Post on 20-Aug-2019
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tuberkulosis (TB)
2.1.1 Pengertian TB
TB adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang parenkim paru.
TB tidak hanya menyerang paru namun dapat menyerang organ lain termasuk
meninges, ginjal, tulang dan nodus limfe. Agen infeksius utama dari penyakit ini
adalah mycobacterium tuberculosis yang merupakan batang aerobic tahan asam
yang tumbuh dengan lambat dan sensitif terhadap panas dan sinar ultraviolet
(Smelter & Suzanne, 2001). TB adalah infeksi penyakit menular yang disebabkan
oleh mycobacterium tuberculosis, suatu basil aerobic yang tahan terhadap asam,
yang ditularkan melalui udara (Asih, 2003). Menurut Depkes RI penyakit TB
adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman mycobacterium
tuberculosis yang menyerang paru tetapi dapat juga mengenai organ lain.
Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa TB adalah
penyakit menular yang disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis yang
ditularkan melalui udara yang umumnya menyerang paru tetapi dapat juga
menyerang organ tubuh lain.
14
2.1.2 Patofisiologi TB
Pertama kali klien terinfeksi oleh mycobacterium tuberculosis, disebut
sebagai infeksi primer dan biasanya terdapat pada apeks paru atau di dekat pleura
lobus bawah. Tempat infeksi primer ini mrgnalami proses degenerasi nekrotik
(perkejuan) yang menyebabkan pembentukkan rongga yang terisi oleh massa basil
tuberkel seperti keju, sel-sel darah putih yang mati dan jaringan paru nekrotik.
Pada waktunya, material ini mencair dan mengalir ke dalam percabangan
trakheobronkhial dan dibatukkan oleh penderita (Asih, 2003).
Dalam waktu 3-6 minggu, inang yang baru terkena infeksi akan menjadi
sensitive terhadap protein yang dibuat oleh mycobacterium tuberculosis dan akan
bereaksi positif jika dilakukan tes tuberculin atau tes mantoux. Sebagian besar
tuberkel primer ini sembuh dalam waktu bulanan dengan membentuk jaringan
parut. Lesi ini dapat mengandung basil hidup yang dapat aktif kembali, meski
telah bertahun-tahun dan menyebabkan infeksi sekunder. Sebanyak 90% di
antaranya tidak mengalami kekambuhan. Reaktivasi penyakit TB terjadi bila daya
tahan tubuh menurun, alkoholisme, keganansan, silikosis, diabetes mellitus dan
AIDS (Mutaqqin, 2008).
2.1.3 Penatalaksanaan TB
Menurut Zain, 2001 dalam Muttaqin (2008), penatalaksanaan dari TB
dibagi menjadi 3 bagian, yaitu pencegahan, pengobatan dan penemuan penderita
(active case finding).
15
a. Pencegahan TB paru.
Pencegahan TB paru dilakukan dengan pemeriksaan terhadap individu
yang bergauk erat dengan penderita TB paru BTA positif. Pemeriksaan meliputi
tes tuberculin, klinis dan radiologis. Bila tes positif, maka pemeriksaan radiologis
diulang 6 dan 12 bulan mendatang.
Selain itu, dilakukan pemeriksaan missal terhadap kelompok-kelompok
populasi tertentu yang disebut mass chest X-ray. Pemeriksaan ini dilakukan
misalnya kepada karyawan rumah sakit, penghuni rumah tahanan, atau siswa-
siswi asrama. Jika hasil negatif maka akan diberikan vaksinasi BCG sebagai
pencegahan, namun jika hasilnya positif atau pada kasus bayi yang menyusui dari
ibu dengan BTA positif, maka akan diberikan kemoprofilaksis dengan
menggunakan INH 5mg/kgBB selama 6-12 bulan dengan tujuan menghancurkan
atau mengurangi populasi bakteri yang masih sedikit.
Selain pemeriksaan tersebut, tentunya pencegahan yang sangat diperlukan
adalah informasi dan edukasi tentang penyakit TB kepada masyarakat. Dengan
memberikan edukasi yang benar, diharapkan masyarakat lebih mengetahui tentang
pencegahan TB dan juga pengobatan.
b. Pengobatan TB
Pengobatan TB dibagi menjadi dua fase yaitu fase intensif (2-3 bulan)
dan fase lanjutan (4-7 bulan). Untuk program nasional pembatasan TB paru,
WHO menganjurkan panduan obat sesuai dengan kategori penyakit. Kategori
16
tersebut didasarkan pada urutan kebutuhan pengobatan dalam program. Kategori
dalam penyakit TB dibagi menjadi empat yaitu:
1. Kategori I
Kategori I adalah kasus baru dengan sputum positif dan penderita dengan
sputum negatif tetapi memiliki kelainan paru yang luas, TB usus, TB saluran
perkemihan, dan sebagainya. Dimulai dengan fase 2 HRZS (E) obat diberikan
setiap hari selama dua bulan. Jika setelah dua bulan pengobatan, sputum menjadi
negatif, maka dilanjutkan dengan fase lanjutan. Jika setelah dua bulan, hasil
sputum tetap positif, maka fase intensif diperpanjang 2-4 minggu setelah fase
intensif pertama, kemudian dilanjutkan dengan fase lanjutan tanpa melihat hasil
sputum berikutnya.
2. Kategori II
Kategori II adalah kasus kambuh atau gagal dengan sputum tetap positif.
Fase intensif HRZES-1 HRZE. Bila setelah fase intensif sputum berubah menjadi
negative, maka diteruskan ke fase lanjutan. Bila setelah pengobatan selama tiga
bulan sputum tetap positif, maka pengobatan dihentikan 2-3 hari. Kemudian uji
resistensi lalu pengobatan diteruskan dengan fase lanjutan.
