Post on 20-Feb-2016
description
1. MATERI DAN METODE
1.1. Materi
1.1.1. Alat
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah oven, blender, ayakan, dan
peralatan gelas.
1.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah limbah udang, HCl 0,75 N ; 1 N ;
dan 1,25 N ; NaOH 3,5% ; 40% ; 50% dan 60%.
1.2. Metode
1.2.1. Demineralisasi
1
Dicuci dengan air panas sebanyak 2x dan dikeringkan
Bahan dihancurkan dan diayak menggunakan ayakan 40-60 mesh dan
ditimbang
Limbah udang dicuci menggunakan air mengalir dan dikeringkan
2
Dicampur dengan HCl 0,75N, 1N dan 1,25N dengan perbandingan
10:1
Dipanaskan hingga suhu 80oC dan diaduk selama 1 jam
Dicuci hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu 90oC selama 24
jam
3
1.2.2. Deproteinasi
Hasil demineralisasi dicampur dengan NaOH 3,5% dengan
perbandingan 6:1
Dipanaskan pada suhu 70oC selama 1 jam dan dilakukan pengadukan
Residu disaring dan dicuci hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu 90oC
selama 24 jam dan dihasilkan chitin
4
1.2.3. Deasetilasi
Dipanaskan pada suhu 80oC selama 1 jam dan dilakukan pengadukan
Residu dicuci dan disaring hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu
90oC selama 24 jam dan dihasilkan chitosan
Hasil deproteinasi dicampur dengan NaOH 40%, 50% dan 60%
dengan perbandingan 20:1
2. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan terhadap karakteristik chitin dan chitosan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Pengukuran Kadar Rendemen Kitin dan Kitosan
Kel Perlakuan RendemenKitin I (%)
RendemenKitin II (%)
RendemenKitosan (%)
E1 HCl 0,75 N + NaOH 3,5% + NaOH 40%
26,35 28,57 32,00
E2 HCl 0,75 N + NaOH 3,5% + NaOH 40%
37,93 27,78 17,23
E3 HCl 1 N + NaOH 3,5% + NaOH 50%
23,53 30,77 28,89
E4 HCl 1 N + NaOH 3,5% + NaOH 50%
35,00 18,18 15,33
E5 HCl 1,25 N + NaOH 3,5% + NaOH 60%
29,17 25,00 42,5
Dari tabel 1 dapat dilihat, untuk rendemen kitin yang pertama, pada kelompok E1
adalah 26,32%, pada kelompok E2 37,93%, pada kelompok E3 23,53%, pada kelompok
E4 35,00%, dan pada kelompok E5 29,17%. Dengan demikian, maka hasil terbesar
didapatkan oleh kelompok E2 yang menggunakan HCl 0,75 N sedangkan hasil terkecil
didapatkan oleh kelompok E3 yang menggunakan HCl 1 N. Untuk rendemen kitin
kedua yang dihasilkan dari proses proteinasi, pada kelompok E1, rendemen yang
diperoleh adalah 28,57%, pada kelompok E2, rendemen yang diperoleh adalah 27,78%,
pada kelompok E3, rendemen yang diperoleh adalah 30,77%, pada kelompok E4,
rendemen yang diperoleh adalah 18,18%, dan pada kelompok E5, rendemen yang
diperoleh adalah 25,00%. Dengan demikian dapat diketahui bahwa pada kelompok E2,
E4, dan D5 mengalami penurunan rendemen sedangkan pada kelompok E1 dan D3
mengalami peningkatan rendemen. Kemudian, untuk hasil rendemen kitosan, diketahui
bahwa pada kelompok E1, rendemen kitosan yang diperoleh adalah 32,00%. Pada
kelompok E2, rendemen kitosan yang diperoleh adalah 17,23%. Pada kelompok E3,
rendemen kitosan yang diperoleh adalah 28,89%. Pada kelompok E4, rendemen kitosan
yang diperoleh adalah 15,33% dan pada kelompok E5 adalah 42,50%. Dengan
demikian, diketahui bahwa rendemen terbesar diperoleh pada kelompok E5 yang
menggunakan NaOH 60% sedangkan rendemen kitosan terkecil diperoleh kelompok E4
yang menggunakan NaOH 50%.
5
3. PEMBAHASAN
Udang merupakan komoditi ekspor terbesar sektor perikanan di Indonesia, udang yang
diekspor hampir 90% adalah dalam bentuk beku tanpa kulit dan kepala. Selama ini,
pengolahan kulit udang hanya dikeringkan dan digunakan sebagai pupuk atau pakan
ternak yang memiliki nilai ekonomi rendah. Oleh karena itu, pengolahan limbah udang
menjadi produk dengan nilai ekonomi tinggi menjadi sangat penting. Salah satu hasil
pengolahan limbah udang yang memiliki nilai ekonomi tinggi adalah menjadi kitin dan
kitosan (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2008).
Pada praktikum kitin dan kitosan ini digunakan bahan dasar yaitu limbah kulit udang.
