Post on 09-Dec-2016
1
Referat
GANGGUAN MYELINISASI
(DISORDER OF MYELINATION)
Oleh :
dr. Huldani
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
FAKULTAS KEDOKTERAN
BANJARMASIN
OKTOBER, 2013
2
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
BAB I
1.1
1.2
1.3
1.4
BABII
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan
Manfaat
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sistemsaraf
2.2 Perbedaan serabut saraf dengan myelin dan tanpa mielin
2.3 KlasifikasiPenyakit
2.3. Multiple Sclerosis
2.4. Pediatric Multiple Sclerosis
Multiple Sclerosis Variant
Acute Demyelinating Encephalomyelitis
Nutrition Electrolyte Related Demyelinating Disorder
Dismyelinating disorder
1
1
2
3
4
4
4
6
7
7
20
20
22
24
25
3
BAB III
BAB IV
BAB V
BAB VI
Algoritma
TabelKomparasi
Rangkuman/Resume
Kesimpulan
PENUTUP
27
29
27
29
31
DAFTAR PUSTAKA
4
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR GAMBAR
BAB I 2.1 Otot-Otot Penyusun Bahu
2.2Tendon Rotator Cuff
2.3 Tulang dan Sendi Bahu Tampak Anterior
2.4. Tulang dan Sendi Bahu Tampak Lateral Dextra
BAB III ALGORITMA
7
7
8
9
21
5
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Nyeri Alih
Tabel 2. Penyakit Sistemik
Tabel 3. Indikator Bendera Merah Nyeri Bahu
BAB IV TABEL KOMPERASI
10
10
16
22
6
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Mielin merupakan suatu kompleks protein lemak berwarna putih yang
mengisolasi tonjolan saraf. Mielin berfungsi menghalangi aliran ion Natrium dan
kalium melintasi membrane neuronal dengan hampir sempurna. Selubung myelin
tidak continue disepanjang tonjolan saraf, dan terdapat celah-celah yang tidak
memiliki myelin, dinamakan nodus ranvier. Transmisi impuls saraf di sepanjang
serabut bermielin lebih cepat, karena impuls berjalan dengtan cara meloncat dari
nodus ke nodus yang lain di sepanjang selubung myelin. Transmisi seperti ini
dinamakan Konduksi saltorik (1).
Data epidemiologi dan klinis penyakit dengan gangguan mielinisasi di
Asia jarang ditemui. Biasanya banyak ditemukan di Amerika serikat dengan
insidensi sekitar 400.000 orang. Gangguan myelinisasi yang terjadi sangat
bervariasi dandapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti iklim,ras, lokasi,dan
jenis kelamin (2).
Macam-macam dari ganggua myelinisasi, yaitu 1. Multiple Sclerosis yang
merupakan peradangan yang terjadi di otak dan sumsum tulang belakang yang
menyerang daerah substansia alba dan merupakan penyebab utama kecacatan
pada dewasa muda. Penyebabnya dapat disebabkan oleh banyak faktor, terutama
proses autoimun, 2. Pediatric Multiple Sclerosis paling banyak menyerang anak-
anak dibawah usia 10 tahun, 3. Multiple Sclerosis Variant; terdiri dari
Neuromyelitis Optica/ Devic’s disease yang merupakan peradangan akut pada
7
myelin terutama pada saraf optic dan spinal cord; Marburg type merupakan jenis
penyakit yangakut progresif. Biasanya cepat menimbulkan kematian setelah 1-6
bulan onset. 4. Acute Disseminated Encephalomyelitis (ADEM) merupakan
penyakit dengan akut/ subakut onset dengan gejala klinis polysymptomatic dan
harus terdapat gejala encephalopathy, 5.Nutrition Electrolyte Related
Demyelinating Disorder salah satu yang termasuk dalam jenis ini yaitu Osmotic
Demyelination Syndrome. 6. Dismyelinating Disorder terjadi akibat tidak
terbentuknya myelin pada serabut saraf dan biasanya penyebabnya tidak diketahui
atau karena penyakit metabolic (3).
Dari banyaknya jenis gangguan myelinisasi maka diperluakan diagnosis
dan tatalaksana yang tepat untuk mencegah progresifitas maupun komplikasi dari
penyakit tersebut. Inilah uraian singkat dari penyaji yang lebih lengkapnya dapat
dibaca diuraian selanjutnya.
1.2. Rumusan masalah
Rendahnya insidensi jenis penyakit ini di Asia mengharuskan perlunya
pemahaman yang tinggi bagi tenaga medis sehingga diperlukan pembelajaran agar
kasus seperti ini dapat ditangani dengan tepat sebagaimana penanganan penyakit
lainnya yang sering ditemui. Dengan demikian, rumusan masalah pada tinjauan
pustaka ini adalah:
1. Apa perbedaan serabut saraf dengan myelin dan serabut saraf tanpa myelin?
2. Apa saja jenis penyakit tersering dengan gangguan mielinisasi?
3. Bagaimana algoritma diagnosis dan penatalaksanaan penyakit dengan
gangguan meilinisasi?
8
1.3. Tujuan
Tinjauan kepustakaan ini bertujuan menjelaskan jenis serabut saraf, jenis
penyakit dengan gangguan mielinisasi yang terdiri atas definisi, klasifikasi,
etiologi, epidemiologi, faktor risiko, patofisiologi, diagnosis, tatalaksana,
komplikasi, dan prognosis.
1.4. Manfaat
Tinjauan pustaka ini diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada
mahasiswa kedokteran dan praktisi kesehatan agar dapat menegakkan diagnosis
secara dini dan memberikan penanganan yang tepat sehingga dapat mencegah
progresivitas pada kasus gangguan myelinisasi.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sistem saraf
Sistem saraf terdiri dari jutaan sel saraf (neuron). Neuron adalah sel saraf
yang merupakan unit dasar system saraf dan berfungsi untuk menghantarkan
impuls yang membawa informasi dari lingkungan. Neuron berbeda-beda dalam
ukuran dan bentuknya tergantung pada tugas khusus yang harus dilakukannya,
namun scara umum setiap neuron terdiri dari badan sel (perikarion/soma), nucleus
(intisel), akson, dendrite, dan tombol terminal. Setiap neuron memiliki sebuah
badan sel yang berisi nucleus yang didalamnya terdapat kromosom (DNA). Dari
badan sel menjulur prosesus-prosesus (tonjolan) yang disebut akson dan dendrite.
Akson merupakan prosesus yang menghantarkan impuls dari badan sel ke tombol
terminal dan jmlahnya biasanya satu. Pada bagian luar akson terdapat lapisan
lemak yang disebut Myelin (1).
Myelin merupakan suatu konduktor yang mempunyai cara kerja
menghalangi ion natrium dan ion kalium melintasi membrane neuronal dengan
hamper sempurna. Selubung myelin tidak continue sepanjang saraf, dan terdapat
celah yang tidak memiliki myelin, dianakan nodus ranvier. Tonjolan saraf pada
susunan saraf pada susunan saraf pusat dan tepi dapat bermyelin atau tidak.
