Post on 26-Apr-2019
12
BAB II
TELAAH PUSTAKA
2.1. Pengertian Komitmen
Menurut Sutrisno (2013:183) komitmen organisasi adalah upaya mencapai
tujuan organisasi dengan kemauan mengarahkan segala daya untuk kepentingan
organisasi dan ketertarikan untuk tetap menjadi bagian organisasi. Sementara itu
Robbins dan Judge (2011:160) mendefinisikan bahwa komitmen organisasi
berhubungan dengan perasaan dan kepercayaan terhadap organisasi secara
keseluruhan. Komitmen organisasi adalah sikap kesediaan diri untuk memegang
teguh visi, misi serta kemauan untuk mengerahkan seluruh usaha dalam
melaksanakan tugas. Komitmen karyawan tidak akan tumbuh dengan sendirinya,
ada hubungan signifikan antara budaya kerja dengan komitmen karyawan.
Menurut Wibowo (2007:311) komitmen organisasi merupakan keyakinan
yang menjadi pengikat seseorang dengan organisasi tempatnya bekerja, yang
ditunjukkan dengan adanya perilaku karyawan atas kesetiaan atau loyalitas,
keterlibatan dalam pekerjaan dan identifikasi terhadap nilai-nilai dan tujuan
organisasi. Dalam kehidupan sehari-hari komitmen sering diartikan sebagai suatu
kesepakatan.
Menurut Sedarmayanti (2009:216) ada tiga hal yang dipandang dapat
mempengaruhi komitmen organisasi, yaitu rasa memiliki terhadap organisasi, rasa
senang terhadap pekerjaan, dan kepercayaan pada organisasi. Karakteristik
13
keluarga, faktor harapan pengembangan karir, lingkungan kerja, dan gaji/
tunjangan juga turut mempengaruhi komitmen terhadap organisasi.
Menurut Becker dalam Pangabean (2008:70) mengemukakan bahwa
komitmen adalah sebagai kecendrungan untuk terikat dalam garis kegiatan yang
konsisten karena menganggap adanya biaya pelaksanaan kegiatan lain. Komitmen
dapat menjadikan suatu penyebab ketidakefektifan dalam organisasi. Hal ini
berarti dalam setiap organisasi terikat dalam satu garis keterikatan dan saling
membantu dalam pencapaian tujuan organisasi tersebut.
Mathis dan Jackson seperti yang dikutip Sopiah (2008:218) memberikan
definisi, “Organizational Commitment is the degree to which employees believe
in and accept organizational goals and desire to remain with the organization”.
(Komitmen organisasional adalah derajat yang mana karyawan percaya dan
menerima tujuan-tujuan organisasi dan akan tetap tinggal atau tidak akan
meninggalkan organisasi). Komitmen organisasional merupakan identifikasi dan
keterlibatan seseorang yang relatif kuat terhadap organisasi, dengan kata lain
komitmen organisasional merupakan keinginan anggota organisasi untuk tetap
mempertahankan anggotanya dalam organisasi dan bersedia berusaha keras bagi
pencapaian tujuan organisasi.
Berdasarkan berbagai penjelasan di atas, maka dapat diketahui bahwa
komitmen organisasi didefinisikan sebagai keinginan dari karyawan tetap menjadi
bagian dari anggota organisasi.
Pendapat ini cenderung menggambarkan
bagaimana komitmen organisasi akan memberikan motivasi kepada karyawan
untuk mewujudkan tujuan dari organisasi yang telah ditentukan.
14
2.2. Tipe Komitmen
2.2.1. Komitmen afektif
2.2.1.1.Pengertian Komitmen afektif
Menurut Armanu dan Mandayanti, 2012:34) komitmen afektif yang
dimiliki seorang karyawan akan mencerminkan kekuatan individual yang akan
menimbulkan kecenderungan untuk tetap bekerja dalam organisasi atau
perusahaan, karena karyawan tersebut merasa sejalan dengan tujuan perusahaan
serta merasa senang bekerja di dalam perusahaan tersebut.
Sutrisno (2013:291) komitmen afektif adalah tingkat keterikatan secara
psikologis dengan organisasi berdasarkan seberapa baik perasaan mengenai
organisasi. Koimitmen dalam jenis ini muncul dan berkembang oleh dorongan
adanya kenyamanan, keamanan, dan manfaat lain yang dirasakan dalam suatu
organisasi yang tidak diperolehnya dari tempat lain atau organisasi lain. Semakin
nyaman dan tinggi manfaatnya dirasakan oleh anggota, semakin tinggi komitmen
seseorang pada organisasi yang dipilihnya.
Menurut Allen dan Mayer (dalam Luthans, 2006:83) merupakan hal yang
berkaitan dengan keterikatan emosional atau emotional attachment, identifikasi,
dan keterlibatan individu di dalam suatu organisasi. Individu yang memiliki
komitmen afektif yang kuat akan terus bekerja dalam organisasi karena mereka
memang ingin (want to) melakukan hal tersebut.
Menurut Wibowo (2016:189) komitmen afektif adalah keinginan untuk
tetap menjadi anggota oraganisasi karena keterikatan emosional pada dan
keterlibatan dengan organisasi. Mereka tinggal karena mereka menginginkan.
15
Selanjutnya Newstrom (2011:223) mengartikan komitmen afektif sebagai tingkat
emosional positif dimana pekerja ingin mendesak usaha dan memilih untuk tetap
dengan organisasi.
Komitmen afektif adalah keterikatan emosional karyawan, identifikasi,
dan keterlibatan dalam organisasi. Anggota organisasi akan tetap menjadi anggota
dalam organisasi karena memang memiliki keinginan untuk itu (Robbins dan
Judge, 2008:127). Menurut Zumali (2010:40) komitmen afektif (affective
commitment) adalah perasaaan cinta pada organisasi yang memunculkan kemauan
untuk tetap tinggal dan membina hubungan sosial serta menghargai nilai
hubungan dengan organisasi dikarenakan telah menjadi anggota organisasi.
Karyawan dengan komitmen afektif yang kuat cenderung secara terus-
menerus akan setia pada organisasi karena memang begitu keinginan mereka yang
sebenarnya ada dalam hati mereka. Menurut Kaswan (2012:293) komitmen afektif
menunjukkan kuatnya keinginan emosional karyawan untuk beradaptasi dengan
nilai-nilai yang ada agar tujuan dan keinginannya untuk tetap di organisasi dapat
terwujud. Komitmen afektif dapat timbul pada diri seorang karyawan dikarenakan
adanya karakteristik individu, karakteristik struktur organisasi, signfikansi tugas,
berbagai keahlian, umpan balik dari pemimpin, dan keterlibatan dalam
manajemen.” Umur dan lama masa kerja di organisasi sangat berhubungan positif
dengan komitmen afektif. Karyawan yang memiliki komitmen afektif akan
cenderung untuk tetap dalam satu organisasi karena mereka mempercayai
sepenuhnya misi yang dijalankan oleh organisasi.
