Post on 05-Aug-2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat
adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila
dan Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Tenaga listrik mempunyai peran yang sangat penting dan strategis dalam
mewujudkan tujuan pembangunan nasional, maka usaha penyediaan tenaga
listrik dikuasai oleh negara dan penyediaannya perlu terus ditingkatkan
sejalan dengan perkembangan pembangunan agar tersedia tenaga listrik
dalam jumlah yang cukup, merata, dan bermutu.
Dalam upaya memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan
kehidupan bangsa, tenaga listrik merupakan cabang produksi yang penting
bagi negara sebagai salah satu hasil pemanfaatan kekayaan alam yang
menguasai hajat hidup orang banyak perlu dipergunakan untuk
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Di samping itu tenaga listrik mempunyai kedudukan yang penting
dalam pembangunan nasional pada umumnya dan sebagai salah satu
pendorong kegiatan ekonomi pada khususnya dalam rangka mewujudkan
masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan
Pancasila dan Undang - Undang Dasar 1945.
Mengingat arti penting tenaga listrik bagi negara dalam
mewujudkan kesejahteraan masyarakat dalam segala bidang dan sejalan
dengan ketentuan dalam Pasal 33 ayat (2) Undang - Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Undang - Undang ini menyatakan bahwa
usaha penyediaan tenaga listrik dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar - besar kemakmuran rakyat yang penyelenggaraannya
dilakukan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah. Pemerintah dan
1
pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menetapkan kebijakan,
pengaturan, pengawasan, dan melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik.
Pemerintah dan pemerintah daerah menyelenggarakan usaha
penyediaan tenaga listrik yang pelaksanaannya dilakukan oleh badan usaha
milik negara dan badan usaha milik daerah. Untuk lebih meningkatkan
kemampuan negara dalam penyediaan tenaga listrik, Undang - Undang ini
memberi kesempatan kepada badan usaha swasta, koperasi, dan swadaya
masyarakat untuk berpartisipasi dalam usaha penyediaan tenaga listrik.
Sesuai dengan prinsip otonomi daerah, Pemerintah atau pemerintah
daerah sesuai dengan kewenangannya menetapkan izin usaha penyediaan
tenaga listrik. Dalam rangka peningkatan penyediaan tenaga listrik kepada
masyarakat diperlukan pula upaya penegakan hukum di bidang
ketenagalistrikan. Pemerintah dan pemerintah daerah mempunyai
kewenangan untuk melakukan pembinaan dan pengawasan pelaksanaan
usaha ketenagalistrikan, termasuk pelaksanaan pengawasan di bidang
keteknikan.
Selain bermanfaat, tenaga listrik juga dapat membahayakan. Oleh
karena itu, untuk lebih menjamin keselamatan umum, keselamatan kerja,
keamanan instalasi, dan kelestarian fungsi lingkungan dalam penyediaan
tenaga listrik dan pemanfaatan tenaga listrik, instalasi tenaga listrik harus
menggunakan peralatan dan perlengkapan listrik yang memenuhi standar
peralatan di bidang ketenagalistrikan.
Penyelenggaraan usaha penyediaan tenaga listrik yang cukup
dalam jumlah, mutu, dan keandalannya dengan harga yang terjangkau
masyarakat merupakan masalah utama yang perlu diperhatikan seiring
dengan upaya pemanfaatan semaksimal mungkin sumber - sumber energi
bagi penyediaan tenaga listrik dengan tetap memperhatikan keamanan,
keseimbangan, dan kelestarian lingkungan hidup.
2
Badan Usaha Milik Negara yang melaksanakan usaha penyediaan
tenaga listrik dibentuk untuk itu berdasarkan peraturan perundang -
undangan yang berlaku sebagai Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan.
Dalam upaya memenuhi kebutuhan tenaga listrik secara lebih
merata dan untuk lebih meningkatkan kemampuan negara dalam hal
penyediaan tenaga listrik baik untuk kepentingan umum maupun untuk
kepentingan sendiri, sepanjang tidak merugikan kepentingan negara, dapat
diberikan kesempatan yang seluas - luasnya kepada koperasi dan badan
usaha lain untuk menyediakan tenaga listrik berdasarkan Izin Usaha
Ketenagalistrikan.
Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan Untuk Kepentingan
Umum, dalam melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik untuk
kepentingan umum diberikan kewenangan untuk melakukan perbuatan
tertentu sepanjang tidak bertentangan dan dengan memperhatikan peraturan
perundang - undangan yang berlaku, misalnya masuk ke tempat umum atau
perorangan dan menggunakannya untuk sementara waktu, menggunakan
tanah, melintas di atas atau di bawah tanah, melintas di atas atau di bawah
bangunan yang dibangun di atas atau di bawah tanah, dan menebang atau
memotong tumbuh - tumbuhan yang menghalanginya.
Kewenangan tersebut diberikan demi untuk kepentingan umum
dalam rangka menunjang kelancaran pelaksanaan usaha penyediaan tenaga
listrik itu sendiri. Namun demikian, karena tujuan pembangunan
ketenagalistrikan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, maka dalam
Undang - Undang ini juga ditegaskan hak - hak rakyat dan kewajiban
Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan Untuk Kepentingan Umum
terhadap rakyat. Di samping itu, apabila badan usaha lain baik yang
berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum dan
perorangan yang mendapatkan Izin Usaha Ketenagalistrikan Untuk
Kepentingan Sendiri dalam melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik
3
mempunyai kelebihan tenaga listrik, maka kelebihan tenaga listriknya dapat
dijual untuk kepentingan umum. Untuk itu badan usaha lain tersebut harus
mengajukan Izin Usaha Ketenagalistrikan Untuk Kepentingan Umum
terlebih dahulu kepada Pemerintah.
Hak - hak rakyat sebagaimana dimaksud di atas, antara lain untuk
mendapatkan ganti rugi yang layak dan adil atas tanah atau kerusakan
bangunan dalam rangka pelaksanaan usaha penyediaan tenaga listrik. Di
samping itu rakyat berhak pula mendapatkan pelayanan yang wajar untuk
memperoleh tenaga listrik, dengan mempertimbangkan kemampuan yang
ada. Karena tujuan pembangunan ketenagalistrikan untuk kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat, maka harga jual tenaga listrik diatur oleh Pemerintah
agar dapat terjangkau oleh rakyat dalam bentuk harga yang wajar.
Harga yang wajar inilah yang menjadi masalah yang sangat
berpengaruh pada masyarakat yang secara ekonomi masih berada di bawah
garis kemiskinan, sehingga terjadilah ketidakmampuan masyarakat dalam
melaksanakan kewajibannya untuk membayar biaya penggunaan Lampu
Super Ekstra Hemat Energi yang biasa disebur SEHEN, yang merupakan
kebijakan PT. PLN (Persero) untuk menerangi masyarakat yang tinggalnya
jauh dari jaringan listrik.
Adapun , masyarakat yang bertempat tinggal atau berdomisili jauh
dari perkotaan, tentu saja jauh dari bayangan cahaya listrik, karena untuk
sementara atau saat ini jaringan listrik konvensional hanya sampai di kota -
kota kecematan dan desa - desa terdekat, olehnya apa yang diprogramkan
Perusahaan Listrik ini sangat diminati oleh masyarakat miskin yang
terpencil tersebut, namun biaya pemakaian dan sewa peralatan tersebut
sebesar RP 35.000,- setiap bulan terasa sangat memberatkan mereka,
sehingga terjadilah pemutusan atau pembongkaran kembali peralatan
tersebut di rumah pelanggan atau masyarakat miskin tersebut setelah
deposito uang pelanggan yang pada setoran awal sebesar Rp 500.000,-
4
habis, masyarakat sudah tidak mempunyai kemampuan lagi untuk
menambah depositnya di bank.
Maka, terjadilah di Kabupaten Belu pemutusan sementara dan atau
pembongkaran besar - besaran lampu SEHEN sebanyak kurang lebih 2.013
dari 4.097 pelanggan, dengan nilai tunggakan sebesar Rp 274.400.000,-
pada bulan April, kemudian berangsur secara perlahan masyarakat
membayar, sehingga dipasang kembali, dan pada awal bulan juli ini masih
tersisah sebanyak 1.271 pelanggan yang masih belum bisa dipasang kembali
peralatannya karena ketidakmampuan mereka untuk meyelesaikan
kewajiban atas tunggakan pembayaran yang masih tersisah Rp
175.105.000,-
Berdasarkan latar belakang permasalahan sebagaimana terpapar di
atas, maka penulis tertarik untuk memberikan judul makalah
“KEBIJAKAN PT. PLN (Persero) ATAS PENERAPAN BIAYA
PENGGUNAAN LAMPU SUPER EKSTRA HEMAT ENERGI
UNTUK MASYARAKAT YANG JAUH DARI JARINGAN LISTRIK
DI KABUPATEN BELU”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka yang menjadi
masalah disini adalah :
1. Mengapa PT. PLN (Persero) mengeluarkan kebijakan atas penerapan
biaya penggunaan Lampu Super Ekstra Hemat Energi untuk masyarakat
yang jauh dari jaringan listrik di Kabupaten Belu ?
2. Apakah kebijakan atas penerapan biaya penggunaan Lampu Super Ekstra
Hemat Energi untuk masyarakat yang jauh dari jaringan listrik di
Kabupaten Belu tersebut efektif dilaksanakan ?
5
C. Tujuan Penelitian
Pada dasarnya setiap kegiatan yang hendak dilakukan harus
memiliki tujuan yang jelas. Hal itu dimaksudkan untuk memberikan arah
bagi pelaksanaan kegiatan agar sesuai dengan maksud dilaksanakannya
kegiatan tersebut. Adapun tujuan dari dilakukannya penelitian ini antara lain
sebagai berikut :
1. Tujuan Obyektif
Tujuan Obyektif penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui kebijakan atas penerapan biaya penggunaan
Lampu Super Ekstra Hemat Energi untuk masyarakat yang jauh
dari jaringan listrik di Kabupaten Belu.
b. Untuk efektifitas penerapan biaya penggunaan Lampu Super
Ekstra Hemat Energi untuk masyarakat yang jauh dari jaringan
listrik di Kabupaten Belu ?
2. Tujuan Subyektif
Tujuan Subyektif penelitian ini adalah :
a. Memberi masukan, saran, kritik terhadap penerapan biaya penggunaan
Lampu Super Ekstra Hemat Energi untuk masyarakat yang jauh
dari jaringan listrik di Kabupaten Belu.
b. Untuk memperoleh data-data yang digunakan penulis dalam menyusun
Tesis sebagai syarat untuk memperoleh Gelar Magister Hukum pada
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
c. Untuk melatih kemampuan dan keterampilan penulis, sesuai dengan ilmu
yang telah penulis peroleh.
D. Manfaat Penelitian
Adapun kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
Manfaat Teoritis dari penelitian ini adalah:
6
a. Untuk menambah literatur dalam pengembangan ilmu hukum pada
umumnya dan Hukum Kebijakan Publik pada khususnya.
b. Dapat menjadikan bahan penelitian dan kajian lebih lanjut serta mampu
memberikan pandangan pemikiran berupa konsep/ teori, asumsi dan cara-
cara bagi perumusan kebijakan yang berkenaan dengan Program
penggunaan Lampu Super Ekstra Hemat Energi untuk masyarakat
yang jauh dari jaringan listrik.
c. Untuk lebih mendalami teori yang diperoleh selama penulis menuntut
ilmu pada Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
2. Manfaat Praktis
Manfaat Praktis penelitian ini adalah :
a. Mengembangkan penalaran, alisa, membentuk pola pikir dinamis
dan untuk mengetahui kemampuan peneliti dalam menerapkan
ilmu yang diperoleh.
b. Mencocokkan bidang Ilmu Hukum yang telah diperoleh dalam
teori dengan kenyataan yang ada dalam praktek.
c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sebuah masukan
berharga bagi PT. PLN (Persero) dalam memberikan masukan atau
menambah pengetahuan yang berhubungan dengan biaya
penggunaan Lampu SEHEN.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan tentang Kebijakan
a. Kebijakan Publik
Dalam kehidupan modern seperti sekarang ini dengan segala
kegiatan pemerintahan tidak dapat lepas dari apa yang disebut sebagai
kebijakan publik. Kebijakan-kebijakan tersebut dapat ditemukan dalam
bidang antara lain kesejahteraan sosial (social welfare), di bidang
kesehatan, perumahan rakyat, pertanian, pembangunan ekonomi, hubungan
luar negeri, pendidikan nasional dan lain sebagainya.
Menurut Carl Fredrich, kebijakan sebagai suatu arah tindakan yang
diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu
lingkungan tertentu, yang memberikan hambatan-hambatan dan
kesempatan-kesempatan terhadap kebijakan yang diusulkan untuk
menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan, atau
merealisasikan suatu sasaran atau suatu maksud tertentu1 . Harold
D. Laswell memberikan definisi kebijakan publik sebagai berikut :2
1) Kebijakan Publik adalah suatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai
dan praktek-praktek yang terarah.
2) Kebijakan publik adalah apa saja yang dilakukan maupun tidak
dilakukan oleh pemerintah.
Lebih lanjut James Anderson menyatakan 4 (empat) aspek
kebijakan publik mempunyai beberapa implikasi : 3
1 ? Budi Winarno, Teori dan Proses Kebijakan Publik, Media Pressindo, Yogyakarta, 2002, hal.162 ? Setiono, Bahan Materi Matrikulasi Hukum dan Kebijakan Publik, Pascasarjana UNS, Surakarta, 2004, hal. 43 ? Budi Winarno, Loc. Cit. hal. 18
8
1) Kebijakan publik berorientasi pada maksud atau tujuan dan bukan perilaku secara serampangan.
2) Kebijakan publik merupakan pola tindakan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah dan bukan merupakan keputusan-keputusan yang tersendiri. Suatu kebijakan mencakup tidak hanya keputusan untuk menetapkan undang-undang mengenai suatu hal, tetapi juga keputusan-keputusan beserta dengan pelaksanaannya.
3) Kebijakan publik adalah apa yang sebenarnya dilakukan pemerintah dan bukan apa yang diinginkan pemerintah.
4) Kebijakan publik mungkin dalam bentuknya bersifat positif dan negatif. Positif : kebijakan mungkin mencakup bentuk tindakan pemerintah yang jelas untuk mempengaruhi suatu masalah tertentu. Negatif : kebijakan mungkin mencakup suatu keputusan oleh pejabat-pejabat pemerintah, tetapi tidak untuk mengambil tindakan dan tidak untuk melakukan sesuatu mengenai suatu persoalan yang memerlukan keterlibatan pemerintah.
Raksasatya mengemukakan bahwa kebijakan publik (public
policy) pada dasarnya memiliki 3 (tiga) elemen, yaitu 4
1. Identifikasi dan tujuan yang ingin dicapai2. Taktik atau strategi dan berbagai langkah untuk mencapai tujuan
yang diinginkan3. Penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan
secara nyata dan taktik maupun strategi tersebut di atas.
Dari tiga elemen dalam kebijakan publik tersebut terlihat
dengan jelas bahwa pada dasarnya kebijakan publik adalah sebuah
sikap dari pemerintah yang beroreintasi pada tindakan. Artinya, di
sini bahwa kebijakan publik merupakan sebuah kerja konkrit dan
adanya sebuah organisasi pemerintah, dan organisasi pemerintah
yang dimaksud adalah sebagai sebuah institusi yang dibentuk untuk
melakukan tugas-tugas kepublikan. Tugas-tugas kepublikan
menyangkut hajat hidup orang banyak dalam sebuah komunitas yang
disebut negara. Tugas-tugas kepublikan tersebut lebih konkrit lagi
adalah berupa serangkaian program-program tindakan yang hendak
direalisasikan dalam bentuk nyata, untuk itu diperlukan serangkaian
pentahapan dan manajemen tertentu agar tujuan tersebut terealisir.
4T. Saiful Bahri, Hessel Nogi S. Tangkilisan, Mira Subandini. “ Hukum dan Kebijakan Publik”. Yogyakarta.2004. YPAPI. Hal. 34
9
Rangkaian proses realisasi tujuan publik tersebutlah yang
dimaksudkan dengan kebijakan publik.
Menurut Widodo, kebijakan publik dibuat bukan tanpa
maksud dan tujuan, Kebijakan publik dibuat untuk memecahkan
masalah publik di masyarakat yang memiliki banyak macam, variasi
dan intensitasnya. Hanya masalah publik yang dapat menggerakan
orang banyak untuk memikirkan dan mencari solusinya yang bisa
menghasilkan sebuah kebijakan publik. Lebih lanjut masalah publik
akan mudah tampil menjadi kebijakan publik jika masalah publik:5
1. Dinilai penting dan membawa dampak besar bagi banyak orang,
2. Mendapatkan perhatian dari Policy Maker,
3. Sesuai dengan platform politik ( program politik ),
4. Kemungkinan besar bisa dipecahkan.
Menurut Thomas R. Dye, kebijakan publik adalah “public policy is
what ever government choose to do or not to do”, yaitu bahwa apapun
pilihan yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintahan itulah yang
merupakan public policy atau kebijakan pemerintah. 6
Menurut Carl J. Friedrich kebijaksanaan negara adalah suatu arah
tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan seorang, kelompok
atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya
hambatan tertentu seraya mencari peluang untuk mencapai tujuan atau
mewujudkan sasaran yang diinginkan.7
Menurut Charles Lindblom pembuatan kebijakan publik
(public policy making) pada hakikatnya merupakan proses politik
yang amat kompleks dan analitis dimana tidak mengenal saat dimulai
dan diakhirinya, dan batas-batas dari proses itu sesungguhnya tidak
5 Joko Widodo, Analisis Kebijakan Publik : Konsep dan aplikasi analisis proses kebijakan, Malang : Banyu media, 2007, hal. 188
6 Irfan Islamy, “ Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Negara”, Jakarta: Bina Aksara, 2004
7 Solihin Abdul Wahab, “Analisa Kebijakan dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan”. Jakarta: Bumu Aksara, 2004
10
pasti. Serangkaian kekuatan-kekuatan itu agak kompleks yang kita
sebut sebagai pembuatan kebijakan publik, itulah yang selanjutnya
membuahkan hasil yang disebut kebijakan. 8
Menurut Amitai Etzioni menjelaskan bahwa melalui proses
pembuatan keputusanlah komitmen-komitmen masyarakat yang acap
kali masih kabur dan abstrak sebagaimana tampak dalam nilai-nilai
dan tujuan-tujuan masyarakat, diterjemahkan oleh para aktor (politik)
ke dalam komitmen-komitmen yang lebih spesifik, menjadi tindakan
dan tujuan-tujuan yang konkrit.
Hasil penelitian tentang Gaming in Targetworld: The Targets
Approach to Managing British Public Service menghasilkan temuan
bahwa: 9
Introduce by Tony Blair’s New Labour Government in the United Kingdom
in 1998 reproduced the classic gaming responses associated with the
soviet Union and other centralized performance using system.
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Christtoper Hood, Kerajaan
Inggris merupakan kerajaan yang telah mampu melakukan pelayanan publik
dengan baik. Kerajaan Inggris telah membangun suatu bentuk pelayanan kepada
masyarakat lebih dari 300 bidang pemerintahan sejak tahun 1998. Hal ini
mengakibatkan kerajaan dapat melakukan manajemen secara tersentral dari hal
terkecil seperti pelayanan bis umum, tentara, dan kebijakan luar negeri.
Menurut Chief J.O. Udoji merumuskan tentang kebijakan : 10
“Keseluruhan proses yang menyangkut pengartikulasian dan pendefisian masalah, perumusan kemungkinan-kemungkinan pemecahan masalah dalam bentuk tuntutan-tuntutan politik, penyaluran tuntutan-tuntutan tersebut kedalam sistem politik, pengupayaan pengenaan sanksi-sanksi atau legitimasi dari arah tindakan yang dipilih, pengesahan dan pelaksanaan, monitoring dan peninjauan kembali.”
8 ibid hal. 359 Christtoper Hood. Gaming in Targetworld: The TargetsApproach to Managing British
Public Services. Washington: Jul. 2006 www.emerald.com Diakses Tanggal 6 April 201010 Solichin Abdul Wahab. ” Analisis Kebijakan Dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan”
Jakarta : Bumi Aksara. 2004.Hal. 16-17
11
Ada tiga alasan mempelajari kebijakan negara menurut
Anderson dan Thomas R. Dye yaitu : 11
1. Dilihat dari alasan ilmiah (Scientific reason)Kebijakan negara dipelajari dengan maksud memperoleh
pengetahuan yang lebih mendalam mengenai hakikat dan asal mula kebijakan negara, berikutproses-proses yang mengantarkan perkembangannya serta akibat- akibatnya pada masyarakat.
2. Dilihat dari alasan profesional (Profesional reason)Maka studi kebijakan negara dimaksudkan untuk menerapkan
pengetahuan ilmiah dibidang kebijakan negara guna memecahkan masalah sosial sehari-hari. Sehubungan dengan ini, terkandung sebuah pemikiran bahwa apabila kita mengetahui tentang faktor yang membentuk sebuah tepat sasaran.
3. Dilihat dari alasan politis (Political reason)Mempelajari kebijakan negara dimaksudkan agar pemerintah
dapat menempuh kebijakan yang tepat guna mencapai tujuan yang tepat pula.
Dari pemahaman tersebut, maka pada dasarnya kebijakan
publik memiliki implikasi yang menurut Irfan Islamy sebagai berikut 12
a.Kebijakan publik itu bentuk awalnya adalah merupakan penetapan tindakan-tindakan pemerintah.
b. Kebijakan publik tersebut tidak cukup hanya dinyatakan dalam bentuk teks-teks formal, namun juga harus dilaksanakan atau diimplementasikan secara nyata.
c.Kebijakan publik tersebut pada hakekatnya harus memiliki tujuan-tujuan dan dampak-dampak, baik jangka panjang maupun jangka pendek yang telah dipikirkan secara secara matang terlebih dahulu.
d. bagi pemenuhan kepentingan mensyarakat.
Hukum yang berlaku di masyarakat tentu tidak lepas dari
kebijakan publik. Menurut Syaiful Bahri, hubungan antara hukum
dan kebijakan publik merupakan hubungan simbiosa mutualistik
11 ibid. Hal.12-1312 Irfan Islami Ibid. Hal. 24-25
12
yang dapat dilihat dalam tiga bidang kajian yaitu: formulasi,
implementasi dan evaluasi kebijakan 13
Proses pembuatan kebijakan publik berangkat dari realitas yang ada
di dalam masyarakat. Realitas tersebut bisa berupa aspirasi yang
berkembang, masalah yang ada maupun tuntutan atas kepentingan
perubahan-perubahan. Dari realitas tersebut maka proses berikutnya
adalah mencoba untuk mencari sebuah jalan keluar yang terbaik yang akan
dapat mengatasi persoalan yang muncul atau memperbaiki keadaan yang
ada sekarang. Hasil pilihan solusi tersebutlah yang dinamakan hasil
kebijakan publik.
b. Implementasi Kebijakan
1) Definisi Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian luas
merupakan alat administrasi hukum dan berbagai aktor,
organisasi, prosedur dan teknik untuk bekerja sama menjalankan
kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan14.
Menurut Masmanian bahwa implementasi kebijakan adalah
pelaksanaan putusan kebijakan dasar, dalam bentuk undang-
undang atau keputusan-keputusan eksekutif. Keputusan tersebut
mengidentifikasi masalah yang ingin diatasi, menyebut secara
tegas tujuannya dari berbagai cara untuk mengatur proses
implementasinya.
Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier menjelaskan
makna implementasi ini dengan mengatakan bahwa : “memahami
apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan
berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi
kebijakan yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan timbul
sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijakan Negara,
13 Esmi Wirassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologi, Suryandaru Utama , Semarang, 2005, hal. 129-13114 ? Budi Winarno, Op. Cit. hal 101
13
mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya
maupun untuk menimbulkan akibat/dampak nyata pada
masyarakat/kejadian-kejadian”15
2) Konsep atau Model Implementasi Kebijakan
Thomas R.Dye dalam Budi Winarno16 menyebutkan ada tujuh
model tentang pembentukan kebijakan yaitu :
a) Policy as institutional activity
Model ini pada dasarnya memandang kebijakan public
sebagai kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh lembaga pemerintah.
