Post on 08-Mar-2019
12
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG
RIBA DAN BUNGA BANK A. Riba dan Bunga
1. Pengertian Riba dan Landasan Hukumnya
Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara
umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah
pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam
meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam
Islam.1 Menurut Ahmad Rofiq, "riba merupakan kebiasaan dalam tradisi
berekonomi masyarakat jahiliyah. Karena itu pelarangannya pun dilakukan
secara bertahap, karena menjadi kebiasaan yang mendarah daging".2
Sebab itu, istilah dan persepsi mengenai riba begitu hidupnya di
dunia Islam, sehingga terkesan seolah-olah doktrin riba adalah khas Islam.
Orang sering lupa bahwa hukum larangan riba, sebagaimana dikatakan oleh
seorang muslim Amerika, Cyril Glasse yang dikutip Dawam Raharjo, tidak
diberlakukan di negeri Islam modern mana pun. Sementara itu, tidak banyak
yang tahu bahwa di dunia Kristen selama satu millennium, riba adalah
barang terlarang dalam pandangan teolog, cendekiawan maupun menurut
undang-undang. Tetapi memang praktek itu sulit diberantas, sehingga
1Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Syari'ah Dari Teori Ke Praktek, Jakarta: Gema
Insani Press, 2003, hlm. 37. 2Ahmad Rofiq, Fiqh Aktual: Sebuah Ikhtiar Menjawab Berbagai Persoalan Umat,
Semarang: Putra Mediatama Press, 2004, hlm. 190.
13
berbagai penguasa terpaksa melakukan pengaturan dan pembatasan terhadap
bisnis pembungaan uang itu.3
Secara etimologi, kata riba berasal dari bahasa Arab, secara bahasa
bermakna "al-ziyadah" ( يادةالز ) yang berarti "tambahan".4 Pengertian yang
sama terdapat dalam Kamus al-Munawwir bahwa riba berarti tambahan,
kelebihan.5 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata riba dengan singkat
berarti pelepasan uang, lintah darat, bunga uang, rente.6
Menurut terminologi, kata riba dirumuskan secara berbeda-beda
sesuai dengan titik berat pendekatan masing-masing. Hal ini tidak berbeda
dengan definisi hukum dalam ilmu hukum barat pun tidak ada kesepakatan
para ahli tentang apa itu hukum? Kurang lebih 200 tahun yang lalu
Immanuel Kant pernah menulis sebagai berikut: “Noch suchen die Juristen
eine Definition zu ihrem Begriffi von Recht” (masih juga para sarjana
hukum mencari-cari suatu definisi tentang hukum).7 Demikian pula definisi
riba menurut syara masih menjadi perselisihan para ahli fikih, sesuai dengan
pengertian masing-masing menurut sebab penetapan haramnya.8
3M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi Al-Qur'an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-
Konsep Kunci, Jakarta, Paramadina, 2002, hlm. 594. 4Abdurrahmân al-Juzairi, Kitab al-Fiqh ‘alâ al-Mazâhib al-Arba’ah, juz II, Beirut:
Dâr al-Fikr, 1972, hlm. 193. 5Ahmad Warson Al-Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap,
Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997, hlm. 469 6Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002, hlm. 955 7C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, 1986, hlm. 35. 8Abu Sura'i Abdul Hadi, al-Riba wa al-Qurud, Terj. M. Thalib, "Bunga Bank Dalam
Islam", Surabaya: al-Ikhlas, 1993, hlm. 24.
14
Meskipun demikian, sebagai pegangan, definisi sangat penting
diungkapkan meskipun tidak seluruhnya tapi satu atau dua pun masih lebih
baik daripada tidak, di antaranya:
1. Menurut Abdurrrahmân al-Juzairi, riba adalah nilai tambahan pada salah
satu dari dua barang yang sejenis yang ditukar tanpa ada imbalan
(imbangan) terhadap tambahan tersebut.9
2. Menurut Sayyid Sabiq, riba adalah tambahan atas modal, baik
penambahan itu sedikit ataupun banyak.10
3. Menurut Maulana Muhammad Ali, riba adalah suatu tambahan di atas
pokok yang dipinjamkan.11
Dari ketiga definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa riba adalah
kelebihan atau tambahan tanpa ada ganti atau imbalan.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa secara bahasa
riba berarti al-ziyadah (tumbuh subur, tambahan), seperti terdapat dalam
ayat berikut ini:
فإذا أنزلنا عليها الماء اهتزت وربت وأنبتت من كل زوج بهيج )5:احلج(
Artinya: kemudian apabila telah Kami turunkan air atasnya, hiduplah
bumi itu dan subur dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah. (Q.S. al-Hajj: 5).12
9Abdurrrahmân al-Juzairi, Kitab al-Fiqh ‘alâ al-Mazâhib al-Arba’ah, Juz II, Beirut:
Dâr al-Fikr, 1972, hlm. 196. 10Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz III, Kairo: Maktabah Dâr al-Turas, tth, hlm. 147. 11Maulana Muhammad Ali, The Rligion of Islam, Terj. R. Kaelan dan M. Bachrun,
"Islamologi (Dînul Islâm)", Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1977, hlm. 484. 12Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya:
DEPAG RI, 1978, hlm. 512.
15
)92: النحل( أن تكون أمة هي أربى من أمة Artinya: disebabkan adanya suatu ummat (Islam) yang bertambah
banyak jumlahnya dari ummat yang lain. (Q.S. al-Nahl: 92).13 Seluruh fuqaha sepakat bahwasanya hukum riba adalah haram
berdasarkan keterangan yang sangat jelas dalam al-Qur'an dan al-Hadis.
