Post on 25-Jan-2016
description
Penanganan Kegawatdaruratan pada Pasien
Demam Berdarah yang disertai Syok
Cathelin Stella
10-2010-219
A-2
Mahasiswi, Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana, Jakarta
Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510
Telp. 021-56942061 Fax. 021-5631731
e-mail : cathelinstella@yahoo.com
_______________________________________________________________________
PENDAHULUAN
Pada negara tropis yang curah hujannya cukup banyak seperti Indonesia, saat peralihan
dari musin hujan kemusim panas banyak terdapat genangan-genangan air. Lingkungan genangan
air ini merupakan sarana tempat berkembangnya jentik nyamuk, diantaranya nyamuk Aedes
aegypti penyebab demam berdarah dengue. Demam berdarah dengue (DBD) menjadi masalah
utama kesehatan, hal ini bukan hanya di Indonesia tetapi di juga diseluruh negara di Asia
Tenggara. Demam berdarah dengue, suatu penyakit demam berat yang sering mematikan,
disebabkan oleh virus, ditandai oleh gangguan permeabilitas kapiler, dan hemostasis tubuh, dan
pada kasus berat menebabkan sindrom syok kehilangan protein.
Selama tiga sampai lima tahun terakhir jumlah kasus DBD telah meningkat sehingga
Asia Tenggara menjadi wilayah hiperendemis1. Sejak tahun 1956 sampai 1980 di seluruh dunia
kasus DBD yang memerlukan rawat inap mencapai 350 000 kasus per tahun sedang yang
meninggal dilaporkan hampir mencapai 12 000 kasus . Penyakit ini disebabkan oleh virus
1
dengue yang merupakan anggota genus Flavivirus dari famili Flaviviridae. Terdapat 4 serotipe
virus dengue yang disebut DEN-1, DEN-2, dan DEN-3. Oleh karena ditularkan melalui gigitan
artropoda maka virus dengue termasuk arbovirus. Vektor DBD yang utama adalah nyamuk
Aedes aegypti.1
DBD merupakan bentuk berat dari infeksi dengue yang ditandai dengan demam akut,
trombositopenia, netropenia dan perdarahan. Permeabilitas vaskular meningkat yang ditandai
dengan kebocoran plasma ke jaringan interstitiel mengakibatkan hemokonsentrasi, efusi pleura,
hipoalbuminemia dan hiponatremia yang akan menyebabkan syok hipovolemik
Syok hipovolemik sendiri bukanlah suatu diagnosis, namun merupakan sindrom klinis
yang kompleksyang mencangkup sekelompok keadaan dengan manifestasi klinis yang
homodinamik yang bervariasi, tetapi petunjukyang umun terjadinya syok hipovolemik adalah
tidak memadainya perfusi jaringan.2
Setiap keadaan yangmengakibatkan tidak tercukupinya kebutuhan oksigen jaringan, baik
karena suplainy yang kurang atau kebutuhannnya yang meningkat, menimbulkan tanda-tand
syok. Diagnosa adanya syok harus di dasarkan pada data-data klinis maupun laboratorium yang
jelas yang merupakan akibat dari berkurangnya perfusi jaringan. Syok mempengaruhi kerja
organ vital dan penanganannnya membutuhkan pemahaman tentang potofisiologi syok. Dimana
syok bersifat progresifdan terus memburuk jika tidak ditangani dengan segera.
Tujuan yang hendak dicapai dalam pembuatan makalah ini adalah:
1. Memperdalam ilmu mengenai jenis syok dan penatalaksanaan dalam keadaan darurat.
2. Memperdalam ilmu mengenai infeksi Dengue Syok Syndrom (DSS)
3. Meningkatkan ilmu mengenai diagnosis, penanganan, serta dan pencegahan penularan
terhadap infeksi Dengue Syok Sindrom (DSS).
ISI
Pertolongan pertama kecelakaan
Alur penanganan bagi pasien trauma (Syok) adalah primary survey,
resusitasi, secondary survey, evaluasi diagnostik, dan penanganan definitif.
2
Primary survey
Terdiri atas A (airway management dengan cervical protection), B
(breating), dan C (circulation). Pertama-tama, memastikan aliran udara
adekuat untuk pasien. Di saat yang sama, pada semua pasien blunt-trauma
harus dilakukan imobilisasi servikal sampai semua cedera terbukti tidak
ada. Imobilisasi dapat dicapai dengan menggunakan collar yang keras atau
dengan meletakkan kantung pasir di kedua sisi kepala dan di fiksasi pada
alas kepala pasien.
Airway. Secara umum, pasien yang masih sadar dan memiliki suara
normal tidak membutuhkan perhatian khusus pada saluran pernapasannya.
Akan tetapi prinsip tersebut tidak dapat diterapkan pada pasien-pasien
dengan trauma penetrans di leher disertai hematoma, diduga inhalasi atau
menelan bahan kimia berbahaya, trauma kompleks maksilofasial, memiliki
udara subkutan yang ekstensif di leher, ataupun dengan pendarahan pada
jalan napas. Pada awalnya pasien-pasien tersebut menunjukkan kondisi
jalan napas yang memuaskan, namun pada perjalanannya dapat terjadi
obstruksi atau terbentuk edema yang menutup jalan napas. Oleh sebab itu,
intubasi elektif diperlukan jika ditemukan pasien dengan kasus-kasus
diatas.1
Pasien dengan kesadaran yang menurun atau suara yang abnormal
membutuhkan evaluasi jalan napas yang lebih jauh. Inspeksi laring dapat
menunjukkan darah, muntahan, lidah, benda asing, ataupun
pembengkakan jaringan lunak yang dapat menutup jalan napas. Kesadaran
yang menurun merupakan indikasi dilakukannya intubasi.2
Pilihan akses perbaikan jalan napas dapat secara nasotrakeal,
orotrakeal, atau dengan operasi. Intubasi nasotrakeal hanya dapat
digunakan pada pasien yang masih dapat bernapas spontan dan
dikontraindikasikan bagi pasien yang tampak mengalami apnea.
Intubasi orotrakeal dapat diterapkan pada pasien dengan kemungkinan
cedera servikal. Kelebihan dari intubasi ini adalah visualisasi langsung dari
pita suara, dapat menggunakan endotrakeal tube yang lebih besar
3
diameternya, dan dapat diaplikasian pada pasien dengan apnea.
Kekurangan dari intubasi cara ini adalah pasien yang masih sadar
membutuhkan anastesi lokal ataupun umum.3
Pasien yang tidak dapat ditangani dengan intubasi akibat kegagalan
intubasi ataupun karena cedera wajah yang ekstensif membutuhkan jalan
napas buatan melalui operasi. Krikotiroidotomy dan percutaneous
transtracheal ventilation merupakan tindakan yang lebih disukai dari
trakeostomi karena sederhana dan lebih mudah dilakukan. Kelemahan dari
krikotiroidotomy adalah lubang krikotiroid yang sempit tidak dapat
dimasuki tube dengan diameter yang lebih besar dari 6mm.
Krikotiroidotomi secara relatif dikontraindikasikan bagi anak dibawah 12
tahun karena risiko kerusakan kartilago krikoid dan stenosis subglotik.
Percutaneous transtracheal ventilation merupakan teknik intubasi
dengan memasukkan kateter intravena menembus membran krikotiroid
menuju trakea yang kemudian disambungkan dengan sumber oksigen
yang dapat menyalurkan 50 psi atau lebih. Oksigen yang adekuat dapat
dipertahankan selama 30 menit. Akan tetapi, karena ekspirasi terjadi
secara pasif, ventilasi menjadi terbatas dan retensi karbon dioksida
mungkin terjadi.
Breathing. Setelah jalan napas yang stabil tercapai, oksigenasi dan
ventilasi yang adekuat harus dipertahankan. Semua pasien cedera harus
mendapat terapi oksigen suplemental dan dimonitor dengan pulse
oximetry. Kondisi-kondisi yang dapat membahayakan jiwa karena ventilasi
yang tidak adekuat adalah tension pneumotorax, pneumotoraks terbuka,
atau pulmonary contusion. Diagnosis dapat ditegakkan melalui
pemeriksaan fisik dan foto toraks.3
Circulation. Pemeriksaan pertama untuk memperkirakan kondisi sirkulasi
adalah denyut nadi perifer pasien. Secara umum, denyut karotis dapat
dipalpasi jika tekanan sistol pada 60 mmHg, denyut femoralis dapat
dipalpasi jika tekanan sistol pada 70 mmHg, dan denyut radialis dapat
diraba pada 80mmHg. Denyut nadi dan tekanan darah harus diperiksa
4
setiap 15 menit. Jika ditemukan kondisi hipotensi, perlu dicurigai adanya
pendarahan.
