Post on 04-Jul-2015
DAFTAR ISI
Hal
HALAMAN JUDUL ..................................................................... 1
DAFTAR ISI .............................................................................. 2
BAB I : Pendahuluan.........................................................
A. Latar belakang ................................................ 3
B. Rumusan Masalah ........................................... 4
C. Batasan Masalah.............................................. 5
D. Metode Penelitian............................................. 6
BAB II : Pembahasan.........................................................
A. Hukum Humaniter ........................................... 7
B. Konflik Bersenjata Israel-Palestina................... 10
BAB III : Kesimpulan........................................................... 14
BAB IV : Penutup................................................................ 15
DAFTAR PUSTAKA : Daftar
Pustaka.................................................................................... 16
2
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Hukum Humaniter Internasional (Humaniterian International
Law), pada awalnya dikenal sebagai Hukum Perang (Laws of War) atau
Hukum konflik Bersenjata (laws of Armed Conflict). Sebagai usaha
dunia Internasional untuk meminimalisir dampak dari perang walaupun
sulit menghindarkan atau meniadakan perang itu.
Ada beberapa sumber hukum humaniter Internasional itu antara
lain adalah (1) Konferensi Perdamaian Pertama di DenHaag tahun 1899
dan disempurnakan di Konferensi Kedua tahun 1907 yang mengatur
tentang alat dan cara yang dapat digunakan saat berperang, (2)
Konferensi Jenewa tahun 1949 yang mengatur perlindungan terhadap
mereka, korban perang, dan (3) Protokol Tambahan tahun 1977 yang
memberikan dan menyempurnakan pengertian dari detail konferensi
Jenewa.1
Hukum Humaniter internasional yang menjunjung tinggi Hak
Asasi Manusia dan bertujuan untuk melindungi hak mereka yang
bukan merupakan angkatan perang, dan mereka yang terluka akibat
perang terkesan tumpul apabila kita lihat pada kenyataan masih
banyak terjadi pelanggaran HAM atas mereka yang berada di wilayah
sengketa. Konflik Israel-Palestina, Israel-Lebanon, Amerika Serikat-Irak,
Amerika Serikat-Vietnam.
1 Prof. KGPH. Haryomataram, Kushartoyo BS, ed., Pengantar Hukum Humaniter, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2005), hlm. 45.
3
Dalam makalah ini penulis akan mencoba menganalisa tentang
keberadaan hukum humaniter dan keefektifannya di dunia
Internasional.
B. Rumusan Masalah
Menurut Mohammed Bedjaoui, hukum Humaniter internasional
tidak dimaksudkan untuk melarang perang, tetapi ditujukan untuk
memanusiawikan perang.2 Namun pada kenyataannya, praktek akan
hukum Humaniter Internasional ini jauh berbeda dengan yang telah
diteorikan.
Pada makalah akhir semester mata kuliah Hukum Internasional
ini, penulis akan mencoba menjawab beberapa pertanyaan yaitu:
1. Apakah pada prakteknya Hukum Humaniter Internasional dapat
mencegah terjadinya pelanggaran HAM pada saat perang?
2. Apakah Hukum Humaniter Internasional efektif?
2 Mohammed Bedjaoui, Modern Wars: Humaniterian Challenge. A Report for The Independent Commision on International Humaniterian Issues, Zed Books Ltd., London, 1986, hlm. 2.
4
C. Batasan Masalah
Pada makalah akhir semester mata kuliah Hukum Internasional ini
penulis hanya akan membahas tentang hukum humaniter
Internasional dan menganalisa keefektifan hukum tersebut dengan
mengacu kepada konflik-konflik yang terjadi setelah diratifikasinya
konvensi Jenewa, terutama konflik Palestina-Israel.
5
D. Metode Penelitian
Metode yang dipergunakan untuk membuat makalah akhir
semester mata kuliah Hukum Internasional ini menggunakan metode
penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif adalah pengukuran yang
cermat terhadap fenomena sosial tertentu dimana peneliti
mengembangkan konsep dan menghimpun fakta tanpa melakukan
pengujian hipotesa.3
Metode difokuskan pada pencarian dan penelitian kepustakaan
atau library research dengan menggunakan data sekunder yaitu dari
buku-buku, teks bacaan, majalah-majalah dan jurnal-jurnal berkala
serta terbitan-terbitan lainnya dengan mencari, mengumpulkan,
menyusun dan memahami data yang ada untuk kemudian diproses
menjadi sebuah karya tulis.
3 Masri Singarimbun dan Sofyan Effendi, Metode Penelitian Survey (Ed.Rev) (Jakarta: LP3ES, 1989), hlm. 4.
6
BAB II
Pembahasan
A. Hukum Humaniter
Setelah Perang Dunia ke-II menghasilkan kerusakan dan banyak
korban jiwa yang berjatuhan, Negara-negara yang merupakan anggota
Perserikatan Bangsa-Bangsa menganjurkan dan berinisiatif untuk
mengekang segala tindakan-tindakan kekejaman saat berperang
menggunakan hukum, dan salah satu perjanjian Internasional yang
telah dicapai adalah empat Konvensi Jenewa tahun 1949,4 beserta 2
protokol tambahannya yang mengatur sengketa atau konflik baik yang
Internasional maupun yang non-Internasional.
Dalam beberapa kepustakaan dapat ditemukan bahwa beberapa
tujuan dari Hukum Humaniter Internasional diantranya adalah:
4 Keempat Konvensi Jenewa itu adalah:i. Convention for The Amelioration of the Condition of the Wounded and Sick, in
Armed Forces in the Field, of August 12, 1949;ii. Convention for the Amelioration of the Condition of the Wounded, Sick and
Shipwricked Members of Armed Forces at Sea of August, 12, 1949;iii. Convention Relative to the Treatment of Prisoners of War of August, 12,
1949;iv. Convention Relative to the Protection of Civilian Persons in Time of War of
August, 12, 1949.
7
1. Memberikan perlindungan terhadap kombatan ataupun
penduduk sipil dari penderitaan yang tidak perlu
(Unnecessary Suffering).
2. Menjamin Hak Asasi manusia yang sangat fundamental
bagi mereka yang jatuh ke tangan musuh. Kombatan yang
jatuh ke tangan musuh harus dilindungi dan dirawat serta
berhak diberlakukan sebagai tawanan perang.
3. Mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa
mengenal batas. Mengutamakan asas perikemanusiaan.5
Dalam Hukum Humaniter Internasional terdapat beberepa
prinsip penting, salah satu prinsip penting dalam hukum
humaniter adalah prinsip pembedaan (distinction principle).
Prinsip pembedaan ini adalah prinsip yang membedakan
antara kelompok yang dapat ikut serta secara langsung dalam
pertempuran atau peperangan (kombatan) disatu pihak, dan
kelompok yang tidak ikut serta dan harus dilindungi dalam
pertempuran (penduduk sipil).
Di samping prinsip pembedaan, dalam hukum humaniter
dikenal pula prinsip- prinsip lain, yaitu:
1. Prinsip kepentingan militer (military necessity).
Berdasarkan prinsip ini pihak yang bersengketa
dibenarkan menggunakan kekerasan untuk menundukkan
lawan demi tercapainya tujuan dan keberhasilan perang.
Dalam prakteknya, untuk menerapkan asas kepentingan
militer dalam rangka penggunaan kekerasan terhadap
pihak lawan, suatu serangan harus memperhatikan
prinsip-prinsip berikut:
5 Frederic De Mullinen, HandBook on the Law of the War for Armed Forces, ICRC, Geneva, 1987, hlm. 2.
8
a. Prinsip proporsionalitas (proportionality principle),
yaitu: “prinsip yang diterapkan untuk membatasi
kerusakan yang disebabkan oleh operasi militer
dengan mensyaratkan bahwa akibat dari sarana
dan metode berperang yang digunakan tidak
boleh tidak proporsional (harus proporsional)
dengan keuntungan militer yang diharapkan.6
b. Prinsip pembatasan (limitation principle), yaitu
prinsip yang membatasi penggunaan alat-alat
dan cara-cara berperang yang dapat menimbulkan
akibat yang luar biasa kepada pihak musuh.
2. Prinsip Perikemanusiaan (humanity). Berdasarkan prinsip
ini maka pihak yang bersengketa diharuskan untuk
memperhatikan perikemanusiaan, di mana mereka
dilarang untuk menggunakan kekerasan yang dapat
menimbulkan luka yang berlebihan atau penderitaan
yang tidak perlu. Oleh karena itu prinsip ini sering juga
disebut dengan “unnecessary suffering principle”.
3. Prinsip Kesatriaan (chivalry). Prinsip ini mengandung
arti bahwa di dalam perang, kejujuran harus diutamakan.
Penggunaan alat-alat yang tidak terhormat, perbuatan
curang dan cara-cara yang bersifat pengkhianat dilarang.
4. Prinsip pembedaan. Berdasarkan prinsip ini pada waktu
terjadi perang/konflik bersenjata harus dilakukan
pembedaan antara penduduk sipil (“civilian”) di satu pihak
dengan “combatant” serta antara objek sipil di satu
pihak dengan objek militer di lain pihak. Berdasarkan
6 Pietro Verri, Dictionary of International Law of Armed Conflict, International
Committee of the Red Cross, Geneva, 1992, hlm. 90.
9
prinsip ini hanya kombatan dan objek militer yang boleh
terlibat dalam perang dan dijadikan sasaran. Banyak
ahli yang berpendapat bahwa prinsip pembedaan ini
adalah yang paling penting dalam prinsip-prinsip hukum
humaniter.
B. Konflik Bersenjata Israel-Palestina
Kemajuan di bidang Iptek membawa manusia kepada
penemuan alat-alat canggih termasuk dalam hal persenjataan. Dari
senjata dengan daya rusak dengan jangkauan yang kecil, hingga
senjata pemusnah massal yang mampu menghancurkan satu
negara kecil. Dalam konteks Hukum Humaniter Internasional
peperangan dapat diartikan sama dengan sengketa bersenjata di
mana ada dua pihak atau lebih yang terlibat dalam suatu situasi
saling bertentangan atau konfrontatif, dan masing-masing pihak
telah menggunakan kekuatan angkatan bersenjatanya.
Konflik yang terjadi antara Israel-Palestina merupakan konflik
asimetris di mana actor negara (dalam hal ini Israel) berhadapan
dengan actor non-negara (dalam hal ini Palestina) yang berbentuk
milisi pemberontak (beligerent). Berbeda dengan perang
konvensional , di mana negara berhadapan dengan negara lainnya
atau yang biasa disebut international armed conflict, kasus yang
10
terjadi di Israel-Palestina bersifat non-international armed conflict7.
Sebenarnya konflik asimetris ini terkandung dalam Protokol Tambahan
I dan II tahun 1977.
Protokol Tambahan I ini memberikan hak kepada rakyat untuk
berjuang demi hak untuk menentukan nasib sendiri dan mengatur
tentang perang melawan dominasi colonial, pendudukan asing, dan
perjuangan melawan rasisme maka dianggap setara kedudukannya
dengan international armed conflict dalam artian pihak-pihak yang
bertikai terikat dengan ketentuan hukum humaniter. Sedangkan
Protokol Tambahan II berfokus pada konflik bersenjata internal (perang
sipil dan revolusi) yang juga diatur hukum humaniter internasional.8
Berdasarkan kebutuhan atas adanya aturan-aturan yang
mengatur peperangan dan cara-caranya merupakan tujuan dari
Hukum Humaniter itu sendiri. Namun pada kenyataannya dalam kasus
Israel-Palestina ini, dapat kita lihat bahwa tentara Israel yang
melakukan serangan membabi-buta terhadap rakyat sipil palestina.
Dimanakah hukum humaniter yang mengatasnamakan HAM sebagai
tujuan utamanya?
Seperti yang telah penulis jelaskan pada paragraf-paragraf
sebelumnya bahwa dalam Hukum Humaniter Internasional bertujuan
untuk melindungi Non-kombatan atau rakyat sipil seperti wanita dan
anak-anak untuk menghindari unnecessary suffering. Israel juga
melakukan perusakan atas tempat-tempat yang dilindungi seperti
tempat peribadatan, sekolah-sekolah, rumah sakit, perumahan warga
sipil, tempat-tempat bersejarah seperti museum serta benda-benda
7 Non-international armed conflict secara umum dapat diartikan sebagai konflik antara actor negara dengan actor non-
negara, lebih lanjut baca Anthony Cullen. The Concept of Non-International Armed Conflict in International
Humanitarian Law. Cambridge University Press: 2010
8 Lisa Hajjar. "International Humanitarian Law and "Wars on Terror": A Comparative Analysis of Israeli and American
Doctrines and Policies." Journal of Palestine Studies ( University of California Press ) Vol. 36, No. 1 (2006)
11
budaya yang dilindungi dan lain-lain yang jelas jelas merupakan
kejahatan perang.
War Criminals atau kejahatan perang terdiri dari bermacam-
macam tindakan, yang antara lain adalah:9
1. Mempergunakan racun atau gas beracun dalam
peperangan yang telah dinyatakan dilarang oleh hukum
perang;
2. Membunuh para prajurit tawanan perang yang luka atau
sakit;
3. Menghancurkan bangunan-bangunan yang tidak boleh
diserang (dihancurkan) seperti rumah sakit, perumahan
warga sipil, Tempat peribadatan, sekolah, museum dan
lain sebagainya;
4. Menyerang kota-kota yang dinyatakan terbuka, yaitu yang
tidak dilengkapi alat-alat penangkis serangan bersenjata
dari pihak lawan; dan
5. Merampas kapal-kapal Laut Swasta (yang bukan
merupakan kapal perang) yang tidak dipersenjatai dan/
atau tidak boleh diserang, seperti misalnya kapal-kapal
rumah sakit yang mengangkut obat-obatan, kapal-kapal
dagang, dan lain sebagainya.
Dalam Hukum Humaniter Internasional kita mengenal prinsip
proporsional yang diterapkan untuk membatasi kerusakan yang
disebabkan oleh operasi militer dengan mensyaratkan bahwa akibat
dari sarana dan metode berperang yang digunakan tidak boleh
tidak proporsional. Serta prinsip pembatasan yang membatasi
9 Wirjono Prodjodikoro., Asas-asas Hukum Publik Internasional., Pen. PT. Pembimbing Masa, Jakarta,
1967, hal. 173
12
penggunaan alat-alat dan cara-cara berperang yang dapat
menimbulkan akibat yang luar biasa kepada pihak musuh.
Pernahkah anda membaca berita tentang penembakan yang
dilakukan oleh tentara Israel terhadap anak-anak Palestina yang
menimpukan batu kearahnya? Apakah hal tersebut proporsional?
Tentara Israel berdalih bahwa hal itu dilakukannya dalam rangka
hanya untuk pembelaan diri. Apakah penyerangan Israel yang
menggunakan beribu-ribu tentara dan persenjataan lengkap terhadap
Palestina yang tidak mempunyai persenjataan disebut sebuah
proporsionalitas? Sekali lagi dipertanyakan dimanakah hukum
humaniter Internasional? Tentu saja hal itu merupakan salah satu
bentuk pelanggaran HAM dari sekian banyak kasus pelanggaran HAM
serius yang dilakukan tentara Israel terhadap rakyat sipil Palestina.
Israel bahkan melakukan blokade atas jalur pemberian bantuan
kemanusian seperti makanan dan obat-obatan ke Palestina.
Salah satu contoh yang paling nyata adalah penggunaan bom
fosfor putih pada invasi Gaza pada tahun 2008 yang melanggar
Protokol tahun 1925 tentang penggunaan senjata yang
disempurnakan lagi dengan Konvensi Jenewa tahun 1949. Namun
dengan beralasan bahwa Israel memang tidak meratifikasi konvensi-
konvensi tentang Hukum humaniter menjadikan konflik ini
berkelanjutan dan Israel belum bisa bisa dituntut oleh lembaga
peradilan internasional dalam kasus ini.
13
BAB III
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas, penulis mampu menarik
kesimpulan bahwa pada prakteknya Hukum Humaniter
Internasional belum bisa mencegah terjadinya pelanggaran Hak
Asasi Manusia karena dalam prakteknya masih banyak dan mudah
sekali ditemukan berbagai macam pelanggaran atas HAM. Dan
keberadaan Hukum Humaniter Internasional belum efektif karena
Hukum Humaniter tidak bersifat mengikat dan merupakan tindakan
sukarela apakah suatu negara ingin menaatinya atau tidak.
14
BAB IV
Penutup
Penulis menyadari bahwa dalam makalah ini masih dapat
ditemukan banyak kekurangan, maka dari itu penulis
mengharapkan saran dan kritik pembaca agar dapat dijadikan
acuan dalam penulisan makalah-makalah berikutnya.
15
Daftar Pustaka
1. Prof. KGPH. Haryomataram, Kushartoyo BS, ed., Pengantar
Hukum Humaniter, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2005)
2. Mohammed Bedjaoui, Modern Wars: Humaniterian Challenge.
A Report for The Independent Commision on International
Humaniterian Issues, Zed Books Ltd., London, 1986.
3. Lisa Hajjar. "International Humanitarian Law and "Wars on
Terror": A Comparative Analysis of Israeli and American
Doctrines and Policies." Journal of Palestine Studies ( University
of California Press ) Vol. 36, No. 1 (2006)
4. Wirjono Prodjodikoro., Asas-asas Hukum Publik Internasional.,
Pen. PT. Pembimbing Masa, Jakarta, 1967.
5. Anthony Cullen. The Concept of Non-International Armed
Conflict in International Humanitarian Law. Cambridge
University Press: 2010
6. Pietro Verri, Dictionary of International Law of Armed Conflict,
16