3. Kategori III
Kategori III adalah kasus dengan sputum negative tetapi kelainan parunya
tidak luas dan kasus TB di luar paru selain yang disebutkan dalam kategori I.
pengobatan yang diberikan 2HRZ/6 HE, 2HRZ/4 HR, 2HRZ/4 H3R3.
17
4. Kategori IV
Kategori IV adalah TB kronis. Prioritas pengobatan rendah karena
kemungkinan keberhasilan pengobatan kecil. Untuk negara kurang mampu dari
segi kesehatan masyarakat, dapat diberikan H saja seumur hidup. Untuk Negara
maju atau pengobatan secara individu (penderita mampu), dapat dicoba pemberian
obat berdasarkan uji resisten atau obat lapis kedua seperti Quinolon, Ethioamide,
Sikloserin, Amikasin, Kanamisin, dan sebagainya. (Muttaqin, 2008)
2.1.4 Resistensi Terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
Hasil surveilans global menjelaskan bahwa mycobacterium tuberculosis
yang resisten terhadap OAT telah menyebar dan menjadi ancaman terhadap
program pengendalian TB di berbagai negara. Kegagalan pada pengobatan akan
menyebabkan lebih banyak OAT yang resisten terhadap kuman mycobacterium
tuberculosis. Kegagalan ini tidak hanya merugikan pasien tetapi juga
meningkatkan penularan pada masyarakat. Resistensi OAT adalah suatu fenomena
akibat pengobatan penderita TB yang tidak adekuat. Faktor penyebab resistensi
OAT terhadap kuman mycobacterium tuberculosis antara lain: 1). faktor
mikrobiologik, diantaranya resistensi yang natural, didapat, amplifier effect,
virulensi kuman, atau tertular kuman yang telah MDR; 2). Faktor klinik,
diantaranya pengobatan yang tidak lengkap, kualitas obat yang kurang baik, obat
tidak dapat diserap dengan baik misalkan rifampisin yang diminum sebelum
makan atau pada saat diare, ketersediaan obat yang tidak adekuat, kurangnya
18
pengawasan terhadap pengobatan dan dosis obat yang tidak tepat.
(Soepandi,2008)
Secara umum resistensi terhadap obat anti tuberculosis dibagi menjadi:
a. Resistensi primer ialah apabila pasien sebelumnya tidak pernah mendapat
pengobatan OAT atau telah mendapat pengobatan OAT kurang dari 1
bulan
b. Resistensi initial ialah apabila kita tidak tahu pasti apakah pasien sudah
ada riwayat pengobatan OAT sebelumnya atau tidak
c. Resistensi sekunder ialah apabila pasien telah mempunyai riwayat
pengobatan OAT minimal 1 bulan.
Kategori resistensi obat anti TB adalah sebagai berikut:
a. Mono resistance : kekebalan terhadap salah satu obat OAT
b. Poly resistance : kekebalan terhadap lebih dari satu OAT, selain
kombinasi isoniazid dan rifampisin
c. Multidrug resistance (MDR) : kekebalan terhadap sekurang-
kurangnya isoniazid dan rifampicin
d. Extensive drug resistance (XDR) : TB-MDR ditambah kekebalan
terhadap salah satu obat golongan fluorokuinolon, dan sedikitnya salah
satu dari OAT injeksi lini kedua (kapreomisin, kanamisisn, dan amikasin).
19
2.2 Kepatuhan Berobat
Kepatuhan berasal dari kata patuh yang berarti taat, suka menuruti,
disiplin. Kepatuhan menurut Trostle dalam Sari (2011), adalah tingkat perilaku
penderita dalam mengambil suatu tindakan pengobatan, misalnya dalam
menentukan kebiasaan hidup sehat dan ketetapan berobat. Menurut sacket
(Ester,2000), kepatuhan pasien adalah sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan
ketentuan yang diberikan oleh professional kesehatan. Secara umum, istilah
kepatuhan (compliance atau adherence) didefinisikan sebagai ukuran sejauh mana
pasien mengikuti instruksi-instruksi atau saran medis (Sabate, 2001; Dusing,
Lottermoser & Mengden, 2001).
Berdasarkan definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kepatuhan
berobat adalah perilaku pasien taat dan disiplin dalam mengikuti seluruh instruksi-
instruksi yang diberikan oleh professional kesehatan yang berhubungan dengan
pengobatan yang sedang dijalani.
2.2.1 Kepatuhan Berobat Pada Pasien TB
Menurut Snider dikutip Aditama (dalam Khoiriyah, 2009) menyatakan
bahwa salah satu indikator kepatuhan dalam pengobatan TB adalah datang atau
tidaknya penderita setelah mendapat anjuran untuk kontrol kembali. Seseorang
penderita akan dikatakan patuh jika dalam proses pengobatan penderita meminum
obat sesuai dengan aturan paket obat dan tepat waktu dalam pengambilan obat.
Menurut University of south Australia tipe-tipe ketidakpatuhan pasien
antara lain: (1) Tidak meminum obat sama sekali; (2) Tidak meminum obat dalam
20
dosis yang tepat (terlalu kecil/ terlalu besar); (3) Meminum obat untuk alasan
yang salah; (4) Jarak waktu meminum obat yang kurang tepat; (5) Meminum obat
lain di saat yang bersamaan sehingga menimbulkan interaksi obat. Berikut adalah
jumlah obat dan waktu minum obat pada pasien TB.
a. Jumlah obat
Panduan OAT yang digunakan oleh program nasional penanggulangan
TB di Indonesia berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 364/MENKES/SK/V/2009 yaitu:
1. Kategori I: 2(HRZE)/4(HR)3
Obat ini diberikan untuk pasien baru dengan BTA positif, pasien TB paru
BTA negative namun foto toraks positif atau pasien TB ekstra paru
Tabel 1 Dosis Untuk panduan OAT KDT untuk kategori 1
Berat
Badan
Tahap intensif
tiap hari selama 56 hari RHZE
(150/75/400/275)
Tahap lanjutan
3 kali seminggu selama 16
minggu
RH (150/150)
30-37 kg 2 tablet 4 KDT 2 tablet 2 KDT
38-54 kg 3 tablet 4 KDT 3 tablet 2 KDT
55-70 kg 4 tablet 4 KDT 4 tablet 2 KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4 KDT 5 tablet 2 KDT
Sumber: KepMenKes Nomor 364/MENKES/SK/V/2009
21
Tabel 2 Dosis Untuk panduan OAT Kombipak untuk kategori 1
Dosis per hari/kali
Tahap
pengobatan
Lama
Pengobatan
Tablet
Isoniazid
@300
mg
Kaplet
rifampisin
@450 mg
Tablet
pirazinamid
@500 mg
Tablet
etambutol
@250 mg
Jumlah
hari/kali
menelan
obat
Intensif 2 bulan 1 1 3 3 56
Lanjutan 4 bulan 1 1 - - 48
Sumber: KepMenKes Nomor 364/MENKES/SK/V/2009
2. Kategori 2: 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3
Panduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati
sebelumnya namun kambuh, gagal atau pasien dengan pengobatan setelah putus
obat (default)
Tabel 3 Dosis Untuk panduan OAT KDT untuk kategori 2
Berat
Badan
Tahap intensif
tiap hari RHZE
(150/75/400/275) + S
Tahap lanjutan
3 kali seminggu selama
16 minggu
RH (150/150)
Selama 56 hari Selama 28 hari
30-37 kg 2 tablet 4 KDT + 500mg
streptomisin inj
2 tablet 4 KDT 2 tablet 2 KDT + 2 tablet
etambutol
38-54 kg 3 tablet 4 KDT + 750mg
streptomisin inj
3 tablet 4 KDT 3 tablet 2 KDT + 3 tablet
etambutol
55-70 kg 4 tablet 4 KDT + 1000mg
streptomisin inj
4 tablet 4 KDT 4 tablet 2 KDT + 4 tablet
etambutol
≥ 71 kg 5 tablet 4 KDT + 1000mg
streptomisin inj
5 tablet 4 KDT 5 tablet 2 KDT + 5 tablet
etambutol Sumber: KepMenKes Nomor 364/MENKES/SK/V/2009
22
Tabel 4 Dosis Untuk panduan OAT Kombipak untuk kategori 2
Dosis per hari/kali
Tahap
pengobatan
Lama
Pengobatan
Tablet
Isoniazid
@300 mg
Kaplet
rifampisin
@450 mg
Tablet
pirazinamid
@500 mg
Tablet
etambutol
@250 mg
Tablet
etambutol
@400 mg
Strepto
misin inj
Jumlah
hari/kali
menelan
obat
Intensif
(dosis
harian)
2 bulan
1 bulan
1
1
1
1
3
3
3
3
-
-
0,75 gr
56
28
Lanjutan
(Dosis 3x
seminggu)
4 bulan 2 1 - 1 2 60
Sumber: KepMenKes Nomor 364/MENKES/SK/V/2009
3. OAT Sisipan (HRZE)
Panduan obat ini diberikan kepada pasien BTA positif yang pada akhir
pengobatan intensif masih tetap BTA positif. Pada sisipan kombinasi dosis tetap
(KDT) adalah sama seperti panduan paket unutk tahap intensif kategori 1 yang
diberikan selama sebulan (28 hari).
Tabel 5 Dosis Untuk paduan OAT KDT untuk sisipan
Berat Badan
Tahap intensif
tiap hari selama 28 hari
RHZE (150/75/400/275)
30-37 kg 2 tablet 4 KDT
38-54 kg 3 tablet 4 KDT
55-70 kg 4 tablet 4 KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4 KDT
Sumber: KepMenKes Nomor 364/MENKES/SK/V/2009
23
Tabel 6 Dosis Untuk paduan OAT Kombipak untuk sisipan
Dosis per hari/kali
Tahap
pengobatan
Lama
Pengobatan
Tablet
Isoniazid
@300
mg
Kaplet
rifampisin
@450 mg
Tablet
pirazinamid
@500 mg
Tablet
etambutol
@250 mg
Jumlah
hari/kali
menelan
obat
Intensif 2 bulan 1 1 3 3 56
Lanjutan 4 bulan 1 1 - - 48
Sumber: KepMenKes Nomor 364/MENKES/SK/V/2009
b. Waktu minum obat
Semua OAT diminum malam hari sebelum tidur atau setidaknya satu jam
sebelum makan. Makanan dapat mengganggu penyerapan obat OAT sehingga
baik diminum dalam keadaan lambung kosong (Smeltzer&Bare, 2002).
Pengobatan TB diberikan dalam dua fase yaitu: (1) fase intensif yang
menggunakan isoniazid yang dikombinasikan dengan rifampisin dan pirazinamida
selama dua bulan, yang ditujukan untuk menghancurkan sejumlah besar organism
yang berkembang biak dengan cepat. Pada fase ini, pasien mendapat obat setiap
hari dan perlu kepatuhan untuk mencegah terjadinya resistensi obat dan kegagalan
penyembuhan. (2) fase rumatan atau lanjutan menggunakan isoniazid bersama
rifampisisn selama 4 bulan. Fase ini ditujukan untuk memusnahkan basil yang
masih tersisa. Kultur sputum digunakan untuk mengevaluasi pengobatan. Tahap
lanjutan sangat penting untuk mencegah kekambuhan (Asih, 2003).
24
2.2.2 Alat Ukur Tingkat Kepatuhan
Kepatuhan pasien terhadap pengobatan dapat dievaluasi dengan berbagai
metode (Dȕsing, Lottermoser dan Mengden, 2001)
a. Medication Event Monitoring Systems (MEMS)
Metode ini menggunakan wadah obat khusus yang dilengkapi dengan
mikrosirkuit yang mengirim data ke komputer setiap wadah tersebut dibuka dan
ditutup. Oleh karena itu, MEMS dapat mengukur kepatuhan pasien dengan tepat.
Namun, kekurangan MEMS adalah memerlukan biaya yang cukup besar dalam
pelaksanaannya.
b. Pill count (Hitung pil)
Pengukuran kepatuhan dengan metode ini dilakukan dengan menghitung
sisa obat yang tidak dihabiskan oleh pasien. Kelemahan metode ini adalah mudah
dimanipulasi oleh pasien.
c. Refilling (Pengisian ulang)
Pada pengukuran ini, obat diberikan seluruhnya pada pasien, tetapi dalam
jangka waktu tertentu pasien harus kembali ke petugas untuk mendapatkan stok
untuk selanjutnya. Metode ini dapat membantu untuk mengetahui diskontinyu
obat.
d. Chemical markers (Penanda kimia)
Pengukuran kepatuhan dilakukan dengan menggunakan penanda kimia,
seperti digoksin dan fenobarbital, dalam dosis kecil yang dimasukkan ke dalam
obat yang diresepkan.
25
e. Self report (Laporan diri)
Evaluasi kepatuhan dengan metode ini biasanya menggunakan kuesioner
sebagai data primer. Pasien ditanya mengenai pernah tidaknya lupa meminum
obat kepada orang lain, dan sebagainya.
Dibandingkan dengan seluruh metode pengukuran kepatuhan pasien,
perhitungan sisa pil, pengisian ulang dan penggunaan kuesioner merupakan cara
yang paling sederhana. Namun demikian, kuesioner dianggap lebih baik untuk
mengevaluasi kepatuhan karena dapat mengetahui sikap dan pandangan pasien
terhadap pengobatan yang dijalani (Osterberg, Lars, Terrence Blaschke, 2005).
2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Pengobatan
Green dan Kreuter mengajukan sebuah kerangka teori (teori Green)
yang mempelajari mengenai faktor-faktor yang berkaitan dengan perilaku sehat
seseorang . Teori ini mencakup 3 faktor yakni, faktor predisposisi, factor
pemungkin (enabling factor), dan factor penguat (reinforcing factor). Teori ini
sangat tepat untuk meneliti perilaku kesehatan individu dengan penyakit
kronik, salah satunya adalah kepatuhan pada pengobatan TB.
a. Faktor Predisposisi (Predisposing factors)
Merupakan faktor internal yang ada pada diri individu, kelompok, dan
masyarakat, yang mempermudah individu untuk berperilaku. Faktor predisposisi
tersebut adalah pengetahuan, sikap, kepercayaan, nilai-nilai, keyakinan dan
kebiasaan. Sikap merupakan suatu reaksi atau respon yang masih tertutup dari
seseorang terhadap suatu stimulus/objek (Notoatmodjo, 2007).
26
Mednick, Higgins dan Kirschenbaum (dalam Panjaitan, 2010)
menyebutkan bahwa salah satu faktor yang membentuk sikap seseorang adalah
kepribadian. Ahli psikologi telah menyelidiki tentang hubungan antara
pengukuran-pengukuran kepribadian dan kepatuhan. Orang-orang yang tidak
patuh adalah orang-orang yang lebih tinggi dalam mengalami depresi, ansietas,
memiliki ego yang lebih lemah dan yang kehidupan sosialnya lebih memusatkan
perhatian pada dirinya sendiri. Blumenthal mengatakan bahwa ciri-ciri
kepribadian yang disebutkan di atas itu yang menyebabkan seseorang cenderung
tidak patuh (drop out) dari program pengobatan (Risty, 2009).
Kepercayaan, nilai-nilai, dan keyakinan merupakan faktor-faktor personal
yang selalu mempengaruhi persepsi seseorang terhadap situasi yang dihadapi
sehingga akan mempengaruhi reaksinya terhadap situasi tersebut. Nantinya
gabungan dari ketiga factor ini akan menimbulkan reaksi yang berbeda-beda
tergantung pada orientasi kehidupan masing-masing individu yang disebut Rotter
sebagai Locus of control.
b. Faktor Pemungkin (Enabling factors)
Merupakan faktor yang memungkinkan individu berperilaku seperti yang
terwujud dalam lingkungan, fisik, tersedia atau tidak tersedia fasilitas-fasilitas
atau sarana-sarana kesehatan.
c. Faktor Penguat atau Faktor Pendorong (Reinforsing factors)
Merupakan faktor yang menguatkan perilaku seperti terwujud dalam
sikap seperti dukungan dari tenaga kesehatan serta dukungan dari keluarga atau
27
suami merupakan koordinasi referensi dalam perilaku masyarakat. (Notoatmodjo,
2003).
2.3.1 Kepribadian
a. Pengertian
Menurut Murray (dalam Hall&Lindzey, 1993) kepribadian adalah fungsi
yang menata atau mengarahkan dalam diri individu. Tugas-tugasnya meliputi
mengintegrasikan konflik-konflik dan rintangan-rintangan yang dihadapi individu,
memuaskan kebutuhan-kebutuhan individu dan menyusun rencana-rencana untuk
mencapai tujuan di masa mendatang. Feist&Feist (2009) mengatakan bahwa
kepribadian mencakup sistem fisik dan psikologis meliputi perilaku yang terlihat
dan pikiran yang tidak terlihat, serta tidak hanya merupakan sesuatu, tetapi
melakukan sesuatu. Kepribadian adalah substansi dan perubahan, produk dan
proses serta struktur dan perkembangan. Hal yang sama juga dikemukakan oleh
Allport (1951) mengatakan bahwa bahwa kepribadian adalah organisasi dinamis
dalam individu sebagi system psikofisik yang menentukan caranya yang khas
dalam menyeseuaikan diri terhadap lingkungan (Krisnawati, 2012).
Berdasarkan pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa, kepribadian
adalah satu kesatuan system psikologis dan fisik yang berada dalam diri individu
yang terlihat maupun tidak terlihat yang mengarahkan seseorang untuk mencapai
tujuan di masa yang akan datang.
28
b. Pembentukan kepribadian
Menurut Murray, masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang
semuanya mempunyai bobot yang setara dalam menentukan tingkah laku,
sehingga motivasi tak sadar menjadi tidak terlalu penting. Pembentukan
kepribadian menurut Murray adalah sebagai berikut:
Id: seperti Freud, Murray memandang Id sebagai gudang semua
kecenderungan impulsif yang dibawa sejak lahir. Id menguasai energi dan
mengarahkan tingkah laku, sehingga menjadi dasar kekuatan motivasi
kepribadian. Id bukan hanya berisi impuls primitif, amoral dan kenikmatan, tetapi
juga berisi impuls yang dapat diterima baik dan diharapkan masyarakat seperti
empati, cinta dan memahami lingkungan.
Ego: Murray memberi peran ego jauh lebih luas dari Freud. Sebagai unsur
rasional dari kepribadian, ego bukan hanya melayani, mengubah arah dan
menunda impuls id yang tak terima, tetapi ego juga menjadi pusat pengatur semua
tingkahlaku, secara sadar merencanakan tingkah laku, mencari dan membuat
peluang untuk memperoleh kepuasan id yang positif.
Superego: Murray menekankan pentingnya pengaruh kekuatan lingkungan
sosial atau kultur dalam kepribadian. Seperti Freud dia memandang superego
sebagai internalisasi nilai-norma-moral kultural pada usia dini, yang kemudian
dipakai untuk mengevaluasi tingkah laku diri dan orang lain. Superego terus
menerus berkembang sepanjang hayat merefleksi pengalaman manusia yang
semakin dewasa semakin kompleks dan canggih.
29
c. Tipe Kepribadian
Kepribadian pertama kali disusun secara sistematis oleh Hippocrates, yang
membagi tipe kepribadian seseorang berdasarkan cairan tubuh seseorang. Empat
cairan itu, darah (blood), empedu kuning (yellow bile), lendir (phlegm) dan
empedu hitam (black bile), masing-masing dipercaya berhubungan erat dengan
tipe perilaku yang berbeda. Kelebihan darah membuat seseorang menjadi
sanguin, empedu kuning menghasilkan sifat kolerik, lendir secara alamiah akan
menghasilkan penampilan yang flegmatik, dan empedu hitam berhubungan
dengan sifat seseorang yang melankolik. Teori ini masih digunakan hingga abad
pertengahan bahkan sampai hari ini, kata-kata sanguine, phlegmatic, choleric dan
melancholic masih umum digunakan.
Pada awal 1920an, seorang ahli psikologi flamboyan dari Amerika Serikat,
William Moulton Marston, mengembangkan teori untuk menjelaskan respon
emosional seseorang. Sampai pada masa itu, pekerjaan sejenis ini umumnya
terbatas pada orang-orang yang sakit secara mental atau perilaku kriminal, dan
kali ini Marston bermaksud mengembangkan ide ini mencakup kepribadian orang-
orang biasa atau normal. Penelitiannya dilakukan dengan cara mengukur empat
faktor penting, yaitu Dominance, Influence, Steadiness dan Compliance, yang
kemudian dikenal sebagai DISC. Pada 1926, Marston menerbitkan penemuannya
dalam sebuah buku terkenal yang berjudul The Emotions of Normal People, yang
juga berisikan sebuah deskripsi singkat tentang berbagai pengujian dan percobaan
yang telah dikembangkannya.
30
DISC mengukur empat faktor perilaku seseorang, yaitu: Dominance,
Influence, Steadiness dan Compliance. Model DISC Marston menyimpulkan
bahwa apa yang cenderung orang pikirkan, rasakan dan lakukan adalah hasil dari
kepribadian. Ini merupakan suatu konstruksi yang cukup kompleks, dan tidak
mudah digambarkan dengan satu kata saja, tetapi dapat dikelompokkan sebagai
unsur ketegasan (assertiveness), komunikasi (communication), kesabaran
(patience) dan terstruktur (structure).
Orang-orang tinggi di sifat dominance berpikir secara mandiri, ambisius,
dan mengambil keputusan dengan cepat dan aktif untuk memecahkan masalah.
Dominan suka berkompetisi dan menikmati tantangan. Mereka memiliki
kebutuhan yang kuat untuk mencapai dan mencoba untuk mempertahankan
kontrol atas lingkungan di mana mereka tinggal dan bekerja.
Orang-orang yang memiliki sifat Influence memiliki sifat dasar menghibur
dan sosial. Mereka ingin berpartisipasi dalam kelompok dan mengandalkan
keterampilan sosial mereka sebagai sarana utama untuk menyelesaikan sesuatu.
Sangat ekstrovert, orang-orang ini ramah dan pandai bergaul. Mereka memiliki
dorongan untuk bertemu dan berbicara dengan orang lain, dan mereka bahkan
mencoba untuk membawa orang-orang yang kurang bersosialisasi bersama-sama.
Orang-orang yang bersifat Steadiness memiliki sifat dasar gigih dan sabar .
Mereka memiliki hidup yang stabil dan tidak suka kejutan. Mereka sering
menunjukkan loyalitas kuat untuk orang di sekitar mereka. Orang steady
menempatkan nilai tinggi pada ketulusan, mereka biasa mengatakan kebenaran
dan mengharapkan orang lain untuk melakukan hal yang sama. Individu yang
31
stabil memiliki tingkat ketekunan yang luar biasa, sangat sulit untuk memulai
sesuatu yang baru dan melakukan perubahan. Ingin semuanya berjalan dengan
tenang sehingga cenderung lambat dan tidak suka dikejar atau ditargetkan sesuatu.
Orang-orang yang bersifat compliance memiliki sifat dasar presisi dan
akurasi. Mereka memiliki pola pikir terstruktur dan detail, dan mereka fokus pada
fakta-fakta. Mereka menganggap tradisi dan etiket sebagai sangat penting dan
akan memperluas upaya besar untuk mendukung adat istiadat tersebut. Mereka
cenderung menggunakan pendekatan sistematis untuk kegiatan mereka, dan akan
bersikeras pada penggunaan aturan untuk mengelola atau mengendalikan
lingkungan mereka. Hal ini dapat menyebabkan orang lain melihat mereka
sebagai orang yang patuh dan disiplin.
Gambar 1 empat model sifat pada perilaku manusia menurut DISC (Bradbery,2007).
The four temperament model of human behavior
Active/task-oriented
“D” – directing, driving,
demanding, dominating,
determined, decisive,
doing
Active/people-oriented
“I” – inspiring,
influencing, inducing,
impressing, interactive,
interested in people.
Passive/task-oriented
“C” – cautious,
competent, calculating,
compliant, careful,
contemplative.
Passive/task-oriented
“S” – steady, stable, shy,
security-oriented,
servant, submissive,
specialist
D I
S C
32
d. Alat Ukur Tipe Kepribadian DISC
Alat yang digunakan untuk mengukur tipe kepribadian adalah DISC
personal profile system atau yang dalam bahasa indoesia sudah diterjemahkan
menjadi Marston Model Indonesia (MMI). Alat ukur ini terdiri dari 24 kotak yang
masing-masing kotaknya berisi empat pernyataan yang mewakili empat dimensi
tipe kepribadian DISC. Keempat kuadran itu adalah dominance, influence,
steadiness dan compliance. Alat ukur ini diciptakan sendiri oleh William Moulton
Marston yang digunakan untuk memeriksa tingkah laku individu di dalam
lingkungannya atau di dalam situasi yang spesifik.
Pada setiap kotak terdapat empat pernyataan yang harus dipilih oleh subjek,
dimana terdapat dua bagian pilihan yaitu yang paling menggambarkan diri subjek
dan yang paling tidak menggambarkan diri subjek. Jadi pada tiap item, subjek
harus memilih satu dari empat pernyataan tersebut yang paling menggambarkan
dirinya dan satu pernyataan yang paling tidak menggambarkan dirinya. Setiap
pernyataan yang dipilih bernilai satu dan akan dimasukkan ke kolom total skor
sesuai dengan dimensi yang diwakili oleh pernyataan tersebut. Jumlah total
pernyataan yang paling menggambarkan subjek akan dimasukkan ke kolom most
(grafik public self) dan pernyataan yang paling tidak menggambarkan dirinya
akan dimasukkan ke kolom least (grafik private self). Setelah mendapatkan total
skor dari masing-masing dimensi, maka total skor pada kolom most dikurangi
dengan total skor pada kolom least. Skor yang diperoleh dari selisih ini disebut
scaled score. Scaled score inilah yang akan dikonversikan ke dalam grafik
perceived self yang menggambarkan kecenderungan kepribadian seseorang yang
33
mengkombinasikan respon yang dipelajari dari masa lalu subjek dengan tingkah
laku yang diharapkan dari lingkungan subjek (Kory, 2008). Dimensi yang
memiliki skor tertinggi antara steadiness dan compliance pada grafik perceived
self akan dijadikan tipe kepribadian responden pada penelitian ini.
e. Hubungan Tipe Kepribadian dengan Tingkat Kepatuhan
Menurut Dinicola Da Dimatteo dalam Niven (2002), mengemukakan lima
rencana untuk mengatasi ketidakpatuhan pasien yaitu:
1. Menumbuhkan kepatuhan dengan mengembangkan tujuan kepatuhan.
Pasien akan dengan senang hati mengungkapkan tujuan kepatuhannya, jika
pasien memiliki keyakinan dan sikap positif terhadap tujuan tersebut serta adanya
dukungan dari keluarga dan teman terhadap keyakinannya tersebut.
2. Mengembangkan strategi untuk merubah perilaku dan mempertahankannya
Sikap pengontrolan diri membutuhkan pemantauan terhadap dirinya,
evaluasi diri dan penghargaan terhadap perilaku yang baru tersebut.
3. Mengembangkan kognitif
Pengembangan kognitif tentang masalah kesehatan yang dialami, dapat
membuat pasien menyadari masalahnya dan dapat menolong mereka berperilaku
positif terhadap kepatuhan.
4. Dukungan sosial
Dukungan sosial dalam bentuk dukungan emosional dari anggota keluarga
lain merupakan faktor-faktor yang penting dalam kepatuhan terhadap program-
34
program medis. Keluarga dapat mengurangi ansietas yang disebabkan oleh
penyakit tertentu dan dapat mengurangi godaan terhadap ketidaktaatan.
Sesuai dengan teori tersebut, maka tipe kepribadian berguna untuk
mengetahui kecenderungan pola pikir dan perilaku seseorang. Selain itu, tipe
kepribadian juga berguna untuk mengetahui kelemahan, kelebihan dan juga
bagaimana orang tersebut ingin diperlakukan. Sehingga menumbuhkan kepatuhan
dengan mengembangkan tujuan kepatuhan dan mengembangkan strategi untuk
merubah perilaku dan mempertahankannya akan lebih mudah dilakukan jika
perawat mengetahui kepribadian pasiennya. Dengan mengetahui kepribadian
pasien, perawat akan lebih mudah melakukan pendekatan dan mendapatkan
kepercayaan dari pasiennya karena perawat mampu memberikan respon yang
tepat sesuai dengan keinginan dan harapan dari pasien tersebut.
Mufida, 2012 dalam penelitiannya berjudul “Perbedaan Burn Out Ditinjau
Dari Gaya Kepribadian Dominance, Influence, Steadiness dan Compliance” dari
total 198 responden, 97 diantaranya memiliki tipe kepribadian steadiness dan 53
lainnya adalah compliance, sedangkan 23 orang dengan tipe kepribadian dominant
dan 25 orang dengan tipe kepribadian interpersonal. Hasil penelitian ini
menyatakan bahwa, tipe kepribadian steadiness cenderung mengalami burn out
sedang, sedangkan tipe kepribadian compliance cenderung mengalami burn out
ringan.
Setiarini, 2010 dalam penelitiannya berjudul ”Hubungan Antara Tipe
Kepribadian Dengan Indeks Prestasi Kumulatif Mahasiswa Program A Fakultas
Keperawatan Universitas Sumatera Utara” mengatakan bahwa ditemukan bahwa
35
tipe kepribadian memiliki hubungan dengan perilaku seseorang dalam mengikuti
instruksi-instruksi serta pelajaran di kampus sehingga mempengaruhi prestasi
belajar mahasiswa. Nilai OR terbesar adalah koleris yaitu 3,750 dengan
pembanding tipe kepribadian plegmatis yang menunjukkan bahwa koleris
mempunyai peluang 3,75 kali lebih tinggi untuk mendapatkan prestasi sangat
memuaskan dari pada plegmatis.
Dengan mengetahui tipe kepribadian dapat membantu untuk lebih
mengenal diri sendiri, lebih fokus pada wilayah pengembangan diri, memahami
orang lain dan menyesuaikan diri dengan berbagai macam tipe kepribadian orang
dan untuk lebih percaya diri. DISC juga berguna agar seseorang mampu
memetakan wilayah masalah, akar konflik, dan tingkat stress (dari dalam diri atau
disebabkan oleh lingkungan) secara akurat dan mendeteksi sebab konflik utama
dalam hubungan (Kristanto,2012).
2.3.2 Health Locus Of Control
a. Pengertian
Locus of control pertama kali dirumuskan oleh Julian Rotter. Locus of
control menurut Petri (1980) merupakan konsep yang secara khusus berhubungan
dengan harapan individu mengenai kemampuannya untuk mengendalikan penguat
yang menyertai perilaku. Pendapat ini diperkuat oleh Rotter (1966) yaitu pada
dasarnya locus of control menunjuk pada keyakinan atau harapan-harapan
individu mengenai sumber penyebab peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam
hidupnya (Widodo, 2007).
36
Munandar (2004) menyatakan bahwa health locus of control sebagai
keyakinan atau harapan individu mengenai sumber penyebab peristiwa yang
terjadi dalam hidupnya, yaitu kecenderungan untuk merasa apakah peristiwa itu
dikendalikan dari dalam dirinya (internal) atau dari luar dirinya seperti
keberuntungan, nasib, kesempatan, kekuasaan orang lain dan kondisi yang lain
yang dapat dikuasai (eksternal)
Menurut Sweeting (dalam Mandasari, 2012) health locus of control
menggambarkan derajat keyakinan yang dimiliki individu dalam mempersepsi
kualitas kesehatan dirinya sebagai hasil dari tindakannya sendiri, sehingga dapat
dikontrol, atau sebagai sesuatu yang tidak berhubungan dengan perilakunya
sendiri, sehingga berada di luar kontrol dirinya.
Berdasarkan beberapa definisi dari para ahli, maka dapat disimpulkan
bahwa health locus of control adalah suatu keyakinan yang dimiliki individu
terhadap kemampuannya dalam mengontrol kesehatan dirinya.
b. Dimensi Health Locus of Control
Pada mulanya Rotter melihat locus of control sebagai hal yang bersifat
unidimensional (internal dan eksternal). Namun pada tahun 1973, Levenson
mengembangkan konsep locus of control dan membaginya menjadi tiga dimensi
independent yaitu: internalisasi (internality), powerful other, dan chance. Menurut
model Levenson, seseorang dapat memunculkan masing-masing dimensi locus of
control secara independen dalam waktu yang sama (Zawawi dalam Tektonika,
2012).
37
Levenson (1973) dalam Tektonika (2012), mengungkapkan bahwa
individu yang memiliki orientasi ke arah internal locus of control akan memiliki
keyakinan yang kuat bahwa semua kejadian atau peristiwa yang terjadi pada
dirinya ditentukan oleh usaha dan kemampuannya sendiri. Individu yang memiliki
orientasi pada locus of control eksternal dapat dikelompokkan menjadi dua
kategori, yaitu individu yang meyakini bahwa kehidupan dan peristiwa yang
mereka alami ditentukan oleh orang-orang yang lebih berkuasa yang berada
disekitarnya (powerful other), dan individu yang meyakini bahwa kehidupan dan
peristiwa yang mereka alami ditentukan oleh takdir, nasib keberuntungan serta
adanya kesempatan (chance).
Wallston, Wallston & DeVellis (1978) dalam Mandasari (2012) membagi
dimensi Health Locus of Control menjadi:
1. Internal health locus of control (IHLC)
Merupakan pandangan seseorang yang meyakini bahwa kendali atas
kejadian-kejadian dalam hidupnya termasuk kualitas kesehatannya ditentukan
oleh kemampuan dirinya sendiri.
2. Powerful others health locus of control (PHLC)
Merupakan pandangan seseorang yang meyakini bahwa kendali atas
kejadian-kejadian dalam hidupnya termasuk kesehatannya ditentukan oleh orang
lain yang lebih berkuasa.
38
3. Chance health locus of control (CHLC)
Merupakan pandangan seseorang yang meyakini bahwa kendali atas
kejadian-kejadian dalam hidupnya termasuk kesehatannya ditentukan oleh nasib,
peluang dan keberuntungan.
c. Alat Ukur Health Locus of Control
Wallston dan Wallston memperkenalkan konsep keyakinan kendali yang
berhubungan dengan kesehatan sebagai suatu konsep multidimensional yang
disebut health locus of control. Multidimentional health locus of control scales
(MHLC) yang disusun oleh Wallston, menyebutkan bahwa health locus of control
merupakan tingkat kepercayaan subyek terhadap kesehatan yang dilihat dari aspek
internal health locus of control dan eksternal health locus of control (Wallston,
K.A., Wallston, B.S, 1998).
Wallston mengatakan pada akhir penyelesaian kuisioner, tidak ada total
skor MHLC, karena tidak ada batas yang memisahkan antara internal dan
eksternal. Hasil dari kuisioner ini nantinya berupa internal tinggi, atau eksternal
tinggi. Internal tinggi belum tentu eksternal rendah, dan begitu juga sebaliknya
eksternal rendah tidak sama dengan internal tinggi. Dalam konsep ini tidak ada
seorang pun yang benar-benar internal atau eksternal. Seseorang bisa berada di
sepanjang garis yang menghubungkan kutub internal dan eksternal.
Angket yang digunakan dalam penelitian ini adalah form A MHLC yang
memiliki 18 item pernyataan yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia dengan menggunakan model skala likert. Model asli dari skala MHLC
39
menggunakan enam pilihan jawaban yaitu “sangat tidak setuju”, “agak tidak
setuju”, “tidak setuju”, “setuju”, “agak setuju” dan “sangat setuju”.
Pengukuran pada MHLC menggunakan aspek-aspek sebagai berikut:
1. aspek keyakinan kendali terhadap kesehatan yang berkarakteristik internal
secara langsung.
2. aspek keyakinan kndali terhadap kesehatan yang berkarakteristik eksternal
yaitu faktor nasib (chance) dan orang lain yang lebih berkuasa (powerful others).
Tabel 7 panduan skoring pada MHLC Form A
Sub skala Kemungkinan skor Nomor soal
Internal 6 - 36 1, 6, 8, 12, 13, 17
Chance 6 - 36 2, 4, 9, 11, 15, 16
Powerful Others 6 - 36 3, 5, 7, 10, 14, 18 Sumber: http://www.nursing.vanderbilt.edu/faculty/kwallston/mhlcscales.htm
Setelah responden menyelesaikan 18 item pernyataan tersebut, maka nilai
setiap item akan dimasukkan ke kolom skoring sesuai dengan sub skala yang
diwakili oleh item tersebut. Sub skala yang memiliki skor tertinggi akan
digunakan sebagai health locus of control responden pada penelitian ini.
d. Hubungan Health Locus of Control dengan Tingkat Kepatuhan
Perkembangan locus of control menurut monks (1987) dalam nurhalimah
dan muslimah (2013) dipengaruhi oleh berbagai aspek, yaitu lingkungan sosial
dan lingkungan fisik. Lingkungan sosial pertama adalah keluarga. Apabila tingkah
laku anak di dalam keluarga mendapatkan respon, anak akan merasakan sesuatu
dalam lingkungannya. Dengan dernikian, tingkah laku itu menimbulkan motif
40
yang dipelajari dan merupakan awal terbentuknya internal locus of control.
Sebaliknya, jika tingkah lakunya tidak mendapatkan reaksi, anak akan merasa
bahwa perilakunya tidak mempunyai akibat apapun, anak merasa tidak dapat
menentukan akibatnya, keadaan di luar dirinyalah yang menentukan. Pengalaman
ini akan mendorong perkembangan ke arah eksternal locus of control.
Noviarini (2012) menyatakan bahwa dimensi internal-external
locus of control dari Rotter memfokuskan pada strategi pencapaian tujuan tanpa
memperhatikan asal tujuan tersebut. Bagi seseorang yang mempunyai internal
locus of control akan memandang dunia sebagai sesuatu yang dapat diramalkan,
dan perilaku individu turut berperan didalamnya. Pada individu yang mempunyai
external locus of control akan memandang dunia sebagai sesuatu yang tidak dapat
diramalkan, demikian juga dalam mencapai tujuan sehingga perilaku individu
tidak akan mempunyai peran didalamnya.
Individu yang mempunyai external locus of control
diidentifikasikan lebih banyak menyandarkan harapannya untuk bergantung pada
orang lain dan lebih banyak mencari dan memilih situasi yang menguntungkan
Sementara itu individu yang mempunyai internal locus of control
diidentifikasikan lebih banyak menyandarkan harapannya pada diri sendiri dan
diidentifikasikan juga lebih menyenangi keahlian-keahlian dibanding hanya
situasi yang menguntungkan.