Post on 04-Feb-2021
FENOMENA ZIARAH SALEMBUR DALAM
MASYARAKAT ADAT KAMPUNG CIPATAT KOLOT
KABUPATEN BOGOR
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)
Oleh:
Nama: Dodi Mario Akbar
NIM: 11140321000080
PROGRAM STUDI STUDI AGAMA-AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H/2020 M
ii
FENOMENA ZIARAH SALEMBUR DALAM
MASYARAKAT ADAT KAMPUNG CIPATAT KOLOT
KABUPATEN BOGOR
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)
Oleh:
Dodi Mario Akbar
NIM: 11140321000080
Di bawah bimbingan:
Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, M. Si
NIP. 196511291994031002
PROGRAM STUDI STUDI AGAMA-AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H/2020 M
iii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul “Fenomena Ziarah Salembur dalam Masyarakat
Adat Kampung Cipatat Kolot Kabupaten Bogor”. Telah diujikan dalam sidang
munaqasyah Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal
15 Januari 2020. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh
gelar Sarjana Agama (S.Ag) Program Strata Satu (S-1) pada Jurusan Studi
Agama-Agama.
Jakarta, 15 Januari 2020
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota,
Syaiful Azmi, MA
NIP. 19710310 199703 1 005
Sekretaris Merangkap Anggota,
Lisfa Sentosa Aisyah, MA
NIP. 1975050506 200501 2 003
Anggota,
Penguji I,
Dr. Media Zainul Bahri, MA
NIP. 197510192003121003
Penguji II,
Dra. Marjuqoh, MA
NIP. 196809011994032002
Pembimbing,
Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, M. Si
NIP. 196511291994031002
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Dodi Mario Akbar
Fakultas : Ushuluddin
Jurusan/Prodi : Studi Agama-Agama
Judul Skripsi : Fenomena Ziarah Salembur dalam Masyarakat Adat Kampung
Cipatat Kolot Kabupaten Bogor
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan jiplakan dari karya orang lain maka saya bersedia menerima sanksi
yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 15 Desember 2019
Dodi Mario Akbar
v
ABSTRAK
Dodi Mario Akbar (11140321000080)
Fenomena Ziarah Salembur dalam Masyarakat Adat Kampung Cipatat Kabupaten
Bogor
Penelitian ini membahas tentang bagaimana Fenomena Ziarah Salembur
yang ada di Kampung Cipatat Kolot, Kabupaten Bogor. Tradisi Ziarah ini sudah
lama dianut oleh kampung Cipatat Kolot di mana Tradisi Ziarah adalah tuntutan
adat yang wajib dilaksanakan setiap tahunnya, khususnya masyarakat Kampung
Cipatat Kolot.
Tradisi ziarah Salembur yang berada di kampung Cipatat Kolot diyakini
bahwa makam keramat Kampung Cipatat Kolot masih keturunan Prabu Siliwangi
dimana yang pada saat kerajaan yang dinahkodai kerajaan Padjajaran. Tidak
jarang banyak masyarakat umum yang berziarah ke makam nenek moyang unutk
meminta berkah ataupun meminta agar usahanya lancar. Sampai-sampai ada
masyarakat yang menginap di makam nenek moyang tersebut.
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (Field Research) yang
bersifat kualitatif. Sumber data dan informasi yang penulis dapatkan dari proses
wawancara langsung maupun dari buku-buku, jurnal, dan artikel yang sesuai
dengan tema dan judul yang dibahas. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan
Sosiologis, Antropologis, dan Teologis. Penulis berusaha untuk menjelaskan hasil
penelitian berdasarkan pengamatan yang telah penulis lakukan selama beberapa
hari di kampung Cipatat Kolot Desa Kiarapandak Kecamatan Sukajaya Kabupaten
Bogor.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa ada fenomena mengenai Ziarah
Salembur yang berada di tengah-tenagah masyarakat Kampung Cipatat Kolot
begitu pun dengan agama mereka yang mayoritas muslim senantiasa melakukan
hal-hal yang berkaitan dengan keislaman.
Tradisi Ziarah Salembur yang begitu mereka laksanakan setiap tahunnya
memiliki peranan penting terhadap keterkaitannya dengan aspek-aspek lain dalam
kehidupan sosial, kebudayaan dan keagamaan masyarakat Kampung Cipatat
Kolot. Terdapat kenyakinan pada masyarakat Kampung Cipatat Kolot bahwa
pelaksanaan ziarah ke makam nenek moyang akan memberikan keberkahan,
keselamatan dan dijauhi marabahaya.
Kata kunci: Ziarah, Adat, Makam, Agama.
vi
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu‟alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam yang telah
memberikan kenikmatan jasmani dan rohani, serta rahmat dan hidayah-Nya, dan
kemudahan serta kesabaran dalam menghadapi berbagai kesulitan sehingga saya
bisa menyelesaikan skripsi ini berkat pertolongan-Nya. Tidak lupa juga salam
serta sholawat terus saya ucapkan teruntuk Nabi Muhammad SAW semoga kelak
kita termasuk umat yang mendapat syafaat darinya. Serta doa untuk keluarganya,
sahabatnya, dan para pengikutnya hingga akhir zaman. Skripsi ini merupakan
salah satu tugas akhir yang harus saya selesaikan untuk menamatkan kuliah dan
mendapatkan gelar sarjana Strata-1 pada Jurusan Studi Agama-agama Fakultas
Ushulludin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulisan skripsi ini tidak akan bisa
tuntas tanpa bantuan, bimbingan, arahan, dukungan dan kontribusi dari banyak
pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini saya ucapkan terimakasih sebanyak-
banyaknya kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan penulisan
skripsi ini.
Dengan penuh rasa rendah hati izinkanlah penulis mengungkapkan
rasa terima kasih kepada beliau-beliau yang telah banyak berjasa dalam
membantu penyelesaian tugas akhir ini:
1. Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, M. Si., selaku dosen pembimbing penulis yang
telah memberikan arahan, saran serta perhatiannya kepada penulis dan dengan
sangat sabar membimbing penulis hingga terselesaikannya skripsi ini. Dan
Bapak Syaiful Azmi selaku dosen Penasehat Akademik yang memberikan
vii
arahan kepada penulis untuk menyelesaikan dengan baik. Semoga senantiasa
sehat dan diberikan kelancaran dalam segala urusannya. Āmīn..
2. Kedua Orang Tua saya yang tidak pernah lepas memberikan kasih sayangnya
mulai dari kecil sampai waktu yang tak terkira, Terima kasih selalu
memberikan semangat, motivasi, kasih sayang, dan doa yang tulus untuk
kesuksesan penulis, dan juga Nenek Tercinta saya terimaksih selalu
mendukung saya dalam hal apapun serta doa yang selalu engaku panjatkan
dan Kakak saya Aliyatul Zakiah dan Adik saya Sandriyan Permana
Terimaksih yang telah memberikan doa, dukungan. Semoga Allah selalu
melimpahkan rahmat-Nya dan memberikan umur panjang kepada mereka.
3. Bapak Syaiful Azmi, MA ketua Jurusan Studi Agama-agama Fakultas
Ushuluddin dan Ibu Lisfa Sentosa Aisyah, MA selaku sekertaris Jurusan Studi
Agama-agama. Serta seluruh dosen dan staf akademik Fakultas Ushuluddin,
khususnya Jurusan Studi Agama-agama yang telah membagikan waktu, tenaga
dan ilmu pengetahuan juga pengalaman berharga kepada penulis.
4. Kepada Desa Kiarapandak Kampung Cipatat Kolot Bapak Budi selaku kepala
Desa, Abah Acim ketu adat cipatat kolot, ustadz Rosyid, Pak RT Dace
terimakasih atas kerjasamanya dan arahannya dalam penegerjaan penelitian
ini.
5. Keluarga Besar Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Cabang Ciputat
kepada semuanya saya ucapkan Terimaksih atas pembelajaran dan
pengalamannya. Semoga berkah Ramat Illahi melimpahi perjuangan kita.
viii
6. Kepada Teman Seperjunagan di Tanah Ciputat Ricky Setiawan dan Eef
Alimudin yang selalu memberikan semangat, dukungan dan doa kepada saya.
Semoga usaha Pastel Lahar sukses dan melesat Go International. Amin
7. Kepada Mutia Khanza terimakasih telah hadir dan selalu memberikan
semangat dan doa kepada saya.
8. Kepada teman saya, Via Elga Susilawati, S. Ag. yang dari awal membantu
mengerjakan dan membimbing saya. Saya ucapkan terimaksih banyak
9. Keluarga Besar Himpunan Mahasiswa Bogor (HIMABO) Kang Muslihin,
Kang Pajar, Kang Ucup, Wa Anu, Wa Pandi, Wa Rizal, Wa Ikri, Wa Daman,
Wa Robi, Wa Basjul, Wa Arif, Wa Malik, Wa Uje, Teh Fida, Teh Nur, Wa
Egi, Teh Ispau, Teh Zahro, Teh Risna dan lain-lain. Kepada semuanya
terimaksih. Hatur nuhun
10. Keluarga Sister Brother Alfan, Novi, Shofi, Qonita, Eef, dan Ricky
Terimakasih selalu mengingat kapan wisuda dan terimakasih juga sudah
berbagi canda dan Tawa
11. Kepada Mas Beni Azhar dan Ka Dedi Sutiadi senior panutan saya, selalu
memberikan arahan, pencerahan serta motivasi kepada saya agar senantiasa
semangat Kuliah. Saya Ucapkan Terimakasih Banyak
12. Teman-teman seperjuangan, kepada seluruh teman Jurusan Studi Agama-
agama angkatan 2014. Semoga kita semua tetap dalam ikatan silaturahmi dan
jalinan pertemanan yang indah.
Semoga peran-peran beliau semua mendapat imbalan yang
sepantasnya dan mendapatkan ridho dari Allah SWT Āmīn. Semoga penelitian ini
dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan umunya bagi para
ix
pembaca agar selalu berpegang pada ajaran-ajaran Rasulullah Saw. Āmīn. Kritik
dan saran serta solusi sangat penulis harapkan dari berbagai pihak guna
penyempurnaan dari kebaikan karya-karya penulis nantinya.Semoga Allah Swt
senantiasa membalas semua kebaikan yang telah diberikan.
Wassalamualaikum Wr.Wb.
