Post on 24-Jul-2019
ICASERD WORKING PAPER No. 13
DAYA SAING USAHATANI JAGUNG DI DAERAH ALIRAN SUNGAI BRANTAS
Masdjidin Siregar dan Sumaryanto
September 2003
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian(Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development)Badan Penelitian dan Pengembangan PertanianDepartemen Pertanian
ICASERD WORKING PAPER No. 13
DAYA SAING USAHATANI JAGUNG DI DAERAH ALIRAN SUNGAI BRANTAS
Masdjidin Siregar dan Sumaryanto
September 2003
Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian mengenai hasil penelitian, gagasan ilmiah, opini, pengembangan metodologi, pengembangan alat analisis, argumentasi kebijakan, pandangan ilmiah, dan review hasil penelitian. Penanggung jawab Working Paper adalah Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, dengan Pengelola : Dr. Handewi P. Saliem, Dr. A. Rozany Nurmanaf, Ir. Tri Pranadji MSi, dan Dr. Yusmichad Yusdja. Redaksi: Ir. Wahyuning K. Sejati MSi; Ashari SP MSi; Sri Sunari, Agus Suwito, Kardjono dan Edi Ahmad Saubari. Alamat Redaksi: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Jalan A. Yani No. 70 Bogor 16161, Telp. 0251-333964, Fax. 0251-314496, E-mai : caser@indosat.net.id
No. Dok.023/13/1/03
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian(Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development)Badan Penelitian dan Pengembangan PertanianDepartemen Pertanian
1
DAYA SAING USAHATANI JAGUNG DI DAERAH ALIRAN SUNGAI BRANTAS
Masdjidin Siregar dan Sumaryanto
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi PertanianJl A. Yani No.70 Bogor 16161
ABSTRACT
The major objective of this paper is to analyze the competitiveness of maize production using the data collected from 480 maize farmers in Brantas River Basin. The values of nominal protection coefficient on input (NPCI) and nominal protection coefficient on output (NPCO) indicates that farmers pay more than the shadow prices for tradable inputs and receive less than the shadow price for maize. Nevertheless, maize production in this region has a relatively high competitive advantage and comparative advantage which are shown respectively by the values of Private Cost Ratio (PCR) and domestic resource costs (DRC); both are noticeably lower than one. This conclusion is also supported by the results of break even analysis indicating that maize production in this region remains competitive even if its productivity declines 26-27 percent, or the border price of maize (CIF) decreases 31 percent, or the exchange rate of US dollar to domestic currency decreases 55 percent, ceteris paribus. To improve the competitiveness of maize, it seems that the improvement in seed distribution system, the use of hybrid maize, and elimination of all trade barriers are more feasible to implement than imposing such trade policies as tariff and non tariff barriers.
Key words : competitive advantage, international trade, and efficiency.
ABSTRAK
Tujuan utama makalah ini adalah untuk menganalisis keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif komoditas jagung dengan menggunakan data yang diperoleh dari 480 petani jagung di Daerah Aliran Sungai Brantas. Nilai koefisien proteksi nominal terhadap input (NPCI) dan nilai proteksi nominal terhadap output (NPCO) menunjukkan bahwa petani jagung membayar input tradable lebih mahal dari harga bayangannya dan memperoleh harga jagung yang lebih rendah dari harga bayangannya. Meskipun tanpa proteksi, usahatani jagung di DAS Brantas memiliki daya saing relatif tinggi. Hal ini diperlihatkan oleh nilai rasio biaya finansial (PCR) dan biaya sumberdaya domestik (DRC) yang masing-masing lebih kecil dari satu. Daya saing usahatani jagung yang tinggi ini juga terlihat dari hasil analisis titik impas yang menunjukkan bahwa usahatani jagung di daerah ini masih mempunyai daya saing meskipun produktivitas turun sampai 26-27 persen, atau harga jagung perbatasan (CIF) turun 31 percen, atau nilai tukar dolar terhadap rupiah turun 55 persen, ceteris paribus. Untuk meningkatkan daya saing komoditas jagung maka perbaikan sistem perbenihan, perluasan penggunaan jagung hibrida, dan penghapusan hambatan-hambatan perdagangan nampaknya merupakan langkah yang lebih mungkin dilakukan untuk meningkatkan daya saing komoditas jagung dari pada menciptakan kebijakan perdagangan dalam bentuk hambatan tarif dan non-tarif.
Kata kunci : keunggulan kompetitif, perdagangan internasional, dan efisiensi.
2
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Jagung merupakan salah satu tanaman pangan utama disamping padi dan
kedelai. Bahwa jagung merupakan tanaman pangan kedua setelah padi tidak hanya
terlihat dari segi luas dan produksinya, tetapi juga dari segi pertumbuhan produksinya
yang ternyata tertinggi diantara ketiga tanaman pangan tersebut. Pertumbuhan luas
panen dan produksi jagung yang tinggi tersebut disebabkan karena kebutuhan terhadap
jagung terus meningkat dan teknologi produksi yang relatif maju terutama dalam
penggunaan jagung hibrida (Simatupang, 2002).
Menurut Kasryno (2002), peningkatan kebutuhan terhadap jagung terutama
berasal dari industri pakan ternak yang dalam periode 1982-2001 tumbuh dengan laju 8
persen per tahun. Pertumbuhan ayam ras dan petelor dalam periode tersebut berturut-
turut adalah 13 persen dan 5,5 persen per tahun Sebelum tahun 1976 Indonesia
mengekspor lebih banyak dari mengimpor jagung (net exporter), tetapi kemudian
menjadi net importer jagung sejak tahun 1977 sampai sekarang. Net import jagung
semakin besar dari tahun ke tahun karena perkembangan indusrtri pakan yang pesat
terutama sejak tahun 1990.
Pemerintah Indonesia pada saat ini tidak melakukan intervensi dalam bentuk
hambatan tarif atau kuota terhadap komoditas jagung sehingga dapat dikatakan bahwa
komoditas jagung diperdagangkan secara bebas. Perdagangan bebas dapat
menimbulkan masalah kalau komoditas jagung Indonesia tidak mampu bersaing di
pasar dunia. Secara teoritis, keunggulan kompetitif suatu komoditas merupakan
resultante dari berbagai faktor termasuk (i) keadaan pasar jagung dunia, (ii) struktur,
perilaku, dan keragaan pasar jagung dalam negeri, dan (iii) kebijakan pemerintah. Atas
dasar pertimbangan bahwa keberhasilan pengembangan komoditas di suatu wilayah
antara lain tergantung pada keberhasilan dalam mempertimbangkan faktor-faktor
tersebut, maka seperangkat data dan informasi dari hasil penelitian dibutuhkan untuk
kebijakan pengembangan komoditas jagung Indonesia.