Menurut pandangan ini, kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh
warga Negara, baik secara perorangan maupun secara berkelompok
pada umumnya ditujukan kepada lembaga pemerintah.
Kebijakan publik menurut model ini ditetapkan, disahkan,
dan dilaksanakan serta dipaksakan berlakunya oleh lembaga
pemerintah. Dalam kaitan ini terdapat hubungan yang erat antara
kebijakan, antara kebijakan public dengan lembaga pemerintah.
Interaksi antara lembaga-lembaga pemerintah tersebut yang
membentuk kebijakan. Di lain pihak, betapapun kerasnya kehendak
publik, apabila tidak mendapatkan perhatian dari lembaga
pemerintah, maka kehendak itu tidak akan menjadi kebijakan public.
b) Policy as elit preference, disebut juga dengan Elite Theory
Teori ini dikembangkan dengan mengacu pada teori elit, yang
pada umumnya menentang keras terhadap pandangan bahwa kekuasaan
dalam masyarakat itu terdistribusi secara merata. Suatu kebijakan public
selalu mengalir dari atas ke bawah yaitu dari elit ke massa (rakyat).
Kebijakan ini tidak akan muncul dari bawah yang berasal dari tuntutan-
tuntutan rakyat.
15 ? Solichin Abdul Wahab, Analisis Kebiajkan Publik, Alumni, Bandung, 2004. hal. 6516 Ibid, hal. 12-19
14
Menurut Thomas R. Dye dalam budi Winarno menjelaskan bahwa
teori ini dilandasi oleh beberapa asumsi dasar sebagai berikut:17
(a) Masyarakat terbagi dalam dua bagian, yaitu yang jumlahnya sedikit dan berkuasa serta mereka yang jumlahnya banyak namun tidak mempunyai kekuasaan dan tidak turut serta menetapkan kebijakan public.
(b) Mereka yang jumlahnya sedikit dan memerintah itu (elit) tidak mempunyai cirri-ciri yang sama bila dibandingkan dengan massa yang diperintahkan. Golongan elit ini biasanya berasal dari lapisan social ekonomi teratas dalam masyarakat.
(c) Pergeseran posisi dari kalangan bukan elit kedudukan-kedudukan elit biasanya berlangsung lamban, karena adanya kecenderungan untuk mempertahankan stabilitas seraya menghindari revolusi.
(d) Golongan elit pada umumnya mempunyai kesadaran bersama mengenai nilai-nilai dasar dari system social yang berlaku dan berusaha untuk melanggengkan system social tersebut.
(e) Kebijakan publik tidaklah mencerminkan tuntutan-tuntutan rakyat melainkan lebih men cerminkan upaya golongan elit untuk melestarikan nilai-nilai mereka. Oleh karena itu, perubahan-perubahan dalam kebijakan public pada umumnya tanbal sulam (incremental) dan tidak berlangsung revolusioner.
(f) Keaktifan golongan elit sebenarnya menunjukkan betapa kecilnya pengaruh massa (rakyat). Golongan elit yang lebih banyak mempengaruhi rakyat, bila dibandingkan dengan rakyat yang mempengaruhi golongan elit.
Penerapan teori-teori tentang pembuatan kebijakan ini tidak
hanya menggunakan satu jenis teori saja, akan tetapi dapat juga terjadi
suatu kebijakan public yang diputuskan, dipertimbangkan menurut jenis
teori untuk lebih memungkinkan terpilihnya suatu alternative kebijakan
secara tepat.
c) Policy as Group Equilibrum, disebut juga Model Kelompok
Teori ini pada dasarnya berangkat dari suatu anggapan bahwa
interaksi antar kelompok dalam masyarakat merupakan pusat perhatian
kebijakan. Individu-individu yang memiliki latar belakang kepentingan
yang sama biasanya akan bergabung baik secara formal maupun informal
untuk mendesakkan kepentingan-kepentingan mereka kepada
pemerintah. Selanjutnya David Truman berpendapat bahwa perilaku
kelompok-kelompok kepentingan tersebut akan membawa akibat-akibat
17 ? Ibid, hal 23
15
kebijakan kalau mereka dalam mengajukan tuntutan-tuntutannya, yang
ditujukan terhadap lembaga-lembaga pemerintah.
Dalam teori kelompok ini, perilaku individu akan mempunyai
makna politik kalau mereka bertindak sebagai bagian atau atas
kepentingan kelompok. Dengan perkataan lain, kelompok pada dasarnya
dipandang sebagai jembatan yang penting antara individu dengan
pemerintah karena politik adalah perjuangan yang dilakukan oleh
kelompok-kelompok untuk mempengaruhi kebijakan public. Oleh karena
itu sudut pandang teori ini mendefinisikan tugas utama yang diemban
dari sistem politik adalah untuk mengelola konflik-konflik yang timbul
dalam perjuangan antar kelompok dengan cara-cara:
(a) Menetapkan aturan permainan dalam perjuangan kelompok;
(b) Mengatur kompromi-kompromi dan menyeimbangkan
kepentingan-kepentingan;
(c) Memberlakukan kompromi yang telah dicapai dalam bentuk
kebijakan public dan memaksakan kompromi tersebut.
Teori ini beranggapan bahwa kebijakan public pada dasarnya
mencerminkan keseimbangan yang tercapai dalam perjuangan antar
kelompok, seperti yang tertuang pada gambar 3. kebijakan public pada
dasarnya adalah keadaan seimbang yang tercapai dalam perjuangan antar
kelompok pada suatu waktu tertentu dan ia mencerminkan keseimbangan
setelah pihak-pihak atau kelompok-kelompok tertentu berhasil
mengarahkan kebijakan public itu kearah yang menguntungkan mereka.
d) Policy as Efficient Goal Achievement, disebut juga model Rasional
Komprehensif
Teori model rasional komprehensif dipelopori oleh Herbert A.
Simon menurut konsep manusia administrasi pembuat keputusan tidak
pernah memperoleh informasi yang lengkap, dan oleh karenanya tidak
pernah dapat mencapai pilihan-pilihan yang mempunyai nilai paling
tinggi. Artinya bahwa kepastian daya pikir manusia dalam merumuskan
dan mengatasi masalah-masalah yang kompleks sangat terbatas
dibandingkan dengan permasalahan yang dihadapi. Model rasional
16
komprehensif lebih lanjut menekankan pada pembuatan keputusan
rasional dengan bermodalkan pada komprehensivitas informasi dan
keahlian pembuat keputusan.
Dalam model ini konsep rasionalitas sama dengan konsep
efisiensi. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa suatu kebijakan yang
rasional itu sama dengan kebijakan yang sangat efisien, dimana rasio
antara nilai yang dicapai dan nilai yang dikorbankan adalah positif dan
lebih tinggi dibandingkan dengan alternatif-alternatif yang lain. Model
ini meurpakan model perumusan kebijakan yang paling terkenal dan juga
yang paling luas diterima di kalangan pengkaji kebijakan public. Pada
dasarnya model ini terdiri dari beberapa elemen yakni:
(1) Pembuat keputusan dihadapkan pada suatu masalah tertentu. Masalah ini dapat dipisahkan dengan masalah-masalah yang lain atau paling tidak masalah tersebut dapat dipandang bermakna bila dibandingkan dengan masalah-masalah yang lain.
(2) Tujuan-tujuan, nilai-nilai atau sasaran-sasaran yang mengarahkan pembuat keputusan dijelaskan dan disusun menurut arti pentingnya.
(3) Berbagai alterantif untuk mengatasi masalah perlu diselidiki.(4) Konsekuensi-konsekuensi (biaya dan keuntungan) yang timbul dari
setiap pemilihan alternatif diteliti.(5) Setiap alternatif dan konsekuensi yang menyertainya dapat
dibandingkan dengan alternatif-alternatif lain. Pembuat keputusan memiliki alternatif beserta konsekuensi-konsekuensi yang memaksimalkan pencapaian tujuan, nilai atau sasaran-sasaran yang hendak dicapai.
(6) Akhirnya pembuat kebijakan memilih alternatif yang terbaik, yaitu yang nilai konsekuensinya paling cocok (rasional) dengan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan.
Keseluruhan proses tersebut akan menghasilkan suatu keputusan
rasional, yaitu keputusan yang efektif untuk mencapai tujuan tertentu.
Namun demikian beberapa ahli kebijakan publik mengajukan keberatan
dan kritik terhadap model ini. Kritik terhadap model ini antara lain:
e) Model rasional komprehensif para pembuat keputusan tidak dihadapkan
pada masalah-masalah kongkrit yang jelas. Masalah yang sering
dihadapi di lapangan adalah kesulitan dalam membatasi masalah itu
sendiri. Seringkali para pembuat keputusan gagal mendefinisikan
17
masalah yang jelas. Akibatnya, keputusan yang dihasilkan untuk
menyelesaikan masalah tersebut tidak tepat atau melenceng sama sekali.
(1) Kelemaham model rasional komprehensif adalah tidak realities
dalam tuntutan-tuntutan yang dibuat oleh para pembuat keputusan.
Menurut model ini pembuat keputusan akan mempunyai cukup
informasi mengenai alternatif-alternatif yang digunakan untuk
menanggulangi masalah. Asumsi yang digunakan adalah bahwa
pembuat keputusan akan mampu membuat perbandingan
alternative-alternatif berdasarkan biaya dan keuntungan secara tepat.
Para pembuat keputusan seringkali dihadapkan oleh masalah
kurangnya waktu, kesulitan mengumpulkan informasi dan
meramalkan kerumitan perhitungan-perhitungan masa depan. Hal
ini berakibat pada ketidakakuratan informasi yang digunakan karena
proses pengumpulan informasi itu sendiri membutuhkan waktu yang
cukup lama.
(2) Merujuk pada aspek nilai. Para pembuat kebijakan public biasanya
dihadapkan dengan situasi konflik daripada nilai. Sementara itu
nilai-nilai yang bertentangan tersebut tidak mudah diperbandingkan
atau diukur bobotnya. Menurut para pengkritik model rasional
komprehensif, para pembuat keputusan mempunyai kemungkinan
untuk mengacaukan nilai-nilai pribadi dengan nilai-nilai public.
Pada akhirnya, asumsi rasionalistik yang menyatakan bahwa fakta-
fakta dan nilai-nilai dapat dipisahkan dengan mudah tidak berlaku
dan sulit untuk dilaksanakan.
(3) Kritik terhadap model ini lebih merujuk pada kenyataan bahwa para
pembuat keputusan tidak mempunyai motivasi untuk menetapkan
keputusan-keputusan berdasarkan tujuan-tujuan masyarakat, tetapi
sebaliknya mereka mencoba memaksimalkan ganjaran-ganjaran
mereka sendiri, seperti misalnya kekuasaan, kedudukan, motivasi
agar dipilih pada pemilu mendatang, uang dan sebagainya. Kelima,
para pembuat kebijakan mempunyai kebutuhan-kebutuhan,
hambatan-hambatan dan kekurangan-kekurangan sehingga
18
menyebabkan mereka tidak dapat mengambil keputusan-keputusan
atas dasar rasionalitas tinggi.
(4) Lebih didasarkan pada kelemahan-kelemahan yang secara alamiah
dimiliki manusia.
(5) Sekalipun para pembuat keputusan dapat memanfaatkan teknik-
teknik analisis computer yang paling maju, mereka tidak
mempunyai kecakapan yang cukup untuk menghitung rasio biaya
dan keuntungan secara tepat bila sejumlah besar nilai yang berbeda-
beda, seperti politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya yang menjadi
taruhannya.
(6) Investasi-investasi yang besar dalam program-program dan
kebijakan menyebabkan pembuat keputusan tidak
mempertimbangkan lagi alternatif-alternatif yang telah ditetapkan
oleh keputusan sebelumnya.
(7) Terdapat banyak hambatan dalam mengumpulkan semua informasi
yang diperlukan untuk mengetahui semua kemungkinan alternatif,
termasuk di dalamnya biaya pengumpulan informasi, ketersediaan
informasi dan waktu yang dibutuhkan untuk pengumpulannya.
f) Policy as Variation on the past, disebut juga dengan Incrementalism
Theory.
Teori inkremental memandang kebijaksanaan Negara sebagai
kelanjutan kegiatan-kegiatan pemerintah di masa lalu dengan hanya
mengubah (memodifikasi) sedikit-sedikit. Dalam model kebijaksanaan ini
biasanya pembuat keputusan selalu diliputi dengan keterbatasan waktu,
kecakapan dan biaya, maka ia tidak mungkin dapat menganalisa semua
nilai-nilai dan tujuan-tujuan masyarakat, keseluruhan alternatif-alternatif
kebijaksanaan beserta konsekuensinya, menilai rasio, biaya, keuntungan
secara detail menyadari akan keterbatasan-keterbatasan yang ada pada
pembuat keputusan, maka model modifikasi secara sedikit-sedikit atas
kebijaksanaan yang ada sebelumnya dengan menambah, mengurangi,
memodifikasi sedikit program-program kebijakan Negara tadi atas dasar
pembuatan keputusan-keputusan yang baru.
19
Model ini merupakan kritik dan perbaikan terhadap model
rasional komprehensif. Kaum inkrementalis melihat pengembangan dan
implementasi kebijakan sebagai proses dari penyesuaian (adjustment)
yang konstan pada akibat-akibat (jangka pendek maupun jangka panjang)
dari suatu tindakan. Informasi dan pengetahuan tidak pernah dirasa cukup
untuk menghasilkan sebuah program kebijakan yang lengkap. Nilai-nilai
yang dihubungkan dengan pendekatan ini adalah nilai-nilai yang
dihubungkan pada masa lalu atau dari status quo (keadaan tetap pada
suatu saat tertentu). Kebijakan bagi kaum inkrementalis cenderung
menjadi sebuah pemekaran yang berangsur-angsur. Tujuan-tujuan timbul
sebagai konsekuensi dari tuntutan, untuk mengerjakan suatu yang baru
ataupun yang lebih khas lagi, untuk membuat penyesuaian-penyesuaian
dari apa yang telah ada di dalam buku-buku. Hasil-hasil program
cenderung tumpul, tak langsung, berputar-putar dan tidak terintegrasi
merupakan kelemahan dari model kebijakan incremental.
g) Policy as rational choice competitive situations, disebut juga game theory.
Menurut Thomas R. Dye dalam Budi Winarno game theory
bertitik tolak pada tiga hal pokok yaitu: 18
(1) Kebijakan yang akan diambil tergantung pada (setidak-tidaknya) dua pemain atau lebih;
(2) Kebijakan yang dipilih ditarik dari dua atau lebih alternative pemecahan yang diajukan oleh masing-masing pemain;
(3) Pemain-pemain selalu dihadapkan pada situasi yang serba bersaing dalam pengambil keputusan.
Thomas R. Dye menggambarkan, bahwa dua pemain yang akan
mengambil suatu kebijakan, masing-masing pemain mempunyai dua
alternatif pemecahan yang dapat mereka ambil. Keduanya dihadapkan
pada situasi yang saling bersaing (berkompetisi), dan pilihan akan
dijatuhkan pada pilihan yang saling bergantung.
h) Policy as system output, disebut juga dengan system theory
18 Ibid, hal. 34
20
Teori sistem pada dasarnya merupakan sebuah teori yang
dikembangkan oleh David Easton. Menurut Easton bahwa kegiatan politik
itu dapat dianalisis dari sudut pandang system yang terdiri dari sejumlah
proses yang harus tetap dalam keadaan seimbang kalau kegiatan politik itu
ingin tetap terjaga kelestariannya.
Menurut Budi Winarno19 teori sistem ini dapat menunjukkan
beberapa hal sebagai berikut:
(1) Dimensi-dimensi lingkungan apakah yang menimbulkan tuntutan-tuntutan terhadap system politik?
(2) Cirri-ciri system politik yang bagaimanakah yang memungkinkannya untuk mengubah tuntutan-tuntutan menjadi kebijakan public dan berlangsung terus menerus?
(3) Dengan cara yang bagaimana masukan-masukan yang berasal dari lingkungan mempengaruhi system politik?
(4) Ciri-ciri sistem politik yang bagaimanakah yang mempengaruhi isi kebijakan public?
(5) Bagaimanakah masukan-masukan yang berasal dari lingkungan mempengaruhi kebijakan public?
(6) Bagaimanakah kebijakan public melalui mekanisme umpan balik mempengaruhi lingkugan dan system politik itu sendiri?
Konsep yang dipergunakan dalam penulisan tesis ini
adalah Model Grindle dalam pengimplementasian kebijakan
tentang Implementasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006
tentang Administrasi Kependudukan berkaitan dengan
Pencatatan Kelahiran di Kota Surakarta.
3) Pendekatan Implementasi
Suatu kebijakan yang telah dirumuskan tentunya memiliki
tujuan-tujuan atau target tertentu yang ingin dicapai, pencapaian target
baru akan terealisir jika kebijakan tersebut telah dimplementasikan. Oleh
karena itu untuk mengetahui apakah tujuan kebijakan yang telah
dirumuskan tersebut dapat tercapai atau tidak, maka kebijakan tersebut
19 Ibid, hal. 68
21
harus diimplementasikan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
implementasi kebijakan merupakan tahapan yang sangat penting dalam
proses kebijakan. Sebagaimana pernyataan Udoji dalam Solichin Abdul
Wahab sebagai berikut :.
“ the execution of policiesis as important if not more important than
policy making. Policies will remain dream or blue print file jackets unless
thry are implemented “ (Pelaksanaan kebijaksanaan adalah sesuatu yang
penting, bahkan jauh lebih penting dari pada pembuatan kebijaksanaan.
Kebijaksanaan-kebijakasanaan akan sekedar berupa impian atau rencana
bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak diimplementasikan ) 20
Pengertian implementasi kebijakan, menurut Van Meter dan Van
Horn adalah :
“ those actions by public and private individual ( or groups ) that are
directed at the achievement of obyectives set forth inprior policy decitions
“ (tindakan – tindakan yang dilakukan oleh pemerintah baik secara
individu atau kelompok yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan
sebagimana dirumuskan dalam kebijakan). Pengertian senada dikemukan
oleh Mazmanian dan Sabatier dalam Solichin Abdul Wahab yaitu :
“Implementation is the carrying out of basic policy decision, usually incoporated in a statute but which can also take the form of important executive orders or courts decision, Ideally, that decision identifies the problem(s) to be addresed, stipulates the obyektive(s) to be pursued, and a variety of ways, Structure the implementation proses “
(Implementasi adalah pelaksanaan keputusan kebijakasanaan dasar, biasanya dalam bentuk Undang-Undang namun dapat pula berbentuk Perintah-Perintah atau Keputusan – Keputusan eksekutif yang openting atau keputusan bahan peradilan ) 21
20 Solichin Abdul Wahab, “ Analisis Kebijakan Publik “ Jakarta Bumi Aksara. 2002. hal. 5921 Van Meter and Van Horn, “ The policy implementation Proces : A conceptual
framework Administration & socity. Sage publication. 1978, Inc hal. 447.
22
Mendasarkan pada pendapat-pendapat di atas, maka implementasi
kebijakan dalam hal ini dimaksudkan implementasikan kebijakan juga
menyangkut pelaksanaan keputusan pemerintah daerah dan pemerintah
kota yang dilakukan dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan
kebijakan yang telah ditetapkan.
Study implementasi kebijakan membahas berbagai aspek, menurut
anderson, aspek yang perlu dikaji dalam studi umplementasi kebijakan
yaitu : 1) Siapa yang mengimplementasikan, 2) Hakekat dari proses
administrasi, 3) Kepatuhan dan 4) Dampak dari pelaksanaan kebijakan.22
Sedangkan menurut Ripley dan Franklin fokus perhatian dalam
penelitian implementasi menyangkut 2 hal, yaitu : “ complience”
( kepatuhan ) dan “ What’s happening “ ( apa yang terjadi ). Kepatuhan
menunjuk pada apakah para implementator patuh terhadap prosedur atau
standar aturan yang telah ditetapkan. 23
Dalam implementasi suatu kebijakan tidak selalu berjalan mulus,
banyak faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan suatu implementasi
kebijakan. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya implementasi kebijakan
tidak selalu ditempat yang vakum, sehingga terdapat berbagai macam faktor
disekelilingnya yang turut mempengaruhi implementasi
Proses implementasi yang dilakukan setelah ditetapkan dan
dilegitimasinya kebijakan dimulai dari interpretasi terhadap kebijakan itu
sendiri. Menurut Samodra Wibawa. 24
“Pada pengertiannya yang steril, pembuat kebijakan, di satu pihak merupakan proses yang memiliki logika bottom-up, dalam arti proses ini diawali dengan pemetaan kebutuhan atau pengakomodasian tuntuan lingkungan lalu diikuti dengan pencarian alternative cara pemenuhannya.
22 Anderson, James E, “ Public Policy Making, New York : Helt Rinehart and Wiston, 1979, Hal. 68
23 Repley, Randall B. Policy Implementasi and Bureaucracy. Chicago: The Dorsey. 1986, hal. 52
24 Samodra Wibawa, Kebijakan Publik Proses dan Analisis, Jakarta Intermasa, 1994, Hal. 35
23
Sebaliknya, implementasi kebijakan, dipihak lain, pada dirinya sendiri mengandung logika yang top-down”
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
implementasi merupakan kegiatan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan
dalam kebijaksanaan pemerintah melalui proses yang panjang dan meluas guna
tercapainya tujuan kebijaksanaan itu, karena penerapannya (aplication)
kebijaksanaan itu adalah terhadap rakyat.
c. Hubungan Hukum dan Kebijakan Publik
Menurut Barclay dan Birkland hubungan antara hukum dan
kebijakan publik yang pertama dan mendasar adalah kebijakan publik
umumnya harus dilegalisasikan dalam bentuk hukum, dan pada dasarnya
sebuah hukum adalah hasil dari kebijakan publik. Dari pemahaman dasar
ini kita dapat melihat keterkaitan diantara keduanya dengan jelas.
Lain halnya dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Gadot yang
mengatakan bahwa: 25
The paper has attempted to contribute to the understanding of collaboration and to point to its usefulness for public administration system and for other players in the national arena. He have suggested that well structured and comprehensive thingking on collaboration, combined with empirical evidence of its chances.
Administrasi publik pada dasarnya berasal dari tanggung jawab banyak
pihak. Dalam penelitian ini lebih banyak menjelaskan apa, mengapa dan
bagaimana membuat kemajuan hubungan antara pemerintah dan warga negara
dalam upaya pelaksanaan pelayanan publik. Penelitian Gadot ternyata
menghasilkan kajian bahwa dengan adanya kerja kolaborasi antara pemerintah
dan warga negara dalam dunia pendidikan dapat memberikan keuntungan yang
lebih pada negara meskipun tidak sepenuhnya ditangani. Hal ini dapat dicoba
sebagai salah satu cara untuk memajukan negara baik secara teori maupun praktik
dalam kolaborasi pelayanan publik modern.25 Eran Vigoda-Gadot, Collaborative Public Administration Some Lessons From the israel
Experience. Departement of political Scien, Faculty of social Science. University of Haifa Israel. 2004. www.emerald.com Diakses 20 November 2010.
24
Menurut Pendapat Thomas Birkland dalam melihat hubungan hukum dan
kebijakan publik yaitu :
“The most fundamental way to see the relationship between law and public
policy is the understanding that basically, public policy should generally
legalized into law form, basically, a law is the result of public policy”.26
Apabila diartikan adalah yang paling mendasar untuk melihat hubungan antara
hukum dan kebijakan publik adalah pemahaman bahwa pada dasarnya, kebijakan
publik umumnya harus dilegalisasikan dalam bentuk hukum, pada dasarnya
sebuah hukum adalah hasil dari kebijakan publik. Dari pemahaman dasar ini,
dapat dilihat keterkaitan diantara keduanya dengan sangat jelas, Bahwa
sesungguhnya antara hukum dan kebijakan public itu pada tataran praktek tidak
dapat dipisah-pisahkan. Keduanya berjalan seiring sejalan dengan prinsip saling
mengisi.
