Post on 17-Mar-2022
Gerakan Pembaharuan
1 AJIQS Vol. 1 No. 2 Desember 2019
Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam Era Reformasi di Indonesia
Aam Saepul Alam
STAI Siliwangi Garut
aamrs2017@gmail.com
Abstract
Two thinkers and modernists who are different in education and organization genealogy, i.e. Nurcholis Madjid (Cak Nur) dan Hasyim Muzadi. Cak Nur was born in Western education and Hasyim was born in “pesantren” education (boarding school) with its locality. Two of these figures give a change that is significant in modernity context in Indonesia. Theoretical framework that was built by Nurcholish Madjid starts from a fundamental question, i.e. how universal Islam can be placed in local modernity and culture framework. Islam is universal and implication of its universality is Islam must be understood and performed in every place and time. Cak Nur practiced critical to single truth and paid attention on humanistic value in universal religious life. Different to Hasyim Muzadi who built thoughts framework Rahmatan lil alamin through freedom and harmony. Starting from nation problems, how to perform religious function (Islam) in a country without cause national disintegration. Theory framework built by Hasyim starting from a NU’s jargon, i.e. Tasamuh, Tawazun, dan Tawasut. Bringing Islam with full good manners and bland, not make Islam image isolated and grow phobia toward terms what are born from Islam womb. In practice, Hasyim paid attention on preventing of radicalism and terrorism undersrtanding that grow in Indonesia, that threaten NKRI totality.
Keywords: modernity, Islam universal, Islam and country
Abstrak
Dua pemikir dan pembaharu yang berbeda geneologi pendidikan dan organisasi, yaitu Nurcholis Madjid dan Hasyim Muzadi. Nurcholis Madjid (Cak Nu)r lahir dari pendidikan Barat dan Hasyim Muzadi lahir dari pendidikan pesantren yang lokalitas. Kedua tokoh ini, dalam kehadirannya memberikan perubahan yang signifikan dalam konteks pembaharuan di Indonesia. Kerangka Teoritis yang dibangun Nurcholish Madjid berawal dari dari sebuah pertanyaan yang fundamental yaitu bagaimana Islam yang universal bisa ditempatkan dalam kerangka kemodernan dan budaya lokal? Islam adalah universal dan implikasi dari keuniversalannya adalah bahwa Islam harus dapat dipahami dan dilaksanakan pada setiap ruang dan waktu. Cak Nur
Gerakan Pembaharuan
2
AJIQS Vol. 1 No. 2 Desember 2019
mempraktekan kritik terhadap kebenaran tunggal dan memperhatikan nilai kemanusian dalam kehidupan beragama yang universal. Berbeda dengan Hasyim Muzadi membangun kerangka pemikiran Rahmatan lil alamin melalui kerangka perdamainan dan kerukunan. Berawal dari permasalahan bangsa, bagaimana menjalankan fungsi profetik agama (Islam) dalam sebuah negara, tanpa menimbulkan disintegrasi bangsa. Kerangka teori yang dibangun Hasyim Muzadi berawal dari jargon NU, yaitu: Tasamuh , Tawazun , dan Tawasut. Membawa Islam yang penuh kesantunan dan kelemahlembutan, bukan menjadikan citra Islam terpinggirkan dan menumbuh-kembangkan phobia terhadap istilah-istilah yang lahir dari rahim Islam. Melaui prakteknya Hasyim memberikan perhatian dalam pencegahan paham radikalisme dan terorime yang berkembang di bumi Indonesia, yang mengancam keutuhan NKRI.
Kata kunci: pembaharuan, Islam universal, Islam dan negara
A. Pendahuluan
Gerakan dan pemikiran pembaruan keagamaan senantiasa menjadi
bagian penting dari tradisi Islam sepanjang sejarah perkembangannya. Para
pelopor pembaruan hadir untuk merenovasi kepercayaan, pengetahuan,
maupun praktek keberagamaan masyarakat Muslim. Sekalipun kaum ortodoks
tidak mengakui hadirnya figur profetik pasca Nabi Muhammad SAW,
mayoritas masyarakat Muslim meyakini, bahwa pada setiap episode sejarah dan
kawasan dunia Islam yang berbeda, para pembaharu tampil untuk melawan
status quo dan menginisiasi perubahan. Misalnya, pada abad 17-19 M, muncul
beberapa tokoh dan gerakan pembaruan di dunia Islam, yang berdasarkan
setting kemunculan dan orientasi gerakannya dapat dibedakan ke dalam tiga
episode. Pertama, Shah Waliullah di India, Ahmad bin Abdul Wahhab di Saudi
Arabia, dan Muhammad bin Ali al Sanusi di Afrika Utara. Pada masa ini, para
tokoh dan gerakan pembaruan mengemuka berkaitan dengan tekanan atau
lingkungan internal1 .dan sedikit bersentuhan dengan dampak dari
perkembangan peradaban Barat. Kehadiran mereka adalah dalam rangka
1 Khalid Masud, Muhammad. 2009. Islamic Modernism. in ed. Muhammad Khalid Masud et.al, Islam and Modernity: Key Issues and Debates. British: Edinburgh University Press.H. 240
Gerakan Pembaharuan
3 AJIQS Vol. 1 No. 2 Desember 2019
menentang praktek taqlid (blind imitation) dan fanatisme mazhab (taqdis al
afkar al diniy), karena keduanya dipandang telah meng-akibatkan keretakan
dalam komunitas Muslim2.
Kedua, seiring dengan meningkatnya penetrasi koloni Eropa ke dunia
Islam, muncul beberapa gerakan jihad (jihadiy movements) pada abad ke-19,
sebagai aspek kunci dari pembaruan Islam. Misalnya, sebagai respons terhadap
kolonisasi Inggris di anak benua India, para ulama mendeklarasikan, bahwa
India tidak bisa lagi disebut dengan “abode of Islam” (dar al Islam), tetapi
sebagai “abode of war” (dar al harb). Pada awal tahun 1800 an, Hajji
Shariatullah manyatakan bahwa India adalah kawasan perang dan menyerukan
jihad melawan koloni Inggris di Bengal. Begitu juga di Afrika Barat, Syekh
Usman bin Fudi (w. 1817), yang lebih dikenal sebagai Shehu Usman dan
Fodio, bersama putrinya (seorang sastrawan dan pendidik ternama) Nana
Asmau (w. 1864), telah berhasil memulai jihad dan membangun kekhalifahan
Sokoto, sebuah kekuatan Islam terbesar di Afrika pada abad ke-19.3Dua
ilustrasi aspek pembaruan di bidang militer ini penting, sebagai suatu
pandangan yang juga turut membentuk bagian signifikan dari pemahaman
terhadap agenda anti-kolonialisme masyarakat Muslim pada abad ke-20.
