Post on 21-Jun-2018
1ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan II - 2007
SUSUNAN PENGURUSBULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN
Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan MoneterBank Indonesia
PelindungPelindungPelindungPelindungPelindungDewan Gubernur Bank Indonesia
Dewan EditorDewan EditorDewan EditorDewan EditorDewan EditorProf. Dr. Anwar Nasution
Prof. Dr. Miranda S. GoeltomProf. Dr. Insukindro
Prof. Dr. Iwan Jaya AzisProf. Iftekhar HasanDr. M. Syamsuddin
Dr. Perry WarjiyoDr. Halim Alamsyah
Dr. Iskandar SimorangkirDr. Solikin M. JuhroDr. Haris Munandar
Dr. Andi M. Alfian Parewangi
Pimpinan EditorialPimpinan EditorialPimpinan EditorialPimpinan EditorialPimpinan EditorialDr. Perry Warjiyo
Dr. Iskandar Simorangkir
Direktur EksekutifDirektur EksekutifDirektur EksekutifDirektur EksekutifDirektur EksekutifDr. Andi M. Alfian Parewangi
SekretariatSekretariatSekretariatSekretariatSekretariatToto Zurianto, MBA
MS. Artiningsih, MBA
Buletin ini diterbitkan oleh Bank Indonesia, Direktorat Riset Ekonomidan Kebijakan Moneter. Isi dan hasil penelitian dalam tulisan-tulisandibuletin ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukanmerupakan pandangan resmi Bank Indonesia.
Kami mengundang semua pihak untuk menulis pada buletin inipaper dikirimkan dalam bentuk file ke Direktorat Riset Ekonomi danKebijakan Moneter, Bank Indonesia Gedung Sjafruddin Prawiranegara Lt. 20;Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta Pusat, email : paper.bemp@gmail.com
Buletin ini diterbitkan secara triwulan pada bulan April, Juli, Oktober danJanuari, bagi yang ingin memperoleh terbitan ini dapat menghubungiSeksi Publikasi - Bagian Administrasi, Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter,Bank Indonesia Gedung Sjafruddin Prawiranegara Lt. 2; Jl. M.H. Thamrin No. 2,Jakarta Pusat, telp. (021) 381-8206. Untuk permohonan berlangganan:telp. (021) 3818202, fax. (021) 3802283, email: tsubandoro@bi.go.id.
BULETIN EKONOMI MONETERDAN PERBANKAN
Volume 12, Nomor 3, Januari 2010
Analisis Triwulanan: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran
Triwulan IV - 2009
Tim Penulis Laporan Triwulanan, Bank Indonesia
Fenomena Labor Shifting Dalam Pasar Tenaga Kerja Indonesia
Meily Ika Permata, Yanfitri, Andry Prasmuko
Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiah dan
Kinerja Perekonomian Indonesia
Sugeng, M. Noor Nugroho, Ibrahim, Yanfitri
Analisis Determinan Perubahan Penawaran Barang Ekspor Indonesia
Sarwedi
Dampak Krisis Keuangan Global Terhadap Perekonomian Daerah
Andry Prasmuko, Donni Fajar Anugrah
269
355
377
263
311
263ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2009
ANALISIS TRIWULANAN:Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran,
Triwulan IV - 2009
Tim Penulis Laporan Triwulanan, Bank Indonesia
Perekonomian Indonesia di tahun 2009 menunjukkan daya tahan yang cukup kuat di
tengah krisis ekonomi global. Hal ini tercermin oleh tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia
yang sampai dengan triwulan III-2009 masih mampu tumbuh di atas 4%. Dan untuk keseluruhan
tahun 2009, Bank Indonesia memperkirakan perekonomian Indonesia dapat tumbuh sebesar
4,3%. Ke depan, untuk tahun 2010 dan 2011, perekonomian Indonesia diperkirakan akan
tumbuh lebih tinggi sejalan dengan tingkat pemulihan perekonomian dunia yang lebih baik,
semakin kondusifnya pasar keuangan dan perbankan yang dibarengi dengan terjaganya kondisi
fundamental domestik. Perekonomian Indonesia di tahun 2010 diperkirakan akan tumbuh
mencapai kisaran 5,0-5,5% dan pada tahun 2011 menjadi 6,0-6,5%.
Di sisi perekonomian global, Bank Indonesia memandang bahwa proses pemulihan
ekonomi global masih terus berlanjut. Pemulihan tersebut bahkan dirasakan semakin kuat dan
merata terjadi di berbagai negara dan sektor ekonomi. Berbagai kebijakan yang ditempuh oleh
otoritas fiskal dan moneter selama tahun 2009 telah mampu menahan kejatuhan perekonomian
dunia yang lebih dalam. Tanda-tanda pemulihan kondisi perekonomian menguat mulai dirasakan
sejak triwulan II-2009. Motor penggerak perekonomian dunia untuk dapat terus bertumbuh di
tengah krisis adalah perekonomian di kawasan Asia, seperti China, Korea, dan India. Dampak
positif membaiknya kinerja ekonomi negara-negara tersebut dirasakan oleh negara lain di
kawasan, termasuk Indonesia, melalui meningkatnya permintaan barang-barang ekspor. Lebih
lanjut, paket stimulus yang diluncurkan pemerintah di negara maju yang disertai dengan
membaiknya sumber pembiayaan dari perbankan dan tingkat keyakinan konsumen, mendukung
perbaikan konsumsi sejak paruh kedua tahun 2009. Meski demikian, proses pemulihan ekonomi
global masih dibayangi oleh berbagai faktor risiko. Beberapa risiko tersebut diantaranya berkaitan
dengan masih tingginya tingkat pengangguran serta realisasi defisit fiskal di Amerika Serikat
yang cukup tinggi sehingga menimbulkan kekhawatiran di kalangan pelaku pasar terkait dengan
kesinambungan operasi keuangan AS.
264 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Perbaikan pada perekonomian global juga masih tercermin pada pasar keuangan global
yang menunjukkan perkembangan positif. Meski di awal tahun intensitas tekanan di pasar
keuangan global masih tinggi, di akhir tahun 2009 tekanan tersebut mulai mereda. Hal ini
didukung oleh optimisme terkait terus berlangsungnya pemulihan ekonomi global dan
membaiknya kinerja lembaga keuangan di negara maju. Berbagai perkembangan tersebut
telah menumbuhkan persepsi positif sehingga mendorong kenaikan harga aset di pasar
keuangan global sejak triwulan II-2009. Optimisme terhadap kondisi ekonomi global tersebut
mendorong kinerja pasar keuangan dunia yang semakin baik. Indeks harga di pasar saham
global meningkat, sementara persepsi risiko terhadap aset pasar keuangan, baik di negara
maju maupun emerging markets, juga membaik sebagaimana tercermin pada credit default
swaps (CDS) yang menurun.
Berbagai dinamika perekonomian global selama tahun 2009 telah memberikan warna
pada perkembangan ekonomi Indonesia. Pemulihan yang terjadi di perekonomian global,
bangkitnya ekonomi China dan India, serta kebijakan makroekonomi yang berhati-hati di dalam
negeri telah memberi dampak positif pada perekonomian Indonesia. Di wilayah kawasan,
Indonesia merupakan negara yang menjadi ≈flavour of the day∆ karena daya tahan
perekonomiannya sepanjang tahun 2009 di tengah-tengah krisis global. Tumbuhnya
perekonomian Indonesia tersebut terutama didukung oleh kuatnya permintaan domestik.
Ekspansi ekonomi domestik pada periode tersebut lebih didukung oleh pengeluaran konsumsi
akibat tingginya pengeluaran terkait penyelenggaraan Pemilu, rendahnya inflasi, serta berbagai
stimulus fiskal untuk meningkatkan daya beli masyarakat dan pengurangan pajak. Sementara
itu, seiring dengan proses pemulihan ekonomi dunia yang terus berlanjut dan semakin merata,
serta harga komoditas global yang meningkat, kinerja ekspor Indonesia menunjukkan perbaikan.
Dengan berbagai perkembangan tersebut, pertumbuhan ekonomi untuk keseluruhan 2009
diprakirakan mencapai 4,3%.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang membaik selama tahun 2009 tersebut juga
terkonfirmasi oleh hasil asesmen perekonomian daerah yang dilakukan Bank Indonesia. Secara
umum, perekonomian daerah selama tahun 2009 masih menunjukkan kuatnya konsumsi dan
ekspor sejalan meningkatnya permintaan produk primer dari China, India dan Korea Selatan.
Peningkatan ekspor dari wilayah Sumatera dan Kali-Sulampua (Kalimantan-Sulawesi-Maluku-
Papua) terutama berasal dari komoditas karet, nikel, batubara dan CPO. Membaiknya ekonomi
daerah tersebut juga tidak terlepas dari masih kuatnya konsumsi domestik terutama di
Jabalnustra, Jakarta dan mulai pulihnya aktivitas ekspor, khususnya untuk komoditas perkebunan
dan pertambangan dari Kali-Sulampua dan Sumatera, seiring dengan pulihnya ekonomi dunia.
Sementara itu, realisasi stimulus fiskal telah mencapai 36,2% dan realisasi belanja modal APBD
265ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2009
di Kali-Sulampua dan Jakarta, atau meningkat dibandingkan periode yang sama tahun 2008.
Hal ini memberi sedikit dampak pada membaiknya pertumbuhan investasi di daerah, meski
masih minimal. Di sisi lain, masih kuatnya konsumsi domestik dan membaiknya ekspor komoditas
primer telah direspons oleh meningkatnya aktivitas sektor utama di daerah, yaitu pertanian di
Jabalnustra dan Sumatera, pertambangan di Kali-Sulampua serta sektor tersier di Jabalnustra
dan Jakarta. Selama tahun 2009, meskipun menghadapi terpaan krisis global, kombinasi
ekonomi antara daerah yang berorientasi domestik di Jabalnustra dan Jakarta serta daerah
yang berorientasi ekspor di Sumatera dan Kali-Sulampua telah mampu mempertahankan
pertumbuhan ekonomi nasional daerah pada level yang lebih baik.
Di sisi harga, perekonomian Indonesia di tahun 2009 ditandai oleh tekanan inflasi yang
rendah. Inflasi November tercatat sebesar -0,03% (mtm), atau menurun dibandingkan bulan
sebelumnya (0,19%). Deflasi pada bulan November terutama terkait dengan kembali
terkoreksinya harga barang kebutuhan pokok. Secara tahunan inflasi IHK menurun dibandingkan
bulan sebelumnya menjadi sebesar 2,41% (yoy). Dari sisi non fundamental, terjaganya pasokan
domestik, lancarnya distribusi, dan harga komoditas internasional yang masih relatif rendah
mendukung penurunan inflasi volatile food. Di kelompok administered prices, penurunan
tekanan inflasi yang cukup tajam terkait dengan kebijakan pemerintah untuk menurunkan
harga bahan bakar minyak di awal tahun. Dari sisi fundamental, penurunan tekanan inflasi
terkait dengan faktor eksternal, yaitu penurunan inflasi mitra dagang dan nilai tukar yang
cenderung apresiasi, serta menurunnya ekspektasi inflasi masyarakat. Mencermati
perkembangan tersebut, inflasi tahun 2009 berpotensi lebih rendah dari perkiraan sebelumnya
sebesar 2,9% (y-o-y).
Kinerja Neraca pembayaran Indonesia (NPI) selama tahun 2009 membaik sejalan dengan
perkembangan global yang kondusif. Perbaikan tersebut ditopang oleh kinerja transaksi berjalan
yang membaik sejalan dengan terus menguatnya pemulihan ekonomi global. Selain itu,
berlanjutnya kenaikan harga komoditas ekspor Indonesia, terutama komoditas berbasis sumber
daya alam, turut mendukung perbaikan transaksi berjalan. Surplus transaksi berjalan juga
diprakirakan tetap meningkat di tengah meningkatnya impor nonmigas. Sementara itu,
optimisme pemulihan ekonomi global, yang disertai dengan membaiknya persepsi risiko
terhadap negara emerging markets diprakirakan dapat menjaga kelangsungan arus masuk
modal asing. Sejalan dengan perkembangan Neraca Pembayaran Indonesia tersebut, posisi
cadangan devisa Indonesia pada akhir November 2009 tercatat sebesar USD 65,84 miliar atau
setara dengan 6,5 bulan impor dan pembayaran ULN pemerintah.
266 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Membaiknya kinerja Neraca Pembayaran Indonesia berdampak pada kestabilan nilai tukar
rupiah sepanjang tahun 2009. Secara keseluruhan tahun, rupiah bergerak dengan
kecenderungan menguat. Persepsi positif di kalangan investor global terhadap ekonomi domestik
telah meningkatkan selera risiko (risk appetite) dari investor global terhadap aset pasar keuangan
dalam negeri. Hal ini mendorong aliran masuk modal asing terus masuk ke pasar keuangan
Indonesia. Dengan kondisi tersebut, nilai tukar rupiah mulai mengalami apresiasi sejak triwulan
II-2009 dan mencapai level Rp9.445 per dolar AS pada akhir November atau menguat 15,3%
(p-t-p) dari level Rp10.900 per dolar AS di akhir tahun 2008.
Di pasar keuangan domestik, berbagai perkembangan perekonomian tersebut telah
memberikan dampak positif. Transmisi kebijakan moneter juga membaik yang tercermin pada
respons suku bunga pasar uang dan perbankan pada BI Rate. Di pasar obligasi, transmisi
kebijakan moneter tercermin pada penurunan yield SUN untuk seluruh tenornya dengan tenor
jangka pendek mencatat penurunan yield yang paling besar. Meski demikian, untuk tenor
jangka panjang, transmisi kebijakan masih cenderung lebih terhambat. Hal ini mengindikasikan
persepsi risiko dari para investor jangka panjang yang relatif belum optimal terhadap ekspektasi
inflasi dan prospek sustainabilitas fiskal. Di pasar saham, indeks harga menunjukkan peningkatan.
Kebijakan moneter Bank Indonesia yang diimbangi oleh pemulihan ekonomi global, telah
meningkatkan minat asing pada aset di pasar keuangan emerging markets, serta indikator
makro-mikro ekonomi domestik yang cukup kondusif mendorong kinerja IHSG untuk tumbuh
lebih baik.
Di pasar uang, transmisi suku bunga di pasar uang antar bank (PUAB) semakin menunjukkan
perbaikan. Suku bunga di PUAB overnight (O/N) bergerak di sekitar BI Rate seiring dengan
diubahnya sasaran operasional kebijakan moneter ke PUAB O/N sejak Juli 2008. Penurunan
tersebut juga diikuti oleh suku bunga PUAB untuk tenor di atas O/N. Transmisi BI Rate ke suku
bunga deposito juga telah menunjukkan perbaikan. Sepanjang tahun 2009 suku bunga deposito
1 bulan menurun sebesar 337bps, atau lebih besar dari penurunan BI Rate sebesar 275bps.
Dibandingkan dengan periode penurunan BI Rate di tahun 2006, respons suku bunga deposito
terhadap penurunan BI Rate juga menunjukkan perbaikan. Di sisi suku bunga kredit, respons
penurunan BI Rate mengalami perbaikan perlahan dan secara lebih terbatas. Selama tahun
2009, suku bunga kredit secara agregat (rata-rata suku bunga KMK, KI, dan KK) menurun
sebesar 76 bps. Terbatasnya respon suku bunga kredit tersebut terkait dengan berbagai faktor,
antara lain seperti persepsi risiko perbankan terhadap kesinambungan sektor riil yang masih
tinggi. Terbatasnya respons perbankan tersebut menyebabkan sumber pembiayaan perbankan
tumbuh rendah. Hingga Oktober 2009, pertambahan kredit (termasuk channeling) baru mencatat
pertumbuhan 4,2% (y-t-d), jauh lebih rendah dari periode yang sama tahun lalu.
267ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2009
Ke depan, prospek perekonomian domestik di tahun 2009 dan tahun 2010 berpotensi
lebih baik dari perkiraan semula. Hal ini juga diperkirakan akan terus berlanjut di tahun 2011.
Faktor-faktor yang mendukung perbaikan tersebut adalah kondisi eksternal yang lebih kondusif
berupa pemulihan ekonomi dunia yang lebih cepat dari perkiraan semula, serta kondisi domestik
yang tetap terjaga dengan dukungan konsumsi rumah tangga yang tetap kuat. Penguatan
ekspor yang terjadi sejak akhir triwulan I-2009 diperkirakan akan terus berlanjut seiring dengan
pemulihan kondisi ekonomi dunia. Selain akibat perbaikan ekonomi dunia, akselerasi
pertumbuhan ekspor juga didukung oleh karakteristik barang ekspor Indonesia yang berbasis
komoditas primer yang mengalami pemulihan yang cukup cepat sejalan dengan perbaikan
permintaan di negara-negara mitra dagang. Di sisi domestik, meskipun tidak setinggi selama
periode Pemilu 2009, pertumbuhan konsumsi rumah tangga diprakirakan tetap relatif kuat dan
menjadi penyumbang utama PDB. Kinerja konsumsi tersebut didukung oleh terjaganya tingkat
keyakinan konsumen, perbaikan pendapatan akibat kinerja ekspor yang menguat, serta
rendahnya laju inflasi. Dengan berbagai perkembangan tersebut, pertumbuhan ekonomi di
tahun 2010 diperkirakan mencapai 5,0-5,5%, sementara perekonomian Indonesia di tahun
2011 diperkirakan akan tumbuh mencapai 6,0-6,5%
Di sisi Neraca Pembayaran, prospek pemulihan ekonomi global akan berdampak positif
terhadap Neraca Pembayaran Indonesia di tahun 2010. Perbaikan kinerja NPI didukung baik
oleh perbaikan transaksi berjalan maupun neraca transaksi modal dan finansial. Pemulihan
ekonomi dunia yang terus berlanjut yang disertai dengan berlanjutnya kenaikan harga komoditas
dunia akan mendorong penguatan kinerja ekspor. Impor nonmigas diprakirakan mulai meningkat
sejak semester II-2009 sejalan dengan meningkatnya aktivitas perekonomian domestik. Di sisi
transaksi modal dan finansial, perbaikan kinerja ditopang oleh kondisi domestik dan eksternal
yang lebih kondusif dibandingkan prakiraan sebelumnya.
Di sisi inflasi, tren inflasi di tahun 2010 dan tahun 2011 diprakirakan akan kembali ke
pola normalnya. Hal ini sejalan dengan semakin meningkatnya gerak mesin perekonomian
Indonesia yang tumbuh membaik. Oleh karena itu, selama tahun 2010 dan 2011, laju inflasi
diprakirakan berada pada kisaran 5%±1%. Di sisi eksternal, prakiraan inflasi tersebut juga
disumbang oleh peningkatan inflasi mitra dagang sejalan dengan prakiraan membaiknya ekonomi
global dan meningkatnya harga-harga komoditas internasional. Sementara dari sisi domestik,
tekanan inflasi juga diprakirakan berasal dari peningkatan harga-harga administered prices. Di
sisi inflasi volatile food, gangguan pasokan akibat kemungkinan terjadinya El Nino diprakirakan
hanya akan memberikan tekanan inflasi yang minimum.
268 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Dengan mempertimbangkan perkembangan-perkembangan tersebut di atas dan
mengingat bahwa tingkat suku bunga BI rate sebesar 6,50% masih konsisten dengan
pencapaian sasaran inflasi pada tahun 2010 sebesar 5%±1%, Rapat Dewan Gubernur Bank
Indonesia pada 3 Desember 2009 memutuskan untuk mempertahankan BI Rate pada level
6,50%. Stance kebijakan saat ini juga dipandang masih kondusif bagi proses pemulihan
perekonomian dan intermediasi perbankan.
269Fenomena Labor Shifting Dalam Pasar Tenaga Kerja Indonesia
FENOMENA LABOR SHIFTINGDALAM PASAR TENAGA KERJA INDONESIA
Meily Ika PermataYanfitri
Andry Prasmuko1
This paper analyzes the labor shifting phenomenon in Indonesian labor market. Labor shifting
phenomenon in developing countries, including Indonesia, is considered to be the reason of stable
movement from the supply perspective. By using Sakernas data year 1998-2008, this paper analyzes the
labor shifting phenomenon, both the direction of labor movement and the characteristics of the shifting
labor.
The main conclusions obtained in this research are, first, there is no structural break in Indonesian
labor market. Second, although most of labors tend to remain in the same sector or intra-sector, the
analysis shows there is tendency for the labor to move from non formal sectors especially to Agricultural
and Trade sectors. Third, the model estimation result with a series of controlled category shows the
biggest three probability of not shifting and remaining in the same sectors are in Electricity sector (70,15%),
Financial sector (55,8%) and Mining sector (53,13%). On the other side, the biggest labor mobility
opportunity to conduct shifting is on Industry sector (80.14%), Construction sector (64.3%), and
Transportation sector (62.4%).
JEL classificationJEL classificationJEL classificationJEL classificationJEL classification: J23, J62, J64
Keywords: Demand for Labor, Job Mobility, Labor shifting, Unemployment.
1 Penulis adalah peneliti di BRE-DKM Bank Indonesia. Pandangan dan hasil yang dituangkan dalam paper ini sepenuhnya menjaditanggung jawab penulis dan tidak merefleksikan pandangan Bank Indonesia. Ucapan terima kasih ditujukan kepada Dr. Perry Warjiyo,Dr. Iskandar Simorangkir dan Dr. Arie Kuncoro yang telah memberi masukan untuk penyempurnaan hasil penelitian ini.
Abstract
270 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
I. PENDAHULUAN
Perubahan permintaan terhadap output pada suatu sektor akan menyebabkan perubahan
terhadap kebutuhan tenaga kerja di sektor tersebut yang dapat memicu terjadinya shifting dari
dan atau ke sektor lainnya. Pertumbuhan output yang tinggi di suatu sektor akan memicu
peningkatan kebutuhan akan tenaga kerja di sektor tersebut yang dapat diisi oleh angkatan
kerja baru maupun melalui shifting tenaga kerja dari sektor lainnya, demikian pula sebaliknya.
Krisis finansial global tahun 2008 yang menyebabkan terjadinya perlambatan ekonomi
dunia diikuti dengan penurunan demand yang cukup tajam. Ini memicu terjadinya penurunan
output yang cukup signifikan dan berujung pada rasionalisasi tenaga kerja. Tenaga kerja yang
kehilangan pekerjaan dapat mencari alterantif pekerjaan ke perusahaan lain di sektor yang
sama atau melakukan shifting ke sektor lain, atau justru beralih ke sektor non formal.
Krisis global baru-baru ini diperkirakan berdampak pada sekitar 30.000 yang dirumahkan
baik dilaporkan maupun tidak, hingga akhir tahun 2008. Ancaman PHK atas sekitar 200 ribu
buruh di Indonesia diperkirakan terjadi selang tahun 2009, serta diperkirakan sekitar 70-80
ribu tenaga kerja industri akan terkena PHK hingga akhir 2009 (Kadin). Menurut sumber yang
berbeda, korban PHK hingga akhir 2008 mencapai 100.000 orang dari berbagai sektor,
khususnya industri padat karya. Lebih lanjut diperkirakan sedikitnya 500 ribu sampai 1 juta
tenaga kerja terkena PHK pada tahun 2009 (APINDO). Pemerintah sendiri memperkirakan jumlah
PHK sampai Januari 2009 telah mencapai 31.660 orang.
Selain krisis keuangan global baru-baru ini, dalam kurun waktu 1998-2008 Indonesia
juga telah melalui krisis tahun 1997 yang juga berdampak luas terhadap dinamika dan struktur
ketenagakerjaan di Indonesia. Krisis 1997 ini menyebabkan shifting yang relatif besar, terutama
dari sektor formal ke sektor informal2. Pada tahun 1998 sektor informal mengalami peningkatan
share menjadi 65,4% dari 62,8% pada tahun 1997.
Meskipun pada waktu krisis 1997-1998 terjadi PHK besar-besaran, namun pada tahun
1998, penyerapan tenaga kerja mengalami peningkatan yang positif yaitu sebesar 2,7% (Tabel
II.1). Besarnya penyerapan tenaga kerja disebabkan oleh terjadinya shifting tenaga kerja ke
sektor informal yang mengalami peningkatan penyerapan tenaga kerja sebesar 8,7%, sementara
sektor formal justru mengalami penurunan penyerapan tenaga kerja (-6,6%) akibat banyaknya
PHK yang terjadi. Penurunan penyerapan tenaga kerja formal, berlangsung hampir di seluruh
2 Menurut BPS, kegiatan informal adalah berusaha atau bekerja sendiri atas resiko sendiri, berusaha dengan resiko sendiri dengandibantu oleh buruh tidak tetap, pekerja bebas di pertanian dan non pertanian, serta pekerja yang tidak dibayar seperti mereka yangmembantu seseorang memperoleh penghasilan atau keuntungan, namun tidak mendapat upah/gaji baik berupa uang maupunbarang.
271Fenomena Labor Shifting Dalam Pasar Tenaga Kerja Indonesia
sektor kecuali sektor Pertanian. Sementara itu di tahun 1998, terjadi peningkatan tenaga kerja
informal di sektor Pertanian (13,1%), Bangunan (27,2%), Perdagangan (1,2%), Pengangkutan
(6,8%) dan Jasa (0,3%).
Berdasarkan asal sektornya pengangguran terbesar berasal dari sektor Industri yaitu rata-
rata sebesar 3,33%, sektor Perdagangan sebesar 2,13%, dan sektor Jasa sebesar 2,14%.
Besarnya persentase pengangguran yang berasal dari sektor Industri cukup mengkhawatirkan
mengingat pangsa penyerapan tenaga kerja pada sektor ini dapat dikatakan relatif terbatas.
Persentase pengangguran terbanyak dari sisi jumlah berasal dari sektor industri. Ironisnya, pangsa
tenaga kerja di sektor industri itu sendiri cukup kecil. Hal ini mencerminkan lebih besarnya
kegagalan shifting dari pekerja asal sektor industri dibanding pekerja asal sektor lainnya, terutama
pada saat krisis.
Pada saat tahun 1998, persentase pengangguran yang berasal dari orang yang sebelumnya
bekerja (kena PHK) relatif tinggi. Pada tahun 1998 dan 1999, pengangguran yang berasal dari
sektor Industri merupakan yang tertinggi yaitu masing-masing sebesar 6,35% dan 4,05%.
Secara agregat, data tahun 1997-1999 menunjukkan bahwa pada masa krisis tidak terjadi
penurunan jumlah tenaga kerja, bahkan sebaliknya terjadi pertumbuhan penyerapan tenaga
kerja meskipun dengan tingkat yang relatif rendah (Grafik II.1). Namun demikian, apabila dilihat
dari sisi pertumbuhan produktivitas tenaga kerja dan pertumbuhan PDB, terjadi penurunan
yang tajam di tahun 1998 dan relatif stagnan pada tahun 1999.
Hal ini menunjukkan bahwa adanya shifting berdampak positif terhadap penyerapan
tenaga kerja yang ditandai jumlah penyerapan tenaga kerja relatif tetap bahkan bertumbuh.
Tabel II.1Pertumbuhan Penyerapan Tenaga Kerja 1997-1998
SektorSektorSektorSektorSektor FormalFormalFormalFormalFormal InformalInformalInformalInformalInformal TotalTotalTotalTotalTotalPertumbuhan Penyerapan Tenaga KerjaPertumbuhan Penyerapan Tenaga KerjaPertumbuhan Penyerapan Tenaga KerjaPertumbuhan Penyerapan Tenaga KerjaPertumbuhan Penyerapan Tenaga Kerja
19971997199719971997 19981998199819981998 19991999199919991999 19971997199719971997 19981998199819981998 19991999199919991999 19971997199719971997 19981998199819981998 19991999199919991999Pertanian 6,3 27,5 75,4 -4,8 13,1 -4,0 -4,7 13,3 -2,6Pertambangan 8,3 -13,2 -0,8 32,6 -39,3 27,8 16,2 -22,9 7,6Industri 5,5 -10,7 14,9 0,4 -7,0 18,9 4,1 -9,8 15,9Listrik 44,5 -37,8 34,4 19,9 -23,2 -36,6 42,1 -36,6 27,4Bangunan 13,1 -20,0 0,5 -8,9 27,2 -25,7 10,7 -15,8 -3,0Perdagangan -0,5 -3,6 6,7 13,0 1,2 2,6 7,0 -0,8 4,3Pengangkutan -0,2 -5,4 -5,7 10,4 6,8 7,4 4,8 0,7 1,3Keuangan -5,5 -5,3 0,7 30,0 -22,6 61,0 -4,6 -5,9 2,6Jasa 6,2 -1,8 -2,3 17,3 0,3 3,6 7,9 -1,4 -1,4Total 4,9 -6,6 5,7 -0,1 8,7 -1,1 1,8 2,7 1,3
Pertumbuhan Negatif Pertumbuhan Positif
272 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Namun demikian, tingkat output yang dihasilkan cenderung menurun karena banyak tenaga
kerja yang bekerja pada sektor dengan tingkat produktivitas rendah. Terjadinya shifting ke
sektor yang relatif lebih rendah tingkat produktivitasnya tidak mampu mendorong terjadinya
peningkatan penciptaan output yang ditunjukkan oleh tingkat pertumbuhan yang sangat rendah
bahkan negatif. Dengan begitu, pada periode 1997-1998 (masa krisis), tingginya angka
penyerapan tenaga kerja dan relatif stabilnya tingkat pengangguran tidak berkorelasi positif
dengan angka pertumbuhan ekonomi.
Grafik II.1Pertumbuhan PDB, Tenaga Kerja dan
Produktivitas Tenaga Kerja
Grafik II.2Dekomposisi Produktivitas Tenaga Kerja
Sektoral
Tabel II.2Pengangguran Berdasarkan Asal Sektornya
SektorSektorSektorSektorSektor 19981998199819981998 19991999199919991999 20002000200020002000 20012001200120012001 20022002200220022002 20032003200320032003 20042004200420042004 20052005200520052005 20062006200620062006 20072007200720072007 20082008200820082008 Rata-rataRata-rataRata-rataRata-rataRata-rata
Pertanian 0,93 0,86 1,22 1,17 1,14 0,66 0,85 0,94 1,23 1,24 1,59 1,08Pertambangan 0,32 0,23 0,15 0,09 0,09 0,09 0,15 0,07 0,15 0,24 0,14 0,16Industri 6,35 4,05 3,28 3,68 3,66 2,46 2,36 2,66 2,68 2,18 3,29 3,33Listrik 0,12 0,14 0,00 0,00 0,04 0,04 0,03 0,02 0,05 0,02 0,04 0,05Konstruksi 2,87 1,93 1,58 0,89 1,39 1,08 1,28 1,17 1,00 1,38 1,89 1,50Perdagangan 3,58 2,37 2,09 2,27 1,55 1,38 1,39 1,81 1,63 2,27 3,10 2,13Transportasi 1,16 1,19 0,56 0,90 0,59 0,45 0,60 0,43 0,64 0,78 0,83 0,74Keuangan 0,41 0,46 0,34 0,43 0,27 0,32 0,36 0,22 0,33 0,31 0,42 0,35Jasa 3,71 2,57 1,32 2,09 1,53 1,15 1,22 1,15 0,86 1,51 1,98 1,74Pengangguran dan Bukan Angkatan Kerja 78,14 82,83 86,05 85,25 86,07 89,41 88,57 88,61 88,67 88,13 84,87 86,06Bukan Usia Kerja 2,41 3,36 3,43 3,24 3,68 2,95 3,20 2,93 2,75 1,92 1,85 2,88
15
10
5
0
-5
-10
-15
-2090 91 92 93 94 95 96 97 98 99 00 01 02 03 04 05 06 07
Pertumbuhan Produktivitas Tenaga KerjaPertumbuhan Tenaga Kerja
Pertumbuhan PDB
25
20
5
0
-5
-10
-15
-20
15
10
1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005
Productivity GrowthWithin EffectStatic Shift EffectDynamic Shift Effect
%
273Fenomena Labor Shifting Dalam Pasar Tenaga Kerja Indonesia
Bagaimana sesungguhnya fenomena labor shifiting di Indonesia merupakan subyek yang
dianalisis dalam paper ini. Isu ini sebelumnya telah diteliti oleh Permata (2008). Meski demikian
penelitian tersebut belum sampai pada gambaran terukur dalam bentuk matriks arus migrasi
tenaga kerja lintas sektor dan juga belum menjelaskan karakterisitik dan determinan dari labor
shifting tersebut. Dalam paper ini, secara khusus pertanyaan peneltian yang diangkat adalah
bagaimana perilaku labor shifting di dalam sektor yang sama atau ke sektor lain di Indonesia
antara tahun 1998 - 2008?
Bagian kedua dari paper ini mengulas gambaran permintaan dan penawaran tenaga
kerja Indonesia antar tahun, bagian ketiga berisi landasan teori adanya perpindahan tenaga
kerja dan hasil penelitian-penelitian sebelumnya, bagian keempat mengulas metodologi yang
digunakan dan data serta proses pembersihan data yang dilakukan peneliti untuk keperluan
analisis dan bagian kelima akan menganalisis dampak pertumbuhan ekonomi terhadap
penyerapan tenaga kerja, perpindahan tenaga kerja antar sektor, perpindahan tenaga kerja
formal ke informal, serta determinan perpindahan tenaga kerja. Kesimpulan dan rekomendasi
kebijakan akan diberikan pada bagian penutup.
II. TEORI
Hubungan antara jumlah lapangan kerja (vacancy) dan tingkat pengangguran secara
empiris berbanding terbalik yang diilustrasikan dengan kurva Beveridge. Secara agregat kontraksi
perekonomian akan ditandai dengan pergerakan sepanjang kurva ke kanan bawah yakni
peningkatan pengangguran dan penurunan pembukaan lapangan kerja.
Grafik II.3Kurva Beveridge
Pengangguran
Lapangan Kerja
KontraksiUH, VL
EkspansiUL, VH
Pengangguran
Lapangan Kerja
Higher MatchingEfficiency
Lower MatchingEfficiency
274 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Kurva Beveridge ini sangat sederhana namun bisa memberikan gambaran awal bagaimana
pengaruh perubahan kondisi ketenagakerjaan terhadap pasar tenaga kerja termasuk mobilitas
tenaga kerja dapat terjadi lintas sektor dan lintas industri. Kontur kurva ini sesungguhnya
menggambarkan karakterstik ketenagakerjaan dalam suatu perekonomian. Perubahan
karakterstik tersebut akan menyebabkan pergerakan kurva, baik rotasi, pergeseran bahkan
perubahan kontur. Isu labor shifting yakni pergerakan tenaga kerja lintas sektor dan lintas
region yang dibahas dalam paper ini salah satunya terkait erat dengan seberapa besar
kemungkinan bertemunya pembukaan lapangan kerja dengan pencari kerja (matching process).
Secara grafis ketika peluang kecocokan tersebut mengecil atau dengan kata lain peluang si
pencari kerja semakin kecil untuk memperoleh pekerjaan, maka kurva Beveridge di atas akan
bergeser ke kanan, demikian pula sebaliknya.
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat utilisasi tenaga kerja dan mobilitas
mereka sangat banyak. Mengacu pada Parewangi, AMA (2008) 3, topologi variabel tersebut
dapat dibagi kedalam 3 kategori besar yakni (i) dari perspektif mikro perusahaan, (ii) industri
dan (iii) perspektif makro. Meski perusahaan, industri dan perspektif makro merupakan level
agregasi yang berurutan, namun dalam setiap perspektif tersebut terdapat variabel-variabel
khusus yang hanya terdapat pada level agregasi yang bersangkutan. Dalam topologi tersebut,
setiap kategori mencakup variabel-variabel yang berpengaruh terhadap permintaan dan
penawaran tenaga kerja serta faktor-faktor yang bersifat exogenous terhadap pasar tenaga
kerja tersebut.
Dari perspektif mikro perusahaan, terdapat 3 sub kategori variabel penentu yakni (i)
skala perusahaan, (ii) kemampuan perusahaan dalam mengkombinasikan input tenaga kerja,
input antara, modal dan input lain yang ia perlukan dan (iii) efisiensi penggunaan masing-
masing input. Termasuk dalam sub kategori yang ketiga ini adalah kemampuan perusahaan
untuk berinovasi yang tercermin pada koefisien teknologi atau sering diacu sebagai technological
progress. Dalam perspektif ini, kultur perusahaan, karakteristik individual perusahaan dan kualitas
manajemen internal dapat berpengaruh besar terhadap intensitas penggunaan tenaga kerja
dalam perusahaan tersebut.
Sudut pandang kedua adalah industri. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, meski
industri merupakan agregasi dari setiap perusahaan, namun dalam konteks ini variabel penentu
atas tingkat serapan tenaga kerja sektoral adalah karakteristik umum industri tersebut yang
tidak bersifat firm dependent. Termasuk dalam kategori ini adalah tingkat keterkaitan lintas
3 Parewangi, AMA, 2008, Dinamika Ketenagakerjaan: Tinjauan dari Perspektif Mikro Perusahaan, Industri dan Makro Perekonomian,modul training Fundamental Asia.
275Fenomena Labor Shifting Dalam Pasar Tenaga Kerja Indonesia
sektor (downstream dan upstream), skala pasar, dan peraturan-peraturan yang berlaku spesifik
atas industri tertentu (industri specific regulation). Disini tingkat upah, elastisitas serapan dan
elastisitas penawaran tenaga kerja juga termasuk dalam kategori industri ini yang secara umum
merupakan rata-rata tertimbang dari karakteristik semua jenis perusahaan yang ada dalam
industri tersebut.
Sudut pandang yang ketiga adalah perspektif makro yang tidak bersifat industri dependent
dan juga tidak bersifat firm dependent, namun dapat berpengaruh langsung atau tidak langsung
terhadap tingkat serapan tenaga kerja. Hampir semua variabel makro seperti PDB, inflasi, nilai
tukar dan variabel lainnya termasuk dalam kategori ini. Variasi tingkat upah minimum misalnya
dapat berpengaruh terhadap pilihan lokasi kerja, termasuk peraturan-peraturan yang bervariasi
antara satu daerah dengan daerah lainnya termasuk ketentuan pemberian pesangon untuk
setiap pemutusan kerja oleh perusahaan. Gejolak makro baik domestic maupun global, juga
merupakan variabel-variabel penentu yang mempengaruhi kondisi ketenagakerjaan, baik dari
sisi permintaan maupuan penawaran tenaga kerja. Integrasi dan kesepakatan global misalnya
dapat mempengaruhi mobilitas tenaga kerja lintas negara yang berpengaruh terhadap pasar
tenaga kerja domestic.
Tergantung pada kondisi ketenagakerjaan pada level perusahaan dan industri, secara
empiris dampak perubahan system makro ketenagakerjaan dapat bervariasi. Suatu kebijakan
dapat berpengaruh terhadap intensitas peggunaan tenaga kerja tanpa berpengaruh besar
terhadap pergerakan tenaga kerja lintas wilayah dan lintas industri. Niederle dan Roth (2003)
menganalisis pengaruh sistem pengalokasian (clearinghouse) dokter ahli (gastroenterologists)
terhadap intensitas dan mobilitas para dokter tersebut. Niederle dan Roth menemukan bahwa
antara sistem clearinghouse yang terdesentralisasi dan tersentralisasi tidak berdampak terhadap
lokasi parktek para dokter, dan ini menunjukkan bahwa implementasi clearinghouse yang
tersentralisasi tersebut hanya berdampak terhadap koordinasi layanan pasien dan peningkatan
cakupan layanan.
Tanpa mengurangi generalitasnya, jika diasumsikan hanya terdapat 2 input yang digunakan
oleh perusahaan f dalam industri i masing-masing Kfi dan L
fi, maka tingkat produksi perusahaan
dapat dispesifikasi mengikuti fungsi Cobb Douglas berikut:
Qfi= A
fi.K
fi α
fiL
fi β
fi (II.1)
Dari sisi perusahaan, esensi permintaan tenaga kerja mereka adalah produktivitas marginal
yang sesuai dengan upah riil yang mereka bayarkan. Proses optimisasi yang dilakukan oleh
perusahaan akan menghasilkan permintaan tenaga kerja:
276 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Lfi = f ( A
fi,w
fi,r
fi,S
fi,α
fi,β
fi ) (II.2)
dimana Sfi merefleksikan skala yang dimiliki oleh perusahaan tertentu, A
fi adalah technological
progress, sementara wfi dan r
fi masing-masing adalah harga input. Dalam spesifikasi tersebut,
intensitas relatif penggunaan tenaga kerja dan modal dimungkinkan bervariasi lintas industri
dan bahkan dapat bervariasi lintas perusahaan yakni terefleksi pada αfi dan β
fi.
Input Ki dan L
isendiri dapat dipecah menjadi beberapa jenis. Untuk tenaga kerja misalnya
dapat dikategorikan lebih lanjut berdasarkan klasifikasi tertentu seperti tingkat pendidikan
sehingga Lfi menunjukkan composite labor yang dapat dispesifikasi sebagai nesting tertentu
dari serangkaian jenis tenaga kerja4. Secara teknis:
untuk Lfi = f (L
fi1, L
fi2, L
fi3, ..., L
fio) untuk o o (II.3)
Dengan sendirinya tingkat upah juga merupakan upah komposit dari masing-masing
upah setiap jenis tenaga kerja yang ada;
wfi = f ( w
fi1, w
fi2, w
fi3, ...,w
fio ) (II.4)
Spesifikasi model tersebut memungkinkan pembebanan biaya tenaga kerja yang bervariasi
sesuai dengan sistem penggajian dan variasi komponen biaya tenaga kerja yang dikeluarkan
oleh perusahaan seperti biaya tunjangan kesehatan, bonus, tunjangan transportasi, perumahan
dan komponen lainnya. Variasi pengupahan ini merupakan aspek-aspek yang bersifat firm
dependent.
Perbedaan sistem pengupahan ini merupakan salah satu faktor yang secara langsung
berpengaruh terhadap mobilitas tenaga kerja baik lintas perusahaan dalam industri yang sama
ataupun lintas industri yang berbeda. Secara empiris penelitian yang dilakukan oleh Alan
Auerbach and Laurence Kotlikoff (1998)55555 menunjukkan bahwa perusahaan yang menggaji
karyawannya lengkap dengan tunjangan, bonus dan fasilitas lainnya akan lebih cenderung
memberhentikan pekerjanya dibandingkan mengurangi jumlah jam kerja ketika perusahaan
tersebut mengalami penurunan tingkat produksi yang tajam.
Pada sisi lain, penawaran tenaga kerja oleh rumah tangga dispesifikasi tergantung pada
upah riil wio/P - , dan waktu senggang (leisure) - H. Upah riil ini dapat terdiri dari gaji pokok,
tunjangan, bonus dan komponen lain yang dapat dihitung dalam satuan uang. Dalam spesifikasi
yang lebih rumit, penawaran tenaga kerja ini dapat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, budaya,
umur, jenis kelamin, dan serangkaian variabel lainnya yang terangkum dalam vektor Z;
Lsio = f (w
io, P, H, Z ) (II.5)
4 Pemilihan bentuk nesting mengacu pada teori dan kesesuaian empiris, (Parewangi AMA., 2008).5 Alan Auerbach and Laurence Kotlikoff, 1998. Macroeconomics. MIT Press.
277Fenomena Labor Shifting Dalam Pasar Tenaga Kerja Indonesia
Spesifikasi eksplisit persamaan tersebut merupakan pertanyaan empiris. Secara makro,
jumlah populasi yang disertai dengan tingginya angka partisipasi angkatan kerja secara langsung
mempengaruhi jumlah suplai tenaga kerja. Penawaran tenaga kerja ini juga dapat dipengaruhi
oleh kebijakan ketenagakerjaan seperti reservation wage yakni upah minimum yang berkorelasi
positif dengan penawaran tenaga kerja, dan unemployment insurance yang cenderung
berbanding terbalik dengan penawaran tenaga kerja. Penerima unemployment insurance
memiliki kekhawatiran yang tidak terlalu besar untuk mendapatkan pekerjaan baru dan
cenderung menolak jenis pekerjaan yang kurang sesuai.
Pada level industri, kesimbangan pasar tenaga kerja (labor market clearing) pada industri
i dapat tercipta ketika:
(II.6)
Proses market clearing ini berjalan secara stochastic. Selain itu peluang tenaga kerja untuk
menemukan perkerjaan yang sesuai dengan keinginan mereka dan pada saat yang bersamaan
tersedia dan dibutuhkan oleh perusahaan, dipengaruhi oleh serangkaian faktor.6 Salah satu
faktor yang berpengaruh adalah kualitas tenaga kerja yang merupakan fungsi dari tingkat
pendidikan, keterampilan dan pengalaman kerja yang tercakup dalam vector Z pada Persamaan
5. Tenaga kerja yang memiliki keahlian lebih tinggi atau kemampuan manajerial lebih berpeluang
untuk berpindah dibandingkan tenaga kerja yang hanya memiliki kemampuan teknis. Seberapa
besar pengaruh variabel tersebut merupakan salah satu aspek yang diukur dan dianalisis dalam
paper ini.
Dalam prosesnya, produktivitas tenaga kerja dapat mengalami perubahan dan hal ini
terefleksi pada perubahan koefisien teknologi Afi (Lihat Persamaan II.2). Secara empiris, dinamika
produktivitas tenaga kerja ini dapat didekomposisi mengikuti Fagerberg (2000) atau Peneder
(2003),
(II.7)
Dimana LPTt adalah produktivitas tenaga kerja total pada suatu waktu, LP
itmenunjukkan
produktivitas tenaga kerja suatu sektor pada suatu waktu, dan Sit menunjukkan pangsa tenaga
kerja suatu sektor pada periode - t.
6 Lihat Parewangi, AMA (2008) untuk spesifikasi model yang lebih lengkap.
=ΣΟ Ο Σf F f iL ΣΟ Ο iΟLs
=Σ LP
i,t-1 (
n
i=1S
i,t1 -S
i,t-1 )+ S
i,t1 - S
i,t-1 )Σ(LP
i,t1 - LP
i,t-1 )(
n
i=1
LPT ,t-1
Growth (LP)T =
LPT ,t1
- LPT ,t-1
LPT ,t-1
Σ(LPi,t1
- LPi,t-1
)n
i=1S
i,t-1 +
278 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Metode dekomposisi tersebut dapat menjelaskan sumber pertumbuhan agregat
produktivitas tenaga kerja; (i) apakah karena adanya perubahan produktivitas di tiap sektor
(within shift effect), (ii) perubahan pangsa tenaga kerja suatu sektor (static shift effect), atau
(iii) karena adanya perubahan baik itu dari sisi produktivitas dan komposisi tenaga kerja antar
sektor (dynamic shift effect).
Rata-rata produktivitas tenaga kerja dapat diukur dengan membagi total output terhadap
jumlah tenaga kerja. Dengan demikian, rata-rata produktivitas tenaga kerja akan meningkat
jika peningkatan output jauh lebih tinggi dibandingkan dengan peningkatan tenaga kerja. Jika
diasumsikan within shift effect dan jumlah tenaga kerja tetap, maka shifting tenaga kerja ke
sektor yang lebih baik7 akan mengakibatkan rata-rata produktivitas tenaga kerja juga mengalami
peningkatan. Sebaliknya, labor shifting tenaga kerja ke sektor yang kurang unggul secara agregat
akan menurunkan produktivitas rata-rata tenaga kerja dan secara agregat akan menurunkan
tingkat pertumbuhan output.
Holzer (1989) mengungkapkan bahwa jenis dari labor shifting mempunyai implikasi yang
berbeda pada tingkat penyerapan tenaga kerja dan tingkat pengangguran. Sebagai contoh,
biaya dari perpindahan tenaga kerja antar wilayah akan cenderung lebih besar dibandingkan
biaya perpindahan kerja di dalam suatu wilayah yang sama. Selain itu, perpindahan tenaga
kerja antar industri yang berbeda tentunya membutuhkan tingkat penyesuaian yang lebih tinggi
terutama untuk industri yang membutuhkan tingkat keahlian yang sangat spesifik, dibandingkan
bila terjadi perpindahan tenaga kerja pada jenis industri ataupun jenis pekerjaan yang relatif
sama. Biaya untuk mendapatkan pekerjaan di daerah baru ataupun di jenis industri baru
cenderung lebih tinggi berkaitan dengan transportasi, akomodasi dan tingkat keahlian spesifik
yang dibutuhkan.
Sejalan dengan spesikasi model di atas, pergesaran permintaan terhadap industri tertentu
dapat mengakibatkan perubahan biaya relatif dalam menghasilkan produk. Fenomena ini yang
banyak dijumpai dalam literature sebagai sektoral shift. Dalam kasus PHK, pekerja yang
mengalami PHK akan berusaha untuk mencari kerja kembali baik itu pada industri dan daerah
yang sama, maupun mencari kerja ke sektor lainnya ataupun ke daerah lainnya (shifting). Kondisi
terburuk terjadi ketika pekerja tersebut tidak dapat memperoleh pekerjaan di manapun sehingga
meningkatkan angka pengangguran.
7 Sektor yang «lebih baik» atau unggulan dapat diidientifikasi dengan melihat laju pertumbuhan sektor tersebut,»output multiplier,»incomemultiplier,»forward dan backward linkage-nya.
279Fenomena Labor Shifting Dalam Pasar Tenaga Kerja Indonesia
Namun demikian, berdasarkan teori sektoral shift model, proses realokasi tersebut akan
membutuhkan waktu sehingga akan menyebabkan terjadinya peningkatan angka
pengangguran dan penurunan output yang bersifat temporer. Adanya lag tersebut karena
dibutuhkan waktu sebelum tenaga kerja yang di PHK tersebut mendapatkan pekerjaan di
perusahaan lain ataupun di sektor lainnya.
Beberapa hal yang dapat dilakukan oleh pengambil kebijakan antara lain membantu
proses relokasi tenaga kerja yaitu membantu tenaga kerja yang di PHK tersebut untuk mencari
kerja di sektor lainnya. Pengambil kebijakan harus tanggap mengenai sektor yang akan
mengalami PHK besar-besaran sebelum PHK tersebut terjadi dan dapat membantu dengan
memberikan bekal keterampilan pada tenaga kerja agar dapat lebih fleksibel dalam mendapatkan
pekerjaan di sektor lainnya.
Beberapa studi empiris sebelumnya telah melakukan dekomposisi terhadap migrasi tenaga
kerja. Pack, Howard dan Christina Paxson (1999) menemukan bahwa pekerja yang pindah ke
sektor yang relatif lebih dekat dari sektor awalnya, akan bekerja lebih produktif. Kedekatan
sektor ini dapat diidentifikasi dengan melihat backward linkage, forward linkage, atau korelasi
antas sektor.
Karakteristik labor shifting dalam kondisi perekonomian normal dapat berbeda dengan
karakteristik labor shifting dalam kondisi krisis. Pada saat kondisi normal perpindahan tenaga
kerja dapat disebabkan oleh adanya perubahan produktivitas sektoral sementara dalam kondisi
krisis, perpindahan tenaga kerja cenderung bergerak ke sektor yang merupakan ≈jaring
pengaman∆ dalam perekonomian, seperti sektor informal.
Di Indonesia, terdapat beberapa penelitian empiris tentang perpindahan tenaga kerja.
Analisis labor shifting yang dilakukan oleh Permata (2008), menunjukkan bahwa pada masa
normal, tenaga kerja cenderung melakukan shifting ke sektor yang lebih menjanjikan yaitu
sektor yang relatif tinggi tingkat produktivitasnya yang tercermin dari nilai static shift effect
yang positif. Dengan demikian adanya labor shifting diharapkan membawa dampak positif
terhadap peningkatan agregat produktivitas tenaga kerja, yang pada akhirnya akan memberi
sumbangan positif pada peningkatan pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, pada tahun 1998
(masa krisis) terjadi pertumbuhan negatif pada static shift effect dan within effect sektoral.
Nilai witihin effect yang negatif menunjukkan bahwa secara umum hampir semua sektor
mengalami penurunan produktivitas tenaga kerja. Sementara nilai static shift effect yang negatif
mengindikasikan terjadinya fenomena shifting tenaga kerja ke sektor yang mempunyai tingkat
produktivitas tenaga kerja lebih rendah.
280 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Perilaku shifting pada tahun 1998 (krisis) ternyata mempunyai perbedaan dengan
perilaku shifting pada tahun yang lain. Pada tahun 1998, shifting yang dilakukan merupakan
upaya untuk menghindari terjadinya pengangguran dan cenderung terjadi peralihan ke sektor
yang relatif lebih rendah produktivitasnya, sehingga sumbangan terhadap pembentukan output
cenderung kecil. Selain itu, pekerja pada sektor dengan tingkat produktivitas rendah cenderung
mendapatkan tingkat pendapatan yang juga relatif rendah, sehingga dari sisi daya beli akan
mengalami penurunan. Penurunan daya beli tersebut sedikit banyak akan berpengaruh terhadap
tingkat konsumsi masyarakat.
