Post on 28-Mar-2019
BAB VI
PEMBAHASAN UMUM
Aktivitas penambangan minyak bumi akan menghasilkan limbah minyak
bumi yang menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan. Salah satunya adalah
limbah minyak berat yang mengandung fraksi berat minyak bumi yang bersifat
toksik terhadap lingkungan disekitarnya seperti tanah, air tanah, dan tanaman.
Tanah yang tercemar limbah minyak berat ini memiliki pH yang cukup rendah
yaitu 5, kandungan hidrokarbon yang tinggi yaitu 30.32%, dan teksturnya yang
liat menyebabkan sulit untuk diolah dengan sistem bioremediasi, dimana bakteri
yang yang bekerja sebagai pendegradasi hidrokarbon dalam sistem bioremediasi
dapat optimal bekerja pada pH 6-8 dan kandungan hidrokarbon tak lebih dari
15%.
Untuk menurunkan kandungan hidrokarbon minimal sampai 15% dilakukan
pengenceran dengan air dalam sistem bioslurry dan dengan tanah dalam sistem
landfarming. Karena tingginya kandungan hidrokarbon dan teksturnya yang liat
maka pencampuran air atau tanah sulit untuk dilakukan, untuk itu dilakukan upaya
meningkatkan dispersi limbah minyak bumi dalam air dan dalam tanah dengan
menambahkan surfaktan. Dispersi minyak bumi ke dalam medium air akan lebih
mudah bila ditambahkan surfaktan. Surfaktan adalah senyawa organik yang
memiliki gugus polar dan non-polar sekaligus dalam satu molekulnya.
Surfaktan dapat mengikat minyak yang bersifat non-polar dan di sisi lain
surfaktan juga dapat mengikat air yang bersifat polar, sehingga surfaktan dapat
memudahkan kontak antara mikroba dengan sumber karbon dari minyak bumi
sebagai makanannya. Dalam penelitian ini digunakan surfaktan anionik dan
nonionik karena surfaktan anionik dan nonionik umumnya bersifat biodegradabel,
tidak bersifat toksik terhadap mikroba, dan harganya relatif murah (Kosswig dan
Marl 2003) jika dibandingkan dengan surfaktan kationik yang bersifat toksik
terhadap mikroba (Tharwat 2005).
Surfaktan anionik yang digunakan adalah linear alkilbenzene sulphonate
LAS) dan natrium dodesil sulfat (NDS) dan surfaktan non ionik yang digunakan
adalah Tween 80 dan Brij 35. Dengan meningkatnya kelarutan limbah minyak
berat akan mempengaruhi kinerja bakteri dalam proses biodegradasi limbah
minyak berat. Biodegradasi akan lebih mudah dan cepat terjadi bila minyak dalam
bentuk terdispersi. Hasil penelitian Gogoi et al. (2002) yang menunjukkan bahwa
penggunaan biosurfaktan yang diisolasi dari Pseudomonas sp akan
memaksimalkan tingkat biodegradasi minyak mentah dibandingkan dengan tanpa
penambahan biosurfaktan. Helmy (2006) juga mengatakan bahwa penambahan
surfaktan (Tween 80) meningkatkan proses biodegradasi sludge minyak bumi oleh
konsorsium bakteri petrofilik. Parameter peningkatan dispersi limbah minyak
berat dilihat dari nilai COD, total petroleum hydrocarbon (TPH) padat dan cair
dalam berbagai laju pengadukan.
