Post on 15-Dec-2015
description
LATAR BELAKANG GIZI USIA LANJUT
1. EPIDEMIOLOGI1
Usia harapan hidup orang Indonesia semakin meningkat seiring
dengan meningkatnya taraf hidup dan pelayanan kesehatan. Kendali
tersebut membawa dampak terhadap peningkatan jumlah populasi lanjut
usia (Lansia) di Indonesia menurut World Health Organization (WHO)
tahun 1998, angka harapan hidup orang Indonesia mengalami peningkatan
dari 65 tahun pada tahun 1997 menjadi 73 tahun pada tahun 2005 . Lanjut
usia adalah kelompok penduduk yang berusia 60 tahun keatas, periode
dimana manusia telah mencapai kemasakan dalam ukuran dan fungsi.
Selain itu lansia juga masa dimana seseorang akan mengalami
kemunduran dengan sejalannya waktu. Kelompok ini memerlukan
perhatian khusus, mengingat bahwa jumlahnya yang semakin
meningkat .Manusia dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya
berlangsung sepanjang masa hidup sejak bayi hingga dewasa sampai masa
tua. Dalam struktur anatomi proses menjadi tua terlihat sebagai
kemunduran dalam sel. Proses ini berlangsung secara alami, terus menerus
dan berkesinambungan, yang selanjutnya akan menyebabkan perubahan
anatomi, fisiologi dan biokimia pada jaringan tubuh secara keseluruhan.
Umur manusia sebagai makhluk hidup terbatas maksimal 120 tahun,
namun pada kenyataannya banyak faktor yang menyebabkan manusia
tidak dapat mencapai usia tersebut (Depkes. RI, 2003). 1
Proses menua merupakan suatu proses normal yang ditandai dengan
perubahan secara progresif dalam proses biokimia, sehingga terjadi
kelainan atau perubahan struktur dan fungsi jaringan sel dan non sel.
Berbagai perubahan fisik dan psikologi akan terjadi sebagai akibat proses
menua. Dibawah ini adalah batas-batasan usia lanjut yang terbagi dalam 3
kelompok : 1
1. Kelompok Pra Usia Lanjut 45-59 tahun
2. Kelompok Usia Lanjut 60-69 tahun
3. Kelompok Usia Lanjut dengan risiko tinggi yaitu lebih dari 70 tahun
atau usia lanjut yang berumur 60 tahun atau lebih dengan masalah
kesehatan
1.1 Ciri – ciri lansia
Menurut Hurlock (Hurlock, 1980, h.380) terdapat beberapa ciri-ciri orang
lanjut usia, yaitu :1
1. Usia lanjut merupakan periode kemunduran
Kemunduran pada lansia sebagian datang dari faktor fisik dan faktor
psikologis. Kemunduran dapat berdampak pada psikologis lansia.
Motivasi memiliki peran yang penting dalam kemunduran pada lansia.
Kemunduran pada lansia semakin cepat apabila memiliki motivasi yang
rendah, sebaliknya jikamemiliki motivasi yang kuat maka kemunduran itu
akan lama terjadi.
2. Orang lanjut usia memiliki status kelompok minoritas
Lansia memiliki status kelompok minoritas karena sebagai akibat dari
sikap sosial yang tidak menyenangkan terhadap orang lanjut usia dan
diperkuat oleh pendapat-pendapat klise yang jelek terhadap lansia.
Pendapat-pendapat klise itu seperti: lansia lebih senang mempertahankan
pendapatnya daripada mendengarkan pendapat orang lain.
3. Menua membutuhkan perubahan peran
Perubahan peran tersebut dilakukan karena lansia mulai mengalami
kemunduran dalam segala hal. Perubahan peran pada lansia sebaiknya
dilakukan atas dasar keinginan sendiri bukan atas dasar tekanan dari
lingkungan.
4. Penyesuaian yang buruk pada lansia
Perlakuan yang buruk terhadap orang lanjut usia membuat lansia
cenderung mengembangkan konsep diri yang buruk. Lansia lebih
memperlihatkan bentuk perilaku yang buruk. Karena perlakuan yang
buruk itu membuat penyesuaian diri lansia menjadi buruk.
1.2 Perkembangan lansia 1
Usia lanjut merupakan usia yang mendekati akhir siklus kehidupan
manusia di dunia. Usia tahap ini dimulai dari 60 tahunan sampai akhir
kehidupan. Usia lanjut merupakan istilah tahap akhir dari proses penuaan.
Semua orang akan mengalami proses menjadi tua, dan masa tua
merupakan masa hidup manusia yang terakhir, dimana pada masa ini
seseorang mengalami kemunduran fisik, mental dan sosial sedikit demi
sedikit sehingga tidak dapat melakukan tugasnya sehari-hari lagi. Tahap
usia lanjut adalah tahap di mana terjadi penuaan dan penurunan, yang
penururnanya lebih jelas dan lebih dapat diperhatikan dari pada tahap usia
baya. Penuaan merupakan perubahan kumulatif pada makhluk hidup,
termasuk tubuh, jaringan dan sel, yang mengalami penurunan kapasitas
fungsional. Pada manusia , penuaan dihubungkan dengan perubahan
degenerative pada kulit, tulang jantung, pembuluh darah, paru-paru, saraf
dan jaringan tubuh lainya. Dengan kemampuan regeneratife yang terbatas,
mereka lebih rentan terhadap berbagai penyakit, sindroma dan kesakitan
dibandingkan dengan orang dewasa lain. Untuk menjelaskan penurunan
pada tahap ini, teradapat berbagai perbedaan teori, namun para pada
umumnya sepakat bahwa proses ini lebih banyak ditemukan oleh faktor
gen. Penelitian telah menemukan bahwa tingkat sel, umur sel manusia
ditentukan oleh DNA yang disebut telomere, yang beralokasi pada ujung
kromosom. Ketentuan dan kematian sel terpicu ketika telomere berkurang
ukuranya pada ujung kritis tertentu.