16
Allen & Meyer (1990:199) mengungkapkan bahwa setiap komponen
memiliki dasar yang berbeda. Individu yang memiliki komitmen afektif tinggi
masih bergabung dengan organisasi karena keinginan untuk tetap menjadi
anggota. Hal ini diperkuat oleh Vandenberghe (2004), bahwa komitmen afektif
memberikan efek kuat secara langsung terhadap niat untuk keluar dari organisasi.
Apabila komitmen afektif tinggi, maka niat untuk keluar dari organisasi juga
rendah. Individu yang memiliki dedikasi dan loyalitas terhadap organisasi juga
ditentukan oleh adanya komitmen afektif atau keterikatan secara emosional
terhadap organisasi.
Dengan demikian bentuk komitmen afektif adalah kekuatan hasrat
karyawan untuk bekerja pada organisasi karena setuju dengan tujuan dan nilai-
nilai organisasi.
2.2.1.2.Proses Terbentuknya Komitmen Afektif
Menurut Parinding (2015:6) proses yang mempengaruhi perkembangan
komitmen afektif adalah:
1) Sistem desetralisasi, adanya kebijakan organisasi yang adil, dan cara
menyampaikan kebijakan organisasi kepada karyawan.
2) Karakteristik individu yang mempengaruhi komitmen afektif yaitu
gender dan usia, meskipun bergantung pada beberapa kondisi karyawan
sendiri seperti status pernikahan, tingkat pendidikan, kebutuhan untuk
berprestasi, etos kerja, dan presepsi karyawan mengenai kompe-
tensinya.
17
3) Pengalaman kerja. Yang mempengaruhi proses terbentuknya komitmen
afektif yaitu beberapa karakteristik yang menunjukan kepuasan dan
motivasi karyawan yang mencakup tantangan dalam pekerjaan, tingkat
otonomi karyawan, dan variasi kemampuan yang digunakan karyawan.
2.2.1.3.Faktor yang Mempengaruhi Komitmen Afektif
Menurut Allen & Meyer (1990:201) terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi komitmen afektif yaitu:
1) Karakteristik pribadi
Gender, usia, masa jabatan dalam organisasi, status pernikahan,
tingkat pendidikan, kebutuhan untuk berprestasi, etos kerja, dan
persepsi individu mengenai kompetensinya.
2) Karakteristik pekerjaan
Karakteristik pekerjaan (job characteristics models) merupakan suatu
pendekatan terhadap pemerkayaan pekerjan (job enrichment).
Program pemerkayaan pekerjaan (job enrichment) berusaha
merancang pekerjaan dengan cara membantu para pemangku jabatan
memuaskan kebutuhan mereka akan pertumbuhan, pengakuan, dan
tanggung jawab. Pemerkayaan pekerjaan menambahkan sumber
kepuasan kepada pekerjaan.
3) Pengalaman kerja
Penyebab terkuat dalam komitmen afektif adalah pengalaman kerja,
terutama pengalaman-pengalaman yang dapat memenuhi kebutuhan
18
psikologis karyawan untuk merasa nyaman dalam organisasi serta
kompeten dalam melakukan pekerjaan sesuai peranannya.
4) Karakteristik struktural
Meliputi besarnya organisasi, kehadiran serikat kerja, luasnya kontrol,
dan sentralisasi otoritas.
2.2.1.4.Indikator Komitmen Afektif
Adapun beberapa indikator komitmen afektif menurut Luthans (dalam
Wibowo, 2016:189) yaitu sebagai berikut:
a) Perasaan persahabatan
b) Iklim atau budaya perusahaan
c) Perasaan senang ketika menyelesaikan tugas
2.2.2. Komitmen Normatif
2.2.2.1.Pengertian Komitmen Normatif
Menurut Kaswan (2012:294) “Komitmen normatif menunjukkan tanggung
jawab moral karyawan untuk tetap tinggal dalam organisasi.” Penyebab timbulnya
komitmen ini adalah tuntutan sosial yang merupakan hasil pengalaman seseorang
dalam berinteraksi dengan sesama atau munculnya kepatuhan yang permanen
terhadap seorang panutan atau pemilik organisasi dikarenakan balas jasa, respek
sosial, budaya atau agama. Anggota organisasi dengan normative commitment
yang tinggi akan terus menjadi anggota dalam organisasi karena merasa dirinya
harus berada dalam organisasi tersebut.
19
Menurut Allen dan Mayer (dalam Luthans, 2006:83) komitmen normatif
merupakan perasaan-perasaan individu tentang kewajiban yang harus ia berikan
kepada organisasi, karena tindakan tersebut merupakan hal benar yang harus
dilakukan. Hal ini berarti individu dengan komitmen normatif yang tinggi akan
merasa bahwa mereka wajib (ought to) bertahan dalam organisasi dimana mereka
bergabung.
Perasaan wajib untuk tetap berada dalam organisasi karena keharusan
untuk tetap bertahan dalam organisasi. Karyawan yang memiliki komitmen
normatif yang tinggi akan bertahan dalam organisasi karena mereka merasa
seharusnya melakukan hal tersebut (Robbins dan Judge, 2008:127).
Menurut Sutrisno (2013:291) komitmen normatif adalah keterikatan
anggota secara psikologis dengan organisasi karena kewajiban moral untuk
memelihara hubungan dengan organisasi. Dalam kaitan ini sesuatu yang
mendorong anggota untuk tetap berada dan memberikan sumbangan pada
keberadaan suatu organisasi, baik materi maupun non materi adalah sebagai
kewajiban moral, yang mana seseorang akan merasa tidak nyaman dan bersalah
jika tidak melakukan sesuatu.
Menurut Zumali (2010:40) komitmen normatif (normative commitment)
adalah perasaan yang mengharuskan untuk bertahan dalam organisasi dikarenakan
kewajiban dan tanggung jawab terhadap organisasi yang didasari atas
pertimbangan norma, nilai dan keyakinan karyawan.
