Post on 04-Feb-2016
description
CASE BASED DISCUSSION
SINUSITIS MAKSILARIS DEKSTRA
Diajukan untukMemenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik dan Melengkapi Salah Satu Syarat
Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu Kesehatan THT-KLRST Dr. Soedjono Magelang
Disusun oleh :
Amelia Lestari ( 1410221037 )
Pembimbing :
Kol. CKM dr. Budi Wiranto, Sp.THT-KL
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
JAKARTA
2015
1
SINUSITIS MAKSILARIS DEKSTRA
Disusun untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik dan
melengkapi salah satu syarat menempuh
Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL
RST Dr. Soedjono Magelang
Oleh :
Amelia Lestari
1410221037
Magelang, Oktober 2015
Mengetahui,
Pembimbing
( Kol. CKM dr. Budi Wiranto, Sp.THT-KL)
2
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
I.1. ANATOMI SINUS PARANASAL
Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit
dideskripsi karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat
pasang sinus paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal,
sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil
pneumatisasi tulag-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang.
Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga hidung.
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga
hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus
sfenoid dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat bayi lahir,
sedangkan sinus frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang
berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10
tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini
umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun.
SINUS MAKSILA
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus
maksila bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan
akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa.
Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior sinus ialah permukaan
fasial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah
permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral
rongga hidung, dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya
ialah prossesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah
superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui
infundibulum etmoid.
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan adalah:
a. Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu
premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring
3
(C) dan gigi molar M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke
dalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan
sinusitis.
b. Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita.
c. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga
drenase hanya tergantung dari gerak silia, lagipula drenase juga harus
melalui infundibulum yang sempit.
d. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan
akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalang drenase sinus
maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis.
Gambar 1: Anatomi sinus paranasal (potongan koronal)
KOMPLEKS OSTEO-MEATAL (KOM)
Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus media, ada
muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior.
Daerah ini rumit dan sempit, dan dinamakan komples osteo-meatal (KOM) yang
terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinatus,
4
resesus fontalis, bula etmoid, dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan
ostium sinus maksila.
Gambar 2: Kompleks osteomeatal
SISTEM MUKOSILIAR
Seperti pada mukosa hidung, di dalam sinus juga terdapat mukosa bersilia
dan palut lendir di atasnya.Di dalam sinus silia bergerak secara teratur untuk
mengalirkan lendir menuju ostium alamiahnya mengikuti jalur-jalur yang sudah
tertentu polanya.
FUNGSI SINUS PARANASAL :
Sampai saat ini belum ada penyesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus
paranasal. Tetapi beberapa teori mengemukakan fungsinya sebagai berikut :
1. Sebagai pengatur kondisi udara
2. Sebagai penahan suhu
3. Membantu keseimbangan kepala
4. Membantu resonansi suara
5. Peredam perubahan tekanan udara
6. Membantu produksi mukus untuk membersihkan rongga hidung
I.2. DEFINISI
5
Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal. Sesuai anatomi sinus yang
terkena, dapat dibagi menjadi sinusitis maksila, sinusitis etmoid, sinusitis frontal
dan sinusitis sfenoid.
Yang paling sering ditemukan ialah sinusitis maksila dan sinusitis etmoid,
sinusitis frontal dan sinusuitis sfenoid lebih jarang.
Sinus maksila disebut juga antrum High more, merupakan sinus yang
sering terinfeksi, oleh karena (1) merupakan sinus paranasal yang terbesar, (2)
letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar, sehingga aliran sekret atau drainase dari
sinus maksila hanya tergantung dari gerakan silia, (3) dasar sinus maksila adalah
dasar akar gigi (prosesus alveolaris), sehingga infeksi gigi dapat menyebabkan
sinusitis maksila, (4) ostium sinus maksila terletak di meatus medius, disekitar
hiatus semilunaris yang sempit, sehingga mudah tersumbat.
Sinusitis maksilaris dapat terjadi akut, berulang atau kronis. Sinusitis
maksilaris akut berlangsung tidak lebih dari tiga minggu.Sinusitis akut dapat
sembuh sempurna jika diterapi dengan baik, tanpa adanya residu kerusakan
jaringan mukosa.Sinusitis berulang terjadi lebih sering tapi tidak terjadi kerusakan
signifikan pada membran mukosa. Sinusitis kronis berlangsung selama 3 bulan
atau lebih dengan gejala yang terjadi selama lebih dari dua puluh hari.
Gambar 3: Penyebaran infeksi pada sinusitis dentogen
Hubungan anatomi antara gigi dan antrum Highmore:
6
a. Sinus maksilaris dewasa merupakan suatu rongga berisi udara yang
dibatasi oleh bagian alveolar sinus maksilaris, lantai orbital, dinding lateral
hidung dan dinding lateral os maksila.
b. Pada setengah individu, pneumatisasi dan perluasan dapat terjadi
sedemikian rupa sehingga hanya sinus mukoperiosteum (membran
Schneidarian) yang tersisa.
c. Bisa juga terjadi ekspansi terus sehingga hanya meninggalkan tulang
alveolar antara sinus dan rongga mulut.
d. Otot levator labial dan orbicularis oculi di dinding lateral dari maksila
dapat langsung menyebabkan penyebaran infeksi. Dinding lateral ini
lemah dan mudah ditembus dari lantai sinus. Akibatnya, infeksi
odontogenik umumnya terjadi bersamaan dengan infeksi jaringan lunak
vestibular/fasia.
I.3. ETIOLOGI
Penyebab tersering adalah ekstraksi gigi molar, biasanya molar pertama,
dimana sepotong kecil tulang di antara akar gigi molar dan sinus maksilaris ikut
terangkat.Nathaniel Highmore yang mengemukakan tentang membran tulang tipis
yang memisahkan gigi geligi dari sinus pada tahun 1651, “Tulang yang
membungkus antrum maksilaris dan memisahkannya dengan soket geligi tebalnya
tidak melebihi kertas pembungkus”.
Infeksi gigi lain seperti abses apikal atau penyakit periodontal dapat
menimbulkan kondisi serupa. Gambaran bakteriologik sinusitis dentogen ini
didominasi terutama oleh infeksi bakteri gram negatif.Karena itulah infeksi ini
menyebabkan pus yang berbau busuk dan akibatnya timbul bau busuk dari
hidung. Prinsip terapi adalah pemberian antibiotik, irigasi sinus, dan koreksi
gangguan geligi.
Etiologi sinusitis dentogen adalah:
a. Penjalaran infeksi gigi, infeksi periapikal gigi maksila dari kaninus sampai
gigi molar tiga atas. Biasanya infeksi lebih sering terjadi pada kasus-kasus
akar gigi yang hanya terpisah dari sinus oleh tulang yang tipis, walaupun
7
kadang-kadang ada juga infeksi mengenai sinus yang dipisahkan oleh
tulang yang tebal.
b. Prosedur ekstraksi gigi, misalnya terdorong gigi ataupun akar gigi sewaktu
akan diusahakan mencabutnya, atau terbukanya dasar sinus sewaktu
dilakukan pencabutan gigi.
c. Penjalaran penyakit periodontal yaitu adanya penjalaran infeksi dari
membran periodontal melalui tulang spongiosa ke mukosa sinus.
d. Trauma, terutama fraktur maksila yang mengenai prosesus alveolaris dan
sinus maksila.
e. Adanya benda asing dalam sinus berupa fragmen akar gigi dan bahan
tambalan akibat pengisian saluran akar yang berlebihan.
f. Osteomielitis akut dan kronis pada maksila.
g. Kista dentogen yang seringkali meluas ke sinus maksila, seperti kista
radikuler dan folikuler.
h. Deviasi septum kavum nasi, polip, serta neoplasma atau tumor dapat
menyebabkan obstruksi ostium yang memicu sinusitis.
Gambar 4: Faktor penyebab terjadinya sinusitis dentogen
8
Gambar 5: Tampilan abses periodontal dan abses periapikal
I.4. EPIDEMIOLOGI
Di Eropa, sinusitis diperkirakan mengenai 10-30% populasi. Di Amerika,
lebih dari 30 juta penduduk per tahun menderita sinusitis. Wald di Amerika
menjumpai insiden pada orang dewasa antara 10-15% dari seluruh kasus sinusitis
yang berasal dari infeksi gigi.
9
Ramalinggam di Madras, India mendapatkan bahwa sinusitis maksila tipe
dentogen sebanyak 10% kasus yang disebabkan oleh abses gigi dan abses apikal.
Becker et al. dari Bonn, Jerman menyatakan 10% infeksi pada sinus maksila
disebabkan oleh penyakit pada akar gigi. Granuloma dental, khususnya pada
premolar kedua dan molar pertama sebagai penyebab sinusitis maksila dentogen.
Highler dari Minnesota, Amerika Serikat menyatakan 10% kasus sinusitis maksila
yang terjadi setelah gangguan pada gigi.
Data dari sub bagian Rinologi THT FKUI RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo menunjukkan angka kejadian sinusitis yang tinggi yaitu 248
pasien (50%) dari 496 pasien rawat jalan. Farhat di Medan mendapatkan insiden
sinusitis dentogen di Departemen THT-KL/RSUP H. Adam Malik sebesar
13.67% dan yang terbanyak disebabkan oleh abses apikal yaitu sebanyak 71.43%.
Hasil dari penelitian melaporkan bahwa insiden sinusitis dentogen lebih tinggi
pada wanita dan angka kejadian tertinggi pada usia dekade ketiga dan keempat.
I.5. PATOFISIOLOGI
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan
lancarnya klirens mukosiliar (mucociliary clearance) di dalam kompleks
osteomeatal. Sinus dilapisi oleh sel epitel respiratorius. Lapisan mukosa yang
melapisi sinus dapat dibagi menjadi dua yaitu lapisan viscous superficial dan
lapisan serous profunda. Cairan mukus dilepaskan oleh sel epitel untuk
membunuh bakteri maka bersifat sebagai antimikroba serta mengandungi zatzat
yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk
bersama udara pernafasan. Cairan mukus secara alami menuju ke ostium untuk
dikeluarkan jika jumlahnya berlebihan.
Faktor yang paling penting yang mempengaruhi patogenesis
terjadinya sinusitis yaitu apakah terjadi obstruksi dari ostium. Jika terjadi
obstruksi ostium sinus akan menyebabkan terjadinya hipooksigenasi, yang
menyebabkan fungsi silia berkurang dan epitel sel mensekresikan cairan mukus
dengan kualitas yang kurang baik. Disfungsi silia ini akan menyebabkan retensi
mukus yang kurang baik pada sinus.
10
Kegagalan transpor mukus dan menurunnya ventilasi sinus merupakan
faktor utama berkembangnya sinusitis. Sinusitis dentogen dapat terjadi melalui
dua cara, yaitu:
1. Infeksi gigi yang kronis dapat menimbulkan jaringan granulasi di dalam
mukosa sinus maksilaris, hal ini akan menghambat gerakan silia ke arah
ostium dan berarti menghalangi drainase sinus. Gangguan drainase ini
akan mengakibatkan sinus mudah mengalami infeksi. Kejadian sinusitis
maksila akibat infeksi gigi rahang atas terjadi karena infeksi bakteri
(anaerob) menyebabkan terjadinya karies profunda sehingga jaringan
lunak gigi dan sekitarnya rusak (Prabhu; Padwa; Robsen; Rahbar, 2009).
Pulpa terbuka maka kuman akan masuk dan mengadakan pembusukan
pada pulpa sehingga membentuk gangren pulpa. Infeksi ini meluas dan
mengenai selaput periodontium menyebabkan periodontitis dan iritasi
akan berlangsung lama sehingga terbentuk pus. Abses periodontal ini
kemudian dapat meluas dan mencapai tulang alveolar menyebabkan
abses alveolar. Tulang alveolar membentuk dasar sinus maksila sehingga
memicu inflamasi.
2. Kuman dapat menyebar secara langsung, hematogen atau limfogen dari
granuloma apikal atau kantong periodontal gigi ke sinus maksila.
Patofisiologi sinusitis adalah sebagai berikut:
Inflamasi mukosa hidung menyebabkan pembengkakan (udem) dan
eksudasi, yang mengakibatkan obstruksi ostium sinus. Obstruksi ini menyebabkan
gangguan ventilasi dan drainase, resorbsi oksigen yang ada di rongga sinus,
kemudian terjadi hipoksia (oksigen menurun, pH menurun, tekanan negatif),
selanjutnya diikuti permeabilitas kapiler meningkat, sekresi kelenjar meningkat
kemudian transudasi, peningkatan eksudasi serous, penurunan fungsi silia,
akhirnya terjadi retensi sekresi di sinus ataupun pertumbuhan kuman.
11
Gambar 6. Pergerakan silia dalam drainase cairan sinus
Gambar 7. Perubahan silia pada sinusitis
Bila terjadi edema di kompleks osteomeatal, mukosa yang letaknya
berhadapan akan saling bertemu, sehingga silia tidak dapat bergerak dan lendir
tidak dapat dialirkan. Maka terjadi gangguan drainase dan ventilasi didalam sinus,
sehingga silia menjadi kurang aktif dan lendir yang di produksi mukosa sinus
menjadi lebih kental dan merupakan media yang baik untuk tumbuhnya bakteri
patogen. Bila sumbatan berlangsung terus, akan terjadi hipoksia dan retensi lendir
12
sehingga timbul infeksi oleh bakteri anaerob.1 Bakteri yang sering ditemukan pada
sinusitis kronik adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae,
Moraxella catarrhalis,Streptococcus B hemoliticus, Staphylococcus aureus,
kuman anaerob jarang ditemukan.Selanjutnya terjadi perubahan jaringan menjadi
hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista.
Gambar 8. Perubahan mukosa pada sinus yang terinfeksi
Reaksi peradangan berjalan menurut tahap-tahap tertentu yang khas.
Pelebaran kapiler darah akan memperlambat aliran darah sehingga akan
mengeluarkan fibrin dan eksudat serta migrasi leukosit menembus dinding
pembuluh darah membentuk sel-sel nanah dalam eksudat. Tetapi bilamana terjadi
pada selaput lendir, maka pada saat permulaan vasodilatasi terjadi peningkatan
produksi mukus dari kelenjar mukus sehingga nanah yang terjadi bukan murni
sebagai nanah, tetapi mukopus.
I.6. GEJALA KLINIS
Gejala subyektif terdiri dari gejala sistemik dan gejala lokal.Gejala
sistemik ialah demam dan rasa lesu.Gejala lokal pada hidung terdapat ingus kental
yang kadang-kadang berbau dan dirasakan mengalir ke nasofaring. Dirasakan
hidung tersumbat, Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul dan
menusuk, serta nyeri di tempat lain karena nyeri alih (referred pain). Sekret
mukopurulen dapat keluar dari hidung dan terkadang berbau busuk. Batuk
iritatif non-produktif juga seringkali ada Nyeri alih dirasakan di dahi dan di depan
13
telinga. Penciuman terganggu dan ada perasaan penuh dipipi waktu membungkuk
ke depan. Terdapat perasaan sakit kepala waktu bangun tidur dan dapat
menghilang hanya bila peningkatan sumbatan hidung sewaktu berbaring sudah
ditiadakan.
Gejala obyektif, pada pemeriksaan sinusitis maksila akut akan tampak
pembengkakan di pipidan kelopak mata bawah. Pada rinoskopi anterior tampak
mukosa konka hiperemis dan edema. Pada sinusitis maksila, sinusitis frontal dan
sinusitis etmoid anterior tampak lendir atau nanah di meatus medius. Pada
rinoskopi posterior tampak mukopus di nasofaring (post nasal drip).
Sinusitis maksilaris dari tipe odontogen harus dapat dibedakan
dengan rinogen karena terapi dan prognosa keduanya sangat berlainan. Pada
sinusitis maksilaris tipe odontogenik ini hanya terjadi pada satu sisi serta
pengeluaran pus yang berbau busuk. Di samping itu, adanya kelainan apikal atau
periodontal mempredisposisi kepada sinusitis tipe dentogen. Gejala sinusitis
dentogen menjadi lebih lambat dari sinusitis tipe rinogen.
Gambar 9. Pus pada meatus medius
Gambar 10. Pembengkakan pipi pada pasien sinusitis
I.7. DIAGNOSIS
14
Diagnosis sinusitis dentogen adalah berdasarkan pemeriksaan lengkap
pada gigi serta pemeriksaan fisik lainnya. Ini mencakup evaluasi gejala klinis
pasien sesuai dengan kriteria American Academy of Otolaryngology Head and
Neck Surgery (AAO-HNS), yang mana diagnosis sinusitis membutuhkan
setidaknya 2 faktor mayor atau setidaknya 1 faktor mayor dan 2 faktor minor dari
serangkaian gejala dan tanda klinis, riwayat penyakit gigi geligi, serta temuan
radiologi sinus paranasal dan CT Scan. Selain itu, kadang diperlukan konsultasi
dengan departemen kedokteran gigi untuk mendukung dan membuat diagnosis
sinusitis dentogen serta penatalaksanaannya.
Anamnesis
Riwayat rinore purulen yang berlangsung lebih dari 2 minggu, merupakan
keluhan yang paling sering dan paling menonjol pada sinusitis akut. Keluhan ini
dapat disertai keluhan lain seperti sumbatan hidung, nyeri/rasa tekanan pada
muka, nyeri kepala, demam, ingus belakang hidung, batuk, anosmia/hiposmia,
nyeri periorbital, nyeri gigi, nyeri telinga dan serangan mengi (wheezing) yang
meningkat pada penderita asma.
Riwayat gejala sesuai dengan 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor
ditambah 2 kriteria minor dari kumpulan gejala dan tanda menurut International
Consensus on Sinus Disease, tahun 1993 dan 2004.11 Kriteria mayor terdiri dari:
sumbatan atau kongesti hidung, sekret hidung purulen, sakit kepala, nyeri atau
rasa tertekan pada wajah dan gangguan penghidu. Kriteria minornya adalah
demam dan halitosis.
Penderita Gejala dan Tanda
Mayor Minor
15
Dewasa dan Anak
Kongesti hidung atau sumbatan
Sekret hidung/post nasal purulen
Rasa nyeri/tekanan/penuh di wajah
Gangguan penghidu (hiposmia, anosmia)
Demam
Demam
Sakit kepala
Nafas berbau
Fatique
Batuk
Sakit gigi
Hidung berbau
Gejala telinga
Anak-Anak Batuk
Iritabilitas/Rewel
-
Dikutip dari: Kennedy DW
Pemeriksaan Fisik
INSPEKSI
Ada 3 keadaan yang penting kita perhatikan saat melakukan inspeksi hidung
& sinus paranasalis, yaitu :
Kerangka dorsum nasi (batang hidung).
Adanya luka, warna, udem & ulkus nasolabial.
Bibir atas.
Ada 4 bentuk kerangka dorsum nasi (batang hidung) yang dapat kita temukan
pada inspeksi hidung & sinus paranasalis, yaitu :
Lorgnet pada abses septum nasi.
Saddle nose pada lues.
Miring pada fraktur.
Lebar pada polip nasi.
Kulit pada ujung hidung yang terlihat mengkilap, menandakan adanya udem
di tempat tersebut.
Adanya maserasi pada bibir atas dapat kita temukan saat melakukan inspeksi
hidung & sinus paranalis. Maserasi disebabkan oleh sekresi yang berasal dari
sinusitis dan adenoiditis.
16
PALPASI
Ada 4 struktur yang penting kita perhatikan saat melakukan palpasi hidung &
sinus paranasalis, yaitu :
Dorsum nasi (batang hidung).
Ala nasi.
Regio frontalis sinus frontalis.
