Post on 27-Jan-2016
description
HIPERSENSITIVITASHIPERSENSITIVITASOleh :Oleh :
Dian Wijayanti 131620150002Dian Wijayanti 131620150002
Pengampu :Pengampu :Dr. Sunarjati Sudigdo Adi,dr., MS., SpMK (K)Dr. Sunarjati Sudigdo Adi,dr., MS., SpMK (K)
ANTI AGING AND AESTHETIC MEDICINEFAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PADJAJARAN2015
HIPERSENSITIVITAS Hipersensitivitas yaitu reaksi imun yang
patologik, terjadi akibat respons imun yang berlebihan sehingga menimbulkan kerusakan jaringan tubuh.
Reaksi hipersensitivitas dapat juga ditimbulkan sebagai reaksi yang tidak terkontrol terhadap antigen asing seperti mikroba dan antigen lingkungan noninfeksi.
Dua faktor utama yang menentukan manifestasi klinis dan patologik penyakit adalah jenis respons imun yang menimbulkan kerusakan jaringan dan sasaran respons tersebut
Respon Imun yang menimbulkan Penyakit Hipersensitivitas
Respon Imun
Faktor yang Menguntungkan
Proteksi Terhadap infeksi
Pengendalian pertumbuhanPre-Kangker
Alergi
Penyakit Autoimun
Penolakan Graft
Eritroblastosis Fetalis
Faktor yang Tidak Diinginkan
Reaksi ini dapat terjadi bila :
- Jumlah Ag yang masuk relatif banyak
- Rx tidak pernah timbul pada pemaparan pertama
Reaksi hipersensitivitas dapat dibagi menurut waktu dan mekanisme kerjanya.
PEMBAGIAN HIPERSENSITIVITAS MENURUT WAKTU
I. REAKSI CEPAT• Dalam hitungan detik menghilang dalam waktu 2
jam.• Antigen yang diikat IgE pada permukaan sel mast
menginduksi pelepasan mediator vasoaktif• Manifestasi reaksi cepat berupa anafilaktik sistemik
atau anafilaktik lokal seperti pilek-bersin, asma, urtikaria dan eksim.
2. REAKSI INTERMEDIET •Terjadi setelah beberapa jam dan menghilang dalam 24 jam•Reaksi ini melibatkan pembentukan kompleks imun IgG dan kerusakan jaringan melalui aktivasi komplemen atau sel NK atau antibody-dependent cellular cytotoxicity, (ADCC).
Manifestasinya dapat berupa: Reaksi transfusi darah, eritroblastosis fetalis
dan anemia hemolitik autoimun.
Reaksi Alergi lokal dan reaksi sistemik seperti serum sickness, vaskulitis nekrosis, glomerulonefritis, arthritis rheumatoid dan LES.
Reaksi intermediat diawali oleh IgG yang disertai kerusakan jaringan pejamu oleh sel neutrofil atau sel NK.
Dari segi mekanisme, Tipe II terjadi bila antibodi diikat antigen yang merupakan bagian dari sel jaringan.
Tipe III terjadi bila IgG terhadap self-antigen larut membentuk kompleks imun yang mengendap di jaringan. Dalam kedua kejadian tersebut, respon inflamasi setempat diaktifkan dan merusak jaringan.
3. REAKSI LAMBAT
Reaksi lambat terlihat setelah 48 jam setelah pajanan dengan antigen.
Reaksi ini terjadi akibat aktivasi sel Th.
Pada DTH yang berperan adalah sitokin yang dilepas sel T yang mengaktifkan makrofag dan menimbulkan kerusakan jaringan.
Contoh reaksi lambat adalah dermatitis kontak, reaksi Mycobacterium tuberculosis dan reaksi penolakan transplantasi organ.
