Post on 25-Mar-2019
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Kabupaten Gorontalo Utara
1. Kondisi Goegrafis
Kabupaten Gorontalo Utara merupakan salah satu Kabupaten yang terletak
di Provinsi Gorontalo dengan luas yang dimiliki oleh Kabupaten Gorontalo Utara
sekitar 1.777,03 km2, letak geografis 0° 30' – 1° 02′ LU dan 121° 59′ - 123° 02′
BT. Batas wilayah Kabupaten Gorontalo Utara adalah:
Sebelah Utara : berbatasan dengan Laut Sulawesi
Sebelah Timur : berbatasan dengan Kabupaten Bolmong, Sulawesi Utara
Sebelah Selatan : berbatasan dengan Kabupaten Gorontalo, Bone Bolango
Boalemo dan Kabupaten Pohuwato.
Sebelah Barat : berbatasan dengan Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah
Secara administratif, Kabupaten Gorontalo Utara terdiri dari 11 wilayah
Kecamatan dan 123 desa dengan jumlah penduduk 104.068 jiwa (Profil
Kabupaten Gorontalo Utara, 2011). Seluruh wilayah Kabupaten Gorontalo Utara
di bagian utara dibatasi oleh Laut Sulawesi, di bagian timur berbatasan dengan
Kabupaten Kabupaten Bolmong, di bagian selatan berbatasan dengan Kabupaten
Gorontalo, Bone Bolango, Boalemo dan Pohuwato dan di bagian barat berbatasan
dengan Kabupaten Buol (Gorontalo Utara dalam angka, 2012).
Wilayah Kabupaten Gorontalo Utara memiliki curah hujan rata-rata pada
tahun 2011 yaitu 137,83 mm, suhu udara maksimum rata-rata pada tahun 2011
berkisar antara 31,6°C sampai 33,5°C, sedangkan suhu udara minimum rata-rata
berkisar antara 22,1°C sampai 23,7°C (Gorontalo Utara dalam angka, 2012).
Wilayah Kecamatan di Kabupaten Gorontalo Utara semuanya memiliki
wilayah perairan laut dan memiliki garis panjang pantai 198,00 km2 yang
merupakan garis pantai terpanjang di Provinsi Gorontalo dan berhadapan dengan
Samudera Pasifik. Kabupaten Gorontalo Utara memiliki perekonomian yang
terdiversifikasi dalam beberapa sektor yaitu: sektor pertanian dan perkebunan,
sektor peternakan, serta sektor perikanan dan kelautan. Sektor perikanan dan
kelautan dijadikan sektor unggulan, karena semua wilayah Kecamatan di
Kabupaten Gorontalo Utara memiliki daerah pesisir yang sangat potensial untuk
dikembangkan.
Pemerintah Kabupaten Gorontalo Utara memandang penting menyediakan
sarana dan prasarana dalam membangun suatu daerah. Dalam menunjang
pembangunan wilayah khususnya sumberdaya kelautan dan perikanan, maka
jaringan perhubungan dan transportasi yang tersedia memungkinkan Kabupaten
Gorontalo Utara berkembang mengikuti daerah-daerah lain di Provinsi Gorontalo.
Pemerintah juga mendukung perekonomian daerah khususnya dalam hal
meningkatkan interaksi dan jalur akses pasar antar pelaku ekonomi yang akhirnya
dapat meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi daerah (Gorontalo Utara dalam
angka, 2012).
2. Potensi Sumberdaya Perikanan
Total produksi perikanan tangkap Kabupaten Gorontalo Utara pada tahun
2010 sekitar 13.728 dan pada tahun 2011 sekitar 19.314. Total jumlah nelayan
yang ada di Kabupaten Gorontalo Utara pada tahun 2011 mencapai 3.324,
sedangkan untuk total masing-masing jenis alat tangkap yang digunakan oleh
nelayan yang ada di Kabupaten Gorontalo Utara, seperti Payang sebanyak 26
buah, soma dompar 8, pukat pantai 30, pukat cincin 32, jaring insang 707, perahu
bagan 66, bagan rakit 49, serok 13, rawai 302, pukat tonda 784, pukat ulur 869,
pukat tegak 641, sero 36, bubu 7, penangkap teripang 1, pukat cang 5, jala tebar
24 dan panah 11 buah (DKP Kabupaten Gorontalo Utara, 2012).
B. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
1. Kecamatan Kwandang
Secara administratif Kecamatan Kwandang memiliki luas wilayah 301,26
km2. Kecamatan Kwandang berada pada posisi 0°49′39″S - 122°55′8″E dengan
batas-batas wilayah Kecamatan Kwandang adalah sebagai berikut:
Sebelah Utara : Laut Sulawesi
Sebelah Timur : Kecamatan Gentuma Raya
Sebelah Selatan : Kabupaten Gorontalo
Sebelah Barat : Kecamatan Anggrek (Profil Kecamatan
Kwandang Dalam Angka, 2012)
Kecamatan Kwandang terdiri dari 32 yang memiliki luas total 301,26 km2
dan total jumlah penduduk yang dimiliki oleh Kecamatan Kwandang 38.580 jiwa.
Jumlah kependudukan di Kecamatan Kwandang pada tahun 2006-2011 dapat
dilihat pada Tabel 3 sebagai berikut:
Tabel 3. Jumlah penduduk Kecamatan Kwandang tahun 2006-2011
Tahun Jumlah Penduduk
Laki-laki Perempuan
2006 16.808 16.938
2007 16.868 17.238
2008 17.282 17.366
2009 20.354 19.589
2010 18.076 17.889
2011 19.433 19.147
Sumber: BPS Kabupaten Gorontalo Utara, 2012
2. Potensi Sumberdaya Perikanan di Kecamatan Kwandang
Potensi sumberdaya kelautan dan perikanan di Kecamatan Kwandang
meliputi perikanan budidaya dan perikanan tangkap. Perikanan budidaya meliputi
rumput laut, tambak dan kerang mutiara. Kecamatan kwandang memiliki luas
tambak sekitar 403 Ha, rumput laut 1.575 Ha dan kerang mutiara 50 Ha, dan
untuk perikanan tangkap Kecamatan Kwandang memiliki rumah tangga perikanan
(RTP) sekitar 640 dengan jumlah nelayan adalah 1.071, sedangkan sarana dan
prasarana meliputi sarana penangkapan ikan dan pelabuhan perikanan pantai yang
dikenal dengan PPP Kwandang, selain itu Kecamatan Kwandang memiliki sarana
penunjang yang meliputi Taksi Mina Bahari (TMB), Balai Pertemuan nelayan
(BPN) dan pabrik es (DKP Kabupaten Gorontalo Utara, 2012)
Salah satu sumberdaya perikanan non ikan yang memiliki potensi yang
cukup besar di Kecamatan Kwandang adalah kepiting bakau (Scylla serrata) dan
saat produksi kepiting bakau mulai mengalami peningkatan dari tahun ke tahun,
jumlah produksi kepiting bakau pada tahun 2010 mencapai 12.913 ton/tahun
dengan harga rata-rata Rp.56.000 sedangkan pada tahun 2011 mencapai 14.594
ton/tahun dengan harga rata-rata Rp.60.000. Dari data produksi kepiting bakau
terlihat bahwa permintaan kepiting bakau dari tahun 2010 dan 2011 mengalami
peningkatan produksi, hal ini sebabkan karena meningkatnya permintaan daging
kepiting di Kabupaten Gorontalo Utara khususnya di restaurant-restaurant yang di
Provinsi Gorontalo, bahkan permintaan kepiting bakau tidak hanya di sekitar
Gorontalo saja, tetapi juga di luar daerah seperti Makassar, Manado dan Palu, oleh
karena itu peningkatan produksi kepiting bakau lebih diutamakan sehingga
Kabupaten Gorontalo Utara kedepannya dapat dijadikan sebagai daerah yang
mempunyai produksi kepiting terbesar dan juga akan menguntungkan bagi daerah
itu sendiri (DKP Kabupaten Gorontalo Utara, 2012)
C. Parameter Populasi Kepiting Bakau (Scylla serrata)
1. Hubungan Lebar Karapaks dan Berat Kepitng
Jumlah kepiting bakau (Scylla serrata) yang diperoleh dari penelitian ini
sebanyak 1011 ekor, yaitu 739 ekor kepiting jantan dan 272 ekor kepiting betina.