Serabut saraf yang yang mempunyai selubung myelin dinamakan serabut
bermyelin, dan didalam SSP dinamakan massa putih (substansia alba). Serabut
yang tak bermielin dinamakan serabut tak bermielin dan terdapat pada substansia
kelabu (substansia grisea). Transmisi impuls saraf disepanjang serabut myelin
lebih cepat dari transmisi disepanjang serabut tak bermielin (4).
10
Gambar 1.1 Perbedaan serabut saraf dengan myelin dan tanpa myelin
11
2.2 Perbedaan antara serabut saraf dengan myelin dan tanpa myelin
Terdapat beberapa jenis serabut saraf. Beberapa isyarat sensorik perlu
dihantarkan ke susunan saraf pusat sengan sangat cepatnya, kalau tidak informasi
ini akan menjadi tidak berguna. Misalnya isyarat sensorik yang dinilai otang
mengenai posisi sementara anggota gerak pada tiap bagian dari detik,sementara
berlari. Pada ujung yang lain, beberapa jenis informasi sendorik, seperti yang
menggambarkan pegal yang lama, tidak perlu dihantarkan dengan cepat, sehingga
cukup serat yang menghantarkan sangat lambat. Untunglah serat saraf mempunyai
semua ukuran, dari diameter 0,2-20 mikron – diameter yang lebih besar
mempunyai kecepatanhantaran yang lebih besar. Batas kecepatan hantaran adalah
0,5-120 meter per detik (5).
Gambar 1.1 memberikan dua macam klasifikasi serat saraf yang biasa
digunakan. Salah satunya adalah klasifikasi umum yang meliputi seraf saraf
sensorik dan motorik, termasuk serat saraf otonom. Dalam klasifikasi umum, serat
ini dibagi menjadi jenis A dan C, dan serat jenis A dibagi lagi menjadi serat α, β,
γ, dan δ (5).
Serat jenis A merupakan serat saraf spinalis yang bermielin dan khas.
Serat jenis C merupakan serat saraf tak bermielin dan sangat kecil yang
menghantarkan impuls pada kecepatan rendah. Ia merupakan lebih dari setengah
saraf sensorik dalam kebanyakan saraf perifer dan juga semua serat otonom
postganglion(5).
Dalam klasifikasi serat sensorik, serat ini dibagi menjadi kelompok Ia, Ib,
II, III, dan IV. Serat grup I adalah terbesar dan serat grup IV adalah yang terkecil,
merupakan serat tak bermielin yang sama seperti serat jenis C dalam klasifikasi
umum (5).
12
2.3 Klasifikasi Penyakit
2.3.1 Multiple Sclerosis
Multiple sklerosis adalah suatu peradangan yang terjadi di otak dan
sumsum tulang belakang yang menyerang daerah substansia alba dan merupakan
penyebab utama kecacatan pada dewasa muda. Penyebabnya dapat disebabkan
oleh banyak faktor, terutama proses autoimun. Focal lymphocytic infiltration atau
sel T bermigrasi keluar dari lymph node ke dalam sirkulasi menembus sawar
darah otak (blood brain barrier) secara terus-menerus menuju lokasi dan
melakukan penyerangan pada antigen myelin pada sistem saraf pusat seperti yang
umum terjadi pada setiap infeksi. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya
inflamasi, kerusakan pada myelin (demyelinisasi), neuroaxonal injury,
astrogliosis, dan proses degenerative. Akibat demyelinasi (Gambar 1.1), neuron
menjadi kurang efisien dalam potensial aksi. Transmisi impuls yang disampaikan
oleh neuron yang terdemyelinisasi akan menjadi buruk. Akibat 'kebocoran' impuls
tersebut, terjadi kelemahan dan kesulitan dalam mengendalikan otot atau kegiatan
sensorik tertentu di berbagai bagian tubuh (6).
Gambar 1.2 Perbedaan Neuron yang Sehat dan yang Mengalami Demyelinisasi
13
Menurut National Multiple Sclerosis Society, kira-kira 400,000 orang
Amerika tercatat menderita MS, dan pada setiap minggunya sekitar 200 orang
didiagnosis MS. Di seluruh dunia, MS mungkin diderita 2.5 juta individu.
Umumnya serangan terjadi dalam dekade ketiga dan keempat, walaupun penyakit
ini bisa mulai dalam masa kanak-kanak dan juga di atas usia 60 tahun. Secara
keseluruhan, MS terjadi lebih sering pada wanita dibandingkan laki-laki, dengan
perbandingan adalah kira-kira 2:1. Gejala jarang muncul sebelum usia 15 tahun
atau setelah 60 tahun. Usia rata-rata timbulnya gejala adalah 30 tahun, dengan
kisaran antara 18 tahun hingga 40 tahun pada sebagian besar pasien. Ciri khas
perjalanan multiple sklerosis adalah serangkaian serangan terbatas yang
menyerang bagian susunan saraf pusat yang berlainan. Masing-masing serangan
kemudian akan memperlihatkan beberapa derajat pengurangan, namun
keseluruhan gambaran adalah suatu keadaan yang makin memburuk (7,8).
Gambar 1.3 Persebaran Multiple Sclerosis
14
Multiple sklerosis secara dominan menyerang orang kulit putih, informasi
terakhir cenderung menunjukkan bahwa multiple sklerosis adalah suatu penyakit
bawaan dan mungkin dapat ditularkan. Adanya bukti bahwa hubungan antara
HLA system (Human Leukocyte Antigen) dan multiple sklerosis menunjukkan
suatu kerentanan genetis terhadap penyakit itu (7).
Etiologi dari kelainan tersebut masih belum jelas. Ada beberapa
mekanisme penting yang menjadi penyebab timbulnya bercak MS yaitu autoimun,
infeksi, dan herediter. Meskipun bukti yang meyakinkan kurang, faktor makanan
dan paparan toksin telah dilaporkan ikut berkontribusi juga. Mekanisme ini tidak
saling berdiri sendiri melainkan merupakan gabungan dari berbagai faktor (9).
Mekanisme autoimun diduga terjadi melalui penurunan aktifitas limfosit
T-supresor pada sirkulasi pasien penderita MS serta adanya molecular mimicry
antara antigen dan MBP (myelin basic protein) yang mengaktifkan klon sel T
yang spesifik terhadap MBP (MBP specific T-cell clone). Limfosit T4 menjadi
autoreaktif pada paparan antigen asing yang strukturalnya mirip dengan MBP.
Tidak hanya beberapa virus dan peptida bakteri saja yang memiliki kesamaan
struktural dengan MBP, tetapi beberapa dari mikroorganisme tersebut dapat
mengaktifkan MBP-spesifik T-sel klon pada pasien MS (9).
