Post on 19-Jan-2016
description
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI 1
BAB I PENDAHULUAN 2
BAB II SKENARIO KASUS 3
BAB III PEMBAHASAN 6
A. Identitas Pasien 6
B. Analisis Masalah dan Hipotesis 6
C. Anamnesis 7
D. Pemeriksaan Fisik 10
E. Pemeriksaan Penunjang 11
F. Diagnosis 12
G. Patogenesis Kasus 13
H. Tatalaksana 15
I. Prognosis 16
BAB IV TINJAUAN PUSTAKA
A. Sindrom Dekondisi (Deconditioning Syndrome) 18
B. Dizziness
BAB V KESIMPULAN 29
BAB VI DAFTAR PUSTAKA 30
1
BAB I
PENDAHULUAN
Tutorial kasus I sesi 1 mengenai seorang wanita usia lanjut sejak satu minggu ini mengalami
problem tidur. Tutorial sesi 1 dilaksanakan pada hari Jumat,30 November 2012 pukul 10.00-
12.00 WIB dengan :
Tutor : Dr. Lenny Gunawan
Ketua : Ade Laksono
Sekretaris : Disa Edralyn
Tutorial berjalan dengan lancar. Peserta membahas masalah, dasar masalah, anamnesis, dan
hipotesis berdasarkan keluhan-keluhan pasien.
Tutorial kasus I sesi 2 dilaksanakan pada hari Kamis, 3 Desember 2012 pukul 13.00-15.00
WIB dengan:
Tutor : Dr. Lenny Gunawan
Ketua : Disa Edralyn
Sekretaris : Jesika Wulandari
Tutorial berjalan dengan tertib dan lancar. Peserta tutorial membahas masalah yang dialami
pasien, pemeriksaan anjuran, pemeriksaan fisik, diagnosis, penatalaksanaan, dan prognosis bagi
kasus pasien.
2
BAB II
SKENARIO KASUS
Keluhan Utama
Seorang ibu berusia 62 tahun diantar anaknya ke dokter dengan keluhan pusing keleyengan sejak
2 minggu terakhir.
Riwayat Penyakit Sekarang
Seingat pasien sejak kurang lebih 1 tahun lalu, pasien sering merasa nyeri dan kaku pada
tengkuknya. Nyeri terutama dirasakan di sebelah kanan , hilang timbul, kadang nyeri terasa
sampai kepala. Nyeri terutama dirasakan jika pasien banayak aktivitas. Bila istirahat, nyeri
biasanya berkurang. Akhir- akhir ini pasien sering merasa pusing keleyengan. Saat berdiri dan
berjalan tidak terasa stabil. Rasa berputar disangkal. Pasien kemudian pergi ke dokter saraf dan
diberikan beberapa macam obat. Bila minum obat tersebut pasien merasa mengantuk sehingga
lebih banyak berbaring, namun rasa pusingnya berkurang. Pasien pernah jatuh saat mau buang
air kecil di kamar mandi, tapi tidak menimbulkan keluhan berarti. Setelah beberapa kali berobat,
pasien dirujuk ke rehabilitasi medik. Saat ini dari duduk ke berdiri pasien membutuhkan
pertolongan, jalan perlu diawasi karena terasa tidak stabil, kadang- kadang mengompol, naik dan
turun tangga perlu pertolongan. Aktivitas lainnya masih mandiri.
Riwayat Penyakit Dahulu
Sejak kurang lebih 4 tahun lalu, pasien berobat ke dokter saraf karena menderita stres. Pasien
ditipu oleh rekan bisnisnya sehingga rugi milyaran rupiah. Pasien kemudian menjual rumahnya
di jakarta dan pindah ke Bekasi. Saat itu pasien tidak nafsu makan, lemas, sulit tidur, banyak
bengong dan menangis. Pasien juga beberapa kali dirujuk ke dokter jiwa dan mendapatkan
pengobatan dan konseling. Setelah kurang lebih satu tahun, pasien mulai bisa menerima
keadaannya. Tapi semenjak itu pasien mulai menunjukkan perubahan di mana gerakannya
3
melambat, tidak secepat biasanya, dan wajah tanpa ekspresi. Kadang- kadang timbul gerakan
spontan pada tangan kanan. Gerakan tersebut menghilang saat pasien bergerak. Pasien kemudian
dibawa ke dokter saraf dan diberi obat, di antaranya levodopa dan amlodipin. Keluhan pasien
kemudian berkurang.
Riwayat Keluarga
Tidak ada keluarga yang mederita penyakit seperti pasien. Kakak lelaki pasien menderita darah
tinggi dan stroke.
Riwayat Kebiasaan
Beberapa tahun terakhir, aktivitas pasien sangat berkurang. Pasien lebih banyak berbaring di
tempat tidur dan nonton siaran televisi yang disukai. Gerak pasien juga lebih lambat, lemah, dan
tidak stabil sehingga harus didampingi seorang pembantu. Akhir- akhir ini atas anjuran dokter
saraf pasien melakukan aktivitas jalan pagi selama 15 menit di sekeliling rumah.
Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien adalah anak ketiga dari tiga bersaudara. Pasien sudah pensiun dan tidak melanjutkan
wiraswasta lagi. Pasien tinggal di rumah bersama suami dan anaknya yang paling kecil. Dari
suaminya pasien dikaruniai tiga orang anak. Anak pertama dan kedua sudah berumah tangga dan
tinggal di rumah sendiri. Suami pasien sudah pensiun. Saat ini pasien dan suaminya hidup dari
uang pensiun dan dari pemberian anak- anak yang sudah bekerja
Pemeriksaan Fisik
Kompos mentis, TD 130/70 mmHg, nadi 90x/m, RR 16x/m, suhu 36, 80C.
Paru: vesikuler, ronkhi -/-, Jantung: bunyi jantung I dan II murni, murmur –
Abdomen: supel, hepar dan lien tidak teraba, bising usus + normal
4
Wajah tampak tidak berekspresi, monoton, mulut terbuka. Postur tubuh kifotik, daerah torakal
deviasi ke arah kiri, lordosis servikal lebih dari normal, panggul kiri lebih tinggi dari panggul
kanan, panjang tungkai kiri dan kanan sama. Kelenturan (fleksibilitas) otot- otot kurang. Spasme
pada otot- otot leher dan punggung disertai nyeri tekan.
Perubahan posisi dari duduk ke berdiri lambat, harus berpegangan, jalan dengan langkah pendek-
pendek dan lambat, keseimbangan kurang( terutama ke depan dan kiri), ayunan tangan saat jalan
kurang, gerak ayunan kaki juga berkurang. Saat menggerakkan ekstremitas secara pasif terasa
adanya tahanan. Kekuatan otot baik.
5
PEMBAHASAN
A. Identitas Pasien
Nama : -
Usia : 62 tahun
Pekerjaan : pensiunan wiraswasta
Alamat : -
Agama : -
Suku bangsa : -
Status : menikah, suami masih hidup
Jumlah anak : 3 orang anak
B. Analisis Masalah dan Hipotesis
Berdasarkan skenario kasus, pusing dan keliyengan atau dizziness merupakan keluhan utama
yang terdapat pada pasien ini. Dizziness seringkali didefinisikan oleh pasien dengan cara yang
berbeda-beda, seperti pusing, keliyengan, berputar, perasaan seperti akan jatuh, perasaan seperti
akan pingsan (presyncopal sensation) yang diakibatkan karena hipoperfusi pada otak,
disequilibirium, atau imbalance.1
Hipoperfusi pada otak di mana aliran darah ke otak berkurang akan mengakibatkan sensasi
akan pingsan (presyncopal sensation) sampai dengan syncope. Normalnya, perfusi ke otak akan
terus dijaga dengan mempertahankan tekanan darah melalui berbagai respon tubuh. Pada jantung
penurunan tekanan darah oleh baroreseptor, yang terdapat di sinus karotikus dan sinus aortikus,
akan direspon dengan menurunkan impuls parasimpatis dan meningkatkan impuls simpatis
sehingga akan terjadi peningkatan cardiac outpout melalui efek inotropy, dromotropy,dan
6
chronotropy yang positif.2 Peningkatan impuls saraf simpatis juga akan mengakibatkan
terjadinya vasokonstriksi pembuluh darah perifer yang akan meingkatkan resistensi perifer, yang
pada akhirnya bersama dengan peningkatan cardiac output akan meningkatkan tekanan darah2.
Namun, bila mekanisme kerja ini gagal maka akan menimbulkan hioperfusi darah ke otak.
Gagalnya respon kerja ini mengindikasikan terjadinya disfungsi saraf autonom yang dapat
bersifat tiba-tiba dan sementara (neurally mediated syncope) atau menetap (ortostatic
hypotension). Ortostatic hypotension merupakan suatu manifestasi dari autonomic failure karena
proses neurodegenaritve baik pada sistem saraf sentral maupun perifer, seperti pada Parkinson
disease; atau karena neuropati pada saraf autonom perifer (secondary OH), seperti diabetic
neuropathy.3 Gangguan pada jantung, seperti cardiac dysarritmia, valvular heart disease; dan
gangguan pada paru seperti COPD, hipertensi pulmonal, emboli pulmonal; juga dapat
menimbulkan hal yang sama. Begitu juga efek obat-obatan yang menurunkkan resistensi perifer
atau menurunkan volume, seperti pada obat-obatan antihipertensi.
Disequilibirium. Organ yang mengalami gangguan pada disequlibirium adalah vestibulum. Lesi
yang terjadi bisa terdapat pada perifer, baik labirin maupun n. Vestibularis; maupun lesi central
dari jaras n. Vestibularis. Dizziness yang diakibatkan karena vestibular mempunyai ciri khas
yang spesifik, dan disebut juga vertigo.
Imbalance. Ketidakseimbangan non-vestibular (non-vestibular imbalance) seperti akibat
hilangnya proprioseptif sebagai akibat dari neurophaty; dan gangguan dalam berjalan (gait
disorder) seperti akibat Parkinsonism/Parkinson disease juga dapat meimbulkan dizziness.
Jadi, hipotesis pada pasien ini adalah ortostatic hypotension baik primer
(Parkinsonism/Parkinson disease) maupun sekunder (neuropathy saraf autonom perifer sebagai
komplikasi dari DM); gangguan jantung, seperti cardiac dysarritmia, valvular heart disease;
gangguan pulmonal, seperti COPD, hipertensi pulmonal, emboli pulmonal; gangguan vestibular;
gait disorder sebagai akibat dari Parkinsonism/Parkinson disease.
C. Anamnesis
7
Anamnesis dilakukan dengan cermat dan teliti dengan tujuan mencari comorbid yang ada
pada pasien ini, gangguan yang mendasari, proses perjalanan penyakit dan factor-faktor lain
yang ikut mempengaruhi perjalanan penyakit pasien, selain factor usia yang sudah lanjut.
Mengingat bahwa usia pasien sudah lanjut, dan bila keterangan dari pasien kurang dapat
dipercaya akibat adanya hendaya baik dalam berbahasa, pikiran maupun tingkah laku yang
timbul, maka perlu dilakukan alloanamnesis. Berikut pertanyaan yang dapat diajukan baik pada
autoanamnesis maupun alloanamnesis.