Ketiga, bersamaan dengan kedatangan era modern (abad ke-19 dan
seterusnya), tradisi pembaruan keagamaan berlanjut secara lebih intensif dari
pada era sebelumnya. Suatu era yang mengumumkan konfrontasi militer dan
politik dari kekuatan-kekuatan Barat dengan dunia Islam, dimana masyarakat
Muslim mengalami kekalahan4 Modernisme masyarakat Muslim yang terjadi
pada era ini sebagiannya merupakan kelanjutan dari gerakan pembaruan abad
18-19M, dan sebagian yang lain adalah suatu cara untuk menjawab tantangan
yang ditunjukkan oleh kemodernan Barat ketika masih tersisa sekepal
2 Saeed, Abdullah.2006. Islamic Thought: An Introduction. USA and Canada: Routledge. 3 Ibid., H.134 4 Boyd, J. 2001. Distance Learning from Purdah in Nineteenth Century Northern Nigeria: the Work of Asma’u Fodiyo. Journal of African Cultural Studies, 14.1, June 2001: 7–22.
Gerakan Pembaharuan
4
AJIQS Vol. 1 No. 2 Desember 2019
keyakinan terhadap dasar-dasar keagamaan. Beberapa pembaharu Muslim yang
berusaha memberikan renspons dengan tingkat tantangan dari modernitas
Barat itu, misalnya, Jamaluddin al Afghani (w. 1897), Muhammad Abduh
(1905) di dunia Arab, Sayyid Ahmad Khan (w. 1898) dan Muhammad Iqbal
(w. 1938) di anak benua India, serta sejumlah pemikir dari Turki Usmani,
seperti Namik Kemal (w. 1888). Pada penggalan ini, reformasi atau pembaruan
merupakan tema sentral (key theme) bagi kaum modernis.
Jamaluddin al Afghani, misalnya, berargumentasi bahwa masyarakat
Muslim harus melakukan gerakan reformasi sebagaimana peran penting
tersebut dimainkan oleh masyarakat Kristen Eropa. Konteks modern tersebut
menuntut sebuah penghargaan kembali atas warisan budaya intelektual
Muslim, termasuk karya-karya para ulama generasi awal. Gagasan kunci yang
lain dari kaum modernis adalah kembali pada Islam murni (return to the
pristine Islam) generasi Muslim paling awal (salaf), revitalisasi tradisi intelektual
Islam, interpretasi atau reinterpretasi tradisi dan sumber-sumbernya untuk
menjawab tantangan yang diajukan oleh era-modern, sehingga di sini
diperlukan sistem teologi baru.5 Di sini penulis akan meneksplorasi tentang
pemikiran Indonesia pada era reformasi, pertama kajian tokoh yang
mewakilinya, nyaitu Hasyim Muzadi (NU), dan Noercholis Majid
(Muhammadiyah), kedua,kajian gerakan organisai fudamentalis dan modernis.
B. Pembaharuan Pemikiran Islam Era-Reformasi
Pembaruan juga menggunakan khazanah pemikiran Islam klasik
terdahulu, seperti pemikiran Ibn. Thaimiyah, Ibn. Qayyim, Abd.Wahhab
maupun Abduh dan lainnya.
5 Khalid Masud, Muhammad. 2009. Islamic Modernism. in ed. Muhammad Khalid Masud et.al, Islam and Modernity: Key Issues and Debates. British: Edinburgh University Press.H. 241
Gerakan Pembaharuan
5 AJIQS Vol. 1 No. 2 Desember 2019
Fazlur Rahman telah membagi pembaruan Islam menjadi beberapa peri
ode, diawali dengan priode revivalisme pramodernis, modernisme klasik, neo-
revivalisme dan neo-modernisme.
Pembaruan pemikiran Islam yang diintrodusir pada abad 17-19 M. di
atas dapat ditemukan pengaruhnya di Indonesia sejak permulaan abad ke-20
melalui kehadiran Muhammadiyah dan Persatuan Islam, yang menjadikan
purifikasi atau pemurnian akidah sebagai tema sentral gerakan mereka.
Sebagaimana pemikiran pembaruan Ahmad bin Abdul Wahhab dan
Muhammad Abduh, episode awal sejarah modernisme Islam Indonesia juga
dicirikan oleh semangat untuk keluar dari ikatan-ikatan kaum ortodoks dengan
mengedepankan ijtihad dari pada taqlid, menekankan pentingnya qiyas agar
dapat merebut semangat hukum yang tersimpan dalam tulisan hukum; dan
memilih mengurangi ketergantungan pada Hadis demi mendahulukan al Quran
dan Sunnah Nabi. 6
Visi modernitas yang diajukan oleh Muhammadiyah dan Persis tersebut
selama hampir satu setengah dekade melahirkan ketegangan dengan kelompok
konservatif, yang terdiri dari para kiai pesantren. Kelompok kiai tradisional ini
beranggapan bahwa ijtihad yang terkait masalah-masalah fundamental dalam
hukum adalah tidak mungkin dan tidak diperlukan. Mereka berpendapat
bahwa para ulama klasik pendiri empat madzhab memiliki keahlian yang belum
tertandingi sejak abad kesepuluh, sehingga kebenarannya di bidang hukum
Islam tidak perlu diragukan. Dengan alasan inilah para ulama tradisionalis
memperlakukan taqlid terhadap prinsip-prinsip hukum yang diajukan para
imam mazhab. Perseteruan ini pada saatnya mendorong para kiai untuk
membentuk suatu organisasi sosial keagamaan yang sangat berpengaruh di
Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU), yang didirikan pada tahun 1926 sebagai
6 Barton, Greg 1999. Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid. Jakarta: Paramadina.h. 41
Gerakan Pembaharuan
6
AJIQS Vol. 1 No. 2 Desember 2019
puncak dari reaksi kaum konser-vatif terhadap gerakan modernis
Muhammadiyah 7.
Sampai paroh kedua abad ke-20, gerakan modernisme di Indonesia
ditandai dengan ketegangan teologis dan bahkan berkembang ke arah politis
antara Muhammadiyah dan NU, sehingga sebagaimana terjadi pada dunia
Islam yang lain, gerakan pembaruan Islam Indonesia pada akhirnya juga
mengambil corak yang cukup kuat dalam bidang politik. Sekalipun ketegangan
Muhammadiyah dan NU bukan refleksi sepenuhnya dari sikap anti terhadap
Barat. Modernisasi di Indonesia ini memiliki kemiripan dengan Iran pasca
revolusi, dimana para intelektual terpolarisasi ke dalam dua spektrum, yaitu
mereka yang mengamini narasi modernitas Barat dengan persepsi
keberagamaan masyarakat yang anti Barat. Melihat kondisi tersebut, Michel
Foucoult mengajukan pertanyaan yang agak sarkastis “apa sebenarnya yang
sedang terjadi di Iran (dan Indonesia, pen.), dimana kebanyakan orang, yang
berada pada haluan kiri maupun kanan tampak agak mengalami iritasi?”.8
C. Kajian Pemikiran Pembaharuan Pemikiran di masa Orde Baru ala
Norcholis Majid
Perwakilan pembaharu pemikiran orde baru Nurcholis Madjid, Doktor
dari Chicago University ini mempelopori gerakan pembaharuan sejak 1970-an.