Jumlah kepiting jantan lebih banyak dibandingkan dengan kepiting betina, hal ini
diduga pada saat nelayan menangkap kepiting betina tidak berada di daerah hutan
mangrove, diperkirakan kepiting bakau sedang berada di perairan pantai sampai
ke laut dalam untuk melakukan pemijahan sedangkan kepiting jantan setelah
melakukan perkawinan tetap berada di daerah hutan bakau untuk mencari makan,
berlindung dan membesarkan diri, sehingga pada saat nelayan menangkap
kepiting jantan paling banyak ditemukan di daerah bakau. Sedangkan untuk
kepiting betina setelah memijah akan beruaya ke perairan pantai, muara sungai
sampai ke daerah bakau untuk mencari makan dan melakukan perkawinan.
Dari pengukuran yang diperoleh, kisaran untuk lebar karapaks kepiting
jantan 50-180,33 mm dengan berat tubuh 100,04-1700,88 gram, sedangkan pada
kepiting betina kisaran lebar karapaks 50,25-171,88 mm dengan berat tubuh
mencapai 100,05-1400,88 gram. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Asmara (2004) dan Tuhuteru (2003), dimana hasil
penelitian Asmara (2004), lebar karapaks kepiting bakau (Scylla serrata) berkisar
antara 31,5 – 122,5 mm dengan berat tubuhnya berkisar antara 53,75 – 286,08
gram allometrik negatif baik kepiting jantan maupun betina, sedangkan hasil
penelitian Tuhuteru (2003), hubungan antara lebar karapaks dengan berat tubuh
kepiting jantan bersifat allometrik positif dan untuk betina bersifat allometrik
negatif.
Menurut Biusing (1987) dalam Asmara (2004), bahwa ukuran kepiting yang
tidak selalu sama disebabkan oleh perbedaan strategi hidup atau pola adaptasi dari
kepiting tersebut, sedangkan menurut Hartnoll (1982) dalam Asmara (2004),
perbedaan diduga karena adanya faktor luar seperti perbedaan iklim mikro yang
optimum seiring dengan perbedaan musim dan faktor dalam seperti jenis kelamin
dan tingkat kedewasaan. Hubungan antara lebar karapaks dengan berat tubuh
kepiting bakau (Scylla serrata) jantan dan betina dapat dilihat pada Gambar 6
berikut:
Gambar 6. Hubungan antara Lebar Karapaks dengan Berat Tubuh Kepiting
Bakau (Scylla serrata) Jantan dan Betina di Kecamatan Kwandang
Kabupaten Gorontalo Utara.
Dari Gambar 6 terlihat bahwa hubungan antara lebar karapaks dengan berat
tubuh pada kepiting jantan memiliki persamaan W= -666,2513L9,8410
dengan
korelasi (R2) = 0,7570, sedangkan pada betina W = -657,1955L
9,5295 dengan nilai
korelasinya (R2) = 0,9040. Nilai korelasi menunjukkan korelasi positif antara
lebar karapaks dengan berat tubuh, artinya penambahan bobot tubuh berhubungan
erat dengan lebar karapaks, sehingga dapat dikatakan bahwa pertumbuhan
kepiting bakau baik yang jantan maupun betina bersifat allometrik negatif, dimana
pertambahan lebar karapaks lebih cepat dari pada berat tubuh kepiting karena nilai
b yang diperoleh dari penelitian ini sebesar 9,8410 dan 9,5295, hal ini diduga
W = -666,2513L9,8410
R2 = 0,7570
-500
0
500
1000
1500
2000
0 50 100 150 200
W = -657,1955L9,5295
R2 = 0,9040
-200.00
0.00
200.00
400.00
600.00
800.00
1000.00
1200.00
0 50 100 150 200
Betina
Jantan
Lebar Karapaks (mm)
karena ketersediaan jumlah makanan di alam sedikit sehingga pertambahan lebar
karapaks lebih besar dari pada berat tubuh kepiting. Interceps kepiting jantan lebih
kecil dari kepiting betina (-666,2513 lebih kecil -657,1955), maka kepiting betina
akan lebih berat dari pada kepiting jantan pada lebar karapaks yang sama. Hasil
pengukuran lebar karapaks dengan berat tubuh kepiting jantan dan betina dapat
dilihat pada Lampiran 1 dan 2.
Menurut Warner (1977) dalam Asmara (2004), jika b > 1 maka
pertumbuhan bersifat allometrik negatif yang berarti bahwa pertambahan lebar
karapaks lebih cepat dari pada berat tubuhnya, sedangkan b < 1 menunjukkan
bahwa pertumbuhan yang allometrik positif yang berarti bahwa pertambahan berat
tubuhnya lebih cepat dari pada lebar karapaksnya. Nilai b ini merupakan koefisien
pertumbuhan yang menggambarkan kecendurungan pertambahan lebar karapaks
terhadap berat tubuh organisme. Pada kepiting yang dianalisa, diperoleh nilai b
>1 (allometrik negatif) yang berarti pertambahan lebar karapaks lebih dominan
dibandingkan dengan berat tubuh kepiting. Hal ini diduga karena kurangnya
jumlah makanan yang tersedia di alam sehingganya pertambahan lebar karapaks
lebih besar dari pada tubuhnya.
2. Kelompok Umur
Berdasarkan hasil analisis ukuran kelas kepiting bakau (Scylla serrata)
menunjukkan bahwa distribusi frekuensi lebar karapaks total, tengah kelas dan
nilai selisih logaritma frekuensi kepiting yang terkumpul selama penelitian di
Kecamatan Kwandang Kabupten Gorontalo Utara dapat dilihat pada Tabel 4
berikut:
Tabel 4. Distribusi Frekuensi Lebar Karapaks Total, Tengah Kelas dan Nilai
Selisih Logaritma Frekuensi Kepiting Bakau (Scylla serrata) yang
Terkumpul selama Penelitian di Kecamatan Kwandang Kabupaten
Gorontalo Utara.
No Ukuran Kelas
(mm)
Tengah
Kelas
(mm)
Frekuensi
(ekor)
Persentase
(%)
1 50,00 – 61,80
32 3,1652
2 61,81 – 73,61 54 5,3412
3 73,62 – 85,42 93 9,1988
4 85,43 – 97,23 153 15,1335
5 97,24 – 109,04 143 14,1444
6 109,05 – 120,85 139 13,7488
7 120,86 – 132,66 145 14,3422
8 132,67 – 144,47 103 10,1879
9 144,48 – 156,28 61 6,0336
10 156,29 – 168,09 77 7,6162
11 168,10 – 180,33 11 1,0880
Jumlah
1011 100,0000 Sumber: Olahan Data Primer, 2012
Jumlah sampel kepiting bakau (Scylla serrata) yang diperoleh selama
penelitian di Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara sebanyak 1011
ekor dengan kisaran lebar karapaks 50,00–180,33 mm. Kepiting bakau (Scylla
serrata) dikelompokkan berdasarkan ukuran kelas kemudian dihitung frekuensi.
Dari ukuran kelas yang ada frekuensi terbanyak berada pada kisaran lebar
karapaks 85,43 – 97,23 mm sebanyak 153 ekor kepiting, sedangkan frekuensi
paling sedikit berada pada kisaran lebar karapaks 168,10 – 180,33 mm sebanyak
11 ekor kepiting. Hal ini diduga karena pada saat pengukuran menggunakan
metode pengambilan sampel secara acak, sehingga ukuran kepiting di lokasi
penelitian tidak tersebar secara merata, oleh karena itu ukuran yang paling
banyak diperoleh berada pada kisaran lebar karapaks 85,43 – 180,33 mm, selain
61,805
73,615 85,425 97,235 109,045
120,855 132,665
144,475 156,285 168,095
itu umumnya populasi kepiting yang tersebar di wilayah penelitian adalah
kepiting yang berukuran besar.
Berdasarkan hasil analisis Bhattacharya (1967) dalam Sparre dan Siebren
(1999), dengan menggunakan hasil pemetaan selisih logaritma frekuensi teoritis
terhadap nilai tengah kelas diperoleh tiga kelompok umur pada kepiting bakau
(Scylla serrata). Dari hasil penelitian yang dilakukan pemetaan logaritma lebar
karapaks total terhadap nilai tengah kelas diperoleh 3 lebar rata-rata dengan
ukuran lebar karapaks masing-masing L1, L2 dan L3. Gambar 6 menunjukkan hasil
pemetaan selisih logaritma lebar karapaks total (sumbu Y) terhadap nilai tengah
kelas (sumbu X) kepiting bakau (Scylla serrata) masing-masing umur relatif satu
di Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara, sebagai berikut:
Gambar 7. Grafik Pemetaan Selisih Logaritma Lebar Karapaks Total (sumbu Y)
terhadap Nilai Tengah Kelas (sumbu X) Kepiting Bakau (Scylla
serrata) pada Umur Relatif Satu Tahun di Kecamatan Kwandang
Kabupaten Gorontalo utara.