a. Autoanamnesis
Riwayat Gangguan Sekarang
1. Sejak kapan Ibu mengalami pusing keleyengan?
2. Bagaimana sifat pusingnya?
3. Apakah pusingnya disertai nyeri, terutama pada pagi hari? (tumor)
4. Apakah disertai bunyi berdengung? (infeksi)
5. Berapa lama serangan pusing berlangsung?
6. Apakah pusingnya bertambah berat dalam keadaan gelap? (obat)
7. Apakah mampu berjalan saat terjadi serangan? (disequilibrium)
8. Apakah ada perasaan hampir pingsan saat serangan berlangsung? (presinkop)
9. Adakah pandangan buram saat serangan berlangsung?
10. Apakah ada gejala lain selain pusing?
11. Apakah Ibu sedang ada masalah?
12. Apakah ada hal-hal yang menyebabkan timbulnya pusing?
13. Apakah sedang menderita penyakit lain?
14. Apakah sedang mengkonsumsi suatu obat tertentu?
15. Bagaimanakah aktivitas sehari-hari?
Riwayat Gangguan Dahulu
1. Apakah Ibu pernah mengalami masalah serupa sebelumnya?
2. Adakah hal-hal lain yang pernah Ibu derita?
3. Apakah sudah pernah berobat sebelumnya?
8
4. Bila, iya obat apakah itu?
5. Apakah Ibu pernah menghadapi masalah berat?
Riwayat Kehidupan Pribadi
1. Apakah Ibu masih bekerja sekarang? Apa kegiatan Ibu sehari-hari?
2. Apakah Ibu masih berkomunikasi dengan teman-teman? (ditanyakan untuk mengtahui
hubungan sosial pasien)
3. Apakah Ibu tinggal bersama keluarga?
Riwayat Keluarga
1. Apakah ada keluarga yang menderita hal yang serupa?
b. Alloanamnesis
Riwayat Gangguan Sekarang
1. Apakah pasien sedang stress atau sedang menghadapi masalah?
2. Apakah pasien mengkonsumsi obat-obat tertentu? Bila iya, apakah dosisnya teratur?
3. Bagaimanakah lingkungan di sekitar pasien?
4. Adakah faktor-faktor yang membuat pasien menjadi pusing?
Riwayat Gangguan Dahulu
1. Apa sajakah masalah yang pernah terjadi pada pasien?
2. Pernahkah dirawat atau mengkonsumsi obat-obat tertentu sebelumnya?
Riwayat Kehidupan Pribadi
1. Bagaimana sifat dan sikap pasien sehari-hari?
2. Adakah perubahan sikap yang terjadi pada pasien?
3. Bagaimana sikap pasien dalam menghadapi menghadapi masalah?
9
4. Bagaimana aktivitas sehari-hari yang dilakukan pasien? Apakah pasien
membutuhkan pertolongan orang lain? (untuk menilai produktivitas pasien dalam
melakukan activities of daily living)
Riwayat Penyakit Keluarga
1. Apakah ada anggota keluarga mengalami masalah yang serupa dialami pasien?
D. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Kompos mentis → normal
Tekanan darah : 130/70 → normal
Nadi : 90x/menit → normal
Pernapasan : 16x/menit → normal
Suhu : 36,8◦C → normal
Paru : vesikuler, rongki -/- → normal
Jantung : bunyi jantung I dan II murni, murmur (-) → normal
Abdomen : supel, hepar dan lien tidak teraba, bising usus (+) → normal
Wajah nampak tidak berekspresi, monoton, mulut terbuka → kemungkinan karena
efek samping obat, yaitu gejala distonia akut dan parkinsonism.
Postur tubuh kifotik, daerah torakal deviasi ke kiri, lordosis servikal lebih dari normal →
Osteoporosis yang menyebabkan adanya fraktur patologis ada pasien ini.
10
Panggul kiri lebih tinggi dari kanan, panjang tungkai kanan dan kiri sama → kemungkinan
akibat riwayat pasien yang pernah jatuh dan tidak direposisi dengan benar.
Kelenturan (fleksibilitas) otot-otot kurang. Spasme pada otot-otot leher dan punggung
disertai nyeri tekan → kemungkinan karena postur tubuh pasien yang kurang baik karena
riwayat kebiasaan dan aktivitas pasien yang sangat kurang.
Perubahan posisi dari duduk ke berdiri lambat, harus berpegangan → curiga adanya
hipotensi orthostatik.
Jalan dengan langkah pendek-pendek dan lambat → gejala parkinson.
Keseimbangan kurang (terutama ke depan dan ke kiri) → disequilibrium dan kompensasi
dari postur tubuhnya yang kifotik dan daerah torakal yang deviasi ke arah kiri.
Ayunan tangan saat jalan kurang, gerak ayunan kaki juga berkurang → terjadi kekakuan
karena adanya proses degeneratif pada lansia.
Saat menggerakkan ekstremitas secara pasif terasa adanya tahanan → cogwheel
phenomenon
Kekuatan otot baik. → normal.
E. Pemeriksaan Penunjang
Geriatric depression scale: 9
Geriatric depression scale atau skor penapisan depresi dapat digunakan sebagai salah satu
pedoman diagnosis depresi pada lansia. Geriatric depression scale berisi pertanyaan-
pertanyaan yang dapat menggakbarkan bagaimana perasaan pasien satu minggu terakhir.
Skor 5-9 menunjukkan kemungkinan depresi dan skor lebih dari 10 menyatakan bahwa
pasien depresi.
11
MMSE (Mini Mental State Examination) : 25
MMSE adalah sebuah bentuk tes sederhana untuk menilai status mental pasien yang menilai
kemampuan orientasi, registrasi, atensi dan kalkulasi, recall atau mengingat kembali, bahasa
atau oenyebutan, konstruksi/visuospasial. Nilai MMSE 0-9 menandakan severe cognitive
impairment. Skor 10-20 menandakan moderate cognitive impairment. Skor 21-25
menandakan mild cognitive impairment. Skor 26-30 normal atau no cognitive impairment.
Pada pasien ini ditemukan skor 25 makan tergolong mild cognitive impairment.
Index Barthel: 16
Index Barthel merupakan sebuah parameter atau alat ukur status fungsional pasien yang
menilai activities of daily living. Dengan intepretasi skor 0-4 adalah ketergantungan penuh.
5-8 adalah ketergantungan berat. 9-11 ketergantungan sedang. 12-19 ketergantungan ringan.
20 adalah mandiri. Pasien ini memiliki skor 16 pada index Barthel yang berarti pasien
memiliki ketergantungan ringan.
X-ray Servikal
1. vertebra servikal berdeviasi ke kanan
2. osteoporosis
3. spondylosis servikal dengan penyempitan foramen vertebralis C5-C6 bilateral
Hasil x-ray di atas menunjukkan bahwa vertebra servikal pasien berdeviasi ke kanan yang
diakibatkan oleh keadaan osteoporotic pada tulang vertebra servikal pasien. Hal ini pula
yang kemungkinan menyebabkan presentasi regio torakal pasien terlihat berdeviasi ke kiri
pada hasil inspeksi. Spondylosis servikal pada pasien dapat disebabkan pula oleh keadaan
tulang yang osteoporotic serta degenerasi diskus intervertebralis yang akan berakibat pada
penyempitan pada foramen vertebralis.
12
Selain pemeriksaan penunjang di atas, kami menganjurkan pemeriksaan berikut ini pada
pasien.
Evaluasi tanda vital, terutama tekanan darah untuk membuktikan adanya hipotensi
ortostatik.
CT Scan untuk menyingkirkan diagnosis sindrom Parkinson selain Parkinson Diseases.
F. Diagnosis
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang kelompok kami
menetapkan diagnosis kerja yaitu Deconditioning Syndrome .Pada pasien ini didapati
bermacam gangguan antara lain dari faktor fisik sendiri berupa kekakuan otot yang
disebabkan oleh penyakit Parkinson pada pasien, ketidakseimbangan, nyeri tulang
(osteoporosis) dan masalah kaki yang dapat menyebabkan imobilisasi. Selain itu penyebab
lain dari imobilisasi yang terdapat pada pasien ini antara lain spondyolisis, faktor psikologis
berupa depresi yang diderita pasien empat tahun lalu juga diperkuat dari hasil alloanamnesis
yang menerangkan bahwa aktivitas pasien mulai berkurang dan lebih banyak berbaring di
tempat tidur.4
G. Patogenesis Skenario
Berdasarkan anamnesis yang telah dilakukan pada pasien, diketahui bahwa kurang lebih 4
tahun yang lalu pasien berobat ke dokter saraf karena menderita stress yang dipicu oleh
kerugian milyaran rupiah. Lalu pada pasien muncul gejala-gejala depresi, sehingga dokter
saraf merujuk pasien ke dokter jiwa. Setelah diberikan pengobatan di dokter jiwa baik
farmakologi dan terapi konseling, setahun kemudian pasien sudah mulai bisa menerima
keadaannya, tetapi semenjak itu pasien mulai menunjukkan gejala-gejala Parkinson seperti
wajah tanpa ekspresi dan gerakan melambat, dan juga gerakan-gerakan spontan, yang
dicurigai adalah efek samping dari pengobatan yang diberikan oleh dokter jiwa, atau
memang pasien mengidap penyakit Parkinson yang manifestasinya mirip dengan efek
samping beberapa obat-obatan yang diberikan oleh dokter jiwa.
13
Setelah terjadi gejala Parkinson, pasien kembali dibawa ke dokter saraf dan diberikan obat
levodopa yang berfungsi untuk menekan gejala-gejala Parkinson, dan amlodipin yang
kemungkinan diberikan untuk mengobati hipertensi yang dialami pasien (keluarga pasien
memiliki riwayat hipertensi dan stroke), yang kemudian dikatakan pasien keluhannya
berkurang. Ini menguatkan hipotesis bahwa pasien menderita penyakit Parkinson yang dapat
disebabkan oleh stress, depresi, dan juga proses neurodegenerative yang akan bermanifestasi
sebagai bradikinesia, rigiditas, tremor, dan hilangnya refleks postural pada pasien.5
Semenjak 1 tahun lalu, pasien sering merasa nyeri dan kaku pada tengkuk, terutama di
sebelah kanan, hilang timbul, dan kadang nyeri terasa sampai ke kepala dan dirasa terutama
bila pasien banyak aktivitas. Bila beristirahat nyeri akan berkurang. Akhir-akhir ini pasien
sering merasa pusing keleyengan (dizziness), dan saat berdiri dan berjalan terasa tidak stabil,
hal ini kemungkinan karena adanya hipotensi postural yang dialami pasien. Bila pasien
meminum obat yang diberi oleh dokter saraf setelah pasien pergi ke dokter saraf, pasien
merasa ngantuk sehingga lebih banyak berbaring, namun rasa pusingnya berkurang.
Kemungkinan obat yang diberikan dokter saraf memiliki efek sedative sehingga membuat
pasien merasa mengantuk, sehingga menyebabkan pasien mengurangi aktivitas dan lebih
banyak berbaring, dibarengi dengan adanya hilangnya refleks postural menandakan bahwa
kemungkinan pasien jatuh ke dalam keadaan imobilisasi (deconditioning syndrome), dan
nyeri yang dialami dapat dicurigai sebagai karakteristik nyeri yang disebabkan oleh
hipertensi, atau kekakuan sendi karena jarang digerakkan.6
Pasien mengatakan juga bahwa pasien pernah jatuh saat mau buang air kecil di kamar
mandi, tapi tidak menimbulkan keluhan berarti. Setelah beberapa kali berobat, pasien
dirujuk ke rehabilitasi medik dan saat ini dari duduk ke berdiri pasien membutuhkan
pertolongan, jalan perlu diawasi karena terasa tidak stabil, kadang-kadang mengompol, dan
naik turun tangga perlu pertolongan.
Berdasarkan informasi di atas dapat diinterpretasikan pasien menderita dizziness berupa
disekuilibrium, yaitu suatu rasa dari tidak kukuh atau ketidakseimbangan dengan ciri-ciri
adanya gangguan keseimbangan dan kesulitan mempertahankan postur saat berdiri dan
14
berjalan.7 Disekuilibrium ini seringkali disebabkan oleh adanya gangguan kontrol motorik,
dan beberapa defisit sensoris tunggal atau multipel, dan pada pasien ini yang paling mungkin
adalah gangguan sistem saraf pusat yang mempengaruhi mobilitas seperti penyakit
Parkinson.8
Untuk keterangan hipotensi postural dan kadang-kadang mengompol, dapat terjadi
kemungkinan bahwa semakin bertambahnya usia, refleks baroreseptor dan refleks miksi
yang diatur oleh sistem saraf otonom semakin berkurang, sehingga bisa memunculkan gejala
seperti berikut.
Keterangan dari riwayat kebiasaan yang menjelaskan bahwa beberapa tahun terakhir pasien
aktivitasnya sangat berkurang dan lebih banyak berbaring menjelaskan bahwa pasien sangat
besar kemungkinannya untuk jatuh ke dalam kondisi imobilisasi (deconditioning syndrome).
Kondisi imobilisasi (deconditioning syndrome) yang dapat dipicu karena penyakit
Parkinson, depresi, dan rasa nyeri baik karena kekakuan sendi, akan menimbulkan
komplikasi seperti osteoporosis yang menyebabkan hilangnya massa tulang yang berpotensi
menimbulkan kekacauan postur pada pasien dan juga proses degeneratif pada pasien
ditambah aktivitas yang kurang sangat memungkinkan terjadinya spondylosis cervical.
Imobilisasi juga akan menyebabkan timbulnya rasa nyeri pada sendi karena adanya
kontraktur karena lama tidak digerakkan, sehingga menjelaskan mengapa pada pasien
terlihat spasme pada otot-otot, kelenturan berkurang, dan gangguan gaya jalan. Imobilisasi
(deconditioning syndrome), bersama dengan penyakit Parkinson, juga menyebabkan
hipotensi postural pada pasien sehingga menjelaskan keluhan dizziness yang dialami pasien
ini.6
Depresi dan proses neurodegenerative Penyakit Parkinson aktivitas yang sangat
berkurang, riwayat trauma, efek sedasi dari obat yang diberi dokter imobilisasi yang lama
osteoporosis, spondylosis cervical, kekacauan postur tubuh yang disebabkan oleh
osteoporosis, kelemahan otot, kontraktur sendi sehingga nyeri, dan hipotensi postural
15
disekuilibrium yang bermanifestasi sebagai pusing keleyengan, gangguan keseimbangan dan
kesulitan mempertahankan postur terutama saat berdiri dan berjalan.
H. Tatalaksana
Non medika mentosa
1. Olahraga teratur Berenang, salah satu latihan pilihan karena melibatkan semua otot dan sendi di
lingkungan gravitasi rendah;
Memperlambat gerakan otot memperluas latihan seperti peregangan, yoga, pendakian,
tai chi, Pilates metode.
2. Anjuran terapi hormonal (estrogen)Terapi hormon estrogen bertujuan untuk membantu panyerapan kalsium.
3. Rehabilitasi pada penyakit ParkinsonSeperti latihan gelang bahu dengan tongkat, latihan ekstinsi trunkus, latihan frankle
untuk berjalan menapakan kaki pada tanda tanda-tanda di lantai, latihan isometrik unutk
otot quadriceps femoris dan otot ekstensor panggul agar memudahkan menaiki tangga
dan bangkit dari kursi.
Medikamentosa
1. Agonis dopamine (Bromocriptine, Pergolide, Pramixole, Ropinirol)Obat yang memiliki efek serupa dopamine pada reseptor D1 maupun D2. Di dalam
badan tidak akan mengalami konversi, sehinga dapat digunakan sebagai obat tunggal
pengganti levodopa.
2. Antikolinergik ( Benztropin, Triheksilfenidil, Biperiden)Obat ini menghambat aksi neurotransmiter otak yang disebut asitilkolin. Obat ini
membantu mengkoreksi keseimbangan antara dopamine dan asetilkolin, sehingga dapat
mengurangi gejala tremor.
3. Antioksidan
16
Antioksidan diberikan untuk memproteksi dan menangkal radikal bebas yang masuk ke
dalam tubuh si pasien.
4. Antiinflamasi (ibufrofein)
Antiinflamasi untuk mengatasi nyeri leher pada pasien ini.
5. Relaksan otot (Carisoprodol, metocarbamol)
Obat relaksan untuk mengatasi spasme yang dialami oleh pasien pada lehernya.
6. Vitamin D
Vitamin D yang diberikan ntuk membantu pembentukan tulang.
I. Prognosis
Ad Vitam : Dubia ad Bonam
Masalah-masalah yang ada pasien umumnya tidak mengancam kehidupan, namun tetap ada
resiko dikarenakan fungsi otak dan musculoskeletal yang menurun dapat meningkatkan resiko
terjadinya kecelakaan yang dapat mengancam jiwa.
Ad Functionam : ad Malam
Sel saraf merupakan salah satu sel yang sulit regenerasi, seiring bertambahnya umur maka
kemampuan regenerasi sel saraf akan berkurang dan mempersulit proses penyembuhan.
Sedangkan pada sistem musculoskeletal proses destruksi lebih cepat dari proses konstruksi hal
ini akan mempersulit dalam penanganan fraktur pada geriatri.
Ad Sanationam : Dubia ad Malam
Proses penyembuhan pada orang tua akan terjadi lebih lambat, walaupun efek samping dari
obat-obatan dapat diatasi namun resiko terjadinya Parkinson tetap tinggi karena adanya proses
degenerative pada sistem saraf.
17
18
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
A. SINDROM DEKONDISI (DECONDITIONING SYNDROME)
DEFINISI
Sindrom Dekondisi adalah suatu kumpulan gejala yang merupakan akibat dari penurunan
kapasitas fungsional atau penurunan kemampuan dari fungsi-fungsi tubuh disebabkan oleh
imobilisasi atau degenerasi yang bersifat fisiologis.
EPIDEMIOLOGI
Efek dari sindrom dekondisi pada pasien dengan imobilisasi yang lama bisa terjadi pada semua
orang tetapi kebanyakan terjadi pada orang-orang lanjut usia, atau pascaoperasi yang
membutuhkan tirah baring lama. Dampak yang terutama muncul ialah dekubitus mencapai 11%
dan terjadi dalam kurun waktu 2 minggu, perawatan emboli paru berkisar 0,9%,dimana tiap
200.000 orang meninggal pertahunnya.
ETIOLOGI
Biasanya sindrom dekondisi terjadi akibat penyakit yang diderita oleh pasien-pasien yang
memerlukan tirah baring jangka lama, seperti pasien koma/tidak sadarkan diri, patah tulang
belakang atau kaki. Sindrom ini dapat disebabkan oleh karena:
1. Kelainan atau lesi neuromuskular, seperti paralisis
2. Keperluan ortopedik
3. Sakit parah yang memerlukan bed rest
4. di tempat dengan gravitasi kecil dalam waktu yang lama seperti di luar angkasa
19
5. Berada di tempat dengan gravitasi yang lebih rendah dalam waktu yang lama, seperti
duduk atau berbaring dengan lama.
Selain itu, berbagai faktor fisik, psikologis, dan lingkungan dapat menyebabkan imobilisasi
terutama pada usia lanjut. Berikut merupakan penyebab umum imobilisasi pada usia lanjut yang
menimbulkan sindrom dekondisi:
Gangguan Muskuloskeletal
Artritis
Osteoporosis
Fraktur (femur)
Gangguan Neurologis
Stroke
Penyakit Parkinson
Neuropati
Disfungsi Sereberal
Penyakit Kardiovaskular Gagal Jantung Kongesif
Penyakit Jantung Koroner (nyeri dada)
Penyakit Paru PPOK
Faktor Sensorik Gangguan Penglihatan
Lain-lain Malnutrisi
Depresi
EFEK IMOBILISASI JANGKA LAMA
Imobilisasi adalah ketidakmampuan untuk bergerak secara aktif akibat berbagai penyakit atau
impairment (gangguan pada alat/organ tubuh) yang bersifat fisik atau mental. Imobilisasi dapat
juga diartikan sebagai suatu keadaan tidak bergerak / tirah baring yang terus-menerus selama 5
hari atau lebih akibat perubahan fungsi fisiologis. Di dalam praktek medis imobilisasi digunakan
untuk menggambarkan suatu sindrom degenerasi fisiologis akibat dari menurunnya aktivitas dan
ketidakberdayaan. Imobilisasi yang lama dan inaktivitas dapat mengurangi aktivitas metabolik.
20
Dan hal ini menyebabkan terjadinya penurunan fungsi dari berbagai sistem tubuh dengan
manifestasi klinis berbagai macam. Sistem organ tubuh yang dapat berdampak dari sindrom
dekondisi ini adalah sistem kardiorespirasi, sistem muskuloskeletal, sistem susunan saraf, sistem
gastrointestinal, sistem genitourinaria.
1. Sistem Kardiovaskular
Perubahan pada sistem kardiovaskular yang terjadi pada imobilisasi disebabkan karena
kurangnya stimulus gravitasi. Imobilisasi dapat menyebabkan penurunan total bloodvolume,
volume plasma, dan hemoglobin yang disebabkan karena diuresis. Dengan demikian maka
viskositas darahpun meningkat, hal ini menyebabkan darah menjadi kental dan ditambah
dengan penurunan aliran vena pada akhirnya akan meningkatkan resiko terjadinya
tromboemboli. Selain itu dapat juga terjadi manifestasi berupa:
Peningkatan heart rate
Hal ini disebabkan oleh karena peningkatan aktivitas dari sistem saraf simpatis. Dengan
meningkatnya heart rate, akan menyebabkan penurunan waktu pengisian diastolik dan
penurunan waktu ejeksi sistolik
Penurunan waktu pengisian diastolik
Disebabkan karena meurunan aliran koroner jantung dan penurunan oksigen yang
tersedia untuk otot jantung
Penurunan curah jantung
Penurunan stroke volume
Penurunan fungsi ventrikel kiri
Hipotensi ortostatik
Dimulai setelah 3 minggu dalam masa imobilisasi dan ini disebabkan karena excessive
pooling dari darah pada ekstremitas bawah danpenurunan sirkulasi darah
20 hari atau lebih dari bed rest dapat menyebabkan penurunan 25% dari stroke volume
dan peningkatan 20% dari heart rate2.
2. Sistem Kardiopulmonal
21
Pada system kardiopulmonal dapat terjadi penurunan FRC, volume residual dan FEV. Hal
ini bisa menyebabkan penurunan transport oksigen dari paru-paru ke seluruh jaringan tubuh.
Selain itu, imobilisasi yang disertai penurunan aktivitas dapat menyababkan sekresi lendir
yang berasal dari paru-paru ikut terganggu sehingga dapat mempengaruhi distribusi udara di
paru-paru. Di samping itu, dapat pula terjadi hal-hal seperti berikut:
Penurunan volume tidal
Penurunan kemampuan untuk mengkontraksikan otot pernafasan untuk mencapai
inspirasi penuh
Penurunan kekuatan otot pernafasan
Meningkatnya respiratory rate untuk mengompensasi penurunan kapasitas respirasi
Penurunan venstilasi dan peningkatan perfusi yang menyebabkan AV shunting dan
menurunkan oksigenasi
Ketidakmampuan untuk membersihkan lendir, sehingga terjadi akumulasi yang mana
dapat menutup jalan nafas dan menyebabkan atelektasis dan meningkatkan resiko
terjadinya pneumonia
3. Integument
Imobilisasi dikatakan sebagai faktor resiko utama pada munculnya luka dekubitus baik di
rumah sakit maupun di komunitas. Kondisi ini dapat meningkatkan waktu penekanan
pada jaringan kulit, menurunkan sirkulasi dan selanjutnya mengakibatkan luka dekubitus.
Efek pada kulit yang timbul akibat sindrom ini adalah:
Celular necrosis pada area tertentu
Ulkus dekubitus dan komplikasinya seperti: infeksi, osteomyelitis, septicemia, anemia,
kehilangan protein dan periostitis)
Pencegahan dekubitus dapat dilakukan dengan membalikan pasien setiap 2 jam.
4. Sistem Muskuloskeletal
22
a. Kekuatan Otot
Total imobilisasi, dapat secara bertahap mengurangi sekitar 0,7 sampai 1,5 persen daritotal
kekuatan otot. Penurunan ini, biasanya terjadi setelah minggu pertama imobilisasi. Selain
itu, tidak semua otot memunculkan penurunan yang sama. Penurunan kekuatan otot ini
disebabkan oleh atrofi dari otot.
Derajat keparahan dari atrofi otot ini tergantung dari kausa dan lamanya terjadi imobilisasi.
Contohnya pada lesi pada lower motor neuron, terjadi penururnan muscle bulk sebesar 90-
95 persen. Sedangkan lesi pada upper motor neuron hanya menurunkan muscle bulk sebesar
30-35 persen. Atrofi terjadi pada serat otot tipe 1 dan 2, tetapi tipe 1 lebih berperan dalam
atrofi yang disebabkan oleh imobilisasi. Pada atrofi, jika proses pemulihan tidak terjadi
maka serat otot akan digantikan oleh jaringan ikat. Proses ini dapat dimulai sejak 1 minggu
dari imobilisasi, dan hal ini dapat menyebabkan terjadinya kontraktur. Posisi juga
memegang peranan penting dalam proses ini. Otot yang di imobilisasi dalam posisi yang
memendek juga akan menyebabkan terjadinya penurunan yang lebih cepat.
b. Sendi
Imobilisasi juga dapat memengaruhi sendi. Kartilago hialin pada sendi mendapatnutrisi dari
pergerakan cairan synovial yang didapat pada pergerakan sendi. Selama terjadi imobilisasi,
proses ini berhenti. Dan hal itu menyebabkan kekurangan nutrisi pada kartilago hialin, dan
akhirnya terjadi penuruann ketebalan dari kartilago pada persendian sebanyak 9 persen
setelah 11 minggu.
Kontraktur menyebabkan kehilangan range of motion (ROM) dari sendi. Itu dapat
disebabkan oleh ketegangan dari jaringan ikat, otot dan kapsul sendi atau bisa juga dari
kelainan sendi. Namun, pada orang yang di imobilisasi, faktor mekanis merupakan
faktoryang penting. Apabila otot dipertahankan dalam kondisi sedang memendek, serat otot
dan jaringan ikat beradaptasi pada kondisi memendek tersebut dan akhirnya menyebabkan
kontraktur. Selain hal di atas dapat juga terjadi:
Penurunan massa tulang karena meningkatnya resorbsi tulang
Kehilangan tulang trabekular yang lebih dari tulang kortikal
Peningkatan resiko fraktur, dan nyeri punggung kronis
Osteoporosis karena meningkatnya resorbsi tulang
23
5. Sistem Saraf
Perubahan sistem saraf pada umunya disebabkan oleh karena inaktivitas dan penurunan
stimulasi sensoris. Pada awalnya, gejalanya dapat berupa penurunan atau reaksi yang tidak
semestinya terhadap rangasangan dari luar. Aktivitas pada kortikal dan sistem autonom juga
berkurang. karena itu, stimulasi sensori, aktivitas, dan latihan dapat dilakukan untuk
menghindari hal ini. Selain itu dapat juga terjadi:
Gelisah
Depresi
Gangguan tidur
Gangguan koordinasi dan keseimbangan
Gangguan tingkah laku
Neuropati kompresi
6. Sistem Gastrointestinal
Pada sistem GIT dapat menimbulkan efek seperti:
Anoreksia
Malnutrisi
Konstipasi
Penurunan motilitas usus
Refluks esofagus
Aspirasi saluran napas
Peningkatan risiko perdarahan gastrointestinal
7. Sistem Metabolik dan Endokrin
Perubahan metabolik dan endokrin disebabkan oleh tidak adanya stimulasi gravitasi. Pada
saat imobilisasi terjadi penurunan basal metabolic rate. Biasanya hormon tiroid akan
meningkat sedangkan yang lainnya seperti, ACTH, norepinefrin, kortikosteroid, dan
aldosteron biasanya akan menurun. Selain itu, karena adanya penurunan masa otot dan
24
demineralisasi tulang, maka kalsium, kreatinin, magnesium , dan fosfor akan diekskresikan
dalam jumlah yang lebih banyak. Selain itu terjadi juga:
Negative nitrogen balance
Intoleransi glukosa
Hiperkalsemia
Penurunan hormon paratiroid
Batu ginjal
Gangguan circardian rythm
Gangguan hormon pertumbuhan
Peningkatan plasma rennin
8. Sistem Genitourinaria
Pada sistem genitourinaria, efek dari imobilisasi yang lama akan menyebabkan:
Penurunan miksi
Meningkatnya resiko UTI
Meningkatnya resiko pembentukan kalkulus
Penurunan GFR
9. Sistem Imunologi
Mekanisme pasti bagaimana imobilisasi memengaruhi sistem imun masih belum
diketahui. Namun dalam beberapa penelitian dikatakan bahwa imobilisasi yang lama
dapat menyebabkan terjadinya penurunan level antibodi sehingga lebih rentan terhadap
infeksi.
ORGAN EFEK
Muskuloskeletal Osteoporosis, penurunan masa tulang, hilangnya
kekuatan otot, kontraktur, degenerasi sendi rawan,
ankilosis, berkurangnya volum sendi
Kardiopulmonal dan pembuluh darah Peningkatan denyut nadi istirahat, penurunan perfusi
miokard, intoleren terhadap ortostatik, penurunan
pengambilan oksigen maksimal (VO2 max),
25
deconditioning jantung, penurunan volum plasma,
atelektasis paru, pneumonia, peningkatan vena stasis,
peningkatan agregasi trombosit, dan hiperkoagulasi.
Integumen Peningkatan resiko ulkus dekubitus dan maserasi
kulit
Metabolik dan Endokrin Keseimbangan nitrogen negative, hiperkalsiuria,
natriuresis dan deplesi natrium, resistensi insulin
(intoleransi glukosa), hiperlipidemia sera penurunan
absorbsi dan metabolisme vitamin dan mineral.
Neurologi dan Psikiatri Depresi dan psikosis, atrofi korteks motorik dan
sensorik, gangguan keseimbangan, penurunan fungsi
kognitif.
Gastrointestinal dan Urinarius Inkontenensia urin, infeksi saluran kemih,
pembentukan batu kalsium, distensi kandung kemih,
impaksi feses, konstipasi, penurunan motilitas usus,
refluks esofagus, aspirasi saluran nafas dan
peningkatan perdarahan gastrointestinal.
PENATALAKSANAAN
Farmakologis berupa obat-obatan diberikan sesuai dengan sistem organ tubuh yang terkena.
Selain farmakologis, fisioterapi juga memegang peranan penting dalam penatalaksaan sindrom
dekondisi ini. Tujuan dari rehabilitasi medik pada kasus ini adalah untuk mencegah perburukan
sindrom dekondisi dan mengembalikan kemampuan fungsional secara optimal, sehingga bagi
pasien yang terkena penyakit yang dideritanya diharuskan tirahbaring dalam jangka lama tidak
mengalami gangguan-gangguan pada berbagai macam sistem tubuh.
26
Program Rehabilitasi Medik
Program Terapi Fisik
o Progam ini berguna untuk mengembalikan flexibilitas sendi, mencegah
kontraktur, dan persiapan sebelum dilakukan terapi latihan (remedial exercise),
dapat diberikan Terapi panas Kering (dry heat) dengan lampu infra red, lampu
biasa, botol air panas dan bantal pemanas listrik.
o Memberikan Terapi Latihan (remedial exercise) pasif, yang meliputi Latihan
Lingkup Gerak Sendi (ROM exercise), Latihan Penguatan Otot (strengthening
exercise) dan Latihan pernafasan (breathing exercise).
o Kalau keadaan pasien sudah memungkinkan, dapat diberikan terapi latihan aktif,
yakni melatih mobilisasi bertahap dengan latihan miring kanan-kiri (rolling),
dilanjutkan dengan latihan duduk (sitting balance), dan latihan jalan (ambulasi)
diberikan jiak sudah memungkinkan.
Program Terapi Okupasi
o Mengadakan evaluasi, melatih dan mengembangkan kemampuan pasien
untuk melakukan aktivitas sehari-hari (AKS) dan aktivitas yang sederhana sampai
aktivitas yang kompleks.
o Jika diperlukan, dapat diberikan edukasi menelan, miksi, dan defekasi.
Program Psikologi
o Mengadakan evaluasi dan memperbaiki keadaan psikologis pasien yang
berhubungan dengan penyakit atau keadaan yang diderita pasien, disesuaikan
dengan kapasitas intelektual pasien.
o Evaluasi demensia, depresi, dan gangguan fungsi kognitif jikalau ada.
27
B. DIZZINESS9
Dizziness (pusing kepala) merupakan salahsatu bentuk keluhan yang sering digunakan
olehpasien untuk menerangkan bahwa pada dirinya terjadi rasa tak nyaman atau tak
menyenangkan sehingga terganggu keseimbangan tubuhnya. Istilah dizziness memberikan
pengertian yang bervariasi, tergantung pada keadaan atau penyakit yang mendasari. Secara garis
besar dizziness dapat dibagi dalam 4 kategori, yang digunakan untuk petunjuk evaluasi klinik :
a. Vertigo (spinning = berputar): terjadi pada pergerakan atau perubahan posisi. Hal ini
menunjukkan adanya gangguan pada sistem vestibular.
b. Dysequilibrium (imbalance = tidak seimbang): menimbulkan perasaan khawatir akan
jatuh. Hal ini menunjukkan suatu gangguan neurologis, tetapi bisa juga refleks gangguan
vestibular.
c. Near-sinkop (fainting = lemah seperti hampir pingsan): perasaan seperti akan kehilangan
kesadaran. Umumnya disebabkan oleh gangguan sistem kardiovaskuler.
d. Nonspecific dizziness : Suatu rasa pusing yang tidak spesifik, bukan gambaran dari suatu
penyakit organik. Keluhan pusing ini tidak menggambarkan ketiga kategori yang
diterangkan diatas. Umumnya merupakan keluhan penyakit psikogenik.
EPIDEMIOLOGI
Keluhan pusing kepala (dizziness) memang hal yang sangat umum, namun dari studi yang
dilaporkan ternyata insidensi dan prevalensinya sangat sedikit. Umumnya keluhan dizziness
berhubungan dengan peningkatan risiko kematian. Pada usia lanjut, dizziness sering disertai
dengan keluhan seperti akan kehilangan kesadaran (sinkop). Oleh karena itu dizziness dan sinkop
merupakan keluhan yang saling berpasangan.
28
ETIOLOGI
Neurologis: Perifer (labirin atau saraf kokleovestibular): Vestibulopati, penyakit Meniere,
efek toksis medikamentosa (aminoglikosida, diuretik, quinidin, salisilat), pascatrauma,
benign paroxysmal position vertigo.
Sentral (batang otak, serebelum, dan serebrum): iskemia, infark, perdarahan,
demielinisasi (multipel sklerosis, pasca infeksi, paraneoplastik), tumor ( meningioma,
metastasis), seizures (menghilangkan) lobus temporal, efek toksis dari obat: fenitoin,
litium, benzodiazepin.
Sistemik: 1). Kardial, misalnya pada hipotensi, 2). Toksin (arsen), 3). Metabolik (diabetes
melitus, hipotiroid)
Psikiatrik: ansietas, psikotik, dan gangguan afektif
Penyebab multipel
Dilaporkan bahwa 38% keluhan dizziness pada usia lanjut disebabkan oleh neurologis
perifer, 11% gangguan neurologis sentral, 8% pasien dengan penyakit sistemik, 32%
pasien dengan kelainan psikiatrik, 13% adanya defisit sensoris multipel, dan 9% tak
diketahui penyebabnya. Evaluasi diagnostik dari keluhan dizziness pada usia lanjut dapat
ditelusuri melalui algoritme terlampir.
PENGOBATAN
Terapi dizziness tergantung pada penyakit dasarnya. Pengobatan simtomatik seperti sedatif hanya
berefek terbatas, sedangkan kemungkinan efek samping seperti jatuh dan rasa bingung sangat
meningkat pada usia lanjut, padahal usia lanjut umumnya menderita berbagai masalah seperti
instability, impairment in vision and hearing yang sangat rentan terhadapa obat-obatan.
Anamnesis yang teliti sangat diperlukan dalam menentukan pengobatan di samping pemeriksaan
fisik dan penunjang.
Pada benign paroxysmal position vertigo (BPPV), menurut Lipzitd dkk. desensitasi dengan
latihan suatu seri gerakan perpindahan posisi dapat memperbaiki keadaan dizzine
BAB V
29
KESIMPULAN
Pada kasus ini, pasien didiagnosis menderita deconditioning syndrome. Pada pasien ini
didapati bermacam gangguan antara lain dari faktor fisik sendiri berupa kekakuan otot yang
disebabkan oleh penyakit Parkinson pada pasien, ketidakseimbangan, nyeri tulang (osteoporosis)
dan masalah kaki yang dapat menyebabkan imobilisasi. Selain itu penyebab lain dari imobilisasi
yang terdapat pada pasien ini antara lain spondyolisis, faktor psikologis berupa depresi yang
diderita pasien empat tahun lalu Diagnosis dan keluhan- keluhan ini ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, riwayat penyakit dahulu, dan riwayat
penyakit sekarang. Penatalaksanaan umum pada pasien ini dengan farmakoterapi dan non
farmako terapi. Bila dilakukan penatalaksanaan dengan benar dan pasien beserta keluarganya
mau mengikuti apa yang dianjurkan dokter dengan baik, prognosis pada pasien ini diharapkan
menjadi baik.
BAB VI
30
DAFTAR PUSTAKA
1. Walker MF, Daroff RB. Dizziness and Vertigo. Longo, Fauci, Kasper, editors. Harrison’s
Principles of Internal Medicine. 18th ed. USA: McGraw-Hill Companies; 2012; p.178.
2. Sherwood L. Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem. 6th ed. Jakarta: EGC; 2011. p.330-
9.
3. Low AP, Engstrom JW. Disorders of the Autonomic Nervous System. Longo, Fauci,
Kasper, editors. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 18th ed. USA: McGraw-Hill
Companies; 2012; p. 3351-5.
4. Setiati S, Roosheroe AG. Imobilisasi Pada Usia Lanjut. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, Editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5th ed.
Jakarta: Interna Publishing; 2009. p. 859.
5. Rahayu RA. Penyakit Parkinson. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,
Setiati S, Editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5 th ed. Jakarta: InternaPublishing;
2009. p. 852-3
6. Setiati S, Roosheroe AG. Imobilisasi Pada Usia Lanjut. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, Editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5 th ed.
Jakarta: InternaPublishing; 2009. p. 859-62.
7. Sudarsky L. Gait and Balance Disorders. In: Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser
SL, Jameson JL, Loscalzo J, Editors. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 18 th ed.
United States of America: McGrawHill; 2012. p. 194.
8. Probosuseno, Husni NA, Rochmah W. Dizziness pada Lanjut Usia. In: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, Editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. 5th ed. Jakarta: InternaPublishing; 2009. p. 827-8.
9. Rochmah W, Probosuseno. Dizzeness dan Sinkop. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV.
Jakarta: FKUI; 2006. P.1372.
31