Tonggak pembaharuannya dimulai sejak ia mengungkapkan pemikiran-
pemikirannya dalam ceramah halal bi halal di Jakarta pada tanggal 3 Januari
1970. Dalam acara yang dihadiri oleh para aktivis penerus Masyumi, HMI, PII,
dan GPI itu Nurcholish menyampaikan makalahnya yang berjudul “Keharusan
Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”. Dalam makalah
7 Sutarto, Ayu. 2008. Menjadi NU Menjadi Indonesia: Pemikiran K.H. Abdul Muchith Muzadi. Surabaya: Khalista, H. 27 8 Kritzman, ed, Lawrence, D. 1988. Michel Foucault: Politics, Philosophy, Culture: Interviews and Other Writings, 1977–1984. New York: Routledge, H. 224
Gerakan Pembaharuan
7 AJIQS Vol. 1 No. 2 Desember 2019
yang cukup menghebohkan ini ia menawarkan sekularisasi dan liberalisasi
pemikiran Islam9
Sejak meluncurkan gagasan sekularisasinya pada 1970-an itulah sebagai
intelektual, pemikiran Nurcholish banyak dikaji dan dibahas dalam konteks
dan dinamika keislaman dan keindonesiaan. Beliau bahkan dijuluki sebagai
“lokomotif kaum pembaharu” yang dimasukkan ke dalam aliran neo-modernis
Islam bersama Harun Nasution, Abdurrahman Wahid, Jalaluddin Rahmat, dan
lainnya10. Berbeda dengan paradigma kaum modernis dan tradisionalis 11.
pemikiran Neo-modernism adalah suatu madzhab yang berusaha memadukan
antara otensitas wahyu dengan realitas sosial yang dinamis. Antara wahyu yang
transenden dan konteks yang profan. Oleh karena itu, Nurcholish berusaha
membangun visi Islam di masa modern, dengan sama sekali tidak
meninggalkan warisan intelektual Islam. Bahkan jika mungkin mencari akar-
akar Islam untuk mendapatkan kemodernan Islam itu sendiri.12
Sejak awal kemunculannya pada tahun 1970–an, Nurcholish menjelma
menjadi sebuah fenomena sekaligus sosok yang kontoversial, pemikirannya
sangat mendapat apresiasi sekaligus resistensi, terutama konsep
inklusivismenya yang muncul di tengah arus utama ekslusivisme. Jika
dikategorisasikan secara sederhana, maka ada tiga pandangan dan
kecenderungan masyarakat dalam menanggapi pemikiran dan sosok
Nurcholish. Pertama, pandangan yang apresiatif - empatik yang
memposisikannya sebagai teman dialog bagi kegelisahan-kegelisahan teologis
yang sama. Implikasinya, semua pemikiran Nurcholish diterima tanpa reserve,
tanpa sikap kritis. Dalam konteks ini pemikiran-pemikiran Nurcholish
menghasilkan proses transformasi yang cukup signifikan, terutama dalam
9 Madjid, Nurcholish. (1999). Islam, Kemoderenan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan,.h6 10 Urbaningrum, Anas. (2004). Islamo-Demokrasi : Pemikiran Nurcholish Madjid, Jakarta: Republika.,h.56 11 Al Qurthuby, Sumanto. (1999). Era Baru Fiqih Indonesia, Yogyakarta: Cermin, h.tt 12 kandi. (2004). Prof. Dr. Nurcholish Madjid: Jejak Pemikiran dari Pembaharu sampai Guru Bangsa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, h56
Gerakan Pembaharuan
8
AJIQS Vol. 1 No. 2 Desember 2019
mendorong perubahan aspek berfikir dan sikap keberagamaan. Mereka adalah
kelompok pemikir muda Islam. Bagi kelompok ini Nurcholis adalah figur
pembaharu yang patut dihargai dan bola salju pemikirannya mesti harus terus
menerus digelindingkan. Kedua, pandangan kritis, yang menempatkan
Nurcholish dan pemikirannya tersebut berada di luar bingkai mainstream
pemikiran umat Islam. Implikasinya adalah apologi dan sekaligus resistensi atas
pemikiran Nurcholish. Reaksi keras dan bahkan muncul vonis-vonis teologis
yang disematkan padanya, seperti sesat. Ketiga, adalah pandangan simpati yang
menempatkan Nurcholish dan pemikirannya secara objektif dan independen.
Kelompok ini melihat ada banyak sisi positif dan manfaat dari gagasan
Nurcholish, namun juga bersikap kritis dan objektif bahwa ada sisi
kelemahan.13
Kerangka Teoritis Nurcholish Madjid Kerangka konseptual seluruh
pemikiran Nurcholish dibangun dari sebuah pertanyaan yang fundamental
yaitu bagaimana Islam yang universal bisa ditempatkan dalam kerangka
kemodernan dan budaya lokal. Islam adalah universal dan implikasi dari
keuniversalannya adalah bahwa Islam harus dapat dipahami dan dilaksanakan
pada setiap ruang dan waktu. Dengan demikian Islam bisa bahkan harus
disesuaikan dengan kemodernan. Jika terjadi konflik antara ajaran Islam dan
pencapaian modernitas, maka yang harus dilakukan adalah bukan menolak
modernitas tersebut melainkan menafsirkan kembali ajaran tersebut 14. Antara
keotentikan dan kemodernan tidak dapat dilepaskan dalam merespon
permasalahan umat. Dengan kata lain diperlukan kesadaran akan kekayaan
tradisi sekaligus kemampuan untuk senantiasa membuat inovasi dalam “ruang”
Indonesia dan “waktu” zaman modern.
13 Wahid, Abu Dua. (2004). Ahmad Wahib: Pergulatan, Doktrin dan Realitas Sosial, Yogyakarta: Resist Book.h.86 14 Noercholis Majid, (2000). Islam Doktrin dan Peradaban : Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan, Jakarta: Paramadina.h.493
Gerakan Pembaharuan
9 AJIQS Vol. 1 No. 2 Desember 2019
Dalam merekonstruksi pemikiran-pemikirannya, termasuk teologi
inklusifnya, Nurcholish menggunakan pendekatan kritis-dekonstruktif dan
pendekatan humanistik/antroposentris 15.
a. Pendekatan kritis-dekonstruktif, berbeda dengan pemikiran klasik, dalam
pandangan Nurcholish, absolutisme harus diruntuhkan dan relativisme
harus diteguhkan. Pemahaman yang dianggap kebenaran oleh umat Islam,
dalam pandangan Nurcholish kebenaran bukanlah taken for granted, statis
dan tidak berubah. Setiap pemahaman terhadap kebenaran adalah proses
pencarian yang terus menerus, karenanya ia tidak tunggal dan tidak final.