Dalam hal hubungan hukum dan kebijakan publik dapat dilihat dari :27
- Formulasi Hukum dan Kebijakan Publik
- Penerapan/implementasi hukum dan kebijakan publik.
- Evaluasi Kebijakan Publik
1) Formulasi Hukum dan Kebijakan Publik
Hubungan pembentukan hukum dan kebijakan public saling memperkuat satu
dengan yang lain. Sebuah produk hukum tanpa ada proses kebijakan publik
di dalamnya maka produk hukum itu akan kehilangan makna substansinya.
Sebaliknya sebuah proses kebijakan publik tanpa ada legalisasi hukum, akan
lemah pada tatanan operasionalnya.
2) Penerapan/implementasi hukum dan kebijakan publik.
Menurut Setiono28 pada dasarnya di dalam penerapan hukum tergantung pada
4 unsur :
a) Unsur hukum
26 Thomas Biekland, 1998, Law, Polycy Making, and the Policy Proces: Closing the Gaps, Policy Studies Journal, Vo. 26, No. 227 ? Setiono, Loc. Cit. hal 5 28 ? Ibid, hal. 4
25
Unsur hukum disini oleh Setiono diartikan sebagai produk atau kalimat, aturan-aturan hukum. Kalimat-kalimat hukum harus ditata sedemikian rupa hingga maksud yang diinginkan oleh pembentuk hukum dapat terealisasikan di lapangan yang luas dengan tetap mengacu kepada satu pemaknaan hukum. Namun bukan berarti pemaknaan yang diberikan oleh pembentuk hukum harus dipaksanakan sedemikian rupa, sehingga di semua tempat harus direalisasikan sama persis dengan apa yang dimaksud oleh para pembentuk hukum. Modifikasi-modifikasi oleh penerap hukum dilapangan diperlukan sebatas semua itu dilakukan untuk menuju pemaknaan ideal dari aturan hukum yang dimaksud.
b) Unsur StrukturalUnsur struktural adalah berkaitan dengan lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi yang diperlukan dalam penerapan hukum. Pentingnya unsur struktural pada penerapan hukum ada dua :
(1) Organisasi atau institusi seperti apa yang tepat untuk melaksanakan undang-undang tertentu.
(2) Bagaimana organisasi itu dapat menjalankan tugasnya dengan baik.Berkaitan dengan aspek pemilihan organisasi atau institusi maka
pengambilan keputusan harus ekstra hati-hati untuk memilih organisasi atau institusi mana yang dianggap relevan dengan produk hukum yang hendak diterapkan itu. Kemudian berkaitan dengan aspek bagaimana organisasi yang telah ditunjuk mampu optimal dalam menjalankan tugasnya, ini berkaitan dengan manajemen yang ada pada perusahaan. Tidak jarang terjadi organisasi yang ditunjuk sudah tepat namun kinerja organisasi sangat lemah dan tidak professional, sehingga tugas-tugas yang dibebankan tidak dapat dijalankan dengan baik. Kebijakan publik dalam hal ini lebih berperan dalam bagaimana organisasi atau instansi pelaksana itu seharusnya ditata dan bertindak agar tugas-tugas yang dibebankan hukum kepadanya dapat dijalankan dengan baik. Menunjuk orang yang dipercaya untuk mengendalikan organisasi tersebut harus dipilih yang mempunyai kemampuan dalam unsur structural ini lebih dominant berposisi sebagai sebuah seni, yaitu bagaimana ia mampu melaksanakan kreasi sedemikian rupa sehingga organisasi dapat tampil dengan baik.
c) Unsur MasyarakatUnsur ini berkaitan dengan kondisi sosial politik dan sosial ekonomi dari masyarakat yang akan terkena dampak atas diterapkannya sebuah aturan hukum. Kondisi masyarakat yang ada harus diselesaikan lebih dahulu demi terselenggara dan lancarnya penerapan hukum.
26
d) Unsur budayaDalam unsur ini ada dua hal. Pertama : sedapat mungkin diupayakan bagaimana agar produk hukum atau undang-undang yang dibuat itu dapat sesuai dengan budaya yang ada dalam masyarakat. Kedua : bagaimana produk hukum yang tidak sesuai dengan budaya dalam masyarakat dapat diterima masyarakat. Disinilah kebijakan publik akan sangat berperan. Namun harus diingat bahwa kebijakan publik yang diambil harus berdasar hukum dibutuhkan improvisasi dan kreasi.
3) Evaluasi Kebijakan Publik
Evaluasi kebijakan publik adalah suatu evaluasi yang akan menilai
apakah kebijakan publik sudah sesuai dengan yang diharapkan atau belum.
Evaluasi kebijakan publik adalah sebagai hakim yang menentukan kebijakan
yang ada telah sukses atau telah gagal mencapai tujuan. Evaluasi publik juga
sebagai dasar apakah kebijakan yang ada layak diteruskan, direvisi, atau
bahkan dihentikan sama sekali.
Evaluasi kebijakan dibedakan dalam 3 (tiga) macam:
a) Evaluasi AdministratifEvaluasi administrative adalah evaluasi kebijakan publik yang dilakukan di dalam lingkup pemerintahan atau instansi-instansi yang dilakukan oleh badan-badan pemerintah yang terkait dengan program tertentu.
b) Evaluasi yudisialEvaluasi terhadap kebijakan publik yang berkaitan dengan obyek-obyek hukum: apa ada pelanggaran hukum atau tidak dari kebijakan yang dievaluasi tersebut. Yang melakukan evaluasi yudicial adalah lembaga-lembaga hukum seperti pengacara, pengadilan, kejaksaan, PTUN dan sebagainya.
c) Evaluasi PolitikEvaluasi politik pada umumnya dilakukan oleh lembaga-lembaga politik, baik parlemen maupun parpol. Namun sesungguhnya evaluasi politik bisa juga dilakukan oleh masyarakat scara umum.29
29 ? Ibid, hal.. 6
27
Penelitian ini mengedepankan dalam kajian evaluasi administratif yaitu
kebijakan tentang kebijakan atas penerapan biaya penggunaan Lampu
Super Ekstra Hemat Energi untuk masyarakat yang jauh dari jaringan
listrik di Kabupaten Belu. Mengingat evaluasi yang dipergunakan lebih kepada
administrasi penggunaan blanko maupun persyaratan pendukung lainnya.
Sehingga akan diporeloh saran-saran yang diharapkan dalam mengatasi masalah
yang ada. Dengan demikian teori yang dipergunakan dalam rangka penelitian
kebijakan atas penerapan biaya penggunaan Lampu Super Ekstra Hemat
Energi untuk masyarakat yang jauh dari jaringan listrik di Kabupaten Belu sebagai landasan pemikiran adalah teori kebijakan dari Thomas R. DYE.
Penerapan teori Thomas R.DYE dalam penelitian ini mengingat, masalah
kelahiran menyangkut kepentingan orang banyak. Sehingga apa yang diperbuat
oleh pemerintah daerah sehubungan dengan kebijakan di bidang kebijakan atas
penerapan biaya penggunaan Lampu Super Ekstra Hemat Energi untuk
masyarakat yang jauh dari jaringan listrik di Kabupaten Belu sudah
merupakan suatu kebijakan, sehingga penulis mempergunakan Teori Thomas R.
DYE.
Berbicara tentang perspektif kebijakan publik mengarahkan perhatian,
untuk mengkaji proses pembuatan kebijakan (policy making process) oleh
pemerintah (government) atau pemegang kekuasaan dan dampaknya terhadap
masyarakat luas (public). Thomas R. Dye mendefinisikan kebijakan publik
sebagai “ is whatever government choose to do or not to do” (Thomas R. Dye
dalam Esmi Warasih Pujirahayu) .secara sederhana pengertian kebijakan publik
dirumuskan dalam kalimat sebagai berikut:30
Apa yang dilakukan oleh pemerintah (What government do?)Mengapa dilakukan tindakan itu (Why government do?)Dan apa terjadi kesenjangan antara apa yang ingin diperbuat dengan kenyatan
(what defference it makes?)
Sistem kebijakan publik adalah produk manusia yang subjektif yang
diciptakan melalui pilihan-pilihan yang sadar oleh para pelaku kebijakan
30 ? Esmi Warassih Pujirahayu, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Suryandaru Utama, Semarang, 2005, hal. 8
28
sekaligus realitas objektif yang diwujudkan dalam tindakan-tindakan yang dapat
diamati akibat-akibat yang ditimbulkannya, setidak-tidaknya menyangkut tiga
hal penting dalam menyusun agenda kebijakan yaitu :
(1) Membangun persepsi di kalangan stakeholder bahwa sebuah fenomena benar-benar dianggap sebagai masalah. Sebab bisa jadi suatu gejala oleh sekelompok masyarakat tertentu dianggap masalah, tetapi oleh sebagian masyarakat yang lain atau elite politik bukan dianggap sebagai masalah;
(2) Membuat batasan masalah;
(3) Mobilisasi dukungan agar masalah tersebut dapat masuk dalam agenda pemerintah. 31
Hukum yang berlaku di masyarakat tentu tidak lepas dari kebijakan
publik. Menurut Syaiful Bahri, hubungan antara hukum dan kebijakan
publik merupakan hubungan simbiosa mutualistik yang dapat dilihat
dalam tiga bidang kajian yaitu: formulasi, implementasi dan evaluasi
kebijakan 32. Proses pembuatan kebijakan publik berangkat dari realitas
yang ada di dalam masyarakat. Realitas tersebut bisa berupa aspirasi
yang berkembang, masalah yang ada maupun tuntutan atas kepentingan
perubahan-perubahan. Dari realitas tersebut maka proses berikutnya
adalah mencoba untuk mencari sebuah jalan keluar yang terbaik yang
akan dapat mengatasi persoalan yang muncul atau memperbaiki keadaan
yang ada sekarang. Hasil pilihan solusi tersebutlah yang dinamakan
hasil kebijakan publik.
Sesungguhnya antara hukum dan kebijakan publik itu memiliki
keterkaitan yang sangat erat. Bahkan sesungguhnya tidak sekedar keterkaitan
saja yang ada diantara keduanya, pada banyak sisi justru ada kesamaannya.
Keduanya berangkat pada fokus yang sama dan berakhir pada muara yang sama
pula. Hanya saja pada proses pembentukan hukum hasil akhirnya lebih difokuskan
pada terbentuknya sebuah aturan dalam bentuk undang-undang, sedangkan pada
proses formulasi kebijakan publik hasil akhirnya pada terpilihnya sebuah alternatif
31 ? A.G Subarsomo, Evaluasi kebijakan Publik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hal.1132 ? Esmi Wirassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologi, Suryandaru Utama , Semarang, 2005, hal. 129-131
29
solusi bagi penyelesaian masalah-masalah publik tertentu. Ketertiban antara
hukum dan kebijakan publik akan semakin relevan pada saat hukum
diimplementasikan. Proses implementasi selalu melibatkan lingkungan dan
kondisi yang berbeda di tiap tempat, karena memiliki ciri-ciri struktur sosial yang
tidak sama. Demikian pula keterlibatan lembaga di dalam proses implementasi
selalu akan bekerja di dalam konteks sosial tertentu sehingga terjadi hubungan
timbal balik yang dapat saling mempengaruhi.
d. Faktor-faktor yang mempengaruhi Kebijakan Publik
Menurut Nigro dan Nigro, faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan
publik antara lain:
1) Adanya pengaruh tekanan-tekanan dari luar; walaupun pembuat kebijakan harus mempertimbangkan alternatif-alternatif yang akan dipilih berdasarkan penilaian (rational), namun proses pembuatan keputusan tidak dapat dipisahkan dengan dunia nyata, sehingga ada tekanan dari luar yang ikut berpengaruh terhadap proses pembuatannya;
2) Adanya pengaruh kebiasaan lama (konservatisme), kebiasaan lama ini sering diwarisi oleh para administrator yang baru dan mereka sering secara terang-terangan atau menyalahkan kebiasaan-kebiasaan lama yang telah berlaku atau yang dijadikan oleh para pendahulunya, apalagi para administrator baru itu ingin segera menduduki jabatan kariernya;
3) Adanya pengaruh sifat-sifat pribadi. Sifat-sifat pribadi pembuat kebijakan berperan besar dalam pembuatan keputusan;
4) Adanya pengaruh dari kelompok luar. Lingkungan sosial dan parapembuat kebijakan juga berpengaruh dalam pembuatan kebijakan;
5) Adanya pengaruh keadaan masa lalu. Pengalaman latihan dan pengalaman sejarah pekerjaan yang terdahulu berpengaruh pada pembuatan kebijakan33.
Gerald E Carden, menyebutkan beberapa faktor yang menyebabkan
sulitnya membuat kebijakan, yaitu:
a) sulitnya memperoleh informasi yang cukup;b) bukti-bukti sulit dikumpulkan;c) adanya kepentingan yang berbeda;d) dampak kebijaksanaan yang sulit dikenali;e) umpan balik kebijakan bersifat sparatis;
33 M. Irvan Islamy, Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, Jakarta, Bumi Aksara, 2003, hlm. 25-26.
hlm. 25-26.
30
f) proses perumusan kebijakan tidak dimengerti dengan benar34.
James Anderson, melihat adanya bermacam-macam nilai-nilai yang
melandasi tingkah pembuat kebijakan dalam membuat keputusan, yaitu:
(1) nilai-nilai politis (Political values), yaitu kebijakan dibuat atas dasar kepentingan politik dari partai politik atau kelompok kepentingan tertentu;
(2) nilai-nilai organisasi (Organizational Values). Kebijakan dibuat atas dasar nilai-nilai yang dianut organisasi seperti balas jasa (Rewards) dan sanksi (Sanction), yang dapat mempengaruhi anggota organisasi untuk menerima dan personal melaksanakannya;
(3) nilai-nilai pribadi (Personal values), yaitu sering pula kebijakan dibuat atas dasar nilai-nilai pribadi yang dianut oleh pribadi pembuat kebijakan untuk mempertahankan status quo, reputasi, kekayaan dan sebagainya;
(4) nilai-nilai kebijakan publik (public policy), kebijakan dibuat atas dasar persepsi pembuat kebijakan tentang kepentingan publik atau pembuat kebijakan yang secara moral dapat dipertanggungjawabkan;
(5) menurut James E Anderson, Nilai-nilai ideologi (Ideological Values), nilai ideologi seperti nasionalisme dapat menjadi landasan pembuatan kebijakan35.
e. Kesalahan-kesalahan Umum yang Sering Terjadi dalam Proses
Pembuatan Kebijakan
Nigro and Nigro menyebutkan adanya tujuh macam kesalahan-
kesalahan umum dalam proses pembuatan kebijakan, yaitu: 36
1) cara berfikir yang sempit (Cognitive Nearsightedness), yaitu kecenderungan manusia pembuat kebijakan hanya untuk memenuhi kebutuhan seketika sehingga melupakan antisipasi ke masa depan;
2) adanya asumsi bahwa masa depan akan mengulangi masa lalu {Assumption that fultur will repeat past). Banyak anggapan bahwa suatu masa yang stabil orang akan berperilaku sebagaimana para pendahulunya di masa lampau, mestinya para pembuat kebijakan harus meramalkan keadaan- keadaan dan peristiwa yang akan datang yang berbeda dengan masa lampau;
3) terlampau menyederhanakan sesuatu (Over Simplication);4) lerlalu menggantungkan pada pengalanian satu orang (Overeliance
anone's own experience)5) kebijakan-kebijakan yang dilandasi oleh para konsepsi pembuat kebijakan;6) tidak hanya keinginan untuk melaksanakan percobaan (Unwillingness
toexperiment);7) keengganan untuk membuat kebijakan.34 Ibid; hal. 5535 Ibid; hal.14-1536 Ibid; hal. 56
31
f. Pembentukan Hukum dan Formulasi Kebijakan Publik
Dalam pembentukan hukum dan formulasi kebijakan publik, dikatakan
bahwa diantara keduanya sesungguhnya dapat saling mengisi dan memperkuat satu
sama lain. Sebab dengan interaksi yang baik antara dua hal tersebut, maka akan
dihasilkan produk hukum yang mapan secara substansial, dan menghasilkan
produk kebijakan publik yang legitimed dan dipatuhi secara massif oleh para
stakeholdersnya37.
Menurut Michael Howlett Formulasi kebijakan Publik adalah “The public
policy formulation is the most initial step in overall public policy process. For that
reason, what happens to this phase will highly determine whether or not the public
policy made is successful in the future38.
Dapat diterjemahkan antara lain bahwa langkah yang paling awal dalam
proses kebijakan publik secara keseluruhan. Oleh karenanya apa yang terjadi pada
fase ini akan sangat menentukan berhasil tidaknya kebijakan publik yang dibuat
itu pada masa yang akan datang.
Proses pembentukan hukum atau Undang-Undang di setiap negara
memiliki ciri khasnya sendiri-sendiri. Untuk Indonesia, dalam proses
pembentukan hukum atau Undang-Undang mengenal adanya 3 (tiga) tahap di
dalamnya seperti yang dikemukakan oleh Soeprapto, yaitu:39
1) Proses penyiapan rancangan Undang-Undang yang merupakan proses2) Penyusunan dan perancangan di lingkungan pemerintah, atau di
lingkungan DPR (dalam RUU usul Inisiatif). Proses ini adalah sejalan dengan adanya Inpres No. 15 tahun 1970. Namun seiring dengan demokratisasi tentunya hal ini dapat dimodifikasi sedemikian rupa sehingga keterlibatan aktif masyarakat dapat lebih terakomodasi.
3) Proses mendapatkan persetujuan, yang merupakan pembahasan di DPR.Tata cara untuk melakukan proses persetujuan ini ditentukan oleh Peraturan Tata Tertib DPR Rl No. 9/DPR RI/I/1997-1998, dimana
37 Saiful Bahri, Hessel Nogi S Tangkilisan, Mira Sundini, Hubungan Hukum dan Kebijakan Publik, Yogyakarta, 2004, hlm. 53.
38 Michael Howlett, 1998, Policy Subsystem Configurations and Policy Change: Operationalizing the Postpositivist Analysis of the Politics of the Polycy Process , Policy Studies Journal, Vol. 26, No. 3
39 Ibid, hlm. 54
32
di dalamnya kita mengenal adanya empat tingkat pembahasan dalam hal persetujuan tersebut.
4) Proses Pengesahan oleh Presiden dan Pengundangan.
Tahap-tahap dalam proses pembuatan kebijakan publik sebagai mana
dikemukakan oleh Parson, yaitu:40
a) Tahap Meta Kebijakan Publik (Metapolicy Mdlthzgstage):(1) pemrosesan nilai(2) pemrosesan realitas(3) pemrosesan masalah(4) survey, pemrosesan daa pengembangan sumber daya(5) desain, evaluasi, dan redesain sistem pembuatan kebijaksanaan publik(6) pengalokasian masalah, nilai dan sumber daya(7) penentuan strategi pembuatan kebijakan
b) Tahap pembuatan kebijakan publik (Policy Making Stage):(1) sub alokasi sumber daya(2) penetapan tujuan operasional dengan beberapa prioritas(3) penetapan nilai-nilai yang signifikan, dengan beberapa prioritas(4) penyiapan alternatif-alternatif kebijakan secara umum.(5) Penyiapan prediksi yang realistis atas berbagai alternatif tersebut di
atas berikut keuntungan dan kerugiannya(6) Membandingkan masing-masing alternatif yang ada itu sekaligus
menentukan alternatif mana yang terbaik(7) Melakukan ex-ante evaluation atas alternatif terbaik yang telah dipilih
tersebut di atas.c) Tahap Pasca Pembuatan Kebijakan Publik (Post Policy Making Stage):
(1) Memotivasi kebijakan yang hendak diambil (2) Mngambil dan Memutuis Kebijakan Publik(3) Mengevaluasi proses pembuatan kebijakan publik yang telah dilakukan(4) Komunikasi dan umpan balik atas seluruh fase yang telah dilakukan
2. Peraturan Perundangan yang mengatur
Peraturan Perundang-undangan yang mengatur antara lain adalah :
a. PLN adalah PT (Persero) Perusahaan Listrik Negara yang didirikan
berdasarkan Akta Notaris Sitjipto, SH Nomor 169 Tahun 1994 beserta
perubahannya ;
b. PLN Rayon Atambua adalah PT (Persero) Perusahaan Listrik Negara Sub
Unit yang berada di Kota Atambua - Kabupaten Belu ;
40 Ibdi, hlm. 55
33
c. Undang - Undang Ketenagalistrikan No 30 Tahun 2009 ;
d. Keputusan DIRJEN Listrik dan Pemanfaaatan Energi No 114 – 12 / 39 /
600.2 / 2002 ;
e. Surat Keputusan Direksi PT. PLN ( Persero ) Nomor : 1227.K / DIR /
2011 Tentang Layanan Penerangan Listrik Dengan Memanfaatkan En
ergi Surya Untuk Daerah Terpencil ;
f. Undang - Undang Ketenagalistrikan Nomor 30 Tahun 2009 pasal 2 ayat
( 1 ) :
Pembangunan ketenagalistrikan menganut asas :
1. Manfaat ;
2. Efisiensi berkeadilan ;
3. Berkelanjutan ;
4. Optimalisasi ekonomi dalam pemanfaatan sumber daya energi ;
5. Mengendalkan pada kemampuan sendiri ;
6. Kaedah usaha yang sehat ;
7. Keamanan dan keselamatan ;
8. Kelestarian fungsi lingkungan hidup ; dan
9. Otonomi daerah .
g. Undang - Undang Ketenagalistrikan Nomor 30 Tahun 2009 pasal 4 ayat :
(1). Pelaksanaan usaha penyediaan tenaga listrik oleh Pemerintah dan
Pemerintah Daerah dilakukan oleh badan usaha milik negara dan
badan usaha milik daerah.
(2). Badan usaha swasta, koperasi, dan swadaya masyarakat dapat
berpartisipasi dalam usaha penyediaan tenaga listrik.
(3). Untuk penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam pasal 3
ayat (1), Pemerintah dan pemerintah daerah menyediakan dana untuk
:
a. Kelompok masyarakat tidak mampu,
34
b. Pembangunan sarana penyediaan tenaga listrik di daerah yang
belum berkembang,
c. Pembangunan tenaga listrik di daerah terpencil dan perbatasan,
d. Pembangunan listrik pedesaan.
h. Jermias Bentham, dalam teori hukum UTILITARISME-nya
mengatakan bahwa “Baik buruknya hukum harus diukur dari baik
buruknya akibat yang dihasilkan oleh penerapan hukum itu. Suatu
ketentuan hukum baru dinilai baik, jika akibat - akibat yang dihasilkan
dari penerapannya adalah kebaikan, kebahagiaan sebesar - besarnya,
dan mengurangi penderitaan”.
3. Kebijakan Perlistrikan di Indonesia
Masyarakat berpandangan bahwa semestinya Negara dalam hal ini
Perusahaan Listrik Negara, harus memenuhi apa yang diinginkan
masyarakat agar terpenuhi akan kebutuhan listrik, tidak perduli apa yang
menjadi hambatan atau kendala - kendala yang meyebabkan tidak
terpenuhinya keinginan tersebut.
Melihat beberapa fenomena yang akhir - akhir ini terjadi,
Perusahaan Listrik Negara ini membuat suatu terobosan dengan
memanfaatkan energi terbarukan yakni surya atau matahari untuk menjadi
pembangkit listrik.
Sebenarnya bukan hal yang luar biasa, karena penggunaan energi
surya atau matahari sudah lama dikenal dan diterapkan untuk penerangan
listrik, namun yang menarik dan spesifik, produk ini menjadi lebih fleksibel,
bisa dibawah kemana - mana (bola lampu), gampang pemeliharaannya, dan
jaminin garansi selama pemakaian 3 tahun menjadi tanggung jawab si
vendor untuk menyiapkan matarial tersebut.
35
Sudah ada produk sejenis yang ukurannya lebih besar dan masih
menggunakan penampung arusnya adalah batere atau Accumulator yang
dalampengoperasian dan pemeliharaannya cukup membutuhkan perhatian
yang terus menerus dan sedikit pengetahuan, karena berdasarkan
pengelaman atau kenyataan bahwa karena ketidakfahaman masyarakat akan
cara pemeliharaannya, menyebabkan produk tersebut tidak bertahan lama,
hanya beberepa bulan saja sudah tidak dapat digunakan lagi. Ini karena
masih menggunakan batere atau accumulator yang terpisah dari panel dan
juga lampunya.
Sedangkan produk yang diluncurkan Perusahaan Listrik Negara ini,
punya kelebihan yakni tidak lagi menggunakan batere atau accumulator
yang terpisah dari panel dan atau lampunya, tetapi batere penyimpan
arusnya sudah disatukan dalam body lampu itu sendiri, sehingga tidak
memerlukan perawatan atau pemeliharaan khusus, dan ini sangat
memudahkan masyarakat pelanggannya untuk menikmati lampu tersebut
tanpa harus memikirkan lagi bagimana pemeliharaannya
Energi surya atau matahari yang dimanfaatkan itu ternyata sangat
diminati oleh masyarakat yang memang sudah sangat rindu akan
penerangan dan sadar bahwa walau kebutuhan akan listrik mereka bukan
hanya semata - mata untuk penerangan saja, namun untuk saat ini secercah
cahaya dari lampu SEHEN - Super Ekstra Hemat Energi sudah dapat
menjawab keinginan mereka untuk keperluan belajar anak - anak mereka,
kegiatan menenun bagi ibu - ibu setelah siang harinya mereka berkebun, dan
kegiatan pekerjaan lain yang dilakukan oleh bapak - bapak.
Kelebihan dari jenis lampu SEHEN ini adalah sifatnya yang
portable, bisa dibuka kapan saja, dibawa kemana saja sesuai keperluan,
apalagi ringan sehingga memudahkan untuk dipegang saja, misalnya ingin
bepergian untuk menghadiri hajatan atau pesta, digunakan sebagai
penerangan di perjalanan. Juga biasa digunakan untuk penerangan pesta
dengan cara bersama yakni masing - masing kepala keluarga membawa 1
36
unit lampu SEHEN, maka seluruh arena pesta menjadi terang benderang,
tanpa menggunakan mesin genset listrik.
Sementara, ada satu kelemahan mendasar setiap produk yang
sifatnya portable adalah gampang rusak bila terlalu sering bongkar pasang,
karena secara perlahan ukuran pada lubang pasak atau baut semakin
membesar sebagai akibat dari terlalu sering dibuka atau dilepas. Hal ini
menjadi persoalan tersendiri bagi Perusahan Listrik Negara ini di kemudian
hari apabila waktu garansi dari vendor telah selesai, maka akan menjadi
biaya tersendiri yang menjadi tanggung jawab perusahan jasa
ketenagalistrikan ini.
Adapun alasan mendasar Perusahaan Listrik Negara (PLN)
mengeluarkan kebijakan layanan penerangan listrik dengan memanfaatkan
energi surya atau matahari untuk daerah terpencil adalah dalam upaya
memenuhi amanat Undang - Undang Ketenagalistrikan nomor 30 tahun
2009 pasal 6 yakni sumber energi primer yang terdapat di dalam negeri
dan / atau berasal dari luar negeri harus dimanfaatkan secara optimal sesuai
kebijakan energi nasoinal untuk menjamin penyediaan tenaga listrik yang
berkelanjutan (ayat 1), dan pemanfaatan sumber energi primer tersebut
harus dilaksanakan dengan mengutamakan sumber energi baru dan
terbarukan (ayat 2), serta mempertimbangkan ratio elektrifikasi khususnya
di daerah terpencil sebagaimana di Nusa Tenggara Timur, dan lebih khusus
lagi di Kabupaten Belu yang belum terjangkau jaringan listrik PT. PLN
(Persero), maka pemanfaatan energi surya atau matahari sebagai
pembangkit tenaga listrik merupakan alternatif yang tepat karena energi
surya atau matahari tersedia sepanjang hari di sebagian besar wilayah
Indonesia, kemudian penyediaan fasilitasnya relatif lebih cepat, dan biaya
pengadaannya relatif kompetitif dibanding biaya yang dikeluarkan untuk
pengadaan energi dengan cara lainnya, serta pengoperasiannya relatif
mudah.
37
Sudah menjadi kebiasaan umum, bahwa masyarakat di daerah
terpencil yang berlokasi jauh dari jaringan listrik PT. PLN (Persero) untuk
kebutuhan sumber penerangan pada malam hari pada umumnya
menggunakan lampu berbahan bakar minyak yang biaya operasionalnya
sangat mahal, kotor, luminasi atau pencahayaan rendah, dan beresiko
terjadinya kebakaran.
Dengan kemajuan teknologi yang semakin hari semakin ditemukan
cara dan metode baru, maka telah tersedia jenis lampu sangat hemat energi
(Super Ekstra Hemat Energi) dengan lumen pencahayaan yang relatif tinggi,
sehingga sebagai alat penerangan listrik cukup menggunakan panel surya
sederhana sebagai sumber energi listriknya.
Lampu SEHEN ini dapat digunakan oleh PT. PLN (Persero)
sebagai layanan awal penerangan listrik kepada masyarakat sambil
menunggu layanan pasokan listrik dari jaringan listrik PT. PLN (Persero).
Lampu SEHEN ini adalah jenis lampu LED (light emitting diode) yang
pemakaian energinya sangat hemat untuk menghasilkan lumen yang sama
dibandingkan dengan jenis lampu lainnya, sehingga lampu ini disebut lampu
Super Ekstra Hemat Energi atau disingkat dengan SEHEN.
PLTS Mandiri ini, terdiri dari 1 (satu) panel surya, diletakkan di
tempat terbuka di atas rumah atau di halaman rumah, dimanfaatkan untuk
memasok 1 (satu) paket lampu super hemat dari jenis LED yang dilengkapi
dengan batere, yang pemanfaatan listrik oleh lampu SEHEN menggunakan
instalasi paket yang disediakan oleh produsen paket lampu SEHEN, dan
pemanfaatan listrik pada paket ini tidak dilengkapi dengan alat pembatas
arus maupun pengukur energi sebagaimana yang biasa dipakai pada listrik
konvensional.
Adapun ketentuan teknisnya sebagaimana diatur dalam Keputusan
Direksi PT. PLN (Persero) Nomor : 1227.K / DIR / 2011 Tentang Layanan
Penerangan Listrik Dengan Memanfaatkan Energi Surya Untuk Daerah
Terpencil antara lain : (Pasal 5)
38
1. Pelanggan lampu SEHEN dilayani dengan paket lampu SEHEN yang
terdiri dari :
a. 1 (satu) buah panel surya dan tiang penyangganya yang terbuat
dari aluminium atau galvanis dengan panjang minimal 1 meter
b. 3 (tiga) buah lampu LED dengan daya setiap lampu maksimal 3
(tiga) watt berikut batere di dalam rumah body lampu (built-in)
dari jenis Lithium atau NiMh atau NiCd atau Fe.
2. Paket lampu SEHEN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sudah
dilengkapi kabel penghubung dari panel surya ke hub minimal 5
meter, dan dari hub ke lampu minimal 3 meter, sehingga tidak
diperlukan lagi instalasi listrik di rumah pelanggan.
3. Spesifikasi teknis modul sel surya adalah tegangan pada daya
maksimal 16 V sampai dengan 18 V, efisiensi minimal 14 %, umur
teknis minimal 15 tahun, bersertifikasi setara TUV, UL, CE, IEC,
ISO, SNI, atau SPLN.
4. Tegangan operasi lampu SEHEN adalah sebesar 3,7 V-dc sampai
dengan 17 V-dc, sehingga relatif aman dari dampak tegangan sentuh.
5. Paket lampu SEHEN sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diutamakan produksi dalam negeri dan harus diberi cap “Milik PLN”
karena merupakan aset PLN dan dilengkapi dengan data bulan / tahun
produksi.
6. Umur teknis lampu minimal 10 (sepuluh) tahun dengan masa garansi
paket lampu minimal 3 (tiga) tahun dengan jaminan kerusakan.
7. Kemampuan batere minimal 6 (enam) jam per hari untuk lampu
dengan kuat terang minimal 200 (dua ratus) lumen setiap lampunya.
Kuat terang lampu dapat diatur untuk memperpanjang jam nyala.
8. Setelah berakhir masa garansi, PLN bertanggung jawab atas
kerusakan pada perangkat lampu SEHEN tersebut kecuali kerusakan
yang disebabkan oleh kelalaian pelanggan lampu SEHEN.
39
Sementara model bisnisnya adalah paket lampu SEHEN
merupakan milik PLN, yang mana pemeliharaannya menjadi tanggung
jawab PLN, dan dapat bekerjasama dengan pihak lainnya, serta pelunasan
pembayaran tagihan listrik bulanan dilakukan melalui fasilitas pembayaran
on - line yang terhubung dengan sistem P2APST (Pengelolaan dan
Pengawasan Arus Pendapatan Secara Terpusat). (Pasal 8).
Untuk ketentuan Administrainya (Pasal 9) bagi pelanggan lampu
SEHEN adalah sebagai berikut :
1. Prosedur sambung baru maupun pemberian ID Pelanggan sama seperti
pelanggan reguler.
2. Calon pelanggan harus memiliki tabungan di Bank yang telah
melakukan kerjasama dengan PLN dan bersedia menandatangani
Surat Pernyataan Persetujuan auto debet tabungan untuk pembayaran
tagihan listrik bulanannya dan memberikan wewenang kepada Bank
untuk menginformasikan kepada PLN apabila nilai saldo tabungan
pelanggan lebih kecil dari nilai tagihan bulanan ditambah syarat
minimal saldo Bank terkait.
3. Pelanggan lampu SEHEN dikategorikan sebagai pelanggan golongan
tarif S1, karena pemakaian listriknya relatif sangat kecil yang
disebabkan oleh daya total paket lampu SEHEN sampai dengan 12
watt.
4. Teori efektifitas
Hukum sebagai kaidah merupakan patokan mengenai sikap tindak atau
perilaku yang pantas. Metode berpikir yang dipergunakan adalah metode deduktif-
rasional, sehingga menimbulkan jalan pikiran yang dogmatis. Di lain pihak ada
yang memandang hukum sebagai sikap tindak atau perilaku yang teratur (ajeg).
Metode berpikir yang digunakan adalah induktif-empiris, sehingga hukum itu
dilihatnya sebagai tindak yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama, yang
mempunyai tujuan tertentu.) Efektivitas hukum dalam tindakan atau realita hukum
dapat diketahui apabila seseorang menyatakan bahwa suatu kaidah hukum berhasil
atau gagal mencapai tujuanya, maka hal itu biasanya diketahui apakah
40
pengaruhnya berhasil mengatur sikap tindak atau perilaku tertentu sehingga sesuai
dengan tujuannya atau tidak. ) Efektivitas hukum artinya efektivitas hukum akan
disoroti dari tujuan yang ingin dicapai, yakni efektivitas hukum. Salah satu upaya
yang biasanya dilakukan agar supaya masyarakat mematuhi kaidah hukum adalah
dengan mencantumkan sanksi-sanksinya. Sanksi-sanksi tersebut bisa berupa sanksi
negatif atau sanksi positif, yang maksudnya adalah menimbulkan rangsangan agar
manusia tidak melakukan tindakan tercela atau melakukan tindakan yang terpuji. )
Diperlukan kondisi-kondisi tertentu yang harus dipenuhi agar hukum mempunyai
pengaruh terhadap sikap tindak atau perilaku manusia. Kondisi-kondisi yang harus
ada adalah antara lain bahwa hukum harus dapat dikomunikasikan. Komunikasi
hukum lebih banyak tertuju pada sikap, oleh karena sikap merupakan suatu
kesiapan mental sehingga seseorang mempunyai kecendurangan untuk
memberikan pandangan yang baik atau buruk, yang kemudian terwujud di dalam
perilaku nyata. )
Apabila yang dikomunikasikan tidak bisa menjangkau masalah-masalah
yang secara langsung dihadapi oleh sasaran komunikasi hukum maka akan
dijumpai kesulitan-kesulitan. Hasilnya yaitu hukum tidak punya pengaruh sama
sekali atau bahkan mempunyai pengaruh yang negatif. Hal itu disebabkan oleh
karena kebutuhan mereka tidak dapat dipenuhi dan dipahami, sehingga
mengakibatkan terjadinya frustasi, tekanan, atau bahkan konflik. )
5. Penelitan yang Relevan
Karena adanya keinginan untuk mengadakan penelusuran pada
berbagai literatur serta referensi dan hasil penelitian dalam berbagai media,
baik melalui media cetak maupun media elektronik, ternyata belum ada
penelitian tentang politik hukum biaya Lampu Super Ekstra Hemat Energi
ini, dan mengacu pada Undang - Undang Ketenagalistrikan Nomor 30
Tahun 2009 yaitu tentang Peraturan Pelaksanaan usaha penyediaan tenaga
listrik oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah dilakukan oleh badan usaha
milik negara dan badan usaha milik daerah adalah Judul Tesis dengan
Kebijakan Hukum PT. PLN (persero) atas penerapan biaya penggunaan
41
lampu super ekstra hemat energi untuk masyarakat yang jauh dari jaringan
listrik.
Atas dasar hal tersebut maka peneliti bermaksud untuk
mengadakan penelitian terhadap permasalahan tersebut, sehingga menurut
hemat penulis penelitian ini benar-benar asli. Keaslian penelitian ini dapat
diartikan bahwa masalah yang dirumuskan oleh peneliti ini benar-benar
permasalahan yang terjadi di PT. PLN (Persero) Rayon Atambua.
B. Kerangka Berpikir
Adapun kerangka berpikir dalam penulisan tesis ini adalah :
42
UU NO. 30 Tahun 2009Tentang
Ketenagalistrikan
Teori Efektifitas
Dalam upaya memenuhi kebutuhan tenaga listrik secara lebih merata
dan untuk lebih meningkatkan kemampuan negara dalam hal penyediaan
tenaga listrik baik untuk kepentingan umum maupun untuk kepentingan
sendiri, sepanjang tidak merugikan kepentingan negara, dapat diberikan
kesempatan yang seluas - luasnya kepada koperasi dan badan usaha lain
untuk menyediakan tenaga listrik berdasarkan Izin Usaha Ketenagalistrikan.
Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang NO. 30 Tahun 2009Tentang
Ketenagalistrikan dan ditindak lanjuti dengan SK.DIR 1227.K / DIR / 2011
Tentang Pemenfaatan Sumber Energi Matahari Untuk Masyarakat Yang
Jauh Dari Jaringan Listrik.
43
SK.DIR 1227.K / DIR / 2011Tentang
Pemenfaatan Sumber Energi Matahari Untuk Masyarakat Yang Jauh Dari Jaringan Listrik
PT. PLN (Persero) Wil. NTT
PT PLN RAYON ATAMBUA
KESEJAHTERAAN PELANGGAN SEHEN
SEHEN Kebijakan
Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan Untuk Kepentingan Umum,
dalam melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan
umum diberikan kewenangan untuk melakukan perbuatan tertentu
sepanjang tidak bertentangan dan dengan memperhatikan peraturan
perundang - undangan yang berlaku. Kewenangan tersebut diberikan demi
untuk kepentingan umum dalam rangka menunjang kelancaran pelaksanaan
usaha penyediaan tenaga listrik itu sendiri. Namun demikian, karena tujuan
pembangunan ketenagalistrikan untuk kesejahteraan dan kemakmuran
rakyat, maka dalam Undang - Undang ini juga ditegaskan hak - hak rakyat
dan kewajiban Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan Untuk Kepentingan
Umum terhadap rakyat. Di samping itu, apabila badan usaha lain baik yang
berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum dan
perorangan yang mendapatkan Izin Usaha Ketenagalistrikan Untuk
Kepentingan Sendiri dalam melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik
mempunyai kelebihan tenaga listrik, maka kelebihan tenaga listriknya dapat
dijual untuk kepentingan umum. Untuk itu badan usaha lain tersebut harus
mengajukan Izin Usaha Ketenagalistrikan Untuk Kepentingan Umum
terlebih dahulu kepada Pemerintah.
Hak - hak rakyat sebagaimana dimaksud di atas, antara lain untuk
mendapatkan ganti rugi yang layak dan adil atas tanah atau kerusakan
bangunan dalam rangka pelaksanaan usaha penyediaan tenaga listrik. Di
samping itu rakyat berhak pula mendapatkan pelayanan yang wajar untuk
memperoleh tenaga listrik, dengan mempertimbangkan kemampuan yang
ada. Karena tujuan pembangunan ketenagalistrikan untuk kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat, maka harga jual tenaga listrik diatur oleh Pemerintah
agar dapat terjangkau oleh rakyat dalam bentuk harga yang wajar.
Harga yang wajar inilah yang menjadi masalah yang sangat
berpengaruh pada masyarakat yang secara ekonomi masih berada di bawah
garis kemiskinan, sehingga terjadilah ketidakmampuan masyarakat dalam
melaksanakan kewajibannya untuk membayar biaya penggunaan Lampu
44
Super Ekstra Hemat Energi yang biasa disebur SEHEN, yang merupakan
kebijakan PT. PLN (Persero) untuk menerangi masyarakat yang tinggalnya
jauh dari jaringan listrik sehingga Penerapan kebijakan bisa berjalan efektif
atau tidak akan terlihat dalam hasil penelitian ini.
BAB III
METODE PENELITIAN
45
Mengadakan suatu penelitian ilmiah jelas harus menggunakan metode, karena
ciri khas ilmu adalah dengan menggunakan metode. Metode berarti penyelidikan
yang berlangsung menurut suatu rencana teretentu. Menempuh suatu jalan tertentu
untuk mencapai tujuan, artinya peneliti tidak bekerja acak-acakan. Langkah- langkah
yang diambil harus jelas serta ada pembatasan-pembatasan tertentu untuk menghidari
jalan yang menyesatkan dan tidak terkendali.41 Pengertian dari metode penelitian itu
sendiri apabila disimpulkan adalah suatu cara atau jalan untuk memecahkan masalah
yang ada dengan cara mengumpulkan, mengembangkan atau menguji kebenaran
suatu ilmu pengetahuan. Metode penelitian sangat menentukan dalam suatu penelitian
karena mutu, nilai, dan validitas suatu hasil penelitian sangat ditentukan oleh
pemilihan metode penelitian secara tepat.
Metode menurut Setiono42 adalah suatu alat untuk mencari jawaban dari
pemecahan masalah, oleh karena itu suatu metode atau alatnya harus jelas terlebih
dahulu apa yang akan dicari. Selain hal tersebut dalam mempelajari hukum, tentunya
tidak boleh lepas dari 5 (lima) konsep hukum yang menurut Soetandyo
Wignjosoebroto seperti dikembangkan oleh Setiono adalah sebagai berikut:43
a. Hukum adalah asas-asas moral atau keadilan yang universal dan secara inheren merupakan bagian dari hukum alam.
b. Hukum merupakan norma atau kaidah yang bersifat positif. Kaidah ini berlaku pada suatu waktu dan wilayah tertentu yang menjadi dasar legitimasi kekuasaan politik. Hukum semacam ini lebih dikenal sebagai hukum suatu negara.
c. Hukum adalah keputusan-keputusan badan peradilan dalam penyelesaian kasus atau perkara (in concreto). Putusan hakim ini kemungkinan akan menjadi preseden bagi penyelesaian kasus berikutnya.
d. Hukum merupakan institusi sosial yang secara riil berfungsi dalam masyarakat sebagai mekanisme pemeliharaan ketertiban dan penyelesaian sengketa serta pengarahan dan pembentukan pola perilaku yang baik.
e. Hukum merupakan makna-makna simbolik yang terekspresi pada aksi-aksi serta interaksi warga masyarakat.
41 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publihsing, Malang. 2006, Hal. 29
42 ? Setiono, 2005, Pedoman Pembimbingan Tesis, Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2005, hal. 143 ? Ibid, hal. 3
46
Dari kelima konsep hukum di atas, dalam penelitian tesis ini menggunakan
konsep hukum kelima, dimana hukum merupakan makna-makna simbolik yang
terekspresi pada aksi-aksi serta interaksi warga masyarakat.
a. Jenis Penelitian
Berdasarkan konsep hukum kelima tersebut, maka jenis penelitian yang
digunakan adalah penelitian hukum empiris dan menurut sifatnya merupakan jenis
penelitian deskriptif, dengan pendekatan kualitatif. Penelitian deskriptif, yaitu
suatu penelitian yang bertujuan mendeskripsikan kebijakan atas penerapan biaya
penggunaan Lampu Super Ekstra Hemat Energi untuk masyarakat yang jauh
dari jaringan listrik di Kabupaten Belu. Sedangkan menurut bentuknya
merupakan penelitian preskriptif, yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk
mendapatkan saran-saran mengenai apa yang harus dilakukan untuk mengatasi
masalah-masalah tertentu. Dalam hal ini saran-saran dalam mengatasi
permasalahan apabila kebijakan atas penerapan biaya penggunaan Lampu
Super Ekstra Hemat Energi untuk masyarakat yang jauh dari jaringan listrik
di Kabupaten Belu tidak berjalan dengan efektif. Pendekatan yang digunakan
adalah pendekatan kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data
yang deskriptif yang bersumber dari tulisan atau ungkapan dan tingkah laku yang
dapat diobservasi dari manusia. 44
Untuk operasionalisasi penelitian ini digunakan metode deskriptif,
sedangkan ditinjau dari sudut penelitian hukum, penelitian ini merupakan
penelitian hukum sosiologis/ non doktrinal, dengan pendekatan interaksional
menggunakan analisis yang kualitatif. Penelitian deskriptif dimaksudkan untuk
mendiskripsikan realitas sosial yang diperoleh dari penelitian dengan
menerapkan konsep- konsep yang telah dikembangkan oleh ilmuan-ilmuan sosial.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran secara nyata tentang
kebijakan atas penerapan biaya penggunaan Lampu Super Ekstra Hemat
Energi untuk masyarakat yang jauh dari jaringan listrik di Kabupaten Belu.
Penelitian ini berusaha menemukan fakta-fakta yang tidak hanya
menunjukkan gejala-gejala saja tetapi juga berusaha mengemukakan hubungan satu
44 ? Burhan Ashshofa, Loc. Cit, hal. 16
47
dengan yang lain dalam aspek-aspek yang diteliti itu. Dengan pemaparan situasi
dan peristiwa yang sebenarnya dari lapangan, maka dapat diungkapkan tentang
bagaimana kebijakan atas penerapan biaya penggunaan Lampu Super Ekstra
Hemat Energi untuk masyarakat yang jauh dari jaringan listrik di Kabupaten
Belu.
Penelitian ini adalah penelitian hukum empiris, yaitu penelitian
yang berfokus pada perilaku masyarakat hukum (law action) dan penelitian
ini membutuhkan data primer sebagai data utama disamping data sekunder
(sebagai bahan hukum).
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum
dengan analisis - analisis kualitatif. Penelitian kualitatif karena meneliti
permasalahan yang terjadi secara faktual sebagai gejala sosiologis.
Penelitian kualitatif menurut Basrowi dan Suwandi merupakan penelitian
yang dilakukan berdasarakan paradigma, strategi, dan implementasi model
secara kualitatif. Jadi disini penulis akan melakukan wawancara kepada nara
sumber.