Sebelum mengembalikan volume sirkulasi, kontrol eksternal dari
pendarahan perlu dimantapkan. Kompresi manual dan splint dapat
mengendalikan pendarahan, dengan efektivitas setara turniquet, namun
dengan kerusakan jaringan yang lebih sedikit. Jika hendak menggunakan
jari untuk menghentikan pendarahan, perlu diingat penggunaan sarung
tangan dan tenaga medis yang melakukan tindakan harus tetap menjaga
posisi jarinya sampai pasien masuk ke ruang operasi. Jika pendarahan
terjadi akibat laserasi kulit kepala yang melewati aponeurosis galea,
pengendalian pendarahan dapat dicapai dengan klip Riney atau dengan
melakukan penjahitan kontinyu dengan nilon tebal.
Resusitasi cairan. Resusitasi cairan yang pertama kali diberikan adalah 1
L bolus intravena salin normal, Ringer laktat, atau cairan isotonik kristaloid
lainnya pada dewasa. Untuk anak-anak, resusitasi mula-mula adalah 20
ml/kgBB Ringer laktat. Pemberian kristaloid dengan jumlah tersebut diulang
satu kali pada dewasa dan dua kali pada anak-anak sebelum pemberian sel
darah merah. Tujuan dari resusitasi cairan adalah untuk mengembalikan
perfusi jaringan. Tanda-tanda klasik dan gejala terjadinya syok adalah
takikardia, hipotensi, takipneu, perubahan status mental, diaphoresis, dan
pallor. Untuk dapat menentukan kondisi perfusi organ pasien, tidak hanya
dapat mengandalkan kemunculan satu dari tanda dan gejala diatas. Semua
harus dilihat sebagai suatu kesatuan. Pasien yang menunjukkan respon
positif terhadap infus cairan dan tanda-tanda perfusi perifer yang baik
diyakini memiliki perfusi yang adekuat secara keseluruhan. Jumlah urin
pasien juga dapat digunakan sebagai indikator perfusi organ. Jumlah urin
yang adekuat pada pasien dewasa adalah 0,5 ml/KgBB/jam, pada anak-
anak adalah 1 ml/KgBB/jam, dan pada bayi usia dibawah 1 tahun adalah 2
ml/KgBB/jam.
Berdasarkan respon awal pasien terhadap resusitasi cairan, pasien
cedera dengan hipovolemi dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu
5
responders, transient responders, dan nonresponders. Individu yang stabil
atau menunjukkan respon positif terhadap resusitasi cairan pada umumnya
merupakan responders yang jarang mengalami pendarahan dan dapat
dievaluasi dengan cara umum (secondary survey).
Kategori yang lain yaitu nonresponders dengan hipotensi yang
persisten. Kelompok ini membutuhkan diagnosis dan penanganan sedini
mungkin untuk mencegah kematian. Perlu diingat bahwa pasien dengan
tekanan sistol < 70 mmHg memiliki risiko kematian mendadak. Biasanya
penyebab tidak adanya respon terhadap resusitasi bersifat kardiogenik
atau karena pendarahan yang tidak terkontrol. Pasien dengan hipotensi
persisten perlu diberi kristaloid dan transfusi darah sedini mungkin. Jika
pasien mengalami pendarahan, tindakan ED torakotomi perlu
dipertimbangkan. Tujuan dari ED torakotomi adalah untuk mengendalikan
pendarahan torakal; jika pasien mengalami pendarahan abdomen,
pemasangan clamp pada aorta descendens dapat memperbaiki prognosis
pasien.
Sementara itu, pasien yang merupakan kelompok transient
responders pada umumnya merupakan pasien yang tidak diresusitasi
dengan benar atau sedang mengalami proses pendarahan. Pada pasien
dengan trauma penetrasi, pendarahan yang tampak dan membutuhkan
operasi biasanya sudah merupakan bukti yang cukup penyebab kegagalan
resusitasi. Sedangkan pada pasien blunt trauma dengan cedera organ
multipel membutuhkan perencanaan yang hati-hati dalam penanganannya.
Pada kelompok inilah kasus kematian yang dapat dicegah paling banyak
muncul.
Status neurologis. Setelah jalan napas, pernapasan, sirkulasi, dan
vetebrae sudah difiksasi serta tidak ada masalah, status mental menurut
Glasgow Coma Scale dihitung skor nya dan fungsi motorik umum dicatat.
Secondary survey. Setelah kondisi-kondisi yang membahayakan jiwa
pasien telah dieliminasi melalui pemeriksaan awal, pasien tersebut
kemudian diperiksa secara menyeluruh, dari kepala hingga ujung kaki
6
untuk mengidentifikasi cedera yang tersembunyi. Pakaian pasien yang
cedera berat harus dibuka seluruhnya. Perhatian khusus perlu diberikan
pada area punggung, aksila, dan perineum, dikarenakan cedera pada area
ini sering terlewat. Semua pasien harus menjalani rectal examination untuk
mengevaluasi tonus sfingter ani dan melihat jika ada pendarahan,
perforasi, atau high-riding prostate (kondisi dimana prostat dan bagian
prostat yang melekat pada uretra terlepas dari membran uretra dan
terdorong ke atas). Pemasangan kateter Folley perlu dilakukan untuk
menurunkan tekanan dari vesika urinaria untuk menilai spesimen dan
jumlah keluaran urin.
Pasien stabil yang dicurigai mengalami cedera uretra perlu menjalani
uretrografi sebelum pemasangan kateter. Tanda-tanda cedera uretra
adalah darah pada meatus, hematoma perineal atau skrotal, atau high-
riding prostate. Akan tetapi, pada pasien dengan hipovolemik syok,
pemasangan kateter Foley perlu dilakukan segera. Jika tidak berhasil,
suprapubic percutaneous cystostomi dapat dilakukan sebagai pengganti.
Pemasangan nasogastric tube juga perlu dilakukan untuk mencegah
aspirasi gaster dan membantu dalam inspeksi darah dari isi perut untuk
mendiagnosis cedera gastrointestinal yang tersembunyi.
Selektif radiografi perlu dilakukan pada evaluasi kegawat daruratan. Untuk
pasien dengan blunt trauma, foto toraks dan pelvis dari anterior dan
posterior harus dibuat sedini mungkin. Untuk pasien dengan luka tembak di
batang tubuh, foto toraks dan abdomen secara posteroanterior dan lateral
dibutuhkan.
Anamnesis
Pada tahap pertama anamnesis kita harus menanyakan identitas pasien secara jelas, yaitu sebagai
berikut : Nama, Jenis kelamin, Tempat / tanggal lahir, Status perkawinan Pekerjaan, Alamat,
Pendidikan, dan Agama. Pada tahap berikutnya, kita menanyakan keluhan utama, keluhan
penyerta, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit keluarga dan
sosial.2
7
Pertanyaan anamnesis yang perlu ditelusuri lebih jauh adalah : 3
– Sudah demam berapa lama ?
– Apakah panasnya naik turun?
– Apa ada rasa nyeri di belakang kepala?
– Disekitar rumah apa ada yang terkena demam berdarah juga?
– Apa ada nyeri perut?
– Apa tenggorokan terasa sakit?
– Apakah ada muntah? Jika ada, frekuensi muntahnya berapa?
– Sudah diberi obat apa?
Pemeriksaan Fisik
Penderita yang datang dengan gejala / tanda DBD, maka setelah anamnesis dapat dilakukan
pemeriksaan sebagai berikut:
1. Observasi kulit dan konjungtiva untuk mengetahui tanda perdarahan. Observasi kulit
meliputi wajah, lengan, tungkai, dada, perut, dan paha.4
2. Pemeriksaan keadaan umum dan tanda – tanda vital (kesadaran, tekanan darah, nadi, dan
suhu).4
3. Penekanan pada ulu hati (epigastrium). Adanya rasa sakit / nyeri pada ulu hati dapat
disebabkan karena adanya perdarahan di lambung.4
4. Perabaan hati
Hati yang lunak merupakan tanda pasien DBD yang menuju fase kritis.
5. Uji Tourniquet (Rumple Leede)4
Munculnya bintik-bitik merah lebih dari 10 pada luas 2,5x2,5 cm pada lengan bawah bagian
palmar.
Pemeriksaan Penunjang
A. Pemeriksaan laboratorium5
a. Pemeriksaan trombosit
- Semi kuantitatif (tidak langsung)
- Langsung (Rees – Ecker)
- Cara lainnya sesuai kemajuan teknologi
8
b. Pemeriksaan hematokrit
Pemeriksaan hematokrit antara lain dengan mikro – hematokrit centrifuge. Nilai normal
hematokrit:
Anak – anak : 33 – 38 vol%
Dewasa laki – laki : 40 – 48 vol%
Dewasa perempuan : 37 – 43 vol%
Untuk puskesmas misalnya yang tidak ada alat untuk pemeriksaan Ht, dapat
dipertimbangkan estimasi nilai Ht = 3x kadar Hb.
c. Pemeriksaan kadar hemoglobin6
Pemeriksaan kadar hemoglobin antara lain dengan cara:
- Pemeriksaan kadar Hb dengan menggunakan Kalorimeter foto elektrik (Klett –
Summerson).
