Post on 29-Mar-2019
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori
2.1.1. Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia
Manajemen sumber daya mansia merupakan sistem yang terdiri
dari banyak aktivitas interdependen (saling terkait satu sama lain). Bila
aktivitas sumber daya manusia dilibatkan secara keseluruhan, maka
aktivitas tersebut membantu system sumber daya manusia perusahaan.
Perusahaan dan orang merupakan system terbuka karena mereka
dipengaruhi oleh lingkungannya. Manajemen sumber daya manusia
memiliki arti penting sebagai salah satu fungsi manajemen selain fungsi
manajemen pemasaran, keuangan, dan produksi, dimana manajemen
sumber daya manusia meliputi usaha-usaha atau aktivitas-aktivitas suatu
organisasi dalam mengelola sumber daya manusia yang dimilikinya
secara umum di mulai dari proses karyawan, penempatan, pengelolaan,
pemeliharaan, pemutusan hubungan kerja, hingga hubungan industrial.
Handoko dalam Rachmawati (2008) mengemukakan bahwa
manajemen sumber daya manusia merupakan suatu proses perencanaan,
pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan kegiatan-kegiatan
pengadaan, pengembangan, pemberian kompensasi, pengintegrasian,
pemeliharaan dan pelepasan sumber daya manusia agar tercapai berbagai
tujuan individu, organisasi dan masyarakat. Memurut Yuniarsih dan
11
Suwatno (2008) manajemen sumber daya manusia adalah serangkaian
kegiatan pengelolaan sumber daya manusia yang memusatkan kepada
praktek dan kebijakan, serta fungsi-fungsi manajemen untuk mencapai
tujuan organisasi. Sumber daya manusia merupakan salah satu faktor
produksi potensial secara nyata. Faktor produksi manusia bukan hanya
bekerja secara fisik saja akan tetapi juga bekerja secara fikir.
Optimalisasi sumber daya manusia menjadi titik sentral perhatian
organisasi dalam meningkatkan kinerja pegawai. Sehingga dapat
dikatakan sumber daya manusia adalah sumber yang sangat penting atau
faktor kunci untuk mendapakan kinerja yang baik. Kinerja merupakan
perwujudan kerja yang dilakukan oleh karyawan yang biasanya di pakai
sebagai dasar penilaian terhadap karyawan atau individu. Kinerja yang
baik merupakan suatu langkah untuk menuju tercapainya tujuan individu.
Oleh karena itu kinerja merupakan sasaran penentu dalam mencapai
tujuan individu.
Manajemen sumber daya manusia merupakan salah satu disiplin
ilmu manajemen yang telah menitik beratkan pada kajian aspek manusia
dengan segala aktivitasnya. Aspek manusia menjadi sangat penting
seperti modal, metode, bahkan teknologi yang ada tidak akan berfungsi
dengan baik jika tidak ditunjang oleh kualitas sumber daya manusia.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sumber daya manusia
merupakan penentu keberhasilan organisasi.
12
Menurut Prawirosentono (2008) dalam Suprana (2012) Hasil kerja
yang dapat di capai oleh seseorang atau dari kelompok orang dalam suatu
organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing
dalam rangka upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara
legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan norma maupun etika.
Menurut Rivai (2005) kinerja merupakan perilaku nyata yang
ditampilkan setiap orang sebagai prestasi kerja yang dihasilkan oleh
karyawan sesuai dengan perannya dalam perusahaan. Sedangkan,
Menurut Dessler (1997) dalam Suryoadi (2012) Kinerja merupakan suatu
prestasi kerja, yakni perbandingan antara hasil kerja yang secara nyata
dengan standard kerja yang ditetapkan.
Ada begitu banyak ilmu yang menjadi bagian dari penjabaran
manajemen sumber daya manusia di dalam perusahaan. Di dalam internal
perusahaan ada job insecurity, lingkungan kerja, komitmen
organisasional dan juga turnover intention juga menjadi bagian penting
di dalam ilmu manajemen yang berfokus di dalam sumber daya manusia.
13
2.2. Job Insecurity
2.2.1. Pengertian Job Insecurity
Menurut Greenhalgh dan Rosenblatt (1984; 438) job insecurity
adalah ketidakberdayaan untuk mempertahankan kelanjutan pekerjaan
karena ancaman situasi dari suatu pekerjaan. Sementara itu, Hartley,
Jacobson, Klandermans, dan Van Vuuren (dalam Sverke & Hellgren,
2002; 24) mengatakan bahwa job insecurity adalah ketidakamanan yang
dirasakan seseorang akan kelanjutan pekerjaan dan aspek-aspek penting
yang berkaitan dengan pekerjaan itu sendiri.
Sedangkan Sverke dan Hellgren (2002; 26) mengungkapkan bahwa
job insecurity adalah pandangan subjektif seseorang mengenai situasi
atau peristiwa yang mengancam pekerjaan di tempatnya bekerja.
Smithson dan Lewis (2000; 680-683) mengartikan job insecurity sebagai
kondisi psikologis seseorang (karyawan) yang menunjukkan rasa
bingung atau merasa tidak aman dikarenakan kondisi lingkungan yang
berubah-ubah (perceived impermanance). Kondisi ini muncul karena
banyaknya jenis pekerjaan yang sifatnya sesaat atau pekerjaan kontrak.
Makin banyaknya jenis pekerjaan dengan durasi waktu yang sementara
atau tidak permanen menyebabkan semakin banyaknya karyawan yang
mengalami job insecurity (Smithson & Lewis, 2000; 681-685).
Wening (2005; 140) mengartikan job insecurity sebagai kondisi
ketidakberdayaan untuk mempertahankan kesinambungan yang
diinginkan dalam situasi kerja yang mengancam. Job insecurity juga
14
diartikan sebagai perasaan tegang, gelisah, khawatir, stres, dan merasa
tidak pasti dalam kaitannya dengan sifat dan keberadaan pekerjaan yang
dirasakan para pekerja. Job insecurity adalah suatu gejala psikologis
yang berkaitan dengan persepsi para pekerja terhadap masa depan
mereka di tempat kerja yang penuh ketidakpastian (Pradiansyah, 1999;
8).
Lebih lanjut Hui dan Lee (dalam Partina, 2002; 119)
mendefenisikan job insecurity sebagai kurangnya kontrol untuk menjaga
kelangsungan atau kontinuitas dalam situasi pekerjaan yang terancam.
Greenglass (2002; 3) menjelaskan job insecurity sebagai kondisi yang
berhubungan dengan rasa takut seseorang akan kehilangan pekerjaannya
atau prospek akan demosi atau penurunan jabatan serta berbagai ancaman
lainnyaterhadap kondisi kerja yang berasosiasi dengan menurunnya
kepuasan kerja. Job insecurity juga dapat didefenisikan sebagai
ketidakamanan yang dihasilkan dari ancaman terhadap kontinuitas atau
keberlangsungan kerja seseorang (Reisel, 2002; 89).
Berdasarkan pengertian-pengertian yang dikemukakan oleh para
ahli di atas, maka peneliti menyimpulkan bahwa job insecurity adalah
perasaan terancam, khawatir, dan rasa ketidakberdayaan yang dirasakan
karyawan terhadap situasi yang ada dalam organisasi di tempat kerja
akan kelangsungan pekerjaan dimasa yang akan datang.
15
2.2.2. Komponen Job Insecurity
Ashford et al., (1989; 810) mengembangkan pengukuran dari konsep job
insecurity yang dikemukakan oleh Greenhalgh dan Rosenblatt dan
menyatakan bahwa komponen job insecurity adalah :
1) Arti pekerjaan itu bagi individu. Seberapa penting aspek kerja
tersebut bagi individu mempengaruhi tingkat insecure atau rasa
tidak amannya dalam bekerja. Seberapa penting karyawan
menganggap bagian-bagian (aspek) pekerjaan seperti gaji, jabatan,
promosi, dan lingkungan kerja yang nyaman dapat mempengaruhi
tingkat keamanan dan kenyamanan individu dalam menjalankan
pekerjaan. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa aspek ini
sebagai arti penting aspek kerja bagi karyawan.
2) Tingkat ancaman yang dirasakan karyawan mengenai aspek-aspek
pekerjaan seperti kemungkinan untuk mendapat promosi,
mempertahankan tingkat upah yang sekarang, atau memperoleh
kenaikan upah. Individu yang menilai aspek kerja tertentu yang
terancam (terdapat kemungkinan aspek kerja tersebut akan hilang)
akan lebih gelisah dan merasa tidak berdaya. Seberapa besar
kemungkinan yang dirasakan karyawan terhadap perubahan
(kejadian negatif) yang mengancam bagian-bagian (aspek)
pekerjaan. Berdasarkan uraian tersebut maka dengan kata lain
16
dapat dikatakan bahwa aspek ini adalah kemungkinan perubahan
negatif pada bagian-bagian (aspek) kerja.
3) Tingkat ancaman kemungkinan terjadinya peristiwa-peristiwa yang
secara negatif mempengaruhi keseluruhan kerja individu, misalnya
dipecat atau dipindahkan ke kantor cabang yang lain. Dengan kata
lain dapat dikatakan arti penting keseluruhan kerja bagi karyawan.
4) Tingkat kepentingan-kepentingan yang dirasakan individu
mengenai potensi setiap peristiwa tersebut. Seperti tingkat
kekhawatiran individu untuk tidak mendapatkan promosi atau
menjadi karyawan tetap dalam suatu perusahaan. Seberapa besar
kemungkinan perubahan negatif pada keseluruhan kerja yang
dirasakan karyawan dalam keadaan terancam.
5) Ketidakberdayaan (powerlessness) yaitu ketidakmampuan individu
untuk mencegah munculnya ancaman yang berpengaruh terhadap
aspek-aspek pekerjaan dan pekerjaan secara keseluruhan yang
teridentifikasi pada empat komponen sebelumnya.
17
Rowntree (2005; 11) menambahkan aspek-aspek job insecurity
sebagai berikut :
1. Ketakutan akan kehilangan pekerjaan, karyawan yang mendapat
ancaman negatif tentang pekerjaannya akan memungkinkan
timbulnya job insecurity pada karyawan begitu pula sebaliknya.
2. Ketakutan akan kehilangan status sosial di masyarakat. Individu
yang terancam kehilangan status sosial akan memiliki job
insecurity yang tinggi dibanding yang tidak merasa terancam
mengenai pekerjaannya.
3. Rasa tidak berdaya. Karyawan yang kehilangan pekerjaan akan
merasa tidak berdaya dalam menjalankan pekerjaannya.
Lebih lanjut Suwandi dan Indriantoro (1999: 7-9) berdasarkan hasil
studi sebelumnya menambahkan bahwa dimensi job insecurity
adalah sebagai berikut :
1. Kondisi Pekerjaan
Merupakan lingkungan kerja yang kurang mendukung dan
tingginya beban kerja yang dirasakan individu pada saat bekerja.
2. Pengembangan Karir
Merupakan tingkat dimana individu merasa kesulitan dalam
mengembangkan karir dan adanya ketidakjelasan mengenai jenjang
karir individu dalam suatu organisasi atau perusahaan.
18
3. Konflik Peran
Ketika seorang individu dihadapkan dengan ekspetasi peran yang
berlainan, hasilnya adalah konflik peran (role conflict). Konflik ini
muncul ketika seorang individu menemukan bahwa untuk
memenuhi syarat satu peran dapat membuatnya lebih sulit untuk
memenuhi peran lain. Pada tingkat ekstren, hal ini dapat meliputi
situasi–situasi di mana dua atau lebih ekspetasi peran saling
bertentangan. Dimensi ini merupakan pertentangan antara tugas
dan tanggung jawab dan tuntutan-tuntutan perusahaan yang dirasa
bertentangan dengan tanggung jawab karyawan dalam bekerja.
4. Ketidakjelasan Peran
Seperti ketidakjelasan tugas, wewenang, dan tanggung jawab
terhadap pekerjaan.
5. Perubahan Organisasi
Merupakan berbagai kejadian yang yang secara potensial dapat
mempengaruhi sikap dan persepsi karyawan sehingga dapat
menyebabkan perubahan yang signifikan dalam organisasi.
Kejadian-kejadian tersebut antara lain meliputi merger,
perampingan (downsizing), reorganisasi, teknologi baru, dan
pergantian manajemen yang terjadi di dalam suatu organisasi.
19
6. Pusat Pengendalian (Locus of Control)
Merupakan tingkat dimana individu yakin bahwa mereka adalah
penentu nasib mereka sendiri. Internal (internal) adalah individu
yang yakin bahwa mereka merupakan pemegang kendali atas apa
pun yang terjadi pada diri mereka. Eksternal (external) adalah
individu yang yakin bahwa apa pun yang terjadi pada diri mereka
dikendalikan oleh kekuatan luar seperti keberuntungan atau
kesempatan. Lokus kendali merupakan suatu indikator evaluasi inti
diri karena individu yang berfikir bahwa mereka kurang memiliki
kendali atas hidup mereka cenderung kurang memilki kepercayaan
diri.
Berdasarkan uraian diatas, maka dalam penelitian ini akan
digunakan komponen job insecurity yang dikemukakan oleh
Ashford et al., (1989; 810) karena dirasa sesuai dengan keadaan
lapangan yang akan diteliti, yaitu: kemungkinan perubahan negatif
pada aspek kerja, arti penting aspek kerja, arti penting keseluruhan
kerja, kemungkinan perubahan negatif pada keseluruhan kerja, dan
ketidakberdayaan (powerlessness).
20
2.2.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Job Insecurity
Robbins (dalam Setiawan, 2009; 7) mengemukakan faktor-faktor
penyebab job insecurity adalah karakteristik individu itu sendiri yang
meliputi :
1. Umur
Bertambahnya umur seseorang individu maka akan semakin
berkurang produktivitasnya dan akan menimbulkan job insecurity
pada diri individu tersebut.
2. Status Perkawinan
Di beberapa penelitian menunjukkan bahwa status perkawinan
dapat mempengaruhi job insecurity pada diri individu tersebut.
3. Kesesuaian Antara Kepribadian dan Pekerjaan
Apabila karyawan merasa tidak sesuai atau merasa tidak cocok
dengan pekerjaan yang dilakukannya maka karyawan akan merasa
tidak aman atau mengalami job insecurity.
4. Tingkat Kepuasan Kerja
Setiap individu memiliki tingkat kepuasan kerja yang berbeda-beda
sehingga apabila terdapat seorang individu yang sudah puas dengan
hasil kerjanya maka belum tentu individu lainnya merasa puas,
sehingga individu yang merasa tidak puas tersebut dapat
mengalami job insecurity.
21
Burchell (1999; 12) menyebutkan bahwa job insecurity dipengaruhi
oleh dua faktor, yaitu :
1. Faktor subyektif yang berhubungan dengan konsekuensi-
konsekuensi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) seperti kemudahan
mencari pekerjaan baru, karakteristik dari pekerjaan yang baru
serta pengalaman menjadi pengangguran.
2. Faktor obyektif seperti stabilitas pekerjaan, masa kerja, tingkat
retensi atau daya tahan kerja karyawan.
Lebih lanjut, Ashford (1989; 817-819) mengungkapkan faktor-
faktor yang mempengaruhi job insecurity adalah :
1. Konflik peran, berhubungan dengan dua rangkaian tuntutan
pekerjaan yang bertentangan pada individu.
2. Ketidakjelasan peran yaitu masalah yang timbul dalam pekerjaan
karena kurangnya struktur yang jelas.
3. Locus of control, keyakinan individu tentang peristiwa-peristiwa
yang terjadi dalam hidup.
4. Perubahan organisasi yaitu perubahan lingkungan bisnis yang harus
diadaptasi oleh pihak perusahaan untuk mengikuti perubahan.
22
Greenhalgh dan Rosenblatt (1984; 440-443) mengemukakan
faktor-faktor yang mempengaruhi job insecurity berada pada level
atau tingkatan yang berbeda, yaitu :
1. Kondisi lingkungan dan organisasional, misalnya komunikasi
organisasional dan perubahan organisasional. Perubahan
organisasional yang terjadi antara lain dengan dilakukannya down-
sizing, restrukturisasi, dan merger oleh perusahaan.
2. Karakteristik individual dan jabatan, yaitu: umur, gender, status
sosial ekonomi, pendidikan, posisi pada perusahaan, dan
pengalaman kerja sebelumnya.
3. Karakteristik personal karyawan, misalnya: locus of control, self-
esteem, dan rasa kebersamaan.
Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-
faktor yang mempengaruhi job insecurity terdiri dari karakteristik
demografi, karakteristik pekerjaan, karakteristik individual,
ketidakjelasan peran, kondisi lingkungan kerja, perbedaan
individual, dan perubahan organisasi.
23
2.2.4. Konsekuensi Job Insecurity
Dari hasil beberapa studi yang dilakukan, ditemukan adanya pengaruh
job insecurity terhadap karyawan (Sverke & Hellgren, 2002; 31-33),
diantaranya :
1. Meningkatnya ketidakpuasan dalam bekerja
2. Meningkatnya gangguan fisik
3. Meningkatnya gangguan psikologis. Penurunan kondisi kerja
seperti rasa tidak aman (insecure) menurunkan kualitas individu
bukan dari pekerjaannya semata, namun juga mengarahkan pada
munculnya rasa kehilangan martabat (demotion) yang pada
akhirnya menurunkan kondisi psikologis dari karyawan yang
bersangkutan. Jangka panjangnya akan muncul ketidakpuasan
dalam bekerja dan akan mengarah pada intensi turnover.
4. Karyawan cenderung menarik diri dari lingkungan kerjanya.
5. Makin berkurangnya komitmen organisasi. Job insecurity juga
mempengaruhi komitmen kerja dan perilaku kerja.
6. Peningkatan jumlah karyawan yang berpindah (employee
turnover).
24
Job insecurity tidak hanya berdampak pada diri karyawan saja,
melainkan terhadap organisasi atau perusahaan dimana tenaga kerja
tersebut bekerja. Berikut ini merupakan dampak-dampak yang berpotensi
muncul karena job insecurity (dalam Irene, 2008; 16-17).
1. Stres
Job insecurity dapat menimbulkan rasa takut, kehilangan
kemampuan, dan kecemasan. Pada akhirnya, jika hal ini dibiarkan
berlangsung lama karyawan dapat menjadi stres akibat adanya rasa
tidak aman dan ketidakpastian akan kelangsungan pekerjaan.
2. Kepuasan kerja.
Job insecurity memberikan pengaruh terhadap kepuasan kerja.
Karyawan yang merasa dirinya tidak aman (insecure) tentang
kelangsungan pekerjaan mereka, cenderung merasa tidak puas
dibandingkan mereka yang merasakan kepastian masa depan
pekerjaan mereka.
3. Komitmen dan rasa percaya karyawan terhadap perusahaan.
Job insecurity memiliki hubungan yang negatif dengan komitmen
kerja dan rasa percaya karyawan terhadap perusahaan. Hal ini
disebabkan karena karyawan merasa kehilangan kepercayaan akan
nasib mereka pada perusahaan dan lama kelaman ikatan antara
karyawan dan organisasi menghilang.
25
4. Motivasi kerja
Hasil penelitian mengenai job insecurity dan work intensification
yang dilakukan oleh Universitas Cambridge dan ESRC Centre for
Bussiness Research menunjukkan individu dengan job insecurity
tinggi memiliki motivasi yang lebih rendah dibandingkan individu
yang job insecurity-nya rendah. Pengurangan jumlah karyawan
yang dilakukan perusahaan juga didapatkan hasil bahwa karyawan
mengalami penurunan motivasi, semangat, rasa percaya diri, dan
kesetiaan, serta terjadi peningkatan stres, skeptis, dan kemarahan.
Oleh karena itu, maka dapat disimpulkan bahwa job
insecurity merupakan hal yang perlu diperhatikan, karena tidak
hanya berdampak pada diri karyawan, melainkan juga pada
organisasi atau perusahaan tempat karyawan bekerja. Reaksi-reaksi
yang diberikan oleh karyawan dalam bekerja akan dapat
mempengaruhi efektivitas organisasi pula (Greenhalgh &
Rosenblatt, 1984; 443).
26
2.2.5. Indikator Job Insecurity
Menurut Mobley et al (1978) Indikator pengukuran turnover intention
terdiri atas :
1. Memikirkan untuk keluar (Thinking of Quitting):
Mencerminkan individu untuk berpikir keluar dari pekerjaan atau
tetap berada di lingkungan pekerjaan. Diawali dengan
ketidakpuasan kerja yang dirasakan oleh karyawan, kemudian
karyawan mulai berfikir untuk keluar dari tempat bekerjanya saat
ini.
2. Pencarian alternatif pekerjaan (Intention to search for alternatives):
Mencerminkan individu berkeinginan untuk mencari pekerjaan
pada organisasi lain. Jika karyawan sudah mulai sering berpikir
untuk keluar dari pekerjaannya, karyawan tersebut akan mencoba
mencari pekerjaan diluar perusahaannya yang dirasa lebih baik.
3. Niat untuk keluar (Intention to quit):
Mencerminkan individu yang berniat untuk keluar. Karyawan
berniat untuk keluar apabila telah mendapatkan pekerjaan yang
lebih baik dan nantinya akan diakhiri dengan keputusan karyawan
tersebut untuk tetap tinggal atau keluar dari pekerjaannya.
27
2.3. Lingkungan Kerja
2.3.1. Pengertian Lingkungan Kerja
Lingkungan kerja dalam suatu perusahaan perlu diperhatikan, hal
ini disebabkan karena lingkungan kerja mempunyai pengaruh langsung
terhadap para karyawan. Lingkungan kerja yang kondusif dapat
meningkatkan kinerja karyawan dan sebaliknya, lingkungan kerja yang
tidak memadai akan dapat menurunkan kinerja karyawan. Kondisi
lingkungan kerja dikatakan baik apabila manusia dapat melaksanakan
kegiatan secara optimal, sehat, aman dan nyaman. Kesesuaian
lingkungan kerja dapat dilihat akibatnya dalam jangka waktu yang lama.
Lingkungan kerja yang kurang baik dapat menuntut tenaga kerja dan
waktu yang lebih banyak dan tidak mendukung diperolehnya rancangan
sistem kerja yang efisien.
Menurut Robbins (2010) lingkungan adalah lembaga-lembaga atau
kekuatan-kekuatan diluar yang berpotensi mempengaruhi kinerja
organisasi, lingkungan dirumuskan menjadi dua yaitu lingkungan umum
dan lingkungan khusus. Lingkungan umum adalah segala sesuatu di luar
organisasi yang memilki potensi untuk mempengaruhi organisasi.
Lingkungan ini berupa kondisi sosial dan teknologi. Sedangkan
lingkungan khusus adalah bagian lingkungan yang secara langsung
berkaitan dengan pencapaian sasaran-sasaran sebuah organisasi. Herman
Sofyandi (2008:38) mendefinisikan “Lingkungan kerja sebagai
28
serangkaian faktor yang mempengaruhi kinerja dari fungsi-fungsi/
aktivitas-aktivitas manajemen sumber daya manusia yang terdiri dari
faktorfaktor internal yang bersumber dari dalam organisasi”.
Lingkungan kerja terdiri dari lingkungan fisik dan nonfisik yang
melekat pada karyawan sehingga tidak dapa dipisahkan untuk
mendapatkan kinerja karyawan yang baik Menurut Sedarmayanti
(2009:31) lingkungan kerja fisik adalah semua keadaan berbentuk fisik
yang terdapat di sekitar tempat kerja yang dapat mempengaruhi
karyawan baik secara langsung maupun secara tidak langsung.
Sedangkan lingkungan kerja nonfisik adalah semua keadaan yang terjadi
berkaitan dengan hubungan kerja, baik hubungan dengan atasan maupun
dengan rekan kerja, ataupun hubungan dengan bawahan.
Masalah lingkungan kerja dalam suatu organisasi sangatlah
penting, dalam hal ini diperlukan adanya pengaturan maupun penataan
faktor-faktor lingkungan kerja dalam penyelenggaraan aktivitas
organisasi. Sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan
No.261/MENKES/SK/II/1998 Tentang: Persyaratan Kesehatan
Lingkungan Kerja bahwa lingkungan kerja perkantoran meliputi semua
ruangan, halaman dan area sekelilingnya yang merupakan bagian atau
yang berhubungan dengan tempat kerja untuk kegiatan perkantoran.
Persyaratan kesehatan lingkungan kerja dalam keputusan ini
diberlakukan baik terhadap kantor yang berdiri sendiri maupun yang
berkelompok.
29
Dari pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa lingkungan kerja
adalah segala sesuatu yang ada disekitar karyawan pada saat bekerja baik
berupa fisik maupun nonfisik yang dapat mempengaruhi karyawan saat
bekerja. Jika lingkungan kerja yang kondusif maka karyawan bisa aman,
nyaman dan jika lingkungan kerja tidak mendukung maka karyawan
tidak bisa aman dan nyaman.
2.3.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Lingkungan Kerja
Faktor-faktor lingkungan kerja yang diuraikan oleh Sedarmayanti (2009)
yang dapat mempengaruhi terbentuknya suatu kondisi lingkungan kerja
dikaitkan dengan kemampuan karyawan, diantaranya :
1. Warna merupakan faktor yang penting untuk memperbesar
efisiensi kerja para pegawai. Khususnya warna akan mempengaruhi
keadaan jiwa mereka. Dengan memakai warna yang tepat pada
dinding ruangan dan alat-alat lainnya, kegembiraan dan ketenangan
bekerja para pegawai akan terpelihara.
2. Kebersihan lingkungan kerja secara tidak langsung dapat
mempengaruhi seseorang dalam bekerja, karena apabila lingkungan
kerja bersih maka karyawan akan merasa nyaman dalam
melakukan pekerjaannya. Kebersihan lingkungan bukan hanya
berarti kebersihan tempat mereka bekerja, tetapi jauh lebih luas dari
30
pada itu misalnya kamar kecil yang berbau tidak enak akan
menimbulkan rasa yang kurang menyenangkan bagi para karyawan
yang menggunakannya, untuk menjaga kebersihan ini pada
umumnya diperlukan petugas khusus, dimana masalah biaya juga
harus dipertimbangkan disini.
3. Penerangan dalam hal ini bukan terbatas pada penerangan listrik
saja, tetapi juga penerangan sinar matahari. Dalam melaksanakan
tugas karyawan membutuhkan penerangan yang cukup, apabila
pekerjaan yang dilakukan tersebut menuntut ketelitian.
4. Pertukaran udara yang cukup akan meningkatkan kesegaran fisik
para karyawan, karena apabila ventilasinya cukup maka kesehatan
para karyawan akan terjamin. Selain ventilasi, konstrusi gedung
dapat berpengaruh pula pada pertukaran udara. Misalnya gedung
yang mempunyai plafond tinggi akan menimbulkan pertukaran
udara yang banyak dari pada gedung yang mempunyai plafond
rendah selain itu luas ruangan apabila dibandingkan dengan jumlah
karyawan yang bekerja akan mempengaruhi pula pertukan udara
yang ada.
5. Jaminan terhadap keamanan menimbulkan ketenangan. Keamanan
akan keselamatan diri sendiri sering ditafsirkan terbatas pada
keselamatan kerja, padahal lebih luas dari itu termasuk disini
keamanan milik pribadi karyawan dan juga konstruksi gedung
31
tempat mereka bekerja. Sehingga akan menimbulkan ketenangan
yang akan mendorong karyawan dalam bekerja.
6. Kebisingan merupakan suatu gangguan terhadap seseorang karena
adanya kebisingan, maka konsentrasi dalam bekerja akan
terganggu. Dengan terganggunya konsentrasi ini maka pekerjaan
yang dilakukan akan banyak menimbulkan kesalahan atau
kerusakan. Hal ini jelas akan menimbulkan kerugian. Kebisingan
yang terus menerus mungkin akan menimbulkan kebosanan.
7. Tata ruang merupakan penataan yang ada di dalam ruang kerja
yang biasa mempengaruhi kenyamanan karyawan dalam bekerja.
Menurut Robbins-Coulter (2010) lingkungan dirumuskan menjadi dua,
meliputi lingkungan umum dan lingkungan khusus.
1. Lingkungan Umum
Segala sesuatu diluar organisasi yang memiliki potensi untuk
mempengaruhi organisasi. Lingkungan ini berupa kondisi sosial
dan kondisi teknologi yang meliputi:
a. Fasilitas kerja adalah segala sesuatu yang digunakan, dipakai,
ditempati, dan dinikmati oleh karyawan, baik dalam
hubungan langsung dengan pekerjaan maupun kelancaran
pekerjaan sehingga dapat meningkatkan produktivitas atau
prestasi kerja.
32
1) Fasilitas alat kerja
Seseorang karyawan atau pekerja tidak akan dapat
melakukan pekerjaan tanpa disertai alat kerja.
2) Fasilitas perlengkapan kerja
Semua benda yang digunakan dalam pekerjaan tetapi
tidak langsung berproduksi, melainkan sebagai pelancar
dan penyegar dalam pekerjaan.
3) Fasilitas sosial
Fasilitas yang digunakan oleh karyawan yang berfungsi
sosial meliputi, penyediaan kendaraan bermotor,
musholla dan fasilitas pengobatan.
b. Teknologi adalah alat kerja operasional yaitu semua benda
atau barang yang berfungsi sebagai alat canggih yang
langsung dgunakan dalam produksi seperti komputer, mesin
pengganda, mesin hitung.
2. Lingkungan Khusus
Lingkungan khusus adalah bagian lingkungan yang secara
langsung berkaitan dengan pencapaian sasaran-sasaran sebuah
organsasi yang dapat mempengaruhi dirinya dalam menjalankan
tugas-tugas yang dibebankan.
33
2.3.3. Indikator Lingkungan Kerja
Indikator-indikator lingkungan kerja oleh Nitisemito (1992,159) yaitu
sebagai berikut:
1. Suasana kerja
Suasana kerja adalah kondisi yang ada disekitar karyawan yang
sedang melakukan pekerjaan yang dapat mempengaruhi
pelaksanaan pekerjaan itu sendiri. Suasana kerja ini akan meliputi
tempat kerja, fasilitas dan alat bantu pekerjaan, kebersihan,
pencahayaan, ketenangan termasuk juga hubungan kerja antara
orang-orang yang ada ditempat tersebut (Saydam, 1996:381).
2. Hubungan dengan rekan kerja
Hubungan dengan rekan kerja yaitu hubungan dengan rekan kerja
harmonis dan tanpa ada saling intrik diantara sesama rekan sekerja.
Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi karyawan tetap tinggal
dalam satu organisasi adalah adanya hubungan yang harmonis
diantara rekan kerja. Hubungan yang harmonis dan kekeluargaan
merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kinerja
karyawan.
3. Tersedianya fasilitas kerja
Hal ini dimaksudkan bahwa peralatan yang digunakan untuk
mendukung kelancaran kerja lengkap/mutakhir. Tersedianya
fasilitas kerja yang lengkap, walaupun tidak baru merupakan salah
satu penunjang proses dalam bekerja.
34
Sedangkan menurut Sedarmayanti (2009:28) indikator-indikator
lingkungan kerja yaitu sebagai berikut :
1. Penerangan atau cahaya di tempat kerja
Cahaya atau penerangan sangat besar manfaatnya bagi pegawai
guna mendapat keselamatan dan kelancaran kerja, oleh sebab itu
perlu diperhatikan adanya penerangan (cahaya) yang terang tetapi
tidak menyilaukan. Cahaya yang kurang jelas (kurang cukup)
mengakibatkan penglihatan menjadi kurang jelas, sehingga
pekerjaan akan lambat, banyak mengalami kesalahan, dan pada
akhirnya menyebabkan kurang efisien dalam melaksanakan
pekerjaan, sehingga tujuan organisasi sulit tercapai.
2. Sirkulasi udara ditempat kerja
Oksigen merupakan gas yang dibutuhkan oleh makhluk hidup
untuk menjaga kelangsungan hidup, yaitu untuk proses
metabolisme. Udara di sekitar dikatakan kotor apabila kadar
oksigen dalam udara tersebut telah berkurang dan telah bercampur
dengan gas atau bau-bauan yang berbahaya bagi kesehatan tubuh.
Sumber utama adanya udara segar adalah adanya tanaman disekitar
tempat kerja. Tanaman merupakan penghasil oksigen yang
dibutuhkan oleh manusia.
35
3. Kebisingan di tempat kerja
Salah satu polusi yang cukup menyibukkan para pakar untuk
mengatasinya adalah kebisingan, yaitu bunyi yang tidak
dikehendaki oleh telinga. Tidak dikehendaki, karena terutama
dalam jangka panjang bunyi tersebut dapat mengganggu
ketenangan bekerja, merusak pendengaran, dan menimbulkan
kesalahan komunikasi, bahkan menurut penelitian, kebisingan yang
serius dapat menyebabkan kematian.
4. Bau tidak sedap di tempat kerja
Adanya bau-bauan di sekitar tempat kerja dapat dianggap sebagai
pencemaran, karena dapat mengganggu konsentrasi bekerja, dan
bau-bauan yang terjadi terus-menerus dapat mempengaruhi
kepekaan penciuman. Pemakaian “air condition” yang tepat
merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk
menghilangkan bau-bauan yang mengganggu disekitar tempat
kerja.
5. Keamanan di tempat kerja
Guna menjaga tempat dan kondisi lingkungan kerja tetap dalam
keadaan aman maka perlu diperhatikan adanya keamanan dalam
bekerja. Oleh karena itu faktor keamanan perlu diwujudkan
keberadaannya. Salah satu upaya untuk menjaga keamanan
ditempat kerja, dapat memanfaatkan tenaga Satuan Petugas
36
Pengaman (Satpam). Dari dua pendapat yang berbeda yaitu dari
Nitisemito (1992:159) dan Sedarmayanti (2009:28) tentang
lingkungan kerja diharapkan terciptanya lingkungan kerja yang
kondusif sehingga karyawan akan betah dalam bekerja. Dari dua
pendapat berbeda peneliti mengambil indikator yaitu suasana kerja,
hubungan dengan rekan kerja, tersedianya fasilitas kerja,
penerangan, sirkulasi udara, kebisingan, bau tidak sedap, dan
keamanan.
Menurut (Sedarmayanti dalam Wulan, 2011:21) Menyatakan
bahwa secara garis besar, jenis lingkungan kerja terbagi menjadi
dua faktor yaitu faktor lingkungan kerja fisik dan faktor lingkungan
kerja non fisik.
1. Faktor Lingkungan Kerja Fisik
a. Pewarnaan
b. Penerangan
c. Udara
d. Suara bising
e. Ruang gerak
f. Keamanan
g. Kebersihan
37
2. Faktor Lingkungan Kerja Non Fisik
a. Struktur kerja
b. Tanggung jawab kerja
c. Perhatian dan dukungan pemimpin
d. Kerja sama antar kelompok
Menurut (Suwatno dan Priansa, 2011:163) secara umum lingkungan
kerja terdiri dari lingkungan kerja fisik dan lingkungan kerja psikis.
1. Faktor Lingkungan Fisik
Faktor lingkungan fisik adalah lingkungan yang berada disekitar
pekerja itu sndiri. Kondisi di lingkungan kerja dapat mempengaruhi
kepuasan kerja karyawan yang meliputi :
a. Rencana Ruang Kerja
Meliputi kesesuaian pengaturan dan tata letak peralatan kerja,
hal ini berpengaruh besar terhadap kenyamanan dan tampilan
kerja karyawan.
b. Rancangan Pekerjaan
Meliputi peralatan kerja dan prosedur kerja atau metode
kerja, peralatan kerja yang tidak sesuai dengan pekerjaannya
akan mempengaruhi kesehatan hasil kerja karywan.
c. Kondisi Lingkungan Kerja
Penerangan dan kebisingan sangat berhubungan dengan
kenyamanan para pekerja dalam bekerja. Sirkulasi udara,
suhu ruangan dan penerangan yang sesuai sangat
38
mempengaruhi kondisi seseorang dalam menjalankan
tugasnya.
d. Tingkat Visual Pripacy dan Acoustical Privacy
Dalam tingkat pekerjaan tertentu membutuhkan tempat kerja
yang dapat mdemberi privasi bagi karyawannya. Yang
dimaksud privasi disini adalah sebagai “ keleluasan pribadi “
terhadapa hal-hal yang menyangkut dirinya dan
kelompoknya. Sedangkan acoustical privasi berhubungan
dengan pendengaran.
2. Faktor Lingkungan Psikis
Faktor lingkungan psikis adalah hal-hal yang menyangkut
dengan hubungan sosial dan keorganisasian. Kondisi psikis yang
mempengaruhi kepuasan kerja karyawan adalah :
a. Pekerjaan Yang Berlebihan
Pekerjaan yang berlebihan dengan waktu yang terbatas atau
mendesak dalam penyelesaian suatu pekerjaan akan
menimbulkan penekanan dan ketegangan terhadap karyawan,
sehingga hasil yang didapat kurang maksimal.
b. Sistem Pengawasan Yang Buruk
Sistem pengawasan yang buruk dan tidak efisien dapat
menimbulkan ketidak puasaan lainnya, seperti ketidak stabilan
suasana politik dan kurangnya umpan balik prestasi kerja.
39
c. Frustasi
Frustasi dapat berdampak pada terhambatnya usaha pencapaian
tujuan, misalnya harapan perusahaan tidak sesuai dengan
harapan karyawan, apanbila hal ini berlangsung terus menerus
akan menimbulkan frustasi bagi karyawan.
d. Perubahan-Perubahan Dalam Segala Bentuk
Perubahan yang terjadi dalam pekerjaaan akan mempengaruhi
cara orang-orang dalam bekerja, misalnya perubahan lingkungan
kerja seperti perubahan jenis pekerjaan, perubahan organisasi,
dan pergantian pemimpin perusahaan.
e. Perselisihan Antara Pribadi Dan Kelompok
Hal ini terjadi apabila kedua belah pihak mempunyai tujuan
yang sama dan bersaing untuk mencapai tujuan tersebut.
Perselisihan ini dapat berdampak negatif yaitu terjadinya
peselisihan dalam berkomunikasi, kurangnya kekompakan dan
kerjasama. Sedangkan dampak positifnya adalah adanya usaha
positif untuk mengatasiperselisihan ditempat kerja, diantaranya:
persaingan, masalah status dan perbedaan antara individu.
40
Lingkungan kerja fisik maupun psikis keduanya sama
pentingnya dalam sebuah organisasi, kedua lingkungan kerja ini
tidak bisa dipisahkan. Apabila sebuah perusahaan hanya
mengutamakan satu jenis lingkungan kerja saja, tidak akan
tercipta lingkungan kerja yang baik, dan lingkungan kerja yang
kurang baik dapat menuntut tenaga kerja dan waktu yang lebih
banyak dan tidak mendukung diperolehnya rancangan sistem
kerja yang efisien dan akan menyebabkan perusahaan tersebut
mengalami penurunan produktivitas kerja.
2.3.4. Aspek Lingkungan Kerja
Lingkungan kerja dapat dibagi menjadi beberapa bagian atau bisa
disebut juga aspek pembentuk lingkungan kerja, bagian-bagian itu bisa
diuraikan sebagai berikut (Simanjuntak, 2003:39) :
1. Pelayanan Karyawan
Pelayanan karyawan merupakan aspek terpenting yang harus
dilakukan oleh setiap perusahaan terhadap tenaga kerja. Pelayanan
yang baik dari perusahaan akan membuat karyawan lebih bergairah
dalam bekerja, mempunyai rasa tanggung jawab dalam
menyelesaikan pekerjaannnya, serta dapat terus mennjaga nama
baik perusahaan melalui produktivitas kerjanya dan tingkah
lakuknya.
41
Pada umumnya pelayanan karyawan meliputi beberapa hal yakni :
a. Pelayanan makan dan minum
b. Pelayanan kesehatan
c. Pelayanan kamar kecil atau kamar mandi ditempat kerja
2. Kondisi Kerja
Kondisi kerja karyawan sebaiknya diusahakan oleh manajemen
perusahaan sebaik mungkin agar timbul rasa aman dalam bekerja
untuk karyawannya, kondisi kerja ini meliputi penerangan yang
cukup, suhu udara yang tepat, kebisingan yang ddapat
dikendalikan, pengaruh warna, ruang gerak yang diperlukan dan
keamanan kerja karyawan.
3. Hubungan Karyawan
Hubungan karyawan akan sangat menentukan dalam bertahan atau
tidaknya dalam bekerja di suatu perusahaan. Hubungan yang baik
antara sesama karyawan dan juga atasan dengan bawahan yang
baik akan mempengaruhi turnover dalam perusahaan.
42
2.3.5. Manfaat Lingkungan Kerja
Manfaat lingkungan kerja adalah menciptakan gairah kerja,
sehingga produktivitas kerja meningkat. Sementara itu, manfaat yang
diperoleh karena bekerja dengan orang-orang yang termotivasi adalah
pekerjaan dapat diselesaikan dengan tepat. Artinya pekerjaan
diselesaikan sesuai standar yang benar dan dalam skala waktu yang
ditentukan. Kinerjanya akan dipantau oleh individu yang bersangkutan
dan tidak akan membutuhkan terlalu banyak pengawasan serta semangat
juangnya akan tinggi. (Arep, 2003 : 103).
43
2.4. Komitmen Organisasional
2.4.1. Pengertian Komitmen Organisasional
Komitmen organisasional adalah suatu sikap individu terhadap
nilai-nilai dan kondisi kerja, wujud orientasi sikap berupa kemampuan,
identifikasi kondisi kerja organisasi, kemampuan terlibat aktif, memiliki
rasa kesetiaan dan kepemilikan terhadap organisasi (Robbins, 2008:273).
Komitmen organisasional dapat diartikan sebagai identifikasi, loyalitasi
dan keterlibatan yang dinyatakan oleh karyawan untuk organisasi atau
unit dari suatu organisasi (Gibson., 2006:104). Komitmen organisasional
ditunjukkan dalam sikap penerimaan, keyakinan yang kuat terhadap
nilai-nilai dan tujuan organisasi.
Komitmen organisasional adalah merupakan suatu sikap individu
terhadap nilai-nilai dan kondisi kerja, wujud orientasi sikap berupa
kemampuan, identifikasi kondisi kerja organisasi, kemampuan terlibat
aktif, memiliki rasa kesetiaan dan kepemilikan terhadap organisasi
(Robbins, 2008:273). Komitmen organisasional dapat diartikan sebagai
identifikasi, loyalitas dan keterlibatan yang dinyatakan oleh karyawan
untuk organisasi atau unit dari suatu organisasi (Gibson., 2006:104).
Komitmen organisasional ditunjukkan dalam sikap penerimaan,
keyakinan yang kuat terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi.
44
Komitmen organisasional menurut William dan Hazer (1986)
didefinisikan tingkat kekerapan identifikasi dan keterikatan individu
terhadap organisasi yang dimasukinya, dimana karakteristik
organisasional commitmen antara lain loyalitas seseorang terhadap
organisasi, kemauan untuk mempergunakan usaha atas nama organisasi,
kesesuaian antara tujuan seseorang dengan tujuan organisasi. Menurut
Blau dan Boal (1987) komitmen organisasional didefinisikan sebagai
suatu keadaan dimana seorang karyawan memihak pada suatu organisasi
tertentu (terhadap tujuan, nilai, dan kepentingan organisasi) serta berniat
memilihara keangotaan dalam organisasi itu.
Susana (2011:139) mendefinisikan komitmen organisasional “An
attitude which can adopt different forms and join the individual with a
relevant course of action for a particular objective” yang bearti suatu
pemikiran yang dapat menerima perbedaan bentuk dan bergabung
dengan individu untuk tujuan yang tertentu. Definisi komitmen
organisasional oleh Mowday (1982) dalam Alimohammadi (2013) 17
“Organizational commitment refers to accordance between the
goals of the individual and the organization whereby the individual
identifies with and extends attempt on representing the general goals of
the organization”, artinya komitmen organisasional mengacu sesuai
tujuan individu dan organisasi, dimana individu mengenali dan
mengupayakan untuk mempresentasikan tujuan suatu organisasi.
45
Penelitian yang dilakukan oleh Prasetyono dan Kompyurini (2008),
menyimpulkan bahwa budaya organisasi berpengaruh secara signifikan
terhadap kinerja organisasi. Budaya organisasi sangat berpengaruh
terhadap perilaku para anggota organisasi, sehingga jika budaya
organisasinya baik maka anggota organisasinya adalah orang-orang yang
baik dan berkualitas pula. Dan apabila anggotanya baik dan berkualitas,
maka kinerja organisasi akan menjadi baik dan berkualitas juga.
Sedangkan berdasarkan Luthan (2006), Organizational
commitment didefinisikan sebagai :
1) Keinginan kuat untuk tetap sebagai anggota organisasi tertentu
2) Keinginan untuk berusaha keras sesuai keinginan organisasi
3) Keyakinan terentu dan penerimaan nilai dan tujuan organisasi
Dengan kata lain, ini merupakan sikap yang merefleksikan
loyalitas karyawan pada organisasi dan proses berkelanjutan dimana
anggota organisasi mengekspresikan perhatiannya terhadap organisasi
dan keberhasilan serta kemajuan yang berkelanjutan.
Dapat disimpulkan bahwa komitmen organisasional adalah
keadaan psikologis individu yang berhubungan dengan keyakinan,
kepercayaan dan penerimaan yang kuat terhadap tujuan dan nilai-nilai
organisasi, kemauan yang kuat untuk bekerja demi organisasi dan tingkat
sampai sejauh mana ia tetap ingin menjadi anggota organisasi.
46
2.4.2. Dimensi Komitmen Organisasional
Ada tiga dimensi komponen dari komitmen organisasional menurut
Mayer dan Allen (1990), yaitu sebagai berikut :
1) Komitmen Afektif
Merupakan keterikatan emosional karyawan, identifikasi dan
keterlibatan dalam organisasi. Keterikatan emosional ini terbentuk
karena karyawan setuju dengan tujuan dasar dan nilai-nilai
organisasi tersebut, serta mengerti untuk apa organisasi tersebut
berdiri. Karyawan dengan derajat komitmen afektif tinggi akan
memilih tetap tinggal dalam organisasi untuk menyokong
organisasi dalam mencapai misinya.
2) Komitmen Kelanjutan
Merupakan komitmen berdasarkan kerugian yang mungkin akan
muncul dengan keluarnya karyawan dari organisasi. semakin lama
seseorang tinggal dalam sebuah organisasi, ia akan semakin tidak
rela kehilangan apa yang telah mereka ‘investasikan’ di organisasi
tersebut bertahun-tahun.
3) Komitmen Normatif
Merupakan perasaan wajib untuk tetap berada dalam organisasi
karena memang harus begitu; tindakan tersebut merupakan hal
benar yang harus dilakukan. Keharusan untuk tetap tinggal dalam
organisasi disebabkan karena tekanan dari orang atau pihak lain.
47
2.5. Turnover Intention
2.5.1. Pengertian Turnover Intention
Turnover Intention dapat diartikan sebagai pergerakan tenaga kerja
keluar dari organisasi. Turnover menurut Robbins dan Judge (2009:38)
adalah tindakan pengunduran diri secara permanen yang dilakukan oleh
karyawan baik secara sukarela ataupun tidak secara sukarela. Turnover
dapat berupa pengunduran diri, perpindahan keluar unit organisasi,
pemberhentian atau kematian anggota organisasi. Culpepper (2011)
menyebutkan turnover intention merupakan prediktor terbaik untuk
mengindentifikasi perilaku turnover yang akan terjadi pada karyawan
suatu organisasi.
Keinginan berpindah kerja (turnover intention) pada karyawan
dapat dipengaruhi oleh faktor kepuasan kerja yang dirasakan di tempat
kerja (Abdillah, 2012). Satu aspek yang cukup menarik perhatian adalah
mendeteksi faktor-faktor motivational yang akan dapat mengurangi niat
karyawan untuk meningggalkan organisasi, karena niat untuk pindah
sangat kuat pengaruhnya dalam menjelaskan turnover yang sebenarnya.
Adanya karyawan yang keluar dari organisasi memerlukan biaya yang
besar dalam bentuk kerugian yang besar akan tenaga ahli, yang mungkin
juga memindahkan pengetahuan spesifik perusahaan kepada pesaing
(Carmeli dan Weisberg, 2006).
48
Robbins (2007) menjelaskan bahwa penarikan diri seseorang keluar
dari suatu organisasi (turnover) dapat diputuskan secara sukarela
(voluntary turnover) maupun secara tidak sukarela (involuntary
turnover). Voluntary turnover atau quit merupakan keputusan karyawan
untuk meninggalkan organisasi secara sukarela yang disebabkan oleh
faktor seberapa manarik pekerjaan yang ada saat ini dan tersedianya
alternatif pekerjaan lain. Sebaliknya, involuntary turnover atau
pemecatan menggambarkan keputusan pemberi kerja (employer) untuk
menghentikan hubungan kerja dan bersifat uncontrollable bagi karyawan
yang mengalaminya.
Keinginan (intention) adalah niat yang timbul pada individu untuk
melakukan sesuatu. Sementara perputaran (turnover) adalah berhentinya
seorang karyawan dari tempat bekerja secara sukarela atau pindah kerja
dari tempat kerja ke tempat kerja lain. Turnover yang tinggi
mengindikasikan bahwa karyawan tidak betah bekerja diperusahaan
tersebut. Jika dilihat dari segi ekonomi tentu perusahaan akan
mengeluarkan cost yang cukup besar karena perusahaan sering
melakukan recruitment, pelatihan yang memerlukan biaya yang sangat
tinggi, dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi suasana kerja menjadi
kurang menyenangkan.
49
Menurut Mathis dan Jackson (2006:125), perputaran adalah proses
dimana karyawan meninggalkan organisasi dan harus digantikan.
Sedangkan menurut Rivai (2009:238) turnover merupakan keinginan
karyawan untuk berhenti kerja dari perusahaan secara sukarela atau
pindah dari satu tempat ke tempat kerja yang lain menurut pilihannya
sendiri.
Menurut Siregar (2006:214) Turnover Intention adalah
kecenderungan atau niat karyawan untuk berhenti bekerja dari
pekerjaannya secara sukarela menurut pilihannya sendiri. Turnover
intention dipengaruhi oleh stres kerja dan lingkungan kerja. Faktor-faktor
yang mempengaruhi seseorang untuk pindah kerja, yaitu karateristik
individual dan faktor lingkungan kerja. Faktor individual meliputi umur,
pendidikan, serta status perkawinan sedangkan faktor lingkungan kerja
terbagi dua yaitu lingkungan kerja fisik dan lingkungan kerja non fisik.
Lingkungan kerja fisik meliputi keadaan suhu, cuaca, kontruksi,
bangunan, serta lokasi pekerjaan sedangkan lingkungan kerja non fisik
meliputi sosial budaya di lingkungan kerjanya, besar atau kecilnya beban
kerja, kompensasi yang diterima, hubungan kerja se-profesi, serta
kualitas kehidupan kerjanya.
Menurut Mobley (2002:44), turnover karyawan adalah suatu
fenomena penting dalam kehidupan organisasi. Namun turnover lebih
mudah dilihat dari sudut pandang negatif saja. Padahal ada kalanya
turnover justru memiliki implikasi-implikasi sebagai perilaku manusia
50
yang penting, baik dari sudut pandang individual maupun dari sudut
pandang sosial. Organisasi selalu mencari cara untuk menurunkan tingkat
perputaran karyawan, terutama perputaran disfungsional yang
menimbulkan berbagai potensi biaya seperti biaya pelatihan dan biaya
rekrutmen. Walaupun pada kasus tertentu perputaran kerja terutama
terdiri dari karyawan dengan kinerja rendah tetapi tingkat perpindahan
karyawan yang terlalu tinggi mengakibatkan biaya yang ditanggung
organisasi jauh lebih tinggi dibanding kesempatan memperoleh
peningkatan kinerja dari karyawan baru.
2.5.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Turnover Intention
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya turnover cukup
kompleks dan saling berkaitan satu sama lain. Diantara faktor-faktor
tersebut yang akan dibahas antara lain sebagai berikut (Novliadi, 2007:
10-12) :
1) Usia
Tingkat turnover yang cenderung lebih tinggi pada karyawan
berusia muda disebabkan karena mereka memiliki keinginan untuk
mencoba-coba pekerjaan atau organisasi kerja serta ingin
mendapatkan keyakinan diri lebih besar melalui cara coba-coba
tersebut. Hal ini juga didukung oleh Cheng dan Chan (2008 : 272),
bahwa turnover intention lebih kuat pada karyawan dengan masa
51
kerja yang lebih pendek dan lebih kuat pada karyawan yang lebih
muda daripada karyawan yang lebih tua.
2) Lama Kerja
Semakin lama masa kerja semakin rendah kecenderungan
turnovernya. Turnover lebih banyak terjadi pada karyawan dengan
masa kerja lebih singkat. Interaksi dengan usia, kurangnya
sosialisasi awal merupakan keadaan-keadaan yang memungkinkan
turnover tersebut.
3) Tingkat Pendidikan
Menurut Handoyo, dikatakan bahwa mereka yang mempunyai
tingkat intellegensi tidak terlalu tinggi akan memandang tugas-
tugas yang sulit sebagai tekanan dan sumber kecemasan. Ia mudah
merasa gelisah akan tanggung jawab yang diberikan padanya dan
merasa tidak aman. Sebaliknya mereka yang mempunyai tingkat
intellegensi yang lebih tinggi akan merasa cepat bosan dengan
pekerjaan-pekerjaan yang monoton. Mereka akan lebih berani
keluar dan mencari pekerjaan baru daripada mereka yang tingkat
pendidikannya terbatas, karena kemampuan intelegensinya yang
terbatas pula.
52
4) Keterikatan Terhadap Perusahaan
Pekerja yang mempunyai rasa keterikatan yang kuat terhadap
perusahaan tempat ia bekerja berarti mempunyai dan membentuk
perasaan memiliki (sense of belonging), rasa aman, efikasi, tujuan
dan arti hidup serta gambarandiri positif. Akibat secara langsung
adalah menurunnya dorongan diri untuk berpindah pekerjaan dan
perusahaan.
2.5.3. Jenis-Jenis Turnover
Turnover atau tingkat keluar masuk karyawan merupakan proses
dimana karyawan meninggalkan organisasi dan harus digantikan. Banyak
organisasi menemukan bahwa turnover merupakan masalah yang
merugikan. Jenis turnover menurut Mathis dan Jackson (2000: 125-126) :
1. Turnover secara tidak sukarela dan Turnover secara sukarela
(1). Turnover secara tidak sukarela
Pemecatan karena kinerja yang buruk dan pelanggaran
peraturan kerja. Turnover secara tidak sukarela dipicu oleh
kebijakan organisasional, peraturan kerja dan standar
kinerja yang tidak dipenuhi oleh karyawan.
53
(2). Turnover secara sukarela
Karyawan meninggalkan perusahaan karena keinginannya
sendiri. Turnover secara sukarela dapat disebabkan oleh
banyak faktor, termasuk peluang karier, gaji, pengawasan,
geografi dan alasan pribadi/keluarga.
2. Turnover fungsional dan Turnover disfungsional
(1). Turnover fungsional
Karyawan yang memiliki kinerja lebih rendah, individu
yang kurang dapat diandalkan, atau mereka yang
mengganggu rekan kerja meninggalkan organisasi
(2). Turnover disfungsional
Karyawan penting dan memiliki kinerja tinggi
meninggalkan organisasi pada saat yang genting.
3. Turnover yang tidak dapat dikendalikan dan Turnover yang dapat
dikendalikan
(1). Turnover yang tidak dapat dikendalikan
Muncul karena alasan diluar pengaruh pemberi kerja.
Banyak alasan karyawan yang berhenti tidak dapat
dikendalikan oleh organisasi contohnya sebagai berikut :
Adanya perpindahan karyawan dari daerah geografis,
karyawan memutuskan untuk tinggal didaerah karena
alasan keluarga, suami atau istri yang dipisahkan dan
54
karyawan adalah mahasiswa yang baru lulus dari perguruan
tinggi.
(2). Turnover yang dapat dikendalikan
Muncul karena faktor yang dapat dipengaruhi oleh pemberi
kerja. Dalam turnover yang dapat dikendalikan, organisasi
lebih mampu memelihara karyawan apabila mereka
menangani persoalan karyawan yang dapat menimbulkan
turnover.
2.5.4. Indikator Turnover Intention
Menurut Harnoto (2002 : 2): “Turnover intention ditandai oleh
berbagai hal yang menyangkut perilaku karyawan, antara lain: absensi
yang meningkat, mulai malas kerja, naiknya keberanian untuk melanggar
tata tertib kerja, keberanian untuk menentang atau protes kepada atasan,
maupun keseriusan untuk menyelesaikan semua tanggung jawab
karyawan yang sangat berbeda dari biasanya.” Indikasi-indikasi tersebut
bisa digunakan sebagai acuan untuk memprediksikan turnover intention
karyawan dalam sebuah perusahaan.
1) Absensi yang meningkat
Karyawan yang berkeinginan untuk melakukan pindah kerja,
biasanya ditandai dengan absensi yang semakin meningkat. Tingkat
tanggung jawab karyawan dalam fase ini sangat kurang
dibandingkan dengan sebelumnya.
55
2) Mulai malas bekerja
Karyawan yang berkeinginan untuk melakukan pindah kerja, akan
lebih malas bekerja karena orientasi karyawan ini adalah bekerja di
tempat lainnya yang dipandang lebih mampu memenuhi semua
keinginan karyawan yang bersangkutan.
3) Peningkatan terhadap pelanggaran tata tertib kerja
Berbagai pelanggaran terhadap tata tertib dalam lingkungan
pekerjaan sering dilakukan karyawan yang akan melakukan
turnover. Karyawan lebih sering meninggalkan tempat kerja ketika
jam-jam kerja berlangsung, maupun berbagai bentuk pelanggaran
lainnya.
4) Peningkatan protes terhadap atasan
Karyawan yang berkeinginan untuk melakukan pindah kerja, lebih
sering melakukan protes terhadap kebijakan-kebijakan perusahaan
kepada atasan. Materi protes yang ditekankan biasanya
berhubungan dengan balas jasa atau aturan yang tidak sependapat
dengan keinginan karyawan.
5) Perilaku positif yang sangat berbeda dari biasanya
Biasanya hal ini berlaku untuk karyawan yang memiliki
karakteristik positif. Karyawan ini mempunyai tanggung jawab
yang tinggi terhadap tugas yang dibebankan, dan jika perilaku
56
positif karyawan ini meningkat jauh dan berbeda dari biasanya
justru menunjukkan karyawan ini akan melakukan turnover.
2.6. Penelitian Terdahulu
Penelitian-penelitian terdahulu sangat penting sebagai dasar pijakan
dalam rangka penyususnan penelitian ini. Kegunaannya untuk
mengetahui hasil yang telah dilaksanakan oleh peneliti terdahulu yang
terkait mengenai analisis pengaruh job insecurity, lingkungan kerja dan
komitmen organisasional terhadap turnover intention adalah sebagai
berikut :
1. Skripsi “Pengaruh Pengaruh Job Insecurity Kerja dan Komitmen
Organisasi terhadap Turnover Intention Di Dinas Perhubungan
Kabupaten Bantul, DIY.” Penelitian Lili (2014). Pada penelitian
ini menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan dari variabel
job insecurity dan komitmen organisasi terhadap turnover
intention. Perusahaan harus memperhatikan hal tersebut agar
perusahaan mampu memberikan rasa aman, kekerabatan yang erat,
besarnya gaji, penghargaan kepada karyawan, serta tugas yang
tepat agar karyawan mampu merasa tertantang dalam menjalankan
tugas.
2. Skripsi “Pengaruh Lingkungan Kerja dan Disiplin Kerja terhadap
Kinerja Karyawan PT. Razer Brothers.” Penelitian Aji (2015) yang
menganalisis tentang pengaruh lingkungan kerja, disiplin kerja, dan
57
kompensasi terhadap kinerja karyawan perusahaan PT. Razer
Brothers. Pada penelitian ini menyatakan bahwa variabel
lingkungan kerja memengaruhi kinerja karyawan secara signifikan.
Semakin baik lingkungan kerja yang diberikan maka akan semakin
baik pula kinerja karyawan.
2.7. Hubungan Antar Variabel
2.7.1. Pengaruh Job Insecurity terhadap Turnover Intention
Karyawan yang mengalami tekanan job insecurity memiliki alasan
rasional untuk mencari alternatif pekerjaan lain yang dapat mendukung
kelanjutan dan memberikan rasa aman bagi karirnya (Greenhalgh &
Rosenblatt, 1984 dalam Iwandi, 2002). Karenanya karyawan yang
mengalami tekanan atau tidak mendapat tekanan dan mudah memperoleh
pekerjaan ditempat lain, tekanan yang mangancam kelangsungan kerja
diduga terkait dengan reaksi untuk meninggalkan pekerjaan di tempat
lain.
Ashford et al. (1989), menyatakan job insecurity merupakan
perasaan tegang, gelisah, khawatir stress, dan merasa pasti dalam
kaitannya dengan sifat dan keberadaan pekerjaan selanjutnya yang
dirasakan karyawan. Ada berbagai macam penelitian yang
menghubungkan job insecurity terhadap turnover intention diantaranya
adalah hasil penelitian Ameen et al. (1995) pada akuntan pendidik
menemukan bahwa job insecurity mempunyai pengaruh positif terhadap
58
turnover intention. Penelitian ini didukung oleh penelitian Suwandi dan
Indriantoro (1999) yang menunjukkan bahwa job insecurity sebagai
faktor yang secara langsung mempengaruhi turnover intention. Tetapi
penelitian yang dilakukan oleh Pasewark dan Straswer (1996) melalui
pengujian path analysis, menemukan bahwa job insecurity bukan
predictor langsung terhadap turnover intention.
2.7.2. Pengaruh Lingkungan Kerja terhadap Turnover Intention
Ketika lingkungan kerja disuatu perusahaan tidak kondusif untuk
bekerja, maka karyawan dipastikan tidak akan bertahan lama di
perusahaan tersebut. Dapat dikatakan turnover intention akan semakin
tinggi. Perusahaan harus berusaha sekuat tenaga agar karyawan yang
bekerja tersebut dapat tetap bertahan. Hal yang paling mungkin
dilakukan oleh perusahaan adalah menjaga mereka agar tetap merasa
nyaman dengan lingkungan kerja di perusahaan. Tidak hanya lingkungan
kerja fisik tetapi dalam hal psikologisnya pun harus diperhatikan.
Lingkungan kerja yang kondusif, akan membuat karyawan merasa
nyaman dalam melaksanakan tugasnya. Lingkungan kerja yang buruk,
seperti sedikitnya fasilitas yang didapat karyawan, tidak adanya tempat
untuk istirahat karyawan, akan semakin mendorong niat karyawan untuk
mengundurkan diri. Semakin lengkap fasilitas yang diterima karyawan
untuk menunjang pekerjaannya maka semakin rendah niat karyawan
untuk mencari alternatif pekerjaan lain.
59
Aspek lain dari lingkungan kerja yaitu suasana kerja. Suasana kerja
yang dapat mendukung karyawan dalam bekerja misalnya penerangan
atau cahaya yang cukup, keamanan di tempat kerja yang terjamin, tempat
kerja yang nyaman, sangat dibutuhkan oleh karyawan. Semakin tinggi
tingkat kriminalitas, atau bisa dikatakan keamanan karyawan dalam
bekerja terancam maka akan dapat meningkatkan niat karyawan tersebut
untuk keluar dari pekerjaannya dan mencari alternatif pekerjaan lain yang
lebih aman. Dapat dikatakan bahwa lingkungan kerja yang tidak
mendukung berpengaruh negatif terhadap turnover intention karyawan.
2.7.3. Pengaruh Komitmen Organisasional terhadap Turnover Intention
Salah satu faktor yang mempengaruhi turnover intention karyawan
adalah komitmen organisasional yaitu kondisi psikologis yang
menggambarkan hubungan antara karyawan dengan perusahaan. Secara
spesifik, komitmen organiasional bukan hanya hubungan formal antara
individu dengan organisasi, tetapi juga keterikatan dan keterlibatan
secara aktif karyawan dalam perusahaan tersebut.
60
2.8. Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran ditemukan untuk menemukan permasalahan,
membuatkan landasan teori dan menguji hipotesa atas suatu penelitian.
Dalam kaitan ini kerangka berpikir harus didasarkan pada premis-premis
atau pertanyaan-pertanyaan yang dianggap benar yang berguna dalam
upaya deduksi yang biasanya non-empirik untuk sampai pada
kesimpulan-kesimpulan tentang kaitan antara variabel-variabel
penelitian. Kerangka berpikir ini juga harus dilengkapi oleh bagan atau
alur pemikiran yang memperlihatkan kaitan antar variabel-variabel
penelitian (Ummar, 2008).
Pengaruh job insecurity terhadap turnover intention di PT. Dagsap
Endura Eatore Yogyakarta. Job insecurity merupakan salah satu hal
penting dalam hasil turnover intention di tempat kerja. Bagi karyawan,
job insecurity menjadi salah satu faktor peting dalam mempengaruhi
turnover intention di PT. Dagsap Endura Eatore Yogyakarta. Job
insecurity sendiri tidak hanya berupa ancaman dikeluarkan dari
pekerjaan, tetapi bisa juga berupa penurunan jabatan, pergantian posisi
kerja, perpindahan divisi kerja dan sebagainya. Ketika seorang karyawan
merasa job insecurity itu begitu terasa, maka turnover intention juga
meningkat.
61
Pengaruh lingkungan kerja terhadap turnover intention di PT.
Dagsap Endura Eatore Yogyakarta. Lingkungan kerja memilki peranan
penting bagi karyawan. Lingkungan kerja dapat dilihat dari lingkungan
fisik dan lingkungan non fisik. Dalam penelitian ini, menganalisa
lingkungan fisik dimana dalam perusahaan telah menerapkan standar
keselamatan kerja yang baik dan mengikuti prosedur kerja sesuai dengan
aturan yang ada. Sehingga dengan lingkungan kerja yang baik serta
mendukung kinerja, akan mampu menekan turnover intention yang
mungkin terjadi dalam benak karyawan.
Pengaruh komitmen organisasional terhadap turnover intention
dalam perusahaan. Komitmen dalam karyawan tidak selalu terhadap
nilai-nilai yang ada, namun juga dapat berupa bentuk kepatuhan dan
kedisiplinan karyawan dalam bekerja.
Job insecurity yang tinggi di PT. Dagsap Endura Eatore
Yogyakarta dapat meningkatkan turnover intention dalam perusahaan.
Jika karyawan merasa job insecurity dapat ditekan, maka keinginan
untuk melakukan perpindahan pekerjaan di lain perusahaan juga akan
berkurang. Didukung dengan lingkungan kerja yang kondusif dan
memadahi. Ditambah dengan komitmen organisasional dari karyawan
yang baik. Sehingga kinerja di perusahaan dapat berjalan secara
maksimal demi tercapainya tujuan organisasi secara efisien” (Sarwoto,
1979:135).
62
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran
Sumber : Robbins (2008), Gibson (2009), Handoko (2010)
Lingkungan Kerja (X2) Turnover Intention (Y)
Job Insecurity (X1)
Komitmen Organisasional (X3)
63
2.9. Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap rumusan masalah
penelitian, dimana rumusan masalah tersebut dinyatakan dalam bentuk
kalimat pertanyaan. Juga dapat dinyatakan sebagai jawaban teoritis
terhadap rumusan masalah penelitian, belum jawaban yang empirik
dengan data. (Sugiyono, 2015). Hipotesis dalam penelitian ini adalah :
1. Variabel job insecurity, lingkungan kerja dan komitmen
organisasional secara bersama-sama mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap turnover intention pada PT. Dagsap Endura
Eatore Yogyakarta.
2. Variabel job insecurity, lingkungan kerja dan komitmen
organisasional secara parsial terhadap turnover intention pada PT.
Dagsap Endura Eatore Yogyakarta.
3. Job insecurity memberikan pengaruh dominan terhadap turnover
intention pada PT. Dagsap Endura Eatore Yogyakarta.