Hal ini sesuai dengan teori Marganov (2003) yang memaparkan bahwa kitin dan kitosan
bisa didapatkan dari limbah crustacea seperti kulit udang, kulit kerang, tulang rawan
cumi-cumi, dan paruh burung. Bagian kepala dan kulit dari crustacea mengandung
kitin, protein, dan mineral. Dengan proses demineralisasi dan deproteinasi maka akan
didapatkan kitin (Jiang et al., 2003 dalam Tarafdar & Biswas, 2013). Kitin juga dapat
diberi perlakuan deasetilasi sehingga akan menghasilkan kitosan yang merupakan
substansi kimia dengan nilai ekonomi tinggi (Kumar, 2000 dalam Tarafdar & Biswas,
2013). Kitin yang terkandung dalam kulit udang sebesar 15-20%, protein sebesar 25-
40% serta kalsium karbonat sebesar 45-50%. Namun, besarnya kandungan komponen
tersebut tergantung dari spesies udang dan tempat hidup udang. Shahidi & Abuzaytoun
(2005) dalam Islama et al. (2011) menambahkan kitin juga dapat ditemukan di
exoskeleton dari ubur-ubur dan zooplankton spp di laut.
Kitin adalah polisakarida linier yang tersusun atas (1-4)-2-asetamida-2-deoksi-β-D-
glukopiranosa (Tomihata & Ikada, 1997; Roberts, 1992 dalam Puvvada et al, 2012).
Muzzarelli (1985) menambahkan bahwa kitin (C8H13NO5)n adalah biopolimer dari unit
N-asetil-D-glukosamin yang saling berikatan dengan ikatan β (1,4). Kitin dapat
diperoleh dengan 2 tahap yaitu tahap demineralisasi (menggunakan HCl) dan
deproteinasi (menggunakan NaOH) (Wang et al., 2010). Kitin di tubuh organisme
berbentuk kristal dan dibedakan berdasarkan susunan rantai molekul yang menyusun
kristalnya, yaitu α-kitin yaitu rantai anti pararel, β-kitin yaitu rantai pararel, dan γ-kitin
yaitu rantai campuran (Abun et al., 2007).
6
7
Kitosan adalah polisakarida linier yang tersusun atas (1-4)-2-amino-2-deoksi-β-D-
glukopiranosa (Tomihata & Ikada, 1997; Roberts, 1992 dalam Puvvada et al, 2012).
Kitosan adalah produk turunan kitin yang dihasilkan melalui proses hidrolisis kitin
dengan bantuan basa kuat 40-45% pada suhu antara 120-160oC dalam waktu tertentu
(Radhakumary et al., 2005). Bentuk dari kitosan ini adalah padatan amorf, berwarna
putih dengan struktul kristal tetap seperti bentuk awal kitin. Rantai dari kitosan lebih
pendek dibandingkan rantai kitin (Linawati, 2006). Kitosan termasuk dalam bahan
value added materials (Shahidi & Abuzaytoun, 2005 dalam Islama et al., 2011).
Kitosan bermuatan netral, inilah yang membedakan kitosan dengan polisakarida lain.
Pembuatan kitosan ini bertujuan untuk membentuk produk turunan dari kitin yang lebih
bermanfaat dan berguna. Hal ini sesuai dengan pendapat Linawati (2006) yang
memaparkan bahwa penggunaan dari kitin terbatas karena kitin sukar larut dalam air.
Oleh sebab itu, kitin diproses secara kimiawi sehingga diperoleh produk turunan kitin
yang memiliki sifat kimia lebih baik. Produk turunan kitin tersebut adalah kitosan yang
memiliki sifat kelarutan dalam asam serta viskositas yang tergantung dari derajat
diasetilasi dan derajat degradasi polimer.
Kitosan dapat larut dalam asam encer seperti asam asetat, asam format, asam sitrat.
Gugus karboksil asam asetat mampu mempermudah pelarutan kitosan, karena terjadi
interaksi hidrogen antara gugus karboksil dengan gugus amina dari kitosan. Apabila
kitosan disimpan dalam jangka waktu yang lama dan dalam keadaan terbuka, maka
akan terjadi dekomposisi yang berakibat pada perubahan warnanya menjadi kekuningan
dan kelarutan serta viskositasnya menjadi berkurang (Linawati, 2006). Struktur kitin
dan kitosan dapat dilihat pada gambar di bawah ini :
Gambar 1. Struktur Kitin dan Kitosan (Pillai et al., 2009)
8
Pada tahapan awal praktikum ini, limbah udang dicuci dengan air mengalir lalu
dikeringkan, kemudian dicuci kembali menggunakan air panas sebanyak 2 kali ulangan
kemudian dikeringkan kembali. Menurut Bastaman (1989), pencucian ini berguna
untuk menghilangkan kotoran yang masih menempel pada kulit udang sehingga tidak
mengganggu tahapan proses selanjutnya dan ekstraksi kitin dapat berlangsung
maksimal. Sedangkan pengeringan bertujuan untuk mengurangi moisture atau
kandungan air pada kulit udang dan mempermudah proses pengecilan ukuran (Cha dan
Chinnan, 2004). Setelah itu, kulit udang dihancurkan menjadi serbuk kemudian diayak
dengan ayakan 40-60 mesh. Hal ini sesuai dengan teori Bastaman (1989) yang
mengatakan penghancuran kulit udang menjadi serbuk bertujuan untuk memperluas
permukaan kontak bahan dengan pelarut yang digunakan sehingga ekstraksi dapat
berlangsung maksimal. Penghancuran kulit udang menjadi serbuk ini juga sesuai
dengan teori Prasetiyo (2006) yang mengatakan bahwa bahan dari limbah udang yang
sudah kering kemudian digiling sehingga menghasilkan serbuk ukuran 40-60 mesh.
Setiap kelompok dari E1 hingga E5 mengambil kulit udang yang telah berbentuk serbuk
masing-masing sebanyak 10 gram dan dilakukan penambahan HCl (10:1) di mana pada
kelompok E1 dan E2 konsentrasi HCl yang digunakan adalah 0,75 N, kelompok E3 dan
E4 1 N sedangkan pada kelompok E5 adalah 1,25 N. Penggunaan konsentrasi yang
berbeda ini bertujuan untuk mengetahui apakah konsentrasi yang berbeda berpengaruh
pada jumlah dan kualitas kitin yang dihasilkan. Semakin tinggi N HCl yang digunakan,
efektivitas pelarutan akan semakin besar sehingga jumlah rendemen yang dihasilkan
akan semakin rendah (Laila & Hendri, 2008). Tahap penambahan HCl ini merupakan
tahap demineralisasi atau penghilangan mineral. Hal tersebut sesuai dengan teori
Bastaman (1989), yang memaparkan bahwa demineralisasi adalah salah satu proses
pada pembuatan kitin yang dilakukan untuk menghilangkan mineral dari kulit udang.
Bastaman (1989) menambahkan bahwa demineralisasi menyebabkan kalsium karbonat
beraksi dengan asam klorida dan membentuk kalsium klorida, asam karbonat, dan asam
fosfat yang larut dalam air, sehingga mineral yang terdapat pada kitin akan terlarut
dalam air, sedangkan residu yang tidak terlarut air merupakan senyawa kitin. Pada saat
proses pemisahan mineral berlangsung akan terbentuk gelembung udara yang
merupakan gas CO2 dengan rekasi kimia seperti dibawah ini :
CaCO3(s) + 2HCl(l) CaCl2(s) + H2O(l) + CO2(g)
9
Proses demineralisasi ini penting dilakukan karena udang mengandung mineral kalsium
karbonat sebesar 45-50% dan protein sebesar 25-40%, sedangkan pada kulit udang
terkandung mineral hingga 30-50% dari berat keringnya. Mineral utama pada kulit
udang adalah kalsium karbonat (CaCO3) dan kalsium fosfat (Ca3(PO4)2) (Peter, 1995).
Proses demineralisasi bisa dilakukan dengan penambahan HCl, H2SO4, atau asam laktat
(Bastaman, 1989). Oleh karena itu, penggunaan HCl dalam praktikum ini untuk proses
demineralisasi sudah sesuai. Selain itu, proses demineralisasi dilakukan untuk
mendukung proses berikutnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Alamsyah et al. (2007),
yang menyatakan proses deproteinasi sebaiknya dilakukan setelah proses
demineralisasi, karena proses isolasi kitin dengan tahap demineralisasi-deproteinasi
akan menghasilkan rendemen lebih banyak bila dibandingkan dengan proses isolasi
kitin dengan tahap deproteinasi-demineralisasi. Apabila mineral tidak dihilangkan
terlebih dahulu, proses deproteinasi tidak akan bisa berlangsung secara optimal karena
mineral memiliki struktur yang lebih keras dibandingkan protein, sehingga mineral akan
membentuk barrier atau pelindung pada kulit udang sehingga proses tidak dapat
berlangsung secara optimal.
Setelah penambahan HCl, dilakukan pengadukan sambil dipanaskan pada suhu 80oC
selama 1 jam. Pengadukan ini berfungsi untuk menghindari meluapnya gelembung
udara hasil dari proses pemisahan mineral selama proses demineralisasi, sedangkan
pemanasan berfungsi untuk mempercepat perusakan serta penghilangan mineral
(Puspawati et al., 2010). Selanjutnya, bahan dicuci menggunakan air mengalir hingga
pH netral dengan menggunakan kain saring, pengukuran pH dilakukan dengan kertas
pH. Pada tahap pencucian ini digunakan kain saring yang berguna untuk memperoleh
residu yang tidak ikut tersaring dimana residu ini telah memiliki pH netral (Puspawati
et al., 2010). Proses demineralisasi mengakibatkan kalsium karbonat bereaksi dengan
asam klorida sehingga membentuk asam karbonat, kalsium klorida, asam fosfat.
Senyawa-senyawa tersebut larut dalam air sedangkan residu yang tidak larut dalam air
merupakan senyawa kitin. Karena mineral yang terdapat pada kitin telah terlarut dalam
air, maka diperlukan penyaringan pada saat proses penetralan pH sehingga didapatkan
residu yang merupakan kitin yang telah terekstrak (Bastaman, 1989). Lalu setelah pH
netral, bahan yang tidak lolos dari kain saring, ditimbang sebagai berat basah lalu
dikeringkan dengan oven pada suhu 90oC selama 24 jam. Pengeringan di oven bertujuan
10
untuk menghilangkan atau mengurangi moisture atau kandungan air pada bahan
sehingga bahan yang diperoleh memiliki kadar air rendah atau kering (Bastaman, 1989).
Setelah pengeringan selesai dilakukan, bahan ditimbang sebagai berat kering.