Tipe kajian ini menggunakan metode penelitian hukum non
doktrinal dengan pendekatan interaksional / mikro, dengan analisis - analisis
yang kualitatif. Penelitian ini merupakan penelitian partisipatif artinya
penulis terlibat atau melibatkan diri dalam proses penagihan tunggakan
SEHEN PT. PLN Rayon Atambua.
b. Sifat Penelitian
48
Sifat dari penelitian ini adalah eksploratif, sebab hasil dari
penelitian ini diharapkan akan memperoleh pengetahuan tentang suatu
gejala yang akan diselidiki masih kurang sekali atau bahkan tidak ada yaitu
mengenai kajian tentang biaya yang dikenakan pada Lampu Super Ekstra
Hemat Energi sesuai berpedoman pada Peraturan Pemerintah Undang -
Undang Ketenagalistrikan Nomor 30 tahun 2009.
c. Pendekatan Penelitian
Penelitian yang akan dilakukan ini merupakan pendekatan sosial
(non doktrinal) dengan pendekatan interaksional (mikro) dengan analisis
kualitatif. Disamping itu juga akan dilakukan pendekatan perundang -
undangan.
d. Sumber Data
Secara umum data didalam penelitian dibedakan menjadi data yang
diperoleh secara langsung dari masyarakat (mengenai perilakunya, data
empiris) dan dari bahan pustaka. Yang diperoleh langsung dari masyarakat
dinamakan data primer dan yang kedua data diberi nama data sekunder.
Sepanjang yang hendak diteliti secara langsung, sehingga yang
dipergunakan adalah data primer atau data dasar. Suatu hal secara empiris
dan data sekunder sebagai dasar kekuatan mengikat dalam. Sumber data
berupa manusia, peristiwa, tingkah laku, berbagai benda lain.
a. Data Primer
49
Data primer ini didapat dengan mewawancarai Koordinator
Lampu SEHEN yang ditunjuk dari PT. PLN Area Kupang sebagai
penanggung jawab di PLN Rayon Atambua. Serta melakukan
observasi secara langsung atas permasalahan tersebut mengingat
penulis adalah sebagai Manajer PT. PLN (Persero) Rayon Atambua
yang pernah terlibat dalam penagihan dan sosialisasi Lampu SEHEN
kepada Masyarakat Belu - PT. PLN Persero Rayon Atambua.
b. Data Sekunder
Adalah data yang diperoleh dari berbagai bahan hukum yang
berbentuk dokumen, arsip dan berbagai literatur. Data sekunder
didapat dari menelaah peraturan perundang - undangan yang ada
kaitannya dengan Lampu SEHEN atau Lampu surya dan Surat
Keputusan.
e. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data primer yang dipergunakan dalam
penelitian ini adalah wawancara secara mendalam dan studi dokumentasi
sebagai data bantu, pengertian hal tersebut adalah :
1. Wawancara / Interview
Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk
tujuan penelitian dengan cara tanya jawab, baik secara langsung
maupun tidak langsung dengan sumber data yakni unsur penanggung
jawab / koordinator lampu SEHEN Rayon atambua.
50
2. Studi Dokumentasi
Studi dokumentasi sebagai pelengkap data primer untuk
memperjelas pernyataan. Penerapan metode dokumentasi, peneliti
menyelidiki buku - buku, majalah, dokumen, peraturan - peraturan,
notulen rapat catatan harian, surat keputusan dan lain sebagainya.
F. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan proses mengatur urutan data,
mengorganisasikannya ke dalam suatu pola dan suatu uraian dasar. Proses
analisis data merupakan usaha untuk menemukan jawaban atas pertanyaan
perihal rumusan dan hal-hal yang diperoleh dalam penelitian. 45. Teknik
analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data
kualitatif. Penelitian ini memperoleh data berujud kata-kata bukan rangkaian
angka. Aanalisis kualitatif menggunakan kata-kata yang biasanya disusun
dalam teks yang diperluas. Dengan model analisis ini, analisis telah dilakukan
sejak pengumpulan data. Dalam hal ini terdapat tiga komponen analisis yaitu
reduksi data, sajian data dan penarikan kesimpulan atau verifikasinya.
Sedangkan aktifitas dilakukan dalam bentuk interaktif dengan proses
pengumpulan data sebagai proses siklus. Dalam model ini peneliti tetap
bergerak dalam komponen analisis seoerti tersebut diatas. Di tengah-tengah
waktu pengumpulan data dan analisis data juga akan dilakukan audit data
demi validasi data. Sedangkan sesudah pengumpulan data selesaai, bila masih
terdapat kekurangan data, dengan menggunakan waktu yang tersedia, maka
peneliti dapat kembali ke lokasi penelitian untuk pengumpulan data demi
kemantapan kesimpulan. Untuk lebih jelasnya, proses analisis data dengan
model interaktif ini dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar : 9
45 Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif, Jakarta, UI Press, 2007, hal. 15
51
Bagan model analisis data interaktif (Interactive Model Of Analysis)
Ketiga Komponen tersebut dapat dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut : 46
a. Reduksi data
Diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul
dari catatan-catatan di lapangan. Reduksi data berlangsung terus-menerus
bahkan sebelum data benar-benar terkumpul sampai sesudah penelitian
lapangan, sampai laporan akhir lengkap tersusun. Reduksi data bukanlah
merupakan suatu hal yang terpisah dari analisis dan merupakan bagian dari
analisis.
b. Penyajian Data
Merupakan sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan
adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.
c. Menarik Kesimpulan/Verifikasi
Dari permulaan pengumpulan data, seorang analis kualitatif mulai
mencari arti benda-benda, mencatat keteraturan, pola-pola, penjelasan,
konfigurasi yang mungkin, alur sebab-akibat dan proposisi. Kesimpulan-46 H.B. Sutopo, Metodologi Penelitian Kualitatif, Dasar teori dan Terapannya dalam
penelitian, Surakarta, UNS, Press, 2002, hal. 96
52
Pengumpulan Data
II
Sajian Data
I
Reduksi Data
III
Penarikan Kesimpulan/Verifikasi
kesimpulan itu akan ditangani dengan longgar, tetap terbuka dan skeptis,
tetapi kesimpulan sudah disediakan, mula-mula belum jelas meningkat lebih
terperinci dan mengakar dengan kokoh. Kesimpulan-kesimpulan juga di
verifikasi selama penelitian berlangsung. Singkatnya makna-makna yang
muncul dari data harus diuji kebenarannya, kekokohannya, dan
kecocokannya yakni merupakan validitasnya47
Model analisis ini merupakan proses siklus dan interaktif. Seorang
peneliti harus bergerak diantara empat sumbu kumparan itu selama
pengumpulan data, selanjutnya bergerak bolak-balik diantara kegiatan
reduksi, penyajian, dan penarikan kesimpulan/verifikasi selama sisa waktu
penelitiannya. Kemudian komponen-komponen yang diperoleh adalah
komponen-komponen yang benar-benar mewakili dan sesuai dengan
permasalahan yang diteliti. Setelah analisis data selesai, maka hasilnya akan
disajikan secara deskriptif yaitu secara apa adanya sesuai dengan
permasalahan yang diteliti dan data-data yang diperoleh.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Kebijakan Biaya Penggunaan Lampu SEHEN
47 Soerjono Soekanto. Loc. Cit. hal. 8-9
53
Kondisi ekonomi masyarakat Indonesia umumnya dan masyarakat
Nusa Tenggara Timur khususnya, dan lebih khusus lagi masyarakat
Kabupaten Belu yang masih berpenghasilan rendah, terasa semakin
menyulitkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sandang, pangan
maupun papan, dan yang lebih dari itu adalah kebutuhan akan penerangan
listrik di wilayah pedesaan.
Kondisi ini semakin diperparah oleh karena Perusahaan Listrik
Negara yang berdasarkan amanat Undang - Undang sebagai pemegang ijin
usaha ketenagalistrikan berkewajiban melistriki masyarakat Indonesia, tidak
atau belum mempunyai anggaran yang cukup untuk melistriki semua
wilayah Indonesia, termasuk di wilayah Kabupaten Belu yang terdiri dari 24
Kecamatan dan 208 desa , ini sebelum pemekaran Kabupaten Malaka, yang
secara geogarfis antara desa yang satu dengan desa yang lain sangat
berjauhan, apalagi antara satu dusun dengan dusun yang lain.
Hal inilah merupakan kendala atau kesulitan Perusahaan Listrik
Negara untuk memenuhi tanggung jawabnya melistriki seluruh Indonesia.
Oleh karena itu, maka di Nusa Tenggara Timur umumnya dan Kabupaten
Belu dan Kabupaten Malaka ( hasil pemekaran) mempunya Ratio
Elektrifikasi belum mencapai 30 persen.
Inilah tuntutan masyarakat yang harus dipenuhi PT PLN (Persero),
betapa senyum mengembang begitu ceria dari masyarakat yang baru
mendapat sambungan listrik.
Betapa kata - kata haru dan syukur meluncur dari mulut mereka
yang tiba - tiba rumahnya jadi terang benderang, karena begitu lamanya
mereka merindukan listrik, Sementara, masih banyak masyarakat pedesaan
yang tinggal jauh di pelosok, terpencil dan akses jalan yang begitu sulit
belum bisa menikmati listrik yang jadi dambaan tersebut, sehingga wajar
saja bila pada setiap pertemuan baik formal dengan pemerintah daerah
maupun dengan masyarakat, serta pertemuan non formal, yang diinginkan
masyarakat adalah kapan mereka mendapat pelayanan Listrik PLN ?
54
Di sisi yang lain, menjadi pertanyaan adalah mengapa PT PLN
(Persero) belum bisa memenuhi permintaan masyarakat akan pelayanan
listrik, sebagaimana saudara - saudara mereka di tempat lain yang terlebih
dahulu menikmati layanan listrik, atau dengan kata lain apa yang menjadi
kendala PT PLN (Persero) sehingga di desa - desa, dusun terpencil di
Kabupaten Belu belum dialiri listrik ?
Beberapa alasan yang menjadi kesulitan PT PLN (Persero) dalam
memenuhi kebutuhan masyarakat akan listrik sangatlah bergantung kepada
bagaiman kondisi sosial ekonomi dunia umumnya dan kondisi sosial
ekonomi serta politik di Indonesia secara khusus, diantaranya :
1. Kondisi Ketahanan Energi Indonesia
Pertumbuhan penduduk dan ekonomi selalu berjalan
beriringan dengan konsumsi energi. Sumber energi konvensional
bahan bakar fosil akan semakin langka dan berpotensi memicu
konflik.
Banyak perang besar dan konflik tak berkesudahan
disebabkan perebutan sumber minyak bumi. Sebagian sebabnya yaitu
kenyamanan hidup yang tak mau diusik. Meski ditemukan sumber -
sumber minyak baru, kebutuhan akan melaju. Pun di Indonesia, yang
penduduknya diprediksikan 290 juta pada tahun 2030, dengan
perkiraan 95 juta adalah orang kaya baru. Kesenjangan kebutuhan
energi antar kelas sosial akan terus melebar menurut skenario
ketahanan energi dalam Indonesia Energy Outlook (2010), pada 2020
– 2030, bauran energi final masih didominasi BBM 31 persen, gas
bumi 23,7 persen, listrik, 18,7 persen, batubara 15,2 persen, bio massa
6,1 persen, bahan bakar nuklir 2,1 persen, dan LPG 2,4 persen. (Opini
– Kompas – Selasa, 30 April 2013)6
___________________
55
6.Kompas. Selasa 30 April 2013. Kebijakan Sumber Daya Alam( Ketahanan Energi)
Namun di sisi lain, ditengah meningkatnya konsumsi BBM
nasional, Indonesia justru krisis produksi minyak bumi. Situasi ini
mengakibatkan negara yang memiliki sumber daya minyak dan gas
bumi ini tidak mampu memenuhi sendiri kebutuhan minyak di dalam
negeri sehingga volume import minyak mentah dan BBM kian
membengkak.
Ke depan, konsumsi energi di Indonesia dan negara - negara
lain di dunia diperkirakan akan terus meningkat. Jika pada 2010
konsumsi energi dunia 12 miliar ton setara minyak, pada 2030
permintaan energi secara global diprediksi menembus angka 16,6
miliar ton setara minyak dengan porsi minyak dan batubara terbesar
diantara sumber energi lain.
Secara global, Indonesia akan berlomba dengan China, India,
Amerika dan Eropa Barat dalam memperebutkan kebutuhan minyak
ke depan untuk menopang pertumbuhan ekonomi di masing - masing
negara. Hal ini tentu mengancam ketahanan energi di tengah
lambannya proses desertifikasi energi nasional akibat murahnya harga
BBM yang disubsisi pemerintah.
Pembangunan Indonesia tak bisa lagi hanya bersandar pada
bahan bakar fosil dan import minyak berkelanjutan. Selain mengerus
neraca transaksi berjalan, ketahanan energi yang rapuh akan
melemahkan perekonomian bangsa. Pertumbuhan kebutuhan energi
dalam negeri akan berkompetisi dengan China dan India, sehingga
Indonesia akan semakin rentan terhadap goncangan pasokan eksternal.
Karena itu, ketahanan energi berbasis sumber - sumber domestik yang
ramah lingkungan menjadi persoalan kritis saat ini.
Energi terbarukan menjadi topik khusus dalam Asian
Development Outlook 2013, Laporan Bank Pembangunan Asia itu
mengingatkan, bila negara - negara di Asia tidak mengurangi
56
ketergantungan pada BBM dan mengubah pola konsumsinya, import
minyak Asia diperkirakan naik hampir tiga kali lipat tahun 2035.
Konsumsi BBM akan naik dua kali lipat, gas bumi tiga kali lipat, dan
batubara naik 81 persen. Dampaknya akan sangat buruk bagi
lingkungan dan perkembangan ekonomi.
Pemerintah saat ini gagal dalam mengantisipasi krisis bahan
bakar. Ketika Indonesia mengalami puncak kedua produksi minyak
1995, indikasi kita akan memasuki era krisis minyak seharusnya sudah
disadari. Sayangnya, beberapa dekade ini kita tak punya kebijakan
pengelolaan energi strategis yang komprehensif. Kini, masyarakat
tersandera harga bahan bakar minya (BBM) yang jauh lebih rendah
dari harga keekonomiannya di tengah harga barang dan jasa lain yang
terus meningkat. Masyarakat kurang diedukasi mengenai bahaya laten
yang mengancam perekonomian dan keuangan negara, sementara
subsidi tak tepat sasaran.
Indonesia memiliki sejumlah sumber energi terbarukan.
Namun tak ada kebijakan komprehensif untuk sungguh - sungguh
mengembangkan sumber energi alternatif. Padahal, Brasil, misalnya,
berhasil memperkuat ketahanan energi dengan sumber - sumber
domestik, diantaranya dengan teknologi pengolahan tebu menjadi
energi bio yang harga per liternya 30 - 40 persen lebih rendah dari
BBM.
Pengembangan sumber energi terbarukan domestik secara
masif membutuhkan, antara lain, lahan luas. Tanpa dilengkapi tata
kelola yang adil dan setara akan memicu konflik dengan pengadaan
lahan untuk pangan. Di Indonesia, ada 17 institusi yang seharusnya
bisa dikoordinasikan Menteri ESDM atau Presiden langsung.
Namun, dibutuhkan strategi dan kepemimpinan yang cerdas
agar bisa diimplementasikan secara efektif dan memberikan inspirasi.
Kemampuan menciptakan kebijakan komprehensif untuk mengatasi
57
persoalan ini akan memberikan efek berganda, termasuk penghapusan
kemiskinan tanpa bantuan langsung tunai, terciptanya lapangan kerja,
dan pertumbuhan domestik.
Pemerintah memiliki rencana bauran energi primer yang
tertuang dalam Kebijakan Energi Nasional. Namun, sampai 2030
diperkirakan bauran sumber energi terbarukan domestik tak bisa
mencapai 25 persen, sesuai visi 2025 yang dicanangkan Kementerian
ESDM tahun 2011. Itu lebih tinggi dari target 17 persen menurut
PerPres No 5 / 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional.
Salah satu penghambat pemberdayaan energi terbarukan ialah
subsidi justru diberikan pada konsumsi BBM. Akibatnya, penggunaan
energi terbarukan tidak menarik karena harganya mahal sebab biaya
investasinya juga mahal. Padahal, bila bicara investasi masa depan
jawabnya adalah energi terbarukan.
Menurut International Sustainable Energy Organization,
biaya pengadaan energi terbarukan dari alam, seperti energi matahari,
angin, air, arus laut, dan hidrogen yang masih mahal saat ini justru
akan semakin turun di masa depan. Adapun biaya energi tak
terbarukan, seperti minyak, gas, batubara, dan nuklir, akan sangat
mahal, apalagi kalau diperhitungkan dampaknya terhadap keselamatan
manusia dan alam.
Pertanyaannya kembali pada soal pilihan antara yang benar
dan yang mudah. Banyak orang bijak mengingatkan, bila kita mau
yang serba mudah dan menghindari kesulitan, tak satu pun akan
diperoleh. Jadi silahkan memilih !. (Opini – Kompas, Selasa 30 April
2013 )7
______________________
58
7. Opini – Kompas, Selasa 30 April 2013
2. Kecanduan BBM
Indonesia sangat “kecanduan” dengan penggunaan bahan
bakar minyak sebagai sumber energi. Pengalihan BBM ke energi
alternatif sangat sulit, bahkan tidak mungkin terjadi meskipun telah
banyak penelitian tentang energi alternatif oleh institusi - institusi di
Indonesia.
Saat terjebak macet, di Yokyakarta, Bandung, atau saat
duduk menunggu di Bandara Soekarno - Hatta, keadaan ini
mengingatkan kita akan “kecanduan” masyarakat Indonesia pada
BBM. Penggunaan yang berlebihan ini tidak sebanding dengan
perkembangan penemuan energi alternatif yang berjalan lambat.
“Kecanduan” ini juga tampak sangat jelas pada subsidi BBM
konsumen (lebih dari 10 persen GDP nagara saat ini), dimana
sebagaian besar permasalahan yang timbul dimulai dari subsidi BBM
produsen.
Subsidi BBM produsen bukanlah istilah yang umum dalam
bidang ekonomi, fiskal, dan sektor energi.Istilah subsidi di Indonesia
umumnya mengacu ke subsidi hilir, dan secara khusus disebut sebagai
subsidi harga BBM (yang merupakan kesenjangan antara harga pasar
dan harga domestik).
Peraturan di Indonesia tidak menjelaskan perbedaan tentang
kedua subsidi ini. Dalam bidang akuntansi, fiskal, dan energi, hal yang
mengarah pada subsidi produsen tidak diklasifikasikan sebagaimana
seharusnya. Istilah subsidi produsen dan subsidi konsumen yang tidak
jelas ini mengakibatkan penelitian terhadap subsidi BBM produsen
sangat sulit di indonesia.
59
Subsidi produsen terkadang diistilahkan “insentif / hibah
pemerintah di tingkat hulu” , bertujuan untuk menjembatani
kesenjangan persepsi masyarakat Indonesia. Penurunan investasi dari
pihak asing dalam sektor minyak dan pertambangan akhir - akhir ini
akan membuat masyarakat percaya bahwa insentif pemerintah mulai
berkurang dan kehilangan daya tarik bagi investor asing.
Ini hanya isu politik sementara. Isu subsidi (insentif) sektor
minyak dan pertambangan akan berkembang lagi ketika isu - isu
politik (pemilu presiden mendatang, pembubaran BP Migas, pajak
eksport bahan baku mentah, dan hak kontrak penambangan)
diselesaikan setelah 2014.
Namun, debat subsidi BBM konsumen lebih intens daripada
subsidi BBM produsen karena kekurangan informasi dan data. Dalam
beberapa tahun terakhir, para ekonom dan institusi, seperti IMF dan
Bank Dunia, mendorong untuk mengurangi jumlah subsidi BBM
konsumen.
Tentu saja kemungkinan perjanjian pengurangan subsidi
BBM produsen juga dimungkinkan terjadi meskipun tidak dalam
tingkatan yang sama pentingnya dengan pengurangan subsidi
konsumen. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya pengaruh politik
dan lobi - lobi besar perusahaan minyak dan pertambangan di dalam
pemerintah atau institusi ini.
Meski demikian, subsidi konsumen yang telah dijanjikan tak
dapat ditarik kembali. Seperti yang terjadi tahun lalu di Indonesia dan
Negeria, usaha perubahan politik subsidi seperti menaikkan harga -
harga tak berjalan sesuai harapan. Perubahan subsidi ini malah
memicu kerusuhan dan konflik dengan polisi.
Kebijakan subsidi BBM telah jadi hak milik setiap orang saat
ini, terutama di nagara - negara yang memiliki sumber daya alam
berlimpah. Sementara permintaan BBM dari institusi asing, seperti
60
kantor - kantor yang nyaman (jauh dari kemacetan, atau banjir) di
London atau Wina, bertentangan dengan kondisi masyarakat yang
berjuang untuk bertahan hidup di Pontianak atau Manado. Realitas
tidak berjalan sesuai dengan teori yang ada.
Subsidi harga BBM untuk sektor industri dicabut pada 2005.
Awalnya kebijakan ini terlihat sangat bermanfaat, tetapi banyak
pendapat yang sangat berbeda di sini dan terus menerus diperdebatkan
setelah beberapa tahun kemudian. Sampai saat ini, entah bagaimana
sektor industri masih mendapatkan BBM bersubsidi yang seharusnya
ditujukan untuk masyarakat umum.
Sebagai contoh, pertama, dalam praktiknya Pemerintah
Indonesia dapat membuat pengecualian dalam menyediakan BBM
bersubsidi untuk transportasi ke daerah - daerah tertentu yang sulit
dijangkau meskipun volume pengurangan ini tidak terlalu signifikan.
Permasalahan ini sangat diperbincangkan.
Kedua, memilah bagian yang diklafikasikan dalam sektor
industri tidak mudah. Bukankan truk - truk pengangkut milik industri
seharusnya diklasifikasikan sebagai truk sektor industri ? Dalam
praktiknya, truk - truk itu mendapatkan solar bersubsidi. Interpretasi
dan klasifikasi alat transportasi dan logistik harus dilakukan secara
spesifik.
Hal yang sama, Indonesia mendistribusikan solar bersubsidi
untuk kapal - kapal kargo dan kapal - kapal kecil (sekali lagi,
pemahaman tentang klasifikasi kapal - kapal industri dan kapal - kapal
kecil harus diperjelas).
Subsidi BBM dan gas terbesar di Indonesia adalah bagi pihak
kontrak bagi hasil. Namun, informasi mengenai pihak tersebut tidak
mudah didapatkan. Bahkan, meskipun ada informasi, tidak lengkap.
Hal seperti ini tidak seharusnya terjadi, sesuai pasal 33 ayat (3) UUD
1945 beserta putusan pembubaran BP Migas pada November 2012.
61
Pemerintah Indonesia wajib memiliki daftar lengkap
mengenai aturan dan tata cara untuk menjalankan serta
mengembangkan bagi pihak dengan kontrak bagi hasil tersebut. Hal
ini sangatlah penting karena subsidi bagi kontrak bagi hasil adalah
kesenjangan pemahaman dalam pasar bahan bakar mineral di
Indonesia.
Akan lebih bermanfaat dengan mengetahui adanya daftar
batasan dan ketentuan kontrak bagi hasil karena setidaknya
masyarakat akan menjadikan daftar tersebut sebagai patokan. Patokan
- patokan ini yang nantinya akan bisa dijadikan landasan pengambilan
keputusan untuk ketentuan dan batasan untuk kontrak bagi hasil.
Tidak hanya pada kontrak bagi hasil, tetapi subsidi bagi
produsen juga mencakup insentif pajak sehingga saham kepemilikan
terhadap pertambangan lepas pantai, kredit dan dukungan
pembiayaan, kebijakan harga untuk pasar lokal, insentif untuk tarif
import dan eksport, saham istimewa BUMN, dan perlakuan istimewa
untuk pemerintah lokal. Seperti dapat kita lihat, subsidi yang tidak
diklasifikasi tersebut dapat dengan mudah membayangi subsidi
konsumen. Isu ini tidak melulu tentang BBM. Indonesia, berbeda
dengan negara - negara lain, meningkatkan kemandiriannya dengan
membangun pabrik - pabrik pembangkit listrik batubara.
Pembangkit listrik batubara memiliki tingkat polusi cukup
tinggi dan sedikit kurang sehat. Sebagai tambahan, terdapat sibsidi de
facto dalam batubara yang tidak terlihat, seperti tidak menegakkan
keamanan dan peraturan daerah tentang lingkungan, serta
pertambangan ilegal yang mengenyampingkan pajak dan royalti yang
harus dibayarkan.
3. Subsidi Listrik
62
Pemerintah berkomitmen menekan subsdi listrik sampai
dengan Rp 20 triliun per tahun. Ini diwujudkan melalui
penandatanganan nota kesepahaman tentang kesepakatan tingkat
layanan di sektor kelistrikan oleh 11 kementrian dan lembaga negara
di Jakarta.
Nota kesepahaman tersebut sekaligus ditujukan untuk
mendorong pertumbuhan kualitas pelayanan listrik agar sinkron
dengan potensi pertumbuhan ekonomi. Subsidi listrik selama sepuluh
tahun terakhir terus meroket dan kualitas pelayanannya pun kurang
mendukung potensi pertumbuhan ekonomi nasional.
“Listrik merupakan salah satu faktor pendukung ekonomi
yang sangat penting sehingga jangan sampai kapasitas sektor
kelistrikan kita tertinggal dari rencana kita untuk pertumbuhan
(ekonomi) 6 - 7 persen” , kata Wakil Presiden Boediono dalam pidato
kunci pada acara tersebut.
Adapun 11 kementerian / lembaga yang terlibat di luar PLN
meliputi Kementerian Badan Usaha Milik Negara, Kementerian
Koordinator Perekonomian, Kementerian Keuangan, Kementerian
energi dan Sumber Daya mineral, Kementerian Kehutanan,
Kementerian Perhubungan, Kemeneterian Dalam Negeri,
Kementerian Lingkungan Hidup, Badan Pertanahan Nasional, Satuan
Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi
( saat ini sudah dibubarkan), serta Badan Pengatur Hilir Minyak dan
Gas Bumi.
Sistem monitoring pelaksanaan kesepakatan tingkat layanan
(service level agreement / SLA) tersebut melibatkan Unit Kerja
Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan
(UKP4).
Wakil Presiden mengapresiasi inisiatif sejumlah kementerian
yang menyusun skema kesepakatan tingkat layanan tersebut. Skema
63
yang merupakan inisiatif pertama pemerintah itu diharapkan
menghasilkan kinerja yang lebih baik dalam penyediaan listrik. Wakil
Presiden meminta agar kesepakatan dalam SLA tersebut mengatur
detail kewajiban dan hak masing - masing pihak sehingga bisa
diimplementasikan secara efektif dan efisien. Kesepakatan model SLA
itu diharapkan dapat diterapkan untuk pelayanan publik lembaga lain.
Menteri Keuangan Agus DW Martowardojo menyatakan,
persoalan listrik adalah menyangkut meroketnya beban subsidi listrik
dan belum siapnya infrastruktur kelistrikan guna mendukung target
pertumbuhan ekonomi. PT PLN sendiri tidak mungkin menyelesaikan
persoalan itu karena sektor kelistrikan berkaitan dengan berbagai
sektor lainnya.
Subsidi Listrik dalam APBN terus naik. Bahkan beberapa
tahun terakhir realisasinya terus di atas pagu. Tahun 2012, realisasi
subsidi listrik mencapai Rp 101 triliun dari pagu Rp 65 triliun. Tahun
2011, realisasinya Rp 93 triliun dari pagu Rp 45 triliun. Penyebabnya,
menurut Agus, kombinasi antara perubahan skema dari subsidi terarah
menjadi subsidi untuk seluruh golongan tarif, dan kenaikan harga
minyak dunia yang berimbas kepada kenaikan harga BBM. Sebagian
besar pembangkit listrik masih menggunakan BBM.
Faktor lain, kata Agus, karena pertumbuhan penjualan tenaga
listrik PT PLN terus meningkat sekitar 10 persen dalam lima tahun
terakhir. “Pertumbuhan penjualan tenaga listrik ini konsisten dengan
pertumbuhan ekonomi yang rata - rata 6 persen dalam lima tahun ini”,
kata Agus.
Tanpa SLA, Ujar Agus, dalam empat tahun ke depan subsidi
listrik mencapai Rp 440 triliun atau Rp 110 triliun per tahun. Dengan
SLA, subsidi listrik ditargetkan turun sampai Rp 20 triliun per tahun. (
Kompas, Sabtu 23 Maret 2013 )8
64
Subsisi listrik di Indonesia juga patut dipertimbangkan.
Contoh konkrit pemborosan listrik di Indonesia dapat dilihat di
kawasan jalan Sudirman atau Cilandak. Di wilayah ini banyak gedung
tinggi berpendingin udara (air conditioner / AC) terbaru sekelas Haier,
Samsung, dan Carrier dengan listrik yang besar.
Masyarakat dengan kondisi perekonomian menengah ke
bawah di Australia atau Kenada bahkan tak akan membuang listrik
_____________________.8. Kompas, Sabtu 23 Maret 2013
untuk keperluan AC dan tak akan mengutamakan AC sebagai
kebutuhan utama mereka. Bertolak belakang dengan yang terjadi di
Indonesia. Masyarakat Indonesia menggunakan listrik secara
berlebihan dan sangat tidak efisien walaupun sebenarnya biaya
penggunaan listrik melebihi daya beli mereka.
Pemerintah Indonesia tetap bersikeras menerapkan subsidi.
Hal ini memunculkan kontradiksi terhadap perlakuan pemberian
subsidi kepada produsen. Sebutlah subsidi yang begitu banyak kepada
BUMN, menjual suplai energi (bahan bakar fosil) dibawah harga
pasar kepada perusahaan lokal tertentu, pembayaran royalti dan pajak
- pajak sumber daya yang tak dipungut, pengalihan sumber daya untuk
pasar oblogasi domestik, pengurangan biaya produksi, dan penafsiran
nilai yang tidak akurat. Akibat dari banyaknya kontradiksi dan
kebocoran itu tentu saja mencerminkan peluang untuk korupsi,
penyelundupan, dan kolusi.
Apa yang telah dilakukan pemerintah untuk merespons
kejadian ini ? Sayangnya, pemerintah lebih memilih untuk terus
menggunakan ketentuan dan peraturan demi stabilitas politik jangka
pendek melalui kekayaan. Bangunan terbaru Jasa Marga dan bandar
udara yang mewah serta dengan semakin banyaknya pembangkit
65
listrik tenaga bahan bakar fosil sesungguhnya mengindikasikan
meningkatnya ketergantungan dan bukan mengurangi ketergantungan.
Pasar bahan bakar fosil di Indonesia sangat tidak efisien.
Meski demikian, sebelum mengambinghitamkan subsidi bagi
konsumen, akan lebih baik mengidentifikasi subsid bagi produsen
yang sangat sia - sia, yang sudah diketahui dengan jelas sangat banyak
jumlahnya. (Will Hickey – Associate Professor and Chair of Global
Management Solbridge International School of Business, Daejeon,
Korea )9.
4. Dampak Ekonomi Subsidi Energi
Beban ekonomi subsidi energi (bahan bakar minyak, gas
alam, batubara, dan listrik) pada perekonomian Indonesia sudah terasa
semakin berat. Beban tersebut terasa pada pengeluaran anggaran
negara dan neraca pembayaran luar negeri ataupun pada gangguannya
terhadap pertumbuhan ekonomi serta pemerataan pendapatan
masyarakat dan masalah lingkungan.
Untuk meniadakan beban yang tidak perlu itu, pemerintah
perlu segera mengurangi subsidi atas energi secara bertahap dan
menetapkan jadwal waktu untuk sama sekali meniadakannya. Di
negara berkembang seperti Indonesia, subsidi harga energi yang
dinikmati oleh konsumen terjadi karena harga jualnya lebih rendah
dari pada ongkos produksi ataupun biaya perolehannya.
_______________________
9. Will Hickey – Associate Professor and Chair of Global Management Solbridge International
School of Business, Daejeon, Korea -Opini Kompas – Senin, 29 April 2013
Dalam istilah ekonomi, subsidi kepada konsumen seperti itu disebut
pre-tax subsidies.
66
Negara maju memberikan subsidi pajak (tax subsidies)
kepada konsumen karena pajak belum mencakup dampak eksternalitas
konsumsi energi, seperti dampak negatif emisi gas Co2 dan So2 pada
lingkungan hidup yang mengganggu kesehatan. Penjumlahan dari
kedua jenis subsidi yang diberikan kepada konsumen itu disebut
sebagai post - tax subsidies. Dilain pihak, produsen juga mendapatkan
sibsidi uang disebut sebagai producer subsidies untuk menutup
kerugian keuangannya akibat dari inefisiensinya sendiri.
a. Dampak Ekonomi Subsidi Energi
Beban APBN yang berat atas subsidi energi tercermin
dari besarnya pengeluaran subsidi BBM dan listrik yang dewasa
ini sudah mencapai sekitar 20 persen dari seluruh pengeluaran
negara dan lebih dari 26 persen dari pengeluaran pemerintah
pusat pada tahun anggaran 2013. Tidak ada informasi tentang
subsidi pada penggunaan batubara dan gas bumi.
Mata anggaran subsidi atas BBM dan Listrik tersebut
merupakan jenis pengeluaran terbesar dalam APBN dan
mencapai 126 persen dari belanja pegawai, hampir dua kali
lipat dari belanja barang, lebih dari 160 persen dari belanja
modal, dan 535 persen dari pembayaran bunga utang menurut
perhitungan Dana Moneter International (IMF), diukur sebagai
prosentase terhadap produk domestik bruto, pada 2011
Indonesia memberikan kost / tax subsidies 3,87 persen pada
BBM, 0,72 persen pada Listrik, 0,30 persen pada gas alam, dan
0,47 persen pada batubara.
Dengan semakin besarnya porsi APBN untuk keperluan
subsidi energi, semakin berkurang dana yang tersedia bagi
pendidikan dan kesehatan masyarakat. Padahal, kedua jenis
pengeluaran ini sangat penting untuk meningkatkan kualitas
SDM yang diperlukan bagi pembangunan nasional guna
67
meningkatkan produktivitas dalam menghadapi persaingan
regional dan global.
Subsidi energi yang terlalu besar menyerap porsi
APBN sekaligus mengganggu tersedianya dana sosial yang
diperlukan untuk membantu golongan masyarakat miskin
maupun dana guna membangun infrastruktur yang sangat langka
dewasa ini. Tanpa SDM bermutu dan infrastruktur memadai,
kita akan tetap jadi pemasok bahan mentah dan tenaga kerja
kasar dengan pendidikan serta keahlian rendah ke manca negara.
Peningkatan harga energi (minyak dan gas bumi serta
batubara) di pasar dunia semakin memberatkan beban neraca
pembayaran luar negeri. Nilai import Migas pada tahun 2012
sudah lebih tinggi daripada nilai eksportnya yang
menggambarkan bahwa Indonesia bukan lagi merupakan
eksportir netto.
Sebagian dari produksi migas dan batubara dalam
negeri diwajibkan oleh pemerintah untuk dijual di pasar lokal
dengan harga yang lebih murah daripada di pasar dunia.
Semakin besar porsi neraca pembayaran luar negeri
untuk mengimport energi semakin sedikit valuta asing tersedia
untuk mengimport mesin dan barang modal serta suku cadang
yang diperlukan bagi pembangunan nasional dan penciptaan
lapangan kerja di dalam negeri.
Persediaan devisa yang terbatas sekaligus membatasi
kemampuan untuk berdarmawisata atau beribadah ke luar
negeri, membeli barang - barang serta jasa - jasa asing termasuk
resep ayam goreng centucy fried chiken, atau film serta rekaman
lagu India.
Subsidi mengganggu pertumbuhan ekonomi karena
disatu pihak meniadakan insentif bagi dunia usaha untuk
68
melakukan investasi di sektor energi, dilain pihak subsidi
mendorong mereka melakukan investasi pada sektor ekonomi
yang banyak mengkonsumsi energi.
Subsidi itu sekaligus meningkatkan kesenjangan karena
BBM dan Listrik tersebut lebih banyak dinikmati golongan
masyarakat berpendapatan tinggi, yang selain naik sepeda motor
besar untuk keperluan rekreasi, juga menggunakan mobil
dengan kapasitas besar untuk kendaraan sehari - hari.
Kelompok orang yang berpunya itu sekaligus
menikmati AC sepanjang hari, siang dan malam, di kantor, di
rumah, dan di perjalanan. Asap kendaraan bermotor yang
mengandung CO2 dan SO2 di kota - kota besar menimbulkan
masalah lingkungan hidup dan mengganggu kesehatan.
b. Strategi Penghapusan Subsidi.
Pada januari 2013 IMF mengeluarkan dua laporan
studinya yang menganalisis dampak ekonomi subdisi energi.
Studi tentang subsidi BBM dilakukan di empat belas negara,
termasuk Indonesia, sedangkan studi mengenai subsidi atas
listrik serta batubara dilakukan di delapan negara, Berdasarkan
studi itu, IMF memberikan rekomendasi tentang enam langkah
taktik dan strategi yang diperlukan untuk menghapuskan subsidi
energi tersebut.
Pertama, membahas rencana jangka menengah dan
panjang untuk menghapuskan subsidi serta menganalisis
dampaknya yang dikonsultasikan dengan semua pihak yang
terkait dengan masalah energi dan sekaligus meminta dukungan
mereka.
Kedua, menetapkan strategi komunikasi untuk
melakukan diseminasi informasi secara transparan tentang
subsidi energi serta transparansinya, termasuk pemuatannya
69
dalam dokumen resmi, seperti APBN. Penetapan strategi
komunikasi penting untuk menghindarkan kesalahpahaman dan
salah pengertian.
Ketiga, menetapkan tahap penurunan subsidi menurut
jenis produknya : BBM, gas alam, batubara, dan listrik.
Penghapusan subsidi seyogyanya dimulai dari harga produk
yang banyak dikonsumsi oleh kelompok masyarakat yang
berpendapatan tinggi.
Keempat, meningkatkan efisiensi BUMN penghasil dan
distributor energi seperti Pertamina dan PLN sebagai upaya
untuk menurunkan besarnya subsdi.
Kelima, menetapkan kebijakan untuk melindungi
golongan masyarakat berpendapatan rendah untuk mencegah
adanya keresahan sosial.
Keenam, menetapkan mekanisme penyesuaian harga
dan tarif energi yang bersifat otomatis guna mencegah
terjadinya politisasi.
Secara ideal, perlindungan atau kompensasi kepada
kelompok miskin diberikan dalam bentuk bantuan langsung
tunai (BLT). BLT memberikan kebebasan kepada penerima
untuk menggunakan uang tersebut menurut skala prioritasnya
sendiri. Bentuk lain adalah pemberian Voucer untuk
mendapatkan suatu barang atau jasa dari sekelompok pilihan
tertentu.
Akan tetapi, BLT dan sistim Voucer memerlukan
kemampuan administratif yag tinggi agar tidak disalahgunakan
untuk dana kampanye, tujuan politik, maupun KKN seperti
yang marak di beberapa departemen hingga desa di seluruh
Indonesia belakangan ini. Cara lain untuk mengkompensasi
kelompok miskin adalah melalui penciptaan lapangan kerja yang
70
bersifat padat karya, pemberian subsidi pada angkutan umum,
terutama di kota - kota besar, ataupun keringan biaya sekolah.
Taktik dan strategi itu sangat diperlukan bukan saja
oleh pengambil keputusan yang peragu. Walaupun Bung Karno
dan Pak Harto adalah pribadi - pribadi yang kokoh dan tegas,
jatuhnya Orde Lama dan Orde Baru adalah karena tidak
mengikuti strategi tersebut. Sebelum harga BBM dinaikkan pada
tahun 1966, inflasi sudah terjadi sejak bebarapa waktu
sebelumnya akibat dari ekonomi yang salah urus, kelangkaan
pangan, dan devisa yang bercampur baur dengan peristiwa -
peristiwa G30 S / PKI. Selain dari kenaikan harga energi,
Presiden Suharto pun jatuh adalah juga akibat dari masalah
politik, KKN, serta krisis ekonomi dan perbankan yang
meningkatkan inflasi serta kurs rupiah tehadap dollar AS lebih
dari tujuh kali lipat dan membangkrutkan negara, perbankan,
dan dunia usaha. (Opini Kompas – Selasa, 16 April 2013 –
Anwar Nasution – Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia)10.
c. Ambiguitas Kebijakan BBM
Kebijakan bahan bakar minyak , terlihat begitu ambigu.
Memang masalah ini begitu kompleks. Namun, bukankan
kebijakan publik selalu berurusan dengan kompleksitas ? dalam
banyak hal, kecepatan mengambil keputusan menjadi kunci.
Jika terlalu lama, ketika keputusan diambil sudah
menjadi anti klimaks. Jika semuanya bisa
dipertanggungjawabkan, mengapa mesti takut mengambil
keputusan ?
Mencari pertanggungjawaban ekonomi terkait
kebijakan bahan bakar minyak (BBM) memang mudah. Namun,
71
mencari koalisi politik mendekati pemilihan umum tentu sulit.
Kerena itu, pemerintah harus keluar dari belenggu segmentasi
politik. Legitimasi harus dicari dari rasionalitas publik. Untuk
itu, diperlukan komunikasi publik yang baik.
Dalam hal ini perlu dicari kesamaan “titik pijak” yang
bisa dipahami dan diterima sebagian besar pihak.
___________________10. Opini Kompas – Selasa, 16 April 2013 – Anwar Nasution – Guru Besar Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia
Memaksa semua orang setuju mustahil, kecuali dengan cara
otoriter. Kita tidak hidup untuk hari ini, apalagi masa lalu,
melainkan untuk masa depan. Jika subsidi dianggap tidak
bertanggung jawab kepada generasi mendatang, bagaimana
dengan korupsi ? Konservasi energi sama pentingnya dengan
konservasi lingkungan. Namun, keduanya tidak ada artinya jika
perilaku korupsi merajalela.
Subsidi energi yang berlebihan sama sekali tidak punya
perspektif masa depan. Dengan harga keekonomian sebesar Rp
9.000,- , tanpa adanya perubahan kebijakan energi, pemerintah
memberikan subsidi Rp 5.000,- per liter. Maka perubahan
kebijakan energi mutlak diperlukan. Sementara kita tahu, energi
fosil sangat terbatas ketersediaannya sehingga diperlukan
investasi yang masif di bidang energi alternatif.
Tanpa ada perubahan kebijakan, anggaran pemerintah
begitu berat, sementara pihak swasta tidak akan tertarik karena
tidak ada insentif. Dari perut bumi kita memang dihasilkan
minyak yang harus dimanfaatkan untuk kepentingan umum.
Namun, kandungan minyak kita akan habis dalan 15 tahun
mendatang.
72
Sementara negara yang memiliki konservasi minyak
jauh lebih besar sudah lebih dahulu berpikir mengembangkan
energi alternatif dengan kebijakan harga yang lebih rasional.
Selain negara - negara Timur Tengah, China dan Amerika
Serikat adalah negara dengan cadangan minyak terbesar di
dunia.
Sebagai perbandingan, harga Premium di Indonesia
sekitar 1,8 dollar AS, sementara di China sekitar 4,8 dollar AS.
Dalam membandingkan harga secara international tentu harus
mempertimbangkan kemampuan daya beli (purchasing power
parity). Di Filipina, harga premium 4,4 dollar AS, Malaysia 3,23
dollar AS, dan Thailand 4,5 dollar AS. Memang harus diakui
masalah kemiskinan di Indonesia komplek dibandingkan dengan
negara tetangga karena penduduk yang begitu besar serta
kendala geografis yang tersebar.
Dalam hal ini, kita juga sering bersikap ambigu. Disatu
kesempatan, selalu yakin perekonomian kita begitu kuat dan
akan mengalahkan negara - negara tetangga dimasa depan, tetapi
disaat yang lain merasa begitu lemah. Jika menunjukkan hasil,
kita terlalu percaya diri dengan menunjukkan perbandingan
kinerja dengan negara lain. Giliran menunjukkan masalah, kita
menolak dibandingkan dengan negara tetangga.
Di negara - negara Skandinavia, pemerintahnya dikenal
begitu royal memberikan fasilitas kesejateraan rakyat, Dilihat
dari indeks pembangunan manusia, mereka tertinggi. Sebagai
ilustrasi, harga premium di Norwegia 10,12 dollar AS dan
Denmark 8,20 dollar AS. Tentu tidak untuk dibandingkan
dengan Indonesia karena tingkat pendapatan per kapita dan
fasilitas publik berlipat - lipat lebih baik. Akan tetapi, bukankah
kita selalu mengidolakan negara kesejahteraan ?
73
Hari ini, negara - negara Skandinavia dianggap sebagai
contoh dari negara kesejahteraan yang sesungguhnya. Konsep
subsidi berlebihan di beberapa negara di Eropa, seperti Perancis,
Spanyol, Italia, dan bahkan Jerman, terbukti tidak jalan. Mereka
megalami krisis keuangan publik yang begitu akut.
Sementara negara - negara Skandinavia dianggap cukup
proporsional dalam menerapkan prinsip subsidi. Fasilitas
dibangun dengan begitu baik, kebutuhan publik dipenuhi.
Namun, warga harus membayar secara proporsional, baik dalam
hal pajak maupun pengeluaran energi.
Subsidi BBM yang begitu besar telah menimbulkan
mis-alokasi anggaran serta memperlemah kemampuan keuangan
publik menyediakan prasarana publik. Di negara dengan kualitas
infrastruktur, pendidikan dan kesehatan masyarakat belum baik,
subsidi energi jelas tidak tepat sasaran. Kita sering berdebat
siapa yang sebenarnya menikmati subsidi, apakah kelas
menengah atau kelas bawah.
Di luar persoalan pembagian ekuitas (manfaat) diantara
kelompok - kelompok masyarakat, ada persoalan lain yang lebih
serius. Kemampuan pemerintah menyelesaikan masalah -
masalah mendasar terbatas. Kebijakan energi merecoki
pengeluaran sosial.
Menteri Keuangan selalu mengatakan, jika besaran
subsidi tidak bisa dikurangi dan defisit anggaran mendekati 3
persen, belanja modal dan pengeluaran sosial harus dipotong.
Sebagai perbandingan, jika subsidi BBM dipertahankan, pada
2013 subsidi energi akan mencapai Rp 275 triliun, sementara
pengeluaran untuk kesehatan hanya Rp 17 triliun dan proteksi
sosial Rp 7 triliun. Sementara belanja modal untuk kepentingan
74
seluruh pembangunan infrastruktur nasional tak lebih dari Rp
200 triliun.
Total besaran subsidi kita mencapai 5 persen terhadap
produk domestik bruto, sementara anggaran pemerintah untuk
infrastruktur hanya sekitar 2,5 persen saja. Inikah kebijakan
publik yang berorientasi masa depan ? Memang ada dua hal
pokok yang harus dipertimbangkan
Pertama, bagaimana nasib penduduk yang berada di
garis kemiskinan ? Mereka sangat rentan terhadap inflasi. Begitu
ada lonjakan harga, terutama harga bahan pokok, kualitas hidup
mereka merosot drastis. Ketakutan yang diulang - ulang, ketika
terjadi kenaikan harga BBM tahun 2008, kemiskinan meningkat
17 persen. Tentu kita sangat prihatin sehingga diperlukan
kebijakan yang sifatnya sementara, seperti transfer dana
(bantuan langsung tunai / BLT) kepada penduduk yang
memerlukannya. Bukankah rawan penyimpangan ? Itulah
persoalannya. Jika mengelola BLT saja tidak bisa, bagaimana
dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang nilainya
Rp 1.600 triliun ?
