Post on 30-Sep-2020
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Konsep Kebutuhan Dasar
1. Kebutuhan Psikososial
Manusia adalah mahluk biopsikososial yang unik dan menerapkan
sistem terbuka serta saling berinteraksi. Manusia selalu berusaha untuk
mempertahankan keseimbangan hidupnya. Keseimbangan yang
dipertahankan oleh setiap individu untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungannya, keadaan ini disebut sehat. Sedangkan seseorang
dikatakan sakit apabila gagal dalam mempertahankan keseimbangan
diri dan lingkungannya (Tarwoto dan Wartonah, 2011)
Pasien yang dirawat karena penyakit yang mengancam kehidupan
sering mengalami kecemasan, depresi, atau marah. Perawat harus
mengkaji respon tersebut dan mencari pertolongan atau konseling bagi
pasien. Mengatasi respon emosional yang menyertai penyakit,
membantu meningkatkan kualitas hidup pasien dan kepuasan terhadap
perawatan dan memberikan kenyamanan dan bantuan kepada anggota
keluarga (Shubha, 2007 dalam Stuart, 2016).
Kebutuhan manusia bukan hanya menyangkut fisiknya seperti
makan, minum, istirahat, eliminasi, tetapi juga kebutuhan psikologis
misalnya keinginan untuk rasa dihargai, dicintai, dan mencintai, serta
kebutuhan untuk saling berinteraksi. Dengan demikian, manusia yang
sehat adalah individu yang mampu menyelaraskan antara kebutuhan
fisik atau bio dengan kebutuhan psikososial.
Adanya banyak teori yang berupaya menjelaskan perilaku
manusia, kesehatan, dan gangguan jiwa. Masing-masing mengajukkan
bagaimana perkembangan normal terjadi berdasarkan keyakinan dan
asumsi para ahli teori serta pandangan dunia. Menurut Videbeck
(2015), menjelaskan delapan tahap perkembangan psikososial. Pada
setiap tahap tersebut, individu harus menyelesaikan tugas kehidupan
7
yang esensial untuk kesejahteraan dan kesehatan jiwanya. Tugas ini
memungkinkan individu mencapai nilai moral kehidupan: harapan,
tujuan, kesetiaan, cinta, kepeduliaan, dan kebijaksanaan (Erik Erikson
dalam Videbeck, 2008).
2. Pengertian Isolasi Sosial
Isolasi sosial adalah keadaan dimana seorang individu mengalami
penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan
orang lain di sekitarnya. Isolasi sosial merupakan keadaan ketika individu
atau kelompok memiliki kebutuhan atau hasrat untuk memiliki
keterlibatan kontak dengan orang, tetapi tidak mampu membuat kontak
tersebut (Carpenito-Moyet, 2009 dalam Sutejo, 2017)
3. Etiologi
Setiap individu memiliki potensi untuk terlibat dalam hubungan
sosial, pada berbagai tingkat hubungan, yaitu hubungan intim yang biasa
hingga ketergantungan. Keintiman pada tingkat ketergantungan
dibutuhkan individu dalam menghadapi dan mengatasi kebutuhan dalam
kehidupan sehari-hari. Individu tidak mampu memenuhi kebutuhannya
tanpa adanya hubungan dengan lingkungan sosial. Maka dari itu,
hubungan interpersinal perlu dibina oleh setiap individu. Namun, hal
tersebut akan sulit dilakukan bagi individu yang memiliki gangguan isolasi
sosial (Sutejo, 2017).
Gangguan isolasi sosial dapat terjadi karena individu merasa ditolak,
tidak diterima, kesepian, dan tidak mamp membina hubungan yang berarti
dengan orang lain (Sutejo, 2017).
4. Rentang respon hubungan sosial.
Tingkatan hubungan berada pada rentang dari keintiman ke kontak
biasa. Hubungan intim dan saling tergantung memberikan keamanan dan
menanamkan rasa percaya diri yang diperlukan untuk mengatasi
8
tuntutan kehidupan sehari-hari. Kehilangan keintiman dengan anggota
keluarga dan teman-teman dengan memberikan pertemuan yang dangkal
akan dapat meniadakan banyak pengalaman hidup yang paling
bermakna (Keliat, 2012).
Hubungan seseorang dengan orang lain dapat dianalisis
berdasarkan pada tingkat keterlibatan, kenyamanan, dan kesejahteraan:
a. Keterhubungan menunjukkan bahwa orang tersebut secara aktif
terlibat dalam hubungan memuaskan. Keterhubungan melibatkan
kepemilikan, kebersamaan, timbal balik, dan saling ketergantungan
yang tinggi.
b. Ketidakterhubungan berhubungan dengan kurangnya keterlibatan
dan tidak memuaskan bagi orang tersebut.
c. Paralelisme adalah kurangnya keterlibatan yang nyaman dan dapat
diterima oleh individu.
d. Keterperangkapan terjadi ketika orang itu terlibat dalam hubungan
tetapi tidak dapat mempertahankan keunikan perasaan diri dan
batasan ego.
5. Respons Adaptif dan Maladaptif
Dalam hubungan antara manusia biasanya mengembangkan
keseimbangan perilaku dependen dan independen, yang digambarkan
sebagai saling ketergantungan. Seseorang yang interdependen dapat
memutuskan kapan untuk bergantung pada orang lain dan kapan harus
mandiri. Seseorang yang interdependen dapat membiarkan orang lain
tergantung atau mandiri tanpa perlu mengontrol perilaku orang tersebut.
