Post on 18-Jan-2016
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) atau dalam bahasa umumnya dinyatakan sebagai
pembesaran prostat jinak yaitu suatu penyakit yang biasa terjadi. Ini dilihat dari frekuensi
terjadinya BPH di dunia.
Di Indonesia penyakit pembesaran prostat jinak menjadi urutan kedua setelah penyakit
batu saluran kemih dan jika dilihat secara umumnya diperkirakan hampir 50% pria Indonesia
yang berusia di atas 50 tahun. Dengan kini usia harapan hidup mencapai 65 tahun ditemukan
menderita penyakit BPH. Selanjutnya 5% pria Indonesia sudah masuk dalam lingkungan usia
di atas 60 tahun. menurut (WHO,2008) untuk tahun2005, insidensi terjadinya kanker prostat
adalah sebesar 12 orang setiap 100.000 orang yakni yang keempat setelah kanker saluran
napas atas, saluran pencernaan, dan hati.
Kanker prostat juga merupakan salah satu penyakit prostat yang lazim berlaku dan
lebih ganas dibandingkan dengan BPH yang hanya melibatkan pembesaran jinak daripada
prostat.Kenyataan ini adalah berdasarkan jumlah dan persentase terjadinya kanker prostat di
dunia secara umum dan Indonesia secara khususnya.
Pengobatan yang dilakukan untuk hipertropi prostat adalah tindakan pembedahan. Saat
ini tehnik pembedahan yang biasanya dilakukan pada pasien adalah Transurethra Resection
(TUR), yaitu tindakan reseksi kelenjar prostat dengan kontrol endoskopi melalui uretra.
Permasalahan pada pasien pasca TUR adalah perdarahan.
Maka peran perawat sangat diperlukan dalam memberikan asuhan keperawatan pada
pasien baik sebelum dan sesudah dilakukan tindakan TUR dengan tepat serta menyeluruh
meliputi tindakan preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif.
1.2 Manfaat Penulisan
1.3 Tujuan Penulisan
1.4 Rumusan Masalah
1. Apa itu Beningn Prostatica Hyperplasia (BPH)?
2. Bagaimana anatomi dan fisiologi sistem reproduksi pria?
3. Faktor-faktor apa sajakah yang dapat menimbulkan BPH?
4. Bagaimana proses terjadinya penyakit BPH?
5. Apa saja tanda dan gejala yang timbul pada penderita BPH?
6. Apa saja tes diagnostik yang dilakukan untuk mendiagnosa BPH?
7. Penatalaksanaan medis apa saja dilakukan untuk mengatasi BPH?
8. Apa saja komplikasi yang dapat timbul jika BPH tidak ditangani?
9. Apa saja pengkajian dan asuhan keperawatan kepada klien dengan BPH?
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1 Definisi
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) merupakan gangguan yang terjadi karena
pertumbuhan prostat menghalangi uretra sehingga menimbulkan hambatan pada saluran
kemih bawah, infeksi saluran kemih, hematuria, serta menurunkan fungsi saluran kemih
bagian atas. (Black & Hawks, 2001)
BPH (Benign Prostatic Hypertrophy) adalah pembesaran kelenjar prostat yang menuju ke
dalam kandung kemih dan mengakibatkan obstruksi pada saluran urine. Kondisi patologis ini
lebih sering terjadi pada laki-laki berusia setengah baya, lansia dan di atas usia 60 tahun.
(Brunner and Suddarth, 2002)
Benigna Prostat Hiperplasia(BPH) adalah pembesaran kelenjar prostat. Hal ini sering
terjadi pada kesehatan reproduksi laki-laki. BPH terjadi sekitar 50% dari laki – laki yang
berumur 50tahun dan hampir 90% dialami oleh laki-laki dengan usia 80tahun. Sekitar 25%
laki-laki baru menjalani treatment pada usia 80tahun . (Lewis, 2011)
2.2 Anatomi-Fisiologi
Struktur reproduksi pria terdiri dari penis, testis dalam kantong scrotum, sistem
duktus yang terdiri dari epididimis, vas deferens, duktus ejakulatorius, dan uretra. Selain
itu reproduksi pria juga memiliki glandula asesoria yang terdiri dari vesikula seminalis,
kelenjar prostat, dan kelenjar bulbouretralis.
Testis bagian dalam terbagi atas lobulus yang terdiri dari tubulus seminiferus, sel-
sel Sertoli, dan sel-sel Leydig. Produksi sperma/sperma-togenesis terjadi pada tubulus
seminiferus. Sel-sel Leydig mensekresi testosteron. Tiap-tiap testis terdapat duktus
melingkar yang disebut epididimis, dimana bagian kepalanya berhubungan dengan
duktus seminiferus (duktus untuk aliran keluar) dari testis, dan bagian ekornya terus
berlanjut ke vas deferens.