Pernyataan al-Qur'an tentang larangan riba terdapat pada surat al-
Baqarah ayat 275, 276, 278 dan 279.
بختالذي ي قوما يون إال كمقوما ال يبأكلون الري طان الذينيالش طه عيالب ل اللهأحا وبمثل الر عيا البمقالوا إن مهبأن ذلك سالم من
)275: البقرة (وحرم الربا Artinya: Orang-orang yang memakan (memungut) riba tidak dapat
berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kerasukan syaitan lantaran gangguan penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan mereka berkata: sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba... (al-Baqarah: 275).14
Surat al-Baqarah ayat 275 di atas mengecam keras pemungutan riba
dan mereka diserupakan dengan orang yang kerasukan Setan. Selanjutnya ayat
ini membantah kesamaan antara riba dan jual-beli dengan menegaskan Allah
menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.
Larangan riba dipertegas kembali pada ayat 278, pada surat yang sama,
dengan perintah meninggalkan seluruh sisa-sisa riba, dan dipertegas kembali
pada ayat 279
13Ibid., hlm. 416. 14Ibid., hlm. 69.
16
نتم يا أيها الذين آمنوا اتقوا الله وذروا ما بقي من الربا إن كمننيؤ278: البقرة (م(
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba jika kamu orang-orang yang beriman. (Q.S. al-Baqarah: 278).15
وله وسرالله و نب مروا بحلوا فأذنفعت فإن لم فلكم متبإن ت )279: البقرة( رؤوس أموالكم ال تظلمون وال تظلمون
Artinya: Jika kamu tidak meninggalkan sisa-sisa riba maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kamu. Jika kamu bertaubat maka bagimu adalah pokok hartamu. Tidak ada di antara kamu orang yang menganiaya dan tidak ada yang teraniaya. (Q.S. al-Baqarah: 279)16
Mengapa praktek riba dikecam dengan keras dan kemudian
diharamkan? Ayat 276 memberikan jawaban yang merupakan kalimat kunci
hikmah pengharaman riba, yakni Allah bermaksud menghapuskan tradisi riba
dan menumbuhkan tradisi shadaqah. Sedang illat pengharaman riba agaknya
dinyatakan dalam ayat 279, la tazlimuna wala tuzlamun. Maksudnya, dengan
menghentikan riba engkau tidak berbuat zulm (menganiaya) kepada pihak lain
sehingga tidak seorangpun di antara kamu yang teraniaya. Jadi tampaklah
bahwasanya illat pengharaman dalam surat al-Baqarah adalah zulm
(eksploatasi; menindas, memeras dan menganiaya).
15Ibid., hlm. 69 16Ibid., hlm. 70
17
Keempat ayat dalam surat al-Baqarah tentang kecaman dan
pengharaman riba ini didahului 14 ayat (2:261 sampai dengan 274) tentang
seruan infaq fi sabilillah, termasuk seruan shadaqah dan kewajiban berzakat.
Antara lain dinyatakan bahwa Allah akan mengganti dan melipatgandakan
balasan shadaqah dengan 700 kali lipat bahkan lebih banyak lagi, bahwa
sesungguhnya Setan selalu menakuti dengan kekhawatiran jatuh miskin
sehingga manusia cenderung berbuat keji (dengan bersikap kikir, enggan
bershadaqah dan melakukan riba).
Selain itu, rangkaian empat ayat tentang kecaman dan pengharam riba
diakhiri dengan ayat 280 berisi seruan moral agar berbuat kebajikan kepada
orang yang dalam kesulitan membayar hutang dengan menunda tempo
pembayaran atau bahkan dengan membebaskannya dari kewajiban melunasi
hutang.
Pernyataan al-Qur'an tentang keharaman riba juga terdapat di dalam
surat Ali Imran (3:130).
قوا اللهاتفة واعضافا معا أضبأكلوا الروا ال تنآم ا الذينها أيي )130: آل عمران (لعلكم تفلحون
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan
riba dengan berlipat ganda. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. (Q.S. Ali Imran:130).17
Larangan memakan harta riba dalam surat Ali Imran ini berada dalam
konteks antara ayat 129 sampai dengan 136. Di sana antara lain dinyatakan
17Ibid., hlm. 97.
18
bahwa kesediaan meninggalkan praktek riba menjadi tolok ukur ketaatan dan
ketakwaan kepada Allah dan Rasul-Nya. Lalu dinyatakan bahwa menafkahkan
harta di jalan Allah baik dalam kondisi sempit maupun lapang merupakan
sebagian pertanda orang yang bertakwa.
Pernyataan Hadis Nabi mengenai keharaman riba antara lain:
حدثنا محمد بن الصباح وزهير بن حرب وعثمان بن أبي شيبة رسول الله عنقالوا حدثنا هشيم أخبرنا أبو الزبير عن جابر قال ل
لى اللهص مقال هه وياهدشو هكاتبو كلهؤما وبآكل الر لمسه وليع 18) رواه مسلم(سواء
Artinya: Telah mengabarkan Muhammad bin al-Shabah dan Zuhair bin Harbi dan Usman bin Abu Syaibah kepada kami dari Husyaim dari al-Zubair dari Jabir berkata: Rasulullah SAW. melaknat orang yang memakan riba, orang yang memberi makan riba, penulis dan saksi riba". Kemudian beliau bersabda: "mereka semua adalah sama. (H.R. Muslim).
شيبة حدثنا وكيع حدثنا إسمعيل بن مسلم حدثنا أبو بكر بن أبيالعبدي حدثنا أبو المتوكل الناجي عن أبي سعيد الخدري قال
عليه وسلم الذهب بالذهب والفضة رسول الله صلى اللهقالفضة والبر بالبر والشعري بالشعري والتمر بالتمر والملح بالملح بال
مثلا بمثل يدا بيد فمن زاد أو استزاد فقد أربى الآخذ والمعطي فيه 19) رواه مسلم(سواء
Artinya: Telah mengabarkan Abu Bakri bin Abi Syaibah kepada kami
dari Waqi' dari Ismail bin Muslim al-'Abdi dari Abu al-Mutawakkil al-Naji dari Abu Said al-Khudri bahwa
18Al-Imam Abul Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Sahih
Muslim, Juz. 3,. Mesir : Tijariah Kubra, tth, hlm. 50. 19Ibid., hlm. 44.
19
Rasulullah saw bersabda: (jual beli) emas dengan emas, perak dengan perak, jagung dengan jagung, gandum dengan gandum, korma dengan korma, garam dengan garam itu dalam jumlah yang sama dan tunai serta diserahkan seketika, dan barangsiapa yang menambah atau meminta tambah, termasuk riba. Yang menerima dan yang memberi, dalam hal ini sama dosanya. (H.R. Muslim).
حدثنا عمران بن ميسرة حدثنا عباد بن العوام أخبرنا يحيى بن أبي رة عن أبيه رضي الله عنهإسحاق حدثنا عبدالرحمن بن أبي بك
الفضة بالفضة والذهب عليه وسلم عن نهى النبي صلى اللهقال فة كيبالفض بالذه اعتبا أن ننرأماء وواء بسوب إلا سبالذه
20شئنا والفضة بالذهب كيف شئنا
Artinya: Telah mengabarkan 'Imran bin Maisyaroh kepada kami dari 'Abad bin al-'Awam dari Yahya bin Abu Ishaq dari Abdur Rahman bin Abu Bakrah dari Bapaknya ra. Rasulullah SAW. melarang menjual perak dengan perak, kecuali sama beratnya emas dengan emas dan membolehkan kita menjual emas dengan perak atau perak dengan emas sesuai kehendak kita. (H.R. al-Bukhary)
2. Macam-Macam Riba
Sebagaimana definisi riba, macam-macam riba pun terjadi
perbedaan pendapat di kalangan ulama. Ibnu Rusyd mengatakan bahwa
riba terdapat dalam dua perkara, yaitu pada jual beli dan pada jual beli
tanggungan, pinjaman atau lainnya. Riba dalam jual beli menurutnya ada
dua macam: nasi'ah (riba dengan penundaan pembayaran) dan tafadul
(riba dengan pelebihan pembayaran). Sedangkan riba pada jual beli
tanggungan juga terbagi dua kategori, salah satunya adalah riba jahiliyah
20Abu Abdillah al-Bukhary, Sahih al-Bukhari, Juz. 2, Beirut: Dar al-Fikr, 1410
H/1990 M, hlm. 26.
20
yang telah disepakati para ulama tentang keharamannya.21 Demikian pula
Syekh Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malîbary membagi riba kedalam riba
fadl, riba nasa dan riba yad.22
Namun demikian, para jumhur ulama fikih membagi riba dalam
dua kategori: Riba nasi'ah dan riba fadl.23 Pandangan yang sama juga
dikemukakan al-Jaziri. Riba nasiah adalah riba yang terjadi karena
penundaan pembayaran hutang, suatu jenis riba yang diharamkan karena
keharaman jenisnya atau keadaannya sendiri. Sedangkan riba fadl adalah
riba yang diharamkan karena sebab lain, yaitu riba yang terjadi karena
adanya tambahan pada jual beli benda atau bahan yang sejenis.24
Definisi riba al-nasi'ah menurut Wahbah al-Zuhaily25 adalah
فضل احللول على األجل ووفضل العني على الدين ىف املكيلني ف اجلنس اوىف غرياملكيلني اواملوزونني اواملوزونني عند اختال
سعنداحتاد اجلن Artinya: "Penambahan harga atas barang kontan lantaran penundaan
waktu pembayaran atau penambahan 'ain (barang kontan) atas dain (harga utang)" terhadap barang berbeda jenis yang ditimbang atau ditakar atau terhadap barang sejenis yang tidak ditakar atau ditimbang".
21Ibnu Rusyd, Bidâyah al Mujtahid Wa Nihâyah al Muqtasid, juz II, Beirut: Dâr Al-
Jiil, 1409 H/1989, hlm. 96. 22Syekh Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malîbary, Fath al-Mu’în, Semarang: Toha Putera
, tth, hlm. 68 23Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa ‘Adilatuh, juz IV, Beirut: Dâr al-Fikr,
1989, hlm. 671. 24Abdurrahmân al-Jazirî, op. cit, hlm. 192 25'Wahbah al-Zuhaily, op.cit., hlm. 672.
21
Menurut Abdurrahmân al-Juzairi:26
وهو ان تكون الزيادة فلى مقابلة تأخري الدفع Artinya: "Riba al-nasi'ah adalah riba atau tambahan (yang dipungut)
sebagai imbangan atas penundaan pembayaran".
Selanjutnya al-Jazirî memberi contoh, jika seseorang menjual satu
kuintal gandum yang diserahkan pada musim kemarau dengan satu
setengah kuintal gandum yang ditangguhkan pembayarannya pada musim
hujan, di mana tambahan harga setengah kuintal tersebut dipungut tanpa
imbangan mabi' (obyek jual beli), melainkan semata-mata sebagai
imbangan dari penundaan waktu pembayaran, maka yang demikian ini
adalah praktek riba al-nasi'ah27
Jual beli barang sejenis secara tidak kontan seperti pada contoh di
atas sekalipun tidak disertai penambahan pembayaran menurut Wahbah
al-Juhaily tergolong riba Nasi'ah.28
Dari uraian di atas dapat disimpulkan dua macam (kasus) riba
nasi'ah. Pertama, penambahan dari harga pokok sebagai kompensasi
penundaan waktu pembayaran. Kedua, penundaan penyerahan salah satu
dari barang yang dipertukarkan dalam jual-beli barang ribawi yang
sejenis.
26Abdur Rahman al-Juzairi, op.cit., Juz II, hlm. 198. 27Ibid., hlm. 198 28Hal ini sebagaimana dinyatakan dan dicontohkan oleh Wahbah al-Zuhaily, seorang
fuqaha Hanafiyah, dalam al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, Juz IV, hm. 672. Menurutnya alasan keharaman jual-beli benda sejenis tidak secara kontan adalah tidak adanya kesepadanan qimah. Sebagaimana dimaklumi bahwasanya qimah yang dibayarkan secara kontan adalah lebih berharga dari qimah yang ditangguhkan pembayarannya sebagaimana dimaklumi bahwasanya 'ain lebih berharga dari pada dain.
22
Adapun riba al-fadhl adalah penambahan pada salah satu dari
benda yang dipertukarkan dalam jual-beli benda ribawi yang sejenis,
bukan karena faktor penundaan pembayaran.29
Para fuqaha sepakat bahwasanya riba al-fadhl hanya berlaku pada
harta benda ribawi. Mereka juga sepakat terhadap tujuh macam harta
benda sebagai harta-benda ribawi karena dinyatakan secara tegas dalam
nash Hadis. Ketujuh harta benda tersebut adalah: (1) emas, (2) perak, (3)
burr, jenis gendum, (4) syair, jenis gandum, (5) kurma, (6) zabib, anggur
kering, dan (7) garam. Selain tujuh macam harta benda tersebut fuqaha
berselisih pandangan.30
3. Riba dan Bunga
Di antara dampak ekonomi riba adalah dampak inflatoir yang
diakibatkan oleh bunga sebagai biaya uang. Hal tersebut disebabkan
karena salah satu elemen dari penentuan harga adalah suku bunga.
Semakin tinggi suku bunga, semakin tinggi juga harga yang akan
ditetapkan pada suatu barang. Dampak lainnya adalah bahwa utang,
dengan rendahnya tingkat penerimaan peminjam dan tingginya biaya
bunga, akan menjadikan peminjam tidak pernah keluar dari
ketergantungan, terlebih lagi bila bunga atas utang tersebut dibungakan.
Contoh paling nyata adalah utang negara-negara berkembang kepada
negara-negara maju. Meskipun disebut pinjaman lunak, artinya dengan
29Abdur Rahman al-Juzairi, op.cit., Juz II, hlm. 198. 30Wahbah al-Zuhaily, op. cit, hlm. 675.
23
suku bunga rendah, pada akhirnya negara-negara pengutang harus
berutang lagi untuk membayar bunga dan pokoknya. Akibatnya, terjadilah
utang yang terus-menerus. Ini yang menjelaskan proses terjadinya
kemiskinan struktural yang menimpa lebih dari separoh masyarakat
dunia.31
Riba merupakan pendapatan yang didapat secara tidak adil. Para
pengambil riba menggunakan uangnya untuk memerintahkan orang lain
agar berusaha dan mengembalikan, misalnya, dua puluh lima persen lebih
tinggi dari jumlah yang dipinjamkannya. Persoalannya, siapa yang bisa
menjamin bahwa usaha yang dijalankan oleh orang itu nantinya
mendapatkan keuntungan lebih dari dua puluh lima persen? Semua orang,
apalagi yang beragama, tahu bahwa siapa pun tidak bisa memastikan apa
yang terjadi besok atau lusa. Siapa pun tahu bahwa berusaha memiliki dua
kemungkinan: berhasil atau gagal. Dengan menetapkan riba, orang sudah
memastikan bahwa usaha yang dikelola pasti untung.32
Dalam kehidupan modern seperti sekarang ini, umat Islam hampir
tidak dapat menghindari diri dari bermuamalah dengan bank
konvensional, yang memakai sistem bunga dalam segala aspek
kehidupannya, termasuk kehidupan agamanya. Misalnya; ibadah haji di
Indonesia, umat Islam harus memakai jasa bank. Tanpa jasa bank,
perekonomian Indonesia tidak selancar dan semaju seperti sekarang ini.
Para ulama dan cendekiawan muslim masih tetap berbeda pendapat
31Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Syari’ah Dari Teori Ke Praktik, Jakarta: Gema Insani, 2001, hlm. 67
32Ibid
24
tentang hukum bermuamalah dengan bank konvensional dan hukum
bunga bank. Perbedaan pendapat mereka seperti yang disimpulkan
Masjfuk Zuhdi adalah sebagai berikut
a. Pendapat Syekh Abu Zahrah, Guru Besar pada Fakultas Hukum
Universitas Cairo, Abul A'la Al-Maududi (Pakistan), Muhammad
Abdullah Al-Arabi, penasihat hukum pada Islamic Congress Cairo,
dan lain-lain, menyatakan bahwa bunga bank termasuk riba nasi'ah
yang dilarang oleh Islam. Oleh karena itu, umat Islam tidak boleh
bermuamalah dengan bank yang memakai sistem bunga, kecuali kalau
dalam keadaan darurat atau terpaksa. Mereka mengharapkan lahirnya
bank Islam yang tidak memakai sistem bunga sama sekali.33
b. Pendapat A. Hasan, pendiri dan pemimpin Pesantren Bangil (Persis),
bahwa bunga bank, seperti di negara Indonesia ini bukan riba yang
diharamkan karena tidak bersifat ganda sebagaimana dinyatakan
dalam surat Ah Imran ayat 130.34
c. Tarjih Muhammadiyah di Sidoarjo Jawa Timur tahun 1968
memutuskan bahwa bunga bank yang diberikan oleh bank-bank
negara kepada para nasabahnya, demikian pula sebaliknya, termasuk
syubhat atau mutasyabihat, artinya belum jelas halal dan haramnya.
Sesuai dengan petunjuk hadis, umat Islam harus berhati-hati
menghadapi masalah yang masih syubhat. Oleh karena itu, jika dalam
keadaan terpaksa atau dalam keadaan hajat, artinya keperluan yang
33Rachmat Syafe'i, Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2004, hlm. 274. 34A. Hassan, Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama, Jilid 1 – 2, Bandung:
CV Diponegoro, 2003, hlm. 678
25
mendesak/penting, barulah diperbolehkan bermuamalah dengan bank
dengan sistem bunga itu sekedarnya saja.35
Menurut Mustafa Ahmad Az-Zarqa, Guru Besar Hukum Islam dan
Hukum Perdata Universitas Syiria bahwa sistem perbankan yang kita
terima sekarang ini merupakan realitas yang tak dapat dhindari. Oleh
karena itu, umat Islam boleh bermuamalah dengan bank konvensional atas
pertimbangan dalam keadaan darurat dan bersifat sementara. Hal ini
karena, umat Islam harus berusaha mencari jalan keluar dengan
mendirikan bank tanpa sistem bunga untuk menyelamatkan umat Islam
dari cengkeraman bank bunga (conventional bank).36
B. Bank
1. Pengertian Bank
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bank adalah badan usaha
di bidang keuangan yang menarik dan mengeluarkan uang di masyarakat,
terutama memberikan kredit dan jasa di lalu lintas pembayaran dan
peredaran uang.37 O.P. Simorangkir menegaskan bank adalah salah satu
badan usaha lembaga keuangan yang bertujuan memberikan kredit dan
jasa-jasa.38 Dalam Kamus Ekonomi, bank dirumuskan sebagai sebuah
35Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, Jakarta: PT.Toko Gunung agung, 1997, Cet ke-
10, hlm. 111 - 112. 36Rachmat Syafei, op. cit, hlm. 274 – 275. 37Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi III, Cet 2, Jakarta: Balai Pustaka,
2002, hlm. 103-104 38O.P. Simorangkir, Kamus Perbankan Inggris Indonesia, Jakarta: PT Bina Aksara,
1985, hlm. 33.
26
lembaga untuk meminjamkan uang, mengeluarkan uang kertas, atau yang
membantu menyimpankan uang.39
Dalam Undang-undang No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan
Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan bahwa dalam
pasal 1 butir 2 menyebutkan bank adalah badan usaha yang menghimpun
dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada
masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam
rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.40 Menurut Masjfuk
Zuhdi, Bank non-Islam atau conventional bank ialah sebuah lembaga
keuangan yang fungsi utamanya menghimpun dana untuk disalurkan
kepada yang memerlukan dana, baik perorangan atau badan guna investasi
dalam usaha-usaha yang produktif dan lain-lain dengan sistem bunga;
sedangkan Bank Islam, ialah sebuah lembaga keuangan yang menjalankan
operasinya menurut hukum syari'at Islam. Sudah tentu Bank Islam tidak
memakai sistem bunga, sebab bunga dilarang oleh Islam.41
Dalam kerangka ekonomi umat Islam, istilah bank memiliki
konsep tersendiri, yakni bank Syari'ah yang beroperasi berdasarkan ajaran
(syari'at) Islam, yang memiliki prinsip operasional berbeda dengan prinsip
operasional bank konvensional (convensional bank). Menurut Karnaen A.
Perwataatmadja dan Syafi'i Antonio, bank Syari'ah memiliki dua
pengertian, yaitu:
39Winardi, Kamus Ekonomi (Inggris – Indonesia), Bandung: Alumni, 1984, hlm. 29 40Undang-Undang Perbankan No. 10 Tahun 1998, Jakarta: Sinar Grafika, 2002, hlm.
9 41Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, Jakarta: CV. Haji Masagung, 1988, hlm. 109
27
1. Bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syari'at Islam;
2. Bank yang tata cara beroperasinya mengacu kepada ketentuan-
ketentuan al-Qur'an dan al-Hadits.42
Dalam pengertian lain disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
bank Syari'ah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya
memberikan kredit dan jasa-jasa lain dalam lalu lintas pembayaran serta
peredaran uang yang operasionalnya disesuaikan dengan prinsip syari'at
Islam. Dalam pengertian ini, usaha bank akan selalu dikaitkan dengan
masalah uang yang merupakan barang dagangan utama.43
Selain itu, banyak juga orang yang terjebak ke dalam pengertian
bahwa bank Syari'ah itu sama dengan bank tanpa bunga (Zero interest =
bunga nol). Pengertian ini memang tidak terlalu salah, karena bank
Syari'ah tidak mengenal bunga. Namun pengertian bank Syari'ah tidak
hanya mesti sampai di situ, tetapi ia harus dipahami secara komprehensif
dan universal. Pemahaman tentang bank Syari'ah tidak hanya dilihat dari
aspek praktis operasional, tetapi harus pula dilihat dari perspektif ekonomi
makro ke-Islamannya.44
Berdasarkan keterangan di atas ada pula yang merumuskan bank
Syari’ah sebagai suatu lembaga keuangan yang fungsi utamanya
menghimpun dana untuk disalurkan kepada orang atau lembaga yang
42Karnaen A. Perwataatmadja dan Syafi’i Antonio, Apa dan Bagaimana Bank
Syari’ah, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1992, hlm. 1. 43Abdul Aziz Dahlan, dkk (Ed.). Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ikhtiar Baru van
Hoeve, 1997, hlm; 194. 44Djazuli dan Yadi Janwari, Lembaga-lembaga Perekonomian Umat (Sebuah
Pengenalan) Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, 54-55.
28
membutuhkannya dengan sistem tanpa bunga.45 Dengan singkat,
Muhammad merumuskan, Bank Syari’ah adalah bank yang beroperasi
dengan tidak mengandalkan pada bunga. Bank Islam atau biasa disebut
dengan Bank tanpa bunga adalah lembaga keuangan/perbankan yang
operasional dan produknya dikembangkan berlandaskan pada Al-Qur’an
dan Hadits Nabi SAW. Dengan kata lain, Bank Islam adalah lembaga
keuangan yang usaha pokoknya memberikan pembiayaan dan jasa-jasa
lainnya dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang
pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariat Islam.46
2. Prinsip-Prinsip Bank Syari'ah
Bank Islam dalam menjalankan usahanya mempunyai prinsip
operasional yang terdiri dari (1) sistem simpanan; (2) bagi hasil; (3)
margin keuntungan; (4) sewa; (5) fee
(1) Prinsip Simpanan Murni
Prinsip simpanan murni merupakan fasilitas yang diberikan
oleh Bank Islam untuk memberikan kesempatan kepada pihak yang
kelebihan dana untuk menyimpan dananya dalam bentuk Al Wadiah.
Fasilitas Al Wadiah biasa diberikan untuk tujuan investasi guna
mendapatkan keuntungan seperti halnya tabungan dan deposito.
Dalam dunia perbankan konvensional al Wadiah identik dengan giro.
(2) Bagi Hasil
45Masjfuk Zuhdi, op. cit, hlm. 143. 46Muhammad, Konstruksi Mudharabah Dalam Bisnis Syari’ah, Yogyakarta: Pusat
Studi Ekonomi Islam, 2003, hlm. 13.
29
Sistem ini adalah suatu sistem yang meliputi tata cara
pembagian hasil usaha antara penyedia dana dengan pengelola dana.
Pembagian hasil usaha ini dapat terjadi antara bank dengan peyimpan
dana, maupun antara bank dengan nasabah penerima dana. Bentuk
produk yang berdasarkan prinsip ini adalah Mudharabah dan
Musyarakah.
(3) Prinsip Jual Beli dan Margin Keuntungan
Prinsip ini merupakan suatu sistem yang menerapkan tata cara
jual beli, dimana bank akan membeli terlebih dahulu barang yang
dibutuhkan atau mengangkat nasabah sebagai agen bank melakukan
pembelian barang atas nama bank, kemudian bank menjual barang
tersebut kepada nasabah dengan harga sejumlah harga beli ditambah
keuntungan (margin/mark-up).47
(4) Prinsip Sewa
Prinsip ini secara garis besar terbagi kepada 2 jenis:
a. Ijarah, sewa murni, seperti halnya penyewaan traktor dan alat-alat
produk lainnya.
b. Bai al takjiri atau ijarah al muntahiya bit tamlik merupakan
penggabungan sewa dan beli, dimana si penyewa mempunyai hak
untuk memiliki barang pada akhir masa sewa (finansial lease).
47Muhammad, Bank Syari’ah: Analisis, Kekuatan, Peluang, Kelemahan dan
Ancaman, Yogyakarta: Ekonisia, 2003, hlm. 17-18
30
(5) Prinsip fee (Jasa)
Prinsip ini meliputi seluruh layanan non-pembiayaan yang
diberikan bank. Bentuk produk yang berdasarkan prinsip ini antara
lain Bank Garansi, Kliring, Inkaso, JasaTransfer, dll. Secara syari'ah
prinsip ini didasarkan pada konsep al ajr wal umulah.48
3. Perbedaan Bank Islam Dengan Bank Konvensional
Dalam beberapa hal, bank konvensional dan bank syariah memiliki
persamaan, terutama dalam sisi teknis penerimaan uang, mekanisme
transfer, teknologi komputer yang digunakan dan sebagainya.49
Sedangkan perbedaannya sebagai berikut;
Dalam bank syariah, akad memiliki konsekuensi duniawi dan
ukhrawi. Seringkali nasabah berani melanggar kesepakatan/perjanjian
yang telah dilakukan bila hukum itu hanya berdasarkan hukum positif
belaka, tapi tidak demikian bila perjanjian tersebut memiliki
pertanggungjawaban hingga yaumil qiyamah nanti.50 Setiap akad dalam
perbankan syariah, harus memenuhi ketentuan akad, seperti hal-hal
berikut
1. Rukun, Seperti: adanya penjual, pembeli, barang, harga, akad/ijab-
qabul.
48Muhammad, Konstruksi Mudharabah Dalam Bisnis Syari’ah, Yogyakarta: Pusat
Studi Ekonomi Islam, 2003, hlm. 27. 49Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Syari'ah dari Teori Ke Praktik, Jakarta: gema
Insani, 2001, hlm. 29 50Ibid.,
31
2. Syarat, seperti syarat berikut barang dan jasa harus halal sehingga
transaksi atas barang dan jasa yang haram menjadi batal demi hukum
syariah. Harga barang dan jasa harus jelas. Tempat penyerahan
(delivery) harus jelas karena akan berdampak pada biaya transportasi.
Barang yang ditransaksikan harus sepenuhnya dalam kepemilikan.
Tidak boleh menjual sesuatu yang belum dimiliki atau dikuasai seperti
yang terjadi pada transaksi short sale dalam pasar modal.51
Berbeda dengan perbankan konvensional, jika pada perbankan
syariah terdapat perbedaan atau perselisihan antara bank dan nasabahnya,
kedua belah pihak tidak menyelesaikannya di peradilan negeri, tetapi
menyelesaikannya sesuai tata cara dan hukum materi syariah. Lembaga
yang mengatur hukum materi dan atau berdasarkan prinsip syariah di
Indonesia dikenal dengan nama Badan Arbitrase Muamalah Indonesia
atau BAMUI yang didirikan secara bersama oleh Kejaksaan Agung
Republik Indonesia dan Majelis Ulama Indonesia.52
Bank syariah dapat memiliki struktur yang sama dengan bank
konvensional, misalnya dalam hal komisaris dan direksi, tetapi unsur yang
amat membedakan antar bank syariah dan bank konvensional adalah
keharusan adanya Dewan Pengawas Syariah yang bertugas mengawasi
operasional bank dan produk-produknya agar sesuai dengan garis-garis
syariah.53
51Ibid, hlm. 29 52Muhammad, Bank Syari'ah: Analisis Kekuatan, Peluang, Kelemahan dan
Ancaman, Yogyakarta: Ekonisia, 2003, hlm. 79. 53
32
Dewan Pengawas Syariah biasanya diletakkan pada posisi
setingkat Dewan Komisaris pada setiap bank. Hal ini untuk menjamin
efektivitas dari setiap opini yang diberikan oleh Dewan Pengawas Syariah.
Karena itu, biasanya penetapan anggota Dewan Pengawas Syariah
dilakukan oleh Rapat Umum Pemegang Saham, setelah para anggota
Dewan Pengawas Syariah itu mendapat rekomendasi dari Dewan Syariah
Nasional.54
Peran utama para ulama dalam Dewan Pengawas Syariah adalah
mengawasi jalannya operasional bank sehari-hari agar selalu sesuai
dengan ketentuan-ketentuan syariah. Hal ini karena transaksi-transaksi
yang berlaku dalam bank syariah sangat khusus jika dibanding bank
konvensional. Karena itu, diperlukan garis panduan (guidelines) yang
mengaturnya. Garis panduan ini disusun dan ditentukan oleh Dewan
Syariah Nasional. Dewan Pengawas Syariah harus membuat pernyataan
secara berkala (biasanya tiap tahun) bahwa bank yang diawasinya telah
berjalan sesuai dengan ketentuan syariah. Pernyataan ini dimuat dalam
laporan tahunan (annual report) bank bersangkutan. Tugas lain Dewan
Pengawas Syariah adalah meneliti dan membuat rekomendasi produk baru
dari bank yang diawasinya. Dengan demikian, Dewan Pengawas Syariah
bertindak sebagai penyaring pertama sebelum suatu produk ditelitikembali
dan difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional.55
54Muhammad Syafi'i Antonio, op. cit, hlm. 30 – 31. 55Ibid, hlm. 31.
33
Sejalan dengan berkembangnya lembaga keuangan syariah di
Tanah Air, berkembang pulalah jumlah DPS yang berada dan mengawasi
masing-masing lembaga tersebut Banyaknya dan beragamnya DPS di
masing-masing lembaga keuangan syariah adalah suatu halyangharus
disyukuri, tetapi juga diwaspadai. Kewaspadaan itu berkaitan dengan
adanya kemungkinan timbulnya fatwa yang berbeda dari masing-masing
DPS dan hal itu tidak mustahil akan membingungkan umat dan nasabah.
Oleh karena itu, MUI sebagai payung dari lembaga dan organisasi
keislaman di Tanah Air, menganggap perlu dibentuknya satu dewan
syariah yang bersifat nasional dan membawahi seluruh lembaga keuangan,
termasuk di dalamnya bank-bank syariah. Lembaga ini kelak kemudian
dikenal dengan Dewan Syariah Nasional atau DSN.56
Dewan Syariah Nasional dibentuk pada tahun 1997 dan merupakan
hasil rekomendasi Lokakarya Reksadana Syariah pada bulan Juli tahun
yang sama. Lembaga ini merupakan lembaga otonom di bawah Majelis
Ulama Indonesia dipimpin oleh Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia
dan Sekretaris (ex-officio). Kegiatan sehari-hari Dewan Syariah Nasional
dijalankan oleh Badan Pelaksana Harian dengan seorang ketua dan
sekretaris serta beberapa anggota.57
Fungsi utama Dewan Syariah Nasional adalah mengawasi produk-
produk lembaga keuangan syariah agar sesuai dengan syariah Islam.
Dewan ini bukan hanya mengawasi bank syariah, tetapi juga lembaga-
56Zainul Arifin, Memahami Bank Syari'ah: Lingkup, Peluang, Tantangan dan Prospek, Jakarta: Alvabet, 2000, hlm. 26.
57Ibid, hlm. 27
34
lembaga lain seperti asuransi, reksadana, modal ventura, dan sebagainya.
Untuk keperluan pengawasan tersebut, Dewan Syariah Nasional membuat
garis panduan produk syariah yang diambil dari sumber-sumber hukum
Islam. Garis panduan ini menjadi dasar pengawasan bagi Dewan
Pengawas Syariah pada lembaga-lembaga keuangan syariah dan menjadi
dasar pengembangan produk-produknya.58
Fungsi lain dari Dewan Syariah Nasional adalah meneliti dan
memberi fatwa bagi produk-produk yang dikembangkan oleh lembaga
keuangan syariah. Produk-produk baru tersebut harus diajukan oleh
manajemen setelah direkomendasikan oleh Dewan Pengawas Syariah
pada lembaga yang bersangkutan. Selain itu, Dewan Syariah Nasional
bertugas memberikan rekomendasi para ulama yang akan ditugaskan
sebagai Dewan Syariah Nasional pada suatu lembaga keuangan syariah.59
Dewan Syariah Nasional dapat memberi teguran kepada lembaga
keuangan syariah jika lembaga yang bersangkutan menyimpang dari garis
panduan yang telah ditetapkan. Hal ini dilakukan jika Dewan Syariah
Nasional telah menerima laporan dari Dewan Pengawas Syariah pada
lembaga yang bersangkutan mengenai hal tersebut.60
Jika lembaga keuangan syariah tersebut tidak mengindahkan
teguran yang diberikan, Dewan Syariah Nasional dapat mengusulkan
kepada otoritas yang berwenang, seperti Bank Indonesia dan Departemen
Keuangan, untuk memberikan sanksi agar perusahaan tersebut tidak
58Muhammad Syafi'i Antonio, op. cit, hlm. 32. 59Ibid 60Ibid
35
mengembangkan lebih jauh tindakan-tindakannya yang tidak sesuai
dengan syariah.61
Dalam bank syariah, bisnis dan usaha yang dilaksanakan tidak
terlepas dari saringan syariah. Karena itu, bank syariah tidak akan
mungkin membiayai usaha yang terkandung di dalamnya hal-hal yang
diharamkan. Dalam perbankan syariah suatu pembiayaan tidak akan
disetujui sebelum dipastikan beberapa hal pokok, di antaranya sebagai
berikut:62
1. Apakah objek pembiayaan halal atau haram?
2. Apakah proyek menimbulkan kemudharatan untuk masyarakat?
3. Apakah proyek berkaitan dengan perbuatan mesum/asusila?
4. Apakah proyek berkaitan dengan perjudian?
5. Apakah usaha itu berkaitan dengan industri senjata yang ilegal atau
berorientasi pada pengembangan senjata pembunuh massal?
6. Apakah proyek dapat merugikan syiar Islam, baik secara langsung
maupun tidak langsung?
Sebuah bank syariah selayaknya memiliki lingkungan kerja yang
sejalan dengan syariah. Dalam hal etika, misalnya sifat amanah dan
shiddiq, harus melandasi setiap karyawan sehingga tercermin integritas
eksekutif muslim yang baik. Di samping itu, karyawan bank syariah harus
skilljul dan profesional (fathanah), dan mampu melakukan tugas secara
team-work di mana informasi merata di seluruh fungsional organisasi
61Ibid, hlm. 33. 62Muhammad Umer Chapra, Islam and Economic Development, Terj. Ikhwan Abidin
Basri, "Islam dan Pembangunan Ekonomi", Jakarta: Gema Insani Press, 2000, hlm. 80.
36
(tabligh). Demikian pula dalam hal reward dan punishment, diperlukan
prinsip keadilan yang sesuai dengan syari'ah. Selain itu, cara berpakaian
dan tingkah laku dari para karyawan merupakan cerminan bahwa mereka
bekerja dalam sebuah lembaga keuangan yang membawa nama besar
Islam, sehingga tidak ada aurat yang terbuka dan tingkah laku yang kasar.
Demikian pula dalam menghadapi nasabah, akhlak harus senantiasa
terjaga. Nabi saw. mengatakan bahwa senyum adalah sedekah.63
Sebagai Perbandingan antara bank syariah dan bank konvensional
disajikan dalam tabel berikut:
BANK SYARI’AH
BANK KONVENSIONAL
1. Melakukan investasi-investasi yang halal saja
2. Berdasarkan prinsip bagi hasil, jual beli, atau sewa
3. Profit dan falah oriented.64 4. Hubungan dengan nasabah
dalam bentuk hubungan kemitraan.
5. Penghimpunan dan penyaluran dana harus sesuai dengan fatwa Dewan Pengawas Syari’ah
Investasi yang halal dan haram Memakai perangkat bunga
Profit oriented Hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan debitor-debitor Tidak terdapat dewan sejenis
Berpijak dari uraian sebelumnya, dapat diambil kesimpulan,
bahwa bank syari’ah memiliki perbedaan dengan bank konvensional di
antaranya yang paling populer adalah penggunaan perangkat bunga bagi
bank konvensional. Sedangkan bank syari’ah berdasarkan prinsip bagi
hasil, jual beli, atau sewa.
63Imamudin Yuliadi, Ekonomi Islam, Sebuah Pengantar, Yogyakarta: LPPI, 2001, hlm. 59.
64Falah berati mencari kemakmuran di dunia dan kebahagiaan di akhirat.