Semua orang bertanggung jawab untuk mengendalikan perilaku
mereka sendiri saat menerima dukungan dan bantuan dari orang yang
berarti dan diperlukan. Respons sosial adaptif mencakup kemampuan
untuk mentoleransi kesendirian dan ekspresi otonomi, kebersamaan, dan
saling ketergantungan. Membangun ikatan afektif yang kuat dengan orang
9
lain sangat penting untuk pengembangan kepribadian yang matang
(Stuart, 2016).
Perilaku hubungan interpersonal dapat diwakili pada rangkaian
rentang dari interaksi interdependen yang sehat sampai kondisi di mana
mereka tidak terlibat dalam kontak nyata dengan orang lain. Pada titik
tengah kontinum, seseorang mengalami kesepian, penarikan, dan
ketergantungan. Akhir kontinum maladaptif meliputi perilaku manipulasi,
impulsif , dan narsisme. Seseorang dengan rentang ini sering memiliki
riwayat masalah hubungan dalam keluarga, ditempat kerja, dan arena
sosial (Keliat, 2016).
RENTANG RESPONS SOSIAL
Respons adaptif Respons maladaptif
Menyendiri Kesendirian Manipulasi
Otonomi Menarik diri Impulsif
Kebersamaan Ketergantungan Narsisme
Keadaan saling tergantung
Gambar 2.1
Rentang Respons Sosial (Stuart, 2016)
Stuart (2016), respon individu menyelesaikan suatu hal dengan cara yang
dapat diterima oleh norma-norma masyarakat. Respon ini meliputi:
a. Menyendiri (Solitude)
Merupakan respon yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan
apa yang telah dilakukan di lingkungan sosialnya dan suatu cara
mengevaluasi diri untuk menentukan langkah selanjutnya. Solitude
umumnya dilakukan setelah melakukan kegiatan.
b. Otonomi
Merupakan kemampuan individu untuk menentukan dan
menyampaikan ide-ide pikiran, perasaan dalam hubungan sosial.
10
c. Kebersamaan (Mutualisme)
Mutualisme adalah suatu kondisi dalam hubungan interpersonal
dimana individu tersebut mampu untuk saling memberi dan menerima.
d. Saling ketergantungan (intedependen)Intedependen merupakan kondisi
saling ketergantungan antar individu dengan orang lain dalam
membina hubungan interpersonal.
e. Kesepian
Merupakan kondisi dimana individu merasa sendiri dan terasing
dari lingkungannya.
f. Isolasi sosial
Merupakan suatu keadaan dimana seseorang menemukan kesulitan
dalam membina hubungan secara terbuka dengan orang lain.
g. Ketergantungan (Dependen)
Dependen terjadi bila seseorang gagal mengembangkan rasa
percaya diri atau kemampuannya untuk berfungsi secara sukses. Pada
gangguan hubungan sosial jenis ini orang lain diperlukan sebagai
objek, hubungan terpusat pada masalah pengendalian orang lain, dan
individu cenderung berorientasi pada diri sendiri atau tujuan, bukan
pada orang lain.
Stuart (2016), respon maladaptif adalah respon individu dalam
menyelesaikan masalah dengan cara yang bertentangan dengan norma
agama dan masyarakat.
Respon maladaptif tersebut antara lain:
a. Manipulasi
Merupakan gangguan hubungan sosial yang terdapat pada individu
yang menganggap orang lain sebagai objek. Individu tersebut tidak
dapat membina hubungan sosial secara mendalam.
b. Impulsif
Individu impulsif tidak mampu merencanakan sesuatu, tidak
mampu belajar dari pengalaman, tidak dapat diandalkan, dan penilaian
yang buruk.
11
c. Narsisme
Pada individu narsisme terdapat harga diri yang rapuh, secara terus
menerus berusaha mendapatkan penghargaan dan pujian, sikap
egosentrik, pencemburu, arah jika orang lain tidak mendukung.
6. Perkembangan hubungan sepanjang siklus hidup
Kepribadian dibentuk oleh aspek biologi dan pembelajaran sosial.
Benih kepribadian adalah temperamen, yang merupakan seperangkat
disposisi biologis keturunan, hampir jelas sejak lahir. Temperamen
memengaruhi suasana hati dan tingkat aktivitas, rentang perhatian, dan
responsif terhadap rangsangan (Stuart, 2016).
a. Masa bayi
Bayi baru lahir sampai usia 3 bulan bayi tidak merasakan
pemisahan fisik antara diri dan ibu. Meskipun pembedaan fisik dimulai
sekitar 3 bulan, perbedaan psikologis tidak dimulai sampai 18 bulan.
Periode antara 3 dan 18 bulan adalah tahap simbiosis perkembangan.
Bayi benar-benar tergantung pada orang lain.
Kepercayaan berkembang sebagai kebutuhan yang harus terpenuhi
secara konsisten dan terduga. Bayi berada di lingkungan yang
mencintai, memelihara, dan menerima tanpa syarat. Perasaan harga diri
yang positif dihasilkan dari ketergantungan lengkap bayi di lingkungan
yang baik dan penuh kasih. Hal ini menciptakan kapasitas untuk
pemahaman empatik dalam hubungan masa depan (Stuart, 2016).
b. Pra sekolah
Periode antara 18 bulan sampai 3 tahun adalah tahap
perkembangan pemisahan-individualisasi. Pemisahan mencakup semua
pengalaman dan peristiwa yang mempromosikan rasa yang terpisah dan
unik. Individualisasi adalah pengembangan struktur psikologis internal
anak dan tumbuh rasa keterpisahan, keutuhan, dan kemampuan.
Pada tahap perkembangan ini anak-anak berusaha jauh dari ibu
untuk mengeksplorasi lingkungan dan mengembangkan rasa keteguhan
12
objek. Tahap ini berarti anak mengetahui bahwa seseorang atau objek
yang berharga terus ada bahkan ketika tidak dapat dilihat. Permainan
seperti “ciluk ba” mengajarkan keteguhan objek. Anak mencari
jaminan, dukungan, dan dorongan orang tua. Jika respons positif dan
memperkuat, maka akan membantu membangun rasa keutuhan diri dan
kapasitas untuk pertumbuhan interpersonal (Stuart, 2016).
c. Usia anak
Perkembangan moral dan perasaan empati terjadi antara usia 6
sampai 10 tahun. Selama masa ini lingkungan yang mendukung akan
mendorong pertumbuhan rasa perkembangan positif, dan konsep diri
yang adaptif. Konflik terjadi saat orang dewasa menetapkan batas
perilaku, yang sering mengecewakan upaya anak menuju kemandirian.
Namun, kasih sayang, konsisten mengatur batas, mengkomunikasikan
kepedulian dan membantu anak mengembangkan saling
ketergantungan.
Anak yang lebih besar mengadopsi orang tua sebagai panduan
berperilaku, dan sistem nilai mulai muncul. Di sekolah anak mulai
belajar kerjasama, persaingan, dan kompromi. Pergaulan sebaya dan
persetujuan orang dewasa dari luar keluarga, seperti guru, tokoh
masyarakat, dan orang tua teman-teman, menjadi penting (Stuart,
2016).
d. Pra remaja
Pada usia pra remaja, biasanya anak terlibat hubungan intim
dengan seorang teman dengan jenis kelamin yang sama sebagai seorang
sahabat. Hubungan ini melibatkan berbagi. Kesempatan lain memberi
kesempatan untuk memperjelas nilai-nilai dan mengenali perbedaan
seseorang. Biasanya hubungan yang sangat saling tergantung, dan
sering tidak termasuk orang lain (Stuart, 2016).
e. Masa remaja
Sebagai remaja yang berkembang, ketergantungan pada teman
dekat dari jenis kelamin yang sama sering disertai dengan
13
ketergantungan hubungan heteroseksual. Sementara orang-orang muda
yang terlibat dalam hubungan ini tergantung dengan rekan-rekan,
mereka menyatakan kemerdekaan dari orang tua mereka. Teman saling
mendukung dalam perjuangan ini. Orang tua dapat membantu remaja
tumbuh dengan menyediakan batas yang konsisten. Langkah lain
menuju kematangan dalam saling ketergantungan didapatkan saat
seseorang belajar untuk menyeimbangkan tuntutan orang tua dan
tekanan kelompok sebaya (Stuart, 2016).
f. Masa dewasa muda
Masa remaja berakhir ketika seseorang mandiri dan memelihara
hubungan saling tergantung dengan orang tua dan teman sebaya.
Keputusan dilakukan secara mandiri, sementara saran dan pendapat
orang lain dapat diambil dan diperhitungkan. Seseorang pada masa ini
mungkin menikah dan memulai sebuah keluarga baru. Rencana kerja
dibuat, dan karir dimulai.
Seorang dewasa yang matang menunjukkan kesadaran diri dengan
menyeimbangkan perilaku dependen dan independen. Yang lain boleh
tergantung atau mandiri sesuai dengan kondisi. Menjadi sensitif,
,menerima perasaan serta kebutuhan diri sendiri dan orang lain sangat
penting untuk tingkat kematangan fungsi. Hubungan interpersonal
ditandai dengan kerjasama (Stuart, 2016).
g. Masa dewasa tengah
Menjadi orang tua dan persahabatan dewasa menguji kemampuan
seseorang untuk mendorong kemandirian diri dari orang lain. Anak-
anak secara bertahap terpisah dari orang tua, dan teman-teman bisa
menjauh atau terpisah. Seorang dewasa yang matang harus mandiri dan
mencari dukungan baru (Stuart, 2016).
h. Akhir masa dewasa
Perubahan terus terjadi selama akhir dewasa. Kehilangan terjadi,
seperti perubahan fisik berupa penuaan, kematian orang tua, kehilangan
pekerjaan melalui pensiun, dan kemudian kematian teman-teman dan
14
pasangan. Teman lama dan kerabat tidak bisa diganti, tapi hubungan
baru dapat dikembangkan. Cucu dapat menjadi penting bagi kakek,
yang mungkin menyenangkan dalam menghabiskan waktu bersama
mereka. Penuaan seseorang juga dapat menemukan rasa keterkaitan
dengan masyarakat secara keseluruhan. Hidup memiliki makna yang
lebih dalam sebagai salah satu ulasan prestasi pribadi dan kontribusi.
Orang tua yang matang dapat menerima peningkatan
ketergantungan yang diperlukan tetapi juga berusaha untuk
mempertahankan sebanyak mungkin kemandirian. Bahkan kehilangan
kesehatan fisik tidak selalu memaksa orang untuk tergantung pada
orang lain. Kemampuan untuk mempertahankan kematangan hubungan
sepanjang hidup dapat meningkatkan harga diri seseorang.
Kegagalan pada masa ini dapat menyebabkan individu merasa tidak
berguna, tidak dihargai dan hal ini dapat menyebabkan individu
menarik diri dan rendah diri (Stuart, 2016).
7. Tanda dan Gejala Isolasi Sosial
Tanda dan gejala pada pasien dengan masalah isolasi sosial menurut
Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (2017), dibagi menjadi dua,
yaitu objektif dan subyektif:
a. Gejala dan Tanda Mayor
1) Subjektif
a) Merasa ingin sendiri
b) Merasa tidak aman di tempat umum
2) Objektif
a) Menarik diri
b) Tidak berminat/menolak berinteraksi dengan orang lain atau
lingkungan.
b. Gejala dan Tanda Minor
1) Subjektif
a) Merasa berbeda dengan orang lain
15
b) Merasa asyik dengan pikiran sendiri
c) Merasa tidak mempunyai tujuan yang jelas
2) Objektif
a) Afek datar
b) Afek sedih
c) Riwayat ditolak
d) Menunjukkan permusuhan
e) Tidak mampu memenuhi harapan orang lain
f) Kondisi difabel
g) Tindakan tidak berarti
h) Tidak ada kontak mata
i) Perkembangan terhambat
j) Tidak bergairah/lesu.
c. Kondisi Klinis Terkait
1) Penyakit Alzheimer
2) AIDS
3) Tuberkolosis
4) Kondisi yang menyebabkan gangguan mobilisasi
5) Gangguan psikiatrik (Depresi mayor dan skizofrenia).
B. Tinjauan Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi penyebab isolasi soasial meliputi faktor
perkembangan, faktor biologis, dan faktor sosiokultural (Damaiyanti
dan Iskandar 2012).
1) Faktor Perkembangan
Setiap tahap tumbuh kembang memiliki tugas yang harus dilalui
individu dengan sukses, karena apabila tugas perkembangan ini
tidak da[at terpenuhi, akan menghambat masa perkembangan
selanjutnya. Keluarga adalah tempat pertama yang memberikan
16
pengalaman bagi individu dalam menjalin hubungan dengan orang
lain. Kurangnya stimulasi, kasih sayang, perhatian dan kehangatan
dari ibu/pengasuh pada bayi akan memberikan rasa tidak aman
yang dapat menghambat terbentuknya rasa percaya. Rasa
ketidakpercayan tersebut dapat mengembangkan tingkah laku
curiga pada orang lain maupun lingkungan dikemudian hari.
Komunikasi yang sangat penting dalam masa ini, agar anak tidak
merasa diperlakukan sebagai objek.
2) Faktor Biologis
Genetik merupakan salah satu faktor pendukung gangguan jiwa.
Insiden tertinggi skizofrenia, misalnya, ditemukan pada keluarga
dengan riwayat anggota keluarga yang menderita
skizofrenia.insiden skizofrenia, misalnya, ditemukan pada kelurga
dengan riwayat anggota keluarga yang menderita skizofrenia.
Selain itu, kelainan pada struktur otak, seperti atropi, pembesaran
ventrikel, penurunan berat dan volume otak serta perubahan
struktur limbic, diduga dapat menyebabkan skizofrenia.
3) Faktor Psikologis
Tingkat kecemasan yang berat akan menyebabkan menurunnya
kemampuan individu untuk berhubungan dengan orang lain.
Intensitas kesemasan yang ekstrim dan memanjang disetrai
terbatasnya kemampuan individu untuk mengatasi masalah
diyakini akan menimbulkan berbagai masalah gangguan
berhubungan (menarik diri).
4) Faktor Sosiokultural
Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan merupakan
faktor pendukung terjadinya gangguan berhubungan. Dapat juga
disebabkan oleh karena norma-norma yang salah yang dianut oleh
satu keluarga, seperti anggota tidak produktif diasingkan dari
lingkungan sosial. Selain itu, norma yang tidak mendukung
pendekatan terhadap orang lain, atau tidak menghargai anggota
17
masyarakat yang tidak produktif, seperti lansia, orang cacat dan
berpenyakit kronik juga turut menjadi faktor predisposisi isolasi
sosial.
b. Faktor Presipitasi
Menurut Damaiyanti dan iskandar (2012), Stressor prespitasi
terjadinya isolasi sosial dapat ditimbulkan oleh faktor internal
maupun eksternal, meliputi:
1) Stresor Sosial Budaya
Stresor sosial budaya dapat memicu kesulitan dalam berhubungan
terjadinya penurunan stabilitas keluarga seperti perceraian,
berpisah dengan orang yang dicintai, kehilangan pasangan pada
usia tua, kesepian karena ditinggal jauh, dirawat di rumah sakit,
atau dipenjara. Semua ini dapat menimbulkan isolasi sosial.
2) Stresor Biokimia
a) Teori Dopamin; Kelebihan dopamine pada mesokortikal dan
mesolimbik serta tractus saraf dapat merupakan indikasi
terjadinya skrizofrenia.
b) Menurut MAO (Mono Amino Oksidasi), didalam darah akan
meningkatkan dopamin dalam otak. Karena salah satu
kegiatan MAO (Mono Amino Oksidasi), adalah sebagai enzim
yang menurunkan dopamin, maka menurunnya (Mono Amino
Oksidasi), juga dapat merupakan indikasi terjadinya
skrizofenia.
c) Faktor endokin; jumlah FSH (hormon pentimulasi folikel),
dan LH (hormon luteinizing), yang rendah ditemukan pada
klien skrizofrenia. Demikian pula prolaktin mengalami
penurunan karena dihambat.
c. Sumber Koping
Sumber koping meliputi, kemampuan personal, dukungan
sosial, aset materi dan keyakinan . kemampuan personal yang
harus dimiliki yaitu, mampu berinteraksi dengan orang lain,
18
mampu memulai pembicaraan. Dukungan sosial dapat di dapat dari
sumber daya keluarga, seperti pemahaman orang tua tentang
penyakit, ketersediaan keuangan, ketersediaan waktu dan tenaga,
dan kemampuan untuk memberikan dukungan yang berkelanjutan,
memengaruhi jalannya penyesuaian setelah gangguan jiwa terjadi
(Stuart, 2016).
d. Mekanisme Koping
1) Konstruktif
Mekanisme di gunakan klien sebagai usaha mengatasi ansietas
yang merupakan suatu kesepian nyata yang mengancam dirinya.
Mekanisme kopimg yang sering digunakan adalah proyeksi,
splitting (memisah), dan isolasi. Proyeksi merupakan keinginan
yang tidak mampu ditoleransi dan klien mencurahkan emosi
kepada orang lain karena kesalahan sendiri. Seplitting merupakan
kegagalan individu dalam menginterpretasikan dirinya menilai baik
buruk. Sementara itu, isolasi merupakan prilaku mengasingkan diri
dari orang lain maupun lingkungan (Sutejo 2017).
2. Diagnosa Keperawatan
a. Diagnosa
Menurut Damaiyanti (2012) adapun diagnosa keperawatan pasien yang
muncul pada pasien dengan isolasi sosial adalah sebagai berikut:
1) Isolasi sosial
b. Masalah Keperawatan
1) Risiko gangguan persepsi sensori: Halusinasi
2) Isolasi Sosial
3) Harga Diri Rendah Kronik
c. Pohon Masalah
Pohon masalah dibuat berdasarkan masalah keperawatan isolasi
sosial, terdapat pada gambar 2.2 (Sutejo, 2017).
19
Gambar 2.2 Pohon Masalah Isolasi Sosial
3. Rencana tindakan keperawatan pada pasien isolasi sosial
Rencana tindakan keperawatan pada pasien isolasi sosial adalah
suatu bentuk susunanan perencanaan tindakan keperawatan untuk
mengatasi pasien dengan isolasi sosial. Salah satu Tindakan asuhan
keperawatan diantaranya terdapat strategi pelaksanaan tindakan
keperawatan dan terapi aktivitas kelompok Tindakan-tindakan ini dapat
ditujukan pada tindakan keperawatan untuk individu, tindakan
keperawatan untuk keluarga dan tindakan keperawatan untuk kelompok.
Tindakan keperawatan untuk pasien dan keluarga dilakukan pada
setiap pertemuan, minimal empat kali pertemuan dan dilanjutkan sampai
pasien dan keluarga mampu mengatasi isolasi sosial (Sulastri, 2017).
Rencana tindakan keperawatan isolasi sosial mengacu pada Matrik
strategi pelaksanaan keperawatan.
a. Tujuan umum dan tujuan khusus Strategi pelaksanaan tindakan
keperawatan untuk individu yaitu meliputi: pada pasien dengan
isolasi sosial terdapat 4 strategi pelaksanaan tindakan keperawatan.
1) TUM: Pasien dapat berinteraksi dengan orang lain.
Halusinasi
Isolasi sosial
Gangguan konsep diri: harga diri rendah
kronis
Risiko perilaku kekerasan
Defisit perawatan Diri
20
2) TUK: Pasien dapat membina hubungan saling percaya.
b. Strategi pelaksanaan tindakan keperawatan untuk individu pada
pasien dengan isolasi sosial terdapat 4 strategi pelaksanaan tindakan
keperawatan.
1) Strategi pelaksanaan tindakan keperawatan (SP 1) untuk individu
yaitu pengkajian isolasi sosial, dan melatih bercakap-cakap
antara pasien dan keluarga.
2) Strategi pelaksanaan tindakan keperawatan (SP 2) untuk individu
yaitu melatih pasien berinteraksi secara bertahap (pasien dengan
2 orang lain), latihan bercakap-cakap saat melakukan 2 kegiatan
harian
3) Strategi pelaksanaan tindakan keperawatan (SP 3) untuk individu
yaitu melatih pasien berinteraksi secara bertahap (pasien dengan
4-5 orang), latihan bercakap-cakap saat melakukan 2 kegiatan
harian baru.
4) Strategi pelaksanaan tindakan keperawatan (SP 4) untuk individu
yaitu mengevaluasi kemampuan berinteraksi, melatih cara
berbicara saat melakukan kegiatan sosial.
c. Strategi pelaksanaan tindakan keperawatan untuk keluarga pasien
dengan isolasi sosial terdapat 4 strategi pelaksanaan tindakan
keperawatan:
1) Mengenal masalah dalam merawat pasien isolasi sosial,
berkenalan dan berkomunikasi saat melakukan kegiatan harian.
2) Latihan merawat: melibatkan pasien dalam kegiatan rumah tangga
sekaligus melatih bicara pada kegiatan tersebut.
3) Melatih cara merawat dengan melatih berkomunikasi saat
melakukan kegiatan sosial.
4) Melatih keluarga memanfaatkan fasilitas kesehatan untuk follow
up pasien isolasi sosial.
21
4. Implementasi
Proses implementasi adalah melaksanakan rencana tindakan yang
sudah disusun dan disesuaikan dengan kondisi pasien saat itu.
Pelaksanaan tindakan keperawatan bisa lebih dari apa yang telah
direncanakan atau lebih sedikit dari apa yang sudah direncanakan bahkan
mampu memodifikasi dari perencanaan yang telah disesuaikan dengan
kebutuhan pasien pada saat asuhan keperawatan diberikan.
Dalam mengimplementasikan intervensi, perawat kesehatan jiwa
menggunakan intervensi yang luas yang dirancang untuk mencegah
penyakit meningkat, mempertahankan, dan memulihkan kesehatan fisik
dan mental (Damaiyanti, 2012).
5. Evaluasi
Pada evaluasi perawat mengevaluasi respon pasien berdasarkan
kemampuan yang sudah diajarkan pada pasien, berupa evaluasi yang
dapat dilakukan untuk menilai respon verbal dan non verbal yang dapat
diobservasi oleh perawat berdasarkan respon yang ditunjukkan oleh
pasien.
Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan SOAP:
S : Respon subyektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan.
O : Respon obyektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan.
A : Analisa ulang atas data subyektif dan obyektif atau muncul untuk
menyimpulkan apakah masalah baru atau ada data yang kontradiksi
dengan masalah yang ada.
P : Perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisa pada respon
pasien. Latihan kemampuan yang sudah diajarkan untuk mengontrol
perilaku isolasi sosial.
22
6. Dokumentasi
Dokumentasi keperawatan adalah suatu catatan yang memuat
seluruh informasi yang dibutuhkan untuk menentukan diagnosa
keperawatan, menyusun rencana keperawatan, melaksanakan dan
mengevaluasi tindakan keperawatan yang disusun secara sistematis, valid
dan dipertanggungjawabkan secara moral dan hukum (Damaiyanti,
2012).
C. Tinjauan Konsep Penyakit
1. Pengertian Skizofrenia
Skizofrenia adalah gangguan yang terjadi pada fungsi otak. Menurut
Melinda Hermann (2008) dalam Yosep (2009), mendefinisikan
skizofrenia sebagai penyakit neurologis yang mempengaruhi persepsi
pasien, cara berpikir, bahasa, emosi, dan prilaku sosialnya. Skizofrenia
adalah suatu penyakit yang mempengaruhi otak dan menyebabkan
timbulnya pikiran, persepsi, emosi, gerakan dan prilaku yang aneh dan
terganggu (Stuart, 2013).
2. Jenis-jenis Skizofrenia
Maramis, Willy F (2009) membagikan skizofrenia menjadi beberapa
jenis. Penderita digolongkan kedalam salah satu jenis menurut gejala
utama yang terdapat padanya. Akan tetapi batas-batas golongan-
golongan ini tidak jelas, gejala-gejala dapat berganti-ganti atau mungkin
seorang penderita tidak dapat digolongkan kedalam salah satu jenis.
Pembagian adalah sebagai berikut:
a. Skizofrenia Paranoid
Skizofrenia paranoid agak berlainan dari jenis-jenis yang lain
dalam jalannya penyakit. Skizofrenia hebefrenik dan katatonik sering
lama kelamaan menunjukkan gejala-gejala skizofrenia simplex, atau
gejala-gejala hebefrenik dan katatonik bercampuran. Tidak demikian
halnya dengan skizofrenia paranoid yang jalannya agak konstan.
23
Gejala-gejala yang mencolok adalah waham primer, disertai dengan
waham-waham sekunder dan halusinasi. Baru dengan pemeriksaan
yang teliti ternyata ada juga gangguan proses berpikir, gangguan afek,
emosi dan kemauan.
Jenis skizofrenia ini sering mulai sesudah umur 30 tahun.
Permulaannya mungkin sub akut, tetapi mungkin juga akut.
Kepribadian penderita sebelum sakit sering dapat digolongkan
skizoid. Mereka mudah tersinggung, suka menyendiri, agak congkak,
dan kurang percaya pada orang lain.
b. Skizofrenia Hebefrenik
Permulaannya perlahan-lahan atau sub akut dan sering timbul pada
masa remaja atau antara 15-25 tahun. Gejala yang mencolok adalah
gangguan proses berpikir, gangguan kemauan, gangguan psikomotor
seperti perilaku kekanak-kanakan sering terdapat pada skizofrenia
hebefrenik. Waham dan halusinasi banyak sekali.
c. Skizofrenia Katatonik
Timbulnya pertama kali antara umur 15-30 tahun, dan biasanya
akut serta sering didahului oleh stres emosional. Mungkin terjadi
gaduh gelisah katatonik atau stupor katatonik.
1) Muka tanpa mimik.
2) Stupor, penderita tidak bergerak sama sekali untuk waktu yang
lama, beberapa hari, bahkan kadang sampai beberapa bulan.
3) Bila diganti posisinya penderita menderita
4) Makanan ditolak, air ludah tidak ditelan sehingga terkumpul
didalam mulut dan meleleh keluar, air seni dan feses ditahan.
d. Skizorenia Simplex
Sering timbul pertama kali pada masa pubertas. Gejala utama pada
jenis simplex adalah kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan.
Gangguan proses berpikir biasanya sukar ditemukan. Waham dan
halusinasi jarang sekali terdapat. Jenis ini timbulnya perlahan-lahan
sekali. Pada permulaan mungkin penderita mulai kurang
24
memperhatikan keluarganya atau mulai menarik diri dari pergaulan.
Makin lama ia makin mundur dalam pekerjaan atau pelajaran dan
akhirnya menjadi penganggur. Bila tidak ada orang yang
menolongnya ia mungkin akan menjadi pengemis atau penjahat.
e. Skizofrenia Residual
Jenis ini adalah keadaan kronis dari skizofrenia dengan riwayat
sedikitnya satu episode psikotik yang jelas dan gejala-gejala
berkembang kearah gejala negatif yang lebih menonjol. Gejala negatif
terdiri dari keterlambatan psikomotor, penurunan aktifitas, pasif dan
tidak ada inisiatif, kemiskinan pembicaraan, ekspersi non verbal
menurun, serta buruknya perawatan diri dan fungsi sosial.
3. Penyebab Skizofrenia
Menurut Maramis, Willy F (2009) penyebab skizofrenia terdiri atas
Genetik, neurokimia, hipotesis perkembangan saraf .
a. Genetik
Dapat dipastikan bahwa ada faktor ada faktor genetik yang turut
menentukan timbulnya skizofrenia. Hal ini telah dibuktikan dengan
penelitian tentang keluarga-keluarga penderita skizofrenia. Tetapi
pengaruh genetik tidak sesederhana hukum mendel. Diperkirakan
bahwa yang diturunkan adalah potensi untuk mendapatkan skizofrenia
melalui gen yang resesif. Potensi ini mungkin kuat, mungkin juga
lemah, tetapi selanjutnya tergantung pada lingkungan individu itu
apakah akan terjadi manifestasi skizofrenia atau tidak.
b. Neurokimia: Hipotesis dopamin
Menyatakan bahwa skizofrenia disebabkan oleh overaktivitas pada
jaras dopamin mesolimbik. Hal ini didukung oleh temuan bahwa
amfetamin, yang kerjanya meningkatkan pelepasan dopamin, dapat
menginduksi psikosis yang mirip skizofrenia; obat antipsikotik
(terutama antipsikotik generasi pertama atau antipsikotik
tipikal/klasik) bekerja dengan mengeblok reseptor dopamin.
25
c. Hipotesis perkembangan saraf
Studi autopsi dan studi pencitraan otak memperlihatkan
abnormalitas struktur dan morfologi otak penderita skizofrenia, antara
lain berupa berat otak yang rata-rata lebih kecil daripada otak normal,
pembesaran ventrikel otak yang nonspesifik, gangguan metabolisme
didaerah frontal dan temporal, dan kelainan susunan seluler pada
struktur saraf dibeberapa daerah kortex dan subkortex tanpa adanya
gliosis yang menandakan kelainan tersebut terjadi pada saat
perkembangan.
Semua bukti tersebut melahirkan hipotesis perkembangan saraf
yang menyatakan bahwa perubahan patologis gangguan ini terjadi
pada awal kehidupan, mungkin sekali akibat pengaruh genetik, dan
kemudian dimodifikasi oleh faktor maturasi dan lingkungan.
4. Tanda Gejala Skizofrenia
Menurut Yosep (2009), secara general tanda gejala serangan
skizofrenia dibagi menjadi dua yaitu:
a. Tanda gejala positif
Halusinasi selalu terjadi saat rangsangan terlalu kuat dan otak
tidak mampu menginterprestasikan dan merespons pesan atau
rangsangan yang datang. Pasien skizofrenia kemungkinan
mendengar suara-suara atau melihat sesuatu yang sebenarnya tidak
ada atau mengalami suatu sensasi yang tidak biasa pada tubuhnya.
Auditory hallucination gejala yang biasanya timbul yaitu pasien
merasakan ada suara dari dalam dirinya.
Penyesatan pikiran (delusi) adalah kepercayaan yang kuat dalam
menginterprestasikan suatu yang kadang berlawanan dengan
kenyataan. Beberapa penderita skizofrenia berubah menjadi seorang
paranoid. Mereka merasa selalu sedang diamati, diintai atau hendak
diserang.
26
Kegagalan berfikir mengarah kepada masalah dimana pasien
skizofrenia tidak mampu memperoses dan mengatur pikirannya.
Pasien skizofrenia tidak mampu mengatuk pikirannya sehingga
membuat mereka berbicara sendiri dan tidak bisa ditamgkap secara
logika. Ketidakmampuan dalam berpikir mengakibatkan
ketidakmampuan mengendalikan emosi dan perasaan.
Semua itu membuat penderita skizofrenia tidak bisa memahami
siapa dirinya, tidak berpakaian, dan tidak bisa mengerti apa itu
manusia dia juga tidak bisa mengerti kenaapa dia lahir, dimanan dia
berada, dan sebagainya.
b. Tanda gejala negatif
Pasien skizofrenia kehilangan motivasi dan apatis berarti
kehilangan energi dan minat dalam hidup yang membuat pasien
menjadi orang yang malas. Perasan yang tumpul membuat emosi
pasien skizofrenia menjadi datar. Pasien skizofrenia tidak memiliki
ekspresi baik dari raut muka maupun gerakan tangannya. Tapi ini
tidak berarti bahwa pasien skizofrenia tidak bisa merasakan perasaan
apapun. Mereka mungkin bisa menerima pemberian dan perhatian
orang lai, tetapi tidak bisa mengekspresikan perasaan mereka.
Perasaan depresi adalah suatu yang sangat menyakitkan mereka,
tidak merasa memiliki prilaku yang menyimpang, tidak bisa
membina hubungan relasi dengan orang lain, dan tidak mengenal
cinta. Di samping itu, perubahan otak secara biologis juga memberi
andil dalam depresi. Depresi yang berkelanjutan akan menyebabkan
pasien menarik diri dari lingkungannya. Mereka selalu merasa aman
bila sendirian.
5. Penatalaksanaan Skizofrenia
a. Farmakologi
Menurut Videbeck (2009) terapi medis utama untuk skizofrenia
ialah psikofarmakologi. Antipsikotik yang juga dikenal sebagai
27
neuroleptik, diprogramkan terutama karena keefektifannya dalam
mengurangi gejala psikotik. Obat-obatan ini tidak menyembuhkan
skizofrenia, tetapi digunakan untuk mengatasi gejala penyakit
tersebut. Antipsikotik tipikal mengatsi tanda-tannda positif
skizofrenia, seperti waham, halusinasi, gangguan pikir, gejala psikotik
lainnya, tetapi tidak memiliki efek yang tampak pada tanda-tanda
negatif. Antipsikotik tipikaal tidak hanya mengurangi tanda-tanda
negatif tetapi untuk banyak pasien, obat-obatan ini juga mengurangi
tanda-tanda negatif seperti tidak memiliki kemauan dan motivasi,
menarik diri dari masyarakat (Littrel & Littrel, 1998 dalam Videbeck,
2009).
Antipsikotik juga tersedia dalam bentuk injeksi dengan pot untuk
terapi rumatan, flufenazim dalam sedian dekanoat dan enantat dan
haloperidol (haldol) dekanoat ( Spratto & woods, 2000 dalam
Videbeck, 2009). Efek obat-obatan ini berlangsung dua sampai empat
minggu sehingga antipsikotik tidak perlu diberikan tiap hari. Terapi
oral dengan obat-obatan ini untuk mencapai kadar dosis yang stabil
memerlukan waktu beberapa minggu sebelum menggantinya dengan
injeksi. Dengan demikian, sedian ini tidak cocok untuk mengatasi
episode akut psikosis, akan tetapi sedian ini akan bermanfaat untuk
pasien yang perlu di awasi kepatuhan minum obat dalam jangka
panjang (Videbeck, 2009).
b. Non-farmakologi
Selain terapi farmakologi ada juga terapi non-farmakologis
banyak metotede terapi yang dapat bermanfaat bagi penderita
skizofrenia yaitu terapi kelompok dan individu, terapi lingkungan dan
terapi keluarga dapat dilaksanakan pada pasien di lingkungan rawat
inap maupun lingkungan masyarakat. Berikut penjelasannya.
1) Sesi terapi kelompok dengan individu sering kali bersifat suportif,
dengan memberi kesempatan kepada pasien untuk kontak sosial
dan mmenjalin hubungan yang berbakna dengan orang lain.
28
Kelompok yang berfokus pada topik masalah seperti
penatalaksanaan pengobatan, penggunaan dukungan masyarakat,
dan masalah keluarga juga bermanfaat bagi pasien penderita
skizofrenia (Fenton & Cole, 1995 dalam Videbeck, 2009).
2) Lingkungan yang terstruktur tersebut dapat menyediakan
kelompok aktivitas, sumber-sumber untuk menyelesaikan konflik,
dan kesempatan untuk mempelajari keterampilan baru. Perawat
juga dapat menggunakan musik dan menggambar untuk
mengurangi prilaku pasien menarik diri dari masyarakat,
mengurangi ansietas, dan meningkatkan motivasi dan lebih
percaya diri (Videbeck, 2009).
3) Penyuluhan dan terapi keluarga diketahui mengurangi efek negatif
skizofrenia sehingga mengurangi angaka relaps (McFarlane, 1995
dalam Videbeck, 2009). Selain itu, anggota keluarga dapat
memperoleh manfaat dari lingkungan suportif yang membantu
mereka melakukan koping terhadap banyak kesulitan yang terjadi
ketika seseorang yang dicintai menderita skizofrenia (Videbeck,
2009).