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN .................................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iv
ABSTRAK ............................................................................................................. v
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................................... 10
C. Tujuan Penulisan ........................................................................................ 10
D. Tinjauan Pustaka ........................................................................................ 11
E. Kerangka Teori........................................................................................... 12
F. Metodologi Penelitian ................................................................................ 15
G. Sistematika Penulisan ................................................................................ 21
BAB II GAMBARAN UMUM KAMPUNG ADAT CIPATAT DAN ASAL
USUL TRADISI ZIARAH SALEMBUR .......................................................... 23
A. Letak Geografis .......................................................................................... 23
B. Asal-Usul Kampung Cipatat Kolot ............................................................ 26
C. Kondisi Agama dan Kepercayaan Masyarakat .......................................... 28
D. Pengertian Ziarah ....................................................................................... 30
BAB III FENOMENA ZIARAH SALEMBUR ................................................ 33
DALAM MASYARAKAT ADAT CIPATAT KOLOT .................................. 33
A. Nilai-Nilai Keagamaan dan Tradisi ........................................................... 33
B. Tradisi Ziarah Salembur Sebagai Suatu Bentuk Solidaritas Sosial ........... 39
C. Persepsi Masyarakat Kampung Adat Cipatat Kolot Tentang Ziarah
Salembur ............................................................................................................ 47
ix
BAB IV MAKNA, TUJUAN DAN PROSEI ZIARAH SALEMBUR
MASYARAKAT KAMPUNG ADAT CIPATAT KOLOT............................. 51
A. Ziarah dalam Islam ..................................................................................... 51
B. Ziarah Salembur dalam Tradisi Masyarakat Adat Kampung Cipatat Kolot
54
C. Proesi Ziarah Salembur Cipatat Kolot ....................................................... 59
BAB V PENUTUP ............................................................................................... 64
A. Kesimpulan ................................................................................................ 64
B. Saran ........................................................................................................... 65
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 66
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 Bab XIII Pasal 32
dikatakan, kebudayaan bangsa ialah yang timbul sebagai buah usaha budaya
rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai
puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia, terhitung
sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah
kemajuan adab, budaya, dan persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan
baru dari kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan
bangsa Indonesia.1
Kebudayaan tampil sebagai perantara yang secara terus menerus
dipelihara oleh para pembentuknya dan generasi selanjutnya yang diwarisi
kebudayaan tersebut. Kebudayaan yang demikian selanjutnya dapat pula
digunakan untuk memahami agama yang terdapat pada dataran empiriknya
atau agama yang tampil dalam bentuk formal yang menggejala di masyarakat.
Pengalaman agama yang terdapat di masyarakat tersebut diproses oleh
penganutnya dari sumber agama yaitu wahyu melalui penalaran. Misalnya kita
membaca kitab fikih, maka fikih yang merupakan pelaksanaan dari nash al-
Qur‟an maupun hadis sudah melibatkan unsur penalaran dan kemampuan
manusia. Dengan demikian agama menjadi membudaya atau membumi di
tengah-tengah masyarakat. Agama yang tampil dalam bentuknya yang
demikian itu berkaitan dengan kebudayaan yang berkembang di masyarakat
1 Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Jakarta: Djambatan), 2010,
hal. 307.
2
tempat agama itu berkembang. Dengan melalui pemahaman terhadap
kebudayaan tersebut seseorang akan dapat mengamalkan ajaran agama.
Misalnya manusia menjumpai kebudayaan berpakaian, bergaul bermasyarakat,
dan sebagainya.
Ciri khas budaya yang selalu bergerak mengikuti alur yang
dikehendaki masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor penarik (pull
factor) maupun faktor pendorong (push factor) mengakibatkan sebuah suku
bangsa bergerak di dua sisi yang berlawanan. Di satu sisi mengembangkan
kebudayaannya dengan berpedoman pada nilai luhur budaya tersebut, ataupun
justru sebaliknya, suku bangsa tersebut bergerak menjauhi nilai-nilai luhur
dari budaya yang dahulu pernah mereka junjung tinggi.2
Manusia beragama akan mengakui bahwa agama dapat menghadirkan
sesuatu yang sakral, dan kesakralan itulah yang kemudian melahirkan upacara
keagamaan dalam bentuk pemujaan-pemujaan dan penyembahan. Sehingga
dari sinilah muncul keyakinan bahwa suatu ekspresi pemujaan yang
berkembang menjdi praktek keagaman yang dilakukan manusia disaksikan
Tuhan. Dari situ akan ada semacam tradisi atau peraturan yang pada dasarnya
memberikan manfaat bagi dirinya maupun bagi kehidupan sosial manusia di
dunia dan akhirat.
Tuhan yang diakui sebagai kekuatan di luar manusia sering pula
diartikan sebagai kekuatan supernatural seperti roh nenek moyang leluhur
yang dianggap mampu memberikan perlindungan kepada keturunannya.
Secara bersama-sama mereka melakukan upacara keagamaan seperti halnya
2 Irvan Setiawan, Cipatat Kolot: Dinamika Kampung Adat Era Modernisasi, Jurnal
Patanjala, Vol. 6 No. 2, Juni 2014, hal. 194.
3
yang dilakukan oleh para leluhurnya untuk mendapatkan keselamatan bagi
warganya maupun bagi dirinya. Di samping itu praktek upacara keagamaan ini
menjadikan solidaritas masyarakat penganut agama bertambah kuat.
Hilman Hadikusuma mengemukakan bahwa dalam agama budaya
biasanya terdapat unsur-unsur yang dipertahankan dan dilaksanakan seperti
memelihara emosi keagamaan, yaitu percaya kepada yang ghaib, melakukan
upacara-upacara dan acara-acara tertentu dan mengikuti sejumlah pengikut
yang mentaati.3
Islam dan kebudayaan adalah dua hal yang dapat dibedakan meskipun
tidak dapat dipisahkan. Islam adalah agama yang berasal dari wahyu Allah.
Ajaran-ajarannya bersifat teologis karena didasarkan pada kitab suci al-
Qur‟an. Kebudayaan didefinisikan sebagai hasil cipta, karsa, dan karya
manusia sehingga bersifat antropologis. Ruang lingkup kebudayaan meliputi
keseluruhan cara hidup yang khas dengan penekanan pada pengalaman sehari-
hari. Makna sehari-hari meliputi: nilai (ideal-ideal abstrak), norma (prinsip
atau aturan-aturan yang pasti) dan benda-benda material/simbolis. Makna
tersebut dihasilkan oleh kolektivitas dan bukan oleh individu, sehingga konsep
kebudayaan mengacu pada makna-makna bersama.4
Globalisasi yang bersifat ekspansif seakan menggerogoti sedikit demi
sedikit tatanan budaya sebuah suku bangsa sehingga lama kelamaan nilai
luhurm mereka mulai digantikan oleh nilai baru yang tidak sama sekali
mendukung nilai budaya asli yang mereka anut (dahulunya). Perkembangan
teknologi informasi menambah arus persebaran globalisasi semakin tidak
3 Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama Jilid I, (Bandung: Aditia Bakti) 1993, hal. 21.
4 Chris Barker, Cultural Studies, Teori dan Praktik, Terj. Tim KUNCI Cultural Studies
Center (Yogyakarta: Bentang) 2005, hal. 40-50.
4
terbendung oleh jarak ataupun kondisi geografis. Tayangan televisi dan dunia
cyber membawa dan memudahkan pergeseran dan perubahan unsur-unsur
budaya tradisional.5
Islam di Tatar Sunda muncul dalam wajah yang lebih egaliter,
harmonis, jauh dari kekerasan struktural maupun kultural dan memiliki
kepribadian yang jauh lebih dari sekedar Islam dalam arti sebatas fenomena
saja. Oleh sebab itu, maka Islam di Tatar Sunda layak menjadi Islam sebuah
mazhab. Bila kita melihat konteks mazhab-mazhab hukum Islam, maka
mazhab-mazhab tersebut pada awalnya dibentuk berdasarkankan klaim
daerah, seperti mazhab Irak, Madinah, Bashrah, dan Kufah. Kemudian
kelompok-kelompok ini mengalami perubahan bentuk dari organisasi
berdasarkan daerah menjadi organisasi berdasarkan kesetiaan kepada tokoh
tertentu. Perubahan ini dimulai pada periode asy-Syafi‟i.6
Istilah Sunda sendiri kemungkinan berasal dari bahasa Sanskerta yakni
sund atau suddha yang berarti bersinar, terang, atau putih. (Dalam bahasa
Jawa Kuno Kawi) dan bahasa Bali dikenal juga istilah Sunda dalam
pengertian yang sama yakni bersih, suci, murni, tidak bercela atau bernoda,
air, tumpukan, pangkat, dan waspada.7
Fenomena di atas kiranya dapat disaksikan di Tatar Sunda, di mana
keberadaan Islam di Tatar Sunda dapat diibaratkan seperti gula dan manisnya
karena, dalam kenyataannya, perkembangan Islam di Tatar Sunda seiring
5 Irvan Setiawan, Cipatat Kolot: Dinamika Kampung Adat Era Modernisasi, Jurnal
Patanjala, hal. 194. 6 Deden Sumpena, Islam dan Budaya Lokal, Jurnal Ilmu Dakwah, Vol. 6, No. 19, Edisi
Januari-Juni 2012, hal. 109. 7 Dadang Kahmad, “Agama Islam dalam Perkembangan Budaya Sunda”, dalam (Cik
Hasan Bisri, dkk.) (ed.) Pergumulan Islam dengan Kebudayaan Lokal di Tatar Sunda, (Bandung:
Kaki Langit, 2005), h. 66. Periksa Juga Edi S. Ekadjati, Kebudayaan Sunda Suatu Pendektan
Sejarah Jilid 1, (Jakarta: Pustaka Jaya, cet. III, 2009), hal. 1.
5
sejalan dengan local genium (kondisi asli) masyarakat Sunda itu sendiri. Islam
lebih mudah berinteraksi dengan sistem dan nilai yang berlaku pada saat itu.
Disinilah titik pertemuan antara Islam dengan kebudayaan Sunda dapat lebih
dimaknai.8
Secara teologis, keislaman orang Sunda sama saja dengan yang dianut
oleh penduduk Nusantara yang akhirnya sangat dominan adalah Islam yang
fikihnya adalah Syafiiyah, aqidahnya adalah asyariyah, dan tasawufnya adalah
Sunni yang aneka ragam. Akan tetapi dari sudut pengembangan budaya, Islam
yang diserap dan jadi agama masyarakat adalah Islam yang tidak atau kurang
memberi dorongan bagi kemajuan kebudayaan. Kemudian secara sosiologis,
masyarakat Sunda sudah dibangun sesuai dengan aspek tertentu dari sistem
masyarakat Islam, dalam arti hubungan antara individu dengan kegiatan
masyarakat banyak berdasarkan prinsip Islam.9
Kebudayaan Sunda mengalami proses, perubahan dan perkembangan
kebudayaan sebagai hasil perjalanan sejarah. Perubahan itu terjadi, baik
karena kreativitas dan dinamika pencipta dan pendukung kebudayaan Sunda
sendiri (faktor intern), yaitu orang Sunda, maupun karena pengaruh dari luar
(faktor ekstern), kebudayaan Sunda telah berulangkali mengalami perubahan.
Ditinjau dari sudut pengaruh kebudayaan luar, paling tidak kebudayaan Sunda
telah mengalami lima kali perubahan besar, yaitu secara kronologis sebagai
pengaruh, pertama, kebudayaan Hindu-Budha yang datang dari anak benua
India, kedua, Kebudayaan Islam yang datang dari jazirah Arab, ketiga,
kebudayaan Jawa yang datang dari tetangga dekat satu pulau Pulau Jawa,
8 Deden Sumpena, Islam dan Budaya Lokal, Jurnal Ilmu Dakwah, hal. 109.
9 Ujang Saefullah, “Dialektika Komunikasi, Islam, dan Budaya Sunda”, Jurnal Penelitian
Komunikasi, Vol. 16 No. 1, Juli, 2013, hal. 75.