- Pemeriksaan kadar hemoglobin metode Sahli
- Cara lainnya sesuai kemajuan teknologi
Contoh nilai normal hemoglobin (Hb):
Anak – anak : 11,5 – 12,5 gr / 100 ml darah
Pria dewasa : 13 – 16 gr / 100 ml darah
Wanita dewasa : 12 – 14 gr / 100 ml darah
d. Pemeriksaan serologis
Saat ini uji serologis yang biasa dipakai untuk menentukan adanya infeksi virus dengue,
yaitu uji Hemaglutinasi Inhibisi (HI) dan ELISA (IgM / IgG).7
1. Uji Hemaglutinasi Inhibisi (HI)
Uji serologi memakai serum ganda,
- serum diambil pada masa akut
- komvalesen Imun Hemaglutinasi (IH), yaitu pengikatan komplemen (PK)
Tes inhibisi-hemaglutinasi (IH) adalah pemeriksaan yang sederhana,
sensitif, dan dapat ulang serta mempunyai keuntungan karena dapat menggunakan
reagen yang disiapkan secara lokal. Kerugiannya adalah bahwa sampel sera harus
melalui pra-penanganan dahulu dengan aseton atau kaolin, untuk menghilangkan
inhibitor non-spesifik hemaglutinasi, dan kemudian diserap dengan sel-sel gender
atau sel darah merah manusia golongan O, untuk menghilangkan aglutinin non-
9
spesifik. Tes IH juga biasanya gagal untuk membedakan antara infeksi dengan
flavivirus yang sangat berkaitan, misalnya antara virus dengue dan ensefalitis
Jepang, atau virus dengue dan West Nile.
uji netralisasi (NT)
uji dengue blot pada IH, PK dan NT dengan mencari kenaikan antibody
sebanyak minimal 2 kali
Uji serologi memakai serum tunggal
- uji dengue blot yang mengukur antibody anti dengue tanpa memandang kelas
antibodinya
- uji IgG dan IgM anti dengue yang mengukur hanya antibody anti dengue dari
kelas IgG dan IgM. Pada uji ini yang dicari ada tidaknya atau titer tertentu
antibody dengue.
Konfirmasi serologi yang pasti (pada uji HI) tergantung pada kenaikan titer yang jelas
(4 kali atau lebih) antibodi spesifik dari sampel serum antara fase akut dan fase
konvalesen.
Pada kasus DBD:
- Titer antibodi HI test pada spesimen akut akan meningkat 4 kali atau lebih pada fase
rekonvalesensi.
- Reaksi HI test dikatakan positif primer bila spesimen akut < 1 / 20 dan akan
meningkat sampai 4 kali atau lebih pada fase rekonvalesensi, akan tetapi titer
rekonvalesensi < 1 / 2560.
- Reaksi HI test dikatakan positif sekunder bila titer antibodi dalam fase akut < 1 / 20
dan meningkat dalam fase rekonvalesensi sampai 1 / 2560 atau lebih, atau dalam fase
akut titer antibodi HI test 1 / 20 atau lebih dan meningkat 4 kali atau lebih pada fase
rekonvalesensi.
2. MAC- ELISA5,6
Dapat digunakan sebagai uji kuantitatif untuk antigen maupun antibody. Antigen
direkatkan pada microplate plastic dan antibody dari serum penderita. Kemudian, ditambahkan
anti human immunoglobulin yang dilabel enzim horseradish peroxidase ke subtract, lalu timbul
perubahan warna. Intensitas warna dibaca dengan spektrofotometer.
10
Anti-dengue Ig-M yang dapat dideteksi oleh MAC-ELISA (IgM antibody-capture enzyme-
linked immunosorbent assay) tampak pada sebagian pasien dengan infeksi primer saat mereka
masih demam; pada sebagian lain IgM ini tampak dalam 2 – 3 hari penurunan suhu tubuh. Pada
serangkaian pasien dengue (infeksi dipastikan dengan isolasi virus atau serologi serum
berpasangan), 80% menunjukkan kadar antibodi IgM yang dapat terdeteksi pada sakit hari
kelima, dan 99% pada hari kesepuluh.4 Sekali terdeteksi, kadar IgM meningkat dengan cepat dan
tampak memuncak sekitar 2 minggusetelah dideteksi selama 2 – 3 bulan. Keuntungan dari MAC-
ELISA adalah bahwa pemeriksaan ini dapat digunakan tanpa modifikasi untuk mendeteksi IgM
anti-flavivirus pada cairan serebrospinal. Karena IgM biasanya tidak melewati sawar darah-otak,
pendeteksian IgM pada cairan serebrospinal adalah temuan diagnostik bermakna.
Diagnosis Kerja
Diagnosis demam berdarah biasa dilakukan secara klinis. Penyakit ini ditunjukkan melalui
munculnya demam secara tiba-tiba, disertai sakit kepala berat, sakit pada sendi dan otot
(myalgias dan arthralgias) dan ruam. Ruam demam berdarah mempunyai ciri-ciri merah terang
dan biasanya mucul dulu pada bagian bawah badan pada beberapa pasien, ia menyebar hingga
menyelimuti hampir seluruh tubuh. Selain itu, radang perut bisa juga muncul dengan kombinasi
sakit di perut, rasa mual, muntah-muntah atau diare.5
Demam berdarah umumnya lamanya sekitar enam atau tujuh hari dengan puncak demam
yang lebih kecil terjadi pada akhir masa demam. Gejala klinis demam berdarah menunjukkan
demam yang lebih tinggi, pendarahan, trombositopenia dan hemokonsentrasi . Sejumlah kecil
kasus bisa menyebabkan sindrom shock dengue yang mempunyai tingkat kematian tinggi.
Pada bayi dan anak-anak kecil biasanya berupa demam disertai Ruam-ruam
makulopapular. Pada anak-anak yang lebih besar dan dewasa, bisa dimulai dengan demam
ringan atau demam tinggi (>39 derajat C) yang tiba-tiba dan berlangsung selama 2 - 7 hari,
disertai sakit kepala hebat, nyeri di belakang mata, nyeri sendi dan otot, mual-muntah dan ruam-
ruam. Bintik-bintik perdarahan di kulit sering terjadi, kadang kadang disertai bintik-bintik
perdarahan di farings dan konjungtiva.6
Penderita juga sering mengeluh nyeri menelan, tidak enak di ulu hati, nyeri di tulang rusuk
kanan dan nyeri seluruh perut. Kadang-kadang demam mencapai 40-410C dan terjadi kejang
11
demam pada bayi. Perlu diperhatikan bahwa terjangkitnya Demam Berdarah Dengue tidak selalu
ditandai dengan munculnya bintik-bintik merah pada kulit. Mendiagnosis secara dini dapat
mengurangi resiko kematian daripada menunggu akut. Masa inkubasi dalam tubuh manusia
sekitar 4-6 hari (rentang 3-14 hari), timbul gejala prodormal yang tidak khas seperti : nyeri
kepala, nyeri tukang belakang, dan persaaan lelah.
Demam berdarah dengue (DBD). Berdasarkan criteria WHO tahun 1997 diagnosis
ditegakkan bila semua hal di bawah ini dipenuhi:7
Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik.
Terdapat minimal 1 dari manisvestasi pendarahan berikut:
- Uji bending positif
- Petekie, ekimosis, purpura.
- Perdarahan mukosa ( tersering epitaksis, atau pendarahan gusi), pendarahan dari tempat
lain
- Hematemesis atau melena
Trombositoprenia (jumlah trombosit < 100.000/mikroliter)
Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma) sebagai berikut:
- Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan umur dan jenis kelamin.
- Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan niali
hematokrit sebelumnya.
- Tanda kebocoran plasma seperti : efusi pleura, asites atau hipoproteinemia.
Dari keterangan di atas terlihat bahwa, perbedaan utama antara DD dan DBD adalah pada
DBD ditemukan adanya kebocoran plasma. Selain itu perbedaan yang paling utama adalah pada
demam dengue tidak ditemukan manifestasi perdarahan pada pasien. Pada kulit pasien dengan
demam dengue hanya tampak ruam kemerahan saja sementara pada pasien demam berdarah
dengue akan tampak bintik bintik perdarahan. Selain perdarahan pada kulit, penderita demam
berdarah dengue juga dapat mengalami perdarahan dari gusi, hidung, usus dan lain lain
Pada kasus ini yang terjadi adalah dengue syok syndrome yang merupakan demam dengue
yang didertai syok, gejala-gejala syok yaitu nadi cepat dan kecil, ujung-ujung tangan dan kaki
dingin, tekanan darah turun atau hilangnya kesadaran dari si sakit. Pada kondisi ini biasanya si
sakit tidak panas sebagaimana gejala sebelumnya. DSS ini sering terjadi pada hari ke-4 hingga
ke-7 periode sakit. Bentuk penyakit inilah yang paling sering menyebabkan kematian.1-3
12
Diagnosis Banding
1. Demam Berdarah Dengue (DBD)
Penyakit ini ditunjukkan melalui munculnya demam secara tiba-tiba, disertai sakit kepala
berat, sakit pada sendi dan otot (myalgia dan arthralgia) dan ruam; ruam demam berdarah
mempunyai ciri-ciri merah terang, patekial dan biasanya muncul dulu pada bagian bawah
badan-pada beberapa pasien, ia menyebar hingga menyelimuti hampir seluruh tubuh. Selain
itu, radang perut bisa juga muncul dengan kombinasi sakit di perut, rasa mual, muntah-
muntah atau diare, pilek ringan disertai batuk-batuk. Demam berdarah umumnya lamanya
sekitar enam atau tujuh hari dengan puncak demam yang lebih kecil terjadi pada akhir masa
demam.
