihi 25
% dari jumlah berat yang diizinkan
dikenakan sanksi pidana disertai larangan
melanjutkan perjalanan dan jika
pengemudi atau operator angkutan tidak
bersedia baru kemudian dilakukan
penurunan muatan lebihnya. Dengan
demikian persoalan yang mendasar dalam
pelaksanaan kebijakan tersebut adalah
persoalan yang menyangkut moral dan
komitmen pelaksananya.
Pelaksanaan kebijakan pengawasan
dan pengendalian muatan di UPPKB
adalah dalam rangka penegakan hukum
lalu lintas dan angkutan jalan. Dalam
pengamatan penulis di kedua objek
penelitian terlihat bahwa petugas hanya
memberikan surat tilang dan kemudian
memperbolehkan angkutan yang
melanggar batas muatan yang diizinkan
untuk melanjutkan perjalanan.
Memperhatikan alasan tersebut, penulis
berpendapat bahwa disamping melengkapi
sarana jembatan timbang, perlu dilakukan
pengawasan rutin dan sanksi tegas
terhadap aparat sebagai upaya peningkatan
moral dan komitmen petugas UPPKB
dalam proses pengawasan dan
pengendalian muatan lebih.
B.3. Faktor Kecenderungan-
Kecenderungan
Faktor ini mempunyai
konsekuensi-konsekuensi penting bagi
implementasi kebijakan yang efektif,
karena kecenderungan yang timbul dalam
suatu kebijakan tergantung kepada
pelaksananya. Jika suatu kebijakan
cenderung mendapat dukungan oleh para
pelaksananya maka kebijakan tersebut
Vol . 2, No.1, Desember 2011 T. Reza Zulkarnaen 209-231
225
pasti akan berjalan dengan baik dan jika
sebaliknya maka implementasi kebijakan
tersebut akan sulit mencapai tujuannya.
Dengan kata lain suatu kebijakan akan
berjalan dengan baik apabila terdapat
komitmen dan kejujuran para
pelaksananya.
Mencermati realitas hasil penelitian
terhadap faktor komunikasi kebijakan
diatas yang memperlihatkan perbedaan
pendapat antara materi kebijakan dan
peraturan perundangan oleh para
pelaksananya sendiri , penulis mencoba
melihat proses implementasi kebijakan
pengawasan dan pengendalian muatan
lebih melalui pelaksanaan penegakan
hukum terhadap pelanggaran kelebihan
muatan oleh angkutan barang menurut
pendapat para pengemudi angkutan barang
yang melintas di UPPKB Aek Batu dan
UPPKB Gebang.
Berdasarkan hasil penelitian pada
diatas terlihat bahwa 59 orang responden
atau 73,75 % responden menyatakan
pelaksanaan penegakan hukum tidak
dilaksanakan, dan hanya 21 responden
atau 26,25 % yang menyatakan proses
penegakan hukum telah dijalankan sesuai
dengan ketentuan yang ditetapkan.
Dengan perolehan data tersebut dapat
diduga bahwa kebijakan pengawasan dan
pengendalian muatan lebih tidak
dilaksanakan sepenuhnya atau tidak
didukung penuh dari para pelaksananya
sendiri.
Disamping penilaian terhadap
faktor disposisi atau kecenderungan-
kecenderungan dari pelaksana tugas dan
pelaksana regu UPPKB, juga harus
diperhatikan faktor disposisi atau
kecenderungan-kecenderungan dari
pengemudi angkutan yang peranannya
sangat mempengaruhi pelaksanaan
kebijakan tersebut. Pengemudi angkutan
barang yang berperan dalam membawa
angkutan barang harus dilihat juga
dukungannya terhadap kebijakan
pengawasan dan pengendalian muatan
lebih melalui pengetahuan dan
pemahamannya terhadap peraturan
perundang-undangan khususnya mengenai
persyaratan teknis dan laik jalan kendaraan
bermotor
Jawaban responden diatas cukup
mengejutkan, karena dari 80 responden
hanya 14 responden atau 17,5 % yang
mengetahui persyaratan teknis laik jalan
kendaran bermotor sedangkan 66
responden atau 82,5 % responden
menyatakan tidak mengetahuinya.
