Post on 04-Feb-2021
35
BAB III
PEMBAHASAN DAN ANALISIS
A. Kronologi Pengujian Pasal 122 huruf l UU MD3
Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan tujuh putusan untuk tujuh
permohonanterkait Pasal 122 huruf l UU MD3. Namun dari ketujuh permohonan,
hasilnya enam diantaranya Putusan tidak diterima dan satuPutusan diterima
sebagian.Keenam Putusan menyebutkan bahwaPara pemohon tidak memiliki
kedudukan hukum atau legal standing maka dari itu dinyatakan tidak diterima.
Dalil yang diajukan para pemohon diantaranya Pasal 122 huruf l UU MD3:
- Sifat Anti-Demokrasi dan menyalahi atau bertentangan dengan prinsip
kepastian hukum, prinsip dasar Hak Asasi Manusia, serta fungsi DPR
secara konstitusional.
- Berpotensi mengekang daya kritis rakyat, daya kritis mahasiswa
- Bertentangan dengan hak jawab pasal 1 angka 11 dan 12 UU Pers.
- Berpotensi menimbulkan multitafsir dalam penerapannya
- Pasal karet karena tidak adanya kejelasan parameter apa saja yang disebut
tindakan merendahkan kehormatan DPR dan Anggota DPR
- Berpotensi melanggar hak atas kebebasan berbendapat bagi warga negara
Indonesia.
36
Apabila dibandingkan dengan keseluruhan dalil tersebut diatas yang tidak
diterima terhadap dalil pemohon yang diterima sebagian permohonannya maka
ada perbedaan. Pada putusan yang diterima yaitu Putusan Nomor 16/PUU-
XVI/2018 yang diajukan oleh Forum Kajian Umum dan Konstitusi dan Kawan
Kawan, yang mendalilkan bahwa lahirnya Pasal 122 huruf l UU MD3 karena
Mahkamah Kehormatan Dewan telah melampaui batas memegang kewenangan
untuk melindungi DPR dan Anggota DPR. Kemudian Pasal 122 huruf l UU MD3
dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak memiliki kekuatan
hukum mengikat.
Pada penjabaran beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi diatas bahwa Pasal
122 huruf l UU Nomor 2 Tahun 2018 tentang MD3 dinyatakan “Inkonstitusional”
menurut Mahkamah Konstitusi. Inkonstitusionalitas Pasal 122 huruf l UU MD3
adalah sebagai berikut:
a. Bahwa terkait dengan institusi MKD yang diberi tugas untuk
“mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang
perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum” pada huruf e)
Rumusan sebagaimana tertuang dalam Pasal 122 huruf l UU MD3 frasa
“mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain ...” dapat ditafsirkan
bahwa MKD melakukan langkah hukum terhadap pihak eksternal yang
dianggap merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR, sehingga
seolah-olah mengambil alih kewenangan penegak hukum. terbukti pada
sebagian risalahnya dilampirkan oleh DPR kepada Mahkamah tidak
ditemukan adanya keterangan yang secara eksplisit menyatakan bahwa
37
frasa “mengambil langkah hukum” tersebut adalah mengarah kepada
fungsi hukum pidana yang dilaksanakan oleh penegak hukum.
b. Bahwa melalui Pasal 122 huruf l UU MD3, kepada MKD diserahi tugas
untuk mengambil langkah hukum dan/atau langkah lainnya terhadap
orang perorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang dinilai
merendahkan martabat DPR dan anggota DPR. Konstruksi perumusan
norma apabila suatu perbuatan hendak diatur sebagai perbuatan yang
dilarang dan terhadapnya dapat dikenakan sanksi hukum, maka norma
hukum yang mengatur perbuatan tersebut harus memenuhi syarat
kejelasan rumusan atau sesuai dengan prinsip lex stricta dan lex certa. e)
Bahwa dengan menelaah secara seksama rumusan Pasal 122 huruf l UU
MD3, khususnya frasa “merendahkan kehormatan DPR dan anggota
DPR”, hal itu dirumuskan dengan norma yang sangat umum, tidak jelas
dan multitafsir. Frasa “merendahkan kehormatan” sangat fleksibel untuk
dimaknai dalam bentuk apapun.
c. Pasal 122 UU MD3 menempatkan orang perorangan atau badan hukum
sebagai pihak yang dianggap juga dapat ikut merendahkan kehormatan
dan martabat DPR. Padahal, sesuai Pasal 125 UU MD3, perorangan dan
badan hukum adalah subjek hukum yang ikut membantu MKD dalam
menjaga kehormatan DPR melalui pengaduan yang disampaikan kepada
MKD. Terjadi pergeseran peran MKD melalui perubahan Pasal 122
huruf l UU MD3 justru menimbulkan ketidaksinkronan antarnorma UU
38
MD3, khusus materi muatan terkait MKD sehingga bertentangan dengan
UUD 1945.1
Alasan-alasan Kontra terhadap ada Pasal 122 I menurut Sulardi karena :
a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) telah mengatur soal
penghinaan terhadap pemerintah. Pasal 207 dalam undang-undang itu
menyatakan bahwa siapa pun yang menghina kekuasaan atau suatu
majelis umum dapat dihukum selama-lamanya 1,5 tahun kurungan.
b. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 013-022/PUU-I/2006
menyatakan bahwa penghinaan terhadap pemerintah, termasuk DPR,
hanya dapat diterapkan berdasarkan pengaduan dari penguasa. Demikian
juga penghinaan terhadap pegawainya menjadi delik aduan berdasarkan
Putusan MK Nomor 31/PUU-XIII/2015.
c. Revisi UU MD3 tidak bisa dikategorikan sebagai ketentuan spesialis atas
peraturan generalis yang termuat dalam KUHP. Apabila tetap disahkan
maka menimbulkan kekacauan dalam ketatanegaraan di Indonesia.
d. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata "merendahkan"
bersinonim dengan "menghina". Masalahnya, apabila kata
"merendahkan" itu diperluas, artinya bisa bermacam macam. Sebab,
1 Badan Keahlian DPR RI Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Info Juducial Review
Putusan Mahkamah konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018 Perihal Pengujian Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2018 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945tertanggal 28 Juni 2018.