Beberapa infeksi virus diketahui menyebabkan demyelinasi pada manusia
diantaranya progressive multifocal leukoencephalopathy yang disebabkan oleh
papilloma virus JC, subakut sclerosing panencephalitis oleh virus campak. Pada
MS studi serologis awal sulit ditafsirkan. Namun, banyak pasien MS terdapat
elevasi titer CSF terhadap virus campak dan herpes simpleks (HSV), tetapi ini
juga tidak spesifik (10).
Hal terpenting dari peran mielin pada proses transmisi dapat terlihat dengan
mengamati hal yang terjadi jika tidak lagi terdapat mielin di sana. Pada orang-
15
orang dengan multiple sklerosis, lapisan mielin yang mengelilingi serabut saraf
menjadi hilang. Sejalan dengan hal itu, orang tersebut perlahan-perlahan
kehilangan kemampuan mengontrol otot-ototnya dan akhirnya tidak mampu sama
sekali (11).
Sifat dasar gangguan yang menyebabkan multiple sklerosis tidak diketahui
dengan pasti. Bukti-bukti terbaru mendukung teori bahwa multiple sklerosis
adalah penyakit autoimun, mungking berkaitan dengan pemicu lingkungan yang
tidak dapat ditentukan seperti infeksi virus. Hipotesis ini berasal dari observasi
bahwa infeksi virus biasanya menyebabkan peradangan yang melibatkan produksi
interferon gamma, yaitu suatu zat kimia yang diketahui dapat memperburuk
multiple sklerosis. Sejumlah virus telah diajukan sebagai agen penyebab yang
mungkin pada multiple sklerosis. Beberapa peneliti menduga virus campak
(rubeola). Berbagai antibodi campak telah ditemukan dalam serum dan cairan
serebrospinalis (CSF) pasien multiple sklerosis, dan bukti yang ada mengesankan
antibody ini dihasilkan dalam otak. Teori lain menduga bahwa faktor genetic
tertentu menyebabkan beberapa orang lebih peka terhadap invasi susunan saraf
pusat dengan berbagai virus “lambat”. Virus yang lambat memiliki masa inkubasi
yang lama dan hanya mungkin berkembang dengan keadaan defisiensi atau imun
yang abnormal. Antigen histokompabilitas tertentu ( HLA-A3, HLA-A7) telah
ditemukan lebih sering pada pasien multiple sklerosis dibandingkan dengan
subjek yang terkontrol. Adanya antigen ini mungkin berkaitan dengan defisiensi
pertahanan imunologis dalam melawan infeksi virus (11).
Beberapa keadaan yang biasanya dianggap sebagai faktor pencetus adalah
kehamilan, infeksi (khususnya dengan demam), stress emosional, dan cedera.
Penyembuhan sempurna biasanya terjadi setelah serangan pertama. Remisi
biasanya timbul dalam waktu 1 hingga 3 bulan dengan serangan yang berturut-
turut. Namun pada akhirnya penyembuhan tidak terjadi secara sempurna, dan
16
pasien diwarisi kerusakan permanen tambahan setelah serangan penyakit tersebut
(11).
Manifestasi yang sering terjadi pada multipel sklerosis adalah: (9, 10)
1. Gangguan visual
Neuritis optik ( retrobulbar ) merupakan gangguan visual khas yang
merupakan tanda onset multipel sklerosis. Patologi dasarnya adalah demielinisasi
inflamasi pada satu atau kedua nervus optik. Gejala neuritis optik unilateral
meliputi :
a. Nyeri disekitar salah satu mata terutama saat mata bergerak
b. Penglihatan kabur dan dapat berlanjut menjadi kebutaan total monookular
c. Hilangnya penglihatan warna
Selain gangguan ketajaman penglihatan dan warna, pemeriksaan dapat
menunjukan :
a. Diskus optikus membengkak, dan kemerahan pada funduskopi jika area
demielinisasi inflamasi terletak langsung dibelakang papil nervus optikus
b. Defek lapang pandang umumnya berupa skotoma sentral pada mata yang
terkena
c. Defek pupil aferen relative
Neuritis optik biasanya akan membaik setelah beberapa minggu atau bulan,
walaupun pasien tetap memiliki ganggguan penglihatan pada mata yang terkena,
dan funduskopi umumnya menunjukkan diskus optikus yang pucat karena atrofi
nervus optikus. Pembengkakan diskus optikus pada fase akut, jika bilateral, harus
dibedakan dari edema papil yang disebabkan oleh peningkatan tekanan
intrakranial walaupun kadang tampak serupa. Pada edema papil, biasanya
ketajaman penglihatan lebih baik, dan defek lapang pandang pada awal edema
papil adalah berupa pembesaran bintik buta fisiologis. Episode neuritis optik tidak
selalu menunjukkan bahwa pasien selanjutnya akan mengalami multipel sklerosis
17
mungkin saja hanya merupakan penyakit monofasik, terutama pada anak dan jika
bilateral.
Gangguan visual lainnya saat onset multipel sklerosis meliputi diplopia
yang sering disertai vertigo dan mual, sehingga merupakan indikasi adanya plak
batang otak. Pemeriksaan pada keadaan ini dapat menunjukkan oftalmoplegia
internuklear. Dapat juga terjadi ataksia serebelar.
2. Gejala dari gangguan batang otak
Trigeminal neuralgia terjadi pada 1.5% pasien MS dan 300 kali lebih
banyak terjadi dalam kelompok ini dibandingkan di dalam populasi umum.
Trigeminal neuralgia, dua kali lipat terjadi bilateral dalam pasien multipel
sklerosis dibandingkan di poplulasi pada umumnya. Seringkali, nyeri muncul di
antara serangan paroksismal, dan bisa saja nyeri terjadi diluar dari distribusi
syaraf trigeminal, kelumpuhan nerfus fasialis, atau gejala lain yang menyertai
tanda gejala pada lesi pontine. MS-related trigeminal neuralgia memberikan
respon terhadap pengobatan dengan prostaglandin E analog. Ketulian Mendadak
atau serangan akut vertigo dapat menyerupai suatu krisis vestibular akut, bisa juga
merupakan tanda dari multipel sklerosis yang kurang sering terjadi.
3. Gejala gangguan serebelar
Tanda dan gejala serebelar terdapat pada ¾ kasus. Gerakan ataksia sering
kali merupakan tanda yang menonjol yang terutama mengenai gaya berjalan
pasien, yang tidak hanya spesifik tetapi juga ataksik. Yang terutama berkesan dan
sangat karakteristik pada multipel sklerosis adalah tremor intensi yang menyertai
gerakan volunter misalnya tes jari-hidung. Tremor menunjukan suatu lesi dari
nukleus dentatus yang mengenai serabut-serabut eferennya. Disdiadokokinesia
dan dismetria pada gerakan dapat ditemukan, biasanya disertai oleh tanda-tanda
spastisitas dan refleks di tendon yang meningkat. Gangguan bicara dideskripsikan
sebagai irama yang tidak beraturan dan eksplosif.