Kenyataan tersebut memperlihatkan bahwa
pelaksanaan penegakan pemenuhan
persyaratan teknis laik jalan hanya
diketahui oleh pihak yang mengeluarkan
dan melaksanakan peraturan. Keadaan ini
menunjukkan bahwa sosialisasi
perundang-undangan khususnya tentang
materi teknis dan laik jalan kendaran
bermotor masih gagal dan perlu mendapat
perhatian penuh dari pemerintah, karena
pemenuhan persyaratan teknis dan laik
jalan berkaitan dengan faktor keselamatan
dan keamanan kendaraan, pengemudi dan
pengguna jalan lainnya.
Data tersebut menunjukkan bahwa
41,25 % atau 33 responden menginginkan
agar kebijakan tersebut dilaksanakan dan
47 responden atau 58,75 responden yang
menyatakan kebijakan tersebut tidak perlu
dilaksanakan. Dalam kuesioner yang
disampaikan, terdapat responden yang
memberikan beberapa alasan yang
dikemukakan tentang tidak perlunya
dilaksanakan kebijakan pengawasan
pengendalian muatan lebih tersebut yang
dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Kebijakan tersebut menjadi alasan bagi
petugas mencari-cari kesalahan
kendaraan angkutan barang.
2. Pengemudi yang membawa muatan
lebih akan memperoleh penghasilan
tambahan dari pengusaha angkutan,
karena muatan angkutan barang yang
seharusnya dimuat pada 3 ( tiga )
kendaraan dirubah menjadi 2 ( dua )
kendaraan, sehingga biaya
operasionalnya berkurang .
3. Kebijakan tersebut merugikan
pengemudi angkutan karena biaya
operasional menurun sedangkan biaya
Vol . 2, No.1, Desember 2011 T. Reza Zulkarnaen 209-231
226
pengeluaran seperti bahan bakar dan
biaya konsumsi terus meningkat.
Memperhatikan ketiga tabel
tersebut diatas, secara nyata didapatkan
data bahwa faktor kecenderungan yang
terjadi dalam implementasi kebijakan
pengawasan dan pengendalian muatan
lebih yakni terdapatnya mayoritas
pelaksana maupun pihak yang menjadi
sasaran kebijakan yang tidak mendukung
terlaksananya kebijakan pengawasan dan
pengendalian muatan lebih.
B.4. Faktor Struktur Birokrasi
Birokrasi merupakan salah satu
badan yang paling sering bahkan secara
keseluruhan menjadi pelaksana kebijakan.
Mustopaadidjaja ( 2003 ) menyatakan
birokrasi berfungsi melakukan pengelolaan
pelayanan dan pengelolaan atas
pelaksanaan berbagai kebijakan publik
sehingga birokrasi merupakan penentu
keberhasilan seluruh agenda pemerintahan
termasuk mewujudkan pemerintahan yang
bersih dan bebas KKN ( clean goverment
) dalam keseluruhan skenario perwujudan
kepemerintahan yang baik ( good
governance ). Birokrasi baik secara sadar
atau tidak, memilih bentuk-bentuk
organisasi untuk kesepakatan kolektif
dalam rangka mendukung kelancaran
pelaksanaan tugasnya. Budi Winarno (
2002 ; 151 ) menjelaskan struktur
organisasi memiliki pengaruh penting
terhadap implementasi kebijakan dan
dalam struktur organisasi terdapat hal yang
paling mendasar dalam mendukung
kelancaran pelaksanaaan tugas yakni
terdapatnya standar pelaksanaan tugas (
Standard Operating Procedure/ SOP ).
Standard operating procedure ( Standar
pelaksanaan tugas ) adalah pedoman-
pedoman baku yang ditetapkan organisasi
untuk pelaksanaan program dan jalannya
organisasi. Standar pelaksanaan tugas
bertujuan untuk menyeragamkan tindakan
para birokrat dalam penerapan peraturan-
peraturan.
Struktur organisasi dan tata kerja
UPPKB Dinas Perhubungan harus disertai
dengan standar pelaksanaan tugas
penyelenggaraan penimbangan serta
pengawasan dan pengendalian muatan
lebih di UPPKB. Melalui studi
dokumentasi yang dilakukan penulis,
diketahui bahwa UPPKB Dinas
Perhubungan Provinsi Sumatera Utara
melakukan tugas penimbangan kendaraan
bermotor dalam rangka pengawasan dan
pengendalian muatan lebih memiliki 2 (
dua ) pedoman standar pelaksanaan tugas
penimbangan kendaraan bermotor.
