Post on 06-Aug-2015
Refrat
DEMENSIA ALZHEIMEROleh:
Mirza Ariandi (0707101050047)
Pembimbing:
dr. Malawati, Sp. Kj
BAGIAN ILMU KESEHATAN JIWA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH dr. ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH
2012
1
BAB 1
PENDAHULUAN
Demensia adalah sebuah sindrom penyakit otak yang bersifat kronis dan
progresif. di mana terjadi gangguan fungsi kortikal termasuk gangguan memori,
gangguan fungsi berpikir, gangguan orientasi, gangguan pemahaman, gangguan
menghitung, gangguan bahasa, dan tidak terjadi gangguan kesadaran. Demensia
adalah suatu kondisi konfusi kronik dan kehilangan kemampuan kognitif secara
global dan progresif yang di hubungkan dengan masalah fisik. Sindrom ini bisa
terjadi pada penyakit Alzheimer, penyakit serebrovaskular, dan dalam kondisi lain
yang dapat mempengaruhi keadaaan otak (Durand dan Barlow, 2006).
Demensia sering didapatkan pada pasien usia lanjut. Bahkan, penurunan
fungsi kognitif ini bisa dialami pada usia kurang dari 50 tahun. Sebagian besar
orang mengira bahwa demensia adalah penyakit yang hanya diderita oleh para
lansia, kenyataannya demensia dapat diderita oleh siapa saja dari semua tingkat
usia dan jenis kelamin. Untuk mengurangi risiko demensia, otak perlu dilatih
sejak dini disertai penerapan gaya hidup sehat. (Harvey, R. J., Robinson, M. S. &
Rossor, M. N, 2003).
Alzheimer’s Disease International (ADI) 2008 memperkirakan bahwa ada
sekitar 30 juta jiwa di dunia yang mengalami demensia dengan 4,6 juta yang
memiliki kasus-kasus baru disetiap tahunnya. Jumlahnya akan meningkat lebih
dari 100 juta jiwa pada tahun 2050. Perkiraan ini diperoleh berdasarkan penelitian
pada populasi terperinci terhadap prevelensi demensia di negara-negara yang
berbeda.
Hasil data epidemiologi mengungkapkan bahwa prevalensi terhadap
kecenderungan demensia pada negara berkembang lebih rendah dibanding pada
negara maju. Perbedaan ini bisa disebabkan karena kemampuan survive orang-
orang yang berada di negara berkembang lebih rendah dari pada orang-orang yang
ada pada negara maju. Alasan dikarenakan adanya perbedaan budaya, dalam hal
ini demensia ringan sering diabaikan dan deteksi dini terhadap faktor risiko yang
rendah seperti merokok dan penyakit kardiovaskular. Selain itu juga pada negara
2
miskin, hanya sedikit orang-orangnya yang mampu bertahan hidup sampai usia 65
tahun. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa bentuk-bentuk ketidak
normalan dan tingkat mortalitas terjadi pada negara maju. Sehingga
pertanyaannya adalah akankah prevalensi demensia mengarah pada beban yang
semakin meningkat pada negara yang lebih miskin. Meskipun sekarang tampak
bahwa orang-orang dengan gangguan demensia hidup pada negara-negara
berkembang yaitu 60% pada tahun 2001 dan meningkat 71% di tahun 2040.
Dengan demikian dapat dimengerti bahwa meningkatnya usia harapan
hidup akan meningkatkan pula populasi demensia. Pengaruh lain dari
meningkatnya usia harapan hidup adalah meningkat pula penyakit kardiovakuler
antara lain stroke yang meningkat pada usia 65 tahun dan telah diketahui dan
disepakati sebagai penyebab demensia vaskuler.
Beberapa penyakit demensia dapat disembuhkan sementara sebagian
besar tidak dapat disembuhkan (Mace, N.L. & Rabins, P.V. 2006). Sebagian besar
peneliti dalam risetnya sepakat bahwa penyebab utama dari gejala demensia
adalah penyakit alzheimer, penyakit vaskular, demensia lewy body, demensia
frontotemporal dan sepuluh persen diantaranya disebabkan oleh penyakit lain.
50% – 60% penyebab demensia adalah penyakit alzheimer. alzhaimer adalah
kondisi dimana sel syaraf pada otak mati sehingga membuat signal dari otak tidak
dapat di transmisikan sebagaimana mestinya (Grayson, C. 2004). Penderita
alzheimer mengalami gangguan memori, kemampuan membuat keputusan dan
juga penurunan proses berpikir. Pada referat kali ini yang akan dibahas khusus
demensia yang disebabkan oleh penyakit alzheimer.
Demensia Alzheimer merupakan denmensia yang paling sering (60%)
ditemui pada usia lanjut (setelah 65 tahun). Penyakit Alzheimer merupakan
penyakit neurodegenerative yang progresif dan kompleks, dengan etiologi yang
tidak diketahui. 90% demensia Alzheimer merupakan demensia late onset (diatas
65 tahun) dan non familial (sporadik) (Halim H & Tjahyanto, 2009).
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Demensia adalah gangguan fungsi otak yang bersifat progresif dan kronis
yang melibatkan kehilangan ingatan, ketidakmampuan mengenali berbagai objek
atau wajah, dan kesulitan dalam merencanakan dan penalaran abstrak. Keadaan
ini berhubungan dengan frustasi dan kehilangan semangat (Durand dan Barlow,
2006).
WHO dalam Clinical Deskriptions and Diagnostic Guidelines for Mental
and Behavioural Disorders dan International Classification of Diseases (10th
Revision) (ICD-10) (2008) demensia memiliki ciri-ciri yang harus ada
diantaranya:
1. Kemunduran kemampuan intelektual terutama memori yang sampai
menganggu aktivitas-aktivitas keseharian sehingga menjadikan penderita
sulit bahkan tidak mungkin untuk hidup secara mandiri.