18
4. Gejala ekstrapiramidal
Lebih dari 80% dari pasien multipel sklerosis menderita gejala kejang
paraparesis dengan gejala bilateral traktus piramidal dan hiperrefleksi. Jika gejala
kejang paraparesis muncul dalam waktu yang lama, diagnosis dari multipel
sklerosis harus dipertanyakan. Paraparesis progresif mungkin saja hanya satu-
satunya gejala multipel sklerosis, terutama sekali didalam onset akhir penyakit,
dan cenderung menjadi progresif dalam beberapa kasus. Tidak adanya refleks
kulit abdominal dapat menjadi tanda dari kejang paraparesis. Hal ini tidak
memiliki nilai informatif sebagai satu temuan terisolasi, refleks ini tidak dimiliki
oleh 20% orang dewasa normal, tetapi menjadi signifikan jika muncul bersama
dengan refleks dinding abdominal yang berlebihan.
5. Fenomena mirip bangkitan
Timbulnya serangan epileptik pada multipel sklerosis sudah berulang-ulang
diajukan dan diabaikan. Pengarang menemukan pada kelompok pasien multipel
sklerosis yang diteliti ternyata epilepsi 4 kali lebih sering dibandingkan populasi
umum. Serangan batang otak paroksismal harus membangkitkan kecurigaan
adanya multipel sklerosis terutama pada pasien muda. Kelainan ini dapat terjadi
sebagai tanda penyakit yang timbul, dengan cara yang sama seperti serangan
berupa kehilangan tonus otot yang menyebabkan pasien jatuh atau seperti distonia
paroksismal. Sebagian serangan berulang yang berlangsung selama 15-45 detik,
disertai oleh disartria paroksismal dan ataksia.
6. Gangguan mental
Pasien dengan mutipel sklerosis tidak jarang memperlihatkan euforia yang
tidak sesuai kurangnya menyadari penyakitnya. Makin lama perjalanan
penyakitnya, makin mungkin timbul perubahan psikoorganik yang terutama pada
19
kasus-kasus dengan perjalanan penyakit yang panjang, dapat menimbulkan
demensia pada ¼ pasien. Gangguan mental dapat merupakan gejala dari MS,
biasanya berkaitan dengan kelainan batang otak; tentu saja, gambaran psikotik
dapat merupakan tanda dini dari penyakit ini. Pada stadium yang lebih dini, tanda
kelainan mental dapat ditemukan pada kira-kira 3% kasus.
7. Gangguan miksi
Pada saat pertama kali masuk rumah sakit, sekitar 20% pasien
memperlihatkan gangguan ini. Yang paling sering adalah dorongan yang tidak
terkontrol untuk miksi, yang dapat menimbulkan ngompol. Bentuk lain dari
inkontinensia kurang sering ditemukan.
8. Gangguan Sensorimotorik.
Manifestasi sensorik dan motorik umumnya menunjukkan lesi pada medula
spinalis atau hemisfer serebri. Contohnya, pasien mengalami paraparesis spastik
asimetris dan atau parestesia, anestesia suhu, dan disestesia pada anggota gerak.
Lesi pada kolumna posterior medula spinalis servikal dapat menyebabkan gejala
yang hampir patognomonik yaitu sensasi kesemutan yang menjalar ke lengan atau
tungkai saat fleksi leher (Fenomena Lhermitte). Pada beberapa pasien, gejala
motorik, sensorik, atau visual terkadang lebih buruk setelah mandi air panas (
Fenomena Uhthoff ).
Gangguan sensorik terdapat kira-kira pada 50% pasien-pasien dengan
penyakit yang dini. Kadang-kadang gejala yang timbul berupa sensasi yang
spontan abnormal (parestesia) atau sebagai perasaan abnormal setelah menggores
kulit dari ekstremitas (disestesia). Tangan kadang-kadang dapat memperlihatkan
astereognosia yang berat (10).
Kriteria diagnostik yang umum dipakai adalah kriteria McDonald yang
merupakan kriteria MS dengan konsep asli tahun 2001 dan revisi terakhir tahun
2010. Kriteria McDonald menekankan adanya pemisahan menurut
20
waktu/disseminated in time (dua serangan atau lebih) dan pemisahan oleh
ruang/disseminated in space (dua atau lebih diagnosa topis yang berbeda).
Seseorang dinyatakan definite menderita MS bila terjadi pemisahan waktu dan
ruang yang dibuktikan secara klinis atau bila bukti secara klinis tidak lengkap
tetapi didukung oleh pemeriksaan penunjang (MRI, LCS atau VEP).
Tabel 1.1. Kriteria McDonald (12)
Attacks Clinical
lesion
Requirements for diagnosis MS
2 or more 2 or
more
None
2 or more 1 lesion Dissemination in space (DIS), demonstrated by: MRI
(CSF (+) or further clinical attack)
New criteria: DIS demonstrated by the presence of 1 or more 2
lesions in at least 2 of 4 of area CNS: Periventricular,
Juxtacortical, Infratentorial, or Spinal Cord.
1 attack 2 lesion Dissemination in time (DIT), demonstrated by: MRI or second
clinical attack
New criteria: No longer a need to have separate MRIs run; DIT
demonstrated by: Simultaneous presence of asymptomatic
gadolinium-enhancing and nonenhancing lesions at any time; or
A new T2 and/or gadolinium-enhancing lesion(s) on follow-up
MRI, irrespective of its timing with reference to a baseline scan;
or Await a second clinical attack. [This allows for quicker
diagnosis without sacrificing specificity, while improving
sensitivity.]
1 attack 1 lesion New criteria: DIS and DIT, demonstrated by:
21
For DIS: 1 or more T2 lesion in at least 2 of 4 MS-typical
regions of the CNS (periventricular, juxtacortical, infratentorial,
or spinal cord); or Await a second clinical attack implicating a
different CNS site; and For DIT: Simultaneous presence of
asymptomatic gadolinium-enhancing and nonenhancing lesions
at any time; or A new T2 and/or gadolinium-enhancing lesion(s)
on follow-up MRI, irrespective of its timing with reference to a
baseline scan; or Await a second clinical attack.
0 attack
Insidious neurological
progression
suggestive of MS
New criteria: One year of disease progression (retrospectively or
prospectively determined) and two or three of the following:
1. Evidence for DIS in the brain based on 1 or more T2 lesions
in the MS-characteristic (periventricular, juxtacortical, or
infratentorial)regions
2. Evidence for DIS in the spinal cord based on 2 or more T2
lesions in the cord
3. Positive CSF (isoelectric focusing evidence of oligoclonal
bands and/or elevated IgG index)
Pemisahan secara waktu maksudnya adalah terjadinya dua serangan atau
lebih dimana jarak antara dua serangan minimal 30 hari dan satu episode serangan
minimal berlangsung 24 jam. Sedangkan pemisahan oleh ruang adalah
terdapatnya dua atau lebih gejala neurologis obyektif yang mencerminkan dua lesi
yang diagnosis topisnya berbeda.