Pedoman tersebut yakni Keputusan
Menteri Perhubungan Nomor 5 tahun 1995
tentang Penyelenggaran Penimbangan
Kendaraan Bermotor dan Surat Edaran
Direktur Jenderal Perhubungan Darat atas
nama Menteri Perhubungan Nomor SE.
01/ AJ. 307/ DRJD/ 2004 tentang
Pengawasan dan Pengendalian Muatan
Lebih.
Dengan terdapatnya struktur
birokrasi dan standar prosedur operasional
di UPPKB, perlu diperhatikan pula
implementasinya. Untuk memperoleh
objektifitas penilaian terhadap
implementasi standar prosedur operasional
di UPPKB, penulis menyampaikan
kuesioner kepada para pengemudi
angkutan barang dan diperoleh data
sebagai berikut : Berdasarkan data diatas
terlihat bahwa dari 80 pengemudi
angkutan barang, 57 orang atau 71,25 %
menyatakan bahwa prosedur
penimbangan terhadap angkutan barang
dilakukan sama di setiap UPPKB, yang
berarti petugas UPPKB telah melakukan
penimbangan kendaraan bermotor sesuai
dengan standar pelaksanaan tugas yang
telah ditetapkan. Terdapat 23 pengemudi
atau 28,75 % pengemudi berpendapat
bahwa prosedur penimbangan kendaraan
bermotor dilakukan berbeda-beda di setiap
UPPKB. Pendapat reseponden
memperlihatkan bahwa masih terdapatnya
petugas yang melanggar ketentuan
pelaksanaan penimbangan kendaraan
bermotor.
Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa, standar pelaksanaan
Vol . 2, No.1, Desember 2011 T. Reza Zulkarnaen 209-231
227
tugas pada UPPKB mendukung kelancaran
tugas penimbangan kendaraan angkutan
barang dalam rangka pengawasan dan
pengendalian muatan lebih, walaupun
masih terdapat petugas UPPKB yang
tidak melaksanakan sepenuhnya pedoman
tersebut.
C. Hambatan-Hambatan
Jembatan timbang/ UPPKB yang
merupakan warisan pemerintah pusat ke
provinsi sejalan dengan pelaksanaan
otonomi daerah memiliki banyak
kelemahan, diantaranya letak lokasi
penimbangan yang tidak sesuai dengan
tata ruang dan wilayah, luas lahan dan
peralatan penimbangan yang sudah usang
dibandingkan dengan kemajuan teknologi
perangkutan, keadaan tersebut tentunya
menghambat kelancaran pelaksanaan tugas
jembatan timbang/ UPPKB.
Penerapan kebijakan pengawasan
dan pengendalian muatan bermaksud
untuk menghindarkan kerusakan jalan
serta jembatan yang berarti pula
meningkatkan keselamatan dan
kenyamanan pengguna jalan lainnya.
Hendaknya pembuat kebijakan tersebut
mengantisipasi berbagai kekurangan yang
dimiliki UPPKB yang dapat menghambat
implementasi kebijakan itu sendiri.
Berdasarkan pengamatan penulis pada
kedua UPPKB objek penelitian, terlihat
bahwa pelanggaran kelebihan muatan tetap
terus terjadi dan petugas sepertinya tidak
memiliki kemampuan atau kemauan untuk
mengambil tindakan. Melalui wawancara
yang penulis lakukan terhadap para
pelaksana tugas UPPKB diperoleh
keterangan tentang alasan tidak
terlaksananya kebijakan pengawasan dan
pengendalian muatan lebih di UPPKB
yakni :
1. Kurangnya fasilitas pendukung
pelaksanaan kebijakan seperti gudang
dan lapangan penumpukan.
2. Banyaknya angkutan yang dilindungi
oleh oknum aparat bersenjata, sehingga
mengancam keselamatan jiwa para
petugas dalam pelaksanaan kebijakan.