III. METODOLOGI
Salah satu kontribusi utama dari paper ini adalah konstruksi matriks transisi tenaga
kerja lintas sektor dan lintas formal-informal. Mengingat data ini memiliki peran penting saat
pengolahan data dan tentunya hasil estimasi yang diperoleh, maka berikut ini dijelaskan langkah-
langkah yang dilakukan.
Pertama adalah mengekstraksi data yang ada di Sakernas mencakup periode 1998-
2008. Data mentah Sakernas berisi informasi individual dari tiap responden berdasarkan jawaban
masing-masing responden untuk setiap pertanyaan dari kuesioner Sakernas. Data tersebut
tidak dapat langsung digunakan untuk keperluan analisis, oleh sebab itu, yang harus pertama
kali dilakukan adalah menyaring (filtering) data dengan mengacu pada definisi International
Labor Organization (ILO):
1. Penduduk Usia Kerja = usia 15-64 tahun
2. Angkatan kerja = penduduk usia kerja yang bekerja dan pengangguran.
3. Bukan angkatan kerja = penduduk usia kerja yang tidak termasuk angkatan kerja dan
melakukan kegiatan yaitu sekolah, mengurus rumah tangga, atau lainnya.
Memperhitungkan pengaruh dampak krisis 1998 yang lalu, maka terdapat pembedaan
definisi untuk periode sebelum dan sesudah krisis keuangan globar tersebut. Untuk data tahun
1998-1999, konsep dan definisi yang digunakan adalah sebagai berikut:
1. Bekerja adalah responden yang memenuhi kriteria:
1. Memiliki usia kerja dan bekerja seminggu yang lalu, atau;
2. Mempunyai pekerjaan sementara meski tidak bekerja selama seminggu yang lalu.
2. Pengangguran didefinisikan sebagai responden yang memenuhi 4 kriteria berikut:
1. Berada pada usia kerja,
2. Tidak bekerja seminggu yang lalu
281Fenomena Labor Shifting Dalam Pasar Tenaga Kerja Indonesia
PENDUDUK
USIA KERJA BUKANUSIA KERJA
BUKANANGKATAN KERJA
ANGKATAN KERJA
BEKERJA SEKOLAH MENGURUSRUMAH TANGGA
LAINNYA
MENCARIPEKERJAAN
MEMPERSIAPKANUSAHA
MERASATIDAK MUNGKIN
MENDAPATKAN PEKERJAAN
SUDAH PUNYAPEKERJAAN TETAPI
BELUM MULAI BEKERJA
SEDANGBEKERJA
SEMENTARATIDAK BEKERJA
PENGANGGURANKRITIS
(<15 JAM)
SETENGAHPENGANGGURAN
(<35 JAM)
JAM KERJA NORMAL(>35 JAM)
PENGANGGURAN
3. Bukan sementara tidak bekerja dan
4. Sedang mencari pekerjaan
Sementara untuk data tahun 2000-2008 digunakan konsep dan definisi berikut:
1. Bekerja adalah responden yang memenuhi kriteria:
1. Memiliki usia kerja dan bekerja seminggu yang lalu, atau;
2. Mempunyai pekerjaan sementara meski tidak bekerja selama seminggu yang lalu.
2. Pengangguran didefinisikan sebagai berikut
1. Yakni responden yang memenuhi 4 kriteria berikut: (a) berada pada usia kerja, (b)
tidak bekerja seminggu yang lalu, (c) tidak mempunyai pekerjaan selama tidak bekerja,
dan (d) sedang mencari pekerjaan, atau;
2. Sedang mempersiapkan usaha.
3. Tidak mungkin mendapatkan pekerjaan atau sudah punya pekerjaan tapi belum
mulai bekerja.
Grafik II.4Proses Penyaringan Data Sakernas berdasarkan Definisi ILO
282 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Dari seluruh data reponden yang sesuai filter diatas, selanjutnya dilakukan pengkodean
untuk dapat mendeteksi perpindahan tenaga kerja. Coding ini mengikuti logika sebagaimana
ditunjukkan dalam Grafik II.5.
Grafik II.5Recoding Labor shifting Antar Sektor
Setelah data tersebut sudah siap, langkah selanjutnya adalah melakukan tabulasi silang
terhadap data mentah Sakernas untuk menghasilkan matriks migrasi tenaga kerja antar sektor
dalam suatu periode waktu sekaligus menggali informasi mengenai jumlah penyerapan tenaga
kerja baru dan tingkat pengangguran dari tahun 1998-2008. Format hasil tabulasi ini ditunjukkan
dalam Tabel II.3.
Tabel II.3Matriks Migrasi Tenaga Kerja
UUUUU 11111 22222 33333 44444 55555 66666 77777 88888 99999mUU mU1 mU2 mU3 mU4 mU5 mU6 mU7 mU8 mU9
m1U m11 m12 m13 m14 m15 m16 m17 m18 m19
m2U m21 m22 m23 m24 m25 m26 m27 m28 m29
m3U m31 m32 m33 m34 m35 m36 m37 m38 m39
m4U m41 m42 m43 m44 m45 m46 m47 m48 m49
m5U m51 m52 m53 m54 m55 m56 m57 m58 m59
m6U m61 m62 m63 m64 m65 m66 m67 m68 m69
m7U m71 m72 m73 m74 m75 m76 m77 m78 m79
m8U m81 m82 m83 m84 m85 m86 m87 m88 m89
m9U m91 m92 m93 m94 m95 m96 m97 m98 m99
Kond
isi
Aw
al P
ada
Perio
de -
tKo
ndis
i A
wal
Pad
a Pe
riode
- t
Kond
isi
Aw
al P
ada
Perio
de -
tKo
ndis
i A
wal
Pad
a Pe
riode
- t
Kond
isi
Aw
al P
ada
Perio
de -
t
UUUUU111112222233333444445555566666777778888899999
Kondisi Setelah Periode - tKondisi Setelah Periode - tKondisi Setelah Periode - tKondisi Setelah Periode - tKondisi Setelah Periode - t
Mulai BekerjaSebelum 31 Agustus Setelah 31 Agustus
Pernah Bekerja Sebelumnya
Ya Tidak Ya Tidak
Sektorlalu-
Tetap
Pengangguran/ BAK
STOP STOPApakah Berhenti Bekerja/Pindah Setelah 31 Agustus 2006
Ya Tidak Ya Tidak
PindahSektor
Sektor lalu-Tetap Pindah
Sektor
Pengangguran/ BAK
STOPSTOP
283Fenomena Labor Shifting Dalam Pasar Tenaga Kerja Indonesia
Sel mij menunjukkan perpindahan tenaga kerja dari kondisi i ke kondisi j. Untuk i, j = U
berarti pekerja berada pada kondisi menganggur, dengan demikian sel mUU
menunjukkan
kondisi status pekerja dari kondisi menganggur menjadi tetap menganggur, sementara mio
menunjukkan tenaga kerja yang awalnya bekerja di sektor kemudian menjadi menganggur.
Untuk i, j = 1, …, 9 maka mi j menunjukkan volume perpindahan tenaga kerja dari sektor - i ke
sektor -j , sementara mii misalnya menunjukkan tenaga kerja yang tetap bekerja pada sektor
yang sama yakni sektor -i .
Pengujian atas faktor-faktor yang menyebabkan perpindahan tenaga kerja (labor shifting)
dilakukan dengan teknik estimasi regresi multinomial logistic dengan spesifikasi model empiris
sebagai berikut:
P(Y =1|Xj) = β
0+β
j.X
j+ε
j (II.8)
Dimana Y menunjukkan status perpindahan tenaga kerja. Variabel dependen ini
merupakan variabel binary Y =1 dimana untuk menunjukkan responden melakukan shifting
(berpindah kerja), sementara untuk Y =0 menunjukkan responden tidak melakukan shifting
dan menjadi kategori pembanding. Vektor Xj menunjukkan serangkaian karakteristik tenaga
kerja meliputi (i) jenis kelamin dengan coding SEX = 1 untuk jenis kelamin Laki-laki dengan
kategori Perempuan SEX = 0 sebagai pembanding, (ii) usia pekerja (UMUR) yang merupakan
variabel kontinue, (iii) tingkat pendidikan8 dengan coding EDUC_CAT=1 untuk pekerja yang
memiliki tingkat pendidikan tinggi dengan kategori EDUC_CAT=0 sebagai pembanding, (iv)
status pengalaman kerja dengan coding FORMAL_CAT=0 untuk pekerja yang sebelumnya
telah memiliki pengalaman kerja di sektor formal, dengan kategori FORMAL_CAT=1 sebagai
pembanding, (v) upah dengan coding untuk upah tinggi dengan kategori upah rendah ()
sebagai pembanding, dan (v) level jabatan dengan coding untuk level manajer atau diatas
dengan kategori sebagai pembanding.
Estimasi dilakukan untuk satu periode waktu yaitu tahun 2004 yang dianggap sebagai
kondisi normal. Regresi tersebut tidak dilakukan secara panel, tetapi dalam satu periode waktu
tersebut untuk melihat bagaimana peluang perpindahan tenaga kerja didasarkan pada
karakteristiknya (jenis kelamin, umur, pendidikan, berasal dari sektor formal, upah, dan kerah
putih)9.
8 Tingkat pendidikan rendah (EDUC_CAT = 0) adalah responden dengan tingkat pendidikan maksimal SLTP.9 Alternatif spesifikasi model yang lebih kuat adalah panel logistic.
In(Nijt) = δ
i + θ
j + µ
t + β
0.Z
ijt + β
1.X
ijt + ε
ijt
dimana Nijt = jumlah tenaga kerja yang berpindah dari industri i ke industri j pada periode t, θi = set dari dummy variabel untuk
industri asal, ϑj = set dari dummy variabel untuk industri tujuan, µ
t = dummy variabel untuk waktu, Z
ijt = Kedekatan antar sektor
(industy proximity), Xijt
= Karakteristik tenaga kerja (usia, tingkat pendidikan, formal/informal, white/blue collar) yang berpindah dariindustri i ke industri j pada periode t.
284 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Metode Paired Sample Test juga diaplikasikan untuk mengidentifikasi apakah terjadi
structural break pada struktur ketenagakerjaan di Indonesia. Per definisi, structural break diartikan
sebagai perubahan besar baik dalam tingkat serapan maupun mobilitas tenaga kerja, antara
satu titik waktu tertentu dengan titik waktu lainnya.
IV. HASIL DAN ANALISIS
4.1. Structural Break pada Pasar Ketenagakerjaan di Indonesia
Identifikasi struktur ketenagakerjaan dengan menggunakan Paired Sample Test
menunjukkan bahwa tidak ada perubahan struktur dalam pasar tenaga kerja Indonesia selang
periode 1998-2008 yang diobservasi (lihat Tabel II.4). Terdapat beberapa alasan yang diduga
melatarbelakangi hasil tersebut, pertama adalah adanya undang-undang tenaga kerja yang
melindungi para pekerja sehingga biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk melakukan
pengurangan tenaga kerja menjadi mahal. Kedua, turnover pekerja lama dengan pekerja baru
mencapai kurang lebih 20-30 tahun dimana perubahan struktur dapat terjadi pada rentang
waktu tersebut. Ketiga, adanya keterbatasan skill dari tenaga kerja di Indonesia sehingga
menyulitkan para pekerja untuk berpindah. Point terakhir ini akan diuji dalam model faktor-
faktor yang mempengaruhi perpindahan tenaga kerja.
Tabel II.4Hasil Analisis Paired Sample Test
Pair 1 TH1998 - TH1999 -,00030 ,008222 ,001012 -,00232 ,00172 -,299 65 ,766Pair 2 TH1999 - TH2000 -,01281 ,065595 ,008688 -,03021 ,00460 -1,474 56 ,146Pair 3 TH2000 - TH2001 -,0011 ,00920 ,00122 -,0035 ,0014 -,864 56 ,391Pair 4 TH2001 - TH2002 ,0005 ,01061 ,00133 -,0022 ,0031 ,354 63 ,725Pair 5 TH2002 - TH2003 ,0007 ,01176 ,00143 -,0021 ,0036 ,516 67 ,608Pair 6 TH2003 - TH2004 -,0005 ,00567 ,00070 -,0018 ,0009 -,652 65 ,517Pair 7 TH2004 - TH2005 ,0006 ,00551 ,00068 -,0007 ,0020 ,893 65 ,375Pair 8 TH2005 - TH2006 ,0005 ,00445 ,00055 -,0006 ,0015 ,830 65 ,410Pair 9 TH2006 - TH2007 ,0005 ,00874 ,00102 -,0015 ,0026 ,532 73 ,596Pair 10 TH2007 - TH2008 ,0008 ,00612 ,00068 -,0006 ,0021 1,097 79 ,276
Paired DifferencesPaired DifferencesPaired DifferencesPaired DifferencesPaired Differences95% Confidence95% Confidence95% Confidence95% Confidence95% Confidence
Interval of theInterval of theInterval of theInterval of theInterval of theDifferenceDifferenceDifferenceDifferenceDifference
Std.Std.Std.Std.Std. Std.Std.Std.Std.Std.MeanMeanMeanMeanMean DeviationDeviationDeviationDeviationDeviation Error Error Error Error Error
MeanMeanMeanMeanMeanLowerLowerLowerLowerLower UpperUpperUpperUpperUpper
ttttt dfdfdfdfdf Sig.Sig.Sig.Sig.Sig.(2-tailed)(2-tailed)(2-tailed)(2-tailed)(2-tailed)
285Fenomena Labor Shifting Dalam Pasar Tenaga Kerja Indonesia
Dalam periode tahun 1997-2008 tersebut, terdapat beberapa periode yg berpotensi
memberikan perubahan besar dalam pasar tenaga kerja di Indonesia, pertama adalah periode
tahun 1997-1998 yang ditandai dengan terjadinya krisis keuangan Asia, namun tetap disertai
dengan kenaikan jumlah tenaga kerja; kedua adalah periode tahun 2000-2004 yang relatif
stabil dan dapat dikategorikan sebagai kondisi normal; ketiga adalah periode tahun 2005 dan
2008 dimana terjadi mini krisis, yang disertai dengan penurunan jumlah tenaga kerja; dan
keempat adalah periode tahun 2006-2007 yang ditandai dengan peningkatan jumlah tenaga
kerja.
Meski secara statistik hasil paired sample test di atas menunjukkan tidak ada structural
break, namun pengaruh dari gejolak domestik dan eksternal tetap memberikan dinamika tingkat
penyerapan tenaga kerja dan mobilitas lintas sektor dalam pasar ketenagakerjaan di Indonesia.
Sebagaimana diuraikan sebelumnya, pada saat krisis 1997-1998 telah terjadi PHK besar-besaran
namun pada tahun 1998, penyerapan tenaga kerja justru mengalami peningkatan yang positif
yaitu sebesar 2,7% (Tabel II.1). Ini berarti secara agregat tingkat serapan tenaga kerja pada saat
krisis berlangsung relatif tetap dan yang terjadi adalah perpindahan tenaga kerja khususnya ke
sektor informal. Hal ini sejalan dengan uji paired sample di atas.
Pada saat krisis 1997-1998 tersebut, shifting tenaga kerja ke sektor informal tercatat
sebesar 8,7% yang berlangsung pada hampir seluruh sektor kecuali sektor Pertanian.
Sebagaimana diilustrasikan sebelumnya pada bagian Pendahuluan, peningkatan tenaga kerja
informal di sektor Pertanian adalah sebesar 13,1%, Bangunan 27,2%, Perdagangan 1,2%,
Pengangkutan 6,8% dan sektor Jasa sebesar 0,3%.
Krisis kedua yang dialami Indonesia terjadi pada tahun 2008 dengan skala yang lebih
kecil. Dengan menggunakan data primer melalui survey yang dilakukan oleh Bank Indonesia10,
Hasil survei DSM menunjukkan terjadinya penurunan pertumbuhan tenaga kerja dari tahun
2007 - Triwulan I 2009, bahkan mengalami pertumbuhan negatif yakni minus 2.48% pada
Triwulan I 2009 (Grafik II.6).
Dari Grafik II.7 terlihat bahwa sebagian besar tenaga kerja yang digunakan perusahaan
adalah tenaga kerja tetap11 (59.06%). Akan tetapi komposisi tenaga kerja kontrak, apabila
10 Survei Khusus Sektor Riil (SKSR) dilakukan Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter (DSM), Bank Indonesia, terhadap 256 perusahaandi sektor Pertanian, pertambangan, industri pengolahan, konstruksi, dan perdagangan.
11 Definisi yang digunakan: NAKER TETAP adalah tenaga kerja memiliki jam kerja yang tetap setiap hari dan memperoleh jaminanpension, NAKER KONTRAK adalah tenaga kerja yang diikat berdasarkan kontrak / proyek tertentu dan tidak memperoleh jaminanpensiun dan NAKER TIDAK TETAP adalah tenaga kerja dengan jam kerja tertentu dan tanpa jaminan pensiun atau fasilitas perusahaan.
286 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
dibandingkan tahun 2006-2008, mengalami peningkatan tiap tahun. Hal tersebut menunjukkan
bahwa perusahaan mencoba berusaha mengurangi biaya tenaga kerja yang besar yang timbul
bila perusahaan melakukan pemberhentian tenaga kerja.
Grafik II.6Pertumbuhan Tenaga Kerja Tahun 2007 -
Triwulan I 2009
Grafik II.7Status Tenaga Kerja yang Digunakan
Perusahaan
Sementara akibat krisis global pada tahun 2008 ini, terdapat sebanyak 9.77% perusahaan
yang melakukan pengurangan jam kerja pada Triwulan-4 dan 8.59% perusahaan melakukan
pengurangan pada Triwulan-1 2009 (Grafik II.8). Sebagian besar perusahaan melakukan
pengurangan jam kerja secara berturut-turut pada tahun 2008 dan 2009 dengan rata-rata 1
shift.
Grafik II.8Pengurangan Jam Kerja (Shift)
Grafik II.9Pengurangan Tenaga Kerja
530
525
520
515
510
505
500
495
490
485
Jumlah (Ribuan)
2006 2007 2008 TW I 2009
4
3
2
1
0
-1
-2
-3
% yoy
Jumlahyoy
500
514
524
511
2.75
1.92
TK Kontrak(11.25 %)
TK Tetap(50.06 %)
TK Tidak Tetap(29.69 %)
9.77%
90.23%
Tidak melakukan penguranganPengurangan jam Kerja TW 4 2008
8.59%
91.41%
Pengurangan jam kerja TW I-2009Tidak melakukan pengurangan jam kerja
Pengurangan berturut2Pengurangan tidak berturut2
38.29%
61.71% 84.38%
15.62%
Tidak melakukan pengurangan tenaga kerjaPengurangan tenaga kerja TW 4-2008
78.52%
21.48%
Tidak melakukan pengurangan tenaga kerjaPengurangan tenaga kerja TW 1-2009
287Fenomena Labor Shifting Dalam Pasar Tenaga Kerja Indonesia
Pengurangan tenaga kerja terbesar yang dilakukan oleh perusahaan adalah sebesar
15,62% yang terjadi pada Triwulan 4-2008 dan 21.48% pada Triwulan 1-2009 (Grafik II.8).
Tenaga kerja yang dikurangi sebagian besar merupakan tenaga kerja kontrak, dengan sifat
pengurangan adalah permanen (PHK) baik di tahun 2008 maupun 2009. Hal tersebut sejalan
dengan teori yang dikemukanan bahwa perusahaan cenderung mensubstitusi tenaga tetapnya
dengan tenaga kerja kontrak untuk mengurangi komponen biaya upah selain gaji pokok.
Berdasarkan hasil survey, alasan utama perusahaan melakukan pengurangan tenaga kerja
adalah efisiensi biaya (37,61%), penurunan permintaan luar negeri (34,19%), dan penurunan
permintaan dalam negeri (19,66%). Mayoritas perusahaan yang melakukan pengurangan tenaga
kerja adalah perusahaan dengan orientasi penjualan ekspor. Saat krisis tersebut, ekspor mengalami
pertumbuhan negatif sejak bulan November 2008 hingga Juli 2009 (lihat Grafik II.10).
Grafik II.10Nilai Ekspor (Milyar USD)dan Pertumbuhannya (%)
Dari sisi penawaran tenaga kerja, selang periode tahun 1990 √ 2008 angkatan kerja
Indonesia mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 2.30% per tahun (Grafik II.11).
Pertumbuhan angkatan kerja sempat turun menjadi -0.46% pada tahun 2003. Secara rata-
rata sebagian besar angkatan kerja berada pada usia 20-29 tahun (31%), usia 30-39 tahun
(24%), dan 39-40 tahun (18%) seperti terlihat pada Grafik II.12. Komposisi yang besar pada
kedua rentang usia tersebut menunjukkan bahwa Indonesia memiliki penduduk yang produktif
untuk bekerja.
0
2
4
6
8
10
12
14
-40
-30
-20
-10
0
10
20
30
40
50
60
milyar USDyoy %
JanJul1997
JanJul1998
JanJul1999
JanJul2000
JanJul2001
JanJul2002
JanJul2003
JanJul2004
JanJul2005
JanJul2006
JanJul2007
JanJul2008
JanJul2009
PertumbuhanEkspor
288 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Grafik II.11Perkembangan Jumlah Angkatan Kerja
1990-2008
Grafik II.12Perkembangan Jumlah Angkatan Kerja
1990-2008 Berdasarkan Usia
Rata-rata pertumbuhan jumlah tenaga kerja (yoy) dari tahun 1997-2009 adalah sebesar
1,90% (grafik II.10). Sementara itu penyerapan tenaga kerja terbesar terjadi pada sektor
Pertanian (45,39%), kemudian diikuti oleh sektor perdagangan (18,62%), dan sektor Jasa
(12,51%) seperti pada Grafik II.13.
Grafik II.13Perkembangan Jumlah Tenaga Kerja
Tahun 1990-2008
Grafik II.14Perkembangan Jumlah Tenaga KerjaTahun 1990-2008 Berdasarkan Sektor
10
5
0
-5
-10
-15
120
100
80
60
40
0
20
Angkatan KerjaPertumbuhan AK
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
% Juta Orang %
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
01990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
15-19 20-29 30-39 40-49 50-59 > 60 tahun
120
100
80
60
40
0
20
BekerjaPertumbuhan Bekerja
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
% Juta Orang
8
6
0
2
4
4
2
%
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
01990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Agriculture, Forestry and FisheryManufacturing IndustryConstructionTransportation, Storage and Communication
Mining and QuarryingElectricity, Gas and WaterWholesale/Retail Trade, Restaurant, HotelsFinance, Insurance, Real Estate & Business
289Fenomena Labor Shifting Dalam Pasar Tenaga Kerja Indonesia
Rata-rata pertumbuhan jumlah pengangguran Indonesia pada tahun 1990-2008 adalah
10,50% (Grafik II.15). Pada masa-masa krisis, terjadi peningkatan pengangguran, yaitu pada
tahun 1998 dan 2005. Sebagian besar pengangguran merupakan tenaga kerja dengan tingkat
pendidikan yang rendah yaitu SD √ SMU (Grafik II.16).
Grafik II.15Perkembangan Pengangguran Indonesia
1990-2008
Grafik II.16Perkembangan Pengangguran Indonesia
2004-2008 Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Deskripsi dari sisi penawaran tenaga kerja ini menunjukkan bahwa penduduk yang masuk
usia produktif pada masa krisis cenderung menjadi pengangguran karena tidak adanya lapangan
pekerjaan yang baru. Sementara tenaga kerja yang lama cenderung akan melakukan
perpindahan lintas sektor, terutama perpindahan menuju sektor informal untuk
mempertahankan keberadaan mereka di dalam pasar tenaga kerja. Fenomena ini cukup sejalan
dengan hasil paired sample test yang menunjukkan tidak ditemukannya structural break dalam
pasar ketenagakerjaan di Indonesia.
4.2. Determinan Perpindahan Tenaga Kerja
Hasil perhitungan matriks tenaga kerja menunjukkan bahwa sebagian besar tenaga kerja
tidak melakukan perpindahan sektor atau melakukan perpindahan lintas sektor. Alasan paling
utama yang melatarbelakangi adalah keterbatasan skill/kemampuan tenaga kerja tersebut di
sektor yang lain. Sektor yang memiliki persentase tenaga kerja yang relatif tetap bekerja di
sektor tersebut adalah sektor Pertanian dengan rata-rata persentase sebesar 97,8%.
12
1
8
6
4
2
PengangguranBekerja
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
% Juta Orang
8
6
0
-2
-4
4
2
2004 2005 2006 2007 2008
Juta Orang
6
5
2
1
0
4
3
Feb Nov Feb Agust Feb Agust
<SD SMP SMU Diploma/Akademi Universitas
290 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Terlihat bahwa tahun 1999 (krisis) persentase tenaga kerja yang tidak berpindah pada
beberapa sektor relatif lebih rendah yang mengindikasikan relatif besarnya migrasi tenaga
kerja ke sektor lain ataupun yang menjadi pengangguran (Tabel II.5 dan Grafik II.17). Dari
matriks transisi tahun 1998-2008 (Lampiran) terlihat bahwa matriks transisi cenderung tidak
bersifat simetris yang mengindikasikan ketidakseimbangan dalam pola migrasi tenaga kerja
lintas sektor.
Tabel II.5Persentase Tenaga Kerja Sektoral yang Tidak Berpindah dari Sektornya (%)
SektorSektorSektorSektorSektor 19981998199819981998 19991999199919991999 20002000200020002000 20012001200120012001 20022002200220022002 20032003200320032003 20042004200420042004 20052005200520052005 20062006200620062006 20072007200720072007 20082008200820082008 Rata-rataRata-rataRata-rataRata-rataRata-rata
Pertanian 97 97 97 99 99 99 99 97 97 97 96 98Pertambangan 90 91 94 94 95 96 95 96 95 92 92 94Industri 90 91 94 94 94 95 95 94 94 92 91 93Listrik 86 84 94 96 92 95 97 96 94 94 93 93Konstruksi 86 87 91 93 92 94 93 93 93 91 90 91Perdagangan 96 96 96 96 97 98 98 97 97 95 94 96Transportasi 95 95 96 96 96 98 97 97 96 94 94 96Keuangan 90 86 93 93 93 94 93 95 94 91 89 92Jasa 94 95 96 95 96 97 96 96 96 95 94 95
Grafik II.17Persentase Tenaga Kerja Sektoral yang
Tidak Berpindah
Hasil pengujian inferensial atas fenomena labor shifting dengan menggunakan binomial
logistic diberikan dalam Tabel II.6 sementara penghitungan lebih lanjut menghasilkan marginal
effect dari setiap regressor yang hasilnya diberikan dalam Tabel II.7. Estimasi dilakukan secara
parsial sebagaimana ditunjukkan dalam kolom sektor yang berkesesuaian. Hal ini dilakukan
dengan tujuan melihat secara langsung pengaruh masing-masing karakteristik yang dimiliki
tenaga kerja terhadap peluang perpindahan mereka.
82
84
86
88
90
92
94
96
98
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
%
PertambanganIndustriListrikKonstruksiKeuangan
291Fenomena Labor Shifting Dalam Pasar Tenaga Kerja Indonesia
Secara umum hasil estimasi menunjukkan bahwa perbedaan faktor pendidikan
(EDUC_CAT) berpengaruh terhadap peluang perpindahan tenaga kerja kecuali pada sektor
Listrik dan Transportasi. Semakin tinggi tingkat pendidikan, maka peluang perpindahan tenaga
kerja akan semakin besar dari sektor Perdagangan dan sektor Keuangan. Sebaliknya, pada
sektor Pertanian, Pertambangan, Industri dan Listrik, pekerja yang berpendidikan rendah memiliki
peluang lebih kecil untuk keluar dan berpindah dari sektor-sektor tersebut.
Variabel jenis kelamin (SEX) hanya berpengaruh pada perpindahan tenaga kerja di sektor
Pertanian, Pertambangan, Industri, Konstruksi dan Listrik. Pada sektor-sektor ini, tenaga kerja
laki-laki memilik peluang perpindahan yang lebih besar dibandingkan dengan tenaga kerja
perempuan, dan marginal effect terbesar terdapat di sektor Transportasi dimana probablilita
pekerja Laki-laki untuk berpindah kerja, lebih besar 21,9% dibandingkan tenaga kerja
perempuan.
Sementara itu usia pekerja (UMUR) tidak memilik pengaruh signifikan terhadap
kecenderungan perpindahan tenaga kerja. Pengaruh usia yang secara statistik terbukti signifikan
hanya terdapat pada sektor Industri namun dengan nilai marginal effect yang sangat kecil
yakni hanya 0,12%.
Perbedaan tingkat upah (WAGE_CAT) hanya berpengaruh signifikan pada sektor Pertanian,
Industri, Transportasi, Keuangan dan Jasa. Pada sektor ini, pekerja dengan upah tinggi memiliki
kecenderungan yang lebih kecil untuk berpindah terutama pada sektor Keuangan dan Industri
dengan marginal effect masing-masing sebesar -0,137 dan -0,197. Ini berarti pekerja dengan
upah tinggi memiliki peluang perpindahan yang lebih kecil masing-masing 13,7% dan 19,7%
dibandingkan pekerja dengan upah rendah.
Pengalaman kerja formal sebelumnya (FORMAT_CAT) sangat berpengaruh terhadap
peluang perpindahan tenaga kerja dan berlaku pada semua sektor. Menarik untuk mencermati
bahwa pekerja yang telah memiliki pengalaman kerja di sektor formal memiliki kecenderungan
rata-rata untuk berpindah 45% dibandingkan pekerja yang tidak memiliki pengalaman kerja
formal tersebut. Bahkan pada sektor Industri, pekerja dengan pengalaman kerja formal tersebut
memiliki kecenderungan berpindah 66,4% lebih tinggi dan merupakan marginal effect terbesar
diantara 9 sektor yang diteliti.
Analisis lebih lanjut atas hasil pengujian inferensial ini dilakukan dengan
mengkonfrontasikan kondisi sektoral dan persepsi responden atas berbagai kondisi
ketenagakerjaan yang mereka rasakan.
292 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Sektor Konstruksi (b5) merupakan sektor dengan persentase tenaga kerja yang melakukan
perpindahan terbesar antar waktu yaitu rata-rata sebesar 4,6% dan diikuti dengan sektor
Pertambangan dengan rata-rata sebesar 3,9% dan sektor Listrik sebesar 3,7% (Tabel II.8 dan
Tabel II.6Hasil Estimasi Model Peluang Perpindahan Tenaga Kerja
1. Sektor1. Sektor1. Sektor1. Sektor1. Sektor 2. Sektor2. Sektor2. Sektor2. Sektor2. Sektor 3. Sektor3. Sektor3. Sektor3. Sektor3. Sektor 4. Sektor4. Sektor4. Sektor4. Sektor4. Sektor 5. Sektor5. Sektor5. Sektor5. Sektor5. Sektor 6. Sektor6. Sektor6. Sektor6. Sektor6. Sektor 7. Sektor 7. Sektor 7. Sektor 7. Sektor 7. Sektor 8. Sektor8. Sektor8. Sektor8. Sektor8. Sektor 9. Sektor9. Sektor9. Sektor9. Sektor9. SektorPertanianPertanianPertanianPertanianPertanian PertambanganPertambanganPertambanganPertambanganPertambangan IndustriIndustriIndustriIndustriIndustri ListrikListrikListrikListrikListrik KonstruksiKonstruksiKonstruksiKonstruksiKonstruksi PerdaganganPerdaganganPerdaganganPerdaganganPerdagangan TransportasiTransportasiTransportasiTransportasiTransportasi KeuanganKeuanganKeuanganKeuanganKeuangan JasaJasaJasaJasaJasa
Constant -3,24164* -4,12619* -3,74457* -4,22396* -3,80427* -3,49798* -4,0437* -4,07752* -3,53118*UMUR -0,00108 0,001959 -0,00067 -0,00513 -0,00495* 0,002101 -0,00034 -0,00485 0,002225EDUC_CAT -0,33363* -0,2539** -0,1336** 0,080468 -0,20646* 0,119588** 0,047819 0,570363* -0,08274WAGE_CAT 0,346283* 0,160391 0,669032* 0,020468 0,274938* 0,183175* 0,188146* -0,04253 0,281982*JOB_CAT -0,18475* 0,049521 -0,4289* 0,099896 0,091564 -0,03583 -0,1528** -0,5498* -0,21861*FORMAL_CAT 1,489618* 1,705862* 2,657704* 1,396568* 1,64088* 1,623373* 1,605011* 2,06662* 1,998386*SEX 0,325428* 0,270156** 0,209467* NA 0,746603* 0,089385 0,863927* -0,02985 0,029078
Keterangan: Estimasi dilakukan dengan teknik refresi logistic. Dependent variabel: Y=1 (shifting) dan Y=0 (non-shifting).*t) Signifikan pada ? = 1%, **) Signifikan pada ? =10% , ***) Untuk sektor Listrik, variabel SEX dikeluarkan karena respon variabel yang berkesesuaian sempurna dengan variabeldependen. Kolom i menunjukkan hasil estimasi untuk sektor yang bersangkutan.
Tabel II.7Marginal effect
1. Sektor1. Sektor1. Sektor1. Sektor1. Sektor 2. Sektor2. Sektor2. Sektor2. Sektor2. Sektor 3. Sektor3. Sektor3. Sektor3. Sektor3. Sektor 4. Sektor4. Sektor4. Sektor4. Sektor4. Sektor 5. Sektor5. Sektor5. Sektor5. Sektor5. Sektor 6. Sektor6. Sektor6. Sektor6. Sektor6. Sektor 7. Sektor 7. Sektor 7. Sektor 7. Sektor 7. Sektor 8. Sektor8. Sektor8. Sektor8. Sektor8. Sektor 9. Sektor9. Sektor9. Sektor9. Sektor9. SektorPertanianPertanianPertanianPertanianPertanian PertambanganPertambanganPertambanganPertambanganPertambangan IndustriIndustriIndustriIndustriIndustri ListrikListrikListrikListrikListrik KonstruksiKonstruksiKonstruksiKonstruksiKonstruksi PerdaganganPerdaganganPerdaganganPerdaganganPerdagangan TransportasiTransportasiTransportasiTransportasiTransportasi KeuanganKeuanganKeuanganKeuanganKeuangan JasaJasaJasaJasaJasa
Constant -0,81041* -1,03155* -0,93614* -1,05599* -0,95107* -0,8745* -1,01093* -1,01938* -0,88279*UMUR -0,00027 0,00049 -0,00017 -0,00128 -0,00124* 0,000525 -8,60E-05 -0,00121 0,000556EDUC_CAT -0,08341* -0,06348** -0,0334** 0,020117 -0,05162* 0,029897** 0,011955 0,142591* -0,02069JOB_CAT 0,086571* 0,040098 0,167258* 0,005117 0,068734* 0,045794* 0,047037* -0,01063 0,070496*WAGE_CAT -0,04619* 0,01238 -0,10723* 0,024974 0,022891 -0,00896 -0,0382** -0,13745* -0,05465*FORMAL_CAT 0,372404* 0,426466* 0,664426* 0,349142* 0,41022* 0,405843* 0,401253* 0,516655* 0,499596*SEX 0,081357* 0,067539** 0,052367* NA 0,186651* 0,022346 0,215982* -0,00746 0,00727
Keterangan: Marginal effect dihitung sesuai prosedur standar dengan menggunakan distribusi logistik. Dengan coding Y = 0 untuk kategori Non-Shifting, maka nilai marginal effectini menunjukkan pengaruh marginal dari regressor terhadap peluang perpindahan tenaga kerja. Nilai marginal effect = 1 menunjukkan peluang perpindahan yang pasti atau 100%.Script program tersedia pada penulis.
Tabel II.8Persentase Tenaga Kerja Sektoral yang Berpindah Antar Sektor (%)
SektorSektorSektorSektorSektor 19981998199819981998 19991999199919991999 20002000200020002000 20012001200120012001 20022002200220022002 20032003200320032003 20042004200420042004 20052005200520052005 20062006200620062006 20072007200720072007 20082008200820082008 Rata-rataRata-rataRata-rataRata-rataRata-rata
Pertanian 0,6 0,4 0,4 0,4 0,5 0,4 0,5 0,4 0,6 0,9 1,1 0,55Pertambangan 5,6 5,4 2,8 4,6 3,2 2,4 3,0 2,5 2,6 5,4 4,9 3,86Industri 3,8 3,4 2,3 2,4 2,1 1,7 1,9 1,8 1,7 3,2 3,4 2,50Listrik 7,9 9,0 1,0 3,0 5,5 2,0 1,8 1,5 2,1 3,5 3,8 3,75Konstruksi 6,9 6,6 5,0 4,1 4,0 3,3 3,3 3,1 3,6 5,2 4,8 4,55Perdagangan 1,1 1,3 1,1 1,4 0,9 0,7 0,7 0,7 0,9 1,6 2,0 1,13Transportasi 2,9 2,4 1,9 2,3 2,6 1,1 1,4 1,7 2,1 3,8 3,4 2,33Keuangan 3,8 5,4 2,6 3,1 3,1 2,7 2,7 2,2 2,7 4,2 5,4 3,46Jasa 2,2 2,0 1,6 1,9 1,6 1,1 1,3 1,1 1,1 1,8 2,3 1,65
RegressorRegressorRegressorRegressorRegressor
RegressorRegressorRegressorRegressorRegressor
293Fenomena Labor Shifting Dalam Pasar Tenaga Kerja Indonesia
Grafik II.18). Terlihat bahwa tingkat migrasi tenaga kerja relatif tinggi di tahun 1998 ,1999,
2007 dan 2008, dimana pada tahun tersebut terjadi guncangan dalam perekonomian Indonesia.
Grafik II.18Persentase Tenaga Kerja Sektoral yang
Berpindah Antar Sektor
Hasil estimasi menunjukkan kecuali tingkat upah (WAGE_CAT), semua variabel lain
berpengaruh terhadap peluang perpindahan tenaga kerja pada sektor Konstruksi12. Pada sektor
ini, pekerja Laki-laki memiliki peluang lebih besar 18,7% untuk berpindah kerja ke sektor lain.
Untuk pekerja manajer atau dengan tingkatan yang lebih tinggi, peluang perpindahan kerjanya
6,87% lebih besar dibandingkan tenaga buruh. Hasil estimasi juga menunjukkkan tenaga kerja
yang berpendidikan memiliki peluang berpindah kerja lebih kecil 5,1% dibandingkan tenaga
kerja yang tidak berpendidikan. Karakteristik tenaga kerja yang berpengaruh besar terhadap
peluang perpindahan ke sektor lain adalah pengalaman kerja sebelumnya; bagi pekerja yang
sebelumnya telah bekerja di sektor formal, maka peluang untuk berpindah dari sektor Konstruksi
lebih besar 41,02%.
Berdasarkan data Sakernas, sektor yang menjadi tujuan utama migrasi tenaga kerja dari
sektor Konstruksi adalah sektor Pertanian dengan rata-rata 1998-2008 sebesar 2,35% dan
disusul oleh sektor Pedagangan (0,77%). Pada tahun 1998 dan 1999, persentase tenaga kerja
sektor Konstruksi yang melakukan migrasi ke sektor Pertanian mencapai sebesar 4,1% dan
3,1%. Sementara itu, secara rata-rata, dapat dikatakan bahwa migrasi tenaga kerja dari sektor
Konstruksi ke sektor Listrik dan sektor Keuangan sangatlah kecil.
12 Perlu dicatat bahwa hasil estimasi tersebut adalah untuk periode 2005. Potensi dinamika pengaruh variabel lintas waktu (timevarying effect) tidak diperhitungkan dalam paper ini.
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
%
PertambanganIndustriListrikKonstruksiKeuangan
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
294 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Hasil survey menunjukkan alasan utama tenaga kerja yang pindah atau berhenti dari
sektor Konstruksi adalah akibat tidak adanya permintaan/berhenti usaha dengan rata-rata selama
tahun 1998-2007 sebesar 41,6% (Grafik II.19). Alasan kurang memuaskan juga menjadi salah
satu faktor yang menjadi alasan tenaga kerja melakukan pindah/berhenti kerja dari sektor ini,
namun faktor ini kurang berlaku pada tahun 1998. Sementara itu faktor PHK terlihat cukup
tinggi pada tahun 1998 dan 1999.
Grafik II.19Alasan Utama Tenaga Kerja Pindah/Berhenti
Bekerja Pada Sektor Konstruksi
Pada tahun 1998 dan 1999, sektor Pertanian merupakan sektor tujuan migrasi terbesar
dari sektor lainnya. Sebaliknya jumlah tenaga kerja yang bermigrasi dari sektor Pertanian ke
sektor lainnya cenderung lebih kecil. Sektor yang menjadi tujuan utama migrasi tenaga kerja dari
sektor Pertanian dengan rata-rata persentase yang relatif besar tahun 1998 adalah sektor Industri,
sektor Perdagangan dan sektor Konstruksi dengan persentase masing-masing sebesar 0,15%,
0,13% dan 0,12%. Bahkan bisa dikatakan bahwa migrasi tenaga kerja dari sektor Pertanian ke
sektor Listrik dan sektor Keuangan sangat sedikit.
Berdasarkan hasil estimasi, variabel yang berpengaruh besar terhadap perpindahan tenaga
kerja pada sektor Pertanian adalah status pekerjaan sebelumnya. Bagi pekerja yang sebelumnya
telah bekerja di sektor formal, maka kecenderungan untuk meninggalkan sektor Pertanian lebih
besar 37,2% dibandingkan pekerja yang awalnya berasal dari sektor non-formal. Pekerja di sektor
Pertanian yang berpendidikan tinggi memiliki peluang berpindah 8,3% lebih rendah dibandingkan
dengan pekerja berpedidikan rendah. Untuk pekerja dengan tingkat upah tinggi, juga memiliki
kecenderungan berpindah yang lebih kecil yakni 4,6% dibandingkan pekerja dengan upah rendah.
%
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
01998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Lainnya
Tidak cocok denganlingkungan kerja
Pendapatan kurangmemuaskanTidak adapermintaan/usaha berhenti
PHK
295Fenomena Labor Shifting Dalam Pasar Tenaga Kerja Indonesia
Secara umum, pekerja laki-laki yang berumur 35 tahun13, berpendidikan tinggi, memiliki
level manajer, memiliki upah tinggi, dan sebelumnya telah bekerja di sektor formal memiliki
peluang 40,92% untuk tetap bekerja dalam sektor Pertanian. Semakin tua si pekerja maka
peluang untuk tetap di sektor Pertanian akan semakin besar. Berdasarkan hasil survei Sakernas,
proporsi rata-rata responden tahun 1998-2008 yang berpindah kerja karena alasan pendapatan
yang kurang memuaskan adalah sebesar 21,5%. Perpindahan karena alasan tidak adanya
permintaan atau bangkrutnya usaha sebesar 21,98% sementara alasan faktor lainnya adalah
sebesar 47,4% (lihat Grafik II.20).
Sektor Pertanian merupakan tujuan utama migrasi tenaga kerja dari sektor Pertambangan.
Sementara itu, migrasi tenaga kerja dari sektor Pertambangan ke sektor Listrik dan sektor
Keuangan sangat kecil. Hasil estimasi menunjukkan hanya variabel Jenis Kelamin, Pendidikan
dan pengalaman kerja dari pekerja yang berpengaruh signifikan terhadap peluang perpindahan
tenaga kerja dari sektor Pertambangan, sementara faktor umur, tingkatan jabatan dan upah
tidak berpengaruh terhadap perpindahan tenaga kerja pada sektor Pertambangan ini.
Pada sektor Pertambangan, pekerja yang sebelumnya telah memiliki pengalaman kerja
di sektor formal memiliki peluang perpindahan kerja 42,6% lebih besar. Tingkat pendidikan
sendiri berpengaruh negatif dalam pengertian pekerja yang memiliki tingkat pendidikan tinggi
justru memiliki peluang lebih kecil 6,3% lebih rendah untuk berpindah dari sektor Pertambangan.
13 Penentuan umur 35 tahun ini didasarkan pada rata-rata umur responden pada 2 kategori variabel independent. Meski demikianbesaran usia lain dapat dipilih untuk melihat kecenderungan perpindahan tenaga kerja pada usia yang dipilih.
Grafik II.20Alasan Utama Tenaga Kerja Pindah/Berhenti
Bekerja Pada Sektor Pertanian
%
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
Lainnya
Tidak cocok denganlingkungan kerja
Pendapatan kurangmemuaskanTidak adapermintaan/usaha berhenti
PHK
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
296 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Secara umum, pekerja laki-laki di sektor Pertambangan yang berusia 35 tahun,
berpendidikan tinggi, sebelumnya telah memiliki pengalam kerja formal, memiliki upah tinggi
dengan jabatan manajer, akan memiliki peluang untuk berpindah kerja , memiliki peluang
yang lebih besar 53,14% untuk tetap bekerja pada sektor pertambangan. Semakin tua si pekerja,
maka peluang untuk tidak berpindah akan semakin besar. Alasan utama yang menyebabkan
tenaga kerja dari sektor Pertambangan berhenti atau pindah kerja adalah faktor lainnya sebesar
26,57% dan tidak ada permintaan atau bangkrutnya usaha sebesar 23,8%.
Untuk sektor Industri, tenaga kerja yang melakukan migrasi ke sektor lainnya cenderung
lebih besar dibandingkan dengan yang masuk. Sektor yang merupakan tujuan utama migrasi
tenaga kerja dari sektor Industri adalah sektor Pertanian dan sektor Perdagangan, terutama
pada tahun 1998, 1999 dan 2008. Penelusuran hasil estimasi dapat memberikan penjelasan
tentang fenomena ini.
Semua variabel kecuali usia, berpengaruh signifikan terhadap peluang perpindahan tenaga
kerja dari sektor Industri. Hasil estimasi menunjukkan bahwa pekerja dengan upah tinggi memiliki
kecenderungan berpindah kerja 10,7% lebih kecil dibandingkan pekerja dengan upah rendah.
Hal ini sejalan dengan data survey yang menunjukkan faktor pendapatan yang kurang
memuaskan hanya memiliki proprosi lebih dari 16,6% dari seluruh responden.
Pada sisi lain, pekerja dengan level white collar memiliki peluang untuk berpindah kerja
4,0% lebih besar dibandingkan pekerja buruh. Pekerja sektor Manufaktur yang memiliki tingkat
pendidikan tinggi memiliki peluang yang lebih kecil 3,34% lebih kecil dibandingkan pekerja
dengan tingkat pendidikan rendah. Secara total, pekerja laki-laki di sektor Industri yang berumur
Grafik II.21Alasan Utama Tenaga Kerja Pindah/Berhenti
Bekerja Pada Sektor Industri
%
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
Lainnya
Tidak cocok denganlingkungan kerja
Pendapatan kurangmemuaskanTidak adapermintaan/usaha berhenti
PHK
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2008
297Fenomena Labor Shifting Dalam Pasar Tenaga Kerja Indonesia
35 tahun, berpendidikan tinggi, memiliki jabatan manajer, memiliki tingkat upah tinggi dan
sebelumnya telah bekerja di sektor formal lainnya, akan memiiki peluang yang lebih besar 19,86%
untuk tetap di sektor Industri ini. Ini berarti pekerja dengan karakteristik tersebut memiliki peluang
yang lebih besar 80,14% untuk meninggalkan sektor Industri. Peluang perpindahan ini
merupakan yang terbesar diantara 9 sektor yang diteliti. Di sektor Industri ini, alasan utama
perpindahan kerja adalah karena adanya PHK yakni mencapai 41,3% pada tahun 2005.
Untuk sektor Perdagangan, bersama dengan sektor Pertanian sektor ini merupakan sektor
yang menjadi tujuan utama migrasi tenaga kerja dari sektor lainnya. Pada tahun 1998, 1999
dan 2008, persentase tenaga kerja yang melakukan migrasi ke sektor ini dari sektor Keuangan
relatif besar yaitu masing-masing sebesar 2,3%, 1,9% dan 1,9%. Selain faktor lainnya, alasan
utama tenaga kerja melakukan migrasi tenaga kerja dari sektor ini adalah karena alasan
pendapatan yang kurang memuaskan (rata-rata 1998-2008 sebesar 29,32%).
Hasil estimasi menunjukkan bahwa diantara semua variabel penjelas yang diinternalisasi
kedalam model, hanya variabel tingkat pendidikan (EDUC_CAT), level jabatan (JOB_CAT), dan
pengalaman kerja formal sebelumnya (FORMAL_CAT) yang berpengaruh signifikan terhadap
peluang perpindahan tenaga kerja dari sektor Pertambangan ke sektor lain.
Pada sektor Perdagangan ini, pekerja yang sebelumnya telah memiliki pengalaman kerja
di sektor formal memiliki peluang berpindah yang lebih besar 40,58%. Pekerja white collar
memiliki peluang 4,58% lebih besar untuk berpindah sementara pekerja dengan tingkat
pendidikan tinggi juga memiliki peluang berpindah yang lebih besar 2,99% dibandingkan pekerja
berpendidikan rendah. Secara agregat, pekerja laki-laki yang bergelut di sektor Perdagangan,
berumur 35 tahun, berpendidikan tinggi dan memiliki upah tinggi, memiliki jabatan manajer
dan sebelumnya telah memiliki pengalaman kerja di sektor formal, akan memiliki kecenderungan
yang lebih besar 36,12% untuk tetap di sektor Perdagangan. Ini berarti, pekerja dengan
karakterstik tersebut memiliki peluang yang lebih besar 63,88% untuk berpindah dari sektor
Perdagangan. Sepintas hasil estimasi tersebut cukup menarik mengingat perpindahan dari sektor
Perdagangan relatif kecil karena pekerja cenderung menekuni sektor Perdagangan.
Sektor Transportasi memiliki karakteristik yang relatif sama dengan sektor Perdagangan.
Pekerja yang sudah berkecimpung dalam sektor ini, relatif akan tetap berada dalam sektor
tersebut. Berdasarkan hasil estimasi, hanya usia (UMUR) dan tingkat pendidikan pekerja
(EDUC_CAT) yang tidak berpengaruh terhadap peluang perpindahan tenaga kerja dari sektor
Transportasi.
Setelah variabel pengalamn kerja formal (FORMAL_CAT), marginal effect terbesar kedua
adalah jenis kelamin (SEX) dimana tenaga kerja sektro Transportasi laki-laki memiliki peluang
298 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
lebih besar 21,59% lebih besar dibandingkan perempuan. Pekerja level manajer sendiri hanya
memiliki peluang perpindahan kerja 4,7% dibandingkan pekerja buruh.
Dari sejumlah responden yang beralih dari sektor transportasi ini, alasan utama
perpindahan tersebut adalah faktor pendapatan yang kurang memuaskan dengan proporsi
rata-rata sebesar 35,98% untuk selang periode 1998-2008. Secara statistik pengujian inferensial
menunjukkan bahwa pekerja dengan tingkat upah rendah memiliki peluang berpindah yang
lebih besar 3,82% lebih tinggi dibandingkan pekerja dengan upah tinggi. Besaran marginal
effect dari upah di sektor Transportasi ini merupakan yang terbesar ke-5 setelah sektor Keuangan,
Industri, Jasa dan sektor Pertanian.
Untuk sektor Jasa, tujuan utama migrasi tenaga kerja dari sektor ini adalah sektor Pertanian
dan sektor Pedagangan. Berdasarkan hasil estimasi, variabel yang paling berpengaruh terhadap
fenomena labor shifting pada sektor Jasa adalah pengalaman kerja formal sebelumnya
(FORMAL_CAT) dengan marginal effect sebesar 49,9%. Dalam sektor ini, jenis kelamin tidak
berpengaruh terhadap peluang perpindahan tenaga kerja sebagaimana sektor Keuangan dan
sektor Perdagangan yang cenderung bukan sex-dependent sebagaimana setkor Pertambangan,
Konstruksi, Industri dan Pertanian.
Umur dan tingkat pendidikan tidak berpengaruh terhadap peluang perpindahan tenaga
kerja di sektor Jasa. Pekerja dengan tingkat upah tinggi cenderung memiliki peluang 5,46%
lebih kecil dibandingkan pekerja dengan upah rendah. Hal ini sedikit kontradiktif dengan hasil
survey Sakernas bahwa alasan utama tenaga kerja pindah/ berhenti dari sektor Jasa adalah
karena faktor lainnya dan faktor pendapatan yang kurang memuaskan dengan proporsi rata-
rata sebesar 22,34% selang 1998-2008. Pada sisi lain, pekerja level menajer atau lebih tinggi
memiliki kecenderungan 7,05% lebih besar untuk meninggalkan sektor Jasa dibandingkan
dengan pekerja buruh.
