Post on 01-Nov-2021
HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN
SINDROM KERAPUHAN
PADA LANSIA DI KOTA MALANG
TUGAS AKHIR
Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
Oleh:
Yosefin Joenadi
145070101111008
Pembimbing:
dr. Sri Sunarti, SpPD-Kger
Dr. dr. Tita Hariyanti, M. Kes
PROGRAM STUDI SARJANA KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018
ii
HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN
SINDROM KERAPUHAN
PADA LANSIA DI KOTA MALANG
TUGAS AKHIR
Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
Oleh:
Yosefin Joenadi
145070101111008
Pembimbing:
dr. Sri Sunarti, SpPD-Kger
Dr. dr. Tita Hariyanti, M. Kes
PROGRAM STUDI SARJANA KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018
iii
DAFTAR ISI
Halaman
Judul i
Abstrak vi
Abstract vii
Daftar isi viii
Daftar Gambar x
Daftar Tabel xi
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ` 1
1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Tujuan Penelitian 3
1.4 Manfaat Penelitian 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Sindrom Kerapuhan 5
2.2 Epidemiologi 5 2.3 Patofisiologi 6 2.4 Fenotip 7
2.5 Faktor Risiko Sindrom Kerapuhan 7 2.6 Kehilangan Berat Badan dan Obesitas pada
Usia Lanjut 8
2.6.1 Faktor Terkait dengan Kurangnya Nutrisi yang Menyebabkan Penurunan IMT 9
2.6.2 Faktor Terkait Obesitas yang Menyebabkan Peningkatan IMT 10
2.7 Hubungan Indeks Massa Tubuh dan Kerapuhan 11 2.8 Evaluasi Sindrom Kerapuhan 12 2.9 Indeks Kerapuhan 40 item 13
BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Konsep Penelitian 16
3.2 Hipotesis Penelitian 17
BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian 18
4.2 Populasi dan Sampel 18 4.2.1 Populasi 18 4.2.2 Sampel 18
4.2.2.1 Kriteria Inklusi 18 4.2.2.2 Teknik Pengambilan Sampel 19 4.2.2.3 Perhitungan Besar Sampel 19
4.3 Variabel Penelitian 21 4.4 Lokasi dan Waktu Penelitian 21 4.5 Bahan dan Alat/ Instrumen Penelitian 22 4.6 Definisi Operasional 22
iv
4.7 Metode Pengumpulan Data 23 4.8 Pengolahan Data 24 4.9 Jadwal Kegiatan 24
BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA
5.1 Identitas Responden 25
5.1.1 Identitas Subjek Berdasarkan Kecamatan 25 5.1.2 Identitas Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin 25 5.1.3 Identitas Subjek Berdasarkan Tingkat Kerapuhan 25
5.1.4 Identitas Subjek Berdasarkan Indeks Massa Tubuh 26
5.2 Gambaran Tingkat Kerapuhan Berdasarkan Indeks
Massa Tubuh 27 5.3 Pengujian Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan
Sindrom Kerapuhan 28
5.3.1 Koefisien Determinasi 29 5.3.2 Koefisien Korelasi 29 5.3.3 Pengujian Hipotesis 30
5.3.3.1 Uji Hipotesis Simultan 30
5.3.3.2 Uji Hipotesis Parsial 31 5.3.4 Model Empirik Regresi Kuadratik 32
BAB 6 PEMBAHASAN 6.1 Pembahasan Hasil Penelitian 36 6.2 Implikasi terhadap bidang kedokteran 37
6.3 Keterbatasan Penelitian 38
BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan 39
7.2 Saran 39 Lampiran 40
v
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Sistem Skor Indeks Kerapuhan 40 item 12
Tabel 4.1 Distribusi Jumlah Penduduk Lansia dan Sampel Menurut Kecamatan di kota Malang pada Tahun 2016 20
Tabel 4.2 Rincian Jumlah Sampel Menurut Kecamatan di Kota Malang 20
Tabel 5.1 Distribusi Subjek Berdasarkan Kecamatan 25 Tabel 5.2 Distribusi Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin 25 Tabel 5.3 Distribusi Subjek Berdasarkan Tingkat Kerapuhan 26
Tabel 5.4 Gambaran Tingkat Kerapuhan 26 Tabel 5.5 Distribusi Subjek Berdasarkan Indeks Massa Tubuh 26 Tabel 5.6 Gambaran Indeks Massa Tubuh 27
Tabel 5.7 Koefisien Determinasi 29 Tabel 5.8 Koefisien Korelasi 30 Tabel 5.9 Hasil Pengujian Hipotesis Simultan 30 Tabel 5.10 Hasil Pengujian Hipotesis Parsial 31
Tabel 5.11 Perhitungan Model Empirik Regresi Kuadratik 33
vi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 5.1 Tingkat Kerapuhan Berdasarkan Kategori Indeks Massa
Tubuh 27
Gambar 5.2 Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Sindrom Kerapuhan 28
ABSTRAK
Joenadi, Yosefin. 2018. Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Sindrom
Kerapuhan Pada Lansia di Kota Malang. Tugas Akhir, Program Studi
Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya. Pembimbing:
(1) dr. Sri Sunarti, SpPD-KGer (2) Dr.dr . Tita Hariyanti, M.Kes.
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi dalam praktik klinik sehari-hari
orang berusia lanjut adalah kerapuhan. Sindrom kerapuhan merupakan interaksi
dari faktor fisik, psikologis, dan sosial. Salah satu dari faktor risiko sindrom
kerapuhan adalah indeks massa tubuh (IMT). Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui hubungan antara faktor risiko sindrom kerapuhan, yaitu indeks
massa tubuh dengan sindrom kerapuhan. Penelitian dilakukan secara
observasional analitik dengan desain potong lintang April-Juni 2017 di kota
Malang menggunakan kuesioner untuk menilai sindrom kerapuhan serta
dilakukan pengukuran IMT. Jumlah sampel sebesar 211 orang, dilakukan secara
accidental sampling. Hasil uji regresi kuadratik didapatkan tidak ada hubungan
antara indeks massa tubuh dengan sindrom kerapuhan (r=0.080; p=0.514).
Secara grafis, hubungan indeks massa tubuh dengan sindrom kerapuhan
berbentuk “U”, di mana subjek dengan IMT normal memiliki indeks kerapuhan
paling kecil dibandingkan underweight dan obesitas. IMT sebesar 19 kg/m2, 20
kg m/2, dan 21 kg/m2 (normal) menghasilkan indeks kerapuhan terendah. Dapat
disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara indeks massa tubuh dengan
sindrom kerapuhan. Namun secara grafis, terdapat gambaran kurva berbentuk
“U” antara IMT dan kerapuhan, di mana IMT normal memiliki indeks kerapuhan
terkecil.
Kata kunci: kerapuhan, indeks kerapuhan, indeks massa tubuh
ABSTRACT
Joenadi, Yosefin. 2018. The Relation between Body Mass Index and Frailty
Syndrome of the Elderly People in Malang. Final assignment, Medical
Program, Faculty of Medicine, Universitas Brawijaya. Supervisors: (1) dr. Sri
Sunarti, SpPD-KGer (2) Dr.dr . Tita Hariyanti, M.Kes.
One of the biggest challenges that is regularly encountered in the clinical practice
for elderly patients is frailty syndrome. Frailty syndrome is the interaction from
physical, psychological, and social factors. One of the factors of frailty syndrome
is body mass index (BMI). This research aims to find the relation between the
factors of frailty syndrome, specifically, the body mass index and frailty
syndrome. This research was conducted using observational analysis and cross-
sectional design, from April to June 2017, in Malang. This research was
conducted by distributing questionnaire to measure the frailty syndrome and by
measuring the body mass index. There are 211 samples taken by using
accidental sampling. The result of quadratic regression test showed that there
was no correlation between body mass index and frailty syndrome (r=0.080;
p=0.514). Graphically, the relation between body mass index and frailty
syndrome resembled the letter „U‟, which showed that the subject with normal
body mass index had the lowest frailty index compared to underweight and
obesity. Body mass index which showed 19 kg/m2, 20 kg m/2, and 21 kg/m2
(normal) generated the lowest frailty index. It could be concluded that there was
no correlation between body mass index and frailty index. However, graphically,
there was a curve resembling the letter „U‟ which showed the body mass index
and frailty syndrome, and the normal BMI had the lowest frailty index.
Keywords: frailty syndrome frailty index, body mass index
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dengan bertambahnya populasi lanjut usia, diperlukan perhatian lebih
terhadap masalah yang dihadapi golongan lanjut usia. Salah satu tantangan
terbesar yang dihadapi dalam praktik klinik sehari-hari orang berusia lanjut
adalah kerapuhan (kerentaan) (Vries et al., 2011). Kerapuhan berdampak
terhadap kualitas hidup lanjut usia. Individu yang rapuh membutuhkan biaya
kesehatan yang lebih tinggi, baik dalam hal perburukan kemampuan mobilitas
dan melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari (gangguan status fungsional/
disabilitas) sehingga menurunkan kualitas hidup terkait kesehatan, maupun
peningkatan risiko masuk perawatan di rumah sakit dan kematian (Laksmi,
2015).
Kerapuhan didefinisikan sebagai sindrom fisiologis yang bercirikan
kurangnya resistensi terhadap stresor, yang menyebabkan penurunan berbagai
sistem fisiologis menyebabkan kerentanan terhadap dampak buruk dan risiko
kematian tinggi (Kasper et al., 2015). Kerapuhan merefleksikan usia biologis
seseorang dan dipandang sebagai salah satu sindrom geriatri (Laksmi, 2015).