Kriteria definite (disseminated in space) MRI harus meliputi 3 dari 4 kriteria:
1. Adanya 1 lesi yang besar atau minimal 9 lesi yang kecil
2. Minimal 1 lesi infratentorial
3. Minimal 1 lesi juxtakortikal
22
4. Minimal 3 lesi periventrikel.
Selain itu pada MRI dapat terlihat gambaran atrofi korteks yang didahului oleh
pembesaran ventrikel.
Gambar 1.4. MRI Otak Wanita 25 Tahun dengan Relapsing-Remitting MS
Pemeriksaan oligoclonal band dari cairan serebrospinalis/LCS sangat
membantu diagnosis MS. Sensitifitas pemeriksaan ini dikatakan dapat mencapai
95% dan bila terdapat peningkatan oligoclonal band pada LCS maka hanya
dibutuhkan 2 lesi pada MRI untuk memenuhi kriteria disseminated in space.
Pemeriksaan VEP (visual evoked potential) merupakan pemeriksaan
penunjang yang cukup sensitif (dibandingkan pemeriksaan evoked potential lain)
untuk MS dimana terjadi pemanjangan latensi VEP yang disebabkan adanya
demyelinisasi pada nervus optikus. VEP secara dini dapat mendeteksi kelainan
meskipun pada pasien MS yang secara klinis belum terdapat gejala klinis neuritis
optika.
E. Penatalaksanaan
23
Multiple sclerosis sampai saat ini masih belum dapat disembuhkan, tetapi
tidak mematikan. Ada pengobatan yang memungkinkan untuk menunda
perkembangan penyakit ini dan mengurangi sebaran, intensitas dan durasi gejala
(14).
1. Relaps akut:
Metyl prednisolon per infus 1 gram/hari selama 7-10 hari, kemudian po (per
oral) prednison 80 mg selama 4 hari kemudian tapering off 40, 20, 10 mg masing-
masing 4 hari. Tujuan pemberiannya adalah
a) Mengurangi keparahan dan durasi relaps dengan menurunkan inflamasi
b) Untuk mengurangi kerusakan akibat serangan.
Penggunaan steroid jangka panjang tidak dianjurkan. Karena dapat
menyebabkan beberapa efek samping pada pemberian jangka panjang serta
mungkin tidak lagi berefek jika diberikan jangka panjang.
2. Pencegahan relaps
Interferon diproduksi oleh sel-sel untuk merespons berbagai virus. Sel-sel ini
diberi nama sesuai kemampuan mereka untuk menghambat replikasi virus,
mengurangi respons peradangan, termasuk mencegah kerusakan pada neuron. Ada
tiga jenis interferon, yaitu alfa, beta, dan gamma. Inferon B: efektif untuk
mencegah relaps pada MS, cara pemberian injeksi subkutan, obat ini untuk
penderita 2 atau lebih serangan pada 2 tahun pertama.
Sekarang digunakan intravenous IgG dengan dosis 0,4 gr/koagulan/hari
selama 5 hari, kemudian dibooster 0,4 gr/koagulan/hari setiap 2 bulan dalam 2
tahun.
3. Kronik progresif Dapat diberikan immunosupresan misalnya azahioprin,
methotrexate, cyclophosphamide tetapi sayang hasilnya tidak memuaskan.
4. Terapi simtomatis:
a) Bangkitan dapat diberi carbamazepin
24
b) Nyeri karena neuralgia trigeminal diberikan carbamazepin, fenitoin,
gabapentin, baclofen + amitriptilin
c) Spastisitas diberi baclofen
d) Kelemahan umum dapat diberikan anti kolinergik misal ditropan,
propantelin 2-3 x/hari
e) Gangguan emosi dan pseudobulber dapat diberikan amitriptilin 25 mg pada
waktu malam.
Perjalanan penyakit MS terdiri dari 4:
1. Relaps dan remiting sekitar 25 %
2. Chronic/progresif (sekunder progresif) sekitar 40%
3. Chronic/progresif dari onset sekitar 15%
4. Benign MS 20%.
Jika tidak diobati, lebih dari 30% pasien dengan MS akan memiliki
cacat fisik yang signifikan dalam waktu 20-25 tahun setelah onset. Kurang dari
5-10% dari pasien memiliki fenotipe MS klinis ringan, di mana tidak ada cacat
fisik yang signifikan terakumulasi meskipun berlalu beberapa dekade setelah
onset (kadang-kadang terlepas dari lesi baru yang terlihat pada MRI).
Pemeriksaan rinci dalam banyak kasus, mengungkapkan beberapa tingkat
kerusakan kognitif (14).
Pasien laki-laki dengan MS progresif primer memiliki prognosis
terburuk, dengan respon yang kurang menguntungkan untuk pengobatan dan
cepat menimbulkan kecacatan. Insiden yang lebih tinggi dari lesi sumsum
tulang belakang di MS progresif primer juga merupakan faktor dalam
perkembangan pesat dari kecacatan (14).
Harapan hidup dipersingkat hanya sedikit pada orang dengan MS, dan
tingkat kelangsungan hidup terkait dengan kecacatan. Kematian biasanya
terjadi akibat komplikasi sekunder (50-66%), seperti penyebab paru atau ginjal,
25
tetapi juga dapat disebabkan oleh komplikasi utama, bunuh diri, dan
menyebabkan tidak berhubungan dengan MS. Marburg varian dari MS adalah
bentuk akut dan klinis fulminan penyakit yang dapat menyebabkan koma atau
kematian dalam beberapa hari (14).
2.4.2 Pediatric Multiple Sclerosis
Prevalensi Pediatric MS di dunia sebenarnya tidak diketahui tetapi pada
tahun 2011 dilaporkan dari beberapa penelitian insidensi 0,51/100.000 orang per
tahun. Rasio kejadian Pediatric MS antara perempuan:laki-laki bervariasi menurut
usia. Usia dibawah 6 tahun 0,8:1, rasio meningkat menjadi 1,6:1 antara usia 6-10
tahun, dan 2,1:1 untuk anak diatas usia 10 tahun. Selain usia dan jenis kelamin
kejadian Pediatric MS juga dipengaruhi oleh ras, etnis, dan keturunan.
Kebanyakan pediatric MS terjadi pada orang berkulit hitam (afrika) (15).
Etiologi dari pediatric MS ini pun masih menjadi perdebatan. Dikatakan
bahwa faktor lingkungan mempunyai peran dalam kerentanan multiple sclerosis
pada anak-anak. Beberapa studi mempelajari peran virus dalam populasi pediatric
MS. Infeksi sitomegalovirus ( CMV ) dikatakan mengurangi risiko pediatric MS
lebih dari 70 % , dan pada individu HLA - DRB1 - positif , dengan herpes simplex
virus -1 ( HSV - 1 ) mengurangi risiko MS dengan 90 % . Sebaliknya , pada
individu HLA - DRB1 -negatif , HSV - 1 seropositif dapat meningkatkan risiko
pediatric MS empat kali lipat. Beberapa studi telah mengevaluasi faktor risiko
genetik pada pediatric MS . Di AS telah dilaporkan bahwa HLA - DRB1 dapat
menjadi faktor risiko untuk pediatrik MS (15). Untuk terapi penyakit ini hamper
sama dengan terapi untuk multiple sclerosis.