Hasil penelitian (Gambar 2.8 dan 2.9) memperlihatkan bahwa semakin
tinggi laju pengadukan, maka nilai TPH fasa padat semakin kecil dan nilai TPH
fasa cair semakin besar. Nilai TPH fasa padat dan fasa cair dari penambahan
surfaktan LAS pada pengadukan 140 rpm adalah 10.20% dan 1.33%, sedangkan
dengan penambahan surfaktan NDS adalah 9.12% dan 1.68%. TPH fasa cair dari
penambahan surfaktan NDS lebih tinggi dibandingkan dengan LAS, hal ini
berkorelasi dengan nilai COD yang dihasilkan (Gambar 2.10). Penambahan NDS
memiliki nilai COD yang lebih tinggi dibandingkan LAS. Nilai COD tertinggi
terjadi pada laju pengadukan 140 rpm, yaitu 33499 mg/L untuk 0.04% LAS, dan
35909 mg/L untuk 0.15% NDS. Semakin tinggi laju pengadukan, maka nilai COD
semakin besar pula. Hal ini disebabkan semakin tinggi laju pengadukan, maka
semakin banyak senyawa organik yang terkandung dalam limbah minyak bumi
masuk ke media air. Nilai ini menunjukkan bahwa limbah minyak bumi tersebut
banyak mengandung senyawa organik berupa hidrokarbon aromatik maupun
hidrokarbon alifatik. Sehingga jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk
mengoksidasi senyawa tersebut menjadi senyawa yang lebih sederhana semakin
tinggi.
Sedangkan untuk surfaktan nonionik penambahan Brij 35 (0.0150%)
memberikan nilai TPH fasa cair lebih tinggi dibandingkan dengan Tween 80 dan
blanko. Nilai TPH fasa cair yang semakin besar menggambarkan proses dispersi
minyak ke dalam air semakin baik. NDS memiliki nilai TPH fasa cair yang lebih
besar dibandingkan LAS dan Brij 35 memiliki TPH fasa cair yang lebih besar
172
dibandingkan Tween 80, hal ini disebabkan karena konsentrasi NDS dan Brij 35
lebih tinggi dibandingkan konsentrasi LAS dan Tween 80 sehingga menyebabkan
semakin banyak minyak yang berinteraksi dengan NDS dan Brij 35. Akan tetapi
kosentrasi yang tinggi dapat menghasilkan busa yang lebih banyak sehingga
mengganggu proses aerasi dan biodegradasi menjadi tidak optimal. Berdasarkan
uji ANOVA (analysis of variance) yang dilakukan pada data perlakuan laju 140
rpm, nilai TPH fasa cair untuk penambahan LAS dan NDS menghasilkan data
yang tidak berbeda nyata (Lampiran 2.30). Untuk itu dalam perlakuan selanjutnya
digunakan surfaktan LAS karena pada kosentrasi yang lebih kecil akan
menghasilkan busa yang lebih sedikit sehingga tidak menganggu dalam proses
aerasi. Surfaktan LAS pada konsentrasi 0.04% dapat meningkatkan dispersi
limbah minyak bumi lebih baik dibandingkan dengan yang lainnya karena karena
stabilitas emulsi LAS lebih tinggi (1.58%) dibandingkan dengan surfaktan NDS,
Tween 80, dan Brij 35. Penelitian yang dilakukan oleh Suardana et al. (2002)
menunjukkan bahwa penambahan surfaktan LAS yang diberikan ke petak sel
penelitian ini mampu meningkatkan hasil proses biodegradasi limbah minyak
bumi secara berbanding lurus. Semakin tinggi konsentrasi surfaktan LAS yang
digunakan didalam penelitian ini, semakin besar efek pendispersian minyak bumi
didalam air sehingga akan memperluas kontak permukaan antara limbah minyak
bumi dengan nutrisi, air dan oksigen yang pada akhirnya mikroba di lingkungan
tersebut mampu untuk meningkatkan hasil proses biodegradasi yang terjadi. Akan
tetapi konsentrasi surfaktan yang tinggi akan membuat busa lebih banyak pada
saat pengadukan sehingga menghalangi proses aerasi dalam biodegradasi.
Tahap penelitian selanjutnya adalah melakukan bioremediasi tanah
tercemar limbah mimyak berat dengan teknik bioslurry dan teknik landfarming.
Bioremediasi dengan teknik landfarming telah dilakukan untuk mengatasi tanah
tercemar limbah minyak berat pada industri minyak PT CPI. Dengan
menggunakan mikroba indigen dibutuhkan waktu ± 8 bulan untuk menurunkan
TPH ≈ 4%, yang selanjutnya mikroba ini tidak mampu lagi untuk menurunkan
TPH sampai 1%, sesuai Keputusan MenLH no. 128 Tahun 2003. Untuk itu
dilakukan penelitian yang bertujuan mendapatkan teknik bioremediasi yang
efektif untuk mengatasi limbah minyak berat yang semakin lama semakin
menumpuk dengan menggunakan konsorsium bakteri yang diperoleh dari limbah
minyak berat dan kotoran hewan. Kotoran hewan merupakan bahan aktif, yang
banyak mengandung mikroba. Selain kaya akan mikroba perombak, kotoran
hewan juga memiliki kandungan nutrisi yang cukup bagi pertumbuhan mikroba.
Secara umum, kotoran segar hewan mengandung 70 – 80% air, 0.3 – 0.6%
nitrogen, 0.1 – 0.4% fosfor dalam bentuk P2O5, 0.3 – 1.0% kalium dalam bentuk
K2
Penelitian ini menggunakan teknik bioremediasi bioslurry dan lanfarming
dengan konsorsium bakteri yang berasal dari limbah minyak berat dan kotoran
hewan. Dalam penelitian ini bioremediasi dengan teknik bioslurry dapat
menurunkan persentasi TPH sampai mencapai 0.11% dari persentase TPH awal
sebesar 20.71% dalam waktu 1 bulan, berada
O (Waksman 1957 dalam Anggraeni 2003). Anggraeni (2003) mengisolasi
mikroba pendegradasi minyak bumi dari kotoran hewan dan mengidentifikasi 3
isolat yaitu Pseudomonas pseudomallei, Pseudomonas aeruginosa, dan
Enterobacter agglomerans. Hikmatulloh (2004) dan Zaky (2005) mengujicobakan
isolat pendegradasi tersebut pada minyak diesel. Kotoran sapi dan kuda
merupakan sumber isolat mikroba yang dapat dimaanfaatkan dalam mendegradasi
minyak bumi. Isolat-isolat ini dapat digunakan untuk mendegradasi senyawa
hidrokarbon secara spesifik, baik dalam keadaan tunggal maupun campuran.
jauh dibawah ambang batas yang
ditetapkan oleh Keputusan MenLH no. 128 Tahun 2003 yaitu sebesar 10000 ppm
atau 1 %. Artinya dengan teknik bioslurry, selama 1 bulan pengamatan memiliki
persen degradasi sebesar 99.47%. Bioremediasi dengan teknik bioslurry lebih
cepat daripada teknik lanfarming. Banerji (1996) mengatakan bahwa proses
bioremediasi dengan menggunakan slurry bioreaktor memiliki keuntungan
sebagai berikut: mempercepat proses transfer massa antara fase padat dan cair:
kontrol lingkungan seperti nutrisi, pH, dan suhu dapat berlangsung dengan baik;
mudah dalam memelihara tingkat penerimaan elektron dalam reaktor; dan
berpotensi dalam mencegah kontaminasi oleh mikroba pengganggu. Akan tetapi
dengan teknik bioslurry ini dibutuhkan alat yang lebih kompleks, penanganannya
lebih rumit dan biaya operasional yang mahal, sehingga industri perminyakan
lebih memilih teknik landfarming yang membutuhkan alat yang lebih sederhana,
penanganan yang lebih mudah dan biaya operasionalnya jauh lebih murah. Teknik
174
landfarming yang digunakan diberi perlakuan untuk meningkatkan persen
degradasi dengan menambahkan tanah liat dan kompos pada berbagai variasi.
Selama 4 bulan pengamatan didapat persen degradasi dari limbah minyak berat
yang dicampur dengan tanah liat sebesar 33.79%. Ketika dicampur dengan
kompos, persen degradasi meningkat menjadi 53.34% dari konsentrasi TPH awal
sebesar 11.96% turun menjadi 5.58% (Lampiran 3.4). Penambahan kompos dapat
meningkat kemampuan bakteri dalam mendegradasi senyawa hidrokarbon, selain
memiliki porositas yang cukup tinggi sehingga kelembaban terjaga, bakteri juga
memanfaat kompos yang mengandung nutrien yang dibutuhkan oleh bakteri.