Kedua, jika kita masih membiarkan diri digerogoti oleh
perilaku pemburuan rente, kebijakan publik sebagus apapun
tidak akan jalan dengan baik. Perilaku pemburuan rente tidak
hanya merusak fiskal, tetapi juga stabilitas makro ekonomi,
seperti inflasi akibat tersendatnya pasokan daging, bawang
putih, dan bawang merah.
Korupsi, sama halnya denga isu lingkungan, dan subsdi
berlebihan, sama sekali tak bertanggungjawab pada masa depan.
Kita harus belajar dari negara - negara Skandinavia tentang
75
bagaimana pemerintah berfungsi menjadi pihak yang “meminta”
dan “memberi” secara proporsional. Rasanya korupsi terjadi
dimana - mana, bahkan di negara - negara Skandinavia
sekalipun, tetapi sulit menemukan korupsi sebrutal di Indonesia.
( A. Prasetyantoko - Pengamat Ekonomi ; Dekan School Of
Business and Communication Sciences, Unika Atma Jaya –
Kompas, Senin, 15 April 2013 )11
11. Kampanye Earth Hour Hemat Listrik 236 Megawatt
Gerakan mematikan lampu selama 1 jam (Earth Hour) yang
digelar, sabtu (23 / 3) pukul 20.30 - 21.30 waktu setempat berhasil
didukung oleh 32 kota di Indonesia dan lebih dari 500 komunitas.
Penghematan listrik atas hemat energi ini pun mencapai 236 MW.
Koordinator kampanye program iklim dan energi WWF
Indonesia Verena Puspawardani mengatakan, Earth Hour 2013 tidak
hanya sekedar menargetkan berapa penghematan listrik, tetapi sangat
luar biasa karena banyak komunitas yang berpartisipasi.
“Selain aksi mematikan lampu, sebelum acara tersebut, sejak
pagi dilakukan serangkain acara seperti tanam pohon dan operasi
plastik”, katanya di Jakarta, Senin (25/3).
Karena itu, pelaksanaan Earth Hour di 20 kota diadakan di
taman kota. Aksi ini tambah Verena mau meningkatkan ada banyak
aktivitas menarik yang bisa dilakukan di taman kota. Di Jakarta pun
aksi dilakukan Tugu proklamasi.
___________________________11. A. Prasetyantoko. School Of Business and Communication Sciences, Unika Atma Jaya –
Kompas, Senin, 15 April 2013
76
Selain itu, dilakukan pula operasi plastik di sungai ciliwung.
Aksi ini bertujuan mengedukasi masyarakat mengurangi penggunaan
plastik. Tak hanya itu, dilakukan pula piknik rama lingkungan.
“Walaupun Earth Hour dilakukan serentak di seluruh dunia,
tidak akan efektif jika Indonesia tidak melakukannya 100 persen”,
ungkap Verena.
Di dunia, lebih dari 7000 dan miliaran orang bergabung dan
ikut serta dalam aksiglobal Earth Hour. Aksi tersebut sebagai
kampanye untuk mengurangi penggunaan energi. Di Ibukota,
kampanye dipusatkan di taman proklamasi, Jakarta pusat. Kampanye
tersebut bertema Ini Aksiku, Mana Aksimu ?
Menurut Word Wildlife fondation (WWF) yang memotori
kampanye Earth Hour di Jakarta sejak tahun 2009, kampanye
lingkungan hidup tahun ini sebagai yang terbesar karena berhasil
meraih 2 milyar pendukung dari 7001 kota di 152 negara yang
berpatisipasi. Diharapkan, penghematan energi terus dilakukan oleh
masyarakat. Bukan hanya saat Eart Hour saja.
Sejak tahun 2007 sekitar 2,2 juta orang ikut serta dalam Earh Hour
pertama di Sidney, Australia, Earth Hour yang kini menjadi gerakan
bersama dilebih dari 7000 kota di 152 negara dengan ratusan juta peserta di
7 benua.
Earth Hour bukan hanya kampanye yang acaranya dirayakan
tahunan, tapi gerakan terus menerus yang memicu aksi nyata dalam
mengubah keberlangsungan hidup manusia di bumi.
Sementara itu, antara melaporkan, Menteri BUMN Dahlan Iskan
mengatan, disamping semangat, pelaksanaan “Earth Hour” juga harus
didukung dengan pemaksaan dari pemerintah, yakni mengeluarkan regulasi
agar ada penghematan dalam penggunaan listrik di indonesia. “Saya kira
harus dipaksakan melalui pemerintah. Harus ada regulasi, yang boros kena
penalti dengan tarif yang lebih mahal”, kata Dahlan Iskan saat ditanyai
77
mengenai pelaksanaan “Earth Hour” 2013 di taman alun Kapuas, kota
Pontianak, Kalimantan Barat, Sabtu malam.
Dahlan mengaku sangat terkesan dengan pelaksanaan “Earth
Hour” kali ini. “Sangat atraktif. Saya dengar dengan lebih dari 6000 lilin
dan membentuk angka 60 +. Saya salut dengan panitia. Saya betul - betul
bergembira bisa menghadiri ini”, Katanya.
Tetapi ia mengingatkan disamping semangat, tetap harus ada
pemaksaan melalui peraturan pemerintah dan melalui gerakan. “kalau
imbauan saja, kurang cukup”, katanya lagi.
“Earth Hour” atau jam bumi adalah kegiatan global yang diadakan
oleh WWF dan The Sidney Morning Herald tahun 2007 ketika 2,2 juta
penduduk Sidney berpartisipasi dengan memadamkan semua lampu yang
tidak perlu. Kegiatan itu kini banyak diikuti kota - kota di seluruh dunia.
(Suara Pembaruan, Senin, 25 Maret 2013)
12. Pembangkit Non - BBM
Pemerintah terus mendorong pembangunan pembangkit
listrik bertenaga energi baru dan terbarukan meski pembangkitnya
masih berkapasitas kecil. Selain sumbernya tak terbatas, energi baru
dan terbarukan juga aman dan sehat bagi manusia.
Hal itu disampiakan Meneteri ESDM Jero Wacik saat
meresmikan 7 Pembangkit listrik bertenaga uap, panas bumi dan Air
(Mikro Hidro), serta tenaga surya di lokasi pembangkit listrik tenaga
uap (PLTU) 2 Sulawesi Utara atau PLTU Amurang di Desa Tawang,
Kecamatan Tenga, Kabupaten Minahasa Selatan, Kamis (7/3).
Selain meresmikan PLTU Amurang yang berkapasitas 2 x 25
MW yang dibangun oleh PT Wijaya Karya (WK), Jero juga
meresmikan PLTU Sulawesi Tenggara di Kendari berkapasitas 2 x !0
MW, PLTP Lahendong Unit IV 1 x 20 MW, PLMH Tomini 2 2 x 1
MW, PLTS Miangas 85 KWp, dan PLTS Marampit 125 Kwp.
78
“Sisa waktu 2 tahun ini saya pakai untuk mendorong
pembangunan pembangkit listrik bertenaga energi baru dan
terbarukan. Sebab, inilah yang menyelamatkan anak cucu kita dari
kelangkaan energi. Untuk itu, saya instuksikan Dirjen Kelistrikan serta
Dirjen Energi Baru dan terbarukan di Kementerian ESDM untuk
mempercepat pembangunannya, “Ungkapnya.
Untuk para kepala daerah, Jero meminta mereka bekerja
sama dengan pengusaha untuk membangun sebanyak mungkin
pemangkit listrik bertenaga energi baru dengan mempermudah ijin
pembangunan dan peruntukan lahan.
Jero menyatakan optimis peresmian 7 pembangkit listrik itu
mendorong tumbuhnya minat membangun pembangkit listrik sejenis,
selain juga memenuhi kebutuhan listrik di masyarakat. “Sulut menjadi
pionir pembangunan pembangkit listrik bertenaga energi baru dan
terbarukan”, ungkapnya.
Dirut PT PLN Nur Pamuji juga mendorong pemakaian
minyak nabati untuk sejumlah PLTU di Sulut, antara lain di Bitung.
“Tahun ini, target kami mengurangi minyak solar sampai 28 persen.
Tahun Lalu, PLN Sulut menghemat Rp 70 Milyar karena mengurangi
pemakaian BBM “, ujarnya.
Dirut PT Wika Bintang Parbowo menyatakan, sebagai
kontraktor nasional, perusahaannya mendapat kehormatan karena bisa
berkontribusi membangun PLTU untuk pertama kalinya melalui
skema teknik, pengadaan, dan konstruksi pembangkit listrik
(engineering, procurement and contuction / EPC) secara penuh.
“PLTU Amurang merupakan bagian dari program percepatan
pembangunan pembangkit listrik tahap pertama 10.000 MW di luar
jawa yang dicanangkan untuk memenuhi kebutuhan listrik di
Indonesia, khususnya di Sulut”, ujarnya.
79
Berdasarkan catatan Kompas, dari total proyek kelistrikan
pemerintah 10 tahun ke depan, PT Wika telah mendapatkan total
proyek pembangunan 4000 MW atau merupakan pemegang proyek
terbesar dengan skema EPC. Selain PLTU Amurang, PT Wika juga
tengah menyelesaikan pembangunan PLTU di Asam - Asam di
Kalimantan Selatan berkapasitas 2 x 65 MW senilai Rp 350 Milyar.
Pengembangan pembangkit listrik bertenaga energi baru dan
terbarukan ini merupakan bagian dari upaya pengendalian konsumsi
BBM bersubsidi yang dicanangkan pemerintah dilakukan pada 2013.
Konsumsi BBM bersubsidi ditetapkan 46 juta kilo liter (KI). Setiap
terjadi lonjakan realisasi dari target kuota BBM bersubsidi yang ada
akan membahayakan kesinambungan fiskal.
Data menyebutkan, realisasi subsidi energi tahun 2012
mencapai 151,5 persen. Dari alokasi Rp 202,4 triliun, realisasinya Rp
306,5 triliun. Subsidi BBM dan Elpiji mencapai Rp 211,9 triliun dari
pagu Rp 137,4 triliun. Sementara subsidi listrik mencapai Rp 94,6
triliun dari pagu Rp 65 triliun.
Pengembangan pembangkit listrik bertenaga energi non BBM
ini merupakan langkah dari pengurangan subsidi, terutama untuk
pembangkit listrik yang masih menggunakan BBM yang menelan
subsidi Rp 94,6 triliun. Pengendalian konsumsi BBM, termasuk
konsumsi BBM subsidi untuk pembangkit listrik, akan sangat
membantu mengurangi beban anggaran pemerintah. ( Ekonomi –
Kompas – Jumad, 9 Maret 2013 )
13. Pendapatan Usaha PT PLN Naik 12 Persen
PT PLN (Persero) mencatat pendapatan usaha pada tahun
2012 sebesar 232,7 triliun atau naik 12 persen dari tahun sebelumnya.
Kenaikan pendapatan usaha itu terutama berasal dari kenaikan
penjualan tenaga listrik.
80
Menurut Manager Senior Kumunikasi Korporat PT PLN
Bambang Dwiyanto, akhir pekan lalu di jakarta, laporan keuangan PT
PLN tahun 2012 telah diaudit kantor akuntan publik Osman Bing
Satrio dan Eny, afiliasi dari Doloitte Touche Tohmatzu Limited.
Laporan keuangan itu menunjukkan, kenaikan pendapatan usaha
perseroan pada 2012 lebih tinggi dari pada biaya yang bisa dikontrol
langsung PLN.
Berdasarkan laporan laba rugi konsolidasi, pendapatan usaha
perseroan pada 2012 tercatat Rp 232,7 triliun atau naik 12 persen dari
pendapatan usaha tahun 2011 sebesar Rp 208 triliun. Meningkatnya
pendapatan usaha tahun lalu itu terutama berasal dari kenaikan
penjualan listrik atau penambahan jumlah pelanggan sebanyak 3,9 juta
pelanggan dan penambahan volume penjualan 4.892 Giga Watt jam
(GWh).
Pada tahun 2013, menurut kepala Devisi Niaga PT PLN
Benny Marbun, PLN mencatat penjualan tenaga listrik triwulan I
tahun 2013 tumbuh 5,74 persen dibandingkan periode sama tahun
lalu. Rendahnya pertumbuhan penjualan listrik itu disebabkan
kelompok pelanggan rumah tangga dan bisnis menekan konsumsinya
sebagai dampak kenaikan tarif tenaga listrik.
Rendahnya pertumbuhan penjualan pada triwilan I 2013 itu
karena pertumbuhan listrik pada januari dan pebruari rendah.
Pertumbuhan listrik pada januari sebesar 3,42 persen dibandingkan
periode sama tahun lalu. Adapun pertumbuhan listrik pada februari
sebesar 4,21 persen dibandingkan periode sama tahun lalu. Konsumsi
listrik pelanggan rumah tangga berdaya 1.300 sampai 5.500 Volt
Ampere (VA) turun drastis sehingga pertumbuhan minus. Adapun
penjualan listrik untuk pelanggan bisnis hanya 2,51 persen.
Beban usaha sepanjang tahun 2012 tercatat Rp 203,1 triliun
atau meningkat 9 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang
81
mencatatkan angka Rp 185,6 triliun. Peningkatan beban usaha ini
karena kenaikan konsumsi bahan bakar dan pelumas serta pembelian
tenaga listrik untuk memenuhi permintaan listrik masyarakat.
Penyebab lain adalah peningkatan penyusutan akibat meningkatnya
aset perseroan.
Laba usaha perseroan pada 2012 naik Rp 7,1 triliun atau 32
persen dari Rp 22,4 triliun pada tahun 2011 menjadi Rp 29,5 triliun
pada 2012. Namun, laba bersih perseroan turun Rp 2,2 triliun menjadi
Rp 3,2 triliun pada tahun 2012 dari Rp 5,4 triliun pada tahun
sebelumnya . Penurunan ini terutama disebkan peningkatan rugi
selisih kurs Rp 4,1 triliun dari Rp 1,8 triliun pada tahun 2011 menjadi
Rp 5,9 triliun pada 2012 karena terjadi pelemahan rupiah terhadap
dollar AS, sementara mayoritas pinjaman dalam matauamhgdollar AS.
“Penurunan laba bersih terutama disebabkan transaksi non
tunai sehingga tidak berpengaruh terhadap laba sebelum bunga, pajak,
penyusutan amortisasi”, kata Bambang.
14. Tantangan Indonesia
Indonesia kini menguat, menempati posisinya di dunia
sebagai salah satu negara berpendapatan menengah yang sedang
menanjak, melangkah pasti mewujudkan potensinya.
Jalan menuju kesejahteraan dan demokrasi merupakan jalan
yang luar biasa dan sekaligus menantang. Semangat kewirausahan
yang tak kenal lelah terus mendukung bertumbuhnya dunia usaha,
sementara profesionalisme yang kian meningkat kini mendorong
proses transformasi di tubuh pemerintah.
Jutaan manusia telah mengarungi perjalanan dari kemiskinan
menuju peluang. Melalui berbagai tantangan sosial dan politik,
Indonesia telah menunjukkan ketangguhannya. Dalam dekade 1960 -
82
an, sekitar 60 persen penduduk hidup dalam kemiskinan dan produk
domestik bruto (PDB) per kapita kurang dari 60 dillar AS.
Pada 2012, tingkat kemiskinan telah dipangkas hingga 12
persen, jauh dari ideal, tetapi tetap kemajuan signifikan
ketimbangmasa lalu. Kelas menengah yang kian berkembang
membuktikan dirinya sebagai sumber kreativitas. Berbagai inovasi
yang dihasikan telah menjadi sumber daya kaya bagi pasar konsumen
yang demikian besar dan dinamis.
Indonesia menikmati perkembangan ekonomi ekonomi yang
kuat serta kemajuan yang konsisten sebelum akhirnya diguncang
krisis 1997 - 1998. Seketika, jutaan orang kembali terpuruk dalam
kemiskinan. Namun, Indonesi kembali memperlihatkan ketangguhan
dan berhasil pulih setelah melalui proses reformasi politik dan
ekonomi. Pembelajaran dari masa krisis telah mendorong negara ini
untuk memperkuat kelembagaannya secara sistimatis.
a. Berbasis Masyarakat
Pembangunan yang dimotori masyarakat (cimmunity -
driven development) juga bermula dari Indonesi. Masyarakat
yang memutuskan apakah ingin membangun sekolah, klinik
kesehatan , jalan atau jembatan, sesuai kebutuhan dan aspirasi
mereka. Pendekatan pembangunan yang menyertakan
masyarakat telah diterapkan dan menyebar ke berbagai penjuru
negara ini dan ke negara - negara lain di dunia. Pendekatan ini
berhasil mentransformasi kehidupan masyarakat dan mendorong
diterapkannya pengambilan keputusan yang menyertakan
berbagai komponen masyarakat.
b. Tantangan ke depan
83
Agar target tercapai, pertumbuhan dan pembangunan
inklusif perlu dipertahankan dan ditingkatkan. Beberapa tahun
terakhir, fundamental ekonomi makro Indonesia terlihat cukup
kuat. Namun, tantangan ke depan adalah menempuh sejumlah
langkah reformasi yang akan berpengaruh besar pada
pembangunan dan kesejahteraan.
Pertama, generasi penerus Indonesia harus mendapat
akses terhadap pendidikan yang lebih berkualitas. Besarnya
SDM muda, atau yang disebut debagai “dividen demografi”,
akan habis dalam 10 - 15 tahun ke depan. Untuk mengantisipasi
hal tersebut, diperlukan investasi besar untuk meningkatkan
keterampilan dan mengantarkan lebih banyak siswa ke jenjang
pendidikan lebih tinggi.
Meskipun anggaran pendidikan Indonesia mencapai 20
persen dari total anggaran negara, sebagaian besar anggaran
dialokasikan ke program wajib belajar sembilan tahun, porsi ini
lebih tinggi dari anggaran yang dialokasikan Thailand dan
Malaysia untuk hal yang sama. Sementara siswa keluarga
miskin jarang sekali bisa menamatkan pendidikan menengah
atas dan lebih sedikit lagi yang berhasil lulus perguruan tinggi.
Hai ini mencerminkan kesenjangan pendidikan yang semakin
intens.
Kedua, masalah perubahan iklim harus menjadi bagian
integral agenda pembangunan. Kekayaan SDA Indonesia
tentunya memilik batas dan investasi di bidang energi
terbarukan dan berkelanjutan hutan sangat dibutuhkan.
Moratorium konsesi hutan baru yang diterapkan selama dua
tahun, serta target pemerintah untuk menurunkan emisi sebesar
26 persen, merupakan langkah yang patutu dipuji. Semua ini
membutuhkan komitmen dan usaha keras dari berbagai lapisan
84
masyarakat. Komunitas - komunitas lokal, sektor swasta, sektor
publik, dan masyarakatsipil harus bersatu padu melestarikan
SDA negara demi masa depan generasi penerus.
Kebutuhan masyarakat akan penerangan yang begitu
tinggi dan mendesak serta untuk meningkatkan taraf hidup
masyarakat, hal inilah yang membuat PT. PLN (Persero)
mengeluarkan terobosan baru dengan dimulainya di bumi NTT
sebagai Pilot Project penggunaan Lampu Super Ekstra Hemat
Energi. Pemikiran ini muncul dari niat baik PT. PLN (Persero)
untuk mempercepat dalam melistriki masyarakat khususnya
daerah perbatasan yang belum menikmati listrik. Ini merupakan
langkah awal dari pemerintah dan PT. PLN (Persero) dalam
meningkatkan Rasio Elektrifikasi daerah perbatasan khususnya
Wilayah NTT. Alasan mengapa menggunakan lampu SEHEN,
karena tidak dapat dipungkiri bahwa untuk membangun suatu
jaringan listrik untuk dapat melistriki masyarakat di satu daerah
memerlukan dana yang fantastic (jumlah besar) apalagi
ditambah lagi untuk mencapai daerah tersebut belum ada
infrastruktur yang mendukung dalam hal ini akses jalan raya dan
transportasi untuk menunjang pemasangan jaringan distribusi.
Pemerintah berpikir keras agar masyarakatnya dapat
menikmati secercah penerangan dan anak-anak bisa belajar dan
mendapatkan pendidikan yang layak. PLN merupakan
perusahaan perpanjangan tangan pemerintah yang diberikan
tugas untuk melistriki seluruh pelosok nusantara di Indonesia,
namun ada juga keterbatasan di sisi lain PT. PLN (Persero) tidak
mempunyai anggaran yang cukup untuk membangun jaringan
sampai pelosok negeri. Anggaran yang diberikan pemerintah
dikelola secara bertahap tahun demi tahun untuk mewujudkan
itu semua. Dalam hal melistriki, pemerintah telah banyak
85
mengucurkan bantuan kepada Masyarakat, hal ini bisa terlihat
dari subsidi TDL yang diberikan pemerintah kepada pelanggan
listrik.
B. Efektivitas Kebijakan yang dikeluarkan oleh PT. PLN (Persero)
PT. PLN (Persero) merupakan perusahaan layanan jasa
ketenagalistrikan yang senantiasa dituntut untuk maju dan berkembang. PT.
PLN (Persero) mendapat kehormatan sebagai Badan Usaha Milik Negara di
bidang ketenagalistrikan untuk melayani masyarakat seluruh Nusantara.
Sebagai sebuah perusahaan, PT. PLN (Persero) wajib memberikan
pelayanan jasa ketenagalistrikan yang terbaik dan memenuhi standart
ketenagalistrikan yang dapat diterima dunia Internasional. Dalam rangka
peningkatan kualitas pelayanan, PT. PLN (Persero) memiliki visi dan misi.
Visi dari PT. PLN (Persero) adalah diakui sebagai perusahaan kelas dunia
yang bertumbuh kembang, unggul dan terpercaya dengan bertumpu pada
potensi insani. Sedangkan misi dari PT. PLN (Persero) :
1. Menjalankan bisnis kelistrikan dan bidang usaha lain yang terkait,
berorentasi pada kepuasan pelanggan, anggota perusahaan dan
pemegang saham.
2. Menjadikan tenaga listrik sebagai media untuk meningkatkan kualitas
kehidupan masyarakat.
3. Mengupayakan agar tenaga listrik menjadi pendorong kegiatan
ekonomi.
4. Menjalankan kegiatan usaha yang berwawasan lingkungan.
Dalam upaya mencapai visi dan misinya, perusahaan telah
menanamkan nilai - nilai saling percaya, integritas, peduli dan pembelajar,
kepada semua sumber daya manusia PLN. Setiap insan PLN wajib
menanamkan dan melaksanakan nilai - nilai tersebut menjadi suatu budaya
dalam pelaksanaan roda perusahaan.
86
Bahwa dalam rangka meningkatkan ratio elektrifikasi khususnya di
daerah terpencil yang belum terjangkau jaringan listrik PT PLN (Persero),
maka pemanfaatan energi surya debagai pembangkit tenaga listrik
merupakan alternatif yang tepat karena energi surya tersedia sepanjang hari
di sebagian besar wilayah Indonesia, penyediaan fasilitas relatif cepat, biaya
pengadaannya relatif kompetitif dibanding biaya yang dikeluarkan untuk
pengadaan energi dengan cara lainnya, dan pengoperasiannya relatif mudah.
Bahwa masyarakat di daerah terpencil yang berlokasi jauh dari
jaringan listrik PT PLN (Persero) untuk kebutuhan sumber penerangan pada
malam hari pada umumnya menggunakan lampu berbahan bakar minyak
yang biaya operasionalnya sangat mahal, kotor, luminasi rendah, dan
beresiko terjadinya kebakaran.
Bahwa tersedia jenis lampu sangat hemat energi (Super Ekstra
Hemat Energi – SEHEN) dengan lumen pencahayaan yang relatif tinggi,
sehingga sebagai alat penerangan listrik cukup menggunakan panel surya
sederhana sebagai sumber energi listriknya.
Bahwa lampu SEHEN dapat digunakan oleh PT PLN (Persero)
sebagai layanan awal penerangan listrik kepada masyarakat sambil
menunggu layanan pasokan listrik dari jaringan listrik PT PLN (Persero).