Tujuan Penelitian
Tujuan utama makalah ini adalah untuk mengestimasi efisiensi teknis yang
dapat dicapai termasuk bagaimana sebaran tingkat efisiensi diantara petani jagung di
DAS Brantas. Sebelum membahas tujuan tersebut, makalah ini menyajikan deskripsi
3
usahatani jagung di lokasi penelitian petani. Deskripsi tersebut mencakup penguasaan
lahan, pola tanam, penggunaan input, serta biaya dan penerimaan produksi jagung.
METODE PENELITIAN
Kerangka Pemikiran
Untuk waktu mendatang, setiap komoditas pertanian akan menghadapi
persaingan yang semakin ketat karena perdagangan antar negara cenderung menjadi
semakin bebas. Karena itu analisis keunggulan komparatif setiap komoditas pertanian
menjadi semakin penting untuk melihat kemungkinan apakah produksi komoditas di
dalam negeri dapat bertahan untuk memenuhi permintaan dalam negeri atau sebagai
substitusi impor atau untuk promosi ekspor. Untuk menjawab hal itu, Matriks Analisis
Kebijakan (PAM) yang diusulkan oleh Monke dan Pearson (1989) dapat memberikan
kerangka analisis yang komprehensif.
Pada dasarnya analisis keunggulan komparatif berupaya mencari apakah
harga-harga input dan output yang berlaku terdistorsi oleh struktur pasar dan atau oleh
kebijakan pemerintah berupa subsidi, pajak, kebijakan harga dan sebagainya. Untuk itu
diperlukan estimasi harga bayangan (shadow prices), yaitu harga yang terjadi apabila
semua distorsi tersebut tidak ada. Harga bayangan barang-barang yang dapat
diperdagangkan biasanya diperhitungkan dari harga batas (border price) berupa FOB
atau CIF ditambah dengan biaya transpor dan penanganan sampai titik tertentu,
misalnya sampai ke tingkat petani. Kalau harga bayangan ini berbeda dengan harga
yang berlaku (harga finansial) maka timbul pertanyaan tentang distorsi mana yang
membuat perbedaaan itu.
Perbedaan antara harga finansial (harga privat) dan harga bayangan (harga
sosial) mungkin disebabkan oleh distorsi struktur pasar (seperti monopoli), tapi mungkin
pula disebabkan oleh kebijakan pemerintah atau kedua-duanya bekerja bersama-sama.
Karena itu pengaruh kebijakan pemerintah (seperti subsidi, pajak, kebijakan harga, dll)
terhadap harga perlu ditelaah, sedangkan struktur pasar dapat ditelaah melalui
pendekatan Structure, Conduct dan Performance atau SCP (lihat Cave, 1987; Dahl,
1977).
Struktur pasar (market structure) dapat dipelajari dari perilaku pasar (market
conduct) dan kinerja pasar (market performance). Perilaku pasar adalah hubungan
agregat antar semua pembeli dan atau semua penjual, sedangkan kinerja pasar adalah
4
hasil dari hubungan agregat tersebut. Struktur pasar input yang oligopolis misalnya
cenderung merugikan petani karena harga pada struktur pasar tersebut cenderung lebih
tinggi dari harga pada pasar bersaing sempurna. Jika jumlah penjual relatif banyak dan
setiap penjual tidak dapat menciptakan keuntungan berlebihan (economic rent) maka
pasar tersebut dapat dikatakan bersaing sempurna dan ini berarti struktur pasar tersebut
tidak merugikan petani. Dengan analogi serupa, struktur pasar output yang oligopsonis
juga cenderung menekan harga output yang merugikan produsen.
Struktur pasar input bahan (material inputs) seperti pupuk dan pestisida serta
struktur pasar jagung terlihat mendekati pasar sempurna dengan pengertian bahwa
jumlah pedagang input dan output tersebut cukup banyak pada setiap tingkatan
pemasaran sampai ke tingkat desa. Ini berarti bahwa kalau terjadi distorsi maka distorsi
tersebut lebih banyak bersumber dari kebijakan pemerintah, misalnya dalam bentuk
pajak pertambahan nilai.
Metode Analisis
Analisis efisiensi finansial (keunggulan kompetitif) dan efisiensi ekonomis
(keunggulan komparatif) serta dampak perubahan kebijakan pemerintah terhadap
sistem komoditas dalam tulisan ini dilakukan melalui kerangka kerja Matrik Analisis
Kebijakan (PAM) yang dikembangkan oleh Monkey and Pearson (1995). Dalam tulisan
ini, PAM didasarkan pada asumsi-asumsi sebagai berikut: (1) Harga pasar yang berlaku
dipergunakan untuk analisis finansial; (2) harga bayangan yang dipandang
mencerminkan kelangkaan sumberdaya digunakan untuk analisis ekonomis; (3) input
yang dapat diperdagangkan (tradable) dapat didekomposisikan menjadi input tradable
dan faktor domestik (domestic factors); dan (4) eksternalitas positif dan negatif dianggap
saling meniadakan.
Penyusunan PAM dilakukan melalui empat langkah: (i) mengumpulkan data
lengkap tentang input dan output; (ii) mengestimasi harga bayangan (shadow prices)
input dan output; (iii) memisahkan biaya-biaya ke dalam komponen domestik and
tradable; and dan (iv) menghitung serta menganalisis semua indikator dalam PAM.
Karena itu, pemisahan semua biaya kedalam komponen domestik dan Tradable serta
pengestimasian harga bayangan perlu dibahas lebih lanjut.
Ada dua pendekatan dalam pengalokasikan biaya ke dalam komponen asing
dan domestik, yaitu pendekatan total dan pendekatan langsung (Pearson et al., 1976).
5
Di dalam pendekatan total, setiap biaya input dipecah menjadi biaya asing dan
domestik, sedangkan di dalam pendekatan langsung, semua input tradable (yang
diimpor atau domestik) dipandang sebagai komponen biaya asing. Pendekatan total
lebih tepat digunakan untuk mengevaluasi dampak ekonomi dari kebijakan proteksi yang
diberikan pemerintah, sedangkan pendekatan langsung dipergunakan jika harga-harga
input tradable dipengaruhi oleh perdagangan internasional. Karena itu untuk tulisan ini
dipergunakan pendekatan langsung terutama karena proteksi terhadap input dan output
relatif kecil.
Untuk setiap keluaran dan masukan ditetapkan dua kelompok harga yaitu
harga riil di pasar dan harga bayangan. Harga bayangan merupakan harga yang terjadi
dalam keadaan persaingan sempurna dan keseimbangan (Harberger, 1972; Little dan
Mirrlees, 1974; Squire dan Van Der Tak, 1975; Sugden dan Williams, 1978;
Gittinger,1982; Schmid, 1989). Karena harga pasar sering tidak mencerminkan biaya
imbangan atau harga sosial maka penyesuaian perlu dilakukan untuk memperoleh
harga sosial.
Perhitungan harga bayangan dalam penelitian ini mengikuti penyesuaian
seperti yang dilakukan oleh Gittinger (1986). Harga bayangan secara umum ditentukan
dengan mengeluarkan distorsi akibat kegagalan pasar dan akibat kebijakan pemerintah
(seperti subsidi, pajak, penentuan upah minimum, kebijakan harga dan lain-lain). Dalam
penelitian ini, harga bayangan komoditas yang diperdagangkan didekati dengan harga
batas (border price). Untuk komoditas yang selama ini di ekspor digunakan harga f.o.b.
(free on board) dan untuk komoditi yang di impor digunakan harga c.i.f (cost insurance
and freight). Selanjutnya dilakukan penyesuaian di tingkat mana analisis dilakukan
dengan meperhitungkan biaya transpor, penanganan dan pengolahan.
Harga bayangan tradable goods pada umumnya dapat ditarik dari harga-
harga batas (border prices) dengan memperhitungkan semua biaya pengangkutan,
pananganan dan pengolahan serta meniadakan semua distorsi sebagai akibat dari
kebijakan pemerintah (seperti pajak, subsisdi, dan kebijakan harga). Di dalam kerangka
kerja PAM, setiap input dapat dikelompokkan ke dalam barang yang dapat
diperdagangkan (tradable goods) dan faktor domestik (non-tradable goods). Tradable
goods adalah barang-barang yang dapat diperdagangkan di pasar internasional,
sedangkan faktor domestik tidak dapat diperdagangkan di pasar internasional. Menurut
Kadariah (1978) dalam Zulaiha (1997), yang disebut dengan Tradable goods adalah
6
barang yang: (i) barang-barang yang diimpor atau diekspor; (ii) semua subsitusi barang-
barang yang diimpor atau diekspor; (iii) semua barang yang dilindungi tetapi
kenyataannya dapat diperdagangkan di pasar internasional.
Harga bayangan beberapa faktor produksi domestik seperti lahan dan tenaga
kerja dalam tulisan ini dianggap sama dengan harga yang berlaku (harga finansial)
karena tidak ada kebijakan pemerintah yang mendistorsi pasar dan pasar faktor
produksi lahan dan tenaga kerja dipandang cukup bersaing sempurna. Harga bayangan
komoditas jagung ditarik dari harga FOB menjadi harga CIF, kemudian dikonversikan ke
rupiah, ditambah dengan bea masuk, biaya prosesing, biaya penanganan dan transpot
sampai ke tingkat petani.
Harga bayangan pupuk ditarik dari harga batas (FOB atau CIF). Meskipun
sibsidi pupuk dan pestisida masing-masing telah dihapuskan pada Desember 1998 dan
Januari 1999, namun harga bayangan pupuk TSP, SP-36, KCL dan ZA masih lebih
rendah dari harga finansialnya, hal ini menunjukkan masih ada ruang untuk
memperbaiki effisiensi pemasaran pupuk-pupuk tersebut. Pemasaran pupuk urea
nampaknya sudah lebih efisien karena harga bayangan urea mendekati harga yang
berlaku.
Jasa traktor dan pompa irigasi dirinci menjadi beberapa komponen, yaitu
komponen traktor/pompa, bahan bakar, pelumas dan suku cadang (sebagai komponen
tradable) dan tenaga mekanik dan operator (sebagai komponen domestik). Harga
bayangan traktor/pompa per hektar diestimasi melalui capital recovery factor yang
ditarik dari harga FOB.
Semua benih, pupuk dan pestisida dianggap sebagai komponen trabable,
sedangkan lahan dan tenaga kerja dipandang sebagi komponen domestik. Modal kerja
juga dipandang sebagai komponen domestik dengan suku bunga finansial sebesar 25
persen per tahun dan suku bunga bayangan (shadow interest rate) sebesar 20 persen
per tahun.
Tabel 1. Policy Analisys Matrix (PAM) yang Digunakan Untuk Analisis
BiayaUraian
Penerimaankotor
(Gross Returns)Input
tradableFaktor
domestik
Penerimaanbersih
(Profits)Harga Privat A B C DHarga Sosial E F G HPerbedaan I J K L
Keterangan: I = A – E; J = B – F; K = C – G; L = D – H.
7
Matrik Analysis Kebijakan (Tabel 1) dapat memberikan informasi tentang
profitabilitas, daya saing (keunggulan kompetitif), efisiensi ekonomi (keunggulan
komparatif) suatu komoditas serta dampak kebijakan pemerintah terhadap sistem
komoditi tersebut. Dari informasi pada tabel PAM di atas berbagai indikator dapat
dianalisis sebagai berikut : (1) Analisis Keuntungan atau Private Profitability (PP): D = A
– (B + C); (2) Analisis Keuntungan Sosial atau Social Profitability (SP): H = E – (F + G);
(3) Analisis Efisiensi Finansial (Keunggulan Kompetitif) dengan indikator Private Cost
Ratio (PCR) = C/(A – B); (4) Analisis Efisiensi Ekonomis (Keunggulan Komparatif)
dengan indikator Domestic Resource Cost Ratio (DRCR) = G / (E – F); (5) Output
Transfer : OT = A – E; (6) Nominal Protection Coefficient on Tradable Output : NPCO =
A / E; (7) Transfer Input : IT = B – F; (8) Nominal Protection Coefficient on Tradable
Input : NPCI = B / F; (9) Factor Transfer: FT = C – G; (10) Effective Protection
Coefficient : EPC = (A – B) / (E – F); (11) Net Transfer : NT = D – H; (12) Profitability
Coefficient: PC = D / H; dan (13) Subsidy Ratio to Producer : SRP = L / E.
