Post on 09-Feb-2021
DOMINASI MASKULIN DALAM NOVEL DUA IBU
KARYA ARSWENDO ATMOWILOTO:
PERSPEKTIF PIERRE BOURDIEU
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
Brigitta Winasis Widodo
NIM: 154114015
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2019
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
i
DOMINASI MASKULIN DALAM NOVEL DUA IBU
KARYA ARSWENDO ATMOWILOTO:
PERSPEKTIF PIERRE BOURDIEU
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
Brigitta Winasis Widodo
NIM: 154114015
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2019
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak
memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam
kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 10 Juni 2019
Penulis
Brigitta Winasis Widodo
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
v
Pernyataan Persetujuan Publikasi Karya Ilmiah
untuk Kepentingan Akademis
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
nama : Brigitta Winasis Widodo
NIM : 154114015
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul “Dominasi
Maskulin dalam Novel Dua Ibu Karya Arswendo Atmowiloto: Perspektif
Pierre Bourdieu”.
Dengan demikian, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata
Dharma hak menyimpan, mengalihkan dalam bentuk lain, mengelolanya dalam
bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan
mempublikasikannya di internet atau media yang lain untuk kepentingan
akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada
saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal 10 Juni 2019
Yang menyatakan,
Brigitta Winasis Widodo
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang telah memberkati seluruh
proses penelitian berjudul “Dominasi Maskulin dalam Novel Dua Ibu Karya
Arswendo Atmowiloto: Perspektif Pierre Bourdieu” ini. Secara pribadi, proses
yang panjang ini telah menjadi pembelajaran dan pendewasaan bagi penulis.
Penulis menyadari banyak pihak yang telah membantu dan mendukung
penulis dalam menyelesaikan skripsi. Maka dari itu, penulis hendak mengucapkan
terima kasih kepada pihak-pihak tersebut atas bantuan, dukungan, doa, arahan,
dan motivasinya.
Pertama, penulis mengucapkan terima kasih kepada Susilawati Endah Peni
Adji, S.S., M.Hum., serta Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum. selaku dosen
pembimbing yang selalu memberikan arahan dan masukan yang bermanfaat
dalam penulisan skripsi ini secara keseluruhan.
Kedua, penulis mengucapkan terima kasih kepada para dosen Program
Studi Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma; Susilawati Endah Peni Adji,
S.S., M.Hum. selaku Kepala Program Studi Sastra Indonesia, Sony Christian
Sudarsono, S.S., M.A. selaku Wakil Kepala Program Studi Sastra Indonesia, Prof.
Dr. Praptomo Baryadi Isodarus, M.Hum., Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum., Drs.
B. Rahmanto, M.Hum., Maria Magdalena Sinta Wardani, S.S., M.A., Dr. Paulus
Ari Subagyo, M.Hum. (alm), dan Drs. Hery Antono, M.Hum. (alm) yang telah
membimbing dan memberikan ilmunya selama perkuliahan di Program Studi
Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma. Penulis juga mengucapkan terima
kasih kepada karyawan Sekretariat Fakultas Sastra atas pelayanannya dalam hal
administrasi akademik.
Ketiga, penulis mengucapkan terima kasih kepada keluarga penulis; kedua
orang tua Anastasia Kartika Santati serta Marcus Prihminto Widodo yang selalu
memberikan dukungan, doa, dan harapan sebaik-baiknya. Terima kasih juga
kepada Benedictus Wicaksono Widodo. Penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada Caecilia Hartati, mendiang nenek saya, dan Ana Maria Lewier (Budhe
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vii
Nona). Keduanya telah menjadi sumber inspirasi yang terus meyakinkan penulis
untuk mendalami sastra.
Keempat, penulis sangat bersyukur atas sekian tahun perjuangan bersama
kawan-kawan Sastra Indonesia angkatan 2015. Terima kasih atas segala kenangan
menyenangkan kita. Kepada kawan-kawan Sastra Indonesia lintas angkatan,
keluarga HMPS dan Bengkel Sastra, serta berbagai pertemuan istimewa yang
penulis alami selama berkuliah di Universitas Sanata Dharma; penulis
mengucapkan terima kasih.
Kelima, terima kasih kepada keluarga kecil Kronology yang menemani
penulis berjuang dalam dunia perkuliahan dan di dunia nyata. Kepada pihak-pihak
lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu, penulis mengucapkan terima kasih.
Penelitian ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis
sangat terbuka akan kritik dan saran membangun dari pembaca. Semoga
penelitian ini membawa manfaat bagi para pembaca.
Yogyakarta, 10 Juni 2019
Penulis
Brigitta Winasis
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
ABSTRAK
Widodo, Brigitta Winasis. 2019. “Dominasi Maskulin dalam Novel Dua Ibu Karya Arswendo Atmowiloto: Perspektif Pierre Bourdieu”. Skripsi S-1. Program Studi Sastra Indonesia. Fakultas Sastra. Universitas Sanata Dharma.
Penelitian ini mengkaji dominasi maskulin dalam novel Dua Ibu berdasarkan perspektif Pierre Bourdieu. Tujuan penelitian ini adalah (i) mendeskripsikan strukturasi kekuasaan dan (ii) mendeskripsikan bentuk-bentuk dominasi maskulin dalam novel Dua Ibu karya Arswendo Atmowiloto.
Penelitian ini menggunakan paradigma MH. Abrams dengan pendekatan mimetik dan pendekatan diskursif. Penelitian ini menggunakan teori strukturasi kekuasaan dan dominasi maskulin yang dikemukakan Pierre Bourdieu. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah studi pustaka. Metode analisis data yang digunakan adalah metode analisis isi. Hasil analisis data disajikan dengan metode deskriptif kualitatif. Hasil penelitian akan meliputi dua hal; (i) deskripsi struktur kekuasaan yang meliputi modal, kelas, habitus, arena, serta kekuasaan dan kekerasan dan (ii) deskripsi bentuk-bentuk dominasi maskulin yang ditemukan dalam novel Dua Ibu.
Strukturasi kekuasaan yang ditemukan yaitu (i) modal ekonomi adalah modal yang paling kuat dalam penentuan kelas, meskipun setiap tokoh memiliki akumulasi modal yang berbeda; (ii) kelas dominan ditempati oleh tokoh yang memiliki kapital ekonomi paling besar, yakni Oom Bong dan keluarganya. Kelas borjuasi kecil ditempati oleh tokoh Agus dan Pakde Wiro. Kelas populer ditempati oleh tokoh Ibu dan anak-anaknya; (iii) habitus kelas dominan yaitu kemampuan menentukan nasibnya sendiri. Habitus kelas borjuasi kecil yaitu usaha mengimitasi gaya hidup kelas dominan dengan modal kecil. Habitus kelas populer yaitu ketergantungan pada kelas lain dalam mengubah nasib; (iv) arena yang dominan ditemukan adalah arena domestik dan arena sosial masyarakat Solo tahun 1950-an sampai 1960-an; serta (v) wujud kekerasan simbolik yang ditemukan berupa rayuan dan bujukan sehingga dominasi terwujud dari pihak terdominasi itu sendiri. Berdasarkan perumusan strukturasi kekuasaan tersebut ditemukan upaya-upaya melanggengkan dominasi maskulin. Bentuk dominasi maskulin yang ditemukan yaitu (i) pernikahan, yakni dalam bentuk perselingkuhan suami terhadap istri, perkawinan untuk meningkatkan modal simbolik perempuan, dan pengabdian istri; (ii) pendidikan yang mengutamakan anak laki-laki; (iii) pembagian kerja secara seksual; dan (iv) aktualisasi diri perempuan yang menegaskan feminitasnya dan subordinasinya terhadap laki-laki.
Kata kunci: struktur kekuasaan, kekerasan simbolik, dominasi maskulin
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
ABSTRACT
Widodo, Brigitta Winasis. 2019. “Masculine Domination in the Novel Dua Ibu Written by Arswendo Atmowiloto: A Pierre Bourdieu’s Perspective”. Undergraduate Degree. Indonesian Letters Department. Faculty of Letters. Sanata Dharma University.
This research studies the so-called masculine domination in the novel Dua Ibu on the basis of a Pierre Bourdieu’s perspective. This research wants (i) to describe the violence structure and (ii) to describe the masculine domination in the novel Dua Ibu written by Arswendo Atmowiloto.
This research takes the paradigm of MH. Abrams with mimetic and discursive approaches. This research applies the theory of Pierre Bourdieu on violence structure and masculine domination. Data have been collected through bibliographical research which then went through a process of content analysis to provide insights presented in a descriptive-qualitative way which covered (i) the description of violence structure as applied by modal, class, habitus, arena, violence and power, and (ii) the forms of masculine domination found in the novel Dua Ibu.
The violence structures found in the novel include (i) economic capital in dominating the determination of social class, while every character has their own capital accumulation; (ii) the dominant class is represented by the characters with the biggest economic capital, namely Oom Bong and his family members. The small bourgeois class is represented by the characters of Agus and Pakde Wiro. The popular class is depicted in the characters of Ibu and her children; (iii) the habitus of the dominant class is the ability to determine their own destiny. The habitus of the small bourgeois is their effort to imitate the lifestyle of the dominant class through their limited capital available. The habitus of the popular class is the dependency on other classes to determine their own destiny; (iv) the arenas found in this novel mainly include the domestic arena and the social life of Solo society in the eras of 1950s to 1960s, and (v) the symbolic violence is manifested in the forms of seduction and persuasion just to make the domination as if it comes from the dominated parties themselves. The masculine domination found in this novel takes the forms of (i) marriage, particularly in an affair, marriage as symbolic modal, and wife’s subordination to her husband; (ii) education; (iii) work; and (iv) women’s self-actualization.