PEMBAGIAN REAKSI HIPERSENSITIVITAS MENURUT
MEKANISME
Reaksi hipersensitivitas oleh Robert Coombs dan Philip Gell (1963) dibagi dalam 4 tipe reaksi berdasarkan kecepatan dan mekanisme imun yang terjadi yaitu:
Tipe I : Hipersensitivitas cepat (Anafilaktik)
Tipe II : Hipersensitivitas sitotoksik
Tipe III : Hipersensitivias kompleks imun
Tipe IV : Hipersensitivitas lambat (berperantara sel)
Catatan : Tipe I, II, III berperantara antibodi
Manifestasi dan mekanisme reaksi Hipersensitivitas
Tipe Manifestasi Mekanisme
I Reaksi hipersensitivitas cepat Biasanya IgE
II Antibodi terhadap sel IgG atau IgM
III Kompleks antigen-antibodi IgG (terbanyak) / IgM
IV Reaksi hipersensitivitas lambat Sel T yang disensitasi
Hipersensitivitas Tipe I Karakteristik hipersensitivitas Tipe I ini
adalah reaksi alergi yang langsung terjadi setelah kontak dengan antigen yang disebut allergen.
Pada reaksi Tipe I, allergen yang masuk ke dalam tubuh menimbulkan respon imun berupa produksi IgE dan penyakit alergi seperti rhinitis alergi, asma dan dermatitis atopi.
Urutan kejadian rekasi Tipe I adalah sebagai berikut:
1) Fase sensitasi
Yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya oleh reseptor spesifik (Fcε-R) pada permukaan sel mast dan basofil.
2) Fase aktivasi
Yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang spesifik dan sel mast melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi.
3) Fase efektor
Yaitu waktu terjadi respon yang kompleks (anafilaktik) sebagai efek mediator-mediator yang dilepas sel mast dengan aktivitas farmakologik.
Ikatan IgE pada permukaan sel mast dengan antigen mengawali jalur sinyal multiple yang merangsang pelepasan granul-granul sel mast (mengandung amin-protease), histamin, sintesis metabolit asam arakidonat (prostaglandin, leukotrin) dan sintesis berbagai sitokin reaksi hipersensitivitas tipe cepat .
Berbagai sitokin dilepas sel mast seperti IL-3, IL-5, IL-6, IL-10, IL-13, GM-CSF dan TNF-α.
IL-4 dan IL-13 meningkatkan produksi IgE oleh sel B.
IL-5 berperan dalam pengerahan dan aktivasi eosinofil.
Kadar TNF-α yang tinggi dan dilepas sel mast berperan dalam renjatan anafilaksis
Manifestasi Reaksi Tipe I
Reaksi lokal Reaksi hipersensitivitas Tipe I lokal
terbatas pada jaringan atau organ spesifik yang biasanya melibatkan permukaan epitel tempat alergen masuk.
Reaksi alergi yang mengenai kulit, mata, hidung dan saluran nafas.
Reaksi Sistemik – anafilaksis Anafilaksis adalah reaksi tipe I yang dapat
fatal dan terjadi dalam beberapa menit saja.
Ditimbulkan IgE yang dapat mengancam nyawa.
Sel mast dan basofil merupakan sel efektor yang melepas berbagai mediator.
Reaksi dapat dipacu berbagai alergen seperti makanan, obat atau sengatan serangga dan juga lateks, latihan jasmani, dan bahan diagnostik lainnya.
Manifestasi Klinis Urtikaria
Pruritus
eczema,
rhinitis,
Conjunctivitis
asthma
Gangguan GItract (mual, muntah, diare)
anafilaksis sistemik Bronkospasme
Edema laring
Syok (hipotensi)
Type 1 Hypersensitivity
The immediate phase of type 1 hypersensitivity(Acute Response)
The late phase of type 1 hypersensitivity.(Late-phase Response)
Immediate hypersensitvity or Atopic, Anaphylactic or Reagenic Allergy.
Happens within seconds-minutes,there is exposure to active antigen, involves mast cell activation and degranulation, results in local inflammation caused by histamine release from mast cells
Happens within 2 hrs-days, no exposure to active antigen, eosinophils are recruited, results in edema and tissue damage caused by perpetual degranulation
Second-minutes 2-24 hours
requires IgE which sensitizes mast cells and basophils.