3. Tidak adanya peraturan yang
memberikan kewenangan kepada
jembatan timbang untuk memungut
denda langsung kepada pelanggar
kelebihan muatan sampai dengan batas
faktor keselamatan yakni 25 % dari
jumlah berat yang diizinkan sesuai
amanat kebijakan pengawasan dan
pengendalian muatan lebih tersebut,
sehingga angkutan barang yang
melanggar ketentuan muatan dibawah
ketentuan tersebut tidak dapat diambil
tindakan apapun dalam rangka
penanganan muatan lebih karena tidak
ada peraturannya.
4. Masih adanya petugas yang secara
sembunyi melanggar ketentuan
pelaksanaan tugas yang telah
ditetapkan.
Pernyataan para pelaksana tugas
tersebut menyiratkan bahwa terdapat
hambatan hambatan dalam pelaksanaan
tugas di UPPKB. Melalui studi
dokumentasi terhadap rencana
pembangunan jangka pendek dan
menengah Dinas Perhubungan Provinsi
Sumatera Utara, tidak terlihat rencana dan
program kegiatan pembangunan UPPKB
yang sesuai dengan kebijakan yang
ditetapkan. Melalui pengamatan langsung
di UPPKB terlihat dengan jelasnya para
petugas UPPKB mengabaikan prosedur
dan tata kerja penimbangan, keadaan
tersebut berlangsung secara terbuka atau
terang-terangan. Begitu rendahnya moral
dan komitmen petugas UPPKB dalam
pelaksanaan tugas, sehingga dapat
dipastikan bahwa perubahan terhadap
kondisi dan perilaku para pelaksana
jembatan timbang di Provinsi Sumatera
Utara belum akan berubah dalam waktu
dekat. Keadaan tersebut akan membawa
dampak dan dirasakan masyarakat
Sumatera Utara yang menggunakan jalan.
Guna objektifitas penilaian
terhadap alasan tersebut diatas, penulis
mengambil keterangan dari beberapa
pengemudi angkutan barang tentang tetap
beroperasinya angkutan barang bermuatan
lebih, walaupun telah dilaksanakannya
Vol . 2, No.1, Desember 2011 T. Reza Zulkarnaen 209-231
228
kebijakan pengawasan dan pengendalian
muatan lebih, dengan hasil sebagai
berikut:
1. Tingginya harga bahan bakar minyak
menyebabkan meningkatnya biaya
operasional angkutan, sehingga setiap
angkutan harus membawa muatan
lebih untuk menutupinya.
2. Meningkatnya jumlah perusahaan
angkutan dan persaingan harga ongkos
angkut menyebabkan muatan yang
dibawa harus melebihi ketentuan yang
diizinkan walaupun memperpendek
usia operasional kendaraan.
3. Rendahnya denda terhadap
pelanggaran kelebihan muatan, karena
denda tilang yang dikeluarkan oleh
pengadilan negeri tempat terjadinya
pelanggaran hanya memberikan
hukuman denda paling tinggi Rp.
60.000,- ( enam puluh ribu rupiah )
setiap pelanggaran kelebihan muatan.
4. Masih adanya petugas yang bisa
diajak berdamai untuk tidak
memberikan tindakan apapun terhadap
angkutan bermuatan lebih dengan
imbalan uang dalam jumlah tertentu.
Alasan yang dikemukakan oleh
pengemudi angkutan barang tersebut
menyiratkan bahwa persoalan pemenuhan
kebutuhan hidup dan pemanfaatan
kelemahan hukum serta rendahnya moral
aparatur, menjadi dasar pelanggaran
kebijakan pengawasan dan pengendalian
muatan lebih tersebut Dengan fakta-fakta
yang demikian dapat dipastikan bahwa
kebijakan pengawasan dan pengendalian
muatan lebih tidak akan berjalan
sebagaimana diharapkan pembuat
kebijakan.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari uraian pada bab-bab terdahulu
mengenai implementasi kebijakan
pengawasan dan pengendalian muatan
lebih yang dilaksanakan oleh UPPKB
Dinas Perhubungan Provinsi Sumatera
Utara khususnya pada objek penelitian
yakni UPPKB Aek Batu dan UPPKB
Gebang diperoleh kesimpulan sebagai
berikut :
1. Bahwa untuk mendukung kelancaran
pelaksanaan tugas pengawasan dan
pengendalian muatan, Dinas
Perhubungan Sumatera Utara telah
menetapkan organisasi dan tata kerja
UPPKB. Penetapan tata kerja yang
disesuaikan dengan standar
pelaksanaan penimbangan menurut
ketentuan Keputusan Menteri
Perhubungan Nomor 5 Tahun 1995
tentang Penyelenggaran Penimbangan
Kendaraan Bermotor, merupakan
langkah yang tepat untuk
menggerakkan organisasi menuju
perwujudan visi dan misi organisasi.