Pemahaman terhadap kebenaran sangat dipengaruhi oleh konteks ruang
dan waktu. Karenanya ia tidak mutlak dan sangat memberi ruang untuk
dikritisi. Dengan asumsi seperti itu, maka tidak heran jika pemikirannya
dipenuhi tafsir baru, kritik, revisi, bahkan dekontruksi terhadap konsep-
konsep Islam yang selama ini sudah terlanjur dianggap kebenaran yang
final. Tujuan akhirnya adalah untuk menemukan makna baru yang lebih
segar dan progresif.
b. Pendekatan Humanistik-antroposentris.
Dalam menemukan gagasan-gagasan pemikirannya, Nurcholish senantiasa
memakai pendekatan humanistik, artinya upaya pembelaan terhadap
harkat kemanusiaan lebih ditekankan daripada klaim-klaim ketuhanan.
Agama pada akhirnya harus membela umat manusia daripada klaim
ketuhanan. Pendekatan humanistik ini dalam pandangan Nurcholish
menjadikan agama lebih membumi, berdialog dengan konteks ruang dan
waktu. Dalam bahasa lain teosentrisme harus disatu padukan dengan
antroposentrisme. Manusia menemukan kepribadiannya yang utuh hanya
jika memusatkan orientasi transendental hidupnya pada Allah. Pemusatan
oreintasi transendental ini harus dalam bingkai antroposentrisme.. Untuk
membela kemanusiaan, maka harus dipetakan secara jelas dan tepat
15 Suprayogo, Imam. (2003). Metodologi Penelitian Sosial Agama, Bandung: Rosdakarya,h.68
Gerakan Pembaharuan
10
AJIQS Vol. 1 No. 2 Desember 2019
wilayah keduniaan yang harus disekulerkan dan diprofankan dan apa yang
menjadi wilayah religius yang disakralkan dan dimutlakkan. Dalam
pandangan Nurcholish kemanusiaan itu universal, sehingga manusia
didudukan secara equal tanpa membedakan perbedaan atribut dan agama.
Pendekatan humanistik inilah yang sejalan dengan upaya kemaslahatan
manusia, karena agama haruslah untuk kemaslahatan manusia bukan untuk
agama itu sendiri.
D. Pembaharuan Pemikiran Era pasca Reformasi ala KH Hasyim
Muzadi
Hasim Muzadi, lahir di desa bangilan , Tuban, Jawa Timur, tanggal 8
Agustus 1944, setahun sebelum Indonesia merdeka. Orang tuanya memberi
nama Ahmad Hasim Muzadi, namun kelak lebih populer dengan nama
Hasyim Muzadi Saja. Ayahnya, Muzadi, yang berasal dari Kota Tuban adalah
pedagang tembakau. Sedangkan sang ibu, Rumiyati, yang asli Bangilan, sehari-
hari berdagang roti dan kue kering di kampung tersebut.Sama seperti yang
lainnya, sejak kecil, Hasyim mendapatkan pendidikan agama dari kedua orang
tuanya. Muzadi dan Rumiyati memang bercita-cita: kelak , semua ankanya,
termasuk Hasyim, harus tumbuh dan berkembang menjadi orang berilmu dan
bermanfaat bagi umat. Karena itu, dasar-dasar ilmu agama mulai ditanamkan
sejak masih belia.Selain belajar disekolah umum, Hasyim Muzadi kecil juga
belajar mengaji dari kedua orang tuanya. Beliau mengawali pendidikannya di
Madrasah Ibtidaiyah Salafiyah (setingkat sekolah dasar) Bangialan mulai kelas
satu sampai kelas tiga. Selebihnya diselasaikan disekolah Rakyat . Hasyim
Muzadi sempat mengeyam pendididikan SMP tapi tidak sampai tamat. Di
SMPN I Tuban hanya 1,5 tahun, beliau pindah ke Gontor untuk melanjutkan
studinya.16 Hasyim Muzadi orang kedua di Bangilan yang menimba ilmu di
Gontor. Sebelumnya , sepupu Kiai Hasim sudah terlebih dahulu berangkat
16 Ahmad Millah Hasan, Biografi A. Hasyim Muzadi, (Depok: Keira, 2018), hal. 43-47
Gerakan Pembaharuan
11 AJIQS Vol. 1 No. 2 Desember 2019
kegontor. Bedanya, Kiai Hasyim belajar di Gontor sampai lulus, yaitu pada
1956 sampai 1962. Sedangkan sepupunya putus di tengah jalan.Selain
menimba ilmu di Gontor, Kiai Hasyim sempat mengeyam pendidikan
Pesantren Seniori, di Tuban, Pesantren Lasem , Jawa Tengah.
Pemikiran( Fikrah) pertama NU lebih mengedepan sikap moderat yang
telah membumi di tanah Nusantara, ini ciri khas NU sebagai organisasi Islam
yang paling besar yang memilki nilai budaya sosial yang bisa diterima oleh
lapisan masyarakat, kecuali pihak-pihak yang tidak setuju terhadap pemikiran
dan gerakan NU di Indonesia. NU melalui peranan para kiai dan ulama dalam
memerdekakan bangsa dan merukunkan dengan menjaga kerukunan
beragama dan kerukunan berbangsa.
Perjalan para kiai selalu menghindari dari sikap radikal, karena sikap
tersebut paling tidak disukai yang akan menimbulkan resiko negatif jangka
panjang dan menjauhkan dari nilai-nilai kemaslahatan umat terutama negara
kesatuan republik Indonesia. Para ulama NU lebih mengedepankan nilai-nilai
moderasi dalam menghadapai masalah baik masalah agama dan bangsa dengan
menjalankan prinsip-prinsip yang factual dan realistis.
Melalui penggunaan aspek al-tawassuth ini dalam konteks berbangsa dan
bernegara, NU mampu berlayar di antara karang ekstremisme dan liberalism,
kedua kata yang memang dicurigai sebagai penyebab kehancuran sebuah
peradaban. Ekstremisme yang ditandai dengan absolutisme pendapat,
fanatisme akut dan takfir-isme, banyak menimbulkan konflik sektarian dan
bentrokan ideologis. Liberalisme, di sisi lain, dicurigai mempengaruhi pola
pikir dalam aspek sosial, teologi hingga ekonomi. Di bidang sosial, liberalisme
lebih cenderung dimaknai sebagai liberalisasi gaya hidup, westernisasi dan
modernisasi. Di bidang teologi, alih-alih memancing gairah pembebasan,
sebagaimana arti kata liberal, liberalisme justeru banyak berkutat pada wacana-
wacana elitis, sibuk membongka doktrin yang qath’i dan jauh dari makna
Gerakan Pembaharuan
12
AJIQS Vol. 1 No. 2 Desember 2019
pembebasan kaum yang tertindas (mustadh’afin) serta dicurigai sebagai
kepanjangan pihak kapitalis-borjuis. Di bidang ekonomi, dan ini yang paling
berpengaruh, liberalisme lebih banyak menjadi tukang stempel kebijakan yang
berpihak pada kaum neo-liberalisme.17
Fikrah Tawassuthiyyah ini juga mengandung kata kunci lain yang tidak
kalah penting, yaitu al-tawazun. Dalam tulisan ini, kata al-tawazun dimaknai
sebagai sebuah harmoni. Kata kunci ini akan terwujud jika terdapat berbagai
anasir yang berkaitan dalam kesamaan pemahaman. Dalam konteks
kebangsaan, wujud al-tawazun ini adalah NU selalu berusaha menjaga harmoni
kemajemukan,kerukunan antar umat beragama sekaligus memberikan berbagai
keputusan siyasi yang menghindarkan keterpecahan Indonesia. Kontribusi NU
sejak 1926 sampai sekarang dalam berbagai peristiwa penting merupakan
pengejawantahan harmoni dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini
bias dilihat dengan jelas dalam Resolusi Jihad, pemberian gelar waliyyul amri al-
dharuri bi al-syaukah, membela NKRI dari rongrongan PKI, penerimaan asas
tunggal Pancasila hingga keputusan NKRI adalah final.
Dalam konteks pemahaman seperti ini, sangat menarik kalimat yang
telah disampaikan oleh KH. A. Wahid Hasyim berikut ini:
“Saya berkata demikian (kegembiraan berdirinya PTAIN-pen) bukanlah karena saya
seorang muslim yang kebetulan berbangsa Indonesia, akan tetapi sebagai seorang putra
Indonesia yang beragama Islam.”18
Peranan kiai NU terus bergulir diteruskan oleh generasa seterusnya,
terutama KH Abdurahman Wahid (GusDur) putra dari KH. Wahid Hasyim.
Dalam peranan GusDur terhadap Konflik Ambon di Maluku sejak tahun 1999
adalah salah satu contoh luka bangsa ini. Saat menjadi presiden, KH.
17 Rijal Mumazziq Zionis, Fikrah Nakhdiyah sebagai Pondasi kehidupan Berbangsa dan Bernegara , (Jember:
STAI Assuniyah Kencong), Hal.8
18 Aboebakar Atjeh, Sedjarah Hidup KH. Abdul Wahid Hasjim dan Karangan Tersiar (Jakarta: Panitia Buku Peringatan Alm. K.H. A. Wahid Hasyim, 1957), 812.
Gerakan Pembaharuan
13 AJIQS Vol. 1 No. 2 Desember 2019
Abdurrahman Wahid atau Gus Dur mendarmabaktikan hidupnya untuk
bangsa Indonesia. Dalam menyelesaikan konflik Ambon ini, Gus Dur
menggunakan paradigma ukhuwah wathaniyah, yaitu prinsip persaudaraan karena
memiliki tanah air yang sama, yaitu Indonesia. Jika Gus Dur saat itu
menggunakan paradigma ukhuwah islamiyah, maka sebagai pemuka umat Islam
dan sebagai presiden muslim, sangat dimungkinkan Gus Dur mengirimkan
ribuan Banser untuk melakukan jihad di sana membantu kaum muslim.
Namun Gus Dur justeru tidak melakukannya. Saat menyelesaikan konflik, Gus
Dur tidak memilih memberfungsikan dirinya sebagai “politisi muslim” yang
bisa menunggangi isu konflik Ambon bagi kepentingan politiknya sendiri. Gus
Dur justeru memilih menjadi seorang negarawan sejati, berusaha mendamaikan
anak bangsa yang tercabik perang saudara, merukunkan kembali dan
menyadarkan bahwa konflik tidak akan menghasilkan kemaslahatan, karena
sebagaimana pepatah, menang jadi arang, kalah jadi abu.
Meskipun perdamaian di Ambon terjadi usai Gus Dur dilengserkan,
namun upaya rekonsiliasi yang dilakukan sejak jamannya berbuah manis. Di
tengah konflik membara, secara diam-diam Gus Dur mengutus Menteri
Agama KH. Tolchah Hasan dan Ketua Umum PBNU KH. Hasyim Muzadi
untuk menjadi salah satu mediator perdamaian Ambon.19NU dipilih menjadi
inisiator perdamaian karena selama itu sikapnya memang menunjukkan
moderatisme beragama dan visi besarnya mengenai Islam Indonesia. Beberapa
pemimpin kaum Nasrani garis keras juga melihat ketulusan dan obyektivitas
NU dalam proses perdamaian ini, sehingga proses rekonsiliasi mampu
dilakukan dengan cepat dan tepat. Nahdatul Ulama (NU), sejak dilahirkan pada
1926, tidak habis-habisnya melahirkan tokoh dan pemimpin besar. Tidak
hanya level nasional, tetapi juga internasional. Mereka telah terbukti memberi
warna bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu tokoh itu adalah
19Disampaikan oleh KH. Tolchah Hasan saat haul pertama Gus Dur di Pesantren Tebuireng Jombang, 26 Desember 2010.
Gerakan Pembaharuan
14
AJIQS Vol. 1 No. 2 Desember 2019
KH Hasyim Muzadi. Umumnya pemimpin NU, terutama ditingkat pusat ,
lahir dari keluarga kiai yang punya nama besar. Namun tidak begitu dengan
pria yang aktivis NU di Jawa Timur akrab disapa Kiai Hasim “cak” ialah
bahasa Jawa Timur yang berarti kakak. Dia lahir dari kalngan keluarga biasa di
Bangilan, Tuban, jawa Timur ayahnya, Muzadi seorang pedagang tembakau.
Banyak pihak yang kaget ketika mayoritas peserta Muktamar ke-30
NU di Lirboyo, kediri, tahun 2000, memutuskan memilih Kiai Hasim Muzadi
sebagai Ketua Umum Pengurus Besar NU. Kiai Hasyim terpilih sebagai
ketua PBNU yang kala itu masih menjabat Ketua Pengurus Wilayah NU
Jawa Barat, pada periode kedua. Ia menggantikan KH. Abdurahman Wahid
alias Gus Dur yang memimpin NU selama tiga periode :1984-1989,1989-
1994, dan 1994-1999. Muktamar itu adalah momentum bersejarah naik tokoh
kampung memjadi pemimpin tertinggi NU. Gus Dur berperan besar dalam
terpilihnya Kiai Hasyim, karena ia, yang kala itu menjadi persiden,
mendukung penuh Kiai Hasyim. Namun setelah lima tahun berlalu, Gus
Dur dan Kiai Hasyim berada pada posisi berhadapan pada muktamar ke -
31 NU di Donohudan Boyolali, Jawa Tengah, tahun 2004.20
Saat itu, Gus Dur ingin kembali memimpin NU. Sedangkan Kiai
Hasyim yang tetap bergandengan dengan KH. M. Ahmad Sahal Mahfudz
sebagai Rais Am, hendak melanjutkan perjuangannya. Pada Muktamar yang
memanas itu, Kiai Hasim kembali terpilih sebgai Ketua Umum NU. Pada
tahap pencalonan, Kiai Hasyim memperoleh 293 suara, KH Masdar F.
