Post on 28-Dec-2019
9
II
KAJIAN KEPUSTAKAAN
2.1. Angkak
Red Mold Rice (RMR) dikenal juga dengan nama hongqu, red yeast rice,
red fermented rice, red koji, red kojic rice atau angkak, adalah fermentasi beras
dimana jamur makanan Monascus purpureusi ditumbuhkan (Shieh, dkk., 2008).
Angkak adalah produk fermentasi yang dihasilkan oleh kapang Monascus
purpureus. Monascus purpureus dapat menghasilkan metabolit sekunder berupa
pigmen. Pigmen angkak memiliki warna yang konsisten dan stabil, dapat
bercampur dengan pigmen alami lainnya dan dengan bahan makanan, tidak
mengandung racun dan tidak karsinogen (Tisnadjaja, 2006).
Ilustrasi 1. Angkak (red fermented rice)
Pada umumnya angkak digunakan untuk mewarnai berbagai produk
makanan seperti produk ikan, daging, anggur, dan minuman beralkohol (Tisnadjaja,
2006). Beberapa contoh produk makanan yang telah menggunakan pewarna merah
angkak adalah anggur, keju, sayuran, pasta ikan, kecap ikan, minuman beralkohol,
10
aneka kue, serta produk olahan daging (sosis, ham, kornet) (Winarno dan Rahayu,
1994).
Proses fermentasi angkak yang dilakukan oleh kapang Monascus purpureus
akan menghasilkan metabolit-metabolit, salah satunya adalah metabolit primer
berupa pigmen warna yang terdiri atas monaskin (C21H26O5) dan ankaflavin
(C23H30O5) sebagai pemberi pigmen kuning, monaskorubrin (C23H30O5) dan
rubropunctatin (C21H22O5) sebagai pemberi pigmen jingga, serta monaskorubramin
(C23H27NO4) dan rubropunctamin (C21H23NO4) sebagai pemberi pigmen merah,
yang merupakan senyawa-senyawa poliketida (Chulyoung, dkk., 2006).
Kestabilan zat warna angkak dipengaruhi oleh suhu, lama pemanasan,
cahaya matahari, pH, reduktor, dan oksidator. Hasil percobaan menunjukkan bahwa
angkak dalam bentuk bubuk lebih tahan terhadap pengaruh suhu dibanding dalam
bentuk pekat dan masih stabil pada pemanasan 100°C selama 1 jam (Mitrajanty,
1994). Stabilitas pigmen angkak dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti sinar
matahari, sinar ultraviolet, pH, suhu, dan oksidator. Pengaruh suhu akan
mengakibatkan zat warna mengalami dekomposisi dan berubah strukturnya
sehingga dapat terjadi pemucatan (Sutrisno, 1987). Beras yang cocok digunakan
sebagai substrat pada pembuatan angkak adalah beras pera, yaitu yang memiliki
kadar amilosa tinggi, dan rendah amilopektin. Suhu optimum untuk pertumbuhan
kapang Monascus purpureus adalah 30ºC, sedangkan pH optimumnya adalah 6,0
(Winarno dan Rahayu, 1994). Komposisi kimia angkak dapat dilihat pada Tabel 1.
11
Tabel 1. Komposisi Kimia Angkak
Kandungan Jumlah
Air 7 – 10% *
Pati 53 – 60% *
Nitrogen 2,4 - 2,6% *
Protein Kasar 15 – 16% *
Lemak Kasar 6 – 7% *
Abu 0,9 – 1% *
Karbohidrat 73,4% **
Serat 0,8% **
Protein Kasar 14,7% **
Kelembaban 6,0% **
Pigmen 0,3% **
Abu 0,24% **
Phosporus 0,02% **
Monacolin 0,4% **
Asam Lemak 2,84% **
Vitamin C 0,03% **
Vitamin A < 70 IU/100g **
Sumber: (*) Su dan Wang (1977).
(**) Ma, dkk. (2000).