2. Kebijakan Menteri Perhubungan
menetapkan bahwa pengawasan dan
pengendalian muatan lebih dilakukan
dengan mempedomani Surat Edaran
Direktur Jenderal Perhubungan Darat
Nomor SE. 01/ AJ. 307/ DRJD/ 2004
tentang Pengawasan dan Pengendalian
Muatan Lebih, memiliki beberapa
kelemahan yang dapat menghambat
implementasinya seperti :
2.1. Batas pelanggaran muatan yang
dapat ditindak menurut surat
edaran tersebut adalah 25 %
sedangkan Keputusan Menteri
Perhubungan Nomor 5 Tahun
1995 tentang Penyelenggaraan
Penimbangan menetapkan
ketentuan batas muatan lebih
yang diizinkan hanya 5 % dari
daya angkut. Adanya perbedaan
ketentuan batas muatan tersebut
memperlihatkan pertentangan
kebijakan yang berarti kebijakan
tersebut tidak jelas dan
menimbulkan interpretasi yang
berbeda-beda oleh pelaksananya.
2.2. Kebijakan pengawasan dan
pengendalian muatan lebih
tersebut tidak diikuti dengan
kesiapan sumber-sumber yang
meliputi kelengkapan sarana dan
prasarana UPPKB. UPPKB Aek
Batu dan UPPKB Gebang hanya
Vol . 2, No.1, Desember 2011 T. Reza Zulkarnaen 209-231
229
memiliki gedung operasional
dan alat penimbangan sedangkan
alat kelengkapan lain seperti
lapangan penumpukan barang ,
gudang penyimpanan, gedung
generator set dan alat-alat
penurunan muatan seperti yang
dipersyaratkan kebijakan tersebut
tidak ada.
2.3. Organisasi dan tata kerja UPPKB
yang ditetapkan Dinas
Perhubungan Provinsi Sumatera
Utara yang didukung oleh jumlah
petugas yang cukup besar, tetapi
jumlah petugas yang memiliki
kualifikasi teknis khusus untuk
bertugas di UPPKB masih
kurang. Terdapat hanya 177
petugas UPPKB dari 725 petugas
UPPKB yang memiliki
kualifikasi teknis PPNS, Penguji
maupun Operator Jembatan
Timbang.
2.4. Terdapatnya kecenderungan-
kecenderungan penolakan
pelaksanaan kebijakan
pengawasan dan pengendalian
muatan lebih, baik oleh petugas
UPPKB dengan alasan tidak
tersedianya sarana dan prasarana
pendukung kegiatan di UPPKB
membuat pelaksanaan kebijakan
tersebut terhambat, maupun dari
pengemudi angkutan barang
dengan alasan biaya operasional
angkutan yang tinggi membuat
operator angkutan harus memuat
barang melebihi ketentuan yang
diizinkan.
2.5 Rendahnya moral dan komitmen
petugas UPPKB yang tercermin
dari pendapat para pengemudi
angkutan barang yang
menyatakan bahwa pelaksanaan
prosedur penimbangan kendaraan
masih terdapat perbedaan
disetiap UPPKB dan
dimanfaatkan untuk melakukan
pungutan tidak resmi.
3. Pertentangan materi kebijakan,
keterbatasan sarana dan prasarana,
kekurangan kompetensi sumber daya
manusia ditambah dengan pola
penempatan petugas yang
berkualifikasi tersebut dilakukan Dinas
Perhubungan secara tidak merata,
perilaku petugas yang tidak
melaksanakan tugasnya sesuai standar
prosedur operasional penimbangan
angkutan barang, dapat disimpulkan
bahwa bahwa implementasi kebijakan
pengawasan dan pengendalian muatan
lebih tidak berjalan dengan sempurna.