Sektor Keuangan merupakan sektor yang paling dinamis diantara 9 sektor yang ada.
Sektor yang menjadi tujuan utama migrasi tenaga kerja dari sektor ini adalah sektor Perdagangan
(1,22%), sektor Jasa (0,56%), sektor Industri (0,49%) dan sektor Pertanian (0,49%). Bahkan
pada tahun 1998, 1999 dan 2008 persentase tenaga kerja dari sektor ini yang melakukan
migrasi ke sektor Perdagangan sebesar 2,3%, 1,9% dan 1,9%.
Penyebab utama tenaga kerja pindah/berhenti dari sektor ini adalah akibat PHK terutama
pada tahun 1998 dan 1999 yang mencapai 49,5% dan 53,3% (Grafik II.22). Faktor pendapatan
yang kurang memuaskan juga menjadi salah satu alasan migrasi, namun alasan ini tidak berlaku
pada masa krisis.
299Fenomena Labor Shifting Dalam Pasar Tenaga Kerja Indonesia
Untuk pekerja sektor Keuangan berjenis kelamin laki-laki, berumur 35 tahun,
berpendidikan tinggi, memiliki jabatan manajer dengan upah tinggi dan telah memiliki
pengalaman kerja formal sebelumnya, akan memilik peluang 55,8% lebih besar untuk tetap di
sektor Keuangan. Lebih lanjut, pekerja Laki-laki dengan umur 35 tahun, namun berpendidikan
rendah, tergolong buruh (blue collar), memiliki upah rendah dan sebelumnya belum pernah
bekerja di sektor formal akan memilki peluang pasti (100%) untuk tetap di sektor ini. Selain
sektor Keuangan, karakteristik terakhir ini hanya dimiliki oleh sektor Listrik.
Variabel penjelas yang sangat berpengaruh terhadap kecenderungan perpindahan tenaga
kerja dari sektor Keuangan adalah pengalaman kerja formal sebelumnya (FORMAL_CAT),
pendidikan (EDUC_CAT), dan tingkat upah (WAGE_CAT) masing-masing dengan marginal effect
51,67%, 14,26% dan 13,75%. Pengaruh tingkat pendidikan dan tingkat upah terhadap peluang
perpindahan tenaga kerja ini merupakan pengaruh yang terbesar diantara semua sektor yang
diobservasi. Pada sisi lain marginal effect dari variabel pengalaman kerja formal pada sektor
Keuangan, merupakan yang terbesar kedua setelah sektor Industri. Karakteristik seperti ini
menegaskan dinamisnya pergerakan tenaga kerja di sektor keuangan, ditambah dengan
karakteristik tingginya tingkat exposure sehingga mudah terpengaruh oleh guncangan. Secara
relatif, sektor Keuangan ini mencatat tingkat pengangguran terbesar kedua yakni 3,00% setelah
sektor Konstruksi (3,08%), dan lebih besar dibandingkan sektor Industri (2,54%). Lihat Tabel
II.9 dan Grafik II.23.
Grafik II.22Alasan Utama Tenaga Kerja Pindah/Berhenti
Bekerja Pada Sektor Keuangan
%
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
Lainnya
Tidak cocok denganlingkungan kerja
Pendapatan kurangmemuaskanTidak adapermintaan/usaha berhenti
PHK
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
300 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
V. KESIMPULAN DAN SARAN
Paper ini telah mengulas fenomena labor shifting di Indonesia sekaligus mengukur faktor-
faktor yang mempengaruhi kecenderungan atau peluang perpindahan tenaga kerja tersebut.
Kesimpulan pertama yang diperoleh dari paper ini adalah tidak ada perubahan struktur dalam
pasar tenaga kerja Indonesia. Meskipun tidak terdapat perubahan struktur dalam pasar tenaga
kerja di Indonesia, namun pengaruh gejolak domestik dan eksternal memberikan dinamika
dalam penyerapan TKI dan mobilitas lintas sektor dalam pasar ketenagakerjaan.
Kesimpulan kedua, sebagian besar tenaga kerja tidak melakukan perpindahan sektor.
Diantara 9 sektor yang diteliti, sektor pertanian melakukan perpindahan paling sedikit. Hal
tersebut disinyalir karena keterbatasan skill untuk tenaga kerja di sektor tersebut yang didukung
Tabel II.9Persentase Tenaga Kerja Sektoral yang Menjadi Pengangguran
SektorSektorSektorSektorSektor 19981998199819981998 19991999199919991999 20002000200020002000 20012001200120012001 20022002200220022002 20032003200320032003 20042004200420042004 20052005200520052005 20062006200620062006 20072007200720072007 20082008200820082008 Rata-rataRata-rataRata-rataRata-rataRata-rata
Pertanian 0,15 0,21 0,26 0,26 0,23 0,16 0,23 0,28 0,36 0,23 0,39 0,25Pertambangan 3,02 2,90 2,88 0,78 1,17 1,26 1,44 0,96 1,89 1,41 1,28 1,72Industri 3,71 3,05 2,27 2,44 2,70 2,02 2,07 2,59 2,48 2,09 2,47 2,54Listrik 4,29 5,37 0,00 0,00 2,12 2,46 1,11 1,16 2,32 1,17 1,68 1,97Konstruksi 4,62 4,67 3,58 1,87 2,87 2,48 2,73 2,95 2,31 2,55 3,22 3,08Perdagangan 1,34 1,24 0,94 1,11 0,89 0,79 0,76 1,22 0,96 1,13 1,42 1,07Transportasi 1,67 2,47 1,00 1,62 1,37 0,88 1,08 0,89 1,24 1,25 1,27 1,34Keuangan 3,71 5,78 2,97 2,93 2,41 2,27 3,02 2,25 2,65 2,40 2,64 3,00Jasa 1,75 1,82 1,11 1,49 1,28 1,11 1,14 1,32 0,84 1,06 1,42 1,30
Grafik II.23Persentase Tenaga Kerja Asal Sektoral yang
Menjadi Pengangguran
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
%
0
1
2
3
4
5
6
7
IndustriKonstruksiKeuangan
301Fenomena Labor Shifting Dalam Pasar Tenaga Kerja Indonesia
oleh negatifnya faktor Pendidikan terhadap peluang perpindahan tenaga kerja dari sektor
Pertanian. Dalam sektor Pertanian ini, pekerja yang berpendidikan tinggi memiliki peluang
berpindah 8,34% lebih rendah dibandingkan dengan pekerja berpedidikan rendah. Untuk
pekerja dengan tingkat upah tinggi, juga memiliki kecenderungan berpindah yang lebih kecil
yakni 4,6% dibandingkan pekerja dengan upah rendah.
Selain itu, hasil penelitian juga menunjukkan relatif kecilnya marginal effect dari
pengalaman kerja formal sebelumnya dari pekerja dibandingkan sektor lain yang diteliti. Bagi
pekerja yang sebelumnya telah bekerja di sektor formal, maka kecenderungan untuk
meninggalkan sektor Pertanian lebih besar 37,2% dibandingkan pekerja yang awalnya berasal
dari sektor non-formal. Secara rata-rata untuk seluruh sektor, bagi pekerja yang telah memiliki
pengalaman kerja di sektor formal akan memiliki kecenderungan berpindah 45% lebih besar
dibandingkan pekerja yang tidak memiliki pengalaman kerja formal tersebut. Bahkan pada
sektor Industri, kecenderungan berpindah ini 66,4% lebih tinggi.
Kesimpulan ketiga, sektor Industri merupakan sektor yang mengalami pengurangan
tenaga kerja yang konstan dan tidak diikuti migrasi tenaga kerja ke sektor tersebut. Selain itu
sebagian besar pengangguran juga berasal dari sektor Industri. Perpindahan tenaga kerja
sebagian besar disebabkan karena adanya pendapatan yang kurang memuaskan, PHK, usaha
terhenti, dan karena memperoleh pendapatan yang sama dibandingkan pekerjaan sebelumnya
. Hal ini didukung oleh hasis estimasi model yang menunjukkan bahwa bagi pekerja berjenis
kelamin laki-laki, berumur 35 tahun, berpendidikan tinggi, memiliki jabatan manajer dengan
upah tinggi dan telah memiliki pengalaman kerja formal sebelumnya, maka 3 peluang terbesar
untuk tidak shifiting dan tetap berada disektor yang sama terdapat pada sektor Listrik dengan
peluang 70,15% lebih besar, sektor Keuangan (55,8%) dan sektor Pertambangan (53,13%).
Pada sisi lain, peluang perpindahan tenaga kerja untuk melakukan shifting, terbesar ada pada
sektor Industri (80,14%), Konstruksi (64,3%) dan Transportasi (62,4%).
Kesimpulan keempat, perpindahan tenaga kerja cenderung ke arah sektor Pertanian dan
perdagangan. Sektor ini dapat merupakan jaring pengaman pada saat terjadi pengurangan
tenaga kerja yang banyak. Di sisi lain, sektor Pertanian juga mampu menyerap pengangguran
dan bukan angkatan kerja.
Kesimpulan kelima, faktor pendidikan tidak berpengaruh terhadap peluang perpindahan
tenaga kerja pada sektor Listrik dan Transportasi. Untuk sektor Perdagangan, semakin tinggi
tingkat pendidikan maka peluang tenaga kerja untuk berpindah kerja dari sektor tersebut akan
semakin tinggi 2,98%. Hal yang sama berlaku untuk sektor Keuangan dengan peluang lebih
tinggi 14,26%. Marginal effect pada sektor Keuangan ini merupakan yang tertinggi diantara
semua sektor.
302 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Kesimpulan keenam, variabel jenis kelamin (SEX) hanya berpengaruh pada sektor
Pertanian, Pertambangan, Industri, Konstruksi dan Listrik yang relatif dapat dikategorikan sebagai
sex-dependent sektor. Pada sektor-sektor ini, tenaga kerja laki-laki memilik peluang perpindahan
yang lebih besar dibandingkan dengan tenaga kerja perempuan, dan kecenderungan yang
terbesar terjadi di sektor Transportasi dengan peluang 21,9% lebih besar dibandingkan tenaga
kerja perempuan.
Kesimpulan ketujuh, usia pekerja tidak memilik pengaruh signifikan terhadap
kecenderungan perpindahan tenaga kerja. Pengaruh usia yang secara statistik terbukti signifikan
terdapat pada sektor Industri namun dengan nilai marginal effect yang sangat kecil yakni hanya
0,12%.
Kesimpulan kedelapan, tingkat upah hanya berpengaruh signifikan pada sektor Pertanian,
Industri, Transportasi, Keuangan dan Jasa. Pada sektor ini, pekerja dengan upah tinggi memiliki
kecenderungan yang lebih kecil untuk berpindah terutama pada sektor Keuangan dan Industri
dengan marginal effect masing-masing sebesar -0,137 dan -0,197. Ini berarti pekerja dengan
upah tinggi memiliki peluang perpindahan yang lebih kecil masing-masing 13,7% dan 19,7%
dibandingkan pekerja dengan upah rendah.
Kesimpulan kesembilan, sektor Keuangan merupakan sektor yang paling dinamis diantara
9 sektor yang ada, dengan target migrasi terbesar ke sektor Perdagangan (1,22%), sektor Jasa
(0,56%), sektor Industri (0,49%) dan sektor Pertanian (0,49%). Variabel penjelas yang sangat
berpengaruh terhadap kecenderungan perpindahan tenaga kerja dari sektor Keuangan adalah
pengalaman kerja formal sebelumnya (FORMAL_CAT), pendidikan (EDUC_CAT), dan tingkat
upah (WAGE_CAT) masing-masing dengan marginal effect 51,67%, 14,26% dan 13,75%.
Pengaruh tingkat pendidikan dan tingkat upah terhadap peluang perpindahan tenaga kerja ini
merupakan pengaruh yang terbesar diantara semua sektor yang diobservasi. Pada sisi lain
pengaruh pengalaman kerja formal terhadap peluang shifting pada sektor Keuangan, merupakan
yang terbesar kedua setelah sektor Industri.
Paper ini membuka peluang untuk penelitian lebih lanjut yakni pengembangan pemodelan
menjadi panel logistic baik dengan memperhitungkan variasi lintas sektor (cross sectional
variation) dan lintas waktu (time varying effect) dari variabel penjelas. Selain itu, pemodelan
dapat dikembangkan untuk dapat menginternaliasasi faktor-faktor structural seperti ukuran
dan pertumbuhan sektoral, tingkat exposure masing-masing sektor, serta variabel lain yang
memiliki landasan kuat dan atau keterkaitan empiris yang erat dengan fenomena labor shifiting.
303Fenomena Labor Shifting Dalam Pasar Tenaga Kerja Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Auerbach, Alan dan Laurence Kotlikoff. 1998. ≈Macroeconomics∆. MIT Press.
Blanchard, Olivier. 2005.≈Macroeconomics∆. Prenctice Hall.
Holzer, Harry J. 1989. ≈Employment, Unemployment and Demand Shifts in Local Labor
Market∆.∆NBER Working Paper Series 2858.
Jovanovic, B. 1978. ≈Job-Matching and the Theory of Turnover.∆∆Ph.D. Thesis. University of
Chicago.
Lilien, David M. 1982. ≈Sektoral Shift and Cyclical Unemployment∆. Journal of Political Economy
No. 4.
Lee, Donghoon dan Kenneth I. Wolpin. 2006.≈Intersektoral Labor Mobility and The Growth of
The Service Sektor∆. Econometrica Vol. 74 No. 1.
Mincer, Jacob dan Boyan Jovanoic. 1982. ≈Labor Mobility and Wages∆. NBER Working Paper
No. W0357.
Niederle, M. dan Roth Alvin E., 2003, Unraveling Reduces Mobility in a Labor Market:
Gastroenterology with and without a Centralized Match, Journal of Political Economy,
Vol.111 No.6.
Permata, Meily Ika. 2008. ∆Labor Productivity Growth : Labor shifting or Sektoral Productivity
Growth∆.∆Laporan Hasil Penelitian. Bank Indonesia.
Pack, Howard dan Christina Paxson. 1999.∆∆Inter-industri labor mobility in Taiwan, China.
Policy∆∆Research Working Paper Series 2154. World Bank.
Parewangi, AMA, 2008,
Dinamika Ketenagakerjaan: Tinjauan dari Perspektif Mikro Perusahaan, Industri dan Makro
Perekonomian, modul training Fundamental Asia, mimeo.
Shrek, James. 2008.∆Job to Job Transitions: More Mobility and Security in The
Workforce∆∆Center For Data Analysis 08-06.The Heritage Foundation.
304 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
33.971.710 14.983 58.939 0 32.323 44.313 23.984 0 21.466 53.771 1.896 121.192 63.640 436.29917.217 558.143 1.684 318 2.334 7.879 2.599 0 2.301 18.650 0 2.704 2.280 1.227
159.337 4.648 8.875.428 617 32.754 103.877 30.810 2.661 38.017 366.277 1.953 148.142 62.117 42.1985.458 1.503 0 142.913 3.186 2.311 0 0 609 7.111 0 1.224 1.456 0
145.537 7.753 20.007 0 3.096.868 31.441 25.525 925 16.958 165.651 1.993 14.813 37.457 16.88880.849 1.833 20.068 0 18.581 14.749.254 19.693 295 25.006 206.354 3.827 138.997 37.807 111.82339.833 7.933 9.458 0 9.578 34.990 3.807.345 1.181 12.968 66.947 0 3.102 12.462 8.0743.899 0 2.389 0 280 14.329 547 570.377 2.750 23.374 704 7.534 2.539 1.547
113.002 2.273 30.629 0 23.108 71.751 26.745 874 11.503.044 214.157 4.883 95.642 81.431 43.413
561.788 11.712 119.100 0 19.154 112.186 12.653 0 76.560 139.010 2.843.969 179.653 390.381 29.331.158
8.372.886 22.728.593 4.840.348 434.317 536.869 2.409 234.469 995.230 159.233 28.551 469.746 4.509.898 1.808.779 51.859
Usia KerjaUsia KerjaUsia KerjaUsia KerjaUsia KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaBekerjaBekerjaBekerjaBekerjaBekerja
BukanBukanBukanBukanBukanUsiaUsiaUsiaUsiaUsiaKerjaKerjaKerjaKerjaKerja
Bukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan Kerja
PengangguranPengangguranPengangguranPengangguranPengangguran SekolahSekolahSekolahSekolahSekolahMengurusMengurusMengurusMengurusMengurus
RumahRumahRumahRumahRumahTanggaTanggaTanggaTanggaTangga
LainnyaLainnyaLainnyaLainnyaLainnya
111112222233333444445555566666777778888899999
11111 22222 33333 44444 55555 66666 77777 88888 99999
Beke
rjaBe
kerja
Beke
rjaBe
kerja
Beke
rja
Angk
atan
Ker
jaAn
gkat
an K
erja
Angk
atan
Ker
jaAn
gkat
an K
erja
Angk
atan
Ker
ja
Usia
Kerja
Usia
Kerja
Usia
Kerja
Usia
Kerja
Usia
Kerja
PengangguranPengangguranPengangguranPengangguranPengangguran
Bukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan Kerja
Bukan Usia KerjaBukan Usia KerjaBukan Usia KerjaBukan Usia KerjaBukan Usia Kerja
Matriks TransisiMatriks TransisiMatriks TransisiMatriks TransisiMatriks Transisi
33.156.354 16.029 24.070 0 12.462 37.249 13.428 0 19.568 72.927 3.852 133.688 50.197 469.66319.086 623.192 2.840 0 924 7.874 1.770 826 3.798 19.804 0 1.665 1.470 0
135.228 4.244 10.245.619 0 24.421 118.657 39.289 2.485 54.571 342.567 2.573 151.931 41.872 51.9798.283 0 1.041 183.912 2.713 4.770 711 0 2.188 11.762 0 1.037 2.545 0
121.699 2.896 31.017 0 3.040.719 35.598 21.575 0 16.995 163.150 774 17.438 29.001 16.25675.710 0 45.098 0 22.077 15.454.187 22.847 881 41.339 200.615 4.995 119.958 36.773 125.79334.883 2.635 18.888 0 1.959 26.693 3.861.291 1.269 13.694 100.841 1.269 3.389 10.339 8.1344.684 0 8.010 0 1.269 13.063 5.498 584.719 4.427 39.190 0 11.574 4.152 1.805
96.334 613 33.709 539 23.314 54.536 24.171 2.711 11.289.871 217.113 1.899 84.572 54.193 49.361
58.213 539.902 8.896 152.268 0 15.249 113.362 9.759 0 55.421 283.714 2.752.644 160.267 258.884
28.566.966 8.142.446 22.315.681 4.328.816 485.939 618.232 3.129 229.884 1.042.186 161.699 29.104 461.574 7.004.468 1.769.466
Usia KerjaUsia KerjaUsia KerjaUsia KerjaUsia KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaBekerjaBekerjaBekerjaBekerjaBekerja
BukanBukanBukanBukanBukanUsiaUsiaUsiaUsiaUsiaKerjaKerjaKerjaKerjaKerja
Bukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan Kerja
PengangguranPengangguranPengangguranPengangguranPengangguran SekolahSekolahSekolahSekolahSekolahMengurusMengurusMengurusMengurusMengurus
RumahRumahRumahRumahRumahTanggaTanggaTanggaTanggaTangga
LainnyaLainnyaLainnyaLainnyaLainnya
111112222233333444445555566666777778888899999
11111 22222 33333 44444 55555 66666 77777 88888 99999
Matriks TransisiMatriks TransisiMatriks TransisiMatriks TransisiMatriks Transisi
Lampiran: Matriks Transisi Tenaga Kerja lintas Sektor
Tahun 1998
Tahun 1999
Beke
rjaBe
kerja
Beke
rjaBe
kerja
Beke
rja
Angk
atan
Ker
jaAn
gkat
an K
erja
Angk
atan
Ker
jaAn
gkat
an K
erja
Angk
atan
Ker
ja
Usia
Kerja
Usia
Kerja
Usia
Kerja
Usia
Kerja
Usia
Kerja
PengangguranPengangguranPengangguranPengangguranPengangguran
Bukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan Kerja
Bukan Usia KerjaBukan Usia KerjaBukan Usia KerjaBukan Usia KerjaBukan Usia Kerja
305Fenomena Labor Shifting Dalam Pasar Tenaga Kerja Indonesia
33.870.491 14.121 39.894 0 20.202 38.161 19.458 531 21.763 89.735 0 107.783 42.676 39.89321.794 821.923 3.524 0 0 0 0 0 14.763 6.791 475 3.976 0 0
106.922 1.437 10.823.328 0 20.777 80.792 24.968 1.817 35.024 282.054 185 131.073 27.994 25.8690 588 0 134.147 1.136 291 2.184 0 0 0 0 0 854 0
65.454 2.656 16.385 0 3.386.364 30.578 16.522 947 15.524 67.990 841 7.052 5.807 11.75368.509 4.416 44.384 1.746 24.916 15.123.545 28.784 5.446 44.892 173.804 3.907 114.217 26.818 22.04032.919 4.792 13.566 0 6.751 33.751 4.097.100 0 5.117 69.398 0 5.562 13.022 2.1203.642 0 13.159 0 1.758 5.519 4.188 1.044.167 6.393 33.037 2.143 9.172 4.032 766
70.050 5.736 33.929 0 23.257 52.496 17.784 4.719 10.169.157 160.239 706 98.165 49.956 50.166
404.655 11.269 113.450 0 13.303 84.162 11.384 185 51.885 248.289 2.819.413 119.984 256.072 28.322.509
417.317 6.538.941 8.071.566 24.228.413 2.756.026 57.008 4.216.049 987.149 723.624 4.643 276.496 1.451.484 189.586 56.518
Usia KerjaUsia KerjaUsia KerjaUsia KerjaUsia KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaBekerjaBekerjaBekerjaBekerjaBekerja
BukanBukanBukanBukanBukanUsiaUsiaUsiaUsiaUsiaKerjaKerjaKerjaKerjaKerja
Bukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan Kerja
PengangguranPengangguranPengangguranPengangguranPengangguran SekolahSekolahSekolahSekolahSekolahMengurusMengurusMengurusMengurusMengurus
RumahRumahRumahRumahRumahTanggaTanggaTanggaTanggaTangga
LainnyaLainnyaLainnyaLainnyaLainnya
111112222233333444445555566666777778888899999
11111 22222 33333 44444 55555 66666 77777 88888 99999
Matriks TransisiMatriks TransisiMatriks TransisiMatriks TransisiMatriks Transisi
36.259.963 6.417 50.164 0 27.627 33.846 14.519 0 17.744 95.190 1.159 120.118 26.153 539.5996.979 385.991 2.740 0 0 711 962 0 0 11.804 0 1.022 0 0
95.483 962 10.566.920 0 19.666 89.351 31.921 2.674 22.803 256.037 2.576 113.875 35.569 55.7650 0 0 68.689 704 0 0 0 0 0 0 3.516 0 0
74.905 0 25.611 0 3.128.963 32.180 26.826 1.323 10.029 123.411 0 1.296 8.982 14.42368.936 2.833 34.857 1.337 16.126 16.819.056 33.191 3.034 29.656 163.294 1.968 111.717 27.263 144.09220.794 0 5.266 0 5.801 38.161 4.214.866 1.337 12.559 43.700 0 3.474 32.090 9.3083.195 2.137 0 0 962 6.742 4.178 820.456 5.592 26.273 0 3.312 7.994 2.505
44.366 0 25.705 0 14.496 43.795 12.268 6.112 8.893.861 103.398 0 74.914 52.443 36.958
408.802 2.098 102.906 0 14.084 65.158 17.919 1.323 56.214 267.766 2.765.521 91.591 278.377 27.875.284
4.308.188 498.864 576.602 0 220.686 682.756 158.681 37.461 360.663 6.726.636 7.982.191 22.397.998 972.733 45.367
Usia KerjaUsia KerjaUsia KerjaUsia KerjaUsia KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaBekerjaBekerjaBekerjaBekerjaBekerja
BukanBukanBukanBukanBukanUsiaUsiaUsiaUsiaUsiaKerjaKerjaKerjaKerjaKerja
Bukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan Kerja
PengangguranPengangguranPengangguranPengangguranPengangguran SekolahSekolahSekolahSekolahSekolahMengurusMengurusMengurusMengurusMengurus
RumahRumahRumahRumahRumahTanggaTanggaTanggaTanggaTangga
LainnyaLainnyaLainnyaLainnyaLainnya
111112222233333444445555566666777778888899999
11111 22222 33333 44444 55555 66666 77777 88888 99999
Matriks TransisiMatriks TransisiMatriks TransisiMatriks TransisiMatriks Transisi
Tahun 2001
Beke
rjaBe
kerja
Beke
rjaBe
kerja
Beke
rja
Angk
atan
Ker
jaAn
gkat
an K
erja
Angk
atan
Ker
jaAn
gkat
an K
erja
Angk
atan
Ker
ja
Usia
Kerja
Usia
Kerja
Usia
Kerja
Usia
Kerja
Usia
Kerja
PengangguranPengangguranPengangguranPengangguranPengangguran
Bukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan Kerja
Bukan Usia KerjaBukan Usia KerjaBukan Usia KerjaBukan Usia KerjaBukan Usia Kerja
Beke
rjaBe
kerja
Beke
rjaBe
kerja
Beke
rja
Angk
atan
Ker
jaAn
gkat
an K
erja
Angk
atan
Ker
jaAn
gkat
an K
erja
Angk
atan
Ker
ja
Usia
Kerja
Usia
Kerja
Usia
Kerja
Usia
Kerja
Usia
Kerja
PengangguranPengangguranPengangguranPengangguranPengangguran
Bukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan Kerja
Bukan Usia KerjaBukan Usia KerjaBukan Usia KerjaBukan Usia KerjaBukan Usia Kerja
Tahun 2000
306 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
46.551 13 92 0 32 44 18 1 19 110 1 131 62 2916 895 4 1 2 3 3 0 1 11 1 199 3 12.844 1 29 80 28 7 37 369 135 41 102 0 4 216 0 4 1 0 2 5 1 1 0
104 3 27 1 4.687 34 21 2 12 146 6 31 756 1 44 1 16 20.478 25 11 44 187 6 109 29 1842 3 25 0 17 33 5.423 5 24 78 1 8 15 36 1 3 0 4 23 6 1.508 7 39 12 10 0 634 35 1 20 64 29 9 13.734 184 2 87 63 44 518
10 103 0 19 100 8 0 58 388 3.704 154 260 92.745
5.068 1.503 653 6 325 1.465 247 51 443 10.225 11.860 33.463 2.215 62
Usia KerjaUsia KerjaUsia KerjaUsia KerjaUsia KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaBekerjaBekerjaBekerjaBekerjaBekerja
BukanBukanBukanBukanBukanUsiaUsiaUsiaUsiaUsiaKerjaKerjaKerjaKerjaKerja
Bukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan Kerja
PengangguranPengangguranPengangguranPengangguranPengangguran SekolahSekolahSekolahSekolahSekolahMengurusMengurusMengurusMengurusMengurus
RumahRumahRumahRumahRumahTanggaTanggaTanggaTanggaTangga
L a i n n y aL a i n n y aL a i n n y aL a i n n y aL a i n n y a
111112222233333444445555566666777778888899999
11111 22222 33333 44444 55555 66666 77777 88888 99999
Matriks TransisiMatriks TransisiMatriks TransisiMatriks TransisiMatriks Transisi
39.348.575 13.622 46.452 0 42.971 30.350 12.803 1.766 12.295 62.292 0 52.914 14.985 13.9309.037 680.725 2.484 0 1.064 1.512 2.989 0 0 8.945 0 1.546 2.420 283
53.476 2.591 11.009.325 3.132 24.286 62.448 22.604 3.705 25.774 232.982 452 68.627 23.596 8.2842.575 0 0 145.093 0 0 0 146 386 3.757 0 194 444 0
77.764 0 14.033 0 3.868.493 17.421 15.992 3.104 10.037 102.469 430 7.173 12.644 6.42342.147 1.254 22.125 589 10.908 16.240.012 12.827 2.463 15.326 130.869 1.797 44.609 13.797 8.78717.598 1.372 5.082 0 9.216 13.187 4.746.875 1.760 5.639 42.577 0 799 7.780 1716.589 0 2.984 0 3.148 15.390 3.709 1.262.165 4.430 30.555 146 7.156 5.623 3.917
36.339 848 17.529 2.612 8.274 25.363 16.226 3.189 9.522.612 108.791 88 39.389 22.839 21.204
237.038 3.939 56.074 0 3.599 50.436 8.805 2.661 27.862 278.669 2.717.598 132.432 174.334 27.464.983
3.890.057 1.173.004 90.747 405 34.626 261.425 57.526 13.040 68.079 8.454.963 8.761.266 27.563.295 549.121 16.192
Usia KerjaUsia KerjaUsia KerjaUsia KerjaUsia KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaBekerjaBekerjaBekerjaBekerjaBekerja
BukanBukanBukanBukanBukanUsiaUsiaUsiaUsiaUsiaKerjaKerjaKerjaKerjaKerja
Bukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan Kerja
PengangguranPengangguranPengangguranPengangguranPengangguran SekolahSekolahSekolahSekolahSekolahMengurusMengurusMengurusMengurusMengurus
RumahRumahRumahRumahRumahTanggaTanggaTanggaTanggaTangga
LainnyaLainnyaLainnyaLainnyaLainnya
111112222233333444445555566666777778888899999
11111 22222 33333 44444 55555 66666 77777 88888 99999
Matriks TransisiMatriks TransisiMatriks TransisiMatriks TransisiMatriks Transisi
Beke
rjaBe
kerja
Beke
rjaBe
kerja
Beke
rja
Angk
atan
Ker
jaAn
gkat
an K
erja
Angk
atan
Ker
jaAn
gkat
an K
erja
Angk
atan
Ker
ja
Usia
Kerja
Usia
Kerja
Usia
Kerja
Usia
Kerja
Usia
Kerja
PengangguranPengangguranPengangguranPengangguranPengangguran
Bukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan Kerja
Bukan Usia KerjaBukan Usia KerjaBukan Usia KerjaBukan Usia KerjaBukan Usia Kerja
Beke
rjaBe
kerja
Beke
rjaBe
kerja
Beke
rja
Angk
atan
Ker
jaAn
gkat
an K
erja
Angk
atan
Ker
jaAn
gkat
an K
erja
Angk
atan
Ker
ja
Usia
Kerja
Usia
Kerja
Usia
Kerja
Usia
Kerja
Usia
Kerja
PengangguranPengangguranPengangguranPengangguranPengangguran
Bukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan Kerja
Bukan Usia KerjaBukan Usia KerjaBukan Usia KerjaBukan Usia KerjaBukan Usia Kerja
Tahun 2002
Tahun 2003
307Fenomena Labor Shifting Dalam Pasar Tenaga Kerja Indonesia
36.405.915 20.163 32.167 0 49.981 34.890 23.954 2.286 15.463 82.892 922 84.236 40.671 35.79018.305 966.492 315 0 3.843 2.569 2.716 0 2.716 14.590 0 2.671 1.464 060.522 827 10.561.890 1.580 22.474 65.027 25.093 2.317 28.150 230.635 0 70.861 31.851 13.921
375 0 1.112 221.378 0 0 2.680 0 0 2.522 0 0 0 081.773 7.262 11.931 0 4.274.037 30.876 9.825 245 11.001 125.014 0 4.367 13.084 6.84643.905 670 22.604 0 6.759 17.712.480 17.726 3.457 27.338 136.354 388 50.631 14.065 3.12928.658 3.114 12.283 0 7.346 19.256 5.282.695 1.104 6.707 58.781 157 2.236 16.032 5.3853.848 315 8.994 85 1.596 7.547 4.548 1.082.694 4.619 35.211 252 8.450 4.767 2.53054.293 1.497 19.960 1.626 4.625 40.279 10.302 4.689 10.028.201 119.074 135 72.973 41.668 29.424
271.261 3.536 64.857 0 8.545 66.477 9.181 0 42.675 313.056 2.834.987 128.366 189.586 29.694.780
127.779 8.661.744 8.746.091 28.461.281 818.753 13.882 3.724.198 1.072.867 136.946 1.890 110.517 512.408 46.222 18.203
Usia KerjaUsia KerjaUsia KerjaUsia KerjaUsia KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaBekerjaBekerjaBekerjaBekerjaBekerja
BukanBukanBukanBukanBukanUsiaUsiaUsiaUsiaUsiaKerjaKerjaKerjaKerjaKerja
Bukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan Kerja
PengangguranPengangguranPengangguranPengangguranPengangguran SekolahSekolahSekolahSekolahSekolahMengurusMengurusMengurusMengurusMengurus
RumahRumahRumahRumahRumahTanggaTanggaTanggaTanggaTangga
LainnyaLainnyaLainnyaLainnyaLainnya
111112222233333444445555566666777778888899999
11111 22222 33333 44444 55555 66666 77777 88888 99999
Matriks TransisiMatriks TransisiMatriks TransisiMatriks TransisiMatriks Transisi
37.433.969 16.064 32.634 0 30.833 32.745 23.514 1.768 17.451 108.969 1.274 111.899 34.334 577.8369.857 822.578 1.798 572 2.027 3.663 1.577 0 2.255 8.215 0 0 2.881 4.54160.293 549 11.180.158 0 31.739 69.845 31.741 1.839 21.038 307.433 1.479 96.613 32.191 38.578
520 0 1.228 182.790 667 0 489 0 0 2.221 0 0 2.415 41290.609 2.021 8.685 530 4.250.763 20.099 15.625 0 5.227 134.786 466 5.782 18.218 16.77747.324 6.279 26.311 0 13.449 16.607.708 8.574 8.254 18.462 208.734 1.315 100.199 16.898 115.42434.597 1.862 11.454 0 11.551 27.524 5.342.400 759 6.703 49.255 1.285 4.610 13.205 12.9436.189 1.193 3.979 0 0 8.285 1.045 1.055.392 4.221 25.100 1.820 3.547 0 2.70242.339 0 11.005 0 8.584 37.541 10.171 3.641 9.715.928 133.273 0 76.185 32.644 34.392
295.055 2.662 56.727 0 16.175 47.927 6.736 717 33.194 338.638 3.653.017 135.099 218.451 30.340.813
422.140 35.337 495.525 51.278 164.518 512.212 162.241 10.338 4.060.784 761.667 293.830 10.246.105 9.921.287 28.061.906
Usia KerjaUsia KerjaUsia KerjaUsia KerjaUsia KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaBekerjaBekerjaBekerjaBekerjaBekerja
BukanBukanBukanBukanBukanUsiaUsiaUsiaUsiaUsiaKerjaKerjaKerjaKerjaKerja
Bukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan Kerja
PengangguranPengangguranPengangguranPengangguranPengangguran SekolahSekolahSekolahSekolahSekolahMengurusMengurusMengurusMengurusMengurus
RumahRumahRumahRumahRumahTanggaTanggaTanggaTanggaTangga
LainnyaLainnyaLainnyaLainnyaLainnya
111112222233333444445555566666777778888899999
11111 22222 33333 44444 55555 66666 77777 88888 99999
Matriks TransisiMatriks TransisiMatriks TransisiMatriks TransisiMatriks Transisi
Beke
rjaBe
kerja
Beke
rjaBe
kerja
Beke
rja
Angk
atan
Ker
jaAn
gkat
an K
erja
Angk
atan
Ker
jaAn
gkat
an K
erja
Angk
atan
Ker
ja
Usia
Kerja
Usia
Kerja
Usia
Kerja
Usia
Kerja
Usia
Kerja
PengangguranPengangguranPengangguranPengangguranPengangguran
Bukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan Kerja
Bukan Usia KerjaBukan Usia KerjaBukan Usia KerjaBukan Usia KerjaBukan Usia Kerja
Beke
rjaBe
kerja
Beke
rjaBe
kerja
Beke
rja
Angk
atan
Ker
jaAn
gkat
an K
erja
Angk
atan
Ker
jaAn
gkat
an K
erja
Angk
atan
Ker
ja
Usia
Kerja
Usia
Kerja
Usia
Kerja
Usia
Kerja
Usia
Kerja
PengangguranPengangguranPengangguranPengangguranPengangguran
Bukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan Kerja
Bukan Usia KerjaBukan Usia KerjaBukan Usia KerjaBukan Usia KerjaBukan Usia Kerja
Tahun 2004
Tahun 2005
308 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
36.373.563 26.798 53.643 1.354 35.693 42.394 28.381 1.790 18.865 132.920 3.410 179.227 52.926 459.22411.804 819.780 674 0 1.312 3.962 1.605 0 3.348 16.364 641 2.407 2.162 2.67160.486 2.260 11.012.175 513 21.868 65.524 21.515 1.261 20.508 289.478 1.110 118.087 27.189 50.7791.269 0 504 216.246 0 1.144 0 0 1.993 5.319 0 2.694 383 086.352 5.289 18.433 1.182 4.369.185 31.115 14.390 3.716 10.376 108.003 0 8.011 17.491 7.84551.823 2.243 30.516 0 22.273 17.796.258 32.086 6.707 23.905 175.504 5.474 80.046 24.394 108.36733.122 6.614 21.489 0 13.882 24.189 5.357.609 2.602 12.675 69.452 616 7.481 17.190 12.7375.564 855 3.653 0 1.937 7.874 4.977 1.251.650 11.365 35.457 0 9.588 2.456 2.16040.580 1.050 23.934 819 11.972 36.012 9.097 1.498 10.621.217 92.585 1.737 91.773 35.979 45.978
262.927 8.673 60.373 0 5.608 67.654 10.481 1.484 40.754 296.413 3.524.476 105.014 204.780 9.385.829
335.029 9.559.990 9.992.696 29.202.196 438.884 39.864 4.214.510 622.441 369.611 5.822 170.344 546.081 122.616 45.316
Usia KerjaUsia KerjaUsia KerjaUsia KerjaUsia KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaBekerjaBekerjaBekerjaBekerjaBekerja
BukanBukanBukanBukanBukanUs iaUs iaUs iaUs iaUs iaKer jaKer jaKer jaKer jaKer ja
Bukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan Kerja
P e n g a n g g u r a nP e n g a n g g u r a nP e n g a n g g u r a nP e n g a n g g u r a nP e n g a n g g u r a n S e k o l a hS e k o l a hS e k o l a hS e k o l a hS e k o l a hM e n g u r u sM e n g u r u sM e n g u r u sM e n g u r u sM e n g u r u s
R u m a hR u m a hR u m a hR u m a hR u m a hT a n g g aT a n g g aT a n g g aT a n g g aT a n g g a
L a i n n y aL a i n n y aL a i n n y aL a i n n y aL a i n n y a
111112222233333444445555566666777778888899999
11111 22222 33333 44444 55555 66666 77777 88888 99999
Bekerja
Bekerja
Bekerja
Bekerja
Bekerja
Angka
tan Ke
rjaAn
gkatan
Kerja
Angka
tan Ke
rjaAn
gkatan
Kerja
Angka
tan Ke
rja
Usia K
erjaUsi
a Kerja
Usia K
erjaUsi
a Kerja
Usia K
erja
PengangguranPengangguranPengangguranPengangguranPengangguran
Bukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan Kerja
Bukan Usia KerjaBukan Usia KerjaBukan Usia KerjaBukan Usia KerjaBukan Usia Kerja
Matriks TransisiMatriks TransisiMatriks TransisiMatriks TransisiMatriks Transisi
36.624.593 22.503 92.314 496 96.458 94.404 38.836 2.945 31.053 120.302 5.849 280.252 66.336 547.71923.765 886.959 4.205 0 5.827 7.822 4.070 344 2.024 11.899 860 3.790 5.641 3.992120.017 3.758 11.186.265 1.583 36.578 98.336 32.798 7.748 35.793 304.833 10.724 215.771 39.605 50.1831.513 277 288 163.733 804 906 1.037 567 414 3.616 0 255 1.323 401
142.816 8.810 28.700 2.154 4.746.556 49.665 21.619 1.522 15.607 161.882 2.968 13.299 41.171 19.914116.593 4.335 64.255 306 35.352 18.589.627 42.420 16.565 48.416 257.735 15.551 226.979 41.538 161.19661.584 5.420 26.803 85 30.071 48.086 5.521.695 5.153 22.363 73.127 6.099 14.167 20.758 20.4695.996 559 6.903 642 4.506 20.836 8.078 1.266.421 6.362 38.993 3.043 15.711 5.893 5.19792.726 3.926 34.893 620 14.492 70.803 24.299 8.951 11.211.887 171.370 19.914 184.066 54.235 42.090
384.966 7.347 88.744 64 19.388 93.465 13.184 2.123 38.202 201.579 3.297.997 184.678 252.683 30.480.872
8.603.517 10.414.328 27.925.073 4.141.489 680.218 424.076 36.770 564.926 4.455 212.717 65.277 371.068 738.306 173.849
Usia KerjaUsia KerjaUsia KerjaUsia KerjaUsia KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaBekerjaBekerjaBekerjaBekerjaBekerja
BukanBukanBukanBukanBukanUs iaUs iaUs iaUs iaUs iaKer jaKer jaKer jaKer jaKer ja
Bukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan Kerja
P e n g a n g g u r a nP e n g a n g g u r a nP e n g a n g g u r a nP e n g a n g g u r a nP e n g a n g g u r a n S e k o l a hS e k o l a hS e k o l a hS e k o l a hS e k o l a hM e n g u r u sM e n g u r u sM e n g u r u sM e n g u r u sM e n g u r u s
R u m a hR u m a hR u m a hR u m a hR u m a hT a n g g aT a n g g aT a n g g aT a n g g aT a n g g a
L a i n n y aL a i n n y aL a i n n y aL a i n n y aL a i n n y a
111112222233333444445555566666777778888899999
11111 22222 33333 44444 55555 66666 77777 88888 99999
Bekerja
Bekerja
Bekerja
Bekerja
Bekerja
Angka
tan Ke
rjaAn
gkatan
Kerja
Angka
tan Ke
rjaAn
gkatan
Kerja
Angka
tan Ke
rja
Usia K
erjaUsi
a Kerja
Usia K
erjaUsi
a Kerja
Usia K
erja
PengangguranPengangguranPengangguranPengangguranPengangguran
Bukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan Kerja
Bukan Usia KerjaBukan Usia KerjaBukan Usia KerjaBukan Usia KerjaBukan Usia Kerja
Matriks TransisiMatriks TransisiMatriks TransisiMatriks TransisiMatriks Transisi
Tahun 2006
Tahun 2007
309Fenomena Labor Shifting Dalam Pasar Tenaga Kerja Indonesia
36.977.787 35.341 99.083 318 115.085 100.594 44.541 5.147 35.807 149.471 5.383 330.696 95.762 529.01525.241 949.020 5.089 73 6.299 6.710 4.496 309 2.319 13.177 494 7.669 6.545 2.768113.639 4.899 11.413.852 402 52.906 150.633 45.427 10.902 44.349 308.206 5.894 233.092 56.268 55.0072.028 869 742 190.953 128 2.691 325 0 1.105 3.459 321 321 2.273 772
112.662 7.537 36.436 610 4.960.259 54.341 26.944 4.418 21.669 176.916 3.443 26.195 47.929 13.659126.530 6.056 84.450 775 47.940 19.283.645 48.030 17.386 81.641 290.365 15.629 221.990 59.999 150.02553.405 3.826 23.610 817 28.479 66.348 5.759.310 5.653 23.946 77.632 2.931 21.134 21.320 15.18011.853 422 6.092 0 7.645 28.827 10.494 1.328.691 15.768 39.277 3.723 23.485 6.805 5.36293.186 4.999 53.587 904 15.784 95.955 29.272 7.382 12.255.901 185.799 8.392 225.959 49.749 45.507
337.722 8.866 82.872 67 16.259 110.748 15.740 2.064 47.962 173.570 3.602.852 210.219 285.652 31.305.998
327.968 7.954.034 9.577.004 28.129.408 4.264.221 636.941 304.286 30.998 396.682 4.584 137.182 579.729 118.195 43.968
Usia KerjaUsia KerjaUsia KerjaUsia KerjaUsia KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaAngkatan KerjaBekerjaBekerjaBekerjaBekerjaBekerja
BukanBukanBukanBukanBukanUsiaUsiaUsiaUsiaUsiaKerjaKerjaKerjaKerjaKerja
Bukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan Kerja
PengangguranPengangguranPengangguranPengangguranPengangguran SekolahSekolahSekolahSekolahSekolahMengurusMengurusMengurusMengurusMengurus
RumahRumahRumahRumahRumahTanggaTanggaTanggaTanggaTangga
LainnyaLainnyaLainnyaLainnyaLainnya
111112222233333444445555566666777778888899999
11111 22222 33333 44444 55555 66666 77777 88888 99999
Bekerja
Bekerja
Bekerja
Bekerja
Bekerja
Angka
tan Ke
rjaAn
gkatan
Kerja
Angka
tan Ke
rjaAn
gkatan
Kerja
Angka
tan Ke
rja
Usia K
erjaUsi
a Kerja
Usia K
erjaUsi
a Kerja
Usia K
erja
PengangguranPengangguranPengangguranPengangguranPengangguran
Bukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan KerjaBukan Angkatan Kerja
Bukan Usia KerjaBukan Usia KerjaBukan Usia KerjaBukan Usia KerjaBukan Usia Kerja
Matriks TransisiMatriks TransisiMatriks TransisiMatriks TransisiMatriks Transisi
Tahun 2008
310 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
halaman ini sengaja dikosongkan
311Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiahdan Kinerja Perekonomian Indonesia
PENGARUH DINAMIKA PENAWARANDAN PERMINTAAN VALAS TERHADAP NILAI TUKAR RUPIAH
DAN KINERJA PEREKONOMIAN INDONESIA
SugengM. Noor Nugroho
IbrahimYanfitri 1
Abstraksi
This study examines the influence of forex demand and supply interaction on Rupiah's exchange
rate. Estimation results show that the movement of rupiah is influenced by the forex supply and demand,
where the foreign players are dominating. Furthermore, the demand and supply of foreign exchange is
asymmetric.
This paper also shows the impact of exchange rate movements on output is only in the short term
with a more significant influence to the import, while the depreciation of Rupiah has a larger impact than
its appreciation.
Keywords: Foreign exchange, inflation, exchange rate.
JEL Classification: E31, F31
1 Sugeng (sugeng@bi.go.id), M. Noor Nugroho (nugroho@bi.go.id), Ibrahim (ibrahim@bi.go.id) dan Yanfitri (yanfitri@bi.go.id) adalahpeneliti di Biro Riset Ekonomi - DKM Bank Indonesia. Penulis berterima kasih kepada Bapak Made Sukada, Dr. Iskandar Simorangkirdan seluruh peneliti lain atas komentar dan masukan dalam paper ini.
312 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
I. PENDAHULUAN
Nilai tukar merupakan indikator ekonomi penting yang memiliki peran strategis dalam
suatu perekonomian. Pergerakan nilai tukar berpengaruh luas terhadap berbagai aspek
perekonomian, termasuk perkembangan harga (inflasi), kinerja ekspor-impor yang pada
gilirannya berpengaruh pada output perekonomian. Selain berpengaruh luas, pergerakan nilai
tukar bagaikan pedang bermata dua, misalnya, pada saat terjadi depresiasi pihak eksportir
diuntungkan karena harga relatif produk ekspor Indonesia yang menjadi lebih murah. Sebaliknya,
depresiasi rupiah merugikan importir dan debitur utang luar negeri dengan meningkatnya
biaya impor dan beban pembayaran utang LN (ekivalen dalam mata uang domestik). Depresiasi
juga meningkatkan tekanan inflasi dimana apabila inflasi meningkat cukup signifikan akan
berdampak negatif bagi seluruh perekonomian. Dampak akhirnya akan sangat bergantung
pada perbandingan besarnya dampak positif dan negatif dari depresiasi rupiah. Pada kasus
apresiasi rupiah akan berlaku sebaliknya.
Indonesia sebagai penganut perekonomian terbuka dengan sistem nilai tukar
mengambang juga menghadapi dilema di atas, terlebih saat rupiah bergerak sangat fluktuatif
seperti yang terjadi pada triwulan terakhir 2008 setelah krisis keuangan global. Hal ini berdampak
negatif terhadap pasar keuangan domestik dan perekonomian secara keseluruhan.
Mengingat pergerakan nilai tukar rupiah yang cukup volatile dan dampak negatifnya
yang luas bagi perekonomian, upaya menjaga stabilitas nilai tukar rupiah merupakan tantangan
yang tidak mudah bagi Bank Indonesia di tengah perekonomian yang sangat terbuka dengan
sistem devisa bebas dan regim nilai tukar mengambang. Stabilitas rupiah menjadi semakin
krusial terkait dengan pencapaian target inflasi mengingat dampak nilai tukar terhadap inflasi
dan ekspektasi inflasi yang cukup besar (Kurniati, 2007, Kurniati dkk, 2008).
Dalam upaya menjaga stabilitas nilai tukar perlu terlebih dahulu dikenali faktor-faktor
yang mempengaruhi pergerakannya. Banyak kajian telah dilakukan untuk menyusun model
nilai tukar yang dapat menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhinya, serta mengukur
signifikansi dan besarnya pengaruh masing-masing faktor tersebut. Di Bank Indonesia, beberapa
kajian mengenai nilai tukar rupiah dengan menggunakan pendekatan fundamental
makroekonomi juga telah dilakukan, seperti model behavioral equilibrium exchange rate (BEER)
yang menunjukkan bahwa pergerakan nilai tukar rupiah riil secara signifikan dipengaruhi oleh
faktor risiko dan beberapa variabel makroekonomi, yaitu interest rate differential, terms of
trade, produktivitas dan net foreign asset. Kajian tersebut menunjukkan bahwa pergerakan
rupiah lebih banyak dipengaruhi oleh faktor risiko daripada variabel makroekonomi. Selain
untuk keperluan evaluasi atau asesmen pergerakan rupiah, model BEER ini juga dimanfaatkan
313Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiahdan Kinerja Perekonomian Indonesia
untuk proyeksi nilai tukar rupiah. Model lain yang juga dikembangkan - sebagai pembanding
model BEER - adalah model fundamental equilibrium exchange rate (FEER) dan effective real
exchange rate yang juga menggunakan pendekatan makroekonomi.
Dalam praktek penelitian, memodelkan nilai tukar merupakan salah satu topik yang sangat
sulit untuk dilakukan. Akibatnya, jarang sekali ditemukan model nilai tukar yang dapat
menjelaskan fenomena pergerakan nilai tukar dengan sangat memuaskan, terlebih untuk
keperluan forcasting. Suatu model mungkin dapat menjelaskan dengan baik perkembangan
nilai tukar di suatu negara dan dalam suatu periode tertentu, namun di saat yang lain, dengan
model yang sama mungkin tidak dapat ladi digunakan. Untuk mengatasi kelemahan tersebut
banyak ekonom dan praktisi (dan juga bank sentral) membangun beberapa model alternatif
sehingga model-model tersebut dapat saling melengkapi untuk dapat menjelaskan pergerakan
nilai tukar secara akurat.
Dengan memperhatikan berbagai hal di atas, kajian ini ditujukan untuk memberikan
model nilai tukar alternatif (serta dengan pendekatan alternatif) agar dapat menjelaskan
pergerakan nilai tukar rupiah dengan lebih baik. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
penawaran dan permintaan valuta asing (valas) di pasar valas domestik. Secara teoritis, interaksi
antara permintaan dan penawaran valas - sebagai komoditi yang diperdagangkan di pasar
valas - akan membentuk harga yang dalam hal ini adalah nilai tukar rupiah (rupiah terhadap
dolar AS). Mengacu pada teori tersebut, model nilai tukar yang akan dihasilkan oleh penelitian
ini diharapkan dapat menjelaskan pengaruh dinamika penawaran dan permintaan valas terhadap
pergerakan nilai tukar rupiah. Selain mengukur pengaruhnya terhadap nilai tukar, lebih jauh
lagi akan diukur pengaruhnya terhadap harga dan output perekonomian.
Untuk lebih memperkaya pemahaman tentang dinamika penawaran dan permintaan di
pasar valas domestik sehingga dapat meningkatkan nilai tambah dari model nilai tukar yang
dihasilkan, penelitian ini juga akan menganalisis struktur pasar valas yang mencakup pelaku
pasar, karakteristiknya dan transaksi valas yang dilakukannya, serta dampaknya terhadap
perkembangan nilai tukar rupiah.