Fossa kanina.
Krepitasi dan deformitas dorsum nasi (batang hidung) dapat kita temukan
pada palpasi hidung. Deformitas dorsum nasi merupakan tanda terjadinya fraktur
os nasalis.
Ala nasi penderita terasa sangat sakit pada saat kita melakukan palpasi. Tanda
ini dapat kita temukan pada furunkel vestibulum nasi.
Ada 2 cara kita melakukan palpasi pada regio frontalis sinus frontalis, yaitu :
Kita menekan lantai sinus frontalis ke arah mediosuperior dengan tenaga
optimal dan simetris (besar tekanan sama antara sinus frontalis kiri dan kanan).
Palpasi kita beri nilai bila kedua sinus frontalis tersebut memiliki reaksi yang
berbeda. Sinus frontalis yang lebih sakit berarti sinus tersebut patologis.
Kita menekan dinding anterior sinus frontalis ke arah medial dengan tenaga
optimal dan simetris. Hindari menekan foramen supraorbitalis. Foramen
supraorbitalis mengandung nervus supraorbitalis sehingga juga menimbulkan
reaksi sakit pada penekanan. Penilaiannya sama dengan cara pertama diatas.
Palpasi fossa kanina kita peruntukkan buat interpretasi keadaan sinus
maksilaris. Syarat dan penilaiannya sama seperti palpasi regio frontalis sinus
frontalis. Hindari menekan foramen infraorbitalis karena terdapat nervus
infraorbitalis.
PERKUSI
Perkusi pada regio frontalis sinus frontalis dan fossa kanina kita lakukan
apabila palpasi pada keduanya menimbulkan reaksi hebat. Syarat-syarat perkusi
sama dengan syarat-syarat palpasi.
17
Rinoskopia Anterior
Rinoskopi anterior merupakan pemeriksaan rutin untuk melihat tanda
patognomonis, yaitu sekret purulen di meatus medius atau superior; atau pada
rinoskopi posterior tampak adanya sekret purulen di nasofaring (post nasal drip).
Ada 3 alat yang biasa kita gunakan pada rinoskopia anterior, yaitu :
Aplikator.
Pinset (angulair) dan bayonet (lucae).
Spekulum hidung Hartmann.
Spekulum hidung Hartmann bentuknya unik. Cara kita memakainya juga unik
meliputi cara memegang, memasukkan dan mengeluarkan. Cara kita memegang
spekulum hidung Hartmann sebaiknya menggunakan tangan kiri dalam posisi
horisontal. Tangkainya yang kita pegang berada di lateral sedangkan mulutnya di
medial. Mulut spekulum inilah yang kita masukkan ke dalam kavum nasi (lubang
hidung) pasien. Cara kita memasukkan spekulum hidung Hartmann yaitu
mulutnya yang tertutup kita masukkan ke dalam kavum nasi (lubang hidung)
pasien. Setelah itu kita membukanya pelan-pelan di dalam kavum nasi (lubang
hidung) pasien.
Cara kita mengeluarkan spekulum hidung Hartmann yaitu masih dalam kavum
nasi (lubang hidung), kita menutup mulut spekulum kira-kira 90%. Jangan
menutup mulut spekulum 100% karena bulu hidung pasien dapat terjepit dan
tercabut keluar.
Ada 5 tahapan pemeriksaan hidung pada rinoskopia anterior yang akan kita
lakukan, yaitu :
Pemeriksaan vestibulum nasi.
Pemeriksaan kavum nasi bagian bawah.
Fenomena palatum mole.
Pemeriksaan kavum nasi bagian atas.
Pemeriksaan septum nasi.
Rinoskopia Posterior
18
Prinsip kita dalam melakukan rinoskopia posterior adalah menyinari koane
dan dinding nasofaring dengan cahaya yang dipantulkan oleh cermin yang kita
tempatkan dalam nasofaring.
Ada 4 alat dan bahan yang kita gunakan pada rinoskopia posterior, yaitu :
Cermin kecil.
Spatula.
Lampu spritus.
Solusio tetrakain (- efedrin 1%).
Teknik-teknik yang kita gunakan pada rinoskopia posterior, yaitu :
Cermin kecil kita pegang dengan tangan kanan. Sebelum memasukkan dan
menempatkannya ke dalam nasofaring pasien, kita terlebih dahulu memanaskan
punggung cermin pada lampu spritus yang telah kita nyalakan.
Minta pasien membuka mulutnya lebar-lebar. Lidahnya ditarik ke dalam
mulut, jangan digerakkan dan dikeraskan. Bernapas melalui hidung.
Spatula kita pegang dengan tangan kiri. Ujung spatula kita tempatkan pada
punggung lidah pasien di depan uvula. Punggung lidah kita tekan ke bawah di
paramedian kanan lidah sehingga terbuka ruangan yang cukup luas untuk
menempatkan cermin kecil dalam nasofaring pasien.
Masukkan cermin kedalam faring dan kita tempatkan antara faring dan
palatum mole kanan pasien. Cermin lalu kita sinari dengan menggunakan cahaya
lampu kepala.
Khusus pasien yang sensitif, sebelum kita masukkan spatula, kita berikan
lebih dahulu tetrakain 1% 3-4 kali dan tunggu ± 5 menit.
Pemeriksaan Transiluminasi
Pemeriksaan penunjang lain adalah transiluminasi. Hanya sinus frontal
dan maksila yang dapat dilakukan transiluminasi. Pada sinus yang sakit akan
menjadi suram atau gelap. Pemeriksaan ini sudah jarang digunakan karena
terbatas kegunaanya
Ada 2 cara melakukan pemeriksaan transiluminasi (diaphanoscopia) pada sinus
maksilaris, yaitu :
19
Cara I. Mulut pasien kita minta dibuka lebar-lebar. Lampu kita tekan pada
margo inferior orbita ke arah inferior. Cahaya yang memancar ke depan
kita tutup dengan tangan kiri. Hasilnya sinus maksilaris normal bilamana
palatum durum homolateral berwarna terang.
Cara II. Mulut pasien kita minta dibuka. Kita masukkan lampu yang telah
diselubungi dengan tabung gelas ke dalam mulut pasien. Mulut pasien
kemudian kita tutup. Cahaya yang memancar dari mulut dan bibir atas
pasien, kita tutup dengan tangan kiri. Hasilnya dinding depan dibawah
orbita tampak bayangan terang berbentuk bulan sabit. Penilaian
pemeriksaan transiluminasi (diaphanoscopia) berdasarkan adanya
perbedaan sinus kiri dan sinus kanan. Jika kedua sinus tampak terang,
menandakan keduanya normal. Namun khusus pasien wanita, hal itu bisa
menandakan adanya cairan karena tipisnya tulang mereka. Jika kedua
sinus tampak gelap, menandakan keduanya normal. Khusus pasien pria,
kedua sinus yang gelap bisa akibat pengaruh tebalnya tulang mereka.