B. Saran-Saran
Untuk menciptakan tertib muatan
angkutan barang sehingga dapat
mempertahankan kualitas jalan dan
jembatan, diperlukan upaya pengawasan
secara terus menerus. Memperhatikan
kebijakan pengawasan dan pengendalian
muatan lebih dan implementasinya di
UPPKB, penulis memberikan saran
sebagai berikut :
1. Pemerintah harus segera melakukan
perubahan aspek regulasi yang
menyangkut kebijakan pengawasan
dan pengendalian muatan lebih.
Perubahan regulasi yang menjadi
landasan bagi pelaksanaan penegakan
hukum oleh petugas Dinas
Perhubungan di UPPKB meliputi :
1.1. Ketentuan pelanggaran muatan
lebih secara umum harus diatur
dengan Undang-Undang dan
dijelaskan secara lebih teknis
melalui Peraturan Pemerintah.
1.2. Penetapan batas kelebihan muatan
yang dinyatakan bukan
pelanggaran kelebihan muatan.
1.3. Pembakuan standar prosedur
operasional penimbangan angkutan
barang.
1.4. Penetapan standar minimal
UPPKB yang harus disiapkan
pemerintah daerah.
1.5. Penetapan hukuman denda yang
tinggi bagi pelanggar kelebihan
muatan.
Vol . 2, No.1, Desember 2011 T. Reza Zulkarnaen 209-231
230
2. Pemerintah harus melakukan perubahan
aspek administrasi yang meliputi
pembakuan standar kualifikasi usia dan
pangkat/ golongan bagi petugas
UPPKB.
3. Dinas Perhubungan Provinsi Sumatera
Utara harus melakukan evaluasi
terhadap organisasi dan tata kerja pada
UPPKB untuk meningkatkan kinerja,
sekaligus melakukan perbaikan
perilaku petugas sebagai aparat penegak
hukum lalu lintas dan angkutan jalan.
DAFTAR PUSTAKA
Abu bakar, Iskandar , 1999, Rekayasa
Lalu Lintas, Direktorat Bina
Transportasi Lalu Lintas dan
Angkutan Kota, Ditjendat ,
Departemen Perhubungan.
Abu Bakar, Iskandar, 2004, Penataan dan
Pengelolaan Jembatan Timbang,
Departemen Perhubungan.
Agustino, Leo, 2006, Dasar-dasar
Kebijakan Publik, Alfabeta,
Bandung.
Albab, Ulul, 2006, Materi kuliah
kebijakan publik, Universitas Bung
Tomo, Surabaya.
Anwar Pabu Mangkunegara, A.A., 2000,
Manajemen Sumber Daya Manusia
Perusahaan, PT Remaja
Rosdakarya, Bandung,
A.R Mustopadidjaja, 2003, Makalah,
Reformasi Birokrasi Sebagai
Syarat Pemberantasan KKN, Badan
Pembinaaan Hukum Nasional,
Departemen Kehakiman dan Hak
Asasi Manusia R I.
Ashari, Edi Topo dan Fernanda, Desi,
2001, Membangun
Kepemerintahan yang baik,
Lembaga Administrasi Negara
Republik Indonesia, Jakarta.
Asshiddiqie, Jimly, 2006, Penegakan
Hukum, www.solusi hukum.com,
Artikel 49.
Abdul Wahab, Solihin, 1990, Pengantar
Analisis Kebijaksanaan Negara,
Rineke Cipta, Jakarta.
Abdul Wahab, Solihin, 2001, Analisis
Kebijaksanaan: Dari Formulasi ke
Implementasi Kebijaksanaan
Negara, Bumi Aksara, Jakarta.
Badan Pusat Statistik Sumatera Utara,
2006, Sumut Dalam Angka Tahun
2006, BPS Sumut.
Bardach, Eugene, 1991, The
Implementation Game, Cambridge,
Massachusette, MIT Press.
David, Stewart & David, 1980, The
Theory and Practice of Transport,
Heinemann, London.
Dunn, N, William , 1998, Analisis
Kebijakan Publik, Gadjah mada
University Press, Yogyakarta.
Juwana, Hikmahanto, 2006, Penegakan
hukum dalam kajian Law and
Development,www.ui .edu, berita.