39
menghina itu juga berarti memburukkan nama baik orang dan
menyinggung perasaan orang, seperti memaki-maki..2
Bahwa yang dimaksud oleh Ahli Hukum Tata Negara Sulardi dalam RKUHP
juga ada Pasal yang mengintrepretasikan tentang Pasal Penghinaan yaitu
Penghinaan Presiden dan Wapres.Pasal 265 RKUHP secara lengkap berbunyi
“Setiap orang yang di muka umum menghina presiden atau wakil presiden,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda
paling banyak Kategori IV.” Denda yang dimaksud sebagai Kategori IV adalah
sebagaimana termaktub dalam ketentuan RKUHP dengan nilai paling banyak dari
denda yang diusulkan pemerintah yaitu Rp300 juta. Sedangkan Pasal 266 RKUHP
menyebutkan “Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau
menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau
memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum yang berisi
penghinaan terhadap Presiden atau Wapres dengan maksud agar isi penghinaan
diketahui atau lebih diketahui umum, akan dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.”
Pasal 265 dan Pasal 266 RKUHP secara substansi sama dengan Pasal 134,
Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP yang juga mengatur mengenai delik pidana
penghinaan kepada Presiden dan Wapres. Untuk lebih jelasnya Pasal 134, pasal
136 bis, dan Pasal 137 KUHP berbunyi sebagai berikut:
“Penghinaan dengan sengaja terhadap Presiden atau Wakil Presiden
diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun, atau pidana
denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah” Pasal 134. 2Sulardi, DPR yang Merendahkan Kehormatannya Sendiri, Dosen Hukum Tata Negara
Universitas Muhammadiyah Malang diakses melalui Tempo.co edisi Senin, 19 Februari 2018.
40
“Pengertian penghinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134
mencakup juga perumusan perbuatan dalam Pasal 315, jika hal itu
dilakukan diluar kehadiran yang dihina, baik dengan tingkah laku di
muka umum, maupun tidak di muka umum dengan lisan atau tulisan,
namun di hadapan lebih dari empat orang, atau di hadapan orang ketiga,
bertentangan dengan kehendaknya dan oleh karena itu merasa
tersinggung” Pasal 136 bis.
“Barangsiapa menyiarkan, mempertunjuk-kan, atau menempelkan di
muka umum tulisan atau lukisan yang berisi penghinaan terhadap
Presiden atau Wakil Presiden, dengan maksud supaya isi penghinaan
diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana
penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling
banyak empat ribu lima ratus rupiah” Pasal 137 Ayat (1).
“Jika yang bersalah melakukan kejahatan pada waktu menjalankan
pencariannya, dan pada saat itu belum lewat dua tahun sejak adanya
pemidanaan yang menjadi tetap karena kejahatan semcam itu juga, maka
terhadapnya dapat dilarang menjalankan pencaharian tersebt” Pasal 137
Ayat (2).
Pada 6 Desember 2006, MK mengabulkan permohonan uji materi Pasal 134,
Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP telah diajukan uji materi (judicial review)
bertentangan dengan Pasal 28 f UUD Tahun 1945 yang menjamin kebebasan
warga negara memperoleh dan menyampaikan informasi melalui Putusan MK No.
013-022/ PUU-IV/2006 dan menyatakan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137
KUHP bertentangan dengan UUD Tahun 1945, oleh karenanya tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat. Pertimbangan MK mengabulkan uji materi tersebut
karena pemberlakuan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP berakibat
mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan
informasi, serta prinsip kepastian hukum. 3
3Putusan MK No. 013-022/ PUU-IV/2006.
41
Pencatuman pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wapres dalam RKUHP
menimbulkan Pro karena Presiden juga lekat dengan kepentingan negara dan
kekuasaan negara sehingga perlu norma hukum yang mengatur tentang martabat
dan kehormatannya agar tetap terjaga dengan baik. Pembuatan pasal tersebut
Wicipto Setiadi, Kepala BPHN dan anggota Tim Perumus RKUHP tidak
mengarah pada sesuatu yang disebut sebagai perilaku anti demokrasi.Oleh karena
itu menurut Wicipto, semua orang diperkenankan untuk mengkritik Presiden dan
Wapres asal tidak disertai dengan penghinaan.4
Pakar Hukum Pidana dari Universitas Indonesia, Indriyanto Seno Adji, yang
berpendapat bahwa Pasal 265 RKUHP tidak perlu dicabut dan harus tetap
dipertahankan karena Pemerintah telah melaksanakan amanat putusan MK karena
telah mengubah delik pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wapres yang
semula formil menjadi materiil. 5
Sementara pihak Kontra adalah Ketua Presidium Indonesia Police Watch
(IPW) Neta S Pane, berpendapat bahwa pencantuman pasal penghinaan kepada
Presiden dalam RKUHP dianggap telah melanggar konstitusi dan legalitasnya
dipertanyakan karena MK telah mencabut pasal serupa dalam KUHP. Selain Neta
S Pane, beberapa anggota DPR-RI juga tidak sependapat jika pasal penghinaan
kepada Presiden dan Wapres dimasukkan dalam RKUHP, di antaranya Eva
Kusuma Sundari, anggota Komisi III dari FPDIP yang menilai pasal penghinaan
4Dian Cahyaningrum, “Polemik Pasal Penghinaan Presiden dan Wakil presiden dalam
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP)”, Info Singkat hukum Vol. V, No.
08/II/P3DI/April/2013 2009, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat
Jenderal DPR RI 5Ibid.,Dian Cahyaningrum
42
kepada Presiden akan menghidupkan politisi “penjilat” selain juga dapat
menurunkan kualitas demokrasi.6
Redaksi pasal yang demikian, dianggap tidak sesuai atau bertentangan dengan
UUD NRI 1945 yang menjunjung semangat negara demokratis. Pembukaan UUD
NRI 1945 dengan jelas menyebutkan bahwa tujuan dibentuknya Negara Indonesia
adalah melindungi bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial.
Konstitusi menghormati, melindungi, dan menjamin setiap orang yang
bermaksud menyampaikan pendapatnya, tetapi tidak untuk pelaku
penghinaan.Bukan merupakan hal yang bijaksana ketika harus memperhadapkan
secara diametral bahwa pengaturan pasal – pasal mengenai penghinaan terhadap
Presiden atau Wakil Presiden dianggap sebagai upaya menghamabat kebebasan
untuk mengemukakan pendapat. Ketika ada hak kebebasan berpendapat, termasuk
di dalamnya kebebasan untuk mengkritik Presiden atau Wakil Presiden, maka
disitu juga akan muncul batasan terhadap hak kebebasan berpendapat. Batasan ini
dapat berupa batasan yang bersifat eksternal seperti paksaan.Paksaan untuk tetap
menghormati pemerintah walaupun dalam upaya mengkritisi kebijakan atau
perilaku Presiden atau Wakil Presiden.Atas dasar pemerintah harus menjaga dan
membatasi pelaksaan hak untuk berpendapat dalam hal ini mengkrritik Presiden
atau Wakil Presiden, maka pemerintah mengeluarkan atau mengakomodasi pasal-
6Ibid.,Dian Cahyaningrum
43
pasal mengenai penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden (pasal 134
KUHP, pasal 136Bis dan pasal 137 KUHP) sebagai landasan hukum dalam
mengatur batasan kritikan terhadap pemerintah.
Menurut Oemar Seno Adji, salah satu persyaratan yang harus diperhatikan
apabila dalam hukum pidana akan mengatur mengenai pembatasan terhadap
kebebasan pers, dalam hal ini kebebasan untuk berpendapat termasuk di dalamnya
kebebasan untuk mengkritik pemerintahan, yaitu harus ada pembatasan yang
bersifat limitatif, untuk hal – hal tertentu akibat dari abuse of liberty, seperti
perbuatan :
1. Penghinaan (baik penghinaan biasa atau ringan atau penghinaan formil dan material).
2. Hasutan. 3. Blasphemy (pernyataan yang ditujukan terhadap agama). 4. Pornografi. 5. Berita bohong. 6. Keamanan nasional dan ketertiban umum (“national security” dan “public
order”).
7. Pernyataan yang menghambat jalannya peradilan (“impede the fair administration of justice”).
7
Bahwa pengaturan mengenai pembatasan hak asasi manusia, dalam hal ini
hak untuk berpendapat adalah dimungkinkan.8
7 Pujiyono.Kumpulan Tulisan Hukum Pidana – Kriminalisasi Atas Kebebasan Pers dalam
Perspektif Hukum Pidana,CV Mandar Maju, Bandung, 2007, hlm 143 8 Penegasan demikian disebutkan dalam Pasal 19 ayat (3) International Covenant on Civil and
Political Rights 1966 :
The exercise of rights provided in paragraph 2 of this article carries with itspecial duties and
responsibilities. It may therefore be subject to certain restriction. Butthese shall only be such asa
are provided by law an necessary :
a. respect of the rights or reputation of other
b. for the protection of nationalsecurit or of public order
Pasal 19 ayat (3) International Covenant on Civil and Political Rights 1966juga diakomodasi oleh
Undang – Undang Dasar 1945, khususnya pasal 28J ayat (1)dan (2) UUD 1945. Pasal ini
berbunyi:
Pasal 28J
44
Benar bahwa terdapat potensi atau kemungkinan terjadinya pelanggaran
terhadap hak-hak konstitusional, khususnya yang diatur dalam Pasal 28 dan Pasal
28 e Ayat (2) dan (3) UUD 1945, yakni dalam hal terdapat keadaan di mana
seseorang yang menyampaikan kritik terhadap Presiden, oleh penyidik atau
penuntut umum dinilai sebagai penghinaan terhadap Presiden. Namun, andaikata
pun keadaan demikian terjadi, hal itu bukanlah merupakan persoalan
konstitusionalitas norma melainkan persoalan penerapan norma. Suatu norma
yang konstitusional tatkala diterapkan di dalam praktik oleh aparat penegak
hukum memang terdapat kemungkinan melanggar hak-hak konstitusional
seseorang, antara lain karena keliru dalam menafsirkannya. Namun, kekeliruan
dalam penafsiran dan penerapan norma sama sekali berbeda dengan
inkonstitusionalitas norma.
Selain dari pihak Institusi Kehakiman dan Pers juga ada Civil Society lain
yang menyatakan ketidaksetujuannya yaitu dari kalangan Akademisi. Akademisi
tersebut adalah Eksekutif Mahasiswa Universitas Brawijaya yang menyatakan
sikap :
1. Menolak dengan tegas segala Bentuk Pelemahan penyampaian Aspirasi di
muka publik serta kritik terhadap Pejabat Negara, baik Eksekutif, Legislatif,
1. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam
tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
2. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tundukkepada pembatasan yang
ditetapkan dengan undang-undang denganmaksud sematamata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatanatas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yangadil sesuai
dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanandan ketertiban umum dalam suatu
masyarakat demokaratis
Pasal 28J ayat (1) dan (2) ini menyatakan bahwa hak asasi manusai dapatdibatasi oelh negara
melalui undang – undang dengan maksud semaa – mata untukmenjamin pengakuan, penghormatan
dan pelaksanaan hak asasi manusia dalamkehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
45
ataupun Yudikatif yang berpotensi mencederai pasal 28 e UUD NRI tahun
1945.
2. Menolak segala bentuk pelemahan terhadap penegakan hukum yang tidak
memandang status apapun baik jabatan, suku, jenis kelamin dan sebagainya.
3. Mendesak DPR segera melakukan Klarifikasi terkait Urgensi pembahasan
serta pengesahan UU MD3.
4. Menolak disahkannya UU tentang perubahan atas UU nomor 17 tahun 2014
tentang MD3 tertanggal 12 Februari 2018 dan Menuntut DPR dan Presiden
mencabut UU tersebut.
5. Menuntut DPR untuk melakukan segala proses pembuatan undang-undang
dengan bijak serta memperhatikan kebutuhan masyarakat Indonesia.
6. Mendukung Mahkamah Konstitusi untuk mempermudah proses Judicial
Review terkait gugatan yang dilakukan atas UU MD3.
7. Mendesak Presiden untuk mengeluarkan PERPPU terkait MD3 guna
menggantikan UU MD3 untuk Sementara waktu apabila UU ini tetap
berjalan. 9
Berdasarkan uraian diatas maka penulis menganalisis bahwa yang menjadi
sumber Kontra adalah :
1. Perbedaan Intrepretasi makna kata merendahkan.
9 Muhammad Nur Fauzan, 2018, Pernyataan Sikap : Menolak UU MD3, Kabinet Adhiyaksa
Jagadhita
46
Pertama harus diketahui terlebih dahulu apakah kata merendahkan dan
mengkritik memiliki arti kata yang sama. Merendahkan yang mempunyai
kata dasar rendah (me-rendah-kan) adalah menjadikan rendah, membawa
hingga menjadi rendah, menurunkan, memandang rendah (hina) orang lain.
Sedangkan Mengkritik adalah mengemukakan kritikan dan atau mengecam10
.
Menurut penulis, mengkritik dan merendahkan itu berbeda, walaupun
didalam pengertian mengkritik juga terdapat kata mengecam.
2. Kewenangan MKD yang bersifat tertutup.
Hal ini dibuktikan dengan artikel yang Kontra dengan Pasal 122 huruf l
berbunyi: “bahwa ini memperlihatkan satu sikap ketertutupan, sehingga
seakan-akan anggota DPR ini kebal dan tidak bisa memilikimitra yaitu para
pemilihnya yang perlu memberikan masukan dan memberikan kritik”11yang
dikemukakan oleh Henny Supolo Kepada SINDOnews pada Kamis, 22
Februari 2018. Singkat kata Ketua Yayasan Cahaya Guru tersebut
memberikan suatu ujaran jika DPR telah memutuskan hubungannya dengan
“mereka” yang disebutkan sebagai pemilihnya atau masyarakat Indonesia.
3. Potensi Pelanggaran Hak Konstitusional Warga Negara.
Pasal 122 huruf l UU MD3 menentang asas kebebasan berpendapat yang
terdapat pada pasal 28 huruf e ayat (3) yang berbunyi : “setiap orang berhak
atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”12.
10
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) versi online/ dalam jaringan,
https://kbbi.web.id/kritik.html diakses pada 6 September 2018. 11
Rico Afrido Simanjuntak, Pasal 122 UU MD3 Perlihatkan Sikap Tertutup DPR pada Rakyat,
edisi Kamis 22 Februari 2018 https://nasional.sindonews.com diakses pada 6 September 2018 12
Pasal 28 huruf e ayat (3) UUD NRI 1945.
https://kbbi.web.id/kritik.htmlhttps://nasional.sindonews.com/
47
Dalam pasal tersebut masyarakat Indonesia yang terkonsep demokrasi berarti
bebas untuk mengeluarkan suatu pendapat apapun tanpa harus terhalangi oleh
adanya Pasal 122 huruf l UUMD3 tersebut.
Penulis menyatakan Pro terhadap Pemberlakuan Pasal 122 Huruf l dengan
menguji menggunakan tiga aspek yaitu :
1. Aspek Negara Hukum dan Demokrasi.
2. Aspek Hak Asasi Manusia yang digaris besarkan pada pembatasan Hak atas
rakyat (Derogable Rights).
3. Aspek memenuhi kewajiban rakyat menghormati Aparatur negara.
Berdasarkan buku yang disusun oleh Susilo Soeharto, Teori pemisahan
kekuasaan ini juga dikemukakan oleh Montesquieu dalam bukunya “L’espirit de
loi” (jiwa perundang-undangan), oleh Immanuel kant teori ini disebut sebagai
doktrin Trias Politica.13
Teori ini terinspirasi dari pemikiran John Locke yang
dituangkan dalam bukunya “Two Treaties on Civil Government” yang
memisahkan kekuasaan negara. Secara garis besar ajaran Montesquieu ini
membagi kekuasaan kedalam tiga bidang pokok yang masing-masing berdiri
sendiri, bahwa satu kekuasaan mempunyai satu fungsi lepas dari kekuasaan lain
yakni:
1. Kekuasaan eksekutif, menjalankan Undang-Undang.
2. Kekuasaan legislatif, menjalankan fungsi membentuk Undang-Undang.
13
Susilo Suharto. Op Cit., hlm. 41.
48
3. Kekuasaan yudikatif, menjalankan fungsi pengadilan.
Berbeda dengan John Locke yang memasukkan kekuasaan yudikatif dalam
kekuasaan eksekutif, Montesquiue memandang pengadilan itu sebagai kekuasaan
yang berdiri sendiri. Hal ini disebabkan ia dalam pekerjaannya sehari-hari sebagai
seorang hakim telah mengetahui bahwa kekuasaan eksekutif adalah berlainan
daripada kekuasaan pengadilan. Sebaliknya oleh Montesquieu kekuasaan
hubungan luar negeri yang oleh Jhon Locke disebut “federatif” dimasukkan ke
dalam kekuasaan eksekutif.Pemisahan kekuasaan menurut Montesquieu
merupakan pemisahan kekuasaan secara keras seperti halnya dengan monarki
terbatas.
Penegakan kedaulatan rakyat menjadi aspek fundamental dalam konstitusi
sesuai Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD)
1945 yang berbunyi kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
UUD. Prinsip ini merupakan hal yang mendasari demokrasi konstitusional
(constitutional democracy).14
Jimly Asshiddiqqie menyatakan bahwa supremasi pemerintahan adalah
supremasi yang didelegasikan dan berpegang pada kepercayaan dari
Rakyat.Kembali lagi ke Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa
Negara Indonesia adalah Negara Hukum.dihubungkan dengan Pasal 1 ayat (2) dan
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, maka kedua Pasal tersebut menyatakan bahwa
14
Jimly Asshiddiqqie. Komentar. Loc Cit., hlm.. 10 – 11.
49
demokrasi adalah wujud kedaulatan rakyat tidak bisa dilandasi kekuatan politik
saja. 15
Asas demokrasi dikaitkan asas negara hukum (nomokrasi). Oleh Jimly
Asshiddiqqie disebut negara hukum demokratis (democratische rechtsstaat) atau
dengan istilah lain yaitu contitutional democracy. Ciri khas negara hukum
demokrasi adalah pelaksanaan prinsip negara hukum dan prinsip-prinsip
kedaulatan rakyat secara bersamaan.16
Menurut Jimly, Demokrasi atau dengan kata lain kedaulatan rakyat bentuknya
dapat berupa hak atas kebebasan berpendapat dan hak asasi lainnya yang dijamin
konsitusi.17
Indonesia menganut paham kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum
dalam rangka mewujudkan Sistem konstitusional.18
Kedaulatan rakyat merupakan
inti dari Demokrasi menurut pandangan Rozak.19
Demokrasi Pancasila yang asli dari Indonesia adalahgagasanBung Karno. Hal
tersebut dapat dibuktikan melalui Pembukaan UUD NRI 1945 dan Batang Tubuh
UUD NRI 1945 pada bab perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial.20
Negara Indonesia memiliki sistem peraturan perundang-undangan yang
hierarkis dan tertulis.21
Oleh karena itu Negara Indonesia dikatakan sebagai
Negara Hukum.22
Indonesia sebagai Negara Hukum terbukti dalam Pasal 1 Ayat
15
Jimly Asshiddiqqie. Hukum. Loc Cit., hlm.. 339. 16
Jimly Asshiddiqqie. Konstitusi. Loc Cit., hlm. 57. 17
Ibid., hlm. 59 18
Ibid., hlm. 76. 19
Ahmad Ubaidillah dan Abdul Rozak. Loc Cit., hlm. 131. 20
Jimly Asshiddiqqie. Konstitusi. Loc Cit., hlm. 124 21
Maria Farida Indrati. Loc Cit., Yogyakarta hlm. 69. 22
Jimly Asshiddiqqie. Konstitusi. Loc Cit., hlm. 128.
50
(3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
berbunyi: “Negara Indonesia adalah Negara hukum”
Demokrasi erat kaitannya dengan Teori Negara Hukum.Teori Negara Hukum
menyebutkan bahwa suatu negara dikatakan sebagai negara hukum apabila
memiliki peraturan perundang-undangan tertulis.Berkaitan dengan hal tersebut,
Jimly memberikan pernyataan sebagai berikut:
“Hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku menjamin
kepentingan akan rasa adil bagi semua orang tanpa terkecuali. Negara hukum
yang dikembangkan adalah democratische rechstaat atau negara hukum yang
demokratis.”23
UU MD3 disahkan sebagai Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17
Tahun 2014 tentang MD3 pada tanggal 5 Agustus 2014. UU ini terdiri atas 428
pasal dan 10 Bab. UU MD3 ini didasarkan pada empat pertimbangan utama antara
lain:
Pertama, bahwa untuk melaksanakan kedaulatan rakyat atas dasar kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,
perlu mewujudkan lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat,
dan lembaga perwakilan daerah yang mampu mengejawantahkan nilai-nilai
demokrasi serta menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat dan daerah sesuai
dengan tuntutan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kedua, bahwa untuk mewujudkan lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga
perwakilan rakyat, dan lembaga perwakilan daerah perlu menata Majelis
23
Jimly Asshiddiqqie. Konstitusi, Ibid., hlm. 132
51
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Ketiga bahwa Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan hukum dan kebutuhan hukum masyarakat sehingga perlu diganti.
Keempat bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana perlu membentuk
Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.24
Adapun UU yang dijadikan rujukan dalam UU MD3 ini diantaranya: Pasal 2,
Pasal 3, Pasal 7A, Pasal 7B, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 11, Pasal 13, Pasal 18 ayat (3),
Pasal 19, Pasal 20, Pasal 20A, Pasal 21, Pasal 22 ayat (2), Pasal 22B, Pasal 22C,
Pasal 22D, Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 23E ayat (2) dan ayat (3), Pasal
23F ayat (1), Pasal 24A ayat (3), Pasal 24B ayat (3), Pasal 24C ayat (2) dan ayat
(3), dan Pasal 37 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.25
B. Pembahasan Pasal 122 huruf l
24
DPR RI. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang
MajelisPermusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah
danDewan Perwakilan Rakyat Daerah. Diakses melalui
www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2014_17.pdf, pada 3 Oktober 2018. 25
DPR RI. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang
MajelisPermusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah
danDewan Perwakilan Rakyat Daerah. Diakses melalui
www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2014_17.pdf, pada 3 Oktober 2018.
52
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat diketahui bahwa UU MD3 ini
merupakan implementasi dari pasal-pasal yang terdapat di dalam UU NRI Tahun
1945. Menurut penulis, kedudukan DPR berbeda dengan lembaga peradilan.DPR
mewakili kepentingan rakyat dan memiliki ruang lingkup Politik.Sehingga berhak
untuk melaksanakan kebijakan politiknya.Setiap kebijakan politik dapat
dilaksanakan asal tidak bertentangan dengan lembaga kekuasaan lainnya.Tidak
ada penjelasan dalam UU MD3 untuk mewajibkan perkara penghinaan untuk
dilaporkan ke pihak kepolisian.Disini penulis berpendapat bahwa bisa saja
implementasi Pasal 122 Huruf I merupakan pasal yang dapat digunakan sebagai
upaya preventif sebelum memasuki wilayah kekuasaan kehakiman.
Demokrasi, Hukum dan Hak Asasi Manusia adalah tiga komponen yang tidak
dapat dipisahkan dan saling terkait. Menurut Kenneth Janda, sebagaimana yang
dikutip oleh Tjipta Lesmana mendefinisikan demokrasi secara sederhana sebagai
”authority in, or rule by, the people”, yang biasa disebut kekuasaan ditangan
rakyat, atau kekuasaanoleh rakyat26
Berdasarkan pernyataan di atas jelas bahwa
dalam negara demokrasi hak asasi manusia dijamin oleh negara. Pada dasarnya
secara universal hak asasi manusia dapat diartikan sebagai ”Those rights which
are inherent in our nature and withoutwhich can not live as human being” artinya
hak – hak yang melekat secara alamiah kepada manusia dan tanpa itu manusia
tidak dapat hidup sebagai insan manusia.27
26
Tjipta Lesmana, Pencemaaran Nama Baik dan Kebebasan Pers Antara Indonesia dan Amerika,
Erwin-Rika Press, Jakarta, 2005, hal 185 27
Nyoman Serikat Putra Jaya, Beberapa Pemikiran ke Arah Pengembangan Hukum Pidana, Citra
Aditya Bakti, Bandung, hal 43
53
Hak Asasi Manusia tersebut perlu dilindungi oleh peraturan hukum supaya
orang tidak terpaksa memilih pemberontakan sebagai upaya terakhir guna
menentang penindasan. Hukum menjadi dasar pelaksanaan dan perlindungan
terhadap Hak Asasi Manusia28
Pada dasarnya perlindungan hak asasi manusia ini telah tertuang di dalam
UUD 1945 Universal Declaration of Human Rights mengkelompokkan hak – hak
asasi manusia ke dalam dua kelompok yaitu hak – hak asasi sipil dan politik serta
hak – hak asasi sosial dan ekonomi budaya.. Salah satu hak asasi sipil dan politik
adalah hak untuk berpendapat, mencari menerima dan menyampaikan informasi.29
Negara hukum demokratis berciri khas adanya pengakuan serta jaminan
terhadap persamaan di hadapan hukum (Equality Before The Law). Sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 bahwa segala warga negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Maksud
Pasal tersebut adalah semua orang diperlakukan sama di depan hukum. secara
tersurat bahwa konsep Equality before the Law telah diakui oleh konstitusi
Indonesia.
Persamaan di hadapan hukum itu merupakan hak asasi manusia yang
termaktub di konstitusi. Oleh sebab itu maka tiap-tiap warga negara seharusnya
diperlakukan sama satu sama lain secara adil guna memperoleh hak.
28
Hijrah Adhyanti Mirzana, Kebijakan Kriminalisasi Pers dalam Undang – Undang Pers dan
KUHP, Jurnal Law Reform Vol 2 / No 2 September 2006, Program Madister Ilmu Hukum
UNDIP, Semarang, 2006, hal 61 29
Ibid., hlm. 61
54
Negara Indonesia memiliki dua pengertian berbeda antara hak konstitusional
dengan hak asasi manusia. perbedaan ini disampaikan oleh Jimly Asshiddiqie
bahwa Hak Konstitusional tercantum dalam Konstitusional (artinya merujuk pada
Undang-Undang Dasar NRI 1945) berbeda dengan Hak Asasi Manusia yang
merujuk pada Peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang Dasar
NRI 1945. Sebagai konklusi, Jimly berpendapat bahwa legal right tidak termasuk
dalam hak konstitusional.30
Dari narasi diatas dapat diperoleh gambaran bahwa secara teori Mahkamah
Konstitusi mengandalkan satu sumber hak konstitusional yaitu Undang-Undang
Dasar NRI 1945. Namun dalam Praktik, Mahkamah Konstitusi pernah membuat
keputusan tentang hak konstitusional yang tidak tercantum secara implisit dalam
Undang-Undang Dasar NRI 1945 yaitu hak konstitusional untuk memperoleh
bantuan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-
II/2004.31
Penulis berpendapat bahwa hak konstitusional mencangkup hak asasi
manusia.Hak konstitusional terbukti sinkron dengan Hak Asasi
Manusia.sebagaimana disebutkan oleh rumusan Pasal 7 ASEAN Human Rights
Declaration (AHRD) 2012 itu adalah:
“All human rights are universal, indivisible, interdependent and interrelated.
All human rights and fundamental freedoms in this Declaration must be treated in
a fair and equal manner, on the same footing and with the same emphasis. At the
same time, the realization of human rights must be considered in the regional and
national context bearing in mind different political, economic, legal, social,
cultural, historical and religious backgrounds.”
30
Jimly Asshiddiqie. Loc Cit., hlm. 509 – 534 31
Putusan MK Nomor 006/PUU-II/2004 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2003 tentang Advokat, hlm. 29.
55
Artinya secara ringkas ialah Hak Asasi Manusia adalah hal yang fundamental
dalam sebuah peraturan.Pelaksanaan dari Hak Asasi Manusia tersebut
menyesuaikan dengan latar belakang suatu wilayah meliputi konteks perbedaan
politik, ekonomi, hukum, sosial, sejarah dan agama. Kemudian dilakukan
pembatasan pearturan meliputi keamanan nasional, kepentingan publik, keamanan
publik, norma sosial, dan tetap memperhatikan kesejahteraan masyarakat
sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 8 AHRD yaitu:
“The human rights and fundamental freedoms of every person shall be
exercised with due regard to the human rights and fundamental freedoms of
others. The exercise of human rights and fundamental freedoms shall be subject
only to such limitations as are determined by law solely for the purpose of
securing due recognition for the human rights and fundamental freedoms of
others, and to meet the just requirements of national security, public order, public
health, public safety, public morality, as well as the general welfare of the peoples
in a democratic society.”
Berdasarkan pembatasan yang diberikan oleh Pasal 7 AHRD dan Pasal 8
AHRD mengenai Kebebasan Berpendapat maka dapat dibatasi dengan kondisi
Politik Lokal suatu negara. Misalnya Kebebasan Berpendapat mengenai Lembaga
Negara DPR maka hal tersebut telah diatur Pasal 122 huruf I UU MD3. Terkait
Hak Politik, DPR berhak mengajukan usul RUU sesuai fungsi legislasi yaitu
berkaitan dengan wewenang DPR dalam membentuk UU.
Sementara itu, perihal hak fundamental menurut ketentuan pada pasal 37 TAP
MPR XVII/1998 dinyatakan bahwa Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak
kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak,
hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut
atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
56
dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable). Ketentuan hak fundamental,
seperti disebutkan di TAP MPR di atas, juga menjadi semangat konstitusi baik
melalui Pembukaan maupun pasal-pasal di dalamnya, menyatakan bahwa hak
asasi terutama hak fundamental merupakan hal yang senafas dengan ide pendirian
negara Indonesia.32
Hak asasi manusia tidak dapat diterapkan pada seluruh organisasi karena Hak
Asasi Manusia harus menyesuaikan dengan Hak Organisasi.Menurut penulis, Hak
Asasi Manusia tidak dapat diperbandingkan dengan hak organisasi atau dalam hal
ini lebih dikenal dengan wewenang organisasi.
Terkait dengan kewenangan DPR dalam menjalankan tugas dan fungsinya,
perubahan undang-undang ini juga memuat ketentuan pemberian sanksi dan bagi
pihak-pihak yang tidak melaksanakan rekomendasi DPR dan pemanggilan paksa
bagi pihak-pihak yang tidak bersedia menghadiri panggilan DPR sesuai dengan
ketentuan Pasal 73 UU MD3.Terkait dengan pengambilan langkah hukum dapat
ditafsirkan bahwa MKD melakukan langkah hukum terhadap pihak eksternal yang
dianggap merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR, sehingga seolah-olah
mengambil alih kewenangan penegak hukum. terbukti pada sebagian risalahnya
dilampirkan oleh DPR kepada Mahkamah tidak ditemukan adanya keterangan
yang secara eksplisit menyatakan bahwa frasa “mengambil langkah hukum”
32
Bandingkan pula dengan pengertian Hak fundamental dari Pasal 4 ayat 2 Kovenan Hak Sipil dan
Politik dan Pasal 4 UU no 39/1999.
Rusdi Marpaung, “Hak-Hak Konstitusional dan Fundamental Aktor Keamanan”, dalam Mufti
Makaarim A., Wendy A. Prajuli, Fitri Bintang Timur, M. Haris Azhar, Almanak Hak Asasi
Manusia di Sektor Keamanan Indonesia 2009, Edisi 1 – Institute for Defence Security and Peace
Studies, Jakarta Selatan, Indonesia, Website: www.idsps.org hlm. 108
http://www.idsps.org/
57
tersebut adalah mengarah kepada fungsi hukum pidana yang dilaksanakan oleh
penegak hukum.
Kewenangan paksa yang dimiliki DPR untuk menghadirkan dan memaksa
seseorang memberikan keterangan tersebut dikenal dengan istilah hak subpoena,
yang menjadi persoalan, sanksi sandera tersebut mengundang pertanyaan apakah
tepat dimiliki oleh sebuah lembaga politik dan apakah kewenangan paksa DPR
tersebut tidak berlebihan mengingat fungsi-fungsi DPR bukan dalam kerangka
proses penegakan hukum (pro justicia).
Tidak ada definisi resmi istilah subpoena dalam berbagai peraturan
perundang-undangan. Menurut Denny JA, istilah subpoena awalnya merujuk
kepada hak yang dimiliki pengadilan. Demi mengungkapkan kebenaran,
menghukum pembuat kriminal dan menegakkan keadilan, pengadilan diberikan
hak subpoena, hak pemaksa.Seorang saksi yang menolak memberikan keterangan
dapat dikirimkan ke penjara.33
Selain lembaga penegak hukum dan DPR, Komisi
Nasional Hak Asasi Manusiajuga mempunyai hak subpoena sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal 95 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM: “apabila
seseorang yang dipanggil tidak datang menghadap atau menolak memberikan
keterangannya, Komnas HAM dapat meminta bantuan Ketua Pengadilan untuk
pemenuhan panggilan secara paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
33
Denny JA, 2006, Opini di Republika: Partai politik pun Berguguran, LKIS, Yogyakarta hlm.
199.
58
Namun yang menjadi catatan, meski Komnas HAM diberikan wewenang
untuk meminta bantuan pengadilan agar menghadirkan dan memaksa seseorang
memberikan keterangan, tetapi tidak ada sanksi sandera yang diatur dalam UU
No. 39 tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM. Namun demikian sanksi pidananya diatur dalam Pasal 224 Kitab Undang-
undang Hukum Pidana, yaitu: “barang siapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru
bahasa menurut undang-undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban
berdasarkan undang-undang yang harus dipenuhinya, diancam: dalam perkara
pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan”.
Poin pentingnya adalah pemberian sanksi pidana tersebut terkait dengan
proses penyelidikan (pro justicia). Pasal 18 ayat (1) UU No. 26 tahun 2000
tentang Pengadilan HAM menyatakan: “penyelidikan terhadap pelanggaran HAM
yang berat dilakukan oleh Komnas HAM.” Ini berbeda dengan hak subpoena yang
dimiliki DPR yang dilakukan bukan dalam ranah pro justicia.DPR sudah
memiliki wewenang pro justicia terkait dengan penyelidikan yang dikenal sebagai
hak angket. Pasal 77 ayat (3) UU MD3 mendefinisikan: “Hak angket adalah hak
DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu UU dan/atau
kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan
berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang
diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.34
34
Zamrony, “Hak Subpoena sebagai Instrumen Pendukung Pelaksanaan Fungsi Dewan
perwakilan Rakyat”, Asisten Staf Khusus Presiden RI Bidang Hukum, HAM dan Pemberantasan
KKN, Asisten SatgasPemberantasan Mafia Hukum. Kantor Staf Khusus Presiden, JakartaPusat,
Jurnal KEADILAN PROGRESIF Volume 16 1 Nomor 1 September 2010 hlm. 16-17
59
Kedudukan DPR sebagai Lembaga Negara yang harus dilindungi
martabatnya. Hal ini merujuk pada Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Beracara Mahkamah Kehormatan
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Pasal 1 Ayat (1) yang berbunyi:
“Dewan Perwakilan Rakyat, selanjutnya disingkat DPR adalah Dewan
Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945” Pasal 1 Ayat (1).
Memperhatikanfrasa-frasa diatas maka dapat diartikan bahwa DPR lahir dari
mandate rakyat dimana landasan hukumnya terdapat pada Konstitusi UUD NRI
1945 Pasal 19 hingga Pasal 21 guna melaksanakan mandat rakyat, DPR
membentuk MKD yang memiliki tanggung jawab moral untuk melindungi
martabat DPR sebagai wakil rakyat.
Posisi atau sekaligus kedudukan MKD sebagai salah satu alat kelengkapan
DPR.Sesuai dengan ketentuan Pasal 119 UU MD3, MKD merupakan salah satu
alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap dan dibentuk untuk tujuan menjaga
serta menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga
perwakilan. Secara universal, misalnya The Global Organization of
Parliamentarians Against Corruption (GOPAC) menyatakan kode etik lembaga
perwakilan atau lembaga legislatif adalah dokumen formal yang mengatur
perilaku legislator dengan menetapkan apa yang dianggap sebagai perilaku yang
dapat diterima dan apa yang tidak.35
Apabila dikaitkan dengan Pasal 119 UU
35
a legislative code of conduct is a formal document which regulates the behavior of legislators by
establishing what is to be considered to be an acceptable behavior and what is not. In other words,
it is intended to promote a political culture which places considerable emphasis on the propriety,
correctness, transparency, honesty of parliamentarians’ behavior. However, the code of conduct is
not intended to create this behavior by itself). Selanjutnya ditegaskan, pada tingkat yang paling
dasar, rezim etika dan perilaku harus memastikan bahwa anggota parlemen memahami dan
60
MD3, keberadaan alat kelengkapan DPR yang bernama MKD adalah merupakan
lembaga untuk menegakkan standar perilaku/etik bagi anggota DPR. Secara
doktriner dan sistematis, penyusunan norma dalam Pasal 122 UU 17/2014, mulai
dari tujuan sampai dengan pembentukan institusi penegak etik dinilai telah
memenuhi satu kesatuan pengaturan. Bahwa runtuh atau rusaknya martabat dan
kehormatan suatu institusi sangat mungkin disebabkan oleh faktor internal
maupun eksternal.
Berdasarkan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor
2 Tahun 2015 tentang Tata Beracara Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia Pasal 1 Ayat (1) maka dapat diartikan bahwa DPR
lahir dari mandat rakyat dimana landasan hukumnya terdapat pada Konstitusi
UUD NRI 1945 Pasal 19 hingga Pasal 21 guna melaksanakan mandat rakyat,
DPR membentuk MKD yang memiliki tanggung jawab moral untuk melindungi
martabat DPR sebagai wakil rakyat. Sebagaimana Peraturan Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Beracara
Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Pasal 1
Ayat (3) dan Pasal 2 Ayat (1) bahwa:
“Mahkamah Kehormatan Dewan, selanjutnya disingkat MKD adalah alat
kelengkapan DPR yang bersifat tetap sebagaimana dimaksud dalam undang-
undang yang mengatur mengenai Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, dan peraturan DPR yang mengatur mengenai Tata Tertib”
Pasal 1 Ayat (3).
“MKD dibentuk oleh DPR yang merupakan alat kelengkapan DPR yang
bersifat tetap dan bertujuan menjaga serta menegakkan kehormatan dan
mematuhi aturan dasar parlemen (the most basic level an ethics and conduct regime should ensure
that MPs understand and adhere to the basic rules of parliament) (http://gopacnetwork.org).
61
keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat” Pasal 2 Ayat
(1).
Adanya pasal tersebut menyebabkan Dewan Perwakilan Rakyat disebut
lembaga negara yang mengedepankan prinsip “Anti Kritik”.Kekecewaan dari
masyarakat terjadi karena revisi atau pembaharuan dari UUMD3 yang baru
menerbitkan bunyi pasal tersebut.Dilain pihak ada Pihak yang Pro berasal dari
Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan kemudian memberikan pendapat terhadap
Pasal 122 huruf l UUMD3. Sufmi Dasco Ahmad memberikan pendapat “Jika
kritikannya membangun untuk DPR tidak masalah dan kritik yang disampaikan
memiliki basis akademik sehingga dianggap sebagai proses demokrasi”.36
Paparan tersebut memberikan penjelasan bahwa sebenarnya Pasal 122 huruf l
itu hanya tambahan jika dilihat pada Pasal 119 Nomor 17 Tahun 2014 tentang
MPR, DPR, DPD, dan DPRD, secara tegas menyebutkan bahwa tugas Mahkamah
Kehormatan Dewan selanjutnya disebut MKD memiliki tugas menjaga
kehormatan dan marwah lembaga DPR sehingga tanpa Pasal 122 huruf l apabila
ada yang pantas diproses hukum maka hukuman tersebut tetap berjalan. DPR juga
memiliki Hak Personal untuk melaporkan pihak yang merendahkan martabatnya.
Namun, secara kelembagaan DPR sudah diwakilkan oleh MKD untuk melaporkan
kepada pihak yang berwajib. DPR juga akan terbuka, mendengarkan, dan
menerima kritikan yang disampaikan secara konstruktif dan Pasal 122 huruf l UU
MD3 tersebut juga bukan merupakan tindakan mengkriminalitas pihak-pihak yang
ingin mengkritik anggota DPR.
36
Siaran Langsung Antara News TVhttps://m.youtube.com diakses tanggal 13 Februari 2018,
pukul 22:53 WIB.
https://m.youtube.com/