Berdasarkan Gambar 7 diatas terlihat bahwa kelompok umur kepiting yang
berumur satu tahun memiliki L1 105,7302 mm dan nilai korelasi (R2) yaitu 0,7510
dengan persamaan 0,6661 + 0,0000063 x. Kepiting yang berumur satu tahun
memiliki ukuran lebar karapaks yang berkisar antara 50,00 – 120, 85 mm. Untuk
distribusi ukuran kelas, tengah kelas, frekuensi, logaritma frekuensi dan selisih
0.1000
0.0000
0.1000
0.2000
0.3000
0 20,000 40,000 60,000 80,000 100,000 120,000
Δ L
og
F
Tengah Kelas (mm)
y = 0,6661 + 0,0000063 x
r = 0,7510
L1 = 105,7302 mm
logaritma kepiting yang terkumpul selama penelitian yang berumur satu tahun
dapat dilihat pada Lampiran 4.
Ukuran lebar karapaks kepiting yang berumur dua tahun berdasarkan hasil
pemetaan selisih logaritma lebar karapaks total (sumbu Y) terhadap nilai tengah
kelas (sumbu X) kepiting bakau (Scylla serrata) yang berumur dua tahun dapat
dilihat pada Gambar 8 berikut:
Gambar 8. Grafik Pemetaan Selisih Logaritma Lebar Karapaks Total (sumbu Y)
terhadap Nilai Tengah Kelas (sumbu X) Kepiting Bakau (Scylla
serrata) pada Umur Relatif Dua Tahun di Kecamatan Kwandang
Kabupaten Gorontalo utara.
Berdasarkan Gambar 8 diatas kelompok umur kepiting yang berumur dua
tahun memiliki L2 121,3173 mm dan nilai (R2) 0,9590 yang memiliki persamaan
1,2617 + 0,0000104 x dengan ukuran lebar karapaks kepiting berkisar antara
109,05 – 156,28 mm. Hasil analisis terhadap distribusi ukuran kelas, tengah kelas,
frekuensi, logaritma frekuensi dan selisih logaritma kepiting yang terkumpul
selama penelitian yang berumur dua tahun dapat dilihat pada Lampiran 5.
Sedangkan untuk kelompok umur kepiting pada umur relatif tiga tahun
dapat ditunjukkan melalui hasil pemetaan selisih logaritma lebar karapaks total
y = 1,2610 +0,0000104
r = 0,959
-0.3000
-0.2500
-0.2000
-0.1500
-0.1000
-0.0500
0.0000
0.0500
115,000 120,000 125,000 130,000 135,000 140,000 145,000 150,000
Δ L
og
F
Tengah Kels (mm)
(sumbu Y) terhadap nilai tengah kelas (sumbu X) kepiting bakau (Scylla serrata)
dapat dilihat pada Gambar 9 berikut:
Gambar 9. Grafik Pemetaan Selisih Logaritma Lebar Karapaks Total (sumbu Y)
terhadap Nilai Tengah Kelas (sumbu X) Kepiting Bakau (Scylla
serrata) pada Umur Relatif Tiga Tahun di Kecamatan Kwandang
Kabupaten Gorontalo utara.
Dari Gambar 9 diatas menunjukkan bahwa hasil dari pemetaan selisih
logaritma lebar karapaks total yang berumur tiga tahun memiliki L3 157,5942 mm
dan nilai (R2) 1, dimana persamaannya 12,6232 + 0,0000801 x dengan ukuran
lebar karapaks berkisar antara 144,48 – 180,33 mm. Hasil analisis terhadap
distribusi ukuran kelas, tengah kelas, frekuensi, logaritma frekuensi dan selisih
logaritma kepiting yang terkumpul selama penelitian yang berumur tiga tahun
dapat dilihat pada Lampiran 6.
Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil yang diperoleh Syamsuddin
(1993), dengan ukuran yang diperoleh kepiting yang berumur satu tahun berkisar
antara 40,25 – 112,32 mm, ukuran kepiting yang berumur dua tahun antara
112,33–130,34 mm sedangkan yang berumur tiga tahun 130,35 – 150,80 mm. Jika
-50,000
0
50,000
100,000
150,000
200,000
0 50,000 100,000 150,000 200,000
Δ L
og
F
(Su
mb
u Y
)
Tengah Kelas (mm)
(Sumbu X)
y = 12,6233 + 0,0000801 x
r = 1
L3 = 157,5942 mm
dibandingkan dengan hasil yang diperoleh, maka ukuran kepiting yang berumur
satu tahun memiliki lebar karapaks 50,00-120,85 mm, kepiting yang berumur dua
tahun 109,05-156,28 mm sedangkan yang berumur tiga tahun 144,48-180,33 mm.
Menurut Effendi (1978), bahwa perbedaan ukuran lebar karapaks kepiting
disebabkan oleh adanya perbedaan lokasi penelitian, ketersediaan pakan di alam,
umur, ruang gerak, genetik, waktu penelitian dan faktor lainnnya, sedangkan
menurut hasil penelitian Djunaidah dkk (2004), bahwa perbedaan lebar karapaks
disebabkan oleh adanya perbedaan substrat, karena substrat yang baik untuk
kepiting adalah substrat berlumpur sehingga dengan substrat yang berlumpur
menghasilkan pertumbuhan lebar karapaks yang cukup tinggi.
Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan penangkap kepiting bahwa
musim kepiting terjadi pada bulan September sampai dengan bulan Maret.
Informasi ini didukung oleh pendapat Suman dan Sumiono (1991), yang
menyatakan bahwa musim kepiting berlangsung sepanjang tahun dan puncaknya
berlangsung antara bulan Oktober sampai dengan Maret. Biasanya nelayan
memperoleh hasil tangkapan yang cukup besar pada bulan tersebut terutama pada
bulan gelap atau empat hari setelah air pasang dan hasil tangkapan yang diperoleh
akan dijual ke tempat penampungan kepiting bakau (Alwin, 2012).
3. Pertumbuhan
Informasi tentang parameter pertumbuhan merupakan hal yang mendasar
dalam upaya pengelolaan sumberdaya perikanan alasannya adalah karena
parameter tersebut dapat memberikan kontribusi dalam menduga produksi, ukuran
stok rekruitmen, dan laju kematian (mortalitas) dari suatu populasi (Sparre dan
Siebren, 1999).
Hasil analisis dengan metode Von Bertalanffy dalam Sparre dan Siebren
(1999), diperoleh nilai lebar maksimum (L∞) kepiting bakau (Scylla serrata) di
Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara sebesar 188,4860 mm,
koefisien laju pertumbuhan (K) adalah 0,3989 pertahun sedangkan umur teoritis
(t0) dengan menggunakan rumus Pauly (1980) yaitu -0,2189 tahun. Untuk
memperoleh nilai L∞, K, dan to kepiting bakau dapat dilihat pada Lampiran 7.
Berdasarkan nilai L ∞, K, dan to yang diperoleh dengan menggunakan
persamaan Von Bertalanffy )1()( 0ttK
t eLL
didapatkan persamaan
pertumbuhan kepiting bakau (Scylla serrata) di Kecamatan
Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara sebagai berikut:
Lt = 188,4860 (1 – e 0,3989 (t+-0,2189)
)
Berdasarkan hasil persamaan diatas diketahui lebar karapaks kepiting bakau
dari umur relatif, sehingga pertambahan lebar karapaks dapat dihitung untuk
setiap tahunnya sampai mencapai lebar maksimum, dibandingkan dengan hasil
yang diperoleh Syamsuddin (1993), nilai lebar karapaks maksimum (L∞) lebih
kecil yaitu mencapai 173,0659 mm sedangkan koefisien laju pertumbuhannya (K)
lebih besar yaitu 0,4995 pertahun, hal ini dikarenakan oleh adanya perbedaan
lokasi penelitian, tahun penelitian dan ukuran lebar karapaks kepiting bakau
(Scylla serrata), sehingga lebar maksimum (L∞) dengan koefiseien laju
pertumbuhan (K) kepiting berbeda. Dari persamaan diperoleh kurva pertumbuhan
kepiting bakau, seperti yang terlihat pada Gambar 10 berikut ini:
Gambar 10. Kurva Pertumbuhan Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Kecamatan
Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara.
Berdasarkan kurva pertumbuhan kepiting bakau yang terlihat pada Gambar
10 bahwa pertumbuhan kepiting bakau pada umur satu tahun relatif cepat dan
pada saat kepiting mencapai umur dua sampai tiga tahun pertumbuhannya
cenderung lambat dan akan tetap mengalami pertumbuhan sampai dengan
mencapai lebar karapaks maksimum. Menurut (Azis, 1989), pertumbuhan lebar
kepiting bakau (Scylla serrata) yang cepat terjadi pada umur muda dan semakin
lambat seiring dengan bertambahnya umur sampai mencapai lebar asimptot
dimana kepiting bertambah lebar, selain itu, pertumbuhan cepat bagi biota yang
berumur muda terjadi karena energi yang didapatkan dari makanan sebagian besar
digunakan untuk pertumbuhan, sedangkan Pada biota tua energi yang didapatkan
dari makanan tidak lagi digunakan untuk pertumbuhannya, tetapi hanya
digunakan untuk mempertahankan dirinya dan mengganti sel – sel yang rusak
(Jalil dan Mallawa, 2001).
-20
0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5Umur Relatif
Lt = 188,4860 (1 – e 0,3989(t + 0,2189)
L (
t)
4. Mortalitas
Pendugaan laju mortalitas total (Z) dianalisis dengan menggunakan metode
Beverton dan Holt (Sparred an Siebren 1999). Nilai dugaan mortalitas seketika
untuk kepiting bakau (Scylla serrata) diperoleh sebesar 0,4854 pertahun dan
untuk mortalitas alami (M) dengan menggunakan rumus Pauly (1980) dengan
memasukan nilai K= 0,3989 pertahun, L∞= 188,4860 mm dan suhu perairan
29,28oC, sehingga diperoleh nilai mortalitas alami (M) = 0,0870 pertahun
sedangkan untuk mortalitas penangkapan (F) diperoleh dengan mengurangi nilai Z
terhadap M sehingga diperoleh nilai dugaan mortalitas penangkapan (F) kepiting
adalah 0,3984 pertahun. Untuk memperoleh nilai mortalitas total, mortalitas alami
dan mortalitas penangkapan dapat dilihat pada Lampiran 8. Analisis laju
mortalitas kepiting bakau (Scylla serrata) dapat dilihat pada Tabel 5 berikut ini:
Tabel 5. Analisis Laju Mortalitas Total, Mortalitas Alami dan Mortalitas
Penangkapan Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Kecamatan
Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara.
Parameter Populasi Nilai Dugaan (Per Tahun)
Mortalitas Total (Z) 0,4854
Mortalitas Alami (M) 0,0870
Mortalitas Penangkapan (F) 0,3984 Sumber: Olahan Data Primer, 2012.
Berdasarkan hasil perhitungan di atas nilai mortalitas alami (M) lebih kecil
dibandingkan dengan nilai mortalitas penangkapan (F). Menurut Sparre dan
Siebren (1999), besarnya nilai mortalitas penangkapan (F) disebabkan karena
kematian kepiting bakau di Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara
karenan faktor penangkapan, sehingga dapat mengakibatkan penurunan jumlah
stok kepiting bakau secara drastis. Jika penangkapan dilakukan secara terus
menerus tanpa ada suatu pengaturan, maka sumberdaya hayati non ikan di waktu
yang akan datang akan mengalami kelebihan tangkapan dan akan menyebabkan
terganggunya kelestarian sumberdaya hayati itu sendiri.
D. Parameter Pendukung Kehidupan Kepiting Bakau (Scylla serrata)
Pengukuran kualitas air untuk kehidupan kepiting bakau dilakukan secara
langsung di lapangan. Pengukuran parameter kualitas air diambil dibeberapa
lokasi pengambilan kepiting yang merupakan habitat dari kepiting. Hasil
pengukuran kualitas air dapat dilihat pada Tabel 6 berikut:
Tabel 6. Hasil Pengukuran Parameter Kualitas Air pada setiap Lokasi
Pengambilan Kepiting Bakau di Kecamatan Kwandang Kabupaten
Gorontalo Utara.
Parameter Kualitas Air
No Suhu
(ºC)
Salinitas
(ppt)
pH
1 28,5 24 7,5
2 27,9 25 7,74
3 30 25 7,4
4 29,7 23 7,8
5 29,9 24 7,8
6 29 23 8,03
7 30 21 7,63
Rata-rata 29,28
Sumber: Hasil Penelitian, 2012.
1. Suhu
Suhu merupakan faktor abiotik yang berperan penting dalam pengaturan
aktifitas hewan akuatik yang mempengaruhi proses fisiologi ikan seperti respirasi,
metabolisme, konsumsi pakan, pertumbuhan, tingkah laku, dan reproduksi serta
mempertahankan hidup.
Berdasarkan hasil yang diperoleh bahwa kisaran suhu yang diperoleh dari
hasil pengukuran selama penelitian yang berlokasi di beberapa desa tempat
pengambilan kepiting berkisar antara 28,5-30ºC (Tabel 6). Menurut Cholik (2005)
dalam Agus (2008), suhu yang dapat diterima untuk kehidupan kepiting bakau
(Scylla serrata) adalah 18°C – 35°C, sedang suhu yang ideal adalah 25 – 30°C,
sehingga dari hasil yang diperoleh dapat dikatakan bahwa kisaran suhu pada
beberapa lokasi pengukuran yang bertempat di Kecamatan Kwandang masih
dalam kondisi yang baik untuk pertumbuhan kepiting bakau.
2. Salinitas
Perubahan salinitas tidak langsung berpengaruh terhadap perilaku biota
tetapi berpengaruh terhadap perubahan sifat kimia air (Brotowidjoyo, et al. 1995
dalam Agus, 2008). Perubahan salinitas akan sangat berpengaruh langsung
terhadap kondisi fisiologi kepiting terkait dengan proses osmoregulasi dan
Moulting, karena salinitas sangat berpengaruh terhadap tekanan osmotik air, sifat
osmotik dari air berasal dari seluruh elektrolit yang terlarut dalam air tersebut
(Gunarto, 2002).
Kisaran salinitas yang diperoleh dari penelitian ini berkisar antara 21-25 ppt
(Tabel 6), kisaran salinitas tersebut masih dalam batas normal sehingga dapat
dikatakan bahwa kepiting bakau di Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo
Utara dapat tumbuh dengan baik dengan kisaran salinitas yang optimal. Hasil
yang diperoleh sesuai dengan pendapat Ramelan (1994) dalam Agus (2008), yang
menyatakan bahwa kepiting bakau akan tumbuh dengan baik pada kisaran
salinitas antara 15-25 ppt.
3. pH
Menurut Boyd (1990) dalam Agus (2008), derajat keasaman atau pH
menggambarkan aktifitas potensial ion hirogen dalam larutan yang dinyakatan
sebagai konsentrasi ion hidrogen (mol/l) pada suhu tertentu, atau pH = - log (H+). Air
murni mempunyai nilai pH = 7, dan dinyatakan netral, sedang pada air payau normal
berkisar antara 7 – 9. Perairan yang asam cenderung menyebabkan kematian pada
ikan demikian juga pada pH yang mempunyai nilai kelewat basa, hal ini
disebabkan konsentrasi oksigen akan rendah sehingga aktifitas pernafasan tinggi
dan berpengaruh terhadap menurunnya nafsu makan (Ghufron dan H. Kordi, 2005
dalam Agus, 2008).
Kisaran pH air yang diperoleh selama penelitian berkisar antara 7,4 – 8,03
(Tabel 6), kisaran diperoleh tergolong dalam kondisi yang layak untuk
pertumbuhan kepiting bakau (Scylla serrata). Sedangkan menurut Amir (1994)
dalam Agus (2008), kepiting bakau mengalami pertumbuhan dengan baik pada
kisaran pH 7,3 – 8,5.
Kepiting bakau (Scylla serrata) pada umumnya akan berkembang dengan
baik apabila didukung oleh parameter pendukung yang meliputi, suhu, salinitas
dan pH. Apabila parameter pendukung tidak berada dalam kondisi yang optimal
maka akan membahayakan kelangsungan hidup kepiting bakau, jadi diperlukan
parameter pendukung yang baik sehingga kepiting bakau dapat tumbuh dengan
baik.