Keywords: violence structures, symbolic violence, masculine domination
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
x
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ............................................ ii HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ..................................................... iii HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .................................. iv HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI .................... v KATA PENGANTAR .................................................................................. vi ABSTRAK .................................................................................................... viii ABSTRACT .................................................................................................. ix DAFTAR ISI ................................................................................................. x BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1 1.1. Latar Belakang ....................................................................................... 1 1.2. Rumusan Masalah .................................................................................. 4 1.3. Tujuan Penelitian ................................................................................... 4 1.4. Manfaat Hasil Penelitian ........................................................................ 5
1.4.1. Manfaat Teoretis .............................................................................. 5 1.4.2. Manfaat Praktis ................................................................................ 5
1.5. Tinjauan Pustaka .................................................................................... 5 1.6. Pendekatan ............................................................................................. 8 1.7. Landasan Teori ....................................................................................... 10
1.7.1. Struktur Kekuasaan .......................................................................... 10 1.7.1.1. Modal......................................................................................... 10 1.7.1.2. Kelas .......................................................................................... 11 1.7.1.3. Habitus....................................................................................... 12 1.7.1.4. Arena ......................................................................................... 13 1.7.1.5. Kekerasan dan Kekuasaan ......................................................... 13
1.7.2. Dominasi Maskulin .......................................................................... 14 1.8. Metode Penelitian .................................................................................. 16 1.9. Sumber Data ........................................................................................... 17 1.10. Sistematika Penyajian .......................................................................... 18 BAB II STRUKTURASI KEKUASAAN DALAM NOVEL DUA IBU
KARYA ARSWENDO ATMOWILOTO .................................... 19 2.1. Pengantar ................................................................................................ 19 2.2. Modal ..................................................................................................... 20
2.2.1. Modal Ekonomi ............................................................................... 20 2.2.2. Modal Sosial .................................................................................... 25 2.2.3. Modal Budaya .................................................................................. 29 2.2.4. Modal Simbolik ............................................................................... 32
2.3. Kelas ....................................................................................................... 36 2.3.1. Kelas Dominan ................................................................................ 37 2.3.2. Kelas Borjuasi Kecil ........................................................................ 39 2.3.3. Kelas Populer ................................................................................. 41
2.4. Habitus ................................................................................................... 42
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xi
2.4.1. Habitus Kelas Dominan ................................................................... 42 2.4.2. Habitus Kelas Borjuasi Kecil ........................................................... 44 2.4.3. Habitus Kelas Populer ..................................................................... 46
2.5. Arena ...................................................................................................... 48 2.6. Kekerasan dan Kekuasaan...................................................................... 50 2.7. Rangkuman ............................................................................................ 52 BAB III DOMINASI MASKULIN DALAM NOVEL DUA IBU KARYA
ARSWENDO ATMOWILOTO ................................................... 54 3.1. Pengantar ................................................................................................ 54 3.2. Diskursus Mengenai Perempuan dalam Keluarga Jawa ........................ 55 3.3. Pernikahan .............................................................................................. 57
3.3.1. Perselingkuhan Suami Terhadap Istri .............................................. 58 3.3.2. Pernikahan untuk Meningkatkan Modal Simbolik Perempuan ....... 61 3.3.3. Pengabdian Istri ............................................................................... 64
3.4. Pengutamaan Pendidikan Anak Laki-Laki ............................................ 66 3.5. Pembagian Kerja Secara Seksual ........................................................... 68 3.6. Aktualisasi Diri Perempuan ................................................................... 70 3.7. Rangkuman ............................................................................................ 73 BAB IV PENUTUP ..................................................................................... 75 4.1. Kesimpulan ............................................................................................ 75 4.2. Saran ....................................................................................................... 76 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 78 LAMPIRAN ................................................................................................. 81
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sebagai bagian dari masyarakat, sastrawan turut mengalami berbagai
permasalahan dalam kehidupan sosial. Berbagai macam konflik yang kita temui
dalam karya yang mereka tulis merupakan cerminan dari realitas yang ada. Lebih
jauh lagi, karya sastra dapat menjadi sebuah dokumen yang empiris dan rujukan
untuk mempelajari gejala sosial dalam masyarakat.
Novel adalah salah satu bentuk karya sastra berjenis prosa. Karena
bentuknya yang tak sepadat puisi dan tak seringkas cerpen, novel mampu
menjabarkan secara mendetail konflik yang menjadi alur utama cerita. Apalagi
ketika menyangkut persoalan mendasar seperti hakikat hidup manusia, novel
dapat memuat pemikiran penulis secara menyeluruh.
Salah satu novel yang menarik untuk diteliti adalah Dua Ibu (1981) karya
Arswendo Atmowiloto (selanjutnya disingkat DI). Novel ini menggunakan latar
kebudayaan Jawa di Solo sekitar tahun 1950 sampai 1960-an. Novel ini
mengisahkan kehidupan keluarga dengan delapan orang anak. Uniknya, hanya
seorang anak yang merupakan anak kandung dari ibu dalam keluarga itu.
Anak-anak yang lain adalah titipan dari sanak saudara dan kenalan. Sang ayah
meninggal dalam usia muda karena sakit. Dalam kemiskinan Ibu membesarkan
delapan orang anak sendirian. Anak-anak tersebut tumbuh menjadi tangguh.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
Dalam kehidupan mereka kemudian, hanya sosok Ibu yang sungguh-sungguh
mereka hormati.
Perempuan, apalagi sosok Ibu, adalah tokoh sentral dalam sebuah keluarga.
Seorang perempuan mengatur bagaimana kehidupan sehari-hari sebuah keluarga.
Terkadang dalam perannya itu, para perempuan dituntut memenuhi berbagai
kewajiban. Seorang perempuan tidak hanya hidup untuk dirinya sendiri,
melainkan juga untuk keluarga, pekerjaan, masyarakat, serta berbagai aturan yang
tanpa sadar harus dipatuhi.
Salah satu hal yang menarik dari novel-novel Arswendo adalah
kelugasannya dalam bercerita. Ia menghadirkan latar budaya yang utuh dan rinci.
Karya-karya Arswendo, dalam hal ini DI, mengangkat hal-hal yang dekat dengan
realitas sosial. Ada suatu kenyataan budaya yang tercermin dalam konflik yang
dialami para tokoh. Kenyataan itu sering tidak disadari, bahkan cenderung diamini
oleh masyarakat. Terlebih jika kekerasan simbolik terjadi. Kekerasan simbolik
dapat terwujud dalam bentuk dominasi maskulin. Mitos-mitos mengenai
perempuan dan tugasnya dalam masyarakat diyakini sebagai sebuah kewajiban
yang harus dipenuhi. Kewajiban tersebut seringkali merugikan perempuan karena
diposisikan sebagai pihak yang didominasi. Maka dari itu, perspektif Pierre
Bourdieu mengenai strukturasi kekuasaan dan dominasi maskulin akan digunakan
untuk mengkaji novel ini.
Arswendo Atmowiloto lahir di Solo, Jawa Tengah pada 26 November 1948.
Arswendo awalnya dikenal dalam kariernya di bidang jurnalistik. Ia pernah
menjadi wartawan Kompas, pemimpin redaksi majalah Hai, Monitor, dan Senang.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
Selanjutnya ia banyak menulis karya sastra, antara lain Sleko (1971), Dua Ibu
(1981), Serangan Fajar (1982), Senopati Pamungkas (1986-2003), Canting
(1986), Menghitung Hari (1993), Sudesi: Sukses dengan Satu Istri (1994),
Keluarga Cemara (2001), Kau Memanggilku Malaikat (2007), dan masih banyak
lagi. Selain aktivitas menulis, saat ini Arswendo juga menekuni rumah produksi
miliknya.
Beberapa hal yang menjadi alasan ketertarikan peneliti terhadap topik ini
adalah (1) novel DI tidak mendapat perhatian sebanyak karya Arswendo yang lain
(seperti Canting yang dianggap sebagai puncak kesuksesannya) sehingga ranah
kajiannya masih sangat luas; (2) DI ditulis pada awal karier kepenulisan
Arswendo; (3) DI belum pernah dikaji menggunakan teori pascastruktural,
terutama dominasi maskulin; serta (4) alasan pribadi lain, seperti gaya penulisan
DI yang berbeda dengan novel Arswendo lainnya.
Alasan pemilihan teori strukturasi kekuasaan perspektif Bourdieu antara
lain yaitu (1) gagasan kekerasan simbolik yang diungkapkan Bourdieu termasuk
cukup baru dan seangkatan dengan teori-teori Pascastruktural lainnya sehingga
akan membuat perbedaan yang signifikan dalam khazanah pengkajian novel DI;
(2) Bourdieu secara khusus meneliti dan membahas dominasi maskulin sebagai
suatu sub-teori, sehingga gagasannya tentang dominasi maskulin cukup faktual
dan rinci; dan (3) Bourdieu pernah mengkaji bentuk dominasi maskulin yang
terdapat dalam teks, yaitu dalam novel karya Virginia Woolf.
Novel DI ditulis dengan gaya yang lugas dan mengalir. Budaya disajikan
dengan utuh sebagai unsur yang membentuk cerita, bukan sekadar latar.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
Tokoh-tokoh perempuan dalam novel tersebut sehari-hari hidup dalam budaya
Jawa, terutama Jawa Solo. Bentuk-bentuk kekerasan simbolik terhadap
tokoh-tokoh perempuan menurut perspektif Pierre Bourdieu dalam novel DI
belum pernah diteliti, sehingga menambah ketertarikan penulis untuk mengkaji
lebih lanjut karya sastra ini.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut.
1.2.1. Bagaimana strukturasi kekuasaan dalam novel DI karya Arswendo
Atmowiloto?
1.2.2. Bagaimana bentuk dominasi maskulin terhadap tokoh-tokoh
perempuan dalam novel DI karya Arswendo Atmowiloto?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, dapat ditetapkan tujuan penelitian sebagai
berikut.
1.3.1. Mendeskripsikan strukturasi kekuasaan yang mencakup modal, kelas,
habitus, kekerasan, dan kekuasaan dalam novel DI karya Arswendo
Atmowiloto.
1.3.2. Mendeskripsikan bentuk dominasi maskulin terhadap tokoh-tokoh
perempuan dalam novel DI karya Arswendo Atmowiloto.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat teoritis dan manfaat praktis.
Berikut adalah uraiannya.
1.4.1. Manfaat Teoritis
Novel DI mengandung permasalahan sosial terkait gender dan perannya
dalam masyarakat. Persoalan gender masih menjadi salah satu isu yang aktual
sampai saat ini. Penelitian ini akan bermanfaat sebagai contoh penerapan teori
kekuasaan Pierre Bourdieu. Penerapan tersebut dilakukan melalui pembahasan
isu-isu terkait mitos peran perempuan dan bagaimana hal tersebut menjadi praktik
dominasi maskulin menurut Pierre Bourdieu.
1.4.2. Manfaat Praktis
Penelitian ini akan bermanfaat untuk menambah khazanah apresiasi dan
kritik terhadap karya-karya Arswendo Atmowiloto. Penelitian ini juga diharapkan
dapat menjadi rujukan dan memperkaya studi gender. Bagi pembaca secara umum,
penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan daya kritis pembaca
terhadap praktik-praktik kekerasan simbolik, terutama terhadap perempuan, dalam
kehidupan sehari-hari.
1.5. Tinjauan Pustaka
Dalam prosesnya, peneliti meninjau beberapa bacaan sebagai referensi
penelitian. Topik bacaan tersebut berkisar di antara dominasi maskulin, penelitian
mengenai kekerasan simbolik, dan penelitian mengenai novel DI.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
Nasution (2016) dalam artikel jurnal Metamorfosa yang berjudul Kajian
Sosiologi Sastra Novel Dua Ibu Karya Arswendo Atmowiloto: Suatu Tinjauan
Sastra membahas novel DI dari sudut pandang sosiologi sastra. Hasil penelitian
menemukan (1) pandangan dunia pengarang; (2) latar belakang sosial budaya; (3)
pandangan pengarang terhadap tokoh wanita; serta (4) karakter tokoh dan
hubungan antartokoh.
Priyadika (2013) dalam skripsi berjudul Strategi Mempertahankan Ajaran
Nilai Budaya Jawa dalam Novel Dua Ibu Karya Arswendo Atmowiloto membahas
kehidupan sosial dan refleksi ajaran budaya yang tercermin dalam setiap tokoh.
Penelitian tersebut menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Ajaran budaya
Jawa yang ditemukan berupa aturan perilaku dengan prinsip kerukunan dan
hormat, menghindari pertentangan, menjaga kedamaian, kerja sama, saling
menerima, serta sikap bekti.
Romadi (2018) dalam skripsi berjudul Novel Dua Ibu Karya Arswendo
Atmowiloto: Kajian Antropologi Sastra, Nilai Pendidikan Karakter, dan
Relevansi Sebagai Bahan Ajar di Sekolah Menengah Atas membahas
kompleksitas ide, kompleksitas aktivitas tokoh, kompleksitas hasil budaya,
nilai-nilai pendidikan karakter, dan relevansi novel DI dengan materi
pembelajaran sastra di SMA. Penelitian ini menggunakan pendekatan antropologi
sastra dengan tujuan akhir menemukan pemanfaatan novel tersebut sebagai materi
pembelajaran agar siswa tingkat SMA memenuhi standar kompetensi.