Associates with B-cell antibody production of IgE and the release of various chemical mediators
Associated with mast cell cytokines and white blood cells; in particular eosinophils and TH2 Lymphocytes
Type I Hypersensitivity
Sumber :http://vet.uga.edu/ivcvm/courses/VPAT5200/03_inflammation/07_imi/images/type1.jpg
2. Hypersensitivitas Tipe II (Reaksi Sitotoksik)→ Adanya antibodi dalam keadaan bebas dalam sirkulasi
yang akan bereaksi dengan antigen.→ terjadi karena dibentuknya antibodi jenis IgG atau IgM
terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu.→ Reaksi ini dimulai dengan antibodi yang bereaksi baik
dengan komponen antigenik sel, elemen jaringan atau antigen maupun hapten yang sudah ada atau tergabung dengan elemen jaringan tersebut
→ Dilakukan oleh IgM atau IgG yang melekat pada sel sendiri dan mengaktifkan lajur komplemen.
→ Akibatnya terjadi kerusakan sel target.
Contoh :
Ketidakcocokan golongan darah antara donor dan
resipien waktu transfusi darah anemia hemolitik
Eritroblastosis fetalis
Adanya autoantibodi terhadap antigen nucleoprotein .
Reaksi Hipersensitif Tipe III: Reaksi Kompleks
Imun Reaksi yang terjadi bila kompleks
antigen-antibodi ditemukan dalam jaringan atau sirkulasi/ dinding pembuluh darah dan mengaktifkan komplemen.
Antibodi yang bisa digunakan sejenis IgM atau IgG sedangkan komplemen yang diaktifkan kemudian melepas faktor kemotatik makrofag pemasukan leukosit-leukosit PMN memfagositosis kompleks-kompleks imun.
Reaksi ini juga mengakibatkan pelepasan zat-zat ekstraselular yang berasal dari granula-granula polimorf, yakni berupa enzim proteolitik, dan enzim-enzim pembentukan kinin.
Antigen pada reaksi tipe III ini dapat berasal dari infeksi kuman patogen yang persisten (malaria), bahan yang terhirup (spora jamur yang menimbulkan alveolitis alergik ekstrinsik) atau dari jaringan sendiri (penyakit autoimun.
Kompleks imun lebih mudah untuk diendapkan di tempat-tempat dengan tekanan darah yang meninggi dan disertai putaran arus, misalnya dalam kapiler glomerulus, bifurkasi pembuluh darah, pleksus koroid dan korpus silier mata.
.
Pada reaksi hipersensitivitas Tipe III terdapat dua bentuk reaksi, yaitu :
1. Reaksi Arthus (bentuk lokal)
Maurice Arthus menemukan bahwa penyuntikan larutan antigen secara intradermal pada kelinci yang telah dibuat hiperimun dengan antibodi konsentrasi tinggi akan menghasilkan reaksi eritema dan edema, yang mencapai puncak setelah 3-8 jam dan kemudian menghilang. Lesi bercirikan adanya peningkatan infiltrasi leukosit-leukosit PMN.
Reaksi Arthus
2. Reaksi serum sickness (bentuk sistemik)
Istilah ini berasal dari Pirquet dan Schick yang menemukannya sebagai konsekuensi imunisasi pasif pada pengobatan infeksi seperti difteri dan tetanus dengan antiserum asal kuda
Penyuntikan serum asing dalam jumlah besar digunakan untuk bermacam-macam tujuan pengobatan.
Hal ini biasanya akan menimbulkan keadaan yang dikenal sebagai penyakit serum kira-kira 8 hari setelah penyuntikan.
Pada keadaan ini dapat dijumpai kenaikan suhu, pembengkakan kelenjar-kelenjar limpa, ruam, urtikaria yang tersebar luas, sendi-sendi yang bengkak dan sakit yang dihubungkan dengan konsentrasi komplemen serum rendah, dan mungkin juga ditemui albuminaria sementara.