Sindrom kerapuhan tidak hanya disebabkan oleh proses menua. Faktor
lain yang berperan dalam etiologi sindrom kerapuhan adalah faktor genetik, gaya
hidup, dan penyakit (termasuk penyakit yang bersifat subklinis). Salah satu dari
faktor risiko tersebut adalah indeks massa tubuh, yang dipengaruhi oleh genetik,
gaya hidup, dan penyakit (Little et al., 2016; Ahmad, 2016; Bernstein dan
Luggen, 2010). Vries et al. (2011) menyebutkan sindrom kerapuhan merupakan
2
interaksi dari faktor fisik, psikologis, dan sosial. Indeks massa tubuh merupakan
faktor psikososial yang penting (Nuttall, 2015). Sindrom kerapuhan dapat diukur
salah satunya dengan indeks kerapuhan (frailty index). Indeks kerapuhan
menggunakan skor 40 item dan mengevalusi semua aspek sindrom kerapuhan
(fisik, psikologis, dan sosial) (Laksmi, 2015).
Salah satu faktor yang berkontribusi terhadap timbulnya sindrom
kerapuhan adalah indeks massa tubuh. Berat badan dan perubahan berat badan
merupakan kontributor penting terhadap risiko timbulnya kerapuhan. Beberapa
definisi sindrom kerapuhan menyebutkan kehilangan berat badan sebagai salah
satu kriterianya. Teori lain menyebutkan penambahan berat badan merupakan
faktor risiko timbulnya sindrom kerapuhan terkait dengan faktor komorbid yang
terkait dengan obesitas (misalnya diabetes tipe 2). Obesitas menyebabkan
kelemahan dan penurunan fungsional sehingga lebih rentan terhadap sindrom
kerapuhan (Mezuk et al., 2016).
Hubungan antara sindrom kerapuhan dengan berat badan jika diplotkan
secara grafis berbentuk kurva U, yaitu indeks massa tubuh normal memiliki
indeks kerapuhan terkecil. Risiko timbulnya kerapuhan paling tinggi pada orang
yang mengalami kehilangan berat badan dan overweight dibandingkan normal
(Mezuk et al., 2016).
Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
hubungan indeks massa tubuh terhadap sindrom kerapuhan yang diukur dengan
indeks kerapuhan. Indeks massa tubuh didapatkan dari pengukuran berat badan
yang dibagi dengan tinggi badan kuadrat (Nuttall, 2015). Dengan demikian,
diharapkan dapat dilakukan tindakan pencegahan secara dini terhadap timbulnya
kerapuhan.
3
1.2 Rumusan Masalah
Apakah terdapat hubungan antara indeks massa tubuh dengan sindrom
kerapuhan?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui adanya hubungan indeks massa tubuh dengan sindrom kerapuhan
pada lansia.
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Mengukur indeks massa tubuh lansia di kota Malang.
b. Mengukur sindrom kerapuhan menggunakan indeks kerapuhan pada lansia di
kota Malang.
c. Mengetahui adanya hubungan antara indeks massa tubuh dengan kerapuhan
pada lansia di kota Malang.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Akademik
a. Sebagai dasar teori yang mendukung penyusunan dan kelengkapan
informasi mengenai sindrom kerapuhan.
b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai pedoman untuk melakukan
penelitian lebih lanjut tentang sindrom kerapuhan.
1.4.2 Manfaat Praktis
Dengan penelitian ini diharapkan dapat diketahui hubungan antara indeks
massa tubuh dengan timbulnya sindrom kerapuhan sehingga dalam praktik
4
sehari-hari baik klinisi maupun pasien dapat melakukan pencegahan dini
terhadap timbulnya kerapuhan.
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Sindrom Kerapuhan
Kerapuhan adalah kumpulan gejala (sindrom biologis) akibat penurunan
berbagai sistem fisiologis tubuh terkait usia. Kerapuhan berdampak pada
rendahnya kemampuan untuk menghadapi stres (Laksmi, 2015). Kerapuhan
adalah kondisi dinamis yang berdampak pada individu yang mengalami
kehilangan salah satu atau lebih domain fungsional (fisik, psikologis, dan sosial).
Definisi ini menekankan pada interaksi antara domain fisik, psikologis , dan sosial
sebagai sistem yang dinamis dan kompleks (Vries et al., 2011).
Terdapat pula definisi yang menekankan terhadap fenotip kerapuhan.
Fenotip kerapuhan memiliki lima ciri-ciri spesifik, yaitu kelambatan, penurunan
berat badan, kekuatan menurun, kelelahan, dan menurunannya aktivitas fisik
(Holroyd-Leduc dan Reddy, 2012). Orang lanjut usia yang dikatakan rapuh
memiliki perubahan yang sama pada berbagai proses, yaitu komposisi tubuh,
disregulasi homeostasis, kekurangan energi, dan neurodegenerasi (Kasper et al.,
2015).
2.2 Epidemiologi
Menurut World Health Organization, populasi global dari orang lanjut usia
yang berusia di atas 60 tahun atau lebih berjumlah 600 juta pada tahun 2000 dan
diperkirakan akan meningkat sekitar 2 milyar pada tahun 2050. Sekitar
seperempat sampai setengah populasi usia lanjut yang berusia lebih dari 85
tahun dikatakan rentan. Kerapuhan berdampak penting pada individu, keluarga,
sistem layanan kesehatan, dan masyarakat. Dari sudut pandang klinis,
2
kerapuhan dapat menyebabkan risiko yaitu dampak kesehatan yang buruk,
misalnya jatuh, rawat inap, disabilitas, dan kematian (Buckinx et al., 2015).
2.3 Patofisiologi
Kerapuhan bukan hanya akibat dari penuaan, namun melibatkan interaksi
perubahan fisiologis terkait proses menua dan nutrisi yang tidak adekuat,
penyakit yang mendasari, genetik, dan faktor lingkungan. Faktor-faktor ini
menyebabkan kemunduran progresif dan menyeluruh pada sistem organ
multipel. Homeostasis normal tidak dapat dipertahankan, dan inflamasi kronis
derajat rendah terjadi bersamaan dengan perubahan jumlah hormon dan aktivasi
sistem koagulasi. Hal ini menyebabkan kematian dan penuaan seluler terkait
dengan peningkatan faktor-faktor proinflamasi dan perubahan sitokin tertentu.
Penurunan jumlah interleukin-10, dengan peningkatan jumlah protein C reaktif,
TNFα, dan interleukin-6 dapat berkontribusi terhadap terjadinya kerapuhan
(Byard dan Bellis, 2016).
Siklus kerapuhan diawali dengan akumulasi dari efek berkurangnya
aktivitas fisik, nutrisi yang inadekuat, lingkungan tidak sehat, injury, penyakit dan
penggunaan berbagai obat. Berbagai faktor ini menyebabkan malnutrisi kronik
dan berakhir pada penurunan massa tulang dan otot, yang disebut sarkopenia.
Dalam keadaan sarkopenia, diperlukan usaha yang lebih besar untuk melakukan
aktivitas fisik dengaan intensitas tertentu. Ambang laktat yang meninggi
menyebabkan pasien usia lanjut harus meningkatkan aktivitas fisiknya berakibat
semakin malas beraktivitas (Setiati dan Rizka, 2014).
Penurunan aktivitas fisik ditambah lagi dengan penurunan fungsi
kardiovaskular dan muskuloskeletal akibat proses menua menyebabkan
sarkopenia semakin berat sehingga aktivitas fisik semakin terhambat. Seluruh
3
perubahan ini menyebabkan penurunan resting metabolism sehingga total
energy expenditure (TEE) menurun. Konsekuensi dari penurunan TEE adalah
malnutrisi. Siklus kerapuhan ini kemudian akan berulang dan semakin berat
(Setiati dan Rizka, 2014).
2.4 Fenotip
Orang lanjut usia yang rapuh memiliki berbagai karakteristik. Karakteristik
tersebut secara umum dapat dirumuskan dalam fenotip kerapuhan. Lima
karakteristik utama sindrom kerapuhan yaitu kelambatan, kehilangan berat
badan, kekuatan berkurang, kelelahan, dan aktivitas berkurang. Jika tiga dari
lima karakter ini terpenuhi dikatakan frail, jika satu atau dua dari karakter ini
terpenuhi maka dikatakan prefrail, jika tidak ditemukan karakter di atas, dikatakan
robust. Argumen lain menyebutkan selain lima karakter di atas hendaknya
dipertimbangkan persepsi kesehatan diri, kemampuan kognitif, dan kesesuaian
penampilan dengan umur (Gosney et al., 2012).
2.5 Faktor Risiko Sindrom Kerapuhan
Terdapat delapan faktor risiko yang beraitan dengan konsep kerapuhan.
Faktor-faktor tersebut termasuk dimensi fisik, status nutrisi, aktivitas fisik,
mobilitas, kekuatan dan energi, dimensi psikologis, kognisi dan mood, dan pada
dimensi sosial, yaitu kurangnya dukungan sosial (Vries et al., 2011).
Kerapuhan sangat terkait dengan sejumlah penyakit kardiovaskuler dan
pulmoner, dan diabetes (Kim, 2012). Untuk itu sangat penting untuk melihat
kerapuhan dalam hubungannya dengan penyakit yang mendasarinya, misalnya
penyakit jantung kongestif berhubungan dengan ketersedian energi yang rendah,
gangguan hormonal, dan kondisi proinflamasi yang berpengaruh terhadap tingkat
4
keparahan kerapuhan. Penyakit Parkinson menyebabkan neurodegenerasi yang
pada fase lanjut berdampak pada komposisi tubuh, metabolisme energi,
homeostasis yang menyebabkan sindrom mirip kerapuhan (Kasper et al., 2015).
Strandberg et al. (2011) menyatakan terdapat potensi terapi dan
pencegahan terhadap kerapuhan. Latihan jasmani dan suplementasi energi
protein dapat dilakukan untuk mencegah timbulnya kerapuhan (Kim dan Lee,
2013).