Tabel 1 menjelaskan bahwa angkak memiliki kandungan protein yang
cukup tinggi yaitu 15-16%, sehingga diharapkan dapat meningkatkan Daya Ikat Air
(DIA) dan menurunkan susut masak pada kornet daging sapi. Faktor yang
menyebabkan tinggi nilai daya ikat air adalah kandungan air, protein, dan
penggunaan garam (Kramlich, dkk., 1973). Faktor yang mempengaruhi susut
masak salah satunya adalah kandungan protein, dikarenakan semakin tinggi
kandungan protein maka semakin tinggi kemampuan untuk mengikat air sehingga
susut masak semakin rendah. Salah satu metabolit sekunder yang terbentuk selama
proses fermentasi angkak, yaitu senyawa monakolin K, senyawa tersebut memiliki
kesamaan struktur dan fungsi dengan lovastatin. Lovastatin adalah senyawa aktif
yang digunakan secara luas pada obat penurun kolesterol. Senyawa monakolin
12
tersebut memiliki fungsi yang sama dengan senyawa aktif dalam obat penurun
kolesterol dari golongan statin (Endo, 1979). Selain itu saat ini, angkak digunakan
sebagai makanan tambahan (2-8% tergantung berat badan) pada unggas sebagai
bahan diet untuk menghasilkan telur yang berkolesterol rendah (Ma, dkk., 2000).
2.2. Kornet Daging Sapi
Kornet daging sapi (corned beef) adalah produk yang dibuat dari potongan
daging sapi segar atau beku, tanpa tulang, boleh dicampur dengan daging bagian
kepala dan jantung yang memenuhi persyaratan dan peraturan berlaku, dengan atau
tanpa penambahan bahan tambahan pangan yang diijinkan melalui proses curing
dan dikemas dalam wadah kedap udara (hermetis) dan disterilkan (Badan
Standarisasi Nasional, 2006).
Kornet beef adalah makanan yang dibuat dari daging sapi tanpa tulang
(deboned) atau hasil potongan daging yang telah dicincang dan dengan
menambahkan bahan pengawet untuk mempertahankan warna daging yang sudah
mengalami proses penggaraman (curing), agar tampak segar sebelum dikalengkan
(Griffin, 2009). Kandungan zat gizi kornet daging sapi dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Kandungan Zat Gizi Kornet Daging Sapi
Informasi Gizi Kornet Daging Sapi per 100 gram
Energi (kkal) 241,0
Fosfor (mg) 170,0
Lemak (gr) 25,0
Protein (gr) 16,0
Karbohidrat (gr) 0
Vitamin A (SI) 0
Vitamin B1 (mg) 0,01
Vitamin C (mg) 0
Air (gr) 53,0
Kalsium (mg) 10,0
Besi (mg) 4,0
Sumber: Direktorat Gizi Departemen Kesahatan (1992).
13
Tabel 2 menjelaskan bahwa kornet daging sapi per 100 gram memiliki
kandungan protein 16%, lemak 25%, dan air 53%, sehingga kandungan zat gizi
yang cukup tinggi tersebut diharapkan dapat bermanfaat untuk tubuh manusia.
Beberapa zat gizi dapat dibuat oleh tubuh sendiri dan sebagian besar lainnya harus
diperoleh dari makanan yang dikonsumsi sehari-hari, zat gizi yang diperlukan
tubuh terdiri dari karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, dan air (Rizqie,
2001).
2.2.1. Bahan-Bahan untuk Pembuatan Kornet Daging Sapi
a. Daging Sapi
Daging adalah bagian dari hewan potong yang digunakan manusia sebagai
bahan makanan, selain mempunyai tampilan yang menarik selera, juga merupakan
sumber protein hewani berkualitas tinggi (Lawrie, 2003). Daging sapi memiliki
warna merah terang, mengkilap, dan tidak pucat. Secara fisik daging memiliki
tekstur yang elastis, sedikit kaku, dan tidak lembek. Dari segi aroma, daging sapi
berbau khas (gurih) (Deddy, 2009).
Kornet umumnya dibuat dari daging sapi, karena daging sapi merupakan
daging merah (red/ dark meat) yang mempunyai kandungan mioglobin yang cukup
tinggi 0,3 – 1% (Patil, 1991). Masakan atau produk olahan yang memerlukan lemak
seperti kornet, cocok menggunakan daging bagian perut atau flank. Daging perut
(samcan) atau lebih dikenal dengan nama flank adalah bagian daging sapi yang
berasal dari otot perut yang berbentuk panjang dan datar, lemak pada daging bagian
perut cocok untuk membuat masakan yang memerlukan lemak (Nurani, 2010).
Daging merupakan bahan pangan yang penting dalam memenuhi kebutuhan
gizi manusia, karena daging memiliki protein yang tinggi serta terdapat kandungan
asam amino essensial yang lengkap dan seimbang. Keunggulan lain yang dimiliki
14
oleh daging yaitu protein pada daging lebih mudah dicerna dibandingkan dengan
protein nabati (Astawan, 2004).
b. Bumbu-Bumbu
Bumbu-bumbu ditambahkan untuk memberikan cita rasa yang lezat dan
tekstur yang diinginkan dalam suatu produk (Subyantoro, 1996). Penambahan
bahan penyedap dan bumbu terutama ditujukan untuk meningkatkan atau
menambah flavor (Forrest, dkk., 1975). Bahan penyedap dan bumbu misalnya pala
dan bawang mempunyai pengaruh preservatif terhadap produk daging proses
karena menganduk lemak (minyak esensial, substansi yang bersifat bakteriostatik)
(Soeparno, 2009). Gula adalah suatu karbohidrat sederhana karena dapat larut
dalam air dan langsung diserap tubuh untuk diubah menjadi energi (Darwin, 2013).
Garam adalah benda padat berwarna putih berbentuk kristal yang
merupakan kumpulan senyawa dengan bagian terbesar Natrium Chlorida (>80%)
serta senyawa lainnya, seperti Magnesium Chlorida, Magnesium sulfat, dan
Calsium Chlorida. Sumber garam yang didapat di alam berasal dari air laut, air
danau asin, deposit dalam tanah, tambang garam, sumber air dalam tanah
(Burhanuddin, 2001). Komponen-komponen tersebut mempunyai peranan yang
penting bagi tubuh manusia, sehingga diperlukan konsumsi garam dengan ukuran
yang tepat untuk menunjang kesehatan manusia. Konsumsi garam per orang per
hari diperkirakan sekitar 5-15 gram atau 3 kilogram per tahun per orang (Winarno,
1995). Garam selain pemberi rasa juga berfungsi sebagai pelarut protein dan
sebagai pengawet karena dapat menghambat pertumbuhan bakteri (Kramlich,
dkk.,1973).
15
c. Nitrit
Proses curing didefinisikan sebagai penggunaan garam dapur (NaCl) dan
nitrit (NO2-) (bentuk yang direduksi dari nitrat, NO3
-) untuk mengubah secara
kimiawi properti fisik, kimiawi dan mikrobiologis produk daging (Sebranek, 2009).
Nitrit memiliki efek positif yang menguntungkan yang bertanggungjawab untuk
pengembangan warna dan citarasa curing, sumber antioksidan yang kuat untuk
melindungi citarasa dari ketengikan dan beraksi sebagai antimikrobial yang kuat
untuk mengontrol pertumbuhan Clostridium botulinum penghasil toksin botulisme
yang mematikan (Skibsted, 2011). Tidak ada senyawa yang telah ditemukan sampai
saat ini yang dapat menggantikan secara efektif semua fungsi nitrit yang berperan
dalam daging curing (Sebranek, 2009).
Penggunaan nitrat dan nitrit didalam bahan campuran curing daging dapat
dikombinasikan. Namun, nitrat sudah tidak lazim atau dilarang penggunaannya
didalam curing daging, karena nitrit dapat bereaksi dengan cepat selama proses
curing tanpa adanya nitrat (Soeparno, 2009). Kadar nitrit yang diizinkan pada
produk akhir daging proses adalah 200 ppm, sedangkan jumlah nitrat tidak boleh
melebihi 500 ppm (Romans dan Ziegler, 1974).