Berdasarkan data kromatogram GCMS dapat dilihat perubahan senyawa
hidrokarbon. Pada pengukuran awal teridentifikasi senyawa hidrokarbon dari C-6
sampai C-35, setelah 4 bulan proses bioremediasi hanya teridentifikasi senyawa
hidrokarbon dari C-6 sampai C-12, ada 8 senyawa hidrokarbon yang tidak
terdeteksi lagi. Hilangnya senyawa pada akhir pengukuran dapat dilihat pada
Tabel 3.2. Hilangnya senyawa hidrokarbon tersebut karena terjadi proses
degradasi oleh bakteri menjadi senyawa hidrokarbon rantai pendek atau menjadi
senyawa yang lebih sederhana. Dari proses biodegradasi ini, senyawa hidrokarbon
yang memiliki rantai panjang dan bobot molekul yang tinggi dipecah menjadi
senyawa hidrokarbon dengan bobot molekul lebih rendah. Selama proses ini
dihasilkan gas CO2 dan NH3
Bioremediasi dengan konsorsium bakteri menggunakan teknik landfarming
hanya dapat menurunkan TPH sampai 5.58% dalam waktu 4 bulan. Akan tetapi
waktu yang dibutuhkan dalam mendegradasi limbah minyak berat dengan
konsorsium bakteri yang digunakan lebih cepat dibandingkan apabila
menggunakan bakteri indigen saja. Bioremediasi dengan teknik landfarming
menggunakan bakteri indigen (biostimulasi) membutuhkan waktu 8 bulan untuk
menurunkan konsentrasi TPH sampai 4% atau persen degradasi sebesar 11.60%
(Suardana 2002). Dibandingkan dengan teknik landfarming, teknik bioslurry jauh
lebih efektif dalam mendegradasi senyawa hidrokarbon. Dengan teknik bioslurry,
persen degradasi TPH selama 1 bulan dapat mencapai 99.46%.
yang merupakan indikasi dari adanya proses
degradasi.
Beberapa hasil penelitian mengenai pemanfaatan teknologi bioremediasi
dalam mendegradasi bahan-bahan berbahaya disajikan pada Tabel 6.1. Dari Tabel
6.1 tampak bahwa dengan memanfaatan slurry bioreaktor proses degradasi dapat
berlangsung cepat dengan persentase bahan terdegradasi lebih tinggi dari
teknologi bioremediasi lainnya. Pada penelitian oleh Yerushalmi et al. (2003)
dengan memanfaatkan slurry bioreaktor tanpa perlakuan tingkat cemaran dalam
tanah dan perlakuan persen padatan TPH terdegradasi sebesar 70% selama 45
hari, sedangkan dengan memperbaiki kondisi tingkat cemaran dalam tanah dan
persen padatan seperti yang dilakukan pada penelitian ini, TPH mampu
terdegradasi hingga 85.29% dalam waktu empat hari.
Tabel 6.1. Beberapa hasil penelitian teknologi bioremediasi Jenis Polutan
Teknologi Bioremediasi Hasil Lamanya
waktu Skala Penelitian Referensi
Bahan peledak
Composting 98% 153 hari 14 kubik yard Craig et al., 1995
Landfarming 32% 235 hari 1 kubik yard Slurry Bioreaktor 99% 53 hari 400 gal
TPH
Bioaugmentasi pada Tanah 49% 60 hari 220 g
Yerushalmi et al., 2003 Slurry
Bioreaktor 70% 45 hari 120 ml volume kerja 45 ml
Jenis Polutan
Teknologi Bioremediasi Hasil Lamanya
waktu Skala Penelitian Referensi
BTEX Bioremediasi in situ 79% 300 hari 500 kubik yard Scalzi et al.,
2001
PAH Slurry Bioreaktor 96% 14 hari Pilot scale U.S. EPA,
2003
PAH Slurry Bioreaktor 30% 4 hari - Brown et al.,
1999
Untuk mengetahui spesies bakteri yang berperan aktif dalam proses
biodegradasi ini maka dilakukan isolasi, seleksi dan identifikasi bakteri
pendegradasi senyawa hidrokarbon yang terdapat pada tanah tercemar limbah
minyak berat.