Dalam pelaksanaan penelitian ini terdapat beberapa hal yang memiliki pengertian yang
sangat luas atau bahkan spesifik. Pasar valas dapat diartikan sebagai terjadinya pertukaran
atau jual-beli antara satu mata uang dengan mata uang lainnya. Oleh karena itu, transaksi
valas yang terjadi antar satu orang dengan orang lainnya tanpa memperhatikan tempat
transaksinya, seperti transaksi valas di pedagang valuta asing (money changer), di bank, dan
transaksi valas antar bank, dapat diartikan sebagai pasar valas. Dalam penelitian ini pasar valas
dibatasi hanya pada transaksi valas yang terjadi di perbankan domestik (bank berfungsi sebagai
314 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
pasar valas), dan dilaporkan oleh bank ke Bank Indonesia melalui Laporan Harian Bank Umum
(LHBU) yang mencakup (i) individual, (ii) korporasi, (iii) bank domestik dan (iv) pihak luar negeri.
Bank sebagai pasar valas, karena perannya yang berfungsi sebagai intermediasi untuk
mempertemukan penawaran dan permintaan. Bank dapat dipersamakan sebagai pasar valas
oleh karena bank cenderung netral, walaupun bank juga dapat melakukan transaksi untuk
kepentingannya sendiri dan mengambil posisi long atau short valas. Namun demikian, posisi
bank relatif terbatas (mendekati netral) oleh karena:
" Manajemen risiko bank akan mengarahkan bank pada posisi netral untuk menghindari
risiko nilai tukar, dan
" Apabila bank mengambil risiko dengan mengambil posisi long/short valas, bank dibatasi
oleh ketentuan posisi devisa neto.
Penawaran dan permintaan valas dalam penelitian ini merupakan penawaran dan
permintaan efektif, karena telah terealisasikan dalam bentuk transaksi valas. Penawaran atau
permintaan valas dibedakan dari sudut pandang bank - sebagai pasar valas - berdasarkan
aliran valas yang terjadi akibat dari transaksi valas yang dilakukan oleh bank.
Penawaran valas adalah aliran valas masuk ke pasar, sehingga transaksi valas yang
merepresentasikannya adalah transaksi beli valas (jual rupiah) oleh bank dimana bank menerima
valas dari counterpart (lawan transaksi) dan sebagai lawan transaksinya, bank menyerahkan
rupiah kepada counterpart dengan jumlah yang ekivalen.
Sebaliknya, permintaan adalah aliran valas keluar dari bank yang direpresentasikan oleh
transaksi jual valas oleh bank. Akumulasi dari seluruh transaksi beli dan jual valas oleh seluruh
bank akan menunjukkan posisi bank sebagai net beli (transaksi beli lebih besar dibandingkan
dengan transaksi jual) atau net jual yang juga dapat dipersamakan dengan excess supply atau
excess demand.
Bagian kedua dari paper ini mengulas teori yang mendasari penelitian ini, bagian ketiga
membahas data dan metodologi yang digunakan. Bagian keempat mengulas hasil estimasi
dan analisis sementara kesimpulan dan saran akan menjadi penutup.
II. TEORI
II.1. Teori Permintaan dan Penawaran
Di pasar terdapat dua kekuatan utama yang saling berinteraksi, yaitu permintaan dan
penawaran, sehingga terbentuk keseimbangan yang dicerminkan pada level harga dan kuantitas
315Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiahdan Kinerja Perekonomian Indonesia
dimana kurva permintaan dan penawaran bertemu. Hukum penawaran menghubungkan
berbagai titik kombinasi antara jumlah barang (atau jasa) dan tingkat harga yang ditawarkan.
Semakin tinggi harga, akan semakin tinggi kuantitas yang ditawarkan - atau sebaliknya jika
harga turun - dengan asumsi ceteris paribus, sehingga terdapat hubungan yang positif antara
harga dan penawaran.
Dalam konteks pasar valas, komoditi yang diperdagangkan adalah valuta asing dan
harganya adalah nilai tukar. Untuk pasar US dollar di Indonesia, harga dari US dollar adalah
nilai tukar rupiah per US dollar, misalnya dengan kuotasi Rp9.000/USD; apabila kuotasinya
meningkat berarti harga USD1 yang dibeli dengan mata uang rupiah menjadi lebih mahal.
Kondisi ini disebut rupiah terdepresiasi (nilai rupiah menurun) atau US dollar terapresiasi.
Sebaliknya, apabila kuotasinya menurun maka terjadi apresiasi rupiah (depresiasi US dollar).
Sebagaimana di pasar lainnya, excess demand terhadap US dollar mengakibatkan harganya
naik (rupiah terdepresiasi), dan sebaliknya, excess supply menjadikan harga US dollar jatuh
(rupiah terapresiasi). Model nilai tukar dengan pendekatan microstructure menggunakan prinsip
yang sama, yaitu mengukur pengaruh 'excess demand' - menggunakan data order flow -
terhadap pergerakan nilai tukar.
Order flow adalah perintah atau permintaan untuk melakukan transaksi valas dari satu
pihak kepada dealer valas yang dalam hal ini berfungsi sebagai market maker atau pasar. Oleh
karena berfungsi sebagai market maker, dealer dapat menerima order jual atau pun order beli.
Dalam konsep order flows, order jual dan beli valas dibedakan dengan memberikan sign positif
(+) untuk order beli valas (dealer menjual valas kepada pihak pemberi order) dan sign negatif
(-) untuk order jual valas. Akumulasi order flow tersebut secara empirik dibuktikan oleh Evan
dan Lyons (2005) mempengaruhi nilai tukar.
Penjelasan utama terhadap explanatory power tersebut adalah order mengandung
berbagai informasi yang berpotensial mempengaruhi nilai tukar. Sebelum memberikan order,
pemberi order telah memperoleh informasi, termasuk informasi fundamental makroekonomi
(Rime, 2007), dari berbagai sumber, dan mengolah (menganalisis) informasi tersebut yang
pada akhirnya menciptakan ekspektasi nilai tukar ke depan. Berdasarkan ekspektasi tersebut,
pemberi order menyampaikan order transaksi valas dengan tujuan memperoleh keuntungan.
Oleh karena order datang dari berbagai kalangan yang memiliki informasi yang sangat bervariasi,
akumulasi order flow merupakan sintesa dari berbagai informasi, sehingga dapat menjelaskan
arah pergerakan nilai tukar.
Pemberian tanda untuk membedakan arah transaksi valas tersebut menjadikan order
flow sering disebut sebagai varian 'excess demand'. Berdasarkan hal ini diketahui hubungan
316 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
antara order flow dan nilai tukar, yaitu semakin tinggi order flow (excess demand) akan semakin
memberikan tekanan depresiatif terhadap nilai tukar. Bentuk umum persamaan order flow
adalah sebagai berikut:
∆Pt = f(X, I, Z) + ε
t
dimana ∆Pt adalah perubahan nilai tukar, X adalah order flow, I adalah cadangan valas yang
dimiliki market maker, dan Z adalah indikator mikro lainnya.
Kajian dengan pendekatan permintaan dan penawaran juga pernah dilakukan di Bank
Indonesia oleh Husman (2005). Penelitian ini menggunakan model komposit (hybrid) yang
memadukan permintaan dan penawaran valas dengan variabel fundamental ekonomi untuk
menjelaskan pergerakan nilai tukar rupiah. Persamaan model nilai tukar komposit dimaksud
adalah sebagai berikut:
st = α
0 + (p
t - p*
t) + α
1(i
t - i*
t) + α
2sdv
t + α
3tot
t + α
4poil + u
t
dimana st adalah nilai tukar rupiah, pt - p*
t adalah price differential, i
t - i*
t adalah interest
rate differential, sdvt adalah rasio penawaran dan permintaan valas luar negeri, tot
t adalah term
of trade dan poil adalah harga minyak dunia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel
permintaan dan penawaran berpengaruh signifikan terhadap pergerakan nilai tukar rupiah.
II.2. Nilai Tukar, Inflasi dan Jalur Transmisi Kebijakan Moneter
Pergerakan nilai tukar sebagaimana disinggung pada latar belakang berpengaruh luas
terhadap perekonomian, termasuk harga. Nilai tukar dalam mempengaruhi harga dapat melalui
berbagai jalur transmisi:
• Direct passthrough
• Indirect passthrough
• Inflation expectation
Dalam direct passthrough, perubahan nilai tukar mempengaruhi harga impor barang
(dalam mata uang domestik) yang tercermin pada indeks harga impor. Permasalahan utama
yang terkait isu passthrough effect adalah pengaruh depresiasi nilai tukar yang secara langsung
meningkatkan beban biaya impor yang harus ditanggung importir sehingga menyebabkan
kenaikan harga impor. Selanjutnya, importir atau pedagang eceran yang menjual barang impor
ke konsumen memiliki alternatif untuk menanggung sendiri beban kenaikan biaya tersebut
atau membebankannya ke konsumen dalam bentuk kenaikan harga konsumen. Dalam hal
importir ingin mempertahankan keuntungannya, maka beban depresiasi rupiah akan dibebankan
317Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiahdan Kinerja Perekonomian Indonesia
kepada konsumen sehingga harga konsumen meningkat. Namun, seandainya importir bersedia
menanggungnya - untuk alasan mempertahankan pangsa pasar - maka dampak depresiasi
rupiah akan minimal pada harga konsumen.
Dampak perubahan nilai tukar melalui indirect passthrough adalah melalui shifting orientasi
pemasaran dari pasar domestik menjadi pasar internasional. Depresiasi menjadikan harga barang
ekspor menjadi lebih murah sehingga mendorong ekspor. Bagi produsen di dalam negeri, hal
ini merupakan potensi keuntungan yang lebih besar sehingga akan lebih menguntungkan jika
barang yang diproduksinya dijual ke luar negeri dibandingkan dijual di dalam negeri. Akibat
perubahan investasi pasar tersebut, harga barang tersebut di dalam negeri menjadi lebih mahal
(inflasi). Sementara itu, jalur ekspektasi menjelaskan bahwa depresiasi nilai tukar akan
menyebabkan harga di masa yang akan datang cenderung meningkat. Ekspektasi ini
direalisasikan oleh produsen dan retailer untuk melakukan tindakan antisipatif penyesuaian
harga (menaikkan harga). Akibatnya, inflasi cenderung meningkat.
Dalam kajian ini akan diestimasi pengaruh perubahan nilai tukar rupiah terhadap harga
(inflasi) melalui direct passthrough. Oleh karena itu, estimasinya akan dibagi dalam 2 tahap;
tahap pertama atau first round effect adalah pengaruh perubahan nilai tukar terhadap harga
impor, dan second round effect, pengaruh harga impor terhadap harga konsumen. Model
persamaan yang digunakan mengacu pada Kurniati (2007) dengan persamaan sebagai berikut:
Pm = f(e
t, P
int'l, P
oil, Y); first round effect
P = f(Pm, P
oil, Y
t); second round effect
dimana P adalah IHK, Pm adalah harga impor, e adalah nilai tukar, P
int'l adalah indikator harga
negara mitra dagang, Poil adalah harga minyak dunia, dan Y adalah PDB.
II.3. Determinan Kinerja Ekspor dan Impor
Ekspor dan impor merupakan implementasi dari sistem perekonomian terbuka dimana
suatu negara melakukan perdagangan dengan negara-negara lain. Dinamika ekspor dan impor
akan mempengaruhi neraca pembayaran dan juga output perekonomian secara keseluruhan.
Nilai tukar terkait erat baik dengan ekspor maupun impor dimana pergerakan nilai tukar
mempengaruhi daya saing (competitiveness) produk ekspor (dalam hal harga relatif). Depresiasi
nilai tukar suatu negara terhadap mata uang negara lainnya menjadikan daya saing produk
ekspor negara tersebut meningkat, sehingga ekspor meningkat. Di saat yang sama, impor
menjadi lebih mahal bagi negara tersebut, sehingga impor cenderung menurun. Kombinasi
318 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
peningkatan ekspor dan penurunan impor memperbaiki kondisi neraca pembayaran, dan lebih
jauh lagi akan meningkatkan pendapatan. Dampak sebaliknya terjadi jika nilai tukar terapresiasi,
yaitu kinerja neraca pembayaran dan pendapatan nasional memburuk.
Selain nilai tukar, ekspor dan impor juga dipengaruhi oleh terms of trade, sisi pasokan
barang ekspor dan sisi permintaan (ekspor dan impor). Terms of trade yang membaik akan
berdampak positif terhadap ekspor, namun berdampak negatif terhadap impor. Bagi negara
pengekspor, ketersediaan pasokan barang dapat tercermin pada produksinya. Di sisi permintaan,
permintaan barang dicerminkan oleh pendapatan.
Dengan demikian, persamaan ekspor dan impor dapat diekspresikan sebagai berikut:
X = f(e, TOT, IP*)
M = f(e, TOT, Y)
dimana X adalah ekspor, M adalah impor, e adalah nilai tukar, TOT adalah terms of trade,
IP* adalah industrial production index, negara mitra dagang yang merepresentasikan
pendapatan.
Selanjutnya, ekspor dan impor mempengaruhi pendapatan nasional sebagaimana
ditunjukkan oleh persamaan identitas domestic output dalam sistem perekonomian terbuka:
Y = C + I + G + (X - M)
dimana Y adalah PDB, C adalah konsumsi, I adalah investasi, G adalah pengeluaran
pemerintah, dan X - M adalah net ekspor (Ekspor - Impor).
III. METODOLOGI
Metode analisis dibedakan menjadi dua, pertama analisa deskriptif pasar valas perbankan
domestik untuk mengetahui struktur mikro pasar valas, termasuk meneliti para pelaku pasar
dan karakteristiknya, perkembangan permintaan dan penawaran dan nilai tukar, serta pola
transaksi. Bagian kedua merupakan analisis mengaplikasikan teknik estimasi ekonometrik
persamaan simultan. Berdasarkan model yang dibangun dilakukan simulasi guncangan yang
terjadi baik pada permintaan maupun pada penawaran valas. Simulasi ini juga dilakukan untuk
mempertajam analisis dan menguji robust tidaknya model.
319Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiahdan Kinerja Perekonomian Indonesia
III.1. Model Empiris
Kerangka model empiris yang dibangun dalam penelitian ini merupakan system persamaan
simultan. Model persamaan simultan yang akan diestimasi terdiri dari 5 persamaan perilaku
(behavioral equation) dan 1 persamaan identitas:
et
= b10
+ b11
SD_LNt + b
12SD_LN
t-1 + b
13SD_DN
t + b
14SD_DN
t-1 +
b15
RISKt + b
16NEER
t + u
1t (III. 1)
Xt
= b20
+ b21
et + b
22TOT
t + b
23IP*
t + u
2t (III. 2)
Mt
= b30
+ b31
et + b
32TOT
t + b
33Y
t + u
3t (III. 3)
Yt
= Ct + I
t + G
t + X
t - M
t (III. 4)
Pmt
= b40
+ b41
et + b
42P*
t + b
43P
oilt + b
44Y
t + u
4t (III. 5)
Pt
= b50
+ b51
Pmt + b
52P
oilt + b
53Y
t + u
5t (III. 6)
dimana e adalah nilai tukar nominal, SD_LN dan SD_DN adalah net permintaan dan
penawaran valas dari pihak luar negeri dan dalam negeri, RISK adalah faktor risiko, NEER
adalah nilai tukar komposit beberapa mata uang global, X adalah ekspor, TOT adalah term of
trade, IP* adalah industrial production index negara mitra dagang, M adalah impor, Y adalah
pendapatan/output domestik, C adalah konsumsi, I adalah investasi, G adalah pengeluaran
pemerintah, Pm adalah harga impor, P* adalah harga luar negeri, Poil
adalah harga minyak
dunia, dan P adalah harga konsumen.
Mengingat persamaan-persamaan di atas bersifat satu arah pengaruhnya (et
mempengaruhi Pmt , P
t , X
t dan M
t, dan selanjutnya X
t dan M
t mempengaruhi Y
t) dan tidak
terdapat looping atau pengaruh sebaliknya atau saling mempengaruhi, maka estimasi
persamaan-persamaan tersebut akan dilakukan secara parsial. Selanjutnya, hasil estimasi parsial
dimaksud akan digabungkan dalam satu sistem persamaan simultan. Dengan metode tersebut
diharapkan estimasi menjadi efisien dan dapat dihasilkan persamaan yang konsisten.
Persamaan pertama adalah persamaan nilai tukar yang konsisten dengan pendekatan
order flow yang dikembangkan oleh Lyons (2001), yakni:
∆Pt = b
0 + b
1X
t + b
2I
t + b
3Z
t + ε
t
dimana ∆Pt adalah perubahan nilai tukar rupiah (Rp/USD), X
t adalah order flow, I
t adalah
cadangan valas yang dimiliki market maker, dan Zt adalah indikator lainnya. Indikator lain yang
akan dimasukkan dalam persamaan adalah faktor risiko dan nilai tukar global.
320 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Variabel Xt - net beli valas oleh bank - diharapkan berpengaruh negatif terhadap nilai tukar;
apabila net beli atau excess supply (lihat penjelasan di bawah) meningkat, rupiah akan terapresiasi
(kuotasi Rp/USD turun). Sebaliknya, penurunan net beli mengakibatkan rupiah terdepresiasi.
Cadangan valas It juga diharapkan berpengaruh negatif terhadap nilai tukar. Cadangan valas bank
yang tinggi akan mendorong bank yang bersangkutan untuk melepas valas.
Dalam penelitian ini, data order flow digantikan oleh transaksi spot yang terjadi di
perbankan domestik (bank ∪ dealer dalam konsep market microstructure). Untuk itu beberapa
istilah penyebutan perlu diperjelas:
- Bank dipersamakan dengan dealer dalam hal perannya sebagai pasar valas terkait dengan
beberapa persamaan yang krusial, yaitu:
• Bank dapat melakukan transaksi 2 arah (jual dan beli) sehingga dapat mempertemukan
permintaan dan penawaran valas, serta mendistribusikan excess supply/demand ke
seluruh pasar.
• Netralitas; bank cenderung netral -excessive supply/demand valas diteruskan ke pelaku
pasar lain- oleh karena bank cenderung risk averse dan - apabila bank mengambil
posisi (long/short valas) - posisi bank dibatasi oleh prudential regulation Posisi Devisa
Neto.
- Penawaran valas, merupakan transaksi valas yang dilakukan oleh bank yang menimbulkan
konsekuensi aliran valas masuk ke bank, yaitu transaksi beli valas (jual valas dari sisi
counterpart bank).
- Permintaan valas, merupakan transaksi valas yang dilakukan oleh bank yang menimbulkan
konsekuensi aliran valas keluar dari bank, yaitu transaksi jual valas (beli valas dari sisi
counterpart bank).
- Apabila transaksi beli (penawaran) diberikan tanda positif dan transaksi jual (permintaan
diberikan tanda negatif, maka akumulasi transaksi tersebut adalah net beli - jika positif
berarti bank mengalami excess supply dari transaksinya dengan counterpart-nya, atau
sebaliknya, negatif berarti bank mengalami excess demand.
Persamaan III.5 dan persamaan III.6 merupakan persamaan harga impor dan persamaan
harga konsumen. Estimasi pengaruh nilai tukar terhadap harga (exchange rate passthrough)
mengacu pada kajian yang telah ada yang disusun oleh Kurniati (2007). Dalam penelitian
dimaksud, diukur pengaruh perubahan nilai tukar terhadap harga melalui jalur langsung (direct
passthrough). Sebelum mempengaruhi harga konsumen, pengaruh perubahan nilai tukar akan
ditransmisikan melalui harga impor. Peningkatan biaya impor akibat perubahan harga akan
mendorong importir untuk menjual harga barang impornya di pasar domestik dengan harga
yang lebih tinggi untuk mempertahankan keuntungannya.
321Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiahdan Kinerja Perekonomian Indonesia
Selain akibat perubahan nilai tukar, harga impor juga secara langsung dipengaruhi oleh
perkembangan harga di negara asal barang impor, harga minyak, dan pendapatan domestik.
Perubahan harga barang impor di negara asalnya secara langsung berdampak pada biaya
impor yang harus ditanggung oleh importir, sehingga kenaikan harga di negara mitra dagang
berpengaruh positif terhadap harga impor. Harga minyak dapat mempengaruhi harga impor -
meskipun harga barang impor tersebut tidak ada keterkaitan langsung dengan minyak - melalui
kenaikan biaya produksi mengingat hampir seluruh proses produksi membutuhkan sumber
energi (minyak). Kenaikan harga minyak dengan demikian akan meningkatkan harga impor.
Harga minyak juga berdampak pada kenaikan biaya produksi dalam negeri yang pada gilirannya
menaikkan harga barang secara umum. Sementara itu, pendapatan domestik juga berpengaruh
kuat terhadap permintaan impor dan juga permintaan produk domestik, sehingga harga impor
dan harga konsumen. Mengacu pada uraian ini maka Persamaan 5 menunjukkan first round
effect sementara persamaan III.6 menunjukkan second round effect.
Persamaan III.2 dalam model simultan di atas menunjukkan persamaan ekspor, sementara
persamaan III.3 merepresentasikan persamaan impor. Nilai tukar berpengaruh langsung terhadap
kinerja ekspor dan impor suatu perekonomian melalui efek price competitiveness. Depresiasi
menjadikan harga barang domestik relatif lebih murah sehingga memberikan insentif bagi
konsumen luar negeri untuk membeli lebih banyak yang berarti meningkatkan ekspor. Namun,
nilai tukar bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi ekspor. Ekspor ditentukan oleh
interaksi antara sisi permintaan yang pada umumnya diwakili oleh pendapatan negara mitra
dagang yang dalam hal ini - oleh karena estimasi menggunakan data bulanan - diwakili oleh
Industrial Production Index AS.
Di sisi lain, impor negara tersebut menerima dampak yang berkebalikan dengan ekspor
sebagaimana dijelaskan di atas. Jika depresiasi menguntungkan ekspor, impor justru tertekan
oleh karena harga barang impor relatif menjadi lebih mahal. Akibatnya, impor menurun dengan
terdepresiasinya mata uang domestik. Namun, dampak akhirnya tergantung dari kuatnya
permintaan domestik atas barang impor yang direpresentasikan oleh pendapatan domestik.
Semakin tinggi pendapatan domestik, semakin tinggi permintaan impor. Faktor lain yang
mempengaruhi impor, dan juga ekspor, adalah term of trade, namun pengaruhnya sangat
tergantung pada kondisi ekspor dan impor.
Efek perubahan nilai tukar - dalam hal ini apresiasi - terhadap peningkatan ekspor dan
penurunan impor pada gilirannya akan meningkatkan trade balance, neraca pembayaran, dan
lebih jauh lagi output - apabila Marshall-Lerner condtion terpenuhi.
322 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Untuk menutup sistem persamaan tersebut, digunakan satu buah persamaan identitas
yakni pendapatan nasional; Y = C + I + G + (X - M). Secara visual, keterkaitan simultan antar
seluruh variabel yang terlibat diilustrasikan dalam bagan berikut:
Skema III.1.Model Persamaan Simultan
III.2. Identifikasi Awal
Pengujian endogenitas (endogeneity test) dan order and rank condition of identification
(atau juga dikenal dengan order condition) terlebih dahulu dilakukan untuk mengidentifikasi
model simultan. Hasil Granger causality test menunjukkan bahwa terdapat endogeneity pada
seluruh persamaan (Lihat Tabel III.7). Pengujian order condition dilakukan dengan mengikuti
prosedur Gujarati (1995) yakni K - k ⊕ m - 1 ; dimana K adalah jumlah variabel predetermined
dalam model, k adalah jumlah variabel predetermined dalam persamaan tertentu, m adalah
jumlah variabel endogen dalam persamaan tertentu. Apabila (K - k) = (m - 1) maka persamaan
dikatakan exactly identified atau terindentifikasi dengan tepat, dan apabila (K - k) > (m - 1)
persamaan dikatakan over identified. Sebaliknya, apabila (K - k) < (m - 1) persamaan tersebut
dikatakan under identified dan tidak dapat diestimasi.
Pada sistem persamaan simultan di atas terdapat 11 variabel predetermined dan 6 variabel
endogen. Mengikuti prosedur identifikasi order condition, keseluruhan persamaan tersebut
adalah over identified.
Dengan menggunakan formulasi lain - yaitu (K-M) > (G-1), dimana K adalah jumlah
variabel yang digunakan dalam sistem (17), M adalah jumlah variabel dalam persamaan tertentu
(6), dan G adalah jumlah persamaan (6), sehingga (17-6) > (6-1) - juga diperoleh kesimpulan
NILAITUKAR
NET S-DLUAR NEGERI
NET S-DDALAM NEGERI
RISK
REGIONALCURRENCY
IMPOR
EKSPOR
HARGAIMPOR
GDP
INFLASI
KONSUMSI INVESTASI
HARGAEKSPOR
DEMANDLUAR NEGERI
Oil Price
323Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiahdan Kinerja Perekonomian Indonesia
yang sama, yaitu over identified. Oleh karena hasil estimasi order condition menunjukkan bahwa
persamaan parsial dalam sistem persamaan simultan over identified, maka estimasinya akan
menggunakan metode Two Stage Least Square. Hasil estimasi untuk masing-masing persamaan
ini dibahas berikut ini.
Rangkuman Hasil Endogeneity Test
ERSDLNSDDNRISKNEERP INTERNASIONALOIL PIP DOMESTIKP IMPORPEKSPORTOTIP INTERNASIONALIMPOR
E RE RE RE RE R SDLNSDLNSDLNSDLNSDLN SDDNSDDNSDDNSDDNSDDN RISKRISKRISKRISKRISK NEERNEERNEERNEERNEER P INTERNASIONALP INTERNASIONALP INTERNASIONALP INTERNASIONALP INTERNASIONAL OIL POIL POIL POIL POIL P IP DOMESTIKIP DOMESTIKIP DOMESTIKIP DOMESTIKIP DOMESTIK P IMPORP IMPORP IMPORP IMPORP IMPOR PPPPP EKSPOREKSPOREKSPOREKSPOREKSPOR T O TT O TT O TT O TT O T IP INTERNASIONALIP INTERNASIONALIP INTERNASIONALIP INTERNASIONALIP INTERNASIONAL IMPORIMPORIMPORIMPORIMPOR
Y Y Y YY Y Y Y Y YY Y Y Y Y Y
Y Y Y Y Y Y Y Y YY Y Y Y Y Y Y
Y Y Y Y Y YY Y Y Y Y Y Y Y Y Y
Y Y Y YY Y Y Y Y
Y Y Y Y YY Y Y Y Y YY Y Y Y Y Y
Y YY Y Y
III.3. Data
Dengan memperhatikan berbagai model persamaan di atas yang akan diestimasi maka
data yang akan digunakan adalah:
- Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS (IDR), sumber Bloomberg,
- Transaksi beli (supply) dan jual (demand) valas, sumber LHBU,
- Rasio aset LN terhadap kewajiban LN bank (FA/FL), sumber DSM,
- Indeks EMBIG sebagai indikator risiko (Risk), sumber JP Morgan-Chase,
- Nilai tukar beberapa mata uang mitra dagang untuk diolah menjadi indeks komposit
Nilai tukar nominal (NEER), sumber Bloomberg,
- Indeks harga konsumen (CPI), sumber DSM,
- Indeks harga impor (Pm), sumber DSM
- Inflasi negara mitra dagang, sumber CEIC
- Harga minyak dunia, sumber Bloomberg
- PDB, sumber BPS,
- Term of trade, sumber DSM,
- Industrial Production Index AS, sumber CEIC.
324 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Estimasi model akan menggunakan data bulanan sepanjang periode pengamatan Januari
2004 s.d. Desember 2008. Khusus untuk analisis bedah pasar valas akan menggunakan data
harian transaksi valas dengan periode pengamatan Januari 2004 - April 2009.
IV. HASIL ESTIMASI DAN ANALISIS
IV.1. Telaah Pasar Valas
Berdasarkan analisis struktur mikro pasar valas terdapat beberapa temuan menarik dari
perkembangan, karakteristik dan perilaku dari pasar valas dan para pelaku pasar di dalamnya.
Temuan dimaksud antara lain adalah perkembangan pasar valas yang kurang berimbang
(balance), pelaku luar negeri yang meskipun transaksinya bukan yang terbesar namun mampu
mempengaruhi pelaku pasar lainnya, indikasi 'hot money' dana pelaku luar negeri yang masuk
ke pasar valas (capital inflows), dampak asimetrik dari inflows dan outflows terhadap pergerakan
nilai tukar, dan pola transaksi antar pelaku pasar. Temuan-temuan tersebut akan diuraikan
lebih lanjut di bawah ini.
IV.1.1. Perkembangan Pasar Valas
Pasar valas berkembang cukup baik dan mampu mendukung aktivitas perekonomian
terutama yang terkait dengan perdagangan internasional dan cross-border investment. Volume
transaksi pasar valas rata-rata meningkat sekitar 25,9% (yoy, dalam periode 2004 - 2008),
Grafik III.1.Pertumbuhan PDB, Ekspor, Impor
dan Volume Pasar Valas
Grafik III.2.Perkembangan Transaksi Valas
-60
-40
-20
0
20
40
60
80
-5
0
5
10
15
20
25
% %
GDP Export Import Fx Market Volume (rhs)
Mar Jun Sep Dec2005
Mar Jun Sep Dec2006
Mar Jun Sep Dec2007
Mar Jun Sep Dec2008
0
10,000
20,000
30,000
40,000
50,000
60,000
70,000
80,000
USD million
FOREX MARKETTRANSACTION
Jan May Sep2004
Jan May Sep2005
Jan May Sep2006
Jan May Sep2007
Jan May Sep2008
Jan2009
SPOT
FORWARD
SWAP
325Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiahdan Kinerja Perekonomian Indonesia
sementara ekspor dan impor tumbuh rata-rata tumbuh 11,1% dan 11,5% (Grafik II.1). Namun,
perkembangan yang pesat hanya terjadi pada segmen transaksi spot dimana volume transaksi
bulanannya sempat mencapai USD72 miliar (September 2008) atau rata-rata per hari sebesar
USD3,3 miliar, sebelum menurun drastis saat meledaknya krisis finansial global pada Oktober
2008 (Grafik III.2).
Berkembangnya transaksi spot, terutama di 2008, juga terlihat pada peningkatan nilai
dan frekuensi (jumlah transaksi) transaksi spot. Nilai dan frekuensi transaksi spot masing-masing
meningkat sebesar 10,3% dan 80,6% (dibanding tahun 2007) menjadi USD506,6 miliar dan
3,4 juta kali transaksi. Sementara itu, meskipun nilai transaksi spot cenderung menurun pada
akhir 2008, secara keseluruhan tahun 2008 transaksi rata-rata harian meningkat 12,2% menjadi
USD2,1 miliar
Sementara itu, transaksi swap dan forward relatif stagnan (Grafik III.2). Volume transaksi
swap menurun drastis sejak diberlakukannya pembatasan transaksi swap yang tidak dilandasi
oleh aktivitas ekonomi pada pertengahan 2005. Pangsa ketiga segmen pasar tersebut adalah
sekitar 77% transaksi spot, 19% transaksi swap, dan 4% transaksi forward.
Perkembangan yang kurang berimbang juga terjadi pada transaksi valas berdasarkan
mata uang yang diperdagangkan. Transaksi perdagangan US dollar (USD) terhadap rupiah
mendominasi pasar dengan rata-rata pangsa pasar mencapai 76% (Grafik III.3). Perdagangan
mata uang kuat lainnya, seperti euro dan yen Jepang, hanya memiliki share masing-masing
sebesar 1%. Komposisi tersebut sejalan dengan perdagangan internasional Indonesia yang
Grafik III.3.Perkembangan Komposisi Transaksi Valas
Berdasar Mata Uang
Tabel III.1Komposisi Transaksi Ekspor-Impor
Berdasarkan Mata Uang
Ekspor nonmigasUSD - US$ 93.3SGD - SINGAPORE $ 2.0EUR - EURO 1.7JPY - JAPANESE YEN 1.6lainnya 1.4
Impor nonmigasUSD - US$ 83.7SGD - SINGAPORE $ 4.8JPY - JAPANESE YEN 4.6EUR - EURO 4.1lainnya 2.9
KeteranganKeteranganKeteranganKeteranganKeterangan Jenis Mata UangJenis Mata UangJenis Mata UangJenis Mata UangJenis Mata UangPangsa (%)Pangsa (%)Pangsa (%)Pangsa (%)Pangsa (%)
60
65
70
75
80
85
90
95
100USD EUR GBPJPY SGD
SHARE of FOREX TRANSACTIONby CURRENCY
%
Jan Apr Jul Oct2006
JanJan Apr Jul Oct2007
Jan Apr Jul Oct2008 2009
326 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
sebagian besar (93% dari total ekspor dan 83,7% dari total impor) menggunakan mata uang
dolar AS untuk pembayarannya (Tabel III.1). Selain itu, komposisi utang LN Indonesia juga
didominasi oleh mata uang US dollar. Pangsa utang luar negeri swasta per Februari 2009
dalam bentuk US dollar mencapai 88% atau setara dengan USD53 miliar. Sementara proporsi
terbesar kedua adalah dalam Yen sekitar 9%.
4.1.2. Pelaku Pasar
Pelaku pasar valas pada dasarnya dapat dipisahkan ke dalam 2 kelompok besar, yaitu (1)
market maker yang berperan sebagai pasar dan (2) pelaku pasar yang berperan sebagai
counterpart yang melakukan transaksi valas dengan market maker. Market maker dalam lingkup
kajian ini adalah bank yang dikelompokkan menjadi Bank Persero, BUSN Devisa, BUSN Non-
Devisa, BPD, Bank Campuran dan Bank Asing. Bank berfungsi sebagai pasar oleh karena sifatnya
yang cenderung netral terhadap posisi long/short valas. Netralitas bank disebabkan oleh
manajemen risiko bank yang cenderung risk averse, prudential regulation posisi devisa neto
(PDN) yang membatasi posisi valas bank, dan bank menerima order pembelian/penawaran
valas sehingga dapat mendistribusikan permintaan dan penawaran ke seluruh pasar. Sementara
itu, counterpart bank dapat dikelompokkan menjadi korporasi, nasabah individual (perorangan),
dan pelaku luar negeri.
Pelaku pasar yang dianggap penting atau significant player adalah pelaku pasar yang
memiliki peran khusus di pasar valas. Untuk kelompok market maker Bank Asing merupakan
significant player oleh karena memiliki jaringan transaksi terluas, termasuk menjadi pintu gerbang
Grafik III.4.Pangsa Pasar Kelompok Bank
Grafik III.5.Perkembangan Pangsa Pasar
Foreign BankJoint BankState BankReg.Devl. BankPrivate Fx BankPrivate Non-Fx Bank
Forex Transaction by Bank Group
41%
13%
17%
0.13%
27%
2%
0
10
20
30
40
50
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
BANK ASINGBUSN DEVISA
BANK PERSEROBANK CAMPURAN
%
327Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiahdan Kinerja Perekonomian Indonesia
bagi pelaku asing untuk masuk ke pasar keuangan domestik. Jaringan yang luas menjadikan
Bank Asing menguasai market share sebesar 41% dari total transaksi (Grafik II.4). Perkembangan
pangsa pasar Bank Asing relatif stabil di atas 40% sejak tahun 2003. Pangsa pasar BUSN
Devisa cenderung menurun dan digantikan oleh Bank Persero dan Bank Campuran yang
pangsanya meningkat (Grafik III.5).
Meskipun bank asing memiliki market share tertinggi, market share tertinggi secara
individual bank adalah Bank Mandiri (bank persero) dengan market share 8,7% dari total
transaksi valas tahun 2008. Bank Asing yang memiliki market share signifikan adalah Standard
Chartered Bank, Citibank, HSBC, ABN Amro Bank, Deutsche Bank dan JP Morgan Chase.
Untuk kelompok counterpart bank, kelompok pelaku luar negeri (offshore) merupakan
significant player meskipun market share-nya (25%) lebih rendah dibanding transaksi interbank
(35%) dan korporasi (28%) (Grafik III.6). Predikat significant player lebih disebabkan oleh
transaksi pelaku LN yang relatif besar dengan rata-rata nilai transaksi sepanjang periode
pengamatan sebesar USD1,6 juta (dibanding pelaku domestik yang hanya USD242 ribu per
transaksi). Hal ini menjadikannya mampu mempengaruhi nilai tukar dan membentuk ekspektasi
nilai tukar yang pada gilirannya dapat mempengaruhi transaksi valas pelaku pasar lainnya.
Transaksi valas kelompok pelaku luar negeri terkonsentrasi dengan Bank Asing sebagai partner
utama dengan pangsa mencapai sekitar 80% dari total transaksi pelaku LN (Grafik III.7).
Satu hal yang perlu diperhatikan dari struktur pelaku pasar valas ini adalah adanya dominasi
dari sebagian kecil pelaku pasar. Di kelompok market maker, pasar valas dikuasai hanya oleh
beberapa bank dimana 10 besar bank menguasai sekitar 62% dari total transaksi di pasar
Grafik III.6.Pangsa Pasar Counterpart Bank
Grafik III.7.Pangsa Transaksi Bank menurut Partner
(rata-rata tahun 2006-2008)
INTERBANK
CORPORATION
INDIVIDUAL
OFFSHORE
Forex Transactionby Group of Counterpart
35%
28%12%
25%
120
80
60
40
20
0
%
PartnerLuar Negeri
PartnerDalam Negeri
Bank Asing BankCampuran
BUSNDevisa
Bank Asing BankCampuran
BankPersero
BUSNDevisa
328 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
valas. Apabila daftar bank terbesar tersebut diperpanjang menjadi 20 bank terbesar, pangsanya
meningkat menjadi 87% dari total transaksi valas. Serupa dengan kelompok market maker,
transaksi valas di kelompok pelaku LN juga didominasi oleh beberapa pelaku saja, dimana 10
dan 20 pelaku LN dengan nilai transaksi valas terbesar memiliki pangsa 56% dan 73% dari
total transaksi valas pelaku LN. Di kelompok korporasi relatif lebih merata dimana 10 korporasi
dengan nilai transaksi valas terbesar memiliki porsi sebesar 29%, dan 20 korporasi terbesar
market share-nya sekitar 34%. Namun demikian, pada kelompok ini justru terdapat 1 pelaku
pasar yang sangat dominan, yaitu Pertamina.
4.1.3. Karakteristik Pelaku Pasar
Pelaku pasar valas memiliki perilaku dan peran yang berbeda. Salah satu faktor yang
menjadi pembeda karakteristik pelaku pasar adalah motivasinya dalam melakukan transaksi
valas. Sebagian pelaku pasar melakukannya dalam rangka mendukung atau terkait dengan
aktivitas bisnisnya, misalnya eksportir secara rutin menjual valas hasil ekspor yang dilakukannya,
importir membeli valas untuk membayar barang-barang yang diimpornya, debitur utang LN
membeli valas untuk melunasi utangnya, perusahaan PMA yang menjual valas yang bersumber
dari dana operasional yang berasal dari perusahaan induknya di luar negeri, dan sebagainya.
Transaksi dengan motivasi ekonomi seperti ini sering disebut genuine demand atau genuine
supply. Implikasi dari motivasi transaksi genuine ini pada perilaku pelaku pasar adalah
kecenderungan transaksi yang satu arah (jual saja atau beli saja) secara persisten, sehingga
selisih antara transaksi jual dan beli valas (net transaksi secara absolut) yang dilakukannya
mendekati total transaksi (jual + beli).
Di sisi lain, sebagian pelaku pasar melakukan transaksi valas untuk memperoleh
keuntungan dari transaksi 2 arah - jual dan beli - yang dilakukannya dalam periode waktu yang
singkat, bahkan dalam satu hari (intraday). Transaksi seperti ini sering disebut trading dan
kental dengan nuansa spekulatif. Implikasinya pada transaksi valas adalah total transaksi relatif
tinggi - frekuensi jual dan beli relatif tinggi - namun posisi akhirnya cenderung square (beli ?
jual). Oleh karena tidak dilandasi oleh underlying aktivitas ekonomi tertentu yang sifatnya
permanen, transaksi valas pelaku LN menjadi sangat fleksibel - dapat berganti peran dengan
cepat dari net supply menjadi net demand, atau sebaliknya - dalam rangka memaksimalkan
keuntungan.
329Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiahdan Kinerja Perekonomian Indonesia
Mengacu pada pembedaan karakter pelaku pasar di atas, perilaku pelaku luar negeri
relatif sama, yaitu transaksi valas yang mengarah untuk trading. Hal ini ditunjukkan oleh rasio
antara net beli terhadap transaksi total yang mendekati nol, bahkan sebagian besar (84%) dari
total transaksi valas pelaku asing berada pada range rasio terendah, yaitu kurang dari 10%
(Grafik III.8). Perilaku yang serupa dari para pelaku luar negeri disebabkan oleh karena hampir
seluruh pelaku luar negeri yang aktif melakukan transaksi valas adalah lembaga keuangan
internasional atau institutional investors yang tujuan utamanya adalah untuk investasi di pasar
keuangan domestik.
Grafik III.8.Indikasi Trading oleh Pelaku LN
Grafik III.9.Indikasi Trading oleh Korporasi
83.9
7.42.7 1.5 0.1 0.6 0.6 0.2 0.3 2.8
0
20
40
60
80
100
0-10 20-30 40-50 60-70 80-9010-20 30-40 50-60 70-80 90-100
FOREX TRANSACTIONby OFFSHORE PLAYERS
Ratio of NetForex Sell-Buy toTotal Transaction
Trading GenuineTransaction
%
0%-10% 20%-30% 40%-50% 60%-70% 80%-90%10%-20% 30%-40% 50%-60% 70%-80% 90%-100%
FOREX TRANSACTIONby CORPORATION
Ratio of NetForex Sell-Buy toTotal Transaction
TradingGenuine
Transaction
0
10
20
30
40
10.3
2.2
20.817.6
1.8 1.5 1.42.9 3.8
37.9
330 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Kelompok korporasi terpecah dua dengan proporsi yang hampir berimbang, 53%
korporasi cenderung melakukan trading dan 47% lainnya cenderung melakukan transaksi valas
karena genuine demand/supply (Grafik III.9). Korporasi yang transaksi valasnya didorong oleh
genuine demand/supply pada umumnya adalah yang bergerak di sektor riil (misalnya Pertamina,
PLN, dan Indofood), sedangkan yang melakukan trading adalah lembaga keuangan.
Sementara itu, nasabah individual tidak dapat diidentifikasi karakternya oleh karena sifat
datanya yang agregat (tidak tersedia data individual).
Dengan memperhatikan bahwa hampir seluruh pelaku luar negeri dan 50% korporasi
melakukan trading maka transaksi di pasar valas didominasi oleh transaksi trading dengan
proporsi yang cukup besar. Di satu sisi, transaksi trading menjadikan pasar valas lebih likuid,
namun di sisi lain potensial meningkatkan gejolak nilai tukar. Tingginya transaksi trading
pelaku luar negeri mengindikasikan bahwa capital inflows didominasi oleh hot money.
Besarnya aliran hot money dikonfirmasi oleh struktur financial account di neraca pembayaran
yang didominasi oleh aliran portfolio investments, sehingga pasokan valas yang lebih permanen
relatif kecil. Karakteristik portfolio investment sebagai investasi jangka pendek menjadikan
pasar valas dan pasar keuangan domestik menjadi sangat rentan terhadap risiko capital
reversal.
Karakter spesifik lain dari pelaku pasar adalah pelaku luar negeri yang berperan sebagai
market movers. Transaksi valas yang dilakukan asing cenderung diikuti oleh pelaku domestik,
(meskipun dengan arah yang berlawanan oleh karena perbedaan base currency), oleh karena:
1. Nilai transaksinya relatif besar (sebagaimana dijelaskan sebelumnya) sehingga mampu
mempengaruhi atau menciptakan ekspektasi nilai tukar rupiah ke depan. Hal ini
mendorong pelaku domestik untuk mengikutinya melakukan transaksi valas untuk
memperoleh keuntungan.
2. Pelaku luar negeri yang merupakan lembaga keuangan atau institutional investor
dipercaya melakukan analisis komprehensif dengan memanfaatkan berbagai metode
analisis dan informasi yang relevan sebelum memutuskan untuk melakukan transaksi.
Oleh karena sebagian besar pelaku domestik tidak dapat melakukan hal tersebut,
pelaku domestik cenderung mengikuti transaksi yang dilakukan oleh pelaku luar
negeri.
331Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiahdan Kinerja Perekonomian Indonesia
Grafik III.10.Perkembangan Net Capital Flows dan
Volatilitas Rupiah
Untuk mendukung hipotesa di atas dilakukan Granger causality test dengan menggunakan
sampel data harian untuk periode Januari 2004 - April 2009 dan data intraday (transaksi menit
ke menit) untuk beberapa periode yang mewakili kondisi tertentu di pasar valas. Pertama
adalah periode Mei 2007 yang merepresentasikan kondisi dimana pasar valas mengalami net
capital inflows dalam jumlah besar. Periode April 2008 dipilih untuk mewakili kondisi normal
pasar valas dimana rupiah bergerak dengan stabil (volatilitasnya rendah). Sebaliknya, periode
Oktober 2008 dipilih untuk merepresentasikan kondisi pasar valas disaat krisis, yaitu pada saat
meledaknya subprime mortgage crisis di AS (Grafik III.10).
Perkembangan transaksi di pasar valas pada ketiga periode khusus tersebut ditunjukkan
oleh Tabel III.2. di bawah ini. Secara umum, nilai transaksi valas pelaku luar negeri (dengan
bank) jauh lebih kecil dibanding nilai transaksi pelaku dalam negeri, namun nilai rata-rata per
transaksinya jauh lebih besar dibanding pelaku dalam negeri. Satu hal yang menarik adalah
pergerakan nilai tukar rupiah yang stabil sepanjang April 2008 didukung oleh permintaan dan
penawaran valas dari luar negeri (net supply) dan dalam negeri (net demand) yang relatif
berimbang (hanya ekses supply sebesar USD39 juta). Sementara nilai tukar rupiah sepanjang
periode Mei 2007 diwarnai oleh net supply dari pelaku luar negeri relatif besar (USD1,9 miliar)
sehingga rupiah cenderung menguat. Berbeda dengan kedua periode tersebut, periode Oktober
2008 merupakan periode krisis dengan nilai tukar yang bergejolak. Kondisi permintaan dan
penawaran valas pada saat itu terjadi excess demand - baik dari pelaku dalam maupun luar
negeri - yang besarnya mencapai USD2,4 miliar.
0
20
40
60
80
100
120
140
160
-4,000,000
-3,000,000
-2,000,000
-1,000,000
0
1,000,000
2,000,000
3,000,000
4,000,000Net Flows Volatilitas
Volatility,%USD thousand
Jan Mar May Jul Sep Nov Jan Mar May Jul Sep Nov Jan Mar
2007 2007 2009
332 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Hasil uji untuk periode panjang (Januari 2004 - April 2009) menunjukkan bahwa transaksi
valas yang dilakukan oleh pelaku luar negeri menyebabkan terjadinya transaksi oleh pelaku
domestik. Pada periode stabil dan krisis, transaksi pelaku luar negeri tetap menjadi pendorong
transaksi pelaku domestik, meskipun dengan tingkat keyakinan 10%. Hanya pada periode
dimana terjadi inflows dalam jumlah besar transaksi pelaku domestik justru mempengaruhi
transaksi pihak luar negeri - juga dengan rentang keyakinan 10%.
Tabel III.3Hasil Uji Kausalitas: Transaksi Pelaku Luar Negeri Transaksi dan Pelaku Domestik
Jan04 s/d Apr09Jan04 s/d Apr09Jan04 s/d Apr09Jan04 s/d Apr09Jan04 s/d Apr09 Mei 2007Mei 2007Mei 2007Mei 2007Mei 2007 Apr 2008Apr 2008Apr 2008Apr 2008Apr 2008 Okt 2008Okt 2008Okt 2008Okt 2008Okt 2008
Konsep Netto (supply/demand)LN DN 2.47574 0.00453 0.38775 0.88729 1.403 0.09995 2.44601 0.08681DN LN 1.72918 0.06206 1.99501 0.06298 1.142 0.29166 0.54828 0.57800
F-StatF-StatF-StatF-StatF-Stat Prob.Prob.Prob.Prob.Prob. F-StatF-StatF-StatF-StatF-Stat Prob.Prob.Prob.Prob.Prob. F-StatF-StatF-StatF-StatF-Stat Prob.Prob.Prob.Prob.Prob. F-StatF-StatF-StatF-StatF-Stat Prob.Prob.Prob.Prob.Prob.
Tabel III.2Komposisi Transaksi Ekspor-Impor Berdasarkan Mata Uang
Transaksi JualBank VS LN
Total Nilai Transaksi (USDribu) 4.378.078 6.111.802 5.135.634Rata-rata per transaksi (USDribu) 3.491 4.192 3.401Jumlah Transaksi (frekuensi) 1.254 1.458 1.510
Bank VS DNTotal Nilai Transaksi (USDribu) 25.330.557 19.960.854 19.708.011Rata-rata per transaksi (USDribu) 2.192 1.751 1.947Jumlah Transaksi (frekuensi) 11.556 11.397 10.121
Transaksi BeliBank VS LN
Total Nilai Transaksi (USDribu) 7.533.516 6.492.548 3.342.554Rata-rata per transaksi (USDribu) 3.198 2.498 1.789Jumlah Transaksi (frekuensi) 2.356 2.599 1.868
Bank VS DNTotal Nilai Transaksi (USDribu) 24.093.852 19.618.986 19.054.528Rata-rata per transaksi (USDribu) 2.151 1.732 1.862Jumlah Transaksi (frekuensi) 11.199 11.330 10.236
NettoBank VS LN (USDribu) 3.155.438 380.745 -1.793.079Bank VS DN (USDribu) -1.236.705 -341.868 -653.482Total Netto (USDribu) 1.918.734 38.877 -2.446.562
Mei-07Mei-07Mei-07Mei-07Mei-07 Apr-08Apr-08Apr-08Apr-08Apr-08 Okt-08Okt-08Okt-08Okt-08Okt-08
Note : transaksi spot valas antara jam 8.00-17.00Tanda transaksi netto minus (-) berarti net demand
Bank VS LNJumlah transaksi (frekuensi) 1.841Nilai per transaksi (USDribu) 3.095
Bank VS DNJumlah transaksi (frekuensi) 10.973Nilai per transaksi (USDribu) 1.939
Rata-rata keseluruhanRata-rata keseluruhanRata-rata keseluruhanRata-rata keseluruhanRata-rata keseluruhan(Tiga Periode)(Tiga Periode)(Tiga Periode)(Tiga Periode)(Tiga Periode)
333Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiahdan Kinerja Perekonomian Indonesia
4.1.4. Permintaan dan Penawaran di Pasar Valas
Permintaan dan penawaran valas dapat dilihat menurut kelompok pelaku pasar. Kelompok
korporasi cenderung sebagai excess atau net demand valas hampir sepanjang waktu periode
pengamatan. Excess demand korporasi terutama disebabkan oleh relatif besarnya permintaan
valas sebagian korporasi untuk mendukung aktivitas bisnisnya (genuine demand), misalnya
untuk pembiayaan impor dan pembayaran utang LN, dibandingkan pasokan valas dari sebagian
korporasi lainnya. Oleh karena kebutuhan valas tersebut bersifat permanen maka excess demand
yang ditimbulkannya juga cenderung persisten.
Serupa dengan korporasi, nasabah individu juga cenderung mengalami net demand.
Namun kelompok ini sedikit lebih fleksibel sehingga frekuensi terjadinya net supply pada
kelompok ini sedikit lebih sering dibanding korporasi (Grafik III.11). Market size kelompok
nasabah individu juga relatif kecil dibandingkan kelompok korporasi.
Grafik III.11.Net Supply-Demand Valas Pelaku Domestik
Grafik III.12.Net Supply-Demand Pelaku Asing dan
Indeks EMBIG
Karakteristik kelompok korporasi yang cenderung ekses demand tidak terlepas dari
motivasi transaksi valas yang sebagian merupakan genuine demand/supply sehingga
menjadikannya tidak fleksibel. Motif transaksi genuine demand/supply relatif berimbang dengan
motif trading yang lebih fleksibel. Transaksi kelompok nasabah individu, meskipun tidak dapat
diidentifikasi dengan jelas, namun terdapat indikasi bahwa nasabah individu cenderung lebih
ke arah trading.