Mas’udi 103 suara, KH. Mustofa Bisri 35 suara, abdul Aziz 4 suara. Sedangkan
Gus Dur dan KH. Tholchah Hasan hanya memperoleh 1 suara. Kemudian
pemilihan tahap selanjutnya antara KH. Masdar F. Masudi dan KH. Hasyim
Muzadi, pada tahap ini, Kiai Hasyim mengungguli KH. Masdar F.Mas’udi
dengan perbandingan suara 334 dan 99.
20 Ahmad Millah Hasan, Biografi A. Hasyim Muzadi, hal. 71-72
Gerakan Pembaharuan
15 AJIQS Vol. 1 No. 2 Desember 2019
E. Pemikiran dan Gerakan KH Hasyim tentang Terorisme
Selanjutnya dalam pemikiran dan gerakan yang dilakukan Hasim
Muzadi pada masa kepemimpinanya atau setelah kepemimpinanya, beliau lebih
eksis pada bidang perdamaian dunia dan kerukunan antar agama. Peranan
agama dalam perdamaian dan kerukunan sangat urgen sekali, sebagaimana
yang dicita-citakan sekaligus dikerjagakan Hasyim Muzadi, karena agama akan
menjadi pilar utama dalam mewujudkan perdamaian dan kerukunan, kemudian
agama hanya dapat menjalankan perannya secara efektif dalam kehidupan
manusia. Oleh karena itu, diperlukan tiga kenyakinan yang bersumber dari
keyakian Ibrahim untuk menjadikan keselamatan atau perdaian sebagai inti
ajarannya. Sebagai contoh, Islam berarti penyerahan diri secara total
terhadap kehendak Allah.dan perdamaian di antara sesama manusia dengan
cara melakukan perbuatan yang baik, bagi Yahudi, pada pengertian
keharmonisan organik, pemenuhan kewajiban, penunaian tugas, kebaikan atau
rokonsialiasi atas berbagai pertentangan.
Dadang kahmad menegaskan pengertian itu tidak mencakup kata “
perdamaian” dalam pemahaman keagamaan Barat yang berarti penafsiran atas
konflik atau kesolehan pasif, dengan cara menghindarikan diri dari urusan
duniawi. Perdamaian mewujudkan, bukan hanya menghilangkan saling curiga,
saling mencelakai, penaklukan, atau peperangan, melainkan juga
menciptkanan tatanan alamiah segala sesuatu.21 Terjadinya konflik di
berbagai daerah tidak pernah usai, ini perlu penyelesaian yang sangat serius
bagi seluruh komponen bangsa, termasuk para tokoh agama. Hal ini, kiai
Hasyim sangat inten dalam menagggapai gerakan teroris di Indonesia yang
21 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama Potret Agama dalam Dinamika Konflik, Pluralisme dan Modernitas,( Pustaka Setia: Bandung, 2011), Hal. 163
Gerakan Pembaharuan
16
AJIQS Vol. 1 No. 2 Desember 2019
terus terjadi bermunculan dengan melakukan pemboman di daerah terutama di
kantor-kantor kepolisian yang menjadi sasrannya.
Hasyim Muzadi tak pernah sependapat dengan tindakan penangan
Kepolisian terhadap pelaku teror, terutama seperti yang dilakukan
Detasemen Khusus (Densus) 88 yang sering menembak mati mereka terduga
teroris. Sebab, katanya, cara seperti itu sama dengan pemberantasan terorisme
dengan teror baru. Penanganan terorisme , menurut Hasyim Muzadi, harus
tetap dilakukan dalam kolidor hukum. “ Jangan asal menembak mati orang
yang belum dibuktikan keterlibatannya sebagai teroris di Pengadilan. Itu
namanya menangani teroris dengan teror.Ia juga tidak sependapat dengan
dengan tereksposnya aksi penggerebekan dan penangkapan terduga teroris
lewat siarang langsung televisi (TV). Cara itu malah menyuburkan rasa
dendam kerabat atau simpatisan para teroris tersebut. Logikannya, melalui
tayangan aksi penangkapan itu mereka dapat melihat bagai mana karabat,
ayah, kakak, atau temen mereka yang diduga teroris itu, diperlakukan secara
tidak manusiawi oleh aparat. Dalam pandangannya, Indonesia pernah sukses
menangani kasus terosrisme secara elegan dan dapat apresiasi banyak
kalangan, termasuk luar negeri, yakni saat menangani kasus bom Bali
dengan pelaku, antara lain, Imam Samudra dan Amrozi. Saat itu aparat
menangkap pelaku dalam keadaan hidup, diadili, dan dijatuhi hukuman, harus
diterapkan kembali. Meskipun di pengadilan nantinya pelaku dijatuhi
hukuman mati , seperti pelaku Bom Bali, hal itu jauh lebih baik dari pada
menembak mati tanpa proses pengadilan.
Kiai Hasyim berpendapat, terorisme bukan watak asli bangsa
Indonesia. Tentu ada faktor-faktor yang membuat kelompok teroris lahir dan
berkembang di tanah air. Ia beranalisi, terorisme di Dunia dapat
dikategorikan dalam dua jenis, yaitu teror yang murni teror dan teror yang
bagian dari perang . terror yang terjadi di Indonesia, setelah era reformasi,
Gerakan Pembaharuan
17 AJIQS Vol. 1 No. 2 Desember 2019
adalah teror yang murni teror karena terjadi di negara damai. Sedang teror
yang bagian dari perang, seperti terjadi di Israel dan Palestina.Ia menyakini,
aktor intelektual teror bom bunuh diri adalah kelompok teroris lama. Kini,
mereka sudah berani berani terang-terangan melakukan serangan serta
terbuka. bahkan, masjid pun menjadi target serangan, seperti yang terjadi di
Msjid Polersta Cirebon, jawa Barat , 15 Juni 2011. Itu menjadi bukti tentik
bahwa torerisme tidak ada kaitanya dengan ajaran Islam dan ajaran agama
Islam. Kata Hasyim Muzadi, anehnya selama ini ada labelisasi Islam dalam
aksi terorisme di Indonesia. Labelisasi yang bersifat general itu
menyebabkan banyak umat Islam ikut kesel. Lalu, terjadi pembiaran. Jika
sikap itu berkembang di masyarakat, terorisme di Indonesia akan bersiafat
permanen.
