Post on 21-Mar-2019
HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
BULETIN ISSN : 1693 - 3265Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
Aspek Hukum Kepailitan Dan Insolvensi Bank Di Negara-Negara Asean
Pembenahan Hukum Prasyarat Pertumbuhan Ekonomi Yang Tinggi Dan Berkesinambungan
Pengkajian Terhadap Makna Ketentuan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia
Sebagaimana Telah Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2009
Resensi Buku: Kepalitian Bank Aspek Hukum Kewenangan Bank Indonesia Dalam Kepailitan Suatu Bank
Cakrawala Hukum: Laporan Mengikuti Sosialisasi RUU Pencegahan Dan Pendanaan Terorisme
Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia, September - Desember 2011
Ringkasan Peraturan Bank Indonesia, September - Desember 2011
Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALANDirektorat Hukum Bank Indonesia
PelindungDeputi Gubernur Bidang Hukum Bank Indonesia
Penanggung JawabAhmad Fuad, Christina Sani, Heru Pranoto
Pemimpin RedaksiChristina Sani
Sekretaris RedaksiDyah Pratiwi
Dewan Redaksi Imam Subarkah, Sudarmaji, Arief R. Permana, Amsal Chandra Appy, Rosalia Suci, Rika S. Dewi,
Amy Rachmy Budiati, Hari Sugeng Raharjo, Suprianto, Umi Widji R.
Redaksi PelaksanaDyah Pratiwi, Hernowo Koentoadji, Ellia Syahrini, Kesumawati,
Kuwat Wijayanto, Chandra Herwibowo
Mitra BestariProf. Dr. Erman Radjagukguk, SH., LLM
Prof. Dr. Nindyo Pramono, SH., LLMProf. Dr. Huala Adolf, SH., LLMDr. Inosentius Samsul, SH., LLMDr. Lastuti Abubakar, SH., MH
Penanggung Jawab Pelaksana dan DistribusiTim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum,
Direktorat Hukum Bank Indonesia
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh Direktorat Hukum Bank Indonesia. Isi dan hasil penelitiandalam tulisan-tulisan dalam buletin ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukan merupakan pandangan resmi Bank Indonesia.
Buletin ini pada awal tahun penerbitan, tahun 2003, diterbitkan 6 (enam) bulan sekali, yaitu pada bulan Juli dan Desember.Mulai tahun 2004 buletin ini terbit secara berkala pada bulan April, Agustus dan Desember, dan mulai tahun 2009, buletinditerbitkan pada bulan Januari, Mei, dan September. Peminat buletin ini dapat menghubungi Bagian Administrasi DirektoratStatistik Ekonomi dan Moneter, Gedung B Lt. 16, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, telepon (021) 381 8629, facsimile (021) 350 1931, email: buletinhukum_dhk@bi.go.id
Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa artikel ilmiah atau semi ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukumperbankan dan kebanksentralan. Tulisan tersebut dapat disampaikan kepada Tim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum,Direktorat Hukum Bank Indonesia, Gedung Tipikal Lt. 9 Jl. M.H Thamrin No. 2 Jakarta 10350, telepon (021) 381 7346, facsimile(021) 380 1430. Atas dimuatnya artikel dan resensi buku dimaksud, Redaksi memberikan uang jasa penulisan.
“Buletin ini dapat diakses melalui website Bank Indonesia di http://www.bi.go.id, pilih links riset, survey dan
publikasi, kemudian pilih publikasi”
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 9 Nomor 3, Edisi September s.d Desember2011 kembali hadir
ditengah-tengah para pembaca dan pencintanya.
Dalam rangka menyongsong berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) tahun 2015 yang menandakan lahirnya
babak baru hubungan kerjasama ekonomi regional di antara negara-negara ASEAN, pemahaman yang memadai mengenai
berbagai sistem hukum dan ketentuan terkait dengan bidang-bidang yang relevan dengan terbentuknya MEA merupakan
suatu keharusan dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Kajian mengenai aspek hukum insolvensi dan kepailitan bank di negara-
negara ASEAN dimaksudkan untuk melengkapi persiapan-persiapan yang diperlukan dalam rangka perundingan-perundingan
menuju terbentuknya MEA tahun 2015. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam Buletin edisi ini akan diterbitkan artikel
mengenai Aspek Hukum Kepailitan dan Insolvensi Bank di Negara-Negara Asean.
Selain itu, Buletin juga menurunkan 2 artikel lainnya, yaitu :
1. Pembenahan Hukum Prasyarat Pertubuhan Ekonomi Yang Tinggi Dan Berkesinambungan, oleh Dr. Dian Ediana Rae, SH.,
LLM.
2. Pengkajian Terhadap Makna Ketentuan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia
Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2004 Dan Dengan Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2009, oleh Sri Hariningsih, SH., MH.
Selanjutnya, redaksi juga menyajikan resensi buku “Kepailitan Bank Aspek Hukum Kewenangan Bank Indonesia Dalam
Kepailitan Suatu Bank yang ditulis oleh Dr. Silvia Janistriwati, SH., M Hum. Dalam hal ini resensi ditulis oleh Ellia Syahrini SH.,
CN, Analis Hukum Senior Bank Indonesia.
Akhirnya, guna memberikan pengkinian informasi produk perundang-undangan Bank Indonesia, Buletin ini akan memuat
daftar Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Surat Edaran (SE) Ekstern Bank Indonesia dari bulan Juni sampai dengan Desember
2011, yang dilengkapi dengan Ringkasan Peraturan Bank Indonesia, dengan harapan agar semakin mempermudah pembaca
dalam menelusuri dan mencari regulasi yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia.
Selamat membaca.
Jakarta, Desember 2011
Redaksi
Dari Meja Redaksi
i
Halaman
Dari Meja Redaksi............................................................................................................................................ i
Daftar Isi.......................................................................................................................................................... iii
Aspek Hukum Kepailitan Dan Insolvensi Bank Di Negara-Negara Asean............................................................ 1 - 34
Rosalia Suci, SH, LLM; Teddy Yusuf, SH., LLM; Isnu Yuwana, SH., LLM; Safari Kasiyanto, SH., LLM;
Dwi Kartika Siregar, SH.
Pembenahan Hukum Prasyarat Pertumbuhan Ekonomi Yang Tinggi Dan Berkesinambungan............................ 35 - 38
Dr. Dian Ediana Rae, SH., LLM
Pengkajian Terhadap Makna Ketentuan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang
Bank Indonesia Sebagaimana Telah Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6
Tahun 2009..................................................................................................................................................... 39 - 45
Sri Hariningsih, SH., MH
Resensi Buku:
Kepalitian Bank Aspek Hukum Kewenangan Bank Indonesia Dalam Kepailitan Suatu Bank............................... 47 - 50
Ellia Syahrini, SH., CN
Cakrawala Hukum:
Laporan Mengikuti Sosialisasi RUU Pencegahan Dan Pendanaan Terorisme....................................................... 51 - 55
Redaksi
Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia, Juni - Desember 2011................... 57 - 59
Tim Informasi Hukum
(Direktorat Hukum Bank Indonesia)
Ringkasan Peraturan Bank Indonesia, Juni - Desember 2011............................................................................. 61 - 75
Tim Informasi Hukum
(Direktorat Hukum Bank Indonesia)
Buletin Hukum Perbankan dan KebanksentralanVolume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
iii
Abstrak
Dalam rangka menyongsong berlakunya Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA) tahun 2015 yang menandakan
lahirnya babak baru hubungan kerjasama ekonomi regional
di antara negara-negara ASEAN, pemahaman yang
memadai mengenai berbagai sistem hukum dan ketentuan
terkait dengan bidang-bidang yang relevan dengan
terbentuknya MEA sebagaimana tercantum dalam ASEAN
Economic Community Blueprint (AEC Blueprint) merupakan
suatu keharusan dan tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Kajian mengenai aspek hukum insolvensi dan kepailitan
bank di negara-negara ASEAN dimaksudkan untuk
melengkapi persiapan-persiapan yang diperlukan dalam
rangka perundingan-perundingan menuju terbentuknya
MEA tahun 2015. Dengan demikian, pada saat terbentuknya
MEA dimana aliran barang, jasa, investasi dan tenaga kerja
bergerak secara bebas (tahun 2015) dan terjadinya liberalisasi
sub sektor jasa perbankan (tahun 2020), telah terdapat
prinsip-prinsip atau standar hukum yang berlaku secara
regional terkait dengan penyelesaian insolvensi dan kepailitan
bank termasuk bank yang beroperasi secara lintas batas
(cross border) di ASEAN. Kajian mengenai aspek hukum
insolvensi dan kepailitan bank meliputi aspek-aspek
pengaturan insolvensi dan kepailitan dalam sistem hukum
dan perundang-undangan di masing-masing negara ASEAN,
otoritas yang berwenang dalam insolvensi dan kepailitan
bank, prioritas pembayaran dalam penyelesaian kepailitan
bank, cross border insolvency termasuk di dalamnya
pengakuan dan pelaksanaan putusan kepailitan pengadilan
asing.
Secara umum, pengaturan insolvensi dan kepailitan bank
di masing-masing negara ASEAN diatur dalam undang-
undang tersendiri disamping adanya undang-undang
kepailitan yang berlaku secara umum.
Terkait dengan otoritas yang berwenang dalam proses
pengajuan insolvensi dan kepailitan bank di negara-negara
ASEAN, hampir semua negara mengatur bahwa hal tersebut
merupakan kewenangan otoritas moneter atau Bank
Sentral. Sementara itu, khususnya terkait dengan likuidasi
bank, pada umumnya dilakukan melalui proses penetapan
pengadilan berdasarkan pengajuan dari bank sentral kecuali
di Indonesia yang proses likuidasinya merupakan
kewenangan Lembaga Penjamin Simpanan tanpa perlu
adanya penetapan pengadilan.
Dalam tata urutan prioritas pembayaran terkait dengan
penyelesaian harta debitur pailit, hampir semua negara
ASEAN menggolongkan nasabah bank dalam kategori
kreditur konkuren. Namun demikian, dalam rangka
memberikan perlindungan kepada nasabah bank, negara-
negara Anggota ASEAN menerapkan sistem penjaminan
atas simpanan nasabah bank yang nilai nominal
penjaminannya berbeda-beda di masing-masing negara.
Pengaturan proses insolvensi yang debiturnya mempunyai
aset atau kreditur di luar negeri termasuk pengakuan
putusan pengadilan asing (cross border insolvency) berbeda-
beda antara negara yang satu dengan negara lainnya.
Beberapa negara mengatur bahwa hukum kepailitan hanya
berlaku terhadap aset-aset debitur yang berada di dalam
negeri. Sementara itu, negara-negara lainnya mengatur
bahwa putusan kepailitan pengadilan negara-negara tersebut
selain berlaku terhadap aset-aset debitur yang berada di
dalam negeri juga menjangkau terhadap aset-aset debitur
yang berada di luar negeri.
Terkait dengan pengaturan pengakuan putusan pengadilan
asing, beberapa negara tidak mengakui putusan pengadilan
kepailitan asing. Negara lainnya mengakui putusan kepailitan
pengadilan asing dengan syarat negara tersebut telah
menandatangani perjanjian bilateral/multilateral mengenai
pengakuan putusan kepailitan pengadilan asing, atau
institusi yang dipailitkan didirikan di negara tersebut.
1
1 Tim Moneter dan Sistem Pembayaran, Direktorat Hukum Bank Indonesia
Aspek Hukum Kepailitan Dan Insolvensi Bank Di Negara-Negara ASEANRosalia Suci, SH., LLM; Teddy Yusuf, SH., LLM; Isnu Yuwana, SH., LLM; Safari Kasiyanto, SH., LLM; Dwi Kartika Siregar, SH.1
Permasalahan hukum yang mungkin timbul dari pengaturan
kepailitan bank yang berbeda-beda, khususnya adalah
tidak dapat dilaksanakannya suatu putusan kepailitan dari
pengadilan suatu negara atas kepailitan bank yang
mempunyai kreditur dan aset di luar negara tersebut
dikarenakan tidak diakuinya putusan kepailitan bank
tersebut oleh negara lainnya. Kondisi tersebut berpotensi
menciptakan tidak adanya kepastian hukum dalam
penyelesaian kasus-kasus cross border insolvency.
Idealnya, untuk mengatasi permasalahan hukum tersebut
diperlukan harmonisasi hukum khususnya terkait dengan
pengaturan cross border insolvency. Harmonisasi ketentuan
insolvensi dan kepailitan bank tersebut merupakan salah
satu infrastruktur penunjang yang diperlukan apabila
nantinya disepakati akan beroperasi qualified ASEAN banks
secara lintas batas di kawasan ASEAN dan akan melengkapi
infrastruktur lain yang diperlukan seperti cross border bank
supervision dan cross border bank resolution.
Sebelum langkah harmonisasi hukum dilaksanakan, terlebih
dahulu perlu dilakukan assesment secara mendalam atas
hukum kepailitan dan ketentuan perbankan terkait dengan
insolvensi dan kepailitan bank di masing-masing negara
ASEAN. Namun demikian, sebagaimana lazimnya dalam
suatu organisasi internasional, untuk dapat dilakukannya
proses assesment di masing-masing negara-negara ASEAN
terlebih dahulu perlu adanya kesepakatan dalam forum
ASEAN mengenai pentingnya assesment atas ketentuan
mengenai insolvensi dan kepailitan bank sebagai langkah
awal mempersiapkan harmonisasi hukum terkait dengan
berlakunya MEA.
Dari sudut pandang Indonesia, pemikiran mengenai perlunya
dilakukan harmonisasi hukum insolvensi dan kepailitan
bank harus dikaitkan dengan tinjauan dari aspek kepentingan
dan strategi bisnis dan ekonomi sehingga Indonesia dapat
memanfaatkan pasar bersama ASEAN di bidang perbankan
dengan memperhatikan potensi, kekuatan dan kelemahan
yang dimiliki oleh Indonesia.
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam rangka menyongsong berlakunya Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA) tahun 2015 yang
menandakan lahirnya babak baru hubungan
kerjasama ekonomi regional di antara negara-
negara ASEAN, pemahaman yang memadai
mengenai berbagai sistem hukum dan ketentuan
terkait dengan bidang-bidang yang relevan dengan
terbentuknya MEA sebagaimana tercantum dalam
ASEAN Economic Community Blueprint (AEC
Blueprint) merupakan suatu keharusan dan tidak
bisa ditawar-tawar lagi. Salah satu upaya yang telah
dilakukan oleh Bank Indonesia dalam rangka
mencapai tujuan tersebut adalah dengan melakukan
penelitian studi komparasi sistem hukum dan
ketentuan terkait dengan lalu lintas modal,
kelembagaan dan insolvensi di negara-negara
ASEAN bekerja sama dengan 2 (dua) universitas di
Bandung yaitu Fakultas Hukum Universitas
Padjadjaran dan Fakultas Hukum Universitas
Parahyangan.
Penelitian mengenai sistem hukum dan ketentuan
terkait dengan kelembagaan serta insolvensi di
negara-negara ASEAN tersebut masih bersifat
umum dan belum secara spesifik meneliti institusi
bank secara komprehensif. Oleh karena itu, untuk
lebih memperdalam dan memperoleh gambaran
secara lebih menyeluruh terkait dengan topik
penelitian tersebut, diperlukan kajian yang lebih
khusus dan mendalam mengenai salah satu materi
yang relevan dengan tugas BI yaitu terkait dengan
aspek hukum insolvensi dan kepailitan bank di
negara-negara ASEAN.
Kajian mengenai aspek hukum insolvensi dan
kepailitan bank di negara-negara ASEAN tersebut
dimaksudkan untuk melengkapi persiapan-
persiapan yang diperlukan dalam rangka
perundingan-perundingan menuju terbentuknya
MEA tahun 2015. Dengan demikian, pada saat
terbentuknya MEA dimana aliran barang, jasa,
investasi dan tenaga kerja bergerak secara bebas
(tahun 2015) dan terjadinya liberalisasi sub sektor
jasa perbankan (tahun 2020), telah terdapat prinsip-
prinsip atau standar hukum yang berlaku secara
regional terkait dengan penyelesaian insolvensi
dan kepailitan bank termasuk bank yang beroperasi
secara lintas batas (cross border) di ASEAN.
2
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
1.2. Identifikasi Masalah
Beberapa permasalahan yang akan dibahas dan
didiskusikan dalam kajian ini meliputi :
a. Bagaimanakah pengaturan insolvensi dan
kepailitan bank dalam ketentuan dan peraturan
perundang-undangan di negara-negara ASEAN?
b. Bagaimanakah proses insolvensi dan kepailitan
bank di negara-negara ASEAN dan siapakah
otoritas yang berwenang dalam proses insolvensi
dan kepailitan tersebut ?
c. Bagaimanakah pengaturan prioritas pembayaran
dalam penyelesaian insolvensi dan kepailitan
bank dan aspek perlindungan nasabah di
negara-negara ASEAN?
d. Bagaimanakah pengaturan cross border
insolvensi dan pengakuan putusan pengadilan
kepailitan asing di negara-negara ASEAN?
e. Apakah potensi permasalahan hukum yang
mungkin timbul dari pengaturan insolvensi dan
kepailitan bank yang berbeda-beda di negara-
negara ASEAN?
1.3. Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dari kajian ini adalah
untuk mengidentifikasi norma-norma atau prinsip-
prinsip yang seyogyanya diberlakukan sebagai
standar dalam ketentuan insolvensi dan kepailitan
bank termasuk bank yang beroperasi lintas batas
di negara-negara ASEAN.
1.4. Manfaat
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai bahan
masukan bagi Bank Indonesia dalam rangka
mempersiapkan dan mengantisipasi negosiasi
terkait jasa perbankan dalam rangka terbentuknya
MEA tahun 2015 dan liberalisasi sub sektor
perbankan tahun 2020.
II. GAMBARAN UMUM TENTANG SISTEM HUKUM DAN
KETENTUAN TERKAIT DENGAN INSOLVENSI DAN
KEPAILITAN BANK DI NEGARA-NEGARA ASEAN
2.1. Pendahuluan
Pada umumnya hampir di semua negara manapun
di dunia termasuk di negara-negara ASEAN,
pengaturan mengenai insolvensi dan kepailitan
diatur dalam peraturan perundang-undangan
tersendiri. Pengaturan mengenai insolvensi dan
kepailitan tersebut selain diatur dalam undang-
undang juga diatur dalam ketentuan dan peraturan
lain di bawah undang-undang seperti peraturan
pemerintah, peraturan presiden dan peraturan
lainnya sebagai peraturan tambahan atau peraturan
pelaksanaan dari undang-undang kepailitan tersebut.
Peraturan perundang-undangan terkait dengan
insolvensi dan kepailitan di masing-masing negara
mengatur mengenai berbagai aspek mengenai
insolvensi dan kepailitan secara umum atas debitur
yang mengalami keadaan insolven atau yang tidak
dapat memenuhi kewajibannya pada saat jatuh
tempo termasuk juga mekanisme permintaan atau
gugatan pailit oleh debitur sendiri atau pihak kreditur
melalui proses pengadilan.
Untuk pengaturan tentang insolvensi dan kepailitan
bank, sistem pengaturan di masing-masing negara
cukup bervariasi. Sebagian negara mengaturnya
dalam peraturan perungan-undangan yang
mengatur insolvensi dan kepailitan secara umum,
di beberapa negara lain mengaturnya secara
tersendiri dalam perundang-undangan yang
mengatur tentang perbankan.
Kajian hukum ini akan fokus terutama pada
berbagai isu terkait dengan insolvensi dan kepailitan
bank dengan tetap mengulas beberapa hal pokok
tentang ketentuan insolvensi dan kepailitan secara
umum. Pengumpulan bahan-bahan dan informasi
yang digunakan dalam kajian ini terutama diperoleh
melalui internet dan sebagian dari bank-bank sentral
negara-negara yang menjadi objek kajian. Adapun
negara-negara yang menjadi objek dalam kajian
ini adalah Filipina, Vietnam, Thailand, Indonesia,
Singapura, dan Malaysia.
2.2. Peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai insolvensi dan kepailitan bank di
negara-negara Asean
2.2.1Filipina
Pengaturan mengenai insolvensi dan
3
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
kepailitan secara umum terdapat dalam the
Civil Code of Philippines khususnya buku IV
title XIX mengenai Concurrence and
Preference of Credits dan dalam the
Corporation Code of Philippines tahun 1980
khususnya Title XIV mengenai Dissolution,
section 11 sampai dengan section 122.
Selanjutnya, insolvensi dan kepailitan diatur
secara lebih detail dalam undang-undang
khusus yaitu Undang-Undang No.1956 tahun
1909 (dikenal dengan nama the Insolvensi
Law) dan Dekrit Presiden (Presidential Decree)
No.902.A tahun 1976 sebagaimana telah
diamandemen tahun 1981.
Sementara itu, untuk insolvensi dan kepailitan
bank, tunduk pada peraturan perundang-
undangan tersendiri (lex specialis) yaitu the
New Central Bank Act No.7653 tahun 1993
(the New Central Bank Act) khususnya section
30, 31, dan 32.
2.2.2Vietnam
Pengaturan mengenai insolvensi dan
kepailitan secara umum terdapat dalam Law
No. 21/2004/QH11 tanggal 15 Juni 2004
tentang Bankruptcy Law. Namun demikian,
dalam klausul 2 Article 2 Bankruptcy Law
diatur bahwa terhadap perusahaan tertentu
antara lain untuk perbankan, pemerintah
harus mengatur lebih lanjut termasuk
bagaimana penerapan Bankruptcy Law
dimaksud. Disamping itu, mengenai
insolvensi dan kepailitan bank, terdapat
pengaturan yang cukup rinci dalam Law No.
47/2010/QH12 tanggal 16 Juni 2010 tentang
Credit Institution yang mulai berlaku pada
tanggal 1 Januari 2011.
2.2.3Thailand
Secara umum, pengaturan mengenai
insolvensi dan kepailitan di Thailand terdapat
dalam the Bankruptcy Act, B.E. 2483 tahun
1940 (the Bankrupcty Act 1940) dan dalam
the Civil and Commercial Code khususnya
section 1247 sampai dengan 1273. The
Bankruptcy Act 1940 telah mengalami
beberapa kali perubahan yaitu dengan the
Bankruptcy Act (No.4) B.E.2541 tahun 1998,
the Bankruptcy Act (No.5),B.E 2542 (1999)
dan the Bankruptcy Act (No.7), B.E.2547
tahun 2004.
The Bankruptcy Act 1940 dan perubahannya
mengatur mengenai prosedur kepailitan dan
rehabilitasi bagi debitur pailit baik yang
berbentuk perorangan maupun korporasi
termasuk pula commercial bank, finance
company, finance and securities company or
a credit financing company. Sementara itu,
the Civil and Commercial Code mengatur
mengenai prosedur likuidasi sukarela dari
debitur yang mengalami pailit.
2.2.4Indonesia
Pengaturan mengenai kepailitan secara
umum terdapat dalam Undang-Undang No.
37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
(Undang-Undang Kepailitan) yang mencabut
Undang-Undang tentang Kepailitan
(Faillissementsverordening Staatsblad
1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) dan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1998 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang tentang Kepailitan menjadi Undang-
Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1998 Nomor 135, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3778). Dalam Undang-Undang tersebut
terdapat ketentuan yang mengatur bahwa
untuk bank permohonan pernyataan pailit
hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia2.
Disamping itu, pengaturan mengenai likuidasi
bank diatur tersendiri dalam Undang-Undang
No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan
4
2 Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang No.10 tahun 1998 dan Undang-
Undang No. 24 tahun 2004 tentang Lembaga
Penjamin Simpanan (UULPS) yang mulai
berlaku pada tanggal 22 September 2005.
2.2.5Singapura
Pengaturan mengenai insolvensi, kepailitan
secara umum serta penutupan/pembubaran
perusahaan terdapat dalam Bankruptcy Act
(Statute of The Republic of Singapore, Chapter
20) dan Companies Act (Statute of the
Republic of Singapore, Chapter 50).
Sedangkan pengaturan lebih lanjut mengenai
penutupan bank diatur dalam Banking Act
(Statute of the Republic of Singapore, Chapter
19).
2.2.6Malaysia
Secara umum, pengaturan mengenai
insolvensi dan kepailitan di Malaysia diatur
dalam :
1) Bankruptcy Act 1964, berlaku untuk
proses kepailitan bagi debitur individual;
2) Companies Act 1965, khususnya Bab VII,3
Bab VIII4 dan Bab X5, berlaku untuk proses
kepailitan bagi debitur perusahaan; dan
3) Banking and Financial Institution Act 1989
(BAFIA), berlaku khusus untuk proses
insolvensi dan kepailitan bagi bank,
khususnya Bab X yang mengatur
mengenai Kewenangan Pengawasan dan
Pengendalian, serta Pasal 72 sampai
dengan Pasal 81.
Dengan demikian, pengaturan mengenai
insolvensi dan kepailitan untuk bank di
Malaysia diatur dalam suatu undang-undang
tersendiri terpisah dari aturan umum
mengenai kepailitan yang diatur dalam
Bankruptcy Act 1964 dan Company Act 1965.
2.3. Otoritas yang berwenang dalam proses
insolvensi dan kepailitan bank
2.3.1Filipina
Otoritas yang berwenang untuk menyatakan
bahwa suatu bank6 mengalami keadaan
insolvensi dan oleh karena itu terhadap bank
tersebut perlu dilakukan upaya-upaya
penyelamatan atau dilikuidasi adalah the
Banko Central Monetary Board (the Monetary
Board). Sementara itu lembaga yang ditunjuk
oleh the Monetary Board untuk melakukan
upaya rehabilitasi atau melikuidasi bank yang
mengalami insolvensi adalah the Philippine
Depository Insurance Corporation (PDIC).
Sesuai dengan section 30 the New Central
Bank Act diatur bahwa apabila berdasarkan
laporan kepala departemen pengawasan, the
Banko Central Monetary Board (the Monetary
Board) menemukan indikasi bahwa suatu
bank mengalami kondisi-kondisi tersebut di
bawah ini:
1) tidak mampu membayar kewajiban yang
telah jatuh tempo namun tidak termasuk
kewajiban-kewajiban luar biasa yang
disebabkan oleh kepanikan dalam
komunitas perbankan.
2) diperintahkan oleh Bank Sentral Filipina
untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya
kepada Bank Sentral.
3) tidak dapat melanjutkan kegiatan
usahanya dan apabila dilanjutkan
kemungkinan akan menimbulkan
kerugian bagi nasabah penyimpan atau
krediturnya.
4) secara sadar melanggar keputusan the
Monetary Board yang telah final terkait
dengan sanksi atau perintah penghentian
sementara kegiatan usaha tertentu dari
5
3 Scheme of Arrangement/Reconstruction.
4 Receivers & Managers.
5 Winding Up.
6 Sesuai dengan section 3 the New Central Bank Act, bank dibedakan menjadi bank dan quasi bank. Quasi bank adalah perusahaan keuangan dan lembaga keuangan non bank yang melaksanakan fungsi seperti layaknya bank.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
bank sesuai dengan section 377 the New
Central Bank Act termasuk juga tindakan-
tindakan atau transaksi-transaksi curang
yang bertujuan untuk menghilangkan
aset bank.
Maka tanpa memerlukan pembahasan atau
hearing dengan bank yang bersangkutan
terlebih dahulu, the Monetary Board dapat
melarang bank untuk melanjutkan kegiatan
usahanya dan selanjutnya menunjuk PDIC
sebagai receiver (pengelola sementara)8.
Khususnya untuk quasi bank9 setiap orang
yang diakui memiliki kompetensi dibidang
keuangan dan perbankan dapat ditunjuk
sebagai receiver. Setelah mendapat
penunjukan dari the Monetary Board, PDIC
segera melakukan langkah-langkah sebagai
berikut:
1) Mengumpulkan semua aset-aset dan
mengambil alih kewajiban-kewajiban
bank yang bersangkutan
2) Melaksanakan kewenangan-kewenangan
umum sebagaimana diatur dalam the
Revised Rules of Court kecuali untuk
melakukan pembayaran-pembayaran
biaya administratif, mengalihkan atau
menjual aset-aset bank. Namun demikian,
PDIC diperbolehkan untuk menempatkan
dana-dana bank dalam bidang-bidang
investasi yang tidak bersifat spekulatif.
Selanjutnya dalam waktu tidak lebih dari 90
(sembilan puluh) hari, PDIC akan memutuskan
apakah bank tersebut dapat atau tidak dapat
direhabilitasi atau diiziinkan untuk beroperasi
kembali dan aman bagi nasabah penyimpan,
kreditur dan kepentingan umum. Keputusan
untuk mengizinkan bank tersebut beroperasi
kembali tetap tunduk pada persetujuan dari
the Monetary Board.
Dalam hal PDIC memutuskan bahwa bank
yang bersangkutan tidak dapat direhabilitasi
atau diizinkan untuk beroperasi kembali,
the Monetary Board akan memberitahukan
secara tertulis kepada manajemen bank dan
memerintahkan PDIC untuk melakukan proses
likuidasi bank tersebut. Setelah menerima
perintah likuidasi dari the Monetary Board,
PDIC melakukan tindakan-tindakan sebagai
berikut :
1) Meminta penetapan secara ex parte10
kepada pengadilan regional yang tepat
untuk melakukan proses likudiasi atas
bank yang bersangkutan sesuai dengan
the liquidation plan yang diadopsi oleh
PDIC untuk semua bank-bank yang
ditutup. Dalam hal quasi bank, the
liquidation plan ditentukan oleh the
Monetary Board. Berdasarkan
kewenangannya, pengadilan akan
mengadili tuntutan-tuntutan kepada bank,
membantu pelaksanaan pemenuhan
kewajiban-kewajiban pemegang saham
secara individu, pengurus dan karyawan
bank serta memutuskan isu-isu lain yang
mempunyai nilai material bagi
pelaksanaan the liquidation plan.
2) Mencairkan aset-aset bank untuk
membayar kewajiban-kewajiban bank
sesuai dengan ketentuan prioritas
pembayaran sebagaimana diatur dalam
the Civil Code of Philipines. PDIC dengan
bantuan counsel diberikan pula wewenang
6
7 Section 37 the New Central Bank Act menyebutkan beberapa sanksi administrative yang dapat diterapkan terhadap bank dan quasi bank yang melanggar ketentuan perundang-undangan perbankan yang berlaku meliputi :a. Denda dalam jumlah yang ditentukan oleh the Monetary Board
tetapi tidak melebihi 30.000 peso perhari per pelanggaran b. Penundaan pemberian fasilitas atau akses kredit dari Bank Sentral
Filipina c. Penundaan dalam kegiatan kliring antar bank d. Pencabutan izin quasi bank
8 PDIC adalah lembaga pemerintah yang berperan sebagai penjamin simpanan, receiver dan likuidator untuk institusi perbankan di Filipina.
9 Dalam Section 3 the New Central Bank Act No.7653 disebutkan bahwa quasi bank mengacu pada perusahaan-perusahaan keuangan dan lembaga-lembaga keuangan non bank yang melaksanakan fungsi-fungsi quasi bank (menyerupai bank)
10 Bahasa latin yang berarti satu pihak saja atau tanpa perlu adanya pemberitahuan atau persetujuan dari pihak yang lain (Black’s Law Dictionary)
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
untuk dan atas nama bank untuk
mengumpulkan, mengembalikan dan
mempertahankan aset-aset bank dari
tuntutan atau klaim dari pihak lain.
Seluruh aset bank yang berada dibawah
pengawasan PDIC dan dalam porses
likuidasi dianggap berada dalam status
custodia legis11 di tangan PDIC dan oleh
karenanya dari sejak bank berada dalam
pengelolaan PDIC dan likudasi aset-aset
bank tersebut dikecualikan dari proses
garnishment12, levy13, sita, atau eksekusi.
Keputusan the Monetary Board untuk
memerintahkan PDIC melikuidasi bank
bermasalah yang sudah tidak dapat
direhabilitas bersifat final, mengikat dan tidak
dapat dikesampingkan oleh pengadilan.
Namun demikian, keputusan tersebut masih
dapat di challenge melalui gugatan certiorari14
ke pengadilan dengan dasar gugatan bahwa
the Monetary Board telah bertindak melebihi
atau menyalahgunakan kewenangannya.
Gugatan certiorari tersebut harus diajukan
oleh pemegang saham mayoritas dalam
waktu 10 hari sejak the Board of Director
Bank menerima pemberitahuan penyerahan
bank ke PDIC atau bank akan dilikuidasi.
2.3.2Vietnam
Otoritas yang berwenang untuk menetapkan
penanganan atas suatu bank yang mengalami
kesulitan keuangan yang mengancam
keamanan sistem perbankan adalah The
State Bank of Vietnam (Bank Sentral Vietnam).
Penanganan yang dilakukan dapat meliputi
pembelian saham bank, keputusan untuk
melakukan penggabungan usaha, peleburan,
atau pembubaran bank, sampai dengan
melakukan tugas dan kewenangan sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan
yang mengatur kepailitan dari credit
institutions (termasuk bank yang merupakan
salah satu bentuk dari credit institutions)15.
Pengaturan mengenai kepailitan dan likuidasi
diatur dalam Chapter VIII (Special Control,
Reorganization, Bankruptcy, Dissolution and
Liquidation of Credit Institution), Law
No. 47/2010/QH12 tanggal 16 Juni 2010
tentang Credit Institution. Dalam Chapter VIII
antara lain diatur bahwa ketika suatu bank
mengalami kesulitan likuiditas dan menghadapi
adanya kemungkinan insolvensi, maka bank
dimaksud harus segera melapor kepada the
State Bank mengenai status keuangannya,
penyebab terjadinya kesulitan likuiditas, serta
langkah-langkah yang telah dan akan dilakukan
untuk mengatasi kesulitan dimaksud.16 The
State Bank dapat menempatkan bank, yang
menghadapi kemungkinan insolvensi, dalam
pengawasan khusus, yaitu pengawasan
langsung dari the State Bank.17
The State Bank akan menempatkan suatu
bank dalam pengawasan khusus dalam hal
bank mengalami hal-hal sebagai berikut:18
1. Menghadapi kemungkinan insolvensi;
2. Terdapat kewajiban-kewajiban yang tidak
dapat dipenuhi yang kemungkinan dapat
menyebabkan insolvensi;
7
11 bahasa latin yang berarti dalam penguasaan hukum atau aset dalam pengawasan pengadilan selama berlangsungnya proses litigasi terhadap aset tersebut (Black’s Law Dictionary)
12 Suatu proses hukum dimana seorang kreditur meminta pengadilan agar memerintahkan pihak ketiga yang berhutang kepada debitur atau memegang jaminan debitur menyerahkan tagihan atau aset debitur yang dikuasai oleh pihak ketiga tersebut kepada kreditur (Black’s Law Dictionary).
13 Pengenaan denda atau pajak (Black’s Law Dictionary)
14 Bahasa latin yang berarti perintah pengadilan banding yang memerintahkan pengadilan dibawahnya untuk mengirimkan berkas perkara kepada pengadilan banding untuk proses review.
15 Point 12, Article 4, Law No. 46/2010/QH12 tanggal 16 Juni 2010, tentang The State Bank of Vietnam. Mengenai pengertian credit institution dan bank terdapat dalam Point 1 dan 2 Article 4, Law No. 47/2010/QH12 tanggal 16 Juni 2010, tentang Credit Institutions.
16 Article 145, Law No. 47/2010/QH12 tanggal 16 Juni 2010, tentang Credit Institutions.
17 Article 146, Law No. 47/2010/QH12 tanggal 16 Juni 2010, tentang Credit Institutions.
18 Article 147, Law No. 47/2010/QH12 tanggal 16 Juni 2010, tentang Credit Institutions.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
3. Memiliki kerugian yang secara kumulatif
melebihi 50% dari nilai aktual modal
disetor dan dana cadangan yang tercantum
dalam financial statement hasil audit
terakhir.
4. Memiliki peringkat “poor” berdasarkan
ketentuan the State Bank dalam 2 tahun
berturut-turut.
5. Mengalami kegagalan untuk memelihara
rasio modal minimal sebagaimana dimaksud
dalam Point b, Clause 1, Article 130 Law
No. 47/2010/QH12 dalam 1 tahun atau
rasio dimaksud turun menjadi dibawah
4% dalam 6 bulan berturut-turut.
Dalam menempatkan bank dalam pengawasan
khusus, the State Bank juga membentuk
Special Control Board yang bertugas untuk19:
1. Memberikan arahan kepada direksi bank
yang berada dalam pengawasan khusus
dalam memformulasikan suatu Rencana
Konsolidasi Organisasi dan Operasional.
2. Memberikan arahan dan pengawasan
dalam pengimplementasian langkah-
langkah penanganan yang tercantum
dalam Rencana Konsolidasi Organisasi
dan Operasional yang telah disetujui oleh
Special Control Board.
3. Memberikan laporan kepada the State
Bank mengenai operasional bank dan
hasil pelaksanaan Rencana Konsolidasi
Organisasi dan Operasional.
Dalam melaksanakan tugasnya, Special Control
Board memiliki kewenangan antara lain20 :
1. Menghentikan kegiatan operasional yang
tidak sesuai dengan Rencana Konsolidasi
Organisasi dan Operasional atau
bertentangan dengan praktek perbankan
yang sehat yang dapat merugikan
kepentingan nasabah penyimpan dana.
2. Mengusulkan kepada the State Bank
untuk memperpanjang atau
menghentikan pengawasan khusus,
memberikan atau menghentikan
pinjaman kepada bank, membeli saham
bank, melikuidasi atau mencabut izin
usaha, atau mewajibkan untuk
menerima, menggabungkan usaha,
meleburkan, atau mengambilalih bank.
3. Meminta kepada bank untuk
mengajukan permohonan kepailitan
kepada pengadilan berdasarkan the
Bankruptcy Law.
Tugas Special Control akan berakhir dalam
hal credit institution:21
a. beroperasi kembali secara normal;
b. telah dilakukan penggabungan usaha
atau peleburan dengan credit institution
lain selama dalam pengawasan khusus;
c. credit institution tidak dapat dipulihkan;
Jika pengakhiran status dalam pengawasan
khusus dihentikan karena credit institution
tidak dapat dipulihkan maka the State Bank
akan menyampaikan dokumen-dokumen
terkait penghentian upaya penyehatan credit
institution kepada pengadilan.22
Terkait dengan upaya penyehatan credit
institution, Deposit Insurer dapat menyediakan
bantuan finansial dalam bentuk loan
provision, guarantee, atau debt re-purchase
kepada credit institution dalam hal menurut
the State Bank pembubaran atau kepailitan
dari suatu credit institution dapat berpengaruh
terhadap keamanan sistem keuangan dan
perbankan nasional serta kondisi politik dan
sosial ekonomi Bantuan finansial dari Deposit
Insurer ini harus dibayar kembali oleh credit
instituion yang menerimanya sebelum
8
19 Clause 1, Article 148, Law No. 47/2010/QH12 tanggal 16 Juni 2010, tentang Credit Institutions.
20 Clause 2, Article 148, Law No. 47/2010/QH12 tanggal 16 Juni 2010, tentang Credit Institutions.
21 Article 152, Law No. 47/2010/QH12 tanggal 16 Juni 2010, tentang Credit Institutions.
22 Clause 3, Article 152, Law No. 47/2010/QH12 tanggal 16 Juni 2010, tentang Credit Institutions.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
pembayaran utang-utang lainnya oleh credit
institution.23
Setelah the State Bank menerbitkan dokumen
penghentian pengawasan khusus atau
penghentian atau tidak dipenuhinya langkah-
langkah penyehatan. Dalam hal credit
institution tetap dalam kondisi pailit maka
credit institution harus mengajukan
permohonan kepada pengadilan untuk
putusan pernyataan pailit.24 Setelah menerima
permohonan pernyataan pailit, pengadilan
akan memulai proses penyelesaian
permohonan pernyataan pailit dan segera
menerapkan prosedur untuk melikuidasi aset
credit institution berdasarkan the Bankruptcy
Law.25
2.3.3Thailand
Secara umum, ada 3 (tiga) jenis prosedur
kepailitan yang tersedia di Thailand yaitu :
1) prosedur kepailitan langsung;
2) prosedur restrukturisasi atau prosedur
reorganisasi;
3) prosedur likuidasi.
Dalam prosedur kepailitan langsung untuk
segala jenis debitur termasuk bank komersial
dan lembaga keuangan lainnya, pemohon
kepailitan dapat merupakan kreditur preferen,
kreditur konkuren ataupun likuidator yang
telah ditunjuk.
Untuk prosedur restrukturisasi atau reorganisasi,
pihak-pihak yang dapat menjadi pemohon
kepada pengadilan diatur sebagai berikut :
1) Seorang kreditur atau beberapa orang
kreditur yang jumlah piutang secara
keseluruhannya mencapai lebih dari 10
juta baht.
2) Debitur yang memiliki kualifikasi sebagai
berikut :
a) Perseroan terbatas atau juristic person26
apapun sebagaimana diatur dalam
peraturan menteri.
b) Mengalami pailit
c) Memiliki hutang kepada satu atau
beberapa kreditur yang secara
keseluruhan mencapai lebih dari 10
juta baht tanpa memandang apakah
hutang tersebut akan jatuh tempo
dalam waktu dekat atau jatuh tempo
pada masa yang akan datang.
d) Tidak ada putusan pengadilan yang
memerintahkan aset debitur insolven
ditempatkan dalam absolut custody.
3) Bank of Thailand dalam hal debitur insolven
adalah bank komersial, lembaga keuangan,
perusahaan keuangan dan sekuritas atau
perusahaan pembiayaan kredit.
4) The Office of the Securities and Exchange
Commision dalam hal debitur pailit adalah
perusahaan sekuritas.
5) Perusahaan asuransi dalam hal debitur
insolven adalah perusahaan asuransi
kecelakaan atau kematian.
6) Agen-agen pemerintah (government
agencies) yang diberikan kewenangan
untuk mengawasi kegiatan usaha debitur.
Dalam prosedur likuidasi, keputusan untuk
melikuidasi suatu institusi atau debitur insolven
berada pada rapat umum pemegang saham.
Setelah adanya keputusan dari rapat umum
pemegang saham untuk melikuidiasi debitur
insolven tersebut dilanjutkan dengan
penunjukan likuidator. Selanjutnya, likuidator
akan mengajukan permohonan likuidasi
kepada pengadilan.
9
23 Article 14, Article 15 Circular State Bank of Vietnam No. 03/2006/TT-NHNN tanggal 25 April 2006 tentang Guiding the implementation of several contents of the Decree No. 89/1999/ND-CP dated 01/09/1999 of the Government on deposit insurance and the Decree No.109/2005/ND-CP dated 24/8/2005 of the Government on the amandment, supplement of several articles of the Decree No. 89/1999/ND-CP.
24 Clause 1, Article 155, Law No. 47/2010/QH12 tanggal 16 Juni 2010, tentang Credit Institutions.
25 Clause 2, Article 155, Law No. 47/2010/QH12 tanggal 16 Juni 2010, tentang Credit Institutions.
26 Disebut juga sebagai artificial person yang berarti entitas seperti perusahaan yang diciptakan oleh hukum dan diberikan hak dan kewajiban tertentu sebagaimana layaknya manusia. (Black’s Law Dictionary)
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
Dalam prosedur rehabilitasi atau restrukturisasi
debitur insolven berupa bank, permohonan
diajukan oleh Bank of Thailand ke pengadilan.
Dalam hal pengadilan telah menerima
permohonan rehabilitasi dari Bank of Thailand,
pengadilan akan menunjuk the planner
(pengelola sementara) yang akan diberikan
tugas untuk mengelola bisnis dan aset bank,
membayar kreditur, memperoleh kredit,
menjual aset dan mewakili bank di muka
pengadilan. Selanjutnya, dalam hal bank
tersebut tidak dapat direhabilitasi dikarenakan
aset bank tidak mencukupi untuk menutup
seluruh kewajibannya maka the planner akan
mengajukan proses likuidasi bank tersebut
ke pengadilan yang mewilayahi.
2.3.4Indonesia
Otoritas yang berwenang dalam menangani
bank yang mengalami kesulitan yang dapat
membahayakan kelangsungan usahanya
adalah Bank Indonesia (BI). Keadaan suatu
bank dikatakan mengalami kesulitan yang
membahayakan kelangsungan usahanya
apabila berdasarkan penilaian BI kondisi
usaha bank semakin memburuk antara lain
ditandai dengan menurunnya permodalan,
kualitas aset, likuiditas, dan rentabilitas, serta
pengelolaan bank yang tidak dilakukan
berdasarkan prinsip kehati-hatian dan asas
Perbankan yang sehat.27
Dalam rangka menangani bank yang
mengalami kesulitan yang dapat
membahayakan kelangsungan usahanya
tersebut, Bank Indonesia dapat melakukan
tindakan-tindakan sebagai berikut :28
a. pemegang saham menambah modal;
b. pemegang saham menganti Dewan
Komisaris dan atau Direksi bank;
c. bank menghapusbukukan kredit atau
pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah
yang macet dan memperhitungkan
kerugian bank dengan modalnya;
d. bank melakukan merger atau konsolidasi
dengan bank lain;
e. bank dijual kepada pembeli yang bersedia
mengambil alih seluruh kewajiban;
f. bank menyerahkan pengelolaan seluruh
atau sebagian kegiatan bank kepada
pihak lain;
g. bank dijual sebagian atau seluruh harta
dan atau kewajiban bank kepada bank
atau pihak lain.
Tindakan-tindakan tersebut di atas dilakukan
agar tidak terjadi pencabutan izin usaha
dan/atau likuidasi. Dengan kata lain, tindakan-
tindakan tersebut dilakukan dalam rangka
mempertahankan/menyelamatkan bank
sebagai lembaga kepercayaan masyarakat.29
Selanjutnya, apabila tindakan tersebut diatas
masih belum cukup untuk mengatasi kesulitan
yang dihadapi bank dan menurut penilaian
BI dapat membahayakan sistem Perbankan,
BI dapat mencabut izin usaha bank dan
memerintahkan Direksi bank untuk segera
menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang
Saham guna membubarkan badan hukum
bank dan membentuk tim likuidasi.30 Dalam
hal Direksi bank tidak menyelenggarakan
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), BI
meminta kepada pengadilan untuk
mengeluarkan penetapan yang berisi
pembubaran badan hukum bank, penunjukan
tim likuidasi, dan perintah pelaksanaan
likuidasi sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.31
10
27 Penjelasan Pasal 37 ayat 1 Undang-Undang No.10 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.7 tahun 1992 Perbankan.
28 Pasal 37 ayat 1 Undang-Undang No.10 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.7 tahun 1992 Perbankan.
29 Penjelasan Pasal 37 ayat 1 Undang-Undang No.10 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.7 tahun 1992 Perbankan.
30 Pasal 37 ayat 2 Undang-Undang No.10 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.7 tahun 1992 tentang Perbankan.
31 Pasal 37 ayat 3 Undang-Undang No.10 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.7 tahun 1992 tentang Perbankan jo. Pasal 14 ayat (1).
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
Dalam proses kepailitan bank, otoritas yang
berwenang untuk mengajukan permohonan
pernyataan pailit adalah BI dan pernyataan
pailit dimaksud ditetapkan oleh putusan
Pengadilan Niaga.32 Berbeda dengan
pertimbangan permohonan pailit untuk
institusi lain, diajukan atau tidak diajukannya
permohonan pernyataan pailit suatu bank
ke pengadilan niaga oleh BI, didasarkan pada
penilaian atas kondisi keuangan bank yang
bersangkutan yang dikaitkan pula dengan
kondisi perbankan secara keseluruhan dan
bukan semata-mata pada pertimbangan
persyaratan kepailitan sebagaimana diatur
Undang-Undang Kepailitan.33 Walaupun
permohonan pernyataan pailit untuk bank
hanya dapat diajukan oleh BI, namun
kewenangan BI untuk mengajukan pernyataan
pailit tersebut tidak menghapuskan
kewenangan BI untuk melakukan pencabutan
izin usaha bank, pembubaran badan hukum,
dan likuidasi bank sesuai peraturan
perundang-undangan34. Dalam prakteknya,
sampai dengan saat ini BI belum pernah
mempergunakan mekanisme kepailitan dalam
rangka penyelesaian bank yang mengalami
keadaan insolvensi, namun cenderung
menggunakan mekanisme sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Perbankan.
Setelah berlakunya Undang-Undang No. 24
Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin
Simpanan, Selanjutnya, otoritas yang
menangani suatu bank yang dicabut izin
usahanya adalah Lembaga Penjamin
Simpanan (LPS). Penanganan tersebut
meliputi pengambilalihan hak dan wewenang
pemegang saham, termasuk hak dan
wewenang Rapat Umum Pemegang Saham
(RUPS)35. Dengan diambilalihnya hak dan
wewenang RUPS tersebut, LPS segera
memutuskan pembubaran badan hukum
bank, pembentukan Tim Likuidasi (TL),
penetapan status bank sebagai “Bank Dalam
Likuidasi”, serta penonaktifan seluruh Direksi
dan Dewan Komisaris. TL kemudian akan
menangani likuidasi dan pembubaran badan
hukum bank tersebut, dan melaporkan
pelaksanaan tugas tersebut kepada LPS.
2.3.5Singapura
Article 253 huruf g Companies Act (Statute
of the Republic of Singapore, Chapter 50)
menyebutkan bahwa dalam hal perusahaan
bergerak di bidang usaha perbankan,
perusahaan tersebut dapat ditutup (baik
secara sukarela ataupun tidak), berdasarkan
putusan Pengadilan atas permohonan the
Monetary Authority of Singapore (MAS).
Dalam hal bank akan atau menjadi insolven,
atau Bank tidak memenuhi kewajibannya,
atau Bank telah menunda atau akan menunda
pembayarannya, maka Bank tersebut harus
segera menginformasikan kepada MAS.36
MAS berwenang untuk melakukan tindakan-
tindakan tertentu dalam hal menurut
pendapat MAS, bank menjalankan kegiatan
usaha dengan cara-cara yang mungkin akan
merugikan nasabahnya atau mengalami
keadaan insolven atau tidak dapat memenuhi
kewajibannya dan melanggar ketentuan
undang-undang perbankan. Tindakan-
tindakan tertentu tersebut misalnya dengan
meminta bank untuk melakukan atau tidak
melakukan hal-hal yang terkait dengan usaha
bank, menunjuk satu atau lebih statutory
11
32 Pasal 2 ayat 3 Undang-Undang No.37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
33 Persyaratan kepailitan diatur dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang berbunyi sebagai berikut “Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.
34 Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
35 Pasal 3 Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan No. 001/PLPS/2010 tentang Likuidasi Bank.
36 Article 48 Banking Act
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
adviser, menunjuk satu orang atau lebih
statutory manager.37
Apabila setelah MAS melakukan tindakan-
tindakan tersebut di atas dan bank tetap
tidak bisa diselamatkan, maka MAS dapat
mengajukan permohonan winding up atas
Bank tersebut ke pengadilan.
2.3.6Malaysia
Sesuai Pasal 72 dan Pasal 73 ayat (1) huruf
(b) BAFIA, bank yang mengalami insolvensi
dapat diketahui melalui dua cara, yakni:
1) Dari bank yang bersangkutan, yang
kemudian diharuskan memberitahukan
hal tersebut kepada Bank Negara Malaysia
(BNM) selaku bank sentral;38 atau
2) Ditetapkan oleh BNM.39
Terhadap bank yang mengalami insolvensi
tersebut, BNM dengan terlebih dahulu
mendapat persetujuan dari Menteri
Keuangan40 dapat melakukan tindakan-
tindakan sebagai berikut:
1) Meminta bank dimaksud untuk mengambil
langkah-langkah yang diperlukan41 terkait
dengan kelembagaan, kegiatan usaha,
direktur maupun pegawai bank yang
bersangkutan, dalam jangka waktu
tertentu sebagaimana tertuang dalam
perintah BNM kepada bank tersebut;42
2) Melarang bank dimaksud untuk
melakukan ekspansi kredit dalam jangka
waktu tertentu, termasuk membuat
pengecualian-pengecualian atas larangan
tersebut dan memberlakukan
persyaratan-persyaratan yang harus
dipenuhi oleh bank terkait pengecualian-
pengecualian tersebut;43
3) Memberhentikan pegawai bank dimaksud
terhitung sejak tanggal efektif sebagaimana
ditetapkan dalam perintah BNM;44
4) Melakukan penggantian satu atau lebih
direktur pada bank tersebut;45 atau
5) Menunjuk seorang advisor bagi bank
tersebut, yang pembayaran remunerasinya
menjadi beban bank yang bersangkutan.46
12
37 Article 49 Banking Act
38 Lihat Pasal 72 BAFIA, yang berbunyi: “Any licensed institution which considers that it is insolvent, or is likely to become unable to meet all or any of its obligations, or, that it is about to suspend payment to any extent, shall immediately inform the Bank of that fact.” Sesuai Pasal 2 ayat (1) BAFIA, “’Bank’ means the Central Bank of Malaysia established by the Central Bank of Malaysia Act 1958.”
39 Lihat Pasal 73 ayat (1) huruf (b) BAFIA, yang berbunyi: “whether after an examination under section 69 or 70, or otherwise howsoever, the Bank is satisfied that a licensed institution—(i) is carrying on its business in a manner detrimental to the interests
of its depositors, or its creditors, or the public generally;(ii) is insolvent, or has become or is likely to become unable to meet
all or any of its obligations, or is about to suspend payment to any extent; or
(iii) has contravened any provision of this Act or the Central Bank of Malaysia Act 1958, or any condition of its licence, or any provision of any written law, regardless that there has been no criminal prosecution in respect thereof… “.
40 Lihat Pasal 73 ayat (1) paragraf kedua yang berbunyi: “….Provided that the powers of the Bank… shall be exercised only with the prior concurrence of the Minister.”
41 Termasuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan adalah melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
42 Lihat Pasal 73 ayat (1) huruf (A) BAFIA, yang berbunyi: “the Bank may, by order in writing, exercise any one or more of the following powers, as it deems necessary:(A) require the licensed institution to take any steps, or any action, or to do or not to do any act or thing, whatsoever, in relation to the institution, or its business, or its directors or officers, which the Bank may consider necessary and which it sets out in the order, within such time as may be set out therein”
43 Lihat Pasal 73 ayat (1) huruf (B) BAFIA, yang berbunyi: “…(B) prohibit a licensed institution from extending any further credit facility for such period as may be set out in the order, and make the prohibition subject to such exceptions, and impose such conditions in relation to the exceptions, as may be set out in the order, and, from time to time, by further order similarly made, extend the aforesaid period”
44 Lihat Pasal 73 ayat (1) huruf (C) BAFIA, yang berbunyi: “…(C) notwithstanding anything in any written law, or any limitations contained in the constituent documents of the licensed institution, for reasons to be recorded by it in writing, remove from office, with effect from such date as may be set out in the order, any officer of the licensed institution”
45 Lihat Pasal 73 ayat (1) huruf (D) BAFIA, yang berbunyi: “…(D) notwithstanding anything in any written law, or any limitations contained in the constituent documents of the licensed institution, and, in particular, notwithstanding any limitation therein as to the minimum or maximum number of directors, for reasons to be recorded by it in writing— (i) remove from office, with effect from such date as may be set out
in the order, any director of the licensed institution; or(ii) appoint any person or persons as a director or directors of the
licensed institution, and provide in the order for the person or persons so appointed to be paid by the institution such remuneration as may be set out in the order”
46 Lihat Pasal 73 ayat (1) huruf (E) BAFIA, yang berbunyi: “…(E) appoint a person to advise the licensedinstitution in relation to the proper conduct of its business, and provide in the order for the person so appointed to be paid by the institution such remuneration as may be set out in the order”
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
Dalam hal bank yang mengalami insolvensi
adalah bank lokal Malaysia, maka terlepas
apakah BNM telah atau belum mengambil
tindakan-tindakan sebagaimana tersebut di
atas, maka BNM harus merekomendasikan
kepada Menteri Keuangan, dan selanjutnya
Menteri Keuangan berdasarkan rekomendasi
dari BNM tersebut segera mengeluarkan
perintah yang dimuat dalam Berita Negara,
terkait dengan hal-hal sebagai berikut:
1) Bagi BNM untuk mengendalikan dan
menjalankan seluruh harta kekayaan dan
kegiatan bisnis dari bank tersebut, atau
menunjuk pihak lain untuk melakukan
pengendalian tersebut untuk dan atas
nama BNM, serta dengan beban biaya
BNM, atau remunerasi bagi pihak yang
ditunjuk tersebut dapat di settle dengan
harta kekayaan bank dengan segera
(preferen);47
2) Mengizinkan BNM untuk mengajukan
penetapan kepada Pengadilan Tinggi
terkait penunjukan kurator atau pengampu
untuk mengelola harta kekayaan dan
menjalankan bisnis bank tersebut, serta
melakukan seluruh perintah pengadilan
tinggi baik yang bersifat prinsipiil, insidentil
maupun supporting, sesuai dengan
arahan dari BNM;48
3) Mengizinkan BNM untuk mengajukan
gugatan ke pengadilan tinggi untuk
pembubaran bank.49
Perintah dari BNM yang berisi tindakan-
tindakan yang harus dilakukan bank yang
mengalami insolvensi sebagaimana tersebut
di atas maupun perintah dari Menteri
Keuangan yang dimuat dalam Berita Negara,
dari waktu ke waktu dapat dimodifikasi,
diubah, disesuaikan atau diganti.50
Lebih lanjut, aturan-aturan dalam BAFIA
yang terkait dengan penunjukan: (1) pihak
lain untuk mengelola/menjalankan bisnis
bank, (2) direktur baru, atau (3) advisor bagi
bank yang mengalami insolvensi adalah
sebagai berikut:
1) Penunjukan dilakukan untuk jangka
waktu tidak lebih dari 2 (dua) tahun.
Meskipun demikian, yang bersangkutan
dapat ditunjuk kembali untuk periode 3
(tiga) kali berturut-turut dengan masing-
masing periode tidak lebih dari 1 (satu)
tahun. Pihak yang ditunjuk wajib
menjalankan tugas sesuai dengan
perintah BNM.51
2) Syarat dan ketentuan yang berlaku bagi
pihak yang ditunjuk oleh BNM disesuaikan
dengan perintah yang mendasari
penunjukan dimaksud. Syarat dan
ketentuan dimaksud dibuat oleh BNM
dan harus mengikat juga bank yang
mengalami insolvensi yang berada di
bawah pengelolaannya.52
3) Pihak yang ditunjuk oleh BNM tidak
boleh dibebani dengan kewajiban atau
tanggung jawab semata-mata karena
penunjukannya.53
13
47 Lihat Pasal 73 ayat (2) huruf (a) BAFIA, yang berbunyi: “…(a) for the Bank to assume control of the whole of the property, business and affairs of the licensed institution, and carry on the whole of its business and affairs, or to assume control of such part of its property, business and affairs, and carry on such part of its business and affairs, as may be set out in the order, or for the Bank to appoint any person to do so on behalf of the Bank, and for the costs and expenses of the Bank, or the remuneration of the person so appointed, as the case may be, to be payable out of the funds and properties of the institution as a first charge thereon”
48 Lihat Pasal 73 ayat (2) huruf (b) BAFIA, yang berbunyi: “…(b) whether or not an order has been made under paragraph (a), to authorize an application to be made by the Bank to the High Court to appoint a receiver or manager to manage the whole of the business, affairs and property of the licensed institution, or such part thereof as may be set out in the order, and for all such incidental, ancillary or consequential orders or directions of the High Court in relation to such appointment as may, in the opinion of the Bank, be necessary or expedient”
49 Lihat Pasal 73 ayat (2) huruf (c) BAFIA, yang berbunyi: “…(c) whether or not an order has been made under paragraph (a) or (b), to authorize the Bank to present a petition to the High Court for the winding up of the institution”
50 Lihat Pasal 73 ayat (3) BAFIA.
51 Pasal 74 ayat (1) BAFIA.
52 Pasal 74 ayat (2) BAFIA.
53 Pasal 74 ayat (4) BAFIA.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
4) Penggantian direktur bank yang
mengalami insolvensi tidak membatasi
kemungkinan bank untuk menunjuk
direktur lagi jika anggaran dasar bank
tersebut memungkinkan hal itu dan
penunjukan direktur oleh BNM belum
membuat jumlah maksimum direktur
sebagaimana diatur dalam anggaran
dasar terpenuhi.54
5) Jika seorang kurator atau manager telah
ditunjuk oleh pengadilan tinggi, maka
seluruh biaya, beban dan pengeluaran
yang wajar, termasuk remunerasi untuk
kurator atau manager tersebut harus
dapat dibayar dengan harta kekayaan
dari bank. Kewajiban pembayaran ini
bersifat preferens dibandingkan dengan
kewajiban-kewajiban lainnya.55
Terkait dengan perintah dari BNM kepada
pegawai atau direktur tertentu dari bank yang
mengalami insolvensi untuk meninggalkan
kantor bank dimaksud, BAFIA mengatur hal-
hal sebagai berikut:
1) Pegawai atau direktur bank yang
diperintahkan untuk meninggalkan kantor
oleh BNM harus menghentikan seluruh
kegiatannya di kantor terhitung sejak
tanggal diperintahkan.
2) Pegawai atau direktur dimaksud juga
dilarang memegang posisi atau jabatan
di kantor lain pada bank dimaksud, atau
secara langsung maupun tidak langsung
turut berperan atau terlibat dalam
tindakan atau kegiatan apapun terkait
dengan bank.56
3) Perintah dari BNM kepada pegawai atau
direktur bank untuk meninggalkan kantor
adalah sah menurut hukum, terlepas dari
isi kontrak atau perjanjian yang dibuat
oleh pegawai atau direktur tersebut, dan
orang yang diperintahkan meninggalkan
kantor tidak diberikan hak untuk menuntut
ganti rugi atas kerugian yang timbul dari
perintah untuk meninggalkan kantor
tersebut.57
Terkait dengan pengambilalihan bank oleh
BNM atau pihak lain yang ditunjuk oleh BNM,
BAFIA mengatur hal-hal sebagai berikut:
1) Dalam hal BNM mengambil alih bank
yang mengalami insolvensi, maka bank
dimaksud beserta seluruh direktur dan
pegawainya harus menyerahkan harta
kekayaan, kegiatan usaha dan tindakan-
tindakannya dan menyediakan bagi BNM
atau pihak yang ditunjuk oleh BNM
seluruh fasilitas yang diminta guna
meneruskan kegiatan usaha dari bank
tersebut.58
2) Dalam hal BNM atau pihak yang ditunjuk
oleh BNM telah mengambil alih bank,
maka BNM atau pihak yang ditunjuk
tersebut harus menjalankan kendali atas
bank untuk dan atas nama bank sampai
jangka waktu yang disebutkan dalam
perintah berakhir.59
3) Selama periode kontrol, BNM atau pihak
yang ditunjuk diberikan kekuasaan penuh
atas bank dimaksud beserta seluruh
direkturnya.60
4) Selama jangka waktu pengambil alihan
kendali tersebut, tidak seorang direktur
pun pada bank dimaksud dibenarkan
untuk, baik langsung maupun tidak
langsung, terlibat dalam kegiatan usaha
bank, kecuali diminta atau disetujui oleh
BNM atau pihak yang ditunjuk oleh BNM,
serta tidak dibenarkan untuk membayar
remunerasi kepada direktur tersebut
terkait dengan aktivitas yang diminta
atau disetujui untuk dijalankan oleh BNM,
14
54 Pasal 74 ayat (3) BAFIA.
55 Pasal 74 ayat (5) BAFIA.
56 Pasal 75 ayat (1) BAFIA.
57 Pasal 75 ayat (2) BAFIA.
58 Pasal 76 ayat (1) BAFIA.
59 Pasal 76 ayat (2) BAFIA.
60 Pasal 76 ayat (3) BAFIA.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
kecuali telah mendapat persetujuan
tertulis dari BNM atau pihak yang ditunjuk
oleh BNM.61
5) Untuk menghindari keragu-raguan, UU
menyatakan bahwa perintah yang
dikeluarkan oleh BNM atau Menteri
Keuangan tidak boleh berdampak pada
pengalihan title/kepemilikan atau
kepentingan atas harta kekayaan bank
kepada BNM atau pihak yang ditunjuk
BNM.62
6) Kewenangan yang diberikan kepada BNM
atau pihak yang ditunjuk sesuai BAFIA
adalah penambahan kewenangan
sebagaimana diatur dalam Pasal 64 ayat
(1) Companies Act 1965.63
Lebih lanjut, dalam hal BNM atau pihak yang
ditunjuk oleh BNM mengambil alih kendali
dari bank yang mengalami insolvensi, dan
modal disetor dari bank tersebut mengalami
penurunan atau tidak tercerminkan dari asset
yang ada, BNM atau pihak yang ditunjuk
dapat meminta penetapan kepada Pengadilan
Tinggi agar memerintahkan pengurangan
modal ditempatkan (share capital) bank
dengan membatalkan sebagian dari modal
disetor yang hilang/turun atau yang tidak
tercermin dari asset yang ada.64 Dalam hal
kemudian Pengadilan Tinggi memerintahkan
penurunan modal ditempatkan atas bank,
maka:
a. berdasarkan permintaan BNM atau pihak
yang ditunjuk; dan
b. jika dalam jangka waktu 30 (tiga puluh
hari) sejak tanggal permintaan bank
kepada shareholders untuk menambah
modal, permintaan dimaksud tidak
dipenuhi, pengadilan juga dapat
memerintahkan pembatalan atas
permintaan penambahan modal yang
belum dibayar tersebut.65 Jika modal
ditempatkan telah diturunkan atau
permintaan penambahan modal telah
dibatalkan, maka BNM atau pihak yang
ditunjuk dapat memerintahkan perubahan
anggaran dasar dari bank tersebut.
Terkait dengan kewenangan Pengadilan
Tinggi, apabila permintaan telah dibuat oleh
BNM kepada Pengadilan Tinggi, maka:
a. Pengadilan Tinggi memiliki kewenangan
sebagaimana dimaksud pada Pasal 64
Companies Act 1965, khususnya terkait
dengan “application for confirmation”;
dan
b. Pasal 64 ayat (9) dan ayat (10) dari
Companies Act 1965 berlaku.66
Lebih lanjut, dalam hal BNM menganggap
bahwa suatu bank tidak akan dapat
memenuhi seluruh atau sebagian dari
kewajibannya atau akan menghentikan
pembayaran, maka dengan tanpa
mengabaikan ketentuan Pasal 31 dan
dengan memperhatikan Pasal 42 Central
Bank of Malaysia Act 1958, maka BNM atas
persetujuan Menteri Keuangan dapat:
a. memberikan pinjaman kepada bank
dengan jaminan surat berharga yang
dapat berupa: (1) saham dari bank
tersebut, (2) saham perusahaan lain, atau
(3) surat berharga lainnya dalam jumlah
yang cukup;
b. membeli saham dari bank tersebut
dengan maksud mengendalikan kegiatan
usaha bank; atau
c. memberikan pinjaman kepada perusahaan
lain untuk membeli saham, atau seluruh
atau sebagian harta dan kewajiban dari
bank tersebut.67
15
61 Pasal 76 ayat (4) BAFIA.
62 Pasal 76 ayat (5) BAFIA.
63 Pasal 77 ayat (4) BAFIA.
64 Pasal 77 ayat (1) BAFIA.
65 Pasal 77 ayat (2) BAFIA.
66 Pasal 77 ayat (4) BAFIA.
67 Pasal 78 ayat (1) BAFIA.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
BNM atau perusahaan yang diberi pinjaman
untuk membeli saham bank sebagaimana
tersebut di atas harus segera mengalihkan
saham yang telah dibeli pada saat BNM
berpendapat bahwa alasan untuk memiliki
saham tersebut telah tidak ada.68 Dalam
melaksanakan kewenangan tersebut, BNM
harus berkonsultasi dengan Advisory Panel,
yakni panel yang dibentuk berdasarkan Pasal
31A (2) Central Bank of Malaysia Act 1958.69
Terkait dengan penggunaan istilah “bank”
dalam Bab X, untuk bank yang mengalami
insolvensi, maka istilah tersebut harus dibaca
(termasuk):
a. perusahaan terkait dengan bank; dan
b. orang yang dikendalikan oleh direktur
bank, atau oleh orang yang bertindak
untuk kepentingan direktur bank.70
Lebih lanjut, Menteri Keuangan memiliki
kewenangan sebagai berikut:71
1) Berdasarkan rekomendasi dari BNM jika
dirasa menguntungkan bagi deposan
bank, dan melalui suatu perintah yang
dipublikasikan melalui Berita Negara,
maka Menteri Keuangan dapat:
a. melarang bank menjalankan kegiatan
usahanya, baik sebagian atau
seluruhnya;
b. melarang bank untuk melakukan
aktivitas atau fungsi terkait dengan
kegiatan usahanya;
c. mengizinkan BNM untuk mengajukan
penetapan kepada pengadilan tinggi
agar memerintahkan dalam jangka
waktu maksimal 6 (enam) bulan
dilakukan atau dilangsungkannya
tindakan atau proses perdata oleh
atau melawan bank terkait dengan
kegiatan usaha bank tersebut;
d. membekukan izin bank dimaksud
untuk suatu periode tertentu jika
dianggap perlu; atau
e. melakukan langkah-langkah yang
diperlukan untuk efektivitas pengenaan
sanksi termasuk menaruh di bawah
kustodian atau kontrol BNM atas harta
kekayaan, buku, dokumen atau
kepemilikan bank.
Perintah dari Menteri Keuangan
sebagaimana tersebut di atas dari waktu
ke waktu dapat dimodifikasi, diubah,
disesuaikan atau diganti.
2.4. Prioritas pembayaran dalam proses insolvensi
dan kepailitan bank dan aspek Perlindungan
nasabah
2.4.1Filipina
Kedudukan nasabah bank dalam perkara
insolvensi dan kepailitan bank sesuai dengan
ketentuan the New Central Bank Act termasuk
dalam kategori kreditur konkuren. Namun
demikian, nasabah bank tetap memperoleh
perlindungan dari pemerintah melalui
penjaminan simpanan oleh PDIC sebesar
maksimum P 500.000 (sekitar Rp.100 juta,
kurs P 1 = Rp.200,00 ) per nasabah. Dengan
demikian, dalam hal terjadi suatu bank
mengalami insolvensi dan kemudian dilikuidasi
berdasarkan suatu putusan pengadilan maka
nasabah bank berhak untuk mengajukan
klaim kepada PDIC terkait dengan simpanannya
maksimum senilai P 500.000. Sementara itu
dalam penyelesaian aset dan harta aset bank,
PDIC mengacu kepada section 31 the New
Central Bank Act dan the civil code terkait
dengan kedudukan dan urutan kreditur
preferen dan konkuren.
Sesuai dengan section 31 the New Central
Bank Act diatur bahwa dalam hal suatu bank
atau quasi bank dilikuidasi maka aset dan
harta bank akan dicairkan untuk memenuhi
kewajiban-kewajiban bank dengan urutan
16
68 Pasal 78 ayat (2) BAFIA.
69 Pasal 78 ayat (3) BAFIA.
70 Pasal 79 BAFIA.
71 Kewenangan Menteri Keuangan Malaysia ini diatur dalam Pasal 80
BAFIA.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
sebagai berikut :
1) pembayaran biaya perkara di pengadilan;
2) biaya dan fee PDIC yang diizinkan oleh
pengadilan;
3) pembayaran kewajiban-kewajiban bank
berdasarkan perintah pengadilan yang
berpedoman pada ketentuan kreditur
konkuren dan preferen sebagaimana
diatur dalam the Civil Code.
2.4.2Vietnam
Setiap credit institution yang memperoleh
izin untuk melakukan kegiatan perbankan di
Vietnam, wajib berpartisipasi dalam deposit
insurance72. Maksimum simpanan per nasabah
yang dapat dibayar penjaminannya adalah
sebesar 50 juta Dong sedangkan perubahan
atas besarnya nilai penjaminan akan
ditetapkan oleh Perdana Menteri73.
Dalam hal hakim mengeluarkan putusan
untuk melakukan likuidasi, maka terhadap
utang-utang yang dijamin dengan properties
mortgaged atau pledge yang telah dilakukan
sebelum pengadilan menerima permohonan
penetapan kepailitan akan diprioritaskan
untuk dibayar kembali dengan penjualan
harta yang dijaminkan. Dalam hal nilai harta
yang dijaminkan tidak mencukupi untuk
pembayaran utang dimaksud maka
pembayaran sisa utang akan dibayarkan dari
hasil likuidasi kekayaan debitur pailit. Dalam
hal nilai harta yang dijadikan jaminan lebih
besar dari utang maka kelebihannya akan
ditambahkan menjadi kekayaan debitur pailit.74
Bagi badan usaha yang telah mendapatkan
bantuan dari negara untuk melakukan
penyehatan usaha namun tetap gagal dan
dilikuidasi maka badan usaha dimaksud wajib
mengembalikan biaya yang dikeluarkan oleh
negara untuk melakukan penyehatan,
sebelum dilakukan pembagian harta kekayaan
badan usaha kepada para kreditur.75
Selanjutnya, pembagian sisa harta kekayaan
badan usaha yang dilikuidasi diatur berdasarkan
urutan pembayaran sebagai berikut76:
1. biaya kepailitan;
2. utang gaji, pesangon, asuransi sosial untuk
karyawan, dan kepentingan karyawan
lainnya berdasarkan kesepakatan dan
perjanjian dengan karyawan;
3. unsecured debts yang dapat dibayar
kepada para kreditur yang tercantum
dalam daftar kreditur berdasarkan prinsip
bahwa jika nilai kekayaan debitur pailit
mencukupi untuk pembayaran kembali
utang-utangnya, setiap kreditur akan
dibayar sejumlah piutangnya; jika nilai
kekayaan debitur pailit tidak mencukupi
untuk pembayaran utang-utangnya,
setiap kreditur akan dibayar berdasarkan
pembagian sesuai dengan rasio tertentu.
Dalam hal masih terdapat sisa nilai kekayaan
badan usaha setelah dilakukan pembayaran
atas utang-utang sesuai dengan urutan
pembayaran tersebut di atas, maka sisa
kekayaan akan menjadi milik dari77:
1. cooperative members;
2. para pemilik dari private enterprises;
3. members of companies; the shareholders
of joint-stock companies;
4. para pemilik dari State enterprises.
17
72 Section 1, point 1.a., Circular State Bank of Vietnam No. 03/2006/TT-NHNN tanggal 25 April 2006 tentang Guiding the implementation of several contents of the Decree No. 89/1999/ND-CP dated 01/09/1999 of the Government on deposit insurance and the Decree No.109/2005/ND-CP dated 24/8/2005 of the Government on the amandment, supplement of several articles of the Decree No. 89/1999/ND-CP.
73 Article 4, Decree No. 89/1999/ND-CP tanggal 1 September 1999, tentang Deposit Insurance sebagaimana telah diubah dengan Decree No. 109/2005/ND-CP tanggal 24 Agustus 2005.
74 Article 35, Law No. 21/2004/QH11 tanggal 15 Juni 2004, tentang Bankruptcy Law.
75 Article 36, Law No. 21/2004/QH11 tanggal 15 Juni 2004, tentang Bankruptcy Law.
76 Clause 1 Article 37, Law No. 21/2004/QH11 tanggal 15 Juni 2004, tentang Bankruptcy Law.
77 Clause 2 Article 37, Law No. 21/2004/QH11 tanggal 15 Juni 2004, tentang Bankruptcy Law.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
2.4.3Thailand
Sesuai dengan the Bankruptcy Act dan the
Civil and Commercial Act, kreditur preferen
(secured creditor) yaitu kreditur-kreditur yang
memegang hak-hak kebendaan atas aset-
aset debitur dalam bentuk mortgage, pledge,
atau hak retensi atau seorang kreditur yang
memegang hak-hak preferensi yang sejenis
dengan pledge, memiliki hak untuk mengklaim
aset-aset debitur pailit terlebih dahulu
sebelum dikeluarkannya perintah pengadilan
untuk menempatkan aset-aset debitur pailit
dibawah pengawasan dan pengelolaan
kurator (receiver).78 Namun demikian,
kreditur preferen harus mengizinkan kurator
untuk memeriksa legalitas dan keabsahan
aset-aset debitur tersebut. Selanjutnya,
setelah kreditur preferen mengeksekusi aset-
aset debitur dan ternyata aset debitur
tersebut belum cukup untuk memenuhi
kewajiban debitur maka kreditur preferen
tersebut dapat mengajukan klaim untuk sisa
kewajiban debitur yang belum dipenuhi.
Dalam hal kepailitan bank, nasabah bank
termasuk ke dalam golongan kreditur
konkuren berdasarkan the Bankruptcy Act
dan the Civil and Commercial Code.
Dengan demikian, nasabah bank berada
dalam prioritas yang rendah dalam proses
penyelesaian pembayaran kewajiban-
kewajiban bank pailit.79
Namun demikian, dalam rangka memberikan
kepercayaan kepada nasabah penyimpan,
pemerintah menyediakan skim penjaminan
untuk nasabah bank terkait dengan
simpanannya dalam hal terjadi kepailitan atau
likuidasi bank. Perlindungan nasabah bank
tersebut diatur dalam the Deposit Insurance
Act BE 2551 tahun 2008 yang mulai berlaku
pada tanggal 10 Agustus 2008. Dalam
undang-undang tersebut diatur bahwa dari
sejak berlakunya the Deposit Insurance Act
sampai dengan tanggal 11 Agustus 2011,
nasabah bank mendapatkan penjaminan 100
% (seratus persen) atas seluruh simpanannya.
Selanjutnya, sejak tanggal 11 Agustus 2011
sampai dengan tanggal 10 Agustus 2012,
nilai penjaminan simpanan turun menjadi 50
(lima puluh) juta baht atau setara dengan
Rp.15 milyar dan sejak tanggal 10 Agustus
2012, nilai penjaminan simpanan nasabah
bank diberikan hanya sebesar 1 (satu) juta
baht atau setara dengan Rp.300 juta.
2.4.4Indonesia
Pengaturan mengenai prioritas pembayaran
dalam proses insolvensi dan kepailitan bank
dalam kerangka Undang-Undang Kepailitan
mengacu kepada Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata Pasal 1134, 1139, dan 1149,
Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang
Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-
benda yang Berkaitan dengan Tanah
(Undang-Undang Hak Tanggungan) dan
Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-Undang No. 16 Tahun 2009.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut,
dapat disimpulkan bahwa prioritas
pembayaran dalam hal terjadi kepailitan
bank mengikuti tata urutan sebagai berikut:
a. ongkos pengadilan dan biaya-biaya lelang;
b. pajak-pajak;
c. klaim dari kreditur-kreditur preferen yaitu
kreditur yang memegang hak-hak
kebendaan seperti gadai, hipotik, fidusia
dan hak tanggungan atas aset-aset
debitur sebagaimana diatur dalam Pasal
1134 KUH Perdata, dan Undang-Undang
Hak Tanggungan;
d. klaim dari kreditur-kreditur yang memiliki
hak privileged sebagaimana diatur dalam
Pasal 1139 dan 1149 KUH Perdata yaitu
18
78 Lorenz & Partner, Legal, tax and Business Consultants, Bankruptcy and Business Reorganization, hal 9.
79 Dr.Andrew M. Goodman,Thailand’s Deposit Insurance Law : Recent Changes and How They Can Affect You, hal 2
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
antara lain terkait dengan penjual barang
bergerak dan tidak bergerak yang belum
terbayar, biaya penyimpanan gudang
yang belum terbayar, gaji karyawan dan
upah buruh yang belum terbayar, klaim
berkenaan dengan biaya pengangkutan,
legal fees;
e. kreditur konkuren.
Nasabah bank termasuk dalam kategori
kreditur konkuren dalam penyelesaian harta
bank yang dipailitkan. Namun demikian,
nasabah bank mendapatkan jaminan atas
simpanannya sebagaimana diatur dalam Pasal
10 dan Pasal 11 Undang-Undang tentang
Lembaga Penjamin Simpanan.80
Berbeda dengan prioritas pembayaran dalam
prosedur kepailitan bank sebagaimana diatur
dalam KUH Perdata, prioritas pembayaran
dalam proses likudasi bank diatur sebagai
berikut :
a. penggantian atas talangan pembayaran
gaji pegawai yang terutang;
b. penggantian atas pembayaran talangan
pesangon pegawai;
c. biaya perkara di pengadilan, biaya lelang
yang terutang, dan biaya operasional
kantor;
d. biaya penyelamatan yang dikeluarkan
oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
dan/atau pembayaran atas klaim
Penjaminan yang harus dibayarkan oleh
LPS;
e. pajak yang terutang;
f. bagian simpanan dari nasabah penyimpan
yang tidak dibayarkan penjaminannya
dan simpanan dari nasabah penyimpan
yang tidak dijamin; dan
g. hak dari kreditur lainnya.
2.4.5Singapura
Kewajiban bank yang harus dibayarkan
sebagaimana diatur dalam Section 62
Banking Act harus diprioritaskan dari
kewajiban konkuren bank lainnya selain dari
utang yang harus didahulukan sebagaimana
diatur dalam Section 328 (1) Companies Act.
Section 62 Banking Act mengatur tata urutan
pendistribusian kewajiban dalam hal terjadi
penutupan Bank sbb :
1) Kontribusi premi yang jatuh tempo dan
harus dibayarkan berdasarkan the Deposit
Insurance Act (Cap. 77A);
2) Kewajiban bank yang timbul terkait
simpanan yang diasuransikan, sampai
dengan jumlah kompensasi yang
dibayarkan dengan dana oleh the
Singapore Deposit Insurance Corporation
(SDIC) berdasarkan Deposit Insurance
Act terkait simpanan yang diasuransikan
dimaksud;
3) Kewajiban bank terkait simpanan yang
timbul dari nasabah non bank selain yang
dispesifikasikan pada angka 2 dan 4;
4) Kewajiban bank terkait simpanan yang
timbul dengan nasabah non-bank apabila
mengoperasikan Asian Currency Unit yang
disetujui berdasarkan section 77.
Kewajiban dimaksud harus :
1) diperingkatkan sebagaimana di atas, akan
tetapi dalam hal kewajiban tersebut
berada pada kelas yang sama maka harus
diperingkatkan setara di antara mereka;
2) dibayarkan penuh kecuali apabila aset
bank tidak cukup memenuhi, maka harus
dibagi dengan proporsi yang adil di antara
mereka.
Lebih lanjut, dalam Section 62 A juga diatur
bahwa dalam hal terjadi penutupan bank di
Singapore, likuidator harus terlebih dahulu
melakukan set off atas kewajiban nasabah
terhadap bank (baik di dalam ataupun di luar
Asian Currency Unit di bank tersebut)
19
80 Pasal 10 UULPS mengatur bahwa LPS menjamin Simpanan nasabah bank yang berbentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. Pasal 11 ayat (1) berbunyi bahwa Nilai Simpanan yang dijamin untuk setiap nasabah pada satu bank paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
terhadap segala simpanan nasabah yang
ditempatkan dalam bank selain dalam Asian
Currency Unit di bank dimaksud.
Sedangkan tata urutan pendistribusian harta
bank menurut Section 328 (1) Companies
Act yang memiliki hak didahulukan
dibandingkan floating chargeholder dan
kreditor konkuren diatur sebagai berikut:
1) pembayaran biaya dan pengeluaran
terkait penutupan;
2) pembayaran penghasilan atau gaji
sampai dengan lima kali gaji pegawai
atau S$7,500 (yang mana yang lebih
kecil);
3) pembayaran manfaat retrenchment dan
pembayaran ex gratia berdasarkan
Companies Act dengan jumlah maksimal
S$7,500;
4) pembayaran kompensasi pekerja atas
kerugian yang diderita selama bekerja
berdasarkan ketentuan dalam Work Injury
Compensation Act;
5) pembayaran kontribusi kepada national
superannuation scheme;
6) pembayaran remunerasi yang dibayarkan
terkait cuti liburan;
7) pembayaran pajak;
8) manfaat penghargaan dan retrenchment
berdasarkan Employment Act.
Apabila tidak terdapat aset perusahaan yang
cukup untuk membayar kewajiban yang
didahulukan dimaksud, kewajiban dimaksud
akan dibagi secara proporsional. Selanjutnya,
kewajiban yang berada pada peringkat yang
lebih rendah dan kreditur tanpa jaminan
lainnya tidak dibayarkan.
Sisa harta bank setelah pembayaran kepada
secured, preferred dan unsecured creditors
akan dibagikan kepada para pemegang
saham. Dalam hal terdapat saham preferen,
hak atau preferensi akan dilakukan berdasarkan
ketentuan dalam Memorandum of Association
perusahaan dimaksud. Sedangkan pemegang
saham biasa akan berpartisipasi sama rata
atas sisa aset.
Dalam hal bank (yang termasuk dalam Deposit
Insurance Scheme) insolven, simpanan
nasabah paling banyak sebesar S$ 50,000
mendapatkan perlindungan dari Pemerintah
dan berhak untuk mendapatkan kompensasi.
Sesuai Section 21 Deposit Insurance and
Policy Owners’ Protection Schemes Act 2011,
MAS akan memerintahkan SDIC untuk
membayarkan kompensasi kepada nasabah,
dalam hal terdapat putusan pengadilan untuk
menutup bank (yang termasuk dalam Deposit
Insurance Scheme member) tersebut; atau
MAS menetapkan bank tersebut insolven,
tidak mampu atau akan tidak mampu
memenuhi kewajibannya atau akan menunda
pembayarannya.
2.4.6Malaysia
Kedudukan nasabah bank dalam perkara
insolvensi dan kepailitan bank sesuai dengan
ketentuan Pasal 81 ayat (1) BAFIA termasuk
dalam kategori kreditur preferen dibandingkan
dengan seluruh kewajiban lainnya yang
menjadi tanggung jawab bank tersebut.81
Namun demikian, dalam menentukan seluruh
kewajiban dari bank tersebut, maka:
1) bank dilarang memperhitungkan dana
simpanan nasabah pada bank dimaksud
yang pembukaan rekeningnya dilakukan
bertentangan dengan ketentuan pada
BAFIA dan yang dibuat setelah tanggal
efektif, atau yang dibuat sebelum atau
setelah tanggal efektif namun dilakukan
secara melawan hukum.
2) hak untuk melakukan set-off
diberlakukan.82
Sesuai Pasal 81 ayat (4) BAFIA, ketentuan
mengenai kewajiban pembayaran ini tetap
berlaku walaupun terdapat ketentuan hukum
lain selain BAFIA yang mengatur secara berbeda.
20
81 Pasal 81 ayat (1) BAFIA.
82 Pasal 81 ayat (2) dan ayat (3) BAFIA
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
2.5. Pengaturan insolvensi dan kepailitan bank
yang beroperasi lintas batas (cross border
insolvency)
2.5.1Filipina
Filipina menganut asas bahwa pengadilan
atau lembaga-lembaga administratif Filipina
tidak mempunyai yurisdiksi yang efektif
terhadap aset-aset debitur korporasi yang
berada diluar negeri apabila debitur korporasi
tersebut tidak memiliki kontrol terhadap
aset-aset diluar negeri tersebut. Hal ini sejalan
dengan asas lex situs83 yang dianut Filipina
dan Article 16 Civil Code yang mengatur
sebagai berikut : “real property as well as
personal property is subject to the law of
the country where it is situated”.84
Terkait dengan asas dan ketentuan tersebut,
dalam hal suatu institusi dipailitkan di Filipina
maka pengadilan Filipina hanya akan
menjangkau aset dan harta debitur pailit
yang berada di yurisdiksi Filipina. Dengan
demikian, dalam hal debitur pailit tersebut
memiliki aset dan harta di luar negeri maka
status aset dan harta tersebut tunduk dan
bergantung pada putusan pengadilan negara
dimana aset tersebut berada karena aset
dan harta debitur pailit yang berada diluar
negeri sepenuhnya tunduk pada hukum dan
perundang-undangan negara setempat.
Demikian pula, dalam hal suatu institusi
dipailitkan di suatu negara dan memiliki aset
dan harta yang berada di Filipina maka tidak
mudah untuk mengeksekusi putusan
pengadilan asing terkait dengan aset dan
harta debitur pailit di Filipina karena
pengadilan Filipina beranggapan bahwa
pengadilan asing tidak mempunyai yurisdiksi
yang memadai terhadap aset debitur pailit
yang berada di Filipina.85
Tidak ada diskriminasi perlakuan antara
kreditur asing dengan kreditur lokal terkait
dengan prioritas pembayaran. Demikian pula
tidak ada persyaratan khusus atau tambahan
agar klaim dari kreditur asing diakui oleh
pengadilan Filipina.
2.5.2Vietnam
Hukum kepailitan (the Bankruptcy Law)
Vietnam tidak mengatur secara spesifik
bahwa putusan pengadilan kepailitan
Vietnam menjangkau aset-aset debitur yang
berada di luar negeri. Namun demikian, the
Bankruptcy law berlaku selain terhadap
debitur-debitur korporasi yang didirikan di
Vietnam juga badan hukum asing atau warga
negara asing yang berada di Vietnam.86
The Bankruptcy Law tidak membedakan
pengaturan terhadap kreditur lokal dan
kreditur asing dan oleh karena itu kreditur
asing dan kreditur lokal diperlakukan sama
didepan pengadilan dalam proses kepailitan.
2.5.3Thailand
Hukum Kepailitan Thailand tidak menjangkau
aset-aset debitur korporasi yang berada
terletak di luar yurisdiksi Thailand. Hukum
kepailitan Thailand hanya berlaku terhadap
aset-aset debitur pailit yang berada wilayah
kerajaan Thailand.87
Hukum kepailitan asing tidak dapat
menjangkau atau mempunyai dampak
terhadap aset-aset debitur pailit yang berada
di Thailand. Aset-aset debitur pailit yang
berada di luar wilayah kerajaan Thailand
tunduk pada hukum kepailitan negara
dimana aset debitur pailit tersebut berada.
21
83 Bahasa latin, mengandung pengertian bahwa hukum yang berlaku bagi suatu aset dan/atau property adalah hukum negara dimana aset dan/atau property itu berada (Black’s Law Dictionary, seventh edition)
84 Asean Development Bank, Promoting Regional Cooperation in the Development of Insolvency reform, Country Report for Singapore Conference Cross-Border Insolvency – Indonesia, Korea, Philippines and Thailand
85 Asean Development Bank, Regional Technical Assistance Project No.5795-REG. Insolvency Law Reforms Report on Philippines, hal 61.
86 www.insol.org/pdf/cross_pdfs/Vietnam.pdf
87 Section 177 the Bankruptcy Act
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
Klaim dari kreditur asing diakui berdasarkan
section 91 the Bankruptcy Act B.E.2541.
Namun demikian terdapat ketentuan khusus
terkait dengan klaim dari kreditur asing yang
menyebutkan bahwa adanya bukti bahwa
kreditur Thailand juga mendapatkan perlakuan
yang sama berdasarkan hukum negara
dimana negara asing tersebut bertempat
tinggal. Dalam hal kreditur asing tersebut
telah menerima sebagian pembayaran klaim
di negara asalnya maka kreditur tersebut
harus bersedia untuk menyerahkan hasil
pembayaran tersebut untuk ditambahkan
dalam harta debitur yang berada di Thailand.88
Thailand bukan negara anggota dari konvensi
internasional terkait dengan persoalan-
persoalan insolvensi. Namun demikian,
Thailand menunjuk wakilnya untuk menghadiri
the Working Group on Insolvency Law yang
diinisiasi oleh the United Nations Commision
on International Trade Law dalam rangka
penyusunan draft UNCITRAL Model Legislative
Provision on Cross Border Insolvency.
2.5.4Indonesia
Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang
Kepailitan, harta debitur pailit meliputi semua
kekayaan debitur pada saat putusan
pernyataan pailit termasuk kekayaan yang
diperoleh selama proses kepailitan.89 Harta
debitur pailit tersebut juga meliputi harta
debitur pailit yang berada di luar wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia.90
Dalam prakteknya, pelaksanaan eksekusi
putusan kepailitan terhadap aset-aset debitur
pailit yang berada di luar negeri tentunya
tidak mudah untuk dilakukan karena tidak
semua negara secara otomatis mengakui
putusan kepailitan pengadilan asing.
Tidak ada ketentuan khusus dan perbedaan
perlakuan antara kreditur asing dengan
kreditur lokal dalam prioritas pembayaran.
Kreditur asing dapat turut serta dalam proses
kepailitan dan memperoleh pembayaran
dengan menunjukkan bukti-bukti yang
mendukung.
2.5.5Singapura
Singapura adalah sebuah negara common
law yang banyak dipengaruhi oleh hukum
Inggris. Terkait dengan hukum perusahaan,
hukum Singapura mirip dengan hukum
perusahaan yang berlaku di Inggris dan
negara-negara commonwealth lainnya seperti
Australia, Canada, dan Malaysia.
Terkait dengan pengaturan cross border
insolvency, Singapura menerapkan hukum
dimana perusahaan didirikan (the law of the
place of incorporation of a company).
Berdasarkan hukum tersebut diatur bahwa
dalam hal suatu perusahaan didirikan di
Singapura, hukum insolvensi Singapura
menjangkau semua aset-aset yang dimiliki
oleh perusahaan tersebut dimanapun berada.
Di sisi lain, dalam hal suatu perusahaan asing
baik yang terdaftar maupun yang tidak
terdaftar di Singapura mengalami kepailitan
maka hukum insolvensi Singapura hanya
berlaku terhadap aset-aset perusahaan asing
tersebut yang ada di Singapura.91
Tidak ada diskriminasi terhadap kreditur-
kreditur asing yang memiliki hak tagih kepada
debitur pailit di Singapura. Kreditur asing
berhak untuk datang dan mengikuti proses
likuidasi dan berpartisipasi dalam proses
rehabilitasi sebagaimana layaknya kreditur-
kreditur lokal.
22
88 www.adb.org/documents/others/insolvency/local_study_tha_p.pdf.
89 Pasal 21 Undang-Undang Kepailitan mengatur bahwa kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitur pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan.
90 Pasal 212 Undang-Undang Kepailitan menyebutkan bahwa Kreditor yang setelah putusan pernyataan pailit diucapkan mengambil pelunasan seluruh atau sebagian piutangnya dari benda yang termasuk harta pailit yang terletak diluar wilayah Negara Republik Indonesia, yang tidak diperikatkan kepadanya dengan hak untuk didahulukan wajib mengganti kepada harta pailit segala apa yang diperolehnya. 91 www.adb.org/documents/others/insolvensy
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
2.5.6Malaysia
Berdasarkan hukum dan prinsip-prinsip
hukum perselisihan Malaysia di atur bahwa
Likuidator Malaysia dipandang memiliki
yurisdiksi terhadap aset-aset debitur korporasi
yang didirikan (incorporated) di Malaysia yang
berada diluar negeri. Selanjutnya, melalui
kerjasama antar negara, diharapkan bahwa
berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum
privat internasional, pengadilan asing dimana
aset-aset debitur tersebut berada akan
mengakui keberadaan Likuidator Malaysia.
Tidak terdapat perbedaan atau diskriminasi
dalam Hukum Malaysia terkait dengan klaim
dari kreditor lokal maupun asing. Selain itu,
tidak terdapat ketentuan khusus atau
persyaratan tambahan bagi kreditor asing
untuk dapat melakukan klaim, khususnya
terkait dengan prioritas pembayaran. Satu-
satunya ketentuan yang terkait dengan klaim
kreditor asing adalah Exchange Control Act
1953 yang mewajibkan kreditor asing
mendapatkan izin dari Malaysian Controller
of Exchange Control (Bank Negara Malaysia)
untuk membawa hasil klaimnya ke luar dari
wilayah Malaysia. Dalam praktiknya, izin
dimaksud sangat jarang tidak dikabulkan.
2.6. Pengakuan dan pelaksanaan putusan
pengadilan asing terkait dengan kepailitan
bank
2.6.1Filipina
Pengadilan Filipina tidak mengakui proses
peradilan dan putusan pengadilan asing
terkait dengan harta debitur pailit yang berada
di Filipina. Dengan demikian, walaupun terjadi
suatu pengadilan asing telah memutuskan
kepailitan suatu debitur dan kepailitan
tersebut juga meliputi aset dan harta debitur
pailit di Filipina maka dalam prakteknya
putusan pengadilan asing tersebut sulit untuk
diakui dan dieksekusi di Filipina. Oleh karena
itu, apabila kreditur asing atau lembaga asing
akan mengklaim aset debitur pailit yang
berada di Filipina, harus dilakukan dengan
mengajukan gugatan pailit ke pengadilan
Filipina dengan mengacu pada persyaratan-
persyaratan yang ditetapkan dalam the
Insolvency Law of the Philippines.
Filipina mengakui keberadaan UNICITRAL
Model Law on Cross Border Insolvency, namun
tidak ada satupun ketentuan dan perundang-
undangan Philippines terkait dengan insolvensi
dan kepailitan yang mengadopsi model law
tersebut.92
2.6.2Vietnam
Berdasarkan the Civil Procedure Code93 (the
CPC) diatur bahwa putusan pengadilan
negara asing akan diakui di Vietnam apabila
negara asing tersebut menandatangani
perjanjian dengan Vietnam terkait dengan
pengakuan dan eksekusi putusan pengadilan
asing atau negara asing tersebut merupakan
co-signatory sebuah international treaty
tentang pengakuan dan eksekusi putusan
pengadilan asing dimana Vietnam juga
terikat dengan perjanjian tersebut.94 Pada
saat ini Vietnam telah menandatangani
perjanjian bilateral dengan 11 Comecon
countries95 terkait dengan pengakuan dan
pelaksanaan putusan pengadilan asing.
Namun demikian Vietnam belum
menandatangani perjanjian bilateral terkait
dengan pengakuan dan pelaksanaan
putusan pengadilan asing dengan negara-
negara ASEAN. Sampai dengan saat ini,
23
92 Opcit.
93 The Civil Procedure Code (the CPC) adalah kodifikasi atau kumpulan ketentuan-ketentuan dan prosedur terkait dengan civil court, economic court dan labour court dan prosedur pengakuan dan eksekusi putusan pengadilan asing dan dan arbitrase asing. The CPC disahkan oleh the National Assembly Vietnam pada tanggal 15 Juni 2004 dan mulai berlaku efektif tanggal 1 Januari 2005.
94 www.herbersmith.com
95 Comecon countries adalah sebuah organisasi ekonomi yang didirikan pada masa pemerintahan Uni Sovyet yang terdiri dari negara-negara blok Timur dan negara-negara komunis di seluruh dunia. (sumber wikipedia)
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
Vietnam juga bukan merupakan negara
penandatangan perjanjian internasional
terkait dengan pengakuan dan pelaksanaan
putusan pengadilan asing.
2.6.3Thailand
Hukum Thailand tidak mengakui proses
peradilan insolvensi yang dilakukan di luar
wilayah kerjaan Thailand termasuk juga tidak
memberikan akses kepada kurator asing
untuk turut serta dalam proses peradilan
kepailitan di Thailand. Kurator asing harus
terlebih dahulu melakukan gugatan ke
pengadilan untuk meminta pembayaran atas
hutang-hutang debiturnya.
Thailand mengakui keberadaan UNICITRAL
Model Law on Cross Border Insolvency.
Namun demikian, tidak ada satupun ketentuan
dan perundang-undangan Thailand terkait
dengan insolvensi dan kepailitan yang
mengadopsi model law UNCITRAL tersebut.96
2.6.4Indonesia
Secara umum, hukum Indonesia tidak
mengakui putusan pengadilan asing termasuk
putusan kepailitan yang dilakukan di luar
negeri kecuali dalam hal antara negara-negara
dimana debitur dan kreditur bertempat tinggal
memiliki hubungan bilateral atau terikat dalam
suatu perjanjian regional atau internasional
terkait dengan pengakuan putusan pengadilan
asing.97
Putusan-putusan yang dihasilkan dari proses
kepailitan di luar negeri tidak diakui dan tidak
memiliki kekuatan eksekutorial dalam sistem
hukum Indonesia. Putusan-putusan tersebut
hanya diakui sebagai bukti pendukung dalam
proses kepailitan di Indonesia.98 Sebagai
konsekuensinya, hukum Indonesia pun tidak
mengakui kurator yang ditunjuk dalam proses
kepailitan asing. Dengan demikian, kurator
asing tidak berhak untuk mengklaim,
mengendalikan, mengambil alih aset debitur
pailit asing yang berada di Indonesia. Namun
demikian, dalam hal aset-aset debitur pailit
asing dijaminkan kepada kreditur dan diikat
dengan suatu hak kebendaan, maka kurator
asing dapat mengklaim dan mengambil alih
aset-aset debitur yang berlokasi di Indonesia
sepanjang kurator asing tersebut tunduk
pada ketentuan hukum jaminan sebagaimana
diatur dalam hukum Indonesia.
Indonesia menyadari adanya keberadaan
UNICITRAL Model Law on Cross Border
Insolvency, namun tidak ada satupun
ketentuan perundang-undangan Indonesia
terkait dengan insolvensi dan kepailitan yang
mengadopsi model law UNCITRAL tersebut.99
2.6.5Singapura
Berdasarkan the law of the place of
incorporation of a company yang diterapkan
Singapura, dalam hal suatu perusahaan
mengalami kepailitan di negara dimana
perusahaan tersebut didirikan, maka
pengadilan Singapura akan mengakui
putusan pengadilan kepailitan asing atas
perusahaan tersebut. Sebaliknya, Singapura
tidak akan mengakui putusan putusan
pengadilan negara lain diluar negara dimana
perusahaan tersebut didirikan.
Putusan yang menyangkut uang (Money
judgments) dari High Court negara-negara
Commonwealth dapat didaftarkan di
Singapore berdasarkan the Reciprocal
Enforcement of Commonwealth Judgments
Act dan dilaksanakan sebagai putusan
Pengadilan Singapore.
24
96 Opcit.
97 Blake Dawson Waldron Lawyer, Asian Development Bank, Promoting Regional Cooperation in the Development of Insolvency Reform, Country Report for Singapore, Conference Cross Border Insolvency – Indonesia, Korea, Philippines and Thailand.
98 Ibid
99 Opcit.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
Selain itu, terdapat juga the Reciprocal
Enforcement of Foreign Judgments Act, akan
tetapi hingga saat ini ketentuan dimaksud
belum diberlakukan ke negara mana pun.
Money judgments dari negara-negara lain
dapat dilaksanakan di Singapore dengan
mengajukan tindakan hukum baru terkait
putusan ke pengadilan Singapore. Tidak
terdapat ketentuan di Singapore yang
mengakui putusan pengadilan asing di luar
money judgments.
Singapura mengakui keberadaan UNICITRAL
Model Law on Cross Border Insolvency, namun
tidak ada satupun ketentuan dan perundang-
undangan Singapore terkait dengan insolvensi
dan kepailitan yang mengadopsi model law
tersebut.
2.6.6Malaysia
Malaysia mengakui proses kepailitan yang
dilakukan di luar wilayah yurisdiksi Malaysia
termasuk likuidator asing yang ditunjuk di
negara asing. Namun demikian dalam
prakteknya, walaupun berdasarkan section
340 (2) the Companies Act mengakui
keberadaan likuidator asing, the High Court
mungkin akan menunjuk likuidator lokal
untuk mengambil alih/menjual aset debitur
yang ada di Malaysia dan membayar hasil
penjualan aset debitur tersebut kepada
likuidator asing (setelah dikurangi dengan
kewajiban-kewajiban debitur asing tersebut
kepada kreditur lokal).100
Malaysia menyadari keberadaan UNICITRAL
Model Law on Cross Border Insolvency, namun
demikian sampai dengan saat ini tidak ada
satupun ketentuan dan perundang-undangan
malaysia terkait dengan insolvensi dan
kepailitan yang mengadopsi model law
tersebut.
III. GAMBARAN UMUM UNCITRAL MODEL LAW ON
CROSS BORDER INSOLVENCY
3.1. Pendahuluan
UNCITRAL Model Law on Cross Border Insolvency
(UNCITRAL Model Law) adalah suatu model law
yang disusun oleh the United Nations Commisions
on International Trade Law (UNCITRAL) bekerja
sama dengan the International Association of
Insolvency Practitioners (INSOL) yang
direkomendasikan kepada negara-negara anggota
PBB untuk diadopsi dalam perundang-udangan
nasional negara-negara tersebut terkait dengan
pengaturan cross border insolvency. UNCITRAL
Model Law dirancang untuk membantu negara-
negara memiliki hukum insolvensi yang modern,
harmonis dan adil dalam menyelesaikan berbagai
macam kasus cross border insolvency secara efektif.
Kasus-kasus tersebut termasuk kasus-kasus dimana
debitur insolven memiliki aset atau kreditur di
beberapa negara selain dari negara tempat
berlangsungnya proses peradilan insolvensi.
Negara-negara yang mengadopsi UNCITRAL Model
Law (the enacting states) akan memasukkan
tambahan-tambahan pengaturan yang bermanfaat
dan sekaligus melakukan penyempurnaan-
penyempurnaan dalam regime hukum insolvensi
nasional
Walaupun UNCITRAL Model Law direkomendasikan
untuk diadopsi dalam hukum nasional terkait
dengan pengaturan cross border insolvency,
UNCITRAL Model Law tetap menghormati
perbedaan-perbedaan sistem hukum diantara
negara-negara dan tidak bermaksud untuk
melakukan unifikasi hukum insolvensi terkait
dengan pengaturan cross border insolvency. Oleh
karena itu, the enacting states masih diberikan
kebebasan untuk mengubah atau menyesuaikan
beberapa ketentuan dalam UNCITRAL Model Law
yang dianggap tidak sesuai atau tidak relevan
dengan sistem hukumnya.
25
100www.adb.org/documents/others/insolvency/local_study_mal_p.pdf
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
UNCITRAL Model Law menawarkan solusi-solusi
yang moderate tetapi dengan cara-cara yang
signifikan terkait dengan hal-hal sebagai berikut:101
a. memberikan kewenangan kepada kurator atau
likudator asing untuk dapat mengakses
langsung ke pengadilan negara-negara yang
telah mengadopsi UNCITRAL model law (the
enacting states) dan oleh karena itu memberikan
hak kepada kurator atau likuidator asing untuk
meminta temporary breathing space102 kepada
pengadilan the enacting states sekaligus
memberikan kesempatan kepada pengadilan
the enacting states menentukan jenis koordinasi
diantara yurisdiksi-yurisdiksi atau solusi lain bagi
penyelesaian insolvency yang optimal;
b. menentukan kapan sebuah proses peradilan
insolvensi asing harus diakui dan konsekuensi
dari pengakuan proses peradilan insolvensi asing
tersebut;
c. menyediakan regime yang transparan terkait
dengan hak-hak kreditur asing untuk
memprakarsai atau turut serta dalam proses
peradilan insolvensi di the enacting states;
d. mengizinkan pengadilan the enacting state
bekerja sama lebih efektif dengan pengadilan-
pengadilan dan kurator-kurator asing yang
terlibat dalam permasalahan insolvensi;
e. memberikan kewenangan kepada pengadilan-
pengadilan dan kurator the enacting state untuk
meminta bantuan ke luar negeri;
f. menentukan jurisdiksi pengadilan dan
menetapkan peraturan-peraturan terkait
dengan koordinasi atas proses peradilan
insolvensi yang berlangsung secara bersamaan
di the enacting state dan di negara asing;
g. menetapkan peraturan-peraturan yang mengatur
mengenai koordinasi terkait bantuan yang
diberikan oleh the enacting states kepada dua
atau lebih proses peradilan insolvensi yang
sedang berlangsung di negara-negara asing
untuk debitur yang sama.
3.2 Pokok-pokok pengaturan dalam UNCITRAL
Model Law on Cross Border Insolvency
Sistematika UNCITRAL Model Law terdiri dari
preamble, 5 chapter dan 32 Article yang secara
umum meliputi hal-hal sebagai berikut:103
a. Ruang lingkup
UNCITRAL Model law dapat diterapkan pada
beberapa situasi cross border insolvency sebagai
berikut:104
1) Dalam kasus adanya permintaan pengakuan
suatu putusan pengadilan asing ke the
enacting states.
2) Dalam kasus adanya permintaan dari
pengadilan atau kurator the enacting states
terkait dengan pengakuan proses insolvensi
yang dilaksanakan berdasarkan hukum the
enacting states di negara asing.
3) Koordinasi proses insolvensi yang sedang
berlangsung secara bersamaan di dua negara
atau lebih.
4) Partisipasi kreditur asing dalam proses
insolvensi yang sedang berlangsung di the
enacting states.
Dalam ruang lingkup juga diatur mengenai hak
dan kewenangan the enacting states untuk
mengecualikan beberapa institusi meliputi
antara lain bank dan perusahaan asuransi dari
ruang lingkup Model Law dalam hal institusi-
institusi tersebut akan atau telah diatur dalam
ketentuan tersendiri (special regulatory regime).
b. Bantuan pihak asing untuk proses peradilan
insolvensi yang sedang berlangsung di the
enacting states.
UNCITRAL Model Law memberikan guidance
kepada pengadilan-pengadilan the enacting
states dalam menghadapi adanya permintaan
pengakuan putusan pengadilan dari negara-
negara asing. Selain itu, UNCITRAL Model Law
juga memberikan kewenangan kepada
pengadilan-pengadilan the enacting states
26
101UNCITRAL Model Law on Cross Border Insolvency with Guide to Enacment, United Nations, New York, 1999
102Dalam Black’s law Dictionary dinamakan breathing room yang berarti masa setelah bankruptcy dimana debitur diberikan kesempatan untuk memformulasikan rencana penyelesaian hutang-hutangnya tanpa adanya intervensi dari kreditur.
103Ibid104Lihat Article 1
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
untuk meminta bantuan kepada pengadilan
asing terkait dengan proses peradilan insolvensi
yang sedang berlangsung di the enacting
states.105 UNCITRAL Model Law juga mengisi
kekosongan hukum di the enacting states terkait
dengan pengaturan koordinasi dan mekanisme
permintaan bantuan kepada pengadilan asing.
c. Akses kurator asing terhadap pengadilan the
enacting states
Salah satu tujuan penting dari UNCITRAL Model
Law adalah memberikan kemudahan kepada
kurator asing untuk mengakses ke pengadilan-
pengadilan the enacting states tanpa perlu
bergantung pada adanya komunikasi atau surat
permintaan bantuan melalui saluran diplomatik
yang mungkin yang sangat memakan waktu.
UNCITRAL Model Law lebih mengutamakan
pendekatan kerjasama dan koordinasi agar
penyelesaian kasus-kasus cross border insolvency
dapat diselesaikan secara cepat. Disamping
menetapkan prinsip-prinsip terkait dengan
akses langsung kurator asing ke pengadilan
the enacting states, UNCITRAL Model Law juga
mengatur hal-hal sebagai berikut :
1) Menetapkan persyaratan-persyaratan
pembuktian yang sederhana terkait dengan
permintaan pengakuan putusan pengadilan
asing seperti antara lain tidak disyaratkannya
legalisasi putusan pengadilan secara notaril
atau dengan consular procedures.106
2) Menetapkan bahwa kurator asing memiliki
hak untuk memprakarsai proses insolvensi
di the enacting states dan bahwa bahwa
kurator asing dapat berpartisipasi dalam proses
peradilan insolvensi di the enacting states.107
3) Menegaskan akses kreditor-kreditor asing
untuk memprakarasi proses peradilan
insolvensi atau turut serta dalam proses
insolvensi di the enacting states dengan
tetap tunduk pada persyaratan-persyaratan
yang ditetapkan oleh the enacting states.108
4) Memberikan hak kepada kurator asing
untuk mengintervensi proses peradilan
insolvensi di the enacting states dalam hal
terdapat aksi atau gugatan individual
terhadap debitur atau asetnya di the
enacting states.109
d. Pengakuan putusan peradilan asing
UNCITRAL Model Law menentukan kriteria
pengakuan putusan peradilan asing yang harus
diakui110 dan mengatur bahwa dalam kasus-
kasus yang tepat, pengadilan boleh menetapkan
putusan sela sebelum diterbitkannya putusan
terkait dengan pengakuan.111 Putusan sela
tersebut juga termasuk menentukan apakah
putusan peradilan asing dimaksud merupakan
peradilan insolvensi asing yang utama atau
bukan (main or non main foreign insolvency
proceeding). Sebuah putusan peradilan asing
dianggap sebagai putusan peradilan utama
jika peradilan tersebut dilaksanakan di negara
dimana debitur memiliki pusat kepentingan
(centre of main interest). Penentuan putusan
peradilan utama dan bukan utama mempengaruhi
sifat bantuan yang akan diberikan kepada
kurator asing.
Dampak dari diberikannya pengakuan atas
putusan peradilan asing yaitu terhentinya aksi-
aksi atau gugatan individual terhadap debitur
atau terhentinya eksekusi atas aset debitur dan
ditundanya hak-hak debitur untukmengalihkan
aset-asetnya di the enacting states.112 Terhentinya
gugatan, eksekusi dan transfer aset tersebut
sifatnya wajib atau otomatis berlaku setelah
diberikannya pengakuan.
e. Kerjasama lintas negara
UNCITRAL Model Law mengisi kesenjangan
hukum yang ditemukan dalam hukum nasional
negara-negara dengan memberikan kewenangan
27
109Lihat Article 24
110Lihat Article 15 - 17
111Lihat Article 19
112Lihat Article 20
105Lihat Article 2
106Lihat Article 15
107Lihat Article 11 dan 12
108Lihat Article 13
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
pengadilan untuk memperluas kerjasama dalam
bidang-bidang yang diatur dalam UNCITRAL
Model Law.113 Demikian pula, UNCITRAL Model
Law menetapkan peraturan-peraturan terkait
dengan koordinasi antara pengadilan di the
enacting state dengan kurator asing dan antara
kurator lokal dengan pengadilan asing atau
kurator asing.114
IV. ANALISIS PENGATURAN INSOLVENSI DAN
KEPAILITAN BANK DI NEGARA-NEGARA ASEAN
DIKAITKAN DENGAN BERLAKUNYA MEA 2015
4.1. Pendahuluan
Dengan berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN
(MEA) pada 2015, idealnya tercipta suatu kondisi
dimana anggota-anggota MEA menerapkan
ketentuan atau peraturan yang standar dan seragam
terkait dengan berbagai hal yang relevan dengan
terbentuknya MEA termasuk juga pengaturan
mengenai insolvensi dan kepailitan bank.
Dalam kenyataannya saat ini untuk insolvensi dan
kepailitan bank, masing-masing negara ASEAN
masih mengaturnya secara berbeda-beda, seperti
misalnya terkait dengan pengaturan insolvensi dan
kepailitan debitur bank yang memiliki aset atau
kreditur di luar negeri (cross border insolvency) dan
pengaturan mengenai pengakuan dan pelaksanaan
putusan pengadilan kepailitan asing (the recognition
and enforcement of foreign bankruptcy judments).
Dalam konteks terbentuknya MEA 2015 dimana
aliran barang, jasa, investasi dan tenaga kerja
bergerak secara bebas, kondisi tersebut tentunya
akan menjadi kontra produktif terhadap cita-cita
terbentuknya MEA itu sendiri terlebih setelah
berlakunya liberalisasi sub sektor perbankan pada
tahun 2020. Dalam hal ini, pengaturan yang
berbeda-beda tersebut dapat menjadi salah satu
potensi masalah dalam penyelesaian kepailitan
bank yang beroperasi secara lintas batas (cross
border insolvency).
Sehubungan dengan hal tersebut, dalam bab ini
akan dilakukan analisis terhadap pengaturan
insolvensi dan kepailitan bank di masing-masing
negara dan selanjutnya akan dikaji mengenai potensi
permasalahan hukum yang mungkin timbul dalam
kaitan dengan terbentuknya MEA.
4.2. Analisis perbedaan sistem hukum dan
ketentuan terkait insolvensi dan kepailitan
bank di Negara-Negara ASEAN dikaitkan
dengan terbentuknya MEA
Negara-negara ASEAN memandang permasalahan
insolvensi dan kepailitan bank sebagai sesuatu hal
yang sangat penting dan oleh karena itu pada
umumnya masing-masing negara ASEAN tersebut
mengatur insolvensi dan kepailitan bank dalam
peraturan perundang-undangan tersendiri seperti
di Filipina tercantum dalam the New Central Bank
Act No.7653, Vietnam diatur dalam Law
No.47/2010/QH12 tentang Credit Institution,
Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, Singapura dalam
Banking Act dan Malaysia diatur dalam Banking
and Financial Institutions Act (BAFIA) 1989.
Selanjutnya, dalam beberapa hal pengaturan
insolvensi dan kepailitan bank di negara-negara
ASEAN memiliki persamaan antara lain terkait
otoritas yang berwenang untuk mengajukan
permohonan kepailitan bank ke pengadilan dan
aspek perlindungan nasabah bank. Di sisi lain,
dalam beberapa hal lainnya juga terdapat
perbedaan pengaturan yang cukup signifikan di
antara negara-negara tersebut antara lain terkait
dengan pengaturan cross border insolvency dan
pengakuan putusan insolvensi pengadilan asing.
Dalam tata urutan prioritas pembayaran terkait
dengan penyelesaian harta debitur pailit, hampir
semua negara ASEAN menggolongkan nasabah
bank sebagai kreditur konkuren bersamaan dengan
kreditur lainnya. Namun demikian, dalam rangka
memberikan perlindungan kepada nasabah bank,
negara-negara ASEAN menerapkan sistem
penjaminan atas simpanan nasabah bank yang
28
113Lihat Article 25 - 27
114Lihat Article 26
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
nilai nominal penjaminannya berbeda-beda di
masing-masing negara.
Pengaturan proses insolvensi yang debiturnya
mempunyai aset atau kreditur di luar negeri
(cross border insolvency) berbeda-beda antara
negara yang satu dengan negara lainnya. Beberapa
negara seperti Filipina, Vietnam, dan Thailand
mengatur dalam sistem hukumnya bahwa hukum
kepailitan hanya berlaku terhadap aset-aset debitur
yang berada di dalam negeri karena aset-aset
debitur yang berada diluar negeri tunduk pada
hukum negara dimana aset-aset debitur tersebut
berada. Sementara itu negara-negara lainnya yaitu
Indonesia, Singapura, dan Malaysia mengatur
bahwa putusan kepailitan pengadilan negara-
negara tersebut selain berlaku terhadap aset-aset
debitur yang berada di dalam negeri juga berlaku
terhadap aset-aset debitur yang ada di luar negeri.
Khususnya untuk Indonesia, ketentuan mengenai
cross border insolvency tersebut terdapat dalam
Pasal 21 dan Pasal 212 Undang-Undang No. 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang.
Praktek pengakuan putusan pengadilan asing
termasuk putusan tentang kepailitan berbeda-
beda di masing-masing negara ASEAN. Sistem
hukum Filipina mengatur bahwa pengadilan Filipina
tidak mengakui sama sekali putusan pengadilan
kepailitan asing. Vietnam mengatur ketentuan
yang lebih fleksibel dimana pada dasarnya
pengadilan Vietnam tidak mengakui putusan
pengadilan asing namun putusan pengadilan asing
dapat diakui di Vietnam dalam hal negara asing
tersebut menandatangani perjanjian bilateral
dengan Vietnam terkait dengan pengakuan dan
pelaksanaan putusan pengadilan asing atau negara
asing tersebut merupakan co-signatory sebuah
internasional treaty terkait dengan pengakuan dan
pelaksanaan putusan pengadilan asing dimana
Vietnam juga terikat dengan perjanjian internasional
tersebut. Sistem hukum Indonesia mengatur bahwa
hukum Indonesia tidak mengakui proses kepailitan
yang dilakukan di negara asing kecuali apabila
negara asing tersebut menandatangani perjanjian
bilateral dengan Indonesia atau antara negara
asing tersebut dan Indonesia terikat dalam suatu
perjanjian internasional mengenai pengakuan dan
pelaksanaan putusan pengadilan asing. Singapura
memiliki sistem hukum yang berbeda dimana
pengadilan Singapura mengakui putusan pengadilan
asing terkait dengan kepailitan suatu institusi yang
didirikan di negara asing tersebut. Demikian pula
Malaysia mengakui proses kepailitan dan putusan
pengadilan asing yang dilakukan di luar wilayah
yurisdiksi Malaysia walaupun dalam prakteknya
pelaksanaan putusan pengadilan asing tersebut
tidak mudah karena biasanya the High Court
Malaysia akan menunjuk likuidator lokal untuk
menjual aset-aset debitur yang berada di Malaysia
dan kemudian membayarkan hasil penjualan aset-
aset tersebut kepada likuidator asing setelah
dikurangi dengan kewajiban-kewajiban debitur
kepada kreditur lokal Malaysia.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, pengaturan
dan praktek yang berbeda-beda terkait dengan
insolvensi dan kepailitan bank di negara-negara
ASEAN khususnya mengenai cross border insolvency
termasuk pengakuan putusan kepailitan pengadilan
asing dapat menjadi potensi permasalahan hukum
pada saat berlakunya MEA tahun 2015.
Permasalahan hukum tersebut terutama terkait
dengan tidak dapat dilaksanakannya suatu putusan
kepailitan suatu negara atas kepailitan bank yang
mempunyai kreditur dan aset diluar negeri
dikarenakan tidak diakuinya putusan kepailitan
bank tersebut oleh negara lainnya. Kondisi tersebut
tentunya tidak dikehendaki oleh kalangan investor
atau pelaku usaha yang menginginkan adanya
kepastian hukum dan penyelesaian yang pasti
dalam hal terjadinya kasus-kasus cross border
insolvensy.
4.3. Kemungkinan Harmonisasi Hukum Insolvensi
dan Kepailitan Bank di antara Negara-Negara
ASEAN
Dengan terbentuknya pasar tunggal ASEAN, di
mana masyarakat, pelaku usaha, dan institusi
perbankan menjadi lebih bebas dalam bertransaksi
serta berusaha, seharusnya hal tersebut diikuti pula
29
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
dengan adanya standardisasi atau persamaan
perlakuan diantara negara-negara ASEAN, khususnya
terkait dengan pengaturan penyelesaian kepailitan
bank yang beroperasi secara lintas batas (cross
border insolvency), termasuk didalamnya pengakuan
putusan kepailitan bank asing. Dengan kata lain,
diperlukan harmonisasi hukum terkait dengan
pengaturan cross border insolvency termasuk
pengakuan putusan pengadilan asing dalam rangka
memberikan kepastian hukum kepada para pelaku
usaha, investor dan masyarakat ASEAN secara
keseluruhan.
Secara teoritis, model harmonisasi hukum insolvensi
dan kepailitan bank tersebut dapat dilakukan melalui
3 (tiga) cara yaitu :115
a. Pembentukan perjanjian internasional secara
regional;
b. Penundukan diri atau pengadopsian atas Uniform
Laws (Hukum Seragam) seperti UNCITRAL Model
Law on Cross Border Insolvency; atau
c. Menerapkan Uniform Rules (Aturan Seragam)
sebagaimana The Uniform Customs and Practice
for Documentary Credits diterapkan dalam
international trading.
Berdasarkan praktek yang berlaku saat ini, di mana
negara-negara menganut prinsip yurisdiksi teritorial
yang berarti bahwa negara-negara tersebut secara
ekslusif menetapkan aturan-aturan terhadap warga
negara dan peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi
di wilayah yurisdiksinya, tidak mudah untuk
membuat suatu perjanjian internasional regional
ASEAN sebagai pilihan model harmonisasi ketentuan
kepailitan bank di ASEAN. Hal tersebut dikarenakan
adanya pemikiran bahwa apabila suatu negara
menandatangani suatu perjanjian internasional,
berarti akan menghilangkan sebagian kedaulatan
dari negara penandatangan (yakni berupa hak
mengatur) dan timbulnya konsekuensi-konsekuensi
hukum yang melekat sebagai akibat dari
menandatangani perjanjian tersebut. Sehubungan
dengan hal tersebut, model harmonisasi pengaturan
kepailitan bank yang lebih mungkin untuk diterapkan
di kawasan ASEAN yaitu melalui penundukan diri
atau pengadopsian Uniform Laws seperti UNCITRAL
Model Law on Cross Border Insolvency karena
belum ada Uniform Rules dalam bidang kepailitan.
Agar proses harmonisasi hukum insolvensi dan
kepailitan di Negara-negara ASEAN berjalan
dengan baik maka sebagai langkah awal sebelum
dilakukannya proses harmonisasi, perlu dilakukan
assesment atas hukum kepailitan dan ketentuan
perbankan yang terkait dengan insolvensi dan
kepailitan bank di masing-masing negara ASEAN.
Hal tersebut penting dilakukan dalam rangka
mengidenfikasi kekuatan, potensi, kelemahan dan
faktor-faktor lain yang relevan dan mendukung
untuk berhasilnya proses harmonisasi hukum
dimaksud. Untuk terjadinya proses asesmen
tersebut, negara-negara ASEAN harus terlebih
dahulu memiliki komitmen yang sama dan
menyepakati mengenai perlunya dilakukan
assesment atas ketentuan mengenai insolvensi
dan kepailitan bank dalam rangka harmonisasi
hukum terkait dengan berlakunya MEA.
Dari sudut pandang Indonesia, pemikiran mengenai
perlu tidaknya dilakukan harmonisasi hukum
insolvensi dan kepailitan bank dalam rangka
menyongsong berlakunya MEA dan sejauh mana
substansi hukum yang perlu atau dapat
diharmonisasikan tentunya harus didasarkan pada
tinjauan dari aspek kepentingan dan strategi
perekonomian nasional agar Indonesia dapat
memanfaatkan pasar bersama ASEAN di bidang
perbankan secara optimal dengan memperhatikan
potensi, kekuatan dan kelemahan yang dimiliki
oleh Indonesia.
IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Berdasarkan hal-hal yang telah dibahas pada bab-bab
sebelumnya maka dapat disusun kesimpulan dan
rekomendasi sebagai berikut :
30
11 Huala Adolf, Diskusi Terbatas “Aspek Hukum Insolvensi dan Kepailtian Bank di Negara-Negara ASEAN” tanggal 22 s.d 23 September 2011, Hotel Grand Preanger, Bandung.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
5.1. Kesimpulan
1) Pada umumnya pengaturan insolvensi dan
kepailitan bank di masing-masing negara ASEAN
diatur dalam perundang-undang tersendiri
disamping adanya undang-undang kepailitan
yang berlaku secara umum.
2) Secara umum, otoritas yang berwenang untuk
mengajukan proses insolvensi dan kepailitan
bank di negara-negara ASEAN adalah otoritas
moneter atau Bank Sentral. Terkait dengan
likuidasi bank di negara-negara ASEAN, pada
umumnya dilakukan melalui proses penetapan
pengadilan berdasarkan pengajuan dari bank
sentral kecuali di Indonesia yang proses
likuidasinya merupakan kewenangan Lembaga
Penjamin Simpanan tanpa perlu adanya
penetapan pengadilan.
3) Dalam tata urutan prioritas pembayaran terkait
dengan penyelesaian harta debitur pailit,
hampir semua negara ASEAN menggolongkan
nasabah bank dalam kategori kreditur konkuren.
Namun demikian, dalam rangka memberikan
perlindungan kepada nasabah bank, negara-
negara Anggota ASEAN menerapkan sistem
penjaminan atas simpanan nasabah bank yang
nilai nominal penjaminannya berbeda-beda di
masing-masing negara.
4) Pengaturan proses insolvensi yang debiturnya
mempunyai aset atau kreditur di luar negeri
termasuk pengakuan putusan pengadilan asing
(cross border insolvency) berbeda-beda antara
negara yang satu dengan negara lainnya.
Beberapa negara mengatur bahwa hukum
kepailitan hanya berlaku terhadap aset-aset
debitur yang berada di dalam negeri. Sementara
itu, negara-negara mengatur bahwa putusan
kepailitan pengadilan negara-negara tersebut
selain berlaku terhadap aset-aset debitur yang
berada di dalam negeri juga menjangkau
terhadap aset-aset debitur yang berada di luar
negeri.
5) Terkait dengan pengaturan pengakuan putusan
pengadilan asing, beberapa negara tidak
mengakui putusan pengadilan kepailitan asing.
Negara lainnya mengakui putusan kepailitan
pengadilan asing dengan syarat negara tersebut
telah menandatangani perjanjian bilateral/
multialteral mengenai pengakuan putusan
kepailitan pengadilan asing, atau institusi yang
dipailitkan didirikan di negara tersebut.
6) Permasalahan hukum yang mungkin timbul
dari pengaturan kepailitan bank yang berbeda-
beda, khususnya adalah tidak dapat
dilaksanakannya suatu putusan kepailitan dari
pengadilan suatu negara terkait dengan
kepailitan bank yang mempunyai kreditur dan
aset di luar negeri dikarenakan tidak diakuinya
putusan kepailitan bank tersebut oleh negara
lainnya. Kondisi tersebut berpotensi
menciptakan tidak adanya kepastian hukum
dalam penyelesaian kasus-kasus cross border
insolvency. Idealnya, untuk mengatasi
permasalahan hukum tersebut diperlukan
harmonisasi hukum khususnya terkait dengan
pengaturan cross border insolvency. Harmonisasi
ketentuan insolvensi dan kepailitan bank
tersebut merupakan salah satu infrastruktur
penunjang yang diperlukan apabila nantinya
disepakati akan beroperasi qualified ASEAN
banks secara lintas batas di kawasan ASEAN.
Harmonisasi ketentuan insolvensi dan kepailitan
bank tersebut akan melengkapi infrastruktur
lain yang diperlukan seperti cross border bank
supervision dan cross border bank resolution.
5.2 Rekomendasi
1) Dalam upaya menjembatani adanya perbedaan
sistem hukum dan pengaturan terkait dengan
insolvensi dan kepailitan bank khususnya
mengenai cross border bank insolvency, perlu
dilakukan upaya harmonisasi hukum dan
ketentuan terkait dengan cross border bank
insolvency di negara-negara ASEAN. Hal ini
dimaksudkan agar tercipta kepastian hukum di
bidang cross border bank insolvency dan
31
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
terdapat standardisasi pengaturan dan perlakuan
dalam penyelesaian kasus-kasus cross border
bank insolvency di antara negara-negara ASEAN.
2) Perlu dilakukan assesment secara mendalam
atas hukum kepailitan dan ketentuan perbankan
terkait dengan insolvensi dan kepailitan bank
di masing-masing negara ASEAN sebelum
dilakukannya proses harmonisasi hukum
tersebut. Sebagaimana lazimnya dalam suatu
organisasi internasional, untuk dapat
dilakukannya proses assesment di masing-
masing negara-negara ASEAN terlebih dahulu
perlu adanya kesepakatan dalam forum ASEAN
mengenai pentingnya assesment atas ketentuan
mengenai insolvensi dan kepailitan bank sebagai
langkah awal mempersiapkan harmonisasi
hukum terkait dengan berlakunya MEA.
3) Dari sudut pandang Indonesia, pemikiran
mengenai perlunya dilakukan harmonisasi
hukum insolvensi dan kepailitan bank harus
dikaitkan dengan tinjauan dari aspek
kepentingan dan strategi perekonomian nasional
sehingga Indonesia dapat memanfaatkan pasar
bersama ASEAN di bidang perbankan dengan
memperhatikan potensi, kekuatan dan
kelemahan yang dimiliki oleh Indonesia.
32
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
Peraturan Perundang-undangan
a. Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
b. Undang-Undang No.7 tahun 1992 Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.10 tahun 1998.
c. Undang-Undang Nomor 24 Tahun. 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2009
d. Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan No. 001/PLPS/2010 tentang Likuidasi Bank
e. the New Central Bank Act of Philippines No.7653
f. the Central Bank of Malaysia Act 1958
g. Law No. 46/2010/QH12 tanggal 16 Juni 2010 regarding The State Bank of Vietnam
h. Banking Act of Singapore
i. Bankruptcy act of Singapore (chapter 20)
j. Decree No. 89/1999/ND-CP tanggal 1 September 1999, tentang Deposit Insurance
k. Law No. 47/2010/QH12 tanggal 16 Juni 2010 regarding Credit Institutions
l. Banking and Financial Institusion Act 1989
m. Circular State Bank of Vietnam No. 03/2006/TT-NHNN tanggal 25 April 2006 tentang Guiding the implementation of several
contents of the Decree No. 89/1999/ND-CP dated 01/09/1999 of the Government on deposit insurance and the Decree
No. 109/2005/ND-CP dated 24/8/2005 of the Government on the amandment, supplement of several articles of the Decree
No. 89/1999/ND-CP.
n. Law No. 21/2004/QH11 tanggal 15 Juni 2004, tentang Bankruptcy Law
o. Decree No. 89/1999/ND-CP tanggal 1 September 1999 regarding Deposit Insurance as amended by Decree No. 109/2005/ND-
CP dated 24 Agustus 2005.
p. the Thailand Deposit Insurance Act BE 2551
q. the bankrupcy of Act of Thailand
r. the Civil and Commercial Act of Thailand
s. UNCITRAL Model Law on Cross Border Insolvency with Guide to Enactment, United Nations, New York, 1999
Artikel/hasil kajian
a. Lorenz & Partner, Legal, tax and Business Consultants, Bankruptcy and Business Reorganization, page 9
b. Dr.Andrew M. Goodman,Thailand’s Deposit Insurance Law : Recent Changes and How They Can Affect You, page 2
c. Asean Development Bank, Promoting Regional Cooperation in the Development of Insolvency reform, Country Report for
Singapore Conference Cross-Border Insolvency – Indonesia, Korea, Philippines and Thailand
d. Asean Development Bank, Regional Technical Assistance Project No.5795-REG. Insolvency Law Reforms Report on Philippines,
page 61.
Daftar Pustaka
33
Diskusi Terbatas
Huala Adolf, Diskusi Terbatas “Aspek Hukum Insolvensi dan Kepailtian Bank di Negara-Negara ASEAN” tanggal 22 s.d 23
September 2011, Hotel Grand Preanger, Bandung.
Lain-lain
a. Black’s Law Dictionary)
b. Wikipedia
c. www.insol.org/pdf/cross_pdfs/Vietnam.pdf
d. www.adb.org/documents/others/insolvency/local_study_tha_p.pdf.
e. www.adb.org/documents/others/insolvensy
f. www.herbersmith.com
g. www.adb.org/documents/others/insolvency/local_study_mal_p.pdf
34
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
Pendahuluan
Salah satu yang menjadi pertimbangan banyak lembaga
pemeringkat (rating agencies) belum menaikan peringkat
Indonesia ke tingkat peringkat investasi (investment grade)
adalah masalah kepastian hukum, disamping masalah
lambatnya pembangunan infrastruktur dan apa yang disebut
dengan political infighting. Tentu penyelesaian masalah ini
bukanlah hal yang gampang. Menangani masalah kepastian
hukum memerlukan waktu dan tenaga yang tidak
terhingga. Dalam konteks hal peringkat Negara dan kegiatan
usaha ekonomi lainnya, banyak orang memahami bahwa
persoalan ketidakpastian hukum ini hanya terkait dengan
ketidakpastian hukum dibidang hukum ekonomi. Apabila
kita mendalaminya dengan baik, masalah kepastian hukum
ini jauh melampaui area hukum ekonomi, dan terkait erat
dengan tingkat kematangan suatu Negara didalam
mengimplementasi apa yang disebut dengan konsep “the
rule of law” sebagai salah satu prasyarat untuk dapat
dikategorikan sebagai Negara demokrasi yang maju. Pada
dasarnya semua sistem hukum dan sistem peradilan (legal
and justice system) akan menjadi penilaian lembaga rating.
Hal ini dapat dimaklumi bukan saja karena suatu transaksi
perekonomian hanya dapat dilakukan dalam suasana
kepastian hukum yang tinggi, melainkan juga kesaling-
terkaitan dan saling mendukung antara berbagai area
hukum didalam menjamin lingkungan perekonomian yang
sehat dan kondusif.
Mungkin penilaian lembaga pemeringkat tidak begitu
penting apabila dilihat selintas saja mengingat begitu
banyaknya persoalan yang harus kita hadapi dewasa ini,
akan tetapi dengan mengingat ketergantungan Indonesia
terhadap pembiayaan dan investasi asing dan domestik
didalam memacu pertumbuhan ekonominya, maka persoalan
penilaian lembaga pemeringkat dan gambaran persepsi
Indonesia secara umum menjadi sangat penting. Kematangan
hukum suatu Negara akan terlihat dari seberapa jauh hukum
dapat melindungi hak-hak individu dan korporasi, bagaimana
menghukum para pelanggar hukum, bagaimana mengatur
persaingan usaha dan perlindungan konsumen, bagaimana
hukum dapat menjamin persamaan perlakuan warga Negara
dan warga Negara asing. Tingkat “kematangan” hukum
suatu Negara pada hakekatnya merupakan komponen
terpenting didalam upaya kita memudahkan pembiayaan
keuangan internasional bagi pembangunan Indonesia serta
meningkatkan investasi, baik portfolio maupun investasi
langsung yang sangat penting dalam memacu pertumbuhan
ekonomi yang tinggi dan berkesinambungan. Jadi tidak
benar apabila tahanan yang bisa berjalan-jalan keluar negeri
atau ada sekelompok massa yang main hakim sendiri tidak
akan berpengaruh kepada persepsi negara kita. Kedua
contoh in merupakan contoh kasat mata betapa lemahnya
peranan lembaga hukum didalam menerapkan hukum secara
benar.
Menggantungkan diri kepada pembangunan perangkat
keras semata sudah dapat dipastikan tidak akan berjalan
optimal didalam mendorong pembangunan ekonomi.
Kematangan hukum ini tidak terkait dengan apakan
suatu Negara itu berukuran kecil atau besar ataupun
berideologi tertentu, melainkan sangat tergantung kepada
kemampuannya memberdayakan institusi-institusi hukum
di negaranya secara optimal. Didalam sistem Negara yang
demokratis pemberdayaan institusi-institusi hukum ini
merupakan hal sangat penting dan merupakan tugas semua
cabang kekuasaan Negara yaitu Eksekutif, Legislatif maupun
Yudikatif, serta dukungan masyarakat luas seperti civil
societies dan akademisi.
Kondisi hukum Indonesia sekarang
Belakangan ini kita kita semakin dibuat risih dengan
permasalahan hukum yang dihadapi oleh Negara kita. Kasus
demi kasus yang menggemparkan, baik dalam kasus korupsi
seperti kasus Gayus Tambunan, kasus tuduhan suap Miranda
Gultom, kasus mantan Bendahara Partai Demokrat Nazarudin,
maupun dalam bentuk kekerasan massa, dan kejanggalan-
35
Pembenahan Hukum Prasyarat Pertumbuhan Ekonomi Yang Tinggi Dan BerkesinambunganOleh: Dr. Dian Ediana Rae, SH., LLM.(Dosen luar biasa Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Universitas Tarumanegara dan Universitas 17 Agustus 1945. Saat ini menjabat Kepala Perwakilan Bank Indonesia London)
kejanggalan keputusan Hakim diberbagai tahap peradilan
semakin menjadikan citra Negara kita sebagai Negara hukum
menjadi sangat terpuruk, dan bahkan bisa dikatakan ada
dalam titik nadir.
Kita menyadari betapa lemahnya penegakan hukum yang
dilakukan oleh Indonesia saat ini, kita bisa merasakan
begitu kuatnya tangan politik, tangan kekuasaan dan
tangan kekuatan ekonomi didalam mempengaruhi
efektivitas implementasi hukum. Kondisi ini sungguh
merupakan kondisi yang anomali dari Indonesia sebagai
Negara yang menyatakan dirinya Negara hukum. Dari satu
pemerintahan ke pemerintahan lainnya konsep “Negara
hukum” masih saja dijadikan slogan politik yang hampa
dan tanpa makna. Hukum terkesan seperti pisau, tajam
kebawah tapi tumpul keatas. Hukum hanya dijunjung
ketika tidak mengenai diri sendiri dan kelompoknya. Hukum
hanya ditegakan ketika tidak ada perlindungan politik dan
perlindungan ekonomi dari kekuasaan resmi maupun
kekuasaan tidak resmi. Hukum bahkan digunakan untuk
menjatuhkan lawan politik atau lawan bisnis. Rule of law
sebagai prinsip politik dan moral bangsa kita nampaknya
semakin jauh ditinggalkan. Banyak orang berpaling kepada
kekuasaan politik, kekuasaan ekonomi dan bahkan
kekuasaan massa didalam memecahkan berbagai persoalan
yang dihadapinya.
Penundukan diri terhadap hukum dari orang yang memiliki
kekuasaan politik dan kekuasaan ekonomi yang besar
memang memerlukan suatu tingkat moralitas dan budaya
hukum yang sangat tinggi. Sementara itu, bagi para penegak
hukum seperti kepolisian, kejaksaan dan kehakiman
“kewenangan” yang dimiliki dapat menjadi komoditas politik
dan komoditas ekonomi apabila tidak mampu menghadap
tekanan dan godaan politik dan ekonomi. Pertarungan
antara rule of law dan kekuasaan politik dan kekuasaan
ekonomi ini nampaknya sedang berlangsung dengan keras
di Indonesia. Perlu ada upaya-upaya yang lebih terukur
untuk memberdayakan (empowering) para penegak hukum,
baik secara substansi, moralitas, kewenangan, dan sekaligus
mensejahterakan secara ekonomi untuk dapat mengimbangi
“godaan” kekuasaan politik dan ekonom yang demikian
besar.
Sebagaimana dikatakan oleh filosof Inggris John Lock pada
tahun 1690 bahwa “whenever law ends, tyranny begins”.
Didalam suatu Negara demokrasi yang belum matang
secara hukum, tirani ini dapat berupa kekuasaan politik,
kekuasaan ekonomi, dan bahkan dapat berupa kekuasaan
massa. Hukum dalam format yang modern, dan didalam
masyarakat yang pluralistis seperti Indonesia harus mampu
menghilangkan tirani ini, dan seharusnya hukum menjadi
panglima yang dapat melindungi hak azasi manusia,
kebebasan mengemukakan pendapat, kebebasan
beragama, menjamin keamanan, membatasi kekuasaan
politik dan ekonomi, penindakan pelanggaran hukum
secara efektif, perlindungan hak atas harta benda dan
kekayaan intelektual. The rule of law juga menunjukkan
bahwa semua orang pada dasarnya sama dimuka hukum,
dan oleh karenanya tidak dapat dibenarkan privelese
kekuasaan politik dan kekuasaan ekonomi dimuka hukum.
Hukum harus dimungkinkan melakukan penetrasi yang
sangat dalam terhadap semua relung-relung kekuasaan
politik dan ekonomi. Apabila hal ini tidak dapat tercapai
dapat diperkirakan bahwa akan terdapat “distrust” terhadap
berjalannya hukum yang akan membawa konsekuensi yang
serius dalam bentuk menjamurnya mafia hukum, rekayasa
hukum, dan main hakim sendiri didalam masyarakat yang
akan mengancam sendi-sendi kehidupan bernegara yang
tertib berdasarkan rule of law.
Negara sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dan satu-
satunya untuk membentuk dan mengimplementasikan
hukum harus benar-benar memiliki kredibilitas yang tinggi.
Negara tidak boleh membiarkan kekuasaan lain ikut
memainkan peran penegakkan dan implementasi hukum
untuk kepentingan self-interest, dan memaksakan berlakunya
hukum dengan cara dan perangkat diluar yang sudah diatur
Negara. Kegagalan Negara didalam menjaga kredibilitas
hukum akan berakibat serius terhadap wibawa Negara
secara keseluruhan, dan akan mengganggu efektivitas
pemerintahan. Kebutuhan membangun wibawa Negara
melalui implementasi rule of law ini akan semakin dirasakan
didalam Negara yang menganut sistem demokrasi. Kebebasan
berpikir dan bertindak dari begitu banyak komponen
masyarakat harus dapat diimbangi dengan implementasi
hukum yang efektif, dimana kebebasan berpikir dan bertindak
dari satu orang akan dibatasi dengan kebebasan berpikir
dan bertindak orang lain. Hukum harus mampu menciptakan
harmoni diantara pihak-pihak yang saling bertentangan
didalam masyarakat, baik secara sosial, politik maupun
ekonomi. Didalam Negara demokrasi ketaatan terhadap
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
36
rule of law akan menjadi kunci untuk mencapai cita-cita
Negara demokrasi itu sendiri. Mengorbankan rule of law
demi tujuan politik, ekonomi atau tujuan lainnya akan
menjadikan hukum menjadi sterile dan kosong yang akan
menjadikan “chaos” didalam kehidupan bernegara dan
bermasyarkat.
Pembangunan infrastruktur hukum setelah reformasi,
termasuk pendirian Mahkamah Konstitusi, independensi
Mahkamah Agung, pemisahan Kepolisian dari Tentara
Nasional Indonesia, pendirian Komisi Pemberantasan
Korupsi, dan sederet perangkat hukum lainnya yang
dimaksudkan untuk memperbaiki kondisi hukum Indonesia
di berbagai bidang, baik politik, ekonomi maupun sosial
harus benar-benar dijaga agar dapat menjamin perlindungan
hak-hak warga negara, penegakan hukum yang adil dan
konsisten, perlindungan diri dan harta kekayaan, menjamin
berlangsungnya kepastian berusaha. The rule of law ini
juga diperkirakan bisa mengatasi atau setidaknya
mengurangi persoalan pertikaian politik yang kerap terjadi
didalam suatu negara demokratis yang dapat berakibat
kepada tidak efektifnya suatu pemerintahan atau bahkan
terjadinya pemerintahan yang tidak berfungsi (dysfunctional
government). Dalam hal ini tentu saja bidang Hukum Tata
Negara dan Administrasi Negara bisa memainkan perannya
dengan baik. Pengalaman Amerika Serikat dimana Presiden
bersitegang dengan Kongres mengenai batas atas utang
(debt ceiling) yang hampir membawa Amerika Serikat
menjadi negara yang gagal bayar utang (defaulting country)
harus dijadikan cermin yang baik. Konstitusi Amerika (14th
Amendment) ternyata sudah menegaskan mengenai
kedudukan utang negara, dan diperkuat pula dengan
yurisprudensi. Sementara itu, Mahkamah Konstitusi harus
mampu menjawab persoalan-persoalan mendasar
kenegaraa seperti perlindungan hak-hak kaum minoritas
(Hak Asasi Manusia).
Untuk dapat berfungsinya hukum dengan tingkat
kematangan yang tinggi diperlukan kekuasaan Negara
yang kuat dan kredibel. Salah satu ukuran yang diutamakan
didalam mengukur kematangan hukum di zaman modern
ini adalah efektifitasnya. Hukum baru dapat dikatakan
matang apabila berwujud dalam peraturan perundang-
undangan dan dapat diimplementasikan dengan fair dan
konsisten. Dalam hal ini Presiden sebagai Kepala Negara
dapat memainkan peranannya yang sangat dominan.
Bagaimana keluar dari krisis hukum ini
Carut marut dunia hukum ini terjadi terutama karena mereka
yang seharusnya paling memahami hukum dan berkewajiban
menerapkan hukum ikut terlibat didalam proses pembusukan
hukum itu sendiri. Hampir semua profesi hukum telah
terkena virus kekuasaan dan uang. Alih-alih hukum dijadikan
benteng moral bangsa dan negara, hukum malah dijadikan
komoditi politik dan bisnis yang sangat menguntungkan.
Perombakan dunia hukum kita tidak dapat lagi bersifat
piece-meal melainkan harus dilakukan secara fundamental.
Sense of urgency dan sense of emergency harus ada disemua
kalangan, baik kalangan professional (hukum), pemerintahan
maupun kalangan masyarakat luas. Shock therapy dan
prinsip catch the biggest fishes dalam cara penegakan hukum
kita seperti yang dilakukan oleh lembaga ad hoc seperti KPK
pada dasarnya memiliki banyak keterbatasan. Kepemimpinan
KPK yang merupakan produk seleksi politik dapat menjadi
titik lemah yang dapat membahayakan kredibilitas hukum
itu sendiri. Secara mendasar kita harus tetap fokus untuk
membenahi lembaga-lembaga hukum permanen.
Indonesia saat ini sedang menghadapi krisis hukum yang
berat didalam, tapi nampaknya tidak ada upaya yang nyata
untuk bagaimana keluar dari krisis hukum ini dengan,
apabila perlu, melakukan overhaul terhadap seluruh legal
and justice system yang kita praktekan sekarang ini. Kita
harus jujur bahwa diperlukan perombakan terhadap sistem
pendidikan hukum kita yang cenderung mengedepankan
legalitas diatas moralitas kebenaran dan keadilan (suka tidak
suka nampaknya pengaruh The Pure Theory of Law dari
H.Kelsen sangat menonjol dalam dunia pendidikan hukum
kita), kita harus meninjau ulang sistem kerja kejaksaan,
kepolisian dan kehakiman yang berorientasi kepada
kewenangan dan kekuasaan semata, dan kurang berorientasi
kepada penegakan hukum yang benar dan adil.
Kalangan penegak hukum harus memiliki komitmen moral
yang tinggi. Benteng moral bangsa ini sangat tergantung
kepada mereka. Apabila mereka “memperjual-belikan”
hukum dengan politik dan uang maka akan hapus harapan
bangsa kita untuk menjadi bangsa yang kompetitif dibidang
ekonomi. Kalangan pemerintahan harus memposisikan diri
sebagai the guardian of the legal and justice system.
Pemerintah dengan perangkat hukum kejaksaan dan
kepolisian hendaknya benar-benar memberdayakan
37
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
Kepolisian dan Kejaksaan untuk menjadi lebih professional
dengan melakukan reformasi birokrasi yang memungkinkan
sistem kerja yang lebih efektif, reformasi hendaknya tidak
ditujukan semata-mata untuk meningkatkan kesejahteraan
secara ekonomis.
Kalangan akademisi harus menjadi benteng pertahanan
ilmu hukum yang berlandaskan kepada objektivitas keilmuan,
moralitas dan kebenaran. Keterlibatan dosen dan para guru
besar hukum didalam pemerintahan, konsultan hukum dan
pengacara telah memperlemah “kredibilitas ilmiah” mereka.
Reformasi birokrasi terhadap dunia pendidikan hukum harus
segera terjadi, kesejahteraan mereka harus ditingkatkan
secara signifikan. Kita sekarang menyaksikan betapa para
dosen dan guru besar berlomba mencari proyek, mengejar
jabatan melalui aktivitas mereka di partai politik dan atau
mengajar di pendidikan hukum eksekutif. Hal ini antara lain
diduga menjadi penyebab terjadinya degradasi kualitas dan
kredibilitas pendidikan hukum di Indonesia.
Walaupun terdengar agak naif, penetapanan undang-undang
khusus bagi para penegak hukum dan profesi hukum menjadi
sangat penting sebagai undang-undang “darurat”. Harus
ada hukum yang akan memberikan efek deterrent terhadap
mereka yang memahami dan berkecimpung didalam dunia
hukum tapi malah ikut serta melakukan pembusukan
terhadap hukum itu sendiri. Sanksi berat harus benar-benar
dikenakan terhadap mereka ini.
Era reformasi hanyalah akan menjadi era tanpa makna
bagi pembangunan hukum di Indonesia seandainya tidak
ada reformasi yang sungguh-sungguh di sektor hukum.
Kita juga bisa bercermin kepada negara-negara lain yang
telah lebih baik membenahi bidang hukum ini. Didalam
masyarakat yang sudah "globalized" ini banyak institusi
hukum berdasarkan desakan kebutuhan akan menjadi
semakin mengarah kepada hukum yang sama atau
sekurang-kurangnya "comparable" diantara bangsa-bangsa
di dunia. Diperkenalkannya institusi-institusi hukum baru
nampak dengan jelas dalam hal perkembangan hukum
ekonomi Indonesia. Fenomena ini terjadi antara lain sebagai
dampak perkembangan ekonomi dunia yang demikian
drastis, sehingga hukum dituntut untuk menyesuaikan diri
dengan berbagai perkembangan ekonomi tersebut. Kondisi
ini harus dijadikan kesempatan bagi Indonesia untuk
melakukan reformasi hukum yang memungkinkan kita
menjadi bagian negara-negara yang memiliki kematangan
hukum yang baik.
Pembenahan mendasar berbagai bidang hukum di Indonesia
akan menjadi kata kunci untuk pertumbuhan ekonomi
Indonesia yang tinggi dan berkelanjutan. Hukum harus
mampu memainkan perannya sebagai ”pembeda” mana
yang benar dan salah diberbagai sektor kehidupakan bangsa
kita. Begitu besar tantangan yang akan dihadapi, tapi kapan
lagi kalau tidak Pemerintahan ini yang memulai. Sudah
terbukti dari sejarah berbagai negara di dunia bahwa
perubahan pada hakekatnya terjadi karena seorang
pemimpin pemerintahan dan negara yang memiliki visi yang
baik bagi bangsa dan negaranya, dan perserverence didalam
memperjuangkannya. Kita berharap jangan lagi ada istilah
menunggu ratu adil untuk mengubah semua ini.
Semoga....
38
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
I. UMUM
Beberapa prinsip guna memahami makna suatu
ketentuan Peraturan Perundang-undangan adalah :
1. norma (ketentuan) yang diatur/dituangkan dalam
Pasal harus dibaca dan dicermati maknanya secara
utuh (komprehensif) atas seluruh ketentuan yang
diatur dan tidak boleh dimaknai hanya berdasarkan
ketentuan Pasal demi Pasal kemudian telah
mengambil suatu kesimpulan. Guna memperoleh
pemahaman yang tepat, harus dicermati keterkaitan
makna dari satu Pasal dengan Pasal yang lain.
Demikian juga harus dicermati Penjelasan Umum
dan penjelasan dari masing-masing Pasal tersebut,
agar diperoleh pemahaman secara komprehensif
mengenai keseluruhan konsepsi dari Peraturan yang
bersangkutan.
2. untuk menerapkan atau melaksanakan suatu Pasal
tidak boleh hanya tertumpu pada ketentuan Pasal
yang bersangkutan, tetapi harus dilihat adakah
keterkaitan makna Pasal tersebut dengan makna
yang diatur dalam Pasal yang lain .
3. perlu dipahami adanya asas pembentukan dan asas
materi muatan dari Peraturan Perundang-undangan
itu sendiri, sudahkah hal tersebut diterapkan oleh
pembentuk Undang-Undang. Asas tersebut yakni:
a. Asas Pembentukan (vide Pasal 5 UU Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan), yang mensyaratkan
dipenuhinya ketentuan yang mencakup :
1) kejelasan tujuan;
2) kelembagaan atau organ pembentuk yang
tepat;
3) kesesuaian antara jenis, hierarki dan materi
muatan;
4) dapat dilaksanakan;
5) kedayagunaan dan kehasilgunaan;
6) kejelasan rumusan; dan
7) keterbukaan.
b. Asas Materi Muatan (vide Pasal 6 UU Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan), yang mensyaratkan
bahwa dalam materi muatan harus tercermin
asas :
1) pengayoman;
2) kemanusiaan;
3) kebangsaan;
4) kekeluargaan;
5) kenusantaraan;
6) bhineka tunggal ika;
7) keadilan;
8) kesamaan kedudukan dalam hukum dan
pemerintahan;
9) ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
10)keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
Dan ditambah asas lain sesuai dengan bidang hukum
Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan.
39
*) - Mantan Direktur Perancangan Peraturan Perundang-undangan Dep Huk & HAM-RI- Mantan Tenaga Ahli Perundang-undangan pada Deputi Perundang- undangan Setjen DPR-RI
Pengkajian Terhadap Makna Ketentuan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia Sebagaimana Telah Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2009
Oleh: Sri Hariningsih SH., MH. *)
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
II. TINJAUAN TERHADAP KETENTUAN PASAL 34 UU BI
1. Pasal 34 UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 berbunyi
sebagai berikut :
Pasal 34
(1) Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh
lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang
independen,dan dibentuk dengan undang-
undang.
(2) Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), akan dilaksanakan
selambat-lambatnya 31 Desember 2010.
2. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa guna
melaksanakan atau menerapkan ketentuan suatu
Pasal harus dicermati keterkaitannya dengan
ketentuan dalam Pasal yang lain agar tidak
menimbulkan permasalahan dalam penerapannya.
Dalam penerapan Pasal 34 ini, perlu dicermati atau
dikaji masing-masing ketentuan yang diatur pada
ayat (1) dan pada ayat (2) sebagai berikut :
a. Terkait dengan ketentuan Pasal 34 ayat (1).
1) Pengaturan Pasal 34 UU BI sangat terkait
dengan ketentuan Pasal 8 huruf c, Pasal
9, Pasal 24, dan Pasal 27. Demikian juga
ketentuan Pelaksanaan Pasal 8, Pasal 9,
Pasal 24, dan Pasal 27 tersebut, bersumber
dari tugas dan wewenang yang diberikan
kepada Bank Indonesia selaku lembaga
negara independen, sebagaimana diatur
dalam Pasal 4 ayat (2).
Pasal 4 ayat (2) berbunyi : Bank Indonesia
adalah lembaga negara yang independen
dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya, bebas dari campur tangan
Pemerintah dan/atau pihak lain,kecuali
untuk hal-hal yang secara tegas diatur
dalam Undang-Undang ini.
2) mengenai tugas Bank Indonesia
sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2)
tersebut dijabarkan lagi dalam ketentuan
Pasal 8 yang mencakup:
a. menetapkan dan melaksanakan
kebijakan moneter;
b. mengatur dan menjaga kelancaran
sistem pembayaran;dan
c. mengatur dan mengawasi Bank.
Mengenai tugas Bank Indonesia yang diatur
dalam Pasal 8 ini, pada dasarnya merupakan
salah satu aktualisasi dari konsepsi yang
tertuang dalam latar belakang pemikiran,
maksud, dan tujuan pembentukan Undang-
Undang tentang Bank Indonesia
sebagaimana diuraikan dalam Penjelasan
Umum, antara lain untuk mencapai dan
memelihara kesetabilan nilai rupiah.
3) mengenai pelaksanaan tugas Bank Indonesia
sebagaimana diatur dalam Pasal 8 tersebut
yakni termasuk tugas mengatur dan
mengawasai Bank (yang tercantum dalam
Pasal 8 huruf c), dilarang adanya campur
tangan dari pihak manapun.
Hal ini diatur secara tegas dalam Pasal 9
yang berbunyi :
Pasal 9
(1) Pihak lain dilarang melakukan segala
bentuk campur tangan terhadap
pelaksanaan tugas Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.
(2) Bank Indonesia wajib menolak dan
atau mengabaikan segala bentuk
campur tangan dari pihak mana pun
dalam rangka pelaksanaan tugasnya.
Selanjutnya penjelasan Pasal 9 ayat (1)
berbunyi sebagai berikut :
Yang dimaksud dengan pihak lain adalah
semua pihak di luar Bank Indonesia,
termasuk Pemerintah dan atau lembaga-
lembaga lainnya.
40
Yang dimaksud dengan segala bentuk
campur tangan adalah segala perbuatan
pihak lain yang secara langsung atau tidak
langsung dapat mempengaruhi kebijakan
dan pelaksanaan tugas Bank.
Ketentuan ini dimaksudkan agar Bank
Indonesia dapat melaksanakan tugas dan
wewenangnya berdasarkan Undang-
Undang ini secara efektif.
Tidak termasuk dalam pengertian campur
tangan adalah kerja sama yang dilakukan
oleh pihak lain atau bantuan teknis yang
diberikan oleh pihak lain atas permintaan
Bank Indonesia dalam rangka mendukung
pelaksanaan tugas Bank Indonesia
sebagaimana diamanatkan dalam Undang-
Undang ini.
4) Pelanggaran terhadap ketentuan dalam
Pasal 9 tidak bisa dianggap ringan, karena
dikenakan sanksi pidana yang cukup berat
sebagaimana diatur dalam Pasal 67 untuk
pelanggaran Pasal 9 ayat (1) dan dalam
Pasal 68 untuk pelanggaran Pasal 9 ayat
(2).
Pasal 67 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 67
Barangsiapa yang melakukan campur
tangan terhadap pelaksanaan tugas Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (1), diancam dengan pidana
penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun
dan paling lama 5 (lima) tahun, serta denda
sekurang-kurangnya Rp2.000.000.000,00
(dua miliar rupiah) dan paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 68 berbunyi sebagai berikut :
Pasal 68
Anggota Dewan Gubernur dan atau pejabat
Bank Indonesia yang melanggar ketentuan
Pasal 9 ayat (2) diancam dengan pidana
penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun
dan paling lama 5 (lima) tahun, serta denda
sekurang-kurangnya Rp2.000.000.000,00
(dua miliar rupiah) dan paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
5) Pengertian Bank tentunya adalah
sebagaimana tercantum dalam Pasal 1
angka 5 yang berbunyi : Bank adalah Bank
Umum dan Bank Perkreditan Rakyat
sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang tentang Perbankan yang berlaku.
6) Jika kita cermati ketentuan Pasal 8 huruf
c yang memberikan tugas kepada Bank
Indonesia untuk mengatur dan
mengawasi Bank dan kemudian kita
kaitkan dengan ketentuan dalam Padal 9
beserta penjelasanya, maka nampak jelas
bahwa tugas pengawasan terhadap
Bank merupakan tugas Bank Indonesia
dan dilarang untuk dilakukan oleh pihak
lain.
Ketentuan mengenai tugas dan wewenang
Bank Indonesia untuk mengawasi Bank
dipertegas lagi dalam ketentuan Pasal 24
dan Pasal 27 yang masing-masing berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 24
Dalam rangka melaksanakan tugas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf
c, Bank Indonesia menetapkan peraturan,
memberikan dan mencabut izin atas
kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu
dari Bank, melaksanakan pengawasan
Bank dan mengenakan sanksi terhadap
Bank sesuai dengan peraturan Perundang-
undangan.
Penjelasan : Dalam hal ini, pengaturan dan
pengawasan Bank mengacu pada Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998.
41
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
Pasal 27
Pengawasan Bank oleh Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24
adalah pengawasan langsung dan tidak
langsung.
Penjelasan : Yang dimaksud dengan
pengawasan langsung adalah dalam
bentuk pemeriksaan yang disusul dengan
tindakan-tindakan perbaikan.
Yang dimaksud dengan pengawasan tidak
langsung terutama dalam bentuk
pengawasan dini melalui penelitian, analisis,
dan evaluasi laporan Bank.
7) Ketentuan dalam Pasal 34 ayat (1) yang
menentukan bahwa tugas pengawasan
Bank akan dilakukan oleh lembaga
pengawasan jasa keuangan yang
independen, jelas tidak sejalan bahkan
ketentuan tersebut bertentangan
(kontradiktif) dengan ketentuan keempat
Pasal tersebut (Pasal 8 huruf c, Pasal 9,
Pasal 24, dan Pasal 27).
8) Pengaturan lebih lanjut dari ketentuan
Pasal 34 ayat (1) tidak dapat mengabaikan
atau mengesampingkan ketentuan dalam
Pasal 8 huruf c, Pasal 9, Pasal 24 dan Pasal
27 serta pemahaman secara utuh atas
konsepsi pembentukan Undang-Undang
tentang Bank Indonesia yang tertuang
dalam Penjelasan Umum. Demikian juga
ketentuan terhadap sanksi atas
pelanggaran Pasal 9 ayat (1) dan Pasal 9
ayat (2) sebagaimana ditegaskan masing-
masing dalam Pasal 67 dan Pasal 68, perlu
dilakukan penyesuaian.
9) Jika adanya saling keterkaitan antara Pasal-
Pasal dimaksud tidak diperhatikan, maka
akan terjadi tumpang tindih pengaturan
yang saling bertentangan satu dengan yang
lain, sehingga mengakibatkan kerancuan
bahkan kekacauan di bidang Peraturan
Perundang-undangan.
10) Terjadinya tumpang tindih pengaturan
bahkan saling bertentangan satu dengan
yang lain, jelas tidak mencerminkan asas
pembentukan peraturan perundang-
undangan (khususnya yang terkait dengan
”kejelasan tujuan” dan ”kedayagunaan
dan kehasilgunaan”) dan juga tidak
mencerminkan asas yang harus tercermin
dalam materi muatan (khususnya asas
”ketertiban dan kepastian hukum” dan
asas ”keseimbangan, keserasian, dan
keselarasan”).
11) Jika dilakukan pembentukan lembaga
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat
(1) maka :
a. terlebih dahulu harus dilakukan
perubahan terhadap ketentuan 4
(empat) Pasal tersebut diatas beserta
uraian konsepsi yang terdapat dalam
Penjelasan Umum;
b. perlu dipertimbangkan secara
seksama/cermat terkait dengan prinsip
kehasilgunaan dan kedayagunaan
pembentukan lembaga yang baru
dibandingkan dengan mengintensifkan
atau melakukan perbaikan kinerja dari
lembaga yang sudah ada ;dan
c. perlu dipertimbangkan secara seksama/
cermat dari sisi efisiensi dan efektifitas
pembentukan lembaga baru (untuk
menangani hal yang sama yang
sebenarnya sudah ada lembaga yang
menangani), mengingat pembentukan
lembaga baru pasti terkait antara lain
dengan penyediaan infrastruktur baru
yang berakibat pembengkakan
anggaran negara dan penyelesaian
masalah status kepegawaian dari
lembaga yang lama yang mungkin tidak
mudah penyelesaiannya.
12) pemberian kewenangan kepada Bank
Indonesia walaupun merupakan lembaga
independen, bukan berarti tanpa batas.
Hal tersebut secara jelas terlihat dari uraian
42
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
yang terdapat dalam alinea terakhir
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor
23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia,
yang berbunyi: Agar independensi yang
diberikan kepada Bank Indonesia
dilaksanakan dengan penuh tanggung
jawab, kepada Bank Indonesia dituntut
untuk transparan dan memenuhi prinsip
akuntabilitas publik dalam menerapkan
kebijakannya serta terbuka bagi
pengawasan oleh masyarakat.
b. terkait dengan ketentuan Pasal 34 ayat (2).
1) Pasal 34 ayat (2) menentukan bahwa :
Pembentukan lembaga pengawasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), akan
dilaksanakan selambat-lambatnya 31
Desember 2010.
Ketentuan dalam Pasal 34 ayat (2) ini tidak
sama perlakuannya dengan ketentuan
dalam Pasal-Pasal yang lain terkait dengan
limit atau jangka waktu berlakunya.
2) Ketentuan dalam Pasal 34 ayat (2) ini
memuat pembatasan secara eksplisit
mengenai masa berlaku penerapannya,
yakni hanya sampai tanggal 31 Desember
2010.
Pasal 34 ayat (2) ini secara jelas memberikan
peringatan kepada Pembentuk UU (DPR
dan Presiden) bahwa jika akan membentuk
UU tentang lembaga pengawasan jasa
keuangan maka tidak boleh melewati batas
waktu tanggal 31 Desember 2010. Batas
waktu tersebut secara eksplisit dirumuskan
dalam frasa ”selambat-lambatnya 31
Desember 2010”.
3) Ketentuan dalam pasal yang lain yang secara
eksplisit tidak menentukan batas waktu
penerapannya, masih berlaku sampai
dinyatakan secara tegas dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku oleh Undang-
Undang tersendiri.
4) Setelah lewat dari jangka waktu yang
ditentukan (yakni 31 Desember 2010),
ketentuan Pasal 34 ayat (2) tidak dapat lagi
dijadikan legitimasi atau dasar hukum
pembentukan lembaga yang didelegasikan
oleh ketentuan pada ayat (1). Oleh karena
itu, Pembentuk Undang-Undang (DPR dan
Presiden) tidak dapat lagi menggunakan
dasar hukum ketentuan Pasal 34 ayat (2)
untuk membentuk Undang-Undang tentang
Lembaga Pengawasan Jasa Keuangan.
5) Mengingat ketentuan dalam Pasal 8 huruf
c, Pasal 9, Pasal 24, dan Pasal 27 dikaitkan
dengan ketentuan dalam Pasal 34 ayat (2)
khususnya yang terkait dengan pembatasan
jangka waktu pembentukan lembaga
pengawasan jasa keuangan, maka :
• Jika lembaga pengawasan jasa
keuangan akan dipaksakan dibentuk
dengan mendasarkan pada ketentuan
dalam Pasal 34 ayat (1), maka
pembentukan tersebut bertentangan
dengan ketentuan dalam Pasal 8 huruf
c, yang memberikan tugas pengawasan
terhadap bank kepada Bank Indonesia,
dengan Pasal 9 yang menyatakan
pihak lain dilarang melakukan
segala bentuk campur tangan
terhadap pelaksanaan tugas Bank
Indonesia dan Bank Indonesia wajib
menolak dan atau mengabaikan
segala bentuk campur tangan dari
pihak mana pun dalam rangka
pelaksanaan tugasnya, selanjutnya
bertentangan juga dengan Pasal 24,
dan Pasal 27 serta tidak sejalan dengan
konsepsi yang diuraikan dalam
Penjelasan Umum.
• Jika lembaga pengawasan jasa
keuangan akan dipaksakan dibentuk
dengan mengabaikan ketentuan dalam
Pasal 34 ayat (2) yang secara eksplisit
membatasi sampai 31 Desember 2010,
maka pembentukan tersebut akan cacat
43
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
hukum karena tidak mempunyai
legitimasi lagi
• Pengabaian terhadap ketentuan suatu
Pasal UU pasti ada konsekuensi
hukumnya. (Bandingkan pada waktu
dilakukan perubahan atas ketentuan
Pasal 11 ayat (5) UU BI yang menghapus
ketentuan tentang batas waktu.
Demikian juga mengenai pembentukan
UU tentang Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi yang diberi batas waktu
berdasarkan putusan MK).
6) Jika terdapat keinginan untuk memberikan
wewenang pengawasan Bank kepada
lembaga lain selain Bank Indonesia, maka:
ketentuan Pasal 8 huruf c, Pasal 9 beserta
penjelasannya, Pasal 24, Pasal 27, dan Pasal
34 ayat (2), Pasal 67, dan Pasal 68 serta
konsepsi yang dituangkan dalam Penjelasan
Umum harus diubah terlebih dahulu.
III. PROSES PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN BERDASARKAN KETENTUAN DALAM
UU NOMOR 12 TAHUN 2011
Dalam pembentukan Peraturan Perundang-undangan
terdapat 2 (dua) asas yang harus diperhatikan yakni
asas pembentukan (vide Pasal 5) dan asas dari materi
muatan (vide Pasal 6).
Dalam kaitan dengan rencana pembentukan UU tentang
lembaga pengawasan jasa keuangan yang hanya
mendasarkan pada perintah Pasal 34 UU BI kekhawatiran
yang muncul adalah :
1. Apakah UU tersebut kira-kira dapat dilaksanakan,
karena akan terdapat pertentangan dengan
ketentuan Pasal 8 huruf c, Pasal 9, Pasal 24, dan
Pasal 27, Pasal 67 dan Pasal 68 termasuk konsepsi
yang tertuang dalam Penjelasan Umum UU BI.
2. Apakah UU tersebut akan mempunyai kedayagunaan
dan kehasilgunaan, mengingat kemungkinan
kewenangannya akan berbenturan dengan
kewenangan BI yang keberadaan lembaganya walau
dengan nama yang lain (Bank Sentral) adalah
legitimasi dari UUD (vide Pasal 23 D).
3. Pembentukan UU tentang lembaga pengawasan
jasa keuangan yang didasarkan pada ketentuan
Pasal 34 jelas akan memunculkan ketidak pastian
hukum karena :
a. Selama wewenang Bank Indonesia sebagaimana
diatur dalam Pasal 8 huruf c, dalam Pasal 9, Pasal
24, dan Pasal 27 termasuk ketentuan sanksi
pidana atas pelanggaran Pasal 9 sebagaimana
diatur dalam Pasal 67 dan Pasal 68 serta konsepsi
yang tertuang dalam Penjelasan Umum tidak
dilakukan penyesuaian/perubahan maka akan
terjadi tumpang tindih kewenangan pengawasan
terhadap Bank dan bahkan terjadi pertentangan
kewenangan.
b. Ketentuan mengenai pembatasan waktu yang
diatur dalam Pasal 34 ayat (2) jika diabaikan
jelas akan merusak asas ketertiban dan
kepastian hukum.
4. Proses pembentukan UU tentang lembaga
pengawasan jasa keuangan sebagaimana
didelegasikan oleh Pasal 34 harus mengacu pada
ketentuan Pasal 5 dan Pasal 6 UU No.12 Tahun
2011 (khususnya asas kejelasan tujuan,
kehasilgunaan dan kedayagunaan,asas ketertiban
dan kepastaian hukum, serta asas keseimbangan,
keserasian, dan keselarasan), maka UU tersebut
terdapat kemungkinan dapat dilakukan judicial
review oleh pihak yang berkepentingan atau yang
dirugikan mengingat tidak sesuai dengan prosedur
pembentukannya.
44
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
45
1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
3 Tahun 2004 dan dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009.
2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Daftar Pustaka
Salah satu pelaksanaan reformasi hukum dalam bidang
hukum kepailitan ditandai dengan disempurnakannya
ketentuan tentang kepailitan yaitu terbentuknya Undang
Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang selanjutnya disebut
dengan Undang-Undang KPKPU.
Perdefinisi dalam Undang Undang KPKPU, pengertian
kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur
pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh
kurator dibawah pengawasan hakim pengawas. Secara
umum pengertian kepailitan atau biasa disebut bangkrut/
bankrupt atau insolven berasal dari bahasa Italia, banca
rotta atau artinya meja yang patah, yang merupakan simbol
atau lambang bagi peminjam/debitur yang insolven.
Kepailitan lahir dari adanya utang debitur atau tagihan/klaim
kreditur yang muncul karena adanya perikatan utang
piutang/transaksi bisnis antara satu orang debitur/pemilik
utang/yang berutang dengan dua atau lebih kreditur/pemilik
piutang/pemberi utang, dimana seorang debitur yang
memiliki dua atau lebih kreditur tersebut tidak mampu
membayar lunas sedikitnya satu utangnya yang telah jatuh
tempo dan dapat ditagihkan padanya, maka debitur tersebut
dapat dinyatakan pailit.
Sebagaimana dinyatakan dalam pasal 2 ayat (1) Undang-
undang No.37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (UU KPKPU) secara umum
dinyatakan bahwa debitur yang mempunyai dua atau lebih
kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang
yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit
oleh pengadilan, baik atas permohonan sendiri maupun
atas permohonan satu atau lebih krediturnya. Dari persyaratan
dalam Pasal 2 ayat (1) Undang Undang KPKPU, menurut
penulis, memberikan pengertian bahwa Undang Undang
Kepailitan tidak melihat apakah debitur mampu atau tidak
mampu melunasi utangnya, sepanjang utang itu telah jatuh
waktu dan dapat ditagih, dan saat itu dia tidak mampu
membayar atau tidak maunya debitur melunasi utangnya,
maka akan mengakibatkan debitur tersebut dinyatakan
pailit.
Undang-Undang KPKPU telah membuat pengaturan khusus
yang berbeda bagi debitur berbentuk badan hukum
perbankan dibandingkan dengan pengaturan terhadap
debitur pada umumnya. Pernyataan pailit bagi debitur
berbentuk badan hukum perbankan, permohonan
pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia.
Bank sebagai debitur tidak dapat mengajukan sendiri
permohonan pernyataan pailit bagi dirinya sendiri
sebagaimana halnya yang dapat dilakukan oleh debitur pada
umumnya. Demikian pula kreditur/nasabah bank juga tidak
dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap
bank sebagai debiturnya, sebagaimana yang dapat dilakukan
oleh kreditur pada umumnya terhadap debiturnya.
Mengenai pengaturan khusus tentang pernyataan pailit
bagi debitur berbentuk badan hukum perbankan yang
hanya merupakan kewenangan bagi Bank Indonesia, lebih
lanjut disitir penulis dari pendapat Mudofir Hadi bahwa hal
tersebut seharusnya diartikan bahwa Bank Indonesia
dijadikan filter dari setiap permohonan kreditur dari bank
yang hendak mempailitkan bank/debitur, artinya kreditur
akan menemui jalan buntu apabila dia akan mengajukan
bank sebagai debiturnya untuk pernyataan pailit tanpa
melalui Bank Indonesia. Demikian pula sebaliknya dalam
47
Resensi Buku
Judul : Kepalitian Bank Aspek Hukum Kewenangan Bank Indonesia Dalam Kepailitan Suatu Bank
Penulis : Dr. Silvia Janisriwati, SH., M Hum.Penerbit : Logoz PublishingHalaman : 190 halamanOleh : Ellia Syahrini, SH., CN.
hal bank/debitur itu sendiri tidak dapat secara semena-
mena mengajukan permohonan pailit untuk dirinya sendiri,
tanpa melalui Bank Indonesia, yang dapat merugikan para
nasabahnya.
Dalam kepailitan dikenal adanya tiga kategori dasar dalam
hukum kepailitan yaitu pertama, Penagihan hutang atau
Debt collection, merupakan konsep pembalasan kreditur
terhadap debitur pailit dengan menagih klaimnya terhadap
debitur atau harta debitur, yang dapat dimanifestasikan
dalam bentuk Likuidasi aset. Kedua adalah pengampunan
utang atau Debt forgiveness, merupakan konsep meringankan,
mengecualikan atau membebaskan kewajiban debitur yang
dimanifestasikan dalam bentuk asset exemption, yaitu
pengecualian harta debitur terhadap budel pailit, moratorium
yaitu penundaan pembayaran untuk jangka waktu tertentu,
relief from imprisonment (membebaskan dari hukuman
penjara karena gagal membayar hutang), discharge of
indebtedness (pembebasan debitur atau harta debitur untuk
utang yang benar benar tidak dapat dipenuhinya). Dan
terakhir adalah penyesuaian utang atau debt adjustment
merupakan aspek dalam hukum kepailitan yang dimaksudkan
merubah hak distribusi dari para kreditur sebagai grup,
implementasi dari konsep ini adalah prinsip pro rata
distribution atau structured prorate (pembagian berdasarkan
kelas kreditur)
Sementara itu beberapa prinsip yang dikenal dalam hukum
kepailitan yaitu, prinsip paritas creditorium yang dikenal di
Indonesia dalam pasal 1131 KUHPerdata. Prinsip ini bermakna
bahwa semua harta kekayaan debitur baik yang ada dan
yang akan ada, baik bergerak maupun tetap, terikat pada
penyelesaian kewajiban debitur. Pada prinsip ini semua
kreditur kedudukannya disamaratakan. Hal ini merupakan
ketidakadilan karena selain penyamarataan kedudukan
kreditur, harta debitur yang tidak terkait dalam utang tersebut
akan turut menjadi terikat untuk penyelesaian utangnya.
Selain itu prinsip pari passu pro rata parte, diatur dalam
pasal 1132 KUH Perdata, adalah prinsip yang mengenal
harta kekayaan debitur merupakan jaminan bersama untuk
para kreditur yang harus dibagikan secara proporsional
kecuali jika diantara kreditur tersebut terdapat kreditur yang
berdasarkan Undang-Undang harus didahulukan dalam
penerimaan pembayaran tagihannya serta prinsip structured
creditur, yaitu prinsip mengkelompokkan berbagai macam
kreditur sesuai dengan kelasnya masing-masing.
Sesuai asas dan tujuan kepailitan bahwa pengertian kepailitan
adalah sebagai sita umum atas kekayaan debitur pailit yang
pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh curator
dibawah pengawasan hakim pengawas dan dimaksudkan
untuk menghindari adanya sita/eksekusi oleh para kreditur
secara sendiri sendiri yang dapat menimbulkan kecurangan
dan terabaikan hak kreditur lainnya, maka para kreditur dari
debitur yang dipailitkan untuk mendapatkan pemenuhan
haknya, harus bertindak secara bersama sama (concursus
creditorum) sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1132 KUH
Perdata.
Dengan demikian meskipun berdasarkan jenisnya dalam
hukum kepailitan terdapat kreditur separatis yaitu kreditur
yang piutangnya dijamin dengan agunan hak kebendaan,
dan kreditur preferen yaitu kreditur dengan hak istimewa
khusus dan hak istimewa umum berdasarkan Pasal 1139
dan 1149 KUH Perdata, tagihannya didahulukan terhadap
hasil penjualan harta kekayaan debitur yang telah dibebani
dengan hak tertentu bagi kepentingan kreditur serta kreditur
konkuren, yaitu kreditur yang mempunyai hak sama dan
harus berbagi dengan kreditur lain secara proporsional,
namun dalam pelaksanaan kepailitan tetap saja diupayakan
pemenuhan hak para kreditur dalam kepailitan dilakukan
secara bersama-sama (concursus creditorum) dan dengan
pembagian harta kekayaan debitur diantara para kreditur
sesuai dengan asas pari passu.
Di sisi lain, Undang Undang Kepailitan yang merupakan
proses pelaksanaan ketentuan pasal 1131 dan 1132 KUH
Perdata pada pokoknya memberi perlindungan kepada
kreditur apabila debitur tidak mampu membayar lunas
hutangnya yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih,
diharapkan dapat memberikan jalan keluar untuk
pendistribusian kekayaan debitur secara pasti dan adil.
Berbeda halnya dengan Undang Undang Kepailitan di
Indonesia, dalam Undang Undang KPKPU setelah adanya
tindakan pemberesan tidak mengenal adanya financial fresh
start, baik kepada debitur perorangan maupun badan hukum.
Artinya apabila setelah pemberesan/likuidasi ternyata masih
terdapat utang debitur yang tidak terlunasi, maka debitur
tersebut masih berkewajiban melunasi semua utang
utangnya, tetapi kepada debitur tersebut masih diberikan
kewenangan untuk melakukan tindakan hukum berkaitan
dengan usahanya. Artinya pasca kepailitan debitur tersebut
48
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
masih tetap eksis dan melakukan usahanya sehingga pada
akhirnya mampu menyelesaikan utang/kewajibannya yang
lalu yang belum terlunasi.
Keterkaitan antara Kepailitan dan Likuidasi adalah bahwa
pada dasarnya kepailitan merupakan likuidasi secara paksa,
sehingga aset dan harta debitur dapat dijual secara paksa
untuk membayar utang debitur dan dibagi kepada para
kreditur secara pro rata, kecuali ada diantaranya kreditur
yang harus didahulukan menurut ketentuan pasal 1132
KUH Perdata.
Menurut penulis apa yang dipersyaratkan dalam pasal 2
ayat (1) Undang Undang KPKPU bahwa debitur yang
mempunyai dua atau lebih kreditur dan debitur tidak
membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh
waktu dan dapat ditagih kepada salah satu krediturnya
dapat dinyatakan pailit, apabila diterapkan kepada debitur
berbentuk badan hukum perbankan akan menjadi kurang
tepat dan sangat riskan, karena sangat mudah terpenuhinya
persyaratan dimaksud, mengingat banyaknya jumlah
kreditur/nasabah bagi bank sebagai debitur, meskipun pada
dasarnya tidak selalu terpenuhinya kriteria insolven.
Dengan demikian untuk melindungi kepentingan kreditur
sesuai teori keadilan, dikemukakan oleh penulis, seharusnya
ketentuan dalam pasal 2 ayat (3) Undang Undang KPKPU
harus diubah dengan menyertakan para kreditur sebagai
pihak yang dapat mengajukan permohonan pernyataan
pailit bagi debitur berbentuk badan hukum perbankan,
selain kewenangan sepenuhnya berada pada Bank Indonesia.
Lebih lanjut penulis mengusulkan agar ketentuan dalam
pasal 2 ayat (3) diubah menjadi, “dalam hal debiturnya
adalah bank, maka yang dapat mengajukan permohonan
pernyataan pailit adalah Bank Indonesia atau para kreditur
dari bank tersebut,” dengan pertimbangan sesuai teori
keadilan kreditur memiliki hak untuk mendapatkan pemenuhan
utangnya sesuai kontrak yang telah disepakati. Bahwa hanya
melalui pendekatan kontrak sebuah teori keadilan mampu
menjamin pelaksanaan pemenuhan hak sekaligus
mendistribusikan kewajiban secara adil bagi semua orang.
Disamping itu, Penulis menambahkan beberapa catatan
yang perlu menjadi perhatian yaitu:
1. Penolakan Bank Indonesia sebagai pihak yang mempunyai
kewenangan sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat (3)
UU KPKPU untuk mengajukan permohonan pernyataan
pailit terhadap bank adalah bertentangan dengan prinsip
hukum perjanjian yaitu asas kebebasan berkontrak, asas
pacta sunt servanda, dan asas konsesualisme karena
akan menghilangkan hak kreditur dihadapan hakim yang
secara bebas dapat menggugat debitur yang telah cidera
janji. Selain itu penolakan tersebut juga bertentangan
dengan asas lex specialis derogate legi genarali.
2. Apabila Bank Indonesia menolak mengajukan pernyataan
pailit terhadap bank di Pengadilan Niaga tanpa adanya
upaya hukum yang dapat dilakukan oleh para kreditur
tentunya hal tersebut akan menimbulkan ketidakpastian
hukum dan tidak memberi perlindungan hukum terhadap
pihak yang berkepentingan. Dalam hal ini bank bukannya
tidak dapat dipailitkan tetapi pemailitan bank tersebut
membutuhkan itikad baik dari Bank Indonesia yang
mempunyai kewenangan. Para kreditur/nasabah
penyimpan dana akan tetap mendapatkan perlindungan
hukum apabila Bank Indonesia mau mempergunakan
kewenangannya yang diberikan oleh Undang Undang
Kepalitan.
3. Pada dasarnya penyelesaian bank bermasalah dilakukan
dengan general insolvency law oleh bankruptcy court
sehingga bank diperlakukan sama sebagaimana
perusahaan pada umumnya atau adanya aturan kepailitan
khusus yang berlaku bagi bank yang dikelola oleh
supervisory authority atau lembaga penjamin simpanan,
sebagaimana di Amerika dan Inggris. Menurut penulis
hal demikian dapat pula diterapkan di Indonesia dengan
menggunakan general insolvency law dan melakukan
proses kepailitan melalui pengadilan yang akan lebih
cepat waktu penyelesaian dan transparan.
Undang Undang KPKPU mengatur satu-satunya lembaga
yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit
terhadap debitur berbentuk badan hukum perbankan
hanyalah Bank Indonesia. Berdasarkan Undang Undang
No. 3 tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang Undang
No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Bank Indonesia
adalah otoritas perbankan yang kewenangannya meliputi
penetapan peraturan, memberikan dan mencabut izin atas
kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari bank,
melaksanakan pengawasan bank dan mengenakan sanksi
terhadap bank. Selaku otoritas perbankan maka kebijakan
pengaturan dan pengawasan bank yang dirumuskan dan
diimplementasikan oleh Bank Indonesia bertujuan untuk
mengupayakan terciptanya individu bank yang sehat
49
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
yang pada gilirannya mendukung sistem perbankan yang
sehat.
Untuk melindungi kepercayaan masyarakat kepada dunia
perbankan, bank sebagai debitur tidak serta merta dan
sedemikian mudahnya dapat dimintakan permohonan pailit
manakala terdapat satu saja utang bank/debitur yang telah
jatuh waktu dan dapat ditagihkan kepadanya dari salah satu
krediturnya/nasabahnya. Dalam hal ini diatur pengecualian
permohonan pernyataan pailit bagi debitur berbentuk badan
hukum perbankan sepenuhnya merupakan kewenangan
Bank Indonesia yang didasarkan atas penilaian kondisi
keuangan dan perbankan secara keseluruhan. Sementara
itu dalam prakteknya Bank Indonesia akan melakukan
tindakan secara persuasif yang diakhiri dengan likuidasi
tanpa perlu pernyataan pailit terhadap bank yang mengalami
insolvensi atau masalah kesulitan dana yang dapat
membahayakan keberadaan bank
50
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
Pemerintah Indonesia telah menyusun Rancangan Undang-
Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pendanaan Terorisme (RUU PPTPPT). Dalam rangka
pendalaman materi berkaitan dengan penyusunan RUU
dimaksud, Bank Indonesia diundang oleh Pusat Pelaporan
dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk bersama-
sama Pemerintah mengikuti kegiatan counter financing of
terrorism study tour, di Sydney-Australia, tanggal 25 – 29
September 2011.
Penyusunan RUU tersebut dilatarbelakangi RUU disusun
dengan latar belakang bahwa :
a. Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan
yang mengancam kedaulatan setiap negara. Negara
wajib melindungi masyarakat dari ancaman tindak pidana
terorisme dan aktifitas yang mendukung terorisme;
b. Pendanaan merupakan faktor penting dalam aksi
terorisme sehingga upaya penanggulangan terorisme
harus diikuti dengan pencegahan dan pemberantasan
terhadap pendanaan terorisme;
c. Dengan telah diratifikasinya Konvensi Internasional
Pemberantasan Pendanaan Terorisme, maka Indonesia
wajib untuk membuat atau menyelaraskan peraturan
perundang-undangan terkait pendanaan terorisme
sehingga sejalan dengan ketentuan-ketentuan yang
diatur dalam konvensi tersebut;
d. Peraturan PerUUan yang berkaitan dengan pendanaan
terorisme belum mengatur pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana pendanaan terorisme secara memadai
dan komprehensif.
e. Dalam perspektif internasional Indonesia harus menaruh
perhatian penuh untuk memperbaiki kelemahan dalam
memenuhi 9 Rekomendasi Khusus FATF mengenai
Pendanaan Terorisme. Berdasarkan hasil penilaian Mutual
Evaluation (ME), penanganan anti pendanaan terorisme
di Indonesia dipandang masih lemah.
Berdasarkan realitas bahwa upaya penanggulangan
tindak pidana terorisme tidak akan optimal tanpa diikuti
dengan upaya pencegahan dan pemberantasan terhadap
pendanaan terorisme, maka sebagai negara yang beberapa
kali mengalami serangan terorisme, Indonesia perlu
memperluas jangkauan upaya pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana terorisme dengan upaya memutus ”mata
rantai” atau alur pendanaan terorisme disamping melakukan
upaya-upaya untuk menangkap dan menghukum secara
fisik para teroris.
Pada pokoknya tujuan dari menyusunan RUU tersebut,
adalah (i) memberikan dasar hukum yang kuat dan
kemudahan dalam pendeteksian, pembekuan, penyitaan
dan perampasan dana atau aset yang diketahui atau patut
diduga akan digunakan dan/atau digunakan secara langsung
atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme, organisasi
teroris, atau teroris perseorangan; (ii) mendukung dan
meningkatkan efektivitas upaya pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme; dan
(iii) menyesuaikan pengaturan mengenai pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme
sehingga sejalan dengan konvensi yang telah diratifikasi
oleh Pemerintah Indonesia dan standar internasional di
bidang pencegahan dan pemberantasan pendanaan
terorisme.
Sasaran utama dari penyusunan RUU tersebut, adalah (i)
ikut memelihara dan menjaga stabilitas ekonomi, sosial
budaya, dan keamanan dan ketertiban nasional; (ii) memutus
alur pendanaan terorisme sekaligus mencegah terjadinya
lagi serangan atau aksi-aksi terorisme di seluruh tanah air;
dan (iii) menunjukkan komitmen Indonesia yang kuat dan
serius dalam pencegahan dan pemberantasan pendanaan
terorisme.
Australia adalah salah satu negara yang memiliki pengaturan
yang komprehensif mengenai pencegahan dan pemberantasan
pendanaan terorisme. Pengaturan yang dibangun telah
mendorong terwujudnya integrasi dan efektifitas lembaga-
lembaga terkait mencegah dan memberantas tindak pidana
51
Cakrawala Hukum:Laporan Mengikuti Sosialisasi RUU Pencegahan Dan Pendanaan TerorismeOleh: Tim Redaksi
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
pendanaan terorisme. Berkaitan dengan pemberantasan
tindak pidana terorisme, Pemerintah Australia berdasar pada
hukum nasional dan hukum internasional yang langsung
diadopsi menjadi hukum nasional serta kerja sama
internasional. Hukum internasional yang diadopsi ke dalam
hukum nasional Australia berasal dari resolusi Dewan
Keamanan PBB dan rekomendasi-rekomendasi FATF. Hal ini
sejalan dengan konstitusi, yang memberikan dasar bagi
hukum internasional dapat berlaku setelah adanya
persetujuan parlemen (termasuk yang berupa resolusi dan
rekomendasi).
Di Australia, lembaga yang berwenang dalam bidang analisis
dan pelaporan transaksi keuangan adalah AUSTRAC yang
didirikan pada tahun 1989 berdasarkan the Financial
Transaction Reports Act 1988 (FTR Act). Secara umum
pendekatan yang dilakukan berdasarkan FTR Act 1988
adalah “prescriptive”. Selanjutnya berdasarkan anti-Money
Laundering/Counter Terrorism Financing atau yang dikenal
dengan AML/CFT Act 2006, pendekatan dilakukan
berdasarkan “risk-based”. AUSTRAC merupakan Financial
Intelligence Unit (FIU) yang bertipe Administratif dan
merupakan menjadi bagian dari Australian Government
Attorney-Generals Department. Keberadaan AUSTRAC
dalam AML/CFT Act 2006 tercantum dalam bagian 209.
AUSTRAC memiliki 6 kantor yang terdiri dari 1 kantor pusat
di New South Wales dan 5 kantor regional di 5 state yang
berbeda (Victoria, ACT, Qld, WA, dan SA). AUSTRAC memiliki
peran ganda yaitu sebagai regulator dalam mengatur dan
mengawasi pelaksanaan dan pemenuhan kepatuhan pihak
pelapor terhadap ketentuan anti pencucian uang dan
pendanaan terorisme di Australia (the AML/CTF Act and FTR
Act); dan sebagai lembaga di bidang intelijen keuangan
/financial intelligence unit AUSTRAC menerima, menganalisis
dan menyediakan atau menyampaikan informasi kepada
pihak terkait yang berwenang di dalam negeri (partner
agencies) maupun di luar negeri (international counterparts).
Informasi AUSTRAC digunakan oleh pihak terkait dimaksud
dalam penyelidikan berbagai tindak pidana seperti pencucian
uang, penipuan/fraud, obat terlarang, penyelundupan, dan
kejahatan serius lainnya.
Jenis laporan yang diterima AUSTRAC dari pihak pelapor
sesuai AML/CFT Act terdiri dari Suspicious Matter Reports
(SMR), Threshold Transaction Report (TTR), dan International
Fund Transfer Instruction (IFTI) serta Cross Border Movement
(CBM). Berkenaan dengan domestic dan international
coordination diketahui pada saat ini yang menjadi domestic
partner agencies AUSTRAC meliputi law enforcement,
national security, social justice, revenue collection, regulatory.
Sedangkan jumlah FIU yang telah menandatangi MOU
dengan AUSTRAC sebanyak 59 FIU. Pihak-pihak yang diatur
dan diawasi oleh AUSTRAC terdiri dari pihak pelapor yang
melakukan kegiatan salah satu dari 71 designated services,
yang meliputi:
a. Provision of an account
b. Pemberian pinjaman (Making a loan)
c. Leasing dan penyewaan (Some leasing and hire purchase
agreement)
d. Penerbitan kartu debit, money order, travel cek atau
store value card
e. Penerimaan taruhan dan atau pembayaran kepada
pemenang taruhan (accepting bets and/or paying
winnings)
Berdasarkan FTR Act dan AML/CFT Act, pihak-pihak yang
memiliki kewajiban pelaporan kepada AUSTRAC yakni:
lembaga keuangan (financial institutions);pedagang valuta
asing (bureau de changes); pedagang emas dan permata
(bullion sellers); penyedia jasa pengiriman uang (money
transfer remmitters); pembawa uang tunai/cash carriers;
perjudian/casinos; penyelenggara undian/TAB/bookmakers.
Beberapa hal yang dapat disimpulkan berkenaan dengan
materi RUU PPTPPT, sebagai berikut :
1. Pada hakikatnya, pendekatan yang dilakukan dalam
rangka pencegahan dan pemberantasan Pendanaan
Terorisme adalah pendekatan “Follow the Money”, yang
menyakini bahwa uang dan segala bentuk property yang
dimiliki oleh individual terrorist maupun terrorist group
adalah merupakan jantungnya kegiatan pendanaan
terorisme itu.
2. Key tools yang dipakai dalam strategi pemberantasan
Pendanaan Terorisme haruslah ditujukan bagi Detection;
Disruption; Prevention (termasuk melakukan upaya
perlawanan atas radikalisasi teroris); dan Response.
3. Pencegahan dan pemberantasan Pendanaan Terorisme
membutuhkan respon dari multiagensi, yang meliputi:
52
a. Penetapan mekanisme pencegahan yang efektif,
dan juga kemampuan khusus di dalam investigasi
pelaku pendanaan terorisme.
b. Koordinasi-koordinasi kebijakan antar lembaga
c. Instrument-instrumen penegakan yang memadai
d. Sasaran yang ditujukan dengan jelas untuk mencegah
dan memberantas pendanaan terorisme.
e. Peranan dan kesadaran dari lembaga-lembaga yang
masih belum dapat merasakan bahwa keterlibatan
lembaga mereka sangat penting, dan untuk itu
mereka juga harus memperluas keikutsertaan mereka
di dalam pencegahan dan pemberantasan pendanaan
terorisme tersebut, seperti kantor pajak, lembaga
negara yang memiliki kewenangan untuk mengatur
mengenai yayasan-yayasan sosial, atau lembaga
charity lainnya.
f. Penguatan kerjasama internasional karena
mengingat sifat dan hakikat pendanaan terorisme
bersifat transnasional, yang membutuhkan adanya
kerjasama internasional untuk pencegahan dan
pemberantasannya. Kerjasama internasional yang
perlu dikuatkan tersebut antara lain kerjasama antar
Financial Intellegence Units (FIUs), lembaga-lembaga
pengawas dan pengatur mengenai charity, regulator
sektor finansial (Bank Sentral), Kepolisian,
Kepabeanan, Pengadilan, dll).
4. Komunitas internasional telah menyetujui standar-standar
yang harus dipedomani dalam rangka penguatan rezim
Counter Financing of Terrorism meliputi bidang-bidang
pertukaran informasi, baik yang informal, bersifat
intelligence, maupun yang dapat digunakan sebagai
bukti adanya keterlibatan orang secara pribadi ataupun
group dalam pendanaan terorisme tersebut.
5. Kriminalisasi pendanaan terorisme ditentukan dalam SR
II dan SR III dari 9 Special Recommendation of FATF. Pada
hakikatnya perbuatan yang harus dikriminalisasikan
sebagai tindak pidana pendanaan terorisme adalah
meliputi tindakan menyediakan atau mengumpulkan
dana yang dimaksudkan untuk digunakan oleh organisasi
teroris atau teroris perorangan, untuk semua tujuan.
Dengan demikian pendanaan terorisme harus diperluas
sehingga menjadi sebagai berikut:
a. Dana-dana (termasuk di dalamnya semua property)
yang digunakan untuk pendanaan terorisme diperoleh
dari sumber-sumber yang sah (legitimate) maupun
yang haram (illegitimate).
b. Dana-dana tersebut yang walaupun pada
kenyataannya tidak jadi digunakan untuk melakukan
terorisme, dan tidak harus dihubungkan dengan
kegiatan terorisme tertentu.
c. Kegiatan untuk pendanaan terorisme baik yang
dilakukan oleh organisasi teroris maupun teroris
perorangan, yang dilakukan di tempat yang sama
maupun di tempat yang berbeda dari penanggung
jawab di bidang keuangan terorisnya.
6. Kriminalisasi harus pula meliputi perbuatan-perbuatan
pidana lainnya, seperti percobaan, penyertaan, konspirasi.
7. Dibandingkan dengan konvensi, maka elemen-elemen
yang terkandung dalam SR II lebih luas, meliputi
perbuatan untuk menyediakan atau mengumpulkan
dana, yang sengaja disediakan untuk digunakan oleh
organisasi teroris atau teroris perseorangan untuk tujuan
apapun. Tantangan-tantangan dihadapi dalam
implementasi, antara lain, bahwa berdasarkan kriteria
penting yang ada di dalam SR II. 1, pengaturan mengenai
pendanaan terorisme belum seluruhnya meliputi
pendanaan terorisme untuk kegiatan terorisme, organisasi
terorisme dan individual terorisme.
a. Tidak semua treaty tentang kejahatan-kejahatan
sebagaimana ada dalam lampiran konvensi telah
mencakup mengenai kegiatan pendanaan terorisme.
Negara-negara yang belum menjadi peserta dalam
suatu treaty dapat melakukan kriminalisasi atas
kegiatan pendanaan terorisme. Untuk proses
penuntutan harus pula dapat dibuktikan bahwa
tindak pidana yang dilakukan ditujukan untuk tujuan
khusus tertentu, seperti untuk melakukan intimidasi
pada suatu pemerintah tertentu, dll.
8. Terkait dengan standar internasional untuk pembekuan
dana/aset, SR III mengharuskan negara-negara untuk
melakukan pembekuan dana ataupun aset lainnya dari
orang-orang yang telah ditentukan oleh UNSCR (United
Nations Security Council Resolution) Number 1267,
yaitu Al Qaeda dan Taliban, termasuk di dalamnya
adalah orang atau organisasi, kelompok, perusahaan
maupun asosiasi-asosiasi lainnya yang berafiliasi dengan
Al Qaeda dan Taliban tersebut. Nama-nama tersebut
53
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
dikirimkan kepada delegasi Dewan Keamanan PBB dan
kemudian diedarkan kembali kepada negara-negara
yang berwenang. Prosedur pembekuan aset-aset untuk
kelompok tersebut haruslah “without delay and without
prior notice to targets”. Hal tersebut dilakukan untuk
mencegah dilakukannya pemindahan aset oleh mereka
yang akan mengakibatkan sulitnya pelacakan dan
pembekuan aset. Pembekuan dana atau aset lainnya
dari Orang yang telah ditentukan oleh UN sebagai
teroris menurut masing-masing Pemerintah negara,
berdasarkan Resolution Number 1373, misalnya LTTE
di Malaysia, dll. Resolusi ini tidak diperuntukkan bagi
taliban atau Al Qaeda, dan tidak termasuk nama-nama
yang sudah masuk dalam daftar teroris yang dikeluarkan
oleh UN.
9. Diaturnya prosedur pelacakan, pembekuan, penyitaan
aset-aset teroris dalam proses penyidikan kasus terorisme
maupun dalam proses lainnya dalam kasus pendanaan
terorisme. Setiap negara juga diwajibkan untuk memiliki
hukum dan prosedur untuk:
a. Melakukan pembekuan dana dan aset lainnya dari
teroris maupun pihak-pihak lain yang berafiliasi
dengan prinsip without delay and without prior
notice to targets;
b. Menerima permohonan negara lain atas diterapkannya
Resolusi 1373 dalam rangka tindakan pembekuan
asetnya;
c. Mengkonfirmasi mengenai permohonan oleh negara
tersebut apakah yang menjadi landasan pengajuannya,
apakah berdasarkan pada alasan yang reasonable
atau memiliki dasar hukum yang tepat untuk
dimintakannya tindakan pembekuan tersebut;
d. Melakukan tindakan untuk membekukan aset untuk
merespon permintaan tersebut, jika sesuai, dilakukan
tanpa ditunda dan tanpa pemberitahuan terlebih
dahulu kepada orang yang diduga melakukan
pendanaan terorisme tersebut.
10.Sebagai response atas Resolusi 1267 dan 1373, maka
pada pelaksanaan rezim Extraordinary ini menghendaki
2 (dua) hal, yaitu:
a. Mensyaratkan kemungkinan tetap dilakukannya
pembekuan atas aset sekalipun tiada penuntutan.
b. Dapat melingkupi proses administratif dan juga
proses peradilan, dengan maksud adalah:
- Untuk tetap menjaga dana tetap dibekukan
selama proses pembuktian ataupun prses
investigasi terhadap tindak pidana pendanaan
terorismenya berjalan.
- Harus menyertakan keterlibatan institusi
keuangan secara langsung di dalam
melaksanakan kewajibannya, serta orang-orang
yang memegang aset untuk melakukan
pembekuan without undue delay.
11.Lingkup penerapan Resolusi 1267 dan 1373 pada
hakikatnya menghendaki adanya perluasan makna
pelaksanaan freezing atau pembekuan yaitu terhadap
dana ataupun aset lainnya:
a. Yang seluruhnya atau yang secara bersama-sama
dimiliki atau dikuasai, secara langsung maupun tidak
langsung, oleh orang-orang yang telah ditetapkan,
sebagai teroris, yang memberikan pendanaan untuk
kegiatan terorisme pada teroris ataupun organisasi
teroris; dan
b. Yang dihasilkan atau didapatkan dari dana atau aset
lainnya yang dimiliki atau dikontrol secara langsung
ataupun tidak langsung oleh orang-orang yang telah
ditetapkan sebagai teroris, yang memberikan
pendanaan untuk kegiatan terorisme pada teroris
ataupun organisasi terorisme.
12.Berdasarkan c. III. 5 Resolusi 1267 dan 1373, maka
diwajibkan bagi negara-negara untuk dapat menerapkan
mekanisme komunikasi kepada sektor keuangan maupun
pihak-pihak lainnya terkait dengan prosedur freezing.
Kewajiban ini harus dilaksanakan dengan efektif,
mengingat proses freezing menjadi hal penting dalam
konteks pendanaan terorisme, dan harus dilaksanakan
dengan sifatnya yang urgen.
13.Berdasarkan c. III.6 Resolusi 1267 dan 1373, maka untuk
menciptakan proses freezing yang efektif, negara-negara
harus membuat pedoman yang jelas bagi institusi-institusi
keuangan dan pihak-pihak lain atau badan hukum yang
mungkin menguasai dana-dana atau aset-aset yang
menjadi target pembekuan.
14.Terkait dengan SR III, maka seharusnya terdapat sistem
monitoring yang memadai untuk memantau kepatuhan
dari pihak-pihak di bawah rezim freezing terhadap
54
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
ketentuan hukum yang relevan, peraturan dan kebijakan,
dan menerapkan sanksi bagi pihak-pihak yang non
compliance secara tepat.
15.Mekanisme lain yang seharusnya diterapkan pula
berdasarkan Resolusi 1267 dan 1373, adalah bahwasannya
negara-negara harus mengimplementasikan pula
prosedur pemberitahuan kepada publik untuk:
a. Permintaan untuk melakukan delisting (c.III.7);
b. Permintaan dilakukannya unfreezing atas dana-dana
atau aset dari orang yang dimintakan delisting
tersebut (c.III.7);
c. Permintaan untuk unfreezing atau dana-dana atau
aset dari orang atau badan hukum lainnya yang
terkena imbas dari mekanisme pembekuan, misalnya
beberapa kasus yang telah diverifikasi karena adanya
kesalahan identitas atau terjadi kekeliruan (c.III.8);
d. Pihak-pihak atau perusahaan yang dana atau asetnya
telah dibekukan tersebut diperbolehkan melakukan
CHALLENGE kepada pengadilan atas tindakan
pembekuan yang telah dilakukan.
16.Menurut c. III.9 Resolusi 1267 sejalan dengan Resolusi
1425, ada pula kewajiban dari pihak berwenang untuk
mengakses dana atau aset yang dibekukan untuk
menentukan biaya-biaya dan pembayaran atas berbagai
tipe tambahan biaya, seperti biaya hipotek, biaya-biaya
yang telah dikeluarkan lainnya.
55
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
57
Daftar Peraturan Bank Indonesia (PBI)Juni - Desember 2011
13/25/PBI/2011
13/24/PBI/2011
13/23/PBI/2011
13/22/PBI/2011
13/21/PBI/2011
13/20/PBI/2011
13/19/PBI/2011
13/18/PBI/2011
13/17/PBI/2011
13/16/PBI/2011
13/15/PBI/2011
Tanggal Satker PerihalPeraturan
09/12/2011
01/12/2011
02/11/2011
30/09/2011
30/09/2011
30/09/2011
22/09/2011
01/08/2011
01/08/2011
01/08/2011
23/06/2011
DPNP
DPM
DPbS
DInt
DSM
DPM
DPNP
DPU
DPU
DPU
DSM
Prinsip Kehati-hatian bagi Bank Umum yang Melakukan Penyerahan
Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Pihak Lain
Operasi Moneter Syariah.
Penerapan Manajemen Resiko bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha
Syariah.
Kewajiban Pelaporan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri.
Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank
Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri
Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/12/PBI/2006 tentang
Laporan Berkala Bank Umum.
Perubahan Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/28/PBI/2004
Tentang Pengeluaran Dan Pengedaran Uang Kertas Rupiah Pecahan
100.000 (Seratus Ribu) Tahun Emisi 2004
Perubahan Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/42/PBI/2005
Tentang Pengeluaran Dan Pengedaran Uang Kertas Rupiah Pecahan
50.000 (Lima Puluh Ribu) Tahun Emisi 2005.
Perubahan Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/29/PBI/2004
Tentang Pengeluaran Dan Pengedaran Uang Kertas Rupiah Pecahan
20.000 (Dua Puluh Ribu) Tahun Emisi 2004
Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Lembaga Bukan Bank
Tanggal Satker PerihalPeraturan
13/29/DPNP
13/28/DPNP
13/27/DPM
13/26/DPNP
13/25/DPNP
13/24/DPNP
13/23/DPNP
13/22/DASP
13/21/DSM
13/20/DPM
13/19/DSM
09/12/ 2011
09/12/2011
01/12/2011
30/11/2011
25/11/2011
25/10/2011
25/10/2011
18/10/2011
15/08/2011
08/08/2011
10/06/2011
DPNP
DPNP
DPM
DPNP
DPNP
DPNP
DPNP
DASP
DSM
DPM
DSM
Penerapan Manajemen Risiko pada Bank Umum yang Melakukan Layanan
Nasabah Prima
Penerapan Strategi Anti Fraud bagi Bank Umum
Tata Cara Transaksi Reverse Repo Surat Berharga Syariah Negara Dengan
Bank Indonesia Dalam Rangka Operasi Pasar Terbuka Syariah
Perubahan atas SE No. 13/8/DPNP tanggal 28 Maret 2011 tentang Uji
Kemampuan dan Kepatutan (fit and proper test)
Pencabutan SE BI No. 29/02/UPPB tgl. 31 Juli 1996 perihal Tatacara
Penerimaan, Penatausahaan, Pelaporan Setoran Penerimaan Negara
dan Pengenaan Sanksi.
Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum.
Perubahan atas Surat Edaran No. 5/21/DPNP perihal Penerapan
Manajemen Risiko bagi Bank Umum
Implementasi Teknologi Chip dan Penggunaan Personal Identification
Number pada Kartu ATM dan/atau Kartu Debet yang diterbitkan di
Indonesia
Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa lembaga Bukan Bank.
Perubahan Kedua Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/18/DPM
tanggal 7 Juli 2010 perihal Operasi Pasar Terbuka.
Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia No. 5/31/DSM
tanggal 1 Desember 2003 perihal Laporan Bulanan Bank Umum Syariah
59
Daftar Surat Edaran Ekstern (SE) Bank IndonesiaJuni - Desember 2011
61
Ringkasan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Juni - Desember 2011
RINGKASAN PBINOMOR PBI
13/25/PBI/2011 1. Tujuan pengaturan ini adalah :
a. Agar bank dapat berkonsentrasi pada pekerjaan pokoknya dan mengoptimalkan
pelaksanaan fungsinya sebagai lembaga intermediasi sejalan dengan semakin kompleks
dan beragamnya kegiatan usaha dalam menghadapi pesatnya perkembangan dunia
usaha dan ketatnya tingkat persaingan
b. Agar bank menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko dalam penyerahan
sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada pihak lain (alih daya) sehingga bank dapat
meminimalisasi risiko yang mungkin timbul atas penyerahan pekerjaan tersebut; dan
c. Agar terdapat kejelasan atas tanggung jawab terhadap pekerjaan yang diserahkan
kepada pihak lain tersebut dan terjaganya aspek perlindungan nasabah.
2. Dalam melakukan Alih Daya, Bank wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen
risiko.
3. Bank wajib memastikan bahwa pelaksanaan pekerjaan yang dialihdayakan oleh Perusahaan
Penyedia Jasa sesuai dengan perjanjian yang dibuat dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
4. Bank tetap bertanggung jawab atas pekerjaan yang dialihdayakan kepada Perusahaan
Penyedia Jasa.
5. Bank dilarang melakukan Alih Daya yang mengakibatkan beralihnya tanggung jawab atau
risiko Bank dari obyek pekerjaan yang dialihdayakan kepada Perusahaan Penyedia Jasa.
6. Bank hanya dapat melakukan Alih Daya atas pekerjaan penunjang pada alur kegiatan
usaha Bank dan pada alur kegiatan pendukung usaha Bank.
7. Pekerjaan penunjang sebagaimana dimaksud dalam angka 6 diatas paling kurang memenuhi
kriteria sebagai berikut:
a. berisiko rendah;
b. tidak membutuhkan kualifikasi kompetensi yang tinggi di bidang perbankan; dan
c. tidak terkait langsung dengan proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi
operasional bank.
62
RINGKASAN PBINOMOR PBI
8. Bank hanya dapat melakukan perjanjian Alih Daya dengan Perusahaan Penyedia Jasa yang
paling kurang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. berbadan hukum Indonesia;
b. memiliki ijin usaha yang masih berlaku dari instansi berwenang sesuai bidang usahanya;
c. memiliki kinerja keuangan dan reputasi yang baik serta pengalaman yang cukup;
d. memiliki Sumber Daya Manusia yang mendukung pelaksanaan pekerjaan yang
dialihdayakan; dan
e. memiliki sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam Alih Daya.
9. Bank wajib melakukan penelitian, analisis dan penilaian atas pemenuhan kriteria Perusahaan
Penyedia Jasa.
10. Perjanjian Alih Daya paling kurang mencakup aspek-aspek: ruang lingkup pekerjaan;
jangka waktu perjanjian; nilai kontrak; struktur biaya dan mekanisme pembayaran; hak,
kewajiban dan tanggung jawab bank maupun perusahaan penyedia jasa, termasuk
didalamnya adalah kesediaan Perusahaan Penyedia Jasa untuk memberikan akses pemeriksaan
kepada Bank Indonesia bersama-sama dengan Bank dalam hal diperlukan; ukuran dan
standar pelaksanaan pekerjaan; kriteria atau kondisi early termination; sanksi dan penalti;
dan penyelesaian perselisihan.
11. Bank wajib menyampaian laporan kepada Bank Indonesia yang mencakup:
a. Laporan rencana Alih Daya; dan
b. Laporan Alih Daya yang bermasalah.
12. Bank yang telah melakukan Alih Daya atas pekerjaan selain pekerjaan yang diperbolehkan
wajib melakukan langkah-langkah berikut:
a. menghentikan Alih Daya sejak berakhirnya perjanjian atau paling lama 1 (satu) tahun
sejak diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini.
b. dalam hal sisa jangka waktu perjanjian lebih dari 1 (satu) tahun tetapi tidak lebih dari
2 (dua) tahun, Bank wajib menghentikan Alih Daya pada saat berakhirnya perjanjian
atau dapat meperpanjang perjanjian paling lama 2 (dua) tahun sejak diberlakukannya
Peraturan Bank Indonesia ini.
c. dalam hal sisa jangka waktu perjanjian lebih dari 2 (dua) tahun, Bank wajib menghentikan
perjanjian Alih Daya paling lama 2 (dua) tahun sejak diberlakukannya Peraturan Bank
Indonesia ini.
d. menyusun dan menyampaikan laporan rencana tindak (action plan) dalam rangka
penyesuaian Alih Daya sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b dan huruf c.
13. Pelanggaran atas ketentuan ini akan dikenakan sanksi kewajiban membayar dan/atau
sanksi administratif, antara lain berupa :
a. teguran tertulis;
b. penurunan tingkat kesehatan Bank; dan/atau
c. pembekuan kegiatan usaha tertentu.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
63
NOMOR PBI RINGKASAN PBI
13/24/PBI/2011
13/23/PBI/2011
Bank Indonesia berwenang menghentikan Alih Daya yang dilakukan Bank apabila menurut
penilaian Bank Indonesia Alih Daya tersebut berpotensi mengganggu kelangsungan usaha Bank.
1. Perubahan Peraturan Bank Indonesia (PBI) dilakukan dalam rangka meningkatkan efektifitas
pelaksanaan pengendalian moneter dan pemenuhan prinsip-prinsip syariah dalam pelaksanaan
transaksi khususnya transaksi yang memiliki second leg serta dalam rangka penyempurnaan
ketentuan mengenai Operasi Moneter Syariah (OMS) khususnya Pasal 18 mengenai
pengenaan sanksi terhadap transaksi operasi moneter syariah yang dinyatakan batal.
2. Dalam hal transaksi Operasi Moneter Syariah batal, peserta OMS dikenakan sanksi tambahan
dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Dalam hal terjadi pembatalan transaksi pada saat second leg transaksi repo dan dalam
hal harga surat berharga pada transaksi second leg lebih rendah dari harga surat
berharga pada transaksi first leg, peserta OMS dikenakan sanksi tambahan berupa
kewajiban membayar sebesar selisih antara harga pada transaksi first leg dan harga
pada transaksi second leg setelah dikalikan dengan nominal surat berharga yang di-
repo-kan.
b. Dalam hal terjadi pembatalan transaksi pada saat second leg transaksi reverse repo dan
dalam hal harga pasar SBSN pada transaksi second leg lebih tinggi dari harga pada
transaksi first leg, peserta OMS dikenakan sanksi tambahan berupa kewajiban membayar
sebesar selisih harga pada transaksi second leg dan harga pada transaksi first leg,
setelah dikalikan dengan nominal SBSN yang di-reverse repo-kan.
3. Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 Desember 2011.
I. Tujuan pengaturan untuk mengakomodasi karakteristik kegiatan usaha Bank Umum Syariah
(BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS) yang tidak sepenuhnya sama dengan perbankan
konvensional dan dalam rangka memenuhi amanah Pasal 38 UU No. 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah. Penerapan Manajemen Risiko pada BUS dan UUS disesuaikan dengan
tujuan, kebijakan usaha, ukuran dan kompleksitas usaha serta kemampuan BUS dan UUS.
II. Pokok-pokok pengaturan dalam PBI ini antara lain meliputi:
1. Bank wajib menerapkan Manajemen Risiko secara efektif, untuk BUS dilakukan secara
individual maupun konsolidasi dengan perusahaan anak, sedangkan untuk UUS dilakukan
terhadap seluruh kegiatan usaha UUS yang merupakan satu kesatuan dengan penerapan
Manajemen Risiko pada Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS (BUK induk).
2. Penerapan Manajemen Risiko paling kurang mencakup :
a. pengawasan aktif Dewan Komisaris, Direksi, dan Dewan Pengawas Syariah;
b. kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit Manajemen Risiko;
c. kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian Risiko
serta sistem informasi Manajemen Risiko; dan
d. sistem pengendalian intern yang menyeluruh.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
64
RINGKASAN PBINOMOR PBI
3. BUS dan UUS wajib menerapkan Manajemen Risiko yang mencakup 10 risiko, yaitu
Risiko Kredit, Risiko Pasar, Risiko Likuiditas, Risiko Operasional, Risiko Hukum, Risiko
Reputasi, Risiko Stratejik, Risiko Kepatuhan, Risiko Imbal Hasil (rate of return risk), dan
Risiko Investasi (equity investment risk). Penerapan Risiko Imbal Hasil (rate of return
risk) dan Risiko Investasi (equity investment risk) belum diperhitungkan dalam penilaian
Risiko (risk profile) BUS dan UUS. BUS dan UUS wajib melakukan penilaian terhadap
Risiko Imbal Hasil dan Risiko Investasi meskipun penilaian kedua jenis risiko dimaksud
belum diperhitungkan dalam penilaian Risiko (risk profile) BUS dan UUS.
4. Peringkat risiko dikategorikan menjadi 5 peringkat, yaitu 1 (Low), 2 (Low to Moderate),
3 (Moderate), 4 (Moderate to High), dan 5 (High).
5. Implementasi/pelaksanaan manajemen risiko harus dilakukan dengan cara yang tidak
bertentangan dengan prinsip Syariah.
6. Penerapan Manajemen Risiko UUS adalah sebagai berikut :
a. Manajemen Risiko UUS merupakan satu kesatuan dengan Manajemen Risiko BUK
induk.
b. Fungsi pengawasan aktif terbatas sampai dengan Direktur UUS.
c. Kebijakan, prosedur dan penetapan limit UUS merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Manajemen Risiko BUK induk.
d. Sistem Informasi Manajemen Risiko UUS dapat menggunakan teknologi sistem
informasi yang digunakan dalam system informasi Manajemen Risiko BUK induk.
e. Pelaksanaan sistem pengendalian intern untuk UUS dapat digabung dengan sistem
pengendalian intern dari BUK induk.
f. Komite Manajemen Risiko dan satuan kerja Manajemen Risiko untuk UUS dapat
dibentuk secara tersendiri atau digabungkan dengan BUK induk sesuai dengan
ukuran dan kompleksitas usaha UUS serta Risiko yang melekat pada UUS.
Dalam hal Komite Manajemen Risiko untuk UUS dibentuk secara tersendiri, maka
keanggotaan Manajemen Risiko UUS paling kurang terdiri dari :
1) Direktur UUS
2) Direktur yang membawahkan fungsi kepatuhan BUK
3) Pejabat eksekutif terkait.
Dalam hal komite Manajemen Risiko untuk UUS digabung dengan komite Manajemen
risiko BUK induk maka dalam pembahasan yang terkait dengan Manajemen Risiko
UUS, Direktur UUS wajib diikutsertakan sebagai salah satu anggota komite Manajemen
Risiko BUK induk.
7. Pemberian masa transisi untuk UUS sebagai berikut:
a. kewajiban penyampaian laporan profil Risiko untuk UUS berlaku sejak laporan posisi
bulan Juni 2012.
b. penyesuaian pengungkapan Manajemen Risiko untuk UUS berlaku pertama kali
pada laporan tahunan BUK induk posisi akhir Desember 2012.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
65
RINGKASAN PBINOMOR PBI
13/22/PBI/2011
8. BUS dan UUS menyampaikan laporan profil risiko secara triwulanan kepada Bank
Indonesia paling lambat 15 hari kerja setelah akhir bulan laporan dan mengungkapkan
Manajemen Risiko dalam laporan tahunan sesuai dengan ketentuan transparansi
kegiatan usaha bank.
9. Dengan diberlakukannya PBI ini, maka Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003
tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum, dan Peraturan Bank Indonesia
Nomor 11/25/PBI/2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum dinyatakan tidak
berlaku bagi BUS dan UUS.
I. Latar Belakang
1. Dana valuta asing yang berasal dari penarikan devisa utang luar negeri diharapkan
dapat menjadi salah satu alternatif untuk memasok sumber dana valuta asing yang
relatif stabil, dibandingkan dana yang berasal dari investasi portfolio pihak asing. Dengan
pasokan dan permintaan di pasar valuta asing domestik yang lebih berimbang dengan
sumber pasokan dari dari dalam negeri, diharapkan mendukung upaya menjaga stabilitas
makroekonomi khususnya stabilitas nilai tukar.
2. Mempertimbangkan hal tersebut, Bank Indonesia memandang perlu mengeluarkan
kebijakan yang mewajibkan penarikan devisa utang luar negeri dilakukan melalui Bank
Devisa. Untuk memastikan bahwa kebijakan penarikan devisa utang luar negeri tersebut
berjalan efektif, maka Debitur ULN diwajibkan melaporkan penarikan devisa utang luar
negeri kepada Bank Indonesia.
II. Pokok-pokok Pengaturan
1. Debitur Utang Luar Negeri (ULN) wajib melaporkan setiap penarikan Devisa Utang Luar
Negeri (DULN) yang dilakukannya melalui Bank Devisa kepada Bank Indonesia.
2. Laporan penarikan DULN wajib disampaikan kepada Bank Indonesia setiap bulan dengan
waktu penyampaian dari tanggal 1 sampai dengan tanggal 10 pada bulan berikutnya
dan apabila tanggal batas waktu tersebut jatuh pada hari Sabtu atau hari libur, maka
laporan penarikan DULN disampaikan pada hari kerja berikutnya.
3. Laporan penarikan DULN wajib disertai dokumen pendukung.
4. Penyampaian laporan penarikan DULN dapat dilakukan melalui media online, media
offline atau menggunakan hardcopy.
5. Pelapor DULN yang terlambat dan yang tidak menyampaikan laporan penarikan DULN
serta pelapor DULN yang terlambat dan yang tidak menyampaikan dokumen pendukung
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
66
NOMOR PBI RINGKASAN PBI
13/21/PBI/2011
kepada Bank Indonesia dikenakan sanksi administratif berupa denda yang disetorkan
ke rekening Kas Negara.
6. Penarikan DULN yang berasal dari perjanjian ULN yang ditandatangani sebelum
berlakunya PBI ini, dikecualikan dari kewajiban pelaporan penarikan DULN.
7. Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 2 Januari 2012 dan pengenaan
sanksinya mulai diberlakukan untuk laporan penarikan DULN bulan Juni 2012 yang
disampaikan pada bulan Juli 2012.
1. Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa (LLD) merupakan pelaporan mengenai perpindahan
aset dan kewajiban fiansial antara penduduk dengan bukan penduduk termasuk perpindahan
aset dan kewajiban finansial luar negeri antar penduduk. Pelaksanaan pelaporan Kegiatan
LLD diatur dalam Peraturan Bank Indonesia yang berlandaskan pada UU No.24 tahun 1999
tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar. Tujuan pelaporan tersebut adalah untuk
mendukung perumusan dan pelaksanaan kebijakan, baik di bidang moneter, perbankan,
maupun sistem pembayaran. Adapun keterangan dan data yang diperoleh dari pelaporan
ini diperlukan untuk penyusunan statistik, antara lain satistik Neraca Pembayaran Indonesia
(NPI), Posisi Investasi Internasional Indonesia (PIII), serta statistik lainnya.
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/21/PBI/2011 tanggal 30 September 2011 tentang
Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank merupakan penyempurnaan dari Peraturan
Bank Indonesia (PBI) sebelumnya. Penyempurnaan ini dilakukan dalam rangka meningkatkan
kelengkapan dan akurasi data/informasi LLD, termasuk untuk mendukung pelaksanaan
ketentuan mengenai penerimaan devisa hasil ekspor (DHE). Beberapa aspek yang
disempurnakan dalam ketentuan dimaksud terutama terkait dengan cakupan data maupun
pelapor, periodisasi, dan sanksi pelaporan. Berbeda dengan PBI sebelumnya yang juga
mengatur Lembaga Keuangan Non Bank (LKNB), PBI baru ini hanya mengatur bank, mengingat
terdapat perbedaan karakteristik kegiatan usaha antara bank dengan LKNB.
3. Pelapor LLD yang diatur dalam peraturan ini adalah seluruh bank umum yang berkedudukan
di Indonesia.
4. Bank sebagaimana disebutkan di atas wajib menyampaikan laporan LLD yang secara umum
mencakup data/informasi tentang:
a. Transaksi bank dan/atau nasabah yang mempengaruhi Aset Finansial Luar Negeri (AFLN)
dan/atau Kewajiban Finansial Luar Negeri (KFLN) bank, dan/atau
b. Posisi dan perubahan AFLN dan/atau KFLN bank.
Dalam hal terdapat transaksi terkait ekspor nasabah, bank wajib menyampaikan rincian
transaksi ekspor dan dokumen pendukungnya kepada Bank Indonesia sebagaimana diatur
dalam PBI yang mengatur mengenai penerimaan devisa hasil ekspor.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
67
RINGKASAN PBINOMOR PBI
13/20/PBI/2011
5. Bank yang terlambat menyampaikan Laporan LLD, bank yang tidak menyampaikan Laporan
LLD, serta Bank yang menyampaikan Laporan LLD secara tidak benar dikenakan sanksi
administratif berupa denda. Pembebanan sanksi denda dilakukan dengan cara mendebet
rekening giro bank di Bank Indonesia untuk kemudian disetorkan ke rekening Kas Negara
yang berada di Bank Indonesia.
6. PBI LLD ini diberlakukan sejak data bulan Oktober 2011 yang disampaikan bulan November
2011.
7. Pengenaan sanksi untuk penyampaian rincian transaksi terkait Ekspor Nasabah mulai berlaku
untuk data PL bulan Januari 2012 yang disampaikan bulan Februari 2012.
8. Dengan berlakunya PBI Pemantauan Kegiatan LLD bank yang baru, maka PBI No.1/9/PBI/1999
tanggal 28 Oktober 1999 tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank dan Lembaga
Keuangan Non Bank dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, kecuali pasal-pasal yang mengatur
mengenai pemantauan kegiatan lalu lintas devisa lembaga keuangan non bank untuk data
sampai dengan periode laporan bulan Desember 2011 yang disampaikan bulan Januari 2012.
I. Latar Belakang dan Tujuan
Pembangunan ekonomi nasional membutuhkan sumber dana yang memadai dan
berkesinambungan. Sementara itu, pasokan valuta asing di pasar domestik yang sebagian
besar dalam bentuk investasi portofolio jangka pendek merupakan salah satu sumber dana
pembangunan ekonomi yang rentan terhadap risiko pembalikan (sudden capital reversal).
Sumber dana lain yang sifatnya stabil (sustainable) dapat berasal dari Devisa Hasil Ekspor
(DHE) dan Devisa Utang Luar Negeri (DULN). Dalam hal penempatannya dilakukan melalui
perbankan Indonesia, DHE dan DULN dimaksud dapat memberikan kontribusi yang optimal
secara nasional dan juga bermanfaat untuk mendorong terciptanya pasar keuangan yang
lebih sehat serta mendukung upaya menjaga kestabilan nilai rupiah.
Dalam pelaksanaannya tidak seluruh DHE dan DULN ditempatkan pada perbankan Indonesia
sehingga diperlukan pengaturan yang dapat memastikan penerimaan DHE dan penarikan
DULN dilakukan melalui perbankan Indonesia. Pengaturan ini tetap berlandaskan pada
sistem devisa bebas yang berlaku selama ini, dimana setiap penduduk dapat dengan bebas
memiliki dan menggunakan devisa sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 24
Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar.
II. Materi Pengaturan
A. Kewajiban penerimaan DHE melalui Bank Devisa di Indonesia
1. Seluruh DHE wajib diterima oleh Eksportir melalui Bank Devisa di Indonesia.
2. Penerimaan DHE melalui Bank Devisa wajib dilakukan paling lama 90 (sembilan
puluh) hari kalender setelah tanggal Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB).
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
68
RINGKASAN PBINOMOR PBI
3. Penerimaan DHE melalui Bank Devisa, yang dilakukan dengan cara pembayaran
usance L/C, konsinyasi, pembayaran kemudian, collection, yang jatuh temponya
melebihi atau sama dengan 90 (sembilan puluh) hari kalender setelah tanggal PEB,
wajib dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari kalender setelah tanggal jatuh
tempo pembayaran yang bersangkutan.
4. Eksportir harus menyampaikan informasi yang tercantum pada PEB terkait DHE
yang diterima, kepada Bank Devisa. Informasi dimaksud disampaikan kepada Bank
Devisa paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah DHE diterima oleh Eksportir melalui
Bank Devisa yang kemudian diteruskan kepada Bank Indonesia.
5. Eksportir yang akan menerima DHE dengan cara pembayaran usance L/C, konsinyasi,
pembayaran kemudian, collection, yang jatuh temponya melebihi atau sama dengan
90 (sembilan puluh) hari kalender setelah tanggal PEB, harus menyampaikan
penjelasan tertulis disertai dengan dokumen pendukung yang dipersyaratkan,
kepada Bank Devisa untuk diteruskan kepada Bank Indonesia. Penjelasan tertulis
disertai dengan bukti dokumen pendukung tersebut disampaikan paling lama 14
(empat belas) hari kalender setelah tanggal PEB.
6. DHE yang diterima oleh Eksportir harus sesuai dengan Nilai PEB. Eksportir yang
menerima DHE lebih kecil dari nilai PEB, harus menyampaikan penjelasan tertulis
disertai dengan dokumen pendukung kepada Bank Devisa untuk diteruskan kepada
Bank Indonesia. Penjelasan tertulis disertai dengan dokumen pendukung tersebut
disampaikan kepada Bank Devisa untuk diteruskan kepada Bank Indonesia paling
lama tanggal 5 bulan berikutnya setelah DHE diterima oleh Eksportir melalui Bank
Devisa.
7. Dalam hal selisih kurang antara DHE dan nilai PEB karena maklon, jasa perbaikan,
dan/atau operational leasing atau financial leasing, maka DHE yang diterima dianggap
sesuai dengan nilai PEB sehingga Eksportir harus tetap menyampaikan penjelasan
tertulis disertai dengan dokumen pendukung.
8. Dalam hal selisih kurang antara DHE dan nilai PEB karena biaya administrasi sebesar
10% (sepuluh persen) dari nilai PEB atau paling banyak ekuivalen Rp10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah), maka DHE yang diterima dianggap sesuai dengan nilai PEB
sehingga Eksportir tidak perlu menyampaikan dokumen pendukung.
9. Eksportir yang tidak menerima DHE atau menerima DHE lebih kecil dari nilai PEB
melalui Bank Devisa karena importir wanprestasi, pailit, atau mengalami keadaan
memaksa (force majeure), harus menyampaikan penjelasan tertulis disertai dengan
dokumen pendukung kepada Bank Devisa untuk diteruskan kepada Bank Indonesia.
Penjelasan tertulis disertai dengan dokumen pendukung tersebut disampaikan
paling lama 90 (sembilan puluh) hari kalender setelah tanggal PEB. Namun demikian,
untuk DHE dengan cara pembayaran usance L/C, konsinyasi, pembayaran kemudian,
dan/atau collection yang jatuh temponya sama atau melebihi 90 (sembilan puluh)
hari kalender setelah tanggal PEB, penjelasan tertulis disertai dengan dokumen
pendukung disampaikan paling lama 14 (empat belas) hari kalender setelah tanggal
jatuh tempo pembayaran.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
69
RINGKASAN PBINOMOR PBI
B. Kewajiban penarikan DULN melalui Bank Devisa
1. Setiap DULN wajib ditarik oleh Debitur ULN melalui Bank Devisa.
2. Kewajiban penarikan DULN oleh Debitur ULN berlaku bagi DULN yang berbentuk
dana tunai yang berasal dari:
a. ULN berdasarkan perjanjian kredit (loan agreement) dalam bentuk non revolving
yang tidak digunakan untuk refinancing;
b. Selisih fasilitas refinancing dengan jumlah ULN lama; dan
c. ULN berdasarkan surat utang (debt securities) dalam bentuk Bonds, Medium
Term Notes (MTN), Floating Rate Notes (FRN), Promissory Notes (PN), dan
Commercial Paper (CP).
3. Penarikan DULN wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia.
4. Nilai akumulasi penarikan DULN harus sama dengan nilai komitmen. Dalam hal nilai
akumulasi penarikan DULN melalui Bank Devisa oleh Debitur ULN lebih kecil dari
komitmen, Debitur ULN harus menyampaikan penjelasan tertulis kepada Bank
Indonesia.
C. Pemantauan DHE dan DULN
1. Bank Indonesia melakukan penelitian dokumen atas kepatuhan Eksportir terhadap
pemenuhan kewajiban penerimaan DHE.
2. Bank Indonesia melakukan penelitian atas kepatuhan Debitur ULN terhadap
pemenuhan kewajiban penarikan DULN.
3. Dalam melakukan penelitian kepatuhan Eksportir dan Debitur ULN, Bank Indonesia
dapat meminta bukti, catatan, dan/atau dokumen pendukung, dengan atau tanpa
melibatkan instansi terkait.
D. Pengenaan sanksi
1. Eksportir yang melakukan pelanggaran terhadap kewajiban penerimaan DHE melalui
Bank Devisa dikenakan sanksi administratif berupa denda. Pengenaan sanksi denda
tersebut dilakukan dalam mata uang rupiah dengan menggunakan kurs tengah
Bank Indonesia pada tanggal pengenaan sanksi denda.
2. Dalam hal Eksportir tidak membayar sanksi administratif dan/atau tidak memenuhi
kewajiban penerimaan DHE melalui Bank Devisa, dikenakan sanksi penangguhan
atas pelayanan Ekspor sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai
kepabeanan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Debitur ULN yang melakukan pelanggaran terhadap kewajiban penarikan DULN
melalui Bank Devisa dikenakan sanksi administratif berupa denda. Pengenaan sanksi
tidak menggugurkan kewajiban penerimaan DHE dan penarikan DULN melalui Bank
Devisa.
4. Pembayaran sanksi administratif berupa denda disetorkan ke rekening Kas Negara
yang berada di Bank Indonesia.
5. Pembebasan sanksi penangguhan atas pelayanan Ekspor dilakukan setelah Bank
Indonesia menerima dan melakukan verifikasi atas bukti pembayaran sanksi
administratif dan/atau bukti penerimaan DHE melalui Bank Devisa.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
70
RINGKASAN PBINOMOR PBI
13/19/PBI/2011
E. Penyampaian informasi dan laporan
1. Prosedur penyampaian informasi serta penjelasan tertulis dan dokumen pendukung
dalam kewajiban penerimaan DHE melalui Bank Devisa dilakukan sesuai dengan
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kewajiban pelaporan lalu lintas
devisa.
2. Prosedur penyampaian laporan serta penjelasan tertulis dan dokumen pendukung
dalam kewajiban penarikan DULN melalui Bank Devisa dilakukan sesuai dengan
ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kewajiban pelaporan penarikan
DULN.
F. Ketentuan peralihan
1. Penerimaan DHE yang diperjanjikan tidak melalui Bank Devisa atau dikaitkan dengan
pembayaran kewajiban Eksportir yang sudah ditandatangani sebelum berlakunya
PBI ini, tidak wajib diterima melalui Bank Devisa sampai dengan 12 (dua belas)
bulan setelah berlakunya PBI ini. Penerimaan DHE tersebut harus dilaporkan Eksportir
kepada Bank Indonesia dilengkapi dengan penjelasan tertulis disertai dokumen
pendukung paling lama 14 (empat belas) hari kalender setelah tanggal PEB.
2. Khusus bagi penerimaan DHE yang berasal dari PEB yang dikeluarkan tahun 2012,
kewajiban penerimaan DHE melalui Bank Devisa berlaku 6 (enam) bulan setelah
tanggal PEB.
3. Penerimaan DHE yang berasal dari hasil netting tagihan Eksportir dengan kewajiban
Eksportir hanya dapat dilakukan sampai dengan tanggal 31 Desember 2012 dan
dilengkapi dengan dokumen pendukung.
4. Penarikan DULN yang berasal dari perjanjian ULN yang ditandatangani sebelum
berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini tidak wajib dilakukan melalui Bank Devisa,
kecuali untuk penarikan DULN yang berasal dari penambahan plafon ULN karena
adanya perubahan perjanjian (amendment) yang ditandatangani setelah berlakunya
PBI ini.
G. Ketentuan penutup
1. Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 2 Januari 2012.
2. Ketentuan yang mengatur mengenai sanksi mulai berlaku pada tanggal 2 Juli 2012.
1. Latar belakang dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini adalah:
a. perlu percepatan waktu penyampaian beberapa laporan di LBBU dalam rangka optimalisasi
pemanfaatan laporan lain yang telah dipercepat penyampaiannya.
b. perlu penyempurnaan formulir laporan pos-pos neraca mingguan dan laporan profil
maturitas.
c. perlu penambahan laporan baru yaitu (i) laporan perhitungan ATMR untuk risiko kredit
dengan metode standar dan (ii) laporan perhitungan suku bunga dasar kredit (SBDK).
d. perlu penyempurnaan beberapa pengaturan di ketentuan LBBU dalam rangka
penyelarasan dengan ketentuan lain mengenai pelaporan.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
71
RINGKASAN PBINOMOR PBI
13/18/PBI/2011
2. Pokok-pokok pengaturan dalam PBI tersebut meliputi antara lain:
a. Penyampaian beberapa laporan di LBBU untuk bank secara individu dimajukan dari
periode penyampaian III (paling lambat tanggal 21) menjadi periode penyampaian I
(paling lambat tanggal 6) dengan masa transisi sebagai berikut:
1. sejak posisi laporan tanggal akhir bulan September 2011 s.d posisi laporan tanggal
akhir bulan Maret 2012, penyampaian beberapa laporan di LBBU dimajukan dari
periode penyampaian III (paling lambat tanggal 21) menjadi periode penyampaian
II (paling lambat tanggal 13);
2. selanjutnya, dimajukan menjadi periode penyampaian I (paling lambat tanggal 6).
b. Tambahan data mengenai laporan perhitungan ATMR untuk Risiko Kredit dengan
Metode Standar dan laporan perhitungan SBDK bagi Bank Umum Konvensional mulai
berlaku sejak tersedianya sistem pelaporan data dimaksud di LBBU, yang akan
diberitahukan kemudian oleh Bank Indonesia.
c. Bank dan UUS yang dikecualikan untuk menyampaikan LBBU dan/atau koreksi LBBU
secara online karena hal-hal tertentu sebagaimana diatur dalam PBI tersebut, wajib
menyampaikan LBBU dan/atau koreksi LBBU secara offline paling lama 1 (satu) hari
kerja setelah periode penyampaian yang sama.
d. Dalam hal batas akhir periode penyampaian LBBU dan/atau koreksi LBBU jatuh pada
hari Sabtu, hari Minggu, dan/atau hari libur, maka penyampaian LBBU dan/atau koreksi
LBBU secara online tetap dilakukan pada hari yang sama. Dalam hal terdapat pertimbangan
tertentu, waktu penyampaian LBBU dan/atau koreksi LBBU dapat disesuaikan oleh Bank
Indonesia.
1. Perubahan unsur pengaman pada desain uang kertas (UK) rupiah pecahan 100.000 (seratus
ribu) tahun emisi 2004 dilakukan dengan pertimbangan untuk lebih mengoptimalkan
fungsi elemen pada desain UK Rupiah pecahan 100.000 (seratus ribu) tahun emisi 2004
sebagai alat pembayaran yang sah (legal tender) di Wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
2. Materi pokok yang tercantum dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Perubahan Kedua
atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/28/PBI/2004 tentang Pengeluaran dan Pengedaran
Uang Kertas Rupiah Pecahan 100.000 (Seratus Ribu) Tahun Emisi 2004 meliputi:
a. Uang kertas rupiah pecahan 100.000 (seratus ribu) tahun emisi 2004 terbuat dari bahan
serat kapas;
b. Harga uang rupiah mempunyai nilai nominal sebesar 100.000 (seratus ribu);
c. Ciri uang kertas rupiah pecahan 100.000 (seratus ribu) tahun emisi 2004 untuk tahun
pencetakan mulai bulan Januari tahun 2009 sampai dengan bulan Juni tahun 2011,
antara lain sebagai berikut:
1. ukuran panjang 151 mm dan lebar 65mm;
2. bagian muka dan belakang uang dicetak dengan warna merah;
3. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional W.R. Soepratman dan electrotype
berupa ornamen;
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
72
RINGKASAN PBINOMOR PBI
13/17/PBI/2011
4. benang pengaman yang tertanam di dalam kertas uang yang memuat tulisan
”BI100000” yang utuh atau terpotong sebagian dan akan berubah warna dari
emas menjadi hijau apabila dilihat dari sudut pandang tertentu;
5. kode tuna netra (blind code) berupa 2 (dua) buah segitiga.
d. Ciri uang kertas rupiah pecahan 100.000 (seratus ribu) tahun emisi 2004 untuk tahun
pencetakan mulai bulan Juli tahun 2011, antara lain sebagai berikut:
1. ukuran panjang 151 mm dan lebar 65mm;
2. bagian muka dan belakang uang dicetak dengan warna merah;
3. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional W.R. Soepratman dan electrotype
berupa ornamen;
4. benang pengaman yang tertanam di dalam kertas uang yang memuat tulisan
”BI100000” yang utuh atau terpotong sebagian dan akan berubah warna dari
emas menjadi hijau apabila dilihat dari sudut pandang tertentu;
5. kode tuna netra (blind code) berupa 2 (dua) buah segitiga.
6. rainbow printing dalam bidang berbentuk segi empat yang akan berubah warna
apabila dilihat dari sudut pandang tertentu;
7. elemen desain berbentuk lingkaran-lingkaran kecil berwarna oranye ditengahnya
berwarna putih.
e. Uang kertas rupiah pecahan 100.000 (seratus ribu) tahun emisi 2004 yang dikeluarkan
oleh Bank Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, masih tetap
berlaku sepanjang belum dicabut dan ditarik dari peredaran.
1. Perubahan unsur pengaman pada desain uang kertas (UK) rupiah pecahan 50.000 (lima
puluh ribu) tahun emisi 2005 dilakukan dengan pertimbangan untuk lebih mengoptimalkan
fungsi elemen pada desain UK Rupiah pecahan 50.000 (lima puluh ribu) tahun emisi 2005
sebagai alat pembayaran yang sah (legal tender) di Wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
2. Materi pokok yang tercantum dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Perubahan Kedua
atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/42/PBI/2005 tentang Pengeluaran dan Pengedaran
Uang Kertas Rupiah Pecahan 50.000 (Lima Puluh Ribu) Tahun Emisi 2005 meliputi:
a. Uang kertas rupiah pecahan 50.000 (lima puluh ribu) tahun emisi 2005 terbuat dari
bahan serat kapas;
b. Harga uang rupiah mempunyai nilai nominal sebesar 50.000 (lima puluh ribu);
c. Ciri uang kertas rupiah pecahan 50.000 (lima puluh ribu) tahun emisi 2005 untuk tahun
pencetakan mulai bulan Januari tahun 2009 sampai dengan bulan Juni tahun 2011,
antara lain sebagai berikut:
1. ukuran panjang 149 mm dan lebar 65mm;
2. bagian muka dan belakang uang dicetak dengan warna biru;
3. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional I Gusti Ngurah Rai dan electrotype
berupa logo BI dan ornamen daerah Bali;
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
73
RINGKASAN PBINOMOR PBI
13/16/PBI/2011
4. benang pengaman yang tertanam di dalam kertas uang yang memuat tulisan
”BI50000” berulang-ulang dan akan berubah warna dari magenta menjadi hijau
apabila dilihat dari sudut pandang berbeda;
5. kode tuna netra (blind code) berupa 2 (dua) buah segitiga.
d. Ciri uang kertas rupiah pecahan 50.000 (lima puluh ribu) tahun emisi 2005 untuk tahun
pencetakan mulai bulan Juli tahun 2011, antara lain sebagai berikut:
1. ukuran panjang 149 mm dan lebar 65mm;
2. bagian muka dan belakang uang dicetak dengan warna biru;
3. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional I Gusti Ngurah Rai dan electrotype
berupa logo BI dan ornamen daerah Bali;
4. benang pengaman yang tertanam di dalam kertas uang yang memuat tulisan
”BI50000” berulang-ulang dan akan berubah warna dari magenta menjadi hijau
apabila dilihat dari sudut pandang berbeda;
5. kode tuna netra (blind code) berupa 2 (dua) buah segitiga berwarna hitam;
6. rainbow printing dalam bidang berbentuk segi empat;
7. elemen desain berbentuk lingkaran-lingkaran kecil berwarna oranye ditengahnya
berwarna putih.
e. Uang kertas rupiah pecahan 50.000 (dua puluh ribu) tahun emisi 2005 yang dikeluarkan
oleh Bank Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, masih tetap
berlaku sepanjang belum dicabut dan ditarik dari peredaran.
1. Perubahan unsur pengaman pada desain uang kertas (UK) rupiah pecahan 20.000 (dua
puluh ribu) tahun emisi 2004 dilakukan dengan pertimbangan untuk lebih mengoptimalkan
fungsi elemen pada desain UK Rupiah pecahan 20.000 (dua puluh ribu) tahun emisi 2004
sebagai alat pembayaran yang sah (legal tender) di Wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
2. Materi pokok yang tercantum dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Perubahan Kedua
atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/29/PBI/2004 tentang Pengeluaran dan Pengedaran
Uang Kertas Rupiah Pecahan 20.000 (Dua Puluh Ribu) Tahun Emisi 2004 meliputi:
a. Uang kertas rupiah pecahan 20.000 (dua puluh ribu) tahun emisi 2004 terbuat dari
bahan serat kapas;
b. Harga uang rupiah mempunyai nilai nominal sebesar 20.000 (dua puluh ribu);
c. Ciri uang kertas rupiah pecahan 20.000 (dua puluh ribu) tahun emisi 2004 untuk tahun
pencetakan mulai bulan Januari tahun 2009 sampai dengan bulan Juni tahun 2011,
antara lain sebagai berikut:
1. ukuran panjang 147 mm dan lebar 65mm;
2. bagian muka dan belakang uang dicetak dengan warna hijau;
3. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional Oto Iskandar Di Nata;
4. benang pengaman yang tertanam di dalam kertas uang yang memuat tulisan
”BI20000” berulang-ulang dan akan memendar berwarna merah, biru dan kuning
di bawah sinar ultra violet;
5. kode tuna netra (blind code) berupa 2 (dua) buah persegi panjang.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
74
RINGKASAN PBINOMOR PBI
13/15/PBI/2011
d. Ciri uang kertas rupiah pecahan 20.000 (dua puluh ribu) tahun emisi 2004 untuk tahun
pencetakan mulai bulan Juli tahun 2011, antara lain sebagai berikut:
1. ukuran panjang 147 mm dan lebar 65mm;
2. bagian muka dan belakang uang dicetak dengan warna hijau;
3. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional Oto Iskandar Di Nata;
4. kode tuna netra (blind code) berupa 2 (dua) buah persegi panjang berwarna hitam;
5. benang pengaman yang tertanam di dalam kertas uang yang memuat tulisan
”BI20000” berulang-ulang dan akan memendar berwarna merah, biru dan kuning
di bawah sinar ultra violet;
6. rainbow printing dalam bidang berbentuk persegi panjang;
7. elemen desain berbentuk lingkaran-lingkaran kecil berwarna hijau ditengahnya
berwarna putih.
e. Uang kertas rupiah pecahan 20.000 (dua puluh ribu) tahun emisi 2004 yang dikeluarkan
oleh Bank Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, masih tetap
berlaku sepanjang belum dicabut dan ditarik dari peredaran.
1. Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa (LLD) merupakan pelaporan mengenai perpindahan
aset dan kewajiban fiansial antara penduduk dengan bukan penduduk termasuk perpindahan
aset dan kewajiban finansial luar negeri antar penduduk. Pelaksanaan pelaporan Kegiatan
LLD diatur dalam Peraturan Bank Indonesia yang berlandaskan pada UU No.24 tahun 1999
tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar. Adapun tujuan pelaporan tersebut untuk
pemantauan kegiatan LLD yang sangat diperlukan dalam rangka penyusunan statistik,
antara lain satistik Neraca Pembayaran Indonesia (NPI), Posisi Investasi Internasional Indonesia
(PIII), serta untuk mendukung perumusan kebijakan.
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/15/PBI/2011 tanggal 23 Juni 2011 tentang Pemantauan
Kegiatan Lalu Lintas Devisa Lembaga Bukan Bank merupakan penyempurnaan dari ketentuan
pelaporan Kegiatan LLD sebelumnya. Penyempurnaan ini dilakukan dalam rangka
meningkatkan kelengkapan dan akurasi data/informasi LLD. Disamping itu, juga untuk
mengeliminir redudansi data laporan perusahaan yang disampaikan kepada Bank Indonesia
selama ini, seperti dalam pelaporan Utang Luar Negeri, dan laporan tentang kegiatan
pedagang valuta asing. Beberapa aspek yang disempurnakan dalam ketentuan pelaporan
LLD dimaksud terutama terkait dengan cakupan data maupun pelapor, periodisasi dan
sanksi pelaporan.
3. Pelapor LLD yang diatur dalam peraturan ini adalah Lembaga Bukan Bank (LBB) yang
memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut:
a. BUMN;
b. BUMD yang memiliki utang luar negeri;
c. Lembaga Keuangan Non Bank;
d. Perusahaan Publik;
e. Perusahaan yang bergerak di sektor pertambangan minyak dan gas;
f. Perusahaan yang memiliki kegiatan ekspor dan/atau impor barang;
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011
75
RINGKASAN PBINOMOR PBI
g. Perusahaan yang bergerak di sektor jasa;
h. Perusahaan penanaman modal asing;
i. BUMS yang memiliki utang luar negeri;
j. Badan Lainnya yang memiliki utang luar negeri; dan/atau
k. LBB di luar huruf a sampai dengan huruf j yang memiliki total aset atau omset tertentu
yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
4. LBB sebagaimana disebutkan di atas wajib menyampaikan laporan LLD yang secara umum
mencakup data/informasi tentang:
a. Transaksi perdagangan barang, jasa dan transaksi lainnya antara Penduduk dan bukan
Penduduk; dan/atau
b. Posisi dan perubahan Aset Finansial Luar Negeri (AFLN) dan/atau Kewajiban Finansial
Luar Negeri (KFLN).
5. PBI LLD ini diberlakukan sejak data bulan Juni 2011 yang disampaikan bulan Juli 2011
dengan masa uji paralel selama 7 bulan.
6. Dengan berlakunya PBI Pemantauan Kegiatan LLD LBB yang baru maka :
a. Ketentuan mengenai pemantauan kegiatan Lalu Lintas Devisa Lembaga Keuangan Non
Bank sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/9/PBI/1999 tanggal
28 Oktober 1999 tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank dan Lembaga
Keuangan Non Bank;
b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/2/PBI/2002 tanggal 28 Maret 2002 tentang
Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Perusahaan Bukan Lembaga Keuangan; dan
c. Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/1/PBI/2003 tanggal 31 Januari 2003 tentang
Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/2/PBI/2002 tanggal 28 Maret 2002
tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Perusahaan Bukan Lembaga Keuangan,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sejak data bulan Januari 2012 yang disampaikan
bulan Februari 2012.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 9, Nomor 3, September - Desember 2011