Pada berbagai infeksi, atas dasar yang belum jelas, dibentuk Imunoglobulin yang kemudian memberikan reaksi silang dengan beberapa bahan jaringan normal
Penyakit Kompleks Imun
Hipersensitivitas Tipe IV
Tipe lambat (24-48 jam )
Tipe selluler.
Reaksi tipe IV disebut juga reaksi hipersensitivitas lambat, cell mediatif immunity (CMI), Delayed Type Hypersensitivity (DTH) atau reaksi tuberkulin yang timbul lebih dari 24 jam setelah tubuh terpajan dengan antigen.
Reaksi terjadi karena sel T yang sudah disensitasi tersebut, sel T dengan reseptor spesifik pada permukaannya akan dirangsang oleh antigen yang sesuai dan mengeluarkan zat disebut limfokin.
Limfosit yang terangsang mengalami transformasi menjadi besar seperti limfoblas yang mampu merusak sel target yang mempunyai reseptor di permukaannya sehingga dapat terjadi kerusakan jaringan.
Reaksi ini dimulai dengan sel T spesifik yang tersensitisasi dan meliputi : 1) Hipersensitivitas tipe lambat (delayed
type hypersensitivity/DTH)
2) Sitoksisitas yang diperantarai sel T
1) Hipersensitivitas tipe lambat (delayed type
hypersensitivity/DTH)
Merupakan bentuk pokok dari respons terhadap Mycobacterium tuberculosis, fungí, protozoa, dan parasit serta sensitivitas kulit melalui kontak.
DTH juga berperan pada penolakan jaringan.
Dengan diperantarai oleh CD4+, sel T-helper 1 (Th1) mengeluarkan sitotoksik spesifik setelah bertemu dengan antigen yang berkaitan dengan major histocompatibility complex (MHC) kelas 1.
Sitokin seperti IFN-γ, IL-2, TNF-α memperantarai terjadinya jejas terutama dengan rekrutmen dan mengaktifkan monosit dan makrofag yang tidak spesifik terhadap antigen tertentu.
Terjadilah jejas khas yang cukup berarti.
Pada antigen persisten dan tidak didegradasi, infiltrasi sel T dan makrofag yang bersifat dini dan non-spesifik digantikan oleh sekumpulan makrofag yang berubah menjadi sel epiteloid dan membentuk granuloma fokal.
2. Sitoksisitas yang diperantarai sel T
Terbentuknya CD8+ sel T sitotoksik (cytotoxic T lymphocytes/CTL) merupakan pola pokok reaksi terhadap infeksi virus dan sel tumor.
CTL berperan juga pada penolakan transplantasi.
CTL mengenal antigen terproses dalam kaitan dengan MHC kelas I.
Penyakit yang ditimbulkan hipersensitivitas selular cenderung terbatas kepada beberapa organ saja dan biasanya tidak sistemik.
Pada penyakit virus hepatitis, virus sendiri tidak sitopatik oleh respon CTL terhadap hepatosit yang terinfeksi.
Sel CD8+ yang spesifik untuk antigen atau sel autologus dapat membunuh sel dengan langsung.
Pada banyak penyakit autoimun yang terjadi melalui mekanisme selular, biasanya ditemukan baik sel CD4+ maupun CD8+ spesifik untuk self-antigen dan kedua jenis sel tersebut dapat menimbulkan kerusakan.
Reaksi hipersensitif tipe IV merupakan T cell-mediated, dan dapat dibagi lagi menjadi 3 grup, yaitu:
• kerusakan jaringan, yang disebabkan oleh aktivasi makrofag olah sel Th1, yang menyebabkan respons inflamasi;
• kerusakan disebabkan oleh aktivasi sel Th2 renspons inflamasi dimana eosinofil merupakan predominan;
• kerusakan disebabkan langsung oleh sel T (CTL).
Hipersensitivitas Tipe IV
Contoh:
Rx Tuberkulin
Rx Granuloma
Penyakit yang Diinduksi Sel T