Suryanto (2013) dalam skripsi berjudul Analisis Psikologi dalam Novel
Dua Ibu Karya Arswendo Atmowiloto membahas kepribadian, emosi, dan motif
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
para tokoh. Hasil penelitian meliputi (1) peran kepribadian (id, ego, dan superego);
(2) peran emosi para tokoh; dan (3) peran motif yang dilakukan para tokoh yang
diklasifikasikan menjadi motif dasar, motif sosial, serta motif objektif.
Barata (2017) dalam skripsi yang berjudul Struktur Kekuasaan dan
Kekerasan Simbolik dalam Cerpen “Ayam”, “Suatu Malam Suatu Warung”, dan
“Tahi” dalam Kumpulan Cerpen Hujan Menulis Ayam Karya Sutardji Calzoum
Bachri: Sebuah Perspektif Pierre Bourdieu membahas strukturasi kekuasaan dan
kekerasan simbolik yang terdapat dalam cerpen-cerpen Sutardji Calzoum Bachri.
Hasil yang diperoleh yaitu (1) kapasitas modal yang dimiliki tiap tokoh; (2) kelas
dominan, kelas borjuasi kecil, dan kelas populer yang masing-masing dipengaruhi
oleh kepemilikan modal; (3) habitus dan arena yang ditampilkan adalah
kehidupan sosial masyarakat kelas menengah ke bawah; serta (4) kekerasan
simbolik berupa mekanisme eufimisme dan mekanisme sensorisasi.
Farlina (2016) dalam artikel jurnal Dialektika yang berjudul Representasi
Kekerasan Simbolik Terhadap Perempuan Betawi dalam Novel Kronik Betawi
Karya Ratih Kumala membahas nilai-nilai tradisional dan religi dalam budaya
Betawi yang membuat posisi perempuan termarginalisasi dan subordinasi.
Kekerasan simbolik terjadi dalam usaha perempuan merekonstruksi peran dan
kontribusi mereka dalam ranah publik. Penelitian ini menggunakan perspektif
agamis dan teori Pierre Bourdieu.
Penelitian yang berjudul Dominasi Maskulin dalam Novel Dua Ibu Karya
Arswendo Atmowiloto: Perspektif Pierre Bourdieu ini akan menggunakan teori
Pierre Bourdieu dalam kajiannya. Penelitian ini akan mendeskripsikan strukturasi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
kekuasaan dan bentuk dominasi maskulin terhadap tokoh perempuan di dalam
novel DI. Strukturasi kekuasaan yang dibahas meliputi modal, kelas, habitus,
kekerasan, dan kekuasaan. Novel DI yang membahas kehidupan keluarga Jawa
mengandung dominasi maskulin terhadap tokoh-tokoh perempuan di dalamnya.
Dengan demikian, kebaruan penelitian ini adalah penggunaan perspektif Pierre
Bourdieu mengenai kekuasaan dan kekerasan untuk mengkaji novel DI.
1.6. Pendekatan
Sebuah penelitian harus berangkat dari paradigma tertentu. Sebagai titik
awalnya, penelitian ini menggunakan pendekatan seturut dengan paradigma
Abrams. Abrams menentukan empat unsur utama dalam kritik sastra, yaitu karya
(work), pengarang (artist), realitas (universe), dan pembaca (audience). Setiap
unsur tersebut dapat menjadi awal pendekatan kritik sastra, yang jika dirumuskan
menjadi (1) pendekatan objektif yang berfokus pada karya; (2) pendekatan
ekspresif yang berfokus pada pengarang; (3) pendekatan mimetik yang berfokus
pada realitas; dan (4) pendekatan pragmatik yang berfokus pada pembaca
(Abrams, 1953:6; Taum, 2017:3-4).
Dalam reposisi yang dikemukakan Taum (2017:4-6) terdapat dua tambahan
pendekatan dalam pola paradigma Abrams, yaitu pendekatan ekletik dan
pendekatan diskursif. Pendekatan ekletik adalah pendekatan yang
menggabungkan beberapa pendekatan sekaligus. Pendekatan diskursif adalah
pendekatan yang berfokus pada teks serta berupaya menggali praktik diskursif
melalui teks tersebut. Kedua pendekatan ini ditambahkan dengan anggapan bahwa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
ada hal-hal di luar teks yang menjadi konteks bagi kritik sastra dan pemahaman
karya sastra pada umumnya.
Penelitian ini secara khusus akan menggunakan pendekatan mimetik dan
pendekatan diskursif. Kedua bentuk pendekatan tersebut dipilih karena dekatnya
latar cerita novel DI dengan situasi nyata atau dapat dikatakan sebagai karya yang
realis. Pendekatan diskursif akan mampu membantu peneliti memahami
kemungkinan teks sebagai bagian dari sebuah wacana.
Peniruan realitas (mimesis) dapat dikatakan sebagai bentuk penciptaan
karya seni yang paling awal dan sangat umum (Abrams, 1953:7-8). Pendekatan
mimetik memungkinkan kritik sastra melihat karya sastra sebagai cerminan dari
realitas.
Pendekatan diskursif mengacu pada istilah wacana (discourse). Kritik
sastra diskursif melihat bahwa teks adalah representasi kekuasaan yang dibangun
melalui praktik-praktik diskursif (Taum, 2017:5). Teks diperlakukan sebagai
sesuatu yang aktif, sesuatu yang dapat berdampak dan memiliki maksud tertentu.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Taum, kritik sastra diskursif dapat
membantu memahami praktik sosial, relasi kekuasaan, dan aspek-aspek lain yang
ada di balik pengetahuan serta di sekitar teks.
Kritik sastra diskursif umumnya mengacu pada teori-teori pascastruktural.
Salah satunya adalah teori strukturasi kekuasaan oleh Pierre Bourdieu. Bourdieu
berupaya mengungkapkan kapitalisme kekuasaan serta struktur yang
membentuknya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
1.7. Landasan Teori
Pierre Bourdieu adalah seorang sosiolog dan antropolog berkebangsaan
Perancis. Pemikiran Bourdieu dianggap memberikan banyak sumbangan pada
teori Sosiologi modern. Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste
(1979) menjadi salah satu dari sepuluh buku Sosiologi terpenting di abad ke-20
menurut International Sosiological Association pada 1998.
Salah satu gagasannya yang utama adalah kapital budaya. Bentuk kapital
ini tidak hanya dikonstruksi oleh aspek ekonomi, tetapi juga hal-hal lain seperti
kapital sosial dan kapital simbolik. Setiap individu merupakan bagian dari ruang
sosial multidimensional (Hidayat, 2010).
Di setiap ruang ini, yang dalam istilah Bourdieu disebut sebagai arena,
setiap individu berusaha memperjuangkan posisinya, memproduksi, serta
mereproduksi kekuasaan. Setiap sumber daya yang dimiliki diolah sedemikian
rupa sehingga dapat menjadi upaya dari strategi kekuasaan.
1.7.1. Strukturasi Kekuasaan
Dalam relasi (hubungan) dua kelompok atau individu, salah satu pihak
lebih mendominasi pihak lain. Perbedaan itu menghasilkan relasi kekuasaan.
Relasi kekuasaan dapat diuraikan strukturnya sebagai berikut.
1.7.1.1. Modal
Kepemilikan sumber daya dan strategi pelaku mempengaruhi hubungan
dominasi. Kepemilikan modal (kapital) menentukan posisi kelas atau individu
tersebut. Ada beberapa jenis modal yang dapat diuraikan sebagai berikut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
Bentuk modal yang pertama adalah modal ekonomi. Modal ekonomi
berupa sumber daya yang menjadi sarana produksi dan sarana finansial
(Haryatmoko, 2016:46). Kemampuan ekonomi adalah modal yang paling umum
dan paling utama di antara modal lain. Modal ekonomi dapat dikonversikan
menjadi bentuk-bentuk modal lainnya.
Berikutnya adalah modal budaya. Kapital budaya bisa berupa ijazah,
pengetahuan, kode budaya, cara berbicara, kemampuan menulis, cara pembawaan,
cara bergaul yang berperan dalam penentuan kedudukan sosial (Bourdieu melalui
Haryatmoko, 2016:45).
Bentuk modal yang ketiga adalah modal sosial. Modal sosial berupa
jaringan hubungan sebagai sumber daya untuk penentuan kedudukan sosial
(Bourdieu melalui Haryatmoko, 2016:45). Modal sosial dapat meliputi jaringan,
hubungan bisnis, hubungan sosial dalam masyarakat (Ningtyas, 2015).
Modal yang terakhir adalah modal simbolik. Modal simbolik terbentuk dari
simbol-simbol kekuasaan, seperti jabatan, status, gelar, dan lain-lain.
Simbol-simbol ini diakui kelompok lain secara natural sebagai suatu bentuk
kekuasaan. Kapital simbolik menghasilkan kekuasaan simbolik di saat orang tidak
merasa keberatan untuk masuk ke dalam dominasi simbolik (Ningtyas, 2015).
1.7.1.2. Kelas
Menurut Bourdieu, setiap kelas merepresentasikan ciri tertentu yang
menunjukkan posisi mereka dalam masyarakat. Sistem representasi kelompok
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
sosial itu ditentukan oleh akses ke kegiatan budaya tertentu yang pada dasarnya
tidak setara, sesuai dengan kepemilikan sosial (Haryatmoko, 2016:54).
Menurut Bourdieu, ada tiga kelas. Pertama, kelas dominan. Kelas ini
adalah pemilik modal utama dan terbesar yang dapat menentukan budaya yang
berlaku. Kelas yang kedua adalah kaum borjuis kecil. Kelas ini memiliki
keinginan kuat untuk menaiki tangga sosial. Kelas yang ketiga adalah kelas
populer. Kelas ini hampir tidak memiliki modal sama sekali. Kelas populer
menjadi kelas penerima dominasi dan tidak memiliki posisi tolak terhadap budaya
dominan.
1.7.1.3. Habitus
Habitus adalah pola persepsi, pola pikir, tindakan, dan pemikiran jangka
panjang (Hidayat, 2010) yang menjadi ciri suatu kelas dalam masyarakat. Habitus
juga meliputi kesamaan selera, kepercayaan, gaya hidup, dan budaya. Kesamaan
tersebut menjadi pembeda kelas yang satu dengan kelas yang lain.
Habitus memungkinkan kita untuk menjelaskan tindakan individu atau
kelompok berdasarkan latar belakang yang memengaruhinya. Di sisi lain, habitus
dapat menjadi preferensi seseorang untuk bertindak sesuai dengan posisi kelasnya.
Meski terlihat alamiah, habitus sebuah kelompok dapat menjadi pembentuk
kepribadian individu. Selain sikap, habitus juga dapat mengatur disposisi badan
yang tanpa sadar diinteriorisasi seseorang menjadi ciri khas sikap tubuhnya.
Melalui teori habitus, Bourdieu hendak menjelaskan bahwa dimensi sosial juga
berada dalam raga (Hidayat, 2010).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
1.7.1.4. Arena
Pada dasarnya arena adalah tempat persaingan dan perjuangan
(Haryatmoko 2016:50). Arena adalah tempat di mana modal yang dimiliki
dipertentangkan dan dipertaruhkan untuk mendapatkan posisi dominasi kelas. Di
sini kepemilikan modal menjadi kunci memenangkan kompetisi.
Arena disebut juga dengan pasar. Pihak dengan akumulasi modal tertinggi
akan menjadi kelas dominan. Untung memenangkan kompetisi, diperlukan
strategi penempatan. Strategi penempatan adalah maksimalisasi kapital yang
dimiliki pada sebuah arena sosial tertentu dengan waktu yang tepat (Ningtyas,
2015).
1.7.1.5. Kekerasan dan Kekuasaan
Kepemilikan modal menentukan kekuatan posisi suatu kelas dalam arena
perjuangan. Ketika dominasi terjadi, itulah yang disebut dengan kekuasaan.
Kekuasaan bertujuan melanggengkan posisi dominasi terhadap kelas yang
memiliki modal lebih lemah. Kekuasaan tersebut menciptakan kekerasan.
Namun tidak semua kekerasan terjadi secara eksplisit. Ada pula kekerasan
yang terjadi secara halus, tidak berwujud fisik, tetapi mendominasi tanpa disadari.
Bahkan kekerasan tersebut seperti mendapat legitimasi sosial dan diyakini sebagai
kelayakan.
Bourdieu (2010:2) berpendapat sebagai berikut.
“Kekerasan semacam ini sangat lembut, tidak terlihat bagikorban-korbannya. Kekerasan itu secara pada dasarnya dilakukan dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
cara-cara yang melibatkan komunikasi dan pengetahuan. Komunikasi danpengetahuan itu murni bersifat simbolik. Atau lebih tepatnya harusdikatakan bahwa kekerasan itu dilakukan dengan cara-cara penghinaan,pengakuan, atau pada batas tertentu, dengan cara-cara perasaan yangbersifat simbolik.”
Kekerasan simbolik menyusup melalui aspek-aspek kehidupan yang
mendasar, tetapi menjadi pembeda antara kelas pendominasi dan kelas yang
didominasi. Sistem representasi sosial suatu kelas diciptakan oleh kelompok
dominan. Perbedaan habitus antarkelas terus-menerus diupayakan agar tercipta
jenjang yang tidak dapat dimasuki kelompok yang didominasi.
1.7.2. Dominasi Maskulin
Analisis yang objektif mengenai pemahaman androsentris dalam
masyarakat memerlukan analisis etnografi. Hal tersebut disebabkan realitas sosial
masyarakat, termasuk ketidaksadaran terhadap dominasi maskulin, berbeda di tiap
tradisi masyarakat. Maka dari itu dibutuhkan suatu pemahaman terhadap budaya
dan etnografi setempat agar dapat mengungkapkan tradisi dominasi maskulin
secara kontekstual. Karya sastra yang merupakan struktur naratif apabila dikaji
secara antropologi dapat mengungkapkan mitos, sistem religi, dan citra primordial
dalam kebudayaan populer (Ratna, 2004:64-65).
Salah satu produk hasil pemahaman androsentris adalah pembagian kerja
secara seksual. Pembagian kerja ini paling kentara terjadi dalam sektor domestik.
Bagaimana konstruksi sosial tersebut dinaturalkan? Pemahaman terhadap
ketampakan (realitas) biologis merupakan kerja kolektif yang terjadi sejak dulu.
Kerja kolektif itu adalah sosialisasi atas segala yang biologis, dan adalah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
biologisasi atas segala yang sosial (Bourdieu, 2010:4). Pembagian arbitrer
(pembagian kerja) itu merupakan prinsip dari realitas dan prinsip dari representasi
realitas (Bourdieu, 2010:4). Hal ini disebabkan sudah terbentuknya
ketidaksadaran terhadap persepsi gender kita. Ketidaksadaran itu membuat kita
sering memandang dominasi maskulin dengan menggunakan pola pikir yang
merupakan produk dari dominasi itu sendiri.
Dominasi maskulin terjadi di dalam banyak bidang, termasuk dalam
lembaga-lembaga seperti sekolah, agama, dan negara. Lembaga-lembaga itu
merupakan tempat dilakukannya elaborasi dan pemberlakuan prinsip-prinsip
dominasi yang diberlakukan juga di tengah dunia yang paling pribadi (Bourdieu,
2010:6). Perilaku tubuh, gaya hidup, hingga perilaku seksual termasuk di dalam
hal-hal pribadi yang diatur.
Kepemilikan modal tertentu akan membawa seseorang pada kelas yang
membawa keuntungan bagi kedudukan sosialnya. Akumulasi berbagai kapital
membuat individu memiliki posisi yang kuat dalam arena. Dalam tradisi patriarki,
laki-laki lebih mudah memperoleh akses terhadap kepemilikan modal sehingga
secara otomatis posisinya akan lebih superior.
Fakta-fakta dominasi maskulin dapat ditemui pada sektor domestik
maupun non-domestik di mana masyarakat telah memiliki kecenderungan
mendukung perempuan dan laki-laki menempati sektor kerja yang telah
ditentukan secara seksual. Kepemilikan modal budaya yang tinggi juga tidak
membuat perempuan memiliki akses lebih terhadap keotonomian diri, tetapi
seringkali dianggap sebagai bagian dari hubungannya dengan laki-laki (Bourdieu,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
2010:150). Hal ini berarti perempuan yang memiliki akumulasi modal lebih kecil
akan mengalami dominasi dua kali dari masyarakat. Pertama, karena minimnya
kepemilikan modal. Kedua, akibat kondisi biologisnya sebagai perempuan.
Secara habitus, tatanan dunia yang maskulin membedakan habitus
maskulin dan habitus feminin. Sebagai contoh, dalam hal pembagian pekerjaan
rumah anak perempuan akan diberi tugas yang membuatnya terus-menerus berada
di dalam rumah sementara anak laki-laki cenderung dibebaskan dari pekerjaan
rumah. Pembagian kerja seperti ini dilakukan untuk membebaskan anak laki-laki
tersebut dari “citra feminin” sedari dini. Kalau ada pekerjaan rumah yang
diserahkan kepada laki-laki, kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang identik
dengan kekuatan fisik, sesuatu yang tampak maskulin.
Keberhasilan perempuan dalam sektor domestik dan bidang profesional
seringkali tidak sejalan, membuat perempuan harus mengorbankan salah satunya.
Hal-hal yang sebetulnya alami dan biologis, seperti jenis kelamin, telah
diinterupsi secara sosial. Norma-norma inilah yang kemudian tampak
dipermukaan sebagai hal yang alamiah sebab masyarakat telah dibiasakan melihat
dari sudut pandang dominasi.
1.8. Metode Penelitian
Tahap-tahap penelitian ini meliputi pengumpulan data, analisis data, dan
penyajian hasil analisis data. Pengumpulan data akan dilakukan melalui studi
pustaka. Metode ini akan mampu menjangkau seluruh data yang dibutuhkan,
yakni berupa buku-buku referensi dan teks penunjang lainnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
Data yang telah dikumpulkan akan dianalisis menggunakan metode analisis
isi. Pembacaan terhadap karya sastra dimaksudkan untuk menemukan isi
komunikasi baik secara verbal maupun nonverbal. Isi yang dimaksudkan berupa
masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, termasuk propaganda (Ratna, 2004:48).
Analisis isi dilaksanakan atas dasar penafsiran yang memberikan perhatian
pada isi pesan (Ratna, 2004:49). Setelah dilakukan pembacaan cermat terhadap
novel DI, penulis akan mengidentifikasi aspek-aspek strukturasi kekuasaan dan
dominasi maskulin berdasarkan perspektif Pierre Bourdieu.
Hasil analisis data akan disajikan secara deskriptif kualitatif, yakni
pendeskripsian hasil analisis dalam bentuk kalimat-kalimat. Isi dari deskripsi ini
adalah hasil analisis terhadap strukturasi kekuasaan dan dominasi maskulin dalam
novel DI karya Arswendo Atmowiloto.
1.9. Sumber Data
Karya sastra yang menjadi objek penelitian ini memiliki identitas sebagai
berikut.
Judul : Dua Ibu
Pengarang : Arswendo Atmowiloto
Tahun Terbit : 1981
Penerbit : Gramedia
Jumlah halaman : 231 halaman
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
1.10. Sistematika Penyajian
Laporan hasil penelitian ini akan disusun dalam empat bab, yaitu:
Bab I adalah Pendahuluan. Bab I terdiri dari latar belakang, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat hasil penelitian, tinjauan pustaka, landasan
teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian.
Bab II adalah Pembahasan. Pada bagian ini akan dijelaskan rumusan
masalah yang pertama, yakni strukturasi kekuasaan yang meliputi modal, kelas,
habitus, arena, kekerasan, dan kekuasaan dalam novel DI.
Bab III adalah Pembahasan. Pada bagian ini akan dijelaskan rumusan
masalah yang kedua, yakni bentuk-bentuk dominasi maskulin terhadap
tokoh-tokoh perempuan dalam novel DI.
Bab IV adalah Penutup. Bab IV terdiri dari kesimpulan penelitian dan
saran. Kesimpulan yang dimaksud berupa deskripsi strukturasi kekuasaan dan
bentuk dominasi maskulin terhadap tokoh perempuan dalam novel DI. Saran yang
dimaksud adalah saran kepada pembaca novel DI serta saran kepada peneliti lain
yang hendak memperdalam kajian terhadap novel DI.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
BAB II
STRUKTURASI KEKUASAAN DALAM NOVEL DUA IBU
KARYA ARSWENDO ATMOWILOTO
2.1. Pengantar
Dalam bagian ini akan dibahas strukturasi kekuasaan dalam novel DI.
Strukturasi kekuasaan dijabarkan dalam penjelasan mengenai modal, kelas, habitus,
arena, serta kekuasaan dan kekerasan. Pembahasan tersebut dilakukan untuk meneliti
lebih lanjut bentuk dominasi maskulin yang terdapat dalam novel DI. Permasalahan
strukturasi kekerasan menjadi dasar strategi kekuasaan yang turut diwujudkan dalam
bentuk dominasi maskulin.
Untuk membatasi data yang akan diolah, akan dipilih tokoh-tokoh dan
peristiwa-peristiwa yang signifikan bagi jalannya cerita, atau memiliki ciri khas yang
mencolok sesuai dengan inti permasalahan. Ciri-ciri khas tersebut akan dibahas lebih
lanjut dalam tiap poin pembahasan.
Pembahasan mengenai modal dilakukan pertama karena kepemilikan modal
membentuk posisi kelas. Setelah itu, habitus menunjukkan kebiasaan hidup tiap kelas
dalam arena. Dari pembagian kelas yang ada, dapat dilihat bentuk kekuasaan dan
kekerasan yang terjadi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
2.2. Modal
Interaksi sosial menghasilkan hubungan-hubungan dominasi antarindividu dan
kelompok. Salah satu sistem interaksi tersebut adalah budaya. Budaya yang berlaku
biasanya adalah budaya penguasa (Haryatmoko, 2016:36). Semakin tinggi
kepemilikan modal seseorang, semakin tinggi derajat sosialnya di mata masyarakat.
Kepemilikan modal yang besar disebut sebagai kapital (Bourdieu, 1984:114).
Modal dibagi menjadi empat jenis, yaitu (1) modal ekonomi; (2) modal budaya;
(3) modal sosial; dan (4) modal simbolik. Pemetaan hubungan kekuasaan didasarkan
atas kepemilikan kapital-kapital dan komposisi kapital tersebut (Haryatmoko,
2016:46). Masing-masing modal memiliki peranannya masing-masing di dalam
sebuah arena (Barata, 2017:20).
2.2.1. Modal Ekonomi
Modal ekonomi berupa sumber daya yang menjadi sarana produksi dan sarana
finansial (Haryatmoko, 2016:46). Modal ekonomi dapat dengan mudah diwariskan
dan dikonversikan menjadi bentuk modal lain. Selain kepemilikan harta, modal
ekonomi dapat pula berupa kepemilikan alat-alat produksi.
Dalam novel DI, modal ekonomi terbesar dimiliki oleh keluarga Oom Bong
dan Tante Mirah. Berikut adalah beberapa kutipan diikuti dengan penjelasan
mengenai modal ekonomi keluarga Oom Bong dan Tante Mirah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
(1) “Di sini. Bersama adik-adikmu,” kata Oom Bong suami Tante Mirah,yang kumisnya lebat.
“Di sini ada mobil, ada lemari es, ada mainan dan buku-buku. Kau jadianak pintar nanti.” (Atmowiloto, 1981: 27)
Diceritakan bahwa Oom Bong dan Tante Mirah mampu membeli
barang-barang yang tidak mampu dibeli Ibu dan anak-anaknya seperti yang ada pada
kutipan (2). Dalam kutipan (3) tampak bahwa Oom Bong lebih memilih naik andong
daripada becak karena ia mampu membayar lebih mahal.
(2) Malamnya kami sekeluarga pesta. Tante belanja banyak sekali. Jugamembeli segala macam dandang, kompor, cerek, wajan penggorengan, dansemua bumbu dapur, beras. (Atmowiloto, 1981:48)
(3) Oom Bong merencanakan pergi naik andong. Agar semua bisa ikut.Andong pasti lebih mahal daripada beca- empat beca sekalipun. Oom Bongbergurau bahwa ongkos makan kuda yang menarik andong lebih banyakdaripada ongkos penarik beca. Mungkin saja. (Atmowiloto, 1981:55)
Dalam situasi ekonomi waktu itu, kemampuan membeli dan memiliki barang
dianggap sangat mewah. Apalagi jika dibandingkan dengan keluarga Ibu yang tidak
memiliki apa-apa.
Pihak lain yang memiliki modal ekonomi yang cukup adalah keluarga Agus.
Agus adalah suami Mujanah dan menantu Ibu. Dalam kutipan berikut dapat dilihat
konflik antara keluarga Ibu dengan Agus.
(4) Aku mendengar juga konflik kecil-kecilan ini. Keluarga kami selaludikatakan hanya bisa merongrong terus. Bukan hanya Kak Mujanah, tetapi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
seluruh keluarga, meminta bantuan makan pada keluarga Kak Agustus. Aku takhabis pikir, bagaimana hal itu bisa diutarakan. (Atmowiloto, 1981:39)
Dalam kutipan (4) keluarga Ibu dikatakan “merongrong” dan “meminta
bantuan” kepada keluarga Agus. Artinya, keluarga Agus dianggap lebih mampu
secara ekonomi dibandingkan Ibu dan anak-anaknya. Inilah salah satu bentuk konflik
dengan latar belakang masalah ekonomi.
Tokoh berikutnya yang memiliki modal ekonomi cukup adalah Pakde Wiro.
Pakde Wiro merupakan salah satu kenalan yang menitipkan anaknya pada Ibu. Ia
menitipkan Adam, Prihatin, dan Priyadi setelah Bude Wiro meninggal karena merasa
tak mampu menghidupi ketiga anak itu. Bertahun-tahun setelahnya, Pakde Wiro
menjual warisan Bude Wiro dan mendapat banyak uang. Setelah merasa mampu
secara ekonomi, ia berusaha mengambil paksa anak-anaknya dari Ibu. Hal ini tampak
dalam kutipan (5).
(5) “Sekarang Pakde ada duit. Warisan ibu kandungmu sudah Pakde jual.Sekarang Pakde sudah berubah sedikit-sedikit. Makanya kamu ikut Pakde sajaya?” (Atmowiloto, 1981:188)
Keluarga Ibu merupakan pihak yang memiliki modal ekonomi paling kecil.
Dahulu mereka cukup mampu untuk menghidupi diri sendiri, tetapi makin hari
keadaan makin sulit. Berikut adalah tiga kutipan yang menunjukkan hal tersebut.
(6) Kukira ini bukan karena Ayah meninggal. Faktor itu ada juga, akantetapi sejak lama sudah terasa. Kebangkrutan ekonomi yang tak seimbang.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
Fungsi sosial Ibu yang demikian besar, beaya anak-anaknya tak cocok dengangaji Ayah yang sebagai pegawai negeri biasa-biasa saja. Mana pula Ayah harusmemberikan sebagian untuk adiknya, dan saudara ibunya. Aku tahu karena, dulu,setiap habis gajian akulah yang disuruh mengantarkan. Aku dengan senang hatimengantarkan, karena aku diberi persen dari si penerima. Tak terlintas sedikitpun bahwa itu sebenarnya bagian Ibu. (Atmowiloto, 1981:35)
(7) Keadaan kami memang miskin sekali. Sehingga kaca mata yangpaling murah pun-bingkainya, kacanya tak mungkin berbeda harganya- takmungkin bisa dibeli kalau bukan karena Jamil. Kami miskin bukan hanya karenatidak mungkin makan normal dua kali sehari, melainkan karena hutangnyademikian banyak. Tak mungkin dihitung tanpa perasaan ngeri. Celakanya adalah,Ibu sangat terkenal sekali. Artinya, semua orang di kampung mengenal Ibu dantahu siapa Ibu. Nama Ibu jaminan untuk kepercayaan. Tukang gadai mana punmau menerima barang apa saja dari Ibu. Mulai dari kain, taplak meja, piringsampai dengan tikar. Tukang gadai itu percaya bahwa Ibu akan membayarkembali, berikut bunganya. Tak masuk akal bahwa Ibu melarikan diri.(Atmowiloto, 1981:35)
(8) Setelah semua perabot habis-betul-betul tak ada lagi meja atau kursitegak- tak ada lagi korden, tak ada lagi gantungan baju, tak ada lagi sabunmandi, aku sadar. Bahwa sebenarnya rumah yang kudiami sangat luas sekali.Bagian pendopo yang luas, yang dulu dipenuhi tiga pasang kursi- satu terdiridari empat kursi, yang dua lainnya masing-masing dua kursi-kini tampak lega.Ruangan yang memang sengaja untuk memberi kelonggaran suasana untukmelihat sekitar, kini benar-benar membuka dirinya. Pohon kelapa di bagiansamping kiri, sudah terjual pula. Bagian kanan lebih luas. Tempat bermain.Berlari-lari. Di tengah ada sangkar burung. Isinya telah lama terjual. Kemarindulu, sebagian dilepas Ibu (“Kasihan, tak bisa memberi beras merah dan ketanitem seperti jaman Ayah.”), sebagian dijual Jamil. (Atmowiloto, 1981:36)
Kutipan (6) menjelaskan bagaimana keluarga tersebut bergantung pada
penghasilan Ayah seorang. Gaji yang didapatkan masih harus dibagi dengan
saudara-saudara yang lain. Kutipan (7) menunjukkan bagaimana keluarga tersebut
memiliki banyak utang pada tukang gadai. Kutipan (8) menjelaskan situasi rumah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
ketika barang-barang sudah habis tergadaikan. Dari ketiga kutipan di atas dapat
disimpulkan bagaimana situasi ekonomi keluarga tersebut.
Kebutuhan akan modal ekonomi membuat Mamid mau ikut dengan Tante
Mirah setelah dibujuk Jamil. Jamil adalah kakak Mamid dan diduga satu-satunya
anak kandung Ibu. Seperti yang diceritakan kemudian, Tante Mirah adalah ibu
kandung Mamid. Dulunya Tante Mirah juga dibesarkan oleh Ibu.
Dalam kutipan (9) dapat dilihat bagaimana proses perpindahan Mamid ke
Jakarta dengan dibujuk Jamil. Motif utamanya adalah ekonomi, yaitu dengan tujuan
meringankan beban ekonomi Ibu.
(9) “Mid, kau sebenarnya enakan di Jakarta.”“Tidak mau. Aku anak Ibu.”“Kau cengeng. Kau banci. Persis ayam betina,” kata Jamil. Dadanya
terbuka. Ototnya kuat. Pasti bajunya lagi dicuci.“Kau tetap anak Ibu. Kau tetap bisa mengaku anak Ibu kalau ikut Tante.
Tante baik hatinya.”“Baik?”“Baik. Setiap bulan ia mengirim duit buat kamu. Sejak kau bayi. Aku tahu
karena aku yang mengambilkan wesel ke kantor pos. Tanpa bantuan itu, kitalebih menderita lagi. Pensiun Ayah tidak cukup- untuk Ibu sendiri. Tak adakeluarga yang membantu kita.”
“Lalu, kalau aku ikut Tante?”“Tante tak mungkin menghentikan bantuannya. Ia bersyukur kau kembali
berkumpul bersama. Dan itu baik bagimu, bagi Ibu, dan bagi keluarga yanglain.” (Atmowiloto, 1981:44)
Dari pembahasan mengenai modal ekonomi, dapat disimpulkan bahwa Ibu dan
anak-anaknya memiliki modal ekonomi paling kecil. Bahkan dalam beberapa
peristiwa, nyaris tidak ada. Tingkat kepemilikan modal ekonomi keluarga Ibu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
menjadi patokan untuk menentukan perkiraan kemampuan modal ekonomi
tokoh-tokoh lain. Ketidakmampuan ekonomi menjadi motif berbagai tindakan
mereka. Pakde Wiro, keluarga Agus, dan keluarga Oom Bong memiliki modal
ekonomi yang lebih besar dibandingkan keluarga Ibu.
2.2.2. Modal Sosial
Modal sosial berkaitan dengan hubungan sosial yang menguntungkan yang
dimiliki seseorang. Modal sosial berupa jaringan hubungan sebagai sumber daya
untuk penentuan kedudukan sosial (Bourdieu melalui Haryatmoko, 2016:45). Modal
sosial dapat meliputi jaringan, hubungan bisnis, hubungan sosial dalam masyarakat
(Ningtyas, 2015). Kegiatan-kegiatan sosialisasi seperti pertemuan, pesta, dan
undangan acara mengandung interaksi yang menentukan kapital sosial yang dimiliki.
Siapa saja yang diundang, tempat dilaksanakannya acara, dan rangkaian acara
menunjukkan posisi pelaku dalam relasi sosial (Hidayat, 2010).
Dalam novel DI, modal sosial yang ditemukan yaitu berupa hubungan Mamid
dengan ibu kandungnya, Tante Mirah. Setelah Mamid setuju ikut ke Jakarta, ia
merasakan perbedaan situasi yang mencolok. Kehidupannya berubah menjadi baik.
Mamid dapat menikmati barang-barang yang tidak dimiliki sebelumnya dan makan
dengan layak. Secara tidak langsung, dapat dikatakan Mamid mendapat manfaat dari
relasi dengan Tante Mirah sebagai ibu kandungnya. Selain dalam kutipan (1) dan (9),
perubahan keadaan Mamid juga tampak dalam kutipan berikut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
(10) Di Jakarta ini aku memang senang. Bisa nonton televisi. Dan nantibisa makan es batu sepuasnya. Kalau pergi naik mobil. Tapi susahnya kalaudiajak main hal-hal yang tidak kumengerti. Aku sering bingung, dan merasakampungan sekali. (Atmowiloto, 1981:86)
(11) Semua dapat bagian satu telor.Ketika aku mengiris menjadi empat dan mengambil seperempat, Tante
mengingatkan bahwa itu semua bagianku.“Makan telor biar sehat.”“Semua?”“Ya. Kurang?”Kurang? Aku heran sendiri. Di rumah aku dapat bagian seperempat,
bahkan kadang seperlima atau seperenam. O, Ibu ahli sekali membagi. Dan akumendapat giliran ketiga untuk mengambil. (Atmowiloto, 1981:87)
Meskipun kehidupan keluarga Ibu di Solo sangat sulit, Ibu rupanya cukup
dihormati di lingkungan sosialnya. Dalam kutipan (6) dapat kita lihat bahwa nama
Ibu menjadi jaminan bagi tukang gadai. Nama Ibu juga menyelamatkan Jamil ketika
berada di antara sopir truk dalam perjalanannya menuju Jakarta. Para sopir truk
rupanya kenal dengan Ibu, sehingga dengan mudah mereka percaya dengan Jamil.
Dua kutipan berikut menunjukkan peristiwa perjalanan Jamil ke Jakarta.
(12) “Mau ke mana, Mil?”“Jakarta,” jawab Jamil sekenanya.“Ikut aku saja,” kata lelaki itu.Jamil memperhatikan. Kali ini ada sorot hormat dari matanya. Lelaki itu
tidak terlalu tua, pikir Jamil. Hanya wajahnya sangat kotor. Barangkali kalaudiseka dengan sapu tangan atau kertas tidak cukup tiga kali. Rambutnya kusut,kotor, seperti juga keringatnya. Ia menunggui ban.
Jamil berjongkok di dekatnya.Rokoknya dimatikan. Ia berjongkok hati-hati, seperti ekspresi terima kasih,
seperti ekspresi keheranan.“Aku kenal ibumu. Kau bisa ikut trukku.” (Atmowiloto, 1981:123)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
(13) ‘Aku kenal ibumu’, itulah yang merupakan tiket keamanan sampaiJakarta, ditambah makan dan minum. Tanpa desakan pertanyaan, tanpapenjelasan. (Atmowiloto, 1981:127)
Peristiwa kedua yang menunjukkan relasi sosial Ibu adalah ketika Jamil
tertangkap di Singapura. Seorang laki-laki mengetahui berita penangkapan
sekelompok penyelundup, termasuk di antaranya Jamil. Laki-laki tersebut mengaku
sebagai ayah kandung Jamil dan dulunya suami Ibu. Hubungan Ibu dengan laki-laki
ini menyelamatkan Jamil dari hukuman penjara. Berikut adalah kutipannya.
(14) Ikut truk dengan pengendara yang tak dikenal, menjadi penyelundup,ditahan di Singapura, dan jadi petinju serta hukuman dua puluh tahun yang batal.Karena seorang lelaki menolongnya dengan uang jaminan. Lelaki itu tahu nasibdan nama Jamil dari koran. Lelaki itu memperkenalkan diri sebagai ayahkandung Jamil. “Ibumu, Bu Martono itu isteri saya sebelum kawin dengan PakMartono. Kamu dalam kandungannya ketika ibumu memilih suara hatinya.”(Atmowiloto, 1981:227)
Reputasi Ibu dipandang baik oleh tokoh-tokoh tersebut. Modal sosial dalam
bentuk reputasi baik ini memberi manfaat pada Jamil sebagai anak Ibu dalam
berbagai peristiwa yang tercantum dalam kutipan (12), (13), dan (14).
Namun setelah keluarga Ibu benar-benar miskin, ia tidak lagi dihargai di
masyarakat. Ibu tidak lagi diundang ke acara atau kegiatan di kampung karena
dianggap tidak mampu memberi sumbangan. Modal sosialnya berkurang. Dua
kutipan berikut menunjukkan hal tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
(15) “Memang. Tapi apa artinya bantuan Ibu? Sekarang Ibu telahdilupakan. Ibu tidak diundang kalau ada pesta lagi. Tak ada yang meminta Ibumemasak. Tak ada yang minta nasehat Ibu. Tak ada. Kalau masih kasihan,mereka mengirim makanan. Itu saja, Mid. Karena kasihan.” (Atmowiloto,1981:43)
(16) Sebenarnya dunia Ibu praktis tak bertegur sapa lagi. Kenalan dankeluarga yang dulu, tak lagi bertemu dan berbicara dengan Ibu. Tak lagi salingmengobrol. Tak lagi mengundang Ibu untuk menjadikan kepala koki, danadministrator ulung. Bahkan undangan pun mulai jarang.
“Mereka tahu kita tak bisa menyumbang. Malah baik dilupakan,” kata Ibutenang. (Atmowiloto, 1981:191)
Bentuk kepemilikan modal sosial yang juga ada dalam novel DI adalah
lingkungan Solemah yang berada di sekitar asrama militer. Solemah adalah anak
kedua yang dititipkan ke Ibu setelah Tante Mirah. Solemah memperkenalkan Sersan
Kepala Untung Subarkah kepada adiknya yang bernama Ratsih. Untung Subarkah
nantinya akan menjadi suami Ratsih. Kutipan berikut menjelaskan bagaimana upaya
Solemah memperkenalkan Untung Subarkah kepada Ratsih.
(17) Dari alinea itu Solemah dengan halus mengisyaratkan adanyaseorang sersan kepala bernama Untung Subarkah yang tertarik pada Ratsih.(Atmowiloto, 1981:132)
Sebelum menikah, Ratsih mengganti namanya menjadi Ratih. Setelah menikah
dengan Untung Subarkah, kehidupan Ratih menjadi lebih baik. Hubungan Ratih
dengan Solemah yang berada di lingkungan asrama militer membawa keuntungan.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa modal sosial berupa jaringan relasi ini
memberi manfaat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
2.2.3. Modal Budaya
Modal budaya berkaitan dengan cara orang bertindak, bersikap, dan
berpenampilan dalam masyarakat (Barata 2017:29). Modal budaya juga meliputi
ijazah, pengetahuan, kode budaya, cara berbicara, kemampuan menulis, cara
pembawaan, cara bergaul yang berperan dalam penentuan kedudukan sosial
(Bourdieu melalui Haryatmoko, 2016:45).
Dalam novel DI tokoh Ayah memiliki modal budaya yang kuat. Tokoh Ayah
diceritakan sebagai seseorang yang berpendidikan dan memiliki banyak keahlian.
Beberapa kutipan berikut mendeskripsikan Ayah secara rinci.
(18) Ayah diakui sebagai orang yang pintar. Seperti intelektual, begitulahistilah Ibu. Bisa steno, ahli bahasa, Belanda, Inggris, Jepang dan satu bahasaasing lagi (Ibu tidak tahu bahasa apa, aku tak sempat tahu karena Ayah umurnyapendek), bisa memperbaiki radio, menciptakan speaker, sesuatu yang waktu itutak banyak diketahui orang lain. (Atmowiloto, 1981:19)
(19) Ayah memang hebat, walau tubuhnya kurus dan giginya besar-besar.Paling suka baca surat kabar, mendengarkan siaran luar negeri dan dapat majalahgratis Aneka Amerika. Segala macam pelajaran di sekolahku Ayah tahu. Kalauaku kesulitan kata proklamasi, mukadimah, demokrasi, Ayah tahu semua.(Atmowiloto, 1981:19)
(20) Kata Ibu, Ayah itu pintar sekali.Cita-citanya jadi dokter. Sudah sekolah setahun, lalu keluar. Entah tak ada
beaya, entah tak cocok dengan orang Belanda. Lalu masuk jurusan hukum. Nilaibagus pula (ah, Ibu tak pernah bercerita jelek tentang Ayah) yang diraih. Lalukeluar. Dengan ijazah AMS, Ayah bisa bekerja menjadi pamongpraja yang baik.(Atmowiloto, 1981:20)
Kutipan (18) menjelaskan bagaimana Ayah menguasai berbagai bahasa. Ayah
juga mampu memperbaiki radio dan pelantang. Kutipan (19) menunjukkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
kegemaran Ayah mendengarkan siaran luar negeri dan membaca majalah tentang luar
negeri. Kutipan (20) menjelaskan pendidikan dan pekerjaan Ayah.
Kebiasaan-kebiasaan Ayah tersebut belum cukup umum di masyarakat pada masa itu.
Keunikan dan kecerdasan Ayah menjadi nilai lebih dibandingkan orang lain di
masyarakat.
Ayah juga memiliki keahlian dalam bidang teknologi, sesuatu yang belum
banyak dipahami orang. Kutipan (21) menjelaskan kemampuan Ayah dalam bidang
teknologi.
(21) Waktu musim lampu dipadamkan, Ayah bisa mencuri aliran listrikdan menerangi seluruh kampung. Radio yang dibikin sendiri, bentuknya sepertibantal, mampu menangkap siaran BBC. Padahal radio itu bentuknya sepertibantal, dan antenanya dipasang mencuat jauh di atas pohon mangga yangtertinggi di halaman rumahku. Untuk gambar gelombang dipasang sendirinomor-nomornya. Waktu itu, Ayah sudah bisa memisahkan suara bass dan trible.Kalau ada siaran wayang orang atau ketoprak, tetangga kiri kanan selalumendengarkan radio Ayah. Komentar mereka, “Gongnya lebih marem.”(Atmowiloto, 1981:19)
Orang-orang sekitar sangat menghormati tokoh Ayah. Ketika meninggal
karena sakit, banyak sekali yang datang melayat. Hal ini menunjukkan penghormatan
mereka seperti yang tergambar pada kutipan (22).
(22) “Yang melayat banyak sekali,” kata Herit kepadaku.“Dari mana kau tahu?”“Aku dari kuburan. Ayah sudah sampai di sana, di sini banyak yang
belum bergerak. Iringan panjang sekali. Mau lihat?” (Atmowiloto, 1981:22)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
Tokoh Ibu juga memiliki modal budaya. Ibu dengan tekun menjalankan adat
istiadat yang berlaku sesuai dengan latar belakang budaya Jawa yang kental.
Misalnya dengan berpantang dan berpuasa. Perilaku yang didasarkan pada tradisi ini
membuat Ibu dihormati, bahkan menjadi cerita di masyarakat sekitar seperti yang
diceritakan dalam kutipan (23) dan (24).
(23) Pasti sejak dua atau tiga hari ini Ibu tidak tidur. Tidak pernahbenar-benar tidur. Ibu selalu melakukan itu jika sedang ada sesuatu yangdikerjakan. Seperti sekarang ini.
Tanda bahwa Ibu tidak betul-betul tidur, mudah sekali. Yaitu tidak pernahmeluruskan lutut di tempat duduk. Artinya lutut itu selalu dalam keadaan tidakterlipat. “Dengan demikian mudah terbangun, tak bisa lelap,” katanya. Untuklaku, agar jiwanya tetap terjaga. (Atmowiloto, 1981:18)
(24) Baru saat itu Ibu meneguk air. Air pertama yang melaluitenggorokannya setelah tiga hari! Selama tiga hari tiga malam, Ibu tidak makanapa pun juga selain mengunyah sirih. Tiga hari tiga malam! Padahal berjaga,bekerja terus.
Menurut cerita, rekor itu masih jauh di bawah ketika Solemah kawin.Waktu itu Ibu seminggu-paling tidak lima hari- tidak makan apa pun juga.(Atmowiloto, 1981:24)
Anak-anak Ibu juga menekuni tradisi adat Jawa. Salah satunya adalah ketika
Solemah membuat kembang setaman untuk mendiang Ayah. Solemah menceritakan
hal tersebut melalui surat yang ia tulis untuk Ibu. Berikut adalah kutipannya.