2. Demam Tifoid
Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan
penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, neri otot,
anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan
epitaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu tubuh meningkat. Sifat demam
adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hingga malam hari. Dalam minggu
kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardia relative, lidah yang
berselaput, hepatomegali, splenomegali, meteroismus, gangguan mental berupa somnolen,
stupor, koma, delirium, atau psikosis. Roseole jarang terjadi pada orang Indonesia.
Etiologi dan penularannya
Etiologi dari syok hipovolemik adalah pendarahan masif akibat luka
tusuk atau pendarahan traktus gastrointestinal. Sedangkan etiologi dari
Dengue Syok Syndrom adalah oleh virus dengue, yang termasuk dalam genus Flavivirus,
keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam
ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x106.
Terdapat empat serotipe virus, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 yang semuanya
dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue. Keempat serotype ditemukan
13
di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype terbanyak. Terddapat reaksi silang anatara
serotipe dengue dengan Flavivirus lain seperti Yellow fever, Japanese encehphalitis, dan West
Nile virus.
Sedangkan David bylon (1779) melaporkan bahwa epidemiologi dengue di Batavia
disebabkan oleh tiga faktor utama, yaitu virus, manusia, dan nyamuk.Vektor utama penyakit
DBD adalah nyamuk Aedes aegypti (daerah perkotaan) dan Aedes albopictus (di daerah
pedesaan).
Nyamuk yang menjadi vektor penyakit DBD adalah nyamuk yang menjadi terinfeksi saat
menggigit manusia yang sedang sakit dan viremia (terdapat virus dalam darahnya). Menurut
laporan terakhir, virus dapat pula ditularkan secara transovarial dari nyamuk ke telur-telurnya.
Virus berkembang dalam tubuh nyamuk selama 8-10 hari terutama dalam kelenjar air
liurnya, dan jika nyamuk menggigit orang lain maka virus dengue akan dipindahkan bersama air
liur nyamuk. Dalam tubuh manusia, virus ini akan berkembang selama 4-6 hari dan orang
tersebut akan mengalami sakit demam berdarah dengue. Virus dengue memperbanyak diri dalam
tubuh manusia dan berada dalam darah selama satu minggu.
Orang yang di dalam tubuhnya terdapat virus dengue tidak smeuanya akan sakit demam
berdarah dengue. Ada yang mengalami demam ringan dan sembuh dengan sendirinya, atau
bahkan ada yang sama sekali tanpa gejala sakit. Tetapi semuanya merupakan pembawa virus
dengue selama satu minggu sehingga dapat menularkan kepada orang lain di berbagai wilayah
yang ada nyamuk penularnya. Sekali terinfeksi, nyamuk menjadi infektif seumur hidupnya.
Penyebaran penyakit DBD di JAwa biasanya terjadi mulai bulan Januari sampai April dan Mei.
Faktor yang mempengaruhi morbiditas dan mortalitas penyakit DBD antara lain:
Imunitas pejamu
Kepadatan populasi nyamuk
Transmisi virus dengue
Virulensi virus
Keadaan geografis setempat
Faktor penyebaran kasus DBD antara lain:
14
Pertumbuhan penduduk
Urbanisasi yang tidak terkontrol
Transportasi
Epidemiologi
Syok hipovolemik merupakan kondisi yang terjadi jika pendarahan
berlangsung tidak terkendali. Orang lanjut usia yang mengkonsumsi
antikoagulan merupakan kelompok yang sering mengalami syok
hipovolemik. Begitu juga pada kelompok trauma penetrans dengan
pendarahan akut dan pendarahan traktus gastrointestinum.
Pada kasus demam berdarah dengue tersebar di seluruh dunia di daerah tropis dan
subtropics, khususnya di wilayah Asia Tenggara, Pasifik Barat, dan Karibia. Perang dunia II
menimbulkan penyebaran dengue dan Asia Tenggara ke Jepang dan kepulauan Pasifik. Terutama
yang berbahaya dan kasus yang sering mengakibatkan kematian adalah jika terdapat keadaan
syok yang tidak ditangani dengan segera.
Patofisiologi
Syok Hipovolemik
Mikrosirkulasi
Ketika curah jantung turun, tahanan vaskular sistemik akan berusaha untuk
meningkatkan tekanan sistemik guna menyediakan perfusi yang cukup bagi jantung dan otak
melebihi jaringan lain seperti otot, kulit dan khususnya traktus gastrointestinal. Kebutuhan
energi untuk pelaksanaan metabolisme di jantung dan otak sangat tinggi, tapi kedua sel organ
itu tidak mampu menyimpang cadangan energi. Keduanya sangat bergantung akan
ketersediaan oksigen dan nutrisi, tetapi sangat rentan terganggu bila terjadi iskemia yang berat
untuk waktu yang melebihi kemampuan toleransi jantung dan otak. Ketika Mean Arterial
Pressure jatuh hingga < 60 mmHg, maka aliran ke organ akan turun drastis dan fungsi sel di
semua organ akan terganggu.2,3
Otot polos pembuluh arteriol memiliki reseptor adrenergik α dan β. Reseptor α1
memediasi vasokontriksi, sementara reseptor β2 memediasi vasodilatasi. Serat simpatis eferen
15
melepaskan norepinefrin, yang bekerja pada reseptor α1 sebagai salah satu respon kompensasi
paling fundamental pada penurunan tekanan perfusi. Substansi konstriktor lain yang juga
meningkat jumlahnya pada mayoritas bentuk syok termasuk angiotensi II, vasopressin,
endothelin 1, dan tromboksan A2. Baik norepinefrin dan epinefrin dilepaskan oleh medulla
adrenal, dan konsentrasi katekolamin tersebut pada aliran darah meningkat. Vasodilator yang
bersirkulasi pada syok termasuk prostasiklin (prostaglandin I2, nitrat oksida (NO), dan yang
juga penting adalah produk metabolisme local, seperti adenosin. Keseimbangan antara
berbagai jenis vasokontriktor dan vasodilator mempengaruhi perubahan mikrosirkulasi yang
menentukan perfusi setempat.
Respon selular
Transport nutrien intersisial terganggu pada syok, mengakibatkan penurunan
penyimpanan intraselular fosfat tinggi-energi. Disfungsi mitokondria dan uncoupling
(pelepasan) fosforilasi oksidatif adalah penyebab yang paling mungkin dari penurunan jumlah
ATP. Sebagai konsekuensinya, terdapat akumulasi ion hidrogen, laktat, dan produk
metabolisme anaerob lain. Seiring dengan syok yang berlanjut, metabolis vasodilator tersebut
meningkatkan tonus vasomotor, menyebabkan hipotensi dan hipoperfusi yang lebih parah.
Potensial transmembran selular menurun, dan terdapat asosiasi peningkatan pada sodium dan
air intraselular, menyebabkan pembengkakan sel, dimana menganggu perfusi mikrovaskular.
Juga terdapat peningkatan apoptosis sel yang acak tetapi selektif, yang berkontribusi pada
kerusakan organ dan imun.6
Neuroendokrin 1
Hipovolemia, hipotensi dan hipoksia dapat dideteksi oleh baroreseptor dan
kemoreseptor, yang berkontribusi pada respon otonom untuk mengembalikan volume darah,
mempertahankan perfusi sentral, dan mobilisasi substrat metabolik. Hipotensi tidak
menghambat pusat vasomotor, mengakibatkan peningkatan pengeluaran adrenergik dan
menurunkan aktivitas vagal. Pelepasan norepinefrin dari neuron adrenergik menimbulkan
vasokonstriksi perifer dan splanknik, kontributor utama dalam mempertahankan perfusi organ
sentral, sementara penurunan aktivitas vagal meningkatkan denyut jantung dan cardiac output.
Efek dari sirkulasi epinefrin yang dikeluarkan oleh medula adrenal pada syok mayoritas
metabolik, menyebabkan peningkatan glukogenolisis, dan glukoneogrenesis, dan menurunkan
16
pelepasan insulis pankreas. Epinefrin juga menghambat produksi dan pelepasan mediator
inflamasi lewat stimulasi reseptor beta adrenergik sel imun innate.
Kardiovaskular
Tiga variable seperti pengisian atrium, tahanan terhadap tekanan (ejeksi) ventrikel dan
kontraktilitas miokard, bekerja keras dalam mengontrol volume sekuncup. Curah jantung,
penentu utama dalam perfusi jaringan, adalah hasil kali volume sekuncup dan frekuensi
jantung. Hipovolemia menyebabkan penurunan pengisian ventrikel yang pada akhirnya
menurunkan volume sekuncup. Suatu peningkatan frekuensi jantung sangat bermanfaat namun
memiliki keterbatsan mekanisme kompensasi untuk mempertahankan curah jantung.