PT. PLN (Persero) Wilayah NTT menyediakan kebutuhan listrik
bagi masyarakat Propinsi Nusa Tenggara Timur. Propinsi Nusa Tenggara
Timur merupakan propinsi kepulauan yang terdiri atas beberapa pulau besar
antara lain : Flores, Sumba, Timor, Lembata dan pulau-pulau lainnya. Luas
Wilayah daratan Nusa Tenggara Timur 47.349,90 Km2 dan luas wilayah
perairan ± 200.000 Km2. Propinsi Nusa Tenggara Timur terbagi atas 21
kabupaten dan kota, 270 kecamatan , 2.842 desa dan kelurahan. Kondisi
geografis Propinsi Nusa Tenggara Timur yang terdiri dari beberapa pulau
memberikan tantangan yang cukup berat bagi PT. PLN (Persero) Wilayah
87
NTT dalam penyediaan energi listrik kepada masyarakat. PT. PLN (Persero)
Wilayah NTT membawahi 4 kantor cabang yaitu : Cabang Kupang dengan
area pelayanan Pulau Timor, Alor dan beberapa pulau kecil di sekitarnya,
Cabang Flores Bagian Barat yang meliputi sebagian Pulau Flores, Cabang
Flores Bagian Timur yang meliputi sebagian Pulau Flores, Lembata,
Adonara dan beberapa pulau kecil di sekitarnya, dan Cabang Sumba yang
melayani daerah pulau Sumba. Jumlah pelanggan yang dilayani oleh PT.
PLN (Persero) Wilayah NTT adalah 246.356 plg. Jumlah pembangkit
beroperasi mencapai 349 unit antara lain 338 mesin diesel, 5 unit PLT non
BBM dan 6 Unit pembangkit sewa dengan kapasitas terpasang 103,82 MW.
Panjang JTM adalah 4.025 Kms, JTR 4.126 Kms. Jumlah gardu distribusi
2.156 bh dengan kapasitas terpasang 151,21 MVA.
88
Peta Wilayah Kerja PT. PLN (Persero) Wilayah NTT
C. PEMBAHASAN
1. Adapun alasan mendasar Perusahaan Listrik Negara (PLN)
mengeluarkan kebijakan layanan penerangan listrik dengan
memanfaatkan energi surya atau matahari untuk daerah terpencil
adalah dalam upaya memenuhi amanat Undang - Undang
Ketenagalistrikan nomor 30 tahun 2009 pasal 6, yakni sumber energi
primer yang terdapat di dalam negeri dan / atau berasal dari luar
negeri harus dimanfaatkan secara optimal sesuai kebijakan energi
nasoinal untuk menjamin penyediaan tenaga listrik yang berkelanjutan
(ayat 1), dan pemanfaatan sumber energi primer tersebut harus
dilaksanakan dengan mengutamakan sumber energi baru dan
terbarukan (ayat 2), serta mempertimbangkan ratio elektrifikasi
khususnya di daerah terpencil sebagaimana di Nusa Tenggara Timur,
dan lebih khusus lagi di Kabupaten Belu dan Kabupaten Malaka yang
belum terjangkau jaringan listrik PT. PLN (Persero), maka
pemanfaatan energi surya atau matahari sebagai pembangkit tenaga
listrik merupakan alternatif yang tepat karena energi surya atau
matahari tersedia sepanjang hari di sebagian besar wilayah Indonesia,
kemudian penyediaan fasilitasnya relatif lebih cepat, dan biaya
pengadaannya relatif kompetitif dibanding biaya yang dikeluarkan
untuk pengadaan energi dengan cara lainnya, serta pengoperasiannya
relatif mudah.
2. Sudah menjadi kebiasaan umum bahwa masyarakat di daerah terpencil
yang berlokasi jauh dari jaringan listrik PT. PLN (Persero) untuk
kebutuhan sumber penerangan pada malam hari pada umumnya
menggunakan lampu berbahan bakar minyak yang biaya
89
operasionalnya sangat mahal, kotor, luminasi atau pencahayaan
rendah, dan beresiko terjadinya kebakaran.
3. Dengan kemajuan teknologi semakin hari ditemukan cara dan metode
baru, maka telah tersedia jenis lampu super hemat energi (Super
Ekstra Hemat Energi) dengan lumen pencahayaan yang relatif tinggi,
sehingga sebagai alat penerangan listrik cukup menggunakan panel
surya sederhana sebagai sumber energi listriknya.
Keandalan pada sektor pembangkitan merupakan salah satu
masalah yang dihadapi oleh PLN. Hal ini disebabkan terbatasnya
investasi di bidang pembangkitan. Selain itu, kondisi geografis Nusa
Tenggara Timur yang merupakan propinsi kepulauan memberikan
tantangan tersendiri bagi PT. PLN (Persero) Wilayah NTT. Topografi
wilayah yang bergunung -gunung dan penyebaran penduduk yang
tidak merata menjadi tantangan tersendiri pula. Sistem pembangkitan
dan penyaluran tenaga listrik di Nusa Tenggara Timur masih bersifat
isolated system. Hal ini menimbulkan kurang andalnya pembangkitan
yang beroperasi, karena antar pembangkit besar tidak bisa saling
mensupport apabila salah satu unit mesin terjadi gangguan. Tantangan
- tantangan yang dihadapi oleh PT. PLN (Persero) Wilayah NTT
antara Lain :
a. Kondisi geografis dan topologi Nusa Tenggara Timur yang
merupakan propinsi kepulauan dan bergunung - gunung
membutuhkan investasi yang besar untuk membangun suatu
sistem pembangkit yang terintegrasi.
b. Harga BBM yang semakin naik (lebih dari 90% pembangkit
adalah PLTD) semakin membebani operasional perusahaan.
c. Permintaan energi listrik yang terus meningkat namun PLN
belum mampu memenuhi. (Daftar tunggu calon pelanggan yang
belum bisa terlayani masih banyak).
90
d. Ratio elektrifikasi masih di bawah 30%, hal ini membutuhkan
perhatian yang serius & rencana investasi yang tepat.
e. Terbatasnya investasi untuk pembangkitan sehingga mesin -
mesin yang sudah tua dan tidak efisien masih dipaksakan untuk
beroperasi. Mesin -mesin tua tersebut boros dan rentan terhadap
gangguan sehingga keandalan pembangkit kurang terjamin.
Lebih dari 90% pembangkit yang ada di PLN Wilayah NTT
adalah PLTD. Mesin - mesin diesel yang digunakan di PLTD
menggunakan bahan bakar solar / HSD (High Speed Diesel). Seiring
dengan terus naiknya harga minyak dunia harga solar juga mengalami
kenaikan yang signifikan. Hal ini sangat membebani operasional PLN
dalam penyediaan energi listrik bagi masyarakat. Untuk itu setiap unit
PLN wajib meningkatkan efisiensi di bidang pembangkitan. Ada
beberapa langkah dan strategi dalam upaya menanggulangi krisis dan
meningkatkan efisiensi di bidang pembangkitan :
a. Pemeliharaan rutin P0 - P5 :
Pemeliharaan rutin P0-P5 harus menjadi budaya yang
diterapkan di setiap PLTD baik PLTD besar maupun kecil yang
ada di Sub Rayon. Perlu dilaksanakan pengawasan yang lebih
ketat dalam pelaksanaan P0 - P5 di setiap unit sehingga mesin -
mesin dapat terpelihara dengan baik.
b. Pemeliharaan Mesin (TO, SO & MO) tepat waktu :
Pemeliharaan mesin TO, SO dan MO harus
dilaksanakan tepat waktu, selain untuk keandalan dari mesin -
mesin tersebut juga untuk meningkatkan efisiensi dari mesin.
c. Optimalisasi Pola Operasi Mesin :
91
Pola operasi mesin-mesin pembangkit di PLTD harus
dioptimalkan. Pola pembebanan dan jam operasi mesin harus
diatur secara optimal untuk mendapatkan SFC yang baik. Mesin
- mesin yang kurang efisien sedapat mungkin dikurangi jam
operasinya. Contoh kasus di PLTD Atambua dan PLTD
Umanen di Pusat Listrik Atambua.
Dengan pengaturan pola operasi yang tepat, mesin -
mesin yang memiliki SFC yang baik dapat dioperasikan secara
optimal sehingga SFC yang didapatkan bisa lebih optimal.
d. Uprating mesin-mesin yang mengalami derating
Mesin - mesin yang beroperasi di PLN NTT rata - rata
sudah tua, hal ini disebabkan terbatasnya investasi untuk
pengadaan mesin - mesin baru di bidang pembangkitan. Untuk
itu mesin - mesin yang ada harus dimaksimalkan kerjanya.
Banyak mesin - mesin yang telah mengalami derating
(penurunan daya mampu). Uprating mesin - mesin yang
terpasang mutlak dilaksanakan pada mesin - mesin terpasang
yang mengalami derating, karena investasi untuk mesin baru
sangat terbatas.
e. Relokasi mesin - mesin yang berbeban tanggung
Mesin - mesin yang beroperasi di unit - unit yang
berbeban tanggung, direlokasi ke unit lain agar pembebanan
mesin dapat dilakukan secara efisien, untuk meningkatkan nilai
efisiensi tara kalor. Mesin - mesin yang berbeban tanggung ini
banyak terdapat di sub - sub Rayon.
f. Sewa mesin dengan SFC yang baik
92
Investasi untuk pembelian mesin baru terbatas,
sedangkan permintaan energi listrik terus naik, hal ini
menurunkan faktor keandalan pembangkitan PLN. Untuk
meningkatkan kapasitas dan keandalan bidang pembangkitan
salah satunya disiasati dengan sewa mesin pada pihak III. Mesin
- mesin pembangkit yang disewa dari pihak ketiga harus
memiliki keandalan dan efisiensi yang baik. Keuntungan yang
didapatkan adalah, berkurangnya biaya pemeliharaan,
peningkatan keandalan pembangkitan dan nilai efisiensi tara
kalor yang baik (karena ditopang oleh mesin sewa). Sistem sewa
mesin dari pihak ketiga ini sudah dilaksanakan di beberapa unit,
dan berdampak cukup baik bagi pelayanan PLN.
g. Pembangunan pembangkit-pembangkit berbahan bakar
non BBM (PLTU)
Pembangunan PLTU merupakan salah satu rencana
jangka menengah dalam upaya peningkatan keandalan
pembangkit. Pembangkit berbahan bakar batu bara ini sangat
mengurangi beban operasi PLN NTT, karena HPP untuk PLTU
cukup rendah. Pembangunan PLTU ini telah dilaksanakan di
Ropa (Flores), Bolok (Kupang) dan di Atambua.
h. Pembangunan Pembangkit-pembangkit Listrik Energi
Terbarukan
Salah satu rencana jangka panjang untuk mengalatasi
krisis pembangkit di NTT adalah memaksimalkan potensi energi
terbarukan. NTT memiliki berbagai macam potensi energi
terbarukan yang belum dimanfaatkan untuk pembangkit tenaga
listrik. Beberapa diantaranya adalah panas bumi di Atadei
(Lembata), Mutubusa (Ende), Mataloko (Ngada), Ulumbu
93
(Manggarai). Potensi sumber panas bumi tersebut harus
dimasimalkan untuk pembangkitan energi listrik dengan sistem
PLTP (Pembangkit Listrik tenaga Panas Bumi). Apabila potensi
panas bumi tersebut sudah dimanfaatkan secara maksimal,
kapasitas energi yang dibangkitkan tentu dapat menopang
keandalan sistem pembangkitan di NTT.
Potensi lain adalah energi air (Hidro), potensi air untuk
pembangkitan tenaga listrik di wilayah NTT dibuat dengan
sistem mikrohidro, salah satu yang sudah dimanfaatkan adalah
PLTM Lokomboro di Sumba, potensi mikrohidro yang lain
adalah di Ndungga (Ende), namun belum selesai pengerjaannya.
Potensi lainnya adalah energi matahari dengan menggunakan
sistem sollar cell. Yang lainnya adalah tenaga angin / bayu.
Untuk pemanfaatan energi angin menjadi energi listrik dengan
sistem PLT Bayu ini telah dilaksanakan MOU dengan beberapa
daerah untuk pengembangannya. Masih banyak potensi energi
terbarukan yang harus terus dimanfaatkan secara maksimal
untuk pembangkitan energi listrik. Hal ini menuntut peran aktif
kita untuk menggali dan memaksimalkan potensi-potensi yang
ada.
Kebijakan tarif SEHEN yang dikeluarkan PT.PLN
(Persero) dirasakan belum efektif. Tujuan utama digunakan
Lampu Super Ekstra Hemat Energi adalah untuk membantu
masyarakat desa yang secara penghasilan masih dibawah standar
yang notabene mata pencaharian dari bercocok tanam. Akibat
yang ditimbulkan dari kebijakan tarif yang diterapkan ini,
masyarakat banyak yang menunggak karena tidak mampu lagi
untuk membayar rekening SEHEN tiap bulannya.
Hal lain yang mendasar sebagai penyebab munculnya
tunggakan yakni karakter masyarakat yang telah terbiasa
94
mendapatkan bantuan dari pemerintah, sehingga ada pemikiran
untuk menggunakan lampu SEHEN secara gratis karena ada
bantuan penuh dari pemerintah seperti halnya bantuan - bantuan
pemerintah lainnya seperti rumah bantuan gratis, Bantuan
Langsung Tunai (BLT), Beras Miskin (Raskin), anggapan ini
yang semakin memanjakan masyarakat untuk terbiasa dengan
bantuan pemerintah gratis sehingga tidak mau lagi untuk
membayar rekening bulanan Lampu SEHEN.
Jika dilihat dari penggunaan dan pemanfaatannya
memang Lampu Super Extra Hemat Energi memberikan
secercah penerangan bagi masyarakat pedesaan yang belum
mendapatkan aliran listrik di Kabupaten Belu khususnya
pelanggan lampu SEHEN berjumlah 4133 pelanggan dengan
jumlah pelanggan menunggak per tanggal 1 November 2013
sebanyak 1.783 pelanggan dan Rupiah Tunggakan Rp.
248.745.000 , namun dari sisi keadilan tarif / biaya yang
diterapkan sangatlah tidak adil.
TABEL 1
95
Jika diperhatikan dari tabel diatas harga pemakaian KWH untuk
tarif R1 / Rumah Tangga daya 450 per KWH = Rp. 415
Dibandingkan dengan penggunaan lampu SEHEN setiap bulan Maksimal 2
KWH, dengan biaya per KWH = Rp. 7.400 x 2 = Rp.14.800
Biaya Sewa Untuk Pemeliharaan = Rp. 20.200 +
Rp. 35.000
Pelanggan di kota daya 450 bisa menikmati listrik selama 24 jam
dengan pemakaian maksimal dengan biaya beban Rp. 11.000,- , hal ini
dianggap tidak adil atau merugikan bagi pelanggan SEHEN karena biaya
yang dikeluarkan lebih besar jika dibandingkan dengan pelanggan umum
dan pemanfaatan listrik reguler yang lebih banyak keuntungannya
dibandingkan SEHEN. Dari pembahasan tersebut perlu ditinjau kembali dari
segi pemanfaatan dan tarif yang dikeluarkan oleh PT. PLN Persero terhadap
Lampu Super Ekstra Hemat Energi agar tidak memberatkan kepada
masyarakat pengguna lampu SEHEN di wilayah pedesaan .
96
BAB V
P E N U T U P
A. KESIMPULAN
1. Kebijakan yang dikeluarkan oleh PT.PLN (Persero) mengenai
penetapan tarif biaya Lampu SEHEN sulit dilaksanakan di lapangan
97
khususnya di Kabupaten Belu, karena dilihat dari karakteristik
masyarakatnya yang tidak mampu dan masih rendah secara tingkat
perekonomiannya, atau kebijakan PT. PLN (Persero) tersebut tidak
memperhatikan tingkat perekonomian masyarakat di Kabupaten Belu.
Dengan biaya Rp. 35.000 ,-
2. Kebijakan PT. PLN (Persero) tidak efektif dalam penerapannya di
masyarakat kabupaten Belu karena kekurang-sadarannya dalam
melaksanakan tanggung jawabnya yakni melaksanakan kewajibannya
untuk membayar biaya penggunaan Lampu Super Ekstra Hemat
Energi (SEHEN), sehingga masih muncul banyak tunggakan atas
rekening lampu SEHEN, juga berdampak negatif jika dilihat dari
faktor efisiensi pembiayaan PT. PLN (Persero).
B. SARAN – SARAN
1. PT. PLN (Persero), selaku lembaga resmi yang ditunjuk oleh
pemerintah untuk mengelola masalah kelistrikan di Indonesia agar
berperilaku hemat terhadap pemakaian biaya operasional dan
pemakaian BBM di sektor pembangkitan untuk lebih diefektifkan
sehingga dana tersebut dapat digunakan untuk mempercepat
pembangunan Jaringan distribusi di desa - desa yang belum berlistrik,
dan besaran biaya Rp. 35.000 ,- agar bisa diturunkan menjadi Rp.
10.000 ,- sehingga masyarakat mampu membayar dengan lancar dan
tidak muncul tunggakan.
2. PT. PLN (Persero) Rayon Atambua diharapkan lebih aktif untuk
mengkampanyekan (mensosialisasikan) tentang program PT. PLN
(Persero) dalam melistriki masyarakat di Kabupaten Belu tidak hanya
98
listrik konvensional tetapi juga listrik tenaga surya yaitu Lampu Super
Ekstra Hemat Energi (SEHEN) yang diperuntukkan bagi masyarakat
yang jauh dari jaringan listrik.
Juga PT. PLN (Persero) lebih aktif dalam meloby Pemerintah
Pusat dan DPR untuk menyetujui kenaikan Tarif Dasar Listrik
sehingga biaya bisa di alih fungsikan untuk perluasan jaringan di
daerah yang belum berlistrik, tentu saja konsekuensinya harga tarif
listrik per KWH atau TDL harus dinaiikan karena subsidi dari
pemerintah berkurang.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin Said Zainal, 2004, Kebijakan Publik , Edisi Revisi, Yayasan Pancur Siwah, Jakarta.
Ali Zainuddin, 2006,– Sosiologi Hukum. Gramedia, Jakarta
Achmad Ali dkk, 2012,– Menjelajahi Kajian Empiris terhadap Hukum, Citra Aditya Bhakti, Bandung
99
Bello Petrus C.K.L, 2013,Ideologi Hukum, Refleksi Filsafat atas Ideologi di Balik Hukum, 2013.
Burhan Ashofa. 2004. Metode Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta
C.S.T. Kansil. 2002. Pemerintah Daerah di Indonesia Sinar Grafika, Indonesia
Dewa Muh. Jufri, 2011, Hukum Administrasi Negara – Dalam perspektif Pelayanan Publik,
Dworkin R.M., 2013, Filsafat Hukum – Suatu Pengantar.
Esmi Wirassih, 2005. Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologi, Suryandaru Utama, Semarang
HB. Sutopo. 2002. Metode Penelitian Kualitatif, Dasar Teori dan Terapannya Dalam Penelitian Surakarta: UNS Press
Halim Ridwan, 2012, Sendi – Sendi Etika Umum Dalam Praktik Hukum, 2012.
Ismantoro Dwi Yuwono, 2011, Berani Bersikap Ketika Hak Hukum Anda Dilanggar
Johnny Ibrahim. 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publihsing, Malang.
Loekman Soetrisno, 1995, Menuju Masyarakat Partisipatif
Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman, 2007, Analisis Data Kualitatif, Jakarta: UI Press
M. Irfan Islamy. 2004. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Jakarta : Bina Aksara
Mafud,2006, Pranata Hukum,Gramedia, Jakarta
Muhadar, 2006, Politik Hukum di Indonesia, Alumni.
Marbun. Rocky, SH,MH., Cerdik & Taktis Menghadapi Kasus Hukum, 2010
Nico Ngani,2012, Metodologi Penelitian Dan Penulisan Hukum, 2012
Pitoyo. RPH Whimbo, 2012, Srategi Jitu Memenangi Perkara Perdata dalam Praktik Peradilan,
100
Satjipto Rahardjo. 1986. Ilmu Hukum. Bandung: Alumni
----------------------. 2000. Ilmu Hukum. Bandung : Citra Aditya Bakti, Bandung
Samodra Wibawa. 1994. Kebijakan Publik Proses dan Analisis. Jakarta: Intermasa.
Setiono. 2004. Materi Matrikulasi Hukum dan Kebijakan Publik, Pascasarjana UNS, Surakarta
------------, 2005. Pemahaman Terhadap Metodologi Penelitian Hukum. Surakarta: Pascasarjana Universitas Sebelas Maret
------------, 2008, Pedoman Pembimbingan Tesis & Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Tesis, Surakarta: Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana UNS
Solihin Abdul Wahab. 2004. Analisa Kebijakan dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan. Jakarta : Bumi Aksara.
Soenarko. 2003. Public Policy pengertian Pokok Untuk Memahami dan Analisa Kebijaksanaan Pemerintah. Jakarta: Erlangga
Soerjono Soekanto. 1983. Beberapa Aspek Sosio Yuridis Masyarakat. Bandung : Percetakan Offset Alumni.
Syarief Hidayat, 2006. “ Decentralization untuk pembangunan Daerah “. Jakarta
T. Saiful Bahri, Hessel Nogi S. Tangkilisan, Mira Subandini. 2004. Hukum dan Kebijakan Publik. Yogyakarta: YPAP
Joko Widodo,.2007. Analisis Kebijakan Publik: Konsep dan aplikasi analisis proses kebijakan, Malang: Banyu media.
Widya Dhari M. 2009. Dampak Kebijakan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan Terhadap Pelayanan Publik. Tesis. Lampung. Unila. Tidak dipublikasikan
Widodo, Joko. 2007. Analisis Kebijakan Publik : Konsep dan aplikasi analisis proses Kebijakan publik, Malang : Banyumedia.
Winarno Surya Adi Subrata, 1999, Otonomi Daerah di Era Reformasi, Yogyakarta, UPPAMP YKPN
101
Totok Mardikanto, dkk. 2012, Pemberdayaan Masyarakat dalam perspektif kebijakan publik,
JURNAL/ MAKALAH/ MAJALAH
Abraham Wandersman. American Journal of Community Phychology. 2009. Four Key to Success ( Theory, Implementation, Evaluation, and Resource/ System Support ) : High Hopes and dalam http://Springerlink.com diakses tanggal 3 Januari 2011
Adrian C. Hayes. 2006. “Toward a policy Agenda for Population and Family Planning Indonesia, 2004- 2015
Gene Shackman. 2007 What is Program Evaluasi ?. Dalam http : // www. Elsever. Com. Diakses tangggal. 10 Januari 2011
Michael Howlett, 1998, Policy Subsystem Configurations and Policy Change: Operationalizing the Postpositivist Analysis of the Politics of the Polycy Process, Policy Studies Journal, Vol. 26, No. 3
Thomas Biekland, 1998, Law, Polycy Making, and the Policy Proces: Closing the Gaps, Policy Studies Journal, Vo. 26, No. 2
Internet :http://bunga-legal.blogspot.com/2010/05/definisi-politik-hukum-dan-politik.html
http://www.pln.co.id/?p=102 tanggal 12 Agustus 2013, pukul 12:13 .
http://bunga-legal.blogspot.com/2010/05/definisi-politik-hukum-dan-politik.html
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.
Keputusan Direksi PT. PLN (Persero) No: 1227.K/DIR/2011
PKS PT. PLN (Persero) Wilayah NTT dengan PT. Bank Pembangunan Daerah
102
Surat Kabar dan MajalahIKAHI ; JakartaKompas, Sabtu 23 Maret 2013.Kompas, Senin, 15 April 2013Kompas, Selasa, 30 April 2013Kompas, Rabu, 08 Mei 2010Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun Ke XXIII No.276 November 2008 ;
Pembinaan dan Pengelolaan Sumber Daya Manusia ;
103