Setelah daya saing suatu komoditas diketahui, pertanyaan berikutnya adalah
dalam keadaan yang bagaimana komoditas tersebut masih (atau akan) mempunyai
daya saing. Pertanyaan tersebut tidak mudah untuk dijawab karena terlalu banyak faktor
yang mempengaruhi daya saing suatu komoditas. Sampai batas-batas tertentu analisis
titik impas dapat membantu seperti analisis titik impas produktivitas, titik impas harga
dunia (harga perbatasan), dan titik impas nilai tukar dolar terhadap rupiah. Perlu diingat
bahwa dalam analisis titik impas berikut ini faktor-faktor lain diasumsikan tetap (ceteris
paribus). Perhitungan ketiga titik impas tersebut dapat dilakukan dengan perumusan
berikut ini (lihat juga Ward, 1993 dalam Simatupang, 2002).
Pendapatan bersih (profit) dapat didefinisikan sebagai:
i
nifXfQ TCXPQP .. .. ......................................................................(1)
Dimana:
= Pendapatan bersih
fQP . = Harga output pada tingkat petani
Q = Output
fXP . = Harga input tradable ke-i
iX = Jumlah input tradable ke-i
nTC = Total biaya domestik
8
Titik impas dicapai kalau ruas kiri (pendapatan bersih) dari persamaan (1)
sama dengan nol. Kalau ruas kiri sama dengan nol, kemudian ruas kanan dan ruas kiri
masing-masing dibagi dengan Q maka diperoleh persamaan berikut ini:
i
nixfXfQ ACAPP ... .0 ......................................................................(2)
Dimana:
ixA . = koefisien input-output (tradable)
nAC = Biaya domestik per satuan output
Harga-harga paritas input dan output di tingkat petani adalah sama dengan
harga dunia (batas) ditambah dengan pajak dan marjin pemasaran. Kalau nisbah pajak
dan nisbah margin pemasaran masing-masing terhadap harga batas adalah (t) dan (m),
maka harga-harga paritas input dan output di tingkat petani adalah:
BQQQfQ PmtP .. ).1( .............................................................................(3)
BiXiXiXfX PmtP ..... ).1( .......................................................................(4)
Dimana:
BQP . = Harga dunia (harga batas) output
BiXP .. = Harga dunia (harga batas) input tradable ke-i
Dengan mensubstitusikan persamaan (3) dan (4) ke persamaan (2) maka titik
impas harga jagung dunia ( BQP . ) dan nilai tukar mata uang (ER) jagung dapat dihitung
dengan rumus sebagai berikut:
.........(5)
].).1().1.[(/ ...... ixBiXiXiXBQQQn APmtPmtACER .......... ........(6)
Titik impas produktivitas per Ha (Q ) dapat diestimasi dengan rumus:
fQPTCQ ./ ............................................................................................(7)
Dimana:
TC = Total biaya (tradable dan domestik faktor)
Sumber Data
Data yang dipergunakan dalam makalah ini adalah data yang dikumpulkan
pada tahun 2000 dalam penelitian "Irrigation Investment, Fiscal Policy, and Water
.).1.(/]...).1([ ...... ERmtERAPmtACP QQixi
BiXiXiXnBQ
9
Resource Allocation in Indonesia and Vietnam" 1. Jumlah petani contoh dalam penelitian
ini adalah 480 yang berada di 12 blok tertier (3 blok di hulu, 5 blok di tengah, dan 4 blok
di hilir) di daerah aliran sungai (DAS) Brantas. Untuk memperoleh petani contoh yang
dapat mewakili populasi, pemilihan 40 petani contoh pada masing-masing blok tertier
dilakukan berdasarkan stratified random sampling dari sebaran luas sawah garapan (L)
populasi petani sebagai berikut:
Strata 1 (sempit) L StDAvg 21
Strata 2 (sedang) StDAvgLStDAvg 21
21
Strata 3 (luas) L StDAvg 21
Avg: rataan luas sawah garapan; StD: standar deviasi
HASIL PENELITIAN
Pola Tanam dan Luas Garapan
Usahatani jagung di daerah persawahan di DAS Brantas umumnya dilakukan
pada musim tanam kedua dan ketiga. Pola tanam di daerah ini cukup beragam, tetapi
pola tanam yang terluas adalah padi-padi-kedele (20%), padi-padi-bera (17%), padi-padi
jagung (13%) dan padi-jagung-jagung (6%). Luas hamparan dengan pola tanam padi-
padi-padi adalah 4 persen, sedangkan tebu 3 persen. Usahatani tebu umumnya
dilakukan di persil-persil lahan yang relatif lebih luas dari rata-rata. Pola tanam tidak
hanya tergantung pada ketersediaan air irigasi tetapi juga tergantung pada fakto-faktor
lain seperti ketersediaan sarana produksi, tenaga kerja, modal, dan tentu saja harapan
petani mengenai arus pendapatan.
Sekitar 23 persen rumah tangga petani tidak memiliki sawah dan memperoleh
garapan dengan cara menyewa dan atau menyakap lahan sawah milik orang lain
(sistem bagi hasil). Nilai sewa lahan sawah bervariasi tergantung produktivitas dan kelas
lahan. Rataan sewa lahan adalah Rp. 4,8 juta/ha/tahun dengan kisaran antara Rp 3,4 –
5,6 juta/ha/tahun. Sistem penyewaan juga beragam , ada yang per musim, per tahun,
bahkan ada pula yang menyewa (menyewakan) lahan sawahnya untuk jangka waktu
1 Kolaborasi penelitian antara IFPRI, Puslitbang Sosek Pertanian, Kimpraswil, dan Jasa Tirta.
10
lebih dari dua tahun (jual tahunan). Pada sistem bagi hasil, yang terbanyak dipraktekkan
adalah sistem "maro" (1:1). Dalam sistem ini, penggarap menanggung 100 persen biaya
tenaga kerja dan 50 persen biaya sarana produksi lainnya. Pada saat panen, setelah
bagian hasil (kompensasi) untuk sarana produksi disisihkan dan dikembalikan kepada
masing-masing pihak yang mengeluarkannya kemudian produksi dibagi dua.
Walaupun transaksi persewaan ataupun bagi hasil dalam penggunaan sawah
banyak dilakukan, rata-rata luas garapan petani tidak berbeda jauh dengan gambaran
pemilikan karena polarisasi dalam pemilikan tanah tidaklah ekstrim (Tabel 2). Rata-rata
luas sawah garapan kurang dari 0,5 hektar dan bervariasi antar musim tanam, yaitu 0,43
hektar pada Musim Hujan (MT-I), 0,41 hektar pada Musim Kemarau I (MT-II), dan 0,36
hektar pada MK-II (MT-III).