Menurut Wibowo (2016:189) komitmen normatif adalah keinginan untuk
tetap menjadi organisasi karena merasa sebagai kewajiban. Karyawan tetap
20
tinggal karena memang seharusnya, dengan demikian merupakan suatu alasan
obligation-based untuk tetap dalam organisasi. Selanjutnya Newstrom (2011:223)
mengartikan komitmen normatif sebagai pilihan utnuk tetap terikat karena budaya
yang kuat atau etika familiar yang mendorong mereka melakukannya demikian.
Mereka yakin mereka harus berkomitmen karena sistem keyakinan orang lain dan
milik mereka internalisasi norma dan perasaan sebagai kewajiban.
Dengan demikian bentuk komitmen normatif adalah kekuatan hasrat
karyawan untuk terus bekerja pada organisasi karena merasa wajib untuk tetap
tinggal dalam organisasi, hal ini karena tekanan dari orang lain.
2.2.2.2.Proses terbentuknya Komitmen Normatif
Menurut Parinding (2015:6) proses yang mempengaruhi perkembangan
komitmen normatif dapat berkembang dari sejumlah tekanan yang dirasakan
karyawan selama proses sosialisasi dan selama sosialisasi saat karyawan baru
masuk ke dalam organisasi. Selain itu, komitmen normatif juga berkembang
karena organisasi memberikan sesuatu yang sangat berharga bagi karyawan yang
tidak dapat dibalas kembali. Faktor lainnya adalah adanya kontrak psikologis
antara anggota dan organisasinya yaitu kepercayaan dari masing-masing pihak
bahwa masing-masing akan timbal naik memberi.
2.2.2.3.Faktor yang mempengaruhi Komitmen Normatif
Menurut Allen & Meyer (1990:203) terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi komitmen normatif yaitu:
21
1) Proses sosialisasi orgnisasi kepada karyawan
Sosialisasi merupakan sarana seorang anggota baru untuk mempelajari
dan memasuki budaya yang ada di dalam organisasi. Sosialisasi dapat
dikatakan sebagai sarana seorang anggota baru untuk dapat memasuki
budaya organisasi yang baru sehingga orang baru tersebut dapat diterima
sebagai bagian dari organisasi dan budaya organisasi menjadi bagian
dirinya dalam setiap tindakannya selama berada di dalam organisasi
tersebut.
2) Proses sosialisasi karyawan dengan keluarganya
Adanya tuntutan untuk bekerja sama atas dasar ekonomi keluarga. Pada
tahap ini karyawan berinteraksi semakin rendah dan kehidupan
pribadinya semakin kompleks. Individu mulai berhubungan dengan
rekan sesama karyawan. Mengikuti seluruh peraturan-peraturan yang
berlaku di luar keluarganya secara bertahap juga mulai dipahami.
Bersamaan dengan itu, karyawan mulai menyadari bahwa ada norma
tertentu yang berlaku di luar keluarganya.
2.2.2.4.Indikator Komitmen Normatif
Adapun beberapa indikator komitmen normatif menurut Luthans dkk
(dalam Wibowo, 2016:189) yaitu sebagai berikut:
1) Alasan untuk tetap berada dalam organisasi
2) Perasaan utang budi kepada atasan
3) Perasaan utang budi kepada kolega
22
2.3. Membangun Komitmen Organisasi
Menurut Heller (dalam Wibowo, 2016:190) determinan komitmen
organisasional berada di luar kontrol manajer, sehingga memberikan sedikit
peluang untuk meningkatkan perasaan. Komitmen cenderung menurun ketika
peluang kerja banyak. Berlimpahnya pekerjaan berakibat menurunkan
continuance commitment. Tetapi meskipun manajer tidak dapat mengontrol
ekonomi eksternal, mereka dapat melakukan beberapa hal membuat pekerja ingin
tetap bekerja untuk perusahaan, meningkatkan affective commitment. Pekerja yang
mempunyai komitmen adalah sangat berharga. Kita dapat memperoleh komitmen
dari bawahan dengan memenuhi kebutuhan pokok pekerja, memberi perhatian
pada orang di semua tingkat, mempercayai dan dipercayai, mentoleransi
individualitas, dan menciptakan bebas kesalahan “can-do culture”.
Heller menganjurkan untuk mendapatkan komitmen pekerja dapat
dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:
1) Nuturing trust, (memelihara kepercayaan). Kualitas dan gaya kepemim-
pinan merupakan faktor utama untuk mendapatkan kepercayaan dan
komitmen pekerja. Kita harus dapat membuat diri kita senyata mungkin
dan menunjukkan dapat dihubungi dan berkeinginan mendengarkan orang
lain. Patut diingat bahwa untuk mendapatkan kepercayaan, kita pertama
kali harus mempercayai mereka yang bekerja untuk kita.
2) Winning minds, spirits, and hearts, (memenangkan pikiran, semangat, dan
hati). Komitmen penuh dari bawahan tidak dapat direalisir sampai sampai
kita menunjukkan kebutuhan psikologis, intelektual dan emosional
23
pekerja. Dengan memberikan bobot yang seimbang dari ketiga faktor
tersebut, memungkinkan kita memenangkan pikiran, semangat, dan hati
pekerja. Untuk itu kepada pekerja perlu diberikan otonomi dalam
menciptakan lingkungan kerja, membuat mereka merasa dihargai dengan
secara terbuka memperkenalkan prestasi mereka, dan memberdayakan
mereka dengan menyerahkan kontrol sebanyak mungkin dalam bidang
tanggung jawabnya.
3) Keeping staff commited (menjaga staf mempunyai komitmen). Salah satu
cara paling efektif menjaga komitmen pekerja adalah memperkaya
pekerjaan dan meningkatkan motivasi mereka. Hal ini dapat dicapai
melalui peningkatan tingkat minat, memastikan bahwa setiap pekerja
mempunyai variasi pendorong tugas untuk dikerjaan, dan memberikan
sumber daya dan pelatihan melalui mana keterampilan baru dapat
dikembangkan.
4) Rewarding excellence, (menghargai keunggulan). Pengakuan atas
keunggulan merupakan masalah vital dalam memelihara komitmen dan
kepuasan kerja pekerja. Perlu dipertimbangkan menghargai kinerja luar
biasa, produktivitas tinggi dan menurunkan biaya secara substansial,
dengan insentif finansial. Kita dapat melakukan pemberian kenaikan gaji,
pemberian bonus, pengikutsertaan dalam pelatihan akhir pekan senior staf
atau sekedar mengucapkan terima kasih.