Vas deferens adalah duktus ekskretorius testis yang membentang hingga ke
duktus vesikula seminalis, kemudian bergabung membentuk duktus ejakulatorius yang
selanjutnya bergabung dengan uretra yang merupakan saluran keluar sperma maupun
urine. Kelenjar asesoria juga mempunyai hubungan dengan sistem duktus.
Kelenjar prostate adalah suatu kelenjar fibro muscular yang melingkar Bledder
neck dan bagian proksimal uretra. Berat kelenjar prostat pada orang dewasa kira-kira
20 gram dengan ukuran rata-rata :panjang 3,4 cm, lebar 4,4 cm, tebal 2,6 cm. Fungsi
prostat yaitu menambah cairan alkalis pada cairan seminalis yang berguna untuk
melindungi spermatozoa terhadap sifat asam yang terdapat pada uretra dan vagina.
Secara embriologis terdiri dari 5 lobus yaitu lobus medius 1 buah, lobus anterior 1
buah, lobus posterior 1 buah, lobus lateral 2 buah. Selama perkembangannya lobus
medius, lobus anterior dan lobus posterior akan menjadi satu disebut lobus medius. Pada
penampang lobus medius kadang-kadang tidak tampak karena terlalu kecil dan lobus ini
tampak homogen berwarna abu-abu, dengan kista kecil berisi cairan seperti susu, kista
ini disebut kelenjar prostat.
Pada potongan melintang uretra pada posterior kelenjar prostat terdiri dari:
a. Kapsul anatomis.
Jaringan stroma yang terdiri dari jaringan fibrosa dan jaringan muskuler.
Jaringankelenjar yang terbagi atas 3 kelompok bagian :
1. Bagian luar disebut kelenjar sebenarnya.
2.Bagian tengah disebut kelenjar sub mukosal, lapisan ini disebut juga sebagai
adenomatus zone.
3. Di sekitar uretra disebut periuretral gland. Saluran keluar dari ketiga kelenjar tersebut
bersama dengan saluran dari vesika seminalis bersatu membentuk duktus ejakulatoris
komunis yang bermuara ke dalam uretra.
Menurut Mc Neal, prostat dibagi atas : zona perifer, zona sentral, zona transisional,
segmen anterior dan zona spingter preprostat. Prostat normal terdiri dari 50 lobulus
kelenjar.Duktus kelenjar-kelenjar prostat ini lebih kurang 20 buah, secara terpisah
bermuara pada uretra prostatika, dibagian lateral verumontanum, kelenjar-kelenjar ini
dilapisi oleh selaput epitel torak dan bagian basal terdapat sel-sel kuboid.
Gambar : Prostat Normal dan Pembesaran Prostat
Pada laki-laki remaja prostat belum teraba pada colok dubur, sedangkan pada orang
dewasa sedikit teraba dan pada orang tua biasanya mudah teraba. Sedangkan pada
penampang tonjolan pada proses hiperplasi prostat, jaringan prostat masih baik.
Pertambahan unsur kelenjar menghasilkan warna kuning kemerahan, konsisitensi lunak
dan berbatas jelas dengan jaringan prostat yang terdesak berwarna putih ke abu-abuan
dan padat. Apabila tonjolan itu ditekan, keluar cairan seperti susu. Apabila jaringan
fibromuskuler yang bertambah tonjolan berwarna abu-abu padat dan tidak
mengeluarkan cairan sehingga batas tidak jelas. Tonjolan ini dapat menekan uretra dari
lateral sehingga lumen uretra menyerupai celah. Terkadang juga penonjolan ini dapat
menutupi lumen uretra, tetapi fibrosis jaringan kelenjar yang berangsur-angsur
mendesak prostat dan kontraksi dari vesika yang dapat mengakibatkan peradangan.
2.3 Etiologi
- Penyebab pasti tidak diketahui, dapat juga disebabkan dari perubahan hormone
endokrin akbibat proses penuaan.
- Terlalu banyak akumulasi hormon dehidrotestosteron di kelenjar prostat.
- Penurunan hormone testosterone karena proses penuaan
- Faktor yang mempengaruhi adalah :
Usia (penuaan), di atas 50 tahun.
Obesitas dan aktivitas fisik yang berlebihan
merokok (black hal 874)
Efek dari peradangan kronis pada kelenjar prostat.
Factor keturunan
Stimulasi rangsangan estrogen.
Akumulasi berlebihan dari DHT.