1.3 Perubahan yang terjadi pada lansia 2
Pada lansia terjadi banyak perubahan dalam dirinya, hal ini bisa disebut
perkembangan atau perubahan yang terjadi pada lansia, diantaranya yaitu :
1. 3.1 Perkembangan jasmani
Penuaan terbagi atas penuaan primer ( primary aging) dan penuaan
sekunder (secondary aging). Pada penuaan primer tubuh mulai melemah
dan mengalami penurunan alamiah. Sedangkan pada proses penuaan
sekunder, terjadi proses penuaan karena faktor-faktor eksteren, seperti
lingkungan ataupun perilaku. Berbagai paparan lingkungan dapat dapat
mempengaruhi proses penuaan, misalnya cahaya ultraviolet serta gas
karbindioksida yang dapat menimbulkan katarak, ataupun suara yang
sangat keras seperti pada stasiun kereta api sehingga dapat menimbulkan
berkurangnya kepekaan pendengaran. Selain hal yang telah disebutkan di
atas perilaku yang kurang sehat juga dapat mempengaruhi cepatnya proses
penuaan, seperti merokok yang dapat mengurangi fungsi organ
pernapasan.Penuaan membuat sesorang mengalami perubahan postur
tubuh. Kepadatan tulang dapat berkurang, tulang belakang dapat memadat
sehingga membuat tulang punggung menjadi telihat pendek atau
melengkung. Perubahan ini dapat mengakibatkan kerapuhan tulang
sehingga terjadi osteoporosis, dan masalah ini merupakan hal yang sering
dihadapi oleh para lansia.Penuaan yang terlihat pada kulit di seluruh tubuh
lansia, kulit menjadi semakin menebal dan kendur atau semakin banyak
keriput yang terjadi. Rambut yang menjadi putih juga merupakan salah
satu ciri-ciri yang menandai proses penuaan. Kulit yang menua menjadi
menebal, lebih terlihat pucat dan kurang bersinar. Perubahan-perubahan
yang terjadi dalam lapisan konektif ini dapat mengurangi kekuatan dan
elasitas kulit, sehingga para lansia ini menjadi lebih rentan untuk
terjadinya pendarahan di bawah kulit yang mengakibatkan kulit mejadi
tampak biru dan memar. Pada penuaan kelenjar ini mengakibatkan
kelenjar kulit mengasilkan minyak yang lebih sedikit sehingga
menyebabkan kulit kehilangan kelembabanya dan mejadikan kulit kering
dan gatal-gatal. Dengan berkurangnya lapisan lemak ini resiko yang
dihadapi oleh lansia menjadi lebih rentan untuk mengalami cedera kulit.
Penuaan juga mengubah sistim saraf. Masa sel saraf berkurang
yang menyebabkan atropy pada otak spinal cord. Jumlah sel berkurang,
dan masing-masing sel memiliki lebih sedikit cabang. Perubahan ini dapat
memperlambat kecepatan transmisi pesan menuju otak. Setelah saraf
membawa pesan, dibutuhkan waktu singkat untuk beristirahat sehingga
tiidak dimungkinkan lagi mentrasmisikan pesan yang lain. Selain itu juga
terdapat penumpukan produksi buangan dari sel saraf yang mengalami
atropy pada lapisan otak yang menyebabkan lapisan plak atau noda .Orang
lanjut usia juga memiliki berbagai resio pada sitem saraf, misalnya
berbagai jenis infeksi yang diderita oleh seorang lansia juga dapat
mempengaruhi proses berfikir ataupun perilaku. Penyebab lain yang
menyebabkan kesulitan sesaat dalam proses berfikir dan perilaku adalah
gangguan regulasi glukosa dan metabolisme lansia yang mengidap
diabetes. Fluktuasi tingkat glukosa dapat menebabkan gangguan berfikir.
Perubahan signifikan dalam ingatan, berfikir atau perilakuan dapat
mempengaruhi gaya hidup seorang lansia. Ketika terjadi degenerasi saraf,
alat-alat indra dapat terpengaruh. Refleks dapat berkurang atau hilang.
Alat -alat indra menjadi kuranng tajam, dan orang dapat
mengalami kesulitan dalam membedakan sesuatu yang lebih detail,
misalnya ketika seorang lansia di suruh untuk membaca koran maka orang
ini akan mengalami kesulitan untuk membacanya, sehingga dibutuhkan
alat bantu untuk membaca berupa kacamata. Perubahan alat sensorik
memiliki dampak yang besar pada gaya hidup sesorang. Seseorang dapat
mengalami masalah dengan komunikasi, aktifitas, atau bahkan interaksi
sosial.Pendengaran dan pengelihatan merupakan indra yang paling banyak
mengalami perubahan, sejalan dengan proses penuaan indra pendengaran
mulai memburuk. Gendang telinga menebal sehingga tulang dalam telinga
dan stuktur yang lainya menjadi terpengaruh. Ketajaman pendengaran
dapat berkurang karena terjadi perubhan saraf audiotorik. Kerusakan
indara pendengaran ini juga dapat terjadi karena perubahan pada lilin
telinga yang biasa terjadi seiring bertambahnya usia.Struktur mata juga
berubah karena penuaan. Mata memproduksi lebih sedikit air mata,
sehingga dapat me,buat mata menjadi kering. Kornea menjadi kurang
sensitive. Pada usia 60 tahun, pupil mata berkurang sepertiga dari ukuran
ketika berusia 20 tahun. Pupil dapat bereaksi lebih lambat terhadap
perubahan cahaya gelap ataupun terang. Lensa mata menjadi kuning,
kurang fleksibel, dan apabila memandang menjadi kabur dan kurang jelas.
Bantalan lemak pendukung berkurang, dan mata tenggelam ke kantung
belakang. Otot mata menjadikan mata kurang dapat berputar secara
sempurna, cairan di dalam mata juga dapat berubah. Masalah yang paling
yang paling umum dialami oleh lansia adalah kesulitan untuk mengatur
titik focus mata pada jarak tertentu sehingga pandangan menjdi kurang
jelas.Perubahan fisik pada lansia lebih banyak ditekankan pada alat indera
dan sistem saraf mereka.
Sistem pendengaran, penglihatan sangat nyata sekali perubahan
penurunan keberfungsian alat indera tersebut. Sedangkan pada sistem
sarafnya adalah mulai menurunnya pemberian respon dari stimulus yang
diberikan oleh lingkungan. Pada lansia juga mengalami perubahan
keberfungsian organ-organ dan alat reproduksi baik pria ataupun wanita.