5) Staying positive, (bersikap positif). Untuk menciptakan lingkungan positif
dalam organisasi, adalah penting untuk menciptakan iklim “can-do”. Hal
24
ini harus dibangun mutual trust, saling mempercayai di mana orang
memastikan bahwa organisasi dapat mencapai apa yang diminta untuk
dilakukan. Untuk itu kita perlu menciptakan “herous”, pekerja yang
dihormati dan produktif serta dikagumi anggota lainnya. Pastikan bahwa
keberhasilan Herous dirayakan, untuk mendorong orang lain mempercayai
can-do-culture dan komit pada tujuan organisasi
2.4. Kecenderungan yang Mempengaruhi Komitmen
Terdapat kecenderungan yang dapat memengaruhi tempat pekerjaan, salah
satu di antaranya adalah apabila terjadi perubahan komposisi tenaga kerja.
Kecenderungan ini menempatkan tekanan pada beberapa tipe komitmen dan
mengubah macam penarikan diri yang terlihat di pekerjaan (Colquitt, LePine, dan
Wesson, 2011: 85).
Diversity of the workforce, atau keberagaman tenaga kerja. Keberagaman
dapat membuat lebih menantang untuk mempertahankan pekerja yang berharga.
Apabila kelompok kerja semakin beragam dalam bentuk ras, gender, umur, dan
asal daerah, terdapat bahaya bahwa minoritas atau pekerja yang lebih tua akan
berada di golongan pinggir dalam jaringan, yang secara potensial menurunkan
affective commitment. Meningkatkan keberagaman tenaga kerja dapat
menurunkan komitmen apabila pekerja merasa tingkat lebih rendah affective
commitment atau menjadi kurang ditanamkan dalam pekerjaan sekarang.
Menurut Wibowo (2016:195) the changing employee-employer
relationship, atau perubahan hubungan pekerja dengan pemberi kerja. Beberapa
generasi yang lalu, banyak pekerja bekerja untuk satu organisasi dalam seluruh
25
kariernya. Asumsinya adalah terdapat pertukaran loyalitas seumur hidup dan
pekerjaan baik untuk keamanan kerja seumur hidup. Persepsi ini berubah dengan
berkembangnya downsizing sebagai bagian dalam kehidupan kerja. The
Employee-employer relationship dapat menurunkan affective dan normative
commitment, membuat lebih menantang untuk mempertahankan pekerja berbakat.
2.5. Pedoman untuk Meningkatkan Komitmen
Menurut Dessler (Luthans, 2011: 148) memberikan beberapa pedoman
untuk meningkatkan komitmen organisasional:
1) Commit to people-first values. Organisasi mempunyai komitmen pada
nilai-nilai yang mengutamakan pada orangnya. Hal tersebut dilakukan
dengan menyatakan secara tertulis, memilih manajer yang tepat, dan
melakukan apa yang dikatakan.
2) Clarify and communicate your mission. Organisasi mengklarifikasi dan
mengomunikasikan misi dan ideologi; dilakukan secara kharismatik;
menggunakan praktik perekrutan berbasis nilai; penekanan pada orientasi
berbasis nilai dan pelatihan; serta membangun tradisi.
3) Guarantee organizational justice. Organisasi menjamin keadilan
oranisasional. Untuk itu, organisasi mempunyai prosedur keluhan yang
komprehensif; dan menyelenggarakan komunikasi dua arah secara
ekstensif.
4) Create a sense of community. Organisasi membangun perasaan sebagai
komunitas dengan membangun homogenitas berbasis nilai; saling berbagi;
saling memanfaatkan dan kerja sama; serta hidup bersama-sama.
26
5) Support employee development. Organisasi mendukung pengembangan
pekerja. Organisasi mempunyai komitmen untuk aktualisasi;
mengusahakan tantangan kerja tahun pertama; memperkaya dan
memberdayakan; melakukan promosi dari dalam; mengusahakan aktivitas
mengembangkan; mengusahakan keamanan pekerja tanpa jaminan.
2.6. Outcomes Komitmen Organisasi
Luthans (2011:148) mengungkapkan beberapa temuan penelitian yang
berkaitan dengan hubungan beberapa faktor dengan komitmen organisasional.
Dari satu sisi penelitian menunjukkan dukungan hubungan positif antara
komitmen organisasional dan hasil yang diharapkan seperti produktivitas tinggi,
rendahnya pergantian, dan rendahnya kemangkiran. Penelitian lain menunjukkan
kenyataan bahwa komitmen pekerja berhubungan dengan hasil yang diharapkan
lainnya, seperti perasaan hangat, dukungan iklim organisasional, dan keinginan
menjadi anggota tim yang baik yang bersedia membantu.
Sedangkan Wibowo (2016:196) mengemukakan bahwa terdapat hubungan
yang lebih kuat antara komitmen organisasional dan produktivitas bagi mereka
yang kebutuhan finansialnya rendah daripada mereka yang berkebutuhan tinggi.
Studi lain lagi menemukan bahwa lebih banyak kedudukan yang dimiliki pekerja
pada pekerjaan dengan organisasi yang mempekerjakan, komitmen dampaknya
lebih kecil pada produktivitas. Disamping itu, ditemukan pula bahwa komitmen
pada supervisor berhubungan lebih kuat pada produktivitas daripada komitmen
terhadap organisasi.
27
2.7. Produktivitas
2.7.1. Pengertian Produktivitas
Menurut Sutrisno (2013:207) mendefinisikan produktivitas sebagai rasio
output bruto rill dengan kombinasi tenaga kerja, modal dan produk-produk yang
dibeli dari luar perusahaan sebagai inputnya. Produktivitas faktor ialah rasio
antara produk rill yang diperoleh dalam perekonomian, industri, atau perusahaan,
dengan jumlah tenaga kerja dan modal sebagai inputnya.
Sedangkan menurut Muchdarsyah (dalam Sedarmayanti, 2011:198)
produktivitas diartikan sebagai hubungan antara hasil nyata maupun fisik (barang)
atau jasa dengan masukan sebenarnya. Selanjutnya Sunyoto (2012:203)
mengartikan produktivitas kerja adalah ukuran yang menunjukkan pertimbangan
antara input dan output yang dikeluarkan perusahaan serta peran tenaga kerja yang
dimiliki persatuan waktu.
Menurut Hasibuan (2006:126) Produktivitas adalah perbandingan antara
output (hasil) dengan input (masukan). Jika Produktivitas naik ini hanya
dimungkinkan oleh adanya peningkatan efisiensi (waktu-bahan-tenaga) dan
sisitem kerja, teknik produksi dan adanya peningkatan keterampilan dari tenaga
kerjanya.
Menurut Riyanto (2009:22) secara teknis produktivitas adalah suatu
perbandingan antara hasil yang dicapai (out put) dengan keseluruhan sumber daya
yang diperlukan (input). Produktivitas mengandung pengertian perbandingan
antara hasil yang dicapai dengan peran tenaga kerja persatuan waktu.
Produktivitas juga diartikan sebagai tingkatan efisiensi dalam memproduksi
28
barang-barang. Ukuran produktivitas yang paling terkenal berkaitan dengan
tenaga kerja yang dapat dihitung dengan membagi pengeluaran dengan jumlah
yang digunakan atau jumlah jam kerja karyawan.
2.7.2. Pentingnya Meningkatkan Produktivitas
Menurut Sutrisno (2013:208) produktivitas dapat berpengaruh terhadap
berbagai bidang, misalnya:
1) Meningkatkan laba perusahaan
2) Meningkatkan pendapatan karyawan
3) Meningkatkan pendapatan Negara (pajak)
4) Harga pokok menjadi lebih rendah
5) Harga jual dapat diturunkan
6) Hasil produksi menjadi lebih tersebar
7) Lebih banyak konsumen yang dapat menikmati
8) Perusahaan penghasil menjadi lebih kompetitif
9) Menimbulkan lebih banyak waktu senggang
10) Meningkatkan kemakmuran dan ketahanan
2.7.3. Faktor Yang Mempengaruhi Produktivitas Kerja
Faktor produktivitas manusia memilki peran besar dalam menentukan
sukses suatu usaha. Secara konseptual produktivitas manusia sering disebut sikap
mental yang selalu memiliki pandangan bahwa mutu kehidupan hari ini lebih baik
dari hari kemarin dan esok lebih baik hari ini. Maka produktivitas dapat
ditingkatkan dengan berbagai faktor yang dapat dipenuhi.
29
Menurut Simanjuntak (2003:64) terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi produktivitas kerja yaitu:
1) Pelatihan
Latihan kerja dimaksudkan untuk melengkapi karyawan dengan
keterampilan dan cara-cara yang tepat untuk menggunakan peralatan kerja.
Untuk itu latihan kerja diperlukan bukan saja sebagai pelengkap, akan
tetapi sekaligus memberikan dasar-dasar pengetahuan. Karena dengan
latihan berarti para karyawan belajar untuk mengerjakan sesuatu dengan
benar-benar dan tepat, serta dapat memperkecil atau meninggalkan
kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan.
2) Mental dan kemampuan fisik karyawan
Keadaan mental dan fisik karyawan merupakan hal yang sangat penting
untuk menjadi perhatian bagi organisasi, sebab keadaan fisik dan mental
karyawan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan produktivitas
kerja karyawan.
3) Hubungan atasan dengan karyawan
Hubungan atasan dan bawahan akan mempengaruhi kegiatan yang
dilakukan sehari-hari. Bagaimana pandangan atasan terhadap bawahan,
sejauh mana bawahan diikutsertakan dalam penentuan tujuan. Sikap yang
saling jalin-menjalin telah mampu meningkatkan produktivitas karyawan
dalam bekerja. Dengan demikian, jika karyawan diperlakukan secara baik,
maka karyawan tersebut akan berpartisipasi dengan baik pula dalam proses
produksi, sehingga akan berpengaruh pada tingkat produktivitas kerja.
30
Selanjutnya, menurut Siagian (2013:211) juga terdapat faktor lain yang
mempengaruhi produktivitas kerja yaitu:
1) Faktor yang ada pada diri individu, yaitu umur, tempramen, keadaan fisik
individu, kelemahan dan motivasi.
2) Faktor yang ada di luar individu, yaitu kondisi fisik seperti suara,
penerangan, waktu, istirahat, lama kerja, upah, bentuk organisasi,
lingkungan sosial dan keluarga.
2.7.4. Ciri-Ciri Karyawan Yang Produktif
Menurut Ranft (dalam Timpe, 2002:110) adapun ciri – ciri umum dari
pekerja yang produktif, yaitu:
1) Bermotivasi tinggi, motivasi disebut sebagai faktor krisis dan pekerja yang
termotivasi dapat atau berada dijalan keproduktivitasan tinggi. Pengamatan
yang khas adalah:
a) Dapat memotivasi diri sendiri.
b) Tekun, bekerja secara produktif pada suatu tugas sampai selesai.
c) Mempunyai kemampuan keras untuk bekerja.
d) Selalu tepat waktu.
e) Bekerja efektif walau tanpa pengawasan.
f) Berorientasi pada sasaran atau tujuan.
2) Lebih memenuhi kualifikasi pekerjaan, disini dianggap bahwa
produktivitas tidak mungkin dicapai tanpa kualifikasi yang benar.
Pengamatan yang khas adalah:
31
a) Cerdas dan dapat belajar dengan cepat.
b) Kreatif dan inovatif artinya memahami pekerjaan.
c) Kompeten secara professional.
d) Memiliki catatan prestasi yang berhasil.
e) Selalu meningkatkan diri.
3) Mempunyai orientasi pekerjaan yang positif.
a) Mempunyai kebiasaan kerja yang baik.
b) Selalu terlibat dalam pekerjaannya.
c) Cermat, dapat dipercaya dan konsisten.
d) Menghormati manajemen dan tujuannya.
e) Luwes dan dapat menyesuaikan diri dengan tujuannya.
4) Dewasa, kedewasaan adalah atribut pribadi yang dinilai penting untuk
memperlihatkan produktivitas yang konsisten.
a) Berintegrasi tinggi dan mempunyai rasa tanggung jawab yang kuat.
b) Dapat bekerja efektif, disiplin, percaya diri dan mandiri.
2.7.5. Indikator Pengukuran Produktivitas
Menurut Sutrisno (2013:211) untuk mengukur produktivitas kerja dapat
menggunakan indikator sebagai berikut:
1) Kemampuan
Mempunyai kemampuan untuk melaksanakan tugas. Kemampuan seorang
karyawan sangat bergantung pada keterampilan yang dimiliki serta
profesionalisme mereka dalam bekerja. Ini memberikan daya untuk
menyelesaikan tugas-tugas yang diembannya kepada mereka.
32
2) Meningkatkan hasil yang dicapai
Berusaha untuk meningkatkan hasil yang dicapai. Hasil merupakan salah
satu yang dapat dirasakan baik oleh yang mengerjakan maupun yang
menikmati hasil pekerjaan tersebut. Jadi, upaya untuk memanfaatkan
produktivitas kerja bagi masing-masing yang terlibat dalam suatu
pekerjaan.
3) Semangat kerja
Ini merupakan usaha untuk lebih baik dari hari kemarin. Indikator ini dapat
dilihat dari etos kerja dan hasil yang dicapai dalam satu hari kemudian
dibandingkan dengan hari sebelumnya.
4) Pengembangan diri
Senantiasa mengembangkan diri untuk meningkatkan kemampuan kerja.
Pengembangan diri dapat dilakukan dengan melihat tantangan dan harapan
dengan apa yang akan dihadapi. Sebab, semakin kuat tantangannya,
pengembangan diri mutlak dilakukan. Begitu juga harapan untuk menjadi
lebih baik pada gilirannya akan sangat berdampak pada keinginan
karyawan untuk meningkatkan kemampuan.
5) Mutu
Selalu berusaha untuk meningkatkan mutu lebih baik dari yang telah lalu.
Mutu merupakan hasil pekerjaan yang dapat menunjukkan kualitas kerja
seorang pegawai. Jadi, meningkatkan mutu bertujuan untuk memberikan
hasil yang terbaik, yang pada gilirannya akan sangat beguna bagi
perusahaan dan dirinya sendiri.
33
6) Efisiensi
Perbandingan hasil yang akan dicapai dengan keseluruhan sumber daya
yang digunakan. Masukan dan keluaran merupan aspek produktivitas yang
memberikan pengaruh yang cukup signifikan bagi karyawan.
2.7.6. Standar Operasional Prosedur (SOP) Produksi PT. Riau Crumb
Rubber Factory Pekanbaru
Adapun dalam SOP produksi crumb rubber di PT. Riau Crumb Rubber
Factory Pekanbaru dalam proses pengolahan bahan baku menjadi crumb rubber
siap ekspor melalui beberapa tahapan proses dengan urutan sebagai berikut:
Gambar 2.1. Alur SOP Produksi PT. Riau Crumb Rubber Factory Pekanbaru
PENERIMAAN GUDANG
BAHAN BAKU BAHAN BAKU
MANGEL / CREPPER
TURUN A,B,C SERTA
MANGEL 1 s.d 6
(MANGEL MASAK)
GUDANG
BAHAN JADI
PREBREAKER I,II,III
HAMMERMILL I,II,III
HAMMERMILL IV,V,VI
BAK PENCAMPUR
PENGERINGAN UDARA
PACKING EKSPOR
CUTTER (PEREMAHAN)
TROLLEY
DRYER
PENIMBANGAN
PENGEPRESAN I,II,III
BANDELA SIR
Sumber: PT. Riau Crumb Rubber Factory Pekanbaru, 2017
34
Proses pembuatan crumb rubber melalui beberapa tahapan proses produksi
yang diuraikan dengan urutan sebagai berikut:
1) Stasiun Kerja Penyortiran dan Penimbangan
Pada stasiun kerja penyortiran dan penimbangan bahan baku
diterima dari pemasok diperiksa dan disortir terlebih dahulu. Bahan baku
untuk pembuatan crumb rubber disebut dengan bokar (bahan olah karet)
kriteria bokar ditentukan berdasarkan Kadar Karet Kering (KKK) terdiri
dari 2 kelas yaitu kelas mutu A dengan K3 diatas 50% dan mutu B dengan
K3 40% - 49%. Kemudian bokar dipotong dengan coagulum cutter
kemudian dibawa ke laboratorium untuk memastikan kualitas bokar
tersebut. Hasil penyortiran kemudian ditimbang lalu ditumpuk pada
gudang penyimpanan bokar untuk menunggu proses selanjutnya.
2) Stasiun Kerja Pencincangan dan Pembersihan
Bahan Olah Karet (Bokar) yang berada di gudang penyimpanan
bokar kemudian diangkut dengan shovel loader ke dalam bak air yang
kemudian diangkut lagi ke mesin slab cutter I pada mesin slab cutter
tersebut, bokar dicincang menjadi potongan-potongan kecil sebesar
kepalan tangan. Hasil olahan dari mesin slab cutter I diangkat ke bak
pembersihan I dengan belt conveyor sambil disiram dengan air agar
kotorannya terpisah. Fungsi bak pembersihan ini adalah supaya pasir,
tanah, batu dan kayu yang masing bercampur dengan bahan olahan karet
ini tenggelam akibat berat jenisnya yang lebih besar. Setelah dicuci dengan
bak pembersihan I, bokar diangkut ke mesin slab cutter II dengan bucket
elevator, prinsip kerja slab cutter I sama dengan slab cutter II,
perbedaannya adalah hasil olahan mesin slab cutter II berukuran lebih
kecil.
Butiran-butiran karet dari slab cutter II dijatuhkan didalam vibrating
screen dengan corong gravitasi, vibrating screen berfungsi untuk
memisahkan kotoran dan butiran-butirah karet hasilnya ditampung oleh
belt conveyor untuk diangkut ke bak pembersihan II yang berfungsi untuk
memisahkan kotoran. Kemudian butiran-butiran karet diangkat dengan
bucket elevator ke mesin hummer mill, yang mencincang bokar menjadi
potongan-potongan kecil. Gerakan di dalam hummer mill juga
menyebabkan kotoran-kotoran yang ada di dalam gumpalan karet menjadi
terpisah. Hasil keluaran dari hummer mill dijatihkan ke vibrating screen
dengan corong gravitasi, diayak di vibrating screen dengan ukuran
diameter lubang 0.5 cm dan disirami air secara terus menerus. Butiran-
butiran karet yang lolos dari vibrating screen dialirkan ke bak pembersih
III dengan belt conveyor untuk memisahkan kotoran. Kemudian butiran-
butiran karet diangkut dengan bucket elevator ke rotary cutter. Hasil
olahan rotary cutter yang berupa potongan-potongan kecil bokar
dimasukkan ke dalam bak pembersihan IV dan terjadi pemisahan kotoran.
35
3) Stasiun kerja penggilingan dan pembentukan lembaran
Butiran-butiran karet diangkut ke stasiun kerja ini dengan
menggunakan bucket elevator. Proses awal dari tahap ini adalah
pembentukan lembaran oleh mesin creeper I. Lembaran karet hasil dari
creeper I ini masih berbentuk agak kasar dan kadang masih terputus-putus.
Lembaran kemudian diangkut ke creeper II dengan belt conveyor untuk
diproses menjadi menjadi lembaran yang lebih panjang. Hasil olahan
creeper II ini diangkut dengan belt conveyor ke mesin shredder untuk
dicincang kembali menjadi potongan-potongan kecil yang langsung
ditampung dalam bak pembersihan. Kemudian, butiran-butiran karet
diangkut dengan bucket elevator ke creeper III untuk dibentuk kembali
menjadi lembaran. Proses selanjutnya adalah melalui mesin creeper IV, V,
VI, VII dan VIII dengan pola proses yang sama. Lembaran karet yang
dihasilkan oleh creeper VIII mencapai panjang sekitar 7 meter kemudian
diangkut dengan hand truck ke stasiun penjemuran.
4) Stasiun Kerja Penjemuran
Lembaran karet dari stasiun kerja sebelumnya dijemur pada rak-rak
penjemuran yang dibuat bertingkat-tingkat selama 8 s/d 24 hari. Fungsi
penjemuran adalah untuk pengeringan dan peningkatan PRI (Plasticity
Retention Index) atau indeks ketahanan karet.
5) Stasiun Kerja Peremahan dan Pembutiran
Lembaran karet kering dari penjemuran dibawa ke mesin shredder
dengan hand truck. Pada mesin tersebut, lembaran dicincang menjadi
butiran-butiran kecil dan langsung ditampung pada bak pembersihan.
Butiran-butiran tersebut kemudian diangkut dengan bucket elevator ke
corong pengisi yang berfungsi untuk memudahkan pengisian butiran-
butiran bokar kedalam troli biscuit crumb. Troli tersebut terdiri atas kotak-
kotak besi yang berjumlah 24 buah. Setelah penuh, troli-troli tersebut
dimasukkan kedalam mesin drier.
6) Stasiun Kerja Pengeringan
Troli yang sudah terisi penuh dengan butiran-butiran bokar
dimasukkan ke dalam mesin drier. Pada tahap pertama bokar dipanaskan
dengan burner 1 dengan suhu 135˚ selama 50 menit didalam mesin drier.
Setelah itu dipanaskan lagi di bruner 2 dengan suhu 115˚ selama 50 menit
dalam mesin drier. Setelah dipanaskan bokar didinginkan dengan blower
dengan suhu 31˚ selama 210 menit.
7) Stasiun Kerja Penimbangan dan Pengepressan
Butiran-butiran yang keluar dari drier dikeluarkan dari dalam troli,
lalu ditimbang dengan berat 35kg. Kemudian crumb rubber tersebut
dipress menjadi berbentuk empat persegi dengan ukuran 28 inci x 14 inci x
6.5 inci. Lama pengepressan adalah kurang lebih 30 detik. Lalu dibawa ke
metal detector untuk mendeteksi kandungan logam pada crumb rubber.
36
8) Stasiun Kerja Pengepakan
Bongkahan crumb rubber yang telah dipress dibungkus dengan
plastik bermerk lalu disusun di dalam palet. Satu palet berisi 36 bale. Palet
dipres supaya rata, kemudian diangkut ke gudang produk jadi
2.8. Hubungan Komitmen Dengan Produktivitas
Rendahnya produktivitas kerja karyawan dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor baik itu sumberdaya manusia (SDM) maupun sarana dan prasarana yang
ada untuk mendukung kinerja karyawan.Rendahnya kualitas sumber daya manusia
berawal dari rendahnya kemampuan dan keterampilan SDM maupun sarana dan
prasarana yang ada dalam perusahaan, sehingga produktivitas kerja yang telah di
tetapkan tidak tercapai.
Menurut Bakri, Nuryanti dan Prama dewi (2014:3) produktivitas kerja
karyawan sangat dipengaruhi oleh komitmen karyawan dalam suatu organisasi,
dimana karyawan yang memiliki komitmen terhadap organisasi memiliki potensi
untuk meningkatkan produktivitas kerja karyawan. Karyawan yang memiliki
komitmen yang tinggi akan memberikan usaha yang maksimal secara sukarela
untuk kemajuan organisasi. Mereka akan berusaha mencapai tujuan organisasi dan
menjaga nilai - nilai organisasi. Selain itu, mereka akan berpartisipasi dan terlibat
aktif untuk memajukan organisasi. Karyawan yang memiliki komitmen tinggi
akan bertanggung jawab dan bersedia memberikan seluruh kemampuan yang
dimilikinya karena merasa memiliki organisasi. Rasa memiliki yang kuat akan
membuat karyawan merasa berguna dan nyaman berada dalam suatu organisasi,
sehingga produktivitas kerja karyawan semakin baik dan optimal.
37
2.9. Penelitian Terdahulu
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu
Nama
Peneliti
Judul Variabel Indikator Metode Hasil penelitian
Nana
Iguana
(2014)
Pengaruh
Kepuasan Kerja
dan Komitmen
Karyawan
Terhadap
Produktivitas
Kerja
Karyawan
Independen:
- Komitmen
organisasi
(X)
Dependen:
- Produktivitas
kerja (Y)
Komitmen:
- Komitmen afektif
- Komitmen berkelanjutan
- Komitmen normatif
Produktivitas:
- Lebih dari sekedar
kualifikasi
- Bermotivasi tinggi
- Orientasi pekerjaan
- Dewasa
- Dapat bergaul dengan
efektif
Regresi
linier
sederhana
Variabel kepuasan
kerja dan
komitmen
berpengaruh
signifikan
terhadap
produktivitas
kerja karyawan.
Untung
Widodo
(2009)
Pengaruh
kepercayaan
pada atasan,
komitmen
organisasi dan
kepuasan kerja
terhadap
produktivitas
karyawan
(Studi Kasus
pada Tenaga
Penjualan PT.
Nyonya Meneer
Semarang)
Independen:
- Kepercayaan
pada atasan
(X1)
- Komitmen
organisasi
(X2)
- Kepuasan
kerja (X3)
Dependen:
- Produktivitas
(Y)
Kepercayaan pada atasan:
- Tanggungjawab
- Keandalan
- Kompetensi
Komitmen organisasi:
- Komitmen afektif
- Komitmen berkelanjutan
- Komitmen normatif
Kepuasan kerja:
- Kepuasan terhadap atasan
- Kepuasan sesama
karyawan
- Sikap kerja yang positif
Produktivitas:
- Absensi
- Jumlah perolehan hasil
- Kualitas yang dihasilkan
- Tingkat kesalahan
- Waktu yang dibutuhkan
Regresi
linier
berganda
Variabel
kepercayaan pada
atasan, komitmen
dan kepuasan
kerja berpengaruh
signifikan
terhadap
produktivitas
kerja karyawan
Fisca
Marvidiant
ika (2010)
Pengaruh
kepuasan kerja
dan komitmen
organisasi
terhadap
produktivitas
kerja karyawan
PT Wahana
Persada
Lampung
di Bandar
Lampung
Independen:
- Kepuasan
kerja (X1)
- Komitmen
organisasi
(X2)
Dependen:
- Produktivitas
kerja (Y)
Kepuasan kerja:
- Kepuasan psikologis
- Kepuasan sosial kerja
- Kepuasan finansial
Komitmen organisasi:
- Rasa kebanggaan
- Kesetiaan
- Kesediaan kerja tambahan
- Mengorbankan urusan
pribadi demi pekerjaan
Produktivitas:
- Kesesuaian standar
- Ketepatan waktu
- Kuantitas yang dihasilkan
- Efisiensi waktu
Regresi
linier
berganda
Diketahui
kepuasan kerja
dan komitmen
organisasi secara
bersama-sama
berpengaruh
positif dan
signifikan
terhadap
produktivitas
kerja.
38
Nama
Peneliti
Judul Variabel Indikator Metode Hasil penelitian
M. Bakri,
Nuryanti
dan
Arwinence
Pramadewi
(2014)
Pengaruh
komitmen
karyawan dan
pelatihan
terhadap
produktivitas
kerja karyawan
departemen
Pelayanan PT.
PLN (Persero)
Cabang
Selatpanjang
Kabupaten
Kepulauan
Meranti
Independen:
- Komitmen
(X1)
- Pelatihan
(X2)
Dependen:
- Produktivitas
kerja (Y)
Komitmen:
- Affective commitment
- Continuance commitment
- Normative commitment
Pelatihan:
- Pelatih
- Peserta
- Materi
- Metode
- Tujuan
Produktivitas:
- Kemampuan
- Meningkatkan hasil yang
dicapai
- Semangat kerja
- Mutu
- Efisiensi
Regresi
linier
berganda
Diketahui bahwa
variabel pelatihan,
dan komitmen
yang terdiri dari
komitmen afektif,
komitmen
normatif dan
komitmen
berkelanjutan
berpengaruh
signifikan
terhadap
produktivitas
kerja karyawan.
Dudung
Abdullah
(2017)
Pengaruh
komitmen
organisasional
dan
lingkungan
psikologis
terhadap
produktivitas
kerja karyawan
bank BJB
Cabang
Majalengka
Independen:
- Komitmen
organisasiona
(X1)
- Lingkungan
psikologis
(X2)
Dependen:
- Produktivitas
kerja (Y)
Komitmen organisasional:
- Keterlibatan emosi kepada
perusahaan
- Pertimbangan rasional
- Tanggungjawab moral
Lingkungan psikologis:
- Suasana kerja
- Perhatian perusahaan
- Keterlibatan atas
keputusan
Produktivitas kerja:
- Tingkat kehadiran
- Tingkat penyelesaian
pekerjaan
- Efektivitas dan efisiensi
waktu
- Kedisiplinan
Regresi
linier
berganda
Komitmen
organisasional
dan lingkungan
psikologis baik
secara simultan
maupun parsial
berpengaruh
positif dan
signifikan
terhadap
produktivitas
kerja
2.10. Kerangka Pemikiran
Penurunan produktivitas kerja masih sering terjadi diberbagai perusahaan.
Permasalahan tentang produktivitas kerja ini merupakan permasalahan umum
yang terjadi pada setiap perusahaan. Produktivitas kerja seorang karyawan
cenderung menurun bisa dilihat dari perbandingan antara hasil produksi yang
dicapai dengan keseluruhan sumber daya atau bahan baku yang digunakan.
39
Menurut Wibowo (2016:189) komitmen afektif yang dimiliki seorang
karyawan akan mencerminkan kekuatan individual yang akan menimbulkan
kecenderungan untuk tetap bekerja dalam organisasi atau perusahaan, karena
karyawan tersebut merasa sejalan dengan tujuan perusahaan serta merasa senang
bekerja di dalam perusahaan tersebut.
Selain itu, komitmen normatif juga berkembang karena organisasi
memberikan sesuatu yang sangat berharga bagi karyawan yang tidak dapat dibalas
kembali. Faktor lainnya adalah adanya kontrak psikologis antara anggota dan
organisasinya Karyawan yang mempunyai keterlibatan tinggi dalam bekerja tidak
mempunyai keinginan untuk keluar dari perusahaan dan dalam hal ini merupakan
modal dasar untuk mendorong produktivitas yang tinggi. Komitmen afektif
merupakan sebuah kekuatan yang dimiliki karyawan untuk bekerja di dalam
sebuah organisasi, karena mereka bersedia dan memiliki keinginan untuk
melakukan pekerjaan tersebut (Untung Widodo, 2009:44).
Menurut Sutrisno (2013:211) pengukuran atau penilaian produktivitas
perusahaan merupakan pengukuran terhadap produktivitas atau prestasi kerja
karyawan, yaitu suatu sistem yang digunakan untuk menilai dan mengetahui
apakah seseorang karyawan telah melaksanakan pekerjaannya dengan baik.
Pengukuran atau penilaian produktivitas karyawan mutlak harus dilakukan untuk
mengetahui prestasi yang dapat dicapai setiap karyawan, apakah baik, sedang,
atau kurang. Penilaian prestasi penting bagi setiap karyawan dan berguna bagi
perusahaan. Hal ini digunakan untuk menetapkan tindakan kebijakan selanjutnya.
Dengan pengukuran produktivitas atau prestasi kerja berarti para bawahan
40
mendapat perhatian atasan sehingga mendorong bawahan untuk lebih bergairah
dalam bekerja, asalkan proses pengukurannya atau penilaiannya jujur dan objektif
serta ada tindak lanjutnya.
Gambar 2.2 Kerangka pemikiran
2.11. Hipotesis
Peneliti merumuskan hipotesis dalam penelitian ini diseuaikan dengan
rumusan masalah dan tujuan penelitian kedalam hipotesis yaitu:
1) Terdapat pengaruh yang signifikan komitmen afektif dan komitmen normatif
secara parsial terhadap produktivitas karyawan PT. Riau Crumb Rubber
Factory Pekanbaru.
2) Terdapat pengaruh yang signifikan komitmen afektif dan komitmen normatif
secara simultan terhadap produktivitas karyawan PT. Riau Crumb Rubber
Factory Pekanbaru.
Produktivitas
(Variabel Y)
Komitmen afektif
(Variabel X1)
Komitmen normatif
(Variabel X2)