Kiai Hasyim Muzadi menilai, ada permanenisasi terorisme di
Indonesia untuk dijadikan proyek yang juga permanen. Buktinya respon
pihak-pihak yang bertanggung jawab terhadap penanggulangan terorisme
itu lebih banyak dalam bentuk diskusi, bukan dalam bentuk aksi-aksi nayata
melakukan deideolgisasi di tengah-tengah masyarakat. 22 Diakui atau tidak ,
penangan teririsme selama ini masih mengacu kepada kekuatan senjata
aparat kepolisian. Sementara, peran masyarakat sipil cenderung dipinggirkan
dan diabaikan. Tidak dilibatkannya masyarakat sipil justru kontraproduktif
dan tidak mengenai sasaran, karena tidak mampu membasmi akar teroris.
Cara yang digunakan Indonesia sekarang sebenarnya sama dengan cara
yang dilakukan Amerika Serikat pada masya Persiden George W Bush, yaitu
pre empetive action ( pikul dulu urusan belakangan). Cara itu ternyata gagal,
bahkan membawa Amerika ke dalam gelombang teror.23
22 Ahmad Millah Hasan, Biografi A. Hasyim Muzadi, (Depok: Keira, 2018), hal. 242 23 “ Ini bukan serangan terhadap Islam, tapi serangan untuk terorisme,” demikian pernyataan Persiden AS, George W Bush, beberapa saat setelah melakukan serangan pertama terhadap beberapa tempat yang diduga sebagai instalasi militer pemerintahan Taliban Afganistan, 7 oktober
Gerakan Pembaharuan
18
AJIQS Vol. 1 No. 2 Desember 2019
Di Indonesia, cara seperti ini justru memunculkan terorisme baru.
Juka terus berlanjut, militansi para teroris semakin bertambah. Akibatnya,
mereka bisa semakin brutal melakukan serangan kepada polisi. Perserikatan
bangsa-bangsa (PBB) mengeluarkan resolusi yang menyebutkan pentingnya
peran kelompok masyarakat sipil dalam memberantas terorisme. Namun,
implimentasi resolusi itu juga masih lemah di Indonesia. Penangan terorisme
perlu melibatkan kelompok masyarakat sipil karena terorisme memilki
banyak bentuk dan manisfestasinya bisa dalam berbagai hal. Kelompok
masyarakat sipil dapat membantu mengatasi terorisme dari aspek-aspek
nonfisik, seperti ideologi dan kondisi sosial ekonomi.24
Sebagai ormas yang moderat, NU telah memberikan perhatian lebih
terhadap masalah terorisme di Indonesia. Dalam berbagai kesempatan, NU
aktif mengampanyekan Islam yang moderat dan anti terorisme, dalam
forum –forum nasional maupun internasioanl. Bagi NU, menguatnya Islam
modertalah yang mampu membendung kelompok Islam radikal. Melalui
lokomotif NU, Hasyim Muzadi melakukan kompanye tentang Islam rahmatan
Lil alamin terus tidak henti-henti beliau sampai wafat.25 NU melakukan hal itu
karena kesadaran bahwa penangan terorisme tidak hanya menjadi tanggung
jawa pemerintah, tetapi juga menjadi tangggung jawa masyarakat dan
organisasi keagamaan. Bahkan, isu terorisme telah menjadi bahasan khusus
pada muktamar ke-32 NU, di Makasar, Sulawesi Selatan, 2010. Rekomendasi
Muktamar menekankan pentingnya partisipasi masyarakat sipil dalam
penangan terorisme.
lalu. Pernyataan di atas sengaja diucapkan W Bush dengan maksud ingin melokalisir masalah agar umat Islam tidak terpancing untuk melakukan solidaritas terhadap Afganistan di satu pihak, dan pihak lain Bush seolah ingin menegaskan bahwa Islam tidak identik dengan terorisme. Bush sadar betul bahwa serangan itu sangat potensial untuk menyatukan solidaritas umat Islam di berbagai belahan dunia, dan bila hal itu terjadi maka tidak menutup kemungkinan sejarah hutam “ Perang salib” akan terualang kembali.Lihat buku “ Masyarakat Post-Teologi wajah baru Agama dan Demokrasi Indonesia, karya Rumadi ( Mustika Bahmid: Jakarta, 2002), Hal. 139-140 24 Ibid., hal. 243 25 Ibid.,
Gerakan Pembaharuan
19 AJIQS Vol. 1 No. 2 Desember 2019
Belajar dari pengalaman kegagalan Indonesia dalam menangkal
terorisme, dalam pandangan Kiai Hasyim, ada beberapa aspek pendekatan
yang harus dilakukan:
1. Aspek ideologis dan agama. Dibutuhkan peran serta organisasi
kemasyarakatan, seperti NU, Muahammadiyah dan lintas agama. Para kiai
pesantren, tokoh masyarakat dan lintas agama perlu digerakan secara
serentak. Tugas mereka adalah melurusken pemahaman agama yang
salah atau deradikalisasi ideologi kepada masyarakat luas. Terorisme ada
karena kesalahpahaman terhadap hakikat dari ajaran agama.
Kesalahpahaman ini kemudian pada 2006 telah berkembang menjadi
penyalah gunaan agama. Karena akar terorisme adalah pemahaman ideologi
yang salah, perhatian aparat tidak boleh hanya tertuju pada bentuk
terornya.
2. Aspek hukum. Untuk memberantas terorisme tentu parlu undang-undang
yang cukup agar aparat bisa bergerak di lapangan dengan langkah –
langkah yang terukur. Jangan sampai aparat justru dinilai melanggar hak
asasi manusia. Apalagi polisi kini belum sepenuhnya mendapat dukungan
opini, partisipasi masyarakat secara luas.
3. Pendekatan Intelejen dan pendekatan kewilayahan. Karena para teroris di
Indonesia bergerak dibawah tanah, penanganan terorisme tidak bisa
ditempuh diatas tanah. Di sinilah pendekatan intelijen sangat diperlukan.
Jika kepolisian tidak mampu bergerak maksimal, sebaiknya melibatkan
intelijen TNI. Kedua lembaga harus bekerja sama tanpa saling
menegasikan.
4. Aspek security dan represi. Tugas negara, terutama kepolisian, adalah
menciptakan rasa aman di masyarakat dari ancaman terorisme. Karena itu,
penangann semua kasus terorisme harus dituntaskan. Namun, perlu
diperhatikan, cara kekerasan bisa menimbulkan terorisme baru, sehingga
diperlukan pendekatan lain.
Gerakan Pembaharuan
20
AJIQS Vol. 1 No. 2 Desember 2019
5. Political will. Dalam hal ini, kepala negara perlu tugas mengambil sikap
dalam menagani terorisme yang terus mengancam. Hanya kepala negara
yang bis menggerakan semua elemen bangsa Indonesia dalam rangka
melakukan penangan terorisme secara tepadu.