Tahap selanjutnya adalah deproteinasi. Tahapan ini bertujuan untuk menghilangkan
protein yang masih melekat di kitin, sehingga dapat dihasilkan kitin yang murni
(Alamsyah et al., 2007). Pada tahap deproteinasi ini, tepung yang didapatkan dari
proses demineralisasi ditambahkan dengan NaOH 3,5% sebanyak 6:1. Penggunaan
NaOH 3,5% ini berfungsi untuk menghilangkan protein yang masih melekat pada kitin
(Puspawati et al., 2010). Kemudian, dilakukan pemanasan pada suhu 70oC selama 1 jam
serta dilakukan pengadukan secara terus-menerus. Pemanasan ini berfungsi untuk
menguapkan air dan mengkonsentrasikan NaOH sehingga kitin yang dihasilkan
maksimal, sedangkan pengadukan berguna untuk membantu melarutkan NaOH
sehingga deproteinasi dapat berjalan secara optimal (Puspawati et al., 2010). Menurut
Johnson dan Peterson (1974), penambahan asam atau basa dengan konsentrasi yang
lebih tinggi dan disertai dengan proses atau waktu yang lebih panjang dapat melepaskan
atau meregangkan ikatan protein dan mineral dari kitin.
Setelah proses pemanasan dilakukan, bahan didinginkan. Setelah cukup dingin, bahan
dicuci dengan air hingga pH netral dengan kain saring. Tahapan netralisasi ini penting
dilakukan karena berpengaruh pada sifat penggembungan kitin terhadap alkali sehingga
proses hidrolisis basa terhadap gugus asetamida pada rantai kitin akan semakin baik.
Pada tahap pencucian ini digunakan kain saring yang bertujuan untuk memperoleh
residu yang tidak tersaring yang telah memiliki pH netral (Puspawati et al., 2010).
Setelah pH netral, bahan yang tidak lolos dari kain saring ditimbang sebagai berat basah
lalu di oven dengan suhu 90oC selama 24 jam. Fungsi pengeringan di oven ini untuk
menghilangkan atau mengurangi kadar air pada bahan sehingga bahan yang diperoleh
memiliki kadar air rendah atau kering (Bastaman, 1989). Setelah pengeringan selesai,
bahan ditimbang sebagai berat kering. Dengan demikian, kitin telah berhasil diperoleh.
Tahapan selanjutnya adalah deasetilasi untuk menghasilkan kitosan. Pada tahapan ini,
kitin yang diperoleh ditambah dengan NaOH dengan perbandingan NaOH dan kitin
sebanyak 20:1. NaOH yang ditambahkan untuk setiap kelompok berbeda
konsentrasinya. Pada kelompok E1 dan E2 menggunakan NaOH 40%, kelompok E3
11
dan E4 menggunakan NaOH 50%, sedangkan kelompk E5 menggunakan NaOH 60%.
Perbedaan penggunaan konsentrasi ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya
pengaruh konsentrasi NaOH terhadap kualitas dan jumlah kitosan yang dihasilkan.
Supitjah (2004) mengatakan bahwa NaOH adalah senyawa alkali yang dianggap paling
efektif untuk menghidrolisis gugus asetil pada kitin. Hal ini disebabkan protein yang
terikat pada kitin lebih sulit untuk dipisahkan dibandingkan dengan pemisahan
mineralnya, maka perlu penambahan basa NaOH. Semakin tinggi konsentrasi NaOH
dan suhu yang digunakan maka proses pemisahan kitin dari gugus protein akan menjadi
lebih maksimal. Dengan demikian, semakin tinggi konsentrasi NaOH maka jumlah
rendemen yang terbentuk akan semakin sedikit karena protein terlepas dan tidak terikat
pada kitin lagi. Jika konsentrasi yang digunakan terlalu rendah maka reduksi gugus
protein akan menjadi kurang maksimal. Penggunaan NaOH ini bertujuan untuk
mengubah kitin menjadi kitosan. Hal ini sesuai dengan teori Hirano (1989) yang
memaparkan bahwa kitin memiliki struktur kristal yang panjang dan ikatan yang kuat
antara ion nitrogen dengan gugus karboksil, sehingga diperlukan larutan alkali (NaOH)
dengan konsentrasi 40-50% dan suhu tinggi untuk mengubah kitin menjadi kitosan.
Teori ini juga didukung oleh Martinou (1995), yang menyatakan bahwa NaOH
konsentrasi tinggi dapat mengubah formasi kitin yang sangat rapat menjadi renggang,
sehingga enzim dapat mendeasetilasi polimer kitin. Selain itu, alkali dengan konsetrasi
yang tinggi juga dapat memutuskan ikatan antara gugus karboksil dengan atom
nitrogen.
Setelah itu, dilakukan pemanasan pada suhu 80oC selama 1 jam serta dilakukan
pengadukan secara terus-menerus. Pengadukan ini bertujuan untuk menghomogenkan
kitin dengan NaOH sehingga proses deasetilasi dapat berjalan secara optimal
(Puspawati et al., 2010). Sedangkan pemanasan bertujuan untuk meningkatkan derajat
deasetilasi kitosan karena suhu merupakan faktor penting yang berpengaruh pada
derajat deasetilasi kitosan. Kitosan dengan derajat deasetilasi tinggi diperoleh apabila
pemanasan dilakukan pada suhu tinggi, semakin tinggi suhu pemanasan maka derajat
deasetilasinya akan semakin tinggi pula (Mekawati et al., 2000). Selanjutnya, dilakukan
proses pencucian menggunakan air hingga diperoleh pH netral. Kemudian, bahan
dikeringkan di oven pada suhu 90oC selama 24 jam. Sama seperti proses demineralisasi
dan deproteinasi, pengovenan ini bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi
12
moisture bahan sehingga bahan yang diperoleh memiliki kadar air rendah atau kering
(Bastaman, 1989). Serbuk yang diperoleh setelah proses pengeringan merupakan
kitosan.
Warna dari kitin dan kitosan yang diperoleh dalah praktikum ini adalah putih
kekuningan. Hasil ini tidak sesuai dengan teori dari Wang et al. (2006) yang
menyatakan kitin memiliki karakteristik berwarna putih, tekstur yang keras dan inelastis
serta mengandung nitrogen. Hasil tersebut juga tidak sesuai dengan teori Ramadhan et
al. (2010) yang menyatakan kitosan berbentuk padatan amorf, berwarna putih, dengan
struktur kristal tetap dari bentuk awal kitin. Hasil yang tidak sesuai ini dapat disebabkan
peralatan yang tidak bersih, seperti kain saring yang digunakan adalah kain saring bekas
yang hanya dicuci kemudian dikeringkan, hal ini tentu akan sangat berpengaruh warna
kitin dan kitosan yang dihasilkan.
Pada tabel hasil pengamatan dapat diketahui rendemen kitin dari proses demineralisasi
dan deproteinasi serta rendemen kitosan dari proses deasetilasi. Untuk rendemen kitin
yang pertama, pada kelompok E1 adalah 26,32%, pada kelompok E2 37,93%, pada
kelompok E3 23,53%, pada kelompok E4 35,00%, dan pada kelompok E5 29,17%.
Dengan demikian, maka hasil terbesar didapatkan oleh kelompok E2 yang
menggunakan HCl 0,75 N sedangkan hasil terkecil didapatkan oleh kelompok E3 yang
menggunakan HCl 1 N. Laila & Hendri (2008) menyatakan bahwa semakin besar
konsentrasi HCl yang ditambahkan maka rendemen kitin yang dihasilkan akan semakin
rendah. Hal ini sesuai dengan hasil yang diperoleh di mana dengan konsentrasi HCl
0,75N mendapatkan rendemen yang lebih besar daripada menggunakan HCl 1 N.
Namun, ketidaksesuaian hasil terjadi pada kelompok E5 yang seharusnya menghasilkan
rendemen kitin terendah karena menggunakan HCl dengan konsentrasi tertinggi, yaitu
1,25%. Kesalahan ini dapat terjadi karena jenis udang yang digunakan sebagai bahan
dasar semua kelompok belum tentu dari satu jenis yang sama sehingga kandungan
kitinnya juga berbeda. Selain itu, pada tahap pencucian, kitin bisa ikut mengalir terbawa
oleh air sehingga mengurangi beratnya.
Untuk rendemen kitin kedua yang dihasilkan dari proses proteinasi, pada kelompok E1,
rendemen yang diperoleh adalah 28,57%, pada kelompok E2, rendemen yang diperoleh
adalah 27,78%, pada kelompok E3, rendemen yang diperoleh adalah 30,77%, pada
13
kelompok E4, rendemen yang diperoleh adalah 18,18%, dan pada kelompok E5,
rendemen yang diperoleh adalah 25,00%. Dengan demikian dapat diketahui bahwa pada
kelompok E2, E4, dan D5 mengalami penurunan rendemen sedangkan pada kelompok
E1 dan D3 mengalami peningkatan rendemen. Hal ini tidak sesuai dengan teori
Fennema (1985) yang menyatakan bahwa penghilangan protein dan mineral akan lebih
efektif menggunakan larutan basa (pada praktikum digunakan NaOH) dibandingkan
asam karena kelarutan protein dan mineral lebih tinggi pada kondisi basa dibandingkan
pada kondisi asam, selain itu larutan basa seperti NaOH memiliki aktivitas hidrolisis
yang lebih tinggi. Hasil yang tidak sesuai ini dapat disebabkan karena pH bahan
sebelum dikeringkan belum cukup netral, proses demineralisasi yang belum sempurna
sehingga proses deproteinasi tidak dapat berjalan optimal atau karena proses pemanasan
yang terlalu lama. Hal ini sesuai dengan teori yang disebutkan oleh Laila & Hendri
(2008), yang mengatakan bahwa proses ekstraksi kitin dipengaruh lama proses
pengolahan, suhu yang digunakan, konsentrasi zat kimia, dan pH. Semakin lama proses
pemanasan akan terjadi denaturasi protein sehingga protein terlarut berkurang. Jika
pemanasan dilakukan dalam waktu yang singkat maka kandungan protein yang terlarut
menjadi rendah karena protein tersebut belum larut seluruhnya. Selain itu, menurut
Hartati et al. (2002), pembuatan kitin dipengaruhi oleh jenis bahan baku dan proses
ekstraksi kitin (deproteinasi dan demineralisasi).
Untuk hasil rendemen kitosan, diketahui bahwa pada kelompok E1, rendemen kitosan
yang diperoleh adalah 32,00%. Pada kelompok E2, rendemen kitosan yang diperoleh
adalah 17,23%. Pada kelompok E3, rendemen kitosan yang diperoleh adalah 28,89%.