2.6 Kehilangan Berat Badan dan Obesitas pada Usia Lanjut
Kehilangan berat badan dan obesitas pada usia lanjut diukur dengan
Indeks Massa Tubuh, yaitu rasio berat badan dalam kilogram terhadap tinggi
badan dalam meter kuadrat. Indeks Massa Tubuh dapat menunjukkan adanya
kekurangan nutrisi. Indikator umum kekurangan nutrisi antara lain albumin yang
rendah. Kekurangan nutrisi ringan ditunjukkan dengan kadar albumin 2,8-3,5
g/dL, kekurangan nutrisi sedang ditunjukkan dengan kadar albumin 2,1-2,7 g/dL,
dan kekurangan nutrisi berat ditunjukkan dengan kadar albumin kurang dari 2,1
g/dL. Kadar kolesterol serum <160 mg/dL menunjukkan kurangnya jumlah kalori
yang dikonsumsi. Limfosit total 1500-1800 dapat menunjukkan keadaan
malnutrisi, limfosit total <1000 menunjukkan malnutrisi berat (Bernstein dan
Luggen, 2010).
Tanda dan gejala lansia yang mengalami malnutrisi antara lain
kehilangan massa otot, lemak tubuh, dan mengalami underweight. Underweight
terkait dengan peningkatan risiko hospitalisasi, lamanya perawatan di rumah
sakit, dan peningkatan risiko kematian (Bernstein dan Luggen, 2010).
2.6.1 Faktor Terkait dengan Kurangnya Nutrisi yang Menyebabkan
Penurunan IMT
5
Indeks Massa Tubuh dipengaruhi oleh proses fisiologis penuaan,
misalnya berkurangnya tinggi badan dan perubahan distribusi lemak. Tinggi
badan berkurang 1-2 cm setelah umur 50 tahun dan berlangsung lebih cepat
setelah usia 85 tahun. Rata-rata BMI baik pada laki-laki maupun perempuan
berkurang setelah umur 70 tahun. Penyebab lain berkurangnya berat badan
adalah sarkopenia yang terjadi seiring dengan penuaan. Perubahan lain terkait
dengan penuaan peningkatan jaringan lemak di tubuh dan abdomen sementara
lemak subkutan (terutama di ekstremitas) berukurang. Karena penumpukan
lemak di abdomen meningkat seiring dengan usia, IMT menjadi indikator yang
lemah untuk menunjukkan distribusi lemak sentral dan keseluruhan. Selain itu
usia lanjut mengalami berkurangnya kemampuan pengecap dan penghidu, serta
berkurangnya nafsu makan dan anoreksia (Bernstein dan Luggen, 2010).
Kendala mekanis dapat menyebabkan seseorang menjadi underweight,
misalnya kesehatan mulut yang buruk, penglihatan yang buruk, koordinasi
motorik terganggu, disfagia. Kondisi medis dapat menyebabkan peningkatan
kebutuhan energi, misalnya kanker, infeksi, COPD, luka, dan fraktur. Kondisi
medis lain yang berpengaruh terhadap makan misalnya gagal jantung kongestif,
sindrom malabsorbsi, gastroparesis diabetes, dan kolelistiasis. Selain itu kondisi
psikologis seperti depresi dan demensia juga dapat berpengaruh. Faktor-faktor
sosial seperti isolasi dan kemiskinan juga terkait (Bernstein dan Luggen, 2010).
2.6.2 Faktor Terkait Obesitas yang Menyebabkan Peningkatan IMT
Inaktivitas adalah penyebab utama obesitas pada usia lanjut. Salah satu
penyebab inaktivitas adalah penyakit kronis yang diderita lansia. Hal ini dapat
menyebabkan disabilitas dan mengganggu fungsi motorik sehingga mengurangi
pemakaian energi. Selain itu kurangnya olahraga merupakan penyebab utama
6
obesitas pada usia lanjut. Selain itu, pada usia lanjut produksi hormon
pertumbuhan dan testosteron berkurang menyebabkan berkurangnya massa otot
dan meningkatnya lemak tubuh (Bernstein dan Luggen, 2010).
Faktor gizi, yaitu overnutrition juga berperan penting. Usia lanjut
cenderung memilih makanan yang tidak mahal karena masalah ekonomi dan
status sosioekonomi yang rendah. Mereka cenderung memilih makanan yang
banyak mengandung gula tambahan tetapi rendah protein. Hal ini disebut
“sindrom kalori kosong”. Sebaliknya jika lansia memilih makanan restoran,
meskipun dalam jumlah sedikit, makanan tersebut mengandung jumlah kalori
yang besar. Kesepian, rasa bosan, depresi, dan di bawah tekanan juga
mempengaruhi pola makan seseorang (Bernstein dan Luggen, 2010)
Obat-obatan seperti insulin, antidepresan, dan steroid dapat
menyebabkan penambahan berat badan. Penyakit hipotiroid juga dapat
meningkatkan berat badan karena laju metabolisme yang lambat. Nikotin dalam
rokok dapat mengurangi nafsu makan dan meningkatkan laju metabolisme,
namun berhenti merokok dapat menyebabkan penambahan berat badan karena
laju metabolisme melambat. Mereka yang merokok dapat tetap kurus, namun
mengalami akumulasi lemak di abdomen (Bernstein dan Luggen, 2010).
2.7 Hubungan Indeks Massa Tubuh dan Kerapuhan
Berbagai penelitian membuktikan adanya hubungan antara indeks massa
tubuh dengan kerapuhan. Mezuk et al. (2016) melakukan penelitian untuk
melihat hubungan antara indeks massa tubuh dengan timbulnya kerapuhan
menggunakan desain penelitian kohort. Data diambil dari tahun 2004 sampai
2012, dikategorikan dalam 4 kelompok, yaitu berat badan meningkat, berat
badan menurun, obesitas konstan, berat badan berlebih konstan. Perubahan
7
berat badan, baik peningkatan maupun penurunan berat badan, meningkatkan
risiko timbulnya kerapuhan. Hubbart et al. (2010) dalam Sheehan et al (2013)
melaporkan adanya korelasi antara obesitas dengan kerapuhan berbentuk U.
Lansia yang underweight (indeks massa tubuh (IMT) <18,5) dan lansia yang
obesitas (IMT>30) lebih rentan mengalami kerapuhan.
Penurunan jumlah interleukin-10, dengan peningkatan jumlah protein C
reaktif, TNFα, dan interleukin-6 dapat berkontribusi terhadap terjadinya
kerapuhan. Kadar IL-6 yang paling rendah ditemukan pada orang dengan berat
badan normal dan overweight, demikian pula kadar CRP terendah ditemukan
pada orang dengan berat badan normal. Hubungan antara IMT dan faktor
proinflamasi yang berbentuk U ini, mendukung teori paradoks obesitas. Teori
paradoks obesitas menyebutkan bahwa mortalitas dan mordibitas terendah
terdapat pada lansia dengan berat badan normal dan overweight, sementara
mortalitas dan mordibitas tertinggi dialami oleh lansia obesitas dan underweight.
Mortalitas dan mordibitas ini terkait dengan adanya peningkatan inflamasi
sistemik pada kelompok underweight dan obese. BMI yang rendah <18,5 kg/m2
memiliki IL-6 paling tinggi dan mengalami peningkatan CRP (Puzianowska-
Kuźnicka, 2016).
Obesitas sering dikaitkan dengan kecepatan berjalan yang lambat,
berkurangnya aktivitas fisik kelemahan, dan kelelahan. Lansia yang overweight
dan obesitas juga berisiko mengalami kerapuhan. Berat badan berlebih terkait
dengan munculnya penyakit, keterbatasan fungsional, dan disabilitas. Selain itu
lansia yang overweight dan obese memiliki kualitas, kekuatan, dan daya tahan
otot yang rendah daripada lansia yang underweight dan normal (Bowen, 2012).
Beberapa mediator yang berperan dalam mekanisme timbulnya kerapuhan pada
8
lansia yang obesitas antara lain adanya peningkatan penanda inflamasi protein C
reaktif dan rendahnya kapasitas antioksidan serta berkurangnya karotenoid
(Sheehan et al., 2013).
Lansia yang underweight lebih rentan dengan minimalnya kapasitas yang
dimiliki dan meningkatnya risiko malnutrisi dan kematian. Lansia yang
underweight mengalami peningkatan risiko berkurangnya keseimbangan dan
kestabilan dalam berjalan. Lansia underweight lebih rentan mengalami
osteoporosis, peningkatan risiko jatuh, fraktur, dan cedera lain yang disebabkan
jatuh (Bowen, 2012).
2.8 Evaluasi Sindrom Kerapuhan
Sindrom skor untuk mengevaluasi status kerapuhan seharusnya mampu
meneliti semua aspek sindrom kerapuhan (fisik, psikologis, dan sosial),
menentukan derajat berat ringan, serta mengukur perubahan dari waktu ke
waktu (Laksmi, 2015). Untuk mengevaluasi fenotip sindrom kerapuhan dapat
digunakan berbagai instrumen, antara lain Cardiovascular Health Study (CHS),
The Study of Osteoporotic Fracture (SOF), Survey of Health, Ageing, and
Retirement in Europe (SHARE), Fatigue, Resistance, Ambulation, Illness, Loss of
weight (FRAIL), Indeks Kerapuhan 40 item, Frailty Index –Comprehensive
Geriatric Assessment (FI-CGA), Clinical Frailty Scale (CFS), Groningen Frailty
Indicator (GFI) (Laksmi, 2015).
2.9 Indeks Kerapuhan 40 item
9
Dalam penelitian ini digunakan indeks kerapuhan 40-item. Sistem skor ini
dikembangkan berdasarkan hasil penelitian Canadian Study of Health and Aging.
Sistem skor indeks kerapuhan 40 item menggunakan 40 variabel defisit
kesehatan. Defisit kesehatan tersebut meliputi gejala klinis, tanda klinis, penyakit,
hendaya, dan kelainan pemeriksaan penunjang. Semakin banyak defisit
kesehatan yang dialami seseorang maka individu tersebut akan semakin rapuh
(Laksmi, 2015).