2.4.3 Multiple Sclerosis Variant
Terdiri dari beberapa jenis penyakit, yaitu (16):
26
1. Neuromyelitis Optica/ Devic’s disease
Merupakan inflamasi akut yang mengenai optic nerve, spinal cord (lokasi
tersering segmen cervical) dan tidak melibatkan bagian susunan saraf pusat.
Pada kasus yang berat menjadi progresif sehingga dapat menimbulkan
necrosis dan kadang membentuk kavitas. Penyakit ini merupakan monophasic
disease dimana tidak terjadi relaps setelah terjadi serangan pertama. Pada
pemeriksaan MRI tidak didapatkan lesi pada bagian otak tetapi tampak
inflamasi cord yang terjadi pada 2-3 segmen.
Terapi yang digunakan untuk penyakit ini hamper sama dengan dengan terapi
pada multiple sclerosis, yaitu dengan menggunakan high-dose intravenous
corticosteroid ( metilprednisolon IV 1000 mg/hari selama 5 hari dan
dilanjutkan tapering off dengan prednosin oral)
2. Marbug type
Bersifat akut dan progresif dimana dapat menimbulkan kematian akibat
destruksi progresif pada otak dan keterlibatan batang otak.Kematian dapat
terjadi sekitar 1-6 bulan post infeksi. Gambaran klinis dapat berupa deficit
neurologi focal (hemiparesis dan aphasia).
Apabila mengenai batang otak akan tampak manifestasi klinis berupa
quadriparesis, ophtalmoplegi, ataksia, disartria, dan disfagia.
Terapi yang dapat digunakan untuk penyakit ini yaitu high dose intravenous
corticosteroid dan imunosupressant ( siklofosfamid).
3. Balo’s concentric sclerosis
Bersifat akut progresif dan dapat menimbulkan kematian dalam beberapa
minggu- bulan. Kebanyakan menyerang usia dewasa muda. Gambaran pada
MRI dapat berupa solitary tumorlike lesion pada otak dan batang otak.
Kematian pada penyakit ini disebabkan karena herniasi serebral. Pada lesi
batang otak akan tampak gejala diplopia, disartria, disfagia, oftalmoplegi, dan
27
ataksia, sedangkan lesi pada hemisfer otak akan tampak gejala hemiparesis
dan hipoestesia.
Untuk terapi dari penyakit ini menggunakan metilprednisolon IV dan
siklofosfamid IV.
2.4.4 Acute Disseminated Encephalomyelitis (ADEM)
ADEM dapat terjadi pada segala umur, tetapi lebih sering terjadi pada
anak-anak dibandingkan dengan orang dewasa. Biasanya penyakit ini disebabkan
oleh autoimun, infeksi virus atau post vaksinasi. Meskipun ADEM tidak
dipengaruhi oleh jenis kelamin, tetapi dari beberapa penelitian dikatakan bahwa
ADEM lebih dominan terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan
sekitar 2:1. Penyakit ini biasanya terjadi pada usia 5-8 tahun. Penelitian terakhir
yang dilakukan di San Diego dilaporkan insidensi ADEM terjadi sekitar
0,4/100.000 per tahun dan tidak dipengaruhi oleh ras (17).
Terdapat beberapa klasifikasi dari ADEM, yaitu (18):
1. ADEM (monophasic)
Merupakan kejadian yang pertama kali, yang disebabkan oleh proses inflamasi
atau demyelinisasi dengan onset akut atau subakut dan mempengaruhi system
saraf pusat dengan area yang multifocal. Pada gambaran klinis menunjukan
polysymptomatic (fever, malaise, headache, nausea, vomit) dan terdapat salah
satu atau lebih gejala encephalopathy, yaitu:
- Behavioral change seperti bingung, excessive irritability
- Penurunan kesadaran seperti letargi, koma.
Pada pemeriksaan neuroimaging (MRI) tampak lesi fokal atau multifocal pada
white matter. Pada spinal cord MRI tampak lesi intramedullar. Tidak
dipengaruhi oleh penyebab lain dan tidak mempunyai riwayat sebelumnya.
28
2. Recurrent ADEM
Kejadian ADEM berulang setelah 3bulan atau lebih serangan ADEM pertama
tanpa disertai dengan area klinis yang baru pada pemeriksaan dan
neuroimaging. Atau dapat terjadi setelah 1 bulan terapi tuntas. Pada gambaran
MRI tidak tampak lesi baru atau tampak perluasan lesi yang lama.
3. Multiphasic ADEM
Merupakan kejadian ADEM yang berulang dengan gambaran polysymptomatic
termasuk encephalopathy dengan gejala dan tanda gangguan neurologi
(perubahan status mental). Terjadi kurang dari 3 bulan dari serangan ADEM
yang pertama dan setelah 1 bulan terapi steroid. Tampak lesi baru pada
gambaran brain MRI.
Etiologi dari ADEM sebenarnya belum sepenuhnya dipahami dan
pathogenesis dari ADEM melibatkan mekanisme autoimun. Ketika terjadi
infeksi (trigger antigen) akan mengaktivasi sel T yang mana akan menembus
Blood-Brain Barrier dan akan mereaksi dengan epitop myelin (18).
29
Gambar 1.5 Kriteria diagnosis Acute Disseminated Encephalomyelitis (ADEM) (18).
2.4.6 Nutrition Electrolyte Related Demyelinating Disorder
Salah satu penyakit yang masuk dalam kelompok penyakit ini yaitu
Osmotic Demyelination Syndrome (ODS). ODS merupakan komplikasi
neurologis terkait dengan koreksi yang cepat dari hiponatremia (serum sodium ≤
126 mmol / L ) ODS merupakan penyakit yang jarang terjadi dan frekuensinya
jarang diketahui karena asimptomatik. Dari beberapa studi mengatakan penyakit
ini diketahui pada saat autopsy dengan prevalensi 0,25% pada populasi umum,
dimana sebagian besar kasus tidak didiagnosis premortem. Pecandu alcohol
merupakan salah satu faktor resiko dari penyakit ini. ODS mempunyai insidensi
puncak pada usia 30-60 tahun dimana laki-laki lebih dominan (19).
30
Gambar 1.6 Patofisiologi Osmotic Demyelination Syndrome (19).
2.4.7 Dismyelinating Disorder
Dismyelinating disorder merupakan gangguan neurodegenertif pada white
matter yang bersifat progresif. Kebanyakan diwariskan secara resesif autosomal.
Dismyelinating disorder juga dikenal dengan leukodystrophies dimana terjadi
kekurangan enzim sehingga terjadi gangguan pembentukan, destruksi dan
turnover dari myelin.