Dari perubahan-perubahan fisik yang nyata dapat dilihat membuat lansia
merasa minder atau kurang percaya diri jika harus berinteraksi dengan
lingkungannya (J.W.Santrock, 2002 :198). Dari penjelasan di atas dapat di
tarik kesimpulan berkenaan dengan cirri-ciri fisik lansia yaitu sebagi
berikut (1) postur tubuh lansia mulai berubah bengkok (bungkuk),(2)
kondisi kulit mulai kering dan keriput,(3) daya ingat mulai menurun,(4)
kondisi mata yang mulai rabun,(5) pendengaran yang berkurang.
1.3.2. Perkembangan Intelektual 2
Menurut david Wechsler dalam Desmita (2008) kemunduran
kemampuan mental merupakan bagian dari proses penuaan organisme
sacara umum, hampir sebagian besar penelitian menunjukan bahwa
setelah mencapai puncak pada usia antara 45-55 tahun, kebanyakan
kemampuan seseorang secara terus menerus mengalami penurunan, hal ini
juga berlaku pada seorang lansia.Ketika lansia memperlihatkan
kemunduran intelektualiatas yang mulai menurun, kemunduran tersebut
juga cenderung mempengaruhi keterbatasan memori tertentu. Misalnya
seseorang yang memasuki masa pensiun, yang tidak menghadapi
tantangan-tantangan penyesuaian intelektual sehubungan dengan masalah
pekerjaan, dan di mungkinkan lebih sedikit menggunakan memori atau
bahkan kurang termotivasi untuk mengingat beberapa hal, jelas akan
mengalami kemunduran dalam memorinya. Menurut Ratner et.al (2008)
penggunaan bermacam-macam strategi penghafalan bagi orang tua , tidak
hanya memungkinkan dapat mencegah kemunduran intelektualitas,
melainkan dapat menigkatkan kekuatan memori pada lansia tersebut.
Kemerosotan intelektual lansia ini pada umumnya merupakan sesuatau
yang tidak dapat dihindarkan, disebabkan berbagai faktor, seperti
penyakit, kecemasan atau depresi. Tatapi kemampuan intelektual lansia
tersebut pada dasarnya dapat dipertahankan. Salah satu faktor untuk dapat
mempertahankan kondisi tersebut salah satunya adalah dengan
menyediakan lingkungan yang dapat merangsang ataupun melatih
ketrampilan intelektual mereka, serta dapat mengantisipasi terjadinya
kepikunan.
1.3.3.Perkembangan Emosional 2
Memasuki masa tua, sebagian besar lanjut usia kurang siap
menghadapi dan menyikapi masa tua tersebut, sehingga menyebabkan
para lanjut usia kurang dapat menyesuaikan diri dan memecahkan masalah
yang dihadapi (Widyastuti, 2000). Munculnya rasa tersisih, tidak
dibutuhkan lagi, ketidak ikhlasan menerima kenyataan baru seperti
penyakit yang tidak kunjung sembuh, kematian pasangan, merupakan
sebagian kecil dari keseluruhan perasaan yang tidak enak yang harus
dihadapi lanjut usia. Hal – hal tersebut di atas yang dapat menjadi
penyebab lanjut usia kesulitan dalam melakukan penyesuaian diri. Bahkan
sering ditemui lanjut usia dengan penyesuaian diri yang buruk. Sejalan
dengan bertambahnya usia, terjadinya gangguan fungsional, keadaan
depresi dan ketakuatan akan mengakibatkan lanjut usia semakin sulit
melakukan penyelesaian suatu masalah. Sehingga lanjut usia yang masa
lalunya sulit dalam menyesuaikan diri cenderung menjadi semakin sulit
penyesuaian diri pada masa-masa selanjutnya. Penyesuaian diri pada
lanjut usia adalah kemampuan orang yang berusia lanjut untuk
menghadapi tekanan akibat perubahan perubahan fisik, maupun sosial
psikologis yang dialaminya dan kemampuan untuk mencapai keselarasan
antara tuntutan dari dalam diri dengan tuntutan dari lingkungan, yang
disertai dengan kemampuan mengembangkan mekanisme psikologis yang
tepat sehingga dapat memenuhi kebutuhan– kebutuhan dirinya tanpa
menimbulkan masalah baru.
Pada orang – orang dewasa lanjut atau lanjut usia, yang menjalani
masa pensiun dikatakan memiliki penyesuaian diri paling baik merupakan
lanjut usia yang sehat, memiliki pendapatan yang layak, aktif,
berpendidikan baik, memiliki relasi sosial yang luas termasuk diantaranya
teman – teman dan keluarga, dan biasanya merasa puas dengan
kehidupannya sebelum .Orang – orang dewasa lanjut dengan penghasilan
tidak layak dan kesehatan yang buruk, dan harus menyesuaikan diri
dengan stres lainnya yang terjadi seiring dengan pensiun, seperti kematian
pasangannya, memiliki lebih banyak kesulitan untuk menyesuaikan diri
dengan fase pensiun. Penyesuaian diri lanjut usia pada kondisi
psikologisnya berkaitan dengan dimensi emosionalnya dapat dikatakan
bahwa lanjut usia dengan keterampilan emosi yang berkembang baik
berarti kemungkinan besar ia akan bahagia dan berhasil dalam kehidupan,
menguasai kebiasaan pikiran yang mendorong produktivitas mereka.
Orang yang tidak dapat menghimpun kendali tertentu atas kehidupan
emosinya akan mengalami pertarungan batin yang merampas kemampuan
mereka untuk berkonsentrasi ataupun untuk memiliki pikiran yang
jernih.Ohman & Soares (1998) melakukan penelitian yang menghasilkan
kesimpulan bahwa sistem emosi mempercepat sistem kognitif untuk
mengantisipasi hal buruk yang mungkin akan terjadi. Dorongan yang
relevan dengan rasa takut menimbulkan reaksi bahwa hal buruk akan
terjadi. Terlihat bahwa rasa takut mempersiapkan individu untuk antisipasi
datangnya hal tidak menyenangkan yang mungkin akan terjadi. Secara
otomatis individu akan bersiap menghadapi hal-hal buruk yang mungkin
terjadi bila muncul rasa takut.
Ketika individu memasuki fase lanjut usia, gejala umum yang
nampak yang dialami oleh orang lansia adalah “perasaan takut menjadi
tua”. Ketakutan tersebut bersumber dari penurunan kemampuan yang ada
dalam dirinya. Kemunduran mental terkait dengan penurunan fisik
sehingga mempengaruhi kemampuan memori, inteligensi, dan sikap
kurang senang terhadap diri sendiri.Ditinjau dari aspek yang lain respon-
respon emosional mereka lebih spesifik, kurang bervariasi, dan kurang
mengena pada suatu peristiwa daripada orang-orang muda. Bukan hal
yang aneh apabila orang-orang yang berusia lanjut memperlihatkan tanda-
tanda kemunduran dalam berperilaku emosional; seperti sifat-sifat yang
negatif, mudah marah, serta sifat-sifat buruk yang biasa terdapat pada
anak-anak.Orang yang berusia lanjut kurang memiliki kemampuan untuk
mengekspresikan kehangatan dan persaan secara spontan terhadap orang
lain. Mereka menjadi kikir dalam kasih sayang. Mereka takut
mengekspresikan perasaan yang positif kepada orang lain karena melalui
pengalaman-pengalaman masa lalu membuktikan bahwa perasaan positif
yang dilontarkan jarang memperoleh respon yang memadai dari orang-
orang yang diberi perasaan yang positif itu. Akibatnya mereka sering
merasa bahwa usaha yang dilakukan itu akan sia-sia. Semakin orang
berusia lanjut menutup diri, semakin pasif pula perilaku emosional
mereka.
1.3.4.Perkembangan Spiritual 2
Sebuah penelitian menyatakan bahwa lansia yang lebih dekat
dengan agama menunjukkan tingkatan yang tinggi dalam hal kepuasan
hidup, harga diri dan optimisme. Kebutuhan spiritual (keagamaan) sangat
berperan memberikan ketenangan batiniah, khususnya bagi para Lansia.
Rasulullah bersabda “semua penyakit ada obatnya kecuali penyakit tua”.
Sehingga religiusitas atau penghayatan keagamaan besar pengaruhnya
terhadap taraf kesehatan fisik maupun kesehatan mental, hal ini ditunjukan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Hawari (1997), bahwa :
1. Lanjut usia yang nonreligius angka kematiannya dua kali lebih besar
daripada orang yang religius.
2. Lanjut usia yang religius penyembuhan penyakitnya lebih cepat
dibandingkan yang non religius.
3. Lanjut usia yang religius lebih kebal dan tenang menghadapi operasi
atau masalah hidup lainnya.
4. Lanjut usia yang religius lebih kuat dan tabah menghadapi stres
daripada yang nonreligius, sehingga gangguan mental emosional jauh
lebih kecil.
5. Lanjut usia yang religius tabah dan tenang menghadapi saat-saat
terakhir (kematian) daripada yang nonreligius.
1.3.5.Perubahan Sosial 2
Umumnya lansia banyak yang melepaskan partisipasi sosial mereka,
walaupun pelepasan itu dilakukan secara terpaksa. Orang lanjut usia yang
memutuskan hubungan dengan dunia sosialnya akan mengalami kepuasan.
Pernyataan tadi merupakan disaggrement theory. Aktivitas sosial yang
banyak pada lansia juga mempengaruhi baik buruknya kondisi fisik dan
sosial lansia.
1.3.6. Perubahan Kehidupan Keluarga 2
Sebagian besar hubungan lansia dengan anak jauh kurang memuaskan
yang disebabkan oleh berbagai macam hal. Penyebabnya antara lain :
kurangnya rasa memiliki kewajiban terhadap orang tua, jauhnya jarak
tempat tinggal antara anak dan orang tua. Lansia tidak akan merasa
terasing jika antara lansia dengan anak memiliki hubungan yang
memuaskan sampai lansia tersebut berusia 50 sampai 55 tahun.Orang tua
usia lanjut yang perkawinannya bahagia dan tertarik pada dirinya sendiri
maka secara emosional lansia tersebut kurang tergantung pada anaknya
dan sebaliknya. Umumnya ketergantungan lansia pada anak dalam hal
keuangan. Karena lansia sudah tidak memiliki kemampuan untuk dapat
memenuhi kebutuhan hidupnya. Anak-anaknya pun tidak semua dapat
menerima permintaan atau tanggung jawab yang harus mereka penuhi.
1.3.7. Hubungan Sosio-Emosional Lansia 2
Masa penuaan yang terjadi pada setiap orang memiliki berbagai macam
penyambutan. Ada individu yang memang sudah mempersiapkan
segalanya bagi hidupnya di masa tua, namun ada juga individu yang
merasa terbebani atau merasa cemas ketika mereka beranjak tua. Takut
ditinggalkan oleh keluarga, takut merasa tersisihkan dan takut akan rasa
kesepian yang akan datang. Keberadaan lingkungan keluarga dan sosial
yang menerima lansia juga akan memberikan kontribusi positif bagi
perkembangan sosio-emosional lansia, namun begitu pula sebaliknya jika
lingkungan keluarga dan sosial menolaknya atau tidak memberikan ruang
hidup atau ruang interaksi bagi mereka maka tentunya memberikan
dampak negatif bagi kelangsungan hidup lansia.
1.4 Masalah yang dihadapi oleh lansia 2
Lansia mengalami perubahan dalam kehidupannya sehingga menimbulkan
beberapa masalah dalam kehidupannya. Permasalahan tersebut
diantaranya yaitu :
1.4.1 Masalah fisik
Permasalahan yang hadapi oleh lansia dengan masalah pekembangan fisik
yang mulai melemah, diantaranya seringnya terjadi radang persendian
ketika melakukan aktivitas yang cukup berat, indra pengelihatan yang
mulai kabur, indra pendengaran yang mulai berkurang berfungsu dengan
baik serta daya tahan tubuh yang menurun, sehingga sering mengalami
sakit (masuk angin, flu)
1.4.2 Masalah kognitif ( Intelektual ) 2
Permasalahan yang hadapi oleh lansia yang terkait dengan masalah
pekembangan kognitif, ini dapat disimpulkan bahwa pada lansia mulai
melemahnya daya ingat terhadap sesuatu hal (pikun) dan sulit untuk
bersosialisasi dengan masyarakat di sekitar
1.4.3 Masalah emosional 2
Permasalahan yang hadapi oleh lansia yang terkait dengan masalah
pekembangan emosional, adalah rasa ingin berkumpul dengan keluarga
sangat kuat, sehingga tingkat perhatian beliau menjadi sangat besar.
Apabila melihat rekan kerja kurang aktif dalam melakukan pekerjaanya,
maka tingkat emosi meningkat, terbukti bahwa beliau segera menegur
rekan kerjanya tersebut agar lebih cekatan. Sering marah apabila ada
sesuatu yang kurang sesuai dengan kehendak pribadi dan sering stress
akibat masalah ekonomi yang kurang terpenuhi
1.4.4 Perkembangan Spiritual 2
Permasalahan yang hadapi oleh lansia yang terkait dengan masalah
pekembangan spiritual, adalah kesulitan untuk menghafal kitab suci
karena daya ingat yang mulai menurun, merasa kurang tenang ketika
mengetahui anggota keluarganya belum mengerjakan ibadah, dan merasa
gelisah ketika menemui permasalahan yang cukup serius.
1.1 PERMASALAHAN GIZI USIA LANJUT
ASUPAN KALSIUM, STATUS GIZI, TEKANAN DARAH DAN
HUBUNGANNYA DENGAN KELUHAN SENDI LANSIA 3,4
Gangguan gizi pada lansia 3
Gangguan gizi yang dapat muncul pada lansia dapat berupa gizi
kurang maupun gizi lebih. Gangguan ini dapat menyebabkan timbulnya
penyakit atau terjadi sebagai akibat adanya penyakit tertentu.Jika seorang
lansia memiliki penyakit degeneratif, maka asupan gizi sangat penting
untuk diperhatikan, serta disesuaikan dengan ketersediaan dan kebutuhan
zat gizi lansia. Pola penyakit lansia yang pernah diderita pada umumnya
adalah penyakit degeneratif seperti jenis penyakit hipertensi, reumatik,
diabetes
Status Gizi 3
Status gizi merupakan keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan
dan penggunaan zat-zat gizi, yang dapat dibedakan antara status gizi
buruk, kurang, baik, dan lebih. Keadaan gizi adalah keadaan tubuh
seseorang atau kelompok yang diakibatkan oleh konsumsi,penyerapan dan
penggunaan zat gizi makanan, sedangkan status gizi merupakan ekspresi
dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variable tertentu atau
perwujudan dari keadaan gizi dalam bentuk variable tertentu .
Faktor-faktor
• Faktor status ekonomi sangat berperan dimana status ekonomi yang
cukup atau baik akan memudahkan mencari pelayanan kesehatan yang
lebih baik. Faktor ekonomi berkaitan erat dengan konsumsi makanan atau
dalam penyajian makanan keluarga. Kebanyakan penduduk dapat
dikatakan masih kurang mencukupi kebutuhan dirinya masing-masing.
Keadaan umum ini dikarenakan rendahnya pendapatan yang mereka
peroleh dan banyaknya anggota keluarga yang harus diberi makan dengan
jumlah pendapatan rendah.
• Status sosial ekonomi adalah kedudukan atau posisi seseorang dalam
masyarakat, status sosial ekonomi adalah gambaran tentang keadaan
seseorang atau suatu masyarakat yang ditinjau dari segi sosial ekonomi,
gambaran itu seperti tingkat pendidikan, pendapatan dan sebagainya.
Status ekonomi kemungkinan besar merupakan pembentuk gaya hidup
keluarga. Pendapatan keluarga memadai akan menunjang tumbuh
kembang anak.Karena orang tua dapat menyediakan semua kebutuhan
anak baik primer maupun skunder
• Bekerja umumnya merupakan kegiatan yang menyita waktu bagi ibu-ibu
yang mempunyai pengaruh terhadap kehidupan keluarga .Seorang yang
memerlukan banyak waktu dan tenaga untuk menyelesaikan pekerjaan
yang dianggap penting dan memerlukan perhatian dengan adanya
pekerjaan. Masyarakat yang sibuk akan memiliki waktu yang sedikit untuk
memperoleh informasi, sehingga tingkat pendidikan yang mereka peroleh
juga berkurang, sehingga tidak ada waktu. Tingginya pengetahuan
seseorang akan mempengaruhi seseorang untuk berperilaku dengan benar.
Hal ini sesuai dengan bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan
bersifat langgeng (long lasting). Maka dari data tersebut untuk
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat terutama pada masyarakat
yang memasuki usia Lansia sangat diperlukan. Salah satu upaya
peningkatan derajat kesehatan adalah perbaikan gizi masyarakat, gizi yang
seimbang dapat meningkatkan ketahanan tubuh, pada seseorang yang
memasuki usia Lansia. Konsep gizi seimbang adalah suatu usaha untuk
mencapai keseimbangan antara kebutuhan tubuh (dinamis) akan zat gizi
dengan asupan yang didapat melalui makanan dan keseimbangan antara
berbaga macam zat gizi dalam makanan yang dikonsumsi. Seluruh upaya
di atas memiliki kaitan erat dengan usaha program peningkatan gizi
masyarakat. Dalam hal ini lansia merupakan sasaran strategis perlunya
diberi pengetahuan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi status gizi
pada Lansia.Seperti tahapan-tahapan usia lainnya, dalam fase ini sesorang
dapat mengalami masalah gizi, baik gizi lebih maupun gizi kurang.
Berkaitan dengan hal tersebut, untuk menciptakan sumber daya manusia
yang tentunya banyak faktor. Faktor langsung yang berhubungan dengan
status gizi meliputi konsumsi makanan dan penyakit infeksi. Faktor tidak
langsung meliputi pengetahuan, pendidikan, status ekonomi, pendidikan
orang tua, dan besar keluarga. Usia lanjut merupakan salah satu fase
kehidupan yang akan dilalui oleh setiap individu. Fase ini dapat dilalui
dengan baik bila usia lanjut selalu berada dalam kondisi yang sehat. Salah
satu upayanya adalah dengan asupan gizi yang adekuat. Selain itu gizi
yang baik juga berperan dalam upaya menurunkan presentase timbulnya
penyakit karena usia lanjut merupakan populasi yang rentan terhadap
serangan penyakit yang merupakan konsekuensi adanya penurunan fungsi
tubuh .Salah satu dampak dari keberhasilan pembangunan nasional di
bidang kesehatan dan kesejahteraan sosial antara lain meningkatnya angka
rata-rata usia harapan hidup penduduk yang ditandai dengan makin
bertambahnya jumlah lansia. Jumlah penduduk lansia di Indonsia
diperkirakan terus meningkat dari tahun ke tahun, bahkan Perserikatan
Bangsa-bangsa (PBB) memperkirakan bahwa Indonesia bersama dengan
Cina, Amerika Serikat dan India akan memiliki populasi lansia lebih dari
50 juta jiwa di tahun 2050. Menurut sensus penduduk tahun 2010, jumlah
penduduk lanjut usia atau lansia (umur 60 tahun ke atas) di Indonesia
adalah 18 juta jiwa atau sekitar 7.6% dari seluruh total populasi (Badan
Pusat Statistik, 2011). Lansia mengalami penurunan kondisi tubuh yang
merupakan bagian dari proses penuaan. Semakin bertambahnya usia maka
akan lebih mudah terserang berbagai penyakit degeneratif. Salah satu
penyakit degeneratif yang sering diderita lansia adalah penyakit sendi.
Laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 menyatakan
bahwa prevalensi nasional penyakit sendi adalah 30.3% dan prevalensi
berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan adalah 14% (Depkes 2008).
Semakin bertambahnya usia maka akan lebih mudah terserang
berbagai penyakit degeneratif. Salah satu penyakit degeneratif yang sering
diderita lansia adalah penyakit sendi. Penyakit sendi yang sering diderita
oleh lansia adalah osteoarthritis (radang sendi). Sebanyak 17.82% lansia
berusia >50 tahun di Yunani menderita osteoarthritis (Anagnostopoulos et
al. 2010). Penyakit sendi umumnya ditandai dengan keluhan-keluhan
terkait sendi. Penyakit atau keluhan sendi yang diderita oleh lansia dapat
disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah berat badan.
Asokan et al. (2011) menyatakan bahwa sebanyak 50% lansia wanita di
Bahrain dengan status gizi obesitas dan 30% dengan status gizi overweight
menderita osteoarthritis. Kejadian penyakit atau keluhan sendi dari segi
gizi dikaitkan dengan kebiasaan konsumsi kalsium yang berhubungan
dengan diet seseorang. Menurut Duncan (2004), penderita osteoarthritis
kurang mengonsumsi produk olahan susu, kalsium, dan vitamin D.
Hipertensi merupakan faktor risiko lain yang memengaruhi kejadian
penyakit atau ke-luhan sendi pada lansia. Sebanyak 13% lansia wanita di
Bahrain yang menderita osteoarthritis mempunyai tekanan darah tinggi
(hipertensi) (Asokan 2011).
Frekuensi konsumsi pangan sumber kalsium. Kebiasaan konsumsi
pangan sumber kalsium dikelompokkan menjadi: 1) tidak pernah jika
subjek tidak mengonsumsi pangan sumber kalsium selama satu bulan, 2)
≤3x dalam seminggu, 3) >3x dalam seminggu, 4) ≥1x dalam sehari.
Status gizi. Tinggi badan lansia diprediksi de-ngan menggunakan tinggi
lutut. Fatmah et al. (2008) merekomendasikan model prediksi tinggi badan
lansia, yaitu: 1) Laki-laki: Prediksi TB=56.343+2.102 tinggi lutut, 2)
Perempuan: Prediksi TB=62.682+1.889 tinggi lutut. Estimasi berat badan
berdasarkan ukur-an lingkar lengan atas menggunakan rumus sebagai
berikut 1) Laki-laki: Prediksi BB=2.592LLA–12.902, 2) Perempuan:
Prediksi BB=2.001LLA–1.223. Status gizi diukur dinilai dengan
menggunakan IMT, dengan rumus Berat Badan (kg)/(Tinggi Badan (m))2.
Penggolongan status gizi menggunakan cut off point IMT pada tahun 2005
menurut WHO (Gibson 2005). 4
Tekanan darah. Tekanan darah subjek dibedakan menjadi dua, yaitu
normal dan hipertensi berdasarkan cut off JNC-7.
Keluhan sendi. Penilaian tingkat keluhan sendi dilakukan dengan
menggunakan kuesioner RAPID3 yang terdiri dari tiga komponen yaitu
activity daily living, persepsi status kesehatan, dan persepsi rasa nyeri
sendi (Pincus et al. 2009). Activity daily living dinilai dengan cara subjek
diminta memilih jawab-an dari pernyataan aktivitas harian sesuai dengan
kondisi subjek. Pilihan jawaban terdiri atas 0) tanpa kesulitan, 1) sulit, 2)
banyak kesulitan, dan 3) tidak dapat melakukan.
Uji korelasi Spearman digunakan untuk mengetahui hubungan antara
frekuensi konsumsi pangan sumber kalsium dengan status gizi, tekanan
darah, dan tingkat keluhan sendi, hubungan antara status gizi dan tekanan
darah dengan tingkat keluhan sendi, dan hubungan antara usia dan keluhan
sendi.Bentuk keluhan sendi yang dirasakan oleh subjek bermacam-macam
antara lain, nyeri, kaku, sampai tidak bisa digerakkan. Sebanyak 50.6%
subjek menyatakan bahwa keluhan sendi hanya dirasakan di satu bagian
tubuh saja. Bagian tubuh yang sering dirasakan nyeri adalah lutut (33.3%)
dan kaki (12.4%). Sebanyak 47% wanita di Bahrain menderita
osteoarthritis lutut, 7% menderita osteoarthritis di pinggang dan
osteoarthritis gabungan antara lutut dan pinggang menempati urutan
pertama yaitu sebanyak 51% (Asokan et al. 2011). Penyakit sendi sering
memengaruhi sendi antar jari kaki, ibu jari, lutut, pinggang, pergelangan
kaki, dan tulang belakang yang bekerja menopang berat badan (Duncan
2004). Lama waktu subjek dalam merasakan keluhan sendi bervariasi.
Sebagian besar subjek (32.1%) menyatakan bahwa subjek merasakan
keluhan sendi selama <1 hari.Persepsi rasa nyeri yang dirasakan oleh
subjek paling banyak adalah rasa nyeri hebat. Persepsi rasa nyeri hebat
dirasakan oleh sebagian besar subjek (45.8%). Umumnya nyeri hebat yang
dirasakan oleh subjek bertahan lama dan akan sembuh setelah beberapa
hari. Subjek yang mempunyai persepsi rasa nyeri ringan hanya merasakan
nyeri di salah satu bagian tubuh saja. Subjek merasakan rasa nyeri hanya
beberapa jam dan akan hilang dengan istirahat atau mengolesi bagian
tubuh yang sakit dengan obat oles penghilang rasa nyeri. Rasa nyeri ringan
dirasakan oleh sebagian kecil subjek (18.8%).
Hasil korelasi Spearman menunjukkan bahwa frekuensi konsumsi
kelima pangan sumber kalsium tidak berhubungan dengan status gizi.
Berbeda dengan hasil studi yang dilakukan oleh Varenna et al. (2007)
pada 1 771 perempuan postmenopause yang menunjukkan bahwa
konsumsi kalsium yang tinggi berhubungan terbalik dengan Indeks Massa
Tubuh (IMT). Frekuensi pangan sumber kalsium juga tidak berhubungan
dengan tekanan darah (p>0.05). Hal ini diduga ada faktor lain yang
memengaruhi terjadinya hipertensi pada subjek seperti faktor usia.
Kuswar-dhani (2006) dalam Widyaningsih dan Latifah (2008) menyatakan
bahwa semakin tua seseorang maka pengaturan metabolisme kalsium
terganggu sehingga banyak kalsium yang beredar bersama darah.
Bertambahnya usia juga menyebabkan elastisitas pembuluh darah arteri
berkurang sehingga volume darah yang mengalir sedikit dan kurang
lancar.Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara frekuensi konsumsi
pangan sumber kalsium dengan ada tidaknya penyakit sendi dan tingkat
keluhan sendi (p>0.05). Konsumsi kalsium dapat meningkatkan densitas
massa tulang dan mencegah osteoporosis (Nieves 2005). Tidak
terdapatnya hubungan yang signifikan diduga akibat kalsium tidak dapat
bekerja dengan baik apabila tidak ada bantuan dari zat gizi mikro lain
dalam pencegahan osteoporosis dan kaitannya dengan osteoarthritis.
Nieves (2005) menyatakan bahwa kalsium dapat memberikan manfaat
untuk massa tulang di semua umur, walaupun hasilnya tidak selalu
konsisten. Hipertensi dan status gizi tidak berhubungan dengan ada
tidaknya keluhan sendi dan tingkat keluhan sendi. 4
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN
KEPADATAN TULANG PADA OSTEOPOROSIS LANSIA 5,6,7
Osteoporosis atau keropos tulang adalah penyakit kronik yang
ditandai dengan pengurangan massa tulang yang disertai kemunduran
mikroarsitektur tulang dan penurunan kualitas jaringan tulang yang dapat
menimbulkan kerapuhan tulang. Keadaan ini berisiko tinggi karena tulang
menjadi rapuh dan mudah retak bahkan patah. Osteoporosis lebih banyak
terjadi pada wanita daripada pria. Hal ini disebabkan pengaruh hormon
estrogen yang mulai menurun kadarnya dalam tubuh sejak usia 35 tahun
sedangkan pada pria hormon testoteron turun pada usia 65 tahun. Menurut
statistik dunia 1 dari 3 wanita rentan terkena penyakit osteoporosis.
Insiden osteoporosis meningkat sejalan dengan meningkatnya populasi
usia lanjut[. Pada tahun 2005 terdapat 18 juta lanjut usia di Indonesia,
jumlah ini akan bertambah hingga 33 juta pada tahun 2020 dengan usia
harapan hidup mencapai 70 tahun 6
Osteoporosis tidak hanya berhubungan dengan menopause tetapi
juga berhubungan dengan faktor-faktor lain seperti merokok, postur tubuh
kecil, kurang aktifitas tubuh, kurangnya paparan sinar matahari, obat-
obatan yang menurunkan massa tulang, asupan kalsium yang rendah,
konsumsi kafein, alkohol, penyakit diabetes mellitus tipe I dan II.
Pencegahan osteoporosis harus dilakukan sejak dini sampai usia dewasa
muda agar mencapai kondisi puncak massa tulang (peak bone mass)
dengan membudayakan perilaku hidup sehat yang intinya mengkonsumsi
makanan dengan gizi seimbang yang memenuhi kebutuhan nutrisi dengan
unsur kaya serat, rendah lemak dan kaya kalsium (1000-1200 mg kalsium
per hari), berolahraga secara teratur, tidak merokok dan tidak
mengkonsumsi alcohol.Berdasarkan permasalahan tersebut, perlu
dilakukan penelitian tentang hubungan riwayat keluarga, aktifitas fisik,
status gizi dan kebiasaan mengkonsumsi makanan berkalsium tinggi
dengan kepadatan tulang pada wanita postmenopause. 5
Kepadatan tulang didefinisikan sebagai perbandingan hasil densitas
mineral tulang dengan nilai normal rata-rata densitas tulang pada orang
seusia atau dewasa muda yang dinyatakan dalam skor standar deviasi
(T-score). WHO menyatakan osteoporosis adalah keadaan dimana
kepadatan mineral tulang. 5
dibawah -2,5 SD, osteopenia adalah keadaan dimana kepadatan mineral -1
sampai -2,5 SD sedangkan dinyatakan normal adalah bila kepadatan
mineral tulang diatas -1 SD. Riwayat keluarga didefinisikan adanya
riwayat osteoporosis yang pernah dialami oleh keluarga subjek. Data
aktifitas fisik didefinisikan sebagai suatu bentuk aktifitas subjek yang
diukur melalui banyaknya frekuensi dan lamanya (durasi) olah raga yang
dilakukan oleh responden dalam satu minggu dalam 3 bulan terakhir.