Tahap penelitian selanjutnya adalah melakukan isolasi, seleksi dan
karakterisasi bakteri pendegradasi senyawa hidrokarbon. Dari hasil isolasi
176
didapatkan 11 isolat yang kemudian diseleksi untuk mendapatkan isolat-isolat
yang memiliki kinerja yang baik dalam mendegradasi senyawa hidrokarbon baik
hidrokarbon alipatik maupun aromatik yang terdapat dalam limbah minyak berat.
Dari 11 isolat yang diseleksi didapatkan 3 isolat yang dapat menurunkan persen
TPH yang paling rendah yaitu isolat dengan kode MY7, MY12 dan MYFlr. Pada
tahap seleksi ini isolat MY7 dapat menurunkan persen TPH dari 23.2% TPH awal
menjadi 15.71% TPH akhir, solat MY12 dapat menurunkan persen TPH dari
18.91% TPH awal menjadi 7.90% TPH akhir, dan isolat MYFlr dapat
menurunkan persen TPH dari 17.24% TPH awal menjadi 10.22% TPH akhir.
Semakin rendah persen TPH maka semakin banyak senyawa hidrokarbon yang
terdegradasi oleh isolat bakteri tersebut menjadi senyawa yang lebih sederhana.
Kemampuan untuk menurunkan persen TPH sejalan dengan jumlah koloni yang
dimiliki oleh ketiga isolat ini. Ketiga isolat ini memiliki pertumbuhan bakteri yang
lebih baik dibandingkan dengan yang lainnya (Gambar 4.8). Ketiga isolat ini
memiliki kemampuan dalam mendegradasi senyawa polyromatic hydrocarbon
(PAH) yang terdapat dalam limbah minyak bumi fraksi berat. Dari Uji konfirmasi
diketahui bahwa isolat dengan kode MY7 dapat mendegradasi senyawa
dibenzotiofena dan fenantrena, isolat dengan kode MY12 dapat mendegradasi
senyawa fenantrena, sedangkan isolat dengan kode MYFlr dapat mendegradasi
senyawa fluorena.
Identifikasi dilakukan secara molekular 16S rDNA. Analisis molekuler yang
dilakukan berupa ekstraksi DNA dan PCR amplifikasi, purifikasi PCR produk dan
sekunsing. Data mentah hasil sekuensing selanjutnya di-trimming dengan program
MEGA 4 dan assembling dengan program BioEdit dan selanjutnya dikonfersi
dalam bentuk FASTA format. Hasil sekuensing DNA dalam bentuk FASTA
format selanjutnya di-BLAST untuk mencari homologi secara on line di pusat
data base DNA di DDBJ atau di NCBI.
Berdasarkan analisis penjajaran urutan nukleotida parsial gen pengkode 16S
rDNA menggunakan program BLAST, bakteri dengan kode isolat MY7
mempunyai tingkat kesamaan tertinggi dengan Salipiger sp. PR55-4 dengan
persentase tingkat kesamaan 100%, bakteri dengan kode isolat MY12 mempunyai
tingkat kesamaan tertinggi dengan Bacillus altituditis dengan persentase tingkat
kesamaan 97%, dan bakteri dengan kode isolat MYFlr mempunyai tingkat
kesamaan tertinggi dengan Ochrobactrum anthropi dengan persentase tingkat
kesamaan 97%.
Salipiger sp. PR55-4 merupakan bakteri gram negatif yang berbentuk
batang dan termasuk bakteri aerobik chemoheterotrophic (tidak dapat tumbuh
dalam kondisi anaerob). Bacillus altitudinis merupakan bakteri gram positif yang
berbentuk batang dan Ochrobactrum anthropi adalah bakteri gram negatif yang
bersifat aerobik dan merupakan bakteri oksidase (Yu et al. 2007).
Ochrobactrum sp. mampu memanfaatkan polisiklik aromatik hidrokarbon (PAH)
seperti fenantrena, pyrene dan fluorantena sebagai sumber karbon dan sumber
energi (Yirui et al. 2009).