Nasoendoskopi
Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan untuk menilai kondisi kavum
nasi hingga ke nasofaring. Pemeriksaan ini dapat memperlihatkan dengan jelas
keadaan dinding lateral hidung. Pemeriksaan ini sangat dianjurkan untuk
menentukan diagnosa yang lebih tepat dan dini. Tanda khas ialah adanya pus di
meatus media (pada sinusitis maksilaris, etmoid anterior dan frontalis) atau di
meatus superior (pada sinusitis etmoidalis posterior dan sfenoid).
Foto polos sinus paranasal
Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos. Foto polos posisi
Waters, PA dan lateral, umumnya hanya mampu menilai kondisi sinus – sinus
besar seperti sinus maksila dan frontal. Kelainan akan terlihat perselubungan,
batas udara-cairan (air fluid level) atau penebalan mukosa.
CT Scan
20
CT scan sinus merupakan gold standard diagnosis sinusitis karena mampu
menilai anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus secara
keseluruhan dan perluasannya. Namun karena mahal hanya dikerjakan sebagai
penunjang diagnosis sinusitis kronik yang tidak membaik dengan pengobatan atau
pra-operasi sebagai panduan operator saat melakukan operasi sinus.
Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi
Pemeriksaan ini dilakukan dengan mengambil sekret dari meatus media
atau superior, untuk mendapat antibiotik yang tepat guna. Lebih baik lagi bila
diambil sekret yang keluar dari pungsi sinus maksila. Kebanyakan
sinusitisdisebabkan infeksi oleh Streptococcus pneumoniae, Haemophilus
influenzae, Moraxella catarrhalis. Gambaran bakteriologik dari sinusitis yang
berasal dari gigi geligi didominasi oleh infeksi gram negatif sehingga
menyebabkan pus berbau busuk dan akibatnya timbul bau busuk dari hidung.
Sinoskopi
Dapat dilakukan untuk melihat kondisi antrum sinus maksila. Pemeriksaan
ini menggunakan endoskop, yang dimasukkan melalui pungsi di meatus inferior
atau fosa kanina. Dilihat apakah ada sekret, jaringan polip, atau jamur di dalam
rongga sinus maksila, serta bagaimana keadaaan mukosanya apakah kemungkinan
kelainannya masih reversibel atau sudah ireversibel.
I.8. DIAGNOSIS BANDING
Kelainan pada sinus maksilaris lainnya yang berkaitan dengan penyakit
odontogenik
a. Kista yang terbentuk dari mukosa sinus termasuk pseudokista, mukokel,
dan yang paling sering yaitu kista retensi.
b. Hanya pseudokista yang berhubungan dengan penyakit
periapikal/periodontal yang disebabkan pengobatan gigi yang bisa
mencapai resolusi pseudokista.
c. Tumor-tumor jinak atau lesi seperti tumor dapat menyebabkan
penyimpangan, ekspansi, atau erosi dinding sinus. Ini termasuk
21
ameloblastoma, odontoma, cementoma, fibromas ossifying, tumor epitelial
odontogenik, tumor skuamosa odontogenik, dan tumor adenomatoid.
d. Tumor ganas termasuk keganasan gingiva, kistik adenoid dan sarkoma.
Gambar 11: Foto rontgen pasien wanita berusia 45 tahun dengan kista periapikal.
Kista ini timbul dari residu epitelial pada ligamen periodontal yang disebabkan
oleh inflamasi.
I.9. PENATALAKSANAAN
Prinsip penatalaksanan sinusitis dentogen:
a. Atasi masalah gigi
b. Penderita dengan sinusitis akut yang disertai demam dan kelemahan
sebaiknya beristirahat ditempat tidur. Diusahakan agar kamar tidur
mempunyai suhu dan kelembaban udara tetap.
c. Konservatif, diberikan obat-obatan: antibiotika, dekongestan, antihistamin,
kortikosteroid dan irigasi sinus.
22
Foto rontgen panoramamenunjukkan bagian opak
bulat pada sinus maksila kiri dengan pinggir sklerotik
(anak panah).
CT Scan aksial menunjukkan proses
perluasan dengan pinggir sklerotik (panah) pada
sinus maksilaris.
d. Operatif. Beberapa macam tindakan bedah sinus yaitu antrostomi meatus
inferior, Caldwell-Luc, etmoidektomi intra dan ekstra nasal, trepanasi
sinus frontal, dan bedah sinus endoskopik fungsional.
AKUT
Diberikan terapi medikamentosa berupa antibiotik empirik (2x24 jam).
Antibiotik yang diberikan lini I yakni golongan penisilin atau kotrimoksazoldan
terapi tambahan yakni obat dekongestan oral dan topikal, mukolitik untuk
memperlancar drainase dan analgetik untuk menghilangkan rasa nyeri. Pada
pasien atopi, diberikan antihistamin atau kortikosteroid topikal. Jika ada perbaikan
maka pemberian antibiotik diteruskan sampai mencukupi 10-14 hari.
Jika tidak ada perbaikan maka dilakukan rontgen foto polosatau CT Scan
dan atau nasoendoskopi. Bila dari pemeriksaan tersebut ditemukan kelainan maka
dilakukan terapi sinusitis kronik. Tidak ada kelainan maka dilakukan evaluasi
diagnosis yakni evaluasi komprehensif alergi dan kultur dari fungsi sinus.
Terapi pembedahaan pada sinusitis akut jarang diperlukan, kecuali bila
telah terjadi komplikasi ke orbita atau intrakranial, atau bila ada nyeri yang hebat
karena ada sekret tertahan oleh sumbatan.
KRONIK
a. Jika ditemukan faktor predisposisinya, maka dilakukan tatalaksana yang
sesuai dan diberi terapi tambahan. Jika ada perbaikan maka pemberian
antibiotik mencukupi 10-14 hari.
b. Jika faktor predisposisi tidak ditemukan maka terapi sesuai pada episode
akut lini II + terapi tambahan. Sambil menunggu ada atau tidaknya
perbaikan, diberikan antibiotik alternative 7 hari atau buat kultur. Jika ada
perbaikan diteruskan antibiotik mencukupi 10-14 hari, jika tidak ada
perbaikan, evaluasi kembali dengan pemeriksaan nasoendoskopi,
sinuskopi (jika irigasi 5x tidak membaik). Jika ada obstruksi kompleks
osteomeatal maka dilakukan tindakan bedah yaitu BSEF atau bedah
konvensional. Jika tidak ada obstruksi maka evaluasi diagnosis.
c. Daerah sinus yang sakit bisa dilakukan diatermi gelombang pendek.
23
d. Jika ada sinusitis maksila dilakukan pungsi dan irigasi sinus, sedang
sinusitis ethmoid, frontal atau sfenoid dilakukan tindakan pencucian
Proetz.
e. Pembedahan
Radikal:
- Sinus maksila dengan operasi Caldwell-luc.
Pengobatan ini dilakukan bila pengobatan koservatif gagal. Terapi radikal
dilakukan dengan mengangkat mukosa yang patologik dan membuat drenase
dari sinus yang terkena. Untuk sinus maksila dilakukan operasi Caldwell-Luc.
Pembedahan ini dilaksanakan dengan anestesi umum atau lokal. Jika dengan
anestesi lokal, analgesi intranasal dicapai dengan menempatkan tampon kapas
yang dibasahi kokain 4% atau tetrakain 2% dengan efedrin 1% diatas dan
dibawah konka media. Prokain atau lidokain 2% dengan tambahan ephineprin
disuntika di fosa kanina. Suntikan dilanjutkan ke superior untuk saraf
intraorbital. Incisi horizontal dibuat di sulkus ginggivobukal, tepat diatas akar
gigi. Incisi dilakukan di superior gigi taring dan molar kedua. Incisi
menembus mukosa dan periosteum. Periosteum diatas fosa kanina dielevasi
sampai kanalis infraorbitalis, tempat saraf orbita diidentifikasi dan secara hati-
hati dilindungi.
24
Gambar 12. prosedur Caldwell Luc
Pada dinding depan sinus dibuat fenestra, dengan pahat, osteatom atau alat
bor. Lubang diperlebar dengan cunam pemotong tulang kerison, sampai jari
kelingking dapat masuk. Isi antrum dapat dilihat dengan jelas. Dinding nasoantral
meatus inferior selanjutnya ditembus dengan trokar atau hemostat bengkok.
Antrostomi intranasal ini dapat diperlebar dengan cunam kerison dan cunam yang
dapat memotong tulang kearah depan. Lubang nasoantral ini sekurang-kurangnya
1,5 cm dan yang dipotong adalah mukosa intra nasal, mukosa sinus dan dinding
tulang. Telah diakui secara luas bahwa berbagai jendela nasoantral tidak
diperlukan. Setelah antrum diinspeksi dengan teliti agar tidak ada tampon yang
tertinggal, incisi ginggivobukal ditutup dengan benang plain cat gut 00. biasanya
tidak diperlukan pemasangan tampon intranasal atau intra sinus. Jika terjadi
perdarahan yang mengganggu, kateter balon yang dapat ditiup dimasukan
kedalam antrum melalui lubang nasoantral. Kateter dapat diangkat pada akhir hari
ke-1 atau ke 2. kompres es di pipi selama 24 jam pasca bedah penting untuk
mencegah edema, hematoma dan perasaan tidak nyaman.
25
Non Radikal:
Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF).
Bedah sinus endoskopi fungsional merupakan perkembangan pesat dalam
bedah sinus. Teknik bedah ini pertama kali diajukan oleh Messerklinger dan
dipopulerkan oleh Stamm-berger dan Kennedy. BSEF adalah operasi pada hidung
dan sinus yang menggunakan endoskopi dengan tujuan menormalkan kembali
ventilasi sinus dan transpor mukosilier. Prinsip BSEF ialah membuka dan
membersihkan KOM sehingga drainase dan ventilasi sinus lancar secara alami.7,11
Indikasi absolut tindakan BSEF adalah rinosinusitis dengan komplikasi,
mukosil yang luas,rinosinusitis jamur alergi atau invasif dan kecurigaan
neoplasma. Indikasi relatif tindakan ini meliputi polip nasi simptomatik dan
rinosinusitis kronis atau rekuren simptomatik yang tidak respon dengan terapi
medikamentosa. Sekitar 75-95% kasus rinosinusitis kronis telah dilakukan
tindakan BSEF.
Prinsip tindakan BSEF adalah membuang jaringan yang menghambat
KOM dan memfasilitasi drainase dengan tetap mempertahankan struktur anatomi
normal.
Gambar 13. Prinsip bedah sinus endoskopi fungsional
(BSEF): membuang jaringan yang menghambat KOM. Teknik bedah sinus
endoskopi fungsional meliputi unsinektomi, etmoidektomi, sfenoidektomi dengan
etmoidektomi, bedah resesus frontalis, antrostomi maksila, konkotomi dan
septoplasti.
26
Komplikasi pasca tindakan BSEF dapat dibedakan menjadi komplikasi
awal dan lanjut.
Komplikasi awal meliputi hematoma orbita, penurunan penglihatan,
diplopia, kebocoran cairan serebrospinal, meningitis, abses otak, cedera arteri
karotis dan epifora. Komplikasi lanjut yang dapat terjadi adalah rekurensi,
mukosil dan miosferulosis akibat salep yang digunakan dan benda asing.
Komplikasi orbita dan intrakranial juga dapat terjadi sebagai komplikasi lanjut.
I.10. KOMPLIKASI
CT-Scan penting dilakukan dalam menjelaskan derajat penyakit sinus dan
derajat infeksi di luar sinus, pada orbita, jaringan lunak dan kranium. Pemeriksaan
ini harus rutin dilakukan pada sinusitis rekuren, kronisatau berkomplikasi.
Komplikasi Orbita
Sinusitis ethmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita yang
tersering. Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi dari ethmoidalis
akut, namun sinus frontalis dan sinus maksilaris juga terletak di dekat orbita dan
dapat menimbulkan infeksi isi orbita.
Terdapat lima tahapan :
a. Peradangan atau reaksi edema yang ringan. Terjadi pada isi orbita akibat
infeksi sinus ethmoidalis di dekatnya. Keadaan ini terutama ditemukan
pada anak, karena lamina papirasea yang memisahkan orbita dan sinus
ethmoidalis seringkali merekah pada kelompok umur ini.
b. Selulitis orbita, edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif
menginvasi isi orbita namun pus belum terbentuk.
c. Abses subperiosteal, pus terkumpul diantara periorbita dan dinding tulang
orbita menyebabkan proptosis dan kemosis.
d. Abses orbita, pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi
orbita. Tahap ini disertai dengan gejala sisa neuritis optik dan kebutaan
unilateral yang lebih serius. Keterbatasan gerak otot ekstraokular mata
yang tersering dan kemosis konjungtiva merupakan tanda khas abses
orbita, juga proptosis yang makin bertambah.
27
e. Trombosis sinus kavernosus, merupakan akibat penyebaran bakteri
melalui saluran vena ke dalam sinus kavernosus, kemudian terbentuk suatu
tromboflebitis septik.
Komplikasi Intra Kranial
a. Meningitis akut, salah satu komplikasi sinusitis yang terberat yang mana
infeksi dari sinus paranasalis dapat menyebar sepanjang saluran vena atau
langsung dari sinus yang berdekatan, seperti lewat dinding posterior sinus
frontalis atau melalui lamina kribriformis di dekat sistem sel udara
ethmoidalis.
b. Abses dural, adalah kumpulan pus diantara dura dan tabula interna
kranium, seringkali mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini timbul lambat,
sehingga pasien hanya mengeluh nyeri kepala dan sebelum pus yang
terkumpul mampu menimbulkan tekanan intrakranial.
c. Abses subdural, adalah kumpulan pus diantara duramater dan arachnoid
atau permukaan otak. Gejala yang timbul sama dengan abses dura.
d. Abses otak, setelah sistem vena, dapat mukoperiosteumsinus terinfeksi,
maka dapat terjadi perluasan metastatik secara hematogenke dalam otak.
Terapi komplikasi intra kranial ini adalah antibiotik yang intensif, drainase
secara bedah pada ruangan yang mengalami abses dan pencegahan
penyebaran infeksi.
Komplikasi sinusitis yang lain adalah kelainan paru seperti bronkitis
kronis dan bronkiektasi. Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan
kelainan paru ini disebut sinobronkitis. Selain itu, dapat juga menyebabkan
kambuhnya asma bronchial yang sukar dihilangkan sebelum sinusitisnya
disembuhkan
I.11. Prognosis
Prognosis sinusitis tipe dentogen sangat tergantung kepada tindakan pengobatan
yang dilakukan dan komplikasi penyakitnya. Jika, drainase sinus membaik dengan
terapi antibiotik atau terapi operatif maka pasien mempunyai prognosis yang baik
28
BAB II
LAPORAN KASUS
II.1. IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. TR
Umur : 22 tahun
Status : Lajang
Agama : Islam
Alamat : Magelang
II.2. SUBJEKTIF
Keluhan utama
Pasien datang dengan keluhan keluar ingus kental berbau busuk
Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang dengan keluhan keluar ingus kental berwarna
kuningkehijauan dan berbau busuk dari lubang hidung kanan sejak 1 tahun yang
lalu. Pasien juga mengeluh nyeri tertekan pada pipi kanan dan merasa terasa
penuh. Selain itu pasien juga merasakan adanya keluhan lubang hidung tersumbat,
pasien juga merasakan ada seperti lendir yang mengalir dari hidung yang jatuh ke
tenggorokan terutama jika berbaring.
Pasien juga mengeluhkan adanya gangguan penciuman. Pasien mengeluh
bau busuk seperti tercium dari hidung dan nafas nya juga berbau tidak enak.
Pasien juga mengeluhkan suaranya sengau. Pasien juga merasakan badan nya
terasa lemas dan kepala nya senaut-senut. Terdapat juga keluhan nyeri pada gigi
kanan atas.
Keluhan batuk (-). sakit pada telinga (-), sakit pada tenggorokan (-), sesak
(-). Pasien tidak memiliki riwayat sering bersin-bersin sebelumnya.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit serupa : disangkal
Riwayat trauma pada wajah : disangkal
29
Riwayat sakit gigi : Pasien 3 bulan yang lalu mengeluhkan sakit gigi
geraham atas sampai gusinya bengkak dan terdapat
gigi geraham yang bolong sebelah kanan. Pasien
mengaku belum mencabut gigi yang bolong.
Riwayat alergi : (-)
Riwayat penyakit sistemik : disangkal
Riwaya sakit pada telinga & tenggorokan sebelumnya : disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada riwayat keluhan yang sama pada keluarga.
Tidak ada anggota keluarga yang memiliki riwayat alergi.
Riwayat Pengobatan :
Belum dilakukan pengobatan apapun.
II.3. OBJEKTIF
Status Generalis
Kondisi umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Status gizi : Baik
Status lokalis THT (Telinga, Hidung, Tenggorokan)
Kepala dan Leher
Kepala : Mesocephale
Wajah :
- Simetris
- Tidak ada tanda allergic shiner/allergic salute/allergic crease
Leher : Pembesaran kelenjar limfe (-)
Gigi dan mulut
Gigi geligi : Tampak ada karies M1 kanan dan kiri atas.
Lidah : Normal, kotor (-), tremor (-)
30
Pemeriksaan Telinga
Bagian Auricula Dextra Sinistra
AuriculaBentuk normal,
nyeri tarik (-)
nyeri tragus (-)
Bentuk normal
nyeri tarik (-)
nyeri tragus (-)
Pre auricular
Bengkak (-)
nyeri tekan (-)
fistula (-)
Bengkak (-)
nyeri tekan (-)
fistula (-)
Retro auricularBengkak (-)
Nyeri tekan (-)
Bengkak (-)
Nyeri tekan (-)
MastoidBengkak (-)
Nyeri tekan (-)
Bengkak (-)
Nyeri tekan (-)
CAE
Serumen (+)
hiperemis (-)
Sekret (-)
Serumen (+)
hiperemis (-)
Sekret (-)
Membran timpani
Intak
putih mengkilat
refleks cahaya (+)
Intak
putih mengkilat
refleks cahaya (+)
Pemeriksaan Hidung
Bagian Hidung Luar
Dextra Sinistra
Bentuk Normal Normal
Inflamasi atau tumor - -
Nyeri tekan & nyeri ketuk
sinus
Nyeri tekan &
nyeri ketuk pipi (+)
Nyeri tekan & nyeri
ketuk pipi (-)
Deformitas atau septum
deviasi
-
Rhinoskopi Anterior
Vestibulum nasi Normal Normal
Dasar cavum nasi Normal
31
Sekret Mukopurulen (+) Mukopurulen (-)
Mukosa Hiperemis (+) Hiperemis (-)
Benda asing - -
Perdarahan - -
Konka nasi media Hipertrofi (-) Hipertrofi (-)
Konka nasi inferior. Hipertrofi (-) Hipertrofi (-)
Septum Deviasi (-)
Pemeriksaan Sinus
Dekstra SinistraInspeksi
o Pembengkakan pada
pipio Warna kulit
-
Sama dengan sekitar
-
Sama dengan sekitar
Palpasio Nyeri tekan di pipi
o Nyeri tekan di atas
orbitao Nyeri tekan di
cantus medius
+-
-
--
-
Transiluminasio Sinus Maksila
o Sinus Frontal
SuramCahaya terang
Cahaya terangCahaya terang
Pemeriksaan Tenggorokan
Lidah Ulcus (-) Stomatitis (-)
Uvula Bentuk normal, di tengah, hiperemis (-)
Tonsil Dextra Sinistra
Ukuran T1 T1
Permukaan Rata Rata
Warna Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Kripte Melebar (-) Melebar (-)
Detritus (-) (-)
Faring Mukosa hiperemis (-), dinding rata, granular (-)
Post Nasal Drip (+)
32
II.4. USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG
X-ray kepala Waters dan Lateral
CT Scan sinus potongan koronal atau aksial
Nasoendoskopi
Sinuskopi
Pemeriksaan Mikrobiologik & tes resistensi
II.5. RINGKASAN
1. Anamnesis
a. Rinore mukopurulen
b. Nyeri maksila dextra (+)
c. Pipi kanan terasa penuh & nyeri tekan (+)
d. Obstruksi nasal (+)
e. Post nasal drip (+)
f. Hiposmia/anosmia (+)
g. Halitosis (+)
h. Malaise (+)
i. Sefalgia (+)
j. Nyeri gigi superior dextra (+)
2. Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan Kepala dan Leher:Dalam batas normal
b. Pemeriksaan Gigi dan mulut : Tampak ada karies M1 superior dextra
c. Pemeriksaan Telinga & Tenggorokan : Dalam batas normal
d. Pemeriksaan Hidung:
Rhinoskopi Anterior Dextra:
- Sekret (+) mukopurulen
- Mukosa hiperemis (+)
- Konka media dan inferior hipertrofi (+)
Rhinoskopi Posterior :
- Post Nasal Drip (+)
33
e. Pemeriksaan sinus :
- Nyeri tekan pipi (+)
- Nyeri ketuk pipi (+)
f. Pemeriksaan penunjang berupa Transiluminasi:
Sinus maksilaris dextra: tampak suram pada daerah infra orbita
II.7. DIAGNOSIS BANDING
• Sinusitis Maksilaris Dextra Akut
• Sinusitis Maksilaris Dextra Kronik Eksaserbasi Akut
• Rhinosinusitis Maksilaris Dextra Akut
• Rhinosinusitis Maksilaris Desxtra Kronik Eksaserbasi Akut
II.8. DIAGNOSIS SEMENTARA
• Sinusitis Maksilaris Dextra Akut
II.9. PENATALAKSANAAN
1. Konsul ke bagian gigi untuk mengatasi masalah gigi
2. Konservatif
Irigasi sinus
3. Medikamentosa:
a. Antibiotik oral
Amoxillin tab 3x500 mg
b. Dekongestan + antihistamin
Pseudoefedrine 120 mg + Fexofenadine 60 mg (Fexofed) 2x1 tablet
c. Kortikosteroid topikal
Fluticasone furoate nasal spray (Avamys 27,50 mcg) 2 semprot 2xsehari
d. Analgetik/antipiretik
Parasetamol 500 mg 3x1 tablet
Edukasi :
Menjaga kesehatan gigi dan kebersihannya dengan kontrol ke dokter gigi
Meminum obat yang sudah diberikan secara teratur dan kontrol ke poliklinik
34
Istirahat cukup dan makan makanan bergizi
II.10. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad sanam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
35
BAB III
PEMBAHASAN KASUS
Pada kasus ini pasien seorang perempuan berusia 22 tahun datang dengan
keluhan keluar ingus kental warna kuning kehijauan dan berbau dari lubang
hidung kanan sejak 1 tahun yang lalu. Pasien juga mengeluh nyeri pada pipi
kanan, merasa bagian wajah sebelah kanan terasa penuh dan seperti tertekan.
Selain itu pasien juga merasakan adanya keluhan hidung tersumbat, pasien juga
merasakan ada seperti lendir yang mengalir dari hidung yang jatuh ke
tenggorokan serta adanya gangguan pada penciuman. Keluhan-keluhan tersebut
mengarah ke gejala mayor dari sinusitis. Lokasi pipi kanan yang terasa nyeri
mengarahkan ke lokasi sinus maksila dextra. Keluhan hidung tersumbat
menunjukan adanya obtruksi nasal. Adanya keluhan seperti ada lendir yang
mengalir dari hidung jatuh ke tenggorokan mengarah ke Post Nasal Drip.
Gangguan penciuman menunjukan adanya hiposmia.
Terdapat juga keluhan bau busuk seperti tercium dari hidung dan nafas
nya juga berbau tidak enak, badan nya terasa lemas dan kepala nya pusing senut-
senut. Terdapat juga keluhan nyeri pada gigi atas kanan. Keluhan tersebut
mengarah ke gejala minor dari sinusitis. Keluhan nyeri pada gigi kanan atas
mengarahkan kita ke faktor predisposisi dari sinusitis yang terjadi yaitu faktor
odontogen.
Keluhan yang disangkal berupa batuk (-), keluhan sakit pada telinga (-),
sakit pada tenggorokan (-), sesak (-) ditanyakan untuk mengarahkan kita ke faktor
predisposisi dan komplikasi yang dapat terjadi. Sehingga dari anamnesis tersebut
sudah didapatkan 4 gejala mayor dan 4 gejala minor dari sinusitis.
Pada riwayat penyakit dahulu diakui bahwa sebelumnya terdapat riwayat
atas sejak 3 bulan yang lalu memperkuat faktor odontogen sebagai predisposisi.
Tidak adanya riwayat alergi memperkuat bahwa faktor rhinogen bukan faktor
predisposisi nya.
Dari pemeriksaan fisik, didapatkan karies M1 kanan atas. Hal tersebut
semakin memperkuat predisposisi odontogen sebagai pencetus sinusitis nya. Pada
36
pemeriksaan hidung, didapatkan adanya nyeri tekan & nyeri ketuk pipi kanan
yang mengarah ke sinusitis maksilaris. Selain itu juga didapatkan sekret yang
mukopurulen dan mukosa hiperemis pada pemeriksaan rhinoskopi anterior dextra.
Pemeriksaan penunjang berupa transiluminasi dengan hasil terdapat
bayangan yang suram pada sinus maksilaris dextra. Namun untuk lebih
meyakinkan lokasi sinusitis, dibutuhkan pemeriksaan penunjang berupa X-ray
kepala posisi Waters dan lateral serta sinuskopi.
Terapi yang diberikan berupa terapi konservatif (irigasi sinus), terapi
medikamentosa (antibiotik oral, dekongestan dan antihistamin oral, kortikostreoid
topikal, kortikosteroid oral, analgetik). Penanganan lain yang juga penting yaitu
terhadap masalah gigi nya dengan konsul ke bagian gigi karena hal tersebut yang
menjadi predisposisi dari sinusitis maksilaris yang terjadi.
37