Gastrointestinal
Akibat aliran darah yang menurun ke jaringan intestinal, maka terjadi peningkatan
absorpsi endotoksin yang dilepaskan oleh bakteri gram negatif yang mati di dalam usus. Hal ini
memicu pelebaran pembuluh darah serta peningkatan metabolisme dan bukan memperbaiki
nutrisi sel dan menyebabkan depresi jantung.3
Demam Berdarah Dengue
Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue hingga saat ini masih diperdebatkan.
Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme imunopatologis
berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue dan sindrom renjatan dengue.7
Respons imun yang diketahui berperan dalam patogenesis DBD adalah: a) respons
humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam proses netralisasi virus, sitolisis
yang dimediasi antibodi. Antibodi terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat
replikasi virus pada monosit atau makrofag. Hipotesis ini disebut antibody dependent
enchancement (ADE); b) limfosit T baik T-helper (CD4) dan T-sitotoksik (CD8) berperan
dalam respon imum seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T-helper yaitu TH1 akan
memproduksi interferon gamma, IL-2 dan limfokin, sedangkan TH-2 memproduksi IL-4, IL-5,
IL-6 dan IL-10; c) monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi
antibodi. Namun, proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi virus dan sekresi
sitokin oleh makrofag; d) selain itu, aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan
terbentuknya C3a dan C5a.
17
Halstead pada tahun 1973 mengajukan hipotesis secondary heterologous infection yang
menyatakan bahwa DHF terjadi bila seseorang terinfeksi ulang virus dengue dengan tipe yang
berbededa. Re-infeksi menyebabkan reaksi amnestik antibodi sehingga mengakibatkan
konsentrasi kompleks imun yang tinggi.
Kurane dan Ennis pada tahun 1994 merangkum pendapat Halstead dan peneliti lain;
menyatakan bahwa infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi makrofag yang memfagositosis
kompleks virus antibodi non netralisasi shingga virus bereplikasi di makrofag. Terjadinya
infeksi makrofag oleh virus dengue menyebabkan aktivasi T-helper dan T-sitotoksik sehingga
diproduksi limfokin dan interferon gamma. Interferon gamma akan mengaktivasi monosit
sehingga disekresi berbagai mediator inflamasi seperti TNF-α, IL-1, PAF (platelet activating
factor), IL-6, dan histamin yang mengakibatkan terjadinya disfungsi sel endotel dan terjadi
kebocoran plasma. Peningkatan C3a dan C5a terjadi melalui aktivasi kompleks virus-antibodi
yang juga mengakibatkan terjadinya kebocoran plasma.
Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme: 1) supresi sumsum
tulang dan 2) destruksi dan pemendekan massa hidup trombosit. Gambaran sumsum tulang
pada fase awal infeksi (< 5 hari) menunjukkan keadaan hiposelular dan supresi megakariosit.
Setelah keadaan nadir tercapai akan terjadi peningkatan proses hematopoiesis termasuk
megakariopoiesis. Kadar trombopoietin dalam darah pada saat terjadi trombositopenia justru
menunjukkan kenaikan, hal ini menunjukkan terjadinya stimulasi trombopoiesis sebagai
mekanisme kompensasi terhadap keadaan trombositopenia. Destruksi trombosit terjadi melalui
peningkatan fragmen C3g, terdapatnya antibodi VD, konsumsi trombosit selama proses
koagulopati dan sekuestrasi di perifer. Gangguan fungsi trombosit terjadi melalui mekanisme
gangguan pelepasan ADP, peningkatan kadar b-tromboglobulin dan PF4 yang merupakan
petanda degranulasi trombosit. 8
Koagulapati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel yang menyebabkan
disfungsi endotel. Berbagai penelitian menunjukkan terjadinya koagulopati konsumtif pada
demam berdarah dengue stadium III dan IV. Aktivasi koagulasi pada demam berdarah dengue
terjadi melalui aktivasi jalur ekstrinsik *tissue factor pathway). Jalur intrinsik juga berperan
melalui aktivasi kontak (kalikrein C1-inhibitor complex).7,8
18
Penatalaksanaan
Syok hipovolemik
Mengontrol pendarahan yang sedang berlangsung merupakan
komponen yang esensial dari resusitasi cairan pada pasien syok. Pada
pasien trauma, pemberian cairan kristaloid dini diharapkan mengembalikan
kemampuan perfusi tubuh dan fungsi fisiologis tubuh. Resusitasi cairan
yang pertama kali diberikan adalah 1 L bolus intravena salin normal, Ringer
laktat, atau cairan isotonik kristaloid lainnya pada dewasa.9 Untuk anak-
anak, resusitasi mula-mula adalah 20 ml/kgBB Ringer laktat. Akan tetapi,
pada pasien yang tidak merespon resusitasi cairan perlu dicurigai adanya
pendarahan internal yang tidak tampak pada pemeriksaan fisik serta
membutuhkan tindakan operatif segera untuk eksplorasi dan
menghentikan pendarahannya. Tiga poin utama dalam penatalaksanaan
syok hipovolemik adalah menjaga jalan napas, mengontrol volum darah
yang hilang, dan resusitasi cairan secara intravena. Jika tidak ada
perbaikan pada perfusi jaringan setelah pemberian 1-2 kristaloid, maka
pemberian packed red cells dengan salin normal merupakan pilihan.2,9
Demam Berdarah Dengue
Perbedaam patofiologik utama antara DD/ DBD/ DSS dan penyakit lain, ialah adanya
peningkatan permeabilotas kapiler yang menyebabkan perembesan plasma dan gangguan
hemostasis. Gambaran klinis DBD/ DSS sangat khas, yaitu demam tinggi mendadak, diastesis
hemoragik, hepatomegali dan kegagalan sirkulasi. Keberhasilan tatalaksana DBD terletak pada
bagaimana mendeteksi secara dini fase kritis, yaitu saat suhu turun (the time of defervescence)
yang merupakan fase awal terjaidnya kegagalan sirkulasi, dengan melakukan observasi klinis
disertai pemantauan perembesan plasma dan gangguan hemostasis. Prognosis DBD terletak
pada pengenalan awal terjadinya kegagalan sirkulasi, yang dapat diketahui dari peningkatan
kadar hematokrit dan penurunan jumlah trombosit. Fase kritis pada umumnya terjadi pada hari
sakit ke tiga. Penurunan jumlah trombosit sampai < 100.000 /ul atau < 1-2 trombosit/LPB
(rata-rata hitung pada 10 LPB) terjadi sebelum peningkatan hematokrit dan sebelum terjadi
penurunan suhu. Peningkatan hematokrit ≥ 20% mencerminkan perembesan plasma dan
19
merupakan indikasi untuk pemberian cairan. Pemberian cairan awal sebagai pengganti volume
plasma dapat diberikan larutan garam isotonik atau ringer laktat, yang kemudian dapat
disesuaikan dengan berat ringan penyakit. Pada DBD derajat I dan II, cairan intravena dapat
diberikan selama 12-24 jam. Perhatian khusus pada kasus dengan peningkatan hematokrit yang
terus menerus dan penurunan jumlah trombosit < 50.000 /ul. Secara umum pasien DBD derajat
I dan II dapat dirawat di Puskesmas, rumah sakit tipe D, C dan ruang rawat sehari di rumah
sakit B dan A.
Fase demam
Tatalaksana DBD fase demam tidak berbeda dengan tatalaksana DD, bersifat
simtomatik dan suportif yaitu pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi. Apabila cairan
oral tidak dapat diberikan oleh karena tidak mau minum, muntah atau nyeri perut yang
berlebihan, maka cairan intravena rumatan perlu diberikan. Antipiretik kadang-kadang
diperlukan, tetapi perlu diperhatikan bahawa antipiretik tidak mengurangi lama demam pada
DBD. Parasetamol direkomendasikan untuk mempertahankan suhu dibawah 39°C dengan
dosis 10-15 mg/kgBB/kali. Rasa haus dan keadaan dehidrasi dapat timbul sebagai akibat
demam tinggi, anoreksia dan muntah. Jenis minuman yang dianjurkan adalah jus buah, teh
manis, sirup, susu, serta larutan oralit. Pasien perlu diberikan minum 50ml/kg berat badan
dalam 4-6 jam pertama. Setelah keadaan dehidrasi dapat diatasi anak diberikan cairan rumutan
80-100 ml/kg berat badan dalam 24 jam berikutnya. Bayi yang masih minum ASI, tetapi harus
diberikan di samping larutan oralit. Bila terjadi kejang demam, disamping antipiretik diberikan
antikonvulsif selama masih demam. Pasien harus diawasi ketat terhadap kejadian syok yang
mungkin terjadi. Periode kritis adalah waktu transisi, yaitu saat suhu turun pada umumnya hari
ke 3-5 fase demam. Pemerikasaan kadar hematokrit berkala merupakan pemeriksaan
laboratorium yang terbaik untuk monitor hasil pengobatan yaitu menggambarkan derajat
kebocoran plasma dan pedoman kebutuhan cairan intravena. Hemokonsentrasi pada umumnya
terjadi sebelum dijumpai perubahan tekanan darah dan tekanan nadi. Hematrokrit harus
diperiksa minimal satu kali sejak hari sakit ketiga sampai suhu normal kembali. Bila sarana
pemeriksaan hematokrit tidak tersedia, pemeriksaan hemoglobin dapat dipergunakan sebagai
alternatif walaupun tidak terlalu sensitif.