Konsumsi nitrit yang berlebihan dapat menyebabkan efek samping, karena
nitrit dapat berikatan dengan amino dan amida yang terdapat pada protein daging
membentuk turunan nitrosoamin yang bersifat toksik dan diduga dapat
menyebabkan kanker (Winarno, 1984). Nitrit bersifat toksik bila dikonsumsi dalam
jumlah yang berlebihan. Dosis nitrit yang lebih dari 15-20 mg/kg berat badan bisa
menyebabkan kematian (Forrest, dkk., 1975). Kelebihan nitrit dalam daging cured
(daging peram) dapat menyebabkan daging proses menjadi berwarna hijau dan
16
disebut dengan “terbakar nitrit”, sebaliknya apabila kekurangan nitrit dalam curing
dapat menyebabkan warna pucat atau “warna lemah” (Bard dan Townsend, 1971).
2.3. Curing
Curing daging dapat didefinisikan sebagai penggunaan garam dapur (NaCl)
dan nitrit (bentuk tereduksi dari nitrat) untuk mengubah secara kimiawi sifat fisik,
kimia dan mikrobiologis produk daging (Sebranek, 2009). Secara historis, curing
daging dilakukan terutama untuk mengawetkan daging. Sejak curing daging
berkembang, definisi itu dipahami sebagai penambahan garam, gula, rempah-
rempah dan nitrat atau nitrit untuk membantu dalam cita rasa dan properti
pengawetan (Pegg dan Shahidi, 2008).
Curing daging secara tradisional dikaitkan dengan daging olahan untuk
tujuan mengubah karakteristik warna, tekstur, cita rasa, keamanan dan umur simpan
yang membuat produk ini unik dari produk daging lainnya (Sebranek, dkk., 2001).
Curing memiliki fungsi, yaitu untuk mendapatkan warna yang stabil, aroma,
tekstur, dan kelezatan yang baik, dan untuk mengurangi pengerutan daging selama
prosesing serta memperpanjang masa simpan produk daging. Produk daging yang
diproses dengan curing disebut dengan cured (daging peram) (Soeparno, 2009).
Terdapat berbagai macam bahan curing, yaitu terdiri dari garam, nitrit dan
nitrat, asam askorbat, nitrosamin, dan alkali fosfat. Garam pada konsentrasi yang
cukup berfungsi sebagai: (1) pengawet atau penghambat pertumbuhan mikrobia,
dan (2) penambah aroma dan cita rasa atau flavor (Soeparno, 2009). Nitrit dan nitrat
sebagai garam sodium atau potasium dipergunakan dalam daging cured dengan
tujuan (1) untuk mengembangkan warna daging menjadi merah muda terang
(jambon kemerah-merahan) dan stabil, (2) mempercepat proses curing, (3)
presevatif mikrobial yang mempunyai pengaruh bakteriostatik, dan (4) sebagai
17
agensia yang mampu memperbaiki flavor dan antioksidan (Cast, 1978). Fungsi
asam askorbat dalam curing, antara lain adalah untuk mempertahankan warna
produk daging proses. Nitrosamin adalah senyawa kimia yang dapat memproduksi
kanker (karsinogenik), pembentukan nitrosamin dalam produk daging proses dapat
dicegah jika nitrit tidak ditambahkan didalam campuran produk. Alkali fosfat
berfungsi untuk meningkatkan daya ikat air oleh protein daging, mereduksi
pengerutan daging, menghambat ransiditas oksidatif bersama-sama asam askorbat,
dan dapat memperbaiki tekstur (Soeparno, 2009).
2.4. Sifat Fisik
2.4.1. Daya Ikat Air (DIA)
Daya ikat air oleh protein daging atau water-holding capacity atau water
binding capacity (WHC atau WBC) adalah kemampuan daging untuk mengikat
airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar, misalnya
pemotongan daging, pemanasan, penggilingan, dan tekanan (Soeparno, 2009).