Kumorotomo, Wahyudi, 1999, Etika
Administrasi Negara, Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Keban, Yeremias T, 2004, Enam Dimensi
Strategis Administrasi Publik,
Gava Media, Yogyakarta.
LAN-BPKP, 2000, Akuntabilitas dan good
governance, Jakarta.
Lembaga Administrasi Negara Republik
Indonesia, Rencana Strategis 2000-
2004. Jakarta.
Lester, James P and Stewart, Joseph,
2000, Public Policy : An
Evolutionary Approach Wadsworth
( second edition ), Australia.
Naihasy, Syahrin, 2006, Kebijakan Publik,
Menggapai Masyarakat Madani,
Mida Pustaka, Jogjakarta.
Nawawi, Hadari H, 1998, Metode
Penelitian Bidang Sosial, Gadjah
Mada University Press, Jogyakarta.
Riduan, 2003, Dasar-dasar Statistika,
Alfabeta, bandung.
Siagian, Sondang P, 2002, Manajemen
Sumber Daya Manusia, Penerbit
Bumi Aksara, Jakarta.
Singarimbun, Masri dan Effendi, Sofyan,
1995, Metode Penelitian Survei,
PT. Pustaka LP3ES, Jakarta
Siregar, Muchtaruddin, 1990, Beberapa
Masalah Ekonomi dan Manajemen
Vol . 2, No.1, Desember 2011 T. Reza Zulkarnaen 209-231
231
Pengangkutan, LPFE Universitas
Indonesia, Jakarta.
Sugiyono, 2006, Metode Penelitian
Administrasi, Alfabeta, Bandung.
Suharto, Edi, 2006, Modal Sosial dalam
Pembangunan, Makalah pada
Semiloka Kompetensi Sumber
Daya Manusia Kesejahteraan
Sosial, Balai Besar Pendidikan dan
Pelatihan Kesejahteraan Sosial (
BBPPKS ), Banjarmasin 21 Maret
2006.
Sutopo dan Sugiyanto, 2001, Analisis
Kebijakan Publik, Lembaga
Administrasi Negara Republik
Indonesia, Jakarta
Tjokroamidjojo, Bintoro dan Adidjojo,
Mustopa A.R, 1998, Kebijakan
Administrasi Pembangunan,
LP3ES, Jakarta.
UNDP, 1997, Governance For Sustainable
Development- A Policy Document,
New York : UNDP.
Umar, Genius, 2002, Makalah Kebijakan
Transportasi, IPB bogor.
Utomo, Warsito, 2003, Dinamika
administrasi publik, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta.
Wibawa, Samodra, 2005, Reformasi
Administrasi, Gava Media,
Yogyakarta
Winarno, Budi, 2002, Teori dan Proses
Kebijakan Publik, Med Press,
Yogyakarta.
Warpani, Soewardjoko, 2002, Pengelolaan
Lalu Lintas dan Angkutan jalan,
ITB Bandung.
Zulfajri, Em dan Senja , Ratu Aprilia, (
tanpa tahun ),Kamus Lengkap
Bahasa Indonesia, Difa Publisher.
DAFTAR PERATURAN
Undang-Undang Nomor 14 tahun 1992
tentang lalu Lintas Dan Angkutan
Jalan.
Undang-Undang Nomor 38 tahun 2004
tentang jalan.
Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun
1993 tentang Prasarana dan lalu
lintas Jalan.
Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun
2000 tentang Diklat Jabatan PNS.
Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 5
tahun 1995 tentang
Penyelenggaraan Penimbangan
Kendaraan Bermotor Di Jalan
Surat Edaran Direktur Jenderal
Perhubungan Darat atas nama
Menteri Perhubungan Nomor AJ.
108/ 3/ 20/ DRJD/ 2001 tentang
Penentuan Lokasi Jembatan
Timbang, Pengawasan dan
Pengendalian, Standar Teknis
Jembatan Timbang, Pelaksanaan
Operasional, Pemeliharaan dan
pengelolaan Jembatan Timbang.
Surat Edaran Direktur Jenderal
Perhubungan Darat atas nama
Menteri Perhubungan Nomor SE.
01 /AJ. 307/ DRJD/ 2004 tentang
Pengawasan dan Pengendalian
Muatan Lebih