Pada kelompok E4, rendemen kitosan yang diperoleh adalah 15,33% dan pada
kelompok E5 adalah 42,50%. Dengan demikian, diketahui bahwa rendemen terbesar
diperoleh pada kelompok E5 yang menggunakan NaOH 60% sedangkan rendemen
kitosan terkecil diperoleh kelompok E4 yang menggunakan NaOH 50%. Namun, pada
kelompok E1 yang menggunakan NaOH 40% hanya menghasilkan 17% rendemen
dimana seharusnya rendemen yang didapatkan kelompok E1 lebih besar dibandingkan
E3 dan E5 karena konsentrasi NaOH yang digunakan kelompok E1 lebih kecil
dibandingkan NaOH yang digunakan kelompok E3 dan E5. Hasil yang didapatkan tidak
sesuai dengan teori Supitjah (2004) yang mengatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi
NaOH maka jumlah rendemen yang terbentuk akan semakin sedikit karena protein
14
terlepas dan tidak terikat pada kitin lagi. Hal ini dapat disebabkan karena jenis udang
yang digunakan berbeda sehingga kandungan kitin dan kitosannya juga berbeda, pada
pencucian juga dapat terjadi kitosan yang ikut mengalir terbawa air. Selain hal tersebut,
hasil yang tidak sesuai ini dapat disebabkan karena pH bahan sebelum dikeringkan
belum cukup netral. Hal ini sesuai dengan teori yang disebutkan oleh Laila & Hendri
(2008), yang mengatakan bahwa proses ekstraksi kitin dipengaruh lama proses
pengolahan, suhu yang digunakan, konsentrasi zat kimia, dan pH.
Aplikasi kitin dan kitosan di berbagai sektor dibedakan berdasarkan karakteristik
kualitas meliputi derajat deasetilasi, kelarutan, viskositas, dan berat molekul. Kualitas
dari kitosan yang paling utama ditentukan oleh derajat deasetilasi, dimana derajat
deasetilasi tergantung pada material dan kondisi selama proses pengolahan seperti
konsentrasi larutan alkali, suhu, dan waktu (Suhardi, 1993 dalam Patria, 2013). Kitin
biasanya digunakan sebagai bahan pendukung enzim seperti enzim papain, laktase,
kimotripsin, asam fosfatase, dan glukosa isomerase dalam industri pangan dan kosmetik
(Peter, 1995). Sedangkan kitosan digunakan sebagai bahan pengawet karena kitosan
mengandung gugus amino yang memiliki muatan positif yang dapat mengikat muatan
negatif dari senyawa lain (Robert, 1992). Menurut Prabu dan Natarajan (2012), kitosan
memiliki aktivitas antimikrobia, antioksidan, antikoagula, antitumor dan
hepatoprotektif, antidiabetes, penyembuh luka, dan penyerapan ion logam berat dalam
suatu larutan. Menurut Cha dan Chinnan (2004), manfaat lain dari kitosan yang banyak
terdapat pada limbah udang yaitu kitosan adalah polimer kation yang mampu melisis
dinding sel mikroba. Selain itu, kitosan mengandung enzim lisosim dan gugus
aminopolisakarida yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba dan efisiensi daya
hambat kitosan terhadap bakteri tergantung dari konsentrasi pelarutan kitosan. Kitosan
hasil deasetilasi kitin bersifat polikationik yang menyebabkan kitosan dapat berfungsi
sebagai agen penggumpal dalam penanganan limbah, terutama pada limbah yang
mengandung protein (Hartati et al., 2002). Kitosan dapat berikatan crosslink bila ada
crosslinked agent seperti misalnya glutaraldehid, glioksial, atau kation Cu2+ pada
kitosan tersebut (Cahyaningrum et al., 2007). Alishahi et al. (2011) ; Augustini &
Sedjati, (2007) ; Fan et al. (2009) ; Mohan et al. (2012) dalam Abdou et al. (2012)
menambahkan bahwa kitosan dapat digunakan untuk edible coating, dimana
15
penggunaan edible coating di produk industri perikanan difungsikan untuk
meningkatkan kualitas mikrobiologi dan memperpanjang umur simpan dari produk.
4. KESIMPULAN
Kitin dan kitosan dapat diperoleh dari limbah kulit udang.
Proses pembuatan kitin melalui tahap demineralisasi dan deproteinasi.
Kitosan adalah produk turunan kitin yang diperoleh dengan proses deasetilasi.
Proses demineralisasi menggunakan larutan HCl dan deproteinasi dilakukan
menggunakan NaOH.
Proses deasetilasi menggunakan larutan alkali 40-45% pada temperatur tinggi dan
waktu lama.
Semakin tinggi konsentrasi HCl yang digunakan pada tahap demineralisasi maka
semakin banyak mineral yang hilang dan rendemen yang diperoleh semakin rendah.
Semakin tinggi konsentrasi NaOH, semakin tinggi derajat deasetilasi, maka
rendemen yang dihasilkan semakin rendah.
Rendemen kitin mengalami penurunan pada tahap deproteinasi karena protein
banyak yang hilang akibat proses hidrolisis larutan alkali seperti NaOH yang
memiliki daya hidrolisis yang tinggi.
Penghancuran kulit udang untuk memperluas permukaan bahan sehingga pelarut
yang digunakan dapat melakukan kontak dengan serbuk secara maksimal.
Pengeringan dilakukan untuk mengurangi kadar air pada kulit udang.
Kitosan larut dalam asam dan viskositasnya tergantung dari derajat diasetilasi.
HCl berfungsi melarutkan kandungan mineral pada kulit udang.
NaOH 3,5% berfungsi untuk menghilangkan protein yang masih melekat pada kitin.
Kitin dapat diubah menjadi kitosan dengan cara mengubah gugus pada kitin menjadi
gugus amina.
Proses ekstraksi kitin dipengaruhi oleh lama proses pengolahan, suhu yang
digunakan, konsentrasi zat kimia, dan pH.
Aplikasi kitin dan kitosan berdasarkan karakteristik kualitas meliputi derajat
deasetilasi, kelarutan, viskositas, dan berat molekul.
Kitin biasanya digunakan sebagai bahan pendukung enzim seperti enzim papain,
laktase, kimotripsin, asam fosfatase, dan glukosa isomerase dalam industri pangan
dan kosmetik.
16
17
Kitosan memiliki aktivitas antimikrobia, antioksidan, antikoagula, antitumor dan
hepatoprotektif, penyembuh luka, dan penyerapan ion logam berat dalam suatu
larutan.
Semarang, 30 Oktober 2015
Praktikan, Asisten Dosen,
Monica Budi Rahayu Tjan, Ivana Chandra13.70.0130
5. DAFTAR PUSTAKA
Abdou, E. S., Osheba, A.S. Sorour, M. A. (2012). Effect of Chitosan and Chitosan-Nanoparticles as Active Coating on Microbiological Characteristics of Fish Fingers. International Journal of Applied Science and Technology Vol. 2 No. 7.
Abun, Tjitjah Aisjah, dan Deny Saefulhadjar. (2007). Pemanfaatan Limbah Cair Ekstraksi Kitin dari Kulit Udang Produk Proses Kimiawi dan Biologis Sebagai Imbuhan Pakan dan Implikasinya terhadap Pertumbuhan Ayam Broiler.
Alamsyah, Rizal. (2007). Pengolahan Khitosan Larut dalam Air dari Kulit Udang sebagai Bahan Baku Industri. http://www.bbia.go.id/ringkasan.pdf. Diakses tanggal 5 November 2012.
Bastaman, S. (1989). Studies on Degradation and Extraction of Chitin and Chitosan from Prawn Shells. Thesis. The Depatment of Mechanical. Manufacturing Aeronautical and Chemical Engineering. The Queen's University. Belfast.
Cahyaningrum, S. E., Agustini, Herdyastuti. (2007). Pemakaian Kitosan Limbah Udang Windu sebagai Matriks Pendukung pada Imobilisasi Papain. Jurusan Kimia, FMIPA, Universitas Negeri Surabaya. Jurnal Akta Kimindo Vol. 2 No. 2 Oktober 2007: 93-98. Diakses tanggal 7 Oktober 2013.
Cha D.S. and M.S. Chinnan. 2004. BiopolymerBased Antimikrobial Packaging: A Review. Critical Rev. Food Sci.Nutr. 44:223-237
Departemen Kelautan dan Perikanan. 2008. Pusat Data Statistik dan Informasi. http://www.dkp.go.id. Diakses tanggal 7 Oktober 2013.
Fennema, O.R. (1985). Food Chemistry.Second Edition.Marcel Dekker, Inc., New York.
Hargono, S dan Haryani D (2004). Pengaruh Konsentrasi Zat Pelarut dalam Proses Demineralisasi, Deproteinasi, dan Deasetilasi terhadap Kualitas Khitosan. Universitas Indonesia, Jakarta.
Hartarti, F.K., Susanto, T., Rakhmadiono, S., dan Lukito, A.S. (2002). Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Tahap Deproteinisasi Menggunakan Enzim Protease dalam Pembuatan Khitin dari Cangkang Rajungan (Portunus pelagicus). BIOSAIN, VOL. 2, NO. 1 : 68-77.
Hirano. (1989). Production and Aplication on Chitin and Chitosan in Japan.Jepang.
Islama, Md. M., Masumb, S. Md., Rahmana, M., Mollab, Md. A. I., Shaikhc, A. A., Roya, S. K. (2011). Preparation of Chitosan from Shrimp Shell and Investigation of Its Properties. International Journal of Basic & Applied Sciences IJBAS-IJENS Vol: 11 No: 01.
Johnson, A.H. dan M.S. Peterson.(1974). Encyclopedia of Food Technology Vol. II. The AVI Publishing Co., Inc., Connecticut.
Laila, A & Hendri, J. (2008).Study Pemanfaatan Polimer Kitin Sebagai Media Pendukung Amobilisasi Enzim α-Amilase.
18
19
Linawati, H. 2006. ”Chitosan Bahan Alami Pengganti Formalin”. Departemen Teknologi Perairan (THP) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (FKIK-IPB). http://www.kompas.com/kesehatan/news/0601/07/085109.htm. Diakses tanggal 7 oktober 2013.
Marganov. (2003). Potensi Limbah Udang sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal, Kadmium, dan Tembaga) di Perairan. http://rudyct.topcities.com/pps702_71034/ marganof.htm.Diakses tanggal 7 Oktober 2013.
Martinou, A.D., D. Kafetzopoulos dan V. Bouriotis. (1995).Chitin deacetylation by enzymatic means.
Mekawati, Fachriyah, E. dan Sumardjo, D. (2000).Aplikasi Kitosan Hasil tranformasi Kitin Limbah Udang (Penaeus merguiensis) untuk Adsorpsi Ion Logam Timbal.Jurnal Sains and Matematika, FMIPA Undip, Semarang, Vol. 8 (2), hal. 51-54.
Muzzarelli, R.A.A. (1985). Chitin in the Polysaccharides Vol. 3. Academic Press Inc. Orlando. San Diego.
Patria, A. Production and Characterization of Chitosan from Shrimp Shells Waste. (2013). Aquaculture, Aquarium, Conservation & Legislation International Journal of the Bioflux Society, Volume 6, Issue 4.
Peter, Martin G. (1995). Application and Environmental Aspects of Chitin and Chitosan.Journal of Pure and Appl. Chem. Marcel Dekker, Inc., Germany. Hlm. 629-639.
Pillai, Willi Paul, Chandra P. S. (2009). Chitin and Chitosan Polymers: Chemistry, Solubility and Fiber Formation. Progress in Polymer Scince.
Prabu, K. and Natarajan, E. (2012). Bioprospecting of Shells of Crustaceans. International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences Vol 4, Suppl 4, 2012. India.
Prasetiyo, Kurnia Wiji. (2006). UPT Balai Litbang Biomaterial, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. terbit di KOMPAS pada tanggal 15 Mei 2006.
Puspawati, N. M dan I. N. Simpen. (2010). Optimasi Deasetilasi Khitin dari Kulit Udang dan Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood Menjadi Khitosan Melalui Variasi Konsentrasi NaOH. Jurnal Kimia Vol 4 hal 79 – 90.
Puvvada, Y. S., Vankayalapati, S., Sukhavasi, S. (2012). Extraction of Chitin from Chitosan from Exoskeleton of Shrimp for Application in the Pharmaceutical Industry. International Current Pharmaceutical Journal 1(9): 258-263.
Radhakumary, C., P.D. Nair, S. Mathew, C.P.R. Nair. (2005). Biopolymer Composite of Chitosan and Methyl Methacrylate for Medical Applications. Trends Biomater. Artif. Organs. Vol 18(2) : 117-124.
Ramadhan, L.O.A.N., C.L. Radiman, D. Wahyuningrum, V. Suendo, L.O. Ahmad, S. Valiyaveetiil. (2010). Deasetilasi Kitin secara Bertahap dan Pengaruhnya terhadap
20
Derajat Deasetilasi serta Massa molekul Kitosan. Jurnal Kimia Indonesia. Vol 5 : 17-21.
Robert, G.A.F. (1992). Chitin Chemistry. The Macmillan Press Ltd., London.
Rogers, E.P. (1986). Fundamental of Chemistry. Books/Cole Publishing Company. California.
Suhardi, U. Santoso dan Sudarmanto. (1992). Limbah Pengolahan Udang untuk Produksi Kitin, Laporan penelitian, BAPPINDO-FTP UGM. Yogyakarta.
Tarafdar, A., Biswas, G. (2013). Extraction of Chitosan from Prawn Shell Wastes and Examination of its Viable Commercial Applications. International Journal on Theoretical and Applied Research in Mechanical Engineering (IJTARME) Volume-2, Issue-3.
Tarafdar, Abhrajyoti & Gargi Biswas. 2013. Extraction of Chitosan from Prawn Shell Wastes and Examination of its Viable Commercial Applications. www.irdindia.in/Journal_IJTARME/PDF/Vol2_Iss3/4.pdf. Diakses tanggal 7 Oktober 2013.
Wang, S.L, Lin, T.Y, Yen, Y.H, Liao, H.F, & J, Yu. (2006). Bioconversion of Shellfish Chitin Waste for the Production of Bacillus subtilis W-118 Chitinase. Carbhydr.res Vol 341:2501-2515.
Wang, Zhengke; Qiaoling H.; and Lei, C. (2010). Chitin Fiber and Chitosan 3D Composite Rods. International Journal of Polymer Science Volume 2010. China.
6. LAMPIRAN
6.1. Perhitungan
Kelompok E1 Rendemen kitin I
¿ berat keringberat basah I
×100 %
¿ 519
×100 %=26,32 %
Rendemen kitin II
¿ berat keringberat basah I
×100 %
¿ 27
×100 %=28,57 %
Rendemen kitin III
¿ berat keringberat basah I
×100 %
¿ 1,765,5
×100 %=32 %
Kelompok E2 Rendemen kitin I
¿ berat keringberat basah I
×100 %
¿ 5,514,5
×100 %=37,93 %
Rendemen kitin II
¿ berat keringberat basah I
×100 %
¿ 2,59
×100 %=27,78 %
Rendemen kitin III
¿ berat keringberat basah I
×100 %
¿ 1,126,5
×100 %=17,23 %
Kelompok E3 Rendemen kitin I
¿ berat keringberat basah I
×100 %
¿ 417
×100 %=23,53 %
Rendemen kitin II
¿ berat keringberat basah I
×100 %
¿ 26,5
×100 %=30,77 %
Rendemen kitin III
¿ berat keringberat basah I
×100 %
¿1,34,5
× 100%=28,89%
Kelompok E4 Rendemen kitin I
¿ berat keringberat basah I
×100 %
¿ 3,510
×100 %=35 %
Rendemen kitin II
¿ berat keringberat basah I
×100 %
¿ 211
×100 %=18,18 %
Rendemen kitin III
¿ berat keringberat basah I
×100 %
¿ 0,231,5
×100 %=15,33 %
Kelompok E5 Rendemen kitin I
¿ berat keringberat basah I
×100 %
¿ 3,512
×100 %=29,17 %
Rendemen kitin II
¿ berat keringberat basah I
×100 %
¿ 28
×100 %=25 %
Rendemen kitin III
¿ berat keringberat basah I
×100 %
¿ 0,852
×100 %=42,5 %
6.2. Laporan Sementara
21
22
6.3. Diagram Alir
6.4. Abstrak Jurnal