(25) Esoknya saya bikin kembang setaman buat ayah. Sungguh Bu, sayatak melupakan kalau selama ini tidak bikin kembang setaman. (Atmowiloto,1981:54)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
Di sisi lain, meskipun memiliki modal ekonomi yang kuat, Oom Bong
tampaknya kurang memiliki modal budaya ketika berada di masyarakat Solo.
Perbedaan cara hidup dengan di Jakarta membuatnya kurang nyaman mengikuti tata
cara masyarakat Jawa di Solo.
(26) Oom Bong duduk sambil membuka baju, tampak kaku dan kikukcara menekuk lutut. Ia tak biasa bersila seperti tetangga kiri-kanan yang tampakenak sekali. (Atmowiloto, 1981:66)
(27) Oom Bong mencoba rokok Menara Kudus. Beberapa kalimengangguk-angguk tapi selalu saja gugup setiap ada letikan dari rokok yangdihisap. (Atmowiloto, 1981:66)
Dari kutipan (26) dan (27) dapat dilihat bahwa Oom Bong merasa kurang
cocok duduk bersila atau ketika mencoba rokok Menara Kudus. Di antara masyarakat
Solo ia kurang dapat melebur. Dalam situasi ini, Oom Bong kurang memiliki modal
budaya.
2.2.4. Modal Simbolik
Modal simbolik terwujud melalui simbol-simbol kekuasaan. Simbol-simbol
tersebut dapat berupa jabatan, gelar, status sosial, barang-barang mewah, nama
keluarga, dan lain-lain (Haryatmoko, 2016:45). Modal simbolik juga merupakan
sesuatu yang dikenali dan diakui secara natural, seperti: tempat tinggal, hobi, tempat
makan, dan sebagainya. Kepemilikan modal simbolik adalah yang paling mulia di
antara modal-modal lain (Ningtyas, 2015) karena menjadi penghargaan dan otoritas
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
yang diperoleh setelah memiliki ketiga bentuk kapital lain dalam tingkat tertentu
(Hidayat, 2010). Kapital simbolik juga dapat terwujud melalui kapital ekonomi
(Bourdieu 1990:123). Kapital simbolik menghasilkan kekuasaan simbolik.
Mendapat pendidikan dan pengetahuan yang memadai dianggap sebagai suatu
hal yang prestisius di masyarakat. Tidak semua orang mendapat fasilitas tersebut.
Orang yang berpendidikan umumnya lebih dihormati.
Sebagai contoh, tokoh Ayah yang cerdas dan memiliki modal budaya yang
tinggi sangat dihormati. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan (18), (19), dan (20).
Ketika meninggal, banyak sekali yang melayat Ayah, seperti yang sebelumnya
tercantum dalam kutipan (22). Ayah juga memiliki pendirian kuat yang ditunjukkan
dengan keputusannya untuk keluar ketika Kraton Kasunanan berpihak kepada
Belanda. Sikap dan pendirian tegas ini tidak begitu lazim, sehingga keberanian Ayah
membuatnya dihormati orang lain. Keputusan Ayah tersebut dapat dilihat pada
kutipan (28).
(28) Tapi tidak mau bekerja sama dengan Belanda. Lebih suka menjadiabdi dalem di Kraton Kasunanan. Gajinya sangat kecil. Kata orang Ayah lebihsuka jadi priyayi. Ini tidak terbukti. Ketika Kasunanan berpihak Belanda, Ayahkeluar. (Atmowiloto, 1981:20)
Sikap hormat masyarakat sekitar muncul karena orang yang berpendidikan
lebih tinggi cenderung mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Pengakuan adalah hal
yang utama dalam kapital simbolik (Hidayat, 2010). Oom Bong yang bekerja di
kantor televisi juga mendapat penghormatan oleh tetangga-tetangga di Solo.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
Penghormatan itu ditunjukkan dengan perhatian intensif ketika Oom Bong bercerita.
Kutipan (29) menunjukkan peristiwa tersebut.
(29) Mereka mendengarkan Oom Bong bercerita. (Atmowiloto, 1981:66)
Di kantor televisi, Oom Bong memiliki kedudukan yang cukup tinggi. Ia
mengetahui banyak hal dan berwawasan luas, termasuk situasi politik negara dan
dunia. Karena posisinya yang cukup berpengaruh, ia diinterogasi karena dugaan
kerjasama dengan Amerika. Kecurigaan pihak berwajib menunjukkan besarnya
pengaruh kedudukan Oom Bong. Berikut adalah kutipan yang menunjukkan
peristiwa tersebut.
(30) “Itu namanya politik. Dulu sekali Papi dibilang anti Amerika. Tidakbisa bekerja sama. Tidak mau dikirim ke Jerman untuk belajar. Lalu Papi dikirimke Amerika buat belajar. Waktu pulang, Papi merombak sistem siaran. Dibilanganti Amerika. Sekarang ini malah dibilang antek Amerika. Agen CIA.”(Atmowiloto, 1981:219)
Jabatan lain yang juga dianggap prestisius adalah jabatan militer. Semakin
tinggi jabatan militer seseorang, semakin kehidupannya dianggap baik. Menikahi
seseorang dengan jabatan militer dianggap mampu menaikkan derajat hidup, apalagi
bagi perempuan. Hal tersebut tampak dalam usaha Solemah menjodohkan Ratsih
dengan tentara. Peristiwa ini diceritakan dalam surat Solemah kepada Ibu seperti
yang ada pada kutipan (31).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
(31) Bu, kalau nanti longgar tanyakan Ratsih sekali lagi. Tukiminbetul-betul naksir. Sekarang ini pangkatnya kopral, kata Mas Jon bakal jadisersan. (Atmowiloto, 1981:53)
Pada akhirnya Ratsih memilih menikahi Untung Subarkah. Untung Subarkah
berpangkat lebih tinggi daripada suami Solemah, yaitu Mas Jon. Pangkat yang lebih
tinggi juga dianggap akan membawa perubahan ekonomi. Kutipan (32) dan (33)
menunjukkan hal ini.
(32) “Karena Mas Untung sersan kepala sedang Mas Jon hanya kopral?”(Atmowiloto, 1981:143)
(33) Kau nanti lebih kaya dari aku. (Atmowiloto, 1981:142)
Jabatan tinggi ini begitu menggiurkan bagi orang yang memiliki modal kecil.
Sebagai contoh, Jamil sangat ingin menjadi Angkatan Laut. Jamil beranggapan posisi
sosialnya akan naik jika ia menjadi Angkatan Laut. Ia diam-diam pergi ke Jakarta
untuk ikut berlayar. Keinginan Jamil dapat dilihat pada kutipan (34). Ia menjadi
sangat ambisius terhadap keinginan tersebut.
(34) Pikirannya hanya satu. Jakarta!Pikirannya hanya satu. Angkatan Laut! (Atmowiloto, 1981:121)
Ketika tertangkap di atas kapal yang membawa mereka menuju Singapura,
Jamil dan teman-temannya ditangkap serta dituduh menjadi penyelundup. Mereka
tidak memiliki jaminan sehingga dapat dikatakan tidak memiliki modal. Secara
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
simbolis hal itu membuat hidupnya terancam dan tidak berharga di mata orang lain.
Peristiwa tersebut diceritakan dalam kutipan (35).
(35) Malam itu ia dipinggirkan, diangkut truk dibawa ke tahanan. Sampaidi kamar tahanan, Jamil masih belum tahu di mana ia berada. Apakah ini diSingapura, di Penang, atau bahkan masih di Jakarta. Ketika Jamil bertanya, iadibentak, “Tutup mulut.”
Ia tak punya surat-surat. Ia dibentak, dihajar, dan ia mengakui bahwa jalanyang paling aman hanyalah tutup mulut. Karena sesungguhnya ia tidak tahuapa-apa, tidak mengenal siapa-siapa. Setiap kali diperiksa, ia malah gantibertanya. (Atmowiloto, 1981:196)
Secara implisit kebanyakan tokoh laki-laki lebih memiliki modal simbolik
daripada perempuan. Meskipun sama-sama berada di kelas bawah, laki-laki lebih
dihormati dan lebih berhak mendapat akses ke pendidikan, pekerjaan, dan lebih
memiliki citra baik dibandingkan perempuan. Hal tersebut merupakan modal
simbolik karena status biologisnya sebagai laki-laki. Hal ini akan dijelaskan lebih
lanjut dalam pembahasan mengenai dominasi maskulin.
2.3. Kelas
Besarnya kepemilikan modal menentukan posisi seseorang dalam struktur
kelas sosial. Pembedaan kelas terbentuk berdasarkan struktur modal dan akumulasi
modal. Menurut Bourdieu (melalui Haryatmoko, 2016:46) terdapat tiga jenis kelas
yaitu kelas dominan, kelas borjuasi kecil, dan kelas populer.
Kelas dominan mengakumulasi berbagai bentuk kapital (Bourdieu, 1984:114).
Hampir setiap bentuk modal dikuasai kelas dominan. Pekerja profesional dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
eksekutif termasuk dalam kelas ini. Mereka memiliki gaya hidup sendiri yang
membedakan dengan kelas menengah dan kelas bawah (Bourdieu, 1984:114).
Pekerja kelas menengah termasuk ke dalam kelas borjuasi kecil. Kelas borjuasi
kecil ini memfokuskan diri pada usaha menaiki tangga sosial (Haryatmoko,
2016:46-47).
Kelas yang terakhir adalah kelas populer. Kelas ini paling minim atau bahkan
tidak ada kepemilikan modal dalam bentuk apapun. Di dalamnya termasuk pekerja
kelas bawah dan buruh kasar. Nilai yang menyatukan mereka ialah sejumlah praktik
dan representasi yang menemukan makna dalam keunggulan fisik dan penerimaan
dominasi (Haryatmoko, 2016:47). Kelas populer adalah kelas yang paling rentan
terhadap dominasi.
2.3.1. Kelas Dominan
Dalam novel DI mayoritas tokoh yang termasuk dalam kelas dominan adalah
laki-laki. Tokoh yang pertama yaitu Oom Bong. Ia memiliki latar belakang
pendidikan yang bagus dan kehidupan yang layak di Jakarta, seperti yang tampak
pada kutipan (30). Ia memperoleh rasa hormat dari masyarakat sekitar. Meskipun
pada akhirnya Oom Bong ditahan dan diinterogasi pemerintah karena dugaan
keterlibatan dengan Amerika, ia tidak kehilangan wibawa. Oom Bong memiliki
modal yang cukup sehingga tidak perlu merasa takut kehilangan harga diri ketika
mundur dari pekerjaannya. Berikut adalah kutipan yang menunjukkan situasi
pengunduran diri Oom Bong.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
(36) “Aku yang mengundurkan diri. Surat itu harus kubuat untukkepentingan diriku sendiri dan teman-teman semua. Kalau tidak kemungkinanbesar televisi kita tak bisa siaran. Walau lima menit sekalipun. Padahal itu lebihpenting daripada sekadar surat permohonan diri. Mungkin di sini aku jadi antekAmerika dan Rusia sekaligus. Mempercayai kegunaan televisi. Bukankah keduanegara sama-sama terus menyiarkan itu-walau beda sifatnya?” (Atmowiloto,1981:221)
Tante Mirah sebagai suami Oom Bong juga berada dalam kelas dominan.
Namun situasi mereka sedikit berbeda. Tante Mirah saat ini berhasil dihormati karena
usaha keras dan pengorbanannya dulu. Saat ini ia telah mampu membuktikan diri
sebagai kelas atas. Kutipan (37) menunjukkan bahwa Tante Mirah memiliki modal
ekonomi yang cukup dan mampu membeli celana jins asli dari Amerika yang
terbilang mahal saat itu. Kejadian tersebut ditempatkan dalam sudut pandang Mamid
yang kagum.
(37) “Tapi kena denda juga. Jamil minta celana jin. Yang asli dariAmerika,” Tante tertawa. Rupanya memang benar-benar kaya. Kalau tidak,bagaimana menyebutkan jin asli dari Amerika dengan tertawa? (Atmowiloto,1981:48)
Tokoh Ayah juga berasal dari kelas dominan meskipun secara ekonomi kurang
berkecukupan. Ia memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi dan kesempatan
memiliki pekerjaan yang bagus. Latar belakang pendidikan dipandang memiliki
status sosial yang tinggi oleh masyarakat. Ia berhasil memperoleh rasa hormat dari
masyarakat dan keluarganya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
Tokoh-tokoh yang memiliki jabatan militer juga termasuk dalam kelas
dominan. Meskipun secara ekonomi belum tentu baik, secara simbolis mereka
dipandang memiliki status sosial yang tinggi dalam masyarakat. Banyak yang
meragukan dan mencibir ketika Ratih menikah dengan Untung Subarkah. Hal
tersebut menunjukkan bahwa predikat jabatan militer telah mendominasi pemikiran
masyarakat sekitar. Seseorang dengan status sosial setinggi itu dianggap tidak layak
bersanding dengan seorang gadis miskin. Sindiran masyarakat tersebut salah satunya
terdapat dalam kutipan (38).
(38) Mana mungkin seorang angkatan laut? Sersan kepala lagi?(Atmowiloto, 1981:139)
2.3.2. Kelas Borjuasi Kecil
Dalam novel DI kelompok yang termasuk dalam kelas borjuasi kecil adalah
Agus dan keluarganya. Ketika menikah dengan Mujanah, Agus memiliki sikap yang
buruk sekali. Dapat dikatakan, modal budayanya sangat rendah. Ia pelit dan
berambisi mendapatkan keuntungan besar dari berdagang. Agus juga
mempertimbangkan untung-rugi dari hal-hal kecil dalam rumah tangganya seperti
dapat dilihat dalam kutipan (39) dan (40).
(39) “Soalnya aku sudah janji. Dagang tidak boleh ingkar janji. Akankuusahakan waktu perkawinan nanti.” (Atmowiloto, 1981:154)
(40) Malam itu, Untung dan Ratih menempati senthong, kamar Mujanah,satu-satunya yang bisa disebut kamar.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
“Harusnya bayar sewa,” kata Agus, “Aku kan sudah pasang korden angenting kaca.” (Atmowiloto, 1981:155)
Dengan berambisi memperoleh situasi ekonomi yang lebih baik, ia berharap
dapat menaiki kelas sosial. Sikap ini memenuhi ciri kelas borjuasi kecil. Agus juga
mengimitasi nilai-nilai orang lain untuk membuat dirinya terlihat pintar berdagang.
Dalam kutipan (41) dapat dilihat ia berusaha menerapkan cara berdagang temannya,
Yong, karena beranggapan cara tersebut lebih baik.
(41) Sebagian uang kontrak untuk perkawinan Ratih, sebagian untukmembayar semua hutang, berikut bunga-bunganya, sebagian dipotong oleh Agus.Ia yang menjadi perantara dengan Yong, temannya main tenis.
“Dagang harus begitu. Komisi tetap komisi. Kalau tidak begitu, manamungkin Cina itu bisa maju usahanya? Kita harus belajar keras dari mereka.”(Atmowiloto, 1981:158)
Tokoh lain yang termasuk dalam kelas borjuasi kecil adalah Pakde Wiro.
Setelah mendapat sedikit modal dari menjual tanah warisan istrinya, ia ingin
membuka usaha warung. Ia ingin mengambil kembali anaknya agar dapat
mempekerjakan anaknya di warung tersebut. Pakde Wiro menggunakan berbagai cara
untuk meraih pendapatan ekonomi yang lebih baik dan naik kelas sosial. Sikap ini
memenuhi ciri kelas borjuasi kecil. Berikut adalah bukti kutipannya.
(42) “Begini asal muasalnya. Saya akan usaha buka warung kecil-kecilan.Siapa yang membantu kalau bukan Adam? Lagipula kan Adam sudah harussekolah yang bener. Harus belajar yang teratur. Sudah besar. Sebentar lagi yah,bagaimana layaknya orang yang sudah dewasa. Saya sendiri sudah tua. Slametan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
mbakyumu sudah selesai semua, sekarang tak ada yang menyalahkan kalau tanahwarisannya saya jual. Itu maksud saya.” (Atmowiloto, 1981:189)
2.3.3. Kelas populer
Dalam novel DI, kelas populer ditempati Ibu dan anak-anaknya. Ketika Ayah
masih hidup, keluarga tersebut cukup mampu menghidupi diri sendiri, meskipun
pas-pasan. Peristiwa ini telah disebutkan dalam kutipan (6) dan (7). Sepeninggalan
Ayah, mereka benar-benar jatuh miskin. Ibu dan anak-anaknya bahkan tidak
mengenakan pakaian yang layak. Dalam kutipan (43) ditemukan hal-hal yang
menunjukkan situasi ekonomi mereka.
(43) Pintu depan selalu tertutup. Waktu ada yang mengetuk pintu, Ibuberjalan pelan (seperti terbang karena tidak menimbulkan suara) ke kamar. Ibutak mau menemui tamu. Tak mungkin karena merasa tidak menghormati.Bajunya dibuat sendiri dari bekas kain apa, dan sebagai kainnya, entah daribahan apa pula. Itu pun kalau dicuci, Ibu harus membungkus tubuhnya denganselimut Prihatin (namanya menggambarkan suasana, kata Ayah) yang sudahkoyak-koyak. (Atmowiloto, 1981:37)
Ketidakmampuan mereka secara ekonomi berpengaruh pada status sosial
mereka. Seperti yang tercantum dalam kutipan (15) dan (16), Ibu tidak pernah lagi
diundang masak atau menyumbang pada acara hajatan. Masyarakat sekitar
beranggapan mereka tidak mampu menyumbang. Dengan demikian, modal sosial dan
modal simbolik mereka sangat minim atau bahkan tidak ada.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
2.4. Habitus
Untuk membedakan suatu kelas dengan kelas yang lain, diperlukan
tanda-tanda, ciri-ciri khusus. Habitus merupakan hasil akumulasi keterampilan yang
menjadi tindakan praktis dan diterjemahkan menjadi suatu kemampuan yang tampak
alamiah. Habitus diperoleh dari pengkondisian yang dikaitkan dengan syarat-syarat
keberadaan suatu kelas sosial tertentu (Ningtyas, 2015). Habitus meliputi selera
umum, kebiasaan, penggunaan bahasa, cara berpikir, dan pola kehidupan. Hal-hal
tersebut telah dianggap sebagai norma-norma yang dibatinkan (Haryatmoko,
2016:56).
2.4.1. Habitus Kelas Dominan
Habitus kelas dominan ditandai dengan kesadaran bahwa kepemilikan modal
membebaskan mereka untuk bertindak. Mereka juga tidak begitu peduli akan dampak
tindakan mereka terhadap kelas lain.
Sebagai contoh, Oom Bong dengan mudah memutuskan bagaimana
menggunakan uangnya, seperti yang tampak pada kutipan (3) dan kutipan berikut.
(44) Oom Bong hanya mengangkat alisnya. Waktu pulang andongnyaberhenti di toko sebentar. Oom Bong membeli radio.
Cepat sekali pilihannya. Cepat pula menawarnya. (Atmowiloto, 1981:59)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
Tindakan tersebut menegaskan posisinya sebagai kelas dominan dengan modal
ekonomi yang besar. Perilaku tersebut juga membuat kelas yang lebih rendah
meyakini bahwa kepemilikan modal akan menunjang status sosial mereka.
Selain itu, Oom Bong merasa wajar saja didekati perempuan lain. Ia tidak
mengabaikan protes istrinya seperti yang dapat dilihat dalam kutipan (45).
(45) “Bagaimana kabarnya Lis itu?” Suara Tante tetap tinggi.“Lis siapa?”“Pura-pura lagi. Padahal baru disebut saja sudah terbayang. Kok bisa
bilang Lis siapa itu lho. Lis penyiar itu. Yang suratnya kutemukan di sakubajumu. Ingat?”
“O, itu. Habis yang namanya Lis banyak. Perasaan banyak pula yang nulissurat padaku, dan rasanya semua kumasukkan saku. Tidak ada yang kutelan.”(Atmowiloto, 1981:107)
Tokoh Ayah memiliki modal budaya dan modal sosial yang besar. Ayah
menegaskan posisinya dengan cara bergaul dengan orang Belanda. Ia juga dekat
dengan seorang perempuan Belanda. Ayah menganggap bahwa hal itu wajar saja dan
menganggap remeh kejengkelan Ibu. Berikut adalah bukti kutipannya.
(46) Ibu menganggap perbuatan Ayah tidak ada yang tercela.Kecuali main perempuan.Kata Ibu, Ayah punya pacar. Orang Belanda, yang suka mengundang
Ayah datang ke rumahnya. Main piano di sana, makan enak, dansah (Ibu selalumenyebut dengan huruf h yang kental), dan pulangnya diantar mobil. Ibu selaludiajak, tapi selalu menolak. Ayah yang tak pernah menolak. (Atmowiloto,1981:105)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
Ayah tidak menganggap serius protes Ibu. Ia merasa berhak bergaul dengan
mereka karena merasa tindakannya benar. Ia mengungkapkan apa yang ia pikirkan
terhadap tindakannya. Dialog dalam kutipan (47) menunjukkan usaha dominasi Ayah
ketika berargumentasi dengan Ibu.
(47) “Mungkin saja,” jawab Ayah sembrono, “Yang jelas mereka inginngobrol dalam bahasa Belanda-saya juga ingin mempraktekkan. Mereka senangkarena saya tahu banyak tentang negeri Belanda. Malah katanya mau mengajaksaya ke sana.” (Atmowiloto, 1981: 106)
Kepemilikan modal simbolik berupa jabatan juga menempatkan seseorang
pada kelas dominan. Beberapa tokoh yang memiliki jabatan militer membuat mereka
memiliki status sosial yang lebih tinggi. Meskipun tidak bermaksud demikian, status
sosial yang mereka miliki secara tidak langsung mendominasi dan membentuk pola
pikir masyarakat kelas menengah dan bawah.
2.4.2. Habitus Kelas Borjuasi Kecil
Kelas borjuasi kecil ditandai dengan ambisi menaiki tangga sosial. Mereka
mengimitasi habitus kelas dominan meskipun masih diwarnai pola pikir kelas populer.
Seringkali mereka juga memiliki modal minim dan masih memiliki habitus kelas
populer.
Tokoh Agus dan keluarganya termasuk dalam kelas borjuasi kecil. Agus
mengadaptasi nilai-nilai orang lain dalam kelas dominan dengan modal ekonomi,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
dalam hal ini pedagang. Seperti yang terlihat dalam kutipan (41), Agus bergaul
dengan Tan Yong dan memanfaatkan koneksi tersebut untuk mendapat komisi. Ia
beranggapan dengan mengi