Post on 06-Feb-2021
46
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
A. Hasil Penelitian
1. Perbandingan Kebijakan Hukum Pidana Indonesia Dan
Amerika Serikat Tentang Pertanggungjawaban Korporasi
Dalam sub bab ini penulis memaparkan hasil penelitan yang merupakan
suatu perbandingan kebijakan hukum pidana kejahatan korporasi antara dua
negara dengan sistem hukum yang berbeda tentunya yaitu Indonesia (Civil Law
System) dengan Amerika Serikat (Common Law System). Beberapa Indokator
yang menjadi perbandingan oleh penulis antara lain, (1). Sumber Hukum; (2).
Kebijakan formulasi korporasi sebagai subjek hukum pidana, korporasi sebagai
pelaku tindak pidana dan pertanggungjawabanya; dan (3). Ajaran Pemidanaan
dan Doktrin yang digunakan dalam pertanggungajawaban Korporasi.
Ke 3 (tiga) indikator perbandingan tersebut dipaparkan penulis sebagai
berikut:
a. Sumber Hukum
Indonesia
1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor);
2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH);
Amerika Serikat
1) Model Penal Code (MPC), Section 1.13 dengan title “General
Definitions”, Section 2.07 title “Liability of Corporations,
47
Unincorporated Association and Persons Acting, or Under a Duty to Act,
in Their Behalf”dan Section 6.04 dengan title “Penalties Against
Corporations and Unincorporated Association; Forfeiture of Corporate
Charter or Revocation of Certificate Authorizing Foreign Corporation to
Do Business in the State“;
2) Comprehensive Environmental Response Compensation And Liability
Act (CERLA);
3) The Foreign Corrupt Practices Act (FCPA), United State Code.
b. Kebijakan formulasi korporasi sebagai subjek hukum pidana,
korporasi sebagai pelaku tindak pidana dan pertanggungjawabanya.
Indonesia
Aturan Hukum Pidana Indonesia (KHUP) pada dasarnya tidak mengatur
tentang Korporasi sebagai Subjek Hukum Pidana, karena dalam KUHP
sifatnya hanya natuurlijkpersoon yang menjadi subjek hukum pidana,
sedangkan korporasi merupakan rechtspersoon.Dengan tidak diaturnya
korporasi sebagai subjek hukum pidana dalam KUHP yang berlaku saat ini,
maka dalam hal upaya untuk menanggulangi kejahatan khususnya kejahatan
yang dilakukan oleh korporasi, badan legislatif kemudian membuat aturan
peruandang-undangan (diluar KUHP) yang mengatur tentang korporasi
dapat dimintai pertanggungjawaban apabila melakukan suatu kejahatan
maka dengan kata lain bahwa aturan diluar KUHP menjadikan korporasi
sebagai subjek hukum pidana.
1) Korporasi Sebagai Subjek Tindak Pidana
a) UU Tipikor
Korporasi sebagai subjek hukum pidana tercantum dalam Pasal 1
angka 3 berbunyi : “Setiap orang adalah orang perseorangan atau
termasuk korporasi”.1
1 Pasal 1 angka 1, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak
Pidana Korupsi, (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor:3874);
48
b) UU PPLH
Korporasi sebagai subjek tindak pidana tercantum dalam Pasal 1
angka 32 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup berbunyi : “Setiap
orang adalah orang perseorangan atau badan hukum usaha, baik
yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.”2
2) Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban
Pidana
a) UU Tipikor
Korporasi sebagai pelaku tindak pidana dan pertanggungajwaban
pidana di diatur dalam Pasal 20 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (7)
yang berbunyi:
(1) “Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama
suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat
dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya”;
(2) “Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi apabila
tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik
berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain,
bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri
maupun besama-sama”;
(3) “Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi,
maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurus;
(7) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada korporasi hanya
pidana denda dengan ketentuan maksimum ditambah 1/3 (satu
pertiga).3
Dalam hal “pengurus” pada ayat (1), dijelaskan bahwa: “Yang
dimaksud pengurus adalah organ korporasi yang menjalankan
2Pasal 1 angka 32, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059);
3 Pasal 20 ayat (2), Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak
Pidana Korupsi, (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor:3874);
49
kepengurusan korporasi yang bersangkutan sesuai dengan anggaran
dasar, termasuk mereka yang dalam kenyataannya memiliki
kewenangan dan ikut memutuskan kebijakan korporasi yang dapat
dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi”.4
b) UU PPLH
Korporasi sebagai pelaku tindak pidana dan pertanggungajwaban
pidana di diatur dalam Pasal 116 yang berbunyi:
(1) Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk,
atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana
dijatuhkan kepada:
a. Badan usaha; dan/atau
b. Orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak
pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin
kegiatan dalam tindak pidana tersebut.
(2) Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan
kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam
lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap
pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut
tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara
sendiri atau individu.
Pasal 117 berbunyi:
“Jika tuntutan pidana diajukan kepada pemberi perintah atau
pemimpin tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat
(1) huruf b, acaman pidana yang dijatuhkan berupa pidana penjara dan
pidana denda diperberat dengan sepertiga.”5
Pasal 118 berbunyi:
4 Penjelasan Pasal 20 ayat (1), Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Tindak Pidana Korupsi, (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor:3874); 5Pasal 117, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059);
50
“Terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat
(1) huruf a, sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha yang
diwakili oleh pengurus yang berwenang mewakili di dalam dan di luar
pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan selaku
pelaku fungsional.”
Dengan penjelasan Pasal 118 mengemukan sebagai berikut:
“Yang dimaksud dengan pelaku fungsional dalam Pasal ini adalah
badan usaha dan badan hukum. Tuntutan pidana dikenakan terhadap
pemimpin badan usaha dan badan hukum karena tindak pidana badan
usaha dan badan hukum adalah tindak pidana fungsional sehingga
pidana dikenakan dan sanksi dijatuhkan kepada mereka yang memiliki
kewenangan terhadap pelaku fisik dan menerima tindakan pelaku fisik
tersebut. Yang dimaksud menerima tindakan dalam Pasal ini termasuk
menyetujui, membiarkan, atau tidak cukup melakukan pengawasan
terhadap tindakan pelaku fisik, dan/atau memiliki kebijakan yang
memingkinkan terjadinya tindak pidana tesebut.”6
Pasal 119 berbunyi:
Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini,
terhadap badan usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau tindakan
tata tertib berupa:
a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
b. Penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan;
c. Perbaikan akibat tindak pidana;
d. Pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
e. Penempatan perusahaan dibawah pengampuan paling lama 3 (tiga)
tahun.7
6Pasal 118, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059); 7Pasal 119, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059);
51
Amerika Serikat
Dalam model hukum pidana Amerika Serikat atau yang dikenal dengan
Model Penal Code Korporasi sebagai subjek hukum. Selain Model Penal
Code, Statuta Law (Undang-Undang) terkait dengan lingkungan di
Amerika Serikat juga mengatur Korporasi sebagai subjek hukum pidana dan
Statuta Law (Undang-Undang) terkait dengan Koripsi juga mengatur
Korporasi sebagai subjek hukum pidana.
1) Korporasi Sebagai Subjek Tindak Pidana
a) Modek Penal Code (MPC)
Korporasi sebagai subjek hukum pidana diatur dalam Section 1.13
dengan tittle “General Definition” sub section (8) :“person”. “he”,
and “actor” include any natural person and, where relevant, a
corporation or an unicorporation association.8
b) Comprehensive Environmental Response, Compensation and
Liability Act (CERLA)
Korporasi sebagai subjek hukum pidana diatur dalam Section 101
dengan tittle “Hazardous Substances Release, Liability,
Compensation” dengan sub tittle “Definition” sub section (21) : The
term ‘‘person’’ means an individual, firm, corporation, association,
partnership, consortium, joint venture, commercial entity, United
States Government, State, municipality, commission, political
subdivision of a State, or any interstate body.
c) The Foreign Corrupt Practices Act. (FCPA), United State Code
Korporasi secara umum sebagai subjek hukum pidana dalam FCPA
tercantum dalam title 15. Commerce and Trade, Cahpter 1.
Monopolies and Combination In Restraint Of Trade,Section 07
dengan title ”Person or Personsdefined“ : ”The word Person or
Persons, wherever used in section 1 to 7 of this title shall be deemed
to include corporations and associations existing under or
authorized by the laws of either the United States, the laws of any of
8Model Penal Code, Official Draft And Explanatory Notes, hlm. 17;
52
the Terrirories, the laws of any State, or the laws of any foreign
country“.9
FCPA Title 15. Commerce and Treade pada dasarnya memiliki
begitu banyak chapter (1 sampai dengan 111 chapter) dan didalam
masing-masing chapter dengan title masing masing, semua memuat
tetang corporation.
Sehingga dalam hasil penelitian ini penulis akan lebih
menspesifikkan title yang digunakan.
Secara lebih spesifik dalam FCPATitle 15. Commerce and Treade,
Chapter 2B. Securities Exchanges Section 78c dengan
title ”Definition and Application“, sub section (9) : ”The term
person means a natural person, company, government, or political
subdivision, agency, or instrumentality of government.“10
2) Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana dan
Pertanggungjawabannya
a) Model Penal Code (MPC)
Sub Section (1) :A Corporation may be convicted of the commission
of an offense if:
(a) The offense is a violation or the offense is defined by a statute
other than the Code in which a legislative purpose to impose
liability on corporations plainly appears and the conduct is
performed by an agent of the corporation acting in behalf of the
corporation within the scope of his office or employment,
except that if the law defining the offense designates the agents
for whose conduct the corporation is accountable or the
circumstances under which it is accountable, such provisions
shall apply;
(b) The offense consists of an omission to discharge a specific duty
of affirmative performance imposed on corporations by law;
10The Foreign Corrupt Practices Act. (FCPA), diakses melalui
https://www.law.cornell.edu/uscode/text/15/78c, pada tanggal 12 April 2019;
file:///E:/source/web/MPC/PART1/snippets/violations.htmfile:///E:/source/web/MPC/PART1/snippets/2_07(4).htmfile:///E:/source/web/MPC/PART1/snippets/omissions.htmhttps://www.law.cornell.edu/uscode/text/15/78c
53
(c) The commission of the offense was authorized, requested,
commanded, performed or recklessly tolerated by the board of
directors or by a high managerial agent acting in behalf of the
corporation within the scope of his office or employment:
Sub Section (2) : “When absolute liability is imposed for the
commission of an offense, a legislative purpose to impose liability
on a corporation shall be assumed, unless the contrary plainly
appears.“ Berdasarkan ketentuan tersebut, Strict Liability
(pertanggungjawaban langsung atau pertanggungjawaban ketat)
tidak dapat diterapkan maka MPC menganggap bahwa pembuat
undang-undang bermaksud mempertanggungjawab-kan korporasi
berdasarkan teori Respondeat Superior atau Vicarious Liability,
kecuali apabila dengan tegas undang-undang menyatakan lain.11
Sub Section (4) :As used in this Section:
(a) "corporation" does not include an entity organized as or by a
governmental agency for the execution of a governmental
program;
(b) "agent" means any director, officer, servant, employee or other
person authorized to act in behalf of the corporation or
association and, in the case of an unincorporated association, a
member of such association;
(c) "high managerial agent" means an officer of a corporation or
an unincorporated association, or, in the case of a partnership,
a partner, or any other agent of a corporation or association
having duties of such responsibility that his conduct may fairly
be assumed to represent the policy of the corporation or
association.12
Sub Suction (5) : In any prosecution of a corporation or an
unincorporated association for the commission of an offense
included within the terms of Subsection (1)(a) or Subsection (3)(a)
11Kristian, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Tinjauan Teoritis dan Perbandingan
Hukum di Berbagai Negara), Bandung, PT. Refika Aditama, Cetakan Ke-1, 2016, hlm. 256; 12Ibid., hlm. 257
file:///E:/source/web/MPC/PART1/snippets/2_07(4).htmfile:///E:/source/web/MPC/PART1/snippets/2_05.htm
54
of this Section, other than an offense for which absolute
liability has been imposed, it shall be a defense if the defendant
proves by a preponderance of evidence that the high managerial
agent having supervisory responsibility over the subject matter of
the offense employed due diligence to prevent its commission. This
paragraph shall not apply if it is plainly inconsistent with the
legislative purpose in defining the particular offense.
Sub Section (6):
(a) A person is legally accountable for any conduct he performs or
causes to be performed in the name of the corporation or an
unincorporated association or in its behalf to the same extent
as if it were performed in his own name or behalf;
(b) Whenever a duty to act is imposed by law upon a corporation
or an unincorporated association, any agent of the corporation
or association having primary responsibility for the discharge
of the duty is legally accountable for a reckless omission to
perform the required act to the same extent as if the duty were
imposed by law directly upon himself;
(c) When a person is convicted of an offense by reason of his legal
accountability for the conduct of a corporation or an
unincorporated association, he is subject to the sentence
authorized by law when a natural person is convicted of an
offense of the grade and the degree involved;13
Model Penal Code (MPC), Section 6.04 Sub Section (1) dan Sub
Section (2) dengan title “Penalties Against Corporations and
Unincorporated Association; Forfeiture of Corporate Charter or
Revocation of Certificate Authorizing Foreign Corporation to Do
Business in the State“.
Sub Section (1) : “Court may suspend the sentence of a
corporation or an unincorporated association which has been
convicted of an offense or may sentence it to pay a fine authorized“.
13Kristian, Op.Cit. hlm 255 - 258
file:///E:/source/web/MPC/PART1/snippets/2_05.htmfile:///E:/source/web/MPC/PART1/snippets/2_05.htmfile:///E:/source/web/MPC/PART1/snippets/2_07(4).htmfile:///E:/source/web/MPC/PART1/snippets/2_07(4).htmfile:///E:/source/web/MPC/PART1/snippets/2_07(4).htm
55
Sub Cection (2) :
(a) The [prosecuting attorney] is authorized to institute civil
proceedings in the appropriate court of general jurisdiction to
forfeit the charter of a corporation organized under the laws of
this State or to revoke the certificate authorizing a foreign
corporation to conduct business in this State. The Court may
order the charter forfeited or the certificate revoked upon
finding (i) that the board of directors or a high managerial
agent acting in behalf of the corporation has, in conducting the
corporation's affairs, purposely engaged in a persistent course
of criminal conduct and (ii) that for the prevention of future
criminal conduct of the same character, the public interest
requires the charter of the corporation to be forfeited and the
corporation to be dissolved or the certificate to be revoked;
(b) When a corporation is convicted of a crime or a high
managerial agent of a corporation, as defined in Section 2.07,
is convicted of a crime committed in the conduct of the affairs
of the corporation, the Court, in sentencing the corporation or
the agent, may direct the [prosecuting attorney] to institute
proceedings authorized by paragraph (a) of this Subsection.
The proceedings authorized by paragraph (a) of this Subsection
shall be conducted in accordance with the procedures authorized
by law for the involuntary dissolution of a corporation or the
revocation of the certificate authorizing a foreign corporation to
conduct business in this State. Such proceedings shall be deemed
additional to any other proceedings authorized by law for the
purpose of forfeiting the charter of a corporation or revoking the
certificate of a foreign corporation.14
b) Comprehensive Environmental Response, Compensation and
Liability Act(CERLA)
14Model Penal Code, Official Draft And Explanatory Notes, Op.Cit., hlm. 45
file:///E:/source/web/MPC/PART1/snippets/2_07.htm
56
Section 107 tittle “Hazardous Substances Release, Liability,
Compensation” dengan sub tittle “Liability” Notwithstanding any
other provision or rule of law, and subject only to the defenses set
forth in subsection (b) of this section—
(1) the owner and operator of a vessel or a facility;
(2) any person who at the time of disposal of any hazardous
substance owned or operated any facility at which such
hazardous substances were disposed of;
(3) any person who by contract, agreement, or otherwise arranged
for disposal or treatment, or arranged with a transporter for
transport for disposal or treatment, of hazardous substances
owned or possessed by such person, by any other party or entity,
at any facility or incineration vessel owned or operated by
another party or entity and containing such hazardous
substances, and
(4) any person who accepts or accepted any hazardous substances
for transport to disposal or treatment facilities, incineration
vessels or sites selected by such person, from which there is a
release, or a threatened release which causes the incurrence of
response costs, of a hazardous substance.
There shall be no liability under subsection (a) of this section for a
person otherwise liable who can establish by a preponderance of
the evidence that the release or threat of release of a hazardous
substance and the damages resulting therefrom were caused solely
by—
(1) an act of God;
(2) an act of war;
(3) an act or omission of a third party other than an employee or
agent of the defendant, or than one whose act or omission
occurs in connection with a contractual relationship, existing
directly or indirectly, with the defendant (except where the sole
contractual arrangement arises from a published tariff and
57
acceptance for carriage by a common carrier by rail), if the
defendant establishes by a preponderance of the evidence that
(a) he exercised due care with respect to the hazardous
substance concerned, taking into consideration the
characteristics of such hazardous substance, in light of all
relevant facts and circumstances, and (b) he took precautions
against foreseeable acts or omissions of any such third party
and the consequences that could foreseeably result from such
acts or omissions; or
(4) any combination of the foregoing paragraphs.15
c) The Foreign Corrupt Practices Act. (FCPA) United State Code
Korporasi dikatakan sebagai pelaku tindak pidana apabila telah
melanggar ketentuan dalam Title 15. Commerce and Treade,
Chapter 2B. Securities Exchanges Section 78m dengan
title ”Periodical and other report“, sub section (2) dengan
title ”Form of report;Books, Record, and Internal Accounting;
Directives“:
(2)Every issuer which has a class of securitiesregistered pursuant
to section 78l of this title and everyissuer which is required
to file reports pursuant to section 78o(d) of this title shall—
(a) make and keep books, records, and accounts,which,in
reasonable detail, accurately and fairly reflect the
transactions and dispositions of the assets of the issuer;
(b) devise and maintain a system of internal accounting
controls sufficient to provide reasonable assurances
that—
(i) transactions are executed in accordance with
management’s general or specific authorization;
15Comprehensive Environmental Response, Compensation and Liability Act (CERLA), Section 107,
hlm 57;
https://www.law.cornell.edu/uscode/text/15/78mhttps://www.law.cornell.edu/uscode/text/15/78mhttps://www.law.cornell.edu/uscode/text/15/78mhttps://www.law.cornell.edu/uscode/text/15/78mhttps://www.law.cornell.edu/uscode/text/15/78mhttps://www.law.cornell.edu/uscode/text/15/78mhttps://www.law.cornell.edu/uscode/text/15/78m
58
(ii) transactions are recorded as necessary (I) to permit
preparation of financial statements in conformity
with generally accepted accounting principles or
any other criteria applicable to such statements, and
(II) to maintain accountability for assets;
(iii) access to assets is permitted only in accordance with
management’s general or specific authorization;
and
(iv) the recorded accountability for assets is compared
with the existing assets at reasonable intervals and
appropriate action is taken with respect to any
differences;
(4)No criminal liability shall be imposed for failing to comply with
the requirements of paragraph (2) of this subsection except as
provided in paragraph (5) of this subsection.
FCPA menjatuhkan pidana bagi setiap individu dan korporasi yang
didasarkan pada pedoman pemidanaan Amerika Serikat. Dikatakan
bahwa:
a. Individuals who commit willful violations of the FCPA anti-
bribery provisions may be punished by up to $250,000 in fines
and/or five years imprisonment;
b. Individuals who violate the FCPA accounting provisions may be
fined up to $5,000,000 and imprisoned up to 20 years;
c. Corporations may be fined up to $2,500,000 per violation of the
FCPA accounting provisions and $2,000,000 for violation of the
FCPA anti-bribery provisions.16
Sanksi pidana bagi korporasi dalam berbagai aturan perundang-
undangan yang diberlakukan di Amerika Serikat mengenakan
denda yang dapat berjumlah ratusan miliar dollar Amerika untuk
16 Robert W. Tarun, Basic of The Foreign Corrupt Act, American Law Review: WhatEvery
General Councel, Transactional Lawyer,White Collar Criminal Lawyer Should Know, Chicago,
2006, hlm. 10;
59
setiap tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi. Lebih lanjut,
setiap korporasi yang dijatuhkan pidana oleh putusan hakim karena
melakukankejahatan usahanya dapat ditutup secara permanen oleh
institusi pemerintah Amerika Serikat.17
c. Ajaran Pemidanaan dan Doktrin yang digunakan dalam
pertanggungjawaban Korporasi
Indonesia
Indonesia dalam hal pertanggungajwaban pidana korporasi pada umumnya
dikenal 3 (tiga) sistem seperti yang telah dijelaskan pada bab awal yaitu:
1) Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang
bertanggungjawab;
2) Korporasi sebagai pembuat namun penguruslah yang bertanggungawab;
dan
3) Korporasi sebagai pembuat dan korporasi pula yang harus
bertanggungjawab.18
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan dengan Undang-Undang
Nomor 20 tahun 2001 (UU Tipikor) Pasal 20 ayat (2) menganut Doctrine of
Identification dan Doctrine of Aggregation. Doctrine of Identification
ditunjukan dari frasa “apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-
orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain”,
sedangkan Doctrine of Aggregation ditunjukan dari frasa “apabila tindak
pidana tersebut dilakukan … baik sendiri maupun bersama-sama”.19
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) Pasal 116 ayat (1) dan ayat (2),
17 Hesti Widyaningrum, Sejarah dan Perkembangan Pertanggungjawaban Korporasi, diakses
melalui http://ejournal.iainpurwokerto.ac.id/index.php/volksgeist/article/view/1633, pada tanggal
12 April 2019;
18Kristian, Op.Cit. hlm. 112;
19Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Cetakan ke-II, Jakarta, Grafiti,
2011, hlm 243;
http://ejournal.iainpurwokerto.ac.id/index.php/volksgeist/article/view/1633
60
dalam hal korporasi melakukan tindak pidana maka pertanggungajwaban
dapat dijatuhakan kepada korporasi dan perseorangan.
Korporasi dapat dijatuhi sanksi pidana dengan diwakili oleh pemimpin
badan usaha dan badan hukum karena tindak pidana badan usaha dan badan
hukum adalah tindak pidana fungsional. Sekalipun dalam UU PPLH telah
memberikan ketentuan mengenai pelaku fungsional tetapi undang-undang
tersebut belum dengan tegas menentukan ajaran apa yang digunakan untuk
membebankan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi.20
Amerika Serikat
Mengacu kepada Model Penal Code (MPC), ajaran pemidanaan korporasi di
Amerika Serikat menganut kepada ajaran pembebanan pidana dari tindak
pidana yang dilakukan seseorang kepada orang lain. Contohnya seorang
principal (pemberi kuasa) bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan
oleh agent (penerima kuasa).
Pengadilan – pengadilan federal (the federal coursts) di Amerika Serikat
dalam penuntutan terhadap korporasi menerapkan ajaran vicarious liability
atau respondeat superior untuk perbuatan – perbuatan yang dilakukan oleh
pegawainya apabila tindak pidana tersebut dilakukan dalam lingkup tugas
pegawai tersebut dan apabila perbuatan itu dilakukan untuk keuntungan
korporasi 21 . Dengan katalain seorang atau korporasi pemberi kerja
(employer) bertanggungjawab secara vikarius (liable vicarious) atas
perbuatan – perbuatan dari bawahannya yang telah menimbulkan gangguan
publik (public nuisance) atau dalam hal membuat pernyataan yang dapat
merusak nama baik orang lain (criminal libel).22
Doctrine of Vicariouse Liability memiliki pembatasan dalam penerapannya
antara lain:
a. Pembatasan pertama, ditetapkan oleh pengadilan/ pengadilan Amerika
Serikat telah mengizinkan pemberi kerja (employer), yaitu korporasi
20Ibid, hlm. 238;
21 The Law Reform Commission, Consultation Paper on Corporate Killing, Dublin, Irlandia: The
Law Reform Commission, 2003, hlm. 20 – 110. 22Gary Scanlan dan Christopher Ryan, An Introduction to Criminal Law, London, Backstone
Press Limited, 1985, hlm.120;
61
untuk membela diri (mengajukan pembelaan terhadap tuntutan atau
tuduhan pidana) telah melakukan semua tindakan yang seharusnya
diambil untuk mencegah terjadinya tindakan pidana yang bersangkutan;
b. Pembatasan kedua, pembatasan yang diberikan oleh konstitusi Amerika
Serikat. Terdapat pandangan yang mencuat tentang proporsionalitas
dalam hukum tata negara Amerika Serikat. Prinsip ini mengkehendaki
bahwa pemidanaan (punishment) harus proporsional dengan kesalahan
dan harus melarang pembebanan sanksi – sanksi pidana yang berat
berdasarkan pertanggungjawaban vikarius. Maka dengan kata lain
apabila employer (pemberi kerja atau korporasi) tidak dapat
membuktikan telah memberi peringatan atau intruksi kepada para
pegawainya untuk tidak melakukan perbuatan – perbuatan yang
melanggar undang-undang, maka korporasi, juga pengurusnya, harus
memikul beban pertanggungjawaban atas dilakukannya tindak pidana
tesebut.23
Dalam Statutory Laws terkait lingkungan khususnya dalam The
comprehensive environmental responce compensation and liability act
(CERLA) dengan mendasarkan pada Section 107 doktrin
pertanggungjawaban yang dianut ialah menererapkan Doctrine Strict
Liability terhadap para penghasil dan pengangkut limbah B3. Hal tersebut
pun didikung dengan The quintessential pure strict liability category of
crime was environmental crime, inas much as the affender need only cause
defined forms of environmental risk or harms (such as exposing the public
to certain pollutans or toxins in excess of a specified level) and it is
virelevant that she lached-negligence, knowledge, or any other culvability.
(Strict Liability yang paling murni adalah dalam kasus-kasus yang
berhubungan dengan lingkungan dimana pelaku telah melakukan perusakan
lingkungan atau membahayakan lingkungan seperti mengekspos masyarakat
dengan polusi atau zat beracun.
23Peter W. Low, Criminal Law, Revised First Edition, St. Paul, Minn.: West Publishing Co., 1990,
hlm. 251 – 253;
62
Dalam peradilan di Amrika Serikat, Doctrine of Vicarious Liability tidak
dicampur padukan atau dikacaukan dengan Doctrine of Strict Liability.
2. Ius Constituendum dalam Konsep Rancangan Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (RKUHP) tahun 2015 tentang
Korporasi di Indonesia
Korporasi sebagai subjek tindak pidana dalam RKUHP termuat dalam Pasal
48 yang berbunyi “Korporasi merupakan subjek tindak pidana”. RUU KUHP
2015 telah memuat syarat-syarat agar tindak suatu tindak pidana dapat dibebankan
pertanggungjawabannya kepada korporasi dengan atau tanpa membebankan
pertanggungjawaban pidana kepada manusia yang menjadi pelakunya.24
Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu tindak pidana yang dilakukan
oleh seseorang atau orang-orang dapat dibebankan pertanggungajwabannya
kepada korporasi, Pasal 49 RKUHP 2015 menentukan sebagai berikut :
“Tindak pidana dilakukan oleh korporasi jika dilakukan oleh orang-
orang yang mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur
oeganisasi korporasi yang bertindak untuk dan atas nama korporasi
atau demi kepentingan korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau
bedasarkan hubungan lain, dalam lingkup usaha korporasi tersebut,
baik sendiri-sendiri atau bersama-sama.”25
Dalam hal pembebanan pertanggungjawaban pidana Pasal 50 RKUHP 2015
menyatakan bahwa :
24 Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, hlm. 192;
25Direktorat Jendral Peraturan Perundang – Undangan, Naskah Rancangan Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (RKUHP), Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2015, hlm. 13
63
“Jika tindak pidana dilakukan oleh korporasi, pertanggungajwaban
pidana dikenakan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.”26
Pasal 51 RKUHP, berbunyi :
“Korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap
suatu perbuatan yang dilakukan untuk dan/atau atas nama korporasi,
jika perbuatan tersebut termasuk dalam lingkup usahanya
sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain
yang berlaku bagi korporasi yang bersangkutan.”27
Pasal 52 RKUHP, berbunyi :
“Pertanggungjawaban pidana pengurus korporasi dibatasi
sepanjang pengurus mempunyai kedudukan fungsional dalam
struktur organisasi korporasi.”28
Pasal 53 RKUHP, berbunyi :
(1) Dalam mempertimbangkan suatu tuntutan pidana, harus dipertimbangkan apakah bagian hukum lain telah memberikan
perlindungan yang lebih berguna daripada menjatuhkan pidana
terhadap suatu korporasi;
(2) Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dinyatakan dalam putusan hakim.”29
Pasal 54 RKUHP, berbunyi :
“Alasan pemaaf atau alasan pembenar yang dapat diajukan oleh
pembuat yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi, dapat
diajukan oleh korporasi sepanjang alasan tersebut langsung
berhubungan dengan perbuatan yang didakwakan kepada
korporasi.”30
26 Ibid.;
27 Ibid.;
28 Ibid.;
29 Ibid.;
30 Ibid.
64
B. Analisis
1. Analisis Perbandingan Kebijakan Hukum Pidana Indonesia
Dan Amerika Serikat Tentang Pertanggungjawaban
Korporasi
Dalam sub bab sebelumnya penulis telah memaparkan 3 (tiga) indikator
perbandingan kebijakan hukum pidana kejahatan korporasi antara Indonesia dan
Amerika Serikat, namun dalam analisis penulis lebih memfokuskan pada 2 (dua)
indikator saja antara lain (a). Kebijakan Formulasi Korporasi Sebagai Subjek
Hukum Pidana, dan pertanggugjawaban pidana; dan (b). Ajaran Pemidanaan dan
Doktrin yang digunakan dalam pertanggungjawaban Korporasi. Analisis kedua
indikator tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:
a) Kebijakan Formulasi Korporasi Sebagai Subjek Hukum
Pidana, Sebagai Pelaku Tindak Pidana dan Sanksi Terhadap
Korporasi
Perbedaan yang mendasar antara Indonesia dan Amerika Serikat terkait
dengan Korporasi ialah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (KUHP)
belum mengatur korporasi sebagai subjek hukum pidana, sedangkan Model
Hukum Pidana Amerika telah mengatur korporasi sebagai subjek hukum pidana
Model Penal Code (MPC). Kendati demikian, Undang-Undang diluar KUHP
contohnya seperti UU PPLH dan UU Tipikor serta Perma Nomor 13 tahun 2016
tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi telah
mengakui korporasi sebagai subjek hukum pidana. Selain MPC, aturan hukum di
Amerika Serikat terkait Lingkungan dan Korupsi juga mengakui korporasi sebagai
65
subjek hukum pidana, hal tersebut tercantum dalam Comprehensive
Environmental Response Compensation And Liability Act (CERLA) dan The
Foreign Corrupt Practices Act (FCPA), United State Code.
Selain perbedaan, terdapat pula persamaan antara Indonesia dan Amerika
Serikat yaitu korporasi dianggap sebagai pelaku tindak pidana ialah apabila agen-
agen yang berdasarkan hubungan kerja baik secara sendiri-sendiri maupun
bersama-sama melalukan tindak pidana atau melakukan perbuatan yang lewat dari
batas wewenangnya demi memberikan keuntungan bagi dirinya sendiri maupun
korporasi. Selain itu, dalam hal pertanggungjawaban pidana baik Indonesia
maupun Amerika Serikat menjatuhkan pidana kepada Individu selaku agen dari
Korporasi dan/atau Korporasi itu sendiri. Dalam hal sanksi pokok masing-masing
aturan di Indonesia maupun Amerika Serikat memiliki persamaan yaitu Penjara
dan Denda.
Namun ada beberapa hal yang membedakan terkait pertanggungjawaban
pidana. Dalam MPC dan CERLA. MPC diperkenalkan “pembelaan” yang dapat
dilakukan suatu korporasi yang diduga telah melakukan tindak pidana, pembelaan
tesebut dapat dilakukan dengan membuktikan bahwa “a high managerial agent”
yang mempunyai tanggungjawab pengawasan terhadap pokok masalah yang
menjadi perkara telah melakukan “due diligence” atau prinsip kehatian-hatian
yang sepatutnya untuk mencegah terjadinya tindak pidana. kemudian dalam
CERLA tidak ada kewajiban suatu Individu maupun Korporasi
bertanggungjawab apabila kerusakan lingkungan disebabkan oleh keadaan alam
(alamiah), tindakan perang, dan oleh suatu tindakan atau kelalaian pihak ketiga
selain dari karyawan atau agen korporasi atau kelalaian terjadi sehubungan
66
dengan hubungan kontrak yang secara langsung maupun tidak langsung dengan
koporasi. Pembelaan dan pengecualian tersebut yang belum terncantum dalam UU
PPLH, UU Tipikor maupun Perma terkait dengan Korporasi.
b) Ajaran Pemidanaan dan Doktrin yang Digunakan dalam
Pertanggungjawaban Korporasi
Dalam analisis ajaran pemidanaan dan doktrin yang digunakan dalam
pertanggungjawaban korporasi, penulis akan memetakan masing-masing
kebijakan hukum pidana baik di Indonesia maupun di Amerika Serikat.
(1) Indonesia
Di Indonesia dalam hal pertanggungjawaban pidana korporasi pada
umumnya dikenal 3 (tiga) sistem pertanggungjaiwaban antara lain: (a). Pengurus
Korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggungjawab; (b)
Korporasi sebagai pembuat namun penguruslah yang bertanggungjawab; dan (c)
Korporasi sebagai pembuat dan korporasi pula yang harus bertanggungjawab.
Dengan mengacu kepada ketiga sistem tersebut maka penulis menggunakan 2
(dua) peraturan perundang-undangan yang menurut penulis telah mewakili ketiga
sistem tesebut yaitu UU Tipikor, UU PPLH serta Perma Nomor 13 tahun 2016
tentang Tata Cara Penanggulangan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi.
Seperti hasil penelitian yang dikemukan oleh penulis sebelumnya bahwa,
masing-masing peraturan terkait korporasi di Indonesia belum memiliki
keseragaman terkait dengan ajaran pemidanaan yang dianut dalam masing-masing
peraturan selain ajaran pemidanaan hal tesebut dapat dilihat dari UU Tipikor yang
menganut Doctrine of Identification dilihat dari frasa “apabila tindak pidana
67
tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun
berdasarkan hubungan lain” kemudian Doctrine of Aggregation yang ditunjukan
dari frasa “apabila tindak pidana tersebut dilakukan … baik sendiri maupun
bersama-sama”, kedua frasa tesebut dikutip dari Pasal Pasal 20 ayat (2) UU
Tipikor. Kemudian dalam UU PPLH belum secara jelas menggunakan ajaran
pemidanaan seperti apa yang digunakan walapun dalam penjelasan Pasal 118 UU
PPLH dijelaskan terkait Pelaku Fungsional. Selain kedua peraturan Undang-
Undang tersebut, Perma Nomor 13 tahun 2016 tentang Tata Cara Penanggulangan
Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi belum mengatur secara jelas terkait ajaran
pemidanaan korporasi. Perma ini berfungsi untuk mempermudah aparat penegak
hukum dalam penanganan tindak pidana korporasi terkhususnya dalam
menentukan korporasi sebagai pelaku tindak pidana, kesalahan korporasi dan
proses persidangan.
Dalam penelitan ini penulis kemudian ingin mengkaitkan masing- masing
peraturan dengan ajaran pemidanaan. Dalam UU Tipikor disebutkan bahwa
menganut Doctrine Of Identification Theory dan Doctrine Of Aggregation.
Doctrine of identification theory erat kaitannya dengan personel pengendali
“directing mind” atau “controlling mind” (otak yang menjalankan seluruh
aktivitas) dengan kata lain dalam teori ini kesalahan dari “directing mind”
disamakan dengan kesalahan dan kehendak dari suatu korporasi tersebut,
sedangkan Doctrine of Aggregation merupakan sebuah doktrin yang
memperlihatkan kesalahan sejumlah orang secara kolektif, yaitu apabila terdapat
sekelompok orang yang melakukan suatu tindak pidana namun orang tesebut
bertindak untuk dan atas nama suatu korporasi atau untuk kepentingan korporasi,
68
maka semua perbuatan dan unsur mental atau sikap batin atau kesalahan dari
kumpulan orang tersebut dianggap sebagai dan dilakukan oleh suatu korporasi
sehingga baik oarng-orang yang bersangkutan maupun korporasi dapat
dibebankan pertanggungajawaban pidana. Dalam penelitian ini penulis
berpendapat bahwa Doctrine Of Identification Theory dan Doctrine Of
Aggregation tidak berbeda dengan Doctrine Vicarious Liability karena pada
dasarnya sesuai dengan ajaran Vicarious Liability “the company is liable for the
wrongful acts of all its employees”, “Employment principle”, majikan adalah
pihak utama yang bertanggungjawab terhadap apa yang dilakukan oleh buruh atau
karyawannya selama perbuatan tersebut dilakukan dalam lingkup kerjaannya.
Rasionalisasi penerapan doktrin ini mengingat majikan (yang dalam hal ini adalah
korporasi) memiliki kontrol dan kekuasaan atas organ-organnya dan keuntungan
yang mereka (organ-organnya) peroleh secara langsung dimiliki oleh majikan
(korporasi).
Dalam UU PPLH walaupun pada dasarnya belum menjelaskan ajaran
pemidanaan seperti apa yang dianut, namun seperti yang telah dijelaskan pada
subbab sebelumnya bahwa dalam Pasal 116 ayat (1) dimana pembebanan
pertanggungajwaban dapat dijatuhkan kepada Badan Usaha/Korporasi yang dalam
hal ini diwakili oleh pengurus selaku pelaku fungsional hal tersebut tercantum
dalam Pasal 118. Dalam hal badan hukum sebagai pelaku fungsional, maka
tuntutan pidana dikenakan terhadap pemimpin badan usaha dan badan hukum
karena tindak pidana badan usaha dan badan hukum adalah tindak pidana
fungsional sehingga pidana dikenakan dan sanksi dijatuhkan kepada mereka yang
69
memiliki kewenangan terhadap pelaku fisik dan menerima tindakan pelaku fisik
tersebut.
Dalam teori fungsional suatu korporasi dapat dianggap sebagai pelaku
tindak pidana dan dapat dibebankan pertanggungjawaban ialah apabila suatu
perbuatan yang dilarang, dilakukan oleh korporasi dalam rangka pelakasanaan
tugas dan/atau pencapaian tujuan-tujuan dari korporasi, kemudian sebagai pelaku
fungsional, perlu adanya delik-delik fungsional yaitu perbuatan fungsional yang
dilakukan oleh agen-agen korporasi sebagai alat untuk melakukan tindak pidana
tersebut. Kemudian selain itu, terhadap korporasi perlu adanya pembuktian
kesalahan atas dasar kesengajaan atau kelalaian yang dilakukan oleh agen-agen
korporasi melalui suatu rangkaian perbuatan dalam lingkup korporasi. Namun
disisi lain penulis berpendapat bahwa dengan dalam UU PPLH juga menganut
ajaran pemidanaan Doctrine of Strict Liability hal tersebut dilihat dari Pasal 88
UU PPLH bahwa : “Setiap orang yang tindakannya, usahanya dan/atau
kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3,
dan/atau yang ,menimbulkan ancaman serius tehadap lingkungan hidup
bertanggungjawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian
unsur kesalahan” atau dengan kata lain cukuplah apabila dapat dibuktikan bahwa
pelaku tindak pidana telah melakukan actus reus, yaitu melakukan perbuatan yang
dilarang oleh ketentuan pidana. Hal tersebut pun kemudian sejalan dengan ajaran
feit materiel dalam pelanggaran, cukup melihat khusus dalam suatu tindak pidana
yang berat maka tidak perlu lebih jauh membuktikan kesalahan hanya dengan
melihat akibat yang ditimbulkan dari perubuatan tesebut maka dapat dibebankan
pertanggungjawaban pidana. Dalam Pasal 88 frasa “setiap orang” diartikan
70
sebagai orang perseorangan atau badan usaha baik berbadan hukum maupun tidak
bebadan hukum. Selain Doctrine of Stricy Liability penulis juga berpendapat
bahwa UU PPLH menganut Doctrine of Vicarious Liability dalam penjatuhan
pidana kepada Badan Hukum/Korporasi hal tersebut sama halnya dengan
penjelasan pada UU Tipikor. Maka dengan demikian Penulis berpendapat bahwa
dalam UU PPLH terdapat 3 (tiga) doktrin yang digunakan sesuai dengan sistem
pertanggungjawaban pidana korporasi.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara
Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi, dapat dilihat dalam Perma ini
Pasal 3 “Tindak pidana oleh Korporasi merupakan tindak pidana yang dilakukan
oleh orang berdasarkan hubungan kerja, atau berdasarkan hubungan lain, baik
sendiri-sendiri maupun bersama-sama yang bertindak untuk dan atas nama
Korporasi di dalam maupun di luar Lingkungan Korporasi”, kemudian Pasal 4
ayat (2) menjatuhkan pidana terhadap korporasi Hakim dapat menilai kesalahan
Korporasi antaralain: (a). Korporasi mendapatkan keuntungan atau manfaat dari
tindak pidana tersebut atau tindak pidana dilakukan untuk kepentingan korporasi,
(b) Korporasi membiarkan terjadinya Tindak Pidana, (c) Korporasi tidak
melakukan langkah untuk pencegahan guna mencegah dampak yang lebih besar
dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna
menghindari tindak pidana”.
Dari frasa Pasal 3 dan Pasal 4 ayat (2) tersebut penulis berpendapat bahwa
ajaran pemidanaan yang dianut adalah Vicarious Liability karena seperti yang
telah dijelaskan pada subbab sebelumnya bahwa dalam asas Vicarious Liability
tentunya hubungan antara master dan servant atau antara principal dan agent dan
71
hal ini dilihat dari adanya frasa “tindak pidana yang dilakukan oleh orang
berdasarkan hubungan kerja, atau berdasarkan hubungan lain”, kemudian
korporasi sendiri tidak dapat melakukan kesalahan, melainkan hanya agen-agen
korporasilah yang dapat melakukan kesalahan yakni mereka bertindak untuk dan
atas nama korporasi dan bertindak untuk memberikan keuntungan korporasi dan
hal ini dapat dilihat dari frasa dalam Pasal 4 ayat (2) yang telah dijelaskan diatas.
Selain Vicarious Liabilty, pada Pasal 4 ayat (2) khususnya pada frasa
“menjatuhkan pidana terhadap korporasi Hakim dapat menilai kesalahan
Korporasi” kata “Hakim dapat menilai kesalahan” dalam frasa ini penulis
memaknai bahwa menilai dapat dilakukan dengan pembuktian, maka penulis
kemudian juga mengacu kepada ajaran Pelaku Fungsional. Seperti dipahami
bahwa dalam ajaran Pelaku Fungsional, terhadap korporasi perlu adanya
pembuktian kesalahan atas dasar kesengajaan atau kelalaian yang dilakukan oleh
agen-agen korporasi melalui suatu rangkaian perbuatan dalam lingkup korporasi.
(2) Amerika Serikat
Di Amerika Serikat dalam hal pertanggungjawaban pidana korporasi pada
umumnya menganut ajaran Doctrine of Strict Liability dan Doctrine of Vicarious
Liability dan kedua doktrin ini tidak dicampur padukan dalam satu peraturan
khususnya terkait dengan pertanggungjawaban korporasi. Dalam Model Penal
Code doktrin yang digunakan adalah Doctrin Vicarious Liability hal ini dilihat
dari hasil penelitian dimana dalam MPC ajaran pemidanaan korporasi di Amerika
Serikat menganut kepada ajaran pembebanan pidana dari tindak pidana yang
dilakukan seseorang kepada orang lain sehingga dengan mengacu pada MPC
Pengadilan di Amerika Serikat menerapkan ajaran vicarious liability atau
72
respondeat superior untuk perbuatan – perbuatan yang dilakukan oleh
pegawainya apabila tindak pidana tersebut dilakukan dalam lingkup tugas
pegawai tersebut dan apabila perbuatan itu dilakukan untuk keuntungan korporasi.
Dalam hal kejahatan korporasi, seperti yang dipahami bahwa dalam sebuah
korporasi ada agen-agen atau pekerja yang memiliki tugas dan wewenangnya
masing-masing yang tentunya sesuai dengan aturan dalam korporasi tesebut.
Apabila agen atau pekerja melakukan kesalahan atau hal yang telah melampau
kewenangannya demi memberikan keuntungan kepada korporasi namun
memberikan dampak kerugian bagi pihak lain diluar korporasi tersebut tentunya,
maka dalam ajaran vicarious liability yang bertanggungjawab atas tindakan para
agen atau pekerja tersebut ialah pimpinan korporasi karena pimpinan korporasi
selaku pemberi kerja yang telah memberikan perintah kepada para agen tersebut
yang berupa tugas dan wewenang masing-masing para agen terlepas hal tersebut
telah dilakukan dengan sesuai ataupun tidak sesuai.
Selain ajaran Vicarious Liability, dalam analisis ini penulis berpendapat
MPC tidak hanya menganut Vicarious Liability saja namun juga mengatut ajaran
Presumtion Liability hal ini dilihat dari MPC sub section (5) yang memuat bahwa
dapat dilakukannya “pembelaan“ dari suatu korporasi yang diduga telah
melakukan tindak pidana. Dengan demikian suatu korporasi dapat menghindari
pertanggungjawaban pidana selama korporasi dapat membuktikan bahwa “a high
managerial agent“ yang mempunyai tanggungjawab pengawasan terhadap pokok
masalah yang menjadi perkara telah melakukan “due diligence“ atau prinsip
kehati-hatian yang sepatutnya untuk mencegah terjadinya tindak pidana tersebut.
Dengan demikian maka penulis tidak dapat diterapkan Strict Liability, karena
73
dalam Strict Liability tidak ada kesempatan untuk dapat dilakukannya pembelaan,
karena pada prinsipnya apabila sudah dilihat ada akibat dari perbuatan yang
dilakukan maka korporasi dibebani pertanggungjawaban pidana.
Sama halnya dengan Model Penal Code, The Foreign Corrupt Practices Act
United State Code (FCPA) yang merupakan aturan hukum terkait dengan tindak
Pidana Korupsi di Amerika Serikat juga menerapkan ajaran vicarious liability
atau respondeat superior untuk perbuatan – perbuatan yang dilakukan oleh
pegawainya apabila tindak pidana tersebut dilakukan dalam lingkup tugas
pegawai tersebut dan apabila perbuatan itu dilakukan untuk keuntungan korporasi.
Dalam penelitian ini penulis mengambil terkait aturan tentang Laporan Berkala
suatu Perusahaan yang mencakup Bentuk Laporan, Pembukuan Catatan, dan
Akuntasi Internal Perusahaan yang dilakukan agen-agen perusahaan dalam
lingkup tugasnya. Dalam FCPA juga dapat dilakukannya “pembelaan“ dengan
melakukan pembuktian bahwa agen-agen perusahaan telah melakukan tugasnya
sesuai ketentuan yang telah diatur dalam FCPA yang diterapkan dalam
Perusahaan tersebut.
Ajaran yang berbeda kemudian yang dianut oleh The comprehensive
environmental responce compensation and liability act (CERLA) yang merupakan
Staturory Laws tekait dengan lingkungan. Dalam CERLA ajaran pemidanaan
yang digunakan adalah Doctrin Strict Liability. Pertanggungajwaban multak
dianut dalam CERLA karena Strict Liability yang paling murni adalah dalam
kasus-kasus yang berhubungan dengan lingkungan dimana pelaku telah
melakukan perusakan lingkungan atau membahayakan lingkungan seperti
74
mengekspos masyarakat dengan polusi atau zat beracun. CERLA pun pada
dasarnya serupa dengan UU PPLH.
2. Analisis Ius Constituendum terhadap konsep
pertanggungjawaban korporasi
Ius Contuendum yaitu merupakan hukum yang dicita-citakan (masa
mendatang), maka dengan demikian hal tersebut pun sangat erat kaitannya dengan
kebijakan hukum pidana khususnya pada Tahap Kebijakan Formulasi, karena hal
tersebut kemudian akan sejalan dengan usaha untuk mewujudkan suatu peraturan
yang lebih baik lagi sesuai dengan keadaan saat ini maupun masa mendatang.
Kebijakan formulasi ialah merupakan suatu tahap awal dalam pembentukan suatu
kebijakan hukum pidana, yang mana dalam tahap ini merupakan tahap yang
sangat penting yang dilakukan oleh badan legislatif dalam membentuk suatu
kebijakan pidana yang baik, sesuai dengan keadaan dan situasi saat ini sesuai
dengan definisi kebijakan pidana yang di kemukakan oleh Prof Sudarto pada sub
bab sebelumnya.
Sesuai dengan fokus penelitian penulis ialah terkait kebijakan hukum pidana,
maka penulis pun berangkat dari teori yang dikemukakan oleh Prof. Sudarto yang
memberikan definisi dari Kebijakan Hukum Pidana ialah:
a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan
keadaan dan situasi pada suatu saat; dan
b. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk
menetapkan peraturan – peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan
75
bisa digunakan untuk mengeksperesikan apa yang terkandung dalam
masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.
Dalam sub bab sebelumnya telah dijelaksan paparkan beberapa Pasal dalam
RKUHP terkait dengan Korporasi yaitu dalam Pasal 48 sampai dengan Pasal 54
RKUHP. Dari pemaparan pasal-pasal tesebut, penulis menganalisis terkhususnya
dalam Pasal 49 RKUHP tindak pidana dapat dibebankan pertanggungjawabannya
kepada Korporasi apabila:
a. Tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang yang bertindak
untuk dan atas nama korporasi atau demi kepentingan korporasi;
b. Orang yang melakukan tindak pidana harus memiliki hubungan kerja
atau hubungan lain dengan korporasi;
c. Tindak pidana harus dilakukan dalam lingkup usaha korporasi, hal ini
berkaitan dengan ketentuan Pasal 52 RKUHP 2015 yang menetukan
bahwa korporasi dapat dipertanggungjawabkan apabila perbuatan-
perbuatan tesebut merupakain perbuatan yang intra vires; dan
d. Tindak pidana dilakukan baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama.
Selain dalam Pasal 49 RKUHP, dalam hal pertanggungajwaban pidana pada
Pasal 50 RKUHP penulis berpendapat bahwa akan munculnya 3 (tiga)
kemungkinan mengenai pertanggungjawaban Pidana Korporasi hal tesebut terlihat
dari frasa “pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap korporasi dan/atau
pengurusnya” . Ketiga kemungkinan tersebut antara lain: (a) pertanggungjawaban
dibebankan hanya kepada korporasi tanpa membebankan kepada manusia sebagai
pelakunya, (b) pertanggungjawaban pidana hanya kepada pengurus korporasi
(manusia pelakunya) tanpa membebankan pertanggungjawaban pidananya kepada
76
korporasi, dan (c) pertanggungjawaban pidana dibebankan baik kepada manusia
pelakunya dan korporasi. Salah satu dari ketiga kemungkinan tesebut kemudian
menurut penulis kemudian sedikit akan memberi ketidakadilan khususnya apabila
hanya korporasi saja yang dibebankan pertanggungjawaban sedangkan pengurus
tidak dibebankan pertanggungajwaban. Karena pada dasarnya bahwa korporasi
merupakan Badan Hukum yang dikendalikan oleh agen-agen atau pengurus
(manusia) dan tentunya korporasi tidak dapat melakukan perbuatan sendiri kecuali
melalui manusia yang menjadi pengurus korporasi tesebut. Dalam hal
pertanggungjawaban yang dibebankan kepada pengurus, menurut penulis dapat
dibebankan pertanggungjawaban dengan dasar adanya unsur “turut membantu”
(Pasal 56 dan 57 KUHP) melakukan tindak pidana sehingga dalam penjatuhan
pidana pengurus dapat dijatuhkan dengan maksimum pidana pokok terhadap
kejahatan dikurangi sepertiga.
Kemudian dari pemaparan diatas penulis berpendapat bahwa dalam RKUHP
2015 terkhususnya terkait dengan Kejahatan Korporasi, ajaran pemidanaan yang
dianut adalah Doctrin of Vicarious Liability dan Doctrin of Strict Liability. Hal ini
pun sesuai dengan Pasal 39 RKUHP “selain menganut asas kesalahan, dalam
tindak pidana tertentu diterapkan asas pertanggungjawaban mutlak (strict liability)
dan asas pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability).