Post on 06-Aug-2015
Text Book Reading
REHABILITASI KOGNITIF PADA DEMENSIA
Pembimbing
dr. Muttaqien Pramudigdo, Sp.S
Disusun Oleh
Lita Hervitasari G1A212031
SMF ILMU PENYAKIT SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO
2012
LEMBAR PENGESAHAN
Telah dipresentasikan dan disetujui Text Book Reading (TBR) berjudul
REHABILITASI KOGNITIF PADA DEMENSIA
Disusun Oleh
Lita Hervitasari G1A212031
Diajukan untuk memenuhi sebagian syarat kegiatan Kepaniteraan Klinik
di bagian Ilmu Penyakit Saraf RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto
Pada tanggal : Oktober 2012
Mengetahui,
Pembimbing
dr. Muttaqien Pramudigdo, Sp.S
2
KATA PENGHANTAR
Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kepada hadirat Tuhan Yang
Maha Esa berkat karunia dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan
Teks Book Reading (TBR) yang berjudul “ Rehabilitasi Kognitif Pada Demensia”
yang menjadi salah satu syarat dalam keikutsertaan ujian kepanitraan klinik senior
Ilmu Penyakit Syaraf RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.
Dalam menyelesaikan penulisan TBR ini, penulis ingin menyatakan terima
kasih kepada:
1. Dr. Muttaqien Pramudigdo Sp.S selaku sebagai dokter pembimbing dalam
pembuatan TBR ini.
2. Teman- teman Co-Ass yang ikut dalam kepaniteraan senior Ilmu Penyakit
Syaraf ini.
Penulis selaku manusia juga menyadari adanya kekurangan dalam
penyusunan dan penulisan TBR ini sehingga penulis mengaharapkan kritik
dan saran untuk perbaikan demi kemajuan dan pembaruan TBR ini.
Penulis berharap semoga TBR yang berjudul” Rehabilitasi Kognitif Pada
Demensia” dapat bermanfaat bagisemua pihak yang berkepentingan dalam
pengembangan kemajuan ilmu kedoteran. Amin
Purwokerto, Oktober 2012
Lita Hervitasari
3
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Demensia merupakan masalah terbesar dan serius yang dihadapi oleh
negara-negara maju, dan telah pula menjadi masalah kesehatan yang mulai
muncul di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Hal ini disebabkan
oleh makin mengemukanya penyakit-penyakit degeneratif serta makin
meningkanya usia harapan hidup di hampir seluruh behalan dunia (1). Studi
prevalensi menunjukkan bahwa di Amerika Serikat, pada populasi di atas umur
65 tahun, persentase orang dengan penyakit Alzheimer (penyebab terbesar
demensia) meningkat dua kali lipat setiap pertambahan umur lima tahun.
Tanpa pencegahan dan pengobatan yang memadai, jumlah pasien dengan
penyakit Alzheimer di negara tersebut meningkat dari 4,5 juta pada tahun 2000
menjadi 13,2 juta orang pada tahun 2050 (1).
Demensia merupakan sindroma yang ditandai oelah berbagai gangguan
kognitif tanpa gangguan kesadaran. Fungsi kognitif yang dapat dipengaruhi
pada demensia adalah intelegensia umum, belajar dan ingatan, bahasa,
mencerna masalah, orientasi, persepsi, perhatian, konsentrasi, pertimbangan
dan kemapuan sosial (1,2). Secara klinis munculnya demensia pada seorang usia
lanjut sering tidak disadari karena awitannya yang tidak jelas dan perjalanan
penyakitnya yang progresif namun perlahan. Selain itu pasien dan keluarga
juga sering menganggap bahwa penurunan fungsi kognitif yang terjadi pada
awal demensia (biasanya ditandai dengan berkurangnya fungsi memori)
4
merupakan suatu hal yang wajar pada seorang yang sudah menua. Akibatnya,
penurunan fungsi kognitif terus akan berlanjut sampai akhirnya mulai
mempengaruhi status fungsional pasien dan pasien akan jatuh pada
ketergantungan kepada lingkungan sekitarnya (2).
Saat ini telah disadari bahwa diperlukan deteksi dini terhadap
munculnya demensia, karena ternyata berbagai penelitian telah menunjukkan
bila gejala-gejala peurunan fungsi kognitif dikenali sejak awal maka dapat
dilakukan upaya-upaya meningkatkan atau paling tidak mempertahankan
fungsi kognitif agar tidak jatuh pada keadaan demensia. Oleh karena itu perlu
dilakukan rehabilitasi kognitif yang dapat membantu penderita demensia dalam
memperbaiki fungsi kognitif untuk mencegah atau memperlambat penderita
jatuh dalam kondisi yang benar-benar mengalami disfungsi hidup sehari-hari,(3).
Rehabilitasi kognitif merupakan terapi nonfarmakologi yang bertujuan
meningkatkan kognisi yang berfokus pada domain kognitif tertentu seperti
kegiatan dasar, activity daily living (ADL), keterampilan sosial dan gangguan
perilaku. Training kognitif ini meliputi stimulasi kognitif, rehabilitasi memori,
orientasi realitas dan rehabilitasi neuropsikologi (3).. Meta analisis studi
pengujian kognitif pada tahun 1980-2004 mendukung bahwa pelatihan kognitif
yang efektif berpengaruh pada belajar, memori, fungsi eksekutif, Activity Daily
Living (ADL), kognitif umum, depresi dan fungsi umum yang berhubungan
dengan diri sendiri (3).
II
5
TINJAUAN PUSTAKA
A. Demensia
1. Definisi
Demensia merupakan suatu sindrom klinik yang bersifat progresif
dan sebagian besar bersifat irreversible yang ditandai oleh suatu
gangguan mental yang luas. Gejala demensia seperti kehilangan memori,
gangguan berbahasa, disorientasi, perubahan kepribadian, kesulitan
dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari, pengabaian diri, gejala
psikiatri dan perilaku diluar karakter(4,1) .Gangguan kognitif yang terjadi
cukup mengganggu fungsi sosial ataupun pekerjaan, gangguan ini dapat
terjadi karena berbagai proses neurodegenaratif dan proses iskemik (4).
Definisi lain mengenai demensia adalah hilangnya fungsi kognisi
secara multidimensional dan terus-menerus, disebabkan oleh kerusakan
organik system saraf pusat, tidak disertai penurunan kesadaran secara
akut seperti halnya terjadi pada delirium (2)
2. Epidemiologi
Di kawasan Asia Pasifik, pada tahun 2005 penderita demensia
berjumlah 13,7 juta orang dan menjelang tahun 2050 diprediksikan
jumlah ini akan meningkat menjadi 64,6 juta orang. Pada tahun 2005
jumlah kasus baru di kawasan adalah 4,3 juta per tahun. Menjelang tahun
2050 jumlah ini diproyeksikan akan meningkat menjadi 19,7 juta kasus
baru pertahun . Prevalensi penyakit Alzheimer menunjukkan peningkatan
empat kali lipat pada usia di atas 50 tahun pada 1 : 45 orang Amerika (5,1).
3. Klasifikasi
6
Demensia dapat diklasifikasikan berdasarkan umur, perjalanan
penyakit, kerusakan struktur otak, sifat klinisnya (6,7)
2.1 Menurut umur
2.1.1 Demensia sinilis (>65 tahun)
2.1.2 Demensia prasenilis (<65 tahun
2.2 Menurut perjalanan penyakit
2.2.1 Revesibel
2.2.2 Ireversibel (Normal pressure hydrocepalus, subdural
hematoma, defisiensi vitamin B, hipitiroidism, intoksikasi
Pb).
2.3 Menurut kerusakan struktur otak
2.3.1 Tipe alzheimer
2.3.2 Tipe non-Alzheimer
2.3.3 Demensia vaskular
2.3.4 Demensia Jisim Lewy (Lewy Body demantia)
2.3.5 Demensia Lobus frontal-temporal
2.3.6 Demensia terkait dengan HIV-AIDS
2.3.7 Morbus Parkinson
2.3.8 Morbuas Huntington
2.3.9 Morbus Pick
2.3.10 Morbus Jakob-Creutzfeldt
2.3.11 Sindrom Gerstmann-Straussler-Scheinker
2.3.12 Proin disease
2.3.13 Palsi Supranuklear progresif
7
2.3.14 Multiple skelosis
2.3.15 Neurosifilis
2.3.16 Tipe campura (tipe demensia Alzheimer dan demensia
vaskuler)
2.4 Menurut sifat klinis
2.4.1 Demensia propius
2.4.2 Pseudo-demensia
4. Etiologi (7)
3.1 Demensia Degeneratif
3.1.1 Penyakit Alzheimer
3.1.2 Demensia Frontotemporal (Penyakit Pick)
3.1.3 Penyakit Parkinson
3.1.4 Penyakit Huntington
3.1.5 Demensia Lewy Body
3.1.6 Ferokalsinosis serebral idiopatik
3.1.7 Kelumpuhan supranuklear yang progresif
3.2 Kelainan Psikiatri
3.2.1 Pseudodemensia pada depresi
3.2.2 Penurunan fungsi kognitif pada usia lanjut
3.3 Fisiologis
3.3.1 Hidrocephalus tekanan normal
3.4 Kelainan Metabolik
3.4.1 Defisiensi vitamin (misalnya vitamin B12, folat)
3.4.2 Endokrinopati (hipotiroidisme)
8
3.4.3 Gangguan metabolisme kronik (contoh : uremia)
3.5 Tumor
Tumor primer maupun metastase (misalnya meningioma atau
tumor metastasis dari tumor payudara atau tumor paru)
3.6 Trauma
3.6.1 Demensia pugilistica, posttraumatic dementia
3.6.2 Subdural hematoma
3.7 Lain-lain
3.7.1 Penyakit Wilson
3.7.2 Leukodistrofi metakromatik
3.7.3 Neuroakantositosis
3.7.4 Normal-pressure hydrocephalus
3.8 Infeksi
3.8.1 Penyakit Prion (misalnya penyakit Creutzfeldt-Jakob)
3.8.2 Acquired immune deficiency syndrome (AIDS)
3.8.3 Sifilis
3.9 Kelainan jantung, vaskuler dan anoksia
3.9.1 Infark serebri (infark tunggal maupun mulitpel atau infark
lakunar)
3.9.2 Penyakit Binswanger (subcortical arteriosclerotic
encephalopathy)
3.9.3 Insufisiensi hemodinamik (hipoperfusi atau hipoksia)
3.10 Penyakit demielinisasi
9
3.10.1 Sklerosis multipel
3.11 Obat-obatan dan toksin
3.11.1 Alkohol
3.11.2 Logam berat
3.11.3 Radiasi
3.11.4 Pseudodemensia akibat pengobatan (misalnya penggunaan
antikolinergik)
3.11.5 Karbon monoksida
5. Patofisiologi
Pada otak seorang penderita demensia, terbentuk protein abnormal
yang disebut amiloid. Sejumlah amiloid terhampar pada lapisan luar otak
dan membentuk plak. Plak amiloid ini akan mempengaruhi neuron.
Secara fisiologis neuron ini mengandung protein yang berfungsi
mempertahankan bentuk neuron (8). Neuron yang abnormal ini dianggap
sebagai hasil dari perubahan struktur sel. Beberapa neuron mati, kolaps,
dan menyusut membentuk gumpalan. Gumpalan dan plak dari protein
amiloid ini tampak pada pemeriksaan mikroskopis, ini merupakan
cirikhas dari penyakit demensia alzheimer (9).
Penelitian neuroanatomi otak klasik pada pasien dengan penyakit
demensia menunjukkan adanya atrofi dengan pendataran sulkus
kortikalis dan pelebaran ventrikel serebri. Gambaran mikroskopis klasik
dan patognomonik dari demensia tipe Alzheimer adalah plak senilis,
kekusutan serabut neuron, neuronal loss (biasanya ditemukan pada
korteks dan hipokampus), dan degenerasi granulovaskuler pada sel saraf.
10
Kekusutan serabut neuron (neurofibrillary tangles) terdiri dari elemen
sitoskletal dan protein primer terfosforilasi, meskipun jenis protein
sitoskletal lainnya dapat juga terjadi(10) .
Gambar 1.1 Sel otak pada demansia Alzheimer dengan sal otak
normal (10)
Peranan asetilkolin dan norepinefrin dihipotesis menjadi hipoaktif
pada penyakit Alzheimer. Beberapa penelitian melaporkan pada penyakit
Alzheimer ditemukannya suatu degenerasi spesifik pada neuron
kolinergik pada nukleus basalis meynert. Data lain yang mendukung
adanya defisit kolinergik pada Alzheimer adalah ditemukan konsentrasi
asetilkolin dan asetilkolintransferase menurun (10).
Faktor genetik dianggap berperan dalam perkembangan demensia.
Beberapa gen mengalami kelainan (mutasi), gen abnormal ini selanjutnya
dapat mewariskan penyakit. Mutasi gen pada kromosom yang berbeda
(kromosom 1, 14, dan 21) telah dilaporkan dapat menyebabkan
alzheimer. Jika seseorang memiliki salah satu dari gen yang mutasi ini, ia
akan menurunkan kelainan ini pada separo anaknya (8,10).
11
Kelainan dalam pengaturan metabolisme fosfolipid membran
menyebabkan membran yang kurang cairan yaitu, lebih kaku
dibandingkan dengan membran yang normal. Penelitian melalui
spektroskopik resonansi molekular (Molecular Resonance Spectroscopic;
MRS) mendapatkan kadar alumunium yang tinggi dalam beberapa otak
pasien dengan penyakit Alzheimer (11).
Penyebab lainnya adalah ditemukannya suplai darah ke otak yang
berkurang. Hal ini disebabkan olah adanya aterosklerosis pada pembuluh
darah. Ateroskleroisis ditandai dengan arteri menyempit sehingga darah
yang dialirkan lebih sedikit, membetuk gumpalan darah di arteri dan
berdampak penyumbatan di seluruh permukaan arteri. Jika hal ini terjadi
pada otak akan menyebabkan stroke atau infark. Demensia vaskuler
dapat terjadi karena suplai darah ke otak berkurang sebagai akibat
pembuluh arteri yang menyempit karena ateroma atau karena stroke(11).
Gambar 2.1 Kerusakan sal saraf pada demensia vaskuler
6. Gambaran klinik (12)
Gambaran utama demensia ditandai olah munculnya defisit
kognitif multipleks, antara lain :
12
6.1 Gangguan memori
Dalam hal ini ketidakmampuan penderita untuk belajar hal-hal
baru atau lupa akan hal-hal baru saja dikenal, dikerjakan atau
dipelajari.
6.2 Gangguan orientasi
Daya ingat yang terganggu secara progresif dapat membuat
penderita lupa terhadap orang, tempat dan waktu.
6.3 Afasia
Ditandai dalam bentuk kesulitan untuk menyebut nama orang
atau benda. Tak hanya itu penderita afasia mungkin dalam
bahasa lisan dan tertulis dapat juga terganggu.
6.4 Apraksia
Merupakan ketidakmampuan untuk melakukan gerakan
meskipun kemampuan motorik, fungsi sensorik dan pengertian
yang diperlukan tetap baik. Penderita dapat mengalami
kesulitan dalam menggunakan suatu barang tertentu.
6.5 Agnosia
Merupakan ketidakmampuan untuk mengenali atau
mengidentifikasi benda maupun fungsi sensorik utuh.
6.6 Perubahan kepribadian
Pasien dengan demensia mungkin dapat menjadi introvert dan
tampaknya kurang memperhatikan tentang efek perilaku
mereka terhadap orang lain.
13
7. Diagnosis klinis (12)
7.1 Anamnesis
Wawancara sebaiknya dilakukan langsung pada penderita
dan keluarga yang sehari-hari berhubungan dengna penderita. Hal
yang penting diperhatikan adalah riwayat penurunan fungsi
kognitif. Awitan mendadak dan adanya perubahan perilaku dan
kepribadian.