Penggantian volume plasma
20
Dasar patogenesis DBD adalah perembesan plasma, yang terjadi pada fase penurunan
suhu (fase afebris, fase kritis, fase syok), maka dasar pengobatannya adalah penggantian
volume plasma yang hilang. Walau demikian, penggantian cairan harus diberikan dengan
bijaksana dan berhati-hati. Kebutuhan cairan awal dihitung untuk 2 atau 3 jam pertama,
sedangkan pada kasus syok mungkin lebih sering (setiap 30-60 menit). Tetesan dalam 24-48
jam berikutnya harus disesuaikan dengan tanda vital, kadar hematokrit dan jumlah volume
urin. Penggantian volume cairan harus adekuat, seminimal mungkin mencukupi kebocoran
plasma. Secara umum volume yang dibutuhkan adalah jumlah cairan rumutan ditambah 5-8%.
Cairan intravena diperlukan, apabila (1) anak terus menerus muntah, tidak mau minum,
demam tinggi sehingga tidak mungkin diberikan minum per oral, ditakutkan terjadinya
dehidrasi sehingga mempercepat terjadinya syok, (2) nilai hematokrit cenderung meningkat
pada pemeriksaan berkala. Jumlah cairan yang diberikan tergantung dari derajat dehidrasi dan
kehilangan elektrolit, dianjurkan cairan glukosa 5% di dalam 1/3 larutan NaCl 0,9%. Bila
terdapat asidosis, ¼ dari jumlah cairan total dikeluarkan dan diganti dengan larutan yang berisi
0,167 mol/liter natrium bikarbonat (3/4 bagian berisi larutan NaCl 0,9% + glukosa ditambah ¼
natrium bikarbonat). Apabila terdapat kenaikan hemokonsentrasi 20% atau lebih, maka
komposisi jenis cairan yang diberikan harus sama dengan plasma. Volume dan komposisi
cairan yang diperlukan sesuai seperti cairan untuk dehidrasi pada diare ringan sampai sedang,
yaitu cairan rumatan ditambah defisit 6% (5-8%).
Pemilihan jenis dan volume cairan yang diperlukan tergantung dari umur dan berat
badan pasien serta derajat kehilangan plasma sesuai dengan derajat hemokonsentrasi yang
terjadi. Pada anak gemuk, kebutuhan cairan disesuaikan dengan berat badan ideal untuk anak
umur yang sama.
Misalnya untuk anak berat badan 40kg, maka cairan rumatan adalah 1500 + ( 50 x 20)
= 2500ml. Jumlah cairan rumutan diperhitungkan untuk 24 jam. Oleh karena kecepatan
perembesan plasma tidak konstan (perembesan plasma terjadi lebih cepat pada saat suhu
turun), maka volume cairan pengganti harus disesuaikan dengan kecepatan dan kehilangan
plasma, yang dapat diketahui dari pemantauan kadar hematokrit. Perlu mendapatkan perhatian
bahwa penggantian volume yang berlebihan dan terus menerus setelah perembesan plasma
berhenti akan mengakibatkan distres pernafasan sebagai akibat udem paru. Demikian pula pada
21
saat fase konvalesens terjadi reabsorbsi cairan ekstravaskular, akan menyebabkan edema paru
dan distres pernafasan apabila cairan intravena tetap diberikan.
Pasien harus dirawat dengan segera diobati bila dijumpai tanda-tanda syok yaitu
gelisah, letargi/lemah, ekstremitas dingin, bibir sianosis, oliguri, dan nadi lemah, tekanan nadi
menyempit (20 mmHg atau kurang ) atau hipotensi, dan peningkatan mendadak kadar
hematokrit atau kadar hematokrit yang meningkat terus-menerus walaupun telah diberi cairan
intravena.
Jenis cairan
Larutan kristaloid yang direkomendasikan oleh WHO adalah larutan ringer laktat (RL)
atau dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat (D5/RL), ringer asetat (RA) atau dekstrosa 5%
dalam larutan ringer asetat (D5/RA), NaCl 0,9% atau dekstrosa 5% dalam larutan garam faali.
Sedangkan larutan koloid adalah dekstran-40 dan plasma darah.
Sindrom Syok Dengue
Syok merupakan keadaan kegawatan. Cairan pengganti adalah pengobatan yang utama,
yang berguna untuk memperbaiki kekurangan volume plasma. Pasien anak akan cepat
mengalami syok dan sembuh kembali bila diobati segera dalam 48 jam.
Penggantian volume plasma segera
Pengobatan awal cairan intravena dengan larutan kristaloid 20 ml/kg berat badan
dengan tetesan secepatnya (diberikan secara bolus selama 30 menit). Apabila syok belum dapat
teratasi dan/ atau keadaan klinis memburuk setelah 30 menit pemberian cairan awal, cairan
diganti dengan koloid (dekstran 40 atau plasma) 10-20 ml/kg berat badan/jam, dengan jumlah
maksimal 30 ml/kg berat badan. Setelah terjadi perbaikan,segera cairan ditukar kembali dengan
kristaloid dengan tetesan 20 ml/kg berat badan. Apabila setelah pemberian cairan resusitasi
kristaloid dan koloid syok masih menetap sedangkan kadar hematokrit turun, diduga telah
terjadi perdarahan; maka dianjurkan pemberian transfusi darah segar. Apabila kadar hematokrit
tetap > 40 vol%, maka berikan darah dalam volume kecil (10ml/kg berat badan/jam), tetapi
apabila terjadi perdarahan masif berikan 20 ml/kg berat badan. Setelah keadaan klinis
22
membaik, tetesan cairan dikurangi bertahap sesuai dengan keadaan klinis dan kadar
hematokrit.
Kadar hematokrit untuk memantau penggantian volume plasma
Pemberian cairan harus tetap diberikan walaupun tanda bital telah membaik dan kadar
hematokrit turun. Tetesan cairan segera diturunkan menjadi 10 ml/kg berat badan/jam, dan
kemudian disesuaikan tergantung dari kehilangan plasma yang terjadi selama 24-48 jam.
Pemasangan CVP kadangkala diperlukan pada pasien DSS berat, untuk mengetahui kebutuhan
cairan.
Cairan itravena dapat dihentikan apabila hematokrit telah turun, sekitar 40%. Jumlah
urin 12 ml/kg berat badan/jam atau lebih merupakan indikasi bahwa keadaan sirkulasi
membaik. Pada umumnya, cairan tidak perlu diberikan lagi setelah 48 jam sejak syok teratasi.
Apabila cairan tetap diberikan pada saat terjadi reabsorpsi plasma dari ekstravaskular (ditandai
dengan penurunan kadar hematokrit setelah pemberian cairan rumatan), maka akan
menyebabkan hipervolemia, dengan akibat terjadi edema paru dan gagal jantung. Penurunan
hematokrit pada saat reabsorbsi plasma ini jangan dianggap sebagai tanda perdarahan, tetapi
disebabkan oleh hemodilusi. Nadi yang kuat, tekanan darah normal, diuresis cukup, tanda vital
baik, merupakan tanda terjadinya fase reabsorbsi.
Koreksi gangguan metabolik dan elektrolit
Hiponatremia dan asidosis metabolik sering menyertai pasien DBD/ DSS, maka
pemeriksaan analisis gas darah dan kadar elektrolit harus selalu diperiksa pada DBD berat.
Apabila asisodis tidak dikoreksi, akan memacu terjadinya DIC (disseminated intravascular
coagulation) sehingga tatalaksana pasien menjadi lebih kompleks. Pada umumnya, apabila
penggantian cairan plasma diberikan secepatnya dan dilakukan koreksi pada asidosis dengan
natrium bikarbonat, maka perdarahan akibat DIC tidak akan terjadi sehingga heparin tidak
diperlukan.
Sedatif
23
Pada pasien yang gelisah dapat diberikan sedatif untuk menenangkan pasien.
Diusahakan jangan memberikan obat yang bersifat hepatotoksik. Kloral hidrat diberikan per
oral atau per rektal dengan dosis 12,5 - 50 mg/kg berat badan (tidak melebihi 1 gram). Keadaan
gelisah sebagai akibat dari keadaan perfusi jaringan yang kurang baik akan menghilang setelah
pemberian cairan secara adekuat.
Pemberian oksigen
Terapi dengan 2 liter per menit harus selalu diberikan pada semua pasien syok.