Air yang terikat di dalam otot dapat dibagi menjadi 3 kontemporer air, yaitu
air terikat secara kimiawi oleh protein otot sebesar 4-5% sebagai lapisan
monomolekular pertama. Air terikat agak lemah sebagai lapisan kedua dari molekul
air terhadap grup hidrofilik sebesar kira-kira 4%, dan lapisan kedua ini akan terikat
oleh protein bila tekanan uap air meningkat. Lapisan ketiga adalah molekul-
molekul air bebas diantara molekul protein, berjumlah kira-kira 10%. Jumlah air
terikat (lapisan pertama dan kedua) adalah bebas dari perubahan molekul yang
disebabkan oleh denaturasi protein daging, sedangkan jumlah air terikat yang lebih
lemah yaitu lapisan air diantara molekul protein akan menurun bila protein daging
mengalami denaturasi (Wismer, 1971).
18
Disamping faktor pH, pelayuan dan pemasakan atau pemanasan, daya ikat
air daging juga dipengaruhi oleh faktor lain diantaranya adalah spesies, umur, dan
fungsi otot (Wismer, 1971). Selain itu faktor pakan, transportasi, temperatur,
kelembaban, penyimpanan dan preservasi, jenis kelamin, kesehatan, perlakuan
sebelum pemotongan dan lemak intramuskular (Hamm, 1975).
Daging beku atau daging yang disimpan dalam suhu dingin cenderung akan
mengalami perubahan protein otot, yang menyebabkan berkurangnya nilai daya
ikat air protein otot dan meningkatnya jumlah cairan yang keluar (drip) dari daging
(Anon dan Calvelo, 1980). Semakin tinggi cairan yang keluar dari daging
menunjukkan bahwa nilai daya ikat air oleh protein daging tersebut semakin rendah
(Soeparno, 1998). Penurunan nilai daya mengikat air juga dapat meningkatkan nilai
susut masak (Jamhari, 2000).
2.4.2. Susut Masak
Susut masak adalah perhitungan berat yang hilang selama pemasakan atau
pemanasan pada daging. Pada umumnya, makin lama waktu pemasakan makin
besar kadar cairan daging hingga mencapai tingkat yang konstan. Susut masak
merupakan indikator nilai nutrisi daging yang berhubungan dengan kadar jus
daging yaitu banyaknya air yang terikat dalam dan diantara serabut otot. Jus daging
merupakan komponen dari daging yang ikut menetukan keempukan daging
(Soeparno, 1992). Susut masak merupakan fungsi dari temperatur dan lama
pemasakan. Susut masak dipengaruhi oleh pH, panjang sarkomerserabut otot,
panjang potongan serabut otot, status kontraksi miofibril, ukuran dan berat sampel
daging dan penampang lintang daging (Bouton, dkk., 1971).
Pada umumnya susut masak bervariasi antara 1,5-54,5% dengan kisaran 15-
40%. Sifat mekanik daging termasuk susut masak merupakan indikasi dari sifat
19
mekanik miofibril dan jaringan ikat dengan bertambahnya umur ternak, terutama
peningkatan panjang sarkomer (Bouton, dkk., 1971). Besarnya susut masak dapat
dipergunakan untuk mengestimasikan jumlah jus dalam daging masak, daging
dengan susut masak yang lebih rendah mempunyai kualitas yang relatif lebih baik
dibandingkan daging dengan susut masak yang lebih besar karena kehilangan
nutrisi selama pemasakan akan lebih sedikit (Soeparno, 2009). Daging yang
mempunyai angka susut masak rendah, memiliki kualitas yang baik karena
kemungkinan keluarnya nutrisi daging selama pemasakan juga rendah (Yanti, dkk.,
2008).
2.4.3. Intensitas Warna
Pengujian intensitas warna dilakukan untuk mengukur kepekatan warna
pada produk sehingga menghasilkan warna yang paling diinginkan oleh konsumen.
Warna pada suatu produk dapat diamati secara kuantitatif dengan metode Hunter
yang menghasilkan tiga nilai pengukuran yaitu L, a dan b. Nilai L menunjukkan
tingkat kecerahan sampel. Semakin cerah sampel yang diukur maka nilai L
mendekati 100. Sebaliknya semakin kusam (gelap), maka nilai L mendekati 0. Nilai
a merupakan pengukuran warna kromatik campuran merah-hijau. Nilai b
merupakan pengukuran warna kromatik campuran kuning-biru (Hutching, 1999).