Kemampuan isolat bakteri dalam mendegradasi senyawa PAH berbeda
satu sama lain, sangat tergantung kepada aktivitas enzim yang dihasilkan oleh
bakteri . Oleh karena itu, bakteri yang berpotensi menghasilkan enzim
pendegradasi hidrokarbon perlu dioptimalkan aktivitasnya dengan pengaturan
kondisi dan penambahan suplemen yang sesuai. Kemampuan degradasi
hidrokarbon oleh mikroorganisme tergantung dari faktor-faktor lingkungan seperti
temperatur, nutrisi, dan oksigen (Eweis et al. 1998). Degradasi suatu senyawa
hidrokarbon berhubungan dengan populasi bakteri (Gambar 5.4). Pada tahap awal,
bakteri beradaptasi di lingkungan minyak, kemudian pada saat pertumbuhan sel
bakteri berada pada fase pertumbuhan logaritmik maka senyawa hidrokarbon yang
ada akan semakin berkurang akibat aktivitas bakteri dan pada saat bakteri tersebut
sudah tidak mampu mendegradasi senyawa hidrokarbon yang ada maka
pertumbuhannya akan terus menurun dan akhirnya sel bakteri tersebut akan
inaktif atau mati. Faktor yang mendukung proses bioremediasi minyak adalah
faktor fisik-kimia dan faktor biologi. Faktor fisik-kimia adalah komposisi kimia
minyak, kondisi fisik minyak, konsentrasi minyak, suhu, oksigen, nutrisi,
salinitas, tekanan, air aktivitas, dan pH, sedangkan faktor biologi adalah
kemampuan bakteri itu sendiri. Untuk itu dalam penelitian ini dilakukan uji
kemampuan bakteri dalam mendegradasi senyawa hidrokarbon yang terdapat
178
dalam limbah minyak berat baik dalam bentuk spesies tunggal maupun
campuran.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Bacillus altitudinis memiliki
kemampuan yang lebih baik dalam mendegradasi senyawa hidrokarbon yang
terdapat dalam limbah minyak berat dibandingkan dengan Salipiger sp. PR55-4
dan Ochrobactrum anthropi. Bacillus altitudinis dapat menurunkan persen TPH
sampai 5.8% dari TPH awal 12.69% atau memiliki persen degradasi sebesar
54.26%. Bacillus altitudinis memiliki pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan
dengan Salipiger sp. PR55-4 dan Ochrobactrum anthropi. Pengamatan secara
visual pada Gambar 5.3 menunjukkan bahwa Bacillus altitudinis memiliki
kekeruhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan Salipiger sp. PR55-4 dan
Ochrobactrum anthropi.
Dibandingkan dengan spesies tunggal, campuran spesies bakteri jauh lebih
baik dalam mendegradasi senyawa hidrokarbon yang terdapat dalam limbah
minyak berat. Bacillus altitudinis bersinergis dengan Salipiger sp. PR55-4 untuk
mendegradasi senyawa hidrokarbon sehingga dapat menurunkan persen TPH
sampai 4.99% dari TPH awal 12.53% atau memiliki persen degradasi sebesar
60.13%. Akan tetapi Bacillus altitudinis bersinergis lebih baik dengan
Ochrobactrum anthropi untuk mendegradasi senyawa hidrokarbon, karena
dapat menurunkan persen TPH sampai 4.78% dari TPH awal 12.74% sehingga
memiliki persen degradasi lebih tinggi yaitu sebesar 62.47% (Lampiran 5.2 dan
5.4). Tabel 6.2 menyajikan perbandingan teknik landfarming dan bioslurry, teknik
bioslurry membutuhkan waktu yang lebih cepat dibandingkan dengan teknik
landfarming.