Dianjurkan pemberian oksigen dengan mempergunakan masker, tetapi harus diingat pula pada
anak seringkali menjadi makin gelisah apabila dipasang masker oksigen.
Transfusi darah
Pemeriksaan golongan darah dan cross-macthing harus dilakukan pada setiap pasien
syok, terutama pada syok yang berkepanjangan (prolonged shock). Pemberian transfusi darah
diberikan pada keadaan manifestasi perdarahan yang nyata. Kadangkala sulit untuk mengetahui
perdarahan interna (internal haemorrhage) apabila disertai hemokonsentrasi. Penurunan
hematokrit (misalnya dari 50% ke 40%) tanpa perbaikan klinis walaupun telah diberikan cairan
yang mencukupi, merupakan tanda adanya perdarahan. Pemberian darah segar dimaksudkan
untuk menaikan konsentrasi sel darah merah. Plasma segar dan atau suspensi trombosit
berguna untuk pasien dengan DIC yang menimbulkan perdarahan masif. DIC biasanya terjadi
pada syok berat dan menyebabkan perdarahan masif dan dapat menimbulkan kematian.
Pemerikasaan hematologi seperti waktu tromboplastin parsial, waktu protrombin dan
fibrinogen degradation products (FDP) harus diperiksa pada pasien syok untuk mendeteksi
terjadinya dan berat ringannya DIC. Pemeriksaan hematologis tersebut juga menentukan
prognosis.
Kelainan ginjal
Dalam keadaan syok, harus yakin benar bahwa penggantian volume intravaskular telah
benar-benar terpenuhi dengan baik. Apabila diuresis belum mencukupi 2 ml/kgBB/jam,
sedangkan cairan yang diberikan sudah sesuai kebutuhan, maka selanjutnya furosemid 1
mg/kgBB dapat diberikan. Pemantauan tetap dilakukan untuk jumlah diuresis, kadar ureum,
24
dan kreatinin. Tetapi apabila diuresis tetap belum mencukupi, pada umumnya syok juga belum
dapat dikoreksi dengan baik, maka pemasangan CVP (central venous pressure) perlu
dilakukan untuk pedoman pemberian cairan selanjutnya.
Monitoring
Tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan dievaluasi secara teratur untuk
menilai hasil pengobatan. Hal-hal yang harus diperhatikan pada monitoring adalah nadi,
tekanan darah, respirasi, dan temperatur harus dicatat setiap 15-30 menit atau lebih sering,
sampai syok dapat teratasi, kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sampai keadaan
klinis pasien stabil. Setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan, mengenai
jeniscairan, jumlah, dan tetesan, untuk menentukan apakah cairan yang diberikan sudah
mencukupi, jumlah serta frekuensi diuresis.
Kriteria memulangkan pasien
Pasien dapat dipulangkan apabila tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik, nafsu
makan membaik, tanpa perbaikan secara klinis, hematokrit stabil, tiga hari setelah syok
teratasi, jumlah trombosit > 50.000 /ul dan cenderung meningkat, serta tidak dijumpai distres
pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis)
Ruang rawat khusus untuk DBD
Untuk mendapatkan tatalaksana DBD lebih efektif, maka pasien DBD seharusnya
dirawat di ruang rawat khusus, yang dilengkapi dengan perawatan untuk kegawatan. Ruang
perawatan khusus tersebut dilengkapi dengan fasilitas laboratorium untuk memeriksa kadar
hemoglobin, hematokrit, dan jumlah trombosit yang tersedia selama 24 jam. Pencatatan
merupakan hal yang penting dilakukan di ruang perawatan DBD. Paramedis dapat dibantu oleh
orang tua pasien untuk mencatat jumlah cairan baik yang diminum maupun yang diberikan
secara intravena, serta menampung urin serta mencatat jumlahnya. 10
Manifestasi klinis
Syok Hipovolemik
25
Gejala dan tanda yang disebabkan oleh syok hipovolemik baik akibat perdarahan
ataupun bukan perdarahan adalah sama, meskipun ada sedikit perbedaan dalam kecepatan
timbulnya syok. Respons fisiologis yang normal adalah mempertahankan perfusi terhadap otak
dan jantung sambil terus berusaha memperbaiki volume darah dalam sirkulasi dengan efektif.
Hal tersebut menyebabkan terjadi peningkatan kerja simpatis, hiperventilasi, pembuluh vena
yang kolaps, pelepasan hormon stress serta ekspansi besar guna pengisian volume pembuluh
darah dengan menggunakan cairan intersisisal, intraselular dan menurunkan produksi urin.
Tanda klinis yang cukup dapat diandalkan dalam menilai syok hipovolemik adalah
perfusi kulit. Pada syok ringan atau kelas 1 (<20% volume darah yang hilang), mekanisme
kompensasi mungkin masih dapat mempertahankan kecukupan perfusi dan tidak terdapat tanda
– tanda pada kulit dan fisiologi yang terlihat. Pada syok sedang atau kelas 2 (20-40%
kehilangan darah), kulit pada ekstrimitas menjadi pucat, dingin, dan lembab akibat
vasokonstriksi dan lepasnya epinefrin.tekanan sistol seringkali dapat dipertahankan pada
keadaan sekitar normal, tetapi output urin biasanya berkurang. Pada syok berat atau kelas 3
(>40% darah yang hilang), perubahan ini-khususnya diaphoresis-menjadi lebih terlihat, dan
output urin menjadi sangat menurun. Hipotensi terjadi. Ditambah lagi, perubahan fungsi
cerebral tampak jelas, yaitu agitasi, disorientasi, dan hilangnya ingatan. Pada syok kelas 4,
hipotensi disertai dengan anuria dan kehilangan kesadaran. Pada situasi ini, resussitasi cepat
dengan kristaloid dan transfuse darah diperlukan untuk mencegah kematian.
Syok hipovolemik di diagnosis ketika ditemukan tanda berupa ketidakstabilan
hemodinamik dan ditemukan adanya sumber perdarahan. Diagnosis akan sulit bila perdarahan
tak ditemukan dengan jelas atau berada dalam traktus gastrointestinal atau hanya terjadi
penurunan jumlah plasma dalam darah. Setelah perdarahan maka biasanya hemoglobin dan
hematokrit tidak langsung turun sampai terjadi gangguan kompensasi atau terjadi penggantian
cairan dari luar. Jadi kadar hematokrit di awal tidak menjadi pegangan sebagai adanya
perdarahan. Kehilangan plasma ditandai dengan hipernatremia. Temuan terhadap hal ini
semakin meningkatkan kecurigaan adanya hipovolemia. Harus dibedakan syok akibat
hipovolemik dan akibat kardiogenik karena penatalaksanaan yang berbeda. Keduanya sama-
sama memiliki penurunan curah jantung dan mekanisme kompensasi simpatis. Tetapi tanda
syok kardiogenik seperti distensi vena jugularis, ronki, dan gallop S3 yang membedakannya
dari syok hipovolemik.
26
Demam Berdarah Dengue
Pasien penyakit DBD pada umumnya disertai dengan tanda-tanda berikut:8
Demam selama 2-7 hari tanpa sebab yang jelas.
Manifestasi perdarahan dengan tes Rumpel Leed (+) mulai dari petekie (+) dampai
perdarahan spontan seperti mimisan, muntah darah, atau berak darah-hitam.
Hasil pemeriksaan trombosit menurun (normal: 150.000-300.000 µL), hematokrit
meningkat (normal: pria <45, wanita <40).
Akral dingin, gelisah, tidak sadar (DSS, dengue shock syndrome).
Gambaran Klinis secara menyeluruh (klinik dan laboratories) :
1. Masa inkubasi biasanya berkisar antara 4 – 7 hari
2. Demam tinggi yang mendadak, terus menerus berlangsung 2 – 7 hari. Panas dapat turun
pada hari ke-3 yang kemudian naik lagi, dan pada hari ke-6 atau ke-7 panas mendadak
turun.
3. Tanda-tanda perdarahan3
Perdarahan ini terjadi di semua organ. Bentuk perdarahan dapat hanya berupa uji
Tourniquet (Rumple Leede) positif atau dalam bentuk satu atau lebih manifestasi
perdarahan sebagai berikut: Petekie, Purpura, Ekimosis, Perdarahan konjungtiva,
Epistaksis, Pendarahan gusi, Hematemesis, Melena dan Hematuri. Petekie sering
sulit dibedakan dengan bekas gigitan nyamuk.
Untuk membedakannya regangkan kulit, jika hilang maka bukan petekie. Uji
Tourniquet positif sebagai tanda perdarahan ringan, dapat dinilai sebagai
presumptif test (dugaan keras) oleh karena uji Tourniquet positif pada hari-hari
pertama demam terdapat pada sebagian besar penderita DBD. Namun uji Tourniquet
positif dapat juga dijumpai pada penyakit virus lain (campak, demam chikungunya),
infeksi bakteri (Typhus abdominalis) dan lain-lain. Uji Tourniquet dinyatakan
positif, jika terdapat 10 atau lebih petekie pada seluas 1 inci persegi (2,5×2,5 cm) di
lengan bawah bagian depan (volar) dekat lipat siku (fossa cubiti)
4. Pembesaran hati (hepatomegali)11
Pembesaran hati pada umumnya dapat ditemukan pada permulaan penyakit
Pembesaran hati tidak sejajar dengan beratnya penyakit
27
Nyeri tekan sering ditemukan tanpa disertai ikterus.