Salah satu indikator intensitas tanam yang sering dipakai adalah Indeks
intensitas tanam (Cropping Index – CI). Hasil analisis menunjukkan bahwa rataan
agregat CI di areal pesawahan DAS Brantas adalah sekitar 260 persen. CI tertinggi
dicapai petani di Sub DAS Tengah, sedangkan yang terendah di Sub DAS Hilir. Angka
ini tidak jauh berbeda dengan CI pada tahun 1994–1996 dengan kisaran 257–264
sebagaimana dilaporkan oleh Nippon Koei (1998). Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa secara umum CI di areal pesawahan DAS Brantas relatif stabil pada angka
sekitar 260.
Tabel 2. Rata-rata Penguasaan Sawah Garapan Menurut Kelompok Pemilikan Sawah di Daerah Persawahan DAS Brantas, 1999/2000*).
Jumlah petani Sawah milik Rataan luas garapan (Ha)Kelompok luas sawah
milik (Ha) n %Jumlahpersil
Rataan luas (Ha)
MT-I MT-II MT-III
0 111 23,1 - - 0,34 0,34 0,28
0 < L =< 0,5 257 53,5 1,7 0,26 0,32 0,31 0,27
0,5 < L =< 1,0 85 17,7 3,5 0,65 0,60 0,55 0,45
L > 1,0 27 5,6 4,3 1,56 1,35 1,29 1,27
Rataan (480) (100) 1,9 0,34 0,43 0,41 0,36
Biaya dan Keuntungan Finansial dan Sosial
Seperti pada persamaan (1) diatas, pendapatan bersih usahatani biasanya
didefinisikan sebagai penerimaan kotor dikurangi jumlah biaya. Masalah yang muncul
11
dalam definisi ini biasanya terletak pada definisi jumlah biaya, sedangkan pendapatan
kotor tidak lain dari nilai produksi atau sama dengan jumlah produksi dikalikan dengan
harganya. Masalah definisi tentang biaya tersebut dapat dipecahkan dengan
memberikan tiga macam definisi mengenai penerimaan bersih sebagai berikut:
(i) Penerimaan bersih bagi sumberdaya keluarga petani pemilik penggarap (returns to
household family resources), yaitu nilai produksi dikurangi semua biaya tunai
(pembelian benih, pupuk, pestisida/herbisida, sewa alat pertanian, tenaga kerja
luar keluarga dan bunga modal kerja). Bunga modal kerja dianggap sebagai unsur
biaya karena banyak petani pemilik penggarap meminjam modal kerja dari
berbagai sumber, walaupun sebagian petani menggunakan dana sendiri yang
bukan berasal dari pinjaman tetapi berupa tabungan dari hasil panen yang lalu.
Tenaga kerja keluarga dan sewa lahan tidak dianggap sebagai komponen biaya
dalam definisi ini.
(ii) Penerimaan bersih untuk keluarga petani penyewa lahan (returns to tenant).
Dalam hal ini, sewa lahan menjadi satu komponen biaya. Dengan demikian bunga
modal kerja dalam definisi ini termasuk bunga untuk sewa lahan disamping bunga
untuk biaya tunai lainnya. Seperti pada (i), tenaga kerja keluarga dan sewa lahan
tidak dianggap sebagai komponen biaya dalam definisi ini.
(iii) Penerimaan bersih untuk petani pengelola (returns to management). Semua input
termasuk tenaga kerja dalam keluarga dan sewa lahan diperhitungkan sebagai
komponen biaya. Dengan demikian komponen bunga modal kerja dalam hal ini
adalah bunga modal kerja semua input, kecuali tenaga petani sebagai pengelola
Pada kenyataannya, petani pengelola yang membayar semua input kecuali
tenaganya sebagai pengelola hampir tidak pernah dijumpai. Meskipun demikian,
analisis seperti ini diperlukan untuk dapat memperjelas apakah usahatani jagung
yang akan menguntungkan atau tidak kalau semua input dibayar.
Pada definisi tersebut diatas petani penyewa lahan dan petani pengelola
diasumsikan menggunakan teknologi dan input yang sama dengan pemilik penggarap.
Dengan definisi tersebut diatas, Tabel 3 memperlihatkan bahwa dari segi privat
(finansial) produksi jagung di DAS Brantas relatif menguntungkan petani pemilik
penggarap dengan pendapatan bersih sekitar Rp 2,5 juta per hektar untuk masing-
masing musim MT-II dan MT-III. Pendapatan bersih finansial petani penyewa dan
pengelola berturut-turut sekitar Rp1,9 juta per hektar dan Rp1,3 juta per hektar pada
12
masing-masing musim tanam. Petani penyewa harus membayar biaya tambahan
berupa sewa, sementara petani pengelola membayar sewa lahan serta semua tenaga
kerja dan dengan demikian membayar bunga modal kerja lebih besar lagi jika
dibandingkan dengan pemilik penggarap atau penyewa. Karena rataan luas garapan
ketiga status garapan tersebut sekitar 0,4 hektar (Tabel 1) maka pendapatan bersih
keluarga pemilik penggarap, penyewa dan pengelola berturut-turut adalah Rp 1,0 juta,
Rp.760 ribu dan Rp.530 ribu per musim.
Tabel 3. Biaya dan Penerimaan Usahatani Jagung Menurut Status Garapan.
MT-II MT-IIIUraian
Privat Sosial Privat Sosial
Penerimaan Kotor 4832 5691 4652 5430
Biaya Tunai :
Pemilik penggarap 2113 2059 1940 1884
Penyewa 2684 2631 2512 2456
Pengelola 3293 3239 3127 3071
Bunga Modal Kerja:
Pemilik penggarap 176 137 162 126
Penyewa 224 175 209 164
Pengelola 274 216 261 205
R/C
Pemilik penggarap 2,11 2,59 2,21 2,29
Penyewa 1,66 2,03 1,71 1,76
Pengelola 1,35 1,65 1,37 1,40
Penerimaan Bersih :
Pemilik penggarap 2543 3495 2550 2591
Penyewa 1924 2885 1930 1982
Pengelola 1265 2237 1264 1326
Keunggulan Komparatif dan Kompetitif
Tabel 4 dibawah ini adalah Tabel 1 yang telah diisi dengan informasi yang
terdapat pada Tabel 3. Sebagai Matrik Analisis Kebijakan (PAM), Tabel 3 sekali lagi
memperjelas uraian pada bagian terdahulu dengan kesimpulan bahwa usahatani jagung
masih menguntungkan petani pengusaha yang membayar semua input termasuk sewa
lahan, semua tenaga kerja dan modal kerja. Informasi yang dapat ditarik dari PAM ini
adalah proporsi biaya input non-tradable (biaya faktor domestik) dan biaya input tradable
berturut-turut adalah sekitar 51-52 persen dan 21-23 persen dari pendapatan kotor,
13
sedangkan sisanya sekitar 26-27 persen merupakan penerimaan bersih untuk petani
pengelola yang membayar semua jenis input.
Tabel 4. Policy Analysis Matrix Jagung, DAS Brantas (Rp.000/ha)
BiayaUraian Penerimaan
Kotor Tradable Inputs Faktor Domestik
PenerimaanBersih
MT-II
Privat 4832 1120 2447 1265
(100) (23) (51) (26)
Sosial 5691 1066 2389 2237
(100) (19) (42) (39)
Divergensi -859 54 58 -972
MT-III
Privat 4652 954 2434 1264
(100) (21) (52) (27)
Sosial 5430 898 2378 2155
(100) (17) (44) (39)
Divergensi -778 56 56 -891
Keterangan: a. Angka dalam kurung adalah persentase terhadap penerimaan kotor. b. Penerimaan bersih didefinisikan sebagai returns to management.
Daya saing suatu komoditas dapat diukur dari segi privat (finansial) dan dari
segi sosial (ekonomi). Dari segi privat, daya saing suatu komoditas dapat diukur dengan
nisbah biaya privat atau Private Cost Ratio (PCR)=C/(A-B), yaitu nisbah biaya faktor
domestik (C) terhadap nilai tambah (A-B); semuanya dinilai dengan harga yang berlaku
(lihat Tabel 1 untuk semua notasi dalam bagian ini). Nilai tambah disini didefinisikan
sebagai selisih antara penerimaan kotor (A) dan input tradable (B). Jika nilai PCR lebih
kecil daripada satu, komoditas bersangkutan mempunyai keunggulan kompetitif karena
untuk menghasilkan satu satuan nilai tambah (pada harga-harga finansial) hanya
memerlukan kurang dari satu satuan faktor domestik. Karena hasil perhitungan PCR
jagung yang disajikan pada Tabel 5 berada relatif jauh dibawah satu (0,66) maka dapat
dikatakan bahwa jagung mempunyai keunggulan kompetitif.
Kalau keunggulan kompetitif dipandang sebagai kriteria relatif daya saing
finasial suatu komoditas maka keunggulan komparatif dipandang sebagai ukuran relatif
daya saing komoditas dalam perdagangan bebas yang bercirikan persaingan sempurna
(perfect competitive). Dalam PAM (lihat Tabel 1), keunggulan komparatif dinyatakan
14
sebagai nisbah sumberdaya domestik (DRCR)=G/(E-F), yaitu nisbah biaya faktor
domestik (G) terhadap nilai tambah (E-F); semuanya dinilai dengan harga-harga
bayangan (shadow prices). Seperti pada PCR, nilai tambah didefinisikan sebagai selisih
antara penerimaan kotor (E) dan input tradable (F) tetapi semuanya dinilai dengan
harga-harga bayangan. Suatu komoditas dikatakan mempunyai keunggulan komparatif
kalau nilai DRC lebih kecil dari satu yang berarti bahwa untuk menghasilkan satu satuan
nilai tambah diperlukan kurang dari satu satuan biaya faktor domestik yang kesemuanya
dinilai dengan harga-harga bayangan. Karena nilai DRC usahatani jagung pada Tabel 5
juga jauh berada dibawah satu (0,52) untuk kedua musim, maka dapat dikatakan bahwa
jagung sangat memiliki keunggulan komparatif; artinya komoditas jagung yang
diproduksi di DAS Brantas dapat bersaing dalam perdagangan bebas.
Dampak Struktur Pasar dan Kebijakan Pemerintah
Perbedaan antara keuntungan finansial dan sosial terjadi karena pengaruh
struktur pasar atau pengaruh kebijakan pemerintah atau kombinasi antara keduanya.
Struktur pasar input bahan (material input) seperti pupuk dan pestisida serta pasar
jagung terlihat mendekati pasar sempurna dengan pengertian bahwa jumlah pedagang
input tersebut cukup banyak pada setiap tingkatan pemasaran sampai ke tingkat desa.
Ini berarti bahwa kalau terjadi distorsi maka distorsi tersebut lebih banyak bersumber
dari kebijakan pemerintah.
Perlu diingat bahwa kebijakan pemerintah berupa subsisdi input yang pernah
ada telah ditiadakan sejak awal 1989, sementara kebijakan pemerintah yang berkenaan
dengan harga, tarif impor dan kuota komoditas jagung juga tidak ada. Kebijakan
pemerintah yang masih berlaku sampai saat ini adalah pajak pertambahan nilai untuk
barang-barang impor termasuk pupuk dan pestisida yang diimpor. Karena itu kalau
keuntungan finansial berbeda dengan keuntungan sosial, perbedaan itu lebih
disebabkan oleh kebijakan pemerintah tersebut.
Dalam PAM, dampak struktur pasar dan kebijakan pemerintah dapat
dinyatakan dalam bentuk selisih atau rasio antara nilai finansial dan nilai sosial. Kriteria
yang berbentuk selisih dinyatakan sebagai transfer output (OT), transfer input (IT),
transfer faktor (FT) dan transfer bersih (NT). Kriteria yang berbentuk rasio dinyatakan
dalam bentuk koefisien proteksi nominal terhadap output (NPCO), koefisien proteksi
nominal terhadap input (NPCI), koefisien proteksi efektif (EPC), koefisien profitabilitas
15
(PC) dan rasio subsidi bagi produsen atau subsidy ratio to producen (SRP). Uraian
berikut ini ditujukan untuk menerangkan semua parameter tersebut untuk jagung di DAS
Brantas.
Tabel 5: Koefisien PAM Jagung, DAS Brantas, 2000.
Parameter MT-II MT-III1. Output Transfer (Rp.000) -859 -778
2. Input Transfer (Rp.000) 54 56
3. Factor Transfer (Rp.000) 58 56
4. Net Transfer (Rp.000) -972 -891
5. Privat Cost Ratio (PCR) 0,66 0,66
6. Domestic Resource Costs (DRC) 0,52 0,52
7. Nominal Protection Coefficients (NPC)
a. On Output (NPCO) 0,85 0,86
b. On Input (NPCI) 1,05 1,06
8. Effective Protection Coefficients (EPC) 0,80 0,82
9. Profitability Coeffisients (PC) 0,57 0,59
10. Subsidy Ratios for Producers (SRP) -0,17 -0,16
Karena struktur pasar cukup sempurna maka distorsi yang ada dapat dianggap
bersumber dari kebijakan pemerintah. Kebijakan yang berkaitan dengan input dapat
diukur dengan menggunakan beberapa parameter seperti Koefisien Proteksi Input
Nominal (NPCI), Transfer Input (IT), Transfer Factor (FT). Besaran NPCI dan IT
biasanya digunakan untuk melihat input tradable, sedangkan FT untuk input domestik
atau non tradable. Koefisien proteksi input nominal (NPCI) adalah selisih antara nilai
finansial dan nilai sosial semua input tradable, sedangkan input transfer (IT) adalah rasio
antara keduanya. Transfer faktor (FT) juga merupakan selisih antara nilai finansial dan
nilai sosial semua faktor domestik (Tabel 5).
Hasil analisis memperlihatkan bahwa kebijakan pemerintah tidak memihak
kepada petani karena koefisien proteksi efektif (EPC) jagung adalah sekitar 0,80-0,82
(Tabel 5); artinya nisbah (ratio) nilai tambah finansial terhadap nilai tambah sosial
kurang dari satu. Temuan ini dipertegas oleh nilai proteksi nominal terhadap input
(NPCI) dan terhadap output (NPCO). Nilai NPCI yang lebih besar dari satu (1,05-1,06)
menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah terhadap input tradable secara umum masih
belum menguntungkan petani. Seperti terlihat pada Tabel 4 petani jagung harus
16
membayar input tradable lebih tinggi Rp.54-Rp.56 ribu dari harga bayangannya untuk
setiap hektar. Dari segi harga output, pemerintah juga tidak memberikan proteksi
kepada komoditas jagung karena nilai proteksi nominal terhadap output (NPCO)
ternyata kurang dari satu, yaitu 0,85-0,86. Ini berarti bahwa petani menerima harga
jagung 14-15 persen lebih rendah dari harga bayangannya. Dengan perkataan lain
ekpor jagung untuk tahun bersangkutan belum banyak dilakukan pada saat penelitian ini
dilakukan.
Titik Impas Produktivitas, Harga Dunia dan Kurs Dolar
Di atas telah dikemukakan bahwa usahatani jagung memiliki keunggulan
kompetitif dan keunggulan komparatif. Pertanyaan selanjutnya adalah pada keadaan
yang bagaimana komoditas jagung masih mempunyai daya saing. Dari sekian banyak
determinan yang menentukan daya saing komoditas jagung, tiga diantaranya adalah
peubah harga internasional, nilai tukar mata uang dan produktivitas jagung..
Harga jagung internasional berpengaruh terhadap daya saing jagung lokal
karena hambatan tarif dan non-tarif untuk komoditas jagung tidak ada. Hasil estimasi
terhadap persamaan (5) yang disajikan pada Tabel 5 memperlihatkan bahwa titik impas
harga internasional (CIF) adalah US $ 75 per ton jagung. Titik impas harga perbatasan
yang diperoleh ini berada sekitar 31 persen dibawah CIF yang sedang berlaku pada
waktu penelitian ini dilakukan. Ini berarti bahwa komodotas jagung di DAS Brantas
masih memiliki daya saing kalau harga internasional terebut paling banyak turun 31
persen dari harga perbatasan yang berlaku, ceteris paribus.
Faktor lain yang turut menentukan daya saing komoditas jagung adalah nilai
tukar dolar terhadap rupiah karena menurut definisi harga paritas barang-barang
tradable baik berupa input (seperti pupuk dan pestisida) maupun berupa output
(komoditas jagung) ditentukan oleh harga perbatasan (CIF atau FOB) dalam mata uang
asing, nilai tukar mata uang asing terhadap rupiah, kebijakan pajak atau subsidi, dan
biaya marketing. Hubungan antara nilai tukar mata uang dengan harga paritas di tingkat
petani diperlihatkan pada persamaan (6) diatas. Hasil estimasi persamaan (6) yang
disajikan pada Tabel 6 memperlihatkan bahwa komoditas jagung masih mempunyai
daya saing kalau nilai tukar dolar terhadap rupiah turun paling banyak sekitar 55 persen,
ceteris paribus.
17
Tabel 6. Titik Impas Produktivitas, Harga Batas (CIF), dan Nilai Tukar Usahatani Jagung, DAS Brantas, 2000.
Produktivitas Harga CIF Nilai Tukar(kg/ha) ($/ kg) (Rp/ $)
MT-IITitik Impas 4303 0,0746 3697Kenyataan 5829 0,1080 8500Toleransi penurunan ( % ) -26,18 -30,96 -56,50
MT-IIITitik Impas 4102 0,0746 3877Kenyataan 5632 0,1080 8500Toleransi penurunan ( % ) -27,17 -30,90 -54,39
Karena usahatani jagung di DAS Brantas memiliki kemampuan daya saing
yang cukup tinggi maka pertanyaan berikutnya adalah pada tingkat produktivitas
terendah manakah jagung di daerah ini masih mempunyai daya saing. Titik impas
produktivitas terendah tidak lain dari hasil bagi antara biaya total dengan harga seperti
dinyatakan pada persamaan (7) diatas. Dengan mengestimasi persaman itu diperoleh
bahwa titik impas produktivitas jagung adalah sekitar 4,2-4,3 ton per hektar (Tabel 6). Ini
berarti bahwa kalau faktor-faktor lain dianggap tetap (ceteris paribus) maka jagung
masih dapat bersaing meskipun produktivitas jagung di DAS Brantas turun sekitar 26-27
persen.
KESIMPULAN DAN SARAN
Bahwa kebijakan pemerintah tidak memihak kepada petani jagung di DAS
Brantas terlihat dari koefisien proteksi efektif (EPC) yang berada sekitar 0,80 - 0,82;
artinya nisbah (ratio) nilai tambah finansial terhadap nilai tambah sosial kurang dari satu.
Temuan ini dipertegas oleh nilai proteksi nominal terhadap input (NPCI) dan terhadap
output (NPCO). Nilai NPCI yang lebih besar dari satu (1,05-1,06) menunjukkan bahwa
kebijakan pemerintah terhadap input tradable secara umum masih belum
menguntungkan petani dan akibatnya petani jagung harus membayar input tradable
lebih tinggi Rp.54-Rp.56 ribu dari harga bayangannya untuk setiap hektar. Dari segi
harga output, pemerintah juga tidak memberikan proteksi kepada komoditas jagung
karena nilai proteksi nominal terhadap output (NPCO) ternyata kurang dari satu, yaitu
0,85 - 0,86. Ini berarti bahwa petani menerima harga jagung 14-15 persen lebih rendah
dari harga bayangannya.
18
Meskipun pemerintah tidak melakukan proteksi terhadap komoditas jagung,
usahatani jagung di DAS Brantas relatif menguntungkan ketiga status petani. Petani
pemilik penggarap, petani penyewa, dan petani pengelola berturut-turut memperoleh
pendapatan bersih sekitar Rp 2,5 juta, Rp 1,9 juta dan Rp1 ,3 juta per hektar pada MT-II
atau MT-III. Karena rataan luas garapan hanya sekitar 0,4 hektar maka tingkat
penerimaan bersih per rumah tangga petani jagung pada masing-masing musim hanya
Rp 1,0 juta untuk petani pemilik penggarap, Rp. 760 ribu untuk petani penyewa dan
Rp.520 ribu untuk petani pengelola. Informasi ini menunjukkan bahwa untuk
meningkatkan pendapatan keluarga petani diperlukan perluasan rataan luas garapan.
Perluasan tanaman jagung di luar Jawa nampaknya merupakan keharusan.
Meskipun pendapatan bersih usahatani jagung per keluarga petani relatif kecil
karena rataan luas garapan yang kecil, usahatani jagung di DAS Brantas memiliki daya
saing yang dapat diandalkan. Bahwa komoditas jagung di daerah ini memiliki
keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif terlihat dari nilai PCR dan nilai DRC
yang berturut-turut adalah 0,66 dan 0,52 untuk kedua musim. Ini berarti bahwa untuk
menghasilkan satu satuan nilai tambah diperlukan kurang dari satu satuan biaya faktor
domestik (baik dengan mempergunakan harga-harga privat atau dengan harga-harga
sosial). Daya saing jagung dapat ditingkatkan kalau sistem perbenihan jagung dan
penggunaan varietas jagung hibrida terus dikembangkan.
Dari analisis titik impas diperoleh bahwa usahatani jagung di DAS Brantas masih
dapat bersaing meskipun harga jagung internasional (CIF) turun sampai US $ 75 / ton,
ceteris paribus, atau sekitar 31 persen dibawah harga CIF pada waktu penelitian ini
dilakukan. Usahatani jagung di DAS Brantas juga masih dapat bersaing kalau nilai tukar
dolar terhadap rupiah turun paling banyak sekitar 55 persen dari Rp.8500/US$, ceteris
paribus, atau kalau produktivitas turun paling banyak 26-27 persen (dari 5,6-5,8 ton/ha
menjadi 4,2-4,3 ton per hektar), ceteris paribus.
DAFTAR PUSTAKA
Cave, R., 1987. American Industry: Structure, Conduct, Performance. Prentice-Hall, Inc. Englewood Cliffs, New Jersey.
Dahl, D. C., 1977. Market and Price Analysis: The Agricultural Industries. McGraw-Hill.
19
Gittinger, J.P. 1982. Economic Analysis of Agricultural Projects. The Johns Hopkins University Press, Baltimore dan London, dan UI Press, Jakarta.
Gittinger, J.P. 1986. Analisis Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian (Terjemahan). Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Gonzales, Leonardo A., Faisal Kasryno, Nocostrato D. Perez, dan Mark W. Rosegrant, 1993. Economic Incentives and Comparative Advantage in Indonesian Food Crop Production. Research Report, International Food Policy Research Institute, Washington D.C.
Harberger, A.C. 1972. Project Evaluation. The University of Chicago Press, Chicago.
Kadariah, Lien Karlina dan Clive Gray. 1978. Pengantar Evaluasi Proyek. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.
Kasryno, F. 2002. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Jagung Dunia Selama Empat Dekade Yang Lalu dan Implikasinya Bagi Indonesia. Makalah pada Diskusi Agribisnis Jagung. Badan Litbang Pertanian, Bogor.
Little I.M.D. dan J.A. Mirrlees, 1974. Project Appraisal and Planning for Developing Countries. Oxford & IBH Publishing Co. New Delhi-Bombay-Calcutta.
Mishan, E.J., 1977. Cost-Benefit Analysis. George Allen & Unwin Ltd. London.
Monkey, E.A. dan S.R. Pearson, 1995. Policy Analysis Matrix for Agricultural Development. Cornell University Press. Ithaca dan London.
Nippon Koei CO, Ltd. and Nikken Consultants, Inc. 1998. The Study on Comprehensive Management For The Water Resources Of The Brantas River Basin in The Republic Of Indonesia (Final Report, Vol. IV).
Rosegrant, Mark W., Faisal Kasryno, Leonardo A. Gonzales, Chairil Rasahan, dan Yusuf Saefudin, 1987. Price and Investment Policies in the Indonesian Food Crop Sector. IFPRI, Washington D.C., dan CASER, Bogor.
Schmid, A.A. 1989. Benefit-Cost Analysis: A Political Economy Approach. Westview Press, Boulder, San Francisco, & London.
Squire, L.S. dan Van Der Tak H.G., 1975. Economic Analysis of Projects. Published for the World Bank by The Johns Hopkins University Press, Baltomore dan London.
Sugden, R. dan A. Williams, 1978. The Principles of Practical Cost-Benefit Analysis. Oxford University Press. Oxford, New York, Toronto.
United Nations, 1978. Guide to Practical Project Appraisal: Sosial Benefit-Cost Analysis in Developing Countries. United Nations, New York.
Simatupang, P., 2002. Daya Saing dan Efisiensi Usahatani Jagung Hibrida Indonesia. Makalah pada Diskusi Agribisnis Jagung. Badan Litbang Pertanian, Bogor.
20
Zulaiha, A.R., 1997. Efisiensi Finansial, Efisiensi Ekonomi dan Pengaruh Kebijakan Pemerintah pada Pengusahaan Teh Hijau di Jawa Barat dengan Pendekatan Policy Analysis Matrix. Skripsi Sarjana Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.