6. Ujung dari semua ini aspek di atas adalah proses hukum terhadap para
pelaku teror. Pada masa lalu, berhasil meangkap hidup-hidup orang yang
diduga teroris. 26
F. Penutup
Mengacu pada paparan hasil analisis tentang dua pembaharu Muslim di
Indonesia dapat disimpulkan melalui runutan berikut:
Pertama, kedua pemuka pembaharu Muslim tersebut memiliki ruh
serupa dan merepresentasikan bagaimana pembaharuan pemikiran Islam di
Indonesia pasca Reformasi 1998. Nurcholis Majid (Cak Nur) mengungkap
formulasi pemikiran Islam lebih substantif filosofis dengan menggunakan
media potensi lokalitas atau kearifan budaya yang berkembang dalam tradisi
intelektual Islam. Sementara, Hasyim Muzadi melakukan formulasi pemikiran
yang cenderung tradisional. Perbedaan keduanya lebih pada metodologi yang
dibangun dan digunakan untuk menjelaskan relasi intelektual dalam tradisi
Islam di Indonesia. Cak Nur selangkah lebih maju karena di samping
mengkontruksi tradisi intelektual Islam, juga menggunakan metodologi dan
tradisi intelektual yang berkembang di dunia Barat. Sementara Hasyim Muzadi
masih menggunakan term-term dalam hazanah Islam tanpa “memolesnya”
dengan tradisi yang berkembang di dunia Barat.
Kedua, konsekuensi perbedaan penggunaan metodologi bukan terbatas
pada pengaruh latar belakadng keduanya, namun hasil kerja intelektual
keduanya memiliki misi dan media berbeda. Pengaruh tradisionalisme nampak
26 Ibid., hal. 244-245.
Gerakan Pembaharuan
21 AJIQS Vol. 1 No. 2 Desember 2019
dijadikan sepirit oleh Hasyim Mujadi untuk mengimbangi paham-paham
ekstrim, radikal dan intoleran. Hasyim Muzadi seolah melawankan dua arus
utama (mainstream) dalam pemikiran dan gerakan intelektual Islam di Indonesia.
Nucholis Majid lebih luwes dalam menganalisis relasi tumbuhnya paham
radikalisme dengan metdologi pemahaman yang dibangun oleh kelompok
Islam terkait.
Fakta demikian, merupakan konsekuensi dari lingkungan Hasyim
Muzadi yang merepresentasikan sebagai warga ormas Nahdatul Ulama, sebuah
organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia. Metode dan pendekatan
Hasyim serupa dengan metode dan pendekatan yang dibangun oleh NU dalam
membangun narasi dan praktek keislaman. Cak Nur juga memiliki konsekuensi
yang serupa. Namun dengan segmen masyarakat lebih modern (kelas
menengah ke atas). Dua arus pemikiran yang mengisi dinamika pembangunan
di Indonesia pasca Reformasi 1998 pada akhirnya bermuara yang sama.
Daftar Pustaka
Aboebakar Atjeh, Sedjarah Hidup KH. Abdul Wahid Hasjim dan Karangan Tersiar
(Jakarta: Panitia Buku Peringatan Alm. K.H. A. Wahid Hasyim, 1957).
Ahmad Millah Hasan, Biografi A. Hasyim Muzadi, (Depok: Keira, 2018).
Al Qurthuby, Sumanto. (1999). Era Baru Fiqih Indonesia, Yogyakarta: Cermin.
Barton, Greg 1999. Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid. Jakarta: Paramadina.
Boyd, J. 2001. Distance Learning from Purdah in Nineteenth Century Northern Nigeria: the Work of Asma’u Fodiyo. Journal of African Cultural Studies.
Dadang Kahmad, Sosiologi Agama Potret Agama dalam Dinamika Konflik, Pluralisme dan Modernitas,( Pustaka Setia: Bandung, 2011).
Dahlan, M. Moderasi Hukum Islam dalam Pemikiran Ahmad Hasyim Muzadi. Al-Ihkam, Vol. 11 No. 2 Desember 2016, hlm. 313-334.
Ehwanudin. Tokoh Proklamator Nahdlatul Ulama (Studi Historis Berdirinya Jam’iyyah Nahdlatul Ulama), Fikri, Vol. 1, No. 2, Desember 2016, P-ISSN: 2527-4430, E-ISSN: 2548-7620, hlm. 447-467.
Gerakan Pembaharuan
22
AJIQS Vol. 1 No. 2 Desember 2019
Janah, N. Nurcholish Madjid dan Pemikirannya (Diantara Kontribusi dan Kontroversi). Cakrawala: Jurnal Studi Islam, Vol. XII, No. 1, 2017, hlm. 44-63.
Jawahir, M. 2016. Analisis Pemikiran Nurcholis Madjid Tentang Politik Islam, Skripsi. Semarang: UIN Walisongo.
Kandi. (2004). Prof. Dr. Nurcholish Madjid: Jejak Pemikiran dari Pembaharu sampai Guru Bangsa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Khalid Masud, Muhammad. 2009. Islamic Modernism. in ed. Muhammad Khalid Masud et.al, Islam and Modernity: Key Issues and Debates. British: Edinburgh University Press.
Kritzman, ed, Lawrence, D. 1988. Michel Foucault: Politics, Philosophy, Culture: Interviews and Other Writings, 1977–1984. New York: Routledge.
Madjid, Nurcholish. (1999). Islam, Kemoderenan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan.
Munir, M. Nurcholish Madjid dan Harun Nasution serta Pengaruh Pemikiran Filsafatnya. Petita, Volume 2, Nomor 2, November 2017, hlm. 211-227.
Noercholis Majid, (2000). Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan, Jakarta: Paramadina.
Rasyid, MM. Islam Rahmatan Lil Alamin Perspektif Kh. Hasyim Muzadi, Epistemé, Vol. 11, No. 1, Juni 2016, hlm. 93-116
Rijal Mumazziq Zionis, Fikrah Nakhdiyah sebagai Pondasi kehidupan Berbangsa dan Bernegara , (Jember: STAI Assuniyah Kencong).
Salamuddin. Meneguhkan Islam Nusantara: Nahdlatul Ulama dan Falsafah Pendidikan Pesantren Musthafawiyah, Journal of Contemporary Islam and Muslim Societies, Vol. 3 No. 1 Januari-Juni 2019, hlm. 36-67.
Suprayogo, Imam. (2003). Metodologi Penelitian Sosial Agama, Bandung:
Rosdakarya.
Sutarto, Ayu. 2008. Menjadi NU Menjadi Indonesia: Pemikiran K.H. Abdul Muchith Muzadi. Surabaya: Khalista.
Urbaningrum, Anas. (2004). Islamo-Demokrasi: Pemikiran Nurcholish Madjid, Jakarta: Republika.
Wahid, Abu Dua. (2004). Ahmad Wahib: Pergulatan, Doktrin dan Realitas Sosial, Yogyakarta: Resist Book.