6
keempat, kebudayaan Barat yang datang dari benua Eropa, dan kelima,
kebudayaan nasional karena Tatar Sunda terintegrasi dan menjadi bagian
Negara Republik Indonesia dan kebudayaan global karena makin cepatnya
kemajuan ilmu dan teknologi, terutama teknologi komunikasi yang
memperpendek jarak dan meningkatkan mobilisasi manusia.10
Sebelum datang pengaruh kebudayaan Hindu-Budha, di Tatar Sunda
telah hidup kebudayaan yang diciptakan dan didukung oleh masyarakat yang
telah lama mendiami wilayah ini, sebagaimana tampak dari peninggalan
benda-benda budayanya. Karena tidak meninggalkan bukti-bukti berbentuk
tulisan, maka masa ini dimasukkan ke dalam masa prasejarah dan
kebudayaannya pun dipandang sebagai kebudayaan prasejarah. Meskipun
pengetahuan tentang kebudayaan masa prasejarah di Tatar Sunda tidaklah
banyak, namun masanya jauh lebih lama dibandingkan dengan masa
kebudayaan sejarah. Jika hingga sekarang masa sejarah Tatar Sunda baru
sekitar 1600 tahun (dari abad ke 5 hingga awal abad ke-21), maka masa
prasejarah mencapai ratusan ribu tahun (sebelum abad ke-5 ke belakang).11
Kebudayaan Sunda setelah masuk pengaruh kebudayaan Hindu-Budha
terbentuk dan berkembang pada masa Kerajaan Tarumanagara, Kerajaan
Galuh, dan Kerajaan Sunda (abad ke-5 hingga abad ke-16 Masehi).
Kebudayaan Sunda Islami terbentuk dan berkembang pada masa Kesultanan
Cirebon dan Kesultanan Banten, bahkan pada aspek tertentu hingga sekarang
ini (abad ke-16 hingga awal abad ke-21). Kebudayaan Sunda yang
terpengaruh oleh kebudayaan Jawa berlangsung pada masa Kesultanan
10
Edi S. Ekadjati, Kebudayaan Sunda Zaman Pajajaran, Jilid 2, (Jakarta: Pustaka Jaya)
2009, hal. 12. 11
Edi S. Ekadjati, Kebudayaan Sunda Zaman Pajajaran, hal. 12.
7
Cirebon, Kesultanan Banten, dan Kabupaten-kabupaten di Priangan (abad ke
16 hingga abad ke-19). Kebudayaan Sunda yang dimasuki kebudayaan Barat,
terutama kebudayaan Belanda, terjadi selama masa Kolonial Hindia Belanda
(abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20). Kebudayaan Sunda terpengaruh
oleh kebudayaan nasional dan kebudayaan global berlangsung sejak
berdirinya Negara Republik Indonesia hingga sekarang ini (pertengahan abad
ke-20 hingga awal abad ke-21).12
Kebudayaan-kebudayaan tersebut berlangsung terus-menerus dan
menjadi kebiasaan. Kebiasaan atau juga bisa disebut habit adalah suatu
aktivitas yang dilakukan terus-menerus sehingga menjadi bagian daripada
seorang manusia.13
Dalam adat-istiadat masyarakat Sunda lama dikenal
beberapa kebiasaan. Misalnya, saat bayi masih dalam kandungan ada berbagai
macam upacara dan pantangan yang harus dijalankan. Seorang ibu yang
sedang hamil sering mempunyai keinginan atau perilaku yang aneh-aneh. Hal
ini dianggap sebagai “bawaan” bayi yang dikandungnya. Ada ungkapan nurut
buat, artinya yang dilakukan orangtua si bayi dapat berpengaruh pada bayi
yang dikandung sehingga ayah si bayi, misalnya, dilarang menyembelih atau
menyabung ayam karena bisa berpengaruh buruk kepada si bayi. Ketika usia
kandungan sudah mencapai delapan bulan, biasanya diadakan upacara
selamatan bubur lolos agar si bayi dapat dilahirkan dengan lancar.14
Masih banyak sekali budaya Sunda yang kiranya telah menjadi lumrah
dilakukan oleh orang Sunda sampai sekarang. Budaya dan agama seringkali
12
Edi S. Ekadjati, Kebudayaan Sunda Zaman Pajajaran, hal. 12. 13
Felix Y. Siauw, Habits How To Master Your, hal. 13. 14
Nina H. Lubis, Tradisi dan Transformasi Sejarah Sunda (Bandung: Humaniora Utama
Press, 2000), 127.
8
dicampuradukkan sehingga masyarakat tidak peduli akan hukum
diperbolehkannya adat istiadat itu atau tidak. Penulis menggaris bawahi
kebudayaan masyarakat Sunda yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam
adalah tentang ziarah makam keramat yang berada di daerah Cipatat Kolot.
Dari hasil wawancara dengan Abah Acim (ketua adat), penulis akan
memaparkan sedikit mengenai tradisi Ziarah Salembur. Penulis akan
mengangkat tema ini sebagai bahan perbincangan yang layak didiskusikan
dikalangan akademisi maupun masyarakat pada umumnya.
Islam sebagai sebuah agama, kebudayaan dan peradaban besar dunia
sudah sejak awal masuk ke Indonesia pada abad ke-7 dan terus berkembang
hingga kini. Ia telah memberi sumbangsih terhadap keanekaragaman
kebudayaan nusantara. Islam tidak saja hadir dalam tradisi agung
(greattradition) bahkan memperkaya pluralitas dengan islamisasi kebudayaan
dan pribumisasi Islam yang pada gilirannya banyak melahirkan tradisi-tardisi
kecil (littletradition) Islam.15
Pada masyarakat Kampung Cipatat Kolot Desa Kiarapandak
kecamatan Sukajaya Kabupaten Bogor terdapat tempat yang dikeramatkan
atau disakralkan yakni Makam nenek moyang Cipatat Kolot. Makam nenek
moyang ini tidak hanya di kenal oleh masayarakat desa kiarapadak saja
melainkan masyarakat luar pun mengetahui. Setiap harinya pasti ada saja yang
berziarah ke makam nenek moyang Cipatat Kolot, tidak jarang masyarakat di
luar Kampung Cipatat Kolot yang mendatangi makam ini untuk berziarah dan
bernadzar, memanjatkan doa kepada nenek moyang Cipatat Kolot, ada pula
15
Syahdan, Ziarah Persepektif Kajian Budaya, 2017, Vol. 13 No.1
9
penziarah yang beramalam di kuburan dengan maksud untuk lebih dekat
kepada nenek moyang kampung Cipatat Kolot agar doanya cepat terkabul.
Ziarah salembur ini yang berada di Kampung Cipatat Kolot salah satu
tradisi yang ada di Kampung Cipatat Kolot. Ziarah salembur ini berbeda
dengan ziarah atau tempat-tempat ziarah yang lain karena ketua adat yakni
(abah acim) mewajibkan masyarakat Cipatat Kolot untuk mengikuti Upacara
Ziarah ke makam nenek moyang tersebut untuk menghormati leluhur Cipatat
Kolot dan memanjatkan doa kepada roh nenek moyang.
Dalam kegiatan Ziarah Salembur ini selalu dilaksanakan setiap
tahunnya oleh masyarakat Kampung Cipatat Kolot yang dipimpin oleh ketua
adat (Abah Acim), masyarakat berekumpul di depan rumah adat yang di
tempati oleh ketua adat. Masyarakat Cipatat Kolot diwajibkan untuk
membawa berbagai syarat-syarat unutk berziarah seperti nasi uduk, nasi
kuning, dan ada pula yang menyerahkan uang ataupun rokok dan tak lupa juga
kemenyan dan biasanya ketua adat yang menyembelih hewan. Setelah
masyarakat berkumpul di rumah adat dan perlengkapan untuk berziarah ke
makan nenek moyang sudah siap, barulah berbondong-bondong berjalan ke
makam nenek moyang Cipatat Kolot.
Makam Nenek Moyang Cipatat Kolot berada di bukit tidak jauh dari
rumah ketua adat. Kemudian setelah sampai di makam nenek moyang upacara
ziarah salembur dilaksankana dengan khidmat dan dipimpin oleh ketua adat
(Abah Acim) dengan doa-doa berbahasa sunda.16
Setelah upacara ziarah
16
Wawancara Pribadi dengan Abah Acim (Ketua Adat Desa Cipatat Kolot) Bogor, 29
Maret 2019
10
salembur selesai ketua adat mempersilahkan masayrakat Cipatat Kolot untuk
menikmati makanan yang sudah dibawa oleh mereka.
Meskipun masyakarat Cipatat Kolot mayoritas beragama Islam, namun
mereka tetap menjaga tradisi-tradisi yang sudah ada dari zaman nenek moyang
mereka.
Dari masalah di atas sangat manarik sekali bagi penulis untuk
melakukan penelitian mengenai Fenomena Ziarah Salembur di Masyarakat
Adat Kampung Cipatat Kolot. Penulis juga tertarik untuk mengkaji sejauh
mana Fenomena Tradisi Ziarah Salembur yang berada di Kampung Cipatat
Kolot. Sehingga peneliti mengangkatnya dalam sebuah skripsi dengan judul
“Fenomena Ziarah Salembur dalam Masyarakat Adat Kampung Cipatat
Kolot Kabupaten Bogor”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis merumuskan masalah
utama dalam penelitian ini adalah:
1. Apa Tradisi Ziarah Salembur yang ada dalam Masyarakat Adat Cipatat
Kolot?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan umum dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui Tradisi Ziarah Salembur yang ada dalam Masyarakat
Adat Kampung Cipatat Kolot?
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
11
1. Manfaat teoritas
Penelitian tentang Fenomena Tradisi Ziarah Salembur, diharapkan dapat
bermanfaat untuk penelitian-penelitian dengan tema yang sama atau
relevan dapat membantu mendapatkan bantuan untuk pengembangan ilmu
pengetahuan ilmu Teologi, ilmu antropologi dan ilmu sosiologi.
Bagi masyarakat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
pemikiran yang dapat dibuat sebagai pertimbangan dalam proses
pembangunan masyarakat. Kemudian, melalui penelitian ini diharapkan
dapat memberikan informasi empiris pada masyarakat.
2. Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan memberikan pengetahuan dan dapat memberikan
kontribusi dalam menambah wawasan keilmuan tentang tradisi ziarah
yang ada di Desa Cipatat Kolot.
3. Manfaat akademik
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan keilmuan
Ushuluddin yang tertarik dan menggeluti studi agama-agama mengenai
tradisi ziarah.
D. Tinjauan Pustaka
Berdasarkan pengamatan penyusun, sampai saat ini masih sangat
sedikit yang membahas tradisi ziarah salembur masyarakat Desa Cipatat
Kolot. Namun ada beberapa penelitian yang membahas terkait tradisi ziarah.
Pertama, karya bentuk jurnal yang di tulis oleh Irvan Setiawan yang
berjudul “Cipatat Kolot: Dinamika Kampung Adat di Era Modernisasi.”
12
Dalam jurnal ini dibahas mengenai ragam budaya kesepuhan cipatat kolot
seperti religi, upacara tradisional, kesenian, bahasa, dan tata ruang.
Kedua, karya bentuk jurnal yang di tulis oleh M. Misbahul Mujib yang
berjudul “Tradisi Ziarah Dalam Masyarakat Jawa: Kontestasi Kesalehan,
Identitas Keagamaan dan Komersial.” Dalam jurnal ini dibahas mengenai
tradisi ziarah kubur yang telah lama dilakukan masyarakat Jawa khususnya
melalui pendekatan fenomenologis seiring meningkatnya peziarah dalam satu
dekade terakhir.
Ketiga, karya bentuk jurnal yang di tulis oleh Syahdan yang berjudul
“Ziarah Perspektif Kajian Budaya.” Dalam jurnal ini dibahas mengenai
makna yang terkandung dalam aktivitas ziarah terdapat makna persaudaraan,
makna simpati, kebersamaan, saling menghargai. Ada juga makna
kesejahteraan, keberadaan makam dengan berbagai aktivitas ritual di
dalamnya telah memberikan berkah kepada banyak pihak para pedagang,
pengusaha jasa angkutan dan sebagainya. Serta makna legitimasi.
E. Kerangka Teori
1. Akulturasi
Akultiurasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia akulturasi di
artikan sebagai pencampuran dua budaya atau lebih yang saling bertemu
dan saling mempengaruhi.17
Menurut koentjaraningrat, akulturasi sebagai
proses sosial untuk mengakomodasi dan mengintegrasikan unsur
kebudayaan itu sendiri.18
17
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), (Jakarta: Departemen Pendidikan Kebudayaan
RI, 2001). H. 24. 18
Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, h. 248
13
Para ahli antropolog memberikan beberapa istilah untuk menguraikan
apa yang terjadi dalam akulturasi yaitu: substitusi, sinkretisme, adisi,
dekulturasi, orijinasi dan penolakan.19
a. Substitusi, adalah non-budaya yang ada sebelurmnya diganti dengan
yang tidak-baru yang memenuhi fungsiinya, yang menyediakan
perubahan struktural dalam tingkat yang lebih kecil.
b. Sinkretisme, adalah istilah untuk menunjukkan adanya tak-tak lama
bercampur dengan tak-tak baru dan membuat sistem baru Dalam hal
ini, memperbolehkan perubahan yang berarti.
c. Adisi, adalah istilah untuk menambah tingkat perpaduan budaya, di
mana tidak-tidak baru ditambahkan pada yang lama. Dalam hal ini
mungkin terjadi atau tidak terjadi perubahan struktural.
d. Dekullturasi, istilah adaiah untuk menunjukkan tingkat perpaduan
budaya, dimana bagian substansi sebuah budaya mungkin hilang.
e. Orijinasi, adalah istilah, di mana ada tidak-tidak baru untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan baru yang timbul karena perubahan
kenyamanan.
f. Penolakan, merupakan perubahan yang terjadi sehingga terjadi
perpaduan yang sempurna, sehingga sebagian besar orang tidak dapat
menerimanya, Kondisi ini dapat menimbulkan pertentangan total,
pemberontakan, atau perubahan.
19
Caroline Pooney, African Literature, Animism and Politic, (London: Routledge, 2001),
h. 10.
14
2. Animisme
Pengertian dari animisme cukup banyak. Kata "animisme" berasal dari
bahasa Latin "anima" yang berarti “roh".20
Animisme adalah seperti
halnya kepercayaan dan roh halus ", demikian juga halnya dengan kata
lain yang dianut oleh bangsa-bangsa yang belum bersentuhan atau tidak
pernah menerima ajaran yang berkaitan dengan agama samawi (wahyu).21
Inti dari pemahaman animisme adalah mempercayai setiap benda di bumi,
gunung, gua, dan kuburan memiliki jiwa yang harus ditemui dan
dijunjung.
3. Azas Bersaji
Teori azas religi adalah teori yang dikembangkan oleh W. Robertson
Smith yang merupakan salah satu ahli di bidang teologi, ahli ilmu pasti,
dan ahli bahasa dan kesusastraan. Di dalam bukunya yang berjudul
Lectures on Religion of the Smith yang dikutip oleh koentjaraningrat,
Robertson menjelaskan bahwa ada tiga gagasan penting yang menambah
pengertian kita tentang azas-azas religi dan Agama pada umumnya.
a. Tentang di samping sistem kepercayaan, sistem upacara juga
merupakan perwujudan dari religi atau agama yang memerlukan studi
dan analisa yang khusus. Hal yang menarik perhatian Robertson adalah
dalam banyak agama upacaranya itu tetap, tetapi kemudian helakang
dan keyakinannya berubah.
b. Upacara keagamaan, agama yang dilaksanakan oleh banyak
masyarakat pemeluk agama atau agama yang bersama-sama
20
Caroline Pooney, African Litelature Animism and Plolitic (London: Routledge. 2001),
h. 10. 21
Zakiah Daradjat, (peny.), Perbandingan Agama 1 (Jakarta Bumi Aksara, 1996), h. 28.
15
menyediakan bersama sosial berfungsi mengintesifkan solidaritas
masyarakat. Ada di antara masyarakat yang memang benar-benar ritual
itu dengan sungguh-sungguh atau hanya bisa dilakukan.
c. Robertson ajukan teorinya tentang upacara bersaji. Dalam upacara ini
dianggap olch Robertson sebagai suatu kegiatan untuk mendorong rasa
solidaritas dengan dewa atau para dewa. Di mana Robertson
membahas upacara sebagai upacara yang khidmat. Pemberian sesaji di
tempat-tempat keramat untuk mendukung kepercayaan mereka
terhadap dukungan untuk halus. Selain itu, manusia berharap berkah
dan terhindar dari masalah temuan yang lain.22
F. Metodologi Penelitian
Metode penelitian dari skripsi ini adalah kualitatif.23
Cara yang penulis
lakukan adalah memadukan penelitian lapangan (field research) dan
kepustakaan (library research).24
Dengan demikian diharapkan pengamatan,
deskripsi dan analisa dalam penelitian ini dapat lebih optimal.
Metode penelitian yaitu suatu teknik penelitian untuk mendapatkan
data yang relevan dengan subjek penelitian. Dalam pelaksanaannya, sumber
data dibagi menjadi 2 yaitu sumber data primer dan sekunder. Sumber Data
primer meliputi wawancara langsung ke Kampung Cipatat Kolot. Sedangkan
22
Koentjaraningrat, Sejarah Antropologi Jilid 1,(jakarat: U Press, 1987), h. 67-68 23
Penelitian Kualitatif adalah penelitian yang bersifat deskriftif dan dibutuhkan untuk
mengurai menggunakan analisa. Kemudian landasan teori dalam penelitian ini digunakan sebagai
pemandu agar fokus penelitian sesuai dengan fakta yang ada. Kemudian, penelitian berangkat dari
teori neuju data, dan berakhir pada penerimaan atau penolakan terhdap teori yang digunakan. Lihat
Noeng Muhadjir, Metodelogi Penelitian kalitatit, hal. 5 24
Penelitian kepustakaan atau (library research) adalah penelitian yang menggunakan
teori-teori yang diambil dari literatur tertulis baik itu membuka, jurnal atau tulisan ilmiah lainnya
yang mendukung dan relevan dengan judul penelitian. Sedangkan penelitian lapangan (field
research) adalah dimana penelitian menggunakan penelitian yang terjun ke lapangan atau tempat
penelitian yang dipilih Iihat Noeng Muhadjir, Metodologi Penelstian Kalitatif, hal.6.
16
data sekunder didapatkan dari buku, jurnal, ensiklopedia, kamus, dan media
elektronik sebagai bahan pengayaan dan pelengkap data.
1. Teknik Pengumpulan Data
Metode yang digunakan untuk proses pengumpulan data dalam
penelitian ini adalah dengan proses triangulasi. Triangulasi adalah
penggunaan sejumlah metode pengumpulan data dalam suatu penelitian.
Triangulasi diperlukan karena setiap metode pengumpulan data
memiliki kelemahan dan keunggulannya sendiri.Dengan memadukan
sedikitnya tiga metode25
, yaitu:
a. Wawancara Mendalam
Wawancara adalah kegiatan percakapan yang memiliki maksud
tertentu. Sedangkan wawancara mendalam adalah wawancara yang
lebih bersifat intim dan mendalam di mana percakapan melibatkan dua
belah pihak, yaitu pewancara, orang yang mengajukan pertanyaan dan
responden, orang yang di wawancarai. Adapun kegiatan wawancara ini
digunakan peneliti untuk menilai keadaan seseorang atau kelompok.
Adapun metodenya adalah dialog atau tanya jawab yang dilakukan dua
orang atau lebih oleh pewawancara atau responden yang dilakukan
secara berhadap-hadapan.
Sebelum melakukan wawancara mendalam, Penulis membuat
kerangka dan garis-garis besar atau pokok-pokok pertanyaan, serta
senantiasa menciptakan suasana santai (tidak kaku), namun serius
(tidak main-main) ketika berdialog.
25 https://www.kompasiana.com/mtf3lix5tr/5535a2946ea8347510da42d9/penelitian-
kualitatif-024-empat-tipe-triangulasi-dalam-pengumpulan-data diakses pada tanggal 31 Oktober
2019
https://www.kompasiana.com/mtf3lix5tr/5535a2946ea8347510da42d9/penelitian-kualitatif-024-empat-tipe-triangulasi-dalam-pengumpulan-datahttps://www.kompasiana.com/mtf3lix5tr/5535a2946ea8347510da42d9/penelitian-kualitatif-024-empat-tipe-triangulasi-dalam-pengumpulan-data
17
Adapun penulis membuat empat kerangka atau pokok-pokok
pertanyaan berbeda. Pertama, kerangka pertanyaan mengenai Sejarah
Kampung Adat Cipatat Kolot yang ditunjukan kepada Ketua adat
Kampung Cipatat Kolot yang, kedua, pertanyaan seputar Kampung
Adat Cipatat Kolot yang meliputi: Cara ritual Ziarah Salembur yang
dilakukan oleh Masyarakat Kampung Adat Cipatat Kolot, apa yang
harus dilakukan masyarakat setelah melaksanakan ziarah salembur.
Ketiga Respon masyarakat terhadap ritual ziarah salembur yang
ditanyakan kepada masyarakat sekitar.
b. Observasi partisipatif
observasi terbuka adalah teknik pengumpulan data di mana peneliti
benar-benar ikut dan berbaur secara langsung sehingga terjadi interaksi
secara langsung dengan responden atau yang diteliti. Dalam hal ini
peneliti juga mengikuti kegiatan yang dilakukan responden, termasuk
kegiatan seputar pelaksana Ziarah Salebur Kampung Adat Cipatat
Kolot.
c. Dokumentasi
Teknik dokumentasi merupakan upaya penelitian yang berupa
mengumpulkan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumentasi itu
dapat berupa tulisan, gambar atau karya-karya dari seseorang. Di mana
dokumentasi juga merupakan pelengkap dari teknis wawancara
mendalam dan observasi partisipatif.
18
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah dengan
dua model pendekatan yakni pendekatan Sosiologis, Antropologis dan
Teologis, Dalam Pendekatan Sosiologis, agama di pandang sebagai sistem
kepercayaan yang diwujudkan dalam prilaku sosial tertentu.26
Kemudian
pendekatan antropologis adalah metode pendekatan dengan melihat sejauh
mana agama mempengaruhi suatu kebudayaan atau suatu kebudayaan
mempengaruhi agama.27
Sedangkan pendekatan antropologi, penulis menggunakan teori
Clifford Geetz. Menurut Clifford Geertz dalam kajian antropologi
terutama tentang dinamika hubungan antara agama dan budaya, tidak bisa
dilepaskan hubungan antar budaya dan masyarakat.28
Oleh karena itu, Geertz kemudian menyatakan bahwa agama adalah
sistem kebudayaan. Sebagai sistem kebudayaan agama tidak terpisah
dengan masyarakat. Agama tidak hanya seperangkat nilai yang tempatnya
di luar manusia, tetapi juga merupakan sistem pengetahuan dan sistem
simbol yang memungkinkan terjadinya pemaknaan.
Geertz memberikan pengertian kebudayaan memiliki dua elemen,
yaitu kebudayaan sebagai sistem kognitif dan sistem makna (model of),
serta kebudayaan sebagai sistem nilai (model for). Jika pola dari model of
adalah representasi kenyataan, sebagaimana wujud nyata perilaku manusia
sehari-hari, maka pola bagi model for adalah representasi dari apa yang
26
Ida Zahara Adiba, “Pendekatan Sosiologis dalam Studi Agama,” Jurnal Inspirasi
Volume 1, No 1 (Januari 2017), h. 2 27
Media Zainul Bahri, Wajah Studi Agama-Agama Dari Era Teosofi Indonesia (1901-
1940) Hingga Masa Reformasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015),, hal. 47 28
Clifford Geertz, Kebudayaan dan Agama (Yogyakarta: Kanisius), 1992, hal. 10
19
menjadi pedoman bagi manusia untuk melakukan tindakan. Contoh
sederhana yang merupakan pola dari model of adalah upacara keagamaan
yang dilakukan masayarakat, sedangkan ajaran yang diyakini
kebenarannya sebagai dasar atau acuan melakukan upacara keagamaan
adalah pola dari model for. Menurut Geertz untuk menghubungkan kedua
pola tersebut terletak pada sistem simbol yang disebut makna (system of
meaning). Melalui sistem makna sebagai perantara, sebuah simbol dapat
menerjemahkan pengetahuan menjadi nilai dan menerjemahkan nilai
menjadi pengetahuan.29
Akibat yang nyata dari pendekatan kajian di atas menempatkan agama
pada realitas empiris yang dapat dilihat dan diteliti. Dalam pandangan
ilmu sosial, pertanyaan keabsahan suatu agama tidak terletak pada
argumentasi-argumentasi teologisnya, melainkan terletak pada bagaimana
agama dapat berperan dalam kehidupan sosial manusia. Di sini agama
diposisikan dalam kerangka sosial empiris, sebagaimana realitas sosial
lainnya. Berkaitan dengan kehidupan manusia, tentu hal-hal empiris yang
menjadi perhatian kajian sosial, walaupun hal yang gaib menjadi hal
penting juga. Oleh karena itu, pendekatan antropologi dalam studi agama
memandang agama sebagai fenomena kultural dalam pengungkapannya
yang beragama, khususnya tentang kebiasaan, perilaku dalam beribadah
serta kepercayaan dalam hubungan-hubungan sosial. Adapun yang
menjadi acuan dengan pendekatan antropologi dalam studi agama secara
29
Nur Syam, Madzhab-Madzhab Antropologi (Surabaya: LkiS), 2006, h. 93
20
umum, adalah mengkaji agama sebagai ungkapan kebutuhan makhluk
budaya yang meliputi beberapa hal.30
1. pola-pola keberagamaan manusia dari perilaku bentuk-bentuk
keyakinan atau kepercayaan dari politeisme hingga pola keberagamaan
masyarakat monoteisme.
2. Agama dan pengungkapannya dalam bentuk mitos, simbol, ritus, tarian
ritual, upacara, pengorbanan, semedi dan slametan.
3. Pengalaman religius yang meliputi meditasi, doa, mistisisme, sufisme,
dan lain-lain. Memandang agama sebagai fenomena kultural,
memberikan fungsi atau makna beragama terdalam yakni
meningkatkan kesadaran kolektif masyarakat tentang arti penting
agama dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.
Kemudian Pendeketan Teologis merupakan disiplin ilmu yang
berbicara tentang kebenaran wahyu serta indepedensi filsafat dan ilmu
pegetahua. Gove mengatakan bahwa teologi merupakan penjelasan tentang
keimanan, perbuatan dan pengalama agama secara rasional.31
Pendekatan
ini dalam rentang sejarah yang cukup lama merupakan pendekatan yang
paling dominan dan paling berpengaruh dalam Studi Agama-Agama
(Perbandingan Agama). Dengan pendekatan ini seorang penganut suatu
Agama apakah itu Islam, Krsiten, atau Agama lain ketika membuat studi
Teologis dan biasanya ia melakukan studi dari dua hal yaitu:
30
Umhurul Umami, “Metode dan Pendekatan IPA,” dikutip dari
http://ushuluddin,uinsuka.ac.id/id/article.php, diakses pada tanggal 23 Juli 2019 31
Abdur Razak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia, 2006), h. 14.
http://ushuluddin,uinsuka.ac.id/id/article.php
21
1. Studi Internal (insider)
Studi ini berusaha secara aktif dalam kegiatan ilmiahnya untuk
melastarikan dan mempromosikan keunggulan agamanya serta
mempertahankan dari ancaman atau serangan orang lain.
2. Ekternal
Dalam hal ini seorang peneliti atau penganut agama tertentu
melakukan kajian terhadap agama atau keyakinan orang lain untu
“menilai” dan menghakiminya dengan ukuran agama sang peneliti.32
Penelitian ini, oleh peneliti ingin melihat bagaimana peran Agama
Islam merespon tentang Ziarah Salembur.
Adapun pedoman standar yang digunakan penulis dalam penulisan
skripsi ini mengacu pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi,
Tesis, dan Disertasi) yang diterbitkan oleh CeQDA (Center for Quality
Development and Assurance) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta. Adapun, pedoman transliterasi menggunakan Jurnal
Ilmu Ushuluddin 2013.
G. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah dalam penulisan skripsi ini, maka di sini akan
diuraikan sistematika penulisannya. Skripsi ini dibagi menjadi lima poin yang
masing-masing terdiri dari sub-sub bab dengan perincian sebagai berikut:
Bab I merupakan latar belakang masalah, kemudian akan dibahas
tujuan dan manfaat serta tinjauan pustaka yang digunakan dalam penelitian.
32
Media Zainul Bahri, Wajah Studi Agama-Agama Dari Era Teosofi Indonesia (1901-
1940) Hingga Masa Reformasi, h. 15- 48.
22
Hal lain yang kemudian menjadi bahasan dalam bab ini adalah metode
penelitian yang digunakan serta sistematika penulisan yang ada dalam
penelitian ini.
Bab II merupakan pembahasan tentang gambaran umum kawasan Desa
Kiarapandak, Kecamatan Suka Jaya, Kabupaten Bogor, sebagai tempat
dilaksanakan tradisi Ziarah Salembur tersebut sekaligus sebagi tempat dimana
penelitian ini dilakukan. Hal-hal yang dibahas dalam bab ini meliputi letak
geografis, kondisi sosial-budaya, kehidupan keagamaan dan kepercayaan
masyarakat serta bagaimana asal-usul, pengertian Ziarah. Dalam bab ini
dimaksudkan untuk memberikan gambaran umum tentang masyarakat dan
lingkungan yang menjadi latar belakang dilaksanaknnya tradisi Ziarah
Salembur kampung adat Cipatat Kolot serta pengertian Ziarah secara umum.
Bab III berisikan Dalam bab ini penulis juga mengambil Fenomena
Ziarah Salembur yang berada di masyarakat Kampung Cipatat Kolot serta
Nilai-Nilai Keagamaan, Tradisi Budaya Lokal Sebagai Suatu Bentuk
Solidaritas Sosial, kemudian bagaimana pandangan masyarakat terkait Ziarah
Salembur.
Bab IV Merupakan pembahasan tentang makna dan tujuan
diadakannya tradisi ziarah salembur, ziarah dalam agama Islam dan
bagaimana Prosesi Ziarah Salembur di masyarakat Kampung Adat Cipatat
Kolot dalam hal Ziarah Salembur.
Bab V merupakan penutup yang berisi kesimpulan, dan saran penulis
mengenai seluruh isi dari penelitian ini.
23
BAB II
GAMBARAN UMUM KAMPUNG ADAT CIPATAT DAN ASAL USUL
TRADISI ZIARAH SALEMBUR
A. Letak Geografis
Kampung Cipatat Kolot berada sekitar 3 km dari Kampung Urug Desa
Kiarapandak, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor. Adapun Desa
Kiarapandak berbatasan dengan:
a. Sebelah utara berbatasan Desa Harkatjaya.
b. Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Kiarasari dan Desa Cisarua.
c. Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Nanggung.
d. Sebelah barat berbatasan dengan Desa Pasir Madang.
Desa Kiarapandak, Kecamatan Sukajaya, berada dekat perbatasan
dengan Provinsi Banten, atau tepatnya bersebelahan pada bagian timur dengan
Kabupaten Lebak. Kedekatan dengan Provinsi Banten menimbulkan adanya
asumsi bahwa ada keterkaitan antara Kampung Cipatat Kolot dengan
Kasepuhan Adat Banten Kidul. Hal ini terkuak melalui paparan Nugraheni
yang mengatakan bahwa Kasepuhan Adat Banten Kidul mendiami tiga
kabupaten dalam dua provinsi, yaitu Provinsi Jawa Barat (Kabupaten Bogor
dan Kabupaten Sukabumi), dan Provinsi Banten (Kabupaten Lebak).1 Lebih
lanjut lagi, Nugraheni mendeskripsikan kasepuhan-kasepuhan yang mendiami
tiga kabupaten tersebut, yaitu:
a. Di Kecamatan Jasinga (Kab. Bogor) meliputi Kasepuhan Gajrug, Sajira,
dan Guradog;
1 Profil Desa Kiarapandak, Kecamatan Suka Jaya Kabupaten Bogor Tahun 2017, h. 1
24
b. Kecamatan Bayah (Kab. Lebak) meliputi Kasepuhan Tegal Lumbu,
Cicarucub, Cisungsang, Cicemet, Sirnagalih, Cikadu, dan Citorek;
c. Kecamatan Cigudeg2 dan Sukajaya (Kab. Bogor) meliputi Kasepuhan
Urug, Pabuaran, dan Cipatat Kolot;
d. Kecamatan Cisolok (Kab. Sukabumi) meliputi beberapa kasepuhan yang
berada di sepanjang Sungai Cibareno Girang, yaitu Kasepuhan Ciptarasa
dan Ciptagelar. 2
Berlanjut ke kondisi iklim di lokasi penelitian yang kurang lebih
adalah sama dengan kondisi iklim di Kecamatan Sukajaya khususnya dan
wilayah Kabupaten Bogor pada umumnya, yaitu iklim tropis tipe A (sangat
basah) di bagian selatan dan tipe B (basah) di bagian utara. Suhu berkisar rata-
rata antara 20 derajat sampai dengan 25 derajat celcius. Curah hujan tahunan
antara 2.500 mm sampai lebih dari 5.000 mm/tahun. Begitu juga halnya
dengan ketinggian rata-rata berkisar antara 15 - 2.500 M Dpl, dengan
penyebaran sebagai berikut: berkisar antara 15 - 2.500 M Dpl, daratan
bergelombang (100-500M) di bagian tengah, pegunungan (500-1000 M),
pegunungan tinggi dan daerah puncak (2000-2.500 M). Dari segi pekerjaan,
sebagian besar masyarakat Desa Kiarapandak bermata pencaharian sebagai
petani, hal ini sesuai dengan luas wilayah. Penggunaan tanah sebagian besar
digunakan untuk sawah yaitu sebanyak 259.570 ha.3 Secara umum keadaan
topografi Desa Kiarapandak merupakan daerah dataran dan perbukitan dengan
2Setiawan, Irvan, Cipatat Kolot: Dinamika Kampung Adat di Era Modernisasi, 2014,
Patanjala Vol. 6 No. 2, .h 196-197. 3Profil Desa Kiarapandak, Kecamatan Suka Jaya Kabupaten Bogor Tahun 2017, h. 1
25
iklim kemarau dan penghujan. Hal ini berpengaruh terhadap pola tanam yang
ada di Desa Kiarapandak seperti yang tampak pada tabel di bawah ini.4
Tabel 1: Peruntukan Tanah Kas Desa tahun 2017/2018 No Penggunaan Tanah Luas (Ha)
1. Jalan 4 Ha
2. Sawah dan Ladang -
3. Bangunan Umum 45 Ha
4. Empang/Kolam -
5. Pemukiman dan Perumahan 270 Ha
6. Jalur Penghijauan -
7. Pemakaman/TPU 2 Ha
8. Lain-lain 4 Ha
Total 325 Ha
Jumlah penduduk Desa Kiarapandak berdasarkan data statistik
Kabupaten Bogor yaitu sebanyak 6. 952 jiwa, yang terdiri atas 3.436 jiwa laki-
laki dan 3.517 jiwa perempuan dengan jumlah kepala keluarga 1.917 jiwa.
Desa Kiarapandak terdiri atas lima dusun, 14 RW, dan 50 RT dengan jumlah
keluarga Beragama Islam 6.951 dan Katholik 1 Orang.
Jumlah Penduduk Menurut Agama/Penghayatan Terhadap Tuhan yang
Maha Esa:
a. Islam : 6.952 Orang
b. Kristen Protestan : -
c. Katholik : 1 Orang
d. Budha : -
e. Hindu : -
Jumlah : 6.951 Orang
4 Profil Desa Kiarapandak, Kecamatan Suka Jaya Kabupaten Bogor Tahun 2017, h. 2.
26
Ditinjau dari segi agama, mayoritas penduduk Desa Kiarapandak
beragama Islam dan sisanya beragama Katolik dengan jumlah masjid dan
mushola masing-masing 15 dan 14 buah.5
Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan:
a. Lulusan Pendidikan Umum/Formal :
1. TK/TPA/PAUD : 70 Orang
2. SD/MI (Paket A) : 1.170 Orang
3. SMP/SLTP (MTs dan Paket B) : 970 Orang
4. SMA/SLTA (MA dan Paket C) : 580 Orang
5. Akademi/D-1-D3 : 8 Orang
6. Sarjana/S-1 : 38 Orang
7. Sarjana/S-2 : 3 Orang
8. Sarjana/S-3 : -Orang
Jumlah : 355 Orang
b. Lulusan Pendidikan Khusus/Non Formal:
1. Ponpes : 45 Orang
2. Khusus : 18 Orang
3. Sekolah Luar Biasa : - Orang
Jumlah : 63 Orang6
B. Asal-Usul Kampung Cipatat Kolot
Konon kabarnya di kampung Cipatat ada sebuah bukit dan gunung-
gunung yang mengelilingi sebuah kampung dimana tempat tersebut oleh
pemerintahan Belanda dijadikan Perkebunan Teh dan Pabrik pengolahan Teh
dengan para pegawainya adalah warga setempat dan pendatang yang oleh
5 Profil Desa Kiarapandak, Kecamatan Suka Jaya Kabupaten Bogor Tahun 2017, h. 1
6Profil Desa Kiarapandak, Kecamatan Suka Jaya Kabupaten Bogor Tahun 2017, h. 4.
27
Pemerintah Belanda dipaksa untuk bekerja diperkebunan tersebut dengan upah
yang tidak seberapa dengan upah yang tidak memadai untuk mencukupi
kehidupan sehari-hari.7
Warga tetap semangat mengerjakan pekerjaan tersebut karna tidak ada
lagi mata pencaharian yang bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari, bahkan
bercocok tanampun tidak boleh karena semua lahan yang ada dikuasai oleh
Pemerintah Belanda. Pusat Pemerintahan Belanda kebetulan berada di
kampung Cipatat, dimana kampung Cipatat tersebut diambil dari nama
tumbuhan yang bernama Patat yang umbinya bisa dimakan dan dijadikan obat
panas dalam dan daunnya bisa dimanfaatkan untuk membungkus makanan
yang bernama bacang makanan favorit masyarakat pada masa itu dan sampai
sekarang makanan tersebut masih ada dan setelah kemerdekaan warga
setempat kembali hidup bebas dan sesuai dengan perintah Bupati Bogor Ipik
Gandamanah menginstruksikan untuk membentuk Pemerintahan Desa maka
warga masyarakat bermusyawarah dalam satu tempat ketua adat yang terletak
di kampung Urug yang ketua adatnya pada masa itu bernama Abah Sapri
untuk merundingkan tokoh –tokoh Masyarakat yang bisa dijadikan sebagai
pemimpin di Desa tersebut dan supaya bisa dikenal oleh warga masyarakat.8
Asal-muasal Kasepuhan Adat yang ada di Kecamatan Sukajaya
Kabupaten Bogor. Cerita ini dimulai dari perjalanan Buyut atau nenek
moyang Cipatat yang menempati beberapa wilayah di Bogor bagian barat dan
kemudian meninggalkan ciri untuk daerah yang pernah disinggahinya hal ini
7Hasil wawancara dengan Bapak Budi (Kepala Desa Kiara Pandak), Bogor, 29 Maret
2019. 8 Hasil wawancara dengan Bapak Budi (Kepala Desa Kiara Pandak), Bogor, 29 Maret
2019.
28
dimungkinkan agar dikenali oleh beberapa keturunanya dikemudian hari.
Daerah tersebut diantaranya:
Panjaungan: di daerah ini ciri yang ditinggalkan adalah Pande Besi
atau membuat peralatan dari besi seperti perabotan dan alat pertanian.
Ciasahan: di daerah ini ciri yang ditinggalkan adalah membuat batu asahan
untuk menunjang perajin pande besi dari daerah Panjaungan.
Parung Sapi: di daerah ini ciri yang ditinggalkan adalah keilmuan
dalam bidang agama Islam, oleh karena itu di daerah ini banyak kita jumpai
pesantren. Sajira, daerah ini ciri yang ditinggalkan adalah ilmu kejawaraan,
oleh karena itu kebanyakan watak dari masyarakat ini berwatak keras. Seni
Banten: di daerah ini ciri yang ditinggalkan adalah di bidang kesenian.
Setelah meninggalkan ciri di daerah-daerah yang pernah disinggahi
akhirnya Buyut Cipatat kembali ketempat asal di daerah Cipatat Kolot sampai
akhir hayatnya, kemudian dikuburkan di sebuah bukit yang ada di Cipatat
Kolot dekat dengan lembah manapa. Sampai sekarang makamnya banyak
diziarahi oleh masyarakat dan keturunannya serta menjadi acara rutin tiap
tahunnya yaitu acara Ziarah salembur atau Ziarah satu kampung ke Makam
Buyut Cipatat.9
C. Kondisi Agama dan Kepercayaan Masyarakat
Secara keseluruhan masyarakat Cipatat Kolot memeluk Agama Islam.
Hal itu dibahas dalam Profil Desa Kiarapadak. Dari hasil penelitian, penulis
mendapati bahwa mereka juga mengharmoniskan kehidupan beragama dan
kepercayaan dalam bingkai pengajaran Islam. Mereka merayakan Maulid Nabi
9Hasil Wawancara Pribadi dengan Abah Acim (Ketua Adat Desa Cipatat Kolot) Bogor,
29 Maret 2019.
29
Muhammad (Muludan) dan sedekah di bulan Sya'ban (Sedekah Roahan)
sebagai bentuk amalan seorang Muslim.10
Sedangkan dalam hal ritual kepercayaan adatnya, mereka masih
melaksanakan ritual Serentaun, Sedekah Bumi, Seren Pataunan masyarkat
yang dilakukan dengan mengirim do'a untuk Nabi Muhammad karena telah
berjasa membawa agama Islam. Acara itu dipimpin ketua adat dan warga
khusus tentang tokoh agama pada bulan Maulid berdasarkan penanggalan
hijriah. Turut dihidangkan juga makanan-makanan khas daerah dan olahan
lauk-pauk yang kemudian dibagikan kepada warga didoakan.
Sementara Sedekah Roahan bagi masyarakat Cipatat Kolot merupakan
wujud bakti bagi Nabi Adam AS. Sebagai induk umat manusia. Ritual
dilaksanakan setiap tanggal 12 bulan Rowah (Sya'ban).11
Pelaksanaanya, pada
pagi hari masyarakat membawa ayam satu ekor per-keluarga untuk disembelih
di halaman rumah ketua adat. Kemudian diambil masing-masing untuk
dimasak. Setelah matang, mereka beramai-ramai diluncurkan kembal ke
rumah ketua adat untuk dido'akan. Hal itu dilakukan pada waktu Dzhuhur
waktu lokal.12
Dalam hal Serentaun, Seren Pataunan, dan Sedekah Bumi
menjadi ritual adat di Cipatat Kolot dan Kampung Urug yang letaknyanya
tidak jauh dari Kampung Cipatat Kolot Tradisi ini pun menutur Kampung
Cipatat Kolot mengandung nuansa Islam. Seperti melaksanakan Serentaun
sebagai wujud syukur kepada Tuhan yang Maha menguasai memerintahkan
dan menjadi hakikat semua yang ada di Bumi termasuk tanaman padi yang
bermanfaat bagi manusia.
10
Hasil Wawancara dengan ketua adat abah acim, Bogor, 29 Maret 2019. 11
Hasil Wawancara dengan ketua adat abah acim, Bogor, 29 Maret 2019. 12
Hasil Wawancara dengan ketua adat abah acim, Bogor, 29 Maret 2019.
30
Traidisi yang dilakukan oleh masyarakat Kampung Cipatat Kolot dan
Ritual Prihal Seren Pataunan, hampir sama dengan Seren Taun, ada ritual
berdo'a yang dipimpin oleh ketua adat, ziarah ke makam leluhur nenek
moyang ketua adat yang diwajibkan setiap warganya untuk ikut berziarah
kemakam kearamat tersebut dan ziarah untuk keluarga masing-masing warga.
Kemudian diakhiri prosesi makan bersama hasil panen kesenian tradisional
Sunda. Letak perbedaanya pada sifat refleksi ritualnya. Serentaun adalah
refleksi syukur atas panen padi, sedangkan Seren Pataunan lebih pada refleksi
perjalanan hidup selama transisi. Selanjutnya, ritual Sedekah Bumi yang
dilaksanakan setelah bular syawal. Ritual ini dilakukan sebelum menanam
padi dengan harapan terbeba dari hama dan implementasi-negosiasi gagal
panen lainnya. Sementara bentuknya adalah berdo'a dan makan bersama di
halaman rumah ketua adat.13
Tradisi atau Kebiasaan Masyarakat Selain mengharmoniskan
kepercayaan lokal dengan ritual-ritualnya, masyarakat Cipatat Kolot juga
memiliki identitas sosial budaya masayarakat Sunda. Seperti masih
dipentaskannya kesenian tradisional Nar Lisung Dongdang, Jaipongan, dan
Wayang Golek.
D. Pengertian Ziarah
Ziarah kubur merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk
mengenang jasa orang yang sudah meninggal dengan cara mendoakan
orang yang sudah meninggal tersebut agar diampuni dosanya. Sedangkan
berziarah ke kuburan keramat selain mendoakan orang yang sudah
13
Hasil Wawancara dengan ketua adat abah acim, Bogor, 29 Maret 2019.
31
meninggal juga memohon kepada roh orang yang sudah meninggal agar
mereka yang berada di dunia diberi keselamatan dan dilindungi oleh Allah.
Dalam tradisi Islam, ziarah kubur merupakan bagian dari ritual keagamaan.
Seluruh umat Islam di seluruh penjuru dunia telah melakukannya.14
Kata ziarah, yakni kata serapan dari Bahasa Arab yaitu ziyarotun.
Dalam Bahasa Inggris disebut Pilgrimage yang berarti berkunjung atau
kunjungan, baik kepada yang masih hidup maupun yang sudah meninggal.15
Ziarah tidak hanya mengunjungi makam-makam keramat, bahkan lebih dari
itu, makna ziarah sendiri yakni mengunjungi saudara, kerabat atau teman yang
masih hidup. Namun, masyarakat kita khususnya memahami makna ziarah
dengan aktivitas mengunjungi suatu tempat yang dikeramatkan atau
disakralkan.
Ziarah juga tidak sama dengan nyekar (Budaya Jawa) di makam
para leluhur. Apalagi jika kata ziarah itu disandingkan dengan kata “wali”,
yang menyebabkan kata ziarah memiliki makna dan tujuan yang lain. Bagi
orang-orang awam, makna dan tujuan ziarah “wali”, mungkin hanya
sekedar mencari berkah dari para wali, tergantung niat para peziarah
tersebut.
Sedangkan pengertian ziarah secara umum adalah melakukan
perjalanan mengunjungi tempat-tempat dengan maksud beribadah yang
diyakini sebagai tempat keramat karena pernah terjadi sesuatu yang
14
http://www.almukmingruki.com.index.php?option=com:ziarah-kubur-antara-sunnah-dan-
bidah diakses pada tanggal 20 Oktober 2019 15
Purwadi, Jejak Para Wali dan Ziarah Spiritual (Jakarta: Kompas), 2006, h. 3.
32
dianggap memiliki keistimewaan dan berkaitan dengan kejadian historis
atau berdiamnya nenek moyang yang pernah hadir di tempat tersebut.16
16
Henderina Naralyawan, Ziarah ke Yerussalem: Tinjauan Terhadap Pemaknaan
Yerussalem Sebagai Tanah Suci di Kalangan Umat Kharismatik, (Skripsi S1, Sekolah Tinggi
Teologi Jakarta), 2009, h. 41.
33
BAB III
FENOMENA ZIARAH SALEMBUR
DALAM MASYARAKAT ADAT CIPATAT KOLOT
A. Nilai-Nilai Keagamaan dan Tradisi
Agama dan budaya merupakan dua unsur penting dalam masyarakat
yang saling mempengaruhi. Ketika ajaran agama masuk dalam sebuah
komunitas yang berbudaya, akan terjadi tarik menarik antara kepentingan
agama di satu sisi dengan kepentingan budaya di sisi lain. Demikian juga
halnya dengan agama Islam yang diturunkan di tengah-tengah masyarakat
Arab yang memiliki adat-istiadat dan tradisi secara turun-temurun. Mau tidak
mau dakwah Islam yang dilakukan Rasulullah harus selalu
mempertimbangkan segi-segi budaya masyarakat Arab waktu itu. Bahkan,
sebagian ayat al-Qur‟an turun melalui tahapan penyesuaian budaya setempat.1
Masyarakat Indonesia sangat kaya dengan masalah budaya dan tradisi
setempat. Budaya maupun tradisi lokal pada masyarakat Indonesia tidak hanya
memberikan warna dalam percaturan kenegaraan, tetapi juga berpengaruh
dalam keyakinan dan praktek- praktek keagamaan masyarakat. Islam, sebagai
sebuah agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia, memiliki
hubungan erat dengan kebudayaan atau tradisi-tradisi lokal yang ada di
nusantara. Hubungan antara Islam dengan isu-isu lokal adalah kegairahan
yang tak pernah usai. Hubungan intim antara keduanya dipicu oleh kegairahan
pengikut Islam yang mengimani agamanya: shalihun li kulli zaman wa makan
selalu baik untuk setiap waktu dan tempat. Maka Islam akan senatiasa
1 Buhori, Islam dan Tradisi Lokal di Nusantara, Jurnal al-Maslahah, Volume 13 Nomor
2, Oktober 2017, h. 230.
34
dihadirkan dan diajak bersentuhan dengan keanekaragaman konteks budaya
setempat. Dalam ungkapan lain dapat dikatakan bahwa Islam tidak datang ke
sebuah tempat, dan di suatu masa yang hampa budaya. Dalam ranah ini,
hubungan antara Islam dengan anasir-anasir lokal mengikuti model
keberlangsungan (al-namudzat al-tawashuli), ibarat manusia yang turun-
temurun lintas generasi, demikian juga gambaran pertautan yang terjadi antara
Islam dengan muatan-muatan lokal di nusantara.2
Secara epistimologi kata budaya berasal dari kata budi dan daya. Budi
berarti akal, kecerdikan, kepintaran dan kebijaksanaan, sedangkan
Dayamemiliki arti ikhtiar, usaha atau muslihat. Dedi Supriyadi mengartikan
bahwa budaya (culture) dapat dipahami sebagai pembangunan yang
didasarkan atas kekuatan manusia, baik pembangunan jiwa, pikiran dan
semangat melalui latihan dan pengalaman, bukti nyata pembangunan
intelektual seperti seni dan pengetahuan. Dengan demikian secara singkat dan
sederhana, sebagaimana dipahami secara umum, kebudayaan merupakan
semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat.3
Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan
(material culture) yang diperlukan manusia untuk menguasai alam sekitarnya.
Rasa yang meliputi jiwa manusia, mewujudkan segala kaedah dan nilai-nilai
sosial yang perlu untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan dalam arti
luas. Sedangkan cipta merupakan kemampuan mental, kemampuan berpikir
2 Buhori, Islam dan Tradisi Lokal di Nusantara, Jurnal al-Maslahah, Volume 13 Nomor
2, Oktober 2017, h. 230. 3 Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 16.
35
orang-orang yang hidup bermasyarakat, antara lain menghasilkan filsafat serta
ilmu pengetahuan.4
Salah satu bagian dari budaya adalah tradisi. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia tradisi diartikan sebagai adat kebiasaan turun-temurun (dari
nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat, atau juga penilaian
atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan yang paling baik
dan benar.5 Terminologi tradisi, yang berasal dari kata bahasa Inggris
tradition, sering juga disamakan dengan lafadz bahasa Arab „adah. Term
ini dipergunakan untuk menunjuk desain atau pola perilakudan kegiatan
tertentu menurut standar baku dalam bidangnya masing-masing yang sering
dilakukan oleh masyarakat.
Kebudayaan secara substansial merupakan hal yang esensial dalam
kehidupan suatu masyarakat. Setiap masyarakat betapapun sederhananya
tetap memiliki kebudayaan sebagai hasil karya, cipta dan rasa mereka.
Kebudayaan mengandung nilai, norma, dan pandangan hidup suatu
bangsa.
Kebudayaan adalah sesuatu kompleks yang mencakup
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan lain
kemampuan kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang diperoleh atau
dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat.6
Kebudayaan itu merupakan blue-print yang telah menjadi kompas
dalam perjalanan hidup manusia, ia menjadi pedoman dalam tingkah
4 Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 16.
5 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat
Bahasa, 2008), 15-43 6E.B. Tylor (ed.), dalam J.Van Baal, Symbols For Communication: An Introduction to
The Antropological Study of Religion, (USA: Van Garcum & Company, 1971), h. 90.
36
laku. Pandangan semacam ini mengharuskan untuk merunut
keberlanjutan kebudayaan itu pada ekspresi simbolik individu dan
kelompok, khususnya dalam meneliti proses pewarisan nilai itu terjadi
karena kebudayaan merupakan pola dari pengertian dan makna yang
terjalin secara menyeluruh dalam simbol-simbol dan ditransmisikan
secara historis. Kenyataan ini yang juga turut memberikan kontribusi
kepada masyarakat Indonesia yang menjadikan bhinneka sebagai falsafah
hidup bersama di negara ini.7
Kebudayaan juga bisa bermakna kearifan lokal. Setiap masyarakat
mempunyai sistem sosial dan sistem budayanya sendiri yang membedakan
dengan masyarakat lainnya. Begitu juga dengan masyarakat Cipatat Kolot.
Mereka memiliki sejumlah tradisi atau kebiasaan yang masih dilaksanakan
dalam kehidupan sehari-hari dan juga diwariskan kepada generasi
selanjutnya. Tradisi tersebut dipandang oleh masyarakat masih fungsional
dan sesuai dengan tuntutan lingkungan tempat tinggal masyarakat. Salah
satu kearifan lokal dalam bentuk tradisi yang masih dipertahankan dan
tetap berlangsung sampai saat sekarang ini dalam masyarakat Kampung
Cipatat Kolot adalah "tradisi Ziarah Salembur". Tradisi yang sudah
diwariskan secara turun temurun ini tetap mampu bertahan, meskipun
masyarakat sudah diterpa oleh berbagai kemajuan dan perkembangan
zaman. Artinya, perubahan zaman dan era globalisasi tidak sampai
merusak tradisi yang ada, meskipun terdapat berbagai perubahan.
7Haryati Subadio, “Kepribadian Budaya Bangsa,“ dalam Ayat Rohadi (ed.),
Kepribadian Budaya Bangsa [Local Genius] (Jakarta: Pustaka Jaya,1986), h. 18-19.
37
Kebhinnekaan masyarakat secara otomatis memiliki bhinneka dalam
budaya. Setiap masyarakat daerah memiliki kebudayaan tersendiri yang
sesuai dengan nilai pandang masyarakat yang mencerminkan pandangan hidup
masyarakat tersebut. Kebudayaan suatu daerah seringkali menjelma dalam
bentuk nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi budaya lokal.
Kearifan lokal (local genius) yang dapat diartikan secara
keseluruhan meliputi dan mungkin malahan dapat dianggap sama dengan
apa yang dewasa ini terkenal dengan cultural identity dan yang diartikan
sebagai identitas atau kepribadian budaya suatu bangsa, yang
mengakibatkan, bahwa bangsa bersangkutan menjadi lebih mampu
menyerap dan mengolah pengaruh kebudayaan yang mendatanginya dari
luar wilayah sendiri, sesuai dengan watak dan kebutuhan pribadinya.
Sebagai sesuatu yang diturunkan dari masa lampau, tradisi tidak
hanya berkaitan dengan landasan legitimasi, tetapi juga dengan sistem
otoritas atau kewenangan. Sebagai suatu konsep sejarah, tradisi dapat
dipahami sebagai suatu paradigma kultural untuk melihat dan memberi
makna terhadap kenyataan. Karena proses pembentukan tradisi
sesungguhnya merupakan suatu proses seleksi, maka tradisi dapat pula
dilihat sebagai seperangkat nilai dan sistem pengetahuan yang menentukan
sifat dan corak komunitas kognitif. Tradisilah yang memberikan kesadaran
identitas serta rasa keterkaitan dengan sesuatu yang dianggap lebih awal.8
Kearifan lokal merupakan pengetahuan yang eksplisit yang muncul
dari periode panjang yang berevolusi bersama-sama masyarakat dan
8 Taufik Abdullah & Sharon Siddique (eds.), Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia
Tenggara, (Jakarta: LP3ES, 1988), h. 61.
38
lingkungannya dalam sistem lokal yang sudah dialami bersama-sama.9
Proses evolusi yang begitu panjang dan melekat dalam masyarakat dapat
menjadikan kearifan lokal sebagai sumber energi potensial dari sistem
pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup bersama secara dinamis dan
damai. Pengertian ini melihat kearifan lokal tidak sekadar sebagai acuan
tingkah-laku seseorang, tetapi lebih jauh, yaitu mampu mendinamisasi
kehidupan masyarakat yang penuh keadaban. Secara substansial, kearifan
lokal itu adalah nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat. Nilai-
nilai yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertingkah-
laku sehari-hari masyarakat setempat. Oleh karena itu, sangat beralasan
jika Geertz10
mengatakan bahwa kearifan lokal merupakan entitas yang
sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya. Hal
itu berarti kearifan lokal yang di dalamnya berisi unsur kecerdasan
kreativitas dan pengetahuan lokal dari para elit dan masyarakatnya adalah
yang menentukan dalam pembangunan peradaban masyarakatnya.
Lebih lanjut, Geertz menyebutkan bahwa agama sebagai sistem
kebudayaan merupakan pola bagi tingkah laku yang terdiri dari serangkaian
aturan, rencana, dan petunjuk yang digunakan manusia dalam mengatur setiap
tindakannya.
Demikian juga kebudayaan dapat dimengerti sebagai pengorganisasian
pemahaman yang tersimpul dalam simbol-simbol yang berhubungan dengan
ekspresi tingkah laku manusia. Karena itu, agama tidak hanya bisa dimengerti
9 E. Tiezzi, N. Marchettini, & M. Rossini, "Extending the Environmental Wisdom beyond
the Local Scenario: Ecodynamic Analysis and the Learning Community".
http://library.witpress.com/pages/paperinfo.asp. diunduh tanggal 18 November 2019. 10
Clifford Geertz, Local Knowledge; Further Essays in Interpretive Anthropology (New
York: Basic Book, Inc., Publisher, 1983).
39
sebagai seperangkat nilai di luar manusia, tetapi juga merupakan sistem
pengetahuan dan sistem simbol yang dapat melahirkan pemaknaan.11
Sebagai sistem pengetahuan, agama merupakan sistem keyakinan yang
memuat nilai-nilai ajaran moral dan petunjuk kehidupan yang harus ditelaah,
dipahami, dan kemudian dipraktekkan oleh manusia dalam kehidupannya.
Nilai-nilai agama dapat membentuk dan mengkonstrukkan perilaku manusia
dalam kesehariannya. Sementara itu, agama sebagai sistem simbol dapat
dipahami bahwa dalam agama terdapat simbol-simbol yang berguna untuk
mengaktualisasikan ajaran agama yang dipeluknya, baik simbol-simbol
dimaksud berupa perbuatan, kata-kata, benda, sastra dan sebagainya.12
B. Tradisi Ziarah Salembur Sebagai Suatu Bentuk Solidaritas Sosial
1. Bentuk Solidaritas pada Ziarah Salembur
Konsep solidaritas sosial menurut E. Durkheim sebenarnya merupakan
sebuah proses sosial yang tercipta karena persamaan nilai, persamaan
tantangan dan kesempatan yang setara didasari oleh harapan dan
kepercayaan. Pengertian atau definisi ini memnag didasari oleh
kemampuan individu atau kelompok untuk bekerjasama dalam suatu
entitas yang akan menghasilkan solidaritas sosial.
Solidaritas menekankan pada keadaan hubungan antar individu dan
kelompok dan mendasari keterikatan bersama dalam kehidupan dengan
didukung nilai-nilai moral dan kepercayaan yang hidup dalam masyarakat
tersebut. Wujud nyata dari hubungan bersama mereka itu akan melahirkan
pengalaman emosional, sehingga memperkuat hubungan antar mereka.
11
Nur Syam, Mazhab-mazhab Antropologi, (Yogyakarta: LKiS, 2007), h. 13. 12
Paisun, “Dinamika Islam Kultural: Dialektika Islam dan Budaya Madura”, h. 161.
40
Salah satu sumber solidaritas adalah gotong royong, istilah gotong royong
mengacu pada kegiatan saling menolong atau saling membantu dalam
masyarakat.
Tradisi kerjasama tersebut tercermin dalam berbagai kegiatan
masyarakat seperti membangun rumah, memperbaiki sarana umum,
mengadakan perhelatan atau hajatan desa, dalam bencana alam, kematian
dan lainnya. Koentjaraningrat membagi gotong royong menjadi 4 macam
terdiri dari gotong royong dalam produksi pertanian, gotong royong formal
antar tetangga, gotong royong dalam perayaan pesta, gotong royong dalam
bencana dan kematian. 13
Pada pembahasan kali ini adalah dispesifikasikan pada makna
solidaritas sosial masyarakat Desa Cipatat Kolot dalam bentuk Ziarah
Salembur yang selalu dilakukan setiap tahun untuk mengenang nenek
moyang di desa tersebut. Berikut bentuk-bentuk solidaritas sosial dalam
tradisi Ziarah Salembur di Desa Cipatat:
a) Musyawarah
Sebelum acara ziarah salembur di laksanakan ketua adat yakni abah
acim akan mengumpulkan beberapa orang untuk membicarakan
persiapan upacara ziarah ke makam nenek moyang, menentukan di
laksanakannya ziarah tersebut. Setelah berkumpulkan dan sudah
menentukan tanggal, barulah ketua adat memberikan informasi kepada
masyarakat Cipatat Kolot tentang pelaksanaan upacara ziarah.14
13
Luluk Dwi Kumalasari, “MAKNA SOLIDARITAS SOSIAL DALAM TRADISI
„SEDEKAH DESA‟ (Studi pada Masyarakat Desa Ngogri Megaluh Jombang)”, Senaspro2 UMM,
2017, h. 115 14
Hasil Wawancara dengan Ketua Adat Abah Acim, Bogor, 29 Maret 2019.
41
b) Terlibat dalam perayaan Tradisi Ziarah Salembur
Masyarakat Cipatat Kolot dalam perayaan Tradisi Ziarah Salembur ini
sangatlah wajib untuk mengikuti ziarah tersebut. Ketua adat (Abah
Acim) mewajibkan masyarakatnya untuk ziarah karena menurutnya
dalam tradisi ini masyarakat patut memberikan penyembahan kepada
nenek moyangnya agar kampung Cipatat Kolot di jauhkan dari
malapetaka.
c) Gotong royong membuat makanan
Masyarakat Cipatat Kolot antusias dalam pelaksanaan Ziarah
Salembur, dalam semua kegiatan yang merupakan rangkain acara
Ziarah Salembur, ketua adat mewajibkan kepada masyarakat Cipatat
Kolot untuk senantiasa membawa makanan dari rumahnya masing-
masing, ada yang bawa rokok, nasi kuning, nasi putih, segala macam
yang bisa di makan. Makaan ini nantikan akan dimakan bersama-sama
di makam nenek moyang setelah prosesi upacara ziarah sudah
selesai.15
d) Doa bersama
Dalam prosesi Ziarah Salembur ini yang di pimpin oleh abah acim
selaku ketua adat, doa merupakan hal yang begitu khusyu kepada
nenek moyang. Pengharapan kepada nenek moyang mereka dalam
kehidupan sehari-hari agar diberikan keselamatan. Kemudian bahasa
15
Hasil wawancara pribadi dengan Ustadz Rosyid, 07 Oktober 2019.
42
sunda merupakan bahasa dalam doa bersama ini yang di panjatkan
kepada para leluhur mereka.16
2. Makna Solidaritas dalam Tradisi Ziarah Salembur
Menurut Blumer ketika berbicara tentang makna maka ada konsep
yang harus dipahami bahwa tidak ada yang inheren dalam suatu obyek
sehingga ia menyediakan makna bagi manusia. Makna tersebut berasal
dari interaksi dengan orang lain, bahwa makna dari sesuatu berasal dari
cara-cara orang bertindak terhadapnya dalam kaitannya dengan sesuatu itu.
Tindakan-tindakan yang mereka lakukan akan memberikan batasan
sesuatu bagi orang lain, bahwa aktor memilih, memeriksa, berpikir,
mengelompokkan dan menstransformir makna dalam hubungannya
dengan situasi di mana dia ditempatkan dan arah tindakannya.
Sebenarnya interpretasi seharusnya tidak dianggap hanya sebagai
penerapan makna-makna yang telah ditetapkan, tetapi sebagai sesuatu
proses pembentukan dimana makna yang dipakai dan disempurnakan
sebagai instrumen bagi pengarahan dan pembentukan tindakan.17
Ketika berbicara tentang makna solidaritas sosial dalam tradisi ziarah
Salembur maka konsep yang dipahami adalah bagaimana solidaritas yang
ada pada saat pelaksanaan tradisi ziarah Salembur itu dilakukan dan
makna ikut turut mengiringi tradisi itu dan melekat dalam tradisi itu.
Pertanyaan yang bisa muncul adalah mengapa orang masih melakukan
suatu tradisi dari dulu hingga saat ini, apa sebenarnya hal-hal yang
menyebabkan atau hal-hal yang menjadi alasan, dan itu ada dalam tradisi
16
Hasil Wawancara Dengan Ketua Adat Abah Acim, Bogor, 29 Maret 2019. 17
Luluk Dwi Kumalasari, “MAKNA SOLIDARITAS SOSIAL DALAM TRADISI
„SEDEKAH DESA‟, h. 1120.
43
itu. Saat ini orang-orang di kampung Cipatat Kolot tetap menjalankan
tradisi ziarah tiap tahunnya harus diadakan, karena dengan dilaksanakan
ziarah salembur ini mengingatkan kepada para leluhur dan nenek moyang
yang sudah tiada dan masyarakat bisa bertemu dan muncul rasa
kebersamaa dalam tradisi ziarah salembur. Makna-makna yang muncul
atau ada dalam tradisi sedekah desa antara lain dijelaskan melalui
penjabaran berikut ini.
a) Kebersamaan
Ziarah salembur ini di laksanakan setiap tahun sekali oleh masyarakat
Cipatat Kolot. Dalam pelaksanaanya semua terlibat pada saat
berkumpul dirumah adat, terlebih pada saat berbondong-bondong
kemakam nenek moyang m