Perhitungan indeks kerapuhan didapatkan dengan cara menjumlahkan
defisit kesehatan yang dijumpai dibagi dengan jumlah defisit kesehatan yang
dihitung (indeks kerapuhan = skor total /40). Interpretasi indeks kerapuhan dapat
bersifat kontinu atau dapat dilakukan terhadap status sindrom kerapuhan menjadi
fit/robust bila skor ≤ 0,08, pre-frail bila skor >0,08 - < 0,25, dan frail bila skor
≥0,25 (Laksmi, 2015).
Sistem skor indeks kerapuhan 40 item mengevaluasi semua aspek
sindrom kerapuhan, baik fisik, psikologis, dan sosial (Laksmi, 2015). Vries et al.
(2011) menyimpulkan berdasarkan telaah sistematik bahwa metode yang paling
baik untuk mengevaluasi keluaran sindrom kerapuhan adalah dengan
pendekatan akumulasi defisit menggunakan indeks kerapuhan. Sistem skor
indeks kerapuhan 40 item ditampilkan dalam tabel berikut.
Tabel 2.1 Sistem Skor Indeks Kerapuhan 40 item
No Defisit Skor
0 0,25 0,5 0,75 1
1 Gangguan penglihatan
Tidak
ada Ringan Sedang Berat
Sangat
berat
2 Gangguan pendengaran
Tidak
ada Ringan Sedang Berat
Sangat
berat
3 Bantuan untuk makan Mandiri
Bantuan
minimal
Tergantung
total
10
4
Bantuan untuk berpakaian dan
melepas pakaian Mandiri
Bantuan
minimal
Tergantung
total
5 Kemampuan untuk merawat diri Mandiri
Bantuan
minimal
Tergantung
total
6 Bantuan untuk berjalan Mandiri
Bantuan
minimal
Tergantung
total
7
Bantuan untuk tidur dan bangun
tidur Mandiri
Bantuan
minimal
Tergantung
total
8 Bantuan untuk mandi Mandiri
Bantuan
minimal
Tergantung
total
9
Bantuan untuk pergi ke kamar
mandi Mandiri
Bantuan
minimal
Tergantung
total
10 Bantuan untuk menelepon Mandiri
Bantuan
minimal
Tergantung
total
11
Bantuan untuk berjalan
mencapai tempat-tempat
kegiatan Mandiri
Bantuan
minimal
Tergantung
total
12 Bantuan untuk berbelanja Mandiri
Bantuan
minimal
Tergantung
total
13
Bantuan untuk mempersiapkan
makanan sendiri Mandiri
Bantuan
minimal
Tergantung
total
14
Bantuan untuk pekerjaan rumah
tangga Mandiri
Bantuan
minimal
Tergantung
total
15 Kemampuan untuk minum obat Mandiri
Bantuan
minimal
Tergantung
total
16
Kemampuan untuk mengurus
keuangan sendiri Mandiri
Bantuan
minimal
Tergantung
total
17
Anggapan mengenai tingkat
kesehatan sendiri
Sangat
baik Baik Sedang Buruk
Sangat
buruk
18
Kesulitan untuk melakukan
aktivitas sehari-hari
Tidak
ada
Kesulitan
ringan
Kesulitan
berat
19 Hidup sendiri Tidak Ya
20 Batuk Tidak Ya
21 Merasa lelah Tidak Ya
22 Hidung tersumbat atau bersin Tidak Ya
23 Tekanan darah tinggi Tidak Ya
24
Masalah jantung dan peredaran
darah Tidak Ya
25 Stroke atau akibat stroke Tidak Ya
26 Artritis atau rematik Tidak Ya
11
27 Penyakit Parkinson Tidak Ya
28 Masalah mata Tidak Ya
29 Masalah telinga Tidak Ya
30 Masalah gigi Tidak Ya
31 Masalah paru Tidak Ya
32 Masalah lambung Tidak Ya
33 Masalah ginjal Tidak Ya
34 Tidak dapat mengontrol kemih Tidak Ya
35 Tidak dapat mengontrol BAB Tidak Ya
36 Diabetes Tidak Ya
37
Masalah dengan kaki atau
pergelangan kaki Tidak Ya
38 Masalah dengan saraf Tidak Ya
39 Masalah kulit Tidak Ya
40 Fraktur Tidak Ya
Sumber: Laksmi, 2015, Tabel 3 , hlm. 320
37
16
BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Konsep
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian
Proses terkait penuaan -↓ tinggi badan IMT ↓ - sarkopenia - perubahan distribusi lemak
Kendala mekanis
Kondisi medis menyebabkan
peningkatan kebutuhan energi
Kondisi medis berpengaruh
terhadap pola makan
Psikologis
Sosial
Inaktivitas
Berkurangnya
hormon
Faktor gizi
Obat-obatan
Hipotiroid
Berhenti
merokok
Underweight
Obesitas
↑CRP
↓antioksidan
↓ karotenoid
↓IL-6, CRP ↑
Inflamasi sistemik
Variabel bebas yang diteliti
Variabel tergantung yang diteliti
Sindrom Kerapuhan, diukur
dengan indeks kerapuhan
Indeks
Massa
Tubuh
2
Berbagai faktor dapat menyebabkan lansia memiliki indeks massa tubuh
yang rendah (underweight). Penyebab dari kehilangan berat badan yang terkait
underweight adalah kendala mekanis, kondisi medis yang menyebabkan
peningkatan kebutuhan energi, kondisi medis yang berpengaruh terhadap pola
makan, kondisi psikologis, dan sosial. Sebaliknya, inaktivitas, berkurangnya
hormon, pola makan, obat-obatan, dan berhenti merokok dapat menyebabkan
obesitas (Bernstein dan Luggen, 2010; Uzogara 2016). Baik lansia yang obesitas
maupun yang underweight rentan mengalami sindrom kerapuhan akibat
terjadinya inflamasi sistemik (Puzianowska-Kuźnicka, 2016).
Lansia yang mengalami underweight memiliki kadar IL-6 dan CRP yang
meningkat (Puzianowska-Kuźnicka, 2016). Lansia yang obesitas mengalami
peningkatan CRP, penurunan antioksidan, dan berkurangnya karotenoid
(Sheehan et al., 2013). Peningkatan IL-6 dan CRP menyebabkan inflamasi
derajat rendah yang merupakan faktor risiko dari kerapuhan (Vellisarias, 2017).
Selain itu, antioksidan yang rendah merupakan faktor terjadinya sindrom
kerapuhan melalui mekanisme kerusakaan oksidatif (Preedy, 2014). Lansia yang
obesitas dapat mengalami kekurangan mikronutrien, yaitu karotenoid yang juga
terkait dengan sindrom kerapuhan (Michelon, et al., 2006).
Dalam penelitian ini, obesitas dan underweight diukur dengan indeks
massa tubuh. Indeks massa tubuh merupakan variabel bebas. Variabel terikat
dalam penelitian ini adalah sindrom kerapuhan diukur dengan indeks kerapuhan.
3.2 Hipotesis Penelitian
Dari kerangka konsep di atas maka hipotesis dari penelitian ini adalah:
Orang lanjut usia yang obesitas dan underweight memiliki indeks kerapuhan
yang tinggi dibandingkan orang lanjut usia dengan indeks massa tubuh normal.
16
18
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian ini adalah observasional analitik dengan
menggunakan pendekatan desain potong lintang untuk mengetahui hubungan
indeks massa tubuh dengan indeks kerapuhan. Data yang didapatkan
selanjutnya dianalisa secara statistik untuk mengetahui hubungan antar variabel.
4.2 Populasi dan Sampel
4.2.1 Populasi
Populasi penelitian adalah semua orang berusia lanjut ≥60 tahun di kota
Malang.
4.2.2 Sampel
4.2.2.1 Kriteria inklusi
Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah:
Subjek bersedia menjadi subjek penelitian secara sukarela serta
menandatangani form kesediaan menjadi responden.
Subjek berusia ≥60 tahun.
Dapat dilakukan pengukuran tinggi badan dan berat badan
4.2.2.2 Teknik Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel dilakukan secara accidental sampling di lima
kecamatan di kota Malang. Populasi yang terpilih kemudian dilakukan
wawancara.
2
Penelitian dikerjakan setelah mendapatkan persetujuan dari komite etik
Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya (Keterangan Kelaikan Etik No.176 /
EC / KEPK / 04 / 2017). Seluruh responden yang diikutkan dalam penelitian ini
diberikan penjelasan dan yang bersedia mengikuti penelitian diminta
menandatangani lembar persetujuan (Informed Consent).
4.2.2.3 Perhitungan Besar Sampel
Sampel adalah bagian kecil dari populasi yang diteliti. Besar sampel pada
populasi yang tidak diketahui ditentukan dengan rumus sebagai berikut
(Hutagalung dan Aisha, 2008).
n =
Keterangan:
n : Jumlah sampel
Zα: Nilai standar yang besarnya tergantung α.
Jika α= 0,05 maka z=1,67
Jika α=0,01 maka z=1,96
p : estimator populasi yang tidak diketahui = 0,5
q : 1-p
d : Presisi (persen kelonggaran ketidaktelitian kesalahan) 5 %
Berdasarkan perhitungan α = 0,05 didapatkan besar sampel 279 orang.
Besar sampel ditentukan secara proporsional pada 5 kecamatan di kota Malang
sebagai berikut.
3
Tabel 4.1 Distribusi Jumlah Penduduk Lansia dan Sampel Menurut Kecamatan di kota
Malang pada Tahun 2016
No Kecamatan
Jumlah Penduduk
Lansia
Besar
Sampel
1 Klojen 12.596/67.419 x 279 52
2 Lowokwaru 14.976/67.419 x 279 62
3 Sukun 16.620/ 67.419 x 279 68
4 Blimbing 16.815/ 67.419 x 279 70
5 Kedungkandang 6.412/ 67.419 x 279 27
Jumlah 67.419 279
Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Malang, 2015
Namun dalam penelitian ini, hanya didapatkan 211 sampel dengan rincian
sebagai berikut.
Tabel 4.2 Rincian Jumlah Sampel Pada Penelitian Ini Menurut Kecamatan di Kota
Malang
No Kecamatan Besar Sampel
1 Sukun 61
2 Lowokwaru 47 3 Klojen 23 4 Blimbing 37 5 Kedungkandang 43
Jumlah 211
Sumber: Hasil Penelitian, 2018
Menurut Suresh dan Chandrasekara (2015), besar sampel yang dihitung
adalah jumlah total subjek yang dibutuhkan untuk analisis data penelitian.
Beberapa masalah praktis, terkait perhitungan jumlah sampel dapat terjadi.
Subjek yang eligible mungkin tidak bersedia untuk mengikuti penelitian. Selain
itu, bahkan penelitian yang memiliki desain baik, jarang ditemukan data yang
lengkap untuk semua subjek yang dibutuhkan. Hal ini disebabkan faktor subjek,
misalnya subjek mungkin gagal atau menolak memberikan respon yang valid
pada pertanyaan tertentu dan pengukuran fisik yang memiliki masalah teknis.
Dalam penelitian ini didapatkan beberapa kendala, antara lain ketidaklengkapan
4
data dan subjek yang menolak dilakukan pengukuran berat badan dan tinggi
badan.
4.3 Variabel Penelitian
Variabel bebas: indeks massa tubuh
Variabel terikat: indeks kerapuhan
4.4 Lokasi dan Waktu Penelitian
Tempat penelitian di kota Malang, Jawa Timur. Alasan pemilihan lokasi ini
adalah mudah dijangkau dan memiliki populasi dan komunitas lansia yang
memadai. Diambil semua kecamatan yang ada, yaitu Kecamatan Klojen,
Lowokwaru, Kedungkandang, Sukun, dan Blimbing. Waktu penelitian adalah
bulan April-Juni 2017. Rincian jadwal dan lokasi pengambilan sampel adalah
sebagai berikut.
Tanggal 6 Mei 2017, pukul 08.30-11.00 di Kecamatan Sukun
Tanggal 7 Mei 2017, pukul 08.00-12.00 di Kecamatan Lowokwaru
Tanggal 13 Mei 2017, pukul 07.00-11.00 di Kecamatan
Kedungkandang
Tanggal 20 Mei 2017, pukul 09.00-11.00 di Kecamatan Klojen
Tanggal 21 Mei 2017, pukul 07.30-11.00 di Kecamatan
Lowokwaru
Tanggal 22 Mei 2017, pukul 08.00-14.00 di Kecamatan
Kedungkandang (home visit)
Tanggal 23 Mei 2017 s.d. 24 Mei 2017, pukul 15.30-17.00 di
Kecamatan Blimbing (home visit)
5
Tanggal 25 Mei 2017, pukul 08.00-12.00 di Panti Lansia Al-Ishlah
Kecamatan Blimbing
Tanggal 27 Mei 2017, pukul 08-00-12.00 di Panti Lansia Siloam
Kecamatan Sukun
Tanggal 31 Mei 2017, pukul 08.00-12.00 di Kecamatan Sukun
4.5 Bahan dan Alat/Instrumen Penelitian
Instrumen atau alat yang digunakan dalam penelitian ini untuk keperluan
data adalah:
Kuesioner, berisi pertanyaan mengenai data demografi seperti umur,
jenis, kelamin, tinggi badan, berat badan, pendidikan.
Formulir penilaian Indeks Kerapuhan 40 item, berisi 40 variabel defisit
kesehatan. Defisit kesehatan tersebut meliputi gejala klinis, tanda klinis,
penyakit, hendaya, dan kelainan pemeriksaan penunjang.
Timbangan untuk mengukur berat badan
Stadiometer microtoise untuk mengukur tinggi badan
4.6 Definisi Operasional
1. Sindrom Kerapuhan
Kerapuhan didefinisian sebagai kumpulan gejala (sindrom biologis) akibat
penurunan berbagai sistem fisiologis tubuh terkait usia. Kerapuhan berdampak
pada rendahnya kemampuan untuk menghadapi stres (Laksmi, 2015). Terdapat
pula definisi yang menekankan terhadap fenotip kerapuhan. Fenotip kerapuhan
memiliki lima ciri-ciri spesifik, yaitu kelambatan, penurunan berat badan,
kekuatan menurun, kelelahan, dan menurunannya aktivitas fisik (Holroyd-Leduc
6
dan Reddy, 2012). Kerapuhan dapat dievaluasi dengan indeks kerapuhan 40
item (Laksmi, 2015).
a. Frail. Subjek dikatakan frail bila skor ≥0,25
b. Pre-frail. Subjek dikatakan pre-frail bila skor indeks kerapuhan >0,08 - < 0,25
c. Robust. Subjek dikatakan robust bila skor indeks kerapuhan ≤ 0,08 (Laksmi,
2015).
Faktor risiko yang diteliti adalah:
Indeks Massa Tubuh : pengukuran antropometri pada dewasa yang
diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok. Indeks Massa Tubuh adalah berat
badan dalam kilogram dibagi tinggi badan kuadrat dalam meter. Kriteria Indeks
Massa Tubuh untuk orang Asia adalah sebagai berikut (Stegenga et al., 2014;
Nuttall, 2015; Llido dan Mirasol, 2011).
<18,5 kg/m2 : underweight
18,5-22,9 kg/m2 : normal
23-24,9 kg/m2 : overweight
25-29,9 kg/m2 : pre-obese
>30 : obesitas
4.7 Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang dipakai adalah data primer (observasi langsung
ke lapangan dengan melihat, memeriksa, dan mewawancara.
a. Wawancara
Subjek yang berusia 60 tahun atau lebih diwawancarai karakteristik
dasar. Subjek yang tidak memahami Bahasa Indonesia, pewawancara
membantu menerjemahkan ke dalam Bahasa Jawa.
b. Pengukuran
7
Pengukuran meliputi penimbangan berat badan dan tinggi badan.
4.8 Pengolahan Data
Data dari wawancara dan formulir dikumpulkan dan dilakukan pengolahan
berupa kategorisasi dan koding sesuai pembagian yang disepakati, berdasarkan
penelitian sebelumnya. Selanjutnya hubungan antara indeks massa tubuh dan
indeks kerapuhan dianalisis menggunakan uji regresi kuadratik.
4.9 Jadwal Kegiatan
Tabel 4.3 Jadwal Kegiatan
N
o Kegiatan
Bulan
1
Bulan
2
Bulan
3
Bulan
4
Bulan
5
Bulan
6
Bulan
7
Tahap persiapan dan pengumpulan
data
1 Mengurus Ethical Clearance
2 Uji validitas dan reliabilitas
kuesioner
3 Pengumpulan data
Tahap tabulasi dan analisis data
Analisis data dengan uji regresi
kuadratik
Tahap Penyelesaian
1 Analisa data
2 Penyusunan laporan akhir
18
25
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA
5.1 Identitas Subjek Penelitian
5.1.1 Identitas Subjek Berdasarkan Kecamatan
Tabel 5.1 Distribusi Subjek Berdasarkan Kecamatan
Kecamatan F %
Sukun 61 28.9%
Lowokwaru 47 22.3%
Klojen 23 10.9%
Blimbing 37 17.5%
Kedungkandang 43 20.4%
Jumlah 211 100.0% Sumber: Hasil Penelitian, 2018
Berdasarkan Tabel 5.1 dapat diketahui bahwa dari 211 subjek yang
terlibat dalam penelitian ini paling banyak berasal dari Kecamatan Sukun dengan
persentase sebesar 28.9%. 22.3% subjek berasal dari Kecamatan Lowokwaru
dan 20.4% subjek berasal dari Kecamatan Kedungkandang. Subjek yang berasal
dari Kecamatan Blimbing memiliki persentase sebesar 17.5%. Sementara
sisanya sebesar 10.9% berasal dari Kecamatan Klojen.
5.1.2 Identitas Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin
Tabel 5.2 Distribusi Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin F %
Laki-laki 55 26.1%
Perempuan 156 73.9%
Jumlah 211 100.0% Sumber: Hasil Penelitian, 2018
Berdasarkan Tabel 5.2 dapat diketahui bahwa dari 211 subjek yang
terlibat dalam penelitian ini paling banyak berjenis kelamin perempuan dengan
2
persentase sebesar 73.9%. Sementara sisanya sebesar 26.1% berjenis kelamin
laki-laki.
5.1.3 Identitas Subjek Berdasarkan Tingkat Kerapuhan
Tabel 5.3 Distribusi Subjek Berdasarkan Tingkat Kerapuhan
Kerapuhan Frekuensi Persentase
Robust 37 17.5%
Prefrail 143 67.8%
Frail 31 14.7%
Total 211 100.0%
Sumber: Hasil Penelitian, 2018
Berdasarkan Tabel 5.3 dapat diketahui bahwa dari 211 subjek yang
terlibat dalam penelitian ini paling banyak termasuk dalam kategori prefrail
dengan persentase sebesar 67.8%. Kemudian 17.5% subjek termasuk dalam
kategori robust, dan paling rendah sebesar 14.7% subjek termasuk dalam
kategori frail.
Tabel 5.4 Gambaran Tingkat Kerapuhan
Indeks Kerapuhan
Minimum 0.006
Maximum 0.506
Rata-Rata 0.159
Simpangan Baku 0.094
Sumber: Hasil Penelitian, 2018
Ditinjau dari ukuran statistik maka indeks kerapuhan paling rendah dari
211 orang subjek yaitu sebesar 0.006%, sedangkan indeks kerapuhan paling
tinggi yaitu sebesar 0.506%. Rata-rata indeks kerapuhan sebesar 0.159%
dengan simpangan baku sebesar 0.094%.
3
5.1.4 Identitas Responden Berdasarkan Indeks Masa Tubuh
Tabel 5.5 Distribusi Subjek Berdasarkan Indeks Massa Tubuh
IMT F %
Underweight 17 11.5%
Normal 70 47.3%
Overweight 39 26.4%
Pre-Obese 63 29,9%
Obesitas 22 14.9%
Total 148 100%
Sumber: Hasil Penelitian, 2018
Tabel 5.5 dapat diketahui bahwa dari 211 subjek yang terlibat dalam
penelitian ini paling banyak termasuk dalam kategori normal dengan persentase
sebesar 47.3%. Kemudian 26.4% subjek termasuk dalam kategori overweight.
Sebesar 14.9% subjek termasuk dalam kategori obesitas. Berikutnya sebesar
11.5% subjek termasuk dalam kategori underweight, dan 29.9% responden
termasuk dalam kategori pre-obese.
Tabel 5.6 Gambaran Indeks Massa Tubuh
Indeks Massa Tubuh
Minimum 12.960
Maximum 42.460
Rata-Rata 24.387
Simpangan Baku 4.667
Sumber: Hasil Penelitian 2018
Ditinjau dari ukuran statistik maka indeks massa tubuh paling rendah dari
211 orang subjek yaitu sebesar 12.960 kg/m2, sedangkan indeks massa tubuh
paling tinggi yaitu sebesar 42.460 kg/m2. Rata-rata indeks massa tubuh sebesar
24.387 kg/m2 dengan simpangan baku sebesar 4.667 kg/m2.
4
5.2 Gambaran Tingkat Kerapuhan Berdasarkan Kategori Indeks Massa
Tubuh
Gambar 5.1 Tingkat Kerapuhan Berdasarkan Kategori Indeks Massa Tubuh
Gambar 5.1 menunjukkan gambaran tingkat kerapuhan berdasarkan
kategori indeks massa tubuh. Persentase lansia yang frail pada kategori
underweight adalah 17,6%, pada kategori normal adalah 8.6%, pada kategori
overweight adalah 23.1%, sedangkan pada kategori pre-obese adalah 14,3%,
dan pada kategori obesitas adalah 18.2%. Berdasarkan data ini, didapatkan
persentase lansia yang frail lebih besar pada kelompok yang berisiko
(underweight, overweight, pre-obese, dan obesitas) dibandingkan yang normal.
5.3 Pengujian Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Sindrom Kerapuhan
Analisis yang digunakan untuk mengetahui hubungan antara indeks
massa tubuh dan sindrom kerapuhan dalam penelitian ini adalah regresi
kuadratik. Secara grafis, trendline data indeks massa tubuh dan indeks
kerapuhan dapat dilihat pada Gambar 5.2 sebagai berikut.
Underweight
NormalOverweigh
tPre-Obese Obesitas
Robust 17.6% 21.4% 12.8% 14.3% 22.7%
Prefrail 64.7% 70.0% 64.1% 71.4% 59.1%
Frail 17.6% 8.6% 23.1% 14.3% 18.2%
17.6% 21.4%
12.8% 14.3%
22.7%
64.7% 70.0%
64.1% 71.4%
59.1%
17.6%
8.6%
23.1% 14.3%
18.2%
0.0%10.0%20.0%30.0%40.0%50.0%60.0%70.0%80.0%
Per
sen
tase
5
Gambar 5.2 Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Sindrom Kerapuhan
Berdasarkan Gambar 5.2 dapat diketahui secara grafis, trendline data
indeks massa tubuh dan indeks kerapuhan berbentuk kurva “U”. Semakin rendah
indeks massa tubuh maka sindrom kerapuhan seseorang akan semakin tinggi,
dan semakin tinggi indeks massa tubuh maka sindrom kerapuhan seseorang
juga akan semakin tinggi. Trendline ini membentuk kurva U yang tidak terlalu
curam.
5.3.1 Koefisien Determinasi
Koefisien determinasi (R2) digunakan untuk mengetahui seberapa
representatif indeks massa tubuh menjelaskan sindrom kerapuhan. Hasil
koefisien determinasi dapat diketahui melalui Tabel 5.7.
Tabel 5.7 Koefisien Determinasi
y = 0.0002x2 - 0.0078x + 0.2443 R² = 0.0064
0.000
0.100
0.200
0.300
0.400
0.500
0.600
0.000 10.000 20.000 30.000 40.000 50.000
Ind
eks
Ker
apu
han
Indeks Massa Tubuh
6
Independen Dependen R Square
Konstanta
Sindrom Kerapuhan 0.006 IMT
IMT2
Sumber: Hasil Penelitian, 2018
Koefisien determinasi (R2) hubungan antara indeks massa tubuh terhadap
sindrom kerapuhan sebesar 0.006 (0.6%). Hal ini menunjukkan sindrom
kerapuhan dijelaskan oleh indeks massa tubuh dengan efek kuadratik sebesar
0.6%. Dengan kata lain, indeks massa tubuh dengan efek kuadratik mampu
merepresentasikan indeks massa tubuh sebesar 0.6%, sedangkan sisanya
sebesar 99.4% keragaman sindrom kerapuhan dijelaskan oleh faktor lain diluar
penelitian ini.
5.3.2 Koefisien Korelasi
Koefisien korelasi (R) digunakan untuk mengetahui tingkat keeratan
hubungan antara indeks massa tubuh terhadap sindrom kerapuhan. Hasil
koefisien korelasi dapat diketahui melalui Tabel 5.8. Hasil koefisien korelasi (R)
sebesar 0.080 menunjukkan ada hubungan kuadratik yang sangat lemah antara
indeks massa tubuh dan sindrom kerapuhan.
Tabel 5.8 Koefisien Korelasi
Independen Dependen R
Konstanta
Sindrom Kerapuhan 0.080 IMT
IMT2
Sumber: Hasil Penelitian, 2018
5.3.3 Pengujian Hipotesis
5.3.3.1 Uji Hipotesis Simultan
Pengujian hipotesis simultan digunakan untuk mengetahui ada tidaknya
pengaruh variabel indeks massa tubuh dan efek kuadratik indeks massa tubuh
terhadap sindrom kerapuhan. Kriteria pengujian menyatakan jika nilai probabilitas
7
< level of significance () maka terdapat pengaruh signifikan secara simultan
indeks massa tubuh dan efek kuadratik indeks massa tubuh terhadap sindrom
kerapuhan. Hasil pengujian hipotesis simultan dapat diketahui melalui tabel
berikut :
Tabel 5.9 Hasil Pengujian Hipotesis Simultan
Independen Dependen F Statistics Probabilitas
Konstanta
Sindrom Kerapuhan 0.667 0.514 IMT
IMT2
Sumber: Hasil Penelitian, 2018
Pengujian hipotesis secara simultan menghasilkan nilai Fhitung sebesar
0.667 dengan probabilitas sebesar 0.514. Hasil pengujian tersebut menunjukkan
probabilitas > level of significance (=5%). Hal ini berarti tidak terdapat pengaruh
signifikan secara simultan (bersama-sama) indeks massa tubuh dan efek
kuadratik indeks massa tubuh terhadap sindrom kerapuhan.
5.3.3.2 Uji Hipotesis Parsial
Pengujian hipotesis parsial digunakan untuk mengetahui ada tidaknya
pengaruh variabel indeks massa tubuh dan efek kuadratik indeks massa tubuh
terhadap sindrom kerapuhan. Kriteria pengujian menyatakan jika probabilitas <
level of significance () maka terdapat pengaruh signifikan secara individu
pengaruh indeks massa tubuh terhadap sindrom kerapuhan; dan efek kuadratik
indeks massa tubuh terhadap sindrom kerapuhan. Hasil pengujian hipotesis
parsial dapat diketahui melalui tabel berikut.
Tabel 5.10 Hasil Pengujian Hipotesis Parsial
8
Independen Dependen Koefisien Regresi T
Statistics Probabilitas
Konstanta Sindrom
Kerapuhan
0.244 1.960 0.051
IMT -0.008 -0.799 0.425
IMT2 0.0002 0.910 0.364
Sumber: Hasil Penelitian, 2018
Pengujian hipotesis parsial variabel indeks massa tubuh menghasilkan
nilai t hitung sebesar -0.799 dengan probabilitas sebesar 0.425. Hasil pengujian
tersebut menunjukkan probabilitas > level of significance (=5%). Hal ini berarti
tidak terdapat pengaruh yang signifikan variabel indeks massa tubuh terhadap
sindrom kerapuhan.
Pengujian hipotesis parsial variabel indeks massa tubuh dengan efek
kuadratik menghasilkan nilai t hitung sebesar 0.910 dengan probabilitas sebesar
0.364. Hasil pengujian tersebut menunjukkan probabilitas > level of significance
(=5%). Hal ini berarti tidak terdapat pengaruh yang signifikan variabel indeks
massa tubuh dengan efek kuadratik terhadap sindrom kerapuhan.
Pengujian hipotesis parsial konstanta menghasilkan nilai t hitung sebesar
1.960 dengan probabilitas sebesar 0.051. Hasil pengujian tersebut menunjukkan
probabilitas > level of significance (=5%). Hal ini berarti tidak terdapat pengaruh
yang signifikan konstanta terhadap sindrom kerapuhan.
Plot data indeks massa tubuh dan sindrom kerapuhan bisa di lihat pada
Gambar 5.1. Secara grafis, trendline data indeks massa tubuh dan sindrom
kerapuhan berbentuk kurva „U‟ . Artinya semakin rendah indeks massa tubuh
maka sindrom kerapuhan seseorang akan semakin tinggi, semakin tinggi indeks
massa tubuh maka sindrom kerapuhan seseorang juga akan semakin tinggi.
9
5.3.4 Model Empirik Regresi Kuadratik
Persamaan regresi kuadratik dari hasil estimasi analisis regresi kuadratik
adalah sebagai berikut :
FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2
Persamaan ini menunjukkan hal-hal sebagai berikut :
1. Konstanta sebesar 0.244 mengindikasikan bahwa apabila indeks massa
tubuh bernilai konstan (tidak berubah) maka besarnya sindrom kerapuhan
adalah 0.244%.
2. Koefisien regresi indeks massa tubuh sebesar -0.008 mengindikasikan
bahwa indeks massa tubuh berpengaruh negatif dan tidak signifikan
terhadap sindrom kerapuhan. Hal ini berarti terjadinya peningkatan indeks
massa tubuh sebesar 1 kg/m2, maka akan menurunkan sindrom kerapuhan
sebesar 0.008%. Dengan kata lain, semakin tinggi indeks massa tubuh maka
sindrom kerapuhan akan semakin rendah, dan sebaliknya semakin rendah
indeks massa tubuh maka sindrom kerapuhan akan semakin tinggi.
3. Koefisien regresi indeks massa tubuh dengan efek kuadratik sebesar 0.0002
mengindikasikan bahwa indeks massa tubuh dengan efek kuadratik
berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap sindrom kerapuhan. Hal
ini berarti terjadinya peningkatan indeks massa tubuh dengan efek kuadratik
sebesar 1 kg/m2, maka akan meningkatkan sindrom kerapuhan sebesar
0.0002%. Dengan kata lain, semakin tinggi indeks massa tubuh maka
sindrom kerapuhan akan semakin tinggi, dan sebaliknya semakin rendah
indeks massa tubuh maka sindrom kerapuhan akan semakin rendah.
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa terdapat
indeks massa tubuh tertentu yang akan menghasilkan sindrom kerapuhan paling
10
rendah (optimal) dan semakin rendah maupun semakin tinggi indeks massa
tubuh maka akan menghasilkan sindrom kerapuhan paling tinggi. Dengan
demikian, untuk memprediksi indeks massa tubuh yang menghasilkan sindrom
kerapuhan paling rendah (optimal) maka dapat diketahui melalui prediksi sebagai
berikut.
Tabel 5.11 Perhitungan Model Empirik Regresi Kuadratik
IMT Perhitungan Model Prediksi Sindrom Kerapuhan
1 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2 FI = 0.244 - 0.009 (1) + 0.0002 (1)2
0.236%
2 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2 FI = 0.244 - 0.009 (2) + 0.0002 (2)2
0.229%
3 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2
FI = 0.244 - 0.009 (3) + 0.0002 (3)2 0.222%
4 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2 FI = 0.244 - 0.009 (4) + 0.0002 (4)2
0.215%
5 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2
FI = 0.244 - 0.009 (5) + 0.0002 (5)2 0.209%
6 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2 FI = 0.244 - 0.009 (6) + 0.0002 (6)2
0.203%
7 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2 FI = 0.244 - 0.009 (7) + 0.0002 (7)2
0.198%
8 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2
FI = 0.244 - 0.009 (8) + 0.0002 (8)2 0.193%
9 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2 FI = 0.244 - 0.009 (9) + 0.0002 (9)2
0.188%
10 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2
FI = 0.244 - 0.009 (10) + 0.0002 (10)2 0.184%
11 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2 FI = 0.244 - 0.009 (11) + 0.0002 (11)2
0.180%
12 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2 FI = 0.244 - 0.009 (12) + 0.0002 (12)2
0.177%
13 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2
FI = 0.244 - 0.009 (13) + 0.0002 (13)2 0.174%
14 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2 FI = 0.244 - 0.009 (14) + 0.0002 (14)2
0.171%
15 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2
FI = 0.244 - 0.009 (15) + 0.0002 (15)2 0.169%
16 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2 FI = 0.244 - 0.009 (16) + 0.0002 (16)2
0.167%
17 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2 FI = 0.244 - 0.009 (17) + 0.0002 (17)2
0.166%
18 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2 FI = 0.244 - 0.009 (18) + 0.0002 (18)2
0.165%
19 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2 0.164%
11
FI = 0.244 - 0.009 (19) + 0.0002 (19)2
20 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2 FI = 0.244 - 0.009 (20) + 0.0002 (20)2
0.164%
21 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2 FI = 0.244 - 0.009 (21) + 0.0002 (21)2
0.164%
22 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2
FI = 0.244 - 0.009 (22) + 0.0002 (22)2 0.165%
23 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2 FI = 0.244 - 0.009 (23) + 0.0002 (23)2
0.166%
24 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2
FI = 0.244 - 0.009 (24) + 0.0002 (24)2 0.167%
25 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2 FI = 0.244 - 0.009 (25) + 0.0002 (25)2
0.169%
26 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2 FI = 0.244 - 0.009 (26) + 0.0002 (26)2
0.171%
27 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2
FI = 0.244 - 0.009 (27) + 0.0002 (27)2 0.174%
28 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2 FI = 0.244 - 0.009 (28) + 0.0002 (28)2
0.177%
29 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2
FI = 0.244 - 0.009 (29) + 0.0002 (29)2 0.180%
30 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2 FI = 0.244 - 0.009 (30) + 0.0002 (30)2
0.184%
31 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2 FI = 0.244 - 0.009 (31) + 0.0002 (31)2
0.188%
32 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2
FI = 0.244 - 0.009 (32) + 0.0002 (32)2 0.193%
33 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2 FI = 0.244 - 0.009 (33) + 0.0002 (33)2
0.198%
34 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2
FI = 0.244 - 0.009 (34) + 0.0002 (34)2 0.203%
35 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2 FI = 0.244 - 0.009 (35) + 0.0002 (35)2
0.209%
36 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2 FI = 0.244 - 0.009 (36) + 0.0002 (36)2
0.215%
37 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2
FI = 0.244 - 0.009 (37) + 0.0002 (37)2 0.222%
38 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2 FI = 0.244 - 0.009 (38) + 0.0002 (38)2
0.229%
39 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2
FI = 0.244 - 0.009 (39) + 0.0002 (39)2 0.236%
40 kg/m2 FI = 0.244 - 0.008 IMT + 0.0002 IMT2 FI = 0.244 - 0.009 (40) + 0.0002 (40)2
0.244%
Sumber: Hasil Penelitian, 2018
Berdasarkan perhitungan prediksi dalam tabel di atas diketahui bahwa
indeks massa tubuh sebesar 19 kg/m2, 20 kg/m2 dan 21 kg/m2 menghasilkan
indeks kerapuhan paling rendah sebesar 0.154%. Hal ini berarti indeks massa
12
tubuh yang paling optimal menghasilkan indeks kerapuhan paling rendah adalah
19 kg/m2 (normal), 20 kg/m2 (normal), dan 21 kg/m2 (normal).
25
37
BAB 6
PEMBAHASAN
6.1 Pembahasan hasil penelitian
Dalam penelitian ini diukur indeks massa tubuh lansia di kota Malang
seperti yang ditunjukkan pada Tabel 5.5. Selain itu sindrom kerapuhan diukur
dengan indeks kerapuhan 40 item dan hasilnya dijabarkan pada Tabel 5.3.
Selanjutnya data dianalisis menggunakan uji regresi kuadratik untuk melihat
hubungan antara indeks massa tubuh dengan sindrom kerapuhan.
Penelitian ini menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan
antara indeks massa tubuh dengan sindrom kerapuhanan. Hubungan yang tidak
signifikan tersebut kemungkinan disebabkan adanya intervensi variabel lain
terhadap sindrom kerapuhan yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Secara grafis
trendline data indeks massa tubuh dan sindrom kerapuhan berbentuk kurva U
(Gambar 2). Semakin rendah indeks massa tubuh maka sindrom kerapuhan
seseorang juga akan semakin tinggi, dan semakin tinggi indeks massa tubuh
maka sindrom kerapuhan seseorang juga akan semakin tinggi.
Blaum et al. (2005) mengemukakan, indeks massa tubuh yang tinggi dan
obesitas terkait dengan beberapa indikator sindrom kerapuhan. Sementara itu,
obesitas sangat terkait dengan sindrom kerapuhan klinis. Berbeda dengan
penelitian ini yang menggunakan indeks kerapuhan, Blaum et al. (2005)
menggunakan kriteria Cardiovascular Health Study (CHS) untuk mengukur
sindrom kerapuhan yaitu kehilangan berat badan, kelelahan, kelambanan,
aktivitas rendah, dan kelemahan. Lansia yang underweight tidak disertakan
2
karena dianggap sebagai faktor perancu berkaitan dengan kriteria CHS yang
digunakan (kehilangan berat badan).
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Villareal et al. (2004), obesitas juga
merupakan penyebab disfungsi fisik pada lansia, hampir semua subjek memiliki
ciri-ciri objektif dan subjektif dari sindrom kerapuhan. Kerapuhan pada obesitas
disebabkan oleh rendahnya massa otot relatif dan kualitas otot. Strandberg et al.
(2013) mengemukakan risiko kerapuhan terbesar dimiliki oleh mereka yang
mengalami kehilangan berat badan, sedangkan individu yang secara konsisten
overweight juga memiliki risiko kerapuhan yang lebih besar dibandingkan indeks
massa tubuh normal.
Gambaran kurva berbentuk U antara indeks massa tubuh dan sindrom
kerapuhan dapat dijelaskan sebagai berikut. Lansia yang underweight sangat
rentan dengan kapasitas cadangan yang minimal, peningkatan risiko malnutrisi
dan kematian. Lansia underweight juga mengalami peningkatan risiko penurunan
keseimbangan kecepatan berjalan, osteoporosis, dan peningkatan risiko jatuh,
dan fraktur (Bowen, 2012).
Obesitas dan overweight juga diketahui mempercepat mordibitas dan
disabilitas. Berdasarkan literatur, obesitas merupakan faktor risiko timbulnya
kerapuhan melalui berbagai penanda fisiologis yang terkait dengan kerapuhan,
terutama penanda inflamasi. Terdapat hubungan antara CRP yang tinggi,
karotenoid yang rendah, dengan indeks massa tubuh yang tinggi. Selain itu,
terdapat pula kemungkinan terjadinya obesitas sarkopenik pada lansia dengan
obesitas, terjadi ketidakseimbangan antara lemak dan otot. Sindrom ini terkait
dengan berkurangnya kekuatan dan meningkatnya disabilitas (Blaum, et al.,
2005; Roschelle, 2011).
3
Hasil yang tidak bermakna dapat disebabkan keterbatasan indeks massa
tubuh untuk mengukur massa lemak tubuh. Pengukuran dengan indeks massa
tubuh memiliki keterbatasan karena tidak dapat membedakan massa lemak
tubuh dan massa tubuh tanpa lemak. Seseorang dapat memiliki indeks massa
tubuh yang besar, tetapi memiliki massa lemak yang sedikit dan sebaliknya
(Nuttall, 2015).
Dari sudut pandang metabolik dan anatomi, istilah obesitas merujuk pada
akumulasi lemak (triasilgliserol). Dalam hal ini terdapat keterbatasan IMT untuk
mengukur massa lemak tubuh. Berbagai faktor dapat mempengaruhi, misalnya
jenis kelamin, usia, etnis, dan panjang kaki. Dalam studi populasi, perempuan
umumnya memiliki indeks massa tubuh yang lebih rendah dibandingkan laki-laki,
meskipun massa lemak relatif terhadap massa tubuh lebih besar (20% hingga
45%), sehingga perempuan bisa saja memiliki indeks massa tubuh yang rendah,
padahal memiliki massa lemak yang besar (Nuttall, 2015).
Selain itu, hasil yang tidak bermakna dapat disebabkan karena rasio
perempuan dan laki-laki yang tidak seimbang, jumlah subjek perempuan lebih
besar. Hal ini dapat berpengaruh terhadap pengukuran indeks massa tubuh
karena pada populasi perempuan cenderung memiliki indeks massa tubuh yang
lebih rendah dibandingkan laki-laki meskipun massa lemak relatif terhadap
massa tubuh lebih besar dibandingkan laki-laki (Nuttall, 2015).
6.2 Implikasi terhadap bidang kedokteran
Meskipun dalam penelitian ini tidak terdapat hubungan antara indeks
kerapuhan dan sindrom kerapuhan yang diukur dengan indeks kerapuhan,
literatur menyebutkan indeks massa tubuh merupakan faktor risiko dari sindrom
kerapuhan. Masyarakat diharapkan menjaga indeks massa tubuh dalam rentang
4
normal. Untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga
indeks massa tubuh, perlu dilakukan penyuluhan, penyebaran poster, dan
advokasi melalui Dinas Kesehatan.
6.3 Keterbatasan penelitian
Terdapat beberapa keterbatasan dalam penelitian ini. Jumlah sampel
yang didapatkan dalam penelitian ini adalah 211 orang, tidak mencapai target
perhitungan sampel sebelumnya, yaitu 279 orang karena beberapa kendala,
antara lain ketidaklengkapan data dan subjek yang menolak dilakukan
pengukuran berat badan dan tinggi badan. Selain itu, pada penelitan ini
didapatkan rasio laki-laki dan perempuan yang tidak seimbang, jumlah lansia
perempuan lebih besar.
5
1
BAB 7
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
1. Tidak terdapat hubungan antara indeks massa tubuh dengan sindrom
kerapuhan.
2. Secara grafis, plot data indeks massa tubuh dan indeks kerapuhan berbentuk
kurva U. Peningkatan indeks massa tubuh akan diikuti dengan peningkatan
indeks kerapuhan, penurunan indeks massa tubuh juga akan diikuti
peningkatan indeks kerapuhan.
7.2 Saran
Bagi masyarakat, menjaga indeks massa tubuh dalam rentang normal
diduga dapat memperkecil risiko timbulnya kerapuhan. Untuk meningkatkan
kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga indeks massa tubuh, perlu
dilakukan penyuluhan, penyebaran poster, dan advokasi melalui Dinas
Kesehatan.
2
1
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad S et al. Established BMI-associated genetic variants and their prospective associations with BMI and other cardiometabolic traits: The GLACIER Study. International Journal of Obesity accepted article preview 28 April 2016.
Alwi I, Salim S, Hidayat R, Kurniawan J, Thapary DL. 2015. Penatalaksanaan di
Bidang Ilmu Penyakit Dalam Panduan Praktis Klinis Perhimpunan Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta: Interna Publishing.
Badan Pusat Statistik Kota Malang, 2015. Proyeksi Penduduk Masing-Masing
Kecamatan Menurut Umur dan Jenis Kelamin, 2011-2020. https://malangkota.bps.go.id/
Bernstein M, Luggen A. 2010. Nutrition for Older Adults. Jones & Barlett
Learning. Blaum CS, Xue QL, Michelon, Semba R, Fried L. The Association Between
Obesity and the Frailty Syndrome in Older Women: The Women’s Health and Aging Studies. JAG, 2005, 53:927-934.
Bowen ME. The relationship between body weight, frailty, and the disablement
process. Journals of Gerontology Series B: Psychological Sciences and Social Sciences, 67 (5), 618–626.
Buckinx F, Rolland Y, Reginster J, Ricour C, Petermans J, Bruyere O. Burden of
Frailty in The Elderly Population: Perspectives for A Public Health Challenge. Arch Public Health, 2015, 73(1): 19.
Byard RW, Bellis M. Incidence of Low Body Mass Index in the Elderly in
Forensic Cases—A Possible Markerfor Frailty Syndrome?. J Forensic Sci, 2016, 61 (3): 676-678.
Gosney M, Harper A, Conroy S. 2012. Oxford Desk Reference Geriatric
Medicine. Oxford University Press, United Kingdom, p. 14-15. Holroyd-Leduc J, Reddy M. 2012. Evidence Based Geriatric Medicine, Blackwell
Publishing, United Kingdom. Hutagalung RB dan Aisha N. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku
Konsumen terhadap Keputusan Menggunakan Dua Ponsel (GSM dan CDMA) pada Mahasiswa Departemen Managemen Fakultas Ekonomi Usu. Jurnal Manajemen Bisnis. 2008; vol. 1, no. 3, pp. 97-102.
Kasper, Fauci, Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo. 2015. Harrison’s Principal of
Internal Medicine, 19th Ed., Mc.Graw-Hill Education, USA, p.77.
2
Kim CO, Lee KR. Preventive Effect of Protein-Energy Supplementation on The Functional Decline of Frail Older Adults with Low Socioeconomic Status: A Community-Based Randomized Controlled Study. J Gerontol A Biol Sci Med Sci, 2013, 68(3):309-16.
Kim H. 2012. Behavioral Treatment for Geriatric Syndrome in Atwood CS,
Geriatrics. In Tech, Croatia, p. 85-101. Laksmi PW. 2015. Evaluasi Sindrom Frailty pada Pasien Usia Lanjut dalam
Soeroto AY, Supriyadi R, Wijaya IP, Hamijoyo L (Eds), Prosiding Naskah Lengkap Simposium Kopapdi, Bandung, hal.313-323.
Little M, Humphries S, Patel K, Dewey C. Factors associated with
BMI, underweight, overweight, and obesity among adults in a population of rural south India: a crosssectional study. BMC Obesity, 2016, 3:12
Llido LO, Mirasol R. Comparison of Body Mass Index based nutritional status
using WHO criteria versus ―Asian‖ criteria: report from the Philippines. PhilSPEN Online Journal of Parenteral and Enteral Nutrition, 2011; Issue January 2010 - January 2012: 1-8.
Mezuk B, Lohman MC, Rock AK, Payne ME. Trajectories of Body Mass Indices
and Development of Frailty: Evidence from the Health and Retirement Study Obesity, 2016, 24, 1643–47.
Michelon et al. Vitamin and Carotenoid Status in Older Women: Associations
With the Frailty Syndrome. The Journals of Gerontology: Series A, 2006;
(61)6: 600-607.
Nuttall FQ. Body Mass Index. Nutrition Today, 2015, 50(3): 117-28.
Preedy VR. 2014. Aging: Oxidative Stress and Dietary Antioxidants. Academic
Press.
Puzianowska-Kuźnicka et al. Interleukin-6 and C-reactive protein, successful
aging, and mortality: the PolSenior study. Immunity & Ageing, 2016, 13:21. Roschelle, Heuberger. The Frailty Syndrome: A Comprehensive Review, Journal
of Nutrition in Gerontology and Geriatrics. 2011, 30:4, 315-316. Setiati S dan Rizka A. 2014. Kerapuhan dan Sindrom Gagal Pulih dalam Setiati
S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF (Eds) ,Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta, Interna Publishing, hal. 3725-3742.
Sheehan KJ, O’Connell MD, Cunningham C, Crosby L, Kenny RA. The
Relationship Between Increased Body Mass Index And Frailty on Falls in Community Dwelling Older Adults. BMC Geriatrics, 2013, 13:132.
3
Strandberg TE, Pitkala KH, Tilvis RS. Frailty in Older People. European Geriatric Medicine, 2011; 2:344-55.
Suresh KP, Chandrashekara. Sample size estimation and power analysis for
clinical research studies. J Hum Reprod Sci, 2015, 8(3):186.
Uzogara. Underweight, the Less Discussed Type of Unhealthy Weight and Its
Implications: A Review. American Journal of Food Science and Nutrition
Research, 2016; 3(5): 126-142.
Vellisarias et al. C-Reactive Protein and Frailty in the Elderly: A Literature
Review. J Clin Med Res, 2017 Jun; 9(6): 461–465.
Villareal D, Banks M, Siener C, Sinacore DR, Klein S. Physical Frailty and Body
Composition in Obese Elderly Men and Women. Obesity Research, 2004, 12(6): 913-920.
Vries NM, Staal JB, Ravensberg CD, Hobbelen JSM, Rikkert MGMO, Sanden
MWGN. Outcome Instruments to Measure Frailty : A Systemic Review. Ageing Research Reviews 10, 2011; 104–114.