2. Mengalami kemunduran dalam berfikir, merencanakan dan
mengorganisasikan hal-hal dari hari ke hari.
3. Awalnya, mengalami kesulitan menyebutkan nama-nama benda,
orientasi waktu, tempat.
4. Kemunduran pengontrolan emosi, motivasi, perubahan dalam perilaku
sosial yang tampak dalam kelabilan emosi, ketidak mampuan melakukan
ritual keseharian, apatis (tidak peduli) terhadap perilaku sosial seperti
makan, berpakaian dan interaksi dengan orang lain.
Demensia Alzheimer adalah demensia yang paling banyak terjadi dan
dicirikan oleh kemunduran intelektual yang progresif.
Penyakit alzheimer ditemukan pada tahun 1907 oleh Alois Alzheimer,
Alzheimer didefiniskan “suatu sindrom demensia progresif yang ditandai dengan
penurunan ingatan dan kemampuan kognitif, perilaku dan fungsional pasien
secara bertahap” (Dipiro and Joseph T, 2008)
4
2.2 Patofisiologi
Alois Alzheimer 1907 pertama kali menggambarkan suatu kondisi yang
selanjutnya diberi nama dengan namanya, saat ia menggambarkan seorang wanita
berusia 51 tahun dengan perjalanan demensia progresif selama 45 tahun.
Terdapat beberapa mekanisme yang dikatakan sebagai penyebab tingginya
kadar plak neuritik dan neurofibrulary tangles (NTFs) pada area kortikal dan
lobus temporal bagian tengah antara lain (chrisholm-burns et al, 2008 ; Dipiro,
2008).
a. Plak b-amyloid (hipotesis kaskade amyloid)
Plak amiloid merupakan endapan peptida beta amiloid (peptide rantai pendek,
39-43 asam amino), suatu strukutr sferis yang padat (diameter 20-200 mu),
tidak larut air, berada disekitar/diluar sel-sel neuron (plak ekstrasel) dan akan
tumbuh ke dalam sel-sel saraf membentuk neurofibrillary tangles. Beta amiloid
mengganggu homeostasis kalsium sehingga terjadi apoptosis sel-sel neuron
normal. Fungsi beta amiloid diduga terlibat dalam pembentukan neuron (Halim
H & Tjahyanto, 2009).
Peptida beta amiloid berasal dari suatu fragmen protein yang lebih panjang
yang disebut amyloid precursor protein (APP), suatu protein trans-membran
yang menembus membrane neuron. APP berfungis dalam pertumbuhan neurin,
kelangsungan hidup neuron dan perbaikan neuron pasca trauma. Pada penderita
Alzheimer, APP terpecah menjadi fragmen-fragmen yang lebih kecil melalui
proses proteolysis oleh enzim β dan secretase (sebabnya tidak diketahui).
Fragmen ini membentuk fibril-fibril beta amiloid yang terkumpul menjadi
deposit padat diluar neuron yang dikenal sebagai plak amiloid/snile plaque.
5
Gambar 1.1 hipotesis kaskade amyloid
b. Neurofibrillary tangles (NFTs)
Neurofibrillary tangles dalam neuron terdiri dari pasangan filament heliks,
berbentuk menyerupai serat dan tidak larut, NFTs pada penderita Alzheimer
dapat pula berasal daru protein tauo yang mengalami perubahan kimia
(hiperfosforilasi). Kelaianan saraf ini kemudian disebut dengan ”tauopathy”
akibat agregasi abnormal protein tauo. Deposisi intraseluler ini menyebabkan
disrupsi arsitektur sitoskeletal normal, yang menyebabkan disintegrasi system
transport neuron dan pada akhirnya menyebabkan kematian sel. Normalnya,
pada orang –orang yang sudah lanjut usia, te rdapat plak amiloid (senile
plaque) dan Neurofibrillary tangles (NFTs), tetapi pada penderita Alzheimer
memiliki kedua struktur tersebut dalam jumlah yang sangat berlebihan didalam
strukutr otaknya (Halim H & Tjahyanto, 2009).
c. Hipotesis Kolinergik
Neurotransmitter asetilkolin (Ach) bertanggung jawab untuk mentransmisikan
pesan antara sel-sel saraf tertentu dalam otak. Pada penyakit Alzheimer, plak
dan tangles merusak jalur ini, menyebabkan kekurangan asetilkolin, sehingga
terjadi gangguan dalam belajar dan mengingat. Hilangnya aktivitas asetilkolin
berkorelasi dengan keparahan penyakit Alzheimer. Dasar dari pengobatan
farmakologis penyakit Alzheimer adalah meningkatkan neurotransmisi
kolinergik di otak. Asetilkolinesterase adalah enzim yang mendegradasi
6
asetilkolin di celah sinaptik. Memblokir enzim ini mengarah ke peningkatan
kadar asetilkolin dengan tujuan menstabilkan transmisi neuro.
d. Abnormalitas Neurotransmitter Lain
Perubahan neurotransmitter lain pada jaringan otak penderita Alzheimer
mempunyai peranan penting. Neurotransmitter tersebut antara lain seperti
dopamin, serotonin, monoamin oksidase, dan glutamat. Glutamat adalah
neurotransmitter utama dalam sistem saraf pusat (SSP) yang terlibat dalam
memori, pembelajaran. Pada penyakit Alzheimer, salah satu jenis reseptor
glutamat, N-metil-D-aspartat (NMDA) tidak berfungsi secara normal. Tampak
pula aktivasi berlebih dari glutamat yang tak teregulasi. Hal ini menyebabkan
kenaikan ion kalsium yang menginduksi kaskade sekunder yang menyebabkan
kematian saraf dan peningkatan produksi APP. Peningkatan produksi APP
dikaitkan dengan pengembangan plak pada tingkat yang lebih tinggi dan
hiperfosforilasi dari protein tau. Memantine merupakan antagonis NMDA non-
kompetitif yang bekerja berdasarkan patofisiologi ini. Memantine saat ini satu-
satunya agen di kelas ini yang disetujui untuk pengobatan penyakit Alzheimer.
e. Kolesterol dan Penyakit Vaskular Otak
Disfungsi pembuluh darah dapat mengganggu distribusi nutrien pada sel saraf
dan mengurangi pengeluaran protein β-amiloid dari otak. Peningkatan
konsentrasi kolesterol juga dikaitkan dengan penyakit Alzheimer. Kolesterol
meningkatkan sintesis protein β-amyloid yang dapat memicu pembentukan
plak. Selain itu, apo E4 alel dianggap terlibat dalam metabolisme kolesterol
dan berhubungan dengan tingginya kolestrol.
f. Mekanisme Lain
Estrogen tampaknya memiliki sifat yang melindungi terhadap kehilangan
memori yang berhubungan dengan penuaan normal. Telah disarankan bahwa
estrogen dapat menghalangi produksi protein β-amyloid dan bahkan memicu
pertumbuhan saraf pada terminal saraf kolinergik. Estrogen juga merupakan
antioksidan dan membantu mencegah kerusakan sel oksidatif.
7
2.3 Genetika Penyakit Alzheimer (Halim H & Tjahyanto, 2009).
Penyakit Alzheimer merupakan penyakit genetika yang kompleks. Sebagian
besar kasusunya bukan kasus familial, tetapi mutasi gen merupakan faktor risiko.
Faktor lingkungan ikut berperan sebagai pencetus. Kurang dari 10% kasus
Alzheimer yang muncul sebelum usia 60 tahun (early onset) disebabkan oleh
mutasi gen autosomal dominan (Alzheimer’s famillier). Saat ini diketahui ada
empat gen yang berperan dalam penyakit Alzheimer familial, yaitu:
a. Gen APP (Amyloid Precursor Protein) pada kromosom 21
Gen APP mengkode amyloid precursor protein. Protein ini ditemui pada
banyak jaringan dan organ tubuh termasuk di otak dan medulla spinalis.
Didalam sel, amyloid precursor protein dipecah menjadi fragmen yang
lebih kecil (peptida), sebagian dilepas keluar sel. Dua fragmen disebut
sebagai soluble amyloid (sAPP) dan peptide beta amiloid. sAPP berperan
dalam pembentukan sel-sel saraf pada masa embrio dan jaringan otak
dewasa.
b. gen APOE (apolipoprotein E) pada kromosom 19
sejak 1993 telah diketahui bahwa sel g4 dari gen apolipoprotein e (APOE)
yang terletak pada kromosom 19. Merupakan faktor risiko genetik yang
besar untuk terjadinya penyakit Alzheimer’s familial late onset (onset
lambat) dan merupakan penyebab hingga 50% kasus alzheimer’s familial
late onset.
c. Gen PS-1 (presenillin-1) pada kromosom 14
d. Gen PS-2 (presenillin-2) pada kromosom 1
Mutasi gen APP dan presenillin meningkatkan produksi suatu peptide
Aβ42. Aβ42 merupakan suatu bentuk beta amiloid yang lebih
amiloidigenik, dapat teragregasi membentuk endapan plak amiloid. Gen
PS-1 dan PS-2 terutama berekspresi pada neuron dan glia namun
fungsinya belum diketahui. Mutasi gen APP, PS-1, dan PS-2
menyebabkan penyakit Alzheimer’s familial early onset, 50% kasus
familial early onset terjadi akibat mutasi gen APP, PS-1 dan PS-2. Mutasi
gen PS-1 menyebabkan 40% kasus familial early onset, tapi hanya 1%
alzheimer’s familial early onset akibat mutasi gen PS-2. Lebih dari 40
8
jenis mutasi gen PS-1, tapi hanya 3 jenis mutasi pada gen PS-2
teridentifikasi. Tidak jelas bagaimana mutasi pada gen presenillin
menyebabkan penyakit Alzheimer. Diduga gen presenillin berperan dalam
pengolahan amyloid precursor protein (APP) yang meningkatkan produksi
beta amiloid yang akan membentuk plak beta amiloid dan mutasi gen
presenillin dapat menunjang apoptosis neuronal.
2.4 Etiologi
Etiologi dari penyakit Alzheimer belum diketahui secara pasti.
Kemungkinan faktor genetik dan lingkungan sedang diteliti ( Gen ApoE atau c-
secretase) (Dipiro et al, 2008).
Tabel 2.1 Faktor resiko menderita Alzheimer.
Faktor Resiko Keterangan
UmurMeningkat 2x tiap lima tahun setelah umur 65 tahun. Setelah umur 85 tahun, resiko meningkat hingga 50%.
Riwayat keluarga
Penelitian menunjukkan bahwa seseorang yang mempunyai orangtua, saudara atau anak yang menderita Alzheimer, lebih berisiko untuk terkena Alzheimer dibandingkan dengan orang yang tidak mempunyai riwayat keluarga.
GenetikAbnormalitas pada gen ApolipoproteinE (ApoE) terutama pada ras Kaukasian.
Cedera kepalaAda hubungan yang erat antara cedera kepala yang berat dan peningkatan resiko terjadinya Alzheimer.
Hubungan jantung-otak
Setiap kerusakan/gangguan pada jantung dan pembuluh darah akan meningkatkan risiko terjadinya Alzheimer.
Gaya hidupGaya hidup yang baik biasanya akan menghasilkan otak yang sehat dan memberikan perlindungan terhadap kemungkinan berkembangnya Alzheimer.
2.5 Manifestasi Klinis
Tanda dan Gejala (Chisholm-burns et al, 2008)
Kognitif: kehilangan memori, masalah dengan bahasa, disorientasi waktu dan
tempat, penilaian buruk atau menurun, masalah dengan belajar dan berpikir
abstrak, lupa tempat menyimpan sesuatu. Tahapan penurunan kognitif
berdasarkan stadium Alzheimer dapat dilihat pada tabel 2.2 di bawah ini.
9
Tabel 2.2. Tahapan penurunan kognitif menurut GDS
Stage Tipe Level DeskripsiStage 1
Mild
Normal Tidak ada perubahan fungsi kognitif
Stage 2 Pelupa
Mengeluh kehilangan sesuatu atau lupa nama teman, tetapi tidak mempengaruhi pekerjaan dan fungsi sosial. Umumnya
merupakan bagian dari proses penuaan yang normal
Stage 3Early
confusion
Ada penurunan kognisi yang menyebabkan gangguan fungsi sosial & kerja. Anomia,
kesulitan mengingat kata yang tepat dalam percakapan, dan sulit mengingat. Pasien
mulai sering bingung/anxiety
Stage 4Late
confusion (Early AD)
Pasien tidak bisa lagi mengatur keuangan dan aktivitas rumah tangga, sulit mengingat
peristiwa yang baru terjadi, mulai meninggalkan tugas yang sulit, tetapi
biasanya masih menyangkal punya masalah memori
Stage 5 Moderate
Early dementia (moderate
AD)
Pasien tidak bisa lagi bertahan tanpa bantuan orang lain. Sering terjadi disorientasi
(waktu, tempat), sulit memilih pakaian, lupa kejadian masa lalu. Tetapi pasien umumnya masih menyangkal punya masalah, hanya
biasanya menjadi curigaan atau mudah depresi
Stage 6
Severe
Middle dementia
(moderately severe AD)
Pasien butuh bantuan untuk kegiatan sehari-hari (mandi, berpakaian, toileting), lupa
nama keluarga, sulit menghitung mundur dari angka 10. Mulai muncul gejala agitasi,
paranoid, & mengalami delusi
Stage 7Late
dementia
Pasien tidak bisa bicara jelas (bergumam atau teriak), tidak bisa jalan atau makan
sendiri. Inkontensi urin dan feses. Kesadaran bisa berkurang dan akhirnya koma.
Chisholm-burns et al,2008
Non-kognitif: perubahan mood atau perilaku, perubahan dalam kepribadian,
atau kehilangan inisiatif.
Fungsional: kesulitan melakukan tugas yang familiar
2.6 Pemeriksaan Penunjang.
10
Magnetic Resonance Imaging (MRI) atau computed tomography (CT)
digunakan untuk mengukur perubahan dalam ukuran otak dan volume dan
menyingkirkan stroke, tumor otak, atau edema serebral.
Tes untuk mengecualikan kemungkinan penyebab demensia meliputi depresi
layar, vitamin B12, fungsi tiroid tes [thyroid-stimulating hormone (TSH)
dan triiodothyronine bebas dan tiroksin], jumlah sel darah lengkap, dan
kimia panel.
Tes diagnostik lain yang perlu dipertimbangkan untuk diagnosis diferensial:
tingkat sedimentasi eritrosit, urinalisis, toksikologi, dada x-ray, layar logam
berat, tes HIV, cairan serebrospinal (CSF), pemeriksaan
electroencephalography, dan neuropsikologi tes seperti Folstein Mini Mental
Status Exam (Chisholm-burns et al, 2008).
Diagnosis demensia ditegakkan berdasarkan penilaian menyeluruh,
dengan memperhatikan usia penderita, riwayat keluarga, awal dan perkembangan
gejala serta adanya penyakit lain (misalnya tekanan darah tinggi atau kencing
manis). Dilakukan pemeriksaan kimia darah standar. Pemeriksaan CT scan dan
MRI dimaksudkan untuk menentukan adanya tumor, hidrosefalus atau stroke.Jika
pada seorang lanjut usia terjadi kemunduran ingatan yang terjadi secara bertahap,
maka diduga penyebabnya adalah penyakit Alzheimer.
Diagnosis penyakit Alzheimer terbukti hanya jika dilakukan otopsi
terhadap otak, yang menunjukkan banyaknya sel saraf yang hilang.Sel yang
tersisa tampak semrawut dan di seluruh jaringan otak tersebar plak yang terdiri
dari amiloid (sejenis protein abnormal). Metode diagnostik yang digunakan untuk
mendiagnosis penyakit ini adalah pemeriksaan pungsi lumbal dan PET (positron
emission tomography), yang merupakan pemerisaan scanning otak khusus.
Pada demensia, daerah motorik, piramidal dan ekstrapiramidal ikut terlibat
secara difus maka hemiparesis atau monoparesis dan diplegia dapat melengkapkan
sindrom demensia. Apabila manifestasi gangguan korteks piramidal dan
ekstrapiramidal tidak nyata, tanda-tanda lesi organik yang mencerminkan
gangguan pada korteks premotorik atau prefrontal dapat membangkitkan refleks-
refleks. Refleks tersebut merupakan petanda keadaan regresi atau kemunduran
kualitas fungsi.
11
2.7 Diagnosis Banding
Gejala awal dementia terutama penyakit Alzheimer sering menyelinap,
antara lain menjadi pelupa, cenderung salah menempatkan barang-barang dan
pengulangan kata-kata atau perbuatan. Kemampuan bicara atau sosialisasi
sementara masih baik. Bila dementia berlanjut,gangguan diatas makin memberat,
penderita mungkin tidak mampu bekerja, tidak mampu menangani keuangannya
dan sering tersesat. Gejala psikologik mungkin mulai terlihat, antara lain depresi,
kecemasan, tidak bias diam, apatis dan paranoid. Seringkali gejala ini dikeluhkan
oleh keluarganya. Beberapa gejala tersebut bisa memperberat dementia dan bias
sering dikendalikan dengan obat. Oleh karena itu penggunaan penapisan
gangguan kognitif sederhana(misalnya dengan tes PPSM=MMSE, terlampir)
harus selalu dikerjakan pada setiap penderita geriatrik. Adanya gangguan kognitif
berat harus ditindaklanjuti dengan pemeriksaan lebih lanjut.
Alat skrining kognitif yang biasa digunakan adalah pemeriksaan status
mentalmini atau Mini-Mental State Examination (MMSE). Pemeriksaan ini
berguna untuk mengetahui kemampuan orientasi, registrasi, perhatian, daya ingat,
kemampuan bahasadan berhitung. Defisit lokal ditemukan pada demensia
vaskular sedangkan defisit global pada penyakit Alzheimer.
MMSE Folstein
12
Skoring: skor maksimum yang mungkin adalah 30. Umumnya skor yang kurang
dari 24dianggap normal. Namun nilai batas tergantung pada tingkat edukasi
seseorang pasien.Oleh karena hasil untuk pemeriksaan ini dapat berubah mengikut
waktu, dan untuk beberapa inidividu dapat berubah pada siang hari, rekamlah
tanggal dan waktu pemeriksaan ini dilakukan.
Berbagai dapatan fisik perlu dicari untuk membedakan jenis dementia
Hipertensi,gangguan kognitif, gangguan neurologic fokal mungkin mengarahkan
pada dementia multiinfark. Berbagai reflex patologik misalnya tanda glabellar,
menghisap dan palmomental tidak mempunyai arti spesifik, karena bisa terdapat
pada berbagai jenis dementia dan bahkan pada populasi lansia normal. Pada
Alzheimer lebih sering didapati tanda pelepasan lobus frontalis (Frontal lobe
release sign), stereognosis yang terganggu, grafestesia dan abnormalitas uji
serebelar. Ada pula skor iskemik Hatchinski yang digunakan untuk membedakan
demensia Alzheimer dengan demensia vaskular.
13
Bila skor ≥7: demensia vaskular. Skor ≤4: penyakit Alzheimer
2.8 Terapi Alzheimer
1. Terapi Non Farmakologi
Terapi non farmakologi melibatkan pasien, keluarga, atau pengasuh untuk
mensupport, menghadapi dan memahami kondisi pasien. Hidup pasien dengan
penyakit alzheimer harus menjadi semakin lebih sederhana, terstruktur, dan
keluarga pasien perlu dipersiapkan untuk menghadapi perubahan dalam
kehidupan yang akan terjadi sepanjang penyakit menjadi lebih parah. Prinsip-
prinsip dasar dalam pengobatan pasien dengan Alzheimer meliputi :
a. Menggunakan pendekatan yang halus terhadap pasien
b. Menjamin rasa nyaman bila diperlukan
c. Berempati dengan masalah pasien
d. Menjalankan rutinitas sehari-hari secara tetap
e. Menyediakan lingkungan yang aman
f. Memberikan kegiatan di siang hari
g. Menghindari overstimulasi
h. Menggunakan barang-barang dekoratif yang akrab di ruang tamu
i. Menanggapi penurunan mendadak dalam fungsi dan penampilan dengan
perhatian yang lebih profesional
(Chisholm-burns et al, 2008)
14
2. Terapi Farmakologi
A. Farmakoterapi gejala kognisi
Terapi ini bertujuan mengatasi gejala penurunan kognisi atau menunda
perkembangan penyakit.
Golongan Inhibitor Kolinesterase
Salah satu cara mengatasi gejala penurunan kognisi atau menunda
perkembangan penyakit adalah meningkatkan neurotransmisi kolinergik di otak.
Inhibitor kolinesterase memblok enzim asetilkolinesterase yang menyebabkan
peningkatan kadar asetilkolin dengan tujuan menstabilkan transmisi neuro.
Asetilkolinesterase adalah enzim yang mendegradasi asetilkolin di celah sinaptik.
Inhibitor kolinesterase yang disetujui penggunaanya di Amerika Serikat untuk
pengobatan penyakit Alzheimer meliputi tacrine, donepezil, rivastigmine, dan
galantamine (Chisholm-burns et al, 2008 ; Dipiro, 2008).
a) Donepezil
Donepezil adalah obat yang diminum secara oral untuk mengobati penyakit
Alzheimer taraf rendah hingga medium. Donepezil tersedia dalam bentuk
tablet oral. Biasanya diminum satu kali sehari sebelum tidur, sebelum atau
sesudah makan. Obat ini akan diberikan dosis rendah pada awalnya lalu
ditingkatkan setelah 4 hingga 6 minggu. Efek samping yang sering terjadi
sewaktu minum Donepezil adalah sakit kepala, nyeri seluruh badan, lesu,
mengantuk, mual, muntah, diare, nafsu makan hilang, berat badan turun,
kram, nyeri sendi, insomnia, dan meningkatkan frekwensi buang air kecil
(Chisholm-burns et al, 2008).
b) Rivastigmine
Rivastigmine adalah obat yang diminum secara oral untuk mengobati
penyakit Alzheimer taraf rendah hingga medium. Rivastigmine biasanya
diberikan dua kali sehari setelah makan. Karena efek sampingnya pada
saluran cerna pada awal pengobatan, pengobatan dengan Rivastigmine
umumnya dimulai dengan dosis rendah, biasanya 1,5 mg dua kali sehari, dan
secara bertahap ditingkatkan tidak lebih dari 2 minggu. Dosis maksimum
biasanya hingga 6 mg dua kali sehari. Jika pasien mengalami gangguan
15
pencernaan yang bertambah parah karena efek samping obat seperti mual dan
muntah, penurunan berat badan, penurunan nafsu makan sebaiknya minum
obat dihentikan untuk beberapa dosis lalu dilanjutkan dengan dosis yang
sama atau lebih rendah (Chisholm-burns et al, 2008 ; Dipiro, 2008).
c) Galantamine
Galantamine biasanya diberikan dua kali sehari, setelah makan pagi dan
malam. Seringkali Galantamine diberikan dengan dosis rendah pada awalnya
yaitu 4 mg dua kali sehari untuk beberapa minggu dan dilanjutkan dengan 8
mg dua kali sehari untuk beberapa minggu pengobatan selanjutnya. Meskipun
demikian, beberapa pasien membutuhkan dosis yang lebih besar. Untuk
kapsul lepas lambat diminum satu kali sehari. Obat dari golongan
antikolinergik yang langsung masuk ke dalam otak, seperti Atropin,
Benztropin dan Ttriheksiphenil memberikan efek yang berseberangan dengan
Galantamine dan harus dihindari minum obat tersebut jika dalam pengobatan
dengan Galantamine. Efek samping yang sering terjadi dari Galantamine
adalah mual, muntah, diare, kehilangan berat badan. Efek samping ini
umumnya terjadi pada awal pengobatan atau ketika dosis ditingkatkan. Efek
samping yang terjadi umumnya ringan dan bersifat sementara. Minum
Galantamine sesudah makan dan minum dengan air yang cukup akan
mengurangi akibat efek sampingnya (Chisholm-burns et al, 2008).
Golongan Antagonis Reseptor NMDA
Golongan lain adalah antagonis reseptor NMDA. Pada penyakit Alzheimer,
salah satu jenis reseptor glutamat, N-metil-D-aspartat (NMDA), tidak normal.
Tampak pula aktivasi berlebih dari glutamat yang tak teregulasi. Golongan ini
bekerja dengan cara menghambat reseptor tersebut sehingga kenaikan ion
kalsium yang menginduksi kaskade sekunder yang menyebabkan kematian
saraf dan peningkatan produksi APP tidak terjadi. Peningkatan produksi APP
dikaitkan dengan pengembangan plak pada tingkat yang lebih tinggi dan
hiperfosforilasi dari protein tau. Memantine saat ini satu-satunya agen di
kelas ini yang disetujui untuk pengobatan penyakit Alzheimer.
16
Memantin adalah obat yang diminum secara oral untuk mengobati penyakit
Alzhaimer taraf sedang hingga berat. Obat ini diawali dengan dosis rendah 5
mg setiap minggu dilakukan selama 3 minggu untuk mencapai dosis optimal
20 mg/hari.
(Chisholm-burns et al, 2008 ; Dipiro, 2008)
Golongan Obat Non Konvensional
a. Estrogen
Penggantian estrogen telah dipelajari secara ekstensif untuk pengobatan
dan pencegahan AD. tidak semua epidemiologi studi menunjukkan
kejadian yang lebih rendah dari AD pada wanita yang memakai terapi
sulih estrogen postmenopausa. Hasil dari survei epidemiologi mendorong
peneliti untuk melihat penggunaan estrogen preventif dan sebagai
pengobatan untuk penurunan kognitif (Dipiro et al, 2008).
b. Agen Antiradang
Studi epidemiologi menunjukkan pelindung efek terhadap AD pada pasien
yang telah menggunakan NSAIDs. Pengobatan untuk kurang dari 2 tahun
dikaitkan dengan risiko relatif lebih rendah, namun durasi pengobatan
yang lebih lama menurunkan risiko ini lebih lanjut (Dipiro et al, 2008).
c. Lipid-Lowering Agents
Kepentingan dalam efek proteksi yang potensial pada pasien AD adalah
agen penurun lipid (Lipid-Lowering Agents), khususnya 3-hidroksi- 3-
methylglutaryl-koenzim A reduktase inhibitor. Studi epidemiologi
menunjukkan hubungan antara tinggi usia pertengahan, kadar kolesterol
total dan AD. Uji klinis prospektif perlu dilakukan, seperti uji untuk
mengatasi kognitif, durasi efek pengobatan, efektivitas individu agen, dan
dosis yang optimal. Simvastatin telah dipelajari dalam satu percobaan
klinis menunjukkan penurunan βAP pada pasien dengan AD yang ringan,
tetapi tidak pada pasien dengan tingkat penyakit yang parah. Atorvastatin
saat ini sedang dipelajari dalam uji klinis (Dipiro et al, 2008).
d. Antioksidan
Berdasarkan teori patofisiologis yang melibatkan oksidatif stres dan
akumulasi radikal bebas di AD, telah berkembang tentang penggunaan
17
antioksidan dalam pengobatan AD. Vitamin E seringkali
direkomendasikan sebagai pengobatan adjunctive untuk pasien AD. Efek
samping yang terjadi dengan mengkonsumsi vitamin E adalah gangguan
hemostasis, kelelahan, mual, diare dan nyeri perut. Vitamin E dapat
menyebabkan pendarahan jika digunakan bersama dengan obat lain seperti
aspirin, ibuprofen atau naproxen. Sebuah analisis menemukan bahwa dosis
tinggi vitamin E meningkatkan kematian pada orang yang berusia lanjut.
Untuk itu, perlu menghindarkan pemberian vitamin E dalam dosis tinggi
per hari pada pasien AD (Dipiro et al, 2008).
e. Ginkgo biloba
Ginkgo biloba adalah ekstrak dari tanaman Ginkgo yang mengandung
bahan-bahan yang mempunyai efek yang positif pada sel-sel otak dan
tubuh. Ginkgo biloba memiliki efek antioksidan dan anti-inflamasi yang
dapat melindungi membran sel, dan mengatur kerja dari sistem saraf.
Produk dari metabolisme oksidatif, seperti radikal bebas, dapat merusak
sel saraf (neurotoksik). Ginkgo biloba dapat mengurangi kerusakan saraf
yang terjadi akibat radikal bebas tersebut dan secara potensial dapat
memperlambat onset dan progresivitas penyakit Alzheimer (Chisholm-
burns et al, 2008 ; Dipiro et al, 2008).
B. Farmakoterapi Gejala Non-kognitif
Inhibitor kolinesterase dan memantine
Uji klinis dengan inhibitor Kolinesterase telah secara konsisten melaporkan
manfaat sederhana dalam mengelola gejala neuropsikiatri, meskipun ini umumnya
bukanlah hasil utama yang dipelajari dalam percobaan. Dalam, percobaan
placebo-controlled yang prospektif dan acak, Donepezil secara signifikan
merubah gejala perilaku AD (Alzeimer Disesase) selama minimal 3 bulan. Bukti
menunjukkan galantamine dan rivastigmine memiliki manfaat efikasi yang sama.
Memantine menunjukkan perubahan perilaku yang signifikan selama minimal 6
bulan, baik dengan dosis tunggal atau dalam kombinasi dengan cholinesterase
inhibitor. Perawatan ini dalam jangka pendek dapat memberikan perbaikan dan
mungkin memperlambat perkembangan dan progres dari gejala penyakit. Inhibitor
18
Kolinesterase dan memantine dapat dianggap sebagai terapi lini pertama dalam
pengelolaan awal gejala perilaku pada pasien AD (Dipiro et al, 2008).
Antipsikosis
Antipsikotik banyak digunakan dalam pengelolaan gejala neuropsikiatri pada
pasien AD. Ada bukti sederhana yang meyakinkan bahwa sebagian besar
antipsikotik atipikal memberikan beberapa manfaat bagi gejala neuropsikiatri
tertentu, namun data ini telah cukup untuk mendapatkan persetujuan Food and
Drug Administration sebagai indikasi untuk pengelolaan gejala perilaku pada
pasien AD. Berdasarkan meta-analisis terakhir, hanya 17% sampai 18% dari
pasien demensia menunjukkan respon dari pengobatan atipikal antipsikotik. Efek
buruk yang terkait dengan atipikal antipsikotik adalah mengantuk, gejala
ekstrapiramidal, gaya berjalan yang abnormal, kognisi memburuk, kejadian
serebrovaskular, dan peningkatan risiko kematian. Antipsikotik tipikal juga dapat
dikaitkan dengan peningkatan risiko kematian kecil, serta efek ekstrapiramidal
lebih parah dan hipotensi. Secara keseluruhan, ada harapan yang moderat dan
potensi bahaya yang juga harus dipertimbangkan terkait dengan penggunaan
antipsikotik pada pasien dengan AD (Dipiro et al, 2008).
Antidepressan
Gejala depresi yang umum pada pasien dengan AD, terjadi pada sebanyak
50% dari pasien. Apatisme mungkin bahkan lebih sering, namun gejala ini
mungkin sulit untuk dibedakan pada pasien demensia. Dalam prakteknya,
pengobatan dengan selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI) dimulai paling
sering pada pasien dengan AD, berdasarkan profil efek samping dan bukti
keberhasilan. Manfaat telah ditunjukkan dengan sertraline, citalopram, fluoxetine,
dan paroxetine, meskipun paroxetine menyebabkan efek antikolinergik lebih besar
dari SSRI lainnya. Serotonin / norepinefrin reuptake inhibitor seperti venlafaxine
mungkin menjadi alternatif. Fungsi serotonergik juga mungkin memainkan peran
dalam beberapa gejala perilaku lain dari AD, dan beberapa studi mendukung
penggunaan SSRI dalam pengelolaan perilaku, bahkan dalam ketiadaan depresi.
Antidepresan trisiklik memiliki khasiat mirip dengan SSRI, namun umumnya
harus dihindari karena aktivitas antikolinergiknya (Dipiro et al, 2008).
19
Terapi lainnya
Antipsikotik dan terapi antidepresan telah menunjukkan efikasi moderat dan
hanya menimbulkan resiko efek samping yang tidak diinginkan, obat-obat lainnya
dapat digunakan untuk mengobati perilaku mengganggu dan agresi pada
gangguan kejiwaan dan neurologis lainnya telah diusulkan sebagai pengobatan
alternatif yang potensial. Alternatif tersebut adalah benzodiazepin, buspirone,
selegiline, karbamazepin, dan asam valproat. Oxazepam khususnya, telah
digunakan untuk mengobati kecemasan, agitasi, dan agresi, tapi obat–obat
tersebut umumnya menunjukkan khasiat rendah bila dibandingkan dengan
antipsikotik. Gejala nonkognitif adalah aspek yang paling sulit dari AD untuk
pengasuh. Antipsikotik dan antidepresan telah berguna untuk manajemen yang
efektif dari perilaku, psikotik, dan gejala depresi pasien, sehingga mengurangi
beban pengasuh dan memungkinkan pasien untuk menghabiskan waktu tambahan
di rumah. Efek samping tetap menjadi perhatian penting pada pengobatan pasien
(Dipiro et al, 2008).
2.9 Pencegahan Dan Perawatan
a. Mencegah masuknya zat-zat yang dapat merusak sel-sel otak seperti alkohol
dan zat adiktif yang berlebihan
b. Membaca buku yang merangsang otak untuk berpikir hendaknya dilakukan
setiap hari, mengisi TTS
c. Melakukan kegiatan yang dapat membuatmental sehat dan aktif
d. Kegiatan rohani & memperdalam ilmu agama.
e. Tetap berinteraksi dengan lingkungan,berkumpul dengan teman yang
memilikipersamaan minat atau hobi (sesama lansia)
f. Mengurangi stress dalam pekerjaan danberusaha untuk tetap rileks dalam
kehidupan seehari-hari
2.10 Prognosis
Penyakit Alzheimer adalah selalu progresif. penelitian yang berbeda telah
menyatakan bahwa penyakit Alzheimer berkembang lebih dari dua sampai 25
tahun dengan pasien yang paling dalam rentang delapan sampai 15 tahun.
20
Meskipun demikian, mendefinisikan ketika penyakit Alzheimer dimulai, terutama
dalam retrospeksi, bisa sangat sulit. Pasien biasanya tidak mati langsung dari
penyakit Alzheimer. Mereka mati karena mereka memiliki kesulitan menelan atau
berjalan dan perubahan-perubahan ini membuat infeksi yang luar biasa, seperti
pneumonia , jauh lebih mungkin.
Sebagian orang dengan penyakit Alzheimer dapat tetap di rumah selama
beberapa bantuan diberikan oleh orang lain sebagai penyakit berlangsung. Selain
itu, sepanjang perjalanan banyak penyakit, individu mempertahankan kemampuan
untuk memberi dan menerima cinta, berbagi hubungan interpersonal yang hangat,
dan berpartisipasi dalam berbagai kegiatan yang berarti dengan keluarga dan
teman-teman.
Seseorang dengan penyakit Alzheimer mungkin tidak lagi dapat
melakukan matematika tetapi masih mungkin dapat membaca majalah dengan
kesenangan. Bermain piano mungkin menjadi terlalu stres dalam menghadapi
kesalahan meningkat, tetapi bernyanyi bersama dengan orang lain mungkin masih
memuaskan. papan catur mungkin harus disingkirkan, tapi bermain tenis mungkin
masih menyenangkan. Jadi, meskipun banyak saat-saat menjengkelkan dalam
kehidupan pasien dengan penyakit Alzheimer dan keluarga mereka, masih banyak
peluang untuk interaksi positif. Tantangan, frustrasi, kedekatan, kemarahan,
kehangatan, kesedihan, dan kepuasan semua mungkin dialami oleh mereka yang
bekerja untuk membantu orang dengan penyakit Alzheimer.
Reaksi pasien dengan penyakit Alzheimer's penyakit dan atau dia
kapasitasnya untuk mengatasinya juga berbeda-beda, dan mungkin tergantung
pada faktor-faktor seperti pola kepribadian seumur hidup dan sifat dan tingkat
keparahan stres di lingkungan terdekat. Depresi, kegelisahan paranoid, parah, atau
delusi dapat menyertai atau hasil dari penyakit, tetapi kondisi ini sering dapat
diperbaiki dengan perawatan yang tepat. Although there is no cure for Meskipun
tidak ada obat untuk penyakit Alzheimer, perawatan yang tersedia untuk
mengurangi banyak gejala yang menyebabkan penderitaan.
21
BAB III
KESIMPULAN
Dengan meningkatnya populasi usia lanjut di Indonesia, berbagai masalah
kesehatan dan penyakit yang khas terdapat pada usia lanjut akan meningkat. Salah
satu masalah kesehatan yangakan banyak dihadapi adalah gangguan kognitif yang
bermanifestasi secara akut berupa konfusio (gagal otak akut) dan kronis berupa
dementia (gagal otak kronis). Peranan assessment geriatrik dalam diagnosis kedua
masalah tersebut sangat besar, karena meningkatkan ketepatan diagnosis pada
konfusio dan menyingkirkan diagnosis jenis dementia yang reversibel.
Penatalaksanaan konfusio tergantung dari diagnosis yang didapatkan. Pada jenis
dementia primer, terutama penyakit Alzheimer atau dementia senilis tipe
Alzheimer, walaupun pengobatan untuk penyakit primer saat ini belum
dimungkinkan, penatalaksanaan berbagai aspek perilaku baik dengan atautanpa
obat-obatan masih dimugkinkan. Berbagai obat yang bersifat penghambat anti-
kholinesterase, yang bertujuan untuk meningkatkan kadar asetilkholin sesuai
denganpathogenesis penyakit Alzheimer, antara lain inhibitor kholin esterase dan
inhibitor N-metil D-aspartat, saat ini sdah ada pemasaran, walaupun terhambat
oleh harga dan faktor penggunaannya harus seumur hidup
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Durand, V. Mark, & Barlow, David H. (2006). Psikologi Abnormal. Edisi
Keempat. Jilid Pertama. Jogjakarta : Pustaka Pelajar
2. Harvey, R. J., Robinson, M. S. & Rossor, M. N. (2003). The prevalence and
causes of dementia in people under the age of 65 years. Journal Neurosurg
Psychiatry, 74: 1206-1209.
3. Mace, N. L. & Rabins, P. V. (2006). The 36-hour day: a family guide to caring
for people with Alzheimer disease, other dementias, and memory loss in later
life (4th Ed.) Baltimore, USA: The Johns Hopkins University Press.
4. Grayson, C. (2004). All about Alzheimer. Retrieved on October 2006 from
http://www.webmd.com/content/article/71/81413.htm.
5. Dipiro, Joseph T, 2008, Pharmacoterapy a Pathophysiologic Approach 7th
edition, McGraw Hill Medical Publishing Division, USA
6. Halim H & Tjahyanto, 2009, Demensia Alzheimer Pada Penderita Sindrom
Down, Majalah Kedokteran Damianus Vol. 8 No.2.
23