7.1.1 Riwayat medis umum
Demensia dapat merupakan akibat sekunder dari
berbagai penyakit, sehingga perlu ditanyakan riwayat infeksi
kronis (HIV atau Sifilis), gangguan endokrin
(Hipertiroid/hipotiroid), DM, neoplasma, kebiasaan merokok,
penyakit jantujng, penyakit kolagen, hipertensi, hiperlipidemia,
dan aterosklerosis.
7.1.2 Riwayat neurologis
Perlu ditanyakan mengenai etiologi demensia seperti
gangguan serebrovaskular, trauma kapitis, infeksi SSP,
epilepsi, tumor cerebri, dan hidrocefalus.
7.1.3 Gangguan kognisi
Riwayat gangguan kognitif merupakan bagian
terpenting dari diagnosis demensia. Riwayat gangguan memori
sesaat, jangka pendek dan jangka panjang, gangguan orientasi,
gangguan fungsi eksekutif.
14
7.1.4 Riwayat gangguan perilaku dan kepribadian
Adanya gejala neuropsikologis berupa waham,
halusinasi, misidentifikasi, depresi, apatis dan cemas. Gejala
perilaku dapat berupa berpergian tanpa tujuan, agitasi,
agresifitas fisik maupun verbal, restlessness dan dishinbisi.
7.1.5 Riwayat intosikasi
Perlu ditanyakan riwayat intoksikasi almunium, air
raksa, pestisida, alkoholisme dan merokok. Riwayat
pengobatan pemakaian kronis antidepresan dan narkotika.
7.1.6 Riwayat keluarga
Riwayat demensia, gangguan psikiarti, depresi, penyakit
parkinson.
7.2 Pemeriksaan fisik
Tidak ada pemeriksaan khusus pada pasien demensia.
Pemeriksaan neurologis : dilihat adanya tekanan tinggi intra kranial,
gangguan neurologis misalnya gangguan berjalan, gangguan
motorik, sensorik, otonom, koordinasi, gangguan penglihatan,
gerakan abnormal/apraksia dan adanya refleks patologis.
7.3 Pemeriksaan penunjang
7.3.1 Pemeriksaan laboratorium rutin
Pemeriksaan laboratorium hanya dilakukan begitu
diagnosis klinis demensia ditegakkan untuk membantu
15
pencarian etiologi demensia khususnya pada demensia
reversible, walaupun 50% penyandang demensia adalah
demensia Alzheimer dengan hasil laboratorium normal,
pemeriksaan laboratorium rutin sebaiknya dilakukan.
Pemeriksaan laboratorium yang rutin dikerjakan antara lain:
pemeriksaan darah lengkap, urinalisis, elektrolit serum,
kalsium darah, ureum, fungsi hati, hormone tiroid, kadar
asam folat .
7.3.2 Imaging
Computed Tomography (CT) scan dan MRI
(Magnetic Resonance Imaging) telah menjadi pemeriksaan
rutin dalam pemeriksaan demensia walaupun hasilnya
masih dipertanyakan. Pada demensia vaskuler ditemukan
infark multiple bilateral yang terletak pada hemisfer yang
dominan dan struktur limbik, stroke lacunar multipel atau
adanya lesi periventricula yang meluas sampai ke daerah
substansia alba
7.3.3 Pemeriksaan EEG
Electroencephalogram (EEG) tidak memberikan
gambaran spesifik dan pada sebagian besar EEG adalah
normal. Pada Alzheimer stadium lanjut dapat memberi
gambaran perlambatan difus dan kompleks periodik.
16
7.3.4 Pemeriksaan cairan otak
Pungsi lumbal diindikasikan bila klinis dijumpai
awitan demensia akut, penyandang dengan imunosupresan,
dijumpai rangsangan meningen dan panas, demensia
presentasi atipikal, hidrosefalus normotensif, tes sifilis (+),
penyengatan meningeal pada CT scan.
7.3.5 Pemeriksaan genetika
Apolipoprotein E (APOE) adalah suatu protein
pengangkut lipid polimorfik yang memiliki 3 allel yaitu
epsilon 2, epsilon 3, dan epsilon 4. setiap allel mengkode
bentuk APOE yang berbeda. Meningkatnya frekuensi epsilon
4 diantara penyandang demensia Alzheimer tipe awitan
lambat atau tipe sporadik menyebabkan pemakaian genotif
APOE epsilon 4 sebagai penanda semakin meningkat.
7.4 Pemeriksaan neuropsikologis
Pemeriksaan neuropsikologis meliputi pemeriksaan status
mental, aktivitas sehari-hari / fungsional dan aspek kognitif
lainnya. Pemeriksaan neuropsikologis penting untuk sebagai
penambahan pemeriksaan demensia, terutama pemeriksaan untuk
fungsi kognitif, minimal yang mencakup atensi, memori, bahasa,
konstruksi visuospatial, kalkulasi dan problem solving.
Pemeriksaan neuropsikologi sangat berguna terutama pada kasus
yang sangat ringan untuk membedakan proses ketuaan atau proses
17
depresi. Sebaiknya syarat pemeriksaan neuropsikologis memenuhi
syarat sebagai berikut: mampu menyaring secara cepat suatu
populasi, mampu mengukur progresifitas penyakit yang telah
diindentifikaskan demensia (19,20)
Sebagai suatu esesmen awal pemeriksaan Status Mental
Mini (MMSE) adalah test yang paling banyak dipakai etapi sensitif
untuk mendeteksi gangguan memori ringan. Pemeriksaan status
mental MMSE Folstein adalah test yang paling sering dipakai saat
ini, penilaian dengan nilai maksimal 30 cukup baik dalam
mendeteksi gangguan kognisi, menetapkan data dasar dan
memantau penurunan kognisi dalam kurun waktu tertentu. Nilai di
bawah 27 dianggap abnormal dan mengindikasikan gangguan
kognisi yang signifikan pada penderita berpendidikan tinggi(19,20)
Penyandang dengan pendidikan yang rendah dengan nilai
MMSE paling rendah 24 masih dianggap normal, namun nilai yang
rendah ini mengidentifikasikan resiko untuk demensia. (19,20).
Clinical Dementia Rating (CDR) merupakan suatu
pemeriksaan umum pada demensia dan sering digunakan dan ini
juga merupakan suatu metode yang dapat menilai derajat demensia
ke dalam beberapa tingkatan. Penilaian fungsi kognitif pada CDR
berdasarkan 6 kategori antara lain gangguan memori, orientasi,
pengambilan keputusan, aktivitas sosial/masyarakat, pekerjaan
rumah dan hobi, perawatan diri. Nilai yang dapat pada pemeriksaan
18
ini adalah merupakan suatu derajat penilaian fungsi kognitif yaitu;
Nilai 0, untuk orang normal tanpa gangguan kognitif. Nilai 0,5,
untuk Quenstionable dementia. Nilai 1, menggambarkan derajat
demensia ringan, Nilai 2, menggambarkan suatu derajat demensia
sedang dan nilai 3, menggambarkan suatu derajat demensia yang
berat (19,20).
8. Penalataksanaan
Penatalaksanaan demensia meliputi non farmakologis dan
farmakologis. Berikut akan diuraikan pengobatan pada penderita
demensia.
8.1 Non Farmakologi
Terapi non farmakologi pada orang dengan demensia
sangat penting untuk mendukung agen psikofarmakologi yaang
digunakan pada pengobatan demensia dan telah terbukti efektif
manfaatnya. Sebelum memberikan suatu intervensi non
farmakologis, masalah periaku/kebiasaan atau gejala yang terdapat
pada seorang penderita harus diidentifikasi dan diperhitungkan
dalam hal frekuensi dan tingkat keparahannya. Identifikasi dan
eliminasi faktor penyebab dalam hal ini sangatlah penting. Tujuan
dari perawatan penderita harus jelaskan kepada perawat atau
pengasuh penderita; walaupun perilaku yang ditargetkan tidak
dapat dihilangkan sepenuhnya tetapi paling tidak dapat dikurangi
dan ditoleransi (14).
19
Terapi non farmakologis dapat dilakukan dengan beberapa
pendekatan seperti (14):
8.1.1 Pendekatan untuk pengasuh
Pengasuh penderita demensia harus mendapat
edukasi tentang proses penyakit dan manifestasi klinis
penyakit. Dalam situasi yang baik, peniruan strategi yang
meliputi berfikir dengan tenang, menggunakan sentuhan,
musik, boneka, dan keluarga. Membantu pengasuh
mengerti kunci intensitas perilaku yang sangat penting.
8.1.2 Pendekatan Tingkah Laku
Pendekatan yang sangat membantu pada masa lalu
harus dicoba sebelumnya.lebih baik mengalihkan perhatian
pasien yang sedang marah atau agresif dari pada mencoba
untuk mengetahui alasan mereka. Terapi yang baik
berfokus pada respon emosi, bukan isi dari kata-kata
penderita. Penggunaan terapi yang mengingatkan pada
sesuatu seperti menceritakan kembali pengalaman yang
menyenangkan. Selain itu juga digunakan terapi seperti tari,
seni, musik dan olah raga.
8.1.3 Modifikasi Lingkungan
Pasien dengan perilaku yang tidak agresif secara
fisik, misalnya seperti mondar-mandir dan berjalan,
mungkin akan merespon terhadap penciptaan lingkungan
yang aman dimana mereka dapat berjalan tanpa risiko.
20
Barang-barang seperti senjata dan pisau harus dijauhkan.
Membuat lingkungan yang aman adalah pekerjaan yang
sedang diusahakan. Untuk pasien dalam stadium lanjut,
lingkungan yang aman dapat dicapai hanya dalam
pengaturan yang khusus seperti unit Alzheimer atau
fasilitas perawatan jangka panjang.
8.1.4 Pengembangan dan Perawatan Rutin
Pasien dengan demensia harus mendapatkan
perawatan yang konsisten. Melayani makan pada waktu
yang sama akan mengurangi stres dan kemungkinan
gangguan perilaku.
8.1.5 Intervensi Sensorik
Sentuhan mungkin bermanfaat pada banyak orang
dewasa yang lebih tua yang delusional. Terapi musik dan
hewan peliharaan yang menciptakan lingkungan seperti di
rumah pada panti jompo, hal ini sepertinya dapat
mengurangi perilaku yang mengarah pada psikosis dan
dapat meningkatkan kualitas hidup.
8.2 Farmakologi (15)
8.2.1 Cholinergic-enhancing agents
Untuk terapi demensia jenis Alzheimer, telah
banyak dilakukan penelitian. Pemberian cholinergic-
enhancing agents menunjukkan hasil yang lumayan pada
beberapa penderita; namun demikian secara keseluruhan
21
tidak menunjukkan keberhasilan sama sekali. Hal ini
disebabkan oleh kenyataan bahwa demensia
alzheimerntidak semata-mata disebabkan oleh defisiensi
kolinergik; demensia ini juga disebabkan oleh defisiensi
neurotransmitter lainnya. Sementara itu, kombinasi
kolinergik dan noradrenergic ternyata bersifat kompleks;
pemberian obat kombinasi ini harus hati-hati karena dapat
terjadi interaksi yang mengganggu sistem kardiovaskular.
8.2.2 Choline dan lecithin
Defisit asetilkolin di korteks dan hipokampus pada
demensia Alzheimer dan hipotesis tentang sebab dan
hubungannya dengan memori. Pemberian prekursor,
choline dan lecithin merupakan salah satu pilihan dan
memberi hasil lumayan, namun demikian tidak
memperlihatkan hal yang istimewa. Dengan choline ada
sedikit perbaikan terutama dalam fungsi verbal dan visual.
Dengan lecithin hasilnya cenderung negatif, walaupun
dengan dosis yang berlebih sehingga kadar dalam serum
mencapai 120 persen dan dalam cairan serebrospinal naik
sampai 58 persen.
8.2.3 Neuropeptide, vasopressin dan ACTH
Pemberian neuropetida, vasopressin dan ACTH
perlu memperoleh perhatian. Neuropeptida dapat
memperbaiki daya ingat semantik yang berkaitan dengan
22
informasi dan kata-kata. Pada lansia tanpa gangguan psiko-
organik, pemberian ACTH dapat memperbaiki daya
konsentrasi dan memperbaiki keadaan umum.
8.2.4 Nootropic agents
Dari golongan nootropic substances ada dua jenis
obat yang sering digunakan dalam terapi demensia, ialah
nicergoline dan co-dergocrine mesylate. Keduanya
berpengaruh terhadap katekolamin. Co-dergocrine mesylate
memperbaiki perfusi serebral dengan cara mengurangi
tahanan vaskular dan meningkatkan konsumsi oksigen otak.
Obat ini memperbaiki perilaku, aktivitas, dan mengurangi
bingung, serta memperbaiki kognisi. Disisi lain, nicergoline
tampak bermanfaat untuk memperbaiki perasaan hati dan
perilaku.
8.2.5 Dihydropyridine
Pada lansia dengan perubahan mikrovaskular dan
neuronal, L-type calcium channels menunjukkan pengaruh
yang kuat. Lipophilic dihydropyridine bermanfaat untuk
mengatasi kerusakan susunan saraf pusat pada lansia.
Nimodipin bermanfaat untuk mengembalikan fungsi
kognitif yang menurun pada lansia dan demensia jenis
Alzheimer. Nimodipin memelihara sel-sel endothelial
/kondisi mikrovaskular tanpa dampak hipotensif dengan
23
demikian sangat dianjurkan sebagai terapi alternatif untuk
lansia terutama yang mengidap hipertensi esensial.
9. Pencegahan
Sebenarnya tidak diketahui secara pasti cara mencegah penyakit
demensia, namun secara umum dapat dilakukan dengan menghindari
atau mengurangi faktor risiko vaskular. Pada usia pertengahan dan usia
tua harus diperhatikan faktor risiko vaskular dan faktor risiko
modifikasi seperti merokok, konsumsi alkohol, obesitas, hipertensi,
kolesterol). Dan melakukan pengobatan segera bila telah mengalami
faktor risiko tersebut(16).
10. Komplikasi
Demensia pada tahap lanjut dapat menimbulkan beberapa
komplikasi seperti pneumonia, episode demam, dan masalah makan.
Komplikasi ini dihubungkan dengan meningkatnya mortalitas di atas 6
bulan. Gejala distress dan intervensi yang membebani umumnya terjadi
pada beberapa penderita. Pada suatu studi kohort penderita prospektif
penghuni panti jompo menunjukkan bahwa pasien dengan demensia
lanjut memiliki angka kematian yang tinggi karena masalah infeksi dan
makanan yang cenderung berkembang dalam tahap terminal demensia
(18,1).
11. Prognosis
Nilai prognostik tergantung pada 3 faktor yaitu: (1)
a. Derajat beratnya penyakit
b. Variabilitas gambaran klinis
24
c. Perbedaan individual seperti usia, keluarga demensia dan jenis
kelamin
Ketiga faktor ini diuji secara statistik, ternyata faktor pertama
yang paling mempengaruhi prognostik penderita demensia. Pasien
dengan demensia mempunyai angka harapan hidup rata-rata 4-10 tahun
sesudah diagnosis dan biasanya meninggal dunia akibat infeksi
sekunder, seperti pneumonia.
B. Rehabilitasi kognitif
Rehabilitasi kognitif merupakan terapi aktif, direktive, time-
limited, pendekatan terstruktur yang digunakan untuk mengatasi beberapa
gangguan psikiatri (misalnya depresi, kecemasan, nyeri, problem dan
phobia). Terapi nonfarmakologis ini bertujuan meningkatkan kognisi yang
berfokus pada domain kognitif tertentu seperti kegiatan dasar, activity
daily living (ADL), keterampilan sosial dan gangguan perilaku. Training
kognitif ini meliputi stimulasi kognitif, rehabilitasi memori, orientasi
realitas dan rehabilitasi neuropsikologi (17).
Secara garis besar, rehabilitasi kognitif dapat dilakukan
berdasarkan timbulnya gangguan sebagai berikut : (17, 18)
a. Gejala utama
Gangguan kognitif, gangguan fungsional dan gangguan sosial.
b. Gejala tambahan
Agitasi, agresi, depresi, psikosis, gangguan repetisi, gangguan
tidur, dan gangguan perilaku non spesifik.
25
1. Jenis rehabilitasi kognitif terdiri dari :
1.1 Stimulasi kognitif
Stimulasi kognitif mengacu pada keterlibatan kegiatan yang
membutuhkan fungsi mental yang diprogramkan dari jenis lain
pelatihan kognitif. Kegiatan stimulasi dapat berupa aktif dan
pasif. Kegiatan aktif misalnya kelmpok diskusi menganai
kajadian terbaru atau memecahkan teka-teki silang. Kegiatan
pasif termasuk mengamati alam, mendengarkan pembacaan
puisi, musik, menonton drama. Stimulasi kognitif efektif untuk
meningkatkan kognisi dan memperkuat bahwa kombinasi
stimulasi kognitif dengan obat dinilai paling efektif dan dapat
meningkatkan skor MMSE, namun pada tingkat yang lebih
rendah.(17, 18).
1.2 Rehabilitasi memori
Rehabilitasi memori berfokus pada pengkodean
informasi pada area otak yang kurang dipengaruhi oleh AD.
Training memori berdasarkan tiga karakteristik (19)
a. Target spesifik mengkode memori dan pengulangan
b. Biasanya menguji satu metode pelatihan
c. Target lokasi khusus pada kerusakan dan fungsi daerah
tersebut
Teknik yang digunakan dalam pelatihan memori
termasuk belajar eksplisit, pembelajaran dari kesalahan,
pembelajaran implisit dan memmory aids.(19)
26
1.2.1 Strategi belajar eksplisit
Pembelajaran eksplisit yaitu pembelajaran dengan
menghafal, berorientasi verbal, dan dalam keadaan
sadar untuk menciptakan memori atau belajar
ketrampilan. (19)
1.2.2 Strategi belajar dari kesalahan
Merupakan pembelajaran dengan pendekatan
menghindari kesalahan selama fase belajar, sehingga
mengurangi kemungkinan informasi salah. Hal ini
berfokus pada koreksi kesalahan yang dibuat selama
proses belajar (19, 20)
1.2.3 Startegi pembelajaran implisit
Memori implisit bersifat nonverbal, observasional dan
dapat dilakukan kapan saja misalnya ketrampilan
motorik. (19)
1.3 Orientasi realitas
Orientasi realitas berhubungan dengan informasi orang,
tempat, dan waktu. Pada individu dengan demensia orientasi
realita dapat dilakukan terus menerus melalui kontak
komunikasi sepanjang hari (19).
1.4 Rehabilitasi neuropsikologi
Rehabilitasi neuropsikologi bertujuan untuk
mengoptimalkan fungsi, meminimalisasi risiko cacat yang
berlebihan dan mencegah perkembangan psikologi sossial
27
negatif. Proses aktif ini memungkinkan orang untuk
mencapai optimalisasi fungsi fisik, psikologis, sosial dan
berguna dalam bidang kesehatan fisik, kesejahteraan
psikologis, ADL dan hubungan sosial (20).
28
III
KESIMPULAN
1. Demensia merupakan suatu sindrom klinik yang bersifat progresif dan
sebagin besar bersifat irreversible yang ditandai oleh suatu gangguan mental
yang luas yang disebabkan oleh kerusakan organik system saraf pusat, tidak
disertai penurunan kesadaran secara akut seperti halnya terjadi pada delirium
2. Etiologi demensia meiputi vasular dan alzheimer. Adapun disebabkan oleh
penyakit yang lain separti HIV, trauma kepala, parkinson, henti jantung,
hipoksia otak, ensefalitis muncul tiba-tiba.
3. Penatalaksaan demensia dilakukan secara farmakologis dan non farmakologi.
Farmakologi terdiri beberapa golongan obat demensia meliputi antipsikotik
tipikal, antipsikotik atipikal, antidepresan, mood stabilizer, cholinesterase
inhibitor dan beberapa jenis obat lainnya. Semantara non farmakologi salah
satunya adalah rehabilitasi kognitif.
4. Rehabilitasi kognitif merupakan terapi aktif, direktive, pendekatan terstruktur
yang digunakan sebagai terapi nonfarmakologis dan bertujuan meningkatkan
kognisi yang berfokus pada domain kognitif tertentu seperti kegiatan dasar,
activity daily living (ADL), keterampilan sosial dan gangguan perilaku.
5. Training kognitif ini meliputi stimulasi kognitif, rehabilitasi memori, orientasi
realitas dan rehabilitasi neuropsikologi.
29
DAFTAR PUSTAKA
1. Charles D. Mild kognitif impairment: prevalence, prognosis, aetiology, and
treatment. Lancet Neurology. 2003; 2: p. 15–21.
2. Dahlan P. Definisi dan diagnosis banding sindroma demensia. Berkala Neuro
Sains. 1999; 1(1): p. 39-43.