Tabel 6.2 Perbandingan teknik landfarming dan bioslurry
Teknik Bioremediasi
Bioaugmentasi/ Biostimulasi % Degradasi Waktu
Landfarming Biostimulasi Konsorsium Bakteri
11.60% 53.34%
8 bulan 4 bulan
Bioslurry 1 spesies bakteri 2 spesies bakteri 3 spesies bakteri Konsorsium Bakteri
54.26% 62.47% 81.52% 99.46%
1 bulan 1 bulan 1 bulan 1 bulan
Campuran 3 spesies bakteri ini memiliki kinerja yang paling tinggi
dibandingkan dengan campuran 2 spesies bakteri dan spesies tunggalnya.
Konsorsium bakteri Salipiger sp. PR55-4, Bacillus altitudinis dan
Ochrobactrum anthropi memiliki persen degradasi yang lebih tinggi yaitu
sebesar 81.56%. Menurut Loser et al. (1998), bakteri tunggal memiliki
kemampuan yang terbatas dalam mendegradasi fraksi-fraksi dalam hidrokarbon.
Hasil penelitian Ward et al. (2003) juga menunjukkan bahwa konsorsium mikroba
memiliki tingkat degradasi yang tinggi dalam mendegradasi senyawa BTEX
(benzena, toluena, etilbenzena, dan xilena) yaitu sebesar >90%. Sedangkan
tingkat degradasi bakteri tunggal seperti Rhodococcus sp. dan Pseudomonas sp.
hanya sebesar 45% dan 55%. Hal ini disebabkan kemampuan ketiga bakteri ini
untuk bersinergis dalam mendegradasi senyawa hidrokabon. Dijelaskan oleh Atlas
dan Bartha (1998) bahwa proses biodegradasi senyawa hidrokarbon sampai terurai
sempurna (termineralisasi) tidak mungkin dilakukan oleh satu jenis bakteri, tetapi
selalu dilakukan oleh suatu konsorsium bakteri secara sinergistik. Banyak bakteri
yang mampu mendegradasi senyawa alifatik maupun aromatik, tetapi tidak dapat
menggunakan hasil degradasinya sebagai sumber karbon untuk pertumbuhannya.
Disinilah peran konsorsium bakteri dimana bakteri yang satu menggunakan hasil
degradasi dari bakteri yang lain sebagai sumber karbon dan begitu seterusnya.
Menurut Yani et al. (2003), limbah minyak bumi yang terdiri atas berbagai
jenis komponen mulai dari C4-C40, didegradasi oleh mikroba menjadi senyawa
sederhana seperti CO2, asam organik sederhana dan biomassa sel. Namun
demikian, selalu terdapat senyawa-senyawa yang tidak dapat didegradasi oleh
180
mikroba. Sekumpulan mikroba tertentu akan mendegradasi komponen minyak
bumi secara berurutan dan berantai.
DAFTAR PUSTAKA
Angraeni D.2002. Isolasi dan Karakterisasi Mikroorganisme Pendegradasi Diesel
dari Kotoran Hewan. [Skripsi]. Fateta IPB.
Atlas MR, Bartha R. 1998. Microbial Ecology: Fundamentals And Applications. 4th
Banerji SK. 1997. Bioreactor for Soil and Sediment Remediation dalam Bajpai RK dan Zappi ME (Eds). Bioremediation of Surface and Subsurface Contamination. New York. The New York Academy of Sciences.
edition. Benjamin Cummings Publishing Company, Inc.
Brown DG, Guha S, Jafee PR. 1999. Surfactant-Enhanced Biodegradation of PAH in Soil Slurry Reactors. Abstract. Bioremediation J., Vol. 3(3): 269-283. www.lehigh.edu/~dgb3/Research/SEB%20Project% 20Summary.pdf. (14 Juli 2005).
Craig HD, Sisk WE, Nelson MD, Dana WH. 1995. Bioremediation of Explosives Contaminated Soils: A Status Review. Proceedings of the 10th Annual Conference on Hazardous Waste Research. www.engg.ksu.edu/HSRC/95Proceed/craig.pdf. (14 Mei 2008).
Eweis JB, Sarina JE, Daniel PYC, Schroeder ED.1998. Bioremediation Principles. Mc Graw-Hill.
Gogoi BK, Dutta NN, Goswami P, Mohani TRK. 2002. Studi Kasus Bioremediasi pada Tumpahan Minyak-Hidrokarbon yang Mencemari Suatu Lokasi Tumpahan Minyak Mentah. Regional Research Laboratory. Bangalore India.
Helmy Q, 2006. Pengaruh Penambahan Surfaktan terhadap Biodegradasi Sludge Minyak Bumi oleh Konsorsium Bakteri Petrofilik (Tesis). Program Studi Teknologi Pengolahan Air dan Limbah. ITB.
Hikmatuloh YA. 2004. Kajian Kombinasi Bakteri Pada Proses Biodegradasi Minyak Diesel [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Kementrian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. 2003. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 128 Tahun 2003 tentang Tatacara dan Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Minyak Bumi dan Tanah
Terkontaminasi Limbah Minyak Bumi secara Biologis. Jakarta: Departemen Lingkungan Hidup.
Kosswig AG, Marl H. 2003. Surfactant. Di dalam: Ullmann’s. Encyclopedia of Industrial Chemistry. Volume ke-35. Ed ke-6. Jerman: Wiley-VCH. Hlm 2093-365.
Scalzi M, Xandra TPE, Eric A. 2001. A Systems’ Approach to In-Situ Bioremediation: Full Scale Application. Sixth Annual In-Situ and On-Site Bioremediation Conference, San Diego, CA. www.environmental-expert.com/articles/article1050/SCALZI%20TURNER%20and%20ANDREWS%20-%20B2001%20-%20Paper.pdf. [14 Mei 2008].
Suardana P, Mulyono M, Setyo S, Supardi D, Santoso E. 2002. Pengaruh Surfaktan Alkilbenzena sulfonat linear dalam Mempercepat Bioremediasi Limbah Minyak Bumi. Simposium Nasional-IATMI, Jakarta.
Suardana P, Mulyono M, Setyo S, Supardi D, Santoso E. 2002. Pengaruh Surfaktan Alkilbenzena sulfonat linear dalam Mempercepat Bioremediasi Limbah Minyak Bumi. Simposium Nasional-IATMI, Jakarta.
Tharwat FT. 2005. Applied Surfactants: Principles and Applications. Weinheim: Wiley-VCH Verlag GmbH & Co. KGaA.
[U.S.EPA]. 2003. Site Technology Profile: Ecova Corporation (Bioslurry Reactor). www.epa.gov/ORD/NRMRL/pubs/540r03501/540R03501c-e.pdf. (14 Mei 2008).
Ward W, Singh A, Van Hamme J. 2003. Accelerated Biodegradation of Petroleum Hydrocarbon Waste. J. Ind. Microbiol. Biotechnol., 30, 260.
Yani M, Fauzi AM, Aribowo F. 2003. Bioremediasi Lahan terkontaminasi
Senyawa Hidrokarbon. Prosiding Seminar Bioremediasi dan Rehabilitasi Lahan Sekitar Perminyakan dan Pertambangan. Forum Bioremediasi IPB.
Yerushalmi L, Rocheleau S, Cimpoia R, Sarrazin M, Sunahara G, Peisajovich A, Leclair G, Guiot SR. 2003. Enhanced Biodegradation of Petroleum Hydrocarbons in Contaminated Soil. Bioremediation J., Vol. 7 (1), 2003. www.uttu.engr.wisc.edu/UT18n3.pdf. (14 Mei 2008).
Yirui WU, He T, Zhong M, Zhang Y, Li E, Huang T, Hu Z. 2009. Isolation of marine benzo[a]pyrene-degrading Ochrobactrum sp. BAP5 and proteins characterization. Journal of Environmental Sciences. 21(10), 1446-1651.
Elsevier.
182
Yu MW, Sohn K, Rhee J, Oh WS, Peck KR, Lee NY, Song J. 2007. Spontaneous Bacterial Peritonitis due to Ochrobactrum anthropi. University School of Medicine, Seoul.
Zaki M. 2005. Produksi dan Karakterisasi Inokulum Serta Aplikasinya dalam
Mendegradasi Senyawa Hidrokarbon Minyak Bumi [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian