Post on 18-Mar-2019
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL DEPAN ...................................................................... i
HALAMAN SAMPUL DALAM ..................................................................... ii
HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA .......................................... iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ........................... iv
HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI ........................ v
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ........................................................... vi
KATA PENGANTAR ...................................................................................... vii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... x
ABSTRAK ........................................................................................................ xiii
ABSTRACT ...................................................................................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah ...................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................ 3
1.3 Ruang Lingkup Masalah ..................................................................... 4
1.4 Orisinalitas Penelitian .......................................................................... 4
1.5 Tujuan Penelitian ................................................................................. 5
1.5.1 Tujuan Umum ............................................................................. 5
1.5.2 Tujuan Khusus ............................................................................ 5
1.6 Manfaat Penelitian ............................................................................... 6
1.6.1 Manfaat Teoritis .......................................................................... 6
1.6.2 manfaat Praktis ............................................................................ 6
1.7 Landasan Teoritis ................................................................................. 7
1.7.1 Negara Hukum ............................................................................ 7
1.7.2 Kewenangan ................................................................................ 12
1.7.3 Konsep Beleidsregel (Peraturan Kebijakan) ............................... 16
1.7.4 Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan ......... 19
1.8 Metode Penelitian ................................................................................ 22
1.8.1 Jenis Penelitian ........................................................................... 22
1.8.2 Jenis Pendekatan ......................................................................... 23
1.8.3 Sumber Data Hukum ................................................................... 24
1.8.4 Teknik Pengumpulan Data Hukum ............................................. 25
1.8.5 Teknik Penentuan Sampel Penelitian .......................................... 26
1.8.6 Teknik Pengolahan dan Analisis Data ........................................ 26
BAB II TINJUAN UMUM TENTANG IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN
(IMB)
2.1 Pengertian Izin dan Sifat Izin ............................................................... 27
2.1.1 Pengertian Izin ............................................................................ 27
2.1.2 Sifat Izin ...................................................................................... 29
2.2 Fungsi Izin Mendirikan Bangunan ....................................................... 32
2.3 Tujuan Izin Mendirikan Bangunan ...................................................... 36
BAB III PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN
BADUNG NO.27 TAHUN 2013 TENTANG
PENYELENGARAAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN
3.1 Peraturan-Peraturan Terkait Pengaturan Pelaksanaan Peraturan
Daerah Kabupaten Badung No.27 Th 2013 Tentang Penyelengaraan
Izin Mendirikan Bangunan. ................................................................ 40
3.2 Implikasi pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor
27 Tahun 2013 Tentang Izin Mendirikan Bangunan di Kabupaten
Badung ................................................................................................. 47
3.2.1 Proses Pembuatan Izin Mendirikan Bangunan Sebelum Disahkannya
Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 27 Th 2013. ............... 47
3.2.3. Proses Pembuatan Izin Mendirikan Bangunan Pasca Disahkannya
Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 27 Tahun 2013. ......... 50
BAB IV FAKTOR-FAKTOR YANG MENJADI KENDALA DAN
UPAYA DALAM PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH
KABUPATEN BADUNG NO.27 TAHUN 2013 DI KABUPATEN
BADUNG
4.1 Jumlah Pelanggaran Proses Pengurusan IMB Yang Bertentangan
Dengan Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 27 Tahun 2013
Di Kabupaten Badung. ......................................................................... 53
4.2 Upaya Mengatasi Hambatan dan jumlah pelanggaran dalam
Pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Badung No.27 Tahun
2013 tentang Izin Mendirikan Bangunan di Kabupaten Badung. ........ 55
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan .......................................................................................... 59
5.2 Saran .................................................................................................... 60
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAK
EFEKTIFITAS PELAKSANAAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN
BERDASARKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NO.27
TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGARAAN IZIN MENDRIKAN
BANGUNAN DI KABUPATEN BADUNG
Izin Mendirikan Bangunan (IMB) merupakan suatu perizinan yang
diberikan oleh Kepala Daerah kepada pemilik bangunan untuk membangun baru,
mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat bangunan sesuai dengan
persyaratan administratif dan persyaratan teknis yang berlaku. IMB merupakan
salah satu produk hukum untuk mewujudkan tatanan tertentu sehingga tercipta
ketertiban, keamanan, keselamatan, kenyamanan, sekaligus kepastian hukum yang
berisi tata aturan Izin Mendirikan Bangunan, namun dalam implementasinya
banyak terjadi pelanggaran-pelanggaran dilapangan yang dapat merugikan
pemerintah maupun pemilik bangunan seperti yang banyak terjadi di lingkungan
Kabupaten Badung walaupun sudah diterbitkan prodak Hukum berupa Peraturan
Daerah Kabupaten Badung Nomor 27 Tahun 2013 tentang Izin Mendirikan
Bangunan di Kabupaten Badung. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui dan memahami faktor-faktor apa saja yang menjadi kendala dan upaya
dalam mengatasi pelanggaran-pelanggaran tentang berupa Peraturan Daerah
Kabupaten Badung Nomor 27 Tahun 2013 tentang Penyelengaraan Izin Mendirikan
Bangunan dikabupatern Badung. Metode yang digunakan dalam penulisan ini
adalah metode empiris yang menggunakan pendekatan dari aspek yang timbul
dilapangan, yang memiliki sifat hukum yang nyata/sesuai dengan kenyataan yang
hidup dalam masyarakat.
Dari Penelitian ini dapat menghasilkan faktor external yang menjadi
penyebab masih adanya pelanggaran didalam pengimplementasian berupa
Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 27 Tahun 2013 Tentang
Penyelenggaraan Izin Mendirikan Bangunan di Kabupaten Badung adalah masih
banyaknya masyarakat kabupaten badung yang awam tentang hukum sehingga
banyak masyarakat yang sembarangan membangun bangunan tanpa mengurus izin
terlebih dahulu. Sedangkan faktor external adalah masih Kurangnya Pemerintah
Kabupaten Badung melakukan Sosialisasi tentang adanya berupa Peraturan Daerah
Kabupaten Badung Nomor 27 Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan Izin
Mendirikan Bangunan di Kabupaten Badung sehingga menyebabkan pelaksanaan
berupa Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 27 Tahun 2013 menjadi tidak
maksimal.Dan upaya yang dilakukan dengan pendekatan ke masyarakat melalui
tindakan-tindak preventif.
Kata kunci : IMB, Pelanggaran, Peraturan Daerah Kabupaten Badung
Nomor 27 Tahun 2013, Pemerintah Kabupaten Badung.
ABSTRACT
EFFECTIVENESS OF UNDER CONSTRUCTION PERMITS LOCAL
REGULATION NUMBER 27 YAERS 2013 ORGANIZIE BUILDING
PERMIT IN THE DISTRICT BADUNG
Building permit is a permit granted by the Regional Head to building
owners to build new, modify, extend, reduce, and or treating the building in
accordance with the requirements of the administrative and technical requirements
applicable. Building Permit is a legal product to achieve certain order so as to
create order, security, safety, comfort, as well as legal certainty, but the
implementation is a lot going on violations which could harm the government and
the owner building itself as is the case in the District Badung, despite being
published prodak Legal form of regulation 27 Th 2013 on Building Permit in
Badung. The purpose of this research is to know and understand the factors that
become obstacles and countermeasures for violations of Regulation 27 of the
Building Permit on Badung. The method used mainly in this paper is the empirical
method that uses the approach of the aspects that arise in the field, which has a real
legal nature / correspond to the reality of living in society.
This research can result from external factors that cause the persistence of
the breach in the implementation of the local regulation 27 Th.2013 on the
Implementation of Building Permit in Badung regency are still many people who
lay on the legal naughtiest so many people who carelessly build buildings without
the permits first. While External factors are still lack of Badung Government doing
about their socialization Bylaw 27 Th 2013 About Building Permit in Badung,
causing the implementation of the regulations . and the efforts made by the
approach to the public through any act of preventive.
Keywords: Buliding Permit, Abuse, Local Regulation 27 Th, 2013, the
Government ofBadung regency.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Perzinan merupakan instrument kebijakan pemerintah/Pemda untuk melakukan
pengendalian atas eksternalitas negatif yang mungkin ditimbulkan oleh aktivitas sosial maupun
ekonomi.Izin merupakan instrument untuk perlindungan hukum atas kepemilikan atau
penyelenggaraan kegiatan. Sebagai instrument pengendalian perizinan memerlukan rasionalitas
yang jelas dan tertuang dalam bentuk kebijakan pemerintah sebagai sebuah acuan.Tanpa
rasionalitas dan desain kebijakan yang jelas, perizinan akan kehilangan maknanya sebagai
instrument untuk membela kepentingan koperasi atas tindakan yang berdasarkan kepentingan
individu.1
Izin merupakan keputusan administratif yang lazim disebut keputusan tata usaha Negara.
Keputusan Tata Usaha Negara tersebut berisi pengaturan mengenai kegiatan yang dapat atau tidak
dapat dilakukan oleh masyarakat. Untuk memproses keputusan Tata Usaha Negara pemerintah
memerlukan dan memiliki organisasi yang disebut Birokrasi.Birokrasi pemerintah sebagai
kumpulan tugas dan jabatan yang terorganisasi secara formal, berkaitan dengan jenjang yang
kompleks, dan tunduk pada peraturan formal.
Dalam Sektor Perizinan masyarakat tidak akan pernah lepas dari mendirikan bangunan
karena setiap orang membutuhkan tempat untuk tinggal, ataupun mendirikan suatu
gedung/bangunan untuk kepentingan tertentu. Bangunan Gedung sebagai Tempat Manusia
melakukan kegiatannya, mempunyai peranan yang sangat strategis dalam pemebentukan watak,
1Adrian Sutedji, 2015, Hukum Perizinan dalam Sektor Pelayanan Publik, CV Sinar Grafika, Jakarta, h. 3.
perwujudan produktivitas, dan jati diri manusia.Karena itu penyelenggaraan bangunan gedung
perlu diatur dan dibina demi kelangsungan dan peningkatanm kehidupan serta penghidupan
masyarakat, sekaligus untuk meujudkan bangunan gedung yang andal, berjati diri serta seimbang,
serasi dan selaras dengan lingkungannya.2
Bangunan gedung merupakan salah satu wujud fisik pemanfaatan ruang.oleh sebab itu
pengaturan bangunan gedung tetap mengacu pada pengaturan penataan ruang sesuai dengan
peraturan perudnag-undangan.
Untuk menjamin kepastian dan ketertiban hukum dan ketertiban hukum dalam
penyelenggaraan bangunan gedung, setiap gedung harus memenuhi persyaratan administrative dan
persyaratan teknis bangunan gedung.
Dalam pengaturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang
Bangunan Gedung maka diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang
Pengaturan Pelaksaaan Undang-Undang Nomorr 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung ini
sebagai Pemenuhan Persyaratan yangdiperlukan dalam pennyelenggaraan Bangunan Gedung
maupun dalam pemenuhan tertib Penyelenggaraan Bangunan Gedung.
Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 ini bertujuan untuk mewujudkan
penyelenggaraan Bangunan Gedung yang tertub baik secara administrratif maupun secara teknis
agar terwujud Bangunan Gedung yang fungsional, andal yang menjamin keselamatan, kesehatan,
kenyamanan, dan kemudahan pengguna serta serasi da selaras dengan lingkungannya.
Berdasarkan Instrumen diatas Penulis menocoba mengkaji lebih dalam tentang Pengurusan
Izin khususnya Izin Mendirikan Bangunan (IMB) Yang ada di Kabupaten Badung berdasarkan
pada Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 27 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Izin
2Philipus M.Hadjon dan Tatiek Sri Djamiati, 2001, Tata Perijinan Pada Era Otonomi Daerah, Surabaya,
h.4.
Mendirikan Bangunan (IMB) di Kabupaten Badung. Mengingat Peraturan Daerah Kabupaten
Badung Nomor 4 tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan yang menjadi Kewenangan Kabupaten
Badung.
Atas dasar latar belakang permasalahan tersebut, maka peneliti tertarik mengangkat
permasalahan tersebut dalam suatu penelitian dengan judul:
“Efektivitas Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 27 Tahun 2013 Tentang
Penyelengaraan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) Di Kabupaten Badung”
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan yaitu :
1. Bagaimanakah Efektivitas pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 27 tahun
2013 tentang Penyelenggaraan Izin Mendirikan Bangunan di Kabupaten Badung ?
2. Apakah yang menjadi kendala dalam pelaksanaan Peraturan Derah Kabupaten Baudng No 27
tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Izin Mendirikan Bangunan di Kabupaten Badung?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Dalam penulisan ilmiah perlu kiranya ditentukan secara tegas mengenai batasan materi
yang akan diuraikan. Hal tersebut perlu dilakukan untuk mencegah agar materi atau isi uraian tidak
menyimpang dari pokok-pokok permasalahan sehingga pembahasannya dapat terarah dan
diuraikan secara sistematis. Adapun yang dibahas dalam penelitian ini adalah seberapa Efektif
pemberian Izin Menidirikan Bangunan (IMB) berdasarkan pada berupa Peraturan Daerah
Kabupaten Badung Nomor 27 Tahun 2013 Tentang Penyelengaraan Izin Mendirikan Bangunan di
kabupaten Badung.
Lingkup pembahasannya yaitu, pada ruang lingkup masalah pertama mengenai Efektifitas
pemberian Izin Mendirikan Bangunan berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor
27 Tahun 2013 kabupaten Badung Nomor 27 Tahun 2013 di Kabupaten Badung. Ruang lingkup
masalah keduaakan dibahas mengenai kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan Peraturan Daerah
Kabupaten Badung Nomor 27 Tahun 2013 Tentang Penyelengaraan Izin Mendirikan Bangunan di
Kabupaten Badung.
1.4 Orisinalitas Penelitian
Dalam penulisan ini, penulis menampilkan beberapa judul penelitian atau disertasi
terdahulu sebagai pembanding untuk menunjukan orisinalitas dari penelitian yang tengahdibuat.
Adapun dalam penelitian kali ini peneliti akan menampilkan 2 skripsi terdahulu yang
pembahasannya berkaitan dengan dimana hal itu dimaksudkan sebagai referensi penulisan dan
untuk menghindari terjadinya plagiasi serta menyatakan bahwa tulisan ini memang hasil karya dan
pemikiran penulis sendiri, adapun skripsi yang penulis maksud adalah:
Tabel 1.1 Daftar Penelitian Sejenis
No Judul Penulis RumusanMasalah
1 Pelaksanaan
Pengaturan Izin
Mendirikan
Bangunan (IMB)
dan Implikasinya di
Kabupaten Bantang
Amirodin Rahmat 1. Bagaimanakah pengaturan Izin
Mendirikan Bangunan di Kabupaten
Bantang ?
2. Bagaimana upaya yang dilakukan
untuk mengatasi masalah pengaturan
IMB di kabupaten Bantang
2 Pelayanan
Permohonan Izin
Mendirikan
Bangunan di
Kabupaten Sleman
Norma Via Utami 1. Bagaimana prosedur permohan Izin
Mendirikan Bangunan di pemda
Sleman ?
2. Apa hambatan dalam proses
pengajuan IMB di Kabupaten
Sleman ?
1.5 Tujuan Penelitian
1.5.1 Tujuan Umum
Untuk mengkaji Efektivitas Pemberian Izin Mendirikan Bangunan (IMB)
Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Badung No 27 Tahun 2013 Di Kabupaten
Badung
1.5.2 Tujuan Khusus
a) Untuk mengkaji efektivitas Pemberian Izin Mendirikan Bangunan (IMB) Berdasarkan
Peraturan Daerah Kabupaten Badung No 27 Tahun 2013 Di Kabupaten Badung.
b) Untuk mengkaji apa saja yang menjadi permasalahan masyarakat dalam pengurusan
izin mendirikan bangunan (IMB)Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Badung
No 27 Tahun 2013 Di Kabupaten Badung.
1.6 Manfaat Penelitian
1.6.1 Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis diharapkan dapat memberikan manfaat positif bagi perkembangan
ilmu hukum, khususnya di bidang hukum administrasi negara. Keberadaan hukum
administrasi negara ini sangat dibutuhkan berkaitan dengan efektivitas pemberian izin
Mendirikan Bangunan di Kabupaten badung.
1.6.2 Manfaat Praktis
Manfaat pratktis diharapkan dapat memberikan kontribusi yang berupa masukan-
masukan dalam konsep hukum dan praktek hukum dalam mengemban tugas dan fungsinya
masing-masing dari masukan- masukan dan sumbangan pemikiran dimaksud diharapkan
adanya kepastian hukum berkaitan dengan efektivitas pemberian izin Mendirikan
Bangunandi Kabupaten Badung
1.7 Landasan Teoritis
1.7.1 Negara Hukum
Landasan yang menyatakan Negara Republik Indonesia adalah Negara Hukum termuat
dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Akan tetapi tidak dijelaskan lebih
lanjut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tentang apakah
negara hukum itu.Oleh karena itu difinisi negara hukum.
Plato mengatakan bahwa Penyelenggaraan Negara yang baik adalah yang didasarkan
kepada pengaturan (hukum) yang baik.3 Gagasan Plato tentang Negara hukum ini semakin tegas
ketika didukung oleh muridnya, Aristoteles, yang menuliskan dalam buku Politica. Menurut
aristoteles, suatu Negara yang baik ialah Negara yang diperintah dengan konstitusi dan
berkedaulatan hukum. Ada 3 unsur dari pemerintahan yang berkonstitusi :
1. Pemerintahan dilaksanakan untuk kepentingan umum
2. Pemerintahan dilaksanakan menurut hukum yang berdasarkan pada ketentuan-ketentuan
umum, bukan hukum yang dibuat secara sewenang-wenang yang menyampingkan konvensi
dan konstitusi.
3. Pemerintahan yang berkonstitusi berarti pemerintahan yang didasarkan atas kehendak rakyat
bukan berupa paksaan – tekanan yang dilaksanakan pemerintahan despotik
3Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, P.T. Raja Grafindo Persada, Jakarta, (selanjutnya disingkat
Ridwan HR I), h. 2
Dalam kaitanya dengan konstitusi, Aritoteles mengatakan “bahwa konstitusi merupakan
penyusunan jabatan dalam suatu Negara dan menetukan apa yang dimaksud dengan badan
pemerintahan dan apa ahkir dari setiap masyarakat. Selain itu, konsitusi merupakan aturan-aturan
dan penguasa harus mengatur Negara menurut aturan-aturan tersebut”.
Gagasan negara hukum tersebut masih bersifat samar-samar dan tenggelam dalam waktu
yang sangat panjang, kemudian muncul kembali secara lebih eksplisit pada abad ke-19, yaitu
dengan munculnya konsep rechtstaat dari Friedrich Julius Stahl, yang diilhami oleh Immanuel
Kant. Friedrich Julius Stahl, seorang ahli hukum, menggambarkan Negara hukum adalah :
“Negara harus menentukan secermat-cermatnya jalan-jalan dan batas-batas kegiatan
bagaimana lingkungan (suasana) kebebasan itu tanpa dapat ditembus.Negara harus mewujudkan
atau memaksakan gagasan akhlak dari segi negara, juga secara langsung, tidak lebih jauh dari pada
seharusnya menurut suasana hukum. Inilah pengetian Negara hukum, bukannya misalnya, bahwa
Negara itu hanya mempertahankan tata hukum saja tanpa tujuan pemerintahan, atau hanya
melindungi hak-hak dari perseorangan. Negara hukum pada umumnya tidak berarti tujuan dan isi
daripada Negara melainkan hanya cara untuk mewujudkanya.
Selanjutnya Ridwan HR. yang memadukan dengan pendapat Sri Soemantri menarik unsur-
unsur dari negara hukum ialah :
1. System pemerintahan negara yang didasarkan atas kedaulatan rakyat.
2. Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibanya harus berdasar atas hukum
atau perundang-undangan.
3. Adanya jaminan terhadap hak asasi manusia (warga negara).
4. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara.
5. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechtterlijke cotrole) yang bebas dan
mandiri, dalam arti lembaga peradilan tersebut benar-benar tidak memihak dan tidak berada
di bawah pengaruh eksekutif.
6. Adanya peran yang nyata dari anggota-anggota masyarakat aau warga negara untuk turut serta
mengawasi perbuatan dan pelaksanaan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah.
7. Adanya system perekonomian yang dapat menjamin pembagian yang merata sumber daya
yang diperlukan bagi kemakmuran warga negara
Indonesia seperti apa yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 setelah amandemen dalam penjelasannya mengatakan bahwa “Indonesia
ialah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaats) bukan kekuasaan belaka (machtstaats).4
Menurut Stahl, unsur-unsur Negara hukum (rechtstaat) adalah :
a. Perlindungan hak asasi manusia;
b. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu;
c. Pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan, dan;
d. Peradilan administrasi dalam perselisihan.5
Sedang suatu negara dikatakan sebagai negara hukum “rechstaat” menurut Burkens,
apabila memenuhi syarat-syarat:6
1. Asas legalitas. Pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perUndang-Undangan dalam arti
formil dan Undang-Undang sendiri merupakan tumpuan dasar tindak Pemerintah. Dalam
hubungan ini pembentukan Undang-Undang merupakan bagian penting Negara Hukum.
4Seketariat Majelis Jendral MPR RI, 2006, h. 12 5O. Notohamidjojo, 1970, Makna Negara Hukum Bagi Pembaharuan Negara dan Wibawa Hukum Bagi
Pembaharuan Masyarakat di Indonesia, Badan Penerbit Kristen, Jakarta, h. 24 6Burkens, M.C., et.al. 1990, Beginselen van de Democraiche Rechtasstaat, Dalam Yohanes Usfunan, 1988,
Kebebasan Indonesia, Disertasi dalam meraih Doktor pada Program Pasca Sarjana UNAIR Surabaya, h. 111
2. Pembagan kekuasaan. Syarat ini mengandung makni bahwa kekuasaan negara tidak boleh
hanya bertumpu pada satu tangan.
3. Hak-hak dasar (grondrechten), merupakan sasaran perlindungan diri pemerintahan terhadap
rakyat dan sekaligus membatasi kekuasaan pembentuk Undang-Undang.
4. Pengawasan pengadilan bagi rakyat tersedia.
Begitu pula yang diutarakan Kusumadi Pudjosewojo bahwa Negara Indonesia berdasarkan
hukum, tidak berdasarkan kekuasaan belaka (bukan machtsstaat).Dimana segala kewenangan dan
tindakan alat-alat perlengkapan Negara atau penguasa semata-mata berdasakan hukum, diatur oleh
hukum juga.7
Pada saat bersamaan hampir muncul pula konsep Negara hukum (rule of law) dari A.V.
Dicey, yang mengemukakan unsur-unsur rule of law sebagai berikut :
a. Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law), yaitu tidak adanya kekuasaan
sewenang-wenang (absence of arbitraty power), dalam arti bahwa kedudukan seseorang
hanya boleh dihukum kalu melanggar hukum.
b. Kedudukan yang sama dalam mengahadapi hukum (equality before the law). Dalil ini berlaku
baik untuk orang biasa maupun pejabat.
c. Terjaminnya hak-hak manusia oleh Undang-Undang (di Negara lain Undang-Undang Dasar)
serta keputusan pengadilan.
Di Indonesia istilah negara hukum, sering diterjemahkan rechtstaat atau rule of law.Paham
rechtstaats pada dasarnya bertumpu pada system hukum Eropa Kontinental.Prisnip utama yang
menjadi dasar sistem hukum Eropa Kontinental itu ialah “hukum memperoleh kekuatan mengikat,
karena diwujudkan dalam peratuan-peraturan yang berbentuk Undang-Undang dan tersusun secara
7Kusumadi Pudjosewojo, 1986, Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, h. 150
sistematik didalam di dalam kodifikasi atau kompilasi tertentu”.8Paham-paham rechtstaats
dikembangkan oleh ahli-ahli hukum Eropa Barat Kontinental seperti Immanuel Kant (1724-1804)
dan Friedrich Julius Stahl (1802-1861).9Paham rule of law mulai diperkenalkan oleh Albert Venn
Diecy pada tahun 1885. Paham the rule of law bertumpu pada system hukum Anglo Saxon atau
Common Law system ialah dimana hukum didasarkan atas “putusan-putusan hakim/pengadilan”
sebagai sumber hukum. Konsepsi negara hukum yang dikemukakan oleh Immanuel Kant ialah
mengenai konsep negara hukum liberal. Immanuel Kant mengemukakan paham negara hukum
dalam arti sempit, yang menempatkan fungsi rect pada staat, hanya sebagai alat perlindungan hak-
hak individual dan kekuasaan negara diartikan secara pasif, yang bertugas sebagai pemelihara
ketertiban dan keamanan masyarakat.10
Maka seperti uraian diatas, dalam konsep negara hukum semua tindakan pemerintah harus menurut
dan didasarkan atas hukum, begitu pula dalam Negara Republlik Indonesia yang menganut konsep
negara hukum bukan berdasarkan atas kekuasaan sehingga kosekuensi lebih lanjutnya maka dalam
setiap tindakan pemerintah haruslah didasarkan atas hukum begitu juga dalam hal penerbitan atau
pembuatan suatu produk hukum baik yang berupa Peraturan Daerah ataupun ketetapan di bidang
perizinan seperti Izin Mendirikan Bangunan.
1.7.2. Kewenangan
Beberapa sumber menerangkan, bahwa istilah kewenangan (wewenang) disejajarkan
dengan bevoegheid dalam istilah Belanda, sedang menurut Pilipus M. Hadjon mengatakan, bahwa
8R. Abdoel Djamali, 1984, Pengantar Hukum Indonesia, P.T. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 69 9Mariam Budiardjo, 1983, Dasar-Dasar Ilmu Politik, P.T. Gramedia, cet. VII, Jakarta, h. 57 10M. Tahir Azhary, 1992, Negara Hukum, Bulan Bintang, Jakarta, h.73-74
“wewenang terdiri atas sekurang-kurangnya mempunyai 3 (tiga) kompenen, yaitu pengaruh, dasar
hukum dan konfromitas hukum”.11
Komponen pengaruh, bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan
prilaku subyek hukum, sedang kompenen dasar hukum, bahwa wewenang itu haruslah mempunyai
dasar hukum, dan komponen komformitas hukum.
Kewenangan secara teoritik di peroleh dari 3 (tiga) cara, yaitu melalui atribusi, delegasi,
dan mandat.
Menurut Y. Sri Pudyatmoko12 kewenangan yang bersumber pada atribusi diberikan secara
langsung oleh Undang-Undang Dasar ataupun Undang-Undang.Dalam atribusi, tanggung jawab
dan tanggung gugat ada pada badan atau jabatan yang bersangkutan.Apabila ada gugatan dari
pihak tertentu maka yang bertanggung jawab adalah pemegang kewenangan tersebut, bukan
pembentuk Undang-Undang Dasar atau Undang-Undang.Dan yang dapat mengunakan kewenagan
tersebut hanya badan atau jabatan yang bersangkutan.
Kewenangan yang bersumber pada delegasi dijelaskan sebagai kewenangan yang berasal
dari suatu organ pemerintahan yang diserahkan kepada organ lain dengan berdasarkan peraturan
perundang-undangan. J Sri Pudyatmoko mengartikan delegasi lebih kepada terjemahan sebagai
sebuah “penyerahan wewenang” karena dalam delegasi ada peralihan kewenangan dari pemberi
kewenangan (delegans) kepada penerima delegasi (delegataris) dalam proses peralihan. Kerena
peralihan kewenangan itu, pemberi delegasi tidak dapat menggunakan wewenang itu kecuali
setelah ada pencabutan dengan berdasarkan atas asas contraries actus.
11Emil J. Sady, 1962, Improvement Local Government for Development Purpose, in Journal of Local
Administration Overseas, h. 135 12Y. Sri Pudyatmoko, 2009, Perizinan Problem dan Upaya Pembenahan, PT Gramedia Widiasarana
Indonesia, Jakarta, h. 88
Sedang sumber kewenangan yang berasal dari mandat menurut Y. Sri Pudyatmoko,
diterjemahkan sebagai sebuah “pelimpahan wewenang”.berbeda dengan delegasi, mandat sering
kali terjadi dalam hubungan rutin antara atasan dan bawahan. Hal ini biasa terjadi kecuali dilarang
secara tegas. Tanggung jawab dan tanggung gugat tetap berada pada pemberi mandat (mandans),
bukan kepada penerima mandat (mandataris). Pihak yang dilimpahi kewenangan (mandataris)
dapat menggunakan kewenangan itu, demikian pihak yang melimpahkan kewenangan.
Atmadja menjelaskan bahwa “wewenang inilah sesungguhnya yang merupakan “Legal
Power” yang didalamnya melekat 3 (tiga) unsur, yaitu pengaruh yang memiliki katagori yang
eksklusif (keluar) wajib dipatuhi oleh orang lain dan atau pejabat serta jabatan atau lembaga lainya,
unsur dasar hukum dan unsur komformitas.13
Ruang lingkup wewenang pemerintahan tidak hanya meliputi wewenang untuk membuat
keputusan pemerintahan (besluit) tetapi juga semua wewenang dalam rangka melaksanakan
tugasnya sebagai pembentukan wewenang .
Dalam negara hukum, wewenang pemerintahan berasal dari Undang-Undang yang
berlaku. Dengan kata lain, organ pemerintahan tidak dapat menggap, bahwa ia memiliki sendiri
wewenang pemerintahan. Sebenarnya kewewenangan hanya diberikan oleh Undang-
Undang.Bagir Manan menjelaskan, bahwa “wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan
kekuasaan (macth).Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat.Dalam
hukum, wewenang sekaligus hak dan kewajiban (rechten en plichten).Dalam kaitang dengan
otonomi daearah, hak memiliki pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri (zelffregelen) dan
13Ridwan HR.,2002, Hukum Administrasi Negara, UII-Pres, Yogyakarta, (selajutnya disingkat Ridwan HR
II), h. 74
mengelola sendiri (zelfhestuten)14, sedangkan kewajiban secara horizontal berarti kekuasaan untuk
menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinya.
Sehingga dari penjabaran tersebut jelas kiranya bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten
begitu juga Pemerintah Kabupaten Badung dalam menjalankan tugas pemerintahan, yang salah
satunya adalah membuat peroduk hukum yang berupa Peraturan Daerah yang dalam hal ini berupa
Keputusan Bupati Badung Nomor 639 Tahun 2003 tentang Rencana Detail Tata Ruang Kecamatan
Kuta Selatan serta dalam menerbitkan berbagai ketetapan di dasarkan atas wewenang yang
diperoleh baik secara atribusi, delegasi maupun mandat.
Berdasarkan penjelasan konsep kewenangan tersebut maka akan dapat diketahui sumber
wewenang Pemerintah Kabupaten Badung dalam membentuk Keputusan Bupati Badung Nomor
639 Tahun 2003 tentang Rencana Detail Tata Ruang Kecamatan Kuta Selatan beserta izin
mendirikan bangunan yang didasarkan atas keputusan tersebut apakah diperoleh secara atributif,
delegasi, atau mandat.
1.7.3. KonsepBeleidsregel(Peraturan Kebijakan)
Dalam kaitan ini, selain konsep yang telah dikemukanan sebelumnya juga diketengahkan
konsep Beleidsregel sebagai titik tolak dalam tulisan ini. Dalam praktek penyelenggaraan
pemerintahan, badan atau penjabat Tata Usaha Negara dapat membuat peraturan kebijakan antara
lain berupa keputusan, instruksi, edaran, petunjuk dan pengumuman. Peraturan kebijakan yang
dibuat oleh badan atau penjabat Tata Usaha Negara tersebut sudah barang tentu berada dalam
koridor hukum.
14Bagir Manan, tanggal 3 September 1994, Dasar-Dasar Sistem Ketatanegaraan Indonesia Menurut
UUD1945, makalah disampaikan kepada Mahasiswa Pasca Sarjana, Unpad tahun 1994-1995, Bandung (Selanjutnya
disebut Bagir Manan I). h. 19
Beleidsregel merupakan keputusan tertulis badan atau pejabat Tata Usaha Negara, yang
istilah ini dipergunakan antara lain oleh Vand Kreveld15.Dapat dipahami bahwa objek kajian dari
peraturan kebijakan ialah tertuju pada peraturan yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat Tata
Usaha Negara, berdasarkan kebebasan bertindak atau kewenangan bebas (vrijebevoedgheid) dari
pemerintah dimana juga sering disebut dengan “Freies Ermessen”.Secara bahasa ‘friezes
ermessen” berasal dari kata “frei” yang artinya orang bebas, tidak terikan dan merdeka.Sementara
itu “ermessen” yang berarti mempertimbangkan, menilai, menduga, dan memperkirakan.Sehingga
“freise emerrssen” oleh Marcus Lukaman diartikan sebagai salah satu sarana untuk memberi ruang
bergerak bagi pejabat atau badan-badan administrasi negara untuk melakukan tindakan tanpa harus
terikat sepenuhnya pada Undang-Undang.16
Lebih lanjut hal senada juga diungkapkan oleh Phillipus M. Hadjon, yang menyatakan
bahwa “wewenang badan atau pejabat Tata Usaha Negara membuat peraturan kebijakan,
didasarkan pada asas kebebasan bertindak (bleidsvijheid atau beoordelingvrijheid) atau lazim
disebut “freies ermessen”17
Sjachran Basah mengatakan bahwa “freies ermessen” melalui sikap tindak administrasi
Negara dapat berwujud.
a. Membentuk peraturan perUndang-Undangan di bawah Undang-Undang yang secara materiil
mengikat umum.
b. Mengeluarkan beschiking yang bersifat konkret, final dan individual.
c. Melakuakn tindak adaministrasi yang nyata dan aktif.
d. Menjalankan fungsi peradilan, terutama dalam hal keberatan dan banding administrasi.
15Ibid h. 14 16Ridwan HR I, Op Cit, h. 177 17Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2001, Tata Perijinan Pada Era Otonomi Daerah Makalah
disampaikan pada symposium Nasional Sistem Kesehatan, di Surabaya, h. 1.
Dari penjelasan tersebut di atas dapat disimpulkan, bahwa “beleidsregel” atau Peraturan
Kebijakan dibuat untuk menjaga ketaatan tindakan pejabat Tata Usaha Negara.
Dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan beleidsregel atau peraturan kebijakan
merupakan peraturan hukum yang harus dipatuhi, walaupun ia tidak termasuk kedalam tata urutan
Peraturan Perundang-Undangan.
Namun perlu ditekankan bahwa peraturan kebijakan yang dikeluarkan atas dasar “freies
ermessen” bukan tanpa batas. Menurut Muchsan18 pembatasan penggunaan “freies ermessen”
adalah sebagai berikut :
a. Penggunaan “freies ermessen” tidak boleh bertentangan dengan system hukum yang berlaku
(kaidah hukum positif).
b. Penggunaan “freies ermessen” hanya ditujukkan demi kepentingan umum.
Perlu diingat bahwa pengertian kata kebijakan dengan kebijaksanaan tidak memiliki
perbedaan mendasar, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “Kepandaian
menggunakan akal budi”. Istilah ini menurut buku Hukum Administrasi Negara disebut : “Legiasi
Semu”, Perundang-Undangan Semu” serta “Peraturan Kebijakan”.19
Prajudi Atmosudirjo menyatakan “legislasi Semu” (Pseudo-Wetgeving) adalah penciptaan
dari pada aturan-aturan hukum oleh penjabat Adminsistrasi Negara yang berwenang yang
sebenarnya dimaksudkan sebagai garis-garis pedoman (rictlijnen) pelaksanaan policy
(kebijaksanaan) untuk menjalankan suatu ketentuan Undang-Undang, akan tetapi dipublikasikan
secara luas. Dengan demikian, maka timbullah semacam “hukum bayangan” (spiegelrecht) yang
membayangi Undang-Undang atau hukum yang bersangkutan.Legislasi semu ini berasal dari
18 Ridwan HR. I, Op Cit, h. 181.
19Bagir Manan, 1983, Fungsi dan Materi Peraturan Perundang-Undangan, Makalah, Jakarta, (Selanjutnya disebut
Bagir Manan II), h. 17-19
diskresi atau “freies emerssen” yang dipunyai oleh administrasi negara, yang pada umunya dpakai
untuk menetapkan polcy pelaksanaan ketentuan Undang-Undang.20
Pemerintah kabupaten/kota sebagai penyelenggara otonomi daerah bertugas melaksanakan
pemerintahan daerah.Dalam melaksanakan tugasnya tersebut pemerintah kabupaten/kota memiliki
kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
System pemerintah daerah pada prinsipnya harus menyesuaikan diri dengan system
pemerintah pusat, yang pada umumnya system pemerintah tersebut telah di tegaskan dalam
Undang-Undang. Undang-Undang Dasar 1945 dalam Pasal 18 sendiri memberikan kewenangan
bagi daerah untuk mengatur otonominya kecuali urusan pemerintah yang oleh Undang-Undang
ditentukan sebgai urusan pemerintah pusat.
Pemerintah Kabupaten/Kota merupakan unsur utama dalam penyelenggaraan pemeritahan
di daerah yang merupakan bagian dari system penyelenggaraan pemerintahan negara sampai
dengan keseluruhan plosok daerah sehingga nantinya dapat tercipta suatu pemerintahan negara
yang produktif dan efesien dengan memberikan hak kepada daerah untuk mengatur rumah
tangganya sendiri.
Namun dalam hal ini perlu melihat batas pemerintah dalam menerapkan wewenang
bebasnya sehingga tidak terjadi kesewenang-wenangan baik dalam pembuatan suatu produk
hukum yang berupa keputusan yang didasari “freies ermessen” yang timbul dalam pembuatan
peraturan kebijakan atas dasar asas kebebasan ataupun produk-produk hukum lainya begitu pula
dengan pembuatan Keputusan Bupati Badung Nomor 639 Tahun 2003 tentang Rencana Detail
Tata Ruang Kecamatan Kuta Selatan.
20Prajudi Atmosudirjo, 1986, Hukum Administrasi Negara, Gahalia Indonesia, Jakarta, h. 94
1.7.4. Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Pentinganya asas-asas hukum dalam suatu pembentukan peraturan perundang-undangan
ialah dapat digunakan sebagai patokan bagi pembentuk peraturan perundang-undangan agar tidak
melenceng dari cita hukum yang telah disepakati bersama. Selain itu menurut Logemann21 seperti
yangdisunting dalam bukunya I Gede Pantja Astawa setiap peraturan hukum pada hakikatnya
dipengaruhi oleh 2 (dua) unsur penting yakni :
a. Unsur riil, karena sifatnya yang konkret, bersumber dari lingkungan tempat manusia hidup,
seperti tradisi atau sifat-sifat yang dibawa manusia sejak lahir dengan perbedaan jenisnya;
b. Unsur idiil, karena sifatnya yang abstrak, bersumber pada diri manusia itu sendiri yang berupa
akal/pikiran dan perasaan.
Unsur-unsur yang mempengaruhi peraturan hukum ini, sesungguhnya lebih tepat disebut
asas.
Menurut Purbacaraka dan Soerjono Soekanto asas peraturan perundang-undangan dikenali
atas 6 (enam) asas yakni :22
1. Undang-Undang tidak berlaku surut;
2. Undang-Undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi mempunyai kedudukan yang
lebih tinggi pula (Lex superiori derogat lex imperiori);
3. Undang-Undang yang berifat khusus megenyampingkan Undang-Undang yang bersifat
umum (Lex specialis derogat lex generalis);
4. Undang-Undang yang berlaku belakangan membatalkan Undang-Undang yang berlaku
terdahulu (Lex posteriori derogat lex priori);
21I Gede Pantja Astawa dan Suprin Na’a, 2008, Dinamika Ilmu dan Peraturan Perundang-Undangan Di
Indonesia, P.T. Alumni, h. 81-82. 22Ibid,h. 84
5. Undang-Undang tidak dapat diganggu gugat;
6. Undang-Undang sarana untuk semaksimal mungkin dapat mencapai kesejahteraan spirituil
dan materiil bagi masyarakat dan individu, melalui pembaharuan atau pelestarian
Disamping itu menurut, Amiroeddin syarif menegaskan bahwa dalam peraturan
perundang-undangan dikenal 5 (lima) asas :23
1. Asas tingkat hierarki;
2. Undang-Undang tidak dapat diganggu gugat;
3. Undang-Undang yang berifat khusus megenyampingkan Undang-Undang yang bersifat
umum (Lex specialis derogat lex generalis);
4. Undang-Undang yang baru mengesampingkan Undang-Undang yang lama (Lex posteriori
derogat lex priori);
5. Undang-Undang tidak berlaku surut;
Sedang Sjachran Basah mengatakan pada pembentukan peraturan perundang-udangan
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di daerah adalah :24
a. Bahwa otonomi dan tugas pembantuan inherent didalamnya zelfregeling;
b. Asas taat asas dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, yaitu bahwa peraturan yang
tingkatnya rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang tingkatnya lebih tinggi.
c. Asas batas atas dan batas bawah pembuatan peraturan, dalam hal ini daerah tidak boleh
membuat peraturan yang merupakan substansi peraturan diatasnya dan sekaligus tidak boleh
melanggar hak dan kewajiban asasi warga negara
Melalui penjabaran asas pembentukan peraturan perundang-undangan di atas bahwa dalam
pembuatan suatu produk hukum yang berupa Peraturan Daerah, sudah jelas kiranya bahwa
23Ibid 24Ibid, h. 85
Peraturan Daerah, yang dalam hal ini berupa Keputusan Bupati Badung Nomor 639 Tahun 2003
tentang Rencana Detail Tata Ruang Kecamatan Kuta Selatan dalam pembuatannya haruslah sesuai
dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan mengingat Peraturan Daerah juga
merupakan sebuah peraturan perundang-undangan, serta tak lupa pula dalam pembuatan suatu
Peraturan Daerah haruslah sesuai dengan asas dalam pembuatan Peraturan Daerah yang salah
satunya adalah asas “taat asas”.
1.8 Metode Penelitian
Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa, metode adalah proses, prinsip-prinsip dan tata
cara memecahkan suatu masalah, sedangkan penelitian adalah pemeriksaan secara hati-hati, tekun
dan tuntas terhadap suatu gejala untuk menambah pengetahuan manusia. Maka metode penelitian
dapat diartikan sebagai proses prinsip-prinsip dan tata cara untuk memecahkan masalah yang
dihadapi dalam melakukan penelitaian.
Adapun metode yang di pergunakan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:
1.8.1 Jenis penelitian
Penelitian hukum dapat dibagi menjadi penelitian yuridis normative serta penelitian yuridis
empiris.Dalam penulisan skripsi ini dipergunakan jenis penelitian Yuridis Empiris.Karena dalam
membahas permasalahan penelitian ini menggunakan bahan-bahan hukum (baik bahan hukum
tertulis maupun tidak tertulis atau baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder).
Pendekatan Empiris ( Hukum sebagai kenyataan social, cultural dan das sein), karena dalam
penelitian ini digunakan data primer yang diperoleh dari lapangan.
Jadi, pendekatan yuridis empiris dalam penelitian ini maksudnya adalah bahwa dalam
menganalisa permasalahan dilakukan dengan cara memadukan bahan-bahan Hukum (yang
merupakan data sekunder) dengan data primer yang diperoleh dilapangan.
1.8.2 Jenis Pendekatan
Didalam teori pendekatan terdapat beberapa pendekatan, yaitu pendekatan Undang-
undang, pendekatan kasus, pendekatan Fakta, pendekatan Analisi konsep hukum, pendekatan
Frasa, pendekatan Sejarah, dan pendekatan perbandingan. Dalam skripsi ini penulis menggunakan
beberapa jenis pendekatan yaitu, pendekatan PerUndang-Undangan yang berkaitan tentang
Peraturan Daerah tentang Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Selanjutnya digunakan Pendekatan
Fakta yaitu untuk mengetahui permasalahan dilapangan tentang apa yang menjadi kendala dalam
pelaksanaan Pemberian Izin Mendirikan Bangunan (IMB) berdasarkan Peraturan Daerah
Kabupaten Badung Nomor 27 Tahun 2013 di Kabupaten Badung. dan Dalam penelitian ini peneliti
juga menggunakan pendekatan Konseptual yaitu dengan beranjak dari pandangan-pandangan dan
doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu Hukum. Dengan mempelejari pendangan dan
doktrin di dalam ilmu hukum peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-
pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas yang relevan dengan isu yang dihadapi.
1.8.3 Sumber Data
Di dalam penelitian hukum, sumber bahan hukum mencakup sumber bahan hukum primer,
sumber bahan hukum sekunder, dan sumber bahan hukum tersier
1. Sumber Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari
norma atau kaidah, peraturan perundang-undangan.
Dalam penelitian ini, sumber bahan hukum primer yang digunakan seperti:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
b. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
c. Peraturan Presiden No 45 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan
Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan.
d. Keputusan Menteri Aparatur Negara Nomor 32 Tahun 2010 tentang Pedoman
Pemberian Izin mendirikan Bangunan.n Badung.
e. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang
Provinsi Bali Tahun 2009-2029.
f. Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 4 Tahun 2008 Tentang Urusan
Pemerintah yang menjadi Kewenangan Kabupaten Badung.
g. Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 4 Tahun 2013 tentang Organisasi Tata
Kerja Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Badung
h. Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 27 Tahun 2013 Tentang Penyelengaraan
Izin Mendirikan Bangunan.
2. Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan-bahan yang erat kaitannya dengan bahan hukum
primer dan dapat menganalisa dan memahami bahan hukum primer, atau bahan-bahan
yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer,bahan hukum sekunder
meliputi :
a. Buku literatur
b. Hasil ilmiah para sarjana
c. Hasil penelitian dan dokumentasi yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang
diteliti.
3. Sumber Bahan hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti Kamus Bahasa Indonesia,
Kamus Hukum
1.8.4 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan dalam penulisan karya ilmiah atau
penulisan hukum ini adalah menggunakan metode bola salju (snow ball method), yang
menggunakan teknik studi dokumen terhadap Undang-undang,Literatur-literatur hukum dan
artikel-artikel yang didapat dari situs-situs internet serta terjun langsung ke lapangan untuk
wawancara dengan staf informan guna mendapatkan informasi yang dibutuhkan yang berkaitan
dengan masalah Pelayanan Publik khususnya tentang Efektifitas mendapatkan Izin Mendirikan
Bangunan (IMB) di berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 27 Tahun 2013.
1.8.5 Teknik Penentuan Sampel Penelitian
Teknik penngambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teknik Non
Pribality Sampling.Dalam hal ini tidak ada ketentuan yang pasti beberapa sampel yang harus
diambil agar dapat dianggap mewakili populasinya. Hasil penelitian yang menggunakan teknik
non probability sampling tidak dapat digunakan untuk membuat generalisasi tentang populasinya,
karna tidak semua elemen dalam populasi mendapat kesempatan yang sama untuk menjadi sampel.
Yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling yaitu penarikan sampel
dilakukan berdasarkan tujuan tertentu, yaitu sampel ditentukan atau dipilih sendiri oleh si peneliti,
yang mana penunjukan dan pemilihan sampel didasarkan pertimbangan bahwa sampel telah
memnuhi kriteria dan sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang menerapkan ciri utama dari
populasinya. Dalam hal ini, peneliti bermaksud meneliti efektifitas hukum dalam pemberian Izin
Mendirikan Bangunan (IMB) berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 27 Tahun
2013.
1.8.6 Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Bahan-bahan Hukum yang diperoleh baik dari lapangan maupun bahan Hukum sekunder
merupakan data kualitatif, kemudian diolah dan dianalisis secara deskriptif sesuai dengan
permasalahan yang dibahas.Sehingga tulisan ini bersifat deskriptif analisis yaitu suatu metode
penelitian yang menjabarkan/mendeskripsikan bahan-bahan hukum yang di peroleh dan
menuangkannya kedalam bentuk karya ilmiah.