Klasifikasi warna paling penting adalah sistem CIE (Commision
International del’eclairage). Sistem lain yang digunakan untuk mendiskripsikan
warna makanan antara lain sistem munsell, hunter, lovibond (Jhon, 1999). Sistem
Hunter merupakan salah satu sistem warna yang telah luas digunakan untuk
kolorimetri makanan. Dalam sistem hunter warna dibedakan menjadi 3 dimensi
warna. Simbol a untuk dimensi kemerahan dan kehijauan. Simbol b untuk dimensi
kekuningan dan kebiruan. Dimensi warna yang ketiga adalah L (lightness) atau
20
kecerahan. Nilai CIE dapat dikonversi menjadi nilai warna dalam sistem hunter
menjadi L, a, b. Begitu pula sebaliknya nilai L, a, b dapat dikonversi menjadi nilai
CIE X%, Y, Z% (John, 1999).
2.5. Organoleptik
Pengujian organoleptik adalah pengujian yang didasarkan pada proses
penginderaan. Organoleptik yaitu penilaian dan mengamati tekstur, warna, bentuk,
aroma, rasa dari suatu makanan, minuman, maupun obat-obatan (Fitriyono, 2014).
Pengujian organoleptik merupakan cara menilai dengan panca indera, hal ini untuk
mengetahui perubahan maupun penyimpangan pada produk (Hastuti, dkk., 1988).
Kemampuan memberikan kesan dapat dibedakan berdasarkan kemampuan
alat indra memberikan reaksi atas rangsangan yang diterima. Kemampuan tersebut
meliputi kemampuan mendeteksi (detection), mengenali (recognition),
membedakan (discrimination), membandingkan (scalling) dan kemampuan
menyatakan suka atau tidak suka (hedonik) (Saleh, 2004).
Uji organoleptik dilakukan dengan menggunakan penilaian skala hedonik
terhadap parameter warna, aroma, tekstur dan rasa dari produk tersebut (Rahayu,
1998). Pengujian ini dilakukan oleh panelis. Panel adalah satu ataupun sekelompok
orang yang bertugas, untuk menilai sifat atau kualitas benda berdasarkan kesan
subjektif. Penilaian oleh panel adalah berdasarkan kesan subjektif dari para panelis
dengan prosedur sensorik tertentu yang harus dijalani.
Terdapat enam macam panel yang sering digunakan, yaitu pencicip
perorangan (individual expert), panel pencicip terbatas (small expert panel), panel
terlatih (trained panel), panel tak terlatih (untrained panel), panel agak terlatih, dan
panel konsumen atau konsumer panel (Susiwi, 2009). Anggota panel harus
memenuhi persyaratan di antaranya adalah memiliki kepekaan indrawi yang baik,
21
bersedia dan memiliki waktu yang cukup untuk pengujian, berpengetahuan luas
tentang komoditas atau produk yang diuji, serta memiliki kemampuan dan
ketrampilan dasar yang cukup dalam hal prinsip analisis, sistem dan prosedur, serta
kriteria spesifik bahan (produk) (Dwi, dkk., 2010).
Daging mempunyai sifat organoleptik yang dapat berkaitan dengan lima
sifat dasar yaitu rasa (taste), bau (smell), penampilan/warna (sight), kehalusan (feel)
dan kekerasan. Empat rasa dasar yang diidentifikasi dari daging adalah rasa asin,
asam, manis dan pahit (Abustam dan Ali, 2004). Pengukuran bergantung pada
kesan atau reaksi kejiwaan (psikis) manusia dengan jujur, spontan dan murni tanpa
dipengaruhi oleh faktor-faktor dari luar atau kecenderungan (bias), cara ini sudah
banyak digunakan untuk menilai mutu komoditi hasil pertanian dan makanan
(Soekarto, 1985).