5. Renjatan (syok)
Manifestasi syok secara umum : 12
Kulit teraba dingin dan lembab terutama pada ujung hidung, jari tangan dan kaki
Penderita menjadi gelisah
Sianosis di sekitar mulut
Nadi cepat, lemah, kecil sampai tak teraba
Tekanan nadi menurun, sistolik menurun sampai 80 mmHg atau kurang.
Manifestasi syok pada anak terdiri atas:
a) Kulit pucat, dingin dan lembab terutama pada ujung jari kaki, tangan dan hidung
sedangkan kuku menjadi biru. Hal ini disebabkan oleh sirkulasi yang insufisien
yang menyebabkan peninggian aktivitas simpatikus secara refleks.
b) Anak yang semula rewel, cengeng dan gelisah lambat laun kesadarannya menurun
menjadi apatis, sopor dan koma. Hal ini disebabkan kegagalan sirkulasi serebral.
c) Perubahan nadi, baik frekuensi maupun aplitudonya. Nadi menjadi cepat dan
lembut sampai tidak dapat diraba oleh karena kolap sirkulasi.
d) Tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg atau kurang.
e) Tekanan sistolik pada anak menurun menjadi 80 mmHg atau kurang.
f) Oliguria sampai anuria karena menurunnya perfusi darah yang meliputi arteri
renalis.
6. Trombositopeni12
Jumlah trombosit 100.000/•l biasanya ditemukan diantara hari ke 3 – 7 sakit
Pemeriksaan trombosit perlu diulang sampai terbukti bag. Hemokonsentrasi
(peningkatan hematokrit)
Peningkatnya nilai hematokrit (Ht) menggambarakan hemokonsentrasi selalu
dijumpai pada DBD, merupakan indikator yang peka terjadinya perembesan plasma,
sehingga dilakukan pemeriksaan hematokrit secara berkala.
Pada umumnya penurunan trombosit mendahului peningkatan hematokrit.
Hemokonsentrasi dengan peningkatan hematokrit > 20% (misalnya 35% menjadi
28
42%: 35/100 x 42 = 7, 35+7=42), mencerminkan peningkatan permeabilitas kapiler
dan perembesan plasma. Perlu mendapat perhatian, bahwa nilai hematokrit
dipengaruhi oleh penggantian cairan atau perdarahan. Penurunan nilai hematokrit
>20% setelah pemberian cairan yang adekuat, nilai Ht diasumsikan sesuai nilai
setelah pemberian cairan.5,6
7. Gejala klinik lain
Gejala klinik lain yang dapat menyertai penderita DBD ialah nyeri otot, anoreksia,
lemah, mual, muntah, sakit perut, diare atau konstipasi, dan kejang
Pada beberapa kasus terjadi hiperpireksia disertai kejang dan penurunan kesadaran
sehingga sering di diagnosis sebagai ensefalitis
Keluhan sakit perut yang hebat sering kali timbul mendahului perdarahan
gastrointestinal dan renjatan
Komplikasi
Komplikasi dari syok hipovolemik terjadi akibat penatalaksanaan yang
tidak dipantau dengan benar. Edema paru dan serebri dapat terjadi
mengakibatkan gangguan pernapasan dan perubahan status kesadaran.7,8
Sedangkan pada tatalaksana syok harus dilakukan secara tepat, oleh karena bila tidak pasien
dapat masuk dalam syok berat (profound shock), tekanan darah tidak dapat diukur dan nadi tidak
dapat diraba. Lama syok singkat; pasien dapat meninggal dalam waktu 12-24 jam atau
menyembuh. Tatalaksana syok yang tidak adekuat akan menimbulkan komplikasi asidosis
metabolik, hipoksia, perdarahan gastrointestinal hebat dengan prognosis buruk.dan
komplikasi dari dengue syok yang paling sering menyebabkan kematian
adalah edema paru dan ensefalopati dengue yang terjadi oleh karena syok
yang berkepanjangan Sebaliknya, dengan pengobatan tepat, (begitu pula kasus syok berat)
masa penyembuhan cepat sekali terjadi bahkan seringkali tidak kelihatan. Pasien menyembuh
dalam waktu 2-3 hari dan selera makan yang membaik merupakan petunjuk prognosis baik.10
Prognosis
29
Prognosis dari syok hipovolemik bergantung dari resposivitas pasien
terhadap resusitasi. Jika merespon resusitasi, prognosisnya baik. Jika tidak,
prognosisnya buruk.Sedangkan prognosis dari dengue syok bonam jika penanganan
syok dilakukan dengan tepat dan segera. Berdasarkan kasus yang pernah ada, kematian terjadi
pada 40-50% penderita syok, tetapi dengan pengobatan yang adekuat, dapat diturunkan hingga
kurang dari 2%. Kebehasilan bergantung dari penatalaksanaan intensif dan dini.4,10
PENUTUP
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang
termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan
diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x106.
Terdapat empat serotipe virus, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 yang semuanya
dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue. Keempat serotype ditemukan
di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype terbanyak. Terddapat reaksi silang anatara
serotipe dengue dengan Flavivirus lain seperti Yellow fever, Japanese encehphalitis, dan West
Nile virus.
Fokus utama pada masalah Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah pencegahan.
Pembenahan kebersihan sekitar lingkungan sekitar kita akan sangat membantu pencegahan
terjadinya Kejadian Luar Biasa Demam Berdarah Dengue. Dengan lingkungan bersih, maka
akan tercipta hidup sehat tanpa adanya penyakit baik DBD ataupun penyakit lainnya.11
Demam berdarah dengue harus dideteksi secara dini melalui pemeriksaan fisik bahkan
pemeriksaan penunjang lain. Tujuan diagnosis dini tersebut adalah untuk mencegah agar tidak
terjadi keadaan kegawatdaruratan atau syok bahkan komplikasi lainnya. Dimana demam
berdarah dengue ini dapat menjadi dengue shock syndrome, yang merupakan demam berdarah
dengue yang disertai dengan gejala-gejala syok yaitu nadi cepat dan kecil, ujung-ujung tangan
dan kaki dingin, tekanan darah turun atau hilangnya kesadaran dari si sakit. Pada kondisi ini
biasanya si sakit tidak panas sebagaimana gejala sebelumnya. DSS ini sering terjadi pada hari
ke-4 hingga ke-7 periode sakit. Bentuk penyakit inilah yang paling sering menyebabkan
kematian.1-3
30
DAFTAR PUSTAKA
1. Suroso T, Hadinegoro SR, Wuryadi S, Simanjuntak G, Umar Al, Pitoyo PD, dkk.
Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Demam Dengue dan Demam Berdarah
Dengue. Jakarta: WHO dan Departemen Kesehatan RI; 2001.
2. Bresler MJ. Syok. Dalam : Manual kedokteran Darurat. Edisi 6. Jakarta : EGC; 2006. H.
2-9.
3. Bronicardi FC, et al. Schwartz’s principle of surgery. Edisi 8. USA:
McGraw-Hill; 2005. Hal. 85-165.
4. Gleadle, Jonathan. Pengambilan Anamnesis. Dalam : At a Glance Anamnesis dan
Pemeriksaan Fisik. Jakarta : Penerbit Erlangga; 2007. h. 1-17.
5. Bastiansyah, Eko. Panduan lengkap: membaca hasil test kesehatan. Jakarta: Penebar Plus;
2008.h.45-7.
6. Widyastuti, Palupi. Pencegahan dan pengendalian dengue dan demam berdarah
dengue:panduan lengkap. Jakarta: EGC; 2005.h.41-5.
7. Nelson. Dengue Syok Sindrom. Dalam : Ilmu Kesehatan Anak. EDISI 12 Bagian 2.
Jakarta : EGC; 2005. H. 296-8.
8. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam berdarah dengue. Dalam: Sudoyo
AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam.
Edisi ke-5. Jakarta : InternaPublishing; 2009. h. 2773 – 9.
9. Bronicardi FC, et al. Schwartz’s principle of surgery. Edisi 8. USA:
McGraw-Hill; 2005. Hal. 85-165.
10. Isselbacher, Braunwald, Wilson, Martin, Fauci, Kasper. Hipoksia. Dalam : Prinsip-
prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume 1. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2002.
H. 207
11. Widoyono. Penyakit tropis epidemiologi, penularan, pencegahan, dan pemberantasannya.
Jakarta: Erlangga,2008. h.59-63.
12. Soedarmo S.S.P, Garna H, Hadinegoro S.R.S, Satari H.I. Buku ajar infeksi dan pediatri
tropis. Jakarta: EGC,2008. h.157-9
31
32