Klasifikasi dari dismyelinating disorder antara lain:
1. Lysosomal storage disease. Lisosom mengandung enzim hidrolitik yang
berperan dalam proses fagositosis. Ketika terjadi penurunan fungsi enzim
tersebut terjadi gangguan lysosomal storage. Hal ini mengakibatkan
penumpukan material dalam lisosom (spingolipidosis,
mukopolisakaridosis, glikoproteinosis, dan mukolipidosis)
2. Peroxisomal disorder, dimana terjadi defisiensi dari enzim peroxisomal.
Enzim ini berperan dalam proses glukoneogenesis, metabolisme lysine dan
metabolism glutaric acid.
3. Disease cause by mitochondria disfunction. Terjadi gangguan pada jalur
metabolism oksidatif yang penting berperan dalam pembentukan
31
energy.Kemungkinan terjadi kerusakan pada struktur dan fungsi dari
mitokondria.
32
BAB III
ALGORITMA
Yeh, E. A. et al. (2009) Pediatric multiple sclerosis. Nat. Rev. Neurol.2009.158
33
26
BAB IV
Tabel Komperasi
Komparasi Multiple
Sclerosis
Pediatric MS ADEM MS variant Nutrition
Electrolyte
Related
Demyelinating
Disorder
Dismyelinating
Disorder
Dermopgraphic Usia dewasa.
Perempuan >
laki-laki
Usia muda
(>10 th), dipengaruhi
jenis
kelamin,ras,diturunkan
Usia muda
(<10 th), tidak
dipengaruhi
jenis kelamin
Usia dewasa,
tidak
dipengaruhi
jenis kelamin
Usia dewasa,
Laki >
perempuan
Semua umur, tidak
dipengaruhi jenis
kelamin
Prior flu like
illness
- - + - - -
Encephalopaty - - + - - -
Kejang - - + - - -
MRI shows
enhancement
+ + + + +
MRI show large
lesion involving
gray matter and
white
Jarang + + Jarang ? +
CSF pleocytosis Extremely rare,
white blood
cell <50
Variable Variable Extremely rare ? ?
Respon to
steroid
Favorable favorable Appear
favorable
Favorable ? ?
27
SKEMA
Serabut Saraf (Hal.4)
Klasifikasi
Penyakit (Hal.7)
Serabut Saraf dengan myelin
(Hal.5,6)
Disorder of
Myelination
Serabut Saraf tanpa dengan myelin
(Hal.5,6)
Multiple Sclerosis (Hal.7)
Multiple Sclerosis Variant (Hal.21)
Acute Disseminated Encephalomyelitis
(Hal.23)
Nutirition Electrolyte Related Demyelinating Disorder
(Hal.24)
Dismyelinating disorder (Hal.25)
Pediatric Multiple Sclerosis (Hal.20)
Algoritma tatalaksana
(Hal. 24,25)
Tabel Komparasi
(Hal.26)
28
BAB V
Rangkuman/ Resume
Myelin merupakan suatu konduktor yang mempunyai cara kerja
menghalangi ion natrium dan ion kalium melintasi membrane neuronal dengan
hamper sempurna. Selubung myelin tidak continue sepanjang saraf, dan terdapat
celah yang tidak memiliki myelin, dianakan nodus ranvier. Tonjolan saraf pada
susunan saraf pada susunan saraf pusat dan tepi dapat bermyelin atau tidak.
Serabut saraf yang yang mempunyai selubung myelin dinamakan serabut
bermyelin, dan didalam SSP dinamakan massa putih (substansia alba). Serabut
yang tak bermielin dinamakan serabut tak bermielin dan terdapat pada substansia
kelabu (substansia grisea). Transmisi impuls saraf disepanjang serabut myelin
lebih cepat dari transmisi disepanjang serabut tak bermielin.
Macam-macam dari ganggua myelinisasi, yaitu 1. Multiple Sclerosis yang
merupakan peradangan yang terjadi di otak dan sumsum tulang belakang yang
menyerang daerah substansia alba dan merupakan penyebab utama kecacatan
pada dewasa muda. Penyebabnya dapat disebabkan oleh banyak faktor, terutama
proses autoimun(6)
. 2. Pediatric Multiple Sclerosis paling banyak menyerang anak-
anak dibawah usia 10 tahun, 3. Multiple Sclerosis Variant; terdiri dari
Neuromyelitis Optica/ Devic’s disease yang merupakan peradangan akut pada
myelin terutama pada saraf optic dan spinal cord; Marburg type merupakan jenis
penyakit yangakut progresif. Biasanya cepat menimbulkan kematian setelah 1-6
bulan onset. 4. Acute Disseminated Encephalomyelitis (ADEM) merupakan
penyakit dengan akut/ subakut onset dengan gejala klinis polysymptomatic dan
harus terdapat gejala encephalopathy, 5.Nutrition Electrolyte Related
Demyelinating Disorder salah satu yang termasuk dalam jenis ini yaitu Osmotic
Demyelination Syndrome. 6. Dismyelinating Disorder terjadi akibat tidak
29
terbentuknya myelin pada serabut saraf dan biasanya penyebabnya tidak diketahui
atau karena penyakit metabolic.
Multiple sclerosis adalah suatu peradangan yang terjadi di otak dan
sumsum tulang belakang yang menyerang daerah substansia alba dan merupakan
penyebab utama kecacatan pada dewasa muda. Penyebabnya dapat disebabkan
oleh banyak faktor, Penelitian eksperimental mendukung teori dari infeksi slow
virus atau reaksi autoimun. Peran mekanisme imun pada patogenesis multiple
sclerosis didukung beberapa temuan, seperti adanya sel inflamasi kronik pada
plak aktif dan hubungan kondisi ini dengan gen spesifik pada kompleks
histokompatibilitas mayor (major histocompatibility, MHC).
Gambaran klinis yang khas dari multipe sclerosis yaitu Serangan yang
berulang terjadi pada interval yang tidak teratur, Lokasi serangan tersebar di
seluruh SSP, Pada saat yang sama tanda-tanda penyakit dapat ditemukan, yang
menunjukan fokus-fokus demielinisasi pada berbagai lokasi misalnya atrofi optik
disertai paraplegia dan serangan yang berturut-turut dari penyakit ini dapat
menyebabkan kelainan berbagai sistem.
Multipel sklerosis diagnosis didasarkan pada gejala klinis dan pemeriksaan
neurologis yang ditemukan serta dengan menggunakan beberapa pemeriksaan
penunjang. Diagnosis banding dari multiple sclerosis antara lain Ensefalomielitis
diseminata akuta, Tumor medulla spinalis dan tumor serebri, Lues serebrospinal ,
dan Penyakit degeneratif seperti ataksia Friedreich.
Multiple sclerosis sampai saat ini masih belum dapat disembuhkan, tetapi
tidak mematikan. Ada pengobatan yang memungkinkan untuk menunda
perkembangan penyakit ini dan mengurangi sebaran, intensitas dan durasi gejala.