3. Sitzer, D.I., Twamley, E.W., & Jeste, D.V. Cognitive training in Alzheimer’s
disease: A meta-analysis of the literature. Acta Psychiatrica Scandinavica.
2006; 114: p. 75- 90.
4. WHO. (2012). Dementia A Public Health Priority. switzerland: united
Kingdom.
5. Health, T. N. (2007). Dementia. The Royal Collage of Psychiatrists and the
British Psychological Society
6. Alexopoulos GS, M. B. (2012). Dementia classification. Advances in
psychiatric treatment , vol. 18, 315–317.
7. Riri, J., & Ari, B. (2008). Demensia. Pekanbaru: University of Riau
8. DeCarli C, Reed T, Miller BL, et.al (2008) Impact of Apolipprotein E 4 and
Vascular Disease om Brain Morphology in Men from the NHLBI Twin
Study. American Heart Associatio; (5):1548-53
9. Beilby JP, Hunt OCJ, et.al.(2003). Apolipoprotein E Gene Polymorphism are
associated with Carotid Plaque Formation but not With Intima-
media Wall Thickening. American Heart Association.;(10):869-739
30
10. Corwin EJ (2000). Demensia dalam buku saku patofisiologi editor Endah P.
EGC, Jakarta. Hal 181-182
11. Rochmach W, Harimurti K. Demensia.Dalam: Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi
I, Setiati S. (2006). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi ke-4. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
KedokteranUniversitas Indonesia; .h .1374
12. Janice E. Graham, A. B. (2008). Symptoms And Signs In Dementia:
Synergy And Antagonism. American Heart Associatio , 50-62.
13. Cummings JL, (2006). Alzheimer’s disease. N Engl J Med.;351:56-67
14. Geldmacher D, Whitehouse P, (2005) Evaluation of Dementia. The New
England Journal of Medicine.; (8);330-364
15. Mardjono, M., & Sidharta, P. (2009). Demensia dalam Neurologi Klinis
Dasar. Jakarta: EGC.
16. Baehr, M., & Frotscher, M. (2007). Demensia dalam Diagnosis Topik
Neurologis. Jakarta: EGC.
17. Bottino, C.M., Carvalho, I.A., Alvarez, A.M., Avila, R., Zukauskas, P.R.,
Bustamante, S.E. Cognitive rehabilitation combined with drug treatment in
Alzheimer’s disease patients: A pilot study.. Clinical Rehabilitation. 2005;
19: p. 861-869
18. Bird TD,Miller BL.Alzheimer’s disease and other dementias. (2005) Dalam:
Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, penyunting.
Harrison’s Principles of Internal Medicine, Edisi ke-16. New York
:McGraw-Hill Medical Publishing Division;.h.2393-406
31
19. Woods B, Aguirre E, Spector AE, Orrell M. Cognitive stimulation to improve
cognitive functioning in people with dementia (review). The
Cochrane Collaboration. 2012;(2).
20. Mimura, M., & Komatsu, S. (2007). Cognitive Rehabilitation and Cognitive
Training for mild Dementia. Japanes Psychogeriatric Society , 137-41.
32
No Tes Nilai maksimal
Orientasi1
Sekarang (tahun), (musim), (bulan), (tanggal), hari apa?5
2 Kita berada dimana? (negara),(propinsi),(kota),(rumahsakit), (kamar) 5Registrasi
3 Sebutkan 3 buah nama benda (apel,meja, atau koin), setiap benda 1 detik, pasien disuruh mengulangi ketiga nama benda tadi. Nilai 1 untuk setiap nama benda yang benar. Ulangi sampai pasien dapat menyebutkan dengan benar dan catat jumlah pengulangan
3
Atensi dan kalkulasi4 Kurangi 100 dengan 7. Bilai 1 untuk tiap jawaban yang benar. Hentikan
setelah 5 jawaban. Atau disuruh mengeja berbalik kata “WAHYU” (nilai diberi pada huruf yang benar sebelum kesalahan, misalnya uyhaw=2 nilai)
5
Mengingat kembali (recall)6 Pasien disuruh menyebut kembali 3 nama benda di atas 3
Bahasa7 Pasien disuruh menyebutkan nama benda yang ditunjukkan (pensil,
buku)2
8 Pasien disuruh mengulang kata-kata “namun”, “tanpa”,”bila” 19 Pasien disuruh melakukan perintah :”ambil kertas ini dengan tangan
anda!. Lipatlah menjadi dua dan letakkan di lantai.”3
10 Pasien disuruh menbaca dan melakukan perintah “pejamkanlah mata anda!”
1
11 Pasien disuruh menulis dengan spontan 112 Pasien disuruh menggambar bentuk di bawah ini : 1
Lampiran.
Tabel 1.1 Pmeriksaan status mental mini (MMSE)
33
Tabel 2.2 Interpretasi pemeriksaan MMSE
Metode SKOR INTERPRETASI
Single cut off <27 Penurunan fungsi kognitif
Rentang <23
>25
Peningkatan odds demensia
Penurunan odds demensia
Pendidikan <25
<26
<27
Tidak normal untuk
pendidikan 8 tahun.
Tidak normal untuk
pendidikan SMA/SMU.
Tidak normal untuk
pendidikan sarjana
Keparahan 27-30
23-27
17-23
0-16
Tidak ada gangguan kognitif.
Gangguan kognitif ringan
Gangguan kognitif berat
34