Status gizi merupakan keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan
dan penggunaan zat – zat gizi yang diukur melalui penimbangan berat
badan (BB) dan pengukuran tinggi badan (TB) kemudian dikategorikan
dalam Index Massa Tubuh (IMT) menjadi status gizi kurus, normal, dan
gemuk.Kebiasaan mengkonsumsi makanan berkalsium tinggi merupakan
frekuensi mengkonsumsi makanan berkalsium tinggi responden yang
diukur dengan menggunakan Food Frequency Questionare yang
dinyatakan dalam skor. Pada tabel 4 menunjukkan bahwa tidak terdapat
hubungan yang bermakna antara riwayat keluarga dan aktifitas fisik
dengan kepadatan tulang, namun terdapat hubungan yang bermakna antara
status gizi dan kebiasaan mengkonsumsi makanan berkalsium tinggi
dengan kepadatan tulang.. 5
Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat
hubungan yang bermakna antara riwayat keluarga dengan kepadatan
tulang. Hal ini dapat dilihat bahwa subjek yang terdapat riwayat
osteoporosis dalam keluarganya sebanyak 6 orang (17,1%) sedangkan
yang tidak terdapat riwayat osteoporosis dalam keluarga sebanyak 29
orang (82,9%) sehingga dapat disimpulkan bahwa subjek yang tidak
mempunyai riwayat keluarga berpeluang untuk memiliki kepadatan tulang
yang normal, dan tidak ada hubungan yang bermakna antara faktor
aktifitas fisik dengan kejadian osteoporosis pada wanita postmenopause.
Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Recker dkk (2000) yang
membuktikan bahwa aktifitas fisik berhubungan dengan penambahan
kepadatan tulang spinal. Hal ini dikarenakan pengukuran aktifitas fisik
ditanyakan 3 bulan ke belakang sedangkan pembentukkan massa tulang
membutuhkan waktu yang relatif lama, sehingga tidak dapat mengukur
aktifitas fisik yang dilakukan pada saat masih muda.Usia yang semakin
menua akan mengakibatkan perubahan pola hidup, yaitu berkurangnya
aktifitas fisik sehari-hari. Oleh karena itu, olah raga merupakan kegiatan
yang sangat penting dalam mencegah osteoporosis. Jalan kaki secara
teratur kira – kira 4,5 km/jam selama 50 menit, 5 kali dalam seminggu
dapat mempertahankan kekuatan tulang. Selain itu latihan beban dan
senam juga dapat dilakukan pada penderita osteoporosis. 7
Hubungan status gizi dengan kepadatan tulang,berdasarkan hasil
penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara
status gizi dengan kepadatan tulang. Osteoporosis lebih banyak diderita
oleh orang yang bertubuh kurus dan berkerangka kecil, namun pada
penelitian ini sebagian besar subjek mempunyai postur tubuh yang normal
dan gemuk dengan IMT >18 kg/m2. Hal ini disebabkan oleh asupan
makanan subjek sudah cukup, namun karena faktor usia penyerapan
kalsium mengalami penurunan. Kelebihan berat badan dapat
mempengaruhi massa tulang terutama melalui efeknya terhadap rangka
tubuh. Wanita yang kelebihan berat badan memberikan tekanan yang lebih
besar pada tulangnya, sehinggamerangsang terbentuknya tulang baru
sehingga penurunan kepadatan tulang dapat dikurangi. Hubungan
kebiasaan mengkonsumsi makanan berkalsium tinggi dengan kepadatan
tulang bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara kebiasaan
mengkonsumsi makanan berkalsium tinggi dengan kejadian osteoporosis
pada wanita postmenopause. Hal ini sejalan dengan pendapat Hiromi
Shinya yang mengemukakan bahwa terlalu banyak mengkonsumsi susu
akan mengakibatkan osteoporosis. Kadar kalsium dalam darah sebanyak
9-10 mg. Namun pada saat minum susu,konsentrasi kalsium dalam darah
tiba-tiba meningkat. Pada saat konsentrasi kalsium dalam darah tiba-tiba
meningkat, tubuh berusaha untukmengembalikan keadaan abnormal
menjadi normal kembali dengan membuang kalsium dari ginjal melalui
urine.Penyerapan kalsium membutuhkan peran sel osteoblas yang juga
berfungsi membentuk matriks tulang sedangkan pembuangan kalsium dari
tulang membutuhkan aktivitas osteoklas. Kalsium diserap secara normal
sesuai kebutuhan tubuh. Jumlah kalsium yang diserap ke dalam darah
hanya 200 mg. Selain disebablan karena terlalu banyak mengkonsumsi
makanan berkalsium, penyebab osteoporosis juga dapat disebabkan karena
terlalu banyak mengkonsumsi acid yang berasal dari daging, gula dan
bahan-bahan yang mengandung kimia. Untuk menetralisir acid tersebut,
tubuh mengambil kalsium dari tulang. Dengan demikian, mengkonsumsi
banyak kalsium bukan pencegahan osteoporosis jika tetap mengkonsumsi
bahan makanan yang mengandung acid. Solusi yang utama adalah
menghindari makanan pembentuk acid dan lebih banyak mengkonsumsi
sayuran.7
REFERENSI
1. Philip J. Garry, Ph.D., James S. Goodwin, M.D., William C. Hunt, M.A.,Elizabeth M .Nutritional status in a healthy elderly population :dietary and supplemental intakes. The American Journal of Clinical Nutrition. August 1992 pp. 319-331.
2. Walter C Willett Am J Clin Nutr.Weight loss in the elderly: cause or effect of poor health?.USA. American Society for Clinical Nutrition.l997;66:737-8.
3. Utomo M, Meikawati W, Putri Z K. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kepadatan tulang pada wanita postmenopause. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muhammadiyah Semarang.2010; Vol 6(2):1-10
4. Triatmaja NT *, Khomsan A, Dewi1 M. Calcium Intake
Nutritional Status, Blood Pressure, and Relationship to Joint Pain among Elderly in Nursing Homes in Bandung. Departemen Gizi IPB. ISSN 1978 – 1059 Jurnal Gizi dan Pangan, Maret 2013, 8(1): 25—32. Nutritional status in a healthy elderl
5. Mette F Hitz, Jens-Erik B Jensen, and Peter C Eskildsen. Am J Clin Nutr. Bone mineral density and bone markers in patients with a recent low-energy fracture: effect of treatment with calcium and vitamin D. USA.American Society for Nutrition 2007;86:251–9.
6. Elizabeth J Johnson and Ernst J Schaefer. Am J Clin Nutr.. Potential role of dietary n_3 fatty acids in the prevention of
dementia and macular degeneration1–4 USA. American Society for Nutrition .2006;83;1494S– 8S.
7. Katherine L Tucker. Am J Clin Nutr. Vegetarian diets and bone status1–3 .USA. American Society for Nutrition 2014;100):329S–35S.