Prevalensi Pediatric MS di dunia sebenarnya tidak diketahui tetapi pada
tahun 2011 dilaporkan dari beberapa penelitian insidensi 0,51/100.000 orang per
tahun. Rasio kejadian Pediatric MS antara perempuan:laki-laki bervariasi menurut
usia. Usia dibawah 6 tahun 0,8:1, rasio meningkat menjadi 1,6:1 antara usia 6-10
30
tahun, dan 2,1:1 untuk anak diatas usia 10 tahun. Selain usia dan jenis kelamin
kejadian Pediatric MS juga dipengaruhi oleh ras, etnis, dan keturunan.
Kebanyakan pediatric MS terjadi pada orang berkulit hitam (afrika).
Multiple Sclerosis Variant, terdiri dari beberapa jenis penyakit, yaitu
Neuromyelitis Optica/ Devic’s disease, Marbug type, dan Balo’s concentric
sclerosis
ADEM dapat terjadi pada segala umur, tetapi lebih sering terjadi pada
anak-anak dibandingkan dengan orang dewasa. Biasanya penyakit ini disebabkan
oleh autoimun, infeksi virus atau post vaksinasi. Dismyelinating disorder
merupakan gangguan neurodegenertif pada white matter yang bersifat progresif.
Kebanyakan diwariskan secara resesif autosomal.
Kesimpulan
Mielin merupakan suatu kompleks protein lemak berwarna putih yang
mengisolasi tonjolan saraf
Myelin merupakan suatu konduktor yang mempunyai cara kerja
menghalangi ion natrium dan ion kalium melintasi membrane neuronal
Macam-macam dari ganggua myelinisasi, yaitu 1. Multiple Sclerosi. 2.
Pediatric Multiple Sclerosis 3. Multiple Sclerosis Variant 4. Acute
Disseminated Encephalomyelitis (ADEM) 5.Nutrition Elertrolyte Related
Demyelinating Disorde. 6. Dismyelinating Disorder
Serat saraf dibagi menjadi jenis A dan C, dan serat jenis A dibagi lagi
menjadi serat α, β, γ, dan δ. Serat jenis A merupakan serat saraf spinalis
yang bermielin dan khas. Serat jenis C merupakan serat saraf tak
bermielin dan sangat kecil yang menghantarkan impuls pada kecepatan
rendah.
Multiple sklerosis adalah suatu peradangan yang terjadi di otak dan
sumsum tulang belakang yang menyerang daerah substansia alba dan
31
merupakan penyebab utama kecacatan pada dewasa muda. Penyebabnya
dapat disebabkan oleh banyak faktor, terutama proses autoimun.
Kriteria diagnostik yang umum dipakai adalah kriteria McDonald yang
merupakan kriteria MS
Pediatric MS paling banyak menyerang anak-anak dibawah atau diatas
usia 10 tahun, Etiologi dari pediatric MS masih menjadi perdebatan.
Dikatakan bahwa faktor lingkungan mempunyai peran dalam kerentanan
multiple sclerosis pada anak-anak
Multiple Sclerosis Variant, terdiri dari beberapa jenis penyakit, yaitu
Neuromyelitis Optica/ Devic’s disease, Marbug type, dan Balo’s
concentric sclerosis
ADEM dapat terjadi pada segala umur, tetapi lebih sering terjadi pada
anak-anak dibandingkan dengan orang dewasa. Biasanya penyakit ini
disebabkan oleh autoimun, infeksi virus atau post vaksinasi
ODS merupakan komplikasi neurologis terkait dengan koreksi yang cepat
dari hiponatremia (serum sodium ≤ 126 mmol / L ) ODS merupakan
penyakit yang jarang terjadi dan frekuensinya jarang diketahui karena
asimptomatik
Dismyelinating disorder merupakan gangguan neurodegenertif pada white
matter yang bersifat progresif. Kebanyakan diwariskan secara resesif
autosomal.
32
BAB VI
PENUTUP
Saran
Gangguan myelinisasi merupakan masalah kesehatan penting yang memiliki
angka kejadian cukup rendah di Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan
pemahaman yang lebih mendalam dari praktisi kesehatan terutama yang berada di
lini terdepan untuk mengenali, menyaring, dan mendiagnosis secara tetap kasus
yang ditemukan di masyarakat agar penanganan tepat dan cepat dapat segera
dilaksanakan. Masih diperlukan pembahasan lebih lanjut dan mendalam mengenai
berbagai penyakit bahu lainnya
33
DAFTAR PUSTAKA
1. Marieb, Eliane N, PhD. Essential of Human Anatomy and Physiology Second
Edition. Benjamin/ Cumming Publishing Co: California. 1985.
2. Chamberlin, Stacey L. Narins, Bringham. 2005. The Gale Encyclopedia of
Neurological Disorders vol.2. Detroit: Thompson Gale.
3. Cook, S. D. 2001. Clinical Neuropathology: Text and Color Atlas. New York:
Marcel Dekker.
4. Quarles RH., Macklin WB., Morell, Pierre. Myelin formation, Structure and
Biochemistry. American society for neurochemistry: Elsevire. 2006.
5. Guyton
6. Price Sylvia A., Wilson Lorraine M. 2005. Multipel Sklerosis. Patofisiologi :
konsep klinis proses-proses penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta : EGC. Hal.
1145-1147
7. Chamberlin, Stacey L. Narins, Bringham. 2005. The Gale Encyclopedia of
Neurological Disorders vol.2. Detroit: Thompson Gale..
8. Ginsberg, Lionel. 2005. Lecture Notes Neurologi edisi ke-8. Jakarta: Erlangga
Medical Series.
9. M. Herdon, M.D, Robert. 2002. Multiple Sclerosis Immunology, Pathology,
and Pathophysiology. New York: Demos.
10. Mumenthaler, Mark. Mattle, Heinrich. Taub, Elsan. Neurology fourth edition.
Switzerland: Thieme.2004.
11. Banwell, Brenda, et al. Multiple sclerosis in children: clinical diagnosis,
therapeutic strategies, and future diagnosis direction. Lancet Neurol. 2007;
6:887-902.
12. Polman, Chris H., et al. Diagnositic Criteria for multiple sclerosis: 2010
revision to the Mc Donald criteria. American Neurological Association. 2011;
69: 292:302.
13. Bunyan, Reem F., et al. Acute Demyelinating Disorder: Emergencies and
Management. Neurol Clin. 2012; 30:285-307.
34
14. Brenda, banwell, et al. Therapies for multiple sclerosis:considerations in the
pediatric patient. Nat Rev Neurol. 2011; 7: 109-122.
15. Medscape
16. Herndon, Robert M. The pathology of Multiple Sclerosis and its variant. 2000;
47; 185-198.
17. Tanembaum, silvia, et al. Acute Disseminated Encephalomyelitis. Neurology.
2007; 68: 23-36.
18. De Seze J, Debouverie M, Zephir H, et al: Acute fulminant demyelinating
disease: Arch Neurol 2007;64:1426-1432.
19. King, Joshua D., et al. Osmotic Demyelination Syndrome. The American
Journal of the Medical Sciences. 2010; 339; 561-567.