-3,5
-3
-2,5
-2
-1,5
-1
-5
0
5
1
1,5
USD million
Corporations
IndividualsAll Domestic
DOMESTIC NET FOREX SUPPLY-DEMAND
Jan May Sep2004
Jan May Sep2005
Jan May Sep2006
Jan May Sep2007
Jan May Sep2008
Jan2009
Jan May Sep2004
Jan May Sep2005
Jan May Sep2006
Jan May Sep2007
Jan May Sep2008
Jan2009
0
100
200
300
400
500
600
700
800
-5
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
5
OFFSHORE PLAYERS
USD million
OFFSHORE NET FOREX SUPPLY-DEMAND
EMBIG
334 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Dibalik efek positif pasokan valas LN juga terdapat permasalahan yang melekat dengan
pasokan valas dari LN ini, yaitu karakter aliran dana asing yang merupakan hot money. Dana
milik pelaku LN tersebut ditempatkan pada aset keuangan rupiah yang sangat likuid (portfolio
investment), seperti SBI, SUN dan saham. Grafik III.14 menunjukkan perkembangan dan besarnya
net capital flows yang relatif sama dengan investasi portofolio asing di 3 aset keuangan rupiah,
yaitu SBI, SUN dan saham. Alternatif lainnya bagi investor asing untuk investasi di Indonesia
adalah ditempatkan di pasar uang atau digunakan untuk trading valas.
Karakter hot money sebagai investasi jangka sangat pendek terlihat pada grafik di bawah
dimana inflows dan outflows terjadi saling bergantian dalam jumlah yang relatif sama. Misalnya,
net inflows yang terjadi dalam periode Maret 2007 - Mei 2007 sebesar USD6,0 miliar diikuti
oleh periode net outflows dengan jumlah yang hampir sama sebesar USD5,5 miliar.
Berbeda dengan kelompok pelaku DN, pelaku LN lebih banyak berperan sebagai net
supplier valas sehingga berfungsi sebagai penyeimbang net demand di sisi pelaku DN. Perannya
sebagai penyeimbang berdampak positif bagi pergerakan nilai tukar rupiah yang cenderung
menguat dan lebih stabil. Meskipun pasar valas secara keseluruhan masih mengalami excess
demand, adanya pasokan valas dari LN dapat mendorong apresiasi rupiah.
Grafik III.13.Net Supply-Demand Valas dan Nilai Tukar
Rupiah
Grafik III.14.Net Capital Flows dan Investasi Portfolio
Asing
7.000
8.000
9.000
10.000
11.000
12.000
13.000-5
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
5
USD million Rp/USD
Jan MaySep2004
Jan May Sep2005
Jan May Sep2006
Jan MaySep2007
Jan MaySep2008
Jan2009
Domestic Net S-DOffshore Net S-DOverall Net S -DIDR/USD
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
SBI SUN Saham
USD juta
Net Flows
Jan May Sep2004
Jan May Sep2005
Jan May Sep2006
Jan May Sep2007
Jan May Sep2008
Jan2009
335Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiahdan Kinerja Perekonomian Indonesia
Akibatnya dari sifatnya sebagai penempatan jangka pendek, investor asing dapat menarik
dananya setiap saat sebagaimana terjadi pada beberapa periode dimana faktor risiko meningkat.
Pada saat terjadi outflow, rupiah terdepresiasi dan pergerakannya lebih fluktuatif. Berdasarkan
Grafik III.15Net Capital Flows dan Investasi Portfolio Asing
# of Events 708 601Offshore's Net Fx S-D (avg, $ mio) 97,449 -98,761Domestic Net Fx Supply-Demand
Domestic Net Fx Supply 12.99% 56.41%# of Events 92 339Amount (avg, $ mio) 33.46 78.62
Domestic Net Fx Demand 87.01% 43.59%# of Events 616 262Amount (avg, $ mio) -101.48 -56.63
Exchange Rate NovementsAppreciation 66.08% 29.29%
# of Events 450 169Average 0.43% 0.28%
Depreciation 33.92% 70.71%# of Events 231 408Average -0.26% -0.50%
Exch. Rate Volatility (avg) 10.25% 12.14%
Cap. InflowsCap. InflowsCap. InflowsCap. InflowsCap. Inflows Cap. OutflowsCap. OutflowsCap. OutflowsCap. OutflowsCap. Outflows
EVENTEVENTEVENTEVENTEVENT
# of Events 708 601Offshore's Net Fx S-D (avg, $ mio) 97.449 -98.761Domestic Net Fx Supply-Demand
Domestic Net Fx Supply 12,99% 56,41%# of Events 92 339Amount (avg, $ mio) 33.46 78.62
Domestic Net Fx Demand 87,01% 43,59%# of Events 616 262Amount (avg, $ mio) -101,48 -56,63
Exchange Rate NovementsAppreciation 66,08% 29,29%
# of Events 450 169Average 0,43% 0,28%
Depreciation 33,92% 70,71%# of Events 231 408Average -0,26% -0,50%
Exch. Rate Volatility (avg) 10,25% 12,14%
Cap. InflowsCap. InflowsCap. InflowsCap. InflowsCap. Inflows Cap. OutflowsCap. OutflowsCap. OutflowsCap. OutflowsCap. Outflows
EVENTEVENTEVENTEVENTEVENT
Tabel III.4Perkembangan Pasar Valas pada Periode Inflows
dan Outflows
# of Events 708 601Offshore's Net Fx S-D (avg, $ mio) 97,449 -98,761Domestic Net Fx Supply-Demand
Domestic Net Fx Supply 12.99% 56.41%# of Events 92 339Amount (avg, $ mio) 33.46 78.62
Domestic Net Fx Demand 87.01% 43.59%# of Events 616 262Amount (avg, $ mio) -101.48 -56.63
Exchange Rate NovementsAppreciation 66.08% 29.29%
# of Events 450 169Average 0.43% 0.28%
Depreciation 33.92% 70.71%# of Events 231 408Average -0.26% -0.50%
Exch. Rate Volatility (avg) 10.25% 12.14%
Cap. InflowsCap. InflowsCap. InflowsCap. InflowsCap. Inflows Cap. OutflowsCap. OutflowsCap. OutflowsCap. OutflowsCap. Outflows
EVENTEVENTEVENTEVENTEVENT
# of Events 670 639% change (avg) 0,36% -0,41%Exch. Rate Volatility (avg) 10,76% 11,50%Domestic Net Fx Supply-Demand
Domestic Net Fx Supply 15,97% 0,70%# of Events 107 324Amount (avg, $ mio) 45,46 76,75
Domestic Net Fx Demand 84,03% 49,30%# of Events 563 315Amount (avg, $ mio) -102,95 -61,53
Capital Flows (Offshore Net S-D)Capital Inflows 71,19% 36,15%
# of Events 477 231Avg., $ mio 117,96 55,09
Capital Outflows 28,81% 63,85%# of Events 193 408Average -68,35 -113,15
AppreciationAppreciationAppreciationAppreciationAppreciation DepreciationDepreciationDepreciationDepreciationDepreciation
EVENTEVENTEVENTEVENTEVENT
Tabel III.5Perkembangan Pasar Valas pada Periode
Apresiasi dan Depresiasi
-400
-200
0
200
400
600
800
1,000
-200
-100
0
100
200
300
400
500
USD millionUSD million
Jan Mar May Jul Sep Nov2007
Jan Mar May Jul Sep Nov2008
Jan Mar2009
Net Flows (rhs) Outflows Inflows
336 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
data historis, pada saat terjadi inflows terdapat 66% peluang rupiah akan terapresiasi dan
apresiasi yang terjadi relatif smooth sehingga volatilitas yang ditimbulkannya rata-rata hanya
sebesar 10%. Namun pada saat terjadi outflows, peluang rupiah terdepresiasi sedikit lebih
besar (71%) dan level depresiasinya lebih tajam sebagaimana tercermin pada rata-rata volatilitas
pada periode outflow yang mencapai sekitar 12%. Dari deskripsi di atas terlihat adanya
assymetric impact dari kejadian inflows dan outflows. Salah satu faktor yang menyebabkan
terjadinya assymetric tersebut adalah kondisi permintaan dan penawaran domestik yang
cenderung excess demand. Sehingga pasokan valas dari luar negeri terlebih dahulu harus
menambal excess demand domestik sebelum mendorong apresiasi rupiah.
4.1.5. Pola Transaksi Antar Kelompok Pelaku Pasar
Transaksi valas yang dilakukan oleh pelaku pasar valas membentuk suatu pola umum
yang relatif persisten dalam periode penelitian. Selain itu, meskipun tidak dapat mengidentifikasi
terjadinya segmentasi pasar, pola transaksi tersebut menunjukkan pasar dikuasai hanya oleh
sebagian kecil pelaku pasar. Di kelompok market maker, pasar dikuasai oleh bank asing (hanya
oleh 6 bank), bank pemerintah (3 bank) dan sedikit bank dari kelompok bank campuaran (1
bank) dan BUSN devisa. Bank-bank tersebut menguasai sekitar 86% market share, sisanya
diperebutkan oleh lebih dari 100 bank domestik lainnya.
Terkait dengan pola transaksi, bank asing menjadi kelompok bank yang memiliki akses
terbesar ke seluruh pelaku pasar. Bahkan, lebih dari 80% transaksi bank dengan pelaku LN
dilayani oleh bank asing, sehingga bank asing menjadi 'gate' pelaku LN untuk masuk ke pasar
keuangan domestik. Dalam kondisi normal, pelaku LN menjadi pemasok valas bagi bank asing
dan kelompok bank lainnya. Selain itu, bank asing juga menerima pasokan valas yang lebih
besar dari korporasi. Pasokan valas tersebut hampir seluruhnya didistribusikan oleh bank asing
ke bank lainnya, terutama bank persero dan BUSN devisa. Secara keseluruhan bank asing
mengalami excess demand yang cukup besar.
Bank persero, selain menerima pasokan valas dari pelaku asing (secara langsung) dan
bank asing, juga memperoleh pasokan valas dalam jumlah besar dari nasabah individu. Pasokan
valas tersebut disalurkan untuk memenuhi permintaan valas korporasi (termasuk Pertamina)
yang sangat besar, sehingga secara keseluruhan bank persero juga mengalami defisit aliran
valas.
Satu-satunya kelompok bank yang mengalami surplus pasokan valas adalah BUSN devisa.
Kelompok ini menerima pasokan valas dari seluruh kelompok bank, kecuali BUSN non-devisa,
337Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiahdan Kinerja Perekonomian Indonesia
dan pelaku LN secara langsung. Pasokan valas tersebut dimanfaatkan untuk memenuhi
permintaan valas korporasi dan nasabah individu, sementara kelebihannya menambah cadangan
valas kelompok bank ini.
Tabel III.6Pola Transaksi Valas Antar Kelompok Pelaku
ALL PeriodALL PeriodALL PeriodALL PeriodALL Period FOREIGNFOREIGNFOREIGNFOREIGNFOREIGN JOINT BANKJOINT BANKJOINT BANKJOINT BANKJOINT BANK STATE BANKSTATE BANKSTATE BANKSTATE BANKSTATE BANK PRIVATE FXPRIVATE FXPRIVATE FXPRIVATE FXPRIVATE FX ALL BANKALL BANKALL BANKALL BANKALL BANKBANKBANKBANKBANKBANK BANKBANKBANKBANKBANK
FOREIGN BANK 0 -756.207 3.985.576 16.813.438 20.042.807JOINT BANK 663.807 0 -1.607.367 11.019.864 10.076.304STATE BANK -3.985.576 1.551.367 0 10.361.111 7.926.902PRIVATE FX BANK -16.817.638 -11.078.014 -10.361.111 0 -38.256.763REG DEVL BANK -548.785 -1.750 193.175 588.686 231.326PRIVATE Non-FX BANK -629.034 -602.332 -454.428 -328.135 -2.013.929CORPORATION 11.404.656 5.020.344 -48.475.487 -3.142.302 -35.192.789INDIVIDUAL -2.076.875 862.379 11.558.071 -24.633.484 -14.289.909OFFSHORE 2.421.232 2.212.527 2.736.218 2.916.468 10.286.445
-9.568.213 -2.791.686 -42.425.353 13.595.646
NET FOREX BUY and SELL BYNET FOREX BUY and SELL BYNET FOREX BUY and SELL BYNET FOREX BUY and SELL BYNET FOREX BUY and SELL BY
NET
FO
REX
SELL
and
BU
Y B
Y
ALL PeriodALL PeriodALL PeriodALL PeriodALL Period FOREIGNFOREIGNFOREIGNFOREIGNFOREIGN JOINT BANKJOINT BANKJOINT BANKJOINT BANKJOINT BANK STATE BANKSTATE BANKSTATE BANKSTATE BANKSTATE BANK PRIVATE FXPRIVATE FXPRIVATE FXPRIVATE FXPRIVATE FX ALL BANKALL BANKALL BANKALL BANKALL BANKBANKBANKBANKBANKBANK BANKBANKBANKBANKBANK
FOREIGN BANK 0 -679.223 -1.859.500 -567.760 -3.106.483JOINT BANK 679.223 0 -1.327.475 809.148 160.896STATE BANK 1.859.500 1.327.475 0 1.929.275 5.116.250PRIVATE FX BANK 567.760 -809.148 -1.929.275 0 -2.170.663REG DEVL BANK 41.365 0 -35.060 12.150 18.455PRIVATE Non-FX BANK -46.811 -114.680 -102.200 -46.737 -310.428CORPORATION 229.960 -11.399 -2.780.567 -893.360 -3.455.366INDIVIDUAL 85.342 -23.719 425.388 -264.810 222.201OFFSHORE -2.671.868 500.799 100.839 267.014 -1.803.216
744.471 190.105 -7.507.850 1.244.920
NET FOREX BUY and SELL BYNET FOREX BUY and SELL BYNET FOREX BUY and SELL BYNET FOREX BUY and SELL BYNET FOREX BUY and SELL BY
NET
FO
REX
SELL
and
BU
Y B
Y
Dalam kondisi krisis, seperti yang terjadi pada triwulan terakhir 2008, arah pola aliran
transaksi valas sebagaimana dijelaskan di atas berbalik arah, sehingga kelompok bank asing
dan bank campuran justru mengalami ekses pasokan. Sementara itu, bank persero tetap
mengalami defisit (seperti dalam kondisi normal) dan BUSN devisa tetap mengalami surplus
pasokan. Kondisi ini mengindikasikan adanya ketidakseimbangan distribusi valas, meskipun
masih mungkin menjadi balance melalui berbagai jalur lainnya, misalnya transfer dana atau
melalui PUAB.
338 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
4.2. Hasil Estimasi
4.2.1. Persamaan Nilai Tukar
Berdasarkan hasil pengolahan dengan menggunakan metode ECM diketahui bahwa
faktor-faktor yang memengaruhi nilai tukar baik dalam jangka panjang maupun pendek. Dalam
jangka panjang, net supply valas dari pelaku luar negeri merupakan satu-satunya faktor yang
memengaruhi pergerakan nilai tukar. Kenaikan 1% net supply valas dari pelaku luar negeri
akan menyebabkan apresiasi nilai tukar sebesar 0,06%.
Sementara dalam jangka pendek, faktor risiko merupakan faktor utama yang
memengaruhi pergerakan nilai tukar. Koefisien regresi faktor risiko sebesar 0,70 yang
mengimplikasikan setiap risiko memburuk dimana indeks risiko meningkat sebesar 1% akan
menyebabkan depresiasi nilai tukar rupiah sebesar 0,70%. Hasil pengolahan tersebut
menunjukkan sentimen pelaku pasar terhadap pasar valas masih mendominasi.
Faktor kedua yang berpengaruh signifikan adalah pergerakan nilai tukar regional sebesar
0,46. Adapun indeks nilai tukar regional tersebut merupakan indeks komposit dari mata uang
negara Jepang, Euro, dan Singapura yang mewakili nilai tukar regional. Nugroho dkk (2008)
menunjukkan bahwa pergerakan keempat mata uang tersebut memiliki korelasi yang kuat
dengan pergerakan rupiah, sebagaimana terlihat pada grafik berikut.
Grafik III.16.Perkembangan Nilai Tukar Rupiah
dan Euro
Grafik III.17.Perkembangan Nilai Tukar Rupiah dan
Singapore Dollar
Selain itu faktor permintaan dan penawaran memengaruhi nilai tukar secara signifikan,
dengan komposisi sebagai berikut:
1.3
1.2
1.1
1
0.9
0.8
0.7
0.6
EUR IDR Thousand
13
12
11
10
9
8
72000 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
EUR/USDIDR/USD
1.8
1.7
1.6
1.5
1.4
1.3
SGD IDR Thousand
13
12
11
10
9
8
72000 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
SGD/USDIDR/USD
left side
right side
339Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiahdan Kinerja Perekonomian Indonesia
a. Permintaan dan penawaran luar negeri berpengaruh dengan koefisien sebesar 0,06 di
masa saat ini dan 0,04 di masa lalu. Pengaruh sesaat dari permintaan dan penawaran
tersebut lebih besar di masa sekarang. Hasil tersebut sejalan dengan teori simultaneous-
trade model bahwa perilaku pelaku pasar saat ini merupakan informasi bagi pelaku
pasar selanjutnya yang selanjutnya akan melakukan perilaku yang serupa. Selain itu,
hasil ini juga sejalan dengan analisis sebelumnya yang menunjukkan bahwa adanya
pengaruh dari perilaku pelaku domestik terhadap luar negeri. Artinya koefisien yang
lebih besar saat ini merupakan akumulasi informasi saat ini dan informasi pelaku di
masa lalu untuk sesama pelaku luar negeri serta dalam negeri.
b. Permintaan dan penawaran dalam negeri berpengaruh dengan koefisien sebesar 0,05
saat ini. Perilaku masa lalu tidak memengaruhi kondisi saat ini, menunjukkan bahwa
seluruh informasi pasar sudah diserap pada periode t. Akan tetapi perlu diperhatikan,
bahwa pengaruh dari permintaan dan penawaran domestik lebih kecil dari permintaan
dan penawaran luar negeri. Pengujian ini memperjelas hasil analisis sebelumnya. Pangsa
pasar pemain asing dalam perdagangan valas dengan denominasi USD/IDR masih pada
kisaran 40% dan menggunakan bank asing di dalam melakukan transaksinya. Sementara
keterkaitan bank asing sebagai partner utama bank-bank domestik semakin meningkat.
Magnitude yang besar dari pelaku LN relatif terhadap DN juga dapat berasal dari adanya
kecenderungan perilaku trading pelaku asing, sehingga perubahan nilai tukar yang lebih
besar menunjukkan adanya expected gain/loss yang lebih besar juga bagi pelaku LN.
Sementara pelaku DN cenderung melakukan real transaction sehingga pembelian dan
penjualan valas bukan hanya dipengaruhi oleh perubahan nilai tukar, tetapi kebutuhan
valas.
Tabel berikut menampilkan hasil pengujian model nilai tukar (dengan memenuhi asumsi
BLUE) dalam jangka panjang dan jangka pendek.
Tabel III8Hasil Estimasi Persamaan Nilai Tukar
SD Luar NegeriSD Luar NegeriSD Luar NegeriSD Luar NegeriSD Luar Negeri SD Luar Negeri (-1)SD Luar Negeri (-1)SD Luar Negeri (-1)SD Luar Negeri (-1)SD Luar Negeri (-1) SD Dalam NegeriSD Dalam NegeriSD Dalam NegeriSD Dalam NegeriSD Dalam Negeri SD Dalam Negeri (-1)SD Dalam Negeri (-1)SD Dalam Negeri (-1)SD Dalam Negeri (-1)SD Dalam Negeri (-1) R iskRiskRiskRiskRisk NEERNEERNEERNEERNEER
-0,07*** -0,06*** -0,04*** -0,07 -0,05*** -0,03*** 0,18 0,76*** -0,48 0,55*** -0,34***(0,02) (0,01) (0,01) (0,06) (0,02) (0,02) (0,16) (0,20) (0,31) (0,21 ) (0,17 )
Long TermLong TermLong TermLong TermLong Term Short TermShort TermShort TermShort TermShort Term Long TermLong TermLong TermLong TermLong Term Short TermShort TermShort TermShort TermShort Term Long TermLong TermLong TermLong TermLong Term Short TermShort TermShort TermShort TermShort Term Long TermLong TermLong TermLong TermLong Term Short TermShort TermShort TermShort TermShort Term Long TermLong TermLong TermLong TermLong Term Short TermShort TermShort TermShort TermShort Term Long TermLong TermLong TermLong TermLong Term Short TermShort TermShort TermShort TermShort TermCoef. ofCoef. ofCoef. ofCoef. ofCoef. of
adjusmentadjusmentadjusmentadjusmentadjusment
R-squared 84% 83%DW stat 1,72 1,56
Short RunShort RunShort RunShort RunShort Run Long RunLong RunLong RunLong RunLong Run
340 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
4.2.2. Persamaan Output
Persamaan output merupakan fungsi identitas dari variabel konsumsi, investasi,
pemerintah, ekspor, dan impor. Untuk variabel konsumsi, investasi, pemerintah merupakan
variabel eksogen dalam pembentukan output, sementara variabel impor dan ekspor ditentukan
dalam model (endogen).
a. Ekspor
Sebagaimana telah dijelaskan di dalam metodologi, persamaan ekspor yang digunakan
merupakan fungsi dari nilai tukar, pendapatan partner dagang, dan terms of trade (harga
ekspor dibandingkan dengan harga impor). Pada persamaan ekspor juga dilakukan metode
pengolahan dengan menggunakan metode ECM, karena beberapa variable eksogen yang
tidak stasioner pada level tetapi memiliki kointegrasi dalam jangka panjang2 . Hasil pengolahan
dalam jangka panjang menunjukkan bahwa variabel pertumbuhan partner dagang (komposit
pertumbuhan partner dagang utama Jepang, USA, dan Singapura) merupakan faktor utama
yang memengaruhi ekspor Indonesia. Hal tersebut sesuai dengan fakta yang menunjukkan
bahwa ketiga negara tersebut memiliki share mencapai 44,58% dari total keseluruhan ekspor
Indonesia. Konsentrasi yang tinggi pada ketiga negara tersebut menyebabkan ketergantungan
ekspor Indonesia yang kuat juga terhadap mereka.
Sementara dalam jangka pendek, faktor yang paling memengaruhi pergerakan ekspor
adalah faktor harga yang ditunjukkan oleh term of trade, kenaikan 1% harga ekspor (relatif
terhadap harga impor) menyebabkan penurunan ekspor sebesar 2,2%.
Selanjutnya faktor yang memengaruhi ekspor adalah perubahan nilai tukar. Depresiasi
nilai tukar akan menyebabkan harga barang-barang ekspor di pasar internasional menjadi
relative lebih murah sehingga dapat meningkatkan ekspor. Adapun koefisien hasil pengolahan
data sebesar 1,185, dimana kenaikan 1% dari nilai tukar akan menyebabkan kenaikan 1,19%
pada ekspor. Persamaan ini juga menunjukkan pengaruh nilai tukar pada ekspor dapat langsung
ataupun tidak langsung. Jalur yang tidak langsung yaitu melalui harga barang impor yang
menjadi mahal akibat kenaikan nilai tukar, sehingga harga barang ekspor menjadi lebih murah
yang pada akhirnya meningkatkan ekspor.
Hasil pengujian model nilai tukar (dengan memenuhi asumsi BLUE) baik dalam jangka
panjang maupun pendek dapat disimpulkan di dalam tabel berikut ini:
2 Pengujian stasioneritas, heterokedastisitas, autokorelasi, stasioneritas dan normalitas residual disajikan di dalam lampiran.
341Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiahdan Kinerja Perekonomian Indonesia
Tabel III.9.Hasil Estimasi Persamaan Ekspor
Term of TradeTerm of TradeTerm of TradeTerm of TradeTerm of Trade Indeks ProduksiIndeks ProduksiIndeks ProduksiIndeks ProduksiIndeks Produksi Nilai TukarNilai TukarNilai TukarNilai TukarNilai Tukar
-0,65 -2,2* 1,91*** 0,57 0,21 1,19* -0,61***(0,56) (1,23) (0,35) (0,50) (0,18) (0,64) (0,15)
Long TermLong TermLong TermLong TermLong Term Short TermShort TermShort TermShort TermShort Term Long TermLong TermLong TermLong TermLong Term Short TermShort TermShort TermShort TermShort Term Long TermLong TermLong TermLong TermLong Term Short TermShort TermShort TermShort TermShort TermCoef. ofCoef. ofCoef. ofCoef. ofCoef. of
adjusmentadjusmentadjusmentadjusmentadjusment
b. Impor
Persamaan impor juga merupakan fungsi dari nilai tukar, terms of trade (harga ekspor
dibandingkan dengan harga impor), serta pertumbuhan Indonesia. Berdasarkan hasil pengolahan
dengan menggunakan ECM, diperoleh bahwa dalam jangka panjang, faktor yang paling
memengaruhi pergerakan impor di Indonesia adalah harga relative antara ekspor dan impor.
Kenaikan 1% terms of trade menyebabkan penurunan impor sebesar 1,25%. Sementara dalam
jangka pendek, faktor yang paling memengaruhi impor adalah perubahan nilai tukar. Depresiasi
nilai tukar sebesar 1 % menyebabkan penurunan impor sebesar 1% juga. Faktor lainnya yang
memengaruhi pergerakan impor adalah pertumbuhan ekonomi, dimana kenaikan 1 % dari
pertumbuhan ekonomi Indonesia menyebabkan kenaikan impor sebesar 0,64%. Tidak seperti
persamaan ekspor sebelumnya, yang menunjukkan adanya efek nilai tukar yang langsung ke
ekspor dan efek nilai tukar yang ditransmisikan melalui terms of trade, pada persamaan impor
ini efek nilai tukar berdampak langsung pada pergerakan impor, sementara dalam jangka
pendek tidak terdapat efek tidak langsung melalui terms of trade.
Hasil pengujian model nilai tukar (dengan memenuhi asumsi BLUE) baik dalam jangka
panjang maupun pendek dapat disimpulkan di dalam tabel berikut ini:
Tabel III.10.Hasil Estimasi Persamaan Impor
Term of TradeTerm of TradeTerm of TradeTerm of TradeTerm of Trade Indeks ProduksiIndeks ProduksiIndeks ProduksiIndeks ProduksiIndeks Produksi Nilai TukarNilai TukarNilai TukarNilai TukarNilai Tukar
-1,25** 0,87 0,15 0,65*** 0,06 -1,00** -0,44***(0,56) (0,58) (0,29) (0,08) (0,30) (0,38) (0,08)
Long TermLong TermLong TermLong TermLong Term Short TermShort TermShort TermShort TermShort Term Long TermLong TermLong TermLong TermLong Term Short TermShort TermShort TermShort TermShort Term Long TermLong TermLong TermLong TermLong Term Short TermShort TermShort TermShort TermShort TermCoef. ofCoef. ofCoef. ofCoef. ofCoef. of
adjusmentadjusmentadjusmentadjusmentadjusment
R-squared 76% 86%DW stat 2,52 2,57
Short RunShort RunShort RunShort RunShort Run Long RunLong RunLong RunLong RunLong Run
R-squared 60% 64%DW stat 2,06 2,18
Short RunShort RunShort RunShort RunShort Run Long RunLong RunLong RunLong RunLong Run
342 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Tabel III.11.Hasil Estimasi Persamaan Harga Impor
Harga InternasionalHarga InternasionalHarga InternasionalHarga InternasionalHarga Internasional Nilai TukarNilai TukarNilai TukarNilai TukarNilai Tukar Supply StockSupply StockSupply StockSupply StockSupply Stock PDBPDBPDBPDBPDB
0,99** 0,67 0,42*** 0,33*** 0,20*** 0,21*** 0,02 0,01 -0,26**(0,39) (0,61) (0,13) (0,08) (0,03) (0,03) (0,02) (0,02) (0,12)
Long TermLong TermLong TermLong TermLong Term Short TermShort TermShort TermShort TermShort Term Long TermLong TermLong TermLong TermLong Term Short TermShort TermShort TermShort TermShort Term Long TermLong TermLong TermLong TermLong Term Short TermShort TermShort TermShort TermShort Term Long TermLong TermLong TermLong TermLong Term Short TermShort TermShort TermShort TermShort TermCoef. ofCoef. ofCoef. ofCoef. ofCoef. of
adjusmentadjusmentadjusmentadjusmentadjusment
R-squared 73% 99%DW stat 1,79 2,06
Short RunShort RunShort RunShort RunShort Run Long RunLong RunLong RunLong RunLong Run
2 Hasil penelitian Kurniati (2008) menemukan exchange rate pass through sebesar 0,.20 dalam jangka pendek pada periode paskakrisis.
4.2.3. Persamaan Hargaa. Harga Impor
Persamaan ini digunakan untuk melihat hubungan antara nilai tukar dan harga impor.
Hasil pengujian dengan menggunakan metode ECM, menunjukkan bahwa di dalam jangka
panjang, faktor yang paling memengaruhi harga impor Indonesia adalah harga-harga
internasional, yaitu sebesar 1% kenaikan harga internasional menyebabkan kenaikan harga
impor sebesar 0,99%. Faktor kedua yang berpengaruh di dalam jangka panjang adalah
perubahan nilai tukar, dengan pengaruh sebesar 0,42. Angka exchange rate pass-through ini
sejalan dengan hasil temuan Kurniati (2008) yang memperoleh pengaruh nilai tukar terhadap
harga impor sebesar 0,45 pada periode post crisis.
Sementara dalam jangka pendek, faktor nilai tukar paling memengaruhi harga impor
dengan koefisien sebesar 0,333 , yang kemudian diikuti dengan faktor supply shock (oil price)
dengan koefisien sebesar 0,20. Apabila dibandingkan dengan penelitian sebelumnya, maka
pengaruh nilai tukar terhadap pergerakan harga impor terutama di dalam jangka pendek
semakin membesar. Artinya, seperti yang telah disebutkan sebelumnya akibat adanya magnitude
yang besar pada permintaan dan penawaran luar negeri terhadap nilai tukar, akan berdampak
juga pada tekanan harga impor.
Hasil pengujian model nilai tukar (dengan memenuhi asumsi BLUE) baik dalam jangka
panjang maupun pendek ditunjukkan oleh tabel berikut ini:
b. Harga Konsumen
Second round effect adanya perubahan nilai tukar adalah tekanan pada harga keseluruhan.
Akibat kenaikan harga barang-barang impor menyebabkan harga keseluruhan di perekonomian
343Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiahdan Kinerja Perekonomian Indonesia
menjadi meningkat. Dalam jangka panjang, faktor yang memengaruhi kenaikan harga di dalam
perekonomian adalah pertumbuhan ekonomi Indonesia. Yaitu kenaikan 1% pertumbuhan
ekonomi menyebabkan kenaikan harga sebesar 0,01%. Sementara dalam jangka pendek,
perubahan harga domestik disebabkan oleh kenaikan harga barang impor, yaitu kenaikan 1%
harga barang impor menyebabkan kenaikan harga domestik sebesar 0,05%. Hasil analisis
tersebut menunjukkan adanya tingkat ketergantungan impor yang besar di dalam keseluruhan
kegiatan produksi.
Tabel III.12.Komoditas Impor Utama Indonesia, 2000-2008
1 Minyak bumi dan olahannya 28%2 Kimia organis 8%3 Besi dan baja 6%4 Mesin industri dan perlengkapannya 6%5 Mesin industri khusus 5%6 Gandum dan gandum olahan 3%7 Bahan plastik 3%8 Mesin pembangkit tenaga 3%9 Serat tekstil dan sisanya 3%10 Benang tenun, kain tekstil, dan hasilnya 3%11 Bahan kimia lainnya 3%12 Pulp dan Kertas 2%13 Logam tidak mengandung besi 2%14 Barang-barang logam lainnya 2%15 Makanan ternak 2%16 Kimia inorganis 1%17 Biji logam dan sisa-sisa logam 1%18 Bahan celup dan pewarna lainnya 1%19 Gula, olahan gula, dan madu 1%20 Hasil susu dan telur 1%
NoNoNoNoNo KomoditasKomoditasKomoditasKomoditasKomoditas Rata-rataRata-rataRata-rataRata-rataRata-rataPangsaPangsaPangsaPangsaPangsa
200-2008200-2008200-2008200-2008200-2008
344 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Apabila dilihat lebih detail pada tabel II.12 di atas, barang impor utama yang masuk ke
Indonesia sebagian besar merupakan barang utama pembuatan industri, seperti minyak bumi
dan olahannya, kimia organis, besi dan baja. Barang-barang ini sebagai komoditi utama produksi
industriindustry di Indonesia, sehingga apabila ada perubahan nilai tukar yang menyebabkan
kenaikan tekanan pada harga impor, juga akan memberikan dampak yang kuat terhadap
harga domestik. Hasil pengujian model nilai tukar (dengan memenuhi asumsi BLUE) selengkapnya
baik dalam jangka panjang maupun pendek dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel III.13.Hasil Estimasi Persamaan Harga Konsumen
Harga ImporHarga ImporHarga ImporHarga ImporHarga Impor PDBPDBPDBPDBPDB Supply ShockSupply ShockSupply ShockSupply ShockSupply Shock
-0,01 0,05* -0,01*** 0,00 -0,00 0,01 -0,08(0,02) (0,03) (0,00) (0,00) (0,00) (0,01) (0,20)
Long TermLong TermLong TermLong TermLong Term Short TermShort TermShort TermShort TermShort Term Long TermLong TermLong TermLong TermLong Term Short TermShort TermShort TermShort TermShort Term Long TermLong TermLong TermLong TermLong Term Short TermShort TermShort TermShort TermShort TermCoef. ofCoef. ofCoef. ofCoef. ofCoef. of
adjusmentadjusmentadjusmentadjusmentadjusment
R-squared 85% 99%DW stat 1,81 2,22
Short RunShort RunShort RunShort RunShort Run Long RunLong RunLong RunLong RunLong Run
4.2.4. Simulasi Model Simultan
Berdasarkan penggabungan model parsial diperoleh hasil kesesuaian antara baseline
dan actual seperti grafik II.18. Pada grafik tersebut terlihat bahwa sebagian besar baseline
(data hasil estimasi model parsial) dapat mengestimasi besaran angka aktual. Untuk persamaan
nilai tukar, harga impor, dan harga domestik, persamaan parsial mampu menangkap pergerakan
data aktual dengan baik. Akan tetapi pada beberapa periode, terutama untuk persamaan
ekspor, model parsial belum dapat menangkap pergerakan data aktual secara sempurna.
walaupun arah dari pergerakan data aktual relatif dapat ditangkap.
Selanjutnya dari hasil pengolahan dengan menggunakan model simultan dilakukan
beberapa simulasi terutama terkait dengan kenaikan/penurunan permintaan dan penawaran
valas luar dan dalam negeri sebagai berikut :
1. Skenario perubahan pada permintaan dan penawaran valas luar negeri berupa kenaikan
penawaran valas dan permintaan valas sebesar 20%. Simulasi kenaikan penawaran valas
yang berasal dari pelaku LN sebesar 20% menyebabkan apresiasi nilai tukar 4,44% yang
diikuti dengan perubahan beberapa variabel makro lainnya. Begitu pula ketika terjadi kenaikan
345Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiahdan Kinerja Perekonomian Indonesia
Grafik III.18.Model Simultan 6 Persamaan Parsial
permintaan valas yang berasal dari LN sebesar 20% menyebabkan depresiasi nilai tukar
sebesar 4,68% yang diikuti dengan perubahan beberapa variabel makro lainnya. Berdasarkan
hasil pengolahan data, dapat dilihat bahwa dampak dari kenaikan penawaran valas LN
lebih kecil dibandingkan dengan dampak kenaikan permintaan valas LN. Hal tersebut
menunjukkan opportunity rupiah terdepresiasi lebih besar untuk setiap kenaikan permintaan
valas LN.
13000
12000
11000
10000
9000
80002004 2005 2006 2007 2008
ActualER (Baseline)
ER
2004 2005 2006 2007 2008
ActualM (Baseline)
M10000
9000
8000
7000
6000
5000
4000
3000
2000
2004 2005 2006 2007 2008
ActualP (Baseline)
P150
140
130
120
110
100
902004 2005 2006 2007 2008
ActualPM (Baseline)
PM280
240
200
160
110
120
80
2004 2005 2006 2007 2008
ActualX (Baseline)
X35000
30000
25000
20000
15000
100002004 2005 2006 2007 2008
ActualY (Baseline)
Y190000
180000
170000
160000
150000
140000
130000
120000
346 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Apabila dilihat dampaknya ke variabel makroekonomi lainnya, dapat dilihat, bahwa
dampak depresiasi lebih besar berpengaruh pada variabel ekspor, sementara apresiasi lebih
besar berpengaruh pada variabel impor. Sementara variabel lain seperti PDB, harga impor,
harga domestik, memiliki pengaruh yang sama pada saat apresiasi maupun depresiasi. Secara
lengkap, hasil simulasi kedua skenario tersebut dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:
Cap. InflowsCap. InflowsCap. InflowsCap. InflowsCap. Inflows Cap. OutflowsCap. OutflowsCap. OutflowsCap. OutflowsCap. Outflows
EVENTEVENTEVENTEVENTEVENT
Tabel III.15.Kenaikan Permintaan LN 20%
10274 4,68%9815
8155,6 -2,98%8405,7
142,2 0,14%142
227,5 1,79%223,5
28669 2,36%28008
174989 0,52174078
E RE RE RE RE RScenario 2Scenario 2Scenario 2Scenario 2Scenario 2
BaselineBaselineBaselineBaselineBaselineMMMMM
Scenario 2Scenario 2Scenario 2Scenario 2Scenario 2BaselineBaselineBaselineBaselineBaseline
PPPPPScenario 2Scenario 2Scenario 2Scenario 2Scenario 2
BaselineBaselineBaselineBaselineBaselineP MP MP MP MP M
Scenario 2Scenario 2Scenario 2Scenario 2Scenario 2BaselineBaselineBaselineBaselineBaseline
XXXXXScenario 98152Scenario 98152Scenario 98152Scenario 98152Scenario 98152
BaselineBaselineBaselineBaselineBaselineYYYYY
Scenario 2Scenario 2Scenario 2Scenario 2Scenario 2BaselineBaselineBaselineBaselineBaseline
2. Skenario perubahan pada permintaan dan penawaran valas luar negeri berupa penurunan
penawaran valas 20% dan permintaan valas 20%. Berdasarkan simulasi tersebut skenario
tersebut, dapat dilihat bahwa dampak penurunan penawaran valas oleh pihak LN (yang
menyebabkan depresiasi rupiah) lebih besar dibandingkan dengan dampak penurunan
permintaan valas. Seperti halnya skenario pada point pertama, dapat dilihat bahwa dampak
depresiasi rupiah lebih berpengaruh pada ekspor sementara apresiasi rupiah lebih
berpengaruh pada impor.
Cap. InflowsCap. InflowsCap. InflowsCap. InflowsCap. Inflows Cap. OutflowsCap. OutflowsCap. OutflowsCap. OutflowsCap. Outflows
EVENTEVENTEVENTEVENTEVENT
Tabel III.14.Kenaikan Penawaran LN 20%
9379 4,44%9815
8667,5 3,11%8405,7
141,8 -0,14%142
219,5 -1,79%223,5
273,66 -22,9%28008
173174 -0,52%174078
E RE RE RE RE RScenario 1Scenario 1Scenario 1Scenario 1Scenario 1
BaselineBaselineBaselineBaselineBaselineMMMMM
Scenario 1Scenario 1Scenario 1Scenario 1Scenario 1BaselineBaselineBaselineBaselineBaseline
PPPPPScenario 1Scenario 1Scenario 1Scenario 1Scenario 1
BaselineBaselineBaselineBaselineBaselineP MP MP MP MP M
Scenario 1Scenario 1Scenario 1Scenario 1Scenario 1BaselineBaselineBaselineBaselineBaseline
XXXXXScenario 1Scenario 1Scenario 1Scenario 1Scenario 1
BaselineBaselineBaselineBaselineBaselineYYYYY
Scenario 1Scenario 1Scenario 1Scenario 1Scenario 1BaselineBaselineBaselineBaselineBaseline
347Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiahdan Kinerja Perekonomian Indonesia
Cap. InflowsCap. InflowsCap. InflowsCap. InflowsCap. Inflows Cap. OutflowsCap. OutflowsCap. OutflowsCap. OutflowsCap. Outflows
EVENTEVENTEVENTEVENTEVENT
Tabel III.16.Penurunan Penawaran LN 20%
10381 5,77%9815
8101,2 -3,62%8405,7
142,2 0,14%1,42
228,4 2,19%223,5
28820 2,90%28008
175195 0,64%174078
E RE RE RE RE RScenario 3Scenario 3Scenario 3Scenario 3Scenario 3
BaselineBaselineBaselineBaselineBaselineMMMMM
Scenario 3Scenario 3Scenario 3Scenario 3Scenario 3BaselineBaselineBaselineBaselineBaseline
PPPPPScenario 3Scenario 3Scenario 3Scenario 3Scenario 3
BaselineBaselineBaselineBaselineBaselineP MP MP MP MP M
Scenario 3Scenario 3Scenario 3Scenario 3Scenario 3BaselineBaselineBaselineBaselineBaseline
XXXXXScenario 3Scenario 3Scenario 3Scenario 3Scenario 3
BaselineBaselineBaselineBaselineBaselineYYYYY
Scenario 3Scenario 3Scenario 3Scenario 3Scenario 3BaselineBaselineBaselineBaselineBaseline
Cap. InflowsCap. InflowsCap. InflowsCap. InflowsCap. Inflows Cap. OutflowsCap. OutflowsCap. OutflowsCap. OutflowsCap. Outflows
EVENTEVENTEVENTEVENTEVENT
Tabel III.17.Penurunan Permintaan LN 20%
9285 -5,40%9815
8727,8 3,83%8405,7
141,8 -0,14%142
218,6 -2,19%223,5
27225 -2,80%28008
172973 0,63%174078
E RE RE RE RE RScenario 4Scenario 4Scenario 4Scenario 4Scenario 4
BaselineBaselineBaselineBaselineBaselineMMMMM
Scenario 4Scenario 4Scenario 4Scenario 4Scenario 4BaselineBaselineBaselineBaselineBaseline
PPPPPScenario 4Scenario 4Scenario 4Scenario 4Scenario 4
BaselineBaselineBaselineBaselineBaselineP MP MP MP MP M
Scenario 4Scenario 4Scenario 4Scenario 4Scenario 4BaselineBaselineBaselineBaselineBaseline
XXXXXScenario 4Scenario 4Scenario 4Scenario 4Scenario 4
BaselineBaselineBaselineBaselineBaselineYYYYY
Scenario 4Scenario 4Scenario 4Scenario 4Scenario 4BaselineBaselineBaselineBaselineBaseline
3. Skenario perubahan pada permintaan dan penawaran valas dalam negeri berupa kenaikan
penawaran valas 20% dan permintaan valas 20%. Besarnya depresiasi yang disebabkan
oleh adanya kenaikan permintaan valas di DN sebesar 0,79% lebih besar dari adanya apresiasi
akibat kenaikan penawaran valas oleh pelaku DN yaitu sebesar 0,78%. Tidak seperti halnya
dampak perubahan permintaan dan penawaran valas LN yang berpengaruh pada variabel
ekspor dan impor, perubahan permintaan dan penawaran valas DN menyebabkan perubahan
yang berbeda pada harga impor, dimana pengaruh apresiasi lebih besar dibandingkan
pengaruh depresiasi nilai tukar. Sementara untuk variabel makroekonomi lainnya memiliki
pengaruh yang sama. Temuan lainnya yang juga menarik adalah besarnya pengaruh
perubahan permintaan dan penawaran valas LN yang lebih besar daripada perubahan
permintaan dan penawaran valas DN. Nilai perbedaan tersebut berkisar antara 3-4%. Hal
tersebut membuktikan bahwa pasar valas Indonesia rentan terhadap pergerakan permintaan
dan penawaran valas dari LN.
348 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
4. Skenario perubahan pada permintaan dan penawaran valas dalam negeri berupa penurunan
penawaran valas 20% dan penurunan permintaan valas 20%. Skenario ini menunjukkan
bahwa walaupun secara neto memiliki perilaku yang sama, tetapi depresiasi yang ditimbulkan
oleh penurunan penawaran lebih besar daripada akibat kenaikan permintaan valas. Jadi
untuk mencegah depresiasi yang besar, adalah mencegah penurunan penawaran valas
yang besar. Begitupula dampak penurunan permintaan valas lebih besar daripada kenaikan
penawaran valas dalam mendorong apresiasi nilai tukar rupiah.
Cap. InflowsCap. InflowsCap. InflowsCap. InflowsCap. Inflows Cap. OutflowsCap. OutflowsCap. OutflowsCap. OutflowsCap. Outflows
EVENTEVENTEVENTEVENTEVENT
Tabel III.19.Kenaikan Permintaan DN 20%
9893 0,79%9815
8361,5 0,53%8405,7
142 0,00%142
224,1 0,27%\223,5
28121 0,40%28008
174236 0,09%174078
E RE RE RE RE RScenario 2Scenario 2Scenario 2Scenario 2Scenario 2
BaselineBaselineBaselineBaselineBaselineMMMMM
Scenario 2Scenario 2Scenario 2Scenario 2Scenario 2BaselineBaselineBaselineBaselineBaseline
PPPPPScenario 2Scenario 2Scenario 2Scenario 2Scenario 2
BaselineBaselineBaselineBaselineBaselineP MP MP MP MP M
Scenario 2Scenario 2Scenario 2Scenario 2Scenario 2BaselineBaselineBaselineBaselineBaseline
XXXXXScenario 98152Scenario 98152Scenario 98152Scenario 98152Scenario 98152
BaselineBaselineBaselineBaselineBaselineYYYYY
Scenario 2Scenario 2Scenario 2Scenario 2Scenario 2BaselineBaselineBaselineBaselineBaseline
Cap. InflowsCap. InflowsCap. InflowsCap. InflowsCap. Inflows Cap. OutflowsCap. OutflowsCap. OutflowsCap. OutflowsCap. Outflows
EVENTEVENTEVENTEVENTEVENT
Tabel III.18.Kenaikan Penawaran DN 20%
9738 -0,78%9815
8450,3 0,53%8405,7
142 0,00%142
222,8 0,31%223,5
27895 0,40%28008
173921 -0,09%174078
E RE RE RE RE RScenario 5Scenario 5Scenario 5Scenario 5Scenario 5
BaselineBaselineBaselineBaselineBaselineMMMMM
Scenario 5Scenario 5Scenario 5Scenario 5Scenario 5BaselineBaselineBaselineBaselineBaseline
PPPPPScenario 5Scenario 5Scenario 5Scenario 5Scenario 5
BaselineBaselineBaselineBaselineBaselineP MP MP MP MP M
Scenario 5Scenario 5Scenario 5Scenario 5Scenario 5BaselineBaselineBaselineBaselineBaseline
XXXXXScenario 5Scenario 5Scenario 5Scenario 5Scenario 5
BaselineBaselineBaselineBaselineBaselineYYYYY
Scenario 5Scenario 5Scenario 5Scenario 5Scenario 5BaselineBaselineBaselineBaselineBaseline
349Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiahdan Kinerja Perekonomian Indonesia
Cap. InflowsCap. InflowsCap. InflowsCap. InflowsCap. Inflows Cap. OutflowsCap. OutflowsCap. OutflowsCap. OutflowsCap. Outflows
EVENTEVENTEVENTEVENTEVENT
Tabel III.20.Penurunan Penawaran DN 20%
9494 0,85%9414
8256,9 -0,42%8292,1
141141
230,1 0,35%229,3
27921 0,43%27802
172299 0,09%172145
E RE RE RE RE RScenario 7Scenario 7Scenario 7Scenario 7Scenario 7
BaselineBaselineBaselineBaselineBaselineMMMMM
Scenario 7Scenario 7Scenario 7Scenario 7Scenario 7BaselineBaselineBaselineBaselineBaseline
PPPPPScenario 7Scenario 7Scenario 7Scenario 7Scenario 7
BaselineBaselineBaselineBaselineBaselineP MP MP MP MP M
Scenario 7Scenario 7Scenario 7Scenario 7Scenario 7BaselineBaselineBaselineBaselineBaseline
XXXXXScenario 7Scenario 7Scenario 7Scenario 7Scenario 7
BaselineBaselineBaselineBaselineBaselineYYYYY
Scenario 7Scenario 7Scenario 7Scenario 7Scenario 7BaselineBaselineBaselineBaselineBaseline
Cap. InflowsCap. InflowsCap. InflowsCap. InflowsCap. Inflows Cap. OutflowsCap. OutflowsCap. OutflowsCap. OutflowsCap. Outflows
EVENTEVENTEVENTEVENTEVENT
Tabel III.21.Penurunan Permintaan DN 20%
9721 -0,96%9815
8460,4 0,65%8405,7
142 0,00142
222,6 0,40%223,5
27870 -0,49%28008
173885 -0,11%174078
E RE RE RE RE RScenario 8Scenario 8Scenario 8Scenario 8Scenario 8
BaselineBaselineBaselineBaselineBaselineMMMMM
Scenario 8Scenario 8Scenario 8Scenario 8Scenario 8BaselineBaselineBaselineBaselineBaseline
PPPPPScenario 8Scenario 8Scenario 8Scenario 8Scenario 8
BaselineBaselineBaselineBaselineBaselineP MP MP MP MP M
Scenario 8Scenario 8Scenario 8Scenario 8Scenario 8BaselineBaselineBaselineBaselineBaseline
XXXXXScenario 8Scenario 8Scenario 8Scenario 8Scenario 8
BaselineBaselineBaselineBaselineBaselineYYYYY
Scenario 8Scenario 8Scenario 8Scenario 8Scenario 8BaselineBaselineBaselineBaselineBaseline
350 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
V. KESIMPULAN DAN SARAN
V.1. Kesimpulan
Dari penelitian ini baik dari segmen telaah pasar maupun dari segmen analisis regresi
dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Interaksi antara permintaan dan penawaran valas secara signifikan mempengaruhi nilai
tukar rupiah, dan pengaruh permintaan dan penawaran valas dari pelaku luar negeri lebih
dominan dibandingkan dari pelaku dalam negeri.
a. Lebih dominannya pengaruh permintaan dan penawaran valas dari luar negeri
dikonfirmasi oleh hasil analisis bedah pasar valas yang menunjukkan bahwa pelaku luar
negeri merupakan pemain utama oleh karena perannya sebagai market mover dan
penyeimbang permintaan dan penawaran pelaku domestik yang cenderung excess
demand.
b. Namun demikian, permintaan dan penawaran valas luar negeri memberikan dampak
yang asimetrik terhadap pergerakan nilai tukar rupiah. Apabila terjadi net supply (capital
inflows) dan besarnya dapat mengimbangi net demand DN maka rupiah akan terapresiasi
secara gradual. Sebaliknya, apabila terjadi net demand rupiah oleh luar negeri akan
terdepresiasi dan gerakannya lebih volatile.
c. Pelaku LN relatif sangat fleksibel - dapat beralih dengan cepat dari net supply menjadi
net demand, atau sebaliknya - oleh karena aktivitas transaksi valasnya bersifat trading
untuk mendukung investasi jangka pendek investor asing (portfolio investment).
Sementara pelaku DN terbagi dua, sebagian untuk mendukung aktivitas bisnis di sektor
riil (genuine transaction) dan sebagian lainnya trading untuk memperoleh keuntungan.
2. Lebih jauh lagi, nilai tukar memengaruhi perkembangan harga dan output perekonomian.
Pengaruh nilai tukar pada harga pada first round effect - yaitu dari nilai tukar ke harga
impor - relatif kuat dan signifikan, namun pada second round effect-nya ke harga konsumen
lebih terbatas. Pengaruh nilai tukar ke ekspor dan impor hanya signifikan di jangka pendek
dengan pengaruh yang lebih signifikan ke impor. Ekspor dan impor selanjutnya berpengaruh
terhadap output perekonomian. Selain itu dampak asimetrik nilai tukar juga terjadi di dalam
perekonomian. Dampak depresiasi nilai tukar lebih besar dibandingkan dampak apresiasi
terutama dampak langsung terhadap ekspor dan impor. Perbedaan ini menimbulkan
akumulasi dampak terhadap perekonomian yang berbeda.
3. Dengan demikian, pasar valas menghadapi beberapa permasalahan yang berpotensi
mempengaruhi nilai tukar rupiah, yaitu:
351Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiahdan Kinerja Perekonomian Indonesia
a. Ketergantungan pasar valas dan nilai tukar terhadap pasokan valas dari pihak luar negeri
cukup tinggi, dan selama ini dipenuhi oleh pasokan valas yang bersifat jangka pendek.
b. Tingginya aktivitas trading - oleh hampir seluruh pelaku LN dan sebagian pelaku DN -
mengindikasikan tingginya spekulasi terhadap nilai tukar rupiah.
c. Perkembangan pasar valas kurang seimbang dimana hanya pasar spot yang berkembang,
sementara pasar forward dan swap stagnan. Pasar forward dan swap yang tidak
berkembangnya menjadikan hedging tidak efisien, padahal hedging sangat diperlukan
dalam kondisi pasar didominasi oleh aktivitas spekulasi. Selain itu, kebutuhan untuk
melakukan transaksi forward atau swap pada gilirannya menjadi beban bagi pasar spot.
Permasalahan di atas menjadikan pasar valas dan nilai tukar sangat rentan terhadap
capital reversal dan koreksi nilai tukar apabila pergerakannya karena transaksi spekulatif tidak
sejalan dengan faktor fundamental perekonomian.
V.2. Rekomendasi Kebijakan
Permasalahan yang terjadi di pasar valas berpotensi menjadikan nilai tukar tidak stabil
dan lebih jauh lagi berdampak pada laju inflasi, ekspor dan impor, serta output. Untuk
meminimalisir dampak negatif dapat dilakukan beberapa langkah kebijakan sebagai berikut:
Menyeimbangkan Permintaan dan Penawaran Valas
1. Upaya menyeimbangkan harus diawali dengan pemantauan perkembangan permintaan
dan penawaran di pasar valas, termasuk aktifitas significant players, untuk mengantisipasi
terjadinya imbalances dan gejolak nilai tukar. Apabila terjadi ketidakseimbangan yang
signifikan perlu dilakukan upaya penyeimbangan.supply-demand valas dengan cara:
a. meningkatkan penawaran valas DN atau mengurangi permintaan valas DN,
Langkah untuk mengurangi permintaan valas relatif terbatas oleh karena Bank Indonesia
tidak memiliki wewenang untuk membatasinya. Yang dapat dilakukan BI adalah tidak
melakukan intervensi untuk menyerap valas dari pasar, dan berkoordinasi dengan
Pemerintah untuk menghimbau agar pembelian valas oleh BUMN dibatasi atau diatur
timing-nya, misalnya pada saat terjadi capital inflows dalam jumlah besar. Sebaliknya, BI
dapat melakukan upaya untuk meningkatkan pasokan valas, yaitu dengan intervensi
jual valas. BI perlu melanjutkan intervensi jual valas yang telah dilakukan secara rutin
dengan tetap mempertimbangkan tingkat kebutuhan (yaitu untuk memenuhi genuine
demand) dan waktu pelaksanaannya (yaitu pada saat terjadi outflows dan rupiah
tertekan).
352 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
b. menarik lebih banyak pasokan valas dari LN, terutama yang lebih permanen (seperti FDI,
hasil ekspor yang ditempatkan di luar negeri, worker remittance, pengeluaran wisatawan
asing, dan sebagainya), atau mencegah terjadinya capital reversal.
Untuk mencegah terjadinya capital reversal perlu dilakukan upaya untuk menjaga kondisi
atau iklim investasi portofolio di Indonesia agar tetap menarik bagi investor asing. Langkah
yang dapat dilakukan adalah dengan menjaga stabilitas rupiah, mempertahankan
kebijakan makro yang prudent dan transparan, serta berkoordinasi dengan pemerintah
untuk mendorong diterbitkannya instrumen investasi baru (menambah alternatif outlet
investasi). Sementara untuk menarik lebih banyak pasokan valas melalui FDI, worker
remittance dan wisatawan asing, perlu diupayakan bersama pemerintah untuk
menciptakan iklim investasi yang kondusif, mendorong lebih banyak tenaga kerja
Indonesia di luar negeri (terutama yang terlatih dan terdidik) dan meningkatkan daya
tarik obyek wisata di Indonesia.
Menyiasati Tingginya Trading Valas dan Mendorong Perkembangan Hedging Market
2. Ditengah tingginya aktivitas trading yang cenderung spekulatif, perlu dilakukan upaya untuk
melindungi genuine demand/supply, terutama yang terjadual seperti pembayaran impor,
penerimaan ekspor dan pembayaran utang LN, dengan mengembangkan pasar hedging
(forward dan swap). Langkah yang dapat dilakukan BI adalah lebih mengaktifkan intervensi
valas melalui transaksi forward dan swap, serta menjadikan fasilitas re-swap hedging yang
telah ada agar menjadi lebih menarik bagi bank.
353Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiahdan Kinerja Perekonomian Indonesia
Evans, Martin D.D., dan Richard K. Lyons. 2005. "Understanding Order Flow""Understanding Order Flow""Understanding Order Flow""Understanding Order Flow""Understanding Order Flow". Working Paper
#11748, NBER, Massachusetts.
Husman, Jardine A. 2005. "Estimasi Nilai Tukar Paska Krisis: Pendekatan Model Komposit""Estimasi Nilai Tukar Paska Krisis: Pendekatan Model Komposit""Estimasi Nilai Tukar Paska Krisis: Pendekatan Model Komposit""Estimasi Nilai Tukar Paska Krisis: Pendekatan Model Komposit""Estimasi Nilai Tukar Paska Krisis: Pendekatan Model Komposit".
Bank Indonesia Working Paper 07/2005. Jakarta.
Kurniati, Yati, Tri Yanuarti dan Yanfitri. 2008. "Dampak Nilai Tukar terhadap Harga Impor dan"Dampak Nilai Tukar terhadap Harga Impor dan"Dampak Nilai Tukar terhadap Harga Impor dan"Dampak Nilai Tukar terhadap Harga Impor dan"Dampak Nilai Tukar terhadap Harga Impor dan
Inflasi Inti"Inflasi Inti"Inflasi Inti"Inflasi Inti"Inflasi Inti". Bank Indonesia, Catatan Riset 10/6/DKM/BRE/CR.
Kurniati, Yati, 2007 "Exchange Rate Pass-Through In Indonesia"
Lyons, Richard K. 2001. "The Microstructure Approach to Exchange Rates""The Microstructure Approach to Exchange Rates""The Microstructure Approach to Exchange Rates""The Microstructure Approach to Exchange Rates""The Microstructure Approach to Exchange Rates". MIT Press,
Cambridge, Massachusetts.
Rime, Dagfinn, Lucio Sarno, dan Elvira Sojli. 2007. "Exchange Rate Forecasting, Order Flow,"Exchange Rate Forecasting, Order Flow,"Exchange Rate Forecasting, Order Flow,"Exchange Rate Forecasting, Order Flow,"Exchange Rate Forecasting, Order Flow,
and Macroeconomic Information"and Macroeconomic Information"and Macroeconomic Information"and Macroeconomic Information"and Macroeconomic Information". Oslo ANO 2007/2.
DAFTAR PUSTAKA
354 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
halaman ini sengaja dikosongkan
355Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiahdan Kinerja Perekonomian Indonesia
ANALISIS DETERMINANPERUBAHAN PENAWARAN BARANG EKSPOR INDONESIA
Sarwedi1
Abstract
This study analyzes the effects of structural economic movement on the change of indonesia»s
exports and examines the validity of the ignacy theory concerning structural economic movement in
relation to the changes of of export composition. The study utilize an ordinary mechanism of WLS, namely
the Wald model,
The estimation resulted through the combination of ECM and WLS shows that the price of export
goods/merchandises has a positive effect and is significant in the short-term. Yet, over the long-term
period, the increase in export commodity price causes the decrease in export volumes. Meanwhile, the
relationship between export volume and inflation is not significant, either in the short-term or long-term.
Foreign exchange interestingly has a positive and significant relationship with the export volume over a
short-term period, but in the long-term it has a reverse effect, that is, it decreases export volume. Foreign
investment has a positive and significant relationship with export volume in the long-term, the significance,
however, weakens over the short-term period.
The structural economic movement has a positive and significant relationship over a short-term
period with export volume, but over long-term period the relationship is not statistically strong. Thus, the
structural economic movement towards more on the growth of industry sector could stimulate the growth
in export aggregately. This evidence provides further support on the Ignacy theory (1980) if it is applied
on Indonesian international economy, especially for the period of 1983-1997.
JEL Classification: C32, F14, O24
Keyword: Weighted Least Square, Error Correction Model, Structural Economic Movement, Export Change
1 Guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Jember dan Ketua ISEI Pengurus Cabang Jember; sebelumnya adalah dekan FE Unej;dekan@fe.unej.ac.id.
356 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
I. PENDAHULUAN
Hampir setiap negara berkembang dewasa ini telah menjadikan pembangunan sebagai
komitmen bangsa untuk mengejar ketertinggalannya dalam berbagai aspek kehidupan. Salah
satu aspeknya adalah pembangunan ekonomi yang merupakan bagian integral dari
pembangunan nasional suatu negara. Pembangunan ekonomi adalah suatu proses yang
menyebabkan pendapatan per kapita penduduk meningkat dalam jangka panjang yang dapat
mendorong perbaikan kesejahteraan ekonomi masyarakat miskin. Untuk mewujudkan
pembangunan ekonomi tersebut, Indonesia melakukan pembangunan di segala sektor ekonomi.
Salah satu sektor ekonomi yang mendapat perhatian adalah sektor perdagangan yang membawa
konsekuensi pada keterbukaan ekonomi domestik terhadap perkonomian internasional.
Menurut pandangan kaum klasik dan neo-klasik, alasan utama terjadinya perdagangan
internasional adalah terciptanya keuntungan bagi kedua negara yang melakukan perdagangan.
Perdagangan suatu negara dengan negara lainnya terjadi tidak lain karena kedua negara tersebut
mengharapkan untuk saling memperoleh keuntungan berupa peningkatan efisiensi produksi.
Oleh karena itu dengan melakukan perdagangan, suatu negara dapat membeli dengan harga
yang lebih rendah dibandingkan apabila memproduksi sendiri dan mungkin dapat menjual ke
luar negeri pada tingkat harga yang relatif tinggi.
Perdagangan internasional yang dilakukan oleh suatu negara juga berkaitan dengan
corak pergeseran struktur ekonominya. Sedangkan corak pergeseran struktur ekonomi
ditentukan oleh perubahan komposisi produksi (primary oriented), sektor industri (industry
oriented), atau keseimbangan kedua sektor tersebut. Corak pergeseran struktur ekonomi juga
ditentukan oleh perbedaan faktor timing dimana pergeseran strukturekonomi berlangsung.
Dengan demikian, terlihat adanya hubungan yang relatif erat antara pergeseran struktur ekonomi
dengan corak perdagangan suatu negara.
Beberapa studi empiris yang berkaitan dengan ekspor adalah: The Supply and Demand
for Exports: A Simultaneous Approach (Goldstein dan Khan, 1979: 278-286), Export Demand
and Supply for Group of Non Oil Developing Countries (Bond, 1985: 56-77), An Econometric
Study of Primary Commodity Exports from Developing Countries Region to the World (Bond,
1987: 191-227), India»s Manufactured Export: An Analysis of Supply Factors (Ali, 1987: 152-
163), The Demand for LCD Export of Manufactures: Estimates from Hong Kong (Riedel, 1988:
138-148), dan Demand and Supply Factors in the Determinants of NIE Export: A Simultaneous
Error-Correction Model for Hong Kong (Muscatelli et al., 1992: 1467-1477).
Dengan mendasarkan pada studi empiris sebelumnya, maka tujuan yang hendak dicapai
penulis adalah untuk mengetahui dampak pergeseran struktur ekonomi terhadap perubahan
357Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiahdan Kinerja Perekonomian Indonesia
ekspor Indonesia, serta menguji validitas teori Iqnacy tentang pergeseran struktur ekonomi
dalam kaitannya dengan komposisi ekspor; menganalisis dampak perubahan nilai tukar terhadap
perubahan ekspor Indonesia, dan menguji tesis Poot, Kuyvenhoven, dan Jansen (1991) tentang
peranan penting nilai tukar terhadap perubahan ekspor; menganalisis dan menguji dampak
investasi asing terhadap perubahan ekspor Indonesia sebagaimana diungkapkan oleh Booth
and Cawley (1982); menganalisis dan menguji teori penawaran ekspor tentang dampak
perubahan harga ekspor terhadap perubahan ekspor Indonesia; menganalisis dampak perubahan
inflasi yangb bercirikan cost push inflation (Indrawati, 1996) terhadap perubahan ekspor
Indonesia; menganalisis dampak pergeseran struktur ekonomi, perubahan nilai tukar, investasi
asing, perubahan harga ekspor, dan inflasi secara bersama-sama terhadap perubahan ekspor
Indonesia. Namun demikian fokus utama dalam penelitian ini adalah keterkaitan antara kuantitas
ekspor dengan pergeseran struktur ekonomi dengan menggunakan dasar pemikiran Iqnacy
(1980).
II. TEORI
Teori Iqnacy pada dasarnya mengarah pada analisis dengan menggunakan empat sektor
ekonomi, yaitu: sektor yang menghasilkan mesin-mesin dan peralatan-peralatan (sektor M),
sektor yang menghasilkan mineral, bahan baku pertanian, dan input seperti pupuk, baja (sektor
Gambar IV.1 Hubungan Empat Sektor Ekonomi,Pasar Luar Negeri, Industri dan
Perkembangan Ekonomi
Sumber : Iqnacy (1980): 105.
I(KN) E(KN)
E(M) I(M)
E(KL) I(KL)
KNt/KNm
Rt/RmM
KLt/KLm
I(R)E(R
358 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
R), sektor yang menghasilkan barang kebutuhan konsumen utama, seperti makanan (sektor
KN), dan sektor yang menghasilkan kebutuhan konsumen lain yang bersifat mewah atau sektor
KL (Iqnacy, 1980: 103-105). Di samping itu, Iqnacy juga membuat dikotomi pada sektor R, KN,
dan KL dalam subsektor tradisional (t) dan modern (m).
Teori mengenai pergeseran struktur pada mulanya timbul dari para ekonom aliran Neo
Klasik. Fisher (1939) mengemukakan teori tentang pola pergeseran struktur ekonomi dan
didukung oleh kajian data statistik oleh Clark (1940). Teori ini berfokus pada perubahan produksi
dan penggunaan faktor produksi yang digunakan dengan hipotesis akan terjadi perubahan
nilai produksi dan penggunaan faktor produksi tenaga kerja dengan semakin berkembangnya
suatu perekonomian. Pembahasan yang sistematis tentang pergeseran struktur produksi dan
struktur kesempatan kerja yang menyertai pertumbuhan ekonomi dimulai oleh Fisher dengan
memperkenalkan konsep tentang produksi ke dalam kegiatan primer, sekunder dan tersier.
Kegiatan primer meliputi kegiatan ekonomi pada sektor pertanian, peternakan dan pada
beberapa versi termasuk pertambangan. Kegiatan sekunder meliputi kegiatan ekonomi pada
sektor manufaktur yang pada umumnya menyangkut sektor pertambangan dan konstruksi.
Sedang kegiatan tersier meliputi kegiatan ekonomi pada sektor-sektor transportasi dan
komunikasi, perdagangan besar dan kecil, pemerintah, jasa-jasa domestik dan personal.
Teori lain mengenai pergeseran struktural yang terkenal adalah teori pola-pola
pembangunan dari Chenery. Chenery melakukan studi di banyak negara dan hasil studinya
menyimpulkan bahwa pembangunan merupakan suatu proses pertumbuhan dan perubahan
yang dapat diamati dimana ciri-cirinya hampir sama untuk semua negara. Pergeseran struktur
ekonomi dalam proses pembangunan di suatu negara dapat dibedakan berdasarkan pada
persentase tenaga kerja yang berada di sektor primer, sekunder dan tersier. (Syrquin, 1988:212)
Taylor dan Chenery (1968) membagi struktur produksi ke dalam sektor primer (pertanian dan
pertambangan), sektor industri (industri pengolahan dan bangunan) dan sektor jasa (terdiri
dari sisanya). Syrquin dan Chenery (1975) membagi struktur produksi ke dalam empat sektor,
yang terdiri dari : sektor primer (pertanian dan pertambangan), sektor industri, sektor unitily
(listrik, gas, air minum, pengangkutan dan komunikasi) dan sektor jasa. Selain dari jumlah dan
banyaknya sektor, perbedaan lain antara model Chenery dan Syrquin dengan model Chenery
dan Taylor terletak pada jumlah dan jenis variabel yang menjelaskan tentang pola pergeseran
struktur produksi dengan variabel yang mempengaruhinya.
Clark (1949), mengumpulkan data statistik mengenai persentase tenaga kerja yang bekerja
di ketiga sektor diatas. Data yang dikumpulkan itu menunjukkan bahwa semakin tinggi pendapatan
per kapita suatu negara, semakin kecil peranan sektor pertanian dalam menyediakan kesempatan
kerja. Sebaliknya, sektor industri semakin penting peranannya dalam menampung tenaga kerja.
359Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiahdan Kinerja Perekonomian Indonesia
Lewis, Fei, Ranis dan Todaro (1969) mengemukakan teori yang sering disebut dengan
teori tentang dualisme ekonomi (economic dualism) atau teori tentang interaksi dua sektor
(two-sectors interaction). Pada dasarnya teori-teori ini mengelompokan perekonomian ke dalam
dua sektor atau bagian yaitu : (i) sektor tradisional/pedesaan/pertanian disatu sisi dan (ii) sektor
modern/perkotaan/ industri pada sisi yang lainnya (Ranis, 1988: 76-85; Stiglitz, 1988: 105-
135). Dalam teori ini ditekankan bahwa proses perkembangan ekonomi akan terjadi interaksi
antara kedua sektor atau bagian tersebut dan sekaligus mengakibatkan akan terjadinya
perubahan peranan masing-masing sektor dalam perekonomian. Kecenderungan umum yang
terjadi adalah semakin berkembang suatu perekonomian, semakin cenderung didominasi oleh
peranan sektor modern. Landasan pokok dari teori ini adalah asumsi yang menyatakan bahwa
tenaga kerja disektor pertanian tidak terbatas (unlimited of labor). Tenaga kerja dari sektor ini
akan berpindah ke sektor modern jika terdapat perbedaan insentif dimana tingkat upah melebihi
tingkat upah subsisten di sektor tradisional.
Kuznets (1965) dan beberapa penulis lainnya, telah mengadakan penelitian lebih lanjut
mengenai pergeseran struktur ekonomi dalam proses pembangunan. Kuznets bukan saja
menyelidiki tentang perubahan persentase penduduk yang bekerja di berbagai sektor dan sub
sektor, melainkan juga menunjukkan perubahan sumbangan berbagai sektor kepada produksi
nasional (Chenery dan Srinivasan, 1988: 198). Sementara untuk mengetahui bagaimana corak
perubahan dalam struktur ekonomi pada masa yang lalu, Kuznets mengumpulkan data
mengenai sumbangan berbagai sektor kepada produksi nasional di 13 negara, yang sekarang
ini termasuk dalam kelompok negara-negara maju. Kesimpulan yang diperoleh adalah peranan
sektor pertanian menurun selama proses pembangunan, sektor industri dalam menghasilkan
produksi nasional meningkat, sumbangan sektor-sektor jasa dalam menciptakan produksi
nasional mengalami perubahan yang berarti dan bersifat tidak konsisten.
Chenery dan Syrquin (1975), menggambarkan bagaimana corak pergeseran struktur
ekonomi yang terjadi dalam proses pembangunan di negara-negara berkembang. Teori ini
berkaitan dengan transformasi sektoral pada suatu perekonomian yang sedang berkembang,
yang didukung oleh bukti empirik berdasarkan kajian mereka sendiri. Pada dasarnya kajian
tersebut menyatakan bahwa dengan semakin meningkatnya pendapatan per kapita suatu negara
akan disertai oleh perubahan komposisi output secara sektoral (Syrquin, 1988: 205-214). Corak
perubahan komposisi output sektoral tersebut adalah dengan semakin meningkatnya
pendapatan per kapita meliputi : (i) proporsi produksi bersih sektor primer cenderung menurun,
(ii) proporsi produksi sektor industri cenderung semakin meningkat, (iii) proporsi produksi sektor
jasa cenderung semakin meningkat dengan kecepatan yang lepih lambat dibandingkan dengan
kecepatan peningkatan pada sektor industri.
360 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Dua strategi industri penting yang terkait dengan perdagangan adalah produksi barang
untuk pasar dalam negeri untuk pengganti barang impor (import substituting industrialization)
dan produksi barang untuk pasar luar negeri (export-oriented industrialisation). Banyak negara
sedang berkembang mengawali proses industrialisasinya dengan menerapkan industri substitusi
impor (ISI), menurut Nafzieger(1997 : 506-508) alasan mengapa negara sedang berkembang
menerapkan import substituting industrialization adalah untuk:
1. Menghemat penggunaan devisa;
2. Memperbaiki Neraca Pembayaran;
3. Memenuhi kebutuhan sendiri akan berbagai barang industri;
4. Mengembangkan kegiatan ekonomi dalam negeri.
Kebijakan orientasi ekspor timbul karena kegagalan strategi ISI. Kaum Neo≠ Klasik
mengemukakan bahwa penerapan strategi orientasi ekspor akan memberi hasil yang lebih
unggul, dalam arti efisiensi alokasi dan pertumbuhan ekonomi (Gammel, 1994: 102-103).
Studi yang dilakukan mulai dari Tyler (1981), Jung dan Marshall (1985), Basmani-Oskooee
dan Alse (1993), Dodaro (1993) dan pakar ekonomi lainnya yang mendukung hipotesis bahwa
ekspor sebagai lokomotif pembangunan ekonomi suatu negara. Kegiatan dan peningkatan
ekspor merupakan suatu insentif bagi pertumbuhan dan kemajuan sektor-sektor lain.
Pertumbuhan ekspor menimbulkan permintaan baru di negara-negara pengekspor baik bagi
input dalam pertukaran produksi maupun sebagai hasil peningkatan pendapatan faktor-faktor
peroduksi. Perluasan ekspor mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi melalui rangsangan
permintaan terhadap sektor lain (Balassa, 1985; Wong, 1986; Sprout dan Weaver, 1993).
Krugman (1994) menyatakan bahwa tujuan suatu negara melakukan perdagangan
internasional adalah untuk mendapatkan keuntungan dan mencapai skala ekonomis (economies
of scale) dalam produksi. Perdagangan dapat menciptakan keuntungan dengan memberikan
peluang untuk mengekspor barang-barang yang diproduksi dengan sumber daya yang
melimpah. Perdagangan juga memungkinkan setiap negara melakukan spesialisasi produksi
pada barang-barang tertentu untuk mencapai tingkat efisiensi yang tinggi dan skala produksi
yang besar.
Merujuk problematika perdagangan tersebut, teori Heckscher-0hlin (H-0) sering menjadi
obyek pengujian empiris untuk memperkirakan dampak perdagangan terhadap distribusi
pendapatan dan pola perdagangan. Berdasarkan intensitas faktor produksi, H-O (1933)
mengemukakan model dua faktor produksi dari dua negara dengan dua komoditas, yaitu
komoditas padat karya dan komoditas padat modal. Kekayaan relatif akan modal fisik akan
menyebabkan produksi dan ekspor didominasi oleh barang padat karya/tenaga kerja. Disamping
361Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiahdan Kinerja Perekonomian Indonesia
itu suatu negara yang mempunyai tenaga trampil akan mempunyai keunggulan komparatif
dalam produksi dan ekspor komoditas padat keahlian (Ballasa, 1988: 10).
Hipotesis technological gap diajukan oleh Postner tahun 1961, dengan menggunakan
rangkaian inovasi dan imitasi yang mempengaruhi ekspor. Ketika produk baru berkembang
dan mulai menguntungkan di pasar domestik, perusahaan yang melakukan inovasi untuk
sementara waktu memperoleh keuntungan monopoli. Sehingga dengan mudah memasuki
pasaran internasional karena masalah entry lag. Keuntungan yang kian meningkat pada
gilirannya akan merangsang imitasi di negara lain, terutama kalau inovasinya telah didesimilasi.
Untuk memiliki keunggulan dalam mengekspor, negara yang bersangkutan harus selalu
mengusahakan terjadinya inovasi. Sebagaimana tesis Linder, hipotesis Postner secara implisit
dapat dikategorikan sebagai teori spillover, yakni ekspor baru akan terjadi kalau konsumsi
domestik telah terpenuhi. Banyak bukti menunjukkan bahwa pola sedemikian tidak selalu terjadi.
Kelemahan lainnya, baik Postner maupun Linder tak dapat memberikan alasan tentang tahap-
tahap sejak dari inovasi hingga imitasi dan lamanya proses tersebut (Basri, 1991: 23).
Selanjutnya, Vernon menjeneralisasi pemikiran tersebut dalam Product Life Cycle Theory
(PLC). Teori ini tidak menganggap variabel dalam perekonomian sebagai fixed dan exogeneous,
tetapi variabel-variabel tersebut senantiasa berubah dan perubahannya terjadi di dalam model
dan menggunakan perubahan variabel≠ variabel tersebut sebagai driving motives timbulnya
perdagangan internasional, karena itu teori PLC disebut sebagai teori dinamik.
III. METODOLOGI
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari
berbagai lembaga dan instansi, antara lain berasal dari Nota Keuangan Rencana Anggaran dan
Belanja Negara, Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia-BI, Statistik Indonesia-BPS, dan
International Financial Statistics-IMF serta berbagai penerbitan lain yang mendukung dan
berhubungan dengan penelitian ini. Semua data yang diambil adalah data runtut waktu
(time series) kuartalan untuk periode pengamatan tahun 1983 kuartal I hingga 1997 kuartal IV.
Spesifikasi model empiris penawaran ekpor diformulasikan sebagai berikut:
X = β0 + β
1 PX + β
2 INF + β
3 ER + β
4 TSE + β
5 INV + εt
362 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Keterangan:
X = nilai ekspor barang;
PX = harga barang ekspor;
INF = Inflasi;
ER = kurs valuta asing;
TSE = variabel pergeseran struktur ekonomi
INV = Investasi Asing (PMA)
et = error term
Kecuali variable inflasi, semua variable dalam persamaan di atas diberikan dalam bentuk
logaritma natural. Transformasi tersebut membawa beberapa keuntungan, antara lain, dari
derivasi tingkat pertama dapat diketahui angka elastisitas, yang nilainya sebesar koefisien variable
yang bersangkutan, dan kentungan kedua, akan memperbaiki pengujian statistik yang dilakukan.
Sebagai catatan, variabel INF tidak termasuk dalam variabel yang ditransformasikan dalam
bentuk logaritma natural karena inflasi merupakan bentuk perubahan dari variabel harga, yang
mungkin bernilai negatif sehingga tidak akan mungkin dilogaritmakan.
Teknik estimasi yang dapat digunakan adalah Ordinary Least Square (OLS) apabila asumsi
linearitas, homoscedasticity, tidak adanya serial korelasi dan multikolinearitas dapat terpenuhi
(Engle and Granger, 1987; Mukherjee and Naka, 1995; Masih and Masih, 1996). Dalam kondisi
asumsi tersebut gagal terpenuhi, contohnya terdapat kasus heteroscedasticity, maka teknik
estimasi Weighted Least Square (WLS) menjadi pilihan untuk diterapkan.
Sebelum estimasi dilakukan, pengujian stasioneritas dilakukan untuk setiap variabel yang
terlibat dalam model, dengan menggunakan metode Dickey-Fuller (DF) dan metode Phillip-
Perron (PP). Sesuai dengan sifat alamiah dari variabel yang bersangkutan, pengjian stasioneritas
dapat berbentuk memiliki pengaruh trend atau ADF (T,n), hanya memiliki konstanta ADF (C,n),
dan adanya white-noise error term atau ADF (N,n) (Gujarati, 1995: 718). Dalam kondisi variabel
tidak stastioner, maka prosedur standar yang dapat dilakukan adalah dengan mendiferensiasi
variabel tersebut, hal ini berguna untuk menghindari terjadinya spurious regression.
Terdapat kemungkinan bahwa variabel-variabel yang tidak stasioner dalam level, mungkin
memiliki hubungan jangka panjang. Dalam hal ini, variabel-variebel tersebut dikatakan
terkointegrasi. Pengujian kointegrasi ini dapat dilakukan dengan uji Engle-Granger Cointegration
Regression Durbin-Watson (CRDW). Jika derajat diferensiasi setiap variabel tersebut sama, maka
spesifikasi model dapat mengarah pada Error Correction Model (ECM) untuk satu variabel
dependen atau Vector Error Correction Model (VECM) untuk serangkaian persamaan dengan
jumlah variabel dependen yang lebih dari satu. Dengan lain perkataan, uji kointegrasi dapat
363Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiahdan Kinerja Perekonomian Indonesia
dijadikan dasar penentuan estimasi persamaan yang digunakan memiliki keseimbangan dalam
jangka panjang atau tidak. Apabila persamaan estimasi lolos dari uji ini maka persamaan estimasi
tersebut memiliki keseimbangan jangka panjang (Thomas, 1997: 425).
Masih terkait dengan aspek stasioneritas ini, kemungkinan lainnya adalah ketika setiap
variabel yang terlibat dalam model ternyata stasioner pada derajat diferensiasi yang berbeda.
Dalam kondisi ini, maka alternative model yang dapat diterapkan adalah Autoregressive
Distributed Lag (ARDL). Model ini juga dapat dikembangkan menjadi model ARDL-ECM untuk
lebih mengkaji perbedaan karakteristik keseimbangan jangka pendek dan jangka panjang dari
variabel-variabel yang diteliti.
Validasi atas model dapat dilakukan dengan pengujian CUSUM yang menguji stabilitas
model. Selain itu, validasi model juga dapat dilakukan dengan melihat kemampuan model
tersebut dalam mereplikasi kejadian aktual (model fitting), daya prediksi atas kejadian masa
lampau (backcasting) dan kemampuannya untuk melakukan peramalan masa mendatang
(forecasting).
IV. HASIL DAN ANALISIS
Pengujian stasioneritas menunjukkan bahwa variabel memiliki derajad stasioneritas yang
berbeda-beda. Sebagimana disebutkan sebelumnya, perbedaan derajad stasioneritas ini dapat
saja mengakibatkan persamaan estimasi OLS tetap memiliki sifat stasioneritas dalam persamaan
(Gujarati, 1995: 726-727). Oleh sebab itu, langkah selanjutnya adalah melakukan uji kointegrasi,
yaitu uji stasioneritas pada persamaan estimasi.
Tabel IV.1.Hasil Uji Kointegrasi Engle-Granger
VariableVariableVariableVariableVariable CoefficientCoefficientCoefficientCoefficientCoefficient t-Statistict-Statistict-Statistict-Statistict-Statistic Prob.Prob.Prob.Prob.Prob.
Keterangan: Angka statistik CRDW 1% = 0.511; 5% =0.38; 10% = 0.322
CCCCC 6.7181 8.6270 0.000LPXLPXLPXLPXLPX 0.1430 2.1381 0.037INFINFINFINFINF 0.0004 0.0716 0.943LERLERLERLERLER 0.0223 0.2816 0.779LTSELTSELTSELTSELTSE 1.6393 11.8601 0.000LINVLINVLINVLINVLINV 0.0284 1.0695 0.289R-squared 0.971 F-statistic F-statistic F-statistic F-statistic F-statistic 356.90Adjusted R-squaredAdjusted R-squaredAdjusted R-squaredAdjusted R-squaredAdjusted R-squared 0.967 Prob(F-statistic) Prob(F-statistic) Prob(F-statistic) Prob(F-statistic) Prob(F-statistic) 0.000Durbin-Watson statDurbin-Watson statDurbin-Watson statDurbin-Watson statDurbin-Watson stat 0.458
364 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Tabel IV.1 menunjukkan bahwa persamaan OLS LX= f (LPX,INF,LER,LTSE, LINV)
menunjukkan adanya kecenderungan terkointegrasi pada taraf 5%. Kesimpulan tersebut
didasarkan pada angka statistik Durbin-Watson persamaan estimasi yang sebesar 0,458. Dengan
demikian, persamaan LX= f(LPX,INF,LER,LTSE, LINV) merupakan persamaan keseimbangan jangka
panjang yang memiliki bentuk persamaan:
Dalam pengujian kointegrasi, terdapat sedikit perbedaan antara model kointegrasi Engle-
Granger CRDW dengan Johansen. Model Johansen lebih memfokuskan diri pada kointegrasi
pada sistem persamaan (system equation) dan bukan pada persamaan tunggal (single equation)
sebagaimana Engle-Granger CRDW. Dibandingkan dengan Engle-Granger CRDW, model
Johansen tidak menuntut adanya sebaran data yang normal (Phillips, 1991; Mukherjee and
Naka, 1995).
Dari hasil pengujian kointegrasi Johansen dengan menggunakan berbagai asumsi, terlihat
bahwa hasil tersebut memiliki konsistensi dari sisi ada atau tidaknya kointegrasi. Secara ringkas
hasil pengujian kointegrasi Johansen dapat dilihat pada Tabel IV.2.
LX = 6.718 + 0.143LPX + 0.0004INF + 0.022LER + 1.639LT SE + 0.028LINV
(8.63) (2.14) (0.07) (0.28) (11.86) (1.07)
(p=0.00) (0.04) (0.94) (0.78) (0.00) (0.29)
Tabel IV.2.Rekapitulasi Uji Kointegrasi Johansen
Type Kointegrasi Johansen H0: No Cointegration Ha: CointegrationEstimation Estimation
Keterangan: Angka statistik CRDW 1% = 0.511; 5% =0.38; 10% = 0.322
Test assume no deterministic trend indata: no intercept or trend in CE
Test assume no deterministic trend indata: with intercept (no trend) in CE
Test allows for linear deterministic trendin data: intercept (no trend) in CE
Test allows for linear deterministic trendin data: intercept (no trend) in CE
Test allows for quadratic deterministictrend in data: intercept and trend in CE
Reject
Reject
Reject
Reject
Reject
Do not reject(2 cointegrating equation)
Do not reject(2 cointegrating equation)
Do not reject( 2 cointegrating equation)
Do not reject(1 cointegrating equation)
Do not reject(1 cointegrating equation)
365Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiahdan Kinerja Perekonomian Indonesia
IV.1. Hasil Perhitungan Error Correction Model (ECM)
Model dinamis yang dalam beberapa tahun terakhir mendapat perhatian besar dari
kalangan ekonom adalah model koreksi kesalahan (the error correction model/ECM). Dalam
dunia nyata terlihat bahwa pelaku ekonomi bereaksi tidak spontan dalam menanggapi aksi.
Hal ini merupakan alasan dibentuknya model dinamis khususnya model koreksi kesalahan.
Eksistensi koreksi kesalahan menghasilkan koefisien koreksi kesalahan yang menunjukkan adanya
fenomena dikoreksinya penyimpangan menuju ekuilibrium. Dengan ECM dapat diketahui
apakah variabel-variabel yang diamati berkointegrasi. Hal ini ditunjukkan dengan error correction
term yang signifikan, atau dengan kata lain model koreksi kesalahan sahih (valid) dan variabel
yang diamati berkointegrasi. Hasil perhitungan dengan menggunakan ECM adalah sebagai
berikut:
Dari hasil penghitungan ECM dapat disimpulkan bahwa model ECM tersebut memiliki
kelemahan dalam pengujian diagnostiknya. Khususnya untuk uji normalitas Jarque-Bera dan
uji heteroskedastisitas White.
Dugaan yang dapat dibuat berdasarkan kelemahan uji diagnostik tersebut adalah adanya
indikasi kuat tidak terpenuhinya asumsi homoschedasticity, sebagaimana model dasar OLS
sebagaimana ditunjukkan pada bagian terdahulu. Dengan demikian, sebagaimana pemecahan
persoalan heteroschedasticity, maka akan digunakan prosedur WLS untuk kedua model ECM
tersebut.
366 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
IV.2. Weighted Least Square Pada Model ECM
Dari indikasi yang terlihat bahwa model estimasi ECM juga mengalami gejala
heteroschedasticity, maka model ECM akan dilakukan dengan menggunakan prosedur WLS
untuk mengeliminasi efek dari heteroschedaticity. Hasil estimasi dengan menggunakan WLS
untuk model ECM adalah sebagai berikut:
Interpretasi hasil perhitungan ECM dengan penimbang dapat dilakukan dengan
pembedaan interpretasi antara jangka pendek dan jangka panjang. Dalam jangka pendek
interpretasi difokuskan pada variabel analisis yang diderivasi pada tingkat pertama, yaitu d(LPX),
d(INF), d(LER), d(LTSE), dan d(LINV). Sedangkan untuk jangka panjang dapat dilihat dari variabel
yang diperlakukan sebagai backward lag operator, yaitu LPX(-1), INF(-1), LER(-1), LTSE(-1) dan
LINV(-1). Namun, khusus untuk jangka panjang, koefisien yang akan ditafsir harus terlebih
dahulu di bagi dengan koefisien ECT.
Dalam jangka pendek hasil perhitungan ECM dengan penimbang dapat diinterpretasikan
sebagai berikut:
- Apabila variabel tingkat harga ekspor mengalami perubahan sebesar 1% akan berdampak
pada peningkatan volume ekspor sebesar 0.42% (inelastis) dengan seignifikansi 0% (kuat)
367Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiahdan Kinerja Perekonomian Indonesia
- Apabila variabel inflasi domestik mengalami penurunan sebesar 1% tidak akan banyak
berpengaruh pada volume ekspor karena koefisien sangat kecil dan signifikansinya sangat
lemah (79%)
- Apabila terjadi penurunan nilai tukar Rupiah terhadap US Dollar sebesar 1% maka akan
terjadi peningkatan volume ekspor sebesar 0.847 % (inelastis) dengan signifikansi yang
kuat (0%)
- Apabila terjadi pergeseran struktur ekonomi sebesar 1% dalam artian perubahan sektor
industri lebih besar 1% dibandingkan dengan sektor pertanian, maka akan berdampak
sangat kuat pada peningkatan volume ekspor sebesar 0.899% (elastis) dengan signifikansi
yang kuat (0%)
- Sedangkan variabel perubahan investasi asing berpengauh positif terhadap kuantitas ekspor
namun pengaruhnya secara statistik sangan lemah (98%)
Dalam jangka panjang ECM dengan penimbang dapat diformulasikan sebagai berikut:
Perhitungan tersebut dapat diinterpretasikan sebagai berikut:
- Apabila terjadi peningkatan harga produk ekspor sebesar 1% maka volume ekspor akan
meningkat sebesar 0.425%
- Apabila terjadi peningkatan inflasi sebesar 1% maka volume ekspor akan menurun sebesar
0.994%
- Apabila terjadi peningkatan nilai tukar Rupiah terhadap US Dollar (apresiasi) maka volume
ekspor akan menurun sebesar 0.239%
- Apabila terjadi perubahan struktural yang diakibatkan oleh kenaikan sektor industri 1%
lebih besar daripada sektor pertanian, maka volume ekspor akan meningkat 0.108%
- Variabel investasi asing menunjukkan pengaruh positif dan signifikan pada taraf 8%. Bila
investasi naik 1% maka akan mengakibatkan kenaikan jumlah ekspor sebesar 0.54%
IV.3. Pembahasan
Hubungan ekspor dengan tingkat harga ekspor dalam jangka pendek menunjukkan
hubungan positif, dapat diartikan dalam jangka pendek kenaikan harga di pasar internasional
akan membawa dampak peningkatan jumlah ekspor. Peningkatan jumlah ekspor ini
dimungkinkan terjadi karena kenaikan harga dapat lebih cepat terjadi dibandingkan dengan
perubahan variabel lain yang mungkin berdampak sebaliknya, sehingga diperlukan waktu untuk
368 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
mencapai keseimbangan baru. Dalam jangka panjang terdapat kecenderungan peningkatan
harga akan menurunkan perubahan ekspor. Temuan ini menunjukkan bahwa pasar internasional
sangat kuat dibandingkan dengan posisi tawar menawar eksportir.
Tingkat inflasi berperan besar dalam perkembangan volume ekspor. Apabila inflasi sebagai
perubahan indeks harga konsumen, maka faktor pendorong menurunnya ekspor adalah demand
domestic pull. Bila terjadi kenaikan permintaan domestik yang lebih tinggi daripada kenaikan
permintaan luar negeri maka terdapat kecenderungan komoditi akan memenuhi pasaran
domestik. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa terjadinya kenaikan relatif permintaan
domestik terhadap permintaan luar negeri maupun produksi komoditi akan menyebabkan
kenaikan harga komoditi tersebut di dalam negeri. Adanya kecenderungan terjadinya kekakuan
harga upah, yang merupakan elemen penting dalam produksi, maka kenaikan harga komoditi
tersebut tidak diikuti oleh kenaikan ongkos produksi. Dengan demikian margin keuntungan
produsen akan semakin lebar di pasaran domestik. Margin keuntungan domestik tersebut
dianggap sebagai dorongan bagi produsen untuk meningkatkan penawarannya di pasar
domestik. Keterbatasan kapasitas produksi dalam jangka pendek untuk mengikuti
perkembangan pasar menyebabkan peningkatan penawaran di pasar domestik hanya akan
tercapai bila mengurangi penawaran ekspor komoditi tersebut. Inilah penyebab penurunan
ekspor dalam jangka pendek.
Dalam jangka panjang, dampak inflasi dapat dianggap sebagai faktor yang akan
meningkatkan tingkat biaya produksi, dengan telah terpengaruhnya tingkat upah dan variabel
input lainnya. Peningkatan biaya produksi tersebut diartikan sebagai peningkatan dalam harga
komoditi, dengan demikian, dalam jangka panjang insentif harga domestik tidak dapat
dipertahankan lagi. Bila produsen akan meningkatkan kembali aksesnya di pasar internasional,
maka produsen berhadapan dengan harga yang relatif lebih tinggi daripada sebelumnya.
Uraian tersebut menyisakan pertanyaan penting, yaitu bila harga ekspor √ volume ekspor,
dalam jangka pendek menunjukkan hubungan positif mengapa dalam hubungan antara inflasi
√ volume ekspor menunjukkan hubungan negatif, padahal inflasi berpengaruh positif atau
akan mendorong kenaikan harga. Penjelasannya adalah sebagai berikut, dalam jangka pendek
terdapat asumsi kemampuan produsen untuk meningkatkan kapasitas produksi terbatas karena
adanya unsur kekakuan perubahan harga maupun kuantitas penggunaan input tambahan,
namun fleksibilitas peningkatan kapasitas produsen dapat dicapai bila produsen bekerja dalam
kapasitas yang lebih besar daripada permintaan. Dengan kata lain, produsen menerapkan reserve
capacity yang dijadikan sebagai cara untuk mengantisipasi perubahan permintaan konsumen
yang bersifat mendadak. Pada waktu yang bersamaan, ketika harga internasional naik dan di
dalam negeri terdapat peningkatan inflasi maka produsen akan memiliki kemampuan untuk
369Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiahdan Kinerja Perekonomian Indonesia
menyesuaikan kapasitas produksi secara cepat tanpa mendapat kesulitan karena faktor kekakuan
harga guna meningkatkan pasokan domestik dan sekaligus pasokan internasional.
Hubungan ekspor dengan perubahan nilai tukar dalam jangka panjang adalah negatif.
Dampak negatif merosotnya nilai tukar rupiah terhadap US Dollar dirasakan oleh produsen bila
barang input yang dimiliki banyak tergantung pada barang impor. Karena depresiasi nilai rupiah,
produsen membayar lebih banyak uang dalam bentuk rupiah daripada sebelumnya. Kesulitan
memperoleh input yang berasal dari luar negeri inilah yang pada akhirnya akan menghambat
pengembangan produksi. Namun hambatan terhadap ekspor tersebut terjadi pada jangka
panjang, karena produsen menikmati murahnya mata uang rupiah selama produsen memiliki
persediaan input impor. Perubahan yang terjadi dalam jangka pendek pada nilai tukar berdampak
pada daya saing harga dari produk-produk ekspor Indonesia. Bila nilai tukar rupiah menurun
terhadap US Dollar, maka harga produk ekspor Indonesia ke luar negeri dalam bentuk US
Dollar, menghasilkan rupiah yang lebih besar. Mekanisme ini berdampak positif bagi eksportir
karena rupiah yang diperolehnya dapat mendorong kemampuan produksi. Dampak ini hanya
berjangka pendek karena pasar akan sampai pada keseimbangannya yang baru.
Grafik IV.1 , memperlihatkan time lag perubahan nilai tukar dengan perubahan volume
ekspor. Pada tahun 1983 ketika rupiah terapresiasi dalam kurun waktu kurang lebih satu semester
nilai ekspor meningkat tapi tidak terlalu tinggi kemudian mengalami penurunan yang cepat
pada 1984-1986. Tahun 1986, ketika pemerintah mendevaluasi rupiah, volume ekspor tidak
otomatis meningkat namun membutuhkan waktu kurang lebih tiga bulan untuk bereaksi.
Kurang lebih enam bulan kemudian volume ekspor berada pada posisi rata-rata. Pada saat itu
Grafik IV.1 Hubungan Antara Variabel Ekspordengan Nilai Tukar
-1000
-500
0
500
1000
1500
83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97
D(X) D(ER)
Sumber:BPS, Statistik Indonesia.
370 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
pasar input domestik telah bereaksi terhadap perubahan. Disamping itu, persediaan input
impor telah kehilangan pengaruh positifnya terhadap volume ekspor karena produsen membeli
input yang berasal dari impor dengan harga rupiah yang baru.
Rendahnya tingkat signifikansi pergeseran struktur ekonomi dalam mempengaruhi volume
ekspor dapat diartikan sebagai tidak berartinya perubahan volume ekspor dalam jangka panjang.
Dugaan yang dapat dibuat berdasarkan fakta jangka panjang tersebut adalah banyak output
industri yang juga dilempar ke pasar domestik. Semakin tingginya pendapatan masyarakat,
sebagai akibat pergeseran struktur ekonomi tersebut, masyarakat akan mengkonsumsi jumlah
output industri yang lebih banyak. Pergeseran struktur ekonomi yang dimaksud dalam penelitian
ini adalah pergeseran sektoral yang terjadi pada pendapatan kotor nasional dari sisi produksi.
Pergeseran yang terjadi pada perekonomian Indonesia adalah pergeseran dari dominasi sektor
pertanian terhadap GDP menjadi dominasi sektor industri.
Pergeseran struktur ekonomi tersebut membawa dampak jenis komoditas yang diekspor
maupun yang diimpor. Banyak negara yang menggunakan sektor industri sebagai jalan menuju
ke percepatan pertumbuhan ekonomi. Pilihan tersebut didasarkan pada alasan bahwa output
yang dihasilkan oleh sektor industri memiliki nilai tambah yang relatif besar bila dibandingkan
dengan sektor pertanian. Tingginya nilai tambah sktor industri tersebut maka semakin banyak
output sektor industri yang dihasilkan maka akan semakin tinggi pula GDP akan terbentuk.
Karena alasan serupa maka output sektor industri juga diarahkan ke pasaran luar negeri
atau ekspor, terdapat hubungan positif antara pergeseran struktur ekonomi, yang secara lebih
spesifik dapat disebut industrialisasi, dengan volume ekspor. Semakin tinggi bagian GDP yang
berasal dari sektor industri, akan semakin tinggi output sektor industri yang akan dilempar ke
pasar ekspor yang berarti pula ekspor didominasi sektor industri.
Kebijakan investasi yang mampu mendorong ekspor non-migas, yang kemudian dikenal
dengan Paket 6 Mei, efektif diumumkan pada tahun 1986. Paket 6 Mei tersebut pada dasarnya
memiliki beberapa point penting, yaitu mendorong usaha yang sekurang-kurangnya 85%
outputnya diekspor dalam bentuk pengadaan input impor dengan biaya murah melalui subsidi,
memberikan fasilitas pinjaman dana bank bila sekurang-kurangnya 75% equity dimiliki oleh
orang Indonesia, bila sekurang-kurangnya 51% equity ditawarkan di Jakarta Stock Exchange,
dan bila sekurang-kurangnya 51% equity dimiliki oleh orang Indonesia plus sekurang-kurangnya
51% equity yang ditawarkan 20% diantaranya ditawarkan di Jakarta Stock Exchange (Poot,
Kuyvenhoven, Jansen, 1991: 236-238).
Setelah melalui berbagai revisi kebijakan investasi tersebut, dapat terlihat bahwa sejak
periode 1986 terjadi peningkatan realisasi investasi. Sebagaimana terlihat pada Grafik III.2 ,
371Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiahdan Kinerja Perekonomian Indonesia
peningkatan laju pertumbuhan realisasi investasi asing (PMA) maupun PMDN terjadi sejak periode
1985/1987. Periode sebelum adanya kebijakan investasi hanya tumbuh 19,43% untuk PMDN
dan 4,26% untuk PMA maka dalam periode setelah adanya kebijakan Paket 6 Mei, yang
diasumsikan benar-benar efektif terjadi setelah satu tahun berjalan, PMDN tumbuh 18,91%
pada satu tahun setelah kebijakan dan PMA tumbuh dengan 27,12%. Peningkatan tersebut
berlanjut hingga mencapai puncaknya pada tahun 1989/1991, PMDN tumbuh dengan 92,63%
dan PMA tumbuh dengan 42,17%.
Dampak kebijakan Paket 6 Mei adalah meningkatnya nilai ekspor. Hasil perhitungan
mengindikasikan bahwa kebijakan tersebut direspon positif oleh para investor, khususnya investor
sektor industri, karena investor menginginkan pemerintah memberikan prioritas pada sektor
tersebut sebagai leading sektor.
Perkembangan ekspor periode 1983-1985 mengalami kelesuan karena perkembangan
ekonomi internasional yang dihadapi Indonesia tidak mendukung bagi perkembangan ekspor
andalan Indonesia, yaitu migas. Harga migas mengalami kejatuhan pada tahun 1984/1985,
yang mengakibatkan ekspor migas menurun secara drastis pada rentang waktu 1986 √ 1989.
Tercatat penurunan ekspor migas tersebut mencapai ±10% per-tahun dalam kurun waktu lima
tahun (1984 √√ 1989). Hal inilah yang mendorong pemerintah untuk mengembangkan ekspor
non-migas, yang hanya dapat tercapai bila terdapat peningkatan investasi untuk sektor non-
migas, terutama sektor industri.
Grafik IV.3 terlihat bahwa terdapat kebangkitan sektor diluar migas dalam bentuk
peningkatan ekspor. Dampak dari kebijakan investasi terhadap peningkatan ekspor memang
Grafik IV.2 : Perkembangan Realisasi PMAdan PMDN (% dari Total Investasi)
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100PMDNPMA
83/85 85/87 87/89 89/91 91/93 93/95 95/97 97/99
Sumber: Bank Indonesia, SEKI.
372 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
tidak dapat berlangsung seketika. Faktor perbedaan waktu antara kebijakan dan hasil yang
dicapai yang hanya sekitar 1 √ 2 tahun dapat dijadikan indikator bahwa sektor industri yang
cepat bereaksi terhadap peningkatan investasi adalah sektor industri yang tidak padat modal
atau padat teknologi. Hal ini dapat dibuktikan dengan peningkatan yang tajam untuk sektor
industri kelompok barang SITC-6, sektor industri menurut bahan, yang didalamnya terdapat
komoditas plywood dan tekstil.
Posisi strategis industri plywood dan tekstil dalam pengembangan ekonomi suatu negara.
Industri tersebut, khususnya industri tekstil, memiliki backward linkage dan forward linkage
yang panjang, merupakan daya tarik untuk dikembangkan di negara sedang berkembang.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
Dari hasil pembahasan yang telah diuraikan pada bab terdahulu dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut:
1. Berdasarkan metode analisis yang dikembangkan, yaitu Error Correction Model yang
dioperasikan dengan menggunakan Weighted Least Square diperoleh hasil variabel harga
ekspor (PX) dalam jangka pendek menunjukkan pengaruh positif dan signifikan untuk
menjelaskan perubahan volume ekspor agregat. Sedangkan dalam jangka panjang variabel
harga ekspor justru berpengaruh negatif (dan signifikan) terhadap volume ekspor agregat
Hasil ini menunjukkan posisi eksportir Indonesia sebagai penerima harga (price taker). Hasil
pengamatan jangka panjang menunjukkan kesesuaian hasil dengan pengamatan Marian
E. Bond (1987).
GGGGGambar IV.3. Perkembangan VolumeEkspor Non-Migas
-600
-400
-200
0
200
400
600
800
84 86 88 90 92 94 96
D(X)
Sumber: Biro Pusat Statistik.
373Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiahdan Kinerja Perekonomian Indonesia
2. Variabel tingkat inflasi dalam jangka pendek tidak dapat menjelaskan perubahan yang dialami
oleh volume ekspor agregat, sedangkan inflasi dalam jangka panjang memiliki pengaruh
negatif yang kuat untuk mempengaruhi perubahan volume eskpor sebagaimana temuan
Goldstein and Khan (1978). Temuan ini dapat diartikan bahwa peningkatan inflasi akan
menurunkan ekspor melalui mekanisme peningkatan harga produksi yang berakibat pada
penurunan daya saing produk ekspor.
3. Variabel perubahan nilai tukar dalam jangka pendek memiliki pengaruh positif dan signifikan
sedangkan dalam jangka panjang memiliki pengaruh negatif. Penurunan nilai tukar mata
uang domestik (depresiasi) akan mendorong ekspor dalam jangka pendek sedangkan dalam
jangka panjang penurunan nilai tukar (depresiasi) justru akan menurunkan perubahan ekspor.
Dalam pengamatan jangka pendek sesuai dengan hasil pengamatan Bond (1978); Riedel
(1988).
4. Berbeda dengan studi-studi tentang pergeseran struktur ekonomi yang lain, penelitian ini
mengungkapkan persoalan yang relatif baru yaitu peranan pergeseran struktur ekonomi
dalam mendorong perubahan ekspor. Variabel pergeseran struktur ekonomi membawa
dampak positif terhadap perubahan volume ekspor dalam jangka pendek. Sedangkan dalam
jangka panjang dampaknya mulai tidak signifikan meskipun masih bersifat positif. Temuan
ini menunjukkan bahwa proses industrialisasi yang terjadi di Indonesia memiliki peranan
yang penting bagi peningkatan ekspor, dan sekaligus mendukung hipotesis Iqnacy tentang
perkembangan struktur perekonomian.
5. Variabel penanaman modal asing (PMA) membawa dampak positif tetapi hanya memiliki
signifikansi pada jangka panjang bagi perubahan volume ekspor. Hasil pengamatan ini sesuai
dengan pengamatan Ali (1987).
6. Dari beberapa contoh kasus yang diestimasi dengan menggunakan model yang sama, terlihat
adanya perbedaan hasil untuk setiap komoditas ekspor. Fakta ini menunjukkan bahwa setiap
komoditas ekspor memiliki sifat yang unik, yang berbeda dengan komoditas lain.
Dari hasil estimasi dan problematika yang dihadapi dalam penelitian ini, peneliti ingin
mengajukan saran yang dapat digunakan bagi para peneliti lain untuk bidang analisis yang
sama, dan bagi para pengambil keputusan tentang perdagangan luar negeri di Indonesia,
yaitu:
1. Perlunya melakukan modifikasi model estimasi yang memiliki perspektif jangka panjang
dan jangka pendek dengan model estimasi yang mampu mengatasi problema ketidak
sesuaian data dengan tuntutan asumsi linear klasik. Untuk itu perlu dipertimbangkan adanya
model analisis Error Correction Model yang dioperasionalkan dengan metode Maximum
Likelihood yang tidak menuntut asumsi yang ketat untuk data analisis.
374 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
2. Di samping itu juga disarankan untuk secara lebih intensif mengamati perilaku komoditas
ekspor sebagai sebuah kasus. Hal ini diperlukan mengingat dari hasil estimasi yang telah
dilakukan tiap komoditas memiliki kecenderungan untuk bersifat unik.
375Pengaruh Dinamika Penawaran dan Permintaan Valas terhadap Nilai Tukar Rupiahdan Kinerja Perekonomian Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Ali, I. , 1987, ≈India»s Manufactured Export: An Analysis of Supply Factors∆, The Developing
Economics Journal, Juni 1987, XXV(2), hal.152-163.
Balassa, B., 1985, ≈Exports, Policy Choices, and Economic Growth in DevelopingCountries
After the 1973 Oil Shock∆, Journal of Development Economics, 1985, 18, hal. 23-35.
Ballasa, B., 1988,
≈Essay in Development Strategy∆, San Fransisco International Center for Economic Growth.
Working Paper. 1988.
Bond, M., E., 1985, ≈Export Demand and Supply for Group of Non Oil Developing Countries∆,
IMF Staff Paper, vol. 32: 56-77, 1985.
Bond, M.E., 1987,
≈An Econometric Study of Primary Commodity Exports from Developing Countries Region to
the World∆, IMF Staff Paper, hal. 191-227, 1987
Chenery, H.B., 1978,
Structural Change and Development Policy, Oxford University Press, London.
Chenery, H.B. dan Keesing, D,B., 1979, ≈The Changing Composition of Developing Countries
Exports∆, World Bank Staff Working Paper, No. 3/4, January 1979.
Chenery, H.B. dan M, Syrquin, 1975, Patern of Development 1950-1970, Oxford .University
Press, London.
Dodaro, S., 1993, ≈Exports and Growth: A Reconsideration of Causality∆, The Journal of
Developing Areas, 1993, 27, hal. 227-244.
Engle, R.F. dan C.W.J Granger, 1987, ≈Cointegration and Error Correction; Representation,
Estimation, dan Testing∆, Econometrica, 1987, 55(2). Hal. 251-276.
Gemmell, N. 1994, Ilmu Ekonomi Pembangunan; Beberapa Survai, terjemahan, LP3ES, Jakarta.
Goldstein, M. dan M.S. Khan., 1979,
≈The Supply and Demand for Exports: A Simultaneous Approach∆, The Review of Economics
and Statistics, 1979, 60, hal. 278-286.
Gujarati, D., 1995, Basic Econometrics, McGraw Hill Inc, New York.
Indrawati, S.M., 1996, ≈Sumber-Sumber Inflasi di Indonesia∆, Makalah Seminar ISEI Jaya 18
Januari 1996.
376 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Krugman dan Obstfeld. 1994, Ekonomi Internasional: Teori dan Kebijaksanaan terjemahan,
Rajawali Pers, Jakarta.
Mukherjee, T.K. dan A. Naka., 1995, ≈Dynamic Relations Between Macroeconomic Variables
and The Japanese Stock Market: An Application of A Vector Error Correction Model∆. The
Journal of Financial Research, 1995, XVIII (2), hal. 223-237.
Muscatelli, V. A., T.G. Srinivasan, dan D. Vines., 1992, ≈Demand and Supply Factors in the
Determinants of NIE Export: A Simultaneous Error-Correction Model for Hong Kong∆. The
Economic Journal, 1992, 102, hal. 1467-1477.
Nafziger, E.W., 1997, The Economics of Developing Countries. Prentice-Hall, New Jersey.
Poot, H., A. Kuyvenhoven, dan J. Jansen, 1991, Industrialisation and Trade in Indonesia. Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta.
Ranis, G., 1988, Analytics of Development: Dualism, dalam (Chenery, H. and T.N. Srinivasan,
eds.). Handbook of Development Economics. Elsevier Science Publishers.
Riedel, J., 1988, ≈The Demand for LCD Export of Manufactures: Estimates from Hong Kong∆.
The Economic Journal, 1988, 98, hal. 138-148.
Stiglitz, J.E., 1988, Economic Prganization, Information, and Development, dalam (Chenery, H.
and T.N. Srinivasan, eds.). Handbook of Development Economics. Elsevier Science Publishers.
Syrquin, M., 1988, Patterns of Structural Change, dalam (Chenery, H. and T.N. Srinivasan,
eds.). Handbook of Development Economics. Elsevier Science Publishers.
Wong, C.M., 1986, ≈Models of Export Instability and Empirical Test for Less-Developed
Countries∆. Journal of Development Economics, 1986, 20, hal. 263-285.
377Dampak Krisis Keuangan Global Terhadap Perekonomian Daerah
DAMPAK KRISIS KEUANGAN GLOBALTERHADAP PEREKONOMIAN DAERAH
Andry PrasmukoDonni Fajar Anugrah1
Abstract
This paper discusses the impact of global financial crisis to the Indonesia»s economy by using the
simultaneous macro model approach.The analysis and simulation results of such model show that the
impact of the global financial crisis is dominantly distributed through the trade line, which decreases the
regional output.To the components of aggregate demand, the movement of exchange rate has major
effect to the exports and imports, whereas to the consumption and investment, it gives relatively small
effect.The impact of external shock, which causes the depreciation of Rupiah, is relatively small to the
increase of inflation.
JEL classificationJEL classificationJEL classificationJEL classificationJEL classification: C32, E44
Keywords: Financial crisis, simultaneous model, Indonesia.
1 Andry Prasmuko (andry@bi.go.id) dan Donni Fajar Anugerah (donni@bi.go.id) adalah peneliti di BRE-DKM Bank Indonesia. Kesimpulandan argumentasi dalam paper ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis dan bukan merupakan pandangan resmi dariBank Indonesia. Penulis mengucapkan terima kasih terima kasih Dr. Iskandar Simorangkir, Meily Ika Permata, Yanfitri, referee, sertaseluruh pihak yang telah membantu dalam studi ini.
378 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
I. PENDAHULUAN
Krisis keuangan global sebagai dampak yang dipicu oleh tragedi subprime mortgage di
Amerika, selanjutnya mendorong penurunan perekonomian di beberapa negara maju.
Rambatan dari krisis tersebut melalui jalur keuangan (financial channel) serta perdagangan
(trade channel). Pada jalur keuangan, krisis yang terjadi mendorong peningkatan dana yang
akan digunakan untuk kegiatan yang terduga (precautionary saving), diiringi dengan turunnya
harga asset yang mengakibatkan pelemahan sentiment konsumen sehingga menarik belanja
konsumen. Selanjutnya kedua hal tersebut bersama-sama mengakibatkan kontraksi aktivitas
perekonomian domestik, yang pada akhirnya menurunkan Produk Domestik Bruto (PDB). Selain
itu krisis keuangan global juga secara tidak langsung dapat mempengaruhi sentimen para
investor untuk segera menarik penanaman di sektor keuangan, yang tentunya akan berpengaruh
juga terhadap penurunan PDB.
Krisis yang melanda mengakibatkan perlambatan ekonomi terutama di negara maju,
selanjutnya berdampak pada penurunan permintaan baik dari luar maupun domestik. Hal ini
didorong oleh kurangnya permintaan ekspor, sehingga perusahaan cenderung menurunkan
produksinya. Selain itu juga terjadi pengurangan kegiatan re-ekspor yang selanjutnya menggeser
turun perdagangan jasa yang berhubungan dengan aktivitas tersebut. Disisi lain terjadi juga
penurunan aktivitas yang berhubungan dengan jasa pariwisata. Turunnya kegiatan ekspor dan
pariwisata serta kegiatan yang berhubungan dengan hal tersebut, mengakibatkan terjadi
pengurangan belanja investasi yang selanjutnya memberi dampak pada penurunan PDB.
Sementara itu, kondisi perekonomian yang tidak kondusif serta adanya pengurangan
belanja investasi akan mendorong perusahaan untuk melakukan pemotongan upah,
pengurangan jam kerja serta pemutusan hubungan kerja. Tentunya hal tersebut berakibat pada
penurunan pendapatan yang dapat mempengaruhi terjadinya pelemahan minat belanja dari
Tabel V.1Pertumbuhan Ekonomi Sisi Permintaan
Total Konsumsi 5,5 5,5 6,3 6,4 7,2 6,3Konsumsi Rumah Tangga 5,7 5,5 5,3 4,8 5,8 4,8Konsumsi Pemerintah 3,6 5,3 14,1 16,41 9,2 17,0PMTB 13,7 12,0 12,2 9,1 3,5 2,7Ekspor barang & jasa 13,6 12,4 10,6 1,8 (19,1) (15,7)Impor barang & jasa 18,0 16,1 11,0 (3,5) (24,1) (23,9)Produk Domestik Bruto 6,2 6,4 6,4 5,2 4,4 4,0
Q1-08 Q2-08 Q1-08 Q2-08 Q1-08 Q2-08 Q1-08 Q2-08 Q1-08 Q2-08 Q3-08 Q4-08 Q1-09 Q2-09 Q3-08 Q4-08 Q1-09 Q2-09 Q3-08 Q4-08 Q1-09 Q2-09 Q3-08 Q4-08 Q1-09 Q2-09 Q3-08 Q4-08 Q1-09 Q2-09
Sumber: BPS, diolah
379Dampak Krisis Keuangan Global Terhadap Perekonomian Daerah
konsumen, selanjutnya berpengaruh pada turunnya pengeluaran konsumen domestik secara
keseluruhan. Penurunan tersebut pada akhirnya berdampak pada turunnya pertumbuhan PDB,
lihat Tabel V.1.
Perekonomian nasional mengalami penurunan yang signifikan sejak triwulan IV-2008
yang diduga sebagai dampak dari penurunan ekspor karena melemahnya perekonomian mitra
dagang, sementara itu pertumbuhan konsumsi domestik juga mengalami perlambatan diduga
merupakan akibat dari turun akses pembiayaan dan upah. Seiring dengan hal tersebut investasi
juga mengalami penurunan berbarengan dengan perlambatan permintaan domestik maupun
eksternal. Perlambatan ini mengakibatkan komoditas impor barang modal, konsumsi dan bahan
baku cenderung mengalami penurunan.
Sementara itu dari sisi penawaran, terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi sejak
triwulan 4-2009 kecuali sektor listrik, gas dan air serta sektor transportasi. Hal ini terkait dengan
masih tingginya ketidakpastian perekonomian global sehingga membuat pelaku usaha melakukan
penundaan investasi dan ekspansi usaha. Pertumbuhan sektor industri pengolahan terus
mengalami perlambatan yang diduga terkait dengan belum membaiknya permintaan terutama
permintaan ekspor. Lemahnya permintaan ini berdampak pada tidak optimalnya pemanfaatan
kapasitas yang tersedia, sehingga mendorong perusahaan untuk menunda kegiatan investasinya.
Apabila dilihat dari strukturnya, distribusi penurunan terbesar sektor industri pengolahan berasal
dari subsektor alat angkutan, mesin dan peralatannya, subsektor makanan, minuman dan
tembakau serta subsektor kimia dan barang dari karet. Lihat Tabel V.2.
Sektor perdagangan, hotel dan restoran (PHR) terus melambat terutama yang diduga
disebabkan oleh menurunnya permintaan karena melemahnya daya beli masyarakat akibat
turunnya penghasilan dan masih meningkatnya jumlah PHK, serta menurunnya kinerja impor.
Tabel V.2Pertumbuhan Ekonomi Sisi Penawaran
Pertanian 6,3 4,8 3,4 4,7 5,3 2,4Pertambangan (1,7) (0,5) 2,1 2,1 2,4 2,4Industri Pengolahan 4,3 4,2 4,3 1,8 1,5 1,5Listrik, Gas & Air 12,3 11,8 10,4 9,3 11,4 15,4Bangunan 8,0 8,1 7,6 5,7 6,3 6,4Perdag,, Hotel & Rest, 6,9 8,1 8,4 5,6 0,5 (0,1)Transportasi 18,3 17,3 15,5 15,8 17,1 17,5Keuangan 8,3 8,7 8,6 7,4 6,3 5,3Jasa-jasa 5,9 6,7 7,2 6,0 6,8 7,4PDB 6,2 6,4 6,4 5,2 4,4 4,0
Q1-08 Q2-08 Q1-08 Q2-08 Q1-08 Q2-08 Q1-08 Q2-08 Q1-08 Q2-08 Q3-08 Q4-08 Q1-09 Q2-09 Q3-08 Q4-08 Q1-09 Q2-09 Q3-08 Q4-08 Q1-09 Q2-09 Q3-08 Q4-08 Q1-09 Q2-09 Q3-08 Q4-08 Q1-09 Q2-09
Sumber: BPS, diolah
380 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Sebagian besar kelompok komoditas menunjukkan tren perlambatan terutama untuk barang
tahan lama, demikian halnya dengan rata-rata tingkat hunian hotel di Jakarta dan Bali yang
juga mengindikasikan adanya perlambatan. Sementara itu kredit perbankan yang telah disalurkan
pada sektor perdagangan juga tumbuh melambat.
Perlambatan di sektor pertanian diperkirakan karena telah berlalunya musim panen raya,
hal ini juga dipengaruhi oleh subsektor perkebunan yang mengalami perlambatan terkait dengan
turunnya permintaan ekspor dan menurunnya harga komoditas perkebunan. Sementara itu,
perlambatan terbesar sektor pertanian berasal dari subsektor tanaman bahan makanan, demikian
halnya kinerja subsektor perkebunan, kecuali kelapa sawit.
Penurunan pertumbuhan PDB, tidak terlepas dari dinamika naik turunnya pertumbuhan
ekonomi daerah, mengingat Indonesia terdiri dari beberapa propinsi yang masing-masing
tentunya memiliki karakteristik yang relatif berbeda. Oleh sebab itu, dampak dari krisis keuangan
global pada perekonomian daerah diduga mempengaruhi variabel ekonomi daerah sesuai kondisi
perekonomian di daerah tersebut. Selain itu, adanya beberapa faktor ekonomi maupun non
ekonomi yang berbeda antar daerah tentunya sangat mempengaruhi intensitas dampak
dimaksud pada tiap-tiap daerah.
Terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi nasional yang cukup tajam dimulai triwulan
III-2008, hal ini terjadi hampir di semua wilayah baik Sumatra, Jakarta, Jabalnustra maupun
Kalisulampua. Untuk wilayah Sumatera penurunan pertumbuhan ekonomi terutama di wilayah
Tabel V.3Pertumbuhan Ekonomi (yoy, %)
NasionalNasionalNasionalNasionalNasional 6,06,06,06,06,0 6,66,66,66,66,6 6,66,66,66,66,6 5,85,85,85,85,8 6,26,26,26,26,2 6,46,46,46,46,4 6,46,46,46,46,4 5,25,25,25,25,2 4,44,44,44,44,4 4,54,54,54,54,5SumateraSumateraSumateraSumateraSumatera 4,34,34,34,34,3 5,55,55,55,55,5 5,45,45,45,45,4 4,74,74,74,74,7 4,94,94,94,94,9 4,94,94,94,94,9 4,84,84,84,84,8 3,93,93,93,93,9 3,13,13,13,13,1 3,23,23,23,23,2 21,621,621,621,621,6
Sumatera Bag, Utara 3,4 6,3 5,5 2,1 3,0 1,8 1,8 3,1 2,0 2,9 7,1Sumatera Bag, Tengah 4,8 4,5 5,1 5,5 5,2 7,1 6,8 5,4 4,0 3,1 9,0Sumatera Bag, Selatan 4,6 6,1 5,8 6,7 7,1 5,4 5,4 2,6 2,7 3,7 5,5
JakartaJakartaJakartaJakartaJakarta 6,36,36,36,36,3 6,36,36,36,36,3 6,46,46,46,46,4 6,76,76,76,76,7 6,36,36,36,36,3 6,16,16,16,16,1 6,16,16,16,16,1 6,26,26,26,26,2 5,25,25,25,25,2 5,15,15,15,15,1 17,717,717,717,717,7JabalnustraJabalnustraJabalnustraJabalnustraJabalnustra 5,75,75,75,75,7 6,26,26,26,26,2 6,06,06,06,06,0 6,36,36,36,36,3 6,26,26,26,26,2 5,25,25,25,25,2 6,36,36,36,36,3 5,05,05,05,05,0 4,54,54,54,54,5 4,44,44,44,44,4 45,545,545,545,545,5
Jawa Bag, Barat 5,7 6,2 6,4 7,1 7,0 4,5 6,6 4,8 4,4 4,1 18,1Jawa Bag, Tengah 4,4 6,1 5,7 5,7 6,0 5,2 6,4 4,0 4,1 4,7 9,4Jawa Bag, Timur 5,5 6,2 6,3 6,4 6,0 6,3 6,2 5,4 4,5 4,5 15,3Bali-Nusa Tenggara 13,0 6,1 2,2 2,5 3,3 3,7 4,8 6,6 6,4 5,1 2,7
KalisulampuaKalisulampuaKalisulampuaKalisulampuaKalisulampua 5,95,95,95,95,9 6,26,26,26,26,2 3,43,43,43,43,4 3,43,43,43,43,4 3,53,53,53,53,5 4,84,84,84,84,8 7,37,37,37,37,3 5,95,95,95,95,9 5,45,45,45,45,4 5,85,85,85,85,8 15,015,015,015,015,0Kalimantan 2,4 3,2 3,6 4,8 5,7 5,9 5,4 2,8 1,7 2,9 8,8Sulawesi-Papua 11,3 10,7 3,0 1,4 0,3 3,2 10,1 10,4 11,0 9,9 6,2
Tw I Tw II Tw III Tw IV Tw I Tw II Tw III Tw IV Tw I Tw II
Sumber: BPS, diolah
Pangsa
(rata-rata)
2007 2008 2009
381Dampak Krisis Keuangan Global Terhadap Perekonomian Daerah
Sumatera bagian Selatan dan Tengah, hal ini ditengarai sebagai akibat penurunan ekspor dan
konsumsi rumah tangga. Penurunan ekspor terutama terjadi untuk komoditas primer seperti
minyak kelapa sawit, karet, migas dan hasil tambang lainnya. Selain itu terjadi penurunan
harga komoditas ekspor, sehingga semakin mendorong turunnya pendapatan yang pada
akhirnya berdampak pada turunnya konsumsi.
Kinerja perekonomian seluruh daerah mengalami pertumbuhan yang melambat.
Perlambatan pertumbuhan terjadi di sebagian besar provinsi, termasuk provinsi-provinsi yang
memiliki kontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, seperti Jawa Barat, Sumatera
Utara, Riau, dan Kalimantan Timur. Hal ini menyebabkan pertumbuhan ekonomi secara nasional
tumbuh melambat. Walaupun secara umum dampak krisis dapat dirasakan, namun masih
terdapat provinsi yang memiliki pertumbuhan yang tinggi, seperti Sulawesi Tengah dan
Kepulauan Riau.
Krisis keuangan global yang berlangsung sejak semester II- 2008 telah memperlambat
kinerja ekspor dan konsumsi di daerah sehingga mempengaruhi perlambatan pertumbuhan
ekonomi. Daerah-daerah yang perekonomiannya bertumpu pada ekspor selanjutnya mengalami
imbas akibat turunnya permintaan dunia dan harga komoditas. Perlambatan pertumbuhan
ekspor terutama terjadi di daerah Sumatera, Kalimantan, Papua, dan sebagian Jawa sehingga
menyebabkan pendapatan masyarakat mengalami penurunan. Kondisi ini semakin diperburuk
dengan melambatnya dukungan pembiayaan konsumsi di daerah, khususnya untuk kredit
konsumsi.
Grafik V.1Perkembangan Nilai Ekspor Wilayah
%, yoyJuta US$
0
2.000
4.000
6.000
8.000
10.000
12.000
2007 2008 2009
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5(60)
(40)
(20)
0
20
40
60
80
100
120
Nasional gSumatera (rhs) gJakarta (rhs)
gJabalnusra (rhs) gKali-Sulampua (rhs)
382 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Konsumsi rumah tangga juga melambat yang ditandai dengan turunnya penjualan
kendaraan bermotor dan pertumbuhan impor barang konsumsi. Hal ini seiring dengan masih
adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), sehingga tekanan terhadap daya beli masyarakat
diperkirakan masih berlanjut. Namun demikian, penghasilan yang bersumber dari musim panen
pada akhir triwulan I-2009 dan realisasi gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) ke-13, serta pengeluaran
menjelang Pemilu Pilpres diperkirakan menahan perlambatan konsumsi masyarakat. Sejalan
dengan hal tersebut, beberapa indikator konsumsi menunjukkan perbaikan di Jabalnustra,
Jakarta dan Sumatera sebagaimana terlihat dari indikator penjualan eceran di Jakarta, Bandung,
Semarang dan Surabaya. Selain itu dari hasil survei konsumen, seluruh wilayah menunjukankan
Grafik V.2Perkembangan Volume Ekspor menurut Wilayah
Grafik V.3Perkembangan Indeks Riil Penjualan Eceran
Grafik V.4Indeks Keyakinan Konsumen
%, yoyRibu Ton
0
5.000
10.000
15.000
20.000
25.000
30.000
35.000
Total Ekspor gSumatera (rhs) gJakarta (rhs)
gJabalnusra (rhs) gKali-Sulampua (rhs)
2007 2008 2009
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5(60)
(40)
(20)
0
20
40
60
80
100
%,yoy
JakartaBandung
SemarangSurabaya
(40,0)
(30,0)
(20,0)
(10,0)
0,0
10,0
20,0
30,0
2008 20091 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4*) 5*)
Indeks
50
60
70
80
90
100
110
120
130
2007 2008 20091 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6
Jabalnustra
Jakarta
Kali-Sulampua
Sumatera
383Dampak Krisis Keuangan Global Terhadap Perekonomian Daerah
keyakinan konsumen cenderung menguat sejak awal 2009 karena didukung oleh ekspektasi
perbaikan penghasilan dan membaiknya ketersediaan lapangan kerja.
Secara kasat, uraian di atas mendeskripsikan dampak yang terjadi pasca krisis. Paper ini
melakukan pengujian inferensial tentang signifikan tidaknya pengaruh krisis global ini terhadap
kondisi makro perekonomian Indonesia sebagaimana ilustrasi di atas. Lebih dari itu, paper ini
juga menguji signifikansi dan tingkat keterkaitan antara besaran makro yang satu dengan
lainnya dalam satu kerangka model makro simulatn. Riset yang dilakukan difokuskan pada
analisis dampak krisis pada perekonomian nasional dan beberapa daerah ditinjau dari sisi output
dan komponen pembentuknya yaitu konsumsi, investasi, ekspor, dan impor, serta inflasi. Data
yang digunakan merupakan data triwulan dengan periode waktu dari triwulan I/1993 sampai
dengan triwulan IV/2008.
Bagian berikut dari paper ini menjelaskan dasar teori dan bagian ketiga membahas
methodologi penelitian dan data yang digunakan. Hasil estimasi dan analisis diberikan dalam
bagian keempat sementara kesimpulan dan rekomendasi menjadi penutup.
II. TEORI
Permintaan terhadap output perekonomian suatu negara dengan ekonomi terbuka berasal
dari konsumsi (C), investasi (I) , belanja pemerintah (G), ekspor (X) dan impor (M). Bagian ini
akan mengulas teori dasar yang mempengaruhi masing-masing komponen agregat tersebut.
Teori konsumsi Keynes menyebutkan bahwa konsumsi dipengaruhi terutama oleh
disposable income atau pendapatan disposable (Mankiw, 2003). Pendapatan disposable
merupakan pendapatan dikurangi pajak, TYYd −= dimana pajak merupakan faktor eksogen
atau faktor yang sudah ditentukan.
Dalam analisis inter-temporal, perilaku konsumsi juga dipengaruhi oleh tingkat suku bunga
(i). Suku bunga yang tinggi akan mendorong pengurangan konsumsi karena masyarakat
cenderung menggeser konsumsinya ke periode mendatang. Sebaliknya, ketika suku bunga
turun masyarakat memilih untuk berbelanja daripada menabung. Model empiris yang dapat
digunakan dengan mempertimbangkan kedua variabel tersebut adalah:
Ct = α
t + βY
dt + λi
t + e
t
Dimana it adalah suku bunga riil dan α
t menunjukkan konsumsi dasar yang tidak terpengaruh
oleh tingkat pendapatan. Slope dari pendapatan disposable merupakan variasi dari pendapatan
yang bersifat permanen dengan transitory (Friedman, 1957).
384 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Komponen agregat yang kedua adalah investasi yang sangat bergantung pada biaya
modal atau suku bunga riil (Mankiw, 2003). Namun beberapa penelitian lain, memasukan
beberapa variable lain di dalam persamaan investasi. Stiroh (2000) menyatakan bahwa output
mempengaruhi investasi. Investasi merupakan konsumsi dalam bentuk barang modal (pabrik
dan peralatan), bangunan, dan persediaan barang (inventory) yang meningkatkan stok barang
modal (capital stock). Dalam penentuan investasi, pengusaha akan mempertimbangkan suku
bunga pinjaman, dimana bila suku bunga pinjaman tinggi pengusaha akan mengurangi
permintaan kredit. Sebaliknya, bila suku bunga pinjaman turun, pengusaha akan meningkatkan
permintaan kreditnya (Ehrman dkk, 2001). Menurut Mojon2 suku bunga pinjaman atau suku
bunga pasar dipengaruhi oleh suku bunga acuan central bank atau otoritas moneter. Faktor
lain yang juga mempengaruhi investasi yaitu faktor kondisi perekonomian yang tercermin dari
output (PDB atau PDRB). Dalam kondisi ekonomi yang baik, perusahaan akan melakukan investasi
lebih banyak. Formulanya sebagai berikut:
It = α
t + βi
t + λcr
t +λY
t + e
t
Dimana It = Investasi, i
d = suku bunga riil, cr = country risk dan Y adalah output sebagaimana
notasi sebelumnya.
Country risk suatu negara mempengaruhi ekspektasi masyarakat terhadap prospek
perekonomian negara yang bersangkutan, yang tercermin dari keputusan keputusan investasi
yang akan dilakukan di negara tersebut. Tingginya resiko akan menurunkan kepercayaan investor
asing dan akan memberikan tekanan negatif terhadap investasi.
Adapun belanja pemerintah yang dinotasikan dengan simbol G merupakan faktor eksogen
yang sudah ditentukan. Konsumsi pemerintah merupakan alat yang sangat penting dalam
mempengaruhi output, inflasi dan pengangguran dalam jangka pendek karena memiliki efek
multiplier yang lebih besar daripada konsumsi rumah tangga. Konsumsi pemerintah sangat
tergantung dari jumlah pendapatan yang diperoleh dari pajak (ekspor dan penghasilan) serta
pembiayaan. Dalam penelitian ini, pengeluara pemerintah ditempatkan sebagai variabel eksogen
dengan pertimbangan bahwa variabel tersebut sangat tergantung pada keputusan pemerintah
dan tidak ditentukan dalam sistem.
Bila perekonomian suatu negara atau daerah bersifat terbuka, maka perdagangan antar
negara atau daerah akan terjadi. Sehingga faktor ekspor dan impor akan turut mempengaruhi
output perekonomian negara atau daerah tersebut. Ekspor yang berarti pengiriman atau
penjualan barang dari dalam negeri atau daerah ke luar negeri atau daerah itu. Nilai ekspor
akan ditentukan oleh tingkat perekonomian Negara atau daerah tujuan. Faktor output luar
2 Mojon, B, ≈Financial Stucture and the Ineterest Rate Channel of ECB Monetary Policy ∆, ECB Working Paper No. 40, 2000.
385Dampak Krisis Keuangan Global Terhadap Perekonomian Daerah
negeri akan berpengaruh positif, dimana peningkatan output luar negeri akan meningkatkan
permintaan ekspor dalam negeri.
Faktor nilai tukar juga memiliki peran dalam mempengaruhi permintaan ekspor. Depresiasi
nilai tukar dalam negeri akan membuat harga produk dalam negeri menjadi murah, sehingga
daya saing produk dalam negeri juga meningkat. Sehingga penurunan nilai tukar akan diikuti
dengan peningkatan ekspor dan berdampak juga pada peningkatan output (Hallwood and
MacDonald, 2000).
Selain itu, faktor output negara lain juga mempengaruhi ekspor. Ketika output suatu
negara (negara A) menurun, maka daya beli negara A akan menurun dan berakibat pada
pengurangan impor negara tersebut. Sementara itu, negara B yang merupakan pengeskpor
utama ke negara A akan terkena imbasnya berupa penurunan ekspornya. Jadi penurunan
output negara lain dapat berakibat pada penurunan ekspor negara kita, terutama bila negara
tersebut merupakan negara tujuan ekspor utama dari negara kita, misalnya USA, Jepang, dan
China.
Berkaitan dengan peran minyak dunia dalam kegiatan perdagangan internasional yang
cukup besar, maka variabel harga minyak dunia turut mempengaruhi besaran ekspor, terutama
negara kita yang termasuk pengekspor minyak. Jadi persamaan ekspor dapat dituliskan sebagai
berikut:
Xt = α
t + βe
t + λY
t *+ δoil
t + µD
t + e
t
Dimana X = ekspor, e = nilai tukar (Rp/USD), Y* = output US, oil = harga minyak dunia dan D
adalah variabel dummy krisis.
Sedangkan impor lebih dipengaruhi oleh perekonomian dalam negeri, dimana pendapatan
mencerminkan daya beli masyarakat. Nilai impor juga dipengaruhi oleh pergerakan nilai tukar.
Apresiasi nilai tukar akan diikuti oleh naiknya permintaan akan impor, terutama untuk impor
barang konsumsi. Hal tersebut disebabkan apresiasi nilai tukar berarti harga barang impor
akan lebih murah, sehingga permintaan akan barang tersebut akan meningkat. Persamaan
impor dapat dijabarkan sebagai berikut:
Berbeda dengan ekspor, impor memiliki marginal propensity to import sehingga sangat
dipengaruhi oleh perekonomian dalam negeri. Besarnya impor dibandingkan dengan ekspor
merupakan bentuk konsumsi domestik yang mengalir ke luar negeri sehingga memperkecil
output perekonomian. Selain output domestik, impor juga dipengaruhi oleh pergerakan nilai
tukar. Apresiasi nilai tukar akan diikuti oleh naiknya permintaan akan impor, terutama untuk
impor barang konsumsi. Hal tersebut disebabkan apresiasi nilai tukar berarti harga barang
impor akan lebih murah, sehingga permintaan akan barang tersebut akan meningkat, seperti
386 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
yang dijabarkan pada persamaan berikut:
Mt = α
t + βe
t + λY
t + δ P
t *+ µD
t + e
t
Dimana
M = impor, e = nilai tukar (Rp/USD), Y = output nasional, P*= CPI US dan D = dummy krisis.
Secara agregat, dalam kondisi terbuka, output perekonomi dari sisi permintaan mengikuti
identitas berikut:
Y = C + I + G + X √ M
Model inflasi berdasarkan teori Philips Curve (Mankiw, 2003) dengan memasukan variabel
ekspektasi inflasi, output gap dan supply shock. Untuk variabel ekspektasi inflasi akan digunakan
variabel proxy yaitu inflasi lag 1 bulan dengan asumsi masyarakat melakukan ekspektasi inflasi
saat ini berdasarkan inflasi 1 bulan sebelumnya (teori adaptive inflation). Output gap merupakan
selisih antara PDRB aktual dan PDRB potensial, dimana variabel PDRB potensial berupa trend
PDRB. Sedangkan variabel supply shock akan diwakilkan oleh harga BBM atau nilai tukar rupiah
terhadap US dollar. Formulanya sebagai berikut:
πt = π
t e + β (Y
t - Y
t ) + v
t
Dimana π = inflasi, π e = ekspektasi inflasi, Y = output aktual, Y = output potensial dan v =
supply shock
Krisis keuangan dunia berpengaruh pada perekonomian dalam negeri, termasuk
perekonomian daerah di dalamnya. Krisis keuangan ditandai dengan gejolak pada pasar saham
dan pasar valas. Dalam pasar valas, dapat dirasakan depresiasi nilai tukar rupiah terhadap US
dollar berdampak langsung pada ekspor dan impor. Sementara itu, penurunan pertumbuhan
ekonomi dunia yang ditandai dengan turunnya GDP pada hampir semua negara di dunia
mendorong penurunan permintaan akan ekspor. Dari dalam negeri penurunan perekonomian
berimbas pada turunnya konsumsi dan investasi.
III. METODOLOGI
III.1 Teknik Estimasi
Penelitian ini menggunakan pendekatan ekonometrik yaitu simultaneous equations atau
lebih dikenal dengan istilah model simultan. Model simultan akan digunakan untuk menangkap
setiap perubahan variabel yang dipengaruhi oleh krisis keuangan dunia dalam bentuk simulasi.
Hasil simulasi ini diharapkan dapat menjelaskan dampak krisis terhadap perekonomian di
Indonesia.
387Dampak Krisis Keuangan Global Terhadap Perekonomian Daerah
Sistem persamaan simultan merupakan himpunan persamaan di mana variabel dependen
dalam satu atau lebih persamaan juga merupakan variabel independen dalam beberapa
persamaan lainnya. Secara ringkasnya, variabel dalam model simultan dapat berperan ganda,
baik sebagai variabel independen, maupun variable dependen (Gujarati, 2003).
Identifikasi struktur model merupakan langkah awal dalam menyusun model simultan
yang menentukan apakah estimasi parameter dapat diselesaikan atau tidak. Secara umum,
terdapat tiga kondisi dari hasil identifikasi yaitu:
1. Exactly identified, kondisi dimana nilai parameter diperoleh yang unik yaitu hanya ada satu
nilai untuk setiap koefisien parameter struktural.
2. Over identified, kondisi dimana nilai parameter persamaan struktural yang diperoleh lebih
dari satu.
3. Under identified, dimana nilai parameter persamaan struktural tidak dapat diperoleh karena
kondisinya tidak memenuhi persyaratan untuk penghitungan minimal salah satu
parameternya.
Proses identifikasi dapat menggunakan dua metode yaitu Order Condition dan Rank
Condition (Enders, 2004), dimana prosedur order condition saja tidak cukup dan perlu
ditambahkan prosedur rank condition sebagai syarat kecukupan (sufficient). Agar sebuah sistem
persamaan simultan dengan M persamaan struktural dapat diidentifikasi, maka setidaknya
harus memiliki (M-1) variabel endogen.
Untuk sejumlah m variabel endogen dalam model, K total variabel penjelas
(predetermined), k jumlah variabel penjelas pada persamaan tertentu, maka order condition
mengikuti ketentuan berikut:
a. Jika (K√k) = (m√1) maka persamaan tersebut dikatakan√exactly identified.
b. Jika (K√k) > (m√1) maka persamaan tersebut over identified.
c. Jika (K√k) < (m√1) maka persamaan tersebut under identified.
Jika suatu persamaan over identified atau exactly identified maka persamaan tersebut
dapat diselesaikan.
Terdapat 3 teknik estimasi yang dapat digunakan, (i) Indirect Least Squares (ILS); metode
ini digunakan pada persamaan struktural yang tepat terindentifikasi (exactly identified); (ii)
Ordinary Least Square (OLS); metode ini digunakan pada persamaan struktural yang over
identified, namun dengan kondisi tidak terdapat endogenity problem. Dengan kata lain tidak
terdapat keterkaitan antar persamaan satu dengan lainnya. Dalam kondisi ini, estimasi persamaan
simultan akan memberikan hasil yang sama ketika masing-masing persamaan diestimasi secara
terpisah. Bila terdapat masalah endogeneity, maka metode yang digunakan sebaiknya Two
388 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Stages Least Squares (TSLS); (iii) Teknik yang ketiga adalah Two Stages Least Squares (TSLS).
Teknik ini digunakan untuk memperoleh nilai parameter struktural pada persamaan yang
teridentifikasi berlebih (over identified) dan memiliki endogeneity problem.
Pemilihan teknik estimasi yang lebih tepat didasarkan pada 2 hal, (i) identifikasi
perbandingan jumlah variabel endogen dan eksogen sebagaimana telah dijelaskan di atas, dan
(ii) permasalahan endogenitas yang terdapat dalam persamaan strukturalnya3. Secara teknis,
permasalahan endogenitas ini dapat tercermin pada struktur matriks kovarian galat antar
persamaan yang pengujiaannya dapat dilakukan menggunakan Hausman specific test.
III.2 Model Empiris Persamaan Simultan
Persamaan-persamaan yang selanjutnya digunakan di dalam pembentukan model simultan
adalah sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Keterkaitan simultan antar variabel dan lintas keenam persamaan tersebut digambarkan
di dalam bagan berikut:
Grafik V.5Flow Chart
3 Lihat Hamilton (1994) untuk penjelasan yang lebih rinci.
3t t dt t tC Y i eα β λ −= + + +
4 4 4t t t t t tI i cr Y eα β λ γ− − −= + + + +
*t t t t t t tX er Y oil D eα β λ δ µ= + + + + +
1 *t t t t t t tM er Y P D eα β λ δ µ−= + + + + +
Yt =Ct +It +Gt +Xt – Mt
_
( )ett t t tY Y er eπ π β= + − + +
Krisis Keuangan Dunia
Y* e P*
Oil
G X M
CR
id
C I
Y
TT
Yp
T
389Dampak Krisis Keuangan Global Terhadap Perekonomian Daerah
Dengan menggunakan prosedur order condition dan rank condition, keenam persamaan
struktural tersebut adalah over-identified. Dengan demikian persamaan-persamaan yang ada
dapat diselesaikan dengan metode OLS dan TSLS. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, salah
satu kelemahan penggunaan metode OLS pada persamaan simultan yaitu masalah endogeneity,
yang bila dalam persamaan tersebut mengandung endogeneity problem maka penggunaan
metode OLS akan menghasilkan parameter dugaan yang tidak efisien.
Dari hasil pengujian dengan Hausman specific test diperoleh bahwa persamaan konsumsi,
investasi, dan impor mengandung endogenity problem. Oleh karena itu, ketiga persamaan
tersebut harus menggunakan TSLS untuk meraih hasil yang tidak bias dan konsisten. Sementara
itu, persamaan ekspor dan inflasi menggunakan metode OLS dalam estimasinya. Setiap
persamaan diestimasi secara parsial dengan asumsi error pada satu persamaan tidak berkorelasi
dengan error pada persamaan lainnya. 4
Model makro simultan di atas, diaplikasikan pada data nasional. Data yang digunakan
dalam penelitian ini berupa data triwulanan mencakup 1996Q1 s.d 2008Q4. Untuk periode
data tahun 1996 sampai dengan tahun 2001 dilakukan interpolasi dari data tahunan menjadi
data triwulanan, karena keterbatasan data. Struktur model yang sama juga diaplikasikan secara
independen pada masing-masing daerah, mencakup Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera
Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Utara. 5
Aplikasi model pada masing-masing daerah disesuaikan dengan karakteristik daerah yang
bersangkutan. Salah satu bentuk penyesuaian yang dimaksud adalah pemilihan indikator untuk
mewakili variabel tertentu seperti permintaan asing (didekati dengan PDB negara asing) yang
berbeda untuk beberapa daerah sesuai dengan karakteristik daerah tersebut. Sumber data
dari BPS dan CEIC Data. Data yang digunakan mencakup periode tahun 1993-2008.
IV. HASIL DAN ANALISIS
IV.1 Estimasi Persamaan Konsumsi
Sejalan dengan teori dasar Keynes, hasil estimasi model konsumsi dengan pendekatan
TSLS menunjukkan positifnya pengaruh disposable income terhadap konsumsi. Lebih lanjut
tingkat suku bunga memiliki pengaruh yang negatif terhadap konsumsi, sejalan dengan
membesarnya opportunity cost dalam membelanjakan uang. Hasil estimasi diberikan sebagai
berikut:
4 Kami memahami bahwa asumsi ini terlalu kuat. Pelepasan asumsi ini akan menjadi target penelitian mendatang.5 Dilakukan oleh masing-masing KBI yakni KBI Medan, KBI Padang, KBI Palembang, KBI Bandung, KBI Semarang, KBI Surabaya, KBI
Banjarmasin, dan KBI Manado.
390 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Seluruh variabel diestimasi dalam bentuk logaritma natural. Hasil estimasi tersebut
menunjukkan autonomous consumption yang memiliki nilai positif dan signifikan sesuai sesuai
dengan teori. Marginal Propensity to Consume (MPC) sebesar 0.63 untuk skala nasional
menunjukkan perubahan konsumsi sebesar 0.63% untuk setiap 1% perubahan disposable
income. Dibandingkan periode sebelum krisis, 1986-1996, besaran MPC Indonesia ini menurun
sedikit dari angka 0,63. Secara relatif, MPC di Indonesia relatif hampir sama dengan Korea dan
Jepang masing-masing 0,634 dan 0,620. Kecenderungan mengkonsumsi ini lebih tinggi
dibandingkan Cina (0,540) dan Singapura (0,478), namun lebih rendah dibandingkan Philipina
(0,835) dan Hong Kong (0,846)6.
Penelusuran lintas propinsi yang diobservasi menunjukkan besaran MPC yang yang sedikit
berbeda dibandingkan MPC nasional. MPC tertinggi dimiliki Propinsi Sumatera Utara yaitu
sebesar 0.94 (Tabel IV.4). Sebaliknya Propinsi Sumatera Selatan memiliki MPC terendah yaitu
sebesar 0.40. Hal ini terkait dengan karakteristik masing-masing daerah yang berbeda.
(0.36)*** (0.04)*** (0.002)*
2R R2= 0.92, DW = 1.23, Instrument list:
Tabel V.4Marginal Prospensity to Consume Regional
1 Sumatera Utara 0.942 Sumatera Barat 0.883 Sumatera Selatan 0.404 Jawa Barat 0.825 Jawa Tengah 0.666 Jawa Timur 0.867 Kalimantan Selatan 0.898 Sulawesi Utara 0.77
NoNoNoNoNo PropinsiPropinsiPropinsiPropinsiPropinsi Disposabale Income Disposabale Income Disposabale Income Disposabale Income Disposabale Income
Sumber: Hasil Riset masing-masing KBI
Terhadap variabel tingkat suku bunga, hasil estimasi menunjukkan respon konsumsi yang
relatif kecil terhadap perubahan tingkat suku bunga. Elastisitas konsumsi terhadap tingkat
suku bunga adalah sebesar -0,003 yang berarti peningkatan suku bunga sebesar 10%, hanya
6 Estimasi negara-negara ini menggunakan data peride 1985-1996. Dokumen ini dapat didownload dari http://www.gsid.nagoya-u.ac.jp/project/apec/outcomes/paper99/27/Appendix1.pdf
37.1 2 0.6 3 0.003
t d t t tC Y i e
-= + - +
391Dampak Krisis Keuangan Global Terhadap Perekonomian Daerah
direspon dengan penurunan konsumsi sebesar 0,03%. Secara teoritis, peningkatan suku bunga
deposito akan meningkatkan biaya penggunaan uang periode sekarang sehingga mendorong
konsumen untuk mengurangi konsumsi dan mengalihkannya ke periode mendatang. Hasil
estimasi yang menunjukkan kecilnya respon konsumsi tersebut sangat potensial diakibatkan
oleh taraf hidup masyarakat yang masih rendah dan bergulat pada pemenuhan kebutuhan
dasar.
IV.2 Estimasi Persamaan Investasi
Persamaan investasi menggunakan variabel suku bunga riil dan output sebagai variabel
utama, serta memasukan variabel resiko suatu negara (country risk) yang telah mencakup resiko
politik, ekonomi, dan keuangan. Hasil persamaan regresi dengan metode TSLS sebagai berikut:
442.290.020.580.03tttttIiYcre+++
(1.72) (0.008)** (0.14)*** (0.005)***
R2 = 0.52, DW=0.77, Instrument list:
Dari hasil regresi tersebut diperoleh bahwa suku bunga riil berpengaruh negatif dan
signifikan terhadap investasi, dimana hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan hubungan
antara suku bunga riil dan investasi riil berlawanan arah (Mankiw, 2003). Kenaikan suku bunga
riil akan menyebabkan penurunan invetasi, namun pengaruhnya relatif kecil, dimana koefisiennya
sebesar minus 0.019 berarti bahwa kenaikan suku bunga riil sebesar 1% akan menyebabkan
penurunan investasi sebesar 1.9%. Sebaliknya, bila suku bunga riil turun sebesar 1% maka
akan diikuti dengan kenaikan investasi sebesar 1.9%.
Di Indonesia dan umumnya negara berkembang, besarnya biaya modal (cost of capital)
dan aksessibilitas atas modal tersebut masih menjadi kendala yang dominan. Bersamaan dengan
melemahnya permintaan eksternal serta adanya faktor ketidakpastian perekonomian global
telah memperlambat pertumbuhan investasi sejak triwulan IV-2008. Hal ini diindikasikan oleh
indikator penuntun investasi yang berada pada siklus kontraksi serta menurunnya indikator
pertumbuhan impor barang modal. Perlambatan investasi terutama terjadi di Sumatera dan
Jabalnustra terutama disebabkan adanya penurunan investasi non-bangunan terkait dengan
masih rendahnya daya serap eksternal dan belum membaiknya risiko ketidakpastian global.
Terhadap variabel country risk, hasil pengujian inferensial menunjukkan tanda yang
berlawanan atau kontradiktif dengan teori. Besaran elastisitas yang diperoleh adalah 0,03 yang
It = 2.2 9 - 0.0 2 i
t - 4 + 0.5 8Y
t - 4 + 0.03 cr
t + e
t
392 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
berarti peningkatan resiko 1% justru menyebabkan peningkatan investasi sebesar 0,03%.
Anomali ini perlu dikaji lebih lanjut.
Terhadap variabel output domestic, hasil estimasi menunjukkan pengaruh positif output
terhadap investasi. Output suatu negara atau daerah yang tinggi akan mendorong peningkatan
investasi baik berupa investasi domestik maupun investasi asing. Hal ini disebabkan tingginya
output menunjukan prospek perekonomian suatu negara atau daerah sehingga menodorong
minat investor untuk berinvestasi di negara atau daerah tersebut.
Hasil regresi secara nasional menunjukan bahwa output dengan lag setahun sebelumnya
berpengaruh positif dan signifikan dengan tingkat elastisitas sebesar 0,58. Dibandingkan dengan
variabel penjelas lainnya, pengaruh output paling besar. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi
atau prospek perekonomian nasional merupakan faktor yang penting dalam penentuan investasi.
Implementasi struktur model yang sama atas delapan propinsi terpisah di Indonesia
menunjukan hasil yang signifikan pada variabel penjelas utamanya yaitu PDRB dan suku bunga
riil dengan arah sesuai dengan teori. Dari kedelapan propinsi tersebut, pengaruh output terhadap
investasi pada Propinsi Sumatera Utara dan Propinsi Jawa Barat relatif paling besar dengan
tingkat elastisitas masing-masing sebesar 1,29 dan 1,27. Sementara itu, tingkat elastisitas output
Propinsi Sumatera Selatan paling rendah yaitu sebesar 0.11 (Tabel V.5). Sedangkan koefisien
suku bunga riil beberapa propinsi relatif sama yaitu minus 0,01 s/d minus 0,03 yang relatif
berdekatan dengan koefisien suku bunga riil secara nasional yaitu minus 0,02 , kecuali propinsi
Jawa Tengah yang memiliki koefisien sebesar minus 0,78.
Grafik V.6Pertumbuhan Volume Impor Barang Modal
di Indonesia
Grafik V.7Pertumbuhan Kredit Riil Investasi
di Indonesia
%, yoy%, yoy
(100,0)
(50,0)
0,0
50,0
100,0
150,0
200,0
2008 20091 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4
(200,0)
0,0
200,0
400,0
600,0
800,0
1000,0
1200,0
gSumatera gJabalnustra gJakarta gKali-Sulampua (rhs)
(%,yoy)
-5
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
2007 2008 20091 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4
Kali-Sulampua
Jakarta Jabalnustra
Sumatera
393Dampak Krisis Keuangan Global Terhadap Perekonomian Daerah
Pertumbuhan investasi non-bangunan cenderung melambat sejalan dengan penurunan
permintaan mesin dan perlengkapan luar negeri serta melemahnya impor barang modal.
Tertundanya penyaluran stimulus fiscal dan realisasi proyek infrastruktur juga mendorong
lemahnya tendensi bisnis pelaku usaha meskipun kondisi dalam negeri menjelang Pemilu Pilpres
relatif stabil. Indikasi ini didukung oleh adanya pertumbuhan konsumsi semen yang berangsur
menurun di Jawa dan Sumatera. Selain itu dukungan pembiayaan investasi berupa kredit investasi
riil juga diindikasikan menurun. Seiring dengan hal tersebut, minat kegiatan investasi pelaku
usaha mengalami sedikit penurunan, yang tercermin dari Indeks Tendensi Bisnis yang menurun
karena berkurangnya order barang input dan order luar negeri yang disertai penurunan harga
jual riil.
Tabel V.5Elastisitas Investasi terhadap PDRB dan Suku Bunga Riil
1 Sumatera Utara 1.29 -0.012 Sumatera Barat 0.35 -0.013 Sumatera Selatan 0.11 -0.0024 Jawa Barat 1.27 -0.015 Jawa Tengah 0.71 -0.786 Jawa Timur 0.79 -0.0017 Kalimantan Selatan 0.92 -0.038 Sulawesi Utara 0.61 -0.01
NoNoNoNoNo PropinsiPropinsiPropinsiPropinsiPropinsi PDRBPDRBPDRBPDRBPDRB Suku Bunga RiilSuku Bunga RiilSuku Bunga RiilSuku Bunga RiilSuku Bunga Riil
Sumber: Hasil Riset masing-masing KBI
Grafik V.8Perkembangan Konsumsi Semen
di Indonesia
Grafik V.9Pertumbuhan Kredit Model Kerja
menurut Wilayah di Indonesia
%, yoy
(30)
(20)
(10)
0
10
20
30
40
50
2007 2008 2009
Sumatera JabalnusraJakarta Kali-Sulampua
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5
%, yoy
0
5
10
15
20
25
30
35
40
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4
2007 2008 2009
Sumatera Jakarta
Jabalnustra Kali-Sulampua
394 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
IV.3 Estimasi Persamaan Ekspor
Persamaan Ekspor menggunakan variabel independen GDP USA sebagai perwakilan
pertumbuhan ekonomi dunia. Hal ini sangat penting mengingat tujuan utama dari penelitian
ini ingin melihat dampak krisis keuangan dunia yang diikuti dengan penurunan pertumbuhan
ekonomi dunia. Selain itu, persamaan ekspor juga memasukan variabel harga minyak dunia
dan perubahan nilai tukar Rupiah terhadap US Dollar. Hasil uji empirik dengan menggunakan
metode OLS diperoleh sebagai berikut:
(2.09)** (0.23)*** (0.001)*** (0.10)*** (0.06)***
R2 = 0.84; DW=1.3
Hasil regresi menunjukan bahwa perekonomian dunia yang diwakili GDP USA berpengaruh
positif dan signifikan terhadap ekspor dalam skala nasional dengan elastisitas sebesar 0.84. Hal
ini sesuai dengan teori dan besarnya elastisitas tersebut tidak terlalu mengherankan mengingat
Amerika Serikat bersama dengan Jepang, merupakan partner dagang utama Indonesia dan
negara di kawawan.
Sementara itu, harga minyak dunia berpengaruh positif dan signifikan terhadap ekspor.
Hal ini selaras dengan masih banyaknya ekspor migas, sehingga kenaikan harga minyak akan
diikuti dengan kenaikan ekspor. Pengaruh perubahan nilai tukar rupiah terhadap US Dollar
juga positif dan signifikan. Sesuai dengan teori, depresiasi nilai tukar akan diikuti dengan
peningkatan nilai ekspor. Variabel dummy yang digunakan merupakan dummy periode krisis
1998, dimana hasilnya signifikan berpengaruh pada ekspor.
Dampak krisis keuangan global tidak hanya menimpa perekonomian nasional, namun
juga terasa dampaknya pada perekonomian daerah. Hal ini terlihat dari regresi persamaan
Tabel V.6Marginal Prospensity to Consume Regional
1 Sumatera Utara 1,26 (Japan)2 Sumatera Barat 0,05 (China)3 Sumatera Selatan 1,35 (USA)4 Jawa Barat 8,54 (USA)5 Jawa Tengah 0,73 (USA)6 Jawa Timur 0,67* (China)7 Kalimantan Selatan 1,14 (Japan)8 Sulawesi Utara 0, 69(China)
NoNoNoNoNo PropinsiPropinsiPropinsiPropinsiPropinsi GDP (Negara) GDP (Negara) GDP (Negara) GDP (Negara) GDP (Negara)
Sumber: Hasil Riset masing-masing KBI
4.0 5 0.8 4 * 0.00 6 0.31 0.19t t t t t tX Y o i l e D e= + + + ∆ + +
395Dampak Krisis Keuangan Global Terhadap Perekonomian Daerah
ekspor di daerah yang diwakilkan oleh delapan propinsi. Tabel II.6 menunjukan bahwa pengaruh
GDP dunia yang diwakilkan oleh tiga negara yaitu USA, China, dan Jepang berdampak positif
dan signifikan dengan tingkat elastisitas yang cukup tinggi.
Pengaruh ekonomi USA pada Propinsi Jawa Barat misalnya sangat besar, terlihat tingkat
elastisitas GDP USA terhadap ekspor Jawa Barat sebesar 8.54. Amerika Serikat merupakan
salah satu negara tujuan ekspor utama Jawa Barat, dimana penurunan 1% GDP USA akan
mendorong penurunan ekspor di Jawa Barat sebesar 8.54%. Dampak dari krisis keuangan
global di Jawa Barat ditandai dengan penurunan ekspor terutama untuk jenis mesin dan
peralatan elektronik.
Grafik V.10Nilai dan Volume Ekspor di Jabar
Besarnya pengaruh PDB partner dagang seperti Amerika Serikat juga terlihat pada wilayah-
wilayah lain yang ada di Indonesia. Hal ini kasat terlihat dari perkembangan ekspor beberapa
komoditas nonmigas unggulan terutama lemak dan minyak hewan/nabati serta karet dan barang
dari karet yang terus menurun.
Berdasarkan data yang ada, kondisi penurunan kinerja ekspro ini tidak berlangsung terus-
menerus. Memasuki tahu 2009, harga komoditas internasional dan kinerja negara mitra dagang
utama seperti India dan China semakin membaik, sementara permintaan dari negara emerging
market semakin juga mulai kembali meningkat terutama untuk komoditas CPO dan batubara,
(Lihat Grafik V.11 s.d. Grafik V.14). Indikasi pemulihan ekspor di daerah juga mengindikasikan
adanya perbaikan paling tidak penurunan yang melambat pada komoditas utama di masing-
masing wilayah, antara lain CPO, Karet (Sumatera), batu bara, tembaga (Kali-Sulampua), dan
TPT, alas kaki (Jabalnustra).
USD Juta
800
600
400
200
0
Ribu Ton
2007 2008 20091 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3
60
50
40
30
20
10
0
NilaiVolume
396 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Grafik V.13Perkembangan Volume Ekspor Unggulan
di Jakarta
Grafik V.14Perkembangan Volume Ekspor Unggulan
di Sumatera
Grafik V.11Perkembangan Volume Ekspor Unggulan
di Jabalnustra
Grafik V.12Perkembangan Volume Ekspor Unggulan
di Kali-Sulampua
IV.4 Estimasi Persamaan Impor
Untuk persamaan impor, penelitian ini menggunakan faktor output dalam negeri, indeks
harga dunia yang diwakilkan oleh CPI USA, nilai tukar riil dan dummy krisis. Hasil pengujian
empirik sebagai berikut:
(4.91)*** (0.15)** (0.003)*** (0.40)** (0.18)***
R2 = 0.82, DW = 1.1, Instrument list: : C dt C d
t-1 T
t C
t-1
Ribu Ton Ribu Ton
20
30
40
50
60
70
80
90
100
2007 2008 2009
TPT Mebel Kulit dan Alas Kak (rhs)i
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4
Ribu Ton
0
5.000
10.000
15.000
20.000
25.000
30.000
35.000
40.000
45.000
2007 2008 2009
Batu Bara
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4
%, y-o-y
-100-50
050
100150
200250
300
350
400
450
2007 2008 20091 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4
Peralatan listrik
Besi/baja
Ikan olahan
0
100
200
300
400
500
600Karet
Minyak Sawit
2007 2008 2009
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
1800
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4
114.3 0.3 2 0.00 7 * 2.2 3 0.4t t t t t tM e p Y D e−= − − − + + +
397Dampak Krisis Keuangan Global Terhadap Perekonomian Daerah
Hasil regresi persamaan impor dengan menggunakan metode TSLS menunjukan bahwa
pengaruh output dengan lag satu triwulan positif dan signifikan dengan tingkat elastisitas
sebesar 2.23. Sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa semakin tinggi tingkat output
suatu negara atau daerah akan mendorong peningkatan permintaan impor.
Sementara itu, pengaruh nilai tukar terhadap impor negatif dan signifikan dengan koefisien
sebesar minus 0.32. Depresiasi nilai tukar Rupiah terhadap US Dollar akan diikuti dengan
penurunan impor. Hal tersebut disebabkan oleh pengurangan permintaan impor karena naiknya
harga barang impor akibat jatuhnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing (US Dollar).
Hal sebaliknya terjadi bila nilai tukar terapresiasi yang berdampak pada penurunan harga barang
impor dalam bentuk rupiah, sehingga permintaan barang impor meningkat.
Harga barang luar negeri turut berpengaruh pada impor, dimana kenaikan barang luar
negeri yang terukur dengan consumer price index (CPI) luar negeri berdampak pada penurunan
impor. Sehingga hubungan antara impor dan harga barang luar negeri berlawanan arah. Hasil
regresi menyebutkan bahwa CPI USA yang mewakili harga barang luar negeri berpengaruh
negative dan signifikan dengan koefisien sebesar minus 0.007. Variabel dummy krisis juga
signifikan dari hasil pengujian tersebut.
Tercatat dari hasil pengujian empirik pada persamaan impor daerah yang diwakili delapan
propinsi, output di daerah tersebut berpengaruh positif dan signifikan. Tingkat elastisitas PDRB
pada impor di Jawa Barat terlihat paling besar dibandingkan tujuh propinsi lainnya yaitu sebesar
2.93 (Tabel V.7). Hal ini mengindikasikan perilaku konsumtif terlebih proporsi impor Jawa Barat
yang dominan adalah berupa impor barang konsumsi. Secara umum, pergerakan barang impor
pada setiap wilayah ditunjukkan dalam Grafik IV.15 s.d. Grafik V.18.
Tabel V.7Pengaruh PDRB pada Impor
1 Sumatera Utara 1,342 Sumatera Barat 2,373 Sumatera Selatan 0,604 Jawa Barat 2,935 Jawa Tengah 1,506 Jawa Timur 1,67 Kalimantan Selatan 0,948 Sulawesi Utara 1,96
NoNoNoNoNo PropinsiPropinsiPropinsiPropinsiPropinsi GDP (Negara) GDP (Negara) GDP (Negara) GDP (Negara) GDP (Negara)
Sumber: Hasil Riset masing-masing KBI
398 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Grafik V.15Perkembangan Volume Impor Sumatera
Grafik V.16Perkembangan Volume Impor di Jakarta
Grafik V.17Perkembangan Volume Impor Jabalnustra
Grafik V.18Perkembangan Volume Impor Kali-
Sulampua
%, yoy%, yoy
-50
-40
-30
-20
-10
0
10
20
30
40
50
2007 2008 2009
gTotal
gVol.Brg.Modal (rhs)
gVol.Brg.Konsumsi (rhs)
gVol.Bhn.Baku (rhs)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4(100)
(50)
0
50
100
150
200
250
300
%, yoy%, yoy
-60
-50
-40
-30
-20
-10
0
10
20
30
40
50
gTotal
gVol.Brg.Modal (rhs)
gVol.Brg.Konsumsi (rhs)
gVol.Bhn.Baku (rhs)
(60)
(40)
(20)
0
20
40
60
80
100
120
140
2007 2008 20091 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4
%, yoy%, yoy
-80
-60
-40
-20
0
20
40
60
80
gTotal
gVol.Brg.Modal (rhs)
gVol.Brg.Konsumsi (rhs)
gVol.Bhn.Baku (rhs)(100)
(50)
0
50
100
150
200
2007 2008 20091 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4
%, yoy%, yoy
-80
-60
-40
-20
0
20
40
60
80
100
120gTotal
gVol.Bhn.Baku
gVol.Brg.Modal (rhs)
gVol.Brg.Konsumsi (rhs)
2007 2008 2009
(500)
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
4000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 1011121 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4
IV.5 Estimasi Persamaan Inflasi
Persamaan inflasi ini sesungguhnya mewakili sisi penawaran dalam suatu perekonomian.
Spesifikasi standar yang digunakan adalah Philips Curve dengan tiga komponen utama yaitu
ekspektasi inflasi,output gap, dan supply shock yang diwakili oleh nilai tukar rupiah terhadap
US dollar. Hasil estimasi atas sisi penawaran ini diberikan sebagai berikut:
πππππt = 0.64 πππππ
te + 0.64 (y
t - y
t ) + 0.27e
t + 19.7 D
t + e
t
(0.08)*** (0.31)** (0.09)*** (5.85)***
R2 = 0.89, DW =1.09
399Dampak Krisis Keuangan Global Terhadap Perekonomian Daerah
Ekspektasi inflasi memiliki pengaruh yang signikan terhadap tingkat inflasi dengan besaran
koesifisien yang tergolong tinggi yakni 0,64. Dalam model ini perilaku agen dispesifikasi
mengikuti proses pembentukan ekpektasi yang adaptif yakni berkaca pada tingkat inflasi
sebelumnya. Dari hasil pengujian empirik persamaan inflasi pada delapan provinsi diperoleh
hasil yang relatif sama dengan hasil regresi secara nasional, dimana faktor ekspektasi inflasi
memegang peranan yang cukup penting. Bahkan koefisien ekspektasi inflasi pada beberapa
daerah di atas koefisien ekspektasi inflasi nasional. Tercatat empat propinsi memiliki koefisien
ekspektasi inflasi di atas nasional yaitu Propinsi Sumatera Utara, Propinsi Jawa Timur, Propinsi
Jawa Barat, dan Propinsi Kalimantan Selatan yang masing-masing sebesar 0,76 , 0,74 , 0,72 ,
dan 0,66 (Tabel V.8).
Tabel V.8Pengaruh Ekspektasi Inflasi terhadap Inflasi Daerah
1 Sumatera Utara 0,762 Sumatera Barat 0,403 Sumatera Selatan 0,644 Jawa Barat 0,725 Jawa Tengah 0,276 Jawa Timur 0,747 Kalimantan Selatan 0,668 Sulawesi Utara 0,49
NoNoNoNoNo PropinsiPropinsiPropinsiPropinsiPropinsi GDP (Negara) GDP (Negara) GDP (Negara) GDP (Negara) GDP (Negara)
Sumber: Hasil Riset masing-masing KBI
Output gap yang merupakan selisih antara output aktual dan output natural berpengaruh
positif terhadap inflasi dengan elastisitas sebesar 0,64. Kondisi output gap yang positif secara
umum menunjukkan pergerakan roda perekonomian yang lebih cepat, dan dalam kondisi ini
tekanan inflasi mengalami peningkatan.
Aktifitas perekonomian domestik bukan satu-satunya Output gap bukan satu-satunya
penyabab infilasi. Dari sisi eksternal, pergerakan nilai tukar Rupiah terhadap mata uang asing
juga memberikan pengaruh. Variabel nilai tukar ini diinternalisasi kedalam model empiris untuk
mewakili shock eksternal yang berpengaruh terhadap sisi penawaran.
Sebuah mata uang yang mengalami inflasi memiliki kecenderungan untuk terdepresiasi
dan sebaliknya, sebuah negara yang mata uangnya terdepresiasi akan mengalami peningkatan
daya saing, mendorong permintaan agregat dan selanjutnya memberikan tekanan peningkatan
inflasi. Hasil estimasi menunjukkan variabel tukar riil ini memiliki pengaruh signifikan terhadap
400 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
kenaikan harga secara umum. Sejalan dengan teori dasar ini, setiap 1% depresiasi Rupiah
terhadap Dollar Amerika Serikat akan meningkatkan inflasi sebesar 0,27%.
Sejak triwulan IV-2008 aktivitas perekonomian tumbuh melambat seiring penurunan
permintaan. Pertumbuhan sektoral yang lebih rendah ini dapat dikonfirmasi oleh beberapa
indikator yaitu utilisasi kapasitas produksi yang turun cukup signifikan dan Indeks Tendensi
Bisnis BPS beserta seluruh faktor pembentuknya mengindikasikan adanya perlambatan. Adapun
variabel pembentuk indeks tendensi bisnis BPS yang turun adalah penggunaan kapasitas
produksi, pendapatan usaha, serta jumlah jam kerja. Selain itu terdapat indikasi jumlah
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang mengalami peningkatan.
Perlambatan sisi penawaran bervariasi lintas sektor dan lintas wilayah. Pada sektor
pertanian misalnya, perlambatan kredit pertanian di Sumatera telah terlihat sejak Mei 2008,
sementara hal peningkatan justru terjadi di region Kali Sulampua. Untuk industri pengolahan,
meski wilayah Sumatera dan Kali-Sulampua mengalami peningkatan, namun secara keseluruhan
sektor ini tumbuh relatif rendah akibat turunnya pertumbuhan sektor industri pengolahan di
Jabalnustra dan Kali-Sulampua, lihat Grafik V.19.
Tabel V.9Pertumbuhan Sektoral 2008-Q1 s.d. 2009-Q2
Pertanian 6,8 5,1 4,1 1,5 1,7 2,8 1,4 (0,3) 1,4 1,4 1,4 (0,4)Pertambangan (3,2) 0,4 (2,2) (0,1) (0,3) (2,2) 1,5 0,1 0,0 0,0 0,4 0,3Industri Pengolahan 3,7 3,7 5,0 3,1 0,8 2,0 4,1 3,8 3,6 3,6 1,6 (0,2)Listrik, Gas & Air 5,8 5,1 3,9 5,3 6,0 5,8 6,8 7,0 5,9 5,9 6,2 6,4Bangunan 9,7 8,3 7,9 7,9 5,6 5,3 7,5 7,6 7,8 7,8 6,3 6,5Perdag. Hotel & Rest. 6,6 6,1 7,5 6,0 5,2 5,6 6,9 6,3 5,7 5,8 3,9 4,3Transportasi 9,1 7,9 9,1 8,9 8,3 7,6 15,0 14,8 15,0 14,8 15,6 15,1Keuangan 13,3 10,9 12,2 7,2 5,0 5,9 4,1 4,2 4,8 4,8 4,3 4,4Jasa-jasa 7,5 7,2 7,4 (1,1) 7,9 7,1 6,3 6,1 5,9 5,9 5,5 5,8PDRB 4,9 4,9 4,8 3,9 3,1 3,2 6,3 6,1 6,2 6,2 5,2 5,1
SektorQ.1-08 Q.2-08 Q.3-08 Q.4-08 Q.1-09 Q.2-09 Q.1-08 Q.2-08 Q.3-08 Q.4-08 Q.1-09 Q.2-09
Sumatera Jakarta
Pertanian 11,1 (1,4) 0,9 0,8 4,0 4,8 5,8 5,6 4,2 0,1 1,6 3,6Pertambangan 3,7 (2,1) 3,9 5,6 2,3 7,0 8,3 7,5 6,2 11,8 8,3 9,2Industri Pengolahan 5,1 7,0 5,2 5,4 2,3 1,2 3,9 3,8 0,2 0,1 (0,1) 4,3Listrik, Gas & Air 5,2 5,2 2,8 4,9 2,7 7,3 7,8 6,8 8,3 5,8 8,5 6,6Bangunan 3,8 4,0 9,5 9,8 5,6 6,5 11,0 12,5 10,3 9,3 9,9 7,2Perdag. Hotel & Rest. 6,3 7,7 5,1 5,4 5,7 6,2 9,2 10,3 10,1 7,4 8,5 6,1Transportasi 4,1 5,3 6,0 5,6 9,9 8,6 10,4 10,6 10,7 9,5 8,1 4,4Keuangan 5,9 7,8 7,8 7,3 6,9 6,3 8,4 9,4 8,3 7,6 7,4 3,6Jasa-jasa 5,3 4,9 5,8 5,1 6,2 5,7 6,3 6,0 6,6 8,9 8,9 6,4PDRB 6,4 5,2 4,9 5,0 4,5 4,4 7,1 7,2 5,8 5,9 5,4 5,8
SektorQ.1-08 Q.2-08 Q.3-08 Q.4-08 Q.1-09 Q.2-09 Q.1-08 Q.2-08 Q.3-08 Q.4-08 Q.1-09 Q.2-09
Jabalnustra Kali-Sulampua
401Dampak Krisis Keuangan Global Terhadap Perekonomian Daerah
Perlambatan ini terindikasi dari penurunan volume impor bahan baku, kapasitas produksi,
dan pertumbuhan riil kredit sektor industri. Faktor utama yang mempengaruhi adalah
melemahnya permintaan eksternal akibat krisis perekonomian global sehingga menurunkan
kinerja sektor industri, terutama subsektor industri yang berorientasi ekspor, seperti industri
logam dasar bukan besi, industri bambu, kayu, dan rotan, serta industri minyak dan lemak,
(Lihat Grafik V.20 dan Grafik V.21).
Grafik V.20Pertumbuhan Volume Impor Bahan Baku
Grafik 1V.21Pertumbuhan Riil Kredit Sektor
Perindustrian
Sektor pertambangan membaik didorong oleh meningkatnya produksi tambang nonmigas.
Membaiknya harga komoditas tambang dan adanya kontrak jangka panjang menjadi insentif
bagi kenaikan produksi nikel, tembaga dan batu bara di Kali-Sulampua. Meskipun sektor ini
mengalami kontraksi di Sumatera akibat menurunnya produksi migas di NAD dan Riau.
Grafik V.19Pertumbuhan Riil Kredit Sektor Pertanian
%, yoy
(10,0)
(5,0)
0,0
5,0
10,0
15,0
20,0
25,0
30,0
35,0
40,0gJabalnustra gSumatera gKali-Sulampua
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 42008 2009
%, yoy
(80,0)
(60,0)
(40,0)
(20,0)
0,0
20,0
40,0
60,0
80,0
100,0
gSumatera gJabalnustra
gJakarta gKali-Sulampua
2008 20091 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4
%, yoy
(5,0)
0,0
5,0
10,0
15,0
20,0
25,0
30,0
35,0
40,0gSumatera gJabalnustra
gKali-Sulampua gJakarta
2008 20091 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4
402 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Perlambatan yang terjadi terutama disebabkan melemahnya permintaan ekspor serta
turunnya harga komoditas seperti ditunjukkan oleh perkembangan ekspor batubara, ekspor
bijih, kerak dan abu logam, serta ekspor alumunium. Selain itu, perlambatan sektor
pertambangan dan penggalian juga terkait dengan menurunnya tingkat produksi pertambangan
migas, terutama di Riau dan NAD akibat sumur-sumur pengeboran yang sudah tua.
Grafik V.22Perkembangan Harga, Produksi dan
Volume Ekspor Tembaga di Kali-Sulampua
USD/mtRibu Ton
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
Vol. Ekspor
Price Copper (rhs)
2007 2008 20091 2 3 4 5 6 7 8 9 1011121 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
7000
8000
9000
10000
Tabel V.10Perkembangan Harga dan Produksi Tembaga dan Emas Indonesia
Copper (millions of recoverable pounds)Production 404 200Sales 369 207Average realized price per pound $1,80 $3,82
Gold (thousands of recoverable ounces)Production 570 246Sales 521 251Average realized price per ounce $904 $932
Indonesia Mining OperationsIndonesia Mining OperationsIndonesia Mining OperationsIndonesia Mining OperationsIndonesia Mining OperationsFirst QuarteFirst QuarteFirst QuarteFirst QuarteFirst Quarte
20092009200920092009 20082008200820082008
403Dampak Krisis Keuangan Global Terhadap Perekonomian Daerah
Grafik V.23Perkembangan Produksi
Minyak Bumi Sumatera (Barrel)
Grafik V.24Perkembangan Volume Ekspor Batubara
Kalimantan
Dinamika output sebagaimana analisis diatas, saling berinteraksi dengan pergerakan nilai
tukar dan ekspektasi inflasi dalam mempengaruhi tingkat inflasi aktual yang terjadi. Ketiga
variabel ini secara simultan juga memiliki interaksi dengan variabel-variabel lain yang ada dalam
persamaan konsumsi, investasi, ekspor dan persamaan impor. Persamaan yang menutup dan
merekatkan setiap persamaan parsial tersebut adalah persamaan identitas permintaan agregat;
Y = C + I + G + X √ M.
Validasi model makro simultan ini dilakukan dengan membandingkan data aktual dengan
data hasil model simultan (baseline). Grafik V.25 menunjukan bahwa antara data aktual dan
hasil baseline cukup fitted, sehingga dapat disimpulkan bahwa model simultan tersebut cukup
valid untuk digunakan dalam melakukan simulasi atau proyeksi. 7
7 Uji sensitivitas atas masing-masing parameter tidak dilakukan.
0
10.000.000
20.000.000
30.000.000
40.000.000
50.000.000
60.000.000
70.000.000
2006 2007 2008Tw IV Tw I Tw II Tw III Tw IV Tw I Tw II Tw III Tw IV
Sumbagsel
SumbagtengSumbagutTotal Sumatera
25
20
15
10
5
0
Juta Ton
Sumber : DSM-BI
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 42008 2009
404 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Grafik V.25Perbandingan hasil model (baseline) dengan data aktual
Actual CONS (Baseline)
CONS
120000
160000
200000
240000
280000
320000
360000
1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008
INFY
-20
0
20
40
60
80
100Actual INFY (Baseline)
1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008
INV
40000
60000
80000
100000
120000
140000
160000Actual INV (Baseline)
1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008
M
40000
80000
120000
160000
200000
240000
280000Actual M (Baseline)
1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008
X
80000
120000
160000
200000
240000
280000
320000
360000Actual X (Baseline)
1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008
Y
250000
300000
350000
400000
450000
500000
550000
600000
650000Actual Y (Baseline)
1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008
405Dampak Krisis Keuangan Global Terhadap Perekonomian Daerah
IV.6 Simulasi
Pada tahap selanjutnya, dalam penelitian ini dilakukan simulasi untuk melihat dampak
depresiasi nilai tukar, perubahan pertumbuhan ekonomi dunia yang diwakili oleh US dan
perubahan indeks harga barang dunia yang diwakili oleh US.
Simulasi Nilai Tukar
Pada simulasi nilai tukar dibagi dalam tiga skenario depresiasi nilai tukar Rupiah terhadap
US dollar dengan prosentasi depresiasi yang berbeda. Hasil simulasi menunjukan bahwa jika
nilai tukar Rupiah depresiasi sebesar 13,5% menjadi Rp 11.000 per US dollar, konsumsi dan
investasi relatif tetap. Hal tersebut juga terjadi ketika nilai tukar terdepresiasi sampai dengan
18,6% dan 23,8% menjadi masing-masing sebesar Rp 11.500/USD dan Rp 12.000/USD. Hal
ini bisa disebabkan pengaruh nilai tukar tidak langsung berdampak pada konsumsi dan investasi.
Sementara itu, ekspor dan PDB nasional meningkat seiring dengan bertambahnya
prosentasi depresiasi nilai tukar (Tabel V.10), dimana proporsi peningkatan ekspor dan PDB
relatif sama. Sedangkan inflasi nasional yang juga terkena dampak depresiasi juga turut
meningkat namun kecil yaitu sebesar 0,1. Ketika depresiasi nilai tukar dari Rp 11.000/USD s/d
Rp 12.000/USD, kenaikan inflasi tetap hanya 0,1. Hasil ini membuktikan bahwa efek depresiasi
nilai tukar terhadap inflasi relatif kecil.
Tabel V.10Simulasi Nilai Tukar
Perubahan dibandingkan Relatif tetap Naik 0,1 Relatif tetap Turun -0,52% Naik 0.45% Naik 0,44%baseline
Skenario 1: Nilai tukar depresiasi 13.5% menjadi Rp 11.000/USD
Konsumsi Inflasi Investasi Impor Ekspor GDP
Skenario 2: Nilai tukar depresiasi 18.6% menjadi Rp 11.500/USD
Konsumsi Inflasi Investasi Impor Ekspor GDP
Perubahan dibandingkan Relatif tetap Naik 0,1 Relatif tetap Turun -0,93% Naik 0,82% Naik 0,79%baseline
Skenario 3 : Nilai tukar depresiasi 23.8% menjadi Rp 12.000/USD
Konsumsi Inflasi Investasi Impor Ekspor GDP
Perubahan dibandingkan Relatif tetap Naik 0,1 Relatif tetap Turun -1,32% Naik 1,18% Naik 1,13%baseline
406 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Sebaliknya, kinerja impor justru menurun dengan adanya depresiasi nilai tukar, dimana
penurunannya bertambah ketika proporsi depresiasi nilai tukar bertambah. Hal ini disebabkan
makin tingginya harga barang impor yang dikonversikan ke dalam rupiah. Kondisi ini juga
mengindikasikan bahwa impor lebih banyak pada barang konsumsi dan ekspor lebih banyak
barang yang berasal dari sumber daya alam bukan barang produksi manufaktur. Sehingga
ekspor yang meningkat atau menurun tidak selalu diikuti oleh peningkatan atau penurunan
impor.
Secara regional, beberapa hasil simulasi dengan depresiasi nilai tukar Rupiah terhadap
US Dollar dari 1 USD= Rp 11.000 sampai dengan 1 USD= Rp 12.000 menunjukan bahwa
pengaruh depresiasi masing-masing daerah relatif hampir sama. Tercatat penurunan nilai tukar
berdampak pada penurunan PDRB dan konsumsi, kecuali di Propinsi Sumatera Barat yang
berdampak sebaliknya. Sementara itu, dampak depresiasi Rupiah terhadap US Dollar pada
turunnya investasi dan impor di keempat propinsi (Tabel V.11). Ekspor meningkat seiring dengan
penurunan nilai tukar, kecuali Propinsi Jawa Tengah yang efeknya relatif tetap. Begitu juga
dengan dampaknya pada inflasi, ketiga propinsi lainnya menunjukan peningkatan inflasi, namun
propinsi jawa Tengah justru menurun.
Tabel V.11Hasil Simulasi Nilai Tukar Regional
PDRB Naik 0,17% Turun 0,88% Turun 0,75% Turun 3,89%Konsumsi Naik 0,05% Turun 0,72% Turun 0,51% Turun 9,33%Investasi Turun 0,33% Turun 1,83% Turun 5,23% Turun 9,87%Ekspor Naik 0,50% Naik 2,1% Relatif Tetap Naik 40,08%Impor Turun 0,31% Turun 4,24% Turun 1,13% Turun 60,3%Inflasi Naik 1,21% Naik 1,77% Turun 5,97% Naik 1,54%
PerubahanPerubahanPerubahanPerubahanPerubahan Sumatera BaratSumatera BaratSumatera BaratSumatera BaratSumatera Barat Jawa BaratJawa BaratJawa BaratJawa BaratJawa Barat Jawa TengahJawa TengahJawa TengahJawa TengahJawa Tengah Jawa TimurJawa TimurJawa TimurJawa TimurJawa Timurvariabelvariabelvariabelvariabelvariabel (Rp11.000/USD)(Rp11.000/USD)(Rp11.000/USD)(Rp11.000/USD)(Rp11.000/USD) (Rp11.000/USD)(Rp11.000/USD)(Rp11.000/USD)(Rp11.000/USD)(Rp11.000/USD) (Rp11.000/USD)(Rp11.000/USD)(Rp11.000/USD)(Rp11.000/USD)(Rp11.000/USD) (Rp12.000/USD)(Rp12.000/USD)(Rp12.000/USD)(Rp12.000/USD)(Rp12.000/USD)
Sumber: Hasil Riset masing-masing KBI
Simulasi Pelambatan Ekonomi Dunia
Dampak langsung dari krisis keuangan global yaitu turunnya pertumbuhan ekonomi
dunia, terutama US dan beberapa negara Eropa. Bahkan diperkirakan akan tumbuh negatif
pada tahun 2009. Untuk melihat dampak pelambatan ekonomi dunia ini, maka disusun scenario
turunnya pertumbuhan GDP US menjadi tiga skenario yaitu 0,5%, 0,1% dan -1%.
407Dampak Krisis Keuangan Global Terhadap Perekonomian Daerah
Tabel V.12 menunjukan hasil simulasi GDP US turun dari 1.28% menjadi 0.5% berdampak
pada turunnya ekspor dan impor, serta PDB. Sementara itu, variable makro lainnya seperti
konsumsi riil, investasi riil, dan inflasi relatif tetap. Ketika simulasi dilanjutkan dengan kondisi
pertumbuhan ekonomi US semakin menurun menjadi 0,1% dan minus 1,0%, ekspor dan
impor semakin turun. Hal tersebut juga diikuti dengan semakin menurunnya perekonomian
nasional yang ditandai dengan menurunnya PDB.
Sementara itu, hasil simulasi pada propinsi Sumatera Barat dan Sulawesi Utara dengan
menggunakan skenario perekonomian China mengalami pertumbuhan yang menurun ternyata
berdampak pada pelambatan perekonomian kedua propinsi tersebut. Hal yang sama juga terjadi
pada Propinsi Sumatera Utara dan Propinsi Kalimantan Selatan yang merasakan dampak dari
penurunan perekonomian Jepang, dimana hasil simulasi penurunan GDP Jepang berakibat
pada penurunan PDRB kedua propinsi tersebut. Sementara itu penurunan ekonomi Amerika
Serikat akibat krisi keuangan global terasa dampaknya pada Propinsi Sumatera Selatan, Propinsi
Jawa Barat, dan Propinsi Jawa Tengah (Tabel V.13).
Tabel V.12Simulasi Penurunan GDP US
Perubahan dibandingkan Relatif Tetap Relatif Tetap Relatif Tetap Turun -0,25% Turun -0,62% Turun -0,2%baseline
Skenario 1: Pertumbuhan GDP US turun dari 1,28% menjadi 0,5%
Konsumsi Inflasi Investasi Impor Ekspor GDP
Skenario 2: Pertumbuhan GDP US turun dari 1,28% menjadi 0.1%
Konsumsi Inflasi Investasi Impor Ekspor GDP
Perubahan dibandingkan Relatif Tetap Relatif Tetap Relatif Tetap Turun -0,39% Turun -0,9% Turun -0,28%baseline
Skenario 3 : Pertumbuhan GDP US turun dari 1.28% menjadi -1%
Konsumsi Inflasi Investasi Impor Ekspor GDP
Perubahan dibandingkan Relatif Tetap Relatif Tetap Relatif Tetap Turun -0,98% Turun -1,86% Turun -0,52%baseline
408 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
Simulasi Perubahan CPI Dunia
Untuk melihat dampak krisis keuangan global, penelitian ini melakukan simulasi perubahan
CPI dunia sebagai alat ukur perubahan harga barang dan jasa di dunia. Skenario yang digunakan
yaitu CPI USA turun dari 0,1% menjadi 0% dan -1,0%. Selain itu, simulasi juga menggunakan
scenario kenaikan harga barang dan jasa di USA yang diukur dalam bentuk kenaikan CPI US
dari 0,1% menjadi 1%.
Hasil simulasi pada dua skenario pertama yaitu CPI USA turun menjadi 0% dan -1%
menghasilkan kenaikan pada impor riil masing-masing sebesar 1,16% dan 1,83%. Imbas pada
kenaikan impor disebabkan penuruna harga barang dan jasa US membuat permintaan impor
meningkat. Semakin turun harga barang luar negeri yang dalam kasus ini diwakili oleh CPI US
berdampak semakin bertambahnya impor riil, dimana kenaikan impor riil akan diikuti dengan
penurunan output riil. PDB nasional turun masing-masing sebesar 0,48% dan 0,76%.
Skenario ketiga yaitu CPI USA naik menjadi 1% memiliki dampak yang berbeda yaitu
turunnya nilai impor sebesar 0,22% dan diikuti kenaikan output riil sebesar 0,09%. Harga
barang luar negeri yang tinggi akan mengurangi permintaan impor sehingga nilai impor akan
berkurang. Hal tersebut akan diikuti oleh kenaikan output riil, dimana scenario ketiga mencatat
kenaikan PDB riil sebesar 0,09%. Bila dilihat dari perubahan (naik/turun) impor sebagai respon
dari perubahan harga barang luar negeri (turun/naik), terdapat perbedaan prosentasi respon
impor saat naik dan turun.
Tabel V.13Hasil Simulasi Pelambatan Ekonomi Negara Lain
PDRB Turun 0,74% Turun 0,03% Turun 1,27% Turun 1,47% Turun 5,61% Turun 0,69% Turun5,01%Konsumsi Turun 0,18% Turun 0,01% Turun 0,77% Turun 1,21% Turun 3,82% Relatif Tetap Relatif TetapInvestasi Turun 9,20% Turun 0,004% Turun 0,22% Turun 1,36% Turun 4,03% Turun 0,64% Relatif TetapEkspor Turun 8,06% Turun 0,1% Turun 2,42% Turun 4,19% Turun 12,15% Turun 1,49% Turun9,75%Impor Turun 25,25% Turun 0,04% Turun 1,03% Turun 4,24% Turun 8,27% Turun 0,65% Relatif TetapInflasi - Turun 0,20% Turun 2,84% Turun 0,09% Turun77,94% Turun0,76% Relatif Tetap
Perubahanvariabel
Sumber: Hasil Riset masing-masing KBI
GDP Japanmenurun(Sumut)
GDP Chinamenurun(Sumbar)
GDP USAmenurun(Sumsel)
GDP USAmenurun
(Jabar)
GDP USAmenurun(Jateng)
GDP Japanmenurun(Kalsel)
GDP Chinamenurun
(Sulut)
409Dampak Krisis Keuangan Global Terhadap Perekonomian Daerah
Prosentasi penurunan impor ketika harga naik ternyata lebih kecil dibandingkan penurunan
impor ketika harga turun. Jadi meskipun harga naik, impor hanya sedikit menurun. Hal ini
menunjukan bahwa impor Indonesia lebih banyak merupakan barang yang sangat dibutuhkan
seperti bahan baku.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan hal-hal sebagai
berikut:
1. Dampak krisis keuangan global berpengaruh pada perekonomian nasional dan daerah melalui
jalur perdagangan dengan luar negeri (ekspor-impor). Kinerja ekspor baik nasional maupun
daerah menurun pada akhir tahun 2008 membuktikan efek dari krisis keuangan global
langsung terasa dampaknya. Turunnya kinerja ekspor berdampak langsung pada penurunan
output nasional dan daerah. Terlihat pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah sedikit
menurun dari perkiraan semula.
2. Sementara itu, konsumsi yang sedikit menurun tetap menjadi penopang utama pertumbuhan
ekonomi. Hal ini terjadi baik dalam skala nasional maupun daerah. Tingginya jumlah populasi
turut berperan dalam mempertahankan tingginya konsumsi di Indonesia. Selain itu, konsumsi
sebagian besar dipengaruhi oleh faktor domestik seperti disposable income baik dalam
skala nasional maupun regional.
Tabel V.14Simulasi Perubahan CPI USA
Perubahan dibandingkan Relatif Tetap Relatif Tetap Relatif Tetap Naik 1,16% Relatif Tetap Turun -0,48%baseline
Skenario 1: Pertumbuhan CPI USA turun dari 0,1% menjadi 0%
Konsumsi Inflasi Investasi Impor Ekspor GDP
Skenario 2: Pertumbuhan CPI USA turun dari 0,1% menjadi -1%
Konsumsi Inflasi Investasi Impor Ekspor GDP
Perubahan dibandingkan Relatif Tetap Relatif Tetap Relatif Tetap Naik 1,83% Relatif Tetap Turun -0,76%baseline
Skenario 3 : Pertumbuhan CPI USA naik dari 0,1% menjadi 1%
Konsumsi Inflasi Investasi Impor Ekspor GDP
Perubahan dibandingkan Relatif Tetap Relatif Tetap Relatif Tetap Turun -0,22% Relatif Tetap Naik 0,09%baseline
410 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
3. Dari hasil simulasi diperoleh bahwa konsumsi dan investasi relatif tetap nilai tukar rupiah
terdepresiasi terhadap US dollar. Sementara itu ekspor dan impor langsung merespon
perubahan nilai tukar. Inflasi meningkat ketika rupiah terdepresiasi, namun dengan
peningkatan yang kecil mengingat efek passtrough nilai tukar terhadap inflasi relatif kecil.
4. Bila terjadi pelambatan ekonomi dunia dengan mensimulasikan penurunan GDP US dan
perubahan indeks harga barang dunia yang diwakili CPI US, perekonomian dalam negeri
terkena imbasnya. Dalam skala nasional, ekspor dan impor langsung merespon perubahan
tersebut. Hal ini disebabkan turunnya perekonomian dunia menyebabkan turunnya
permintaan ekspor. Sebaliknya bila harga barang luar negeri turun, maka permintaan impor
akan meningkat.
Dari kesimpulan yang disampaikan sebelumnya yang intinya krisis keuangan global
berdampak pada perekonomian nasional dan regional, dimana dampak tersebut sulit untuk
dihindari. Namun demikian, beberapa saran dari hasil penelitian ini untuk dapat meminimalisir
dampak tersebut sebagai berikut:
1. Pemerintah dapat berperan dengan peningkatan belanja pemerintah, dimana kegiatan ini
dapat mendorong peningkatan output mengingat secara teoritis belanja pemerintah (G)
berperan langsung dalam pembentukan PDB. Hal tersebut juga dapat dilakukan oleh
pemerintah daerah, sehingga dapat mendorong perekonomian regional.
2. Selain itu, belanja pemerintah baik di pusat dan di daerah sebaiknya dalam bentuk kegiatan
yang menciptakan lapangan kerja. Misalnya, pembangunan jalan, jembatan, dan infrastruktur
lainnya akan menciptakan suatu lapangan kerja bagi penduduk di daerah tersebut. Hal ini
dapat meningkatkan daya beli masyarakat dan juga menampung tenaga kerja yang
menganggur akibat efisiensi yang dilakukan beberapa perusahaan. Pembangunan
infrastruktur juga dapat mendorong minat investor untuk berinvestasi.
3. Peran Bank Indonesia sebagai bank sentral dapat berupa pelonggaran kebijakan moneter
dengan menurunkan BI rate yang menjadi acuan suku bunga bagi perbankan. Dengan
turunnya suku bunga, termasuk suku bunga kredit, diharapkan konsumsi dan investasi
dapat meningkat. Hal ini akan mendorong roda perekonomian, dimana konsumsi yang
tinggi akan mendorong produksi barang juga meningkat. Selanjutnya, sektor riil yang tumbuh
akan menarik minat investor untuk meningkatkan investasi mereka.
411Dampak Krisis Keuangan Global Terhadap Perekonomian Daerah
Ehrmann, Michael, L. Gambacorta, J. Martinez-Pages, P. Sevestre, and A. Worms,∆Financial
System and The Role of Banks in Monetary Policy Transmission in The Euro Area∆, Working
Paper European Central Bank, December 2001.
Enders, Walter, Applied Econometric Time Series, Wiley, 2004
Friedman, Milton, A Theory of the Consumption Function, First Edition, Princeton University
Press, 1957
Gujarati, Damodar, Basic Econometrics, Fourth Edition, West Point Military Academy, 2003
Hamilton, James D., Time Series Analysis, Princeton University Press, 1994
Hallwood, C. Paul and MacDonald, Ronald,International Money and Finance, Third Edition,
Blackwell Publishers Inc, 2000
Mankiw, N. Gregory, Macroeconomics, Fifth Edition, Worth Publishers, 2003
Mojon, B, ≈Financial Stucture and the Ineterest Rate Channel of ECB Monetary Policy∆, ECB
Working Paper No. 40, 2000.
Patterson, Kerry, An Introduction to Applied Econometrics: A Time Series Approach, First Edition,
Palgrave, 2000
Romer, David, Advanced Macroeconomic, Second Edition, McGraw-Hill, 2001, p.472.
Stiroh, Kevin J., ≈Investment and Productivity Growth: a Survey from the Neoclassical and New
Growth Perspectives∆, Research Publications Program Industri Canada, Occasional Paper
Number 24, June 2000
DAFTAR PUSTAKA
412 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
halaman ini sengaja dikosongkan
PETUNJUK PENULISAN
1. Naskah harus merupakan karya asli penulis (perorangan, kelompok atau institusi) yang tidak
melanggar hak cipta. Naskah yang dikirimkan, belum pernah diterbitkan dan tidak sedang
dikirimkan ke penerbit lain pada waktu yang bersamaan. Hak cipta atas naskah yang diterima,
TETAP menjadi hak penulis.
2. Setiap naskah yang disetujui untuk diterbitkan, akan mendapatkan kompensasi finansial
sebesar Rp 2.500.000,-.
3. Naskah dapat dikirimkan dalam bentuk softcopy (file). Sangat disarankan untuk mengirimkan
softcopy anda ke:
paper.bemp@gmail.com (Cc. to: tsubandoro@bi.go.id.)
Jika tidak memungkinkan, file tersebut dapat disimpan dalam disket atau CD dan dikirimkan
melalui pos ke alamat redaksi berikut:
BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN
Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Bank Indonesia
Gedung B, Lt. 20, JI. M. H. Thamrin No.2
Jakarta Pusat, INDONESIA Telpon: 62-21-3818202, Fax: 62-21-3800394
4. Naskah dibatasi.+ 25 halaman berukuran A4, spasi satu (1), font Times New Roman dengan
ukuran font 12.
5. Persamaan matematis dan simbol harap ditulis dengan mempergunakan Microsoft Equation.
6. Setiap naskah harus disertai abstraksi, maksimal satu (1) halaman ukuran A4. Untuk naskah
yang ditulis dalam bahasa Indonesia, abstraksi-nya ditulis dalam Bahasa Inggris, dan
sebaliknya.
7. Naskah harus disertai dengan kata kunci (Keyword) dan dua digit nomor Klasifikasi Journal
of Economic Literature (JEL). Lihat klasifikasi JEL pada, http:// www.aeaweb.org/journal/
jel_class_system.html.
8. Naskah ditulis dengan penyusunan BAB secara konsisten sebagai berikut,
414 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Januari 2010
I. JUDUL BABI. JUDUL BABI. JUDUL BABI. JUDUL BABI. JUDUL BAB
IIIII.1. Sub Bab.1. Sub Bab.1. Sub Bab.1. Sub Bab.1. Sub Bab
IIIII.1.1. Sub Sub Bab.1.1. Sub Sub Bab.1.1. Sub Sub Bab.1.1. Sub Sub Bab.1.1. Sub Sub Bab
9. Rujukan dibuat dalam footnote (catatan kaki) dan bukan endnote.
10.Sistem referensi dibuat mengikuti aturan berikut,
a.a.a.a.a. Publikasi buku:Publikasi buku:Publikasi buku:Publikasi buku:Publikasi buku:
John E. Hanke dan dan dan dan dan Arthur G. Reitsch, (1940), , (1940), , (1940), , (1940), , (1940), Business ForecastingBusiness ForecastingBusiness ForecastingBusiness ForecastingBusiness Forecasting, PrenticeHall, New, PrenticeHall, New, PrenticeHall, New, PrenticeHall, New, PrenticeHall, New
Jersey.Jersey.Jersey.Jersey.Jersey.
b.b.b.b.b. Artikel dalam jurnal:Artikel dalam jurnal:Artikel dalam jurnal:Artikel dalam jurnal:Artikel dalam jurnal:
Rangazas, Peter. ≈Schooling and Economic Growth: A King-Rebelo Experiment with ≈Schooling and Economic Growth: A King-Rebelo Experiment with ≈Schooling and Economic Growth: A King-Rebelo Experiment with ≈Schooling and Economic Growth: A King-Rebelo Experiment with ≈Schooling and Economic Growth: A King-Rebelo Experiment with
Human Capital∆, Human Capital∆, Human Capital∆, Human Capital∆, Human Capital∆, Journal of Monetary EconomicsJournal of Monetary EconomicsJournal of Monetary EconomicsJournal of Monetary EconomicsJournal of Monetary Economics, Oktober 2000,46(2), hal. 397-416., Oktober 2000,46(2), hal. 397-416., Oktober 2000,46(2), hal. 397-416., Oktober 2000,46(2), hal. 397-416., Oktober 2000,46(2), hal. 397-416.
c.c.c.c.c. Artikel dalam buku yang diedit orang lain: Artikel dalam buku yang diedit orang lain: Artikel dalam buku yang diedit orang lain: Artikel dalam buku yang diedit orang lain: Artikel dalam buku yang diedit orang lain: Frankel, Jeffrey A. dan dan dan dan dan Rose, Andrew K.
≈Empirical Research on Nominal Exchange Rates∆, dalam Gene Grossman dan Kenneth≈Empirical Research on Nominal Exchange Rates∆, dalam Gene Grossman dan Kenneth≈Empirical Research on Nominal Exchange Rates∆, dalam Gene Grossman dan Kenneth≈Empirical Research on Nominal Exchange Rates∆, dalam Gene Grossman dan Kenneth≈Empirical Research on Nominal Exchange Rates∆, dalam Gene Grossman dan Kenneth
Rogoff, eds., Rogoff, eds., Rogoff, eds., Rogoff, eds., Rogoff, eds., Handbook of International EconomicsHandbook of International EconomicsHandbook of International EconomicsHandbook of International EconomicsHandbook of International Economics. Amsterdam: North-Holland, 1995,. Amsterdam: North-Holland, 1995,. Amsterdam: North-Holland, 1995,. Amsterdam: North-Holland, 1995,. Amsterdam: North-Holland, 1995,
hal. 397-416.hal. 397-416.hal. 397-416.hal. 397-416.hal. 397-416.
d.d.d.d.d. Kertas kerja Kertas kerja Kertas kerja Kertas kerja Kertas kerja (working papers)(working papers)(working papers)(working papers)(working papers):::::
Kremer, Michael dan dan dan dan dan Chen, Daniel. ≈Income Distribution Dynamics with Endogenous. ≈Income Distribution Dynamics with Endogenous. ≈Income Distribution Dynamics with Endogenous. ≈Income Distribution Dynamics with Endogenous. ≈Income Distribution Dynamics with Endogenous
Fertility∆. National Bureau of Economic Research (Cambridge, MA) Working PaperFertility∆. National Bureau of Economic Research (Cambridge, MA) Working PaperFertility∆. National Bureau of Economic Research (Cambridge, MA) Working PaperFertility∆. National Bureau of Economic Research (Cambridge, MA) Working PaperFertility∆. National Bureau of Economic Research (Cambridge, MA) Working Paper
No.7530, 2000.No.7530, 2000.No.7530, 2000.No.7530, 2000.No.7530, 2000.
e.e.e.e.e. Mimeo dan karya tak dipublikasikan: Mimeo dan karya tak dipublikasikan: Mimeo dan karya tak dipublikasikan: Mimeo dan karya tak dipublikasikan: Mimeo dan karya tak dipublikasikan: Knowles, John. ≈Can Parental Decision Explain. ≈Can Parental Decision Explain. ≈Can Parental Decision Explain. ≈Can Parental Decision Explain. ≈Can Parental Decision Explain
U.S. Income Inequality?∆, Mimeo, University of Pennsylvania, 1999.U.S. Income Inequality?∆, Mimeo, University of Pennsylvania, 1999.U.S. Income Inequality?∆, Mimeo, University of Pennsylvania, 1999.U.S. Income Inequality?∆, Mimeo, University of Pennsylvania, 1999.U.S. Income Inequality?∆, Mimeo, University of Pennsylvania, 1999.
f.f.f.f.f. Artikel dari situs WEB dan bentuk elektronik lainnya: Artikel dari situs WEB dan bentuk elektronik lainnya: Artikel dari situs WEB dan bentuk elektronik lainnya: Artikel dari situs WEB dan bentuk elektronik lainnya: Artikel dari situs WEB dan bentuk elektronik lainnya: Summers, Robert dan dan dan dan dan Heston, Alan, Alan, Alan, Alan, Alan
W. ≈Penn World Table, Version 5.6∆∆http:// pwtecon.unpenn.edu/, 1997.W. ≈Penn World Table, Version 5.6∆∆http:// pwtecon.unpenn.edu/, 1997.W. ≈Penn World Table, Version 5.6∆∆http:// pwtecon.unpenn.edu/, 1997.W. ≈Penn World Table, Version 5.6∆∆http:// pwtecon.unpenn.edu/, 1997.W. ≈Penn World Table, Version 5.6∆∆http:// pwtecon.unpenn.edu/, 1997.
g.g.g.g.g. Artikel di koran, majalah dan periodicals sejenis: Artikel di koran, majalah dan periodicals sejenis: Artikel di koran, majalah dan periodicals sejenis: Artikel di koran, majalah dan periodicals sejenis: Artikel di koran, majalah dan periodicals sejenis: Begley, Sharon. ≈Killed by Kindness∆, ≈Killed by Kindness∆, ≈Killed by Kindness∆, ≈Killed by Kindness∆, ≈Killed by Kindness∆,
NewsweekNewsweekNewsweekNewsweekNewsweek, April 12, 1993, hal. 50-56., April 12, 1993, hal. 50-56., April 12, 1993, hal. 50-56., April 12, 1993, hal. 50-56., April 12, 1993, hal. 50-56.
11.Naskah harus disertai dengan biodata penulis, lengkap dengan alamat, telepon, rekening
Bank dan e-mail yang dapat dihubungi. Disarankan untuk menulis biodata dalam bentuk
CV (curriculum vitae) lengkap.