2.4 Patofisiologi
2.5 Pembesaran kelenjar prostat terjadi secara abnormal dengan adanya penambahan
ukuran sel (hipertrofi). Lobus yang mengalami hipertrofi akan menyumbat kolum
vesikal atau uretra prostatik. Dengan demikian akan menyebabkan pengosongan
urine inkomplet atau retensi urine. Akibatnya terjadi dilatasi ureter atau
hydroureter dan ginjal (hydronefrosis) secara bertahap. Infeksi saluran kemih/UTI
dapat terjadi akibat statis urine, dimana sebagian urine tetap berada dalam saluran
kemih dan berfungsi sebagai media untuk organisme inefektif. (Brunner dan
Sudarth, 2002)
2.6 Manifestasi klinis
Gejala BPH dibedakan menjadi 2, yaitu obstruksi dan iritasi.
a. Obstruksi disebabkan oleh pembesaran prostat termasuk
b. Iritasi dapat menyebabkan perubahan pada malam hari, disuria, bladder pain, nokturia,
inkontinensia, hematuria, pallor
2.7 Tes Diagnostik
a. Cek darah lengkap, untuk mengevaluasi adanya infeksi dan anemia dalam
hematuria
b. Blood Urea Nitrogen (BUN) , untuk mengetahui tingkat serum kreatinin dan
mengevaluasi fungsi renal
c. A Prostate-specific Antigen (PSA), jika terkena kanker prostat dapat diketahui
dari tingkat keasaman fosfat.
d. TRUS (Transrectal Ultrasound Antigen) untuk mendeteksi adanya kanker
prostat, aliran urine, dan systoscopy
e. Cystoureroscopy : untuk mengevaluasi obstruksi leher kandung kemih
f. Pemeriksaan Trans Abdominal Ultra Sound (TAUS) dapat mendeteksi
adanya hidronefrosis ataupun kerusakan ginjal akibat obstruksi BPH yang
lama.
2.8 Komplikasi
Pre Operasi
a. Pyelonefritis
b. Hydronefritis
Terjadi karena sumbatan aliran urine sehingga terjadi aliran balik urine ke ureter
dan ginjal.
c. Uremia
d. UTI ( Urinary Tract Infection )
Dapat terjadi oleh karena statis urine dalam kandung kemih yang menjadikan PH
urine alkali sehinga menjadi subur untuk pertumbuhan kuman
e. Gagal ginjal
Akibat obstruksi urine yang lama dan refluk, pelvis dan kaliks ginjal menjadi penuh
dengan urine dan jaringan ginjal menjadi atropi dan menyebebkan insufisiensi ginjal.
Post Operasi
a. Perdarahan
Perdarahan dapat terjadi dari semua tipe pembedahan, tetapi hal ini merupakan
masalah yang paling sering terjadi pada TURP. Perdarahan vena selama awal
periode post operasi sering terjadi. Jika diperlukan, hal ini dapat ditangani dengan
pemasangan traksi pada kateter selama 6 sampai 8 jam post operasi
b. Infeksi
c. Inkontinensia urine
Biasanya terjadi disebabkan oleh karena trauma pada springter urinarius.
Komplikasi ini dapat diturunkan dengan melakukan perineal exercise untuk
meningkatkan kontrol otot (seperti, kegel exercise)
d. Gangguan ereksi dan disfungsi seksual
Karena adanya trauma pembedahan pada leher kandung kemih. Tidak ada rasa
untuk ejakulasi retrograde. Penjelasan tentang kondisi ini kepada klien dibutuhkan
agar klien tidak merasa takut dan cemas dengan hal ini. Kondisi ini menyebabkan
sterilitas karena sperma diejakulasikan ke dalam kandung kemih.
e. Obstruksi kateter
Terjadi karena adanya pembentukan bekuan darah sehingga kateter dapat
tersumbat dan mengakibatkan retensi urine.
f. Epididimitis
Terjadi karena penyebaran infeksi dari prostatic urethra melalui vasdeferens ke
dalam epdidimis.
g. Penatalaksanaan Medis
a. Konservatif
Therapi obat hormonal untuk mengurangi hiperplasia jaringan dengan
menurunkan endogren.
- Finasteride (proscar) block, enzim 5α – reduktase.
- Penyekat reseptor alfa adrenergik, misalnya minipres, cardura, hytrin dan
flamox untuk melemaskan otot halus kolum kandung kemih dan prostat.
Laser Prostaectomy digunakan untuk alternative lain agar tidak dilakukan
pembedahan digunakan untuk memotong jaringan prostat.
b. Pembedahan
Macam-macam pembedahan
1) TUIP (Transurethral incision of the Prostate)
Yaitu dilakukan anastesi local pada pembedahan ini. Pembedahan ini dilakukan
pada pria yang baru mengalami gejala awal dan mengurangi tekanan pada ureter.
2) Transuretral microwave thermotherapy (TUMT): memanaskan dan
menggumpalkan jaringan prostat melalui probe transuretal. Kateter kemih dapat
dibiarkan di tempat selama satu minggu setelah perawatan untuk memfasilitasi
lewatnya jaringan nekrotik dan mencegah retensi urin.
3) Teansuretral nedlle ablation (TUNA): menempatkan jarum frekuensi radio
langsung ke prostat untuk membekukan daerah jaringan spesifik hematuria.
4) Transuretral Resection of the prostate (TURP): suatu operasi pengangkatan
jaringan prostat lewat uretra menggunakan resektoskop. TURP merupakan
operasi tertutup tanpa insisi serta tidak mempunyai efek merugikan terhadap
potensi kesembuhan. Operasi ini dilakukan pada prostat yang mengalami
pembesaran antara 30-60 gram dan kemudian dilakukan reseksi.
Setelah dilakukan TURP, dipasang kateter folly 3 saluran yang dilengkapi
balon 30 ml, untuk memperlancar pembuangan gumpalan darah dari kandung
kemih. Irigasi kandung kemih yang konstan dilakukan setelah 24 jam bila tidak
keluar bekuan darah lagi. Kemudian kateter dibilas tiap 4 jam sampai cairan
jernih. Kateter diangkat setelah 3-5 hari setelah operasi dan pasien harus sudah
dapat berkemih dengan lancar. TURP masih merupakan standar emas.
a. Indikasi dan kontraindikasi TURP
Secara umum indikasi untuk metode TURP adalah pasien dengan gejala sumbatan
yang menetap, progresif akibat pembesaran prostat, atau tidak dapat diobati dengan terapi
obat lagi.Indikasi TURP ialah gejala-gejala dari sedang sampai berat, volume prostat
kurang dari 60 gram dan pasien cukup sehat untuk menjalani operasi.
Menurut Agency for Health Care Policy and Research guidelines, indikasi
absolute pembedahan pada BPH adalah sebagai berikut :
1. Retensi ur ine yang berulang.
2. Infeksi saluran kemih rekuren akibat pembesaran prostat.
3. hematuria berulang.
4. Insufisiensi ginjal akibat obstruksi saluran kemih pada kandung kemih.
5. Kerusakan permanen kandung kemih atau kelemahan kandung kemih.
6. Divertikulum yang besar pada kandung kemih yang menyebabkan
pengosongankandung kemih terganggu akibat pembesaran prostat.
Kontraindikasi TURP
1. Kemampuan klien menjalani bedah dan anastesi lumbal
2. Status kardiopulmoner yang tidak stabil, seperti baru mengalami infark miokard dan
dipasang stent arteri koroner
3. Riwayat kelainan perdarahan yang sulit disembuhkan
4. Klien dengan disfungsi sfingter uretra eksterna pada penderita miastenia gravis, fraktur
pelvis mayor
5. Klien dengan kanker prostat yang baru menjalani radioterapidan kemoterapi
b. Komplikasi TURP
1. Kesulitan berkemih yang temporer, efek anastesi dapat mengurangi sensasi ingin
berkemih setelah operasi. Hal ini dapat menyebabkan klien secara temporer kesulitan
dalam berkemih
2. Infeksi saluran kemih bawah, luka insisi akibat TURP menyebabkan jaringan sekitar
terpapar langsung dengan urine atau kateter, dan dapat menyebabkan infeksi saluran
kemih bagian bawah
3. Rendahnya natrium dalam darah, merupakan komplikasi yang jarang terjadi, namun
dapat menjadi berbahaya, sering juga disebut dengan syndrome TUR (Transurethral
Resection). Hal ini terjadi ketika tubuh mengabsorbsi natrium yang disunakan untuk
membilas luka reseksi TURP.
4. Perdarah yang berlebihan pada urin (hematuria) , aliran urin, mengejan, jaringan
reseksi yang masuk kedalam kandung kemih dapat menyebabkan tercampurnya darah
dengan urin
5. Kesulitan menahan untuk berkemih, sfingter urin internus akan hilang setelah TURP,
klien hanya mengandalkan sfingter urin eksternus
6. Disfungsi seksual, belum diketahui jelas penyebabnya, namun diderita krang lebih
70% klien pasca TURP. Hal ini dapat dikaitkan dengan fungsi prostat itu sendiri untuk
mengalirkan cairan yang dikeluarkan bersama dengan air mani saat ejakulasi
c. Persiapan Klien TURP:
1. Bila seorang perokok maka harus berhenti merokok beberapa minggu sebelum operasi,
untuk menghindari gangguan proses penyembuhan
2. Bila klien menggunakan obat seperti aspirin dan ibuprofen maka harus berhenti paling
tidak 2 minggu sebelum operasi, hal berhubungan dengan bahwa obat tersebut
mempengaruhi pembekuan darah
3. Beritahu tentang anastesi lumbal, dan posisi litotomi saat bedah berlangsung
4. Riwayat penyakit harus kembali diinformasikan kepada bedah urologi seperti hipertensi,
diabetes, anemia, pernah mengalami operasi apa sebelumnya
5. Informasikan kepada bedah urologi tentang obat dan suplemen yang di konsumsi, baik
yang ada resepnya dari dokter atau non-resep.
6. Pemeriksaan diagnostik (CBC, coagulation profile, urinalisis, Xray, CT abdomen)
7. Puasa paling tidak 8 jam sebelum operasi dilakukan.
Hal-hal yang perlu diberitahu pada klien pasca TURP dintaranya:
1. Ingatkan klien untuk melakukan mobilisasi awal setelah operasi
2. Tarik napas dalam dalam penanganan Nyeri setelah operasi
3. Beri tahu perawat bila keberadaaan kateter berubah setelah operasi
4. Melakukan aktivitas sehari-hari secara bertahap dan kembali keaktivitas normal
setelah 4-6 minggu.
5. Menghindari mengangakat benda berat dan aktivitas sexual setelah 3-4 minggu
6. Menggunkan obat sesuai dengan resep dari dokter terutama menghabiskan antibiotik.
h. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
Pre Operasi
a. Pola persepsi – Pemeliharaan kesehatan
- Riwayat infeksi saluran kemih
- Riwayat obstruksi kandung kemih
- Penggunaan obat – obat antibiotik untuk UTI
b. Pola Nutrisi – Metabolik
- Mual
- Muntah
- Anorexia
- BB menurun
- Demam
c. Pola eliminasi
- Retensi urine
- Dysuria
- Sering BAK
- Nocturia
- Berkemih tidak tuntas
- Pancaran urine lemah ; urine menetes
- Sulit memulai berkemih
- Mengejan
d. Pola latihan – aktivitas
- Penurunan aktivitas karena nyeri
- Fatigue
e. Pola tidur – istirahat
- Gangguan tidur karena nyeri, nocturia, sering BAK, inkontinensia urine.
f. Pola persepsi kognitif
- Pengetahuan tentang penyakit (BPH) atau prosedur pembedahan
g. Pola persepsi – konsep diri
- Takut, cemas tentang perubahan gambaran diri.
h. Pola berhubungan dengan sesama
- Isolasi sosial berhubungan dengan penyakit
i. Pola sexual – reproduksi
- Impoten
j. Pola koping – toleransi terhadap stress
- Takut
- Cemas
- Depresi
k. Pola kepercayaan
- Meningkatkan kebutuhan spiritualnya sebagai mekanisme koping.
Pre Operasi
a. Pola Persepsi – pemeliharaan kesehatan
- Riwayat operasi protatectomy
- Penggunaan alat – alat medik post operasi : infus, kateter.
b. Pola nutrisi – metabolik
- Mual
- Muntah
- Anorexia
- Demam
c. Pola eliminasi
- Retensi urine
- Inkontinensia urine
- Hematuria
d. Pola latihan – aktivitas
- Penurunan aktivitas karena nyeri
- Fatigue
e. Pola tidur – istirahat
- Gangguan tidur karena nyeri
f. Pola persepsi – kognitif
- Pengetahuan tentang komplikasi pembedahan dan perawatan post operasi
g. Pola persepsi – konsep diri
- Takut, cemas tentang perubahan gambaran diri, komplikasi operasi
h. Pola berhubungan dengan sesama
- Isolasi sosial berhubungan dengan penyakit
i. Pola sexual – reproduksi
- Impoten
j. Pola koping – toleransi terhadap stress
- Takut
- Cemas
- Depresi
k. Pola kepercayaan
- Peningkatan kegiatan spiritual
B. Rencana keperawatan
1. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Pre Operasi
l. Perubahan pola eliminasi : retensi urine b.d obstruksi aliran urine
2. Resiko infeksi b.d pemasangan kateter, retensi urine
3. Nyeri b.d retensi urine, distensi kandung kemih
4. Kecemasan b.d pembedahan yang akan dihadapi dan kurang pengetahuan tentang
aktivitas rutin dan aktivitas post operasi
Post Operasi
1 Resiko tinggi kurang volume cairan tubuh b.d obstruksi aliran urine
2. Nyeri b.d obstruksi kateter, spasme kandung kemih
3. Resiko tinggi infeksi b.d pemasangan kateter
4. Resiko tinggi perubahan sexual : penurunan libido b.d cemas karena
inkontinensia.
5. Resiko tinggi perubahan pola eliminasi : retensi urine b.d obstruksi kateter urine
2. RENCANA KEPERAWATAN
1. Perubahan pola eliminasi : retensi urine b.d obstruksi aliran urine
Hasil Yang Diharapkan :
Pasien akan kembali mempertahankan eliminasi urine normal ditandai dengan,
keluaran urine 0,5 – 1 cc/kg BB/jam
Intervensi
1) Monitor intake cairan dan out put urine
Rasional : Menilai keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran urine.
Pengeluaran urine yang kurang menandakan terjadinya retensi urine.
2) Kaji distensi kandung kemih dengan palpasi daerah supra pubis
Rasional : Distensi kandung kemih merupakan indikasi retensi urine
3) Anjurkan klien untuk tidak mengejan saat BAK
Rasional : Peningkatan tekanan abdomen akan mengakibatkan rusaknya
pembuluh darah kandung kemih yang akan menyebabkan hematuria
4) Kolaborasi dengan medik untuk pemasangan kateter
Rasional : Pemasangan kateter merupakan penanganan medis yang sifatnya
sementara untuk melancarkan aliran urine dari kandung kemih.
2. Resiko infeksi b.d pemasangan kateter, retensi urine
Hasil Yang Diharapkan
Pasien tidak menunjukkan adanya tanda-tanda infeksi ditandai dengan : - Suhu 36 –
37 oC
- Nadi 60 100 x/menit
- Pernafasan 12 – 20 x/menit
- Leukosit 5.000 – 10.000
Intervensi
1) Observasi tanda – tanda vital (terutama suhu)
Rasional : Peningkatan suhu merupakan salah satu indikasi adanya proses
infeksi
2) Rawat kateter internal secara periodik
Rasional : Mencegah infeksi
3) Berikan minum sesuai kebutuhan ( 2500 – 3000 cc/ hari)
Rasional : Melancarkan aliran urine, mencegah statis urine sehingga infeksi
tidak terjadi.
4) Kolaborasi medik untuk pemberian Antibiotik
Rasional : Mencegah infeksi
5) Kolaborasi medik untuk pemeriksaan laboratorium (leukosit)
Rasional : Memantau peningkatan nilai leukosit yang merupakan indikasi
adanya proses infeksi.
3. Nyeri b.d retensi urine, distensi kandung kemih
Hasil Yang Diharapkan
- Pasien mengungkapkan nyeri berkurang/hilang
- Intensitas nyeri 0 – 1
- Ekspresi wajah tampak rileks
Intervensi
1) Kaji keluhan nyeri pasien, gunakan skala nyeri 0 – 10
Rasional : Menentukan tindakan yang akan dilakukan
2) Ajarkan pasien teknik relaksasi, menarik nafas dalam
Rasional : Relaksasi otot mengurangi nyeri
3) Anjurkan pasien untuk tirah baring
Rasional : Mengurangi ketegangan kandung kemih
4) Kolaborasi dengan medik untuk pemberian analgetik
Rasional : Mengurangi nyeri
4. Kecemasan b.d pembedahan yang akan dihadapi dan kurang pengetahuan tentang
aktivitas rutin dan aktivitas post operasi
Hasil Yang Diharapkan :
Klien akan menyebutkan alasan pembatasan aktivitas, kateterisasi, irigasi dan
peningkatan asupan cairan.
Intervensi :
1) Pertegas penjelasan dokter tentang operasi yang telah dijadwalkan dan jawab
beberapa pertanyaan.
2) Jelaskan prosedur operasi yang telah diperkirakan seperti di bawah ini :
- Kateterisasi
- Irigasi manual dan kontinyu
- Infus intra vena
3) Jelaskan pembatasan aktivitas yang diharapkan
- Tirah baring untuk hari pertama post operasi
- Mobilisasi aktif dimulai hari pertama post operasi
- Hindari aktivitas yang mengencangkan daerah kandung kemih
Rasional : 1 – 3 pemahaman klien dapat membantu mengurangi kecemasan
yang berhubungan dengan ketakutan akibat ketidaktahuan
4) Jelaskan bahwa hematuri sementara adalah normal dalam periode segera setelah
operasi
Rasional : Menyiapkan klien terhadap hematuri post operasi, mencegah klien
terkejut atas kejadian tersebut.
5) Jelaskan pentingnya asupan cairan
Rasional : Urine yang encer menghambat pembentukan bekuan darah
Post Operasi
1. Resiko tinggi kurang volume cairan tubuh b.d perdarahan post operasi
Hasil Yang Diharapkan :
Perdarahan post operasi dapat terkontrol, ditandai dengan
- TD : 120/80 – 130/85 mmHg
- N : 60 –100 x/menit
- Hb : 12 – 18 mg/dl
- HL : 37 – 52 %
Intervensi
1) Pantau tanda – tanda perdarahan
Rasional : Selama 24 jam pertama setelah pembedahan, urine berwarna pink
atau merah terang, secara bertahap menjadi kekuningan sampai
sedikit berwarna pink sampai hari keempat post operasi. Urine yang
berwarna merah terang dengan bekuan darah menunjukkan
pendarahan arteri.
2) Pantau keluaran urine lewat kateter
Rasional : Pendekatan pembedahan transurethra mengakibatkan perdarahan
hebat.
3) Instruksikan klien untuk menghindari mengedan ketika BAB
Rasional : Peningkatan tekanan pada kandung kemih dapat meningkatkan
penekanan pada daerah operasi dan mencetuskan pendarahan.
4) Lakukan irigasi kandung kemih sesuai pesanan
Rasional : Irigasi kandung kemih kontinyu dengan normal saline mengencerkan
darah dalam urine untuk mencegah pembentukan bekuan darah.
2. Nyeri b.d obstruksi kateter, spasme kandung kemih
Hasil Yang Diharapkan
- Nyeri berkurang/hilang, intensitas nyeri 0 - 1
- Pasien melaporkan pengurangan nyeri
Intervensi
1) Pantau nyeri suprapubik, spasme kandung kemih, sensasi terbakar pada ujung
penis, gunakan skala nyeri 0 – 10
Rasional : Iritasi dari kateter folley dapat menyebabkan spasme kandung kemih
dan nyeri pada ujung penis. Obstruksi kateter dapat menyebabkan
retensi urine yang menimbulkan spasme kandung kemih dan
peningkatan resiko infeksi
2) Fiksasi kateter dengan tepat, hindari manipulasi berlebihan
Rasional : Tekanan dari kateter yang terjuntai dapat merusak sfingter yang
mengakibatkan inkontinensia urine setelah pencabutan kateter.
Gerakan kateter juga meningkatkan spasme kandung kemih.
3) Dorong klien untuk meningkatkan asupan cairan oral yang adekuat (minimal 2
liter/hari, kecuali ada kontra indikasi)
Rasional : Hidrasi yang adekuat meningkatkan pengenceran urine yang
membantu mendorong bekuan darah keluar
4) Beri obat sesuai instruksi untuk nyeri dan spasme
Rasional : Obat anti spasmodik mencegah spasme kandung kemih. Obat
analgetik mengurangi nyeri.
3. Resiko tinggi infeksi b.d pemasangan kateter
Hasil Yang Diharapkan
Tidak ada tanda – tanda infeksi, ditandai dengan :
- Suhu 36 – 37 oC
- Leukosit 5.000 – 10.000
Intervensi
1) Jaga sterilitas sistem kateterisasi, rawat kateter secara teratur dengan sabun dan
air, olesi bethadin sekitar orifisium urethra
Rasional : Mencegah infeksi
2) Jaga drainase urine, hindari masuknya urine kembali ke dalam kandung kemih
Rasional : Refluks urine dari kantong urine kembali ke kandung kemih dapat
menyebabkan infeksi
3) Monitor tanda – tanda vital (terutama suhu)
Rasional : Peningkatan suhu tubuh merupakan salah satu indikasi adanya proses
infeksi
4) Monitor nilai laboratorium (leukosit)
Rasional : Leukosit merupakan salah satu sistem kekebalan tubuh peningkatan
leukosit merupakan tanda adanya infeksi
5) Berikan anti biotik sesuai program medik
Rasional : Anti biotik mencegah infeksi
4. Resiko tinggi perubahan sexual : penurunan libido b.d cemas karena
inkontinensia.
Hasil Yang Diharapkan
- Ekspresi wajah rileks dan melaporkan kecemasan berkurang
- Mengungkapkan pengertiannya tentang situasi individual
- Mendemonstrasikan kemampuan mengatasi masalah
Intervensi
1) Siapkan lingkungan yang menjamin privasi dan rahasia untuk diskusi dan dorong
klien untuk mengekspresikan kekhawatirannya
Rasional : Banyak klien enggan untuk mendiskusikan hal – hal yang berkenaan
dengan seksual. Privasi mungkin mendorong klien berbagi rasa.
2) Gunakan istilah – istilah umum jika mungkin dan jelaskan tentang istilah – istilah
yang tidak umum.
3) Dorong klien untuk menanyakan kepada dokter selama di rawat dan pada
kunjungan lanjutan.
Rasional : Dialog terbuka dengan dokter mendorong untuk mengklarifikasikan
kekhawatiran dan memberikan akses ke penjelasan yang spesifik
5. Resiko tinggi perubahan pola eliminasi : retensi urine b.d obstruksi kateter urine
Hasil Yang Diharapkan
- Urine dalam jumlah yang cukup ( 0,5 – 1 cc/kg BB/jam )
- Tidak ada tanda kandung kemih penuh
Intervensi
1) Kaji keluhan pasien : kandung kemih penuh, nyeri
Rasional : Retensi kandung kemih dapat menyebabkan spasme kandung kemih
dan menyebabkan nyeri.
2) Monitor pemasukan dan pengeluaran cairan
Rasional : Menilai keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran.
Pengeluaran urine yang kurang menandakan terjadinya retensi urine.
3) Lakukan irigasi kandung kemih sesuai pesanan
Rasional : Irigasi kandung kemih secara kontinyu mengencerkan darah dalam
urine untuk mencegah pembentukan bekuan darah dan mencegah
obstruksi kateter.
4) Pastikan asupan cairan yang adekuat ( oral, parenteral )
Rasional : Hidrasi yang optimal mengencerkan urine untuk mencegah
pembentukan bekuan darah dan obstruksi kateter
2.10 Discharge Planning
1. Anjurkan klien untuk minum minimal 3000 ml/hari
2. Anjurkan klien berhenti mengkonsumsi alkohol dan merokok
3. Anjurkan untuk kontrol ke dokter apabila terjadi komplikasi, hematuria, distensi kandung
kemih, impotensi.
4. Anjurkan klien untuk tidak melakukan hubungan seksual selama 6-8 minggu (sesuai
instruksi dokter)
5. Anjurkan klien untuk mengkonsumsi buah dan sayuran yang kaya akan antioksidan
6. Anjurkan klien untuk berkemih segera setelah merasakan
7. Anjurkan klien untuk menjaga kebersihan area genitalia
8. Anjurkan keluarga atau pasangan klien untuk memberi motivasi berkaitan dengan
disfungsi seksual
9. Jelaskan kepada pasien jangan mengangkat beban berat
10. Jelaskan tentang obat – obat yang di minum, dosis, jadwal pemberian dan efek samping
obat ( biasanya analgetik dan antibiotik ).
11. Jelaskan kepada pasien tentang komplikasi yang mungkin muncul setelah TURP,
termasuk striktur urethra, inkontinensia dan fertilitas.
12. Ajarkan kepada pasien tentang Kegel’s exercise untuk mengontrol komplikasi
inkontinensia.
13. Jelaskan kepada pasien tentang potensial berulangnya BPH ( biasanya 10 tahun atau lebih
setelah operasi )
14. Anjurkan kepada pasien untuk follow-up ke dokter setelah TURP
15. Jelaskan tentang tanda dan gejala retensi urine, perdarahan atau infeksi setelah TURP dan
segera ke dokter
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) merupakan gangguan yang terjadi karena
pertumbuhan prostat menghalangi uretra sehingga menimbulkan hambatan pada saluran
kemih bawah, infeksi saluran kemih, hematuria, serta menurunkan fungsi saluran kemih
bagian atas.Penyebab BPH belum diketahui secara pasti. Tetapi beberapa pendapat
mengatakan bahwa penyebab prostat hiperplasi erat kaitannya dengan peningkatan kadar
hormone dihydroxytestosterone yang dapat menyebabkan pertumbuhan berlebih pada
jaringan prostat. Usia juga dapat menyebabkan terjadinya BPH. Penatalaksanaan medis
yang paling sering dilakukan adalah TURP, karena tidak menimbulkan komplikasi dalam
jangka panjang seperti prostatektomi.
3.2 Saran
Masyarakat harus melaksanakan pola hidup yang sehat dengan mengkonsumsi
makan-makanan yang berserat dan tidak merokok.Masyarakat juga harus lebih waspada
terhadap adanya factor resiko terhadap kejadian BPH, khususnya bagi laki-laki yang
berumur lebih dari 50 tahun.
DAFTAR PUSTAKA
Black and Hawks. 2009. Medical Surgical Nursing Ed. 8 Vol.1. Singapore: Saunders Elsevier.
Doengoes, Marylin E, dkk. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC.
Ignatavicius, Donna D dan M. Linda Workman. 2010. Medical Surgical Nursing Ed. 6 Vol. 2.
USA: Saunders Elseviers.
Lewis, dkk. 2011. Medical Surgical Nursing Ed. 8 Vol. 2. USA: Elsevier Mosby.
NANDA Internasional. 2012. Diagnosa keperawatan Definisi dan Klasifikasi. Jakarta EGC.
Brunner and Suddarth . Medical Surgical Nursing . Eighth editon, Philadelphia : YB Lipincott Company, 2002.
raphita.diorarta@gmail.com
khensyaleatemia@yahoo.co.